117
PAPUA - JURNAL PENELTIAN ARKEOLOGI Vol. 10 No. 2 Nopmeber 2018 9 772085 976761 ISSN 2085-9767 Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018 VOLUME 10 NOMOR 2 HALAMAN 75-177 Peranan Bangsawan Bone dalam Sistem Pemerintahan dari Swapraja ke Kabupaten The Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency

Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

PA

PU

A - J

UR

NA

L P

EN

ELT

IAN

AR

KE

OL

OG

IV

ol. 1

0 N

o. 2

No

pm

eb

er 2

018

9 7 7 2 0 8 5 9 7 6 7 6 1

ISSN 2085-9767

Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

VOLUME10

NOMOR2

HALAMAN75-177

Peranan Bangsawan Bone dalam Sistem Pemerintahan dari Swapraja ke KabupatenThe Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency

Page 2: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 i

JURNAL PAPUA ISSN 2085 - 9767

Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018 Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

PENGELOLA JURNAL PAPUA

Mitra Bestari : Dr. Widya Nayati, M.A. (Jurusan Arkeologi, FIB UGM, Yogya-

karta) Dr. Toetik Koesbardiati (Jurusan Antropologi, Universitas Airlangga) Hsao-chun Hung, PhD (Department of Archaeology and Natural History, Australian National University) Vida Kusmartono, M. A. (Arkeologi Prasejarah, Balai Arkeologi

Kalimantan Selatan) Pemimpin Redaksi : Hari Suroto, S.S. (Arkeologi Prasejarah) Sidang Redaksi : Zubair Ma’sud, M. Hum (Arkeologi Prasejarah)

Sri Chiirullia Sukandar, S.S. (Arkeologi Sejarah) Klementin Fairyo, M.Si (Etnoarkeologi) Sonya M. Kawer, S.Sos (Arkeologi Sejarah) Adi Dian Setiawan, S. S. (Etnoarkeologi)

Alamat Redaksi : BALAI ARKEOLOGI PAPUA Jl. Isele, Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358 E-mail : [email protected]

Laman OJS: https://jurnalarkeologipapua.kemdikbud.go.id e-ISSN: 2580-9237

Jurnal Papua diterbitkan dua kali dalam satu tahun pada bulan Juni dan November oleh Balai Arkeologi Papua. Jurnal Papua memuat hasil-hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori yang berkaitan dengan arkeologi. Persyaratan naskah untuk jurnal Papua tercantum pada halaman belakang.

Page 3: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

i Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

JURNAL PAPUA ISSN 2085 - 9767

Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018 Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

KATA PENGANTAR

Jurnal Arkeologi Papua Vol 10, Edisi No 2, November 2018 menampilkan enam

artikel. Artikel pertama berasal dari peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, artikel

selanjutnya berasal dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Balai Pelestarian Nilai

Budaya Sulawesi Selatan dan Balai Arkeologi Papua. Artikel dalam edisi ini dengan subtansi

arkeologi dan artikel etnoarkeologi. Diharapan kontribusi penulis lainnya dalam edisi

mendatang. Selamat membaca.

Redaksi

Page 4: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 ii

JURNAL PAPUA ISSN 2085 - 9767

Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018 Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

DAFTAR ISI Kata Pengantar…………………………………………………………………………… i Daftar Isi………………………………………………………………………………….. ii Abstrak……………………………………………………………….…………………… iii Abstract…………………………………………………………………..……………….. vi Muh. Fadhlan S. Intan Lembah Besoa: Tektonik dan Situs Besoa Valley: Tectonics and Sites………………………………………………….….……… 75-100 Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Studi Kasus Patologi Gigi: Karies pada Rangka Manusia ST1, Song Terus, Pacitan, Jawa Timur Dental Pathology Case Study: Caries On ST1 Human Remains, Song Terus, Pacitan, East Java…………………………………………………………………………….…… 101-115 Ansaar Persepsi Masyarakat Peziarah Terhadap Makam Keramat di Kabupaten Luwu Utara Perception of Pilgrim Toward Sacred Tomb in North Luwu………………………… 117-133 Risma Widiawati Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten The Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency. 135-151 Rini Maryone Rumah Tradisional Suku Kamoro Traditional House of Kamoro Tribe……………………………………….………… 153-168 Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho Prehistoric living in the Yomokho Site…………………………………………….….. 169-177

Page 5: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

iii Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

URNAL PAPUA

ISSN 2085 - 9767 Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018

Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh digandakan tanpa izin dan biaya.

DDC. 930.1 Lembah Besoa: Tektonik dan Situs Muh. Fadhlan S. Intan (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 75-100 Lembah Besoa (Poso, Sulawesi Tengah) banyak menyimpan tinggalan budaya megalitik, yang selama ini belum diperhatikan oleh peneliti lingkungan, khususnya geoarkeologi. Dengan demikian, perlu dilakukan pemetaan geologi permukaan secara umum sebagai salah satu upaya menyajikan informasi geologi terkait dengan situs Megalitik Lembah Besoa. Tujuannya adalah untuk mengetahui aspek-aspek geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi di wilayah tersebut. Metode penelitian dilakukan melalui kajian pustaka, survei, analisis data lapangan dan interpretasi. Pengamatan lingkungan memberikan informasi tentang morfologi, batuan penyusun, dan stuktur geologi Lembah Besoa. Terdapat sepuluh situs megalitik di Lembah Besoa. Kegiatan tektonik dan struktur geologi yang memicu terjadinya bencana alam ada sembilan unsur, salah satunya adalah Patahan Palu-Koro. Pergeseran lempeng tektonik yang cukup aktif di Sesar Palu-Koro, membuat wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan terhadap gempa bumi. Penelitian geoarkeologi di Lembah Besoa, akan memberikan manfaat dalam pengetahuan tentang kearifan manusia pada masa itu, dalam upaya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya, dimana Lembah Besoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Patahan Palu-Koro. Kata kunci: geologi, situs megalitik, Lembah Besoa, tektonik, sesar

DDC. 930.1 Studi Kasus Patologi Gigi: Karies pada Rangka Manusia ST1, Song Terus, Pacitan, Jawa Timur Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah (UKSW, MNHN Paris, Puslit Arkenas) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 101-115 Temuan rangka manusia ST1 di Song Terus (Pacitan, Jawa Timur) memberikan peluang untuk menelusuri lebih jauh pola kehidupan manusia pada periode Holosen Awal di wilayah ini. Artikel ini berfokus pada aspek paleopatologi yang merupakan salah satu kajian ilmu dalam menelusuri jejak kehidupan manusia di masa lalu melalui penyakit pada tulang dan gigi manusia yang ditemukan dalam konteks arkeologi. Materi penelitian dalam artikel ini menitikberatkan pada gigi manusia yang merekam informasi mengenai masa hidup seseorang, termasuk aspek-aspek perkiraan usia saat mati, jenis makanan yang pernah dikonsumsi, dan penyakit yang pernah diderita. Kasus patologi berupa karies menarik untuk diteliti sebab penyakit ini merupakan salah satu kasus yang umum ditemukan pada sisa rangka manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi makroskopis dan metode pustaka. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 27 gigi tersisa pada individu ST1, terdapat sembilan gigi yang terdeteksi mengalami karies dan beberapa gigi lain yang menderita penyakit periodontal. Karies pada individu ini tampak disebabkan oleh mikroorganisme yang berkembang di dalam mulut akibat minimalnya perawatan kesehatan gigi dan mulut, serta tidak berhubungan langsung dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh individu ini pada masa hidupnya. Kata kunci: karies, patologi gigi, Song Terus, Holosen Awal, Jawa Timur

Page 6: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 iv

DDC. 930.1 Persepsi Masyarakat Peziarah Terhadap Makam Keramat di Kabupaten Luwu Utara Ansaar (BPNB Sulawesi Selatan) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 117-133 Tradisi ziarah ke makam-makam tua yang dikeramatkan merupakan fenomena yang hidup di kalangan masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun. Kepercayaan mistis yang berbasis pada tradisi dan kepercayaan yang berdasar pada pemikiran-pemikiran rasional, menunjukkan berbagai macam kepercayaan para peziarah makam. Kekuatan supranatural pada makam-makam yang dianggap keramat dapat mempengaruhi cara pandang atau persepsi mereka terhadap dunia gaib yang dianggap dapat merubah nasib dan kehidupannya. Penelitian ini, di samping bertujuan memberi gambaran tentang tujuan dan motivasi peziarah mengunjungi makam-makam tua yang dikeramatkan, juga untuk mengetahui persepsi masyarakat peziarah terhadap makam-makam yang dikeramatkan itu. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data lapangan. Hasil pembahasan menunjukkan, bahwa tujuan dan motivasi peziarah mendatangi makam-makam keramat itu, karena ada keyakinan dari mereka bahwa mendatangi makam-makam keramat akan memperoleh berkah sesuai dengan niat dan tujuan yang dikehendaki. Peziarah yang datang ke makam itu, satu sama lain juga punya persepsi atau pandangan yang berbeda, tergantung dari tujuan dan kebutuhan mereka datang ke makam itu. Kata kunci: Persepsi, makam keramat, masya-

rakat peziarah

DDC. 930.1 Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten Risma Widiawati (BPNB Sulawesi Selatan) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 135-151 Kabupaten Bone sebagai bahagian dari Sulawesi Selatan merupakan suatu daerah yang sangat menarik untuk dibicarakan. Daerah ini bukan saja merupakan bagian dari sejarah Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan arus sejarah Sulawesi Selatan. keberadaan bangsawan yang begitu melekat di dalam sendi kehidupan masyarakat Bone masih menarik untuk ditelisik sampai hari ini. Berdasarkan hal tersebut, maka artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang peranan bangsawan Bone dalam sistem pemerintahan swapraja ke kabupaten (1950 – 1960). Perkembangan politik dari pemerintahan selama periode ini dipandang cukup mempengaruhi dinamika politik dari pemerintahan di Kabupaten Bone yang berlangsung bahkan sampai sekarang. Metode yang digunakan adalah adalah metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yaitu, heuristik, kritik (sejarah), intrepretasi, dan penyajian (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah peralihan dari swapraja ke kabupaten, peranan bangsawan masih sangat diperhitungkan. Namun tidak lagi seperti pada masa sebelum peralihan, di mana pemerintahan dikuasai oleh raja/aristokrasi. Pada masa ini tingkat kecerdasan juga diperhitungkan. Selain karena struktur pemerintahannya memang berbeda juga karena proses pengangkatan kepala pemerintahan juga berbeda. Namun secara umum peran bangsawan setelah masa peralihan tidak jauh berbeda, di mana masih banyak bangsawan yang memegang kekuasaan. Kata Kunci: Bangsawan,Bone,Swapraja

Page 7: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

v Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

DDC. 930.1 Rumah Tradisional Suku Kamoro Rini Maryone (Balai Arkeologi Papua) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 153-168 Tulisan ini mengkaji rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro pada suku Kamoro di kabupaten Mimika. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah tradisional karapauw kame dan tiang mitoro. Metode yang di gunakan adalah metode kualitatif, dengan penalaran induktif sebagai pola pikir dalam memecahkan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Diharapkan budaya masa lampau ini dapat direkontruksi lewat data etnografi dari tradisi masyarakat yang masih berlangsung (pendekatan etnoarkeologi). Hasil penelitian rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro di harapkan pulah dapat menambah referensi rumah suku yang ada di Papua khususnya dan di Indonesia umumnya.

Kata Kunci: rumah tradisional, karapauw kame, Suku Kamoro

DDC. 930.1 Bentuk Kehidupan Prasejarah di Situs Yomokho Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami (Balai Arkeologi Papua) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, hlm 169-177 Cerita rakyat yang dipercaya Suku Sentani tentang migrasi nenek moyang mereka dari Papua New Guinea yang memilih Bukit Yomokho sebagai pemukiman awal, maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan bentuk kehidupan manusia prasejarah di situs Yomokho. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui bentuk kehidupan manusia prasejarah di Situs Yomokho. Metode pengumpulan data yaitu studi pustaka, wawancara, survei permukaan tanah, ekskavasi. Analisis data yaitu analisis artefaktual, analisis kontekstual, dan analisis XRD. Bentuk kehidupan manusia prasejarah sekitar situs menunjukkan bahwa mereka hidup berburu, mencari ikan dan meramu sagu.

Kata kunci: Prasejarah, Situs Yomokho, kehidupan manusia

Page 8: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 vi

JURNAL PAPUA

ISSN 2085 - 9767 Vol. 10 Edisi No. 2 November – 2018

Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Keywords are extracted from article. Abstract may be reproduced without permission and cost.

DDC. 930.1 Besoa Valley: Tectonics and Sites Muh. Fadhlan S. Intan (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.75-100. Besoa Valley (Poso, Central Sulawesi) has a lot of remains of megalithic culture, which has not been considered by environmental researchers, especially geoarchaeology. Thus, it is necessary to do surface geological mapping in general as one of the efforts to present geological information related to the Besoa Valley Megalithic site. The aim is to find out the geomorphological, stratigraphic and geological structures in the region. Research methods are carried out through literature review, surveys, field data analysis and interpretation. Environmental observations provide information about morphology, constituent rocks, and geological structures of the Besoa Valley. There are ten megalithic sites in the Besoa Valley. Tectonic activities and geological structures that trigger natural disasters are nine elements, one of which is the Palu-Koro Fault. The quite active tectonic plate shift in the Palu-Koro Fault, making the Megalithic region of the Besoa Valley, is prone to earthquakes. Geoarchaeological research in the Besoa Valley, will provide benefits in the knowledge of human wisdom at that time, in an effort to adapt to the conditions of the surrounding natural environment, where the Besoa Valley is an integral part of the Palu-Koro Fault. eywords: geology, megalithic site, Besoa Valley, tectonic, fault

DDC. 930.1 Dental Pathology Case Study: Caries On ST1 Human Remains, Song Terus, Pacitan, East Java Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah (UKSW, MNHN Paris, Puslit Arkenas) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.101-115. Human remains found in Song Terus (Pacitan, East Java), known as ST1, presented an opportunity of in-depth study in reconstructing how human lived during Early Holocene period in the area. This article focuses on palaeopathological aspects by examining lesions of disease observable in bones and dentition of human remains found in archaeological context. The research done for this article focuses more on dental remains, as teeth are known to have durability and longevity as archaeological finds, and could also provide information on age-at-death, types of diet, and oral diseases which may occurred during a person’s life. Dental caries is one of the most common type of oral disease found in archaeological context. Research methods used are macroscopic observation and literature reference comparison.. Results showed there were nine dentition on this individual (from a total of 27 identified dentition) suffered from caries with various degree of severity. Other types of oral disease noted during observation and analysis were periodontal disease. ST1 might have been suffering from severe caries due to lack of oral hygiene, as well as minimum dental treatment towards emerging oral disease. Nevertheless, these diseases did not seem to be directly caused by ST1’s dietary habit during lifetime. Keywords: caries, dental pathology, Song Terus, Early Holocene, East Java

Page 9: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

vii Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

DDC. 930.1 Perception of Religius Visitors Toward Sacred Tomb in North Luwu Ansaar (BPNB Sulawesi Selatan) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.117-133

The tradition of pilgrimage to old sacred tombs is a phenomenon that lives in the community that has been carried out for generations. Mystical beliefs based on traditions and beliefs that are based on rational thoughts, show the various kinds of beliefs of tomb pilgrims. Supernatural powers on tombs that are considered sacred can affect their perspective or perception of the unseen world which is considered to change their destiny and life. This study, in addition to aiming at giving an idea of the purpose and motivation of pilgrims visiting old sacred tombs, is also to find out the perception of the pilgrims to the sacred tombs. This research is descriptive qualitative with field data collection techniques. The results of the discussion showed that the purpose and motivation of pilgrims came to the sacred tombs, because there was a belief from them that visiting sacred tombs would get a blessing in accordance with their intended intentions and goals. Pilgrims who come to the tomb, each other also have different perceptions or views, depending on their goals and needs coming to the tomb.

Keywords: Perception, sacred tomb, pilgrim community

DDC. 930.1 The Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency Risma Widiawati (BPNB Sulawesi Selatan) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.135-151 Bone Regency as part of South Sulawesi is a very interesting area to discuss. This area is not only part of the history of South Sulawesi, but also a historical flow of South Sulawesi. the existence of nobles who are so attached to the joints of the lives of the people of Bone is still interesting to be examined to this day. Based on this, the article aims to reveal the role of Bone nobility in the swapraja government system to the regency (1950 - 1960). The political development of the government during this period was seen as sufficiently influencing the political dynamics of the government in Bone Regency which continued even today. The method used is the method of historical research with four stages, namely, heuristics, criticism (history), interpretation, and presentation (historiography). The results of the study show that after the transition from swapraja to regency, the role of nobility is still very calculated. But it is no longer like in the period before the transition, where the government was ruled by the king / aristocracy. At this time the level of intelligence is also taken into account. Apart from the fact that the structure of the government is indeed different because the process of appointing head of government is also different. But in general the role of nobility after the transition was not much different, where there were still many nobles holding power. Keywords: Nobleman,Bone,Swapraja

Page 10: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 viii

DDC. 930.1 Traditional House of Kamoro Tribe Rini Maryone (Balai Arkeologi Papua) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.153-168 This paper examines the tradisional houses karapauw kame and mitoro pole of the Kamoro in Mimika District. The problems raised in the paper is how the form, function, and cultural velues of tradisional homes karapauw kame and mitoro pole. The metohod used is qualitative method, with inductive reasoning as a minsed in solving problems that have been done before. The results of research houses karapauw kame and mitoro poles are expected to and reference tribal house in Papua in particular and in Indonesia generally . Keywords: Traditional hauses, karapauw kame, Kamoro tribe

DDC. 930.1 Prehistoric living in the Yomokho Site Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami (Balai Arkeologi Papua) Jurnal Papua Vol. 10, No. 2, November 2018, p.169-177 Folklore that the Sentani people believe about the migration of their ancestors from Papua New Guinea who chose Yomokho Hill as an initial settlement, it is necessary to do research related to prehistoric human life forms on the Yomokho site. The purpose of this paper is to find out the prehistoric human life forms on the Yomokho Site. Methods of data collection are library studies, interviews, land surface surveys, excavations. Data analysis is artefactual analysis, contextual analysis, and XRD analysis. The prehistoric forms of human life on the Yomokho Site based on artifacts, ecophysics and the environmental context around the site indicate that they live hunting, fishing and gathering sago. Keywords: Prehistory, Yomokho Site, human life

Page 11: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

75 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

LEMBAH BESOA: TEKTONIK DAN SITUS (Besoa Valley: Tectonics and Sites) Muh. Fadhlan S. Intan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jl. Raya Condet Pejaten No. 4 Jakarta Selatan 12510, e-mail: [email protected]

INFO ARTIKEL

Histori Artikel Diterima: 3 Juli 2018 Direvisi: 6 Agustus 2018 Disetujui:5 November 2018

Keyword

Geology, Megalithic site, Besoa Valley, Tectonic, fault

Kata Kunci Geologi, Situs megalitik, Lembah Besoa, Tektonik, sesar

ABSTRACT

Besoa Valley (Poso, Central Sulawesi) has a lot of remains of megalithic culture, which has not been considered by environmental researchers, especially geoarchaeology. Thus, it is necessary to do surface geological mapping in general as one of the efforts to present geological information related to the Besoa Valley Megalithic site. The aim is to find out the geomorphological, stratigraphic and geological structures in the region. Research methods are carried out through literature review, surveys, field data analysis and interpretation. Environmental observations provide information about morphology, constituent rocks, and geological structures of the Besoa Valley. There are ten megalithic sites in the Besoa Valley. Tectonic activities and geological structures that trigger natural disasters are nine elements, one of which is the Palu-Koro Fault. The quite active tectonic plate shift in the Palu-Koro Fault, making the Megalithic region of the Besoa Valley, is prone to earthquakes. Geoarchaeological research in the Besoa Valley, will provide benefits in the knowledge of human wisdom at that time, in an effort to adapt to the conditions of the surrounding natural environment, where the Besoa Valley is an integral part of the Palu-Koro Fault.

ABSTRAK

Lembah Besoa (Poso, Sulawesi Tengah) banyak menyimpan tinggalan budaya megalitik, yang selama ini belum diperhatikan oleh peneliti lingkungan, khususnya geoarkeologi. Dengan demikian, perlu dilakukan pemetaan geologi permukaan secara umum sebagai salah satu upaya menyajikan informasi geologi terkait dengan situs Megalitik Lembah Besoa. Tujuannya adalah untuk mengetahui aspek-aspek geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi di wilayah tersebut. Metode penelitian dilakukan melalui kajian pustaka, survei, analisis data lapangan dan interpretasi. Pengamatan lingkungan memberikan informasi tentang morfologi, batuan penyusun, dan stuktur geologi Lembah Besoa. Terdapat sepuluh situs megalitik di Lembah Besoa. Kegiatan tektonik dan struktur geologi yang memicu terjadinya bencana alam ada sembilan unsur, salah satunya adalah Patahan Palu-Koro. Pergeseran lempeng tektonik yang cukup aktif di Sesar Palu-Koro, membuat wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan terhadap gempa bumi. Penelitian geoarkeologi di Lembah Besoa, akan memberikan manfaat dalam pengetahuan tentang kearifan manusia pada masa itu, dalam upaya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya, dimana Lembah Besoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Patahan Palu-Koro.

Page 12: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 76

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara

kepulauan yang terletak pada pertemuan

empat lempeng yaitu Lempeng Eurasia,

Indo-Australia, Pasifik, dan Laut Filipina

(Hall, 2002:353-431). Pertemuan keempat

lempeng tersebut mengakibatkan

terbentuknya tatanan tektonik yang rumit.

Di wilayah Indonesia bagian timur tatanan

tektoniknya melibatkan lempeng utama,

mikro kontinen, dan busur kepulauan.

Daerah Sulawesi merupakan bagian dari

wilayah Indonesia bagian timur yang

memiliki tatanan tektonik rumit (Supartoyo

dkk., 2014:111-128).

Secara fisiografis daerah Lembah

Besoa ini termasuk dalam kawasan

Pegunungan Poso dengan curah hujan

yang relatif rendah, dan secara

administratif termasuk dalam wilayah

Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso,

Provinsi Sulawesi Tengah dengan

keletakan geografis berada antara

01°41'00" - 01°44'00" Lintang Selatan dan

120°11'30" - 120°16'00" Bujur Timur, dan

memiliki luas sekitar 976,37 Km2 atau

11,21% dari luas Kabupaten Poso (Sofyan,

dkk., 2004; Sofyan dkk, 2007:119-130).

Lokasi penelitian tercantum pada Peta

Rupa Bumi Lembar 2114-13 (LAWUA),

dan Lembar 2114-14 (DODA), berskala 1:

50.000.

Secara umum, daerah Lembah

Besoa merupakan daerah dengan

lingkungan vegetasi yang terbuka, dan

hanya ditumbuhi oleh jenis-jenis semak

belukar (berbatang rendah). Jenis pohon

(berbatang tinggi) ditemukan hidup

mengelompok pada tempat-tempat yang

agak cekung, di lereng-lereng lembah,

serta di pinggir-pinggir sungai. Berbeda

halnya dengan kondisi lingkungan vegetasi

yang tumbuh di daerah perbukitan atau

pengunungan yang mengelilingi lembah

ini, di daerah perbukitan dan pegunungan

keadaan vegetasinya tertutup karena

didominasi oleh jenis tumbuhan berbatang

tinggi (pohon) atau merupakan lingkungan

vegetasi hutan (Sofyan, dkk., 2004; Sofyan

dkk, 2007:119-130).

Iksam (2005) menyatakan bahwa

penelitian peninggalan arkeologi di

Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh para

peneliti bangsa Eropa sejak akhir abad ke-

19, yang dimulai oleh Adriani dan A.C.

Kruyt dalam tulisannya Van Poso naar

Parigi een Lindoe pada tahun 1898.

Kemudian pada tahun 1938 Kruyt

menerbitkan tulisannya De West Toradjas

in Midden Celebes (Iksam, 2005). Walter

Kaudern, seorang peneliti berkebangsaan

Swedia pada tahun 1938 menerbitkan

tulisannya Megalithic Finds in Central

Celebes dan sebuah tulisan tentang

Page 13: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

77 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

etnografi Structure and Settlements in

Central Celebes (Iksam, 2005).

Penelitian geologi detail secara

khusus di Lembah Besoa belum pernah

dilaksanakan, namun secara regional, baik

untuk Sulawesi Tengah, maupun Sulawesi

secara umum. Tercatat beberapa peneliti

geologi tersebut adalah, Reyzer, (1920);

Brouwer, (1934); Bemmelen (1949);

Katili, (1978); Hamilton, (1979); Jezek,

dkk., (1981); Silver, dkk., (1983);

Hutchison, (1989); Smith, dkk., (1991);

Simanjuntak, ( 1993); Simanjuntak, dkk.,

(1997); Endharto, (2000); Hall, dkk.,

(2000); Bellier, dkk., (2001); Hall, (2002);

Permana, (2005); Kertapati, (2006);

Supartoyo, dkk., (2008); Kaharuddin, dkk.,

(2011); Sompotan, (2012) dan; Supartoyo,

dkk., (2014). Para peneliti geologi ini,

membahas tentang geologi secara umum,

struktur geologi, dan kegempaan.

Dari penelitian-penelitian geologi

tersebut, penulis mencoba melakukan

pengamatan di Lembah Besoa dengan

pendekatan geoarkeologi, yaitu hubungan

situs dengan lingkungan, dan faktor-faktor

apa, sehingga masyarakat pendukung

Megalitik Lembah Besoa, memilih lokasi

tersebut sebagai pemukiman, yang

tinggalannya masih dapat kita temukan

hingga saat ini.

Batasan masalah dalam penelitian

ini adalah mengkaji lingkup kawasan

megalitik Lembah Besoa. Rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah a)

bagaimana kondisi bentang alam daerah

telitian (satuan geomorfik, pola dan stadia

sungai); b) bagaimana stratigrafi

(formasi geologi) daerah telitian

(kontak antar satuan batuan); dan c)

bagaimana struktur geologi daerah telitian

(struktur geologi apa saja yang mengontrol

daerah telitian). Tujuannya adalah untuk

melakukan pemetaan geologi sehingga

aspek geomorfologi, stratigrafi, dan

struktur geologi, serta keletakan Lembah

Besoa terhadap patahan Palu-Koro dapat

diketahui.

METODE

Metode penelitian yang digunakan

adalah 1) kajian pustaka, dengan

mempelajari lokasi penelitian dari peneliti

terdahulu, melalui buku, jurnal, maupun

dari internet; 2) survei, dengan mengamati

keadaan geomorfologinya yang mencakup

bentuk bentang alam, dan bentuk sungai.

Selanjutnya analisis litologi yang

mencakup jenis batuan, batas penyebaran

batuan, dan urut-urutan pengendapan.

Selama survei akan dilakukan

pengambilan sampel batuan yang akan di

klasifikasi secara petrologi, dan

Page 14: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 78

pembuatan peta (geologi, geomorfologi).

Langkah analisis akan disesuaikan dengan

kebutuhan dan urutan kerja geologi, yaitu:

litologi, sampel batuan dianalisis melalui

petrolog; unsur batuan yang di analisis

adalah jenis batuan, warna, kandungan

mineral, tekstur, struktur, fragmen,

matriks, semen. Hasil analisis diharapkan

akan memberikan informasi mengenai

jenis batuan (batuan beku, batuan sedimen

dan batuan metamorf) dan nama batuan

(andesit, batugamping, sekis dan lain

sebagainya).

Geomorfologi, penentuan bentuk

bentang alam akan mengunakan Sistem

Desaunettes (1977); (Todd (1980), yang

didasarkan atas besarnya kemiringan

lereng dan beda tinggi relief suatu tempat.

Hasilnya adalah pembagian wilayah

berdasarkan ketinggian dalam bentuk

persentase kemiringan lereng. Pengamatan

sungai dilakukan untuk melihat pola

pengeringan (drainage basin), misalnya

klasifikasi berdasarkan atas kuantitas air,

pola dan stadia sungai.

Struktur geologi, pengamatan struktur

geologi di lapangan akan dilanjutkan

melalui analisis jenis struktur, misalnya

patahan (fault) apakah jenis patahan

normal (normal fault), patahan naik (thrust

fault), patahan geser (strike fault) dan

sebagainya. Lipatan (fold) apakah sinklin

ataukah antiklin. Kekar (joint) apakah

kekar tiang (columnar joint) atau kekar

lembar (sheet joint).

Data dari kajian pustaka dengan

hasil lapangan dan laboratorium

dikompilasikan dengan hasil penelitian

penulis, sebagai bahan interpretasi peta

geologi dan peta topografi kawasan

Lembah Besoa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Geologi Megalitik Lembah Besoa

Sulawesi Tengah merupakan pusat

dari ke empat lengan Sulawesi,

mempunyai bentuk baji dengan alas pada

bagian pantai barat dan menuju ke arah

Teluk Tomini dan Teluk Tolo di bagian

timur (Bemmelen, 1949). Pada bagian

timur laut, daerah ini dibatasi oleh poros

yang berarah baratlaut-tenggara, mulai

dari Donggala melalui Parigi dan Lamoro

sampai Teluk Tomori yang memisahkan

bagian tengah dengan lengan utara dan

lengan timur. Di bagian tenggara dibatasi

oleh poros baratdaya-timurlaut dari

Majene melalui Palopo sampai Dongi pada

Teluk Tomori, yang memisahkan daerah

bagian tengah dengan Lengan Selatan dan

Lengan Tenggara (Brouwer, 1934;

Bemmelen, 1949) membedakan Sulawesi

Tengah menjadi tiga busur struktur dengan

arah dari utara-selatan, yaitu:

Page 15: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

79 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

Busur Barat, disebut dengan Palu Zone

terletak di antara pantai barat dan

Middle Line. Batas struktur ini

memanjang dari Masamba di selatan

sampai Malakosa di Teluk Tomini,

sepanjang tepi barat dari graben atau

Cekungan Tawaelia.

Busur Tengah, disebut juga Poso Zone,

mempunyai rentangan di antara garis

menengah dan garis utara-selatan dari

Lemoro pada tikungan Poso melalui

Peleru sampai Pegunungan Verbeek di

Lengan Selatan.

Busur Timur, dibatasi oleh lintas

Lemoro-Peleru; Lemoro-Teluk Tomini

dan Pegunungan Verbeek, disebut juga

Kolonedale Zone yang merupakan

daerah pada Teluk Tomori.

Daerah penelitian terletak di bagian

tengah Sulawesi, sehingga kondisi

geologinya tidak terpisahkan dengan

kondisi geologi Sulawesi secara umum.

Secara tektonostratigrafi daerah Sulawesi

dan sekitarnya dibagi menjadi 5 mintakat

geologi (Simanjuntak, 1993:2-15), yaitu:

1) Mintakat Geologi Benua mikro

Paleozoikum Banda; 2) Mintakat Geologi

Ofiolit Kapur Sulawesi Timur; 3) Mintakat

Geologi Metamorf Kapur Akhir-Paleogen

Sulawesi Tengah; 4) Mintakat Geologi

Busur Magmatik Tersier Sulawesi Barat

dan; 5) Mintakat Geologi Busur

Gunungapi Kuarter Minahasa-Sangihe.

Berdasarkan pada pembagian mintakat

tersebut, Lembah Besoa termasuk dalam

Mintakat Geologi Busur Magmatik Tersier

Sulawesi Barat.

Kondisi geologi Megalitik Lembah

Besoa, yang akan diuraikan berdasarkan

hasil analisis, adalah bentuk bentang alam,

batuan penyusun, dan struktur geologi,

sebagai berikut:

Geomorfologi

Morfologi atau bentuk bentang

alam Lembah Besoa dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu, litologi, struktur

geologi, stadia daerah, dan tingkat erosi

yang bekerja/terjadi (Thornbury, 1969).

Secara umum keadaan bentang alam

(morfologi) wilayah Megalitik Lembah

Besoa, apabila diklasifikasikan

berdasarkan Sistem Desaunettes (1977;

Todd, 1980), yang berdasarkan atas

besarnya persentase kemiringan lereng dan

beda tinggi relief suatu tempat, maka

terbagi atas tiga satuan morfologi (gambar

1 dan 2), yaitu:

Satuan Morfologi Dataran, dicirikan

dengan bentuk permukaan yang sangat

landai dan datar, dengan persentase

kemiringan lereng antara 0 - 2%,

bentuk lembah yang sangat lebar.

Page 16: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 80

Satuan morfologi ini menempati 75%

dari wilayah penelitian. Satuan

morfologi dataran, pada

umumnyadiusahakan sebagai areal

pemukiman, dan pertanian. Satu situs

yang termasuk pada satuan morfologi

dataran adalah Situs Padang Masora;

Satuan Morfologi Bergelombang

Lemah, dicirikan dengan bentuk bukit

yang landai, relief halus, lembah yang

melebar dan menyerupai huruf "U",

bentuk bukit yang agak membulat atau

bergelombang lemah dengan prosentase

kemiringan lereng antara 2 - 8%.

Satuan morfologi ini menempati 15%

wilayah penelitian. Pemanfaatan satuan

morfologi ini, sebagian besar sebagai

lahan pertanian. Terdapat 9 situs yang

termasuk pada satuan morfologi

bergelombang lemah, yaitu Situs

Enterowa, Situs Tondowanua, Situs

Pokekea, Situs Bangkeluho, Situs Bukit

Tadulako-1, Bukit Tadulako-2, Bukit

Tadulako-3, Bukit Buleli-1, dan Bukit

Buleli-2;

Satuan Morfologi Bergelombang Kuat,

dicirikan dengan lereng yang terjal,

bentuk relief masih agak kasar dengan

prosentase kemiringan lereng antara 8 -

16%. Satuan ini menempati 10% dari

wilayah penelitian. Satuan morfologi

umumnya berupa hutan belukar, dan

tidak/belum ditemukan adanya

peninggalan arkeologis.

Gambar 1. Peta Geomorfologi dan keletakan situs

(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)

Page 17: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

81 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

Gambar 2. Peta Geomorfologi dan keletakan situs dalam bentuk tiga dimensi

(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)

Pola pengeringan permukaan

(surface drainage pattern) sungai-sungai

di wilayah penelitian (Gambar 3)

menunjukkan arah umum dari segala

penjuru ke tengah lembah, misalnya:

4 sungai yang mengalir dari arah utara

ke selatan adalah Uwei Lamba, Uwei

Torire, Uwei Lengi, dan Uwei

Pomanua;

5 sungai yang mengalir dari arah

selatan ke utara adalah Uwei Torire,

Uwei Bombai, Uwei Kalaena, Uwei

Lengkoa, dan Uwei Hanggira;

4 sungai yang mengalir dari arah timur

ke barat adalah Uwei Wongao, Uwei

Buleli, Uwei Kawana, dan Uwei Tarap;

4 sungai yang mengalir dari arah barat

ke timur adalah Uwei Lengi, Uwei

Hampulo, Uwei Lite, dan Uwei

Bingkolu.

Page 18: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 82

Gambar 3. Peta Geomorfologi dan keletakan situs dalam bentuk tiga dimensi

(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)

Kelompok sungai-sungai ini, pada

pengamatan lapangan, termasuk pada

kelompok sungai yang berstadia Sungai

Tua (old stadium) dan Stadia Sungai

Dewasa (mature river stadium) (Lobeck,

1939; Thornbury, 1964).

Keseluruhan sungai di wilayah

penelitian, memberikan kenampakan Pola

Pengeringan Rectangular dan Pola

pengeringan Centripetal. Pola Rectangular

adalah suatu pola sungai yang cabang-

cabangnya membentuk sudut siku-siku,

pola ini khas pada daerah patahan (fault),

sedangkan Pola Centripetal adalah suatu

pola aliran sungai yang arah alirannya

menuju ke satu titik, yang khas ditemukan

pada daerah yang berbentuk cekungan

(Lobeck, 1939; Thornbury, 1964). Pola

aliran sungai tersebut, memberikan

gambaran bahwa situs-situs Megalitik

Lembah Besoa, terpengaruh oleh stuktur

geologi berupa cekungan dan patahan.

Berdasarkan klasifikasi atas kuantitas air,

maka cuma sungai Uwei Lengi yang

termasuk jenis Sungai Periodik/Permanen,

sedangkan sungai-sungai lainnya termasuk

pada jenis Sungai Episodik/Intermitten

(Lobeck, 1939; Thornbury, 1964).

Berdasarkan hal tersebut, maka Lembah

Besoa tidak mengalami kekurangan

sumberdaya air.

Stratigrafi

Wilayah Lembah Besoa tersusun

oleh batuan (tua-muda) adalah Formasi

Latimojong berumur Kapur-Eosen, dan

batuan termuda adalah Aluvium dan

Endapan Pantai yang berumur Holosen

(Simanjuntak dkk,1997). Secara umum

batuan-batuan tersebut (Gambar 4) dapat

disebutkan sebagai berikut:

Page 19: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

83 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

Aluvium dan Endapan Pantai (Qal)

terdiri atas pasir, lempung, lumpur,

kerikil dan kerakal, serta merupakan

hasil pelapukan batuan penyusun

wilayah penelitian. Satuan batuan ini

terhampar di satuan morfologi dataran

dan di sepanjang sungai-sungai induk di

wilayah penelitian dan berumur

Holosen (Simanjuntak dkk,1997).

Formasi Napu (TQpn) terdiri dari

batupasir, konglomerat, batulanau

dengan sisipan lempung dan gambut.

Umur formasi ini berdasarkan

kandungan fosil adalah Pliosen-

Plistosen yang terendapkan di

lingkungan laut dangkal sampai payau.

Tebal formasi ini diperkirakan sekitar

1000 meter. Satuan ini diduga

menjemari dengan Formasi Puna dan

ditindih tak selaras oleh Endapan

Danau (Simanjuntak dkk,1997).

Granit Kambuno (Tpkg) terdiri atas

granit dan granodiorit. Granit berwarna

putih berbintik hitam, berbutir sedang

sampai kasar. Terdiri atas granit biotit,

hoenblende biotit, mikroleukogranit

dan mikrogranit hornblende-biotit.

Granodiorit mengandung mineral mafik

hornblende. Granit Kambuno termasuk

dalam Mendala Geologi Sulawesi Barat

(Simanjuntak dkk,1997). Granit di

Pegunungan Takolekaju menunjukkan

umur 3,35 juta tahun (Sukamto, 1975),

sehingga umur batuan Granit Kambuno

diduga Pliosen (Simanjuntak

dkk,1997).

Batuan Gunungapi Tineba (Tmtv)

terdiri atas lava andesit hornblende,

lava basal, lava latit luarsa dan breksi.

Lava andesit berwarna kelabu sampai

kehijauan, porfiritik dengan kristal

sulung plagioklas dan hornblende

sebagian plagioklas telah berubah

menjadi serisit, kalsit dan epidot,

sedang sebagian hornblende terubah

menjadi klorit. Lava basal umumnya

mempunyai kristal sulung yang sudah

terubah, sengan massa dasar plagioklas,

serisit, stilbit, kaca dan lempung, lava

latit kuarsa berwarna kelabu, porfiritik,

menunjukkan mineral ubahan lempung,

serisit dan klorit. Breksi berkomponen

andesit-basal berukuran sampai 10

meter cukup termampatkan. Satuan ini

dihasilkan oleh peleleran dari

gunungapi bawah laut. Umur Batuan

Gunungapi Tineba (Tmtv) diduga

Miosen Tengah-Miosen Akhir karena

diterobos oleh granit berumur Pliosen-

Plistosen. Tebal satuan Batuan

Gunungapi Tineba (Tmtv) sekitar 500

meter (Simanjuntak dkk,1997).

Formasi Latimojong (Kls) terdiri dari

perselingan batusabak, filit, greywacke,

Page 20: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 84

batupasir kuarsa, batugamping, argilit,

batulanau dengan sisipan konglomerat,

rijang dan batuan gunungapi. Batusabak

berwarna kelabu tua sampai hitam,

perlapisan masih terlihat baik dengan

tebal 10-20 cm. Filit berwarna kelabu

dan merah kecoklatan, perlapisan tidak

jelas. Graywacke berwarna kelabu

kehijauan, berlapis baik dengan tebal 1-

6 meter. Batupasir kuarsa berwarna

hijau cerah, merah kecoklatan, dan

kelabu terang, berlapis baik.

Batugamping berwarna kelabu tua

sampai kelabu kemerahan.

Konglomerat dengan fragmen andesit

teralterasi dan batupasir, matriks berupa

batupasir dengan kemas terbuka. Rijang

berwarna putih, merah dan coklat,

mengandung fosil radiolarian. Lava

andesit berwarna kelabu, porfiritik dan

teralterasi kuat. Satuan ini tebalnya

lebih dari 1000 meter, berumur Kapur-

Eosen dan terendapkan di lingkungan

laut dalam (Simanjuntak dkk,1997).

Umur Kapur berdasarkan fosil yang

ditemukan di Pegunungan Latimojong

(Brouwer, 1934) dan di daerah Babakan

Lembar Malili (Reyzer, 1920).

Situs-Situs di Lembah Besoa,

umumnya ditemukan di Formasi Aluvium

dan Endapan Pantai, serta di Formasi

Latimojong. Dari formasi-formasi batuan

ini, mampu mempertahankan keberadaan

tinggalan-tinggalan budaya di Lembah

Besoa.

Gambar 4. Peta Geologi menunjukkan keletakan situs pada endapan alluvium dan

endapan pantai, serta Formasi Latimojong (Sumber: Simanjuntak dkk., 1997 dengan pengolahan)

Struktur Geologi

Sesar utama seperti Sesar Palu-

Koro dan Sesar Walanae memberikan

peranan dalam pembentukan sesar-sesar

kecil di sekitarnya (Sompotan, 2012).

Sesar, lipatan ataupun struktur geologi

lainnya dihasilkan dalam beberapa

generasi yang berbeda. Sesar naik utama

Page 21: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

85 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

yang dapat diamati di daerah ini adalah

sesar naik berarah hampir utara-selatan,

termasuk sesar yang memisahkan mandala

Sulawesi Barat dengan Mandala Sulawesi

Timur (Sesar Poso) dan juga Sesar

Wekuli. Di samping itu, dijumpai zona

sesar mendatar besar (Sesar Palu-Koro)

yang berarah barat laut – tenggara. Sesar

ini diduga masih aktif sampai sekarang.

Lipatan yang dijumpai merupakan hasil

dari beberapa pencenangan yang berbeda

sehingga memberikan bentuk dan pola

yang berbeda dari lipatan tegak sampai

rebah, dari lipatan tertutup sampai terbuka.

Diduga paling tidak ada empat generasi

pembentukan lipatan.

Wilayah Megalitik Lembah Besoa

dikelilingi oleh empat sistem sesar yaitu

Sesar Palu-Koro, Sesar Bada, Sesar Palolo,

dan Sesar Malei. Sesar Palu-Koro (Palu-

Koro Fault) yang juga merupakan sesar

utama (main fault) di Pulau Sulawesi.

Sesar Palu-Koro termasuk pada jenis Sesar

Datar (horizontal fault), dengan arah

N170°E. Sesar Palolo yang ditemukan di

Lembah Napu (Napu Valley) termasuk

pada jenis sesar datar (horizontal fault)

yang berarah baratlaut-tenggara. Sesar

Malei yang ditemukan di Lembah Bada

(Bada Valley) termasuk pada jenis Sesar

Normal (normal fault) yang berarah

timurlaut-baratdaya.

Wilayah pengamatan berupa cekungan

dikenal dengan nama Lembah Besoa

(Besoa Valley) yang terletak di sebelah

timur Sesar Palu-Koro, dan di sebelah

timur Lembah Besoa merupakan suatu

sesar yang dinamakan Sesar Bada (bada

fault) dari jenis sesar normal yang arahnya

sejajar dengan Sesar Palu Koro. Lembah

Besoa (Besoa Valley) merupakan suatu

graben dan disebut pula dengan Basin

Quarternaire, yaitu cekungan yang

terbentuk Zaman Kuarter (gambar 5 dan

6).

Gambar 5. Peta struktur geologi dan posisi situs-situs di antara sesar geser Granit

Kambuno dan sesar geser Napu-Latimojong (Sumber: Simanjuntak dkk., 1997 dengan pengolahan)

Page 22: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 86

Gambar 6. Megalitik Lembah Besoa terletak di antara Zona Sesar Palu-Koro (sebelah barat), dan Danau Poso (sebelah timur) dalam bentuk tiga dimensi (Sumber: Penulis,

2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)

Megalitik Lembah Besoa

Menurut Yuniawati (2000), di

Lembah Besoa terdapat 14 situs di empat

desa, yaitu Desa Hanggira (Entovera,

Padang Hadoa, Tunduwanua, dan

Pokekea), Desa Doda (Tadulako, Bukit

Marane, dan Mungku Dana), Desa Lempe

(Padang Taipa, Padalalu, Potabakoa,

Watumodalu, dan Halodo), Desa Bariri

(Padang Masora, dan Bangkeluho)

(Yuniawati, 2000). Namun pada penelitian

ini, situs-situs megalitik yang dikunjungi

di Lembah Besoa, berada di Desa

Hanggira, Desa Bariri, dan Desa Doda

yang termasuk wilayah Kecamatan Lore

Tengah, Kabupaten Poso. Adapun situs-

situs tersebut (gambar 7) adalah sebagai

berikut:

Situs Enterowa termasuk wilayah

Desa Hanggira, berada pada koordinat

01°43'14" Lintang Selatan dan

120°12'05" Bujur Timur, dengan

ketinggian 1237 meter dpl. Situs

Enterowa terletak di lereng bukit,

dengan kondisi lingkungan berupa

padang yang ditumbuhi alang-alang,

pakis padang, dan beberapa tanaman

padang lainnya. Tinggalan arkeologi di

situs ini berupa batu tegak, dolmen,

lesung batu, kalamba, arca berbentuk

manusia (monyet?). Temuan-temuan

tersebut umumnya ditemukan tidak

Page 23: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

87 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

utuh dan berserakan (tidak berpola)

(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).

Situs Tondowanua termasuk wilayah

Desa Hanggira, berada pada koordinat

01°42'44" Lintang Selatan dan

120°11'54" Bujur Timur, dengan

ketinggian 1236 meter dpl. Situs

Tondowanua terletak di lereng bukit,

dengan kondisi lingkungan berupa

hutan dengan tanaman pohon yang agak

besar. Tinggalan arkeologi di situs ini

berupa kalamba, dan arca megalitik

(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).

Situs Pokekea termasuk wilayah Desa

Hanggira, berada pada koordinat

01°41'35" Lintang Selatan dan

120°12'40" Bujur Timur, dengan

ketinggian 1211 meter dpl. Situs

Pokekea terletak di lereng bukit,

dengan kondisi lingkungan berupa

padang yang ditumbuhi alang-alang,

pakis padang, dan beberapa tanaman

padang lainnya. Tinggalan arkeologi di

situs ini berupa kalamba, penutup

kalamba yang di atasnya terdapat arca

manusia (monyet?), baik yang berjajar

empat maupun di sudut-sudut penutup,

arca megalitik, batu datar, batu dakon,

dolmen, lumpang batu, palung batu,

batu bergores, tempayan kubur, manik-

manik, dan fragmen tembikar (Sofyan,

dkk., 2004; Siswanto, 2007:34-46;

Yuniawati, 2000).

Situs Bangkeluho termasuk wilayah

Desa Bariri, berada pada koordinat

01°41'04" Lintang Selatan dan

120°14'15" Bujur Timur, dengan

ketinggian 1204 meter dpl. Situs

Bangkeluho terletak di puncak bukit,

dengan kondisi lingkungan berupa

padang yang ditumbuhi alang-alang,

pakis padang, dan beberapa tanaman

padang lainnya. Tinggalan arkeologi di

situs ini adalah kalamba, batu datar,

arca megalitik, dan fragmen gerabah.

Arca megalitik ini menghadap ke

Sungai Torire (arah selatan) dengan

jarak ± 20 meter dari sungai (Sofyan,

dkk., 2004; Yuniawati, 2000).

Situs Padang Masora termasuk

wilayah Desa Bariri, berada pada

koordinat 01°42'11" Lintang Selatan

dan 120°14'39" Bujur Timur, dengan

ketinggian 1199 meter dpl. Situs

Padang Masora terletak di lereng bukit,

dengan kondisi lingkungan berupa

padang yang ditumbuhi alang-alang,

pakis padang, dan beberapa tanaman

padang lainnya. Tinggalan arkeologi di

situs ini adalah altar dengan 3 buah kaki

berhias manusia (monyet?), batu alam

(singkapan batuan?) berhias kerbau.

Tinggalan arkeologi umumnya terbuat

Page 24: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 88

dari batupasir. Dari batu berhias ke arah

barat laut (N310°) dengan jarak ± 500

meter, masyarakat setempat menggali

lereng bukit untuk dijadikan kandang

ternak, panjang yang telah di gali oleh

masyarakat tersebut ± 60-70 meter

dengan kedalaman 1 meter. Galian

tersebut membentuk sebuah tebing,

dimana tebing tersebut ditemukan

tempayan-tempayan pada kedalaman ±

70 cm sepanjang tebing tersebut.

Ukuran mulut tempayan mulai dari 20

cm; 40 cm hingga 50 cm, sedangkan

ukuran perut tempayan mulai dari 40

cm; 100 cm hingga 140 cm (Sofyan,

dkk., 2004; Yuniawati, 2000).

Bukit Tadulako-1 (Situs Tadulako)

termasuk wilayah Desa Doda, berada

pada koordinat 01°42'37" lintang

selatan dan 120°15'20" bujur timur,

dengan ketinggian 1217 meter dpl.

Kondisi lingkungan berupa padang

yang ditumbuhi alang-alang, pakis

padang, dan beberapa tanaman padang

lainnya. Tinggalan arkeologinya adalah

3 kalamba, 4 batu dakon, dan 1 arca

megalitik (Sofyan, dkk., 2004;

Yuniawati, 2000).

Bukit Tadulako-2 (Situs Tadulako)

termasuk wilayah Desa Doda, berada

pada koordinat 01°42'40" Lintang

Selatan dan 120°15'42" Bujur Timur,

dengan ketinggian 1240 meter dpl.

Kondisi lingkungan berupa padang

yang ditumbuhi alang-alang, pakis

padang, dan beberapa tanaman padang

lainnya. Tinggalan arkeologisnya

adalah 5 kalamba (Sofyan, dkk., 2004;

Yuniawati, 2000).

Bukit Tadulako-3 (Situs Tadulako)

termasuk wilayah Desa Doda, berada

pada koordinat 01°42'44" Lintang

Selatan dan 120°15'33" Bujur Timur,

dengan ketinggian 1232 meter dpl.

Kondisi lingkungan berupa padang

yang ditumbuhi alang-alang, pakis

padang, dan beberapa tanaman padang

lainnya. Tinggalan arkeologisnya

adalah 2 kalamba (Sofyan, dkk., 2004;

Yuniawati, 2000).

Bukit Buleli-1 (Situs Tadulako)

termasuk wilayah Desa Doda, berada

pada koordinat 01°42'41" Lintang

Selatan dan 120°15'48" Bujur Timur,

dengan ketinggian 1255 meter dpl.

Kondisi lingkungan berupa padang

yang ditumbuhi alang-alang, pakis

padang, dan beberapa tanaman padang

lainnya. Tinggalan arkeologisnya

adalah 1 kalamba dan batu temu gelang

(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).

Bukit Buleli-2 (Situs Tadulako)

termasuk wilayah Desa Doda, berada

pada koordinat 01°42'44" Lintang

Page 25: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

89 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

Selatan dan 120°15'58" bujur timur,

dengan ketinggian 1261 meter dpl.

Kondisi lingkungan berupa padang

yang ditumbuhi alang-alang, pakis

padang, dan beberapa tanaman padang

lainnya. Tinggalan arkeologisnya

adalah boulder batuan yang berhias

kepala manusia, dan batu dakon

(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).

Dengan melihat kondisi geologi

Lembah Besoa, kesepuluh situs tersebut

berasal dari kala Holosen, yang didasarkan

pada penentuan Umur Mutlak (C14)

tinggalan megalitik di Lore (termasuk

Lembah Besoa) telah ada sejak 2000 tahun

sebelum Masehi (Swastikawati, dkk.,

2014;17-37).

Gambar 7. Keletakan situs Megalitik Lembah Besoa pada Peta Topografi

(Sumber: Lembar Pasangkaju Indonesia SA 50-8 Edition 1-AMS 1962 dengan pengolahan)

Menurut Sukendar (1993), arca

menhir yang ditemukan, baik di situs-situs

peninggalan megalitik dari masa

prasejarah maupun di situs-situs tradisi

megalitik yang berlanjut (living megalithic

tradition) merupakan bukti bahwa arca ini

memegang peranan pada setiap tingkat

perkembangan tradisi megalitik. Arca-arca

menhir di situs peninggalan tradisi

megalitik prasejarah (Sukendar, 1993)

dijumpai di Provinsi Sumatera Barat di

Kotogadang, Limapuluh Koto (Sukendar

1984, 1985, 1986), Provinsi Sumatera

Selatan di Mingkik, Lahat (Van der Hoop,

1932), Provinsi Lampung di Liwa,

Lampung Utara (Sukendar 1976), Provinsi

Jawa Barat di Ciamis, Kuningan (Rumbi

Mulia 1980: 599 - 645), Provinsi D.I.Y. di

Sokoliman, Gondang, Playen (Gunung

Kidul) (Van der Hoop, 1935; Sukendar,

1970), Provinsi Jawa Timur di Sukasari,

Bondowoso (Van Heekeren 1931, 1958),

Provinsi Sulawesi Tengah di Napu, Besoa,

Bada, Poso (Kaudern, 1938).

Adapun arca-arca menhir dari situs

tradisi megalitik yang berlanjut ditemukan

Page 26: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 90

(Sukendar, 1993) antara lain di Provinsi

Sumatera Utara di Simalungun (Batak)

dan Nias (Sukendar, 1981; Rumbi Mulia,

1981; Schnitger 1964), Provinsi Nusa

Tenggara Timur di Makatakere, Tarung,

Sumba (Soejono, 1982), Provinsi Timor

Timur, Kewar, Lewalutas (Belu) (R.P.

Soejono, 1982). Arca-arca menhir tersebut

merupakan salah satu unsur dari hasil

tradisi megalitik yang ditemukan

terpencar-pencar di seluruh Indonesia

(Sukendar, 1993).

Tektonik dan Situs

Secara tektonis Pulau Sulawesi dibagi

dalam empat mintakat yang didasari atas

sejarah pembentukannya yaitu Sulawesi

Barat, Sulawesi Timur, Banggai-Sula dan

Sulawesi Tengah yang bersatu pada kala

Miosen-Pliosen oleh interaksi antara

lempeng Pasifik, Australia terhadap

lempeng Asia. Interaksi ketiga lempeng

tersebut memberikan pengaruh besar,

sedikitnya 9 aktivitas tektonik Neogen

(Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10), yaitu

patahan Walanae, patahan Palu-Koro,

patahan Matano-Lawanoppo, patahan

Kolaka, patahan Paternoster, patahan

Gorontalo, patahan naik Batui-Balantak,

subduksi lempeng Laut Sulawesi dan

subduksi lempeng Maluku. Dari

kesembilan unsur tektonik dan struktur

geologi? tersebut, posisi Megalitik

Lembah Besoa merupakan bagian dari

Patahan Palu-Koro (Palu-Koro Fault)

(Gambar 8), yang memanjang dari utara

(Palu) ke selatan (Malili) hingga Teluk

Bone, sepanjang ±240 km. Patahan Palu-

Koro bersifat sinistral dan aktif dengan

kecepatan sekitar 25-30 mm/tahun

(Kertapati, 2006; Permana, 2005). Patahan

Palu-Koro berhubungan dengan patahan

Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari,

sedangkan di ujung utara melalui Selat

Makassar berpotongan dengan zona

subduksi lempeng Laut Sulawesi

(Kaharuddin MS. dkk., 2011:1-10).

Posisi tektonik regional Sulawesi

sangat kritis, terletak di antara tiga mega

lempeng dunia yang saling bergerak

dengan arah yang berbeda, terlebih

mendapat dorongan gerakan mendatar

(translasi) oleh mikrokontinen Banggai-

Sula, Buton dan Tukang Besi yang

tersesarkan lateral ke arah barat sejauh

ribuan kilometer melalui Sesar Sorong

(Endharto, 2000:14-45). Mekanisme ini

sangat berpengaruh terhadap

perkembangan tektonik di daerah Sulawesi

secara keseluruhan. Didasarkan atas

kenampakan fisik batuan maka daerah

studi termasuk ke dalam segmen yang

truktur makro yang bekerja di zona

tersebut.

Page 27: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

91 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

Gambar 8. Megalitik Lembah Besoa, merupakan bagian Patahan Palu-Koro (Palu-

Koro Fault) (Sumber: Silver dkk., 1983:9407-9418; Kaharuddin MS. dkk., 2011:1-10, dengan pengolahan)

Posisi tektonik regional Sulawesi

sangat kritis, terletak di antara tiga mega

lempeng dunia yang saling bergerak

dengan arah yang berbeda, terlebih

mendapat dorongan gerakan mendatar

(translasi) oleh mikrokontinen Banggai-

Sula, Buton dan Tukang Besi yang

tersesarkan lateral ke arah barat sejauh

ribuan kilometer melalui Sesar Sorong

(Endharto, 2000:14-45). Mekanisme ini

sangat berpengaruh terhadap

perkembangan tektonik di daerah Sulawesi

secara keseluruhan. Didasarkan atas

kenampakan fisik batuan maka daerah

studi termasuk ke dalam segmen yang

struktur makro yang bekerja di zona

tersebut.

Di daerah Poso dan sekitarnya

terdapat 3 mandala geologi yang memiliki

ciri batuan dan sejarah pencenanggaan

yang berbeda yaitu; 1) Mandala Sulawesi

Barat di bagian barat; 2) Mandala

Sulawesi Timur di bagian tengah dan

timur dan; 3) Mandala Banggai-Sula di

bagian paling timur. Pada kala Plio-

Plistosen seluruh daerah tersebut (Pulau

Sulawesi) mengalami pencenanggan serta

penerobosan oleh granit yang sebelumnya

hanya terjadi di Mandala Sulawesi Barat.

Page 28: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 92

Setelah itu diikuti pengangkatan di seluruh

daerah hingga menghasilkan kenampakan

bentang alam seperti sekarang

(Simanjuntak dkk,1997). Berbeda dengan

Simanjuntak, dkk., 1997, Sompotan

(2012), membagi Sulawesi dan pulau-

pulau sekitarnya menjadi empat mandala

yang didasarkan atas struktur litotektonik,

yaitu a) Mandala Barat (West & North

Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) sebagai

jalur magmatik yang merupakan bagian

ujung timur Paparan Sunda; b) Mandala

Tengah (Central Sulawesi Metamorphic

Belt) berupa batuan malihan yang

ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian

dari blok Australia; c) Mandala Timur

(East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa

ofiolit yang merupakan segmen dari kerak

samudera berimbrikasi dan batuan

sedimen berumur Trias-Miosen; dan d)

Fragmen Benua Banggai-Sula-Tukang

Besi, kepulauan paling timur dan tenggara

Sulawesi yang merupakan pecahan benua

yang berpindah ke arah barat karena

strike-slip faults dari New Guinea

(Gambar 9).

Gambar 9. Megalitik Lembah Besoa termasuk kedalam Mandala Tengah (Central

Sulawesi Metamorphic Belt) (Sumber: Sompotan, 2012 dengan pengolahan)

Berdasarkan pembagian oleh

Sompotan (2012), maka wilayah Megalitik

Lembah Besoa termasuk kedalam Mandala

Tengah (Central Sulawesi Metamorphic

Belt) (Gambar 10), yang tersusun oleh

batuan magmatik potassic calc-alkaline

berusia Akhir Miosen di Sulawesi Tengah

terdapat di bagian kiri bentangan zona

sesar Palu-Koro, di mana batuan granit di

wilayah tersebut berkorelasi dengan

subduksi microcontinent Banggai-Sula

dengan Pulau Sulawesi pada pertengahan

Miosen. Berdasarkan aspek petrografi,

batuan granit berumur Neogen. Batuan

granit ini berwarna putih bersih

mengandung sejumlah biotites sebagai

mineral mafik tunggal, granit tersingkap

di antara daerah Sadaonta dan Kulawi.

Page 29: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

93 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

Gambar 10. Keletakan Megalitik Lembah Besoa pada Mandala Tengah (Central

Sulawesi Metamorphic Belt) (Sumber: Villeneuve dkk., 2002 dalam Sompotan, 2012 dengan pengolahan)

Aktivitas tektonik di Pulau Sulawesi,

juga memberikan dampak signifikan

terhadap situs-situs di Lembah Besoa,

terlihat dari tinggalan-tingalan budaya

yang masih berdiri, walaupun tidak tegak

lagi hingga saat ini.

Kegempaan dan Situs

Lempeng mikro Pulau Sulawesi diapit

oleh lempeng-lempeng besar Australia,

Pasifik, Asia dan Laut Sulawesi, sehingga

ancaman akan bencana gempa dan tsunami

berpotensi besar. Gempa bumi yang

disebabkan oleh faktor antara lain

pergerakan lempeng bumi menimbulkan

gempa tektonik, letusan gunung api

menghasilkan gempa gunung api dan

runtuhan lapisan batuan yang disebut

gempa runtuhan (Kaharuddin MS. dkk.,

2011;1-10). Berdasarkan kedalaman fokus

gempa, dikenal ada tiga jenis gempa yaitu

gempa dangkal dengan fokus gempa lebih

kecil dari 60 km, gempa menengah fokus

gempa antara 60 – 300 km dan gempa

dalam fokus gempanya lebih besar dari

300 km. Lokasi-lokasi atau titik gempa

pada umumnya bergenerasi pada daerah

persinggungan dan perpotongan patahan

Page 30: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 94

atau daerah tumbukan lempeng, di mana

pada daerah ini lempeng-lempeng bumi

saling berinteraksi dan saling menghalang-

halangi laju pergerakannya sehingga dapat

menampung dan melepaskan energi dalam

bentuk gempa bumi. Berdasarkan hal

tersebut di atas maka daerah yang

berpotensi terjadi gempa adalah sepanjang

jalur patahan Walanae, Patahan Palu-Koro,

Matano-Lawanoppo, Kolaka-Teluk Bone,

Paternoster Selat Makassar dan sekitarnya,

Gorontalo dan Manado serta jalur patahan

Batui-Balantak-Sorong (Kaharuddin MS.

dkk., 2011;1-10) (Gambar 11).

Gambar 11. Keletakan Megalitik Lembah Besoa dalam peta tektonik, kegempaan dan

tsunami Sulawesi (Sumber: Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10 dengan pengolahan)

Daerah Sulawesi Tengah merupakan

salah satu daerah rawan bencana gempa

bumi di Indonesia (Supartoyo dkk., 2008),

karena terletak dekat dengan sumber

gempa bumi yang berada di darat dan di

laut. Sumber-sumber gempa bumi tersebut

terbentuk akibat proses tektonik yang

terjadi sebelumnya. Sumber gempa bumi di

laut berasal dari penunjaman Sulawesi Utara

yang terletak di sebelah utara Pulau

Sulawesi, sedangkan sumber gempa bumi

di darat bersumber dari beberapa sesar aktif

di daratan Sulawesi Tengah, salah satunya

adalah Sesar Palu Koro (Supartoyo dkk.,

2014:111-128). Sesar Palu Koro

merupakan sesar utama di Pulau Sulawesi

dan tergolong sebagai sesar aktif (Bellier

dkk., 2001:463:470).

Page 31: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

95 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

Wilayah Sulawesi Tengah paling tidak

telah mengalami 19 kali kejadian gempa

bumi merusak (destructive earthquake) sejak

tahun 1910 hingga 2013 (Supartoyo dkk.,

2008). Beberapa kejadian gempa bumi

yang merusak, pusat gempa buminya

terletak di darat. Kejadian gempa bumi

dengan pusat gempa bumi terletak di darat

di sekitar lembah Palu Koro diperkirakan

berkaitan dengan aktivitas Sesar Palu

(Supartoyo dkk., 2014:111-128) (Gambar

12).

Gambar 12. Keletakan Megalitik Lembah Besoa dalam Peta Pusat Gempabumi Pulau

Sulawesi (Sumber: Supartoyo dkk., 2014:111-128 dengan pengolahan)

Sesar Palu-Koro merupakan

patahan kerak bumi (sesar) yang

berdimensi cukup besar di mana sesar ini

memanjang mulai dari Selat Makassar

sampai pantai utara Teluk Bone dengan

panjang patahan sekitar 500 km. Ditinjau

dari kedalaman gempa buminya, aktivitas

gempa bumi di zona Palu-Koro ini tampak

didominasi oleh gempa bumi kedalaman

dangkal antara 0 hingga 60 kilometer dan

Page 32: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 96

terkonsentrasi hampir merata, baik di lepas

pantai maupun di daratan. Sesar yang

merupakan pertemuan lempeng-lempeng

tektonik di bawah perut bumi itu jenis

sesar aktif yang terus bergerak satu sama

lain dan memiliki sifat pergeseran sinistral

(pergeseran ke arah kanan) dengan

kecepatan geser sekitar 14-17 mm/tahun.

Pergeseran pada lempeng-lempeng

tektonik yang cukup aktif di Sesar Palu-

Koro membuat tingkat kegempaan di

wilayah itu (termasuk Kawasan Lembah

Besoa) juga dikategorikan cukup tinggi

(Supartoyo dkk., 2014:111-128).

Dari beberapa pendapat ahli

(Supartoyo dkk., 2014:111-128;

Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10; Bellier

dkk., 2001:463:470), dikatakan bahwa

wilayah Sulawesi Tengah (termasuk lokasi

Megalitik Lembah Besoa) berada pada

zona rawan gempa bumi. Kedalaman

gempa bumi di zona Sesar Palu-Koro

termasuk dangkal (0-60 km) dan

terkonsentrasi di darat dan di laut.

Pergeseran lempeng tektonik yang cukup

aktif di Sesar Palu-Koro, membuat

wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan

terhadap gempa bumi.

Untuk menghindari kehancuran

tinggalan budaya di Lembah Besoa, maka

yang perlu diperhatikan dalam

pembangunan museum lapangan,

sebaiknya menggunakan bangunan anti

gempa (misalnya bangunan bertiang dari

kayu), perlu dilakukan konseravasi

terhadap tinggalan budaya yang

diakibatkan oleh suhu dan kelembaban

yang tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh

Swastikawati, dkk., (2014) bahwa

pemasangan cungkup (shelter) atau

bangunan beratap tidak berdinding yang

berfungsi untuk melindungi artefak cagar

budaya dari hujan dan sinar matahari

langsung. Pemasangan cungkup (shelter)

termasuk dalam preventive conservation,

yang bertujuan mengurangi jumlah air

hujan yang mencapai batu dan

menstabilkan suhu dan kelembaban batu.

Tetapi tindakan ini dapat dianggap sebagai

visual pollution atau polusi pemandangan

karena akan merusak pemandangan asli

dari situs Megalitik Lembah Besoa,

kecuali untuk artefak-artefak yang sudah

tidak in situ, misalnya untuk beberapa

artefak yang sudah dipindah ke Museum

Negeri Palu. Oleh karena pemasangan

cungkup pada tinggalan Megalitik di

Lembah Besoa yang masih in situ harus

melalui pertimbangan yang matang

terutama dari aspek arkeologi

(Swastikawati, dkk., 2014;17-37).

Page 33: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

97 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

PENUTUP

Kehidupan manusia masa prasejarah

khususnya kala Plestosen akhir sampai

awal Holosen dalam mempertahankan

hidupnya masih sangat bergantung pada

ketersediaan lingkungan alam sekitarnya.

Seiring dengan tingkat kecerdasan dan

teknologi yang dikenalnya, manusia saat

itu lebih mampu mempertahankan

hidupnya dan mengeksploitasi alam

daripada masa sebelumnya yang masih

mengembara, hal tersebut ditunjukkan

dalam pola hidup mereka untuk bertempat

tinggal yang lebih menetap dengan

memanfaatkan sumberdaya alam yang

melimpah (Nurani, 2005:1-10).

Berdasarkan penentuan Umur Mutlak

(C14) tinggalan megalitik di Lore

(termasuk Lembah Besoa) telah ada sejak

2000 tahun sebelum Masehi. Tinggalan

megalitik tersebut diperkirakan dahulu

berfungsi sebagai patung pemujaan nenek

moyang, juga berfungsi sebagai tanda

batas daerah kekuasaan, dan juga

merupakan tempat kuburan komunal dari

para kaum bangsawan di wilayah tersebut

pada zaman dulu (Swastikawati, dkk.,

2014;17-37).

Secara tektonik Pulau Sulawesi dibagi

dalam empat mintakat yang didasarkan

pada sejarah terbentuknya. Interaksi ketiga

lempeng (Pasifik, Australia, dan Asia)

memberikan pengaruh cukup besar

terhadap kejadian bencana alam geologi di

Sulawesi. Selain itu, dikatakan ada 9 unsur

tektonik dan struktur yang memicu

terjadinya bencana alam, salah satunya

adalah Patahan Palu-Koro (termasuk

Megalitik Lembah Besoa), yang bersifat

sinistral dan aktif, dengan kecepatan

sekitar 25-30 mm/tahun. Dari beberapa

pendapat ahli, dikatakan bahwa lokasi

Megalitik Lembah Besoa berada pada

zona rawan gempa bumi. Kedalaman

gempa bumi di zona Sesar Palu-Koro

termasuk dangkal (0-60 km) dan

terkonsentrasi di darat dan di laut.

Pergeseran lempeng tektonik yang cukup

aktif di Sesar Palu-Koro, membuat

wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan

terhadap gempa bumi.

Ketinggian wilayah Megalitik Lembah

Besoa dan sekitarnya, berkisar antara 1190

dan 1265 meter di atas permukaan laut.

Berdasarkan pola sungai, formasi batuan

dan struktur gologi sebagai penyusun

wilayah Megalitik Lembah Besoa, maka

untuk menghindari kehancuran tinggalan

budaya di wilayah tersebut, maka perlu

diperhatikan dalam pemasangan cungkup

dan pembangunan museum lapangan,

sebaiknya menggunakan bangunan anti

gempa (misalnya bangunan bertiang dari

kayu), perlu dilakukan konseravasi

Page 34: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 98

terhadap tinggalan budaya yang

diakibatkan oleh suhu dan kelembaban

yang tinggi, melalui pertimbangan yang

matang terutama dari aspek arkeologi

Berdasarkan hasil integrasi peta

yang terkait dengan tektonik dan struktur

terhadap situs-situs Megalitik Lembah

Besoa, maka dihasilkan data mengenai

pemilihan lokasi situs (pada masa lampau)

yang terletak pada yang rawan.

Penempatan lokasi situs, terpaksa

dilakukan karena wilayah tersebut

merupakan daerah relatif tidak stabil,

namun masyarakat pendukung Megalitik

Lembah Besoa itu, tetap memperhatikan

aspek-aspek sumberdaya alam yang akan

mendukung kelangsungan hidup mereka,

yaitu air, bahan makanan, dan bahan baku

peralatan sehari-hari (batuan untuk artefak

dan tanah untuk tembikar) sehingga dapat

dikatakan bahwa konsep adaptasi telah

dimanfaatkan oleh manusia pendukung

situs tersebut. Seperti yang dinyatakan

oleh Eriawati (1999), bahwa manusia

dalam beradaptasi saling terkait dengan

lingkungan. Keterkaitan itu sifatnya

dinamis sehingga manusia secara terus

menerus memodifikasi perilakunya yang

terpilih agar dapat menjawab setiap

tantangan yang ada, sehingga dapat

menyesuaikan diri (adaptif) terhadap

lingkungannya. Salah satu pilihan yang

paling tepat untuk menjawab tantangan

lingkungan itu adalah kemampuan

teknologinya. Dengan teknologi manusia

mampu bukan hanya menyesuaikan tetapi

memodifikasi lingkungan sesuai dengan

kebutuhan yang diperlukan. Berbagai

proses yang memungkinkan manusia

bertahan (survive) terhadap tantangan

kondisi lingkungan membuktikan

kemampuan manusia untuk beradaptasi

(Eriawati, 1997). Sedangkan Saptomo

(2008) menyatakan bahwa manusia

membutuhkan sejumlah kebutuhan dasar

untuk bertahan hidup. Oleh karena itu

pemilihan lokasi untuk bertempat tingga

atau pemukiman menjadi salah satu

pertimbangan pokok yang selalu

diperhatikan. Umumnya mereka memilih

lokasi yang memiliki sumberdaya

lingkungan yang melimpah, lokasi yang

nyaman dan aman (Saptomo, 2008).

Page 35: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

99 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

DAFTAR PUSTAKA

Army Map Service. 1962. Peta Topografi Lembar SA 508 (Pasangkaju) Series T508 Edition 1-AMS, Indonesia 1:250.000.

Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia. vol.IA, Martinus Nijhoff, The Hague.

Bellier, O., Sbrier, M., Beaudouin, T., Villeneuve, M., Braucher, R., Bourles, D., Siame, L., Putranto, E., dan Pratomo, I., 2001 High Slip Rate for a Low Seismicity along the Palu Koro Active Fault in Central Sulawesi (Indonesia), Blackwell Science Ltd., Terra Nova, 13, 463 – 470.

Brouwer, A. 1934. Geologische onderzoekingen op het eiland Celebes. Verh. Geol. Mijnb. Gen. Ned. & Kol. Geol. Serie, 10, 39-171.

Desaunettes, J R. 1977. “Catalogue of Landforms for Indonesia": Examples of a Physiographic Approach to Land Evaluation for Agricultural Development.” Unpublished. Bogor: Trust Fund of the Government of Indonesia Food and Agriculture Organization.

Endharto, MAC. 2000. "Studi Stratigrafi Kaitannya Dengan Perkembangan Struktur Geologi di Kawasan Latimojong Lengan Barat Sulawesi". Jurnal Geologi Dan Sumberdaya Mineral. No. 107. Vol. X. Agustus 2000. Hal. 14-45. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi.

Eriawati, Y.J. 1999. “Adaptasi Penghuni Gua Prasejarah Leang Burung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan”. Tesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok: Universitas Indonesia.

Hall, R. 2002. "Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW Pacific: computer-based reconstructions, model and animations". Journal of Asian Earth Sciences, v.20, p.353-431.

Iksam. 2005. "Peninggalan Arkeologi Di Lembah Kulawi Sulawesi Tengah". Hal.1-13. Kongres dan PIA ke-10. Yogyakarta, 26–30 September 2005.

Jarvis, A., H.I. Reuter, A. Nelson, dan E. Guevara. 2008. Hole-filled seamless SRTM data V4. Center for Tropical Agliculture (CIAT).

Kaharuddin MS, Ronald Hutagalung, Nurhamdan. 2011. Perkembangan Tektonik Dan Implikasinya Terhadap Potensi Gempa Dan Tsunami Di Kawasan Pulau Sulawesi. Hal.1-10. Proceedings JCM Makassar 2011 The 36th HAGI and 40th IAGI Annual Convention and Exhibition Makassar, 26-29 September 2011

Kertapati, E.K. 2006. Aktivitas Gempabumi di Indonesia. Departeman Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan Geologi, Pusat Survei Geologi, Bandung.

Nurani, Indah Asikin. 2005. "Pola Pemanfaatan Gua Pada Kehidupan Manusia Prasejarah di Jawa Timur". Hal.1-10. PIA-Kongres IAAI X, Yogyakarta, 26 – 30 September 2005.

Lobeck, A.K. 1939. Geomorphology, An Introduction To The Study of Landscape. Mc Graw Hill Book Company Inc, New York and London.

Permana, H. 2005. "Potensi Bencana Geologi Kawasan Timur Indonesia, Tektonik Aktif dan Gempabumi Palu". Pertemuan Ilmiah Tahunan, Forum Himpunan Mahasiswa Geologi Indonesia VIII, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Reyzer, J. 1920. Geologische aanteekeningen betreffende de zuidelijke Toradjalanden (Celebes). Jaarb. Mijnw. Ned. Ind. 1918, Ver. I, 154-209, Batavia 1920

Page 36: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 100

Saptomo E. Wahyu. 2008. “Adaptasi Manusia Di Situs Liang Panas, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Tesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok: Universitas Indonesia.

Silver, E.A., R. McCaffrey, and B. Smith. 1983. "Collision, Rotation, and Initation of Subduction In the Evolution of Sulawesi, Indonesia". Journal of Geophysical Research, vol. 88, No. B11. p.9407-9418, November 10, 1983.

Simanjuntak T. O., Surono, Supanjono J.B., .1997. Peta Geologi Lembar Poso, Sulawesi. Edisi-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Simanjuntak, T. O. 1993. "Neogene Plate Convergence in Eastern Sulawesi". Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral. No. 25. Vol.VIII. Hal. 2-15.

Siswanto, Joko. 2007. "Permukiman Masyarakat Di Situs Pokekea, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah". Bulletin Jejak-Jejak Arkeologi No. 7. Tahun 2007. Hal. 34-46. Balai Arkeologi Manado.

Sofyan Arfian, Intan S. Fadhlan M. Sutrisno. 2004. "Penelitian Arkeometri Pada Situs-Situs Megalitik Di Kawasan Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah". Laporan Penelitian Arkeologi, Bidang Kajian Arkeometri, Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Sofyan Arfian, Intan S. Fadhlan M. 2007. "Analisis Laboratoris Temuan Gerabah dari Situs Megalitik Lembah Besoa". Bulletin Jejak-Jejak Arkeologi No. 6, Tahun 2006, Hal.119-130, Balai Arkeologi Manado.

Sompotan F. Armstrong. 2012. Struktur Geologi Sulawesi. Perpustakan Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung.

Sukamto, R. 1975. The structure of Sulawesi in the light of plate tectonic. Proceedings of the Regional Conference on the Geology and Mineral Resources in South East Asia, p. 1-25.

Sukendar, Haris. 1993. “Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya Dalam Peribadatan". Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Supartoyo dan Surono. 2008. Katalog Gempa bumi Merusak di Indonesia Tahun 1629 – 2007, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Bandung.

Supartoyo, Sulaiman C., Junaedi D. 2014. "Kelas Tektonik Sesar Palu Koro, Sulawesi Tengah". Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol.5, No.2 Agustus 2014, Hal.111-128.

Swastikawati Ari, Arif Gunawan dan Yudhi Atmaja. 2014. "Kajian Konservasi Tinggalan Megalitik di Lore, Sulawesi Tengah". Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, hal. 17-37.

Thornbury, W.D. 1964. Principle of Geomorphology. New York, London, John Wiley and sons, inc.

Todd D.K. 1980. Groundwater Hidrology. John Wiley & Sons Inc, New York. Yuniawati, Dwi Yani. 2000. "Laporan Penelitian di Situs Megalitik Lembah Besoa,

Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah". Berita Penelitian Arkeologi No. 50, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, Jakarta.

Page 37: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

101 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan

STUDI KASUS PATOLOGI GIGI: KARIES PADA RANGKA MANUSIA ST1, SONG TERUS, PACITAN, JAWA TIMUR ( Dental Pathology Case Study: Caries On ST1 Human Remains, Song Terus, Pacitan, East Java)

Anita Tamu Ina1*, Dyah Prastiningtyas2, Harry Widianto3, Florent Détroit4, Ferry Fredy Karwur5,

Andri Purnomo6, Anne-Marie Sémah7, dan François Sémah4

1Program Studi Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 2Center for Prehistory and Austronesian Studies, Jakarta 3Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta 4Département de Préhistoire, Muséum national d'Histoire naturelle, Paris, France 5Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 6Program Studi Magister Studi Pembangunan dan Interdisiplin, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 7Institut de Recherce Pour le Developpement, France e-mail: [email protected]

INFO ARTIKEL

Keywords Caries, Dental pathology, Song Terus, Early Holocene, East Java

Kata Kunci Caries, Patologi gigi, Song Terus, Holosen Awal, Jawa Timur

ABSTRACT

Human remains found in Song Terus (Pacitan, East Java), known as ST1, presented an opportunity of in-depth study in reconstructing how human lived during Early Holocene period in the area. This article focuses on palaeopathological aspects by examining lesions of disease observable in bones and dentition of human remains found in archaeological context. The research done for this article focuses more on dental remains, as teeth are known to have durability and longevity as archaeological finds, and could also provide information on age-at-death, types of diet, and oral diseases which may occurred during a person’s life. Dental caries is one of the most common type of oral disease found in archaeological context. Research methods used are macroscopic observation and literature reference comparison.. Results showed there were nine dentition on this individual (from a total of 27 identified dentition) suffered from caries with various degree of severity. Other types of oral disease noted during observation and analysis were periodontal disease. ST1 might have been suffering from severe caries due to lack of oral hygiene, as well as minimum dental treatment towards emerging oral disease. Nevertheless, these diseases did not seem to be directly caused by ST1’s dietary habit during lifetime. ABSTRAK

Temuan rangka manusia ST1 di Song Terus (Pacitan, Jawa Timur) memberikan peluang untuk menelusuri lebih jauh pola kehidupan manusia pada periode Holosen Awal di wilayah ini. Artikel ini berfokus pada aspek paleopatologi yang merupakan salah satu kajian ilmu dalam menelusuri jejak kehidupan manusia di masa lalu melalui penyakit pada tulang dan gigi manusia yang ditemukan dalam konteks arkeologi. Materi penelitian dalam artikel ini menitikberatkan pada gigi manusia yang merekam informasi mengenai masa hidup seseorang, termasuk aspek-aspek perkiraan usia saat mati, jenis makanan yang pernah dikonsumsi, dan penyakit yang pernah diderita. Kasus patologi berupa karies menarik untuk diteliti sebab penyakit ini merupakan salah satu kasus yang umum ditemukan pada sisa rangka manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi makroskopis dan metode pustaka. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 27 gigi tersisa pada individu ST1, terdapat sembilan gigi yang terdeteksi mengalami karies dan beberapa gigi lain yang menderita penyakit periodontal. Karies pada individu ini tampak disebabkan oleh mikro-organisme yang berkembang di dalam mulut akibat minimalnya perawatan kesehatan gigi dan mulut, serta tidak berhubungan langsung dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh individu ini pada masa hidupnya.

Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Page 38: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 102

PENDAHULUAN

Kawasan Gunung Sewu terletak di

sepanjang pantai selatan Jawa yang

membentang sekitar 85 km antara Teluk

Pacitan (di bagian timur) dan Sungai Oyo (di

bagian barat) yang merupakan perbukitan

karst dengan banyak gua dan ceruk alam

yang dianggap ideal sebagai hunian manusia

prasejarah. Di dalam kawasan karst Gunung

Sewu setidaknya terdapat sekitar 135 situs

prasejarah yang telah diidentifikasi dan

jumlahnya masih diperkirakan terus

bertambah seiring dengan adanya informasi

situs baru (Simanjuntak, 2004:9). Potensi

arkelogis di wilayah ini menjadikan Gunung

Sewu sebagai salah satu fokus penelitian bagi

ahli-ahli arkeologi dalam dan luar negeri,

seperti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,

Museum national d’Histoire Naturelle

(Paris), dan sebagainya. Penelitian-penelitian

yang dilaksanakan di wilayah Gunung Sewu

berusaha untuk menelusuri jejak-jejak

penghunian awal oleh manusia di kawasan

karst Gunung Sewu yang diperkirakan

berlangsung sekitar Plestosen Akhir -

Holosen Awal.

Budaya tertua di wilayah ini ditandai

dengan adanya kehidupan dan pemanfaatan

lahan terpusat di bentang alam terbuka, yaitu

di sekitar dan sepanjang aliran sungai. Saat

berkembangnya tahap kehidupan dari masa

Plestosen ke Holosen, terjadi perubahan

model hunian yang ditandai dengan peralihan

ke hunian gua dan ceruk. Situs-situs

prasejarah di Gunung Sewu menjadi bukti

kedatangan awal Homo sapiens di Asia

Tenggara, khususnya di Indonesia. Hal ini

didukung dengan sejumlah temuan sisa

manusia, seperti yang ditemukan di Gua

Braholo, Song Keplek, dan Song Terus.

Individu-individu ditemukan di Gua Braholo

(di bagian barat Gunung Sewu) memiliki

hasil pertanggalan yang berkisar antara

13.000-9.000 tahun yang lalu. Sementara di

bagian timur Gunung Sewu, temuan sisa

manusia ditemukan di bagian timur gunung

Sewu, temuan sisa manusia ditemukan di

Song Terus (Gambar 1) dan Song Keplek

dengan pertanggalan yang berkisar 10.000-

7.000 BP.

Gambar 1. Peta Lokasi Song Terus

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115

Page 39: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

103 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Berdasarkan karakter morfologi dari sisa

rangka manusia, individu-individu yang

ditemukan di wilayah ini diduga berkaitan

erat dengan keberadaan populasi ras

Australomelanesid di zaman Akhir Plestosen

– Awal Holosen yang bukan merupakan

penduduk masa kini (Widianto, 2002:230).

Australomelanesid merupakan salah satu

populasi ras manusia modern yang ada di

Indonesia yang diperkirakan datang dan

menetap lebih dulu dibandingkan dengan ras

Mongoloid.

Song Terus yang terletak di Punung,

Pacitan (Jawa Timur) merupakan salah satu

situs prasejarah penting di Asia Tenggara

dengan sejarah stratigrafi yang panjang,

dimulai dari masa Plestosen Tengah sampai

Holosen Awal (Gambar 2). Penelitian-

penelitian yang sudah dilakukan di situs ini

berhasil mengungkap bahwa terdapat tiga

lapisan arkeologis, yaitu Lapisan Terus,

Lapisan Tabuhan, dan Lapisan Keplek

dengan rentang waktu sekitar 230.000 –

5.000 tahun yang lalu (Semah, dkk, 2004:56;

Hameau, dkk, 2007:399; Detroit, 2002:211).

Penelitian ini lebih difokuskan pada temuan

sisa manusia paling utuh yang ditemukan dari

Lapisan Keplek di Song Terus yang

diberikan nomor katalog ST1. Lapisan ini

mempunyai kisaran rentang waktu antara

10.000 – 5.000 tahun yang lalu yang sangat

kaya dengan alat-alat batu, alat-alat tulang,

sisa-sisa fauna, dan sisa rangka manusia.

Temuan-temuan ini antara lain berupa

fragmen tengkorak lepas (parietal kiri),

fragmen tengkorak kanan, dua buah tulang

jari, dan beberapa gigi lepas (Detroit,

2002:215). Temuan-temuan sisa manusia ini

menarik untuk ditelaah sebab mereka

menyimpan banyak informasi mengenai

Gambar 2. Song Terus Tampak Depan

Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Page 40: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 104

kehidupan masa lalu di wilayah Gunung

Sewu.

Profil Individu ST1

Individu ST1 adalah sisa manusia

yang ditemukan pada tahun 1999 di Situs

Song Terus (Détroit, 2002:215). Individu ini

ditemukan di dinding utara gua dan

dikuburkan dalam posisi terlipat dengan

posisi tubuh sedikit miring menindih sisi

kanannya. Secara anatomis, individu ini

ditemukan cukup utuh dan masing-masing

tulangnya masih berada dalam artikulasi

yang sesuai dengan anatomi tubuh manusia

(Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa

individu ini dikuburkan secara primer dan

langsung tanpa wadah. Tengkorak individu

ini tidak ditemukan dalam keadaan utuh

sebab telah rusak dan hancur oleh erosi alami

yang terjadi di sepanjang dinding gua.

Pecahan fragmen proksimal epifisis dan

skapula kiri ditemukan di dekat dinding gua.

Humerus kiri tergeletak di dinding gua.

Bagian lengan bawah kiri ditemukan dalam

posisi tegak lurus terhadap humerus kiri yang

terletak di antara lutut. Lengan kanan

individu ini ditemukan melipat di sisi tubuh

dan tangan kanan ditemukan hampir

menyentuh bagian wajahnya. Kedua kaki

individu ini ditemukan hampir sejajar dengan

vertebrae yang menunjukkan posisi

hiperfleksi (tertekuk penuh). Tulang lutut

ditemukan di bawah sternum dan terletak

beberapa sentimeter di depan kolom

vertebralis. Tarsal dan metatarsal

menunjukkan bahwa individu memiliki

tulang kaki yang panjang dan terjepit di

antara dinding gua dan sebuah blok batu

kapur. Tulang-tulang kaki yang ditemukan

pada individu ini memperlihatkan adanya

patahan-patahan tulang yang terjadi setelah

individu meninggal (postmortem). Analisis

awal yang berkaitan dengan jenis kelamin

dan usia mati individu ini menunjukkan

bahwa ST1 adalah seorang laki-laki yang

berusia sekitar 45-55 tahun (Détroit,

2002:229). Beberapa jejak patologi dapat

dengan jelas direkam pada tulang-tulang

individu ini, seperti patah tulang pada ulna

dan femur. Pertanggalan C14 atas rangka ini

diambil dari sampel cangkang moluska yang

terletak berdekatan dengan rangka dan

menunjukkan angka 9.330+90 tahun yang

lalu (Détroit, 2002:215; Widianto, dkk,

2010:116). Sampai saat ini belum ada

penelitian lanjut atau publikasi terbaru terkait

pertanggalan yang langsung menggunakan

elemen tulang/gigi dari ST1.

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115

Page 41: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

105 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Penelitian lanjutan terkait

individu ST1 yang ditemukan juga

dilakukan oleh Perelli (2010) dan

Noerwidi (2012). Perelli menganalisis

individu tersebut berdasarkan morfometri

tulang panjang individu ST1 dan

menyimpulkan bahwa individu ini

termasuk dalam ras Australomelanesid.

Setelah itu, Noerwidi juga melakukan

perbandingan morfologi ST1 dengan

individu lainnya yang ditemukan di

beberapa situs di wilayah Gunung Sewu

seperti Song Keplek, Gua Braholo, dan

bahkan Gua Pawon (Jawa Barat), dan

hasilnya individu Song Terus

menunjukkan ciri ras Australomenesid.

Permasalahan dan Tujuan Penelitian

Salah satu aspek yang menarik untuk

diteliti dari sisa manusia ST1 adalah jejak

patologi yang dapat diamati pada tulang

ataupun giginya. Jejak-jejak patologi

Gambar 3.Foto Fitur Kubur ST1 di Song Terus (sumber : Detroit, 2002)

Gambar 4. Patologi Gigi pada sisa rangka manusia.

Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Page 42: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 106

berhubungan dengan kondisi kesehatan dan

juga dapat menunjukkan adanya perilaku-

perilaku budaya yang pernah dijalani

seseorang. Gigi adalah bagian tubuh manusia

yang paling sering bersentuhan dengan

lingkungan luar. Namun, gigi juga

merupakan bagian yang paling keras dalam

tubuh manusia maka ketika melakukan

pengamatan / penelitian, resiko kerusakan

bagian gigi yang diteliti sangat kecil bila

dibandingkan dengan tulang manusia yang

mudah rapuh. Gigi manusia merekam banyak

informasi mengenai masa hidup individu

yang mencakup aspek-aspek perkiraan usia

saat mati, jenis makanan yang pernah

dikonsumsi, keadaan lingkungan sekitar

tempat tinggalnya, perilaku budaya, aktivitas

yang mungkin dilakukan, dan penyakit yang

pernah diderita (Hillson, 2005:1; Hublin,

dkk, 2007:291). Salah satu kasus patologi

gigi yang paling sering ditemukan dalam

konteks arkeologis adalah karies. Lesi karies

dengan adanya lubang pada dentin gigi yang

disebabkan oleh mikroorganisme. Bila

seseorang menderita karies yang sudah

sangat akut, maka akan terbentuk abses

(lubang pada dinding alveolar) dan

penanggalan gigi. Dari beberapa penelitian

paleopatologi yang pernah dilakukan pada

temuan gigi seperti temuan karies pada sisa

rangka manusia yang ditemukan di Maroko,

Jepang, Italia, Filipina, dan juga Indonesia

(Gua Harimau, Sumatera Selatan dan Liang

Bua, Flores) hampir setiap gigi individu yang

ditemukan memiliki karies (Gambar 4)

(Arizona, 2016:260; Larsen, dkk, 1991:184).

Gigi-gigi yang ditemukan pada ST1

memperlihatkan kondisi yang cukup baik dan

dinilai layak sebagai bahan penelitian yang

difokuskan pada pengamatan dan kajian pada

patologi gigi (Gambar 5). Secara umum,

hampir semua gigi ST1 ini menunjukkan

adanya atrisi pada bagian oklusal giginya dan

terdapat beberapa gigi yang mengalami

karies. Penelitian yang fokusnya untuk

mengenali profil karies pada gigi-gigi ST1 ini

diharapkan dapat memberikan ilustrasi

mengenai kehidupan individu ST1 di masa

lalu, termasuk mengetahui penyebab karies

gigi, pola diet, dan juga profil kesehatan oral

individu ST1.

Metode dan Materi Penelitian

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode pustaka dan

observasi makroskopis yaitu pengamatan

non-metrik pada gigi maksila dan mandibula

ST1. Observasi makroskopis meliputi

identifikasi dan katalogisasi gigi tersisa pada

individu ini. Langkah berikutnya adalah

melakukan pengamatan, pencatatan, dan

identifikasi lesi-lesi patologis pada gigi-gigi

tersebut. Metode pustaka dilakukan setelah

observasi makroskopis untuk

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115

Page 43: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

107 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

menganalisis dan membandingkan hasil

observasi makroskopis dengan sumber-

sumber literatur yang berkaitan dengan

patologi gigi yang teridentifikasi, dalam hal

ini adalah karies.

Objek penelitian ini menggunakan

gigi – gigi pada maksila dan mandibula ST1

yang ditemukan dalam kondisi cukup utuh

saat ekskavasi. Maksila ST1 ini ditemukan

masih berartikulasi dengan tengkoraknya,

meskipun terfragmentasi pada bagian

premaxillary suture-nya. Mandibula individu

ini juga ditemukan dalam kondisi lengkap,

meskipun ditemukan dalam keadaan

terfragmentasi. Fragmen-fragmen mandibula

masih dapat direkonstruksi sesuai dengan

bentuk anatomisnya kembali. Hampir seluruh

gigi geligi individu ST1 ditemukan masih

melekat pada alveolarnya. Meskipun

demikian, terdapat pula beberapa gigi yang

sudah tidak dapat ditemukan.

Gigi yang berhasil ditemukan pada

individu ST1 berjumlah 28 buah gigi dan 4

gigi lainnya tidak ditemukan saat ekskavasi,

baik pada mandibula maupun maksilanya.

Identifikasi dan deskripsi gigi tersisa

mengacu pada istilah-istilah yang sesuai

dengan posisi anatomis gigi pada mulut

manusia. Kode-kode gigi yang berada di atas

garis skema merupakan kode gigi maksila

ditunjukkan dengan superscript (x)

sedangkan yang di bawahnya merupakan

kode gigi mandibula ditunjukkan dengan

subscript (x). Untuk memudahkan

pengidentifikasian gigi berdasarkan sisi

lokasi di dalam mulut, maka digunakan kode

R (right) untuk gigi yang terletak di sebelah

kanan, dan kode L (left) untuk gigi yang

terletak di sebelah kiri. Untuk pendeskripsian

Gambar 5 dan 6. Gigi Maksila dan Mandibula ST1 (tampak oklusal)

Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Page 44: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 108

jenis gigi digunakan istilah incisor (I) untuk

gigi seri, canine (C) untuk gigi taring, pre-

molar (Pm) untuk gigi geraham kecil, dan

molar (M) untuk gigi geraham besar.

Berdasarkan kode deskripsi dan identifikasi

gigi-gigi tersebut, maka dalam menyebutkan

gigi seri pertama pada maksila sebelah kiri

akan dituliskan LI1 sedangkan untuk gigi seri

pertama pada mandibula akan dituliskan LI1,

dan berlaku untuk gigi selanjutnya.

Identifikasi gigi tersisa pada ST1

menunjukkan bahwa maksila memiliki 14

gigi tersisa, yaitu RI1, RI2, L12, RC, LC,

RPm1, LPm1, LPm2, RM1, RM2, RM3, LM1,

LM2, dan LM3. Sementara itu, mandibula

ST1 memiliki 14 gigi tersisa yaitu LI1, LI2,

LC, RC, RPm1, RPm2, LPm1, LPm2, RM1,

RM2, RM3, LM1, LM2, dan LM3 (Gambar 6).

Patologi Gigi ST1

Gigi seri yang ditemukan pada

individu ST1 berjumlah lima yaitu tiga gigi

pada maksila dan dua gigi pada mandibula

yang terdiri atas RI1, RI2, L12, LI1, dan LI2.

Tiga gigi lainnya yaitu LI1, RI1, dan RI2

sudah tidak ditemukan saat ekskavasi.

Hilangnya ketiga gigi tersebut diperkirakan

terjadi ketika individu masih hidup

(antemortem), terlihat dari adanya penutupan

alveolar pada LI1, RI1, dan RI2. Gigi RI1

masih melekat pada alveolarnya dan

memiliki lubang di bagian dentin yang dapat

diidentifikasikan sebagai karies. RI1 memiliki

bentuk mahkota (crown) giginya yang bulat,

tidak pipih seperti gigi seri pada umumnya

(White, dkk, 2005:134). Selain itu mahkota

giginya pun lebih pendek dibandingkan gigi

yang lain yang mungkin disebabkan oleh

hilangnya enamel gigi akibat karies yang

sudah parah. Secara umum, RI1 ini telah

mengalami resorpsi yang menyebabkan

bagian alveolarnya rusak sehingga akar

giginya dapat terlihat dan mengandung

kalkulus pada seluruh bagian giginya. RI2

menunjukkan atrisi gigi pada mahkotanya

dan mengandung kalkulus pada akar giginya.

Tidak terindikasi karies tetapi mengalami

resorpsi sehingga menyebabkan hilangnya

Gambar 7. Karies incisor dan canine

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115

Page 45: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

109 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

dinding sekat alveolar antara RI2 dan RI1

. LI2

ditemukan masih melekat pada alveolarnya

dan terdapat patahan (chipping) pada bagian

mahkota dan leher giginya. Patahan pada

leher gigi mungkin disebabkan oleh gesekan

saat post-mortem karena pada mahkota gigi

terlihat bekas patahan berwarna putih yang

mengindikasikan patahan terjadi setelah

individu meninggal. Selain itu, pada patahan

mahkota tersebut juga ditemukan lubang

pada dentin yang menunjukkan adanya

karies gigi. Gigi ini akar giginya mengalami

resesi dan kalkulus pada bagian akarnya.

Pada bagian mandibulanya, gigi LI1

menunjukkan adanya karies yang ditandai

dengan adanya lubang kecil di tengah dentin

berukuran sekitar 0,13 mm dan abses pada

tulang alveolarnya sekitar 3 mm. Pada LI2

mengalami resesi pada tulang alveolarnya

dan juga abses, namun tidak menunjukkan

adanya karies (Gambar 7).

ST1 memiliki empat gigi taring yang

masih lengkap. LC pada mandibula masih

melekat pada alveolar dan mahkota giginya

di bagian labial terdapat patahan dan tidak

terindikasi adanya jejak karies. Pada RC, gigi

ST1 ini mengalami atrisi pada bagian

dentinnya dan tidak ditemukan indikasi

adanya karies. Pada maksila LC ditemukan

adanya karies gigi pada dentin yang

berlubang dengan kedalaman sekitar 0,2 mm.

Gigi ini juga mengalami resorpsi dan banyak

memiliki banyak kalkulus di hampir seluruh

bagian giginya. Berbeda dengan LC, pada

RC tidak menunjukkan adanya karies tetapi

adanya atrisi gigi pada dentin giginya dan

akar giginya mengalami resorpsi dan

mengandung banyak kalkulus.

Gigi yang diidentifikasi sebagai gigi-

gigi geraham kecil pada ST1 berjumlah tujuh

yang terdiri dari tiga gigi maksila yaitu

LPm1, RPm1, LPm2, dan empat gigi

mandibula yaitu RPm1, LPm1, LPm2, RPm2.

RPm2 sudah tidak ditemukan lagi dan

alveolarnya sudah menutup. Gigi RPm1

menunjukkan ada patahan gigi bagian lingual

sehingga bagian pulpanya terlihat (seperti

teriris) dan mengalami resorpsi. LPm1

menunjukkan adanya atrisi gigi pada bagian

dentinnya. Hampir sama seperti gigi-gigi

lainnya, gigi ini juga mengalami resesi

dinding alveolar dan terdapat patahan pada

bagian buccal dan akar giginya mengandung

kalkulus. Dari observasi enamelnya, gigi ini

tidak mengandung karies. Gigi ini juga

mengalami atrisi gigi sehingga hampir

sebagian enamelnya terekspos. Perbedaan

lebar mahkota yang cukup signifikan antara

LPm1 dan RPm1 (sekitar 1,97 mm)

menunjukkan bahwa gigi ini mengalami

kerusakan yang cukup besar akibat karies dan

atrisi. Gigi LPm2 menunjukkan adanya

patahan pada bagian buccal giginya dan

adanya atrisi gigi, namun tidak terindikasi

karies. Bagian leher gigi sampai akar gigi

mengandung banyak kalkulus. Pada RPm1,

akar giginya masih melekat pada alveolar dan

tidak mengandung karies. Bagian mahkota

a)

Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Page 46: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 110

giginya memiliki patahan pada bagian

labialnya dan menunjukkan gejala atrisi pada

bagian oklusal. LPm1 mengandung karies

gigi yang ditandai dengan adanya lubang

sekitar 0,08 mm pada bagian dentinnya. Gigi

LPm2 memiliki karies pada dentin mahkota

giginya. Bagian akar giginya terlihat pada

sekat alveolar karena adanya abses pada

tulang alveolarnya. Gigi RPm2 hanya

menunjukkan adanya atrisi pada mahkota

giginya dan akar giginya masih melekat pada

alveolar.

Gigi geraham ST1 berjumlah dua

belas gigi yang terdiri dari enam gigi maksila

yaitu LM1, LM2, LM3, RM1, RM2, dan RM3,

dan enam gigi mandibula yaitu LM1, LM2,

LM3, RM1, RM2, dan RM3. LM1

menunjukkan adanya atrisi di hampir seluruh

dentin mahkota giginya. Ada patahan juga di

bagian pinggiran enamelnya. Akar giginya

mengandung kalkulus dan tidak ada karies.

RM1 terindikasi karies yang parah karena

hampir sebagian besar mahkotanya terekspos

habis. Bila dilihat dari lebar mahkota giginya,

RM1 ini memiliki ukuran terkecil

dibandingkan gigi molar lainnya. Di bagian

lingual dan buccal terjadi abses yang

menyebabkan terbentuk lubang pada dinding

maksila yang dapat disebabkan oleh bakteri

akibat karies gigi. Selain itu, gigi ini juga

mengalami resorpsi dan resesi sehingga

bagian akar giginya dapat terlihat dan juga

mengandung kalkulus pada akar giginya.

LM2 menunjukkan adanya patahan pada

bagian enamel mesial buccal, atrisi gigi, dan

kalkulus. Tidak ditemukannya indikasi

karies. RM2 juga mengalami patahan di

bagian enamel, resorpsi, kalkulus, atrisi, dan

tidak ada karies, hampir sama seperti LM2.

LM3 hanya menunjukkan adanya patahan dan

atrisi gigi dan kalkulus pada akar gigi. RM3

mengalami resorpsi pada akar gigi sehingga

ujung akarnya tidak menyentuh dasar

alveolar. Dentin giginya masih terlihat sangat

baik bila dibandingkan gigi tersisa lainnya

dan kemungkinan terindikasi atrisi gigi. Pada

gigi mandibula, seluruh mahkota RM1

mengalami atrisi dan adanya patahan sekitar

0,1 mm di bagian lingual crown. Bagian akar

giginya masih melekat pada dinding alveolar

Gambar 8. Karies gigi premolar dan molar

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115

Page 47: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

111 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

namun mengalami resesi. Sama seperti RM1,

LM1 juga mengalami patahan pada lingual

crown, resesi alveolar, dan adanya karies

disertai atrisi pada bagian dentinnya. LM2,

RM2, RM3, dan LM3 sama-sama mengalami

patahan dan atrisi pada mahkota giginya..

Keempatnya memiliki atrisi yang cukup

parah yang terlihat pada seluruh bagian

dentin mahkota giginya (Gambar 8).

PEMBAHASAN

Karies gigi adalah salah satu patologi

gigi yang sangat signifikan ditemukan pada

individu ST1. Penyakit ini terjadi karena

demineralisasi email dan dentin oleh asam

organik yang terbentuk oleh bakteri pada

plak gigi yang berasal dari makanan yang

mengandung gula (Tampubolon, 2005:3;

Moynihan, 2005:695). Makanan merupakan

salah satu faktor utama penyebab karies gigi

selain mikroorganisme, gigi dan waktu.

Pembentukan karies gigi disebabkan oleh

asam yang dihasilkan oleh aksi

mikroorganisme terhadap karbohidrat. Reaksi

ini ditandai dengan dekalsifikasi komponen

inorganik dilanjutkan oleh disintegrasi

substansi organik yang berasal dari gigi. Hal

ini menyebabkan demineralisasi email

berlanjut menjadi karies gigi dimulai dari

permukaan gigi (pits, fissure, dan daerah

interproksimal) meluas ke arah dentin sampai

pulpa (Ramayanti, 2013:89).

Kemunculan patologi gigi seperti

karies tidak terlepas dari beberapa faktor

seperti keadaan geografis, kemampuan

beradaptasi, pola diet, pola mengunyah, serta

pola dalam menjaga kesehatan gigi dan

mulut. Penelitian yang dilakukan Lubell

(dalam Arizona, 2016:260) menunjukkan

bahwa pada rangka dan gigi-geligi manusia

yang hidup pada masa transisi dari Mesolitik

sampai Neolitik menunjukkan jenis patologis

seperti tanggalnya gigi dan karies gigi.

Ubelakar (1997, dalam Arizona 2016:260)

juga melaporkan bahwa rangka manusia yang

hidup yang pada tiga periode berbeda (dari

masa prasejarah-sejarah) menunjukkan

bahwa jenis patologis seperti patologi gigi-

geligi, peradangan pada tulang, trauma pada

tulang, hiperostosis, dan deformasi tengkorak

sebagai wujud dampak dari perkembangan

lingkungan dan budaya.

Karies gigi dipengaruhi oleh pola diet

dan pola mengunyah makanan (Ortner,

2003:439). Selain itu kondisi kesehatan gigi

dan mulut yang tidak dijaga akan membuat

bakteri di dalam mulut berkembang dengan

cepat. Adanya plak yang menempel pada gigi

menjadi media yang dapat membantu bakteri

menempel dan menyebabkan karies semakin

cepat. Apabila dikaitkan dengan pola

menguyah makanan maka karies akan

tampak pada daerah oklusi (bagian

permukaan dentin untuk mengunyah).

Analisis yang dilakukan pada gigi

geligi individu ST1 menunjukkan adanya

beberapa jejak patologi yang indikasinya

dapat dilihat pada maksila dan mandibula

Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Page 48: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 112

ST1 yaitu karies gigi, patahan gigi, abses,

resorpsi, dan resesi dinding alveolar. Pada

ST1, kesembilan gigi yang terkena karies

terletak pada bagian tengah dentin giginya

dan menyebar ke bagian mahkota dari gigi

tersebut. Banyaknya kalkulus pada hampir

seluruh bagian gigi ST1 dapat menjadi

penyebab terjadinya resesi dan resorbsi

akibat penumpukan plak dan bakteri dalam

waktu yang lama. Sisa makanan di dalam

mulut akan bercampur dengan bakteri

sehingga dalam jangka waktu tertentu akan

menyebabkan karies dan gangguan

periodontal pada individu ST1. Karies pada

individu ini berjumlah 9 gigi atau sekitar

32,14 % dari total gigi tersisa dan sisanya

mengalami atrisi, patahan, dan penyakit

periodontal lainnya seperti abses dan resesi

alveolar.

Selain karies, patologi lainnya yang

dapat dilihat pada ST1 adalah abses yaitu

karies yang menembus pulpa gigi. Hal ini

terjadi akibat ruang pulpa gigi mengalami

infeksi oleh aktivitas mikroorganisme. Pada

hasil pengamatan yang terlihat LI1, LI2, LPm2, dan RM1 mengalami abses hingga mencapai

ukuran ±3 mm. Ketiga gigi (LI1, LPm2, dan

RM1) yang mengalami abses tersebut

menunjukkan tingkat keparahan karies yang

signifikan, sedangkan LI2 tidak mengandung

karies namun memiliki abses yang cukup

signifikan. Hal ini mungkin dapat terjadi

disebabkan oleh mikroorganisme penyebab

karies dari gigi yang berada di dekatnya yaitu

LI1, telah membentuk koloni dan menyerang

tulang alveolar hingga menyebabkan resorpsi

dan abses.

Jejak patologi lain yang diidentifikasi

pada individu ST1 adalah periodontal, yaitu

tereksposnya tulang alveolar akibat karies

yang sudah mencapai akar gigi. Ketiga

patologi ini disebabkan oleh aktivitas bakteri

di dalam mulut akibat tidak terjaganya

kesehatan gigi dan mulut. Atrisi gigi juga

banyak ditemukan di hampir setiap gigi ST1.

Atrisi gigi ini berkaitan dengan penggunaan

gigi yang menyebabkan keausan pada dentin

giginya. Semakin tua umur seseorang, maka

tingkat keausan giginya semakin tinggi.

Kemunculan atrisi yang tinggi dapat

mengurangi tingkat karies pada individu

karena bagian permukaan gigi yang aus akan

sulit untuk ditempeli sisa makanan sehingga

bakteri tidak dapat berkembang pada gigi.

Namun, dari kesembilan gigi yang terkena

karies, ada satu gigi yaitu RPm1 yang juga

mengalami atrisi gigi. Karies pada atrisi gigi

ini dapat disebabkan oleh penyebaran

mikroorganisme dari gigi RPm2 yang

kemungkinan tanggal akibat karies dan gigi

RM1 yang juga mengalami karies yang cukup

parah bila dibandingkan kedelapan gigi

lainnya.

Penyakit lainnya adalah periodontal

yaitu kondisi dimana tulang alveolar

terekspos akibat karies yang sudah mencapai

akar gigi. Ketiga patologi ini disebabkan oleh

aktivitas bakteri di dalam mulut akibat tidak

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115

Page 49: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

113 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

terjaganya kesehatan gigi dan mulut. Atrisi

gigi juga banyak ditemukan di hampir setiap

gigi ST1. Atrisi gigi ini berkaitan dengan

penggunaan gigi yang menyebabkan keausan

pada dentin giginya. Semakin tua umur

seseorang, maka tingkat keausan giginya

semakin tinggi. Kemunculan atrisi yang

tinggi dapat mengurangi tingkat karies pada

individu karena bagian permukaan gigi yang

aus akan sulit untuk ditempeli sisa makanan

sehingga bakteri tidak dapat berkembang

pada gigi. Namun, dari kesembilan gigi yang

terkena karies, ada satu gigi yaitu RPm1 yang

juga mengalami atrisi gigi. Karies pada atrisi

gigi ini dapat disebabkan oleh penyebaran

mikroorganisme dari gigi RPm2 yang

kemungkinan tanggal akibat karies dan gigi

RM1 yang juga mengalami karies yang cukup

parah bila dibandingkan kedelapan gigi

lainnya.

ST1 hidup pada kondisi lingkungan

hutan hujan tropis dataran rendah yang

berdasarkan polen yang ditemukan

menunjukkan jenis tumbuhan dari keluarga

Podocarpaceae, Dipterocarpaceae,

Fagaceae, dan Pteridophyta, sedangkan

untuk faunanya sendiri yang ditemukan

adalah Elephas sp. dan cercopithecids seperti

Macaca fascicularis dan Trachypithecus

auratus (Amano, dkk, 2016:157). Pada

kondisi lingkungan seperti ini kebanyakan

tumbuhan yang hidup pada saat itu hanyalah

berupa tumbuhan berkayu dan belum ada

bukti akurat yang mengatakan bahwa

populasi yang hidup di zaman itu

mengonsumsi makanan dari empat famili

tumbuh-tumbuhan tersebut. Selain itu, karena

pada masa tersebut juga budaya agrikultur

belum masuk ke Indonesia, maka

kemungkinan besar penyebab karies pada

individu tersebut adalah masalah kesehatan

gigi dan mulut. Makanan yang dikonsumsi

ST1 mungkin dapat berasal dari dedaunan

tumbuhan, hasil buruan, dan juga kerang-

kerangan yang terdapat di sekitar Song

Terus. Hal ini terbukti dari ditemukannya

kerang di dekat rangka ST1. Kerang dan hasil

buruan banyak mengandung protein

dibandingkan karbohidrat yang merupakan

salah satu penyebab adanya karies. Namun

demikian, zat apapun yang dikonsumsi

manusia akan mempercepat terjadinya karies

apabila kondisi kesehatan gigi dan mulut

tidak diperhatikan. Hal ini akan

menyebabkan mikroorganisme penyebab

karies dapat berkembang dengan baik di

dalam mulut sehingga akan merusak struktur

gigi secara umum. Tidak adanya usaha untuk

melakukan perawatan pada gigi-gigi yang

terkena karies akan menyebabkan penyakit

tersebut terus berkembang menjadi semakin

parah.

PENUTUP

Patologi gigi merupakan bagian dari

masalah kesehatan yang muncul akibat

berkembangnya pola kehidupan manusia.

Rangka individu ST1 yang ditemukan di

Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Page 50: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 114

Song Terus memiliki banyak aspek patologis

yang menarik diteliti seperti patologi karies

pada gigi yang tersisa. Karies pada ST1

terdapat pada setiap jenis gigi baik pada

maksila maupun mandibula. Kesembilan gigi

yang mengandung karies terletak pada bagian

tengah dentin gigi. Karies yang paling parah

ditandai dengan adanya abses yang

melubangi tulang alveolar pada gigi ST1.

Masalah kesehatan mulut dan gigi menjadi

penyebab utama terjadinya karies pada ST1.

Sisa makanan yang tertinggal di gigi menjadi

media tumbuh bagi mikroorganisme mulut

yang berkembang dengan baik sehingga

merusak struktur gigi secara umum yang

menyebabkan karies.

Karies yang ada di masa sekarang

ternyata sudah ada dari masa lalu yang terjadi

akibat pola kehidupan manusia yang kurang

menjaga kesehatan gigi dan mulut. Pola diet

dan jenis makanan yang dikonsumsi ST1

pada masa hidupnya belum bisa dibuktikan

hanya dari satu jenis patologi saja. Oleh

karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai

patologi pada individu ST1 maupun individu-

individu lainnya di kawasan Gunung Sewu

sangat diperlukan untuk mengetahui pola diet

atau jenis makanan yang dikonsumsi manusia

masa Holosen Awal yang kemudian dapat

dikaitkan dengan aktivitas dan budaya yang

terjadi pada saat itu.

DAFTAR PUSTAKA

Amano, N., Rivals, F., Moigne, AM., Ingico, T., Semah, F., dan Simanjuntak, T. 2016. Paleoenvironment in East Java During The Last 25,000 Years as Inferred From Bovid and Cervid Dental Wear Analyses. Journal of Archaeological Science: Reports 10 : 155–165.

Arizona, F. 2016. Patologi Gigi-Geligi Pada Tengkorak Manusia Liang Bua, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Antrounairdotnet, 2 (2) : 258 - 267.

Détroit, F. 2002. Origine et évolution des Homo sapiens en Asie du Sud-Est: Descriptions et analyses morphométrique de nouveaux fossils”. Thése du Docteural du MNHN. Paris.

Hameau, S., C. Falguères, J.J. Bahain, F. Sémah, A.M. Sémah, dan J.M. Dolo. 2007. ESR dating in Song Terus cave (East Java, Indonesia). Quaternary Geochronology, 2 : 398-402.

Hillson, S. 2005. Teeth Second Edition. Cambridge University Press. UK. Hublin, J., dan Bailey S. E. 2007. Dental Perspectives on Human Evolution : State of the Art

Research in Dental Paleoanthropology. Published by Springer. Humphrey, L.T., De Groote, I., Morales, J., Barton, N., Collcutt, S., dan Bouzouggar, A.

2014. Earliest evidence for caries and exploitation of starchy plant foods in Pleistocene hunter-gatherers from Morocco. PNAS, 3 (111) : 954 – 959.

Larsen, C.S ., Shavit, R., dan Griffin, M.C. 1991. Dental Caries Evidence for Dietary Change : An Archaeological Context. Wiley-Liss Inc.

Moynihan, P. J. 2005. The Role and Diet Nutrition in The Etiology and Prevention of Oral Disease. Bulletin of World Health Organization, 83 (9) : 694 – 699.

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 101- 115

Page 51: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

115 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Noerwidi, S. 2012. The significance of the Holocene human skeleton Song Keplek 5 in the history of human colonization of Java: a comprehensive morphological and morphometric study. Thesis Master Erasmus Mundus en Quaternaire et Préhistoire.

Ortner, D. J. 2003. Identification of Pathological Conditions in Human Skeletal Remains. Academic Press, San Diego.

Perelli, F. 2010. Comparative Morphometric Analysis of the Long Limb Bones of the Holocene Human skeletons Song Keplek 4 and Song Terus K9 (East Java, Indonesia). University’ Degli Studi Di Ferrara, Italy.

Ramayanti, S., dan Purnakarya, I. 2013. Peran Makanan Terhadap Kejadian Karies Gigi. Jumal Kesehatan Masyarakat, 7 (2) : 89 – 93.

Sémah, François., Anne-Marie Sémah., C. Falguères., F. Détroit., Xavier Gallet, S. Hameau., Anne-Marie Moigne., dan Simanjuntak H.T. 2004. The significance of the Punung karstic area (eastern Java) for the chronology of the Javanese Paleolithic, with special reference to the Song Terus cave. Modern Quaternary Research Southeast Asia, 18 : 45-62.

Simanjuntak, T. 2004. New Insight of The Prehistoric Chronology of Gunung Sewu, Java, Indonesia. Modern Quaternary Research in Southeast Asia: Quaternary Research, 18 : 9–30.

Tampubolon, N. S. 2005. Dampak Karies Gigi dan Penyakit Periodontal Terhadap Kualitas Hidup. Pidato Pengukuhan. USU Repository, Medan.

Tiauzon, Archie. 2011. Lithic Technology In Song Terus During The Late Middle Pleistocene and The Early Upper Pleistocene. Master Erasmus Mundus en Quartenaire et Prehistory.

White, T. D, dan Folkens P.A. 2005. The Human Bone Manual. Elsevier Academic Press, London.

Widianto, Harry. 2002. “Prehistoric Inhabitants in Gunungsewu”, dalam Truman Simanjuntak ed., Gunungsewu in Prehistoric Times, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: 227-248.

Widianto H, dan Noerwidi, S. 2010. Atlas Prasejarah Indonesia. PT Kharisma Ilmu.

Studi Kasus Patologi Gigi, , Anita Tamu Ina, Dyah Prastiningtyas, Harry Widianto, Florent Détroit, Ferry Fredy Karwur, Andri Purnomo, Anne-Marie Sémah, dan François Sémah

Page 52: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 116

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Page 53: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

117 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

PERSEPSI MASYARAKAT PEZIARAH TERHADAP MAKAM KERAMAT DI KABUPATEN LUWU

UTARA (Perception of PPilgrim Toward Sacred Tomb in North Luwu)

Ansaar

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 e-mail: [email protected]

INFO ARTIKEL

Keywords Perception, Sacred tomb, Pilgrim community Kata Kunci Persepsi, Makam keramat, Masyarakat peziarah

ABSTRACT

The tradition of pilgrimage to old sacred tombs is a phenomenon that lives in the community that has been carried out for generations. Mystical beliefs based on traditions and beliefs that are based on rational thoughts, show the various kinds of beliefs of tomb pilgrims. Supernatural powers on tombs that are considered sacred can affect their perspective or perception of the unseen world which is considered to change their destiny and life. This study, in addition to aiming at giving an idea of the purpose and motivation of pilgrims visiting old sacred tombs, is also to find out the perception of the pilgrims to the sacred tombs. This research is descriptive qualitative with field data collection techniques. The results of the discussion showed that the purpose and motivation of pilgrims came to the sacred tombs, because there was a belief from them that visiting sacred tombs would get a blessing in accordance with their intended intentions and goals. Pilgrims who come to the tomb, each other also have different perceptions or views, depending on their goals and needs coming to the tomb.

ABSTRAK

Tradisi ziarah ke makam-makam tua yang dikeramatkan merupakan fenomena yang hidup di kalangan masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun. Kepercayaan mistis yang berbasis pada tradisi dan kepercayaan yang berdasar pada pemikiran-pemikiran rasional, menunjukkan berbagai macam kepercayaan para peziarah makam. Kekuatan supranatural pada makam-makam yang dianggap keramat dapat mempengaruhi cara pandang atau persepsi mereka terhadap dunia gaib yang dianggap dapat merubah nasib dan kehidupannya. Penelitian ini, di samping bertujuan memberi gambaran tentang tujuan dan motivasi peziarah mengunjungi makam-makam tua yang dikeramatkan, juga untuk mengetahui persepsi masyarakat peziarah terhadap makam-makam yang dikeramatkan itu. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data lapangan. Hasil pembahasan menunjukkan, bahwa tujuan dan motivasi peziarah mendatangi makam-makam keramat itu, karena ada keyakinan dari mereka bahwa mendatangi makam-makam keramat akan memperoleh berkah sesuai dengan niat dan tujuan yang dikehendaki. Peziarah yang datang ke makam itu, satu sama lain juga punya persepsi atau pandangan yang berbeda, tergantung dari tujuan dan kebutuhan mereka datang ke makam itu.

PENDAHULUAN

Setiap manusia sadar bahwa selain

dunia fana ini, ada suatu alam yang tak

tampak olehnya dan berada diluar batas

akalnya. Dunia itu adalah dunia supra-

natural. atau alam gaib. Berbagai

kebudayaan menganut kepercayaan, bahwa

dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk dan

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 54: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 118

kekuatan yang tak dapat dikuasai oleh

manusia dengan cara-cara biasa, dan karena

itu dunia gaib pada dasarnya ditakuti oleh

manusia. Makhluk dan kekuatan yang

menghuni dunia alam gaib adalah:1) dewa-

dewa yang baik dan buruk, 2).makhluk-

makhluk halus lainnya seperti roh para

leluhur, hantu dan lain-lainnya yang baik

maupun yang jahat, 3) Kekuatan sakti yang

dapat bermanfaat bagi manusia maupun yang

dapat membawa bencana (Koentjaraningrat,

1997;203)

Pola pemikiran semacam itulah yang

masih mewarnai masyarakat Indonesia dan

menganggap dunia sebagai satu kesatuan

mistis yang utuh. Ia harus menjalin relasi

yang baik dengan seluruh alam semesta.

Begitu pula dengan dunia lain yang dianggap

mampu untuk memberikan keselamatan dan

mewujudkan suatu keinginan tertentu. Untuk

mengekspresikan adanya getaran jiwa, suatu

emosi membutuhkan suatu objek tujuan

sebagai sarananya, yakni tempat-tempat

keramat yang dianggap suci untuk

mengespresikan emosi keagamaan.

Kepercayaan tentang kekeramatan

atau kekuatan supra-natural begitu kuat pada

kebanyakan masyarakat dengan melihat suatu

kelebihan atau mujizat terhadap orang-orang

tertentu yang semasa hidupnya menjadi

panutan baik dalam kegiatan keagaamaan

seperti tokoh ulama yang menyebarkan

agama Islam maupun raja-raja yang pernah

berkuasa. Ketika tokoh-tokoh ini meninggal

maka kuburannya dianggap keramat dan

banyak dikunjungi masyarakat untuk

berziarah dan melakukan ritual.

Makam-makam yang dianggap

keramat, banyak ditemukan di berbagai

daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten

Luwu Utara. Di daerah tersebut, makam-

makam tua yang dikeramatkaan dan dikenal

banyak orang, seperti makam Datuk

Patimang atau yang bergelar Waliyullah Al

Arif Billah Al Imam dan makam Raja Luwu

XV (Andi Patiware Opu Daeng Parabu Petta

Matinroe ri Patimang). Kedua makam yang

menjadi objek pembahasan dalam penelitian

ini, sampai sekarang masih ramai dikunjungi

peziarah, baik peziarah lokal maupun

peziarah dari daerah lain. Mereka melakukan

kunjungan terutama pada hari-hari tertentu,

seperti hari-hari besar Islam, hari menjelang

memasuki bulan suci Ramadhan maupun

setelah hari raya lebaran, baik Idul Fitri

maupun Idul Adha. Tradisi berziarah ini telah

dilakukan sejak dahulu hingga sekarang dan

berlangsung secara turun temurun.

Ziarah atau berkunjung ke makam

pada dasarnya merupakan salah satu

rangkaian kegiatan religius manusia. Orang

yang berziarah ke makam pada umumnya

dihubungkan dengan tokoh atau leluhur yang

dimakamkan di tempat itu. Berziarah

dianjurkan oleh Rasulullah, tetapi sebatas

untuk mengingatkan kepada kita bahwa

setiap makhluk hidup akan mengalami mati.

Karena itulah kita harus selalu

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133

Page 55: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

119 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

mempersiapkan segalanya untuk bekal di

akherat nanti. Bagi yang sholeh dan beramal

baik, selalu dikenang dan dijadikan tauladan

sehingga tidak sedikit orang yang berkunjung

ke makam tersebut untuk mendoakan agar

arwah yang berada dalam kubur ditempatkan

di sisi-Nya.

Peziarah yang datang atau berkunjung

ke makam-makam keramat, umumnya

memiliki tujuan dan motivasi yakni untuk

melakukan doa atau memohon kepada Allah

swt atas berbagai keinginan atau niat seperti:

permohonan agar diberi kemudahan rezki,

keselamatan, nasib baik, ungkapan syukur,

kesembuhan dari penyakit yang diderita,

serta permohonan agar usaha yang dijalankan

tetap lancar. Selain itu, ada pula yang

berziarah sebagai pelaksanaan nazar atau

melepas nazar yang pernah diucapkan

sebelumnya. Peziarah seperti ini dari awal

sudah meniatkan untuk melakukan ziarah

atau kunjungan ke makam bilamana

harapannya telah berhasil.

Di samping adanya tujuan dan motivasi

melakukan kunjungan ke makam, masyarakat

peziarah juga punya persepsi atau pandangan

yang berbeda terkait dengan keberadaan

makam-makam keramat itu. Berbicara

tentang persepsi atau pandangan, beberapa

ahli telah memberikan pendapat. Menurut

Suseno (1993), persepsi atau pandangan

adalah merupakan keseluruhan semua

keyakinan, daripadanya manusia memberi

struktur yang bermakna kepada alam

pengalamannya. Dalam persepsi masyarakat,

realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang

yang terpisah satu sama lain, melainkan

dilihat sebagai satu kesatuan menyeluruh.

Bagi mereka persepsi atau pandangan itu

bukan berarti pengertian yang abstrak,

melainkan berfungsi sebagai sarana dalam

usahanya untuk berhasil dalam menghadapi

malah-masalah kehidupan.

Sementara itu, Geertz (1992:51)

memberi arti pandangan sebagai gambaran

tentang kenyataan apa adanya, konsep

tentang alam, diri dan masyarakat.

Pandangan ini mengandung gagasan-gagasan

yang paling konprenhensif mengenai tatanan

dan secara emosional dibuat sedemikian rupa

sehingga dapat diterima dengan disajikan

sebagai sebuah gambaran tetang masalah-

masalah yang aktual.

Persepsi atau pandangan dibentuk oleh

suatu cara berpikir yang dapat merasakan

nilai-nilai kelakuan, peristiwa-peristiwa dan

segi-segi lain dari suatu pengalaman. Oleh

karena itu, pandangan merupakan sebuah

pengaturan mental dari pengalaman itu dan

pada gilirannya mengembangkan suatu sikap

hidup (Mulder, 1986:30). Persepsi atau

pandangan dapat memunculkan makna pada

“sesuatu” yang tersimpan dalam simbol-

simbol yang keabsahannya diakui oleh para

pendukungnya, terutama pada persepsi yang

berkenaan dengan kehidupan religius.

Persepsi yang berkenaan dengan

kehidupan religius itu terkadang diperkuat

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 56: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 120

dengan mitos. Mitos itu sendiri merupakan

kebenaran religius yang biasanya

diungkapkan melalui cerita atau dongeng dan

merupakan bagian dari suatu kepercayaan

yang hidup di antara sejumlah bangsa. Mitos

menjadi suatu kebenaran yang pasti dan

menetapkan suatu kebenaran absolut yang

tidak bisa diganggu gugat. Mitos

menguatkan suatu tabir misteri, mewahyukan

peristiwa primordial yang masih selalu

diceritakan dan diulang kembali pada waktu

sekarang. Dalam hal ini mitos

mengungkapkan struktur aktual keilahian,

yang mengatasi semua atribut dan

mendamaikan semua pertentangan secara

lebih mendalam daripada yang bisa

diungkapkan oleh pengalaman rasional

(Susanto, 2005:90).

Tulisan mengenai persepsi masyarakat

peziarah terhadap makam keramat di daerah

lain telah pun banyak dibuat, jika kita

membuka internet maka akan banyak kita

jumpai tentang tulisan serupa tapi di daerah

lain. Namun lain lubuk lain belalang,

persepsi masyarakat dipengaruhi juga oleh

budaya setempat sehingga persepsi antara

satu daerah dengan daerah yang lain tidak

dapat di”general”kan. Persepsi masyarakat

peziarah terhadap makam di tempat lain

belum tentu sama dengan persepsi

masyarakat peziarah terhadap makam

keramat di Luwu Utara.

Berdasarkan latar belakang tersebut di

atas, maka masalah dalam tulisan ini akan

difokuskan pada: 1) apa tujuan dan motivasi

para peziarah berkunjung ke makam-makam

tua yang dianggap keramat, dan 2)

bagaimana persepsi masyarakat peziarah

terhadap makam-makam tua yang

dikeramatkan itu.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

deskripsi-analisis dengan pendekatan

kualitatif yang menggambarkan fenomena

apa adanya, perkembangan yang tengah

terjadi, dan pendapat yang muncul, baik

berhubungan dengan masa sebelumnya

maupun masa sekarang. Sumber data terbagi

atas data primer dan data sekunder. Data

primer yaitu para peziarah yang datang di

kedua makam tersebut. Selain itu, penjaga

makam dan pengurus makam serta aparat

pemerintah Desa Patimang. Data sekunder

diperoleh dari buku-buku yang menunjang

tulisan.

Teknik pengumpulan data lapangan

(field research) dilakukan dengan menempuh

cara-cara sebagai berikut:

1) observasi, melalui observasi penulis

belajar mengenai perilaku dan makna dari

perilaku para peziaah yang datang ke

kedua makam tersebut. Selama masa

penelitian, penulis melakukan

pengamatan setiap harinya pada

kedatangan para peziarah.

2) wawancara mendalam terhadap peziarah

terpilih, kepada pengurus dan penjaga

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133

Page 57: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

121 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

makam serta kepada pemerintah Desa

Patimang dimana makam tersebut berada.

Mendapatkan informasi dari para

peziarah agak sulit dilakukan karena

kebanyakan dari mereka tertutup

mengenai motivasinya datang berziarah.

Kendala ini diatasi dengan menggunakan

pendekatan persuasif partisipatif.

3) studi pustaka dilakukan untuk membantu

penulis menemukan motivasi-motivasi

lain yang tak diungkapkan pada saat

wawancara. Selain itu, studi pustaka juga

berguna untuk mengetahui profil kedua

tokoh yang makamnya dikeramatkan ini.

Teknik pengumpulan data lapangan (field

research) dengan cara observasi dan

wawancara mendalam.

PEMBAHASAN

Datuk Patimang dan Raja Luwu XV,

Andi Patiware

Datuk Patimang yang bernama asli

Datuk Sulaeman dan bergelar Khatib Bungsu

adalah seorang ulama yang berasal dari Koto

Tangah, Minangkabau yang menyebarkan

agama Islam ke Kerajaan Luwu pada 1593

atau penghujung abad ke-16. Menurut

catatan sejarah, kedatangannya di Sulawesi

Selatan bersama dengan dua ulama lain yaitu

Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro.

Ketiganya datang dengan misi menyebarkan

agama Islam.

Menurut Lontarak Luwu dan Wajo,

bahwa meskipun ketiga datuk ini pertama

kali tiba di Kerajaan Gowa dan Tallo, namun

upaya pengislaman pertama dilakukan

terhadap Kerajaan Luwu. Kerajaan Gowa

tempat ketiga Datuk ini tiba pertama kali

belum bersedia menerima Islam karena

masih memiliki hubungan yang baik dengan

Portugis (penganut kristiani) di masa itu.

Ketiga datuk tersebut lalu disarankan menuju

Kerajaan Luwu, dimana saat itu Kerajaan

Luwu diperintah oleh Raja Andi Patiware.

Raja Andi Patiware bukanlah orang lain bagi

Kerajaan Gowa karena Andi Patiware

merupakan kakak ipar Raja Gowa. Andi

Patiware menikahi Petta Matinroe ri Balla

Bugisi yang merupakan anak pertama dari

Raja Gowa I Manggorai (Lestari, 2014:30).

Berangkatlah ketiga datuk ini dengan

dibantu oleh orang-orang Melayu. Ketiga

Datuk ini memilih Kerajaan Luwu setelah

mengetahui bahwa walaupun kekuasaan ada

di Kerajaan Gowa namun kemuliaan terletak

di Kerajaan Luwu. Asal muasal semua arung

atau raja di Sulawesi Selatan berasal dari

Kerajaan ini. Sehingga dengan kata lain, jika

ingin menyebarkan agama Islam ke penjuru

Sulawesi Selatan, maka Raja Luwu lah yang

pertama harus diIslamkan. (Mahmud, 2012:

39 – 40).

Ketiga datuk ini pertama kali tiba di

Desa Lapandoso, Kecamatan Bua,

Kabupaten Luwu. Disana dia dikisahkan

bertemu dengan Tandipau (semacam kepala

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 58: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 122

desa). Tandipau inilah yang pertama

memeluk Islam lalu disusul oleh masyarakat

Bua. Setelah masyarakat Bua menerina

Islam, dibangunlah masjid di Desa Tana

Rigella pada 1594 M. setelah itu, Datuk

Sulamain dan beberapa orang dari Bua lalu

melanjutkan perjalanan menuju Malangke.

Saat itu, pusat Kerajaan Luwu berada di

Malangke (Purnama, 2014: 62-63).

Datuk Patimang bersama dengan

Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang berhasil

mengislamkan Raja Luwu yang berkuasa

ketika itu, Andi Patiware Daeng Parabbung

dengan mengucapkan syahadat pada 15

Ramadhan 1013 H (4 Februari 1603

(Mahmud, 2012 43). Andi Patiware lalu

mengganti nama menjadi Sultan Mahmud.

Secara perlahan tapi pasti, rakyat Kerajaan

Luwu menerima Islam selepas Raja Luwu,

Andi Patiware menerima Islam. Walaupun

demikian beberapa masyarakat Luwu yang

tinggal di pelosok kerajaan tetap memeluk

agama nenek moyangnya.

Islamisasi di Kerajaan Luwu melalui

proses yang lambat. Hal ini tidak terlepas

dari kebijakan Raja Luwu, Andi Patiware

yang tidak memperbolehkan adanya

tindakan pemaksaan. Setelah Kerajaan Luwu

menerima Islam, Datuk ri Tiro dan Datuk ri

Bandang kembali ke Kerajaan Gowa dan

Tallo dengan misi yang sama yaitu

menyebarkan agama Islam. Hal ini

dilakukan atas petunjuk dari Raja Luwu,

Andi Patiware bahwa Kerajaan Gowa lebih

tepat untuk menyebarkan agama Islam

secara menyeluruh di Sulawesi Selatan.

Dalam perjalanannya Datuk ri Bandang

fokus menyebarkan agama Islam di Kerajaan

Gowa dan Tallo sedang Datuk ri Tiro

menyebarkan agama Islam di Bulukumba

dan sekitarnya.

Datuk Patimang memilih menetap di

Malangke dan mengajarkan Islam kepada

rakyat dan pemerintahan Kerajaan Luwu.

hingga ajal menjemput dan dimakamkan di

Desa Patimang. Raja Luwu, Andi Patiware

wafat pada 1615 dan digantikan oleh Raja

Patipasaung (Purnama, 2014: 63, Mahmud,

2012: 44 - 48). Kedua makam tersebut

berada di lokasi yang sama.

Deskripsi Makam-Makam Tua yang

Dikeramatkan

1. Makam Datuk Patimang

Kompleks makam Datuk Patimang,

secara administratif terletak di Desa

Patimang, Kecamatan Malangke, Kabupaten

Luwu Utara. Jarak dari kota kabupaten

menuju kompleks makam, adalah kurang

lebih 40 km ke arah Timur dengan waktu

tempuh sekitar 1 jam. Sedangkan dari Kota

Makassar ditempuh dengan lama perjalanan

sekitar 9 jam. Di dalam kompleks makam ini,

selain terdapat makam Datuk Patimang, juga

terdapat makam Andi Patiware Opu Daeng

Parabu Petta Matinroe ri Patimang atau Raja

Luwu XV (Raja Luwu yang pertama kali

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133

Page 59: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

123 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

memeluk Islam) serta makam kerabat

kerajaan.

Untuk masuk ke lokasi komplek

makam, maka pengunjung ziarah harus

melewati pintu gerbang yang terletak di

sebelah utara menghadap jalan raya. Di

depan pintu gerbang tersebut atau tepatnya di

tengah-tengah jalan desa juga berdiri dengan

kokohnya sebuah tuguh dimana pada bagian

atasnya terdapat sebuah payung besar dan

tombak. Payung dan tombak tersebut adalah

merupakan simbol Kerajaan Luwu (gambar

1)

Gambar. 1 Sebuah bangunan tugu dengan payung dan tombak di atasnya sebagai simbol

Kerajaan Luwu, berdiri kokoh di depan pintu gerbang Kompleks Makam. (Sumber: googleimage)

Kompleks makam yang terletak di atas

tanah datar ini, memiliki luas kurang lebih

700 m2 yang dibatasi oleh pagar keliling

yang terbuat dari bahan beton tumbuk. Jika

dilihat dari letak geografisnya, Kompleks

Makam Patimang ini dapat ditandai dengan

batas-batas: di sebelah Utara terdapat jalan

aspal arah hadap lokasi, rumah penduduk dan

kebun coklat; di sebelah Timur terdapat

kebun coklat dan kebun jeruk; di sebelah

Selatan terdapat kebun coklat dan hutan

lindung; dan di sebelah Barat terdapat kebun

coklat, kebun jeruk dan empang milik

masyarakat.

Makam Datuk Patimang dibuatkan

bangunan cungkup yang terbuat dari tembok

dan beratap. Makamnya sendiri sangat

sederhana karena pada bagian pinggiran

makam ditembok sekeliling dan ditancapkan

sebuah nisan dari batu cadas alam yang tidak

dibentuk.

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 60: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 124

Gambar. 2 Tampak Makam Dato Sulaeman dalam sebuah bangunan cungkup

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Hingga saat ini kondisi makam tersebut dapat

dikatakan cukup terawat, hal mana dapat

dilihat pada sekililing bangunannya, terutama

pada bagian cungkup dan tembok pinggiran

makam yang semuanya tampak masih sangat

kokoh. Selain itu, di sekitarnya juga dapat

dilihat adanya bagunan baruga, musallah, dan

penataan akses jalan setapak yang semuanya

masih dalam kondisi cukup baik.

2. Makam Raja Luwu XV (Andi

Patiware)

Sebagaimana telah dijelaskan di

sebelumnya, bahwa makam Raja Luwu ke

XV ini berada satu kompleks dengan

makam Datuk Patimang, bahkan lokasi

atau tempat makam antar keduanya cukup

berdekatan. Namun demikian, bentuk atau

model makamnya berbeda. Makam Raja

Luwu XV (Andi Patiware) sebagai raja

yang pertama kali memeluk Islam atau

yang bergelar Petta Matinroe ri Patimang,

dibentuk dari susunan batu padas lalu

dibentuk menjadi batu kotak persegi (lihat

foto. 3).

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133

Page 61: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

125 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Gambar. 3 Tampak Makam Raja Luwu XV (Andi Patiware)

dalam Kompleks Makam di Desa Patimang.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dalam foto tersebut di atas, tampak

bahwa di sekeliling makam dibuatkan pagar

dari batu padas yang juga dibentuk menjadi

kotak batu persegi yang disusun setebal

sekitar 1 meter dan tinggi sekitar 1,5 meter

mengelilingi makam. Nisan paling besar

berbentuk mahkota yang diberi ukiran

dengan motif flora dan sulur, sedangkan

nisan paling kecil berbentuk mahkota

persegi. Andi Patiware memeluk agama

Islam pada tahun 1603 H yang disiarkan oleh

salah seorang mubalik besar bernama Datuk

Patimang (Nasir, dkk, 2009:52).

Tujuan dan Motivasi Peziarah

Berkunjung ke Makam-Makam Keramat

Ziarah atau berkunjung ke makam

pada dasarnya merupakan salah satu

rangkaian kegiatan religius manusia. Orang

yang berziarah ke makam-makam keramat

pada umumnya dihubungkan dengan tokoh

atau leluhur yang dimakamkan di tempat itu.

Berziarah dianjurkan oleh Rasulullah, tetapi

sebatas untuk mengingatkan kepada kita

bahwa setiap makhluk hidup akan mengalami

mati. Karena itulah kita harus selalu

mempersiapkan segalanya untuk bekal di

akherat nanti. Bagi yang sholeh dan beramal

baik, selalu dikenang dan dijadikan tauladan,

sehingga tidak sedikit orang yang berkunjung

ke makamnya untuk mendoakan agar arwah

yang berada dalam kubur ditempatkan di sisi-

Nya.

Ziarah makam menurut pemahaman

Islam juga dapat dikatakan amal ibadah

selama yang diziarahi itu kaum muslimin.

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 62: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 126

Salah satu tujuan dari ziarah makam itu

adalah bertasawuf kepada seorang yang

dianggap mempunyai karamah agar memiliki

syafaat, keberkahan dan dikabulkan segala

apa yang diminta. Jika pada peziarah itu tidak

memiliki akidah yang kuat, ada

kekhawatiran bahkan cenderung berlebihan

dan menyimpang dari norma-norma ajaran

Islam (Salam, 2015:472).

Keberadaan makam-makam keramat

sebagaimana telah digambarkan di atas,

khususnya makam Datuk Patimang, hingga

kini masih ramai dikunjungi peziarah dengan

berbagai tujuan dan motivasi. Peziarah

datang dari berbagai pelosok di wilayah

Sulawesi Selatan, bahkan dari daerah-daerah

lainnya, seperti Sumatra, Kalimantan, Palu,

Jambi, Bima, dan Jawa. Menurut juru

pelihara makam, di antara peziarah-peziarah

yang datang dari luar daerah, peziarah asal

Sumatra merupakan yang terbanyak

jumlahnya, karena mereka menganggap

bahwa Datuk Patimang adalah leluhur

mereka juga dan merasa memiliki ikatan

batin yang kuat dengannya. Para peziarah itu

pada umumnya datang secara berombongan

dengan menggunakan kendaraan pribadi

ataupun kendaraan umum. Jumlah mereka

lebih ramai pada hari-hari libur, menjelang

memasuki bulan puasa dan setelah lebaran.

Umunya peziarah yang datang adalah

mereka yang sudah mempunyai agenda

khusus atau keterikatan dengan makam

tersebut. Karena itu, bilamana

permohonannya dikabulkan, maka mereka

akan bernazar untuk kembali berziarah ke

makam-makam tersebut.

Kebanyakan peziarah yakin bahwa

dengan mendatangi makam-makam keramat

akan memperoleh berkah sesuai dengan niat

dan tujuan yang dikehendaki. Mereka yang

mengunjungi makam pada umumnya telah

dilandasi dengan niat dan tujuan yang

didorong oleh kemampuan batin yang teguh.

Demikian, untuk mengetahui lebih jelas

tujuan dan motivasi peziarah berkunjung

pada kedua makam keramat itu dapat

diuraikan sebagai berikut

1. Makam Datuk Patimang

Makam ini tidak pernah sepi dari

peziarah, karena beliau adalah seorang ulama

besar yang hidup di zamannya menjadikan

pigur yang senantiasa disakralkan sebagai

suatu perantara dalam doa-doa yang

dipanjatkan. Bagi sebagian masyarakat

percaya, bahwa dibalik nama besar Datuk

Patimang ada sesuatu kekuatan yang

dianggap mampu menjembatani untuk

menggapai suatu tujuan. Untuk itulah mereka

menjadikan makam ini sebagai salah satu

perantara (washilah) untuk memohon doa

doa kepada yang Maha kuasa.

Di antara beberapa makam atau tempat

keramat yang ada di Kabupaten Luwu Utara,

makam Datuk Patimang dan makam Raja

Luwu XV paling banyak dikunjungi,

terutama menjelang memasuki bulan suci

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133

Page 63: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

127 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Ramadan atau sesudah lebaran. Dalam satu

hari ada saja peziarah yang datang ke makam

tersebut, baik perorangan maupu rombongan.

Menurut A. Tamrin yang sudah bertugas

beberapa tahun sebagai juru pelihara pada

makam Datuk Patimang dan Raja Luwu XV

mengatakan, peziarah yang datang bukan saja

masyarakat lokal, tetapi juga banyak yang

berasal dari daerah-daerah lain.

Tujuan dan motivasi peziarah

mengunjungi makam Datuk Patimang,

karena di tempat inilah mereka dapat

memanjatkan doa dan mengharapkan berkah

agar dalam kehidupan mereka senantiasa

mengalami kesuksesan dan kebahagian,

seperti kemudahan dalam rezeki, jabatan dan

kehormatan. Di samping itu banyak pula

pengunjung yang datang untuk memohon

pertolongan akan sesuatu kesulitan yang

dihadapi agar dapat keluar dari apa yang

dialaminya itu. Seperti yang dikemukakan

oleh seorang peziarah dari Kota Palopo

(Amir, 37 tahun). Menurut peziarah tersebut,

bahwa maksud dan tujuan berkunjung ke

makam Datuk Patimang adalah untuk

menenangkan batin atau pikiran, karena

banyaknya masalah yang dihadapi. Ia bekerja

atau berprofesi sebagai sopir angkutan

umum. Dalam kehidupan keluarga, menurut

dia ada permasalahan yang melilit, di

antaranya selain penghasilan yang didapatkan

dalam perhari menurun karena minimnya

penumpang, di sisi lain dia juga butuh biaya

untuk dua orang anaknya yang akan masuk

sekolah pada sekolah lanjutan pertama dan

sekolah lanjutan tingkat atas. Di makam ia

melaksanakan shalat kemudian berdzikir.

Setelah beberapa kali melakukan hal tersebut,

beliaupun merasakan sedikit demi sedikit ada

perubahan dalam kehidupannya. Jika pada

hari-hari sebelumnya, penghasilan yang

diperolehnya kurang mencukupi dalam

membiayai keluarganya, namun setelah

melakukan usaha seperti itu, penghasilan

yang diperolehnya sebagai seorang sopir

mulai mengalami peningkatan yang cukup

berarti.

Peziarah lain yang mengaku bernama

Muliati (42 tahun) dari Kabupaten Wajo

mengemukakan, bahwa ia datang berziarah

ke makam Datuk Patimang dengan maksud

dan harapan mudah-mudahan dapat

menemukan kecocokan dalam berdagang.

Menurutnya, dengan berziarah mudah-

mudahan menemukan jalan yang tepat

sehingga ada kemajuan dalam berdagang.

Motivasi ibu Muliati ini didorong karena

telah mengetahui dan menyaksikan temannya

yang mencoba berdagang berbagai jenis

barang, tapi belum mendapat kecocokan atau

hasil yang diharapkan. Namun setelah

berziarah dan mendapat kecocokan, ia pun

mencoba merubah usahanya dengan hanya

fokus ke satu jenis jualan saja, yakni jualan

pakaian wanita, ternyata jualannya ada

perubahan dan mengalami kemajuan pesat.

Lain lagi dengan apa yang

diungkapkan Jumriah (52 tahun), seorang

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 64: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 128

peziarah yang berasal dari Luwu Timur.

Peziarah ini menuturkan bahwa tujuan

melakukan ziarah ke makam Datuk Patimang

adalah untuk memohon doa restu kepada

Allah swt agar diberi keselamatan selama

menunaikan ibadah haji di Tanah Suci

Mekah, begitupun keselamatan ketika

kembali ke tanah air. Dan ketika tiba dengan

selamat di kampung halaman, maka ia pun

akan kembali menyiarahi makam Datuk

Patimang sebagai tanda rasa syukur atas

keselamatan melaksanakan ibadah haji.

Masih banyak lagi motif-motif lainnya

yang turut mewarnai ziarah ke makam Datuk

Patimang, seperti meminta penyembuhan

dari penyakit yang tak kunjung sembuh,

meminta agar diberi jodoh bagi yang belum

menikah, bahkan ada di antara mereka datang

dengan berpakaian pengantin untuk melepas

nazar karena telah mendapatkan jodohnya

yang telah dipintanya dahulu dan lain

sebagainya.

Manakala permohonan atau hajat yang

disertai dengan nazarnya itu terkabul, maka

orang-orang tersebut akan kembali

berkunjung ke makam untuk melepas

nazarnya karena harapannya berhasil.

Sementara itu, bagi mereka yang datang

melakukan ziarah ke makam Datuk Patimang

karena menganggap bahwa makam tersebut

memiliki nilai historis dan merupakan salah

satu cara penghormatan bagi jasad Datuk

Patimang sebagai ulama besar, biasanya

hanya dilakukan oleh orang-orang tetentu

saja, seperti para pejabat, para alim ulama

dari berbagai daerah, termasuk peneliti dari

bidang ilmu sejarah maupun budaya.

Makam Datuk Patimang sarat dengan

berbagai mitos yang dipercayai oleh sebagian

masyarakat sebagai tempat yang dapat

merubah nasib seseorang menjadi lebih baik,

karena sosok beliau adalah seorang ulama

besar yang dianggap berjasa menyebarkan

agama Islam. Peziarah sangat ramai

menjelang bulan suci Ramadhan. Hari-hari

yang dianggap baik untuk berziarah ke

Makam Datuk yaitu Minggu, Senin dan

Kamis, akan tetapi menurut penuturan

penjaga makam (A.Tamrin), bahwa setiap

hari ada saja peziarah yang datang untuk

melakukan ritual maupun untuk melepas

nazar karena telah tercapai apa yang

diinginkan

2. Makam Raja Luwu XV (Andi

Patiware).

Makam ini sebenarnya berada satu

kompleks dengan makam Datuk Patimang,

karena itu jarak antara kedua makam tersebut

tidaklah berjauhan, yakni hanya kurang lebih

25 meter. Tujuan dan motivasi peziarah

mengunjungi makam tersebut juga

bermacam-macam, ada yang hanya untuk

melihat keberadaan makam seorang Raja

yang pertama kali memeluk agama Islam di

wilayahnya kemudian mendoakan arwahnya

agar diterima di sisi Tuhan, atau ingin

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133

Page 65: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

129 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

mengetahui sejarah perjuangannya, namun

ada juga sebagian masyarakat yang

menganggap dan percaya bahwa di kompleks

pemakaman Datuk Patimang dimana juga

terdapat makam Raja Luwu XV tersebut,

adalah tempat keramat yang dapat

mengabulkan segala permintaan bagi yang

memujanya melakukan ritual kepada

penguasa tempat ini.

Salah seorang pengunjung atau

peziarah (Darmin, 49 tahun) yang kebetulan

ditemui di kompleks makam mengatakan,

bahwa tujuan dia berziarah ke tempat ini

adalah untuk memohon berkah kepada arwah

penghuni kompleks pemakaman, bahwa

sekiranya setelah berada di perantauan

(Malaysia), dapat memperoleh pekerjaan

yang layak dengan penghasilan yang

memadai. Ada pula peziarah yang

bermunajat pada arwah Raja Luwu itu untuk

menyempurnakan ilmu kekebalan yang

diperolehnya dengan memanjatkan doa di

makam itu. Namun demikian, menurut

penjaga makam, peziarah yang rutin

berkunjung ke makam ini, adalah mereka

yang masih mempunyai keturunan dengan

Raja Luwu ke XV sehingga mereka

berkewajiban untuk mengunjungi dan

meminta berkah di makam itu. Tujuan dan

motivasi mereka adalah agar mendapat

karomah dari arwah leluhurnya, seperti

kelancaran rezeki, jabatan, kekebalan dan

berbagai niat lainnya.

Persepsi Masyarakat Peziarah Terhadap

Makam-Makam Keramat

Persepsi atau pandangan masyarakat

peziarah terhadap makam-makam tua yang

dikeramatkan di Kabupaten Luwu Utara,

seperti makam Datuk Patimang maupun

makam Raja Luwu XV sangat beragam. Ada

yang mempersepsikan bahwa makam Datuk

Patimang adalah merupakan makam seorang

ulama atau mubaliq besar yang banyak

diziarahi atau dikunjungi orang. Di tempat itu

dimakamkan seorang tokoh yang sudah

mendapat pengakuan sebagai seorang yang

dikasihi Allah dan seorang yang termasuk

waliyullah. Tokoh ini diyakini telah berjasa

besar dalam menyebarkan agama Islam,

khususnya di tanah Luwu.

Begitupun terhadap makam Raja

Luwu ke XV yang lokasinya tidak berada

jauh dari makam Datuk Patimang, oleh para

peziarah telah menganggapnya sebagai

makam seorang tokoh (Raja) yang telah

banyak berjasa kepada rakyatnya, terutama

saat disiarkannya agama Islam di

wilayahnya. Dia adalah orang (Raja) yang

pertama kali menerima ajaran Islam di

wilayahnya dari seorang mubalig besar,

yakni Datuk Patimang lalu manganjurkannya

kepada seluruh rakyatnya agar juga

mengikuti jejaknya, yakni menerima ajaran

Islam sebagai agama yang dimuliakan Allah.

Di tempat atau lokasi dari kedua

makam itu, pada hari-hari atau waktu tertentu

ramai dikunjungi orang untuk berziarah,

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 66: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 130

seperti hari menjelang memasuki bulan suci

Ramadhan, setelah melaksanakan hari raya

Idul Fitri atau Idul Adha dan pada saat bulan

Maulid. Pada hari-hari seperti ini, peziarah

yang datang jumlahnya lebih banyak bila

dibandingkan dengan hari-hari biasanya.

Mereka bukan hanya warga sekitar saja,

tetapi banyak pula yang datang dari luar

daerah, bahkan luar provinsi.

Setiap orang yang berziarah ke

makam Datuk Patimang ataupun makam

Raja Luwu XV, dalam dirinya diperkuat

dengan emosi keagamaan. Dengan emosi

keagamaan itu mereka berusaha memusatkan

dirinya pada alam sakral untuk memohon

kepada Allah di tempat yang diyakini sebagai

seorang kekasih Allah, sehingga dia berharap

ada barokah (berkah) yang kembali kepada

dirinya dan dapat terkabul segala hal yang

menjadi tujuannya datang berziarah ke

tempat itu.

Peziarah yang datang ke makam itu,

satu sama lain mempunyai persepsi atau

pandangan yang berbeda, tergantung dari

tujuan dan kebutuhan mereka datang ke

makam itu. Persepsi yang menyebutkan,

bahwa makam Datuk Patimang maupun

makam Raja Luwu XV merupakan tempat

yang dapat memberi “arti” bagi peziarah,

maksudnya adalah berkat keyakinannya,

seorang peziarah dapat menemukan

“sesuatu” yang diharapkannya. Peziarah

lainnya mempunyai persepsi, bahwa makam

Datuk Patimang merupakan tempat untuk

meminta sesuatu apa saja yang diinginkan.

Persepsi seperti ini telah dibuktikan salah

seorang peziarah Abd. Asis (39 tahun) yang

berasal dari Kabupaten Luwu Timur dan

bekerja sebagai karyawan swasta. Ia

menuturkan bahwa sejak telah menikah

sembilan tahun yang lalu, hingga kini belum

dikaruniai seorang anak. Berbagai upaya

telah dilakukannya, baik ke dokter maupun

ke pengobatan alternatif tetapi belum

membuahkan hasil. Karena ia penasaran, ia

pun tekun beribadah kemudian berziarah ke

makam Datuk Patimang dan berdoa kepada

Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara

berulangkali, ia berziarah sambil memohon

barokah kepada Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, berkat kebesaran Yang Maha

Kuasa, isterinya pun akhirnya dikaruniai

anak. Menurut pengakuannya, sejak itulah

sering berkunjung atau berziarah ke makam

Datuk, baik untuk keperluan urusan keluarga

maupun untuk urusan lainnya.

Sementara itu banyak juga peziarah

yang mempunyai persepsi, bahwa makam

Datuk Patimang adalah tempat untuk mencari

dan bisa memberi harapan hidup yang lebih

baik dari sekarang. Persepsi seperti ini

diyakini oleh peziarah lainnya (Muh. Asrul

(42 tahun), peziarah dari Sidrap yang

berprofesi sebagai buruh tani dan Herman

(29 tahun) yang belum memiliki pekerjaan

tetap. Menurutnya, berziarah ke makam ini

niatnya untuk mencari keberkahan sehingga

ada perubahan pada nasibnya. Keduanya baru

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133

Page 67: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

131 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

mengetahui bahwa makam Datuk Patimang

itu sebagai makam yang banyak dikunjungi

peziarah setelah diberitahu oleh kerabatnya

yang juga pernah melakukan kunjungan ke

makam yang sama. Namun karena terdorong

oleh niatnya yang tulus, akhirnya keduanya

pun mencoba melakukan ziarah sambil

berusaha mengubah nasibnya. Kedua

peziarah tersebut mengatakan, bahwa kami

datang ke makam ulama besar (Datuk

Patimang) tersebut dengan maksud berziarah,

semoga dengan perantaraan ziarah ini ada

perubahan pada nasib saya.

Bagi peziarah yang percaya dan

ternyata berhasil dalam menjalankan

usahanya, maka persepsi mengenai makam

Datuk Patimang maupun makam Raja Luwu

XV sebagaimana digambarkan di atas akan

semakin kuat. Namun demikian menurut juru

pelihara makam dan seorang tokoh

masyarakat setempat, persepsi bahwa

makam Datuk Patimang maupun makam

Raja Luwu merupakan tempat untuk

meminta rezeki, itu adalah keliru dan salah

besar. Kedua informan tersebut menegaskan,

bahwa kalau memang sekiranya terdapat

peziarah yang berhasil dalam usahanya

setelah memanjatkan doa dan

permohonannya di tempat makam itu adalah

kehendak Allah Yang Maha Kuasa, bukan

karena makam-makam tersebut.

Lokasi atau lingkungan makam Datuk

Patimang maupun makam Raja Luwu XV

merupakan tempat yang sejuk dan tenang

sehingga pengunjung atau peziarah yang

berada di tempat itu dapat berkonsentrasi

dengan baik dan khusuk dalam berdoa.

Dengan kondisi demikian akan memudahkan

hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Di samping adanya persepsi yang

menyatakan bahwa makam Datuk Patimang

maupun makam Raja Luwu dapat

memberikan keberuntungan, memberikan

harapan baru, tempat untuk meminta segala

macam keinginan dan harapan, dan lain

sebagainya yang lebih bersifat material,

terdapat pula peziarah yang mempunyai

persepsi atau pandangan yang lebih rasional,

bahwa makam Datuk Patimang dan makam

Raja Luwu itu merupakan tempat untuk

mendoakan arwah atau leluhur yang telah

meninggal agar selalu diberi tempat yang

layak di sisi Allah SWT. Persepsi atau

pandangan seperti ini, lebih menekankan

pada kebutuhan hidup spiritual. Para peziarah

tersebut menyatakan bahwa makam Datuk

Patimang merupakan tempat sakral dan suci.

Tujuan utama mereka hanyalah semata

berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah

SWT. Bagi mereka, mendoakan orang yang

sudah tiada (meninggal) merupakan

perbuatan yang baik. Demikian pula

mendoakan arwah Datuk Patimang dan Raja

Luwu XV. Dengan cara demikian semoga

Allah memberi berkah kepada yang didoakan

dan kepada yang mendoakannya. Atas

berkah-Nya, semoga apa yang dinginkan

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 68: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 132

dalam kehidupannya dikabulkan dan diberi

kelancaran dalam berbagai hal.

PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah

dikemukakan di atas, maka pada bagian

penutup ini dapat disimpulkan, bahwa

kepercayaan masyarakat terhadap

kekeramatan makam-makam tua yang ada di

Kabupaten Luwu Utara, khususnya di Desa

Patimang Kecamatan Malangke, masih

dijadikan sebagai salah satu instrumen

pemujaan untuk memperoleh keberkahan dan

mujizat terhadap doa-doa yang dipanjatkan.

Para peziarah yang datang dari berbagai

profesi biasanya melakukan kunjungan

secara rutin pada makam-makam yang

dianggap telah memberi keberkahan,

sehingga mereka mengikatkan diri dengan

salah satu makam yang dikultuskan untuk

selalu melakukan ritual di makam tersebut.

Peziarah yang datang berkunjung ke

makam-makam tua yang dikeramatkan itu,

baik makam Datuk Patimang maupun makam

Raja Luwu XV, dilandasi dengan niat dan

tujuan yang didorong oleh kemauan batin

yang kuat. Adanya niat dan tujuan tersebut

membuat motivasi peziarah menjadi

beragam. Demikian, niat dan tujuan itu juga

dipengaruhi oleh informasi yang diperoleh.

Umumnya peziarah itu mendengar atau

diberitahu temannya, ataupun kerabatnya

tentang kharisma sebuah makam yang

dianggap dapat memberi harapan untuk

hidup lebih baik dari sekarang, memberi

keselamatan, ketenangan hidup dan

sebagainya. Niat mereka untuk ziarah itu

selain karena atas dorongan diri sendiri, ada

juga karena diajak atau dianjurkan oleh

teman atau kerabatnya, terutama oleh mereka

yang merasa berhasil mencapai keinginannya

setelah melakukan ziarah. Karena itulah cara

berkunjungnya juga bermacam-macam, ada

yang seorang diri, diajak teman atau keluarga

dan ada juga yang datang secara rombongan.

Persepsi atau pandangan masyarakat

peziarah terkait dengan kunjungan ke

makam-makam tua yang dikeramatkan itu

cukup beragam. Di antara persepsi itu, ada

yang menyebutkan, bahwa makam Datuk

Patimang maupun makam Raja Luwu XV

(Andi Patiware) merupakan tempat yang

dapat memberi arti bagi peziarah, maksudnya

adalah berkat keyakinannya, seorang

peziarah dapat menemukan sesuatu yang

diharapkannya. Di sisi lain, ada juga peziarah

yang mempersepsikan, bahwa makam Datuk

Patimang adalah tempat untuk mencari dan

bisa memberi harapan hidup yang lebih baik

dari sekarang. Bagi peziarah yang percaya

dan ternyata berhasil dalam menjalankan

usahanya, maka apa yang dipersepsikan

mengenai makam keramat itu akan semakin

kuat. Namun persepsi seperti itu ditentang

oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat

karena menganggap tidak sesuai lagi dengan

kaidah-kaidah keislaman, dan jika sekiranya

terdapat peziarah yang berhasil dalam

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 117-133

Page 69: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

133 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

usahanya setelah memanjatkan doa dan

permohonannya di tempat makam itu, maka

itu adalah kehendak Allah Yang Maha

Kuasa, bukan karena makam dimana dia

berdoa dan bermohon.

DAFTAR PUSTAKA

Bogdan, Ribert dan Steven J Tylor. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.

Baal, Van J. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta: PT. Gramedia.

Darmawan, Sigit, dkk. 2006. Laporan Pemetaan Kompleks Makam Patimang Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta: Kanisius. Koentjaranigrat. 1997. Pengantar Antropolog (Pokok-Pokok Etnografi). Jakarta: PT. Rineka

Cipta. Koentjaranigrat. 2011. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. (Cetakan kesembilan

belas). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Lestari, Eka. 2014. Islamisasi di Kerajaan Luwu Abad XVII (Skripsi). Makassar: Fakultas

Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar. Mahmud, M. Irfan. 2012. Datuk ri Tiro: Penyiar Islam di Bulukumba. Yogyakarta: Penerbit

Ombak. Mulder, Niels. 1986. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah

Mada University Pres. Natsir, Moh, dkk. 2009. Kepurbakalaan Islam di Sulawesi Selatan. Makassar: Balai

Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar Nawir. 1997/1998. Sejarah Islam di Luwu. Laporan Hasil Penelitian. Makassar: BKSNT

Ujung Pandang. Purnama, H.L. 2014. Kerajaan Luwu: Menyimpan Banyak Misteri. Makassar: Arus Timur. Salam, Rahayu. 2015. Persepsi Masyarakat Terhadap Ziarah Makam Datok Ri Tiro Di

Kecamatan Bonto Tiro Kabupaten Bulukumba. Makassar: Jurnal Penelitian Vol. 6 no. 2.

Sugiono. 2007. Memahami Penelitian Kualiatif. Bandung: Alfabeta. Suteja. 2010. Pesiarah Kubur Makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Proposal Penelitian

Mandiri. Hajisteja’s Blog. Posted on June 13 Saleh, Nur Alam, 2001. Persfektif Makam Syek Yusuf Sebagai Wisata Budaya Di Daerah

Kabupaten Gowa. Laporan Penelitian. Makassar: BPSNT Makassar.

Persepsi Masyarkat Peziarah terhadap Makam Kemarat di Kabupaten Luwu Utara, Ansaar

Page 70: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 134

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Page 71: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

135 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

PERANAN BANGSAWAN BONE DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DARI SWAPRAJA KE KABUPATEN (The Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency) Risma Widiawati Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 e-mail: [email protected]

INFO ARTIKEL

Histori Artikel Diterima: 30 Juni 2018 Direvisi: 27 Agustus 2018 Disetujui: 5 November 2018

Keyword

Nobleman, Bone, Swapraja Kata Kunci Bangsawan, Bone, Swapraja

ABSTRACT

Bone Regency as part of South Sulawesi is a very interesting area to discuss. This area is not only part of the history of South Sulawesi, but also a historical flow of South Sulawesi. the existence of nobles who are so attached to the joints of the lives of the people of Bone is still interesting to be examined to this day. Based on this, the article aims to reveal the role of Bone nobility in the swapraja government system to the regency (1950 - 1960). The political development of the government during this period was seen as sufficiently influencing the political dynamics of the government in Bone Regency which continued even today. The method used is the method of historical research with four stages, namely, heuristics, criticism (history), interpretation, and presentation (historiography). The results of the study show that after the transition from swapraja to regency, the role of nobility is still very calculated. But it is no longer like in the period before the transition, where the government was ruled by the king / aristocracy. At this time the level of intelligence is also taken into account. Apart from the fact that the structure of the government is indeed different because the process of appointing head of government is also different. But in general the role of nobility after the transition was not much different, where there were still many nobles holding power. ABSTRAK

Kabupaten Bone sebagai bahagian dari Sulawesi Selatan merupakan suatu daerah yang sangat menarik untuk dibicarakan. Daerah ini bukan saja merupakan bagian dari sejarah Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan arus sejarah Sulawesi Selatan. keberadaan bangsawan yang begitu melekat di dalam sendi kehidupan masyarakat Bone masih menarik untuk ditelisik sampai hari ini. Berdasarkan hal tersebut, maka artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang peranan bangsawan Bone dalam sistem pemerintahan swapraja ke kabupaten (1950 – 1960). Perkembangan politik dari pemerintahan selama periode ini dipandang cukup mempengaruhi dinamika politik dari pemerintahan di Kabupaten Bone yang berlangsung bahkan sampai sekarang. Metode yang digunakan adalah adalah metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yaitu, heuristik, kritik (sejarah), intrepretasi, dan penyajian (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah peralihan dari swapraja ke kabupaten, peranan bangsawan masih sangat diperhitungkan. Namun tidak lagi seperti pada masa sebelum peralihan, di mana pemerintahan dikuasai oleh raja/aristokrasi. Pada masa ini tingkat kecerdasan juga diperhitungkan. Selain karena struktur pemerintahannya memang berbeda juga karena proses pengangkatan kepala pemerintahan juga berbeda. Namun secara umum peran bangsawan setelah masa peralihan tidak jauh berbeda, di mana masih banyak bangsawan yang memegang kekuasaan.

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 72: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 136

PENDAHULUAN

Sejarah merupakan masa

lampau yang hanya terjadi sekali saja dan

tidak akan mungkin dapat berulang kembali.

Namun demikian masa lampau dapat

dijadikan cerminan masa kini dan masa yang

akan datang. Tidak dapat dipungkiri bahwa

sejarah banyak memberikan sumbangan yang

berarti bagi masa kini. Hanya dengan

demikian sejarah menjadi masa lampau yang

hidup dalam ingatan manusia. Ingatan

tentang masa lampau dapat bermanfaat

positif jika realitas obyektifnya didukung

oleh analisa kritis terhadap kesaksian yang

masih dapat diterima.

Bone sebagai bahagian dari

Sulawesi Selatan merupakan suatu daerah

yang sangat menarik untuk dibicarakan.

Daerah ini bukan saja merupakan bagian dari

sejarah Sulawesi Selatan, tetapi juga

merupakan arus sejarah Sulawesi Selatan. Di

mana antara tahun 1950-1960 Bone

mengalami perubahan sistem pemerintahan

dari pemerintahan Swapraja menjadi

pemerintahan Kabupaten yang melibatkan

pembesar-pembesar kerajaan Bone dan

pemerintahan RI.

Nampaknya budaya panutan

dalam masyarakat Sulawesi Selatan di jaman

perang kemerdekaan masih sangat kuat

berperan dalam kehidupan kita. Tingkah laku

dan perbuatan mereka patuh sepenuhnya

kepada apa yang dinyatakan dan apa yang

diperintahkan oleh para bangsawannya.

Bangsawan merupakan bagian dari penguasa

daerah. Umumnya penempatan dan

pengangkatan seorang penguasa daerah atau

raja sangat bergantung pada kemurnian

kebangsawanannya, karena kemurnian

daerah menunjukkan kepada kepentingan

derajat kebangsawanan. “Semakin tinggi

derajat kebangsawanan seseorang makin

banyak pula hak-hak istimewa yang

dimilikinya” (Kadir, 1994 : 28).

Pekerjaan utama bangsawan

adalah bidang pemerintahan, khususnya

mengatur penggunaan tanah dan

menyelesaikan persengketaan. Baik

kedudukan politik maupun kekuasaan

ekonomi berkaitan erat dengan status kelas,

karena pada umumnya diterima bahwa tidak

ada orang yang dapat memaksakan

kekuasaan atas orang lain yang berpangkat

lebih tinggi dari pada dia sendiri. Dengan

demikian, jelas bahwa golongan

bangsawanlah yang menguasai tanah dan

memegang posisi monopoli atas kekuasaan.

Walaupun demikian, derajat

kebangsawanan bukanlah merupakan satu-

satunya faktor pendukung kedudukan

seseorang dalam hirarki kekuasaan. Pada

dasarnya terdapat persyaratan lain sebagai

penopang seseorang untuk menduduki

kepangkatan kekuasaan seperti kepandaian,

keberanian,kejujuran, kemanusiaan dan adil.

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151

Page 73: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

137 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Dalam perkembangan

selanjutnya sebagian besar kawasan Sulawesi

Selatan dikuasai oleh Belanda yang

kemudian memperkenalkan dan

melaksanakan sistem politik baru, yakni

melaksanakan sistem birokrasi dan

administrasi Barat. Namun demikian

kehidupan adat setempat tidak mengalami

perubahan. Itulah sebabnya pada saat

revolusi pada tahun 1945, masyarakat

Sulawesi Selatan tidaklah mengalami

revolusi sosial. Hubungan antara raja dan

kelompok feodal dengan anggota masyarakat

tetap normal sampai diproklamirkannya

kemerdekaan Republik Indonesia pada

tanggal 17 Agustus 1945.

Dampak dari adanya

hubungan yang harmonis antara kelompok

principality (kerajaan) dengan masyarakat,

khususnya ketika revolusi meletus, maka

masyarakat menerima kepemimpinan raja

selama revolusi berlangsung. Tidak ada rasa

kecurigaan rakyat kepada mereka semua

berjalan sebagaimana mestinya.

Masyarakat di daerah-daerah

yang sudah banyak dipengaruhi pendidikan

dan alam pikiran Barat serta pandangan

hidup baru, mungkin memandang jabatan

raja itu sudah tidak lagi meliputi tugas mati.

Dalam keadaan demikian pendemokrasian

swapraja berarti penghapusan jabatan raja

yang berarti pula penghapusan swapraja itu.

Apabila jabatan raja tidak dihapuskan maka

swapraja itu tetap ada.

Sesungguhnya istilah swapraja

dapat diartikan sebagai suatu daerah yang

berpemerintahan sendiri dan berhubungan

erat dengan jabatan raja. Soal dapat tidaknya

swapraja dihapuskan adalah soal dapat

tidaknya jabatan raja di suatu daerah

dihapuskan. Jika jabatan raja itu tetap

dihapuskan, maka swapraja yang

bersangkutan dapat dihapuskan pula. Adalah

kebijaksanaan politik untuk menentukan

apakah di suatu daerah otonomi jabatan raja

itu dapat dihapuskan atau tidak. Kalau

kebijaksanaan politik itu dilakukan atas dasar

kerakyatan, maka penetapan dapat tidaknya

jabatan raja dihapuskan di suatu daerah akan

bergantung pada kehendak yang sebenarnya

dari rakyat yang bersangkutan.

Berdasar dari uraian di atas,

maka penulis merasa tertarik untuk

mengungkapkan tentang peranan bangsawan

Bone dalam sistem pemerintahan Swapraja

ke Kabupaten. Perkembangan politik dari

pemerintahan selama periode ini dipandang

cukup mempengaruhi dinamika politik dari

pemerintahan di Kabupaten Bone yang

berlangsung bahkan sampai sekarang.

Dari uraian latar belakang

yang dikemukakan sebelumnya, maka

permasalahan pokok dalam penelitian dan

penulisan artikel ini adalah “bagaimana

peranan bangsawan Bone dalam sistem

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 74: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 138

pemerintahan dari Swapraja ke Kabupaten”.

Batasan temporal dimulai pada tahun 1950

merupakan masa pemerintahan swapraja di

Bone dan berakhir pada tahun 1960 yang

merupakan tonggak dimulainya sistem

pemerintahan dengan bentuk kabupaten,

yang disesuaikan dengan Undang-undang

nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan

daerah tingkat II di Sulawesi.

METODE Sebagai suatu kajian ilmiah yang

pembahasannya terfokus pada masa lampau,

maka penulisan menggunakan metode historis,

yaitu suatu metode penelitian yang khusus

digunakan dalam penelitian sejarah dengan

melalui tahapan tertentu. Dalam penerapannya,

metode ini menempuh tahapan-tahapan kerja,

sebagaimana yang dikemukakan oleh

Notosusanto (1971 : 17) yaitu, Heuristik, Kritik

(Sejarah), Intrepretasi, dan Penjajian. Sesuai

dengan metode historis tersebut di atas, maka

langkah proses dalam penelitian dan penulisan

artikel ini adalah :

1. Heuristik

Tahapan ini merupakan langkah awal

dalam penelitian sejarah. Pada tahap ini kegiatan

diarahkan pada penjajakan, pencarian dan

pengumpulan sumber. Adapun langkah yang

ditempuh dalam mengumpulkan sumber sebagai

berikut :

a. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan dengan

jalan mendatangi lokasi atau daerah yang akan

diteliti untuk mendapatkan data yang lebih

akurat. Tahap pengumpulan data pada kegiatan

lapangan dapat ditempuh dengan cara

wawancara.

Wawancara dapat diartikan sebagai

teknik pengumpulan data dengan mengadakan

tanya jawab dengan orang-orang yang dianggap

mengetahui akan suatu peristiwa yang dibahas.

Dalam melakukan wawancara ini penulis

mengadakan tanya jawab dengan orang-orang

yang terlibat langsung dalam struktur dan

organisasi pemerintahan di Bone baik pada masa

Swapraja maupun pada masa kabupaten.

Dalam melakukan wawancara ini, penulis

tentunya dihadapkan pada berbagai jenis

golongan. Olehnya itu, pelaksanaan wawancara

dibagi dalam dua bagian cara mendapatkan data,

yakni dengan menggunakan informan kunci atau

orang yang mengetahui tentang peranan

bangsawan Bone terhadap perubahan sistem

pemerintahan dari Swapraja ke Kabupaten. Selain

itu peneliti juga menggunakan informan pangkal,

yakni orang yang mampu memberikan informasi

maupun data tambahan tentang apa yang telah

diberikan oleh informan kunci.

Wawancara yang dilakukan oleh penulis,

pada dasarnya bertujuan menciptakan hubungan

yang bebas dan wajar dengan para informan. Hal

ini dimaksudkan agar para informan tidak merasa

terpaksa memberikan keterangan yang diperlukan

oleh penulis. Hasil dari wawancara ini dapat

direkam atau dicatat untuk selanjutnya diperbaiki

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151

Page 75: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

139 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

pada saat penyusunan laporan penelitian. Selain

itu peneliti juga menggunakan dokumentasi

penelitian. Hal tersebut dilakukan agar data yang

diperoleh peneliti sifatnya obyektif dan dapat

dipertanggungjawabkan.

b. Penelitian Pustaka

Pada tahap ini penulis berusaha

mengumpulkan sumber-sumber pustaka

berupa buku-buku tentang peranan

bangsawan dan sistem pemerintahan baik

itu pemerintahan pada masa Swapraja

maupun pada masa kabupeten, sumber

tersebut dapat diperoleh pada pemerintah

daerah, toko buku maupun perpustakaan.

Dengan demikian dapat digambarkan

secara jelas mengenai peranan bangsawan

Bone dalam sistem pemerintahan dari

Swapraja ke kabupaten.

Adapun buku-buku yang dikumpulkan

oleh penulis yang tentunya berkaitan

dengan masalah yang akan dibahas

adalah :

a. Bone selayang pandang oleh Andi

Muhammad Ali, Watampone 1985.

b. Sejarah perjungan kemerdekaan RI di

Sulawesi Selatan 1945-1950 oleh Harun

Kadir, penerbit Lephas, Ujung Pandang

1982.

c. Elit dalam perspektif sejarah oleh Sartono

Kartodirjo, penerbit LP3ES, Jakarta 1981.

d. Sejarah pemerintahan di Indonesia Babak

Hindia Belanda dan Jepang oleh Bayu

Suryaningrat, penerbit Dewaruci Press,

Jakarta 1981.

e. Sejarah pemerintahan di Indonesia oleh

Irawan Soejito, penerbit Pradnya Pramita,

Jakarta 1984.

f. Sejarah birokrasi pemerintahan di

Indonesia dahulu dan sekarang oleh P.J.

Suwarno, penerbit Universitas Atmajaya,

Yogyakarta 1989.

2. Kritik Sumber

Pada tahap kritik, sumber yang telah

dikumpulkan pada kegiatan heuristik dilakukan

penyaringan atau penyeleksian. Kegiatan ini

dilakukan untuk menguji sumber melalui kritik

ekstern dan kritik intern. Untuk mengetahui

penjelasan dari kedua aspek tersebut, baik ekstern

maupun intern akan diuraikan sebagai berikut :

Kritik ekstern atau kritik luar dilakukan

untuk meneliti keaslian sumber, apakah

sumber tersebut valid, asli, dan bukan

tiruan, sumber tersebut utuh dalam arti

belum berubah baik bentuk maupun

isinya. Penelitian sumber yang

berkaitan dengan peranan bangsawan

Bone dalam sistem pemerintahan dari

Swapraja ke Kabupaten ditulis setelah

peristiwa tersebut berlangsung, sehingga

kritik terhadap bahan, jenis tulisan gaya

bahasa dari tulisan tidak dapat dilakukan.

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 76: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 140

Kritik ekstern hanya dapat dilakukan

pada sumber yang menjadi rujukan

penulis. Di samping itu penilaian juga

dilakukan terhadap latar belakang

penulis, asal daerah, waktu penulisan

serta memperhatikan apakah diantara

penulis tidak saling mengutip.

Kritik intern atau kritik dalam dilakukan

untuk meneliti sumber yang berkaitan dengan

masalah penelitian dan penulisan artikel peneliti.

Untuk mengetahui keabsahan suatu sumber,

maka dapat dilakukan dengan membandingkan

antara sumber yang satu dengan sumber yang lain

dalam masalah yang sama. Setelah mendapatkan

data yang akurat dan kredibel yang dilakukan

melalui tahap kritik, maka langkah selanjutnya

diadakan interpretasi terhadap fakta sejarah.

3. Interpretasi

Setelah kritik sumber selesai, kemudian

diadakan interpretasi atau penafsiran terhadap

fakta sejarah yang diperoleh dalam bentuk

penjelasan terhadap fakta tersebut seobyektif

mungkin. Dengan demikian sangat diperlukan

kehati-hatian atau integritas seorang penulis

untuk menghindari interpretasi yang subyektif

terhadap fakta. Hal tersebut dimaksudkan untuk

memberi arti terhadap aspek yang diteliti,

mengaitkan antara fakta yang satu dengan fakta

yang lainnya agar ditemukan kesimpulan atau

gambaran peristiwa sejarah yang ilmiah.

4. Penulisan Sejarah atau Historiografi

Penulisan sejarah atau historiogafi ini

merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian

prosedur kerja dari metode historis. Hasil

penulisan tersebut, merupakan hasil dari

penemuan sumber-sumber yang diseleksi melalui

kritik baik ekstern maupun intern, kemudian

diinterpretasi, lalu disintesa yang selanjutnya

disajikan secara deskriptif.

PEMBAHASAN

1) Bangsawan Pada Zaman Swapraja

(1950-1959)

Kedatangan To Manurung

yang melahirkan golongan bangsawan

diterima dengan baik oleh rakyat.

Kelompok bangsawan mempunyai

peranan yang sangat besar sebagai

pemimpin terhadap rakyat rakyat di

Sulawesi Selatan dan kemajuan negeri

(kerajaan) sebelum datangnya pengaruh

bangsa Eropa di Sulawesi Selatan.

Sebagai kelompok yang berpengaruh

terhadap rakyat pengikutnya, maka

kelompok bangsawan ini tidak lepas dari

penilaian rakyat tempat bangsawan

tersebut berpengaruh.

Dalam masyarakat berlaku

norma aristokrasi yang menggariskan

perlakuan masyarakat kepada kelompok

bangsawan oleh masyarakat biasa seperti

dipuja, sehingga kedudukan yang

demikian ini, kelompok bangsawan

diperlakukan secara istimewa dalam

masyarakat sebagai golongan yang

berdarah biru. Sebagai kelompok

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151

Page 77: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

141 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

pemegang kekuasaan tentunya kehidupan

dan masa depannya terjamin, karena

mereka memperoleh jabatan sesuai

dengan tingkat kebangsawanannya.

“Dalam sistem kenegaraan masyarakat

tradisonal Sulawesi Selatan, termasuk di

Bone, status sosial seseorang dipengaruhi

secara langsung atas bebagai jabatan-

jabatan dalam kenegaraan” (Palimmei,

wawancara tanggal 27 Juni 2017).

Kaum bangsawan meskipun

sedikit namun mereka memperoleh

perlakuan istimewa dalam masyarakat.

Pekerjaan dalam bidang pemerintahan

merupakan hak istimewa kaum

bangsawan yang secara internal masih

dapat dibedakan dalam berbagai derajat

dan lapisan. Meskipun kedudukan raja

(bangsawan) dalam kerajaan-kerajaan

Bugis dan Makassar termasuk di kerajaan

Bone dipilih berdasarkan keturunan,

namun ketentuan dan pemilihannya lebih

banyak ditetapkan oleh Hadat, yang

dalam beberapa peristiwa sejarah dapat

berbeda dengan keinginan raja sendiri

mengenai calon penggantinya.

Palace of the Sultan of Bone, c. 1900-1920 Sumber: www.tropenmuseum.com

Setelah kedatangan bangsa

Eropa di Sulawesi Selatan, khususnya

bangsa Belanda, maka pemerintahan

sehari-hari dilaksanakan oleh Belanda.

Namun dalam pelaksanaan pemerintahan

sehari-hari pihak Belanda masih sering

mengalami hambatan-hambatan dari

rakyat yang dipelopori oleh para

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 78: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 142

bangsawan yang tidak senang terhadap

penjajahan Belanda. Kedudukan

bangsawan yang sangat kuat itu, harus

dengan cepat diperhitungkan oleh

Belanda yang kebijaksanaan aslinya

adalah menyerang para bangsawan atau

penguasa dengan harapan dapat menarik

simpatik dari bawahan mereka yang

tertekan.

Salah satu usaha Belanda yang

menghasilkan keuntungan bagi Belanda

selanjutnya adalah dengan usaha

memberikan pemerintahan sendiri kepada

bangsawan yang disetujui oleh Gubernur

Selebes waktu itu (S.L. Couvereur).

Daerah swapraja diberi kebebasan untuk

melestarikan pemerintahan tradisionalnya

dengan batasan-batasan yang ditetapkan

dalam kontrak panjang dan pernyataan

pendek. Sedangkan untuk

mengintegrasikan dengan pemerintahan

pusat, Belanda menempatkan pejabatnya

di daerah-daerah yang bersangkutan.

Pejabat-pejabat tersebut dapat berpangkat

Gubernur, Resident, Asisten Resident dan

Controleur, tergantung pada besar

kecilnya daerah swapraja yang

diawasinya. Pejabat Belanda tersebut

bertugas mengawasi dan mendampingi

pemerintahan tradisional.

Pada tahun 1931, Gubernur

Selebes memberikan kesempatan kepada

bangsawan atau pemuka rakyat untuk

membentuk pemerintahan sendiri yang

disebut zelfbestuur landschap atau yang

dikenal dengan swapraja untuk tiap

kerajaan termasuk kerajaan Bone. Setelah

terbentuknya pemerintahan zelfbestuur

Bone yang dipimpin oleh seorang

Tomarilaleng dengan Hadat Tujuhnya,

maka pada tanggal 2 April 1931

dilantiklah La Tenri Sukki Andi

Mappanyukki sebagai Raja Bone, ia tetap

harus melaporkan segala kegiatan

pemerintahannya kepada Controleur

namun ia tetap berusaha menjaga

pertentangan yang terjadi antara

pemerintahan tradisionalnya dengan

pemerintahan Hindia Belanda

(Rismawidiawati, 2016: 203-204).

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151

Page 79: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

143 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Dewan Hadat Tujuh (Ade Pitue Bone)

Sumber: www.KITLV.com

Kembalinya Andi Mappanyukki menjadi

raja Bone setelah 25 tahun tidak berarti

bahwa pemerintahan modern yang

sebelumnya telah diperkenalkan oleh

Pemerintah Hindia Belanda tidak berlaku.

Pemerintah Hindia Belanda

memberlakukan aturan cukup ketat dalam

hal pengangkatan seseorang di dalam

pemerintahannya. Walaupun banyak

bangsawan karena kemampuan dan

kecakapannya mampu menduduki jabatan

seperti regent (Mappangara, 2004: 183).

Kepala dan penguasa yang

lebih tinggi secara kurang mencolok

berada di bawah pemerintahan Eropa

dalam urutan hierarki, karena

ditempatkan dalam suatu hierarki paralel

di bawah bimbingan pegawai sipil

kolonial. Dalam satu hal ada pemisahan

antara kewibawaan dan kekuasaan.

Kewibawaan tetap berada di tangan

penguasa tradisional (bangsawan)

sekalipun kekuasaan di tangan

Pemerintahan Hindia Belanda. Para

penguasa tradisional tidak mempunyai

kekuasaan untuk bertindak atas

prakarsanya sendiri tanpa persetujuan

dari pemerintah Belanda. Para pegawai

pemerintah kolonial kekurangan

kewibawaan atas penduduk dan

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 80: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 144

bergantung pada kerjasama dengan

masyarakat setempat untuk memastikan

kepatuhan rakyat terhadap perintah-

perintah pemerintah.

Khusus kaum bangsawan di

Sulawesi Selatan termasuk di daerah

Bone dapat dilihat peranan dan

keterlibatannya dalam proses perjuangan

membela negara melawan Belanda,

mempunyai andil yang sangat besar dan

berarti hingga terwujudnya proklamasi

kemerdekan RI tanggal 17 Agustus 1945.

Sampai pada periode Andi Mappanyukki

di zaman revolusi 1945, raja dan rakyat

Sulawesi Selatan terus menerus

melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Konsekuensi dari perjuangan Andi

Mappanyukki dan putranya Andi

Pangerang Petta Rani di zaman revolusi

1945, Andi Mappanyukki kemudian

ditahan oleh Belanda bersama putranya

dan kemudian diasingkan ke Rantepao.

Tahta Andi Mappanyukki sebagai raja

Bone yang dilantik oleh Belanda pada

tahun 1931 dicopot dari tangannya.

Kemudian Belanda mengangkat raja

Bone untuk menggantikan Andi

Mappanyukki.

Namun demikian Andi

Mappanyukki sendiri telah

mengundurkan diri pada tahun 1946 dari

jabatannya karena tidak mau bekerjasama

dengan Belanda, kemudian ia diasingkan

ke Rantepao Tana Toraja. “Selanjutnya

Belanda mengangkat Andi Pabbenteng

sebagai Raja Bone seorang lawan politik

Andi Mappanyukki dan bersedia

bekerjasama dengan pemerintah Belanda”

(Andi Mappasissi Petta Awangpone,

wawancara tanggal 27 Juni 2017).

Andi Pabbenteng diangkat

menjadi raja Bone pada tanggal 19 Juni

1946, sekaligus sebagai kepala keamanan

kerajaan Bone oleh Belanda. Andi

Pabbenteng mulai menanamkan

kedisiplinan selaku seorang pemimpin,

juga mengembalikan harga dirinya

setelah diasingkan oleh raja Andi

Mappanyukki. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Kadir (1994 : 57)

sebagai berikut :

Program kerja yang paling utama pada awal pemerintahannya adalah menciptakan keamanan dalam kerajaan Bone. Cara kedisiplinan dalam memimpin meyebabkan para pengikut Andi Mappanyukki mulai dari raja-raja kecil sampai pada pegawai-pegawai dan sebagian aparat kerajaan bergeser secara bertahap mengikuti kepala keamanan yang baru ini.

Namun pada 2 Maret 1953, Andi

Pabbenteng dan seluruh anggota dewan adat tujuh

melepaskan jabatan. Walaupun demikian ada juga

sumber yang mengatakan bahwa Andi

Pabbenteng dipecat sebagai raja Bone karena

rakyat sudah tidak menghendakinya lagi karena

dianggap bekerja sama dengan Belanda

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151

Page 81: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

145 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

walaupun. Hal ini tentu masih butuh penelitian

lebih lanjut (Rismawidiawati, 2016: 208).

Terlepas dari kontroversi kedudukannya sebagai

raja yang bekerjasama dengan Belanda, Andi

Pabbenteng dimasanya mampu membawa

keamanan di tanah Bone. Andi Mappanyukki

akhirnya dikembalikan lagi menjadi Kepala

Daerah dan rakyat masih menyebutnya Raja

Bone.

Kharisma dan kewibawaan Andi

Mappanyukki di kalangan bangsawan

tidaklah perlu diragukan lagi. Dia secara

tidak resmi menjadi pimpinan di

kalangan penguasa-penguasa feodal di

Sulawesi Selatan. Dengan posisinya ini

Andi Mappanyukki dapat pula dikatakan

sebagai tokoh sentral di kalangan kaum

aristokrat. Gagasan dan nasihatnya

terhadap kelompoknya, umumnya

didengarkan dan tentu saja diikuti.

Kelompok bangsawan

meskipun menduduki posisi sebagai elite

strategis di masyarakat atau dalam

struktur sosial sebagai pemimpin puncak

dalam struktur politik atau kekuasaan

tidaklah memiliki kekuasaan yang

bersifat mutlak. Tingkah laku raja dan

bangsawan dibatasi oleh norma sosial

yang telah disepakati bersama dalam

perjanjian pemerintahan dan kontrak

sosial dalam terbentuknya swapraja.

Sejak Belanda menduduki

wilayah Sulawesi Selatan mulai

berdirinya VOC sampai runtuhnya dan

digantikan secara langsung oleh

pemerintah kerajaan Belanda, raja dan

kelompok bangsawan tidak pernah

berhenti berjuang melawan Belanda.

Demikian pula rakyat selalu mendukung

dan membantu secara langsung.

Demikian juga dalam perjuangan

kemerdekaan, kelompok bangsawan

Sulawesi Selatan telah berperan sebagai

pendukung nasionalisme. Dengan

demikian kelompok bangsawan dalam

peranannya sebagai pendukung

nasionalisme tidak hanya memberikan

kemudahan berupa sumbangan untuk

kepentingan tetapi juga menjadi

pemimpin dalam operasi militer melawan

Belanda.

Seperti yang dilakukan oleh

Andi Mappanyukki sebagai Raja Bone

ke-32 dengan putranya Andi Pangerang

Petta Rani, yang berpihak kepada

Republik tanpa memperdulikan tahtanya,

yang bagi kelompok bangsawan lainnya

mungkin sukar untuk ditinggalkan dalam

menjatuhkan putusan untuk tetap setia

kepada Republik. Tetapi bagi Andi

Mappanyukki yang berpatriotik dan

nasionalistik ini bukanlah menjadi

kendala dalam mendukung perjuangan

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 82: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 146

untuk mencapai dan mempertahankan

kemerdekaan.

2) Bangsawan Pada Masa Kabupaten

(1959-1960)

Bangsawan setelah peralihan

dari swapraja ke kabupaten masih besar

pengaruhnya dalam masyarakat.

Pengelolaan atas dasar keturunan di

Sulawesi Selatan termasuk di Bone

setelah berbentuk kabupaten sudah jauh

berbeda dengan keadaan disaat masih

jayanya tradisi kerajaan, di mana hampir

semua bidang kekuasaan dimonopoli oleh

kaum bangsawan. Dalam hal ini terdapat

dua pandangan yang sangat berbeda satu

dengan yang lain.

“Pertama, dari sekelompok

kecil kaum bangsawan yang kebetulan

berpendidikan rendah yang menganggap

bahwa masyarakat masih menghargai

pembagian golongan manusia

berdasarkan atas keturunan” (Mukhlis,

1982: 56). Artinya rakyat biasa tetap

tunduk dan mengharagai keturunan

seperti sedia kala. Bahkan masih ada dari

kelompok-kelompok yang beranggapan

bahwa di suatu saat nanti kebesaran

kerajaan akan muncul kembali.

Pandangan kedua, terdapat

dalam kalangan masyarakat luas baik dari

kalangan rakyat biasa maupun dari

golongan bangsawan yang berpendidikan

relatif lebih tinggi. Kelompok ini

menganggap bahwa tidak ada lagi

penggolongan atas keturunan tersebut,

dengan alasan bahwa dengan proklamasi

kemerdekaan sesuai dengan azas

demokrasi yang dianut tidak lagi diakui

pengelompokan secara ketat berdasarkan

keturunan.

Sulawesi Selatan adalah suatu

masyarakat yang seringkali digambarkan

sebagai masyarakat feodal atau

tradisional. Sulawesi Selatan merupakan

suatu masyarakat dengan karakter

bangsawan yang kuat dan juga

mempunyai ketaatan yang kuat terhadap

aturan hukum adat. “Selain itu Sulawesi

Selatan merupakan masyarakat yang

bercirikan persaingan ketat, di mana

seseorang dinilai tidak hanya statusnya

yang diperkirakan, tetapi juga oleh

kualitas pribadinya (Harvey, 1989: 19).

Khusus kaum bangsawan di

Sulawesi Selatan utamanya di daerah

Bone dapat dilihat peran dan

keterlibatannya dalam proses perjuangan

membela negara melawan penjajah,

mempunyai andil yang besar dan berarti

hingga terwujudnya proklamasi

kemerdekaan Republik Indonesia 17

Agustus 1945. Dari fakta sejarah, dapat

diketahui bahwa sistem feodalisme atau

kebangsawanan yang hidup di Sulawesi

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151

Page 83: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

147 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Selatan, dijiwai oleh unsur dan semangat

demokrasi. Menurut Abdullah (1990: 52)

sebagai berikut :

Di mana raja atau kelompok bangsawan meskipun menduduki posisi sebagai elit strategis di masyarakat atau dalam struktur politik atau kekuasaan, tidaklah memiliki kekuasaan yang bersifat mutlak. Semua tingkah laku bangsawan sebagai seorang raja serta kekuasaannya telah dibatasi bersama dengan perjanjian pemerintahan atau dalam kontrak sosial sejak terbentuknya organisasi kenegaraan mereka.

Namun demikian, meskipun

telah hidup dalam sistem feodalisme

selama ratusan tahun tetapi sistem

feodalisme tidaklah menjadikan

kehidupan mereka terikat terhadap tradisi

yang mematikan atau beku. Juga tidak

menyebabkan hidup mereka di

masyarakat dieksploitir oleh sistem yang

berlaku, tidak mematikan unsur

kreativitas individu atau mematikan

pengembangan daya cipta dan tidak

membuat hati anggota masyarakat terikat

dan diliputi oleh perasaan ketegangan.

Kondisi kehidupan yang demikian

tercipta karena kelompok penguasa yang

memimpin masyarakat dikontrol

langsung oleh setiap kebijaksanaannya

oleh rakyat.

Sampai pada pendudukan

kolonial Belanda dan terbentuknya

daerah-daerah swapraja di Sulawesi

Selatan, bangsawan setempat tetap

diberikan kedudukan sebagai kepala dari

daerah-daerah yang berpemerintahan

sendiri. Di daerah-daerah yang dikuasai

secara tidak langsung oleh Belanda para

bangsawan mendapat pengakuan formal

lebih banyak mengenai kedudukannya

daripada daerah-daerah yang dikuasai

langsung. Tetapi mereka tidak

mempunyai kekuasaan nyata dan

kebebasan karena dikuasai Belanda.

Residen dan controlir adalah penguasa

yang sesungguhnya.

Dalam babakan terakhir

perjuangan mencapai kemerdekaan,

kelompok aristokrat/bangsawan di

Sulawesi Selatan telah melibatkan diri

secara langsung dalam bebagai aksi

perjuangan fisik yang dipimpinnya

bersama rakyat. Peranan Andi

Mappanyukki yang waktu itu masih

menjabat sebagai raja Bone ke-32 dengan

putranya Andi Pangerang Petta Rani

dapat dilihat bahwa kedua tokoh ini

berperan sebagai patriotik yang

konsukuen pada pendiriannya berpihak

pada republik di bawah kepemimpinan

Soekarno-Hatta. Tahtanya yang oleh

kelompok aristokrat lainnya mungkin

sukar untuk ditinggalkan dalam

menjatuhkan pilihan untuk setia kepada

republik, tetapi Andi Mappanyukki

bukanlah menjadi kendala dalam

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 84: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 148

mendukung perjuangan untuk mencapai

dan mempertahankan kemerdekaan.

Demikian pula dengan kebebasannya

sebagai manusia biasa yang memiliki

atribut kebangsawanan dengan status

puncak di masyarakat bukanlah

merupakan masalah baginya untuk tetap

konsukuen dalam perjuangannya.

Bone yang menjadi

kekuasaannya telah dijadikan sebagai

salah satu pusat gerakan nasionalisme

yang penting untuk kawasan Sulawesi.

Dari kawasan Bone inilah semua kegiatan

dalam konteks menghimpun gerakan

perjuangan rakyat menjelang revolusi

1945 digerakkan. Kemudian dampaknya

memang besar karena dari Bone pengaruh

gerakan itu tersebar luas di kawasan

kekuasaan para bangsawan lainnya. Andi

Mappanyukki secara tidak resmi menjadi

pimpinan di kalangan penguasa-penguasa

feodal di Sulawesi Selatan.

Tampaknya, budaya panutan

dalam masyarakat Sulawesi Selatan di

zaman perang kemerdekaan masih sangat

kuat berperan dalam kehidupan mereka.

Ini dapat dibuktikan dari tingkah laku

masyarakat yang patuh sepenuhnya

kepada apa yang dinyatakan dan

diperintahkan oleh bangsawannya.

Kelompok bangsawan yang menjadi

panutan itu menerima pengabdian total

para pendukungnya dalam kaitannya

memberikan dukungan penuh pada

republik.

Setelah kemerdekaan, dan

daerah Bone menjadi kabupaten, maka

peranan bangsawan masih tetap

diperhitungkan. Namun tidak lagi seperti

pada masa pemerintahan swapraja, di

mana yang memegang peranan penting

semua dari kalangan bangsawan dan

diperoleh secara turun temurun. Derajat

kebangsawanan bukanlah merupakan

ukuran untuk menentukan tingkat strata

masyarakat sosial yang tertinggi, tetapi

ada kalanya ditentukan oleh kedudukan,

kekuasaan dan peranannya dalam

masyarakat termasuk pendidikan,

demikian pula dengan keadaan ekonomi

sangat menentukan adanya tingkat strata

sosial masyarakat Bone.

Dalam hal ini sistem

pengangkatan pimpinan pemerintahan

bukan lagi semata-mata didasarkan pada

derajat dan keturunan kebangsawanan

pada masa lampau, akan tetapi juga

didasarkan pada tingkat kemampuan dan

kecerdasan untuk memimpin dan

menjalankan tugas-tugas yang

dibebankan padanya, dalam hal ini

ditentukan juga oleh tingkat pendidikan.

Kenyataan yang demikian itu

menimbulkan kecendrungan untuk

menghilangkan nilai-nilai kebang-

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151

Page 85: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

149 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

sawanan terutama dalam proses

pelaksanaan pemerintahan.

Namun dalam masyarakat

Bone masih tetap diperhatikan kriteria-

kriteria sosial yaitu berdasarkan derajat

dan keturunan di masa lampau,

berdasarkan kedudukan atas kekuasaan

dan perannya dalam masyarakat termasuk

tingkat pendidikan, dan berdasarkan

keadaan ekonominya. Bukan lagi semata-

mata didasarkan pada derajat

kebangsawanannya.

Namun secara keseluruhan

perilaku para birokrat di Sulawesi Selatan

termasuk di daerah Bone masih sangat

kuat diwarnai oleh semangat aristokratis.

“Keadaan ini sebenarnya merupakan

bagian yang melekat dalam kultur

setempat dan pada tingkat tertentu

malahan menguntungkan organisasi.

Karena dengan semangat itulah pula

kewibawaan, pengaruh dan efektivitas

kepemimpinan atasan terpelihara”.

Dalam persepsi masyarakat Bugis dan

Makassar, para aristokrat itu memang

merupakan pimpinan yang sebenarnya

dan oleh karena itu, semangat

kekuasaannya dirasakan masih layak

dilanjutkan. Karena birokrasi

pemerintahan tempat kekuasaan itu

dikelola, maka tidak mengherankan jika

perilaku aristokratis itu tampak secara

luas di kalangan birokrat.

Namun demikian banyak

masyarakat dari rakyat biasa yang

mengakui bahwa keturunan bangsawan

yang terdidik dan berbudi baik masih

sangat besar pengaruhnya dalam

masyarakat, bahkan lebih berwibawa

daripada pimpinan formal yang

menduduki suatu jabatan tertentu di

dalam pemerintahan. Tetapi dengan

mengandalkan kebangsawanannya saja,

kecuali di tempat atau di daerah tertentu

di pedesaan, tak mungkin memiliki

pengaruh yang besar di dalam

masyarakat.

Golongan bangsawan di

daerah Bone, khususnya di pedesaan

memang masih berpengaruh terutama di

lingkungan keluarga mereka. Terutama

dikalangan orang tua, masih tampak

penghargaan yang berlebihan terhadap

golongan bangsawan ini. Menyatunya

nilai kekuasaan tradisional dengan

pimpinan formal di Sulawesi Selatan

memang berakar pada kenyataan historis

yang memperlihatkan bahwa pengaruh

aristokrasi tidak pernah tergeser.

Kenyataan historis itu terbentuk tidak

hanya karena sebagian besar pimpinan

formal berasal dari keluarga bangsawan

yang memerlukan respek tradisional itu

dan membangun citra diri sebagai

bangsawan-bangsawan baru.

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 86: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 150

Posisi para penguasa

tradisional di Sulawesi Selatan termasuk

di daerah Bone memang tidak pernah

tergoyahkan sepanjang perjalanan

sejarahnya. Setelah perjanjian Bungaya,

hadirnya kekuasaan Belanda di daerah ini

pun tidak mampu menerobos sendi-sendi

kekuasaan lokal yang telah ada sejak

lama. Konflik yang ditimbulkan oleh

pemberontakan DI/TII di bawah

pimpinan Kahar Muzakkar yang salah

satui targetnya adalah meruntuhkan

kekuasaan dan pengaruh kaum

bangsawan, ternyata juga gagal mencabut

akar-akar aristokrat yang sudah tumbuh

ratusan tahun itu.

Secara umum peranan

bangsawan setelah terbentuknya

kabupaten tidak jauh berbeda, di mana

masih banyak bangsawan-bangsawan

yang memegang kekuasaan. Andi

Mappanyukki yang menjadi kepala

daerah pertama merupakan profil

bangsawan yang mampu memimpin

masyarakat dan diterima dengan baik

oleh masyarakat. Namun tidak sedikit

pula rakyat umum memegang jabatan

dengan berdasarkan pada tingkat

pendidikan.

PENUTUP

Andi Mappanyukki

merupakan tokoh sentral di kalangan

kaum aristokrat. Gagasan dan nasehatnya

terhadap kelompoknya, umumnya

didengarkan dan tentu saja ditakuti.

Setelah peralihan dari swapraja ke

kabupaten peranan bangsawan masih

tetap diperhitungkan. Namun tidak lagi

seperti pada masa sebelum peralihan, di

mana pemerintahan dikuasai oleh

raja/aristokrasi. Derajat kebangsawanan

bukanlah merupakan ukuran untuk

menentukan tingkat strata masyarakat

sosial yang tertinggi, tetapi ada kalanya

ditentukan oleh kedudukan, kekuasaan

dan peranannya dalam masyarakat

termasuk pendidikan, demikian pula

dengan keadaan ekonomi sangat

menentukan adanya tingkat strata sosial

masyarakat Bone. Selain karena struktur

pemerintahannya memang berbeda juga

karena proses pengangkatan kepala

pemerintahan juga berbeda. Struktur

pemerintahan lama masih merupakan

model pemerintahan NIT yang ketika itu

berlaku, misalnya masih ada jabatan

residen dan kontrolir yang dijabat oleh

orang-orang yang berkebangsaan

Belanda. Sedangkan untuk daerah

swapraja masih ditempatkan penguasa

pribumi. Namun secara umum peran

bangsawan setelah masa peralihan tidak

jauh berbeda, di mana masih banyak

bangsawan yang memegang kekuasaan,

namun adapula rakyat yang memegang

jabatan.

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 135-151

Page 87: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

151 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed). 1990. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.

Ali, Andi Muhammad. 1986. Bone Selayang Pandang. Watampone: Kantor Dikbud Kabupaten Bone.

Harvey, Barbara Sillars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta : Grafiti Press.

Kadir, Harun. 1982. Sejarah Perjungan Kemerdekaan RI di Sulawesi Selatan 1945-1950, Ujung Pandang : Lephas.

Kadir, Umar. 1994. Perjuangan Badan Pemberontakan Rakyat Bone, Ujung Pandang: UNHAS.

Kartodirjo, Sartono. 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Mappangara, Suriari. 2004. Kerajaan Bone dalam Sejarah Politik Sulawesi Selatan Abad XIX. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan.

Mukhlis, Paeni dan Kathryn Robinson. 1985. Politik dan Kekuasaan di Desa, Ujung Pandang : Lephas.

Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, Jakarta : Dephankam.

Rismawidiawati. 2016. Andi Pabbenteng, Raja Bone XXXIII: Hubungannya dengan Belanda (1946 – 1951) dalam Walasuji Volume 7 Nomor 1 Juni 2016, hlm. 199 – 210.

Soejito, Irawan. 1984. Sejarah Pemerintahan di Indonesia, Jakarta : Pradnya Pramita.

Suryaningrat, Bayu. 1981. Sejarah Pemerintahan di Indonesia Babak Hindia Belanda dan Jepang, Jakarta : Dewaruci Press.

Suwarno, P.J. 1989. Sejarah birokrasi pemerintahan di Indonesia dahulu dan sekarang. Yogyakarta: penerbit Universitas Atmajaya.

Peranan Bangsawan Bone Dalam Sistem Pemerintahan dari Swaraja ke Kabupaten, Risma Widiawati

Page 88: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 152

Page 89: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

153 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

RUMAH TRADISIONAL SUKU KAMORO (Traditional House of Kamoro Tribe)

Rini Maryone

Balai Arkeologi Papua

Jalan Isele, Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358

e-mail: [email protected]

INFO ARTIKEL

Histori Artikel Diterima: 24 Agustus 2018 Direvisi: 3 September 2018 Disetujui: 5 November 2018

Keywords Traditional hauses, Karapauw kame, Kamoro tribe Kata Kunci Rumah tradisional, Karapauw kame, Suku Kamoro

ABSTRACT

This paper examines the tradisional houses karapauw kame and mitoro pole of the Kamoro in Mimika District. The problems raised in the paper is how the form, function, and cultural velues of tradisional homes karapauw kame and mitoro pole. The metohod used is qualitative method, with inductive reasoning as a minsed in solving problems that have been done before. The results of research houses karapauw kame and mitoro poles are expected to and reference tribal house in Papua in particular and in Indonesia generally.

ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro pada suku Kamoro di kabupaten Mimika. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah tradisional karapauw kame dan tiang mitoro. Metode yang di gunakan adalah metode kualitatif, dengan penalaran induktif sebagai pola pikir dalam memecahkan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Diharapkan budaya masa lampau ini dapat direkontruksi lewat data etnografi dari tradisi masyarakat yang masih berlangsung (pendekatan etnoarkeologi). Hasil penelitian rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro di harapkan pulah dapat menambah referensi rumah suku yang ada di Papua khususnya dan di Indonesia umumnya.

PENDAHULUAN

Berbicara mengenai rumah

tradisional tidak terlepas dengan

arsitekturnya, arsitertur yang berkaitan

dengan kearifan lokal suatu suku. Ilmu

Arsitektur mempelajari hal-hal yang

berhubungan dengan bangunan ditinjau

dari segi keindahan sedangkan

membangun dari segi kontruksi disebut

ilmu bangunan (Maryono dkk., 1985 :

18). Dalam ilmu arsitektur secara garis

besar dikenal arsitektur vernakuler

(tradisional) dan arsitektur modern.

Rumah adat merupakan karya arsitektur

tradisional, dan merupakan bagian kajian

dari ilmu arsitektur. Arsitektur

tradisional yang muncul lebih awal dari

arsitektur modern, dalam

pembangunannya dilandasi oleh

kepercayaan setempat yang kuat

sehingga bagian bagian bangunan

Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Page 90: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 154

mempunyai makna filosofis tertentu.

Dan hal ini berbeda dengan arsitektur

modern yang merupakan pengaruh dari

barat, konsepnya lebih berdasar kepada

unsur praktis, logika, serta dengan

perhitungan matematis (Susetyo, 2009 :

219). Sebagai bangsa yang multietnis,

Indonesia memiliki beragam rumah adat,

salah satunya adalah rumah adat

Karapauw kame suku Kamoro.

Berdasarkan pada uraian di atas

pada kesempatan ini, tulisan yang

penulis angkat adalah rumah tradisional

karapauw kame dan tiang mitoro yang

merupakan situs upacara inisiasi

pendewasaan baik bagi anak laki-laki

dan anak perempuan. Berkaitan dengan

rumah tradisional masyarakat Papua,

sudah beberapa kali dilakukan penelitian

diantaranya: Rumah kaki seribu pada

Suku Hatam di Kabupaten Manokwari

(Mene, 2006). Rumah pohon pada suku

Momuna di Kabupaten Yahukimo

(Maryone, 2015). Penelitian yang

berkaitan dengan rumah tradisional di

Papua juga sudah ditulis oleh antropolog

Universitas Cenderawasih diantaranya

rumah pohon dari Suku Korawai

(Lekito, 2012) dan rumah kaki seribu

(Frank, 2012). Selama ini penelitian

yang bertujuan untuk mengungkapkan

adanya rumah tradisional pada suku

Kamoro di Kabupaten Mimika belum

pernah dilakukan. Melihat hal tersebut,

rumah tradisional karapauw kame dan

tiang mitoro pada suku Kamoro menarik

untuk dikaji lebih lanjut.

Pengertian kata tradisional dalam

hubungannya dengan bangunan

berkenaan dengan bentuk struktur, ragam

hias maupun cara pembuatannya yang

diwariskan turun-temurun, dapat dipakai

untuk melakukan aktivitas kehidupan,

baik kehidupan sehari-hari termaksud

upacara-upacara adat yang ada

hubungannya dengan kalangan keluarga

itu sendiri (Rostyati, 2013 : 240).

Berkaitan dengan rumah Karapauw

kame dan tiang mitoro pada Suku

Kamoro yang dimaksudkan disini adalah

rumah inisiasi tempat pendewasaan bagi

pemuda-pemudi yang baru menanjak

usia dewasa.

Rumah adalah material

kebudayaan, yang dalam kaitan dengan

arsitektur tradisional dapat dipandang

sebagai ungkapan kepribadian

pendukungnya. Rumah sebagai

perwujudan material kebudayaan sangat

dipengaruhi faktor sosio-kultural dan

lingkungannya dimana ia digagas,

dibuat, difungsikan dan dikembangkan.

Perbedaan lokasi dan latar belakang

kebudayaan akan menyebabkan pula

perbedaan wujud arsitektur diantara

rumah tradisional.

Sudah disinggung pada uraian di

atas bahwa rumah tradisional tidak

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168

Page 91: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

155 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

terlepas dari pengertian yang melekat

pada arsitektur pada umumnya.

Arsitektur merupakan refleksi seni, ilmu

dan juga teknologi dari pembuatnya.

Menurut Budiarjo (1991 : 70) dalam

(Mahmud, 2010 : 3), bahwa dalam

arsitektur ada tiga aspek yang terkait,

yaitu: kontruksi, kegunaan, dan

keindahan sebagai paduan dari seni, ilmu

dan teknologi itu sendiri.

Sedangkan konsep arsitektur

tradisional adalah pernyataan bentuk

sebagai hasil dari suatu hasrat untuk

menciptakan lingkungan dan ruang

hidup untuk kelangsungan hidup sesuai

kaidah yang diakui bersama (Mahmud,

2010 : 48). Menurut Kamus Umum

Bahasa Indonesia, arsitektur adalah seni

dan ilmu merancang serta membuat

konstruksi bangunan. Arsitektur juga

berarti metode dan gaya rancangan suatu

kontruksi bangunan. (Hartatik, 2004 :

48).

Dapat disimpulkan bahwa

pengertian arsitektur secara sederhana

adalah seni membangun yang disertai

kemampuan tenaga dan intelektual

tinggi. Karya arsitektur sebagai produk

merupakan wujud fisik yang secara nyata

dapat dilihat di sentuh, dan dirasakan

kehadirannya dalam masyarakat. Wujud

fisik ini, baik dalam skala bangunan

tinggal maupun sebuah lingkungan

buatan, dapat dipahami sebagai sebuah

artefak. Sebuah karya arsitektur

mengkomunikasi kondisi masyrakat

dimana artefak (rumah tradisional) itu

berada. Artefak merupakan wujud akhir

yang timbul akibat adanya gagasan dan

tindakan dalam suatu kebudayaan.

Dalam konsep sistem budaya wujud

akhir di sebut wujud fisik yang berada

pada bagian terluar dari lingkaran

konsentris kerangka kebudayaan

(Koentjaraningrat, 1993 : 92).

Dari defenisi-defenisi tersebut

tampak bahwa arsitektur yang tepat

dalam suatu pembahasan harus diketahui

pula dalam hubungan apa istilah

arsitektur ini dipakai. Dalam tulisan ini

arsitektur dalam kaitannya dengan

sumberdaya arkeologi, berfokus pada

bangunan rumah tradisional yang terdiri

atas bentuk, fungsi, dan nilai budaya.

Arsitektur merupakan cerminan budaya

bangsa, sebagai warisan kultural yang

wajib dilestarikan. Dengan melihat latar

belakang artikel ini mengenai rumah

tradisional maka adapun permasalahan

yang akan diungkapkan adalah

bagaimana bentuk fungsi dan nilai

budaya rumah tradisional Karapauw

kame dan tiang mitoro suku Kamoro?.

Sesuai dengan permasalahan

yang dikemukakan di atas adapun tujuan

dari artikel ini adalah untuk mengetahui

bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah

tradisional Karapauw kame dan tiang

Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone

Page 92: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 156

mitoro suku Kamoro. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif, dimana

tidak memakai prosedur statistik atau

bentuk hitungan lainnya. Alasan

menggunakan metode kualitatif

diantaranya karena fenomena budaya

dalam kehidupan masyarakat terkadang

tidak bisa dipahami secara mendalam

kalau tidak menggunakan metode

kualitatif Ini. Misalnya unsur sejarah,

tingkah laku, dan aktivitas sosial lainnya,

sehingga fenomena yang lebih tepat jika

menggunakan penelitian kualitatif.

Dalam penulisan ini pula

menggunakan dua jenis data yakni data

primer dan data sekunder. Data primer

ialah data yang diperoleh dari lapangan

melalui observasi lapangan terhadap

objek yang diteliti yaitu rumah

tradisional, karapauw kame, dan tiang

mitoro, pada Suku Kamoro. Dalam

observasi lapangan ini tidak lupa juga

dilengkapi dengan wawancara.

Wawancara dilakukan dengan beberapa

narasumber guna mendapat informasi

tentang rumah tradisional Karapauw

kame, dan tiang mitoro. Data sekunder

yaitu data yang diperoleh melalui studi

kepustakaan, yakni melakukan

pengumpulan data tertulis yang

berhubungan dengan penulisan mengenai

rumah tradisional, dari referensi buku-

buku yang berkaitan dengan rumah

tradisional suku-suku yang ada di

Indonesia. Selain melakukan

pengumpulan buku-buku yang berkaitan

dengan rumah tradisional juga dilakukan

brosing lewat internet, sehingga data-

data tersebut dapat di kaji sebagai

langkah awal dalam mempersiapkan

kerangka pemikiran yang berhubungan

dengan penulisan ini.

Dalam interpretasi, penelitian ini

menggunakan penalaran induktif sebagai

pola pikir dalam merumuskan jawaban

masalah yang telah diajukan. Penalaran

induktif bergerak dalam kajian fakta-

fakta atau gejala-gejala khusus kemudian

disimpulkan sebagai gejala yang bersifat

umum atau generalisasi impiris

(Tanudirdjo, 1988-1989 : 34 dalam

Darojah, 2013 : 35) dengan penalaran

induktif diharapkan budaya masa lampau

dapat direkontruksi lewat data etnografi

dari tradisi masyarakat yang masih

berlangsung (pendekatan etnoarkeologi).

PEMBAHASAN

Mimika didiami oleh tujuh

suku asli, dua suku besar yaitu

Amungme yang mendiami wilayah

pegunungan dan Kamoro di wilayah

pantai. Selain kedua suku tersebut

masih ada lima suku kekerabatan

yaitu, Dani/Lani, Damal, Mee, Nduga

dan Moni. Kabupaten Mimika saat ini

memiliki 12 distrik yaitu Distrik

Mimika Timur, Mimika Timur

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168

Page 93: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

157 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika

Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika

Barat Jauh, Mimika Bbaru, Kuala

Kencana, Tembagapura, Agimuga,

Jila dan Jita.

Wilayah Kabupaten Mimika memiliki

topografis dataran tinggi dan dataran

rendah. Distrik yang bertopografis

dataran tinggi adalah Tembagapura,

Agimuga dan Jila. Distrik Mimika Baru,

Kuala Kencana, Tembagapura dan Jila

adalah distrik yang tidak memiliki pantai

sedangkan Distrik Mimika Barat,

Mimika Barat Tengah, Mimika Barat

Jauh, Agimuga dan Jita sebagian wilayah

berbatasan dengan laut, sehingga distrik-

distrik ini memiliki pantai.

Suku Kamoro hidup pada wilayah

sepanjang 300 kilometer di pesisir

selatan, diantaranya Sungai Otakwa

dan Teluk Etna, di sebelah barat batas

geografis. Mulai dari Teluk Etna di sisi

barat, wilayah mereka mencapai tepat di

luar Timika pada bagian timur.

Kelompok ini terdiri atas 18.000 jiwa,

tersebar di sekitar 40 kampung. Sebagian

besar dari kampung-kampung ini terletak

di pesisir, sebagian kampung-kampung

lainnya ditemukan masuk lebih dalam,

dimana gunung-gunung jauh dari Laut

Arafura (Muller, 2010:159).

Keadaan alamnya berawa-rawa

dan beriklim tropis, sebagian besar

masyarakatnya bermata pencaharian

utama meramu sagu, menangkap ikan di

laut, rawa-rawa, dan sungai. Suku ini

juga suka berburu untuk mendapatkan

makanan. Jenis hewan yang terutama

diburu adalah babi liar, kasuari dan

kuskus. Hewan lain termasuk ikan,

buaya air tawar dan buaya laut, kadal

bakau dan beragam jenis burung baik

untuk dikonsumsi telur maupun

dagingnya, mereka juga mengkomsumsi

koo/ ulat sagu dan tambelo/cacing.

Peta 1 Peta Kabupaten Mimika, Papua

Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone

Page 94: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 158

Alat-alat yang digunakan dalam

memenuhi aktivitas mata pencaharian

hidup mereka adalah dalam aktivitas

menangkap hewan-hewan seperti kura-

kura, ikan hiu dan ikan besar lainnya

biasanya mereka menggunakan seruit

dan jala. Mereka juga sudah mengenal

teknik memancing dan berburu ikan

dengan menggunakan sumpit dan

tombak/apoko. Mereka menangkap babi

hutan dengan menggunakan jerat, atau

diburu dengan menggunakan anjing-

anjing/koware-wiri, lembing atau

tombak/apoko. Mereka menggunakan

alat untuk menokok sagu yaitu pangkur

sagu/wapiri.

Disamping kepercayaan orang

Kamoro kepada nenek moyang bersifat

animistis, mereka juga percaya pada

kekuatan sakti yang ada dalam segala hal

yang luar biasa dan terdiri dari kegiatan-

kegiatan keagamaan yang berpedoman

pada kepercayaan mereka, yang di kenal

dengan kepercayaan yang bersifat

dinamisme (Prasetyo, 2004 : 163). Di

dalam kehidupan dan budaya orang

Kamoro pohon memiliki kedudukan

penting di dalam aspek kehidupan

mereka. Sebab pohon bagi orang Kamoro

dipakai sebagai media untuk mengukir

dan memahat. Semua tumbuhan/ pohon-

pohon, binatang dan benda-benda

mempunyai jiwa, sehingga pada semua

pohon/ tumbuh-tumbuhan, binatang dan

benda-benda diberikan nama dari salah

satu moyang mereka. Pohon dan binatang

dikaitkan dengan otepe, yang dimaksud

dengan otepe adalah kepercayaan kepada

totemisme.

Bahasa dan budaya mereka mirip

dengan suku Asmat, diperkuat dengan

adanya berbagai legenda migrasi dari

arah timur ke barat. Beberapa fakta

linguistik dan gaya seni menunjukan

adanya kemungkinan migrasi dari utara

Nugini. Bahasa Kamoro memiliki enam

dialek yang dapat saling dimengerti

merupakan bagian dari keluarga bahasa

Asmat-Kamoro yang mencakup suku

Sempan (Maryone, 2013 : 15).

Terkait dengan judul di atas

mengenai rumah tradisional suku Kamoro

yaitu karapauw kame dan tiang mitoro,

merupakan suatu adat istiadat dan

kepercayaan suku Kamoro yang tidak

dapat terpisahkan oleh hidup mereka,

berikut ini akan di uraikan mengenai

bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah

tradisional karapauw kame dan tiang

mitoro. Yang ditemukan di Kampung

Atuka, Distrik Mimika Timur, Kabupaten

Mimika.

Bentuk Rumah Karapauw kame

Suku di Indonesia yang memiliki

konsep rumah tradisional salah satunya

adalah Suku Kamoro. Rumah tradisional

Suku Kamoro yaitu Karapauw kame

memiliki kemiripan dengan berbagai tipe

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168

Page 95: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

159 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

yang ada di Papua yang menjadi ciri khas

rumah berpanggung, berbenrtuk persegi

panjang.

Rumah panggung merupakan

salah satu ciri dari arsitektur yang sangat

umum ditemukan pada rumah tradisional

di wilayah Indonesia meliputi dataran

tinggi maupun pesisir dari dulu hingga

kini. Hal ini yang menarik dari sebuah

rumah panggung adalah latar belakang

penghuninya yang memiliki cara hidup

berbeda dan tinggal pada bentang

wilayah hunian yang berbeda. Tentunya

ada factor khusus yang menjadikan

kesamaan arsitektur (Wiradnyana, 2009 :

55).

Bentuk rumah setiap suku-suku

yang ada di dunia khususnya Suku

Kamoro dapat mewakili pengetahuan

manusia mengenai teknologi, sistem

ekonomi, iklim, material dan organisasi

sosial suatu masyarakat. Mempelajari

rumah yang masih menyimpan arsitektur

tradisional sebagai bukti adanya budaya

kompleks suatu kelompok manusia, maka

aspek-aspek lain dalam kehidupan

manusia dapat pula diungkap (Raport,

1969 : 40).

Rumah karapauw kame dan tiang

mitoro sudah menjadi bagian dari

kehidupan suku Kamoro, sejak ratusan

tahun silam. Tradisi membangun rumah

karapauw kame dan tiang mitoro bagi

Suku Kamoro telah mangakar dalam

masyarakat ini. Masyarakat tradisional

Kamoro didasari oleh tempat tinggal,

dimana pemukiman-pemukiman mereka

terletak di sungai yang diatur oleh

kelompok mereka. Mereka memiliki

ladang sagu, beserta tempat memancing,

lahan berburu dan mengumpulkan

makanan. Setelah pemukiman semi

permanen yang ditetapkan oleh keputusan

pemerintah, menjadi perkampungan

(semi) permanen. Pada awal tahun 1950,

Jan Pouwer mendata ada 31 kampung,

saat ini ada 40, sejumlah kampung telah

bergabung dan juga terpecah, dan

beberapa penduduk berpindah ke

pemukiman lain.

Fungsi rumah tradisional karapauw

kame

Rumah-rumah suku Kamoro pada

umumnya merupakan rumah

berpanggung, pada kesempatan ini

penulis tidak membahas mengenai

rumah tinggal suku ini tetapi lebih

kepada rumah tradisional karapauw

kame dan tiang mitoro, sebagai rumah

khusus yang digunakan oleh masyarakat

Kamoro dalam mempraktekkan adat

istiadat mereka terutama kepada tempat

(sekolah) pendewasaan seorang anak

laki-laki dan perempuan.

Pada setiap kampung memiliki

rumah tradisional karapauw kame dan

tiang mitoro yang didirikan di tengah-

Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone

Page 96: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 160

tengah kampung, yang dibangun 3-4

tahun. Setelah kegiatan inisiasi sudah

selesai dilakukan maka rumah karapauw

kame dan tiang mitoro akan segera

dibongkar. Pada awalnya rumah

tradisional karapauw kame didirikan di

dalam hutan, tempatnya tidak diketahui/

dirahasiakan, seiring perkembangan

waktu didirikan di dalam perkampungan.

Salah satu tradisi yang masih dilakukan

oleh suku Kamoro, adalah inisiasi

(sekolah pendewasaan). Dimana apabila

anak-anak laki-laki dan perempuan yang

akan menuju kedewasaan diajarkan

bagaimana seseorang laki-laki dan

perempuan Kamoro harus berbuat dan

bertindak, untuk menjadi laki-laki dan

perempuan Kamoro yang dewasa. Di

dalam kampung akan didirikan rumah

pendewasaan/ inisiasi atau karapauw

kame dan sebuah patung mitoro.

Salah satu tujuan utama pesta dan

ritual di daerah Mimika adalah inisiasi,

dapat dibagi dalam dua golongan yaitu

inisiasi sosial dan inisiasi kultus. Inisiasi

sosial memperkenalkan dan menyatukan

seorang anak laki-laki dan perempuan

dengan kehidupan kemasyarakatan.

Sedangkan inisiasi kultus

memperkenalkan dia dengan

penghayatan kultus, otape dan ritual.

Kedua inisiasi ini terpadu dalam pesta-

pesta. inisiasi kultus merupakan inisiasi

umum yang dimaksud untuk setiap laki-

laki tanpa pengecualian. Disamping itu

seorang anak laki-laki masih akan

mendapat inisiasi perorangan dalam

rahasia ritual. Dalam inisiasi ini, ia akan

mengambil alih dari ayah atau saudara

dari ayah, ibunya, yang dalam hal ini

juga memainkan peranan penting bagi

anak laki-laki. Bagi anak perempuan,

lebih penting lagi dimana mereka yang

akan menerima otape maupun

pembelajaran peraturan-peraturan yang

sampai saat ini masih menentukan

kedudukan dominan kaum perempuan

dalam kehidupan sosial.

Inisiasi sosial mulai dengan pesta

taori (dari tali sagu) dan berakhir dengan

pesta mirinu (pesta untuk menikah).

Waktu yang tepat seorang anak laki-laki

akan mengambil bagian dalam pesta

taori ditetapkan oleh orang tuanya, yang

berumur mulai dari 10 tahun sampai 20

tahun, yang diadakan 3-4 tahun sekali.

Setelah berakhir masa inisiasi akan

dilakukan pesta taori, dimana anak laki-

laki akan mendapat cawat (dari serat

sagu), maka pada saat itulah dia

dianggap sudah dewasa. Setelah cawat

diterima, anak tersebut akan langsung

melaksanakan adegan perang yang

pertama. Dengan demikian anak pria ini

menjadi anggota suku, seorang yang

dewasa dan seorang prajurit di masa

depan. Pesta taori dilakukan sore hari,

dengan menghiasi tubuh anak-anak

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168

Page 97: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

161 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

tersebut dengan kapur, arang, tanah

merah, bulu burung cenderawasih dan

kain-kain yang bagus. Kemudian anak-

anak tersebut diarak keliling kampung

oleh bapak-bapak pesta. Ibu dan bapak

mengikuti sambil memikul suatu noken

penuh dengan onaki (sagu). Anak-anak

yang bersangkutan akan membagikan

onaki kepada kerabat ibu dan bapaknya,

sehingga anak-anak tersebut diajarkan

siapa kerabatnya, supaya mereka dapat

bergantung dan saling membantu.

Berbicara mengenai rumah

karapauw kame pada dasarnya, memiliki

ruangan los, berbentuk empat persegi

panjang, tidak ada sekat-sekat sama

sekali. Mempunyai ketinggian tiang

sekitar 30 cm-1 meter dari permukaan

tanah, tiang tersebut ditutupi dengan

tikar. Karapauw kame, atapnya terbuat

daun sagu yang dianyam, tiang

penyangga atap terdapat 10 buah terbuat

dari kayu buah atau kayu manggrove.

Sedangkan dindingnya di bagian depan

di tutup dengan daun tikar. Tidak

memiliki jendela, hanya pintu dibagian

depan, yang di tutup dengan daun tikar.

Jumlah pintu di sesuaikan dengan

jumlah anak laki-laki dan perempuan

yang akan diinisiasikan. Tiang-tiang

penyangga rumah terdapat 18 buah tiang

yang terbuat dari kayu besi. Dinding

sebelah kiri dan dinding sebelah kanan

serta dinding bagian belakang terbuat

dari daun sagu yang dianyam. Mereka

tidak membuat tangga turun sebab tiang-

tiang rumah yang dibuat tidak terlalu

tinggi.

Mengenai ukuran sebuah

karapauw kame panjangnya tidak

menentu, sebab selalu disesuaikan

dengan jumlah anak yang akan

diinisiasikan, misalnya jumlah anak

yang diinisiasikan berjumlah 18 anak

maka akan menyesuaikan panjang

karapauw kame tersebut, dengan

membuat pula 18 buah pintu. Lebar

karapauw kame kira-kira 5 meter. Arah

hadap dari karapauw kame ke arah barat,

yang mempunyai arti dan makna dimana

semua leluhur yang sudah meninggal

akan pergi dan tinggal menetap pada

matahari terbenam, ke arah barat.

Gambar 1. Rumah Karapauw Kame ( Sumber : Balai Papua )

Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone

Page 98: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 162

Tiang Mitoro

Rumah Karapauw kame

mempunyai ciri utama yaitu tiang

mitoro. Disetiap rumah Karapauw kame,

selalu ada tiang mitoro. Sebelum tiang

mitoro di tanam di depan rumah

kaparauw kame, mereka menggali

lobang pada malam hari kemudian

paginya anak-anak yang mau diinisiasi

di bawah ke lobang tersebut yang dihiasi

kapur, setelah itu tiang mitoro di

didirikan. Lubang tersebut diartikan

sebagai pintu masuk ke dunia bawah.

Tiang mitoro, dipahat dari kayu

yang lunak dari lingkungan setempat

nama kayu tersebut adalah kiyako,

tinggi tiang kira-kira lima meter, pada

tiang mitoro ini terdapat ukiran

baikama/relief. Pohon yang dipakai

untuk membuat tiang mitoro memiliki

akar penyangga di atas lumpur hutan

bakau dimana dia tumbuh. Untuk satu

mitoro, seluruh batang pohon dan akar

penyangga terbesar dapat digunakan.

Setelah pohon terbesar ditanam, akarnya

menjadi tokae, seperti bendera atau

panji, di puncak pahatan. Pemahatan

dipantau oleh seorang guru pahat/

maramowe.

Biasanya pada tiang mitoro

terdapat satu atau dua patung tokoh yang

dianggap berjasa, disegani dan

mempunyai jasa bagi sebuah kampung.

Atau wajah patung tersebut merupakan

tokoh dari nenek moyang mereka. Untuk

menebang sebuah tiang yang akan

dijadikan sebagai tiang mitoro selalu

dilakukan upacara/ pesta. Dan biasanya

yang melakukan penebangan sampai

penanaman bahkan penghiasan tiang

dilakukan oleh kaukapaiki / ipar-ipar.

Berikut ukiran-ukiran yang

terdapat pada tiang mitoro: pada sayap

bagian atas mitoro terdapat beberapa

tokoh dunia atas diukir dalam bentuk

ukiran tembus (sehingga ada lubang-

lubang), kadang-kadang bentuk bulat

dan berbentuk tanda tanya. Inilah

: Gambar 2. Rumah Karapauw kame dan tiang mitoro ditemukan Kampung Atuka, Distri Mimika Timur, Kabupaten Mimika (Sumber : Balai Arkeologi Papua)

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168

Page 99: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

163 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

lambang matahari, disekelilingnya pada

umumnya terdapat patung-patung

berikut ini: orang ular (memoro atau

memoro we), orang soa-soa atau biawak

(oke-we), bulan (pura), tangkai alat

pemangkur sagu (wapuru), dayung pada

bagian paling ujung terdapat beberapa

patung burung (popere), burung taon-

taon (komay), kakatua raja (mopoko),

kasuari (peko), kakatua putih (akina),

bangau putih (wiyoko).

Saat mitoro didirikan sayapnya sampai

di langit dan kakinya turun ke dunia

bawah, setelah itu atap di pasang di

rumah Karapauw kame. Pemasangan

atap mengisyaratkan bahwa rumah

Karapauw kame mencakup bumi, dunia

atas dan dunia bawah. Dengan

memperlihatkan mitoro kepada anak

yang diinisiasi, mereka diperkenalkan

pada dunia atas.

Nilai Budaya rumah Karapauw kame

dan tiang mitoro

Kata nilai cenderung diguna-

kan untuk menunjukan kualitas simbolis

yang ditentukan menurut sistem budaya

tertentu. Dalam antropologi, kualitas

simbolis tersebut menjadi sumber

penentu nilai bagi perilaku yang

dikaitkan kepada aspek-aspek budaya

yang lebih bersifat normatif, seperti

keyakinan, kesejaraahan, kesenian,

emosional dan sebaginya. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa nilai

adalah gagasan-gagasan yang ditentukan

oleh manusia untuk menggariskan

prilaku yang tepat dan dapat diterima

bersama. Karena itu nilai mengandung

orientasi apa yang salah dan apa yang

benar, apa yang baik dan apa yang

buruk; apa yang terpuji dan apa yang

tercer menurut budaya yang menjadi

Gambar 3 : Tiang Mitoro, (Dokumentasi : Balai Arkeologi Papua)

Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone

Page 100: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 164

kerangka acuannya (Hidayah, 2002 : 3).

Sehubungan dengan hal tersebut, nilai

budaya dipahami sebagai konsepsi-

konsepsi yang hidup dalam alam pikiran

dari sebagian besar warga masyarakat,

mengenai hal-hal yang mereka anggap

amat bernilai dalam hidup

(Koentjaraningrat, 1993 : 25).

Nilai budaya yang terkandung

dalam arsitektur tradisional karapauw

kame dan tiang mitoro, sekurang-

kurangnya terdiri dari empat nilai yaitu:

estetika, etika, humanitas, dan religius.

1. Nilai estetika, yang tergambar dalam

arsitektur tradisional karapauw kame

dan tiang mitoro, pada umumnya

diwujudkan dalam ragam hias yang

di ukir di tiang mitoro yang meniru

lingkungan alam, baik dalam bentuk

fauna, flora, dan fenomena alam itu

sendiri. Peniruan dari alam tidaklah

serampangan, tetapi memiliki kriteria

untuk dijadikan ragam hias. Unsur-

unsur penilaian tersebut lebih

bernuansa pada makna simbolis yang

berkaitan dengan cita-cita dan

harapan-harapan warga masyarakat

setempat. Penentuan makna simbolis

biasanya dilihat dari bentuk, sifat,

warna, dan nama (sebutan lokal) dari

simbol atau ragam hias tersebut.

Ragam hias yang paling menonjol

adalah dalam arsiktektur berkaitan

dengan otape atau totem leluhur

mereka. pada umumnya terdapat

patung-patung berikut ini: orang ular

(memoro atau memoro we), orang

soa-soa atau biawak (oke-we), pada

bagian paling ujung terdapat

beberapa patung burung (popere),

burung taon-taon (komay), kakatua

raja (mopoko), kasuari (peko),

kakatua putih (akina), bangau putih

(wiyoko).

2. Nilai etika, berkaitan dengan hal yang

baik dan buruk, serta berkewajiban

moral. Bagi orang Kamoro ada

aturan sopan santun dalam pergaulan

sehari-hari yang harus ditaati oleh

semua orang, khususnya bagi

pemuda-pemudi yang akan

diinisiakan agar menjadi manusia

dewasa yang bermoral, baik,

bertanggung jawab dan sopan.

Sedangkan orang yang tidak mentaati

aturan tersebut dianggap kurang

sopan atau bermoral buruk.

3. Nilai humanitas, Suku Kamoro

menyadari bahwa orang tidak

mungkin bertahan hidup tanpa

kehadiran dan pertolongan orang

lain. Oleh karena itu Suku Kamoro

selain memiliki sikap dan sifat

bijaksana, serta arif dan

bermasyarakat, juga memiliki

sensitivitas sosial yang tinggi.

Kesemuanya itu terangkum dalam

konsep humanis atau saling

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168

Page 101: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

165 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

menghormati, saling memuliakan.

Nilai humanis tersebut tidak hanya

diwujudkan dalam ucapan, sikap dan

perbuatan sehari-hari, tetapi juga

diaplikasikan dalam ragam hias pada

arsritektur tradisional tiang mitoro

yang berbentuk ukiran-ukiran

patung-patung leluhur. Ragam hias

yang paling menonjol dalam

arsitektur rumah tradisional

tradisional Karapauw kame dan tiang

mitoro, adalah rupa manusia/ sosok

leluhur yang dianggap menjadi

panutan hidup kelompok mereka.

Biasanya pada tiang mitoro terdapat

satu atau dua patung tokoh yang

dianggap berjasa, disegani dan

mempunyai jasa bagi sebuah

kampung. Atau wajah patung

tersebut merupakan tokoh dari nenek

moyang mereka.

4. Nilai religius, sebagai makluk ciptaan

Tuhan, manusia senantiasa

mendekatkan diri pada penciptanya,

menyembah, dan memohon

perlindungan, keselamatan dan

rezeki yang melimpah. Berdasarkan

hal itu, maka sikap dan perbuatan

manusia tidak hanya diwujudkan

dalam bentuk doa saja, tetapi juga

dalam bentuk hasil karya religius.

Hasil karya itu biasanya mengandung

nilai-nilai untuk keselamatan umat

manusia pada umumnya dan pemillik

karya itu pada khususnya. Begitu

pula dengan tiang mitoro pada sayap

bagian atas diukir beberapa tokoh

dunia atas dalam bentuk ukiran

tembus (sehingga ada lubang-

lubang), bentuk bulat dan berbentuk

tanda tanya, yang merupakan

lambang matahari, dan bulan (pura).

Selain diwujudkan dalam ukiran juga

diwujudkan dalam pemasangan atap

yang mengisyaratkan bahwa rumah

Karapauw kame mencakup bumi,

dunia atas dan dunia bawah. Oleh

sebab itu dengan memperlihatkan

mitoro kepada anak yang diinisiasi,

mereka diperkenalkan pada dunia

atas, atau kepada sesuatu yang

mereka percayai berkuasa atas hidup

mereka yang berada di tempat yang

tinggi/ di langit.

Dengan melihat uraian diatas

bahwa sebuah rumah arsitektur

karapauw kame memiliki nilai budaya

yang sangat tinggi. Rumah karapauw

kame adalah rumah sebagai ruang

inisiasi (sekolah pendewasaan) seorang

anak laki-laki dan perempuan. Sekolah

pendewasan tersebut memperkenalkan

susunan sosial dan pandangan yang

dihayati oleh suku dan bangsa mereka

mengenai dunia. Kaum muda, didik dan

dibimbing oleh kaum tua sehingga

mereka boleh masuk dan terlibat dalam

suatu ikatan suku serta mengambil

Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone

Page 102: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 166

bagian dalam kekuasaan-kekuasaan yang

harus melestraikan suku bangsanya.

Selain rumah karapauw kame di pakai

sebagai rumah tempat belajar, rumah

karapauw kame juga dipakai tempat

pesta. Dimana di rumah Karapauw kame

sering diadakan pesta-pesta yang

berkaitan dengan inisiasi, baik pesta

taori dan pesta mirimu.

Kehidupan Suku Kamoro dengan

segala keterbatasan mereka secara

teknologi harus mengembangkan

kearifan lokal untuk mempertahankan

tradisi mereka dengan membangun

rumah karapauw kame dan tiang mitoro.

Suku Kamoro mempunyai pandangan

bahwa dengan bentuk rumah karapauw

kame dan disertai tiang mitoro, (dengan

pahatan dan ukiran-ukiran nenek

moyang yang berjasa di dalam

kehidupan mereka), mereka merasa di

satukan dengan leluhur mereka.

Arsitektur tradisional rumah

karapauw kame dan tiang mitoro

merupakan salah satu kekayaan budaya

yang tidak ternilai harganya, yang

terkandung secara terpadu wujud idea,

wujud sosial dan wujud material

kebudayaan suku Kamoro. Oleh karena

itu dapat dikatakan bahwa arsitektur

tradisional merupakan aspek yang dapat

memberikan ciri serta identitas dari suku

mereka. Dari arsitektur tradisional

khususnya pada rumah karapauw kame

dan tiang mitoro kita juga dapat

mengetahui berbagai hal yang

merupakan warisan budaya dari

masyarakat Kamoro. Seperti

pengetahuan tentang kosmologi dari

letak rumah dan arah rumah mereka.

Dapat pulah diperoleh pengetahuan

tentang organisasi sosial suatu

masyarakat, karena pada rumah

tradisional biasanya terdapat pembagian

ruangan menurut konsepsi budaya

masyarakat (Maryeti, 2010 : 1-2).

Bentuk rumah tersebut di rancang, dan

diwariskan turun temurun dari generasi

ke generasi.

PENUTUP

Rumah tradisional karapauw kame

memiliki bentuk rumah yaitu prototipe

rumah Asia Tenggara yaitu rumah panggung

dari kayu yang atapnya terbuat dari daun

sagu atau dari daun kelapa yang dianyam.

Bentuk rumahnya berbentuk memanjang

tidak ada sekat-sekat. yang memiliki banyak

tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu

besi. Dindingnya di bagian depan di tutup

dengan daun tikar. Dinding sebelah kiri dan

dinding sebelah kanan serta dinding bagian

belakang terbuat dari daun sagu yang

dianyam. Ukuran sebuah karapauw kame

panjangnya tidak menentu, sebab selalu

disesuaikan dengan jumlah anak yang akan

diinisiasikan, misalnya jumlah anak yang

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168

Page 103: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

167 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

diinisiasikan berjumlah 18 anak maka akan

menyesuaikan panjang karapauw kame

tersebut, dengan membuat pula 18 buah

pintu.

Rumah tradisional karapauw kame

mempunyai fungsi sebagai rumah inisiasi

pendewasaan laki-laki dan perempuan tempat

pembelajaran menjadi manusia yang dewasa.

seorang anak laki-laki dan perempuan

diperkenalkan secara demontratif dengan

susunan social dan pandangan dunia

sebagaimana dihayati oleh suku dan bangsa

mereka. Kaum muda tersebut didik dan

dibimbing oleh kaum tua sehingga mereka

boleh masuk dan terlibat dalam suatu ikatan

suku dan mengambil bagian dalam

kekuasaan-kekuasaan yang harus

melestraikan suku bangsanya.

Arsitektur rumah karapauw kame

memiliki nilai budaya yang sangat tinggi.

Rumah tradisional ini juga adalah selain

sebagai rumah pembelajaran dipakai juga

sebagai rumah pesta. Suku Kamoro membuat

rumah karapauw kame walaupun masih

sangat terbatas secara teknologi tetapi mereka

telah dapat mengembangkan kearifan lokal

untuk membuat rumah tersebut sebagai

rumah inisiasi/sekolah. Bentuk rumah

tersebut di rancang, dan diwariskan turun

temurun dari generasi ke generasi. Nilai

budaya yang terkandung dalam arsitektur

tradisional karapauw kame dan tiang mitoro,

sekurang-kurangnya terdiri dari empat nilai :

estetika, etika, humanitas, serta religius.

Rumah Tradisional Suku Kamoro, Rini Maryone

Page 104: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 168

DAFTAR PUSTAKA

Darojah, Igliyah Citra. 2013. Corak Budaya Austronesia pada Rumah Tradisional dalam Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat. Balai Arkeologi Jayapura.

Frank, K Abdi Simon. 2012. Arsitektur Tradisional Suku Arfak di Manokwari. Balai Pelestarian Nilai Kebudayaan Jayapura Kerjasama dengan Pusat Studi Kawasan Pedesaan Universitas Cenderawasih.

Hartatik. 2004. Arsitektur dan Sumberdaya Arkeologi di Kalimantan. Naditira Widya Nomor 13, Oktober 2004. Balai Arkeologi Banjarmasin.

Hidayah, Zulyani. 2002. Fungsi Keluarga dalam Menanamkan Nilai Budaya :Sebuah Panduann Konsepsional untuk Penelitian. Makalah Disampaikan pada Bimbingan Teknis Penelitian. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.

Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lekito, Yonathan Hanro. 2012. Potret Manusia Pohon. Komunitas AdatTerpencil Suku Korowai di Daerah Selatan Papua dan Tantangannya Memasuki Peradaban Baru. Jakarta: Balai Pustaka.

Mahmud, Irfan. 2010. Arsitektur Rumah Tradisional Sentani Papua. Direktorat Tradisi. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Maryeti. 2010. Sistem Teknologi Tradisional dalam Pembuatan Rumah Limas Masyarakat Kayu Agung di Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan dalam Bunga Rampai Budaya. BPSNT Padang Press.

Maryone, Rini. 2013. Laporan Penelitian Arkeologi pada Suku Kamoro Kabupaten Timika . Balai Arkeologi Jayapura Pusat Pengembangan Arkeologi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Maryone, Rini. 2015. Rumah Pohon Suku Momuna Yahukimo dalam Jurnal Papua, Vol 7 Edisi No 2 November. Balai Arkeologi Jayapura.

Maryono, Irawan dkk. 1985. Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitrktur Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Mene, Bau. 2006. Penelitian Pemukiman Suku Hatan Kabupaten Manokwari. Balai Arkeologi Jayapura.

Rapoport, Amos. 19969. House from and Culture. Fondations of Cultural Geography Series. NJ: Prentice-Hll inc.

Rostiyati, Ani. 2013. Nilai Budasya Pada Arsitektur Rumah Tradisional Di KampungWana Lampung Timur, dalam Bunga Rampai “Diakronis dan Sinkronis”. Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung.

Susetyo, Sukawati. 2009. Tinjauan Arsitektur Rumah Adat Batak Toba di Pulau Samosir. Berkala Arkeologi Sangkakala Vol XII No. 24, November 2009. Balai Arkeologi Medan.

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 153-168

Page 105: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

169 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

BENTUK KEHIDUPAN MANUSIA PRASEJARAH DI SITUS YOMOKHO (Prehistoric living in the Yomokho Site)

Hari Suroto Erlin N. Idje Djami Balai Arkeologi Papua Jalan Isele, Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura 99358 e-mail: [email protected]

INFO ARTIKEL

Histori Artikel Diterima: 17 September 2018 Direvisi: 22 Oktober 2018 Disetujui: 5 November 2018 Keywords Prehistory, Yomokho Site, Human life

Kata Kunci Prasejarah, Situs Yomokho, Kehidupan manusia

ABSTRACT

Folklore that the Sentani people believe about the migration of their ancestors from Papua New Guinea who chose Yomokho Hill as an initial settlement, it is necessary to do research related to prehistoric human life forms on the Yomokho site. The purpose of this paper is to find out the prehistoric human life forms on the Yomokho Site. Methods of data collection are library studies, interviews, land surface surveys, excavations. Data analysis is artefactual analysis, contextual analysis, and XRD analysis. The prehistoric forms of human life on the Yomokho Site based on artifacts, ecophysics and the environmental context around the site indicate that they live hunting, fishing and gathering sago. ABSTRAK

Cerita rakyat yang dipercaya Suku Sentani tentang migrasi nenek moyang mereka dari Papua New Guinea yang memilih Bukit Yomokho sebagai pemukiman awal, maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan bentuk kehidupan manusia prasejarah di situs Yomokho. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui bentuk kehidupan manusia prasejarah di Situs Yomokho. Metode pengumpulan data yaitu studi pustaka, wawancara, survei permukaan tanah, ekskavasi. Analisis data yaitu analisis artefaktual, analisis kontekstual, dan analisis XRD. Bentuk kehidupan manusia prasejarah di Situs Yomokho berdasarkan artefak, ekofak serta konteks lingkungan sekitar situs menunjukkan bahwa mereka hidup berburu, mencari ikan dan meramu sagu.

PENDAHULUAN

Balai Arkeologi Jayapura pada tahun

2010 melakukan eksplorasi arkeologi

prasejarah di Kawasan Danau Sentani, dalam

penelitian ini berhasil menemukan situs-situs

arkeologi maupun artefak yang disimpan

masyarakat. Situs-situs arkeologi yang

berhasil ditemukan yaitu Yomokho, Marweri

Urang, Mantai, Gua Rukhabulu Awabhu,

Ceruk Reugable dan Ceruk Ifeli-feli. Survei

permukaan yang dilakukan di Situs

Yomokho, ditemukan lapisan konsentrasi

cangkang moluska di lereng bukit bagian

timur. Artefak yang disimpan oleh

masyarakat yaitu gerabah, manik-manik,

gelang batu, kapak batu dan kapak perunggu

(Tim penelitian, 2010).

Pada tahun 2011 Balai Arkeologi

Jayapura melakukan ekskavasi di Situs

Yomokho, bertujuan untuk memperoleh

Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami

Page 106: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 170

gambaran jumlah dan keragaman tinggalan,

kedalaman lapisan budaya dan jenis lapisan

tanah. Pembukaan kotak test pit dilakukan

satu di puncak bukit dan satu di lereng bukit

bagian timur. Hasil ekskavasi di lereng Bukit

Yomokho diperoleh temuan berupa pecahan

gerabah hias maupun polos, manik-manik,

cangkang moluska laut, cangkang moluska

danau, arang, tulang binatang, dan tulang

manusia.

Selain ekskavasi di Situs Yomokho,

pada tahun yang sama juga dilakukan

eksplorasi arkeologi pada beberapa lokasi di

Kawasan Danau Sentani yang belum

terjangkau penelitian sebelumnya. Eksplorasi

ini berhasil menemukan situs megalitik di

Kampung Ayapo Baru dan situs hunian yaitu

situs Phulende di Kampung Ifar besar dan

situs Kampung tua Abar (Suroto et. al.,

2011). Pada tahun 2012 Balai Arkeologi

Jayapura melakukan penelitian di Situs

Yomokho untuk mengetahui strategi

pemilihan tempat tinggal dan strategi

subsistensi manusia pendukung budaya Situs

Yomokho (Suroto et. al., 2012).

Upaya untuk merekonstruksi sejarah

kebudayaan, rekonstruksi cara-cara hidup,

dan penggambaran proses budaya masa

lampau (Binford, 1972:78) hendaknya

memperhatikan tiga dimensi penting yaitu

bentuk, ruang dan waktu. Ketiga dimensi

tersebut saling terkait satu dengan yang

lainnya dan merupakan dimensi yang harus

mendapatkan perhatian para arkeolog.

Dimensi kerap digunakan sebagai landasan

untuk memberikan waktu, fungsi, sosial

ekonomi, religi, dan hal lainnya dari

kehidupan masa lalu. Begitu juga sebaliknya

dimensi ruang data memberikan informasi

akan fungsi, waktu, sebaran, dan hal lainnya

dari bentuk artefak yang ditemukan. Dimensi

waktu, memberikan gambaran kapan sebuah

artefak atau kehidupan masa lalu

berlangsung.

Secara umum, situs-situs arkeologi

dapat diklasifikasi menjadi dua tipe, yaitu

stratified sites dan surface sites. Stratified

sites adalah situs-situs yang secara geologik

berada dalam konteks langsung, sedang

surface sites adalah situs-situs yang berada di

atas permukaan tanah, tanpa konteks

geologik. Kedua tipe situs ini dapat

diklasifikasi dalam berbagai cara.

Berdasarkan fungsi dan jenis aktivitasnya,

situs-situs arkeologi dapat dibedakan

menjadi: situs hunian, situs perdagangan,

situs penambangan, situs penguburan, situs

seremonial dan situs perbengkelan (Hole dan

Heizer, 1973; Sharer dan Ashmore, 1979: 68-

100).

Butzer (1964) menyatakan bahwa

kondisi lingkungan dapat dianggap sebagai

salah satu faktor penentu dalam pemilihan

tempat hunian. Beberapa variabel yang

berhubungan dengan kondisi lingkungan

tersebut diantaranya: tersedia kebutuhan akan

air; tersedianya fasilitas-fasilitas yang

diperlukan untuk bergerak lebih mudah

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 169-177

Page 107: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

171 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

(pantai, sungai, rawa dan hutan); dan

tersedianya sumber makanan baik flora dan

fauna, serta faktor-faktor kemudahan

memperoleh makanan.

Dalam upaya mempertahankan

eksistensinya, manusia memerlukan tempat

untuk berinteraksi dengan sesamanya

maupun dengan lingkungannya. Makanan

diperlukan dalam upaya mempertahankan

hidupnya. Sehingga pemilihan tempat hunian

dan jenis makanan dapat dipandang sebagai

indikasi strategi adaptasi manusia pada masa

lampau (Wiradnyana, 2011:60). Proses

adaptasi sendiri berjalan ketika manusia

membandingkan pola tingkah laku yang telah

dilakukannya dengan kondisi lingkungan

yang dihadapi untuk kemudian disesuaikan.

Situs sebagai sumber data dalam

arkeologi merupakan rangkaian ekosistem

manusia dan lingkungannya, sehingga dalam

pemilihan tempat tinggal selain didasarkan

pada kondisi lingkungan juga bentang alam.

Sejalan dengan hubungan antara manusia

dengan alam lingkungannya, Subroto

(1985:1178) mengemukakan bahwa adanya

hubungan antara pola pemukiman dengan

gejala-gejala geografis seperti halnya

keadaan topografis, tanah, vegetasi, dan zona

curah hujan.

Terkait dengan cerita rakyat yang

dipercaya Suku Sentani tentang migrasi

nenek moyang mereka yang memilih Bukti

Yomokho, Pulau Ajauw dan Pulau

Kwadeware sebagai pemukiman awal, maka

perlu dilakukan penelitian yang berkaitan

dengan hunian awal prasejarah di Situs

Yomokho. Tulisan ini akan membahas

tentang bentuk kehidupan prasejarah di Situs

Yomokho.

Dalam penulisan ini dilakukan

dengan pengumpulan data, analisis data dan

interpretasi data. Menurut Deetz (1967:6) ada

tiga tingkatan dalam penelitian arkeologi

yaitu observasi (observation) merupakan

tingkat pengumpulan data, deskripsi

(description) yaitu tingkat pengolahan data

dan penjelasan (explanation) adalah tingkat

interpretasi data.

PEMBAHASAN

Situs Yomokho terletak sekitar 200

meter sebelah barat Khalkote, lokasi Festival

Danau Sentani. Survei permukaan tanah di

Situs Yomokho, dilakukan dengan

mengamati permukaan puncak bukit, lereng

bukit, kaki bukit maupun di lingkungan

sekitar. Seluruh permukaan Bukit Yomokho

ditumbuhi rumput ilalang, sebagian lereng

bukit sebelah timur dimanfaatkan untuk

berkebun umbi jalar dan ketela pohon

sedangkan kaki bukit berbatasan dengan

hutan sagu.

Pecahan gerabah ditemukan di

puncak bukit, lereng bukit, kaki bukit dan

kebun. Pecahan gerabah yang ditemukan di

puncak bukit sangat sedikit, pecahan gerabah

lebih banyak ditemukan di kaki bukit.

Cangkang siput danau Melanoides

Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami

Page 108: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 172

tuberkulata, moluska laut Verenidae serta

tulang manusia ditemukan di lereng bukit

bagian timur dan selatan.

Gambar 1. Cangkang moluska laut Verenidae (dokumentasi Balar Papua)

Sepanjang puncak Bukit Yomokho

terdapat susunan batu dengan lebar 100 – 190

cm, tertata rapi dengan orientasi timur laut-

barat daya, berukuran panjang 107,4 m.

Sebagian susunan batu tertata dari puncak

bukit ke arah lereng. Menurut informasi dari

masyarakat Asei, pada masa lalu susunan

batu tersebut merupakan batas-batas kebun.

Gambar 2. Cangkang siput danau (Melanoides tuberkulata) temuan permukaan

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 169-177

Page 109: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

173 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Peta 1. Situs Yomokho

Analisis terhadap fragmen gerabah

dari Situs Yomokho, berdasarkan

pengamatan terhadap bentuk tepian, badan

dan dasar diketahui bentuk utuh wadah

adalah periuk dan tempayan. Periuk memiliki

diameter mulut lebih kecil dari tempayan.

Gerabah jenis tempayan memiliki dinding

yang lebih tebal daripada periuk.

Analisis teknik pembuatan gerabah

dilakukan dengan mengamati jejak

pembentuk permukaan bagian luar atau

bagian dalam. Analisis teknik pembuatan

gerabah jenis tempayan dari Situs Yomokho

berdinding tebal, jejak-jejak pembuatan pada

permukaan dalam gerabah berupa cekungan

yang cukup besar dan pada permukaan luar

berupa bekas pemukul yang menunjukan

teknik tatap pelandas.

Warna bagian permukaan terdiri atas

merah, coklat dan hitam. Pengamatan pada

penampang lintang fragmen gerabah yang

berwarna hitam yang tidak merata,

mengindikasikan dibakar di tempat terbuka

(open fire). Gerabah ini dibuat dari tanah liat

yang dicampur dengan pasir kasar.

Analisis teknik pembuatan gerabah

jenis periuk dari situs Yomokho, diketahui

dibuat dengan teknik roda putar, hal ini

terlihat permukaan gerabah terdapat jejak

bekas striasi yang lurus dan rapi, hal ini

menunjukan gerabah dibuat dengan teknik

roda putar cepat. Pada akhir pembuatan

sebelum proses pembakaran diupam terlebih

dahulu, ini terlihat dari permukaan dinding

yang halus dan tidak berpori. Proses

pembakaran gerabah dilakukan di tempat

Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami

Page 110: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 174

terbuka. Periuk ini dibuat dari tanah liat yang

dicampur dengan pasir halus.

Fungsi gerabah Situs Yomokho dapat

diketahui dari bentuk, jejak pakai dan

konteksnya. Gerabah jenis periuk

mengindikasikan untuk memasak, hal ini

terlihat bekas jejak pakai berupa jelaga,

selain itu gerabah jenis ini memiliki konteks

temuan arang. Dinding periuk yang tipis

mempercepat proses pemanasan makanan.

Gerabah jenis tempayan digunakan

untuk menyimpan bahan makanan dan air.

Ukuran tempayan lebih besar daripada

periuk, dan dinding gerabah jenis tempayan

lebih tebal daripada periuk. Dinding yang

tebal membuat tempayan kuat untuk

menyimpan bahan makanan atau air dalam

volume banyak.

Saat ini gerabah tradisional masih

diproduksi oleh masyarakat Kampung Abar,

Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura.

Untuk mengetahui asal usul gerabah situs

Yomokho apakah asal usulnya dari Kampung

Abar maka dilakukan analisis XRD. Hasil

analisis XRD menunjukkan unsur mineral

pada gerabah Situs Yomokho dan gerabah

Kampung Abar berbeda.

Gambar 3. Hasil analisis XRD gerabah Kampung Abar

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 169-177

Page 111: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

175 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

Gambar 4. Hasil analisis XRD gerabah Yomokho

Hal ini menunjukkan bahwa gerabah

Situs Yomokho bukan berasal dari Kampung

Abar. Kemungkinan gerabah Situs Yomokho

berasal dari luar Danau Sentani atau bisa juga

manusia prasejarah di Situs Yomokho

mampu membuat sendiri. Hal ini perlu

dilakukan penelitian lanjutan.

Ekofak yang ditemukan dalam survei

permukaan tanah di Situs Yomokho yaitu

cangkang siput danau Melanoides, cangkang

moluska laut Verenidae, tulang binatang, gigi

babi dan tulang manusia. Kondisi cangkang

siput danau yang utuh, menunjukkan proses

pengolahannya yaitu dengan cara direbus.

Hal ini didukung oleh konteks temuan

pecahan gerabah dan arang. Ekofak yang

ditemukan dalam ekskavasi Kotak U10T5

spit 8 berupa gigi babi. Babi di Papua saat ini

dikenal sebagai jenis Sus Scrofa Papuensis.

Untuk mengetahui bentuk kehidupan

masa lalu di Situs Yomokho dilakukan

dengan mengaitkan konteks artefak dengan

lingkungan. Situs Yomokho menggambarkan

adaptasi manusia terhadap lingkungan.

Pemilihan lokasi sebagai hunian berkaitan

dengan keberadaan Danau Sentani yang

menghasilkan sumber makanan diantaranya

moluska dan ikan, selain itu Danau Sentani

juga merupakan sumber air bersih.

Berdasarkan hasil survei permukaan

tanah dan ekskavasi di Situs Yomokho,

diketahui temuan artefak gerabah lebih

banyak ditemukan di kaki bukit. Hal ini

menunjukkan bahwa manusia prasejarah

Situs Yomokho memilih kaki bukit sebagai

lokasi hunian, hal ini didasarkan pada kondisi

permukaan kaki bukit yang datar.

Menurut Kal Muller (2008) dan Peter

Bellwood (1978) tidak ada data ilmiah yang

membuktikan keberadaan babi di Papua

sebelum 4000 tahun yang lalu. Walaupun

belum ada waktu pasti tentang kapan pertama

Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami

Page 112: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 176

kali babi masuk ke dataran tinggi Papua,

tetap bisa dipastikan bahwa babi (bersama-

sama dengan anjing dan ayam) dibawa

masuk ke Papua oleh penutur Austronesia

pada 1500 hingga 1000 SM. Berdasarkan

teori Muller dan Bellwood ini maka

diperkirakan babi yang ditemukan dalam

ekskavasi di Situs Yomokho berasal dari

1500 – 1000 SM, sedangkan hasil dating C-

14 terhadap sampel arang hasil ekskavasi

tahun 2011 di lereng Bukit Yomokho

mengindikasikan manusia pernah beraktivitas

di situs ini 2590 ± 120 BP.

Hasil ekskavasi di kaki Bukit

Yomokho menunjukkan bahwa temuan

pecahan gerabah lebih banyak daripada di

lereng bukit maupun puncak bukit. Hal ini

menunjukkan bahwa hunian manusia masa

lalu di Situs Yomokho berada di kaki bukit.

Diperkirakan mereka tinggal dalam rumah

panggung, walaupun bukti tiang-tiang rumah

belum ditemukan.

Berdasarkan tulang manusia yang

lebih banyak ditemukan di lereng bukit,

maka diperkirakan lereng Bukit Yomokho

merupakan tempat penguburan. Hal ini

berdasarkan ekskavasi tahun 2011 di lereng

Bukit Yomokho menemukan tengkorak dan

tulang manusia dengan konteks temuan

pecahan gerabah, maka diperkirakan gerabah

dijadikan sebagai bekal kubur.

Berdasarkan analisis terhadap motif

hias gerabah dari Situs Yomokho memiliki

kesamaan dengan gerabah dari Gua Lachitu

dan Gua Taora di Vanimo Papua Nugini.

Gorecki (1996) menyatakan bahwa gerabah

dari Gua Lachitu dan Gua Taora memiliki

pertanggalan 5400 tahun yang lalu, tetapi

beberapa peneliti menyangsikan pertanggalan

yang dilakukan Gorecki dan mereka percaya

pertanggalannya lebih muda (Simanjuntak,

1997:944). Jika dikaitkan dengan cerita

rakyat yang dipercaya masyarakat Sentani

terkait asal usul nenek moyang mereka yang

berasal dari timur yaitu Papua Nugini, tentu

saja temuan artefak gerabah hias dari Situs

Yomokho mungkin saja memiliki kaitan.

Ekofak yang ditemukan di Situs

Yomokho yaitu cangkang siput danau yang

ditemukan satu konteks dengan pecahan

gerabah. Pengamatan terhadap cangkang

siput tidak nampak terbakar maka

diperkirakan pengolahan siput sebelum

dikonsumsi adalah direbus. Keberadaan

cangkang moluska laut Verenidae

mengindikasikan bahwa manusia yang

menghuni Situs Yomokho telah melakukan

kontak dengan masyarakat pesisir atau daya

jelajah dalam mencari makanan hingga

pesisir.

PENUTUP

Latarbelakang pemilihan lokasi

hunian awal prasejarah di Kawasan Danau

Sentani berkaitan dengan keberadaan Danau

Sentani yang menghasilkan sumber makanan

diantaranya moluska dan ikan, selain itu

Danau Sentani juga merupakan sumber air

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 169-177

Page 113: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

177 Jurnal Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018

bersih. Dengan mengacu pada hasil temuan

arkeologi pada situs Yomokho

menggambarkan bahwa bentuk kehidupan

manusia pendukung situs hunian awal

prasejarah di situs Yomokho termasuk dalam

budaya neolitik.

Bentuk kehidupan manusia prasejarah

di Situs Yomokho berdasarkan artefak,

ekofak serta konteks lingkungan sekitar situs

menunjukkan bahwa mereka hidup berburu,

mencari ikan dan meramu sagu. Selain itu

berdasarkan temuan cangkang moluska laut

menunjukkan daya jelajah mencari makanan

hingga pesisir laut.

DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, Peter. 1978. Man Conquest of the Pacific. The Prehistory of South East Asia and Oceania. Auckland: William Collins Publisher Ltd.

Binford, Lewis R. 1972. Archaeological Perspective. New York: Seminar Press. Butzer, K. W. 1964. Environment and Archaeology. London: Methuen. Deetz, James. 1967. Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press. Gorecki, P. 1996. Early Pottery from Two Rockshelter near Vanimo, Papua New Guinea: Some Stratigraphic and Chronological Considerations. Conference on the Western Pacific, 5000 to 2000 Before Present. Vanuatu National Museum – Australian National University - ORSTOM. Port Villa, Vanuatu. Hole, Frank dan Robert F. Heizer. 1973. An Introduction to Prehistoric Archaeology third

edition. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Muller, Kal. 2008. Introducing Papua. Daisy World Books. Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California: The

Benjamin/ Cummings Publishing Company, Inc. Simanjuntak, Harry Truman. 1997. “Revieuw of the prehistory of Irian Jaya” dalam

Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia (Jelle Miedema, Cecilia Ode dan Rien A.C. Dam eds.). Proceedings of the Conference Leiden, 13-17 October 1997. Hlm. 941-950.

Subroto, P. H. 1985. Studi tentang Pola Pemukiman Arkeologi Kemungkinan-Kemungkinan Penerapannya di Indonesia. PIA III. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Suroto, Hari, Erlin N. I. Djami, M. Irfan Mahmud. 2011. Ekskavasi dan Survei Arkeologi di Kawasan Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Suroto, Hari, Klementin Fairyo, Amurwani Putri. 2012. Penelitian Arkeologi di Kawasan

Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Tim Penelitian. 2010. Penelitian Arkeologi di Kawasan Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Wiradnyana, Ketut. Prasejarah: Sumatera Bagian Utara Kontribusinya pada Kebudayaan

Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Bentuk Kehidupan Manusia Prasejarah di Situs Yomokho, Hari Suroto, Erlin N. Idje Djami

Page 114: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 178

KETENTUAN NASKAH UNTUK JURNAL PAPUA

1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan abstrak bahasa Inggris, bila naskah berbahasa Inggris abstrak berbahasa Indonesia.

2. Penulisan dengan menggunakan MS Word pada kertas ukuran A4, dengan font Times New Roman 12 spasi 1,5 kecuali tabel. Batas atas dan bawah 3 cm, tepi kiri dan tepi kanan 3,17 cm. Jumlah halaman minimal 10, di luar daftar pustaka dan tabel.

3. Kerangka tulisan: tulisan tersusun menurut urutan sebagai berikut: a. Judul b. Nama penulis c. Abstrak d. Kata Kunci e. Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan, tujuan) f. Metode penelitian g. Hasil dan pembahasan h. Penutup i. Daftar pustaka. Pustaka yang diacu harus dipakai dan harus masuk dalam teks artikel

4. Judul diketik dengan huruf kapital tebal (bold) pada halaman pertama maksimum 11 kata. Judul harus mencerminkan inti tulisan

5. Nama penulis (tanpa gelar akademik) diketik lengkap di bawah judul. Jika penulis lebih dari satu orang kata penghubung digunakan kata “ dan “

6. Abstrak diketik dengan huruf miring (italic) berjarak satu spasi maksimal 150 kata. 7. Kata kunci 3-5 kata, ditulis huruf miring (italic) 8. Selain bahasa yang digunakan harus ditulis huruf miring (italic) 9. Pengutipan dalam naskah harus mencantumkan nama belakang penulis, tahun dan halaman

kutipan. Contoh: (Muller, 1996: 99) 10. Daftar pustaka ditulis dengan tatacara seperti contoh berikut, diurutkan secara alfabetis,

dan kronologis. Buku yang diacu minimal 10. Muller, Kal. 1996. Indonesian New Guinea. Singapore: Periplus Editions.. Soejono, R.P. 1963. “Prehistori Irian Barat” dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar (ed.). Penduduk Irian Barat. Jakarta: PT. Penerbit Universitas. Hlm.

39-93. 11. Untuk meningkatkan citation indeks jurnal, sangat dihargai apabila penulis mengutip

informasi dari artikel-artikel yang pernah dimuat dalam Jurnal Papua. 12. Kelengkapan tulisan: gambar, foto, peta, grafik dan kelengkapan lain harus disebutkan sumbernya. Untuk tabel ditulis seperti biasa dengan jenis font menyesuaikan.

Page 115: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018
Page 116: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018
Page 117: Terakreditasi Nomor 30/E/KPT/2018