38
TERAPAI CAIRAN 1 Diagnosis Dan Terapi Cairan Pada Demam Berdarah Dengue Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain: 1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, 3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan 4. Peningkatan sarana transportasi. Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan

terapi cairan dhf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

terapi cairan

Citation preview

TERAPAI CAIRAN 1Diagnosis Dan Terapi Cairan Pada Demam Berdarah Dengue

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, 3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan4. Peningkatan sarana transportasi.Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.DefinisiDemam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus DengueManifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1):1. Demam tidak terdiferensiasi2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)

PatogenesisDua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.

Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunderMenurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

DiagnosisBerdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.3. Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasiperdarahan adalah uji torniquet.Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2. Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigennonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.

Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.

PenatalaksanaanPada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat ataubumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4).2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 5).3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6).4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7).

Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

===================================================================

Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%===================================================================

Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa===================================================================Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efekpenambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.

Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

KesimpulanDemam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini.Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.

TERAPAI CAIRAN 2

Demam BerdarahA. Demam Berdarah Dengue :Adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes Aigypti.

Diagnosa (Kriteria WHO) :Klinis :

1. Panas 2 7 hari

2. Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif.

3. Adanya pembesaran hepar

4. Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah, nadi meningkat dan lemah serta akral dingin.

Laboratorium :1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)2. Thrombocytopenia (Thrombocyte diberikan 10 20 ml/kg BB/ 1 jam.

2. Pada kasus yang berat (grade IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg BB (1 x atau 2 x).

3. Jika renjatan berlangsung terus (HCT tinggi) diberikan larutan koloidal (Dextran atau Plasma) sejumlah 10 20 ml/kg BB/ 1 jam.

2. Tranfusi darahDiberikan pada :

Kasus dengan renjatan yang sangat berat atau renjatan yang berkelanjutan.

Gejala perdarahan yang nyata, misal : hematemesis dan melena.

Pemberian darah dapat diulang sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan.Jika jumlah thrombocyte menunjukkan kecenderungan menurun

Antipiretika : yang diberikan sebaiknya Parasetamol (mencegah timbulnya Efek samping pedarahan dan asidosis)

Obat penenang : diberikan pada kasus yang sangat gelisah. Dapat diberikan Valium 0,3 0,5 mg/kgBB/kali (bila tidak terjadi gangguan system pernapasan) atau Largactil 1 mg/kgBB/kali. Bila penderita kejang dapat diberikan kombinasi Valium (0,3 mg/kgBB) i.v. dan diikuti Dilantin (2 mg/kgBB/jam 3 kali sehari).

4. Oksigen

5. Koreksi asidosis Nabic dapat diberikan 1 2 mEq/kgBB, diberikan dengan kecepatan 1 mEq/menit, atau jumlah Nabic dapat dihitung dengan rumus : Kebutuhan Nabic : 0,5 x BB x Defisit HCO3- atau 0,3 x BB x Base defisit

6. Koreksi kelainan-kelainan yang terjadi

7. Kortikosteroid Penggunaannya masih controversial pada pengobatan DSS Bisa diberikan dengan dosis :

Hidrokortison 6 8 mg/kgBB/ 6 8 jam i.v.

Methyl prednisolon 30 mg/kgBB/hari i.v.

Dexamethazon 1 2 mg/kgBB sebagai dosis awal, kemudian 1 mg/kgBB/hari i.v.

8. Dopamine.

Referensi

1. Pedoman Diagnosa dan Terapi Berdasarkan Gejala dan Keluhan. Prosedur Tetap Standar Pelayanan Medis IRD RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1997.

2. Soegijanto S, et all. Demam Berdarah Dengue. Pedoman Diagnosa dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1994.

3. Soegijanto S, et all. Seminar Sehari Demam Berdarah Dengue. Surabaya. 1998.

TERAPI 3DHF (Dengue Haemoragic Fever)1. Pengertian DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty betina (Seoparman , 1990).

DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegepty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegepty (Seoparman, 1996).

DHF (Dengue Haemoragic Fever) berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986):

1) Derajat I

Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet, trombositopenia dan hemokonsentrasi.

2) Derajat II

Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.

3) Derajat III

Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).

4) Dejara IV

Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

2. Anatomi FisiologiStruktur nyamuk terdiri atas ; kepala, toraks yang setiap segmenya dilengkapi dengan sepasang kaki yang beruas-ruas dan abdomen. Daerah kepala terdiri atas mata, antena berbentuk poliform yang terdiri atas 15 segmen. Antena nyamuk betina disebut pilose dengan bulu-bulu yang lebih sedikit sedangkan yang jantan memiliki banyak bulu disebut plumose. Seperti halnya dengan serangga lain nyamuk memiliki sepasang mata majemuk oseli (mata tunggal). Di bagian dorsal toraks terdapat bentuk bercak yang keras berupa dua garis sejajar pada bagian tengah dan dua garis lengkung di bagian tepi. Vena sayap meliputi seluruh bagian sayap sampai ke ujung berukuran 2,5 3,0 mm. Di bagian abdomen nyamuk betina berukuran kecil terdapat dua caudal cerci yang berukuran kecil, sedangkan pada nyamuk jantan terdapat organ seksual yang disebut hypopygium.

Nyamuk ini bersifat antropofilik ( senang sekali pada manusia), biasanya nyamuk betina menggit di dalam rumah, kadang-kadang di luar rumah di tempat yang agak gelap. Pada malam hari nyamuk beristirahat dalam rumah pada benda-benda yang digantung seperti pakaian, kelambu, pada dinding dan tempat yang dekat dengan tempat peridukannya. Nyamuk A.aegypti memilliki kebiasaan menggigit berulang-ulang (multiple biters) yakni menggit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap peranannya sebagai vektor penyebab penyakit DBD ke beberapa orang dalam sekali waktu. Nyamuk jantan juga tertarik terhadap manusia pada saat melakukan perkawinan, tetapi tidak menggigit.

Dalam perkembangan hidupnya nyamuk ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu dari telur menetas menjadi larva (jentik), kemudian menjadi pupa dan selanjutnya menjadi nyamuk dewasa. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung sekurang-kurangnya selama 9 hari. Nyamuk dewasa baik jantan maupun betina membutuhkan glukosa sebagai bahan makanan yang dapat diperoleh dari cairan tumbuhan, sedangkan nyamuk betina membutuhkan protein-protein dari darah untuk pematangan sel telur setelah perkawinan. yamuk betina dewasa mulai menghisap darah setelah berumur 3 hari, setelah itu sanggup bertelur sebanyak 100 butir. Nyamuk betina mampu bertahan hidup 2 minggu lebih di alam, sedangkan nyamuk jantan setelah proses kawin dalam waktu 1 minggu akan mati. Nyamuk betina dapat terbang sejauh 20 meter, kemampuan normalnya adalah 40 meter.

3. EtiologiPenyebab utama : virus dengue tergolong albovirus

Vektor utama :

Aedes aegypti.

Aedes albopictus.

Adanya vektor tesebut berhubungan dengan :

1. kebiasaan masyarakat menampung air bersih untuk keperlauan sehari hari.

2. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.

3. Penyediaan air bersih yang langka.

Daerah yang terjangkit DHF adalah wilayah padat penduduk karena.

1. Antar rumah jaraknya berdekatan yang memungkinkan penularan karena jarak terbang aedes aegypti 40-100 m.

2. Aedes aegypti betina mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat, (Noer, 1999).

4. Patofisiologi

klik gambar diatas untuk melihat dalam ukuran besar

5. Tanda dan GejalaGambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :

1) Demam chiku nguya.

Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.

2) Demam tyfoid

Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.

3) Anemia aplastik

Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.

4) Purpura trombositopenia idiopati (ITP)

Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.

Meningkatnya suhu tubuh

Nyeri pada otot seluruh tubuh

Nyeri kepala menyeluruh atau berpusat pada supra orbita, retroorbita

Suara serak

Batuk

Epistaksis

Disuria

Nafsu makan menurun

Muntah

Ptekie

Ekimosis

Perdarahan gusi

Muntah darah

Hematuria masif

Melena

6. Komplikasi a. Perdarahan luas.

b. Shock atau renjatan.

c. Effuse pleura

d. Penurunan kesadaran.

6. Klasifikasi

a. Derajat I :

Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi, trombositopeni dan hemokonsentrasi.

b. Derajat II :

Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.

c. Derajat III :

Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.

d. Derajat IV :

Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba. 7. Pemeriksaan DiagnostikPatokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :

1) Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.

2) Manifestasi perdarahan :

1. Uji tourniquet positif

2. Petekia, purpura, ekimosi

3. Epistaksis, perdarahan gusi

4. Hematemesis, melena.

3) Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.

4) Dengan atau tanpa renjatan.

Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

5) Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi

LaboratoriumTerjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nilai hematokrit pada masa konvalesen.

Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat.

Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnyam limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.

8. Penatalaksanaan MedisPenatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :

1. Tirah baring atau istirahat baring.

2. Diet makan lunak.

3. Minum banyak (2 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.

4. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.

5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.

6. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.

7. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.

Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.

1. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.

2. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.

3. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.

PencegahanPrinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :

1. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.

2. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.

3. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.

4. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.

Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :

1. Menggunakan insektisida.

Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.

2. Tanpa insektisida

Caranya adalah:

1. Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 10 hari).

2. Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.

3. Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang

9. Pengkajian KeperawatanData obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :

1.) Lemah.

2.) Panas atau demam.

3.) Sakit kepala.

4.) Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.

5.) Nyeri ulu hati.

6.) Nyeri pada otot dan sendi.

7.) Pegal-pegal pada seluruh tubuh.

8.) Konstipasi (sembelit).Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain:

1) Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.

2) Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.

3) Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.

4) Hiperemia pada tenggorokan.

5) Nyeri tekan pada epigastrik.

6) Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.

7) Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.

Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai : 1) Ig G dengue positif.

2) Trombositopenia.

3) Hemoglobin meningkat > 20 %.

4) Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).

5) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.

Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil

1) SGOT/SGPT mungkin meningkat.

2) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.

3) Waktu perdarahan memanjang.

4) Asidosis metabolik.

5) Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.

10. Diagnosa Keperawatan1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).

2. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit

3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia

4. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma

5. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri, terapi tirah baring.

6. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh

7. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia

11. Rencana Asuhan Keperawatan1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia)Tujuan dan kriteria hasil:

Setelah dilakukan perawatan .. x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil:

Pasien mengatakan kondisi tubuhnya nyaman.

Suhu 36,80C-37,50C

Tekanan darah 120/80 mmHg

Respirasi 16-24 x/mnt

Nadi 60-100 x/mnt

Intervensi:

1. Kaji saat timbulnya demam.

2. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam

3. Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam)

4. Berikan kompres hangat

5. Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal

6. Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter

Rasional:

1. untuk mengidentifikasi pola demam pasien.

2. tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien

3. Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.

4. Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.

5. pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh

6. pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi

2. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakitTujuan dan kriteria hasil:

Setelah dilakukan perawatan .. x 24 jam diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dan menghilang dengan kriteria hasil:

Pasien mengatakan nyerinya hilang

Nyeri berada pada skala 0-3

Tekanan darah 120/80 mmHg

Suhu 36,80C-37,50C

Respirasi 16-24 x/mnt

Nadi 60-100 x/mnt

Intervensi:

1. Observasi tingkat nyeri pasien (skala, frekuensi, durasi)

2. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman dan tindakan kenyamanan

3. Berikan aktifitas hiburan yang tepat

4. Libatkan keluarga dalam asuhan keperawatan.

5. Ajarkan pasien teknik relaksasi

6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik

Rasional:

1. Mengindikasi kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan/resolusi komplikasi

2. Lingkungan yang nyaman akan membantu proses relaksasi

3. Memfokuskan kembali perhatian; meningkatkan kemampuan untuk menanggulangi nyeri.

4. Keluarga akan membantu proses penyembuhan dengan melatih pasien relaksasi.

5. Relaksasi akan memindahkan rasa nyeri ke hal lain.

6. Memberikan penurunan nyeri.

3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksiaTujuan dan kriteria hasil:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam diharapkan perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan kriteria:

Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat

Menunjukkan tingkat energi biasanya

Berat badan stabil atau bertambah

Intervensi:

1. Observasi keadaan umam pasien dan keluhan pasien.

2. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien

3. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi

4. Identifikasi makanan yang disukai atau dikehendaki yang sesuai dengan program diit.

5. Ajarkan pasien dan Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi

6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti mual.

Rasional:

1. Mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh pasien.

2. Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik

3. Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi dan utilisasinya)

4. Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam pencernaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang

5. Meningkatkan rasa keterlibatannya; Memberikan informasi kepada keluarga untuk memahami nutrisi pasien

6. Pemberian obat antimual dapat mengurangi rasa mual sehingga kebutuhan nutrisi pasien tercukupi.

4. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasmaTujuan dan kriteria hasil:

Setelah dilakukan perawatan selama x 24 jam diharapkan kebutuhan cairan terpenuhi dengan kriteria hasil:

TD 120/80 mmHg

RR 16-24 x/mnt

Nadi 60-100 x/mnt

Turgor kulit baik

Haluaran urin tepat secara individu

Kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi:

1. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tanda vital.

2. Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul

3. Kaji suhu warna kulit dan kelembabannya

4. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa

5. Pantau masukan dan pengeluaran cairan

6. Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung.

7. Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.

8. Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur

9. Berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium(Ht, BUN, Na, K)

Rasional:

1. hipovolemia dapat dimanisfestasikan oleh hipotensi dan takikardi

2. pernapasan yang berbau aseton berhubungan dengan pemecahan asam aseto-asetat dan harus berkurang bila ketosis harus terkoreksi

3. demam dengan kulit kemerahan, kering menunjukkan dehidrasi.

4. merupakan indicator dari dehidrasi

5. memberi perkiraan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan program pengobatan.

6. mempertahankan volume sirkulasi.

7. kekurangan cairan dan elektrolit menimbulkan muntah sehingga kekurangan cairan dan elektrolit.

8. pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan kelebihan beban cairan

9. mempercepat proses penyembuhan untuk memenuhi kebutuhan cairan

5. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri, terapi tirah baringTujuan dan kriteria hasil:

Setelah dilakukan perawatan selama x 24 jam diharapkan pasien dapat mencapai kemampuan aktivitas yang optimal, dengan kriteria hasil:

Pergerakan pasien bertambah luas

Pasien dpt melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan (duduk, berdiri, berjalan)

Rasa nyeri berkurang

Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan

Intervensi:

1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien.

2. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas.

3. Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui kemampuan

4. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya

5. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain: dokter (pemberian analgesik)

Rasional:

1. mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.

2. Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan keperawatan

3. melatih otot otot kaki sehingga berfungsi dengan baik

4. Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi

5. Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri.

6. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuhTujuan dan kriteria hasil:

Setelah dilakukan perawatan .. x 24 jam diharapkan tidak terjadi syok hipovolemik dengan kriteria hasil:

TD 120/80 mmHg

RR 16-24 x/mnt

Nadi 60-100 x/mnt

Turgor kulit baik

Haluaran urin tepat secara individu

Kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi:

1. Monitor keadaan umum pasien

2. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.

3. Monitor tanda perdarahan

4. Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit

5. Berikan transfusi sesuai program dokter

6. Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.

Rasional:

1. memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani.

2. tanda vital normal menandakan keadaan umum baik

3. Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik

4. Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut

5. Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang

6. Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin

7. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopeniaTujuan dan kriteria hasil:

Setelah dilakukan perawatan .. x 24 jam diharapkan tidak terjadi perdarahan dengan kriteria hasil:

Tekanan darah 120/80 mmHg

Trombosit 150.000-400.000

Intervensi:

1. Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis

2. Anjurkan pasien untuk banyak istirahat

3. Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut

4. Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya

Rasional:

1. Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.

2. Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan

3. Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin

4. Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan

DAFTAR PUSTAKASunaryo, Soemarno, (1998), Demam Berdarah Pada Anak, UI ; Jakarta.

Effendy, Christantie, (1995), Perawatan Pasien DHF, EGC ; Jakarta.

Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta.

Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC ; Jakarta.