20
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Demam enterik (Salmonella typhi dan S. Paratyphi) sudah mengenai 26 juta manusia terutama populasi usia muda. Resistensi terhadap pengobatan demam enteric mulai banyak ditemukan dan tersebar luas sehingga terdapat beberapa pilihan pengobatan demam enterik agar pemberiannya lebih efektif dan mencegah carrier”. Tidak ada antibiotik khusus yang dikembangkan untuk pengobatan demam enteric. Beberapa negara menggunakan vaksin hypoid untuk mengurangi kemungkinan terkena demam enterik. MDR (keadaan resisten terhadap kloramfenikol, ampicillin dan kotrimoksazole) dan resistensi terhadap asam nalidixat (berkurangnya sensitivitas terhadap fluorokuinolon klasik seperti ofloxacin dan ciprofloxacin) sudah tersebar luas. Resistensi menyebabkan kegagalan terapi dan carrier, peningkatan resiko komplikasi, dan peningkatan potensial terhadap penularan. Terdapat fakta baik dari beberapa penilitian yang dilakukan secara “randomized controlled trial” bahwa gatifloxacin dapat digunakan secara luas di semua daerah endemik. 1

terapi gatifloxacin pada demam enterik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

interna

Citation preview

Page 1: terapi gatifloxacin pada demam enterik

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Demam enterik (Salmonella typhi dan S. Paratyphi) sudah mengenai 26

juta manusia terutama populasi usia muda. Resistensi terhadap pengobatan

demam enteric mulai banyak ditemukan dan tersebar luas sehingga terdapat

beberapa pilihan pengobatan demam enterik agar pemberiannya lebih efektif

dan mencegah “carrier”. Tidak ada antibiotik khusus yang dikembangkan

untuk pengobatan demam enteric. Beberapa negara menggunakan vaksin

hypoid untuk mengurangi kemungkinan terkena demam enterik.

MDR (keadaan resisten terhadap kloramfenikol, ampicillin dan

kotrimoksazole) dan resistensi terhadap asam nalidixat (berkurangnya

sensitivitas terhadap fluorokuinolon klasik seperti ofloxacin dan

ciprofloxacin) sudah tersebar luas. Resistensi menyebabkan kegagalan terapi

dan carrier, peningkatan resiko komplikasi, dan peningkatan potensial

terhadap penularan.

Terdapat fakta baik dari beberapa penilitian yang dilakukan secara

“randomized controlled trial” bahwa gatifloxacin dapat digunakan secara luas

di semua daerah endemik.

Satu butir tablet gatifloxacin per hari efektif dan aman untuk pengobatan

demam enterik, termasuk demam enterik dengan MDR dan resisten terhadap

asam nalidixat.

1

Page 2: terapi gatifloxacin pada demam enterik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Demam Enterik

a. Definisi

Demam enterik atau yang biasa disebut dengan demam typhoid adalah penyakit akut berhubungan dengan demam yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi.

Bakteri tersebut terdapat dalam makanan dan air yang tercemar. Penularannya melalui oral-fekal.

b. Epidemiologi

Demam demam tifoid dan paratifoid atau yang disebut dengan demam enterik adalah penykit disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella enterica serovar Typhi (S. typhi) dan Salmonella enterica serovar Paratyphi (S. paratyphi) A, B dan C. Sementara infeksi S. typhi dan S. paratyphi A dan B dibatasi untuk manusia, S. paratyphi C terdapat pada hewan. Demam enterik merupakan penyakit endemik di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan dan ditemukan di bagian Timur Tengah, Eropa selatan dan timur. Perbaikan infrastruktur dan sanitasi telah hampir mengeliminasi demam tifoid di negara maju dan infeksi terlihat di Eropa, Australia, dan Amerika Utara biasanya diperoleh di luar negeri (sebagian besar dari anak benua India, Asia Tenggara dan Amerika Selatan). Estimasi saat ini dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa beban global demam tifoid adalah sekitar 21 juta kasus per tahun dengan lebih dari 210.000 kematian dan bahwa demam paratifoid menyebabkan tambahan 5 juta kasus. Angka-angka ini didasarkan pada ekstrapolasi data

2

Page 3: terapi gatifloxacin pada demam enterik

dari 22 penelitian yang menggunakan kultur darah yang merupakan gold standard untuk diagnosis demam tifoid. Banyak lembaga di negara-negara endemik kekurangan fasilitas kultur darah dan sensitivitas kultur darah kurang dari 50%. Penularan demam tifoid terjadi melalui rute faeco-oral dengan mengkonsumsi air dan makanan yang terkontaminasi secara langsung. Pada daerah endemis demam enterik adalah penyakit yang mengenai dari anak-anak sekolah sampai dewasa muda. Sebuah laporan WHO memperkirakan tingkat kematian kasus demam enterik pada 1% (7). Kontributor paling penting untuk hasil yang buruk adalah keterlambatan dalam pengobatan antibiotik yang tepat dibuat lebih mungkin dengan kehadiran strain resisten obat di masyarakat. Distribusi geografis S. typhi dan daerah multi-obat dan nalidix tahan asam.

c. Gejala Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 – 14 hari. Gejala-

gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan

berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai

dengan komplikasi hingga kematian.

3

Page 4: terapi gatifloxacin pada demam enterik

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan

dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu

demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,

obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat

demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga

malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa

demam, bradikardia relative, lidah yang berselaput (coated tongue),

hepatomegaly, splenomegaly, meteorismus, gangguan mental berupa

somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.

d. Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella

paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan

yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam

lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya

berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus

kurang baik maka kuman akan menebus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan

selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak

dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat

hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke

plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat

di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan

bacteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini

kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di

luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi

darah lagi mengakibatkan bacteremia kedua dengan disertai tanda dan

gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,

berkembang biak, dan bersama cairan empedu di ekskresikan secara

“intermittent” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui

4

Page 5: terapi gatifloxacin pada demam enterik

feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.

Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi

dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala

reaksi inflamasi sistemik semeperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala,

sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.

Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hyperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi

pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis

dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel MN di dinding usus. Proses

patologis jaringan limfoid ini dapt berkembang hingga ke lapisan otot,

serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan

akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,

kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

5

Page 6: terapi gatifloxacin pada demam enterik

e. Pemeriksaan Penunjang

i. Pemeriksaan Darah Rutin

Pada penderita demam enterik, sering ditemukan leukopenia tetapi

bisa juga terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis

dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula

dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada

pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun

limfopenia. Laju endap darah pada pemeriksaan demam tifoid dapat

meningkat.

SGOT dan SGPT setingkali meningkat, tetapi akan kembali

menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak

memerlukan penanganan khusus.

ii. Pemeriksaan Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi

hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin

disebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1). Telah mendapat terapi

antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat

antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan

hasil mungkin negative; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan

kurang lebih 5cc darah). Ila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil

6

Page 7: terapi gatifloxacin pada demam enterik

biakan bisa menjadi negative. Darah yang diambil sebaiknya secara

bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall)

untuk pertumbuhan kuman; 3). Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa

lampau menimbulakn antibody dalam darah pasien. Antibody ini dapat

menekan bacteremia hingga biakan darah dapat menjadi negative; 4).

Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin

semakin meningkat.

iii. Pemeriksaan Serologi

Uji Widal

Dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. pada uji

widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi

dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan

pada uji widal adalah suspense salmonella yang sudah dimatikan dan

diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan

adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid,

yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagella

kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang

digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semaking tinggi titernya

semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu: 1).

Pengobaatan dini dengan antibiotic, 2). Gangguan pembentukan

antibody, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah,

4). Daerah endemic atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6).

Reaksi anamnestic, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi

bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau

vaksinasi. 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat

aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk

suspense antigen.

IgM Anti Salmonella

Pemeriksaan IgM dapat dilakukan pada pasien dengan demam > 3

hari.

7

Page 8: terapi gatifloxacin pada demam enterik

f. Penatalaksanaan

i. Non Farmakologi

Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan professional berutjuan untuk mencegah

komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat

seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar

akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam

perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan

perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk

mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene

perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

Diet Lunak dan Rendah Serat

Diet lunak dan rendah serat perlu diberikan agar kerja dari lambung

dan usus tidak begitu berat dalam masa pemulihan.

ii. Farmakologi

Tidak ada pedoman khusus dari WHO tentang pengobatan demam

enterik, hingga pada tahun 2003 WHO mengeluarkan pedoman tentang

demam tifoid, yang salah satunya berisi tentang penatalaksanaan.

Kloramfenikol

Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama

untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500

mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan

sampai dengan 7 hari bebas demam. Penyuntikan intramuskulat tidak

dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan

8

Page 9: terapi gatifloxacin pada demam enterik

tempat suntikan terasa nyeri. Berdasarkan pengguanaan, rata-rata

kloramfenikol dapat menurunkan demam dalam waktu 7,2 hari.

Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama

dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti

kemungkinan terjadinya anemia aplastic lebih rendah dibandingkan

dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam

rata-rata menurun pada hari ke – 5 atau hari ke – 6.

Kotrimoksazol

Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.

Dosis untuk dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet = sulfametoksazole

400 mg dan trimethoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu.

Ampisilin dan Amoxicilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar

antara 50 – 150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

Sefalosporin Generasi ketiga

Hingga saat ini yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah

seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3 – 4 gram dalam

dextrose 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,

diberikan selama 3 sampai 5 hari.

Golongan Fluoroquinolon

- Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

- Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

- Ofloxacin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

- Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 hari

- Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 hari

2. Gatifloxacin

9

Page 10: terapi gatifloxacin pada demam enterik

a. Pendahuluan

Asam nalidiksat, prototipe 4 - antibiotik kuinolon ditemukan pada

tahun 1962 adalah aktif terhadap bakteri gram negatif dan hanya mencapai

serum rendah dan jaringan konsentrasi. Hampir 20 tahun kemudian,

penambahan molekul fluor pada posisi C6 menciptakan fluoroquinolones.

Substituen 6-fluoro menciptakan spektrum yang lebih besar dari aktivitas

terhadap Gram negatif dan Gram positif patogen, mungkin dengan

meningkatkan penetrasi jaringan dan mengikat enzim DNA girase.

Ciprofloxacin dan Ofloxacin (fluoroquinolones generasi kedua) memiliki

aktivitas yang sangat baik terhadap organisme Gram negatif. Karena

ketersediaan dan keterjangkauan, ofloksasin telah banyak digunakan untuk

pengobatan demam tifoid. Namun selama beberapa tahun terakhir strain

resisten terhadap asam nalidiksat telah muncul dan menyebar luas. Strain

ini jauh lebih rentan terhadap ciprofloxacin dan ofloxacin dengan pasien

yang menderita time clearance fever berkepanjangan, kegagalan klinis dan

“carrier”. Oleh karena itu efektivitas kedua obat ini telah menurun

meninggalkan beberapa pilihan untuk pengobatan di daerah dengan multi-

drug resisten dan tahan asam nalidixat. Gatifloksasin adalah spektrum

yang luas fluorokuinolon 8-metoksi dengan aktivitas ditingkatkan terhadap

organisme gram positif, yang telah menerima US Food and Drug

Administration (FDA) persetujuan pada tahun 1999. Ini fitur sekelompok

siklopropil pada posisi 1 sama dengan ciprofloxacin. Penambahan gugus

metoksi pada posisi 8 target kedua topisomerase II dan IV dan mungkin

mencegah (atau penundaan) perkembangan resistensi kuinolon.

Fluoroquinolones dianggap agen bakterisida dan memiliki sangat baik

dalam kegiatan vitro terhadap berbagai organisme gram positif dan gram

negatif. Kuinolon cepat menghambat sintesis DNA bakteri, menyebabkan

kematian sel yang cepat. Target untuk fluoroquinolones adalah enzim

topisomerase bakteri, girase DNA (topoisomerase II) dan topoisomerase

IV.

b. Definisi

10

Page 11: terapi gatifloxacin pada demam enterik

Gatifloksasin (gatifloxacin) adalah antibiotik golongan

fluorokuinolon generasi ke 4 yang mempunyai spektrum luas, aktif

terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif. 

c. Mekanisme Kerja

Gatifloxacin menghambat dua enzim bakteri yaitu: DNA girase

(membantu untuk replikasi DNA dan perbaikan DNA, yang merupakan

target utama bagi bakteri gram negative) dan Topoisomerase IV

(membantu sel bakteri bereplikasi, yang merupakan target utama bagi

bakteri gram positif).

Mekanisme utama resistensi kuinolon pada S. Typhi adalah

akumulasi substitusi asam amino dalam bakteri enzim sasaran girase

DNA. Perubahan yang paling umum diidentifikasi telah menjadi serin

untuk substitusi fenilalanin pada posisi 83 dari gyrA. mutasi ini

difokuskan di sekitar wilayah yang disebut wilayah resistensi kuinolon

menentukan (QRDR). The QRDR dari gyrA dekat tirosin pada posisi 122,

situs aktif enzim, yang kovalen terkait dengan DNA selama untai

kerusakan. Mutasi titik tunggal di gyrA S. Typhi menyebabkan resistensi

asam nalidiksat (MIC ≥ 32 mg / ml) dan mengurangi kerentanan terhadap

fluoroquinolones generasi tua. Isolat tunggal tahan sepenuhnya

fluorokuinolon S. Typhi dan S. paratyphi A telah dilaporkan dari India.

Resistensi fluorokuinolon tingkat tinggi terlihat dalam S. Typhi ini

(ciprofloxacin MIC ≥ 4 mg / ml) isolat dianugerahkan oleh mutasi ganda

dalam gyrA dan mutasi tunggal di parc. Gatifloksasin mengikat dengan

afinitas yang lebih besar untuk QRDR dan kurang rentan terhadap mutasi

ini tetap efektif terhadap strain tersebut.

d. Farmakodinamik

Gatifloxacin merupakan antibiotic sintetik berspektrum luas yang

digunakan secara oral dan intravena. Bekerja sebagai penghambat replikasi

DNA, sehingga gatifloxacin termasuk dalam golongan bakterisid. Afinitas

terhadap DNA girase bakteri 100x lebih besar daripada pada mamalia.

e. Farmakokinetik

Absorpsi

11

Page 12: terapi gatifloxacin pada demam enterik

Penyerapan terjadi 1 – 2 jam setelah pemberian obat, dengan

bioavailabilitas 96% dan tidak dipengaruhi oleh makanan.

Distribusi

Gatifloxacin terdistribusi baik pada jaringan dan terkonsentrasi di empedu.

Volume distribusi > 1.8kg/L dan 20% protein serum binding. Konsentrasi

gatifloxacin cukup tinggi pada makrofag alveolus dan parenkim paru (26,5

dan 4,09 x konsentrasi plasma). Berpenetrasi baik di intraseluler.

Gatifloxacin memiliki konsentrasi pada serebrospinal lebih tinggi

dibanding dengan fluoroquinolone yang lain (0.36 kali konsentrasi serum).

Metabolisme

Di kantung empedu.

Eliminasi

Waktu paruh eliminasi gatifloxacin adalah 7 – 14 jam dengan lebih dari

70% terekskresi setelah 48 jam.

f. Indikasi

Untuk pengobatan demam enterik dan infeksi enteritis yang disebabkan

oleh Salmonella sp.

g. Kontraindikasi

Penderita Diabetes Mellitus

Pada penelitian yang dilakukan dengan cara Randomised

Controlled Trial, hasil menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar

gula dalam darah pada hari ke – 2 sampai hari ke – 7, sehingga

Gatifloxacin tidak dianjurkan untuk penderita DM dan pasien geriatric

resiko tinggi.

12

Page 13: terapi gatifloxacin pada demam enterik

Ibu Hamil, Menyusui dan Anak-anak

Gatifloxacin tidak dianjurkan untuk ibu hamil, ibu menyusui dan

anak-anak. Penggunaan pada anak-anak masih sedikit kontroveresial,

tetapi sejak golongan quinolones dapat menyebabkan arthropati pada

anak-anak, sebaiknya penggunaan gatifloxacin tidak diberikan pada anak-

anak.

h. Dosis dan Sediaan

Tablet: 200 mg, 400 mg.

Anak dan Dewasa : 10 mg/kgBB per oral (maksimal 600mg / hari) setiap

24 jam selama 7 hari.

BAB III

KESIMPULAN

13

Page 14: terapi gatifloxacin pada demam enterik

Gatifloksasin merupakan antibiotik fluoroquinolone generasi keempat,

bekerja menghambat enzim bakteri DNA girase dan topoisomerase IV.

Gatifloksasin umumnya ditoleransi dengan baik. Secara umum dengan semua

antibiotik spektrum luas, gangguan pencernaan mungkin ditemui.

Fluoroquinolones juga diketahui memiliki sejumlah efek samping yang dianggap

umum, meskipun keparahan ini bervariasi antara senyawa. Ini termasuk efek pada

konduksi jantung, pembentukan kolagen (missal: tendon pecah), photosensitivity,

dan dysglycaemia. Sementara yang lain generasi fluorokuinolon 4,

moksifloksasin, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap repolarisasi jantung

(perpanjangan interval QT). Sebaliknya, efek dysglycaemic (hipoglikemia pada

awal pengobatan, diikuti kemudian oleh hiperglikemia) yang paling sering

dilaporkan dengan gatifloksasin. Petunjuk efek gatifloxacin terkait pada

homeostasis glukosa pertama kali dicatat selama pengembangan praklinis. Studi

praklinis yang diberikan hingga 19 kali dosis 400 mg sampai 6 bulan

menunjukkan dosis penurunan pelepasan insulin di pankreas β-sel di semua

spesies terkait yang dipelajari. Tak lama setelah gatifloxacin diperkenalkan,

laporan kasus efek pada homeostasis glukosa mulai muncul. Pasien diidentifikasi

sebagai "berisiko" termasuk mereka dengan terapi diabetes non-insulin-dependent

dan pasien lansia dengan penurunan fungsi ginjal.

Singkatnya, data ini menunjukkan mekanisme dysglycemia terkait dengan

pemberian gatifloxacin, pasien dengan resiko tinggi seperti penderita diabetes

yang sedang menjalani pengobatan OHO, dan pasien lanjut usia dengan

penurunan fungsi ginjal.

14