Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STULOS 18/1 (JANUARI 2020) 26-52
TEOLOGI KENABIAN INJILI UNTUK PERGUMULAN
MASYARAKAT POLITIS
Togardo Siburian
Sekolah Tinggi Teologi Bandung
Abstrak: Artikel ini mengkaji konsep kenabian sebagai jalan pemikiran Injili
dari tugas dan panggilan teologinya pada situasi kekinian. Selama ini
dianggap teolog seminariannya “mandeg” pada kajian doktrinalnya
dalam pergumulan konteks yang sebenarnya sudah dicanangkan
dalam konfesi-konfesinya sedunia, misalnya Perjanjian Lausanne.
Kajiannya akan menggunakan studi literatur Injili sambil belajar dari
beberapa kaum yang dianggap non-Injili. Ternyata prinsip-prinsip
Injili dalam panggilan kenabian tersirat dan tersurat dalam poin-poin
Lausanne dari pertama sampai ketiga. Jalan ini adalah tantangan
perluasan untuk teologi dalam konteks, khususnya sebagai pintu ke
dalam kajian doktrin-doktrin Injili yang teraplikasi dalam situasi real.
Sekaligus juga kesempatan untuk pencarian relevansi-relevansi
teologi Injili pada problem kemanusiaan, di mana gereja berada
sebagai agen ilahi di dunia.
Kata Kunci: kenabian, kaum injili, Gerakan Lausanne, masyarakat politis,
kontekstualisasi teologi
Abstract: The article examines concept of prophetic as evangelical thought way
of theological duty and vocation in the current situation. During this
time the seminarian theologian is considered stagnant in his doctrinal
studies in his contextual struggle, which has actually been proclaimed
by his world confessions, such as the Lausanne agreement. This
article used the study of evangelical literature itself while learning
from some people who are considered “non-evangelicals”. It turns
out that the evangelicals principles in the prophetic vocation are
implied and explicit in Lausanne points from first to third. This is the
challenge of expanding to theology in context, especially as a
doorway into the study of doctrines that are applied in real situations.
It is also an opportunity to search for the relevance of Evangelical
theology to the problem of humanity in which the church is a divine
agent in the world.
Keywords: prophetic way, evangelicals, Lausanne Movement, contextualization
of theology, political society
TEOLOGI KENABIAN INJILI 27
PENDAHULUAN
Absennya pemikiran kenabian Injili selama ini sering membuat gereja-
gereja Injili berdiam diri mengenai problem kemasyarakatan. Konon hal
itu karena merasa bahwa pelayanan masyarakat adalah tugas pemerintah,
sementara tugas gereja hanyalah hal-hal rohani. Padahal gerakan Injili
adalah gerakan keprihatinan sosial sebagai imbas dari gerakan teologis-
doktrinal dalam gerakan pemberitaan Injil yang holistik. Sebagai gerakan
teologis, kebanyakan teolog Injili, khususnya di Indonesia cukup puas
dengan hanya berkutat dalam pengulangan-pengulangan pendapat dan
rumusan Barat (masa lalu). Padahal kesadaran aksiomatis mengakui
“tidak dapat berteologi dari ruang kosong”. Kurangnya keberanian untuk
mengaplikasikan doktrin-doktrin ortodoksnya pada situasi dan kondisi
kontekstual kekinian membuat para pelajar Injili tidak bisa menelurkan
pemikiran fresh di zamannya, karena takut dicap “sesat” atau
“ekumenis”. Padahal tanpa berpemahaman ekumenisme pun, kaum Injili
harus memikirkan isu kontekstual tersebut sebagai keniscayaan studi
“teologi”.
Selama ini, peran teologis Injili menjadi mandeg dalam hal
keadilan dan kemanusiaan yang dianggap urusan duniawi, lalu berfokus
pada hal-hal doktrinal saja. Doktrin Injili mengabaikan konteks situasi
dan kondisi kekinian, tetapi hanya mengulang-ulang pendapat para
popular dari Barat masa lalu dan kurang berempati pada pergumulan
aktual gereja-gereja. Artinya, sarjana Injili tidak proaktif untuk mencari
jalan keluar dalam refleksi teologis yang segar di lapangan hidup konkret,
khususnya apa yang disebut “refleksi kenabian”. Padahal kenabian Injili
dapat dikaitkan dengan keprihatinan gereja-gereja sebagai tiang dan dasar
kebenaran, termasuk pada isu-isu ketimpangan masyarakat.
Pemahaman teologis itu harus dimulai dengan berpikir kritis dan
evaluatif dalam prinsip kenabian Kristus yang terkait pula dengan nilai-
nilai etis Kerajaan Allah. Walau fakta peristiwa berlainan dari zaman ke
zaman, namun problem kemanusiaannya tetap sama sampai masa kini.
Karena itu, di setiap zaman umat Allah mempunyai panggilan tugas
kenabian sendiri-sendiri berdasarkan pesan Allah yang kekal, pada
28 STULOS: JURNAL TEOLOGI
problem-problem aktualnya.1 Keprihatinan etis Injili dimungkinkan untuk
disalurkan melalui tugas kenabian agar menjadi “suara kepada orang
yang membutuhkan.” Di sini kaum Injili harus belajar memaknai konsep
profetisnya sebagai refleksi teologis yang lebih luas tempat gereja-gereja
berada dan berbicara dari sudut nilai-nilai kekal ilahi. Memang kaum
Injili tidak menyangkali bahwa karya kenabiannya masa kini harus
menyadari dasar-dasar otoritas firman Allah sebagaimana “prophetic
ministry tries to require action as well as words”.2 Dalam hal ini adalah
usaha pengaplikasian visi ilahi pada situasi masa sekarang; tanpa harus
terjatuh ke dalam gagasan sekularisme Kristen yang sering dilakukan
oleh kaum non-Injili. Di sini peran dan suara kenabian sejalan di dalam
gereja-gereja yang memerangi ketidakadilan, membela hak-hak orang
terpinggirkan dan kaum tertindas, di dalam kebenaran dan keadilan.
Memang perlu dijernihkan juga, bahwa akhir-akhir ini pengertian
kenabian itu sendiri dipakai oleh kelompok Neo Karismatik yang
belakangan mengklaim sebagai sub-kultur gerakan Injili yang besar di
dalam sejarahnya, sejak Reformasi. Sebagai sub-kultur Injili, kaum
Karismatik memang sedang mendominasi panggung dan organisasi
gerakan Injili ini, serta memahami tugas pesan profetik secara sebatas
mistik-individual, dengan sebutan prophetic movement yang konon
bertujuan untuk “memulihkan jabatan nabi dan karunia nubuat dalam
gereja” pada masa kini (Ef. 6:4).3 Makna kenabian kaum Karismatik
bukan lagi soal peran dan suara kebenaran di masyarakat riil lagi, tetapi
menyempit pada soal-soal pesan “mistis” dalam kata-kata futuristik
untuk dipergunakan secara mental psikis dalam pengembangan potensi
manusia dengan sugesti keyakinan dan memotivasi diri untuk sukses saja.
Dengan kerangka keagamaan yang “ngeroh” berdasarkan apa yang
disebut dengan “rhema” sebagai suatu “firman atas firman” dan diklaim
1Lih. J. Philips Hyatt, Prophetic Religion: In Search for The Ideas of the
Religion on Which Jesus Built (Nashville: Abingdon Press, nd.), 176-7. 2Morton T. Kelsey, Prophetic Ministry (New York: Crossroad Pub. Co.
1982), viii. 3Lih. Bill Hammon Jebakan-Jebakan dan Prinsip Nabi (Jakarta: Metanioa,
2008), xi, 6,7. “Bill Hammon inilah yang diklaim sebagai salah satu nabi pada
zaman kita.”
TEOLOGI KENABIAN INJILI 29
sebagai ‘inspirasi Roh” (berdasarkan teks Roma 10:17).4 Maka
lengkaplah pemahaman ini menyempitkan makna kenabian Alkitab
karena pemahaman “logos” Alkitab yang tidak menyeluruh, sebagai
keutamaan dalam Injili selama ini. Singkatnya, istilah ”profetik” dalam
karismatik sudah dikaburkan dengan makna kebenarannya oleh dalil
literaliasi Alkitab. Pelayanan profetik demikian tidak lagi melihat
kondisi kemanusiaan yang berkembang secara dinamis di dalam
kehidupan riil masyarakat suatu daerah, di mana gereja-gereja berada.
Untuk itu, kita dapat memahami apa yang dikatakan Peter Hicks
“pentacostals/charismatic movement … familiar throughout
evangelicalism” walau pemahaman teologis mengenai wahyu Allah
sangat berlawanan, khususnya pada tekanan tekanan isu-isu “spesific
interest on prophecy, tongues, feeling, body luminaire verstehen,
symbolic action, picture dan non verbals flerms.5 Dan dengan kerangka
pemahaman seperti itulah, kaum Karistmatik mengerti “nubuatan” dan
kenabian yang selalu dikaitkan secara ekstrim dengan kegiatan
“spektakular” keagamaan. Sedangkan “for evangelicals, call to engage
with the world necessarily means a call to engage theologicaly, to
integrate their theological understanding and beliefs with everythings
else”.6 Untuk itulah, kaum Injili harus melihat kembali isu kenabian dari
perspektif teologi yang lebih komprehensif dalam kemanusiaan yang
holistik agar dapat berguna sebagai arah-arah pemikiran doktrinal yang
lebih besar lagi dalam praktik-praktik gereja-gereja Injili.
Tulisan ini ingin melihat konsep-konsep pemikiran teologis lebih
lanjut mengenai tema kenabian yang otentik pada situasi keprihatinan
sosial yang sehat dalam masyarakat riil, sesuai dengan apa yang
diamanatkan Lausanne. Dengan demikian, diharapkan doktrin yang
teraplikasi pada konteks masyarakat lebih terbuka sehingga dapat dilihat
sebagai petunjuk bagi gereja-gereja pada masa kini, tanpa terjatuh
sosialisme teologis dan pengandalan akan pragmatisme.
4Ibid., 124-125.
5Lih. Peter Hick, Evangelicals and Truths, A Creative Proposal for a Post-
modern Age (Leicester: Apolos, 1998), 130. 6Ibid., 131.
30 STULOS: JURNAL TEOLOGI
KEPRIHATINAN SOSIAL YANG TERABAIKAN
SEBAGAI KONTEKS BERTEOLOGI INJILI
Signifikansi dari Keprihatinan Sosial Injili
Khususnya, kaum Injili yang agak ketinggalan dalam arena ini, namun
kita harus mulai melihat peran dan tugas kenabian Kristen sebagai
penuntun pelayanan misional gereja-gereja di publik. Ini adalah orientasi
gagasan transformasi Kristen yang didasarkan pada natur Injil dan kuasa
Firman Allah yang dapat menerapkan dirinya sendiri dalam pelebaran
Kerajaan Allah. Ini sekaligus menghindari apa yang dialami kaum non-
Injili yang lebih dahulu menyadari pentingnya tugas dan tanggung jawab
sosial gereja-gereja, tetapi terjatuh dalam cara-cara politik dan
menjadikan gereja sebagai kendaraan arena perpolitikan praktis.
Singkatnya, gereja-gereja membonceng kendaraan politik dan berlindung
pada kekuasaan politis untuk tugas rohaninya.
Konsep keprihatinan gereja dalam konteks dunia sosial,
diasumsikan bahwa kerangka pemikiran Injili mengenai agama dan
politik dimulai dengan keberadaan gereja di tengah-tengah masyarakat.
Di sini fakta sekularitas tidak identik dengan sekularisme sebagai usaha
sekularisasi yang anti agama, tetapi suatu prinsip hidup kebersamaan di
atas semua golongan yang berbeda. Hal ini mengingat beberapa
kejatuhan dalam politisasi agama dan agamisasi politis dalam pengaruh
fundamentalis dan ekumenis. Walau ada gereja-gereja ekumenis
menyadari pentingnya tugas dan tanggung jawab sosial gereja kepada
komunitas masyarakatnya. Beberapa terjatuh dalam cara-cara politik dan
menjadikan gereja sebagai kendaraan arena perpolitikan praktis atau
gereja membonceng politik untuk tugasnya. Ini adalah suatu tindakan
inkonsistensi dalam teologi Injili dan harus dihindari. Kemungkinan
keprihatinan etis Kristen dapat disalurkan melalui pelayanan kenabian
gereja.
Dalam hal ini, secara etis, partisipasi dan peran pemikiran Injili
dalam arena politik masyarakat harus bersifat “apolitis” juga; lalu
memperhatikan himbauan John Stott mengenai “doktrin yang lebih
komplit” dalam pemahaman teologi Injili, agar rumusan doktrinalnya
TEOLOGI KENABIAN INJILI 31
yang kosong dan tidak terkait dengan isu-isu sosial kemasyarakat..7
Pemikiran Injili berdiam diri karena merasa tugas sosial adalah wilayah
pemerintah. Sementara tugas gereja hanyalah yang rohaniah dan
memberitakan Injil, dalam dikotomi dualisme wilayah yang tanpa relasi
konsultasi dan diskusi adalah salah juga secara teologis, karena ada
hubungan koordinasi teologis. Secara eklesiologis salah satu fungsi
gereja di tengah-tengah dunia dan masyarakatnya adalah pelayanan
profetik. Pada skop yang paling umum, pelayanan profetik Kristen
adalah suatu jenis tugas gereja untuk berbicara dalam memperjuangkan
hak-hak orang kecil, kaum marginal dan yang tertindas karena
mengalami ketidakadilan sosial. Dari sana tugas profetik gereja-gereja
adalah untuk memperjuangkan keadilan bagi kaum tertindas pada masa
tertentu. Sebenarnya tugas ini ditinggalkan oleh Tuhan “Sang” Kepala
Gereja di dalam gereja-gereja sampai masa kini dan berdasarkan jabatan
kenabian Yesus yang masih diberlakukan setelah kebangkitan dan
kenaikan-Nya ke sorga, bahkan sampai Ia datang kembali. Jabatan Tuhan
Yesus sebagai Nabi terkait dengan jabatan Imam dan Raja pada gereja
untuk dilakukan.
Gereja-gereja sebagai Institusi Kenabian Injili
Gereja harus menangkap aspirasi dan menjadikan inspirasi pembelaannya
bagi orang yang terpinggirkan dan terendahkan. Di sinilah pentingnya
gereja-gereja yang Injili, khususnya di tengah-tengah penganiayaan
sekarang, mengingat kembali apa yang dikatakan sebagai “confessing
church” yang oleh Bloesch dimengerti bukan hanya sebatas kredo gereja
yang dogmatis-intelektual dari masa tertentu, tetapi adalah suatu
pemikiran yang selalu mengaku secara terang-terangan bahwa Yesus
Kristus adalah Tuhan dan Injil sebagai suatu yang krusial bagi budaya
dan waktu kita.”8 Gereja yang mengaku harus kembali ke akar-akar
7Saya mengulang kembali apa yang pernah diprihatinkan oleh John Stott, Isu-
isu Menghadapi Kepemimpinan Kristen, terj. (Jakarta: OMF/YKBK, 1989), 14, dst.
Beliau mensinyalir adanya apa yang disebut “hikmat gadungan” dalam
kepemimpinan Injili di abad 20 lalu. 8Donald G. Bloesch, The Church, Sacraments, Worship, Ministry and
Mission (Downers Grove: InterVarsity Press, 2002), 266.
32 STULOS: JURNAL TEOLOGI
pengakuannya yang otentik dan original harus berdasarkan prinsip-
prinsip profetik yang Injili.
Selanjutnya, ortodoksi (rasuli dan universal) bukanlah sekedar
pengakuan lokal atau denominasionalisme yang sempit dan
menyombongkan golongan sendiri dalam eksklusivisme fundamentalistik
yang merobek hakikat Gereja sebagai Tubuh Kristus dalam tugas-tugas:
pemberitaan firman, ibadah, dan persekutuannya. Konfesi iman yang
demikian adalah bukti mendasar bahwa adanya disiplin doktrinal dan
proklamasi Firman. Namun secara ideal “proklamasi gereja bukanlah
berdasarkan pada konfesi iman, karena beritanya akan terjatuh sebatas
ekspresi iman dan isi gereja.9 Jadi, “gereja yang mengaku” adalah
kehidupan yang mengaku, sedangkan pengakuan iman hanyalah salah
satu bukti, di mana konfesi sebagai hasil dari kepanitiaan beberapa orang.
Selanjutnya pada masa kini, gereja harus melihat konfesi yang
benar yang secara khusus adalah produk “prophets crying in the
wilderness rather than church councils preoccupied with survival on the
church as a social institution.”10 Konfesi kontemporer harus bernilai
kekekalan, karena kalau tidak akan menjadi denominasionalisme lagi.
Karena itu “a confession of faith may well involve critique of both
society and religion. It will seek not only to hear the word of God in the
Scripture but also to discern the hand of God in the tomes. It will proceed
from the Word to the world, refusing to drive its agenda from the world
but rather endeavoring to apply God’s agenda to the world.”11 Karena itu
kita dapat mengerti maksud Stanley Grenz dalam “basic for theology is
not the church its self, but the specifically Christian experience-
facilitating interpretative frame work”. Sejalan dengan itu, maka
pandangan Reformed mengenai “the church is basic in theology”
dimengerti sebagai “ … the community in which faith is present. Leads to
the reflection on faith that is called theology”12. Saya kira ini harus
9Ibid.
10Ibid., 268.
11Ibid.
12Diskursus ini ditemukan dalam bahasan “the integrative motive if
Evangelical Theology” dari Stenlay Grenz dalam Renewing The Center: Evangelical
Theology In a Post-theological Era (Grand Rapids: Baker Academic, 2000), 214.
TEOLOGI KENABIAN INJILI 33
mendapat perhatian gereja-gereja Injili di Indonesia yang sering senang
“kekristenan rasa keju”. Anugerah Tuhan dan belas kasihan Tuhan tetap
sama dalam hal apapun dan di manapun. Prinsip-prinsip Injili yang digali
dari prinsip Alkitab pun tetap sama bagi gereja manapun, tidak boleh
dikhianati.
Secara keseluruhan, inilah yang disebut sekarang dalam gagasan
misional bagi Gereja Profetik era ini. Kenabian Injili di sini dapat
dikaitkan dengan misional tetapi konsep gereja misional selalu
mengandung spirit kenabian juga. Saya melihat pentingnya kaum Injili
melampaui gagasan misionernya yang ekspansif dengan mengembalikan
kembali prinsip misional gereja-gereja lokalnya yang telah menghilang
selama ini.13 John Driver melihat “misi profetik” yang muncul karena
gagalnya orang-orang dalam peningkatan aktivitas misi untuk memahami
pembaharuan radikal gereja dan hanya menunjukkan ketidakmampuan
untuk penyebaran Injil yang otentik. Akibatnya, berbagai komunitas
Kristen yang radikal tersebut hanya bertumbuh ke dalam dan hanya
melayani dirinya sendiri. Selanjutnya, hal itu terkait dengan misi holistik
dalam ajaran Syalom untuk “visi kenabian tentang misi”.14 Misi kenabian
masa kini terkait dengan prinsip “eklesiologi misional” pada gereja-
gereja yang mencakup banyak bidang kehidupan kontemporer. Bukan
lagi sekedar misi penambahan kuantitas agama, tetapi misi peradaban
dunia. Jadi, sifat misional gereja harus diperhitungkan sebagai hal yang
penting selain sifat misioner dari gerakan Injili sekarang.
Perlunya Kehati-hatian dalam Keprihatian Sosial Injili
Keprihatinan sosial yang dimaksud adalah perhatian dalam misi
pekabaran Injil dalam gerakan Injili. Manifesto Manila dalam Lausanne
Pada halaman yang sama ditekankan juga, “focus of the communal nature of
theology opens the way for introducing community as theology‘s integrative
motive”. 13
Bagi pembaca yang ingin mendalami pokok ini dapat melihat tulisan saya,
“Gereja Misional di Tengah Pergumulan Manusia: Tinjauan Eklesiologis” dalam
Jurnal Teologi Stulos Vol. 16 No. 1 (Januari 2018): 17 dst. (khususnya Sub Judul
“Ketimpangan Misi Injili Selama Ini”. 14
John Driver, Gambaran Gereja dalam Misi, terj. Peter S. Wong (Bandung:
Penerbit STT Bandung, 2010), 226.
34 STULOS: JURNAL TEOLOGI
2 dikenal secara definitif yang disebut “misi holistik” (whole gospel,
whole church, whole world) dan panggilan misinya terbaru dalam
Lausanne 3 lebih gamblang lagi ditunjukkan bagimana kaum Injili sangat
prihatin pada isu-isu sosial dalam konteks peradaban manusia di dunia.15
Artinya, keprihatinan sosial kemanusiaan dan kemanusiaan bukanlah
melulu tentang keprihatinan kaum Ekumenis, bahkan tanpa menjadi
pemeluk ekumenisme pun kaum Injili sudah mengerjakan dan
memikirkannya dalam misi sedunianya sekarang ini. Hanya gemanya
tidak begitu sampai ke bawah, khususnya para pelajar dan guru Injili di
seminari yang secara tidak sadar terlihat bersikap tertutup dalam
kebodohan fundamentalisme lama. Sehingga kaum Injili sekarang hanya
mengetahui dirinya sebagai gerakan pemberitaan Injil semata-mata.
Konteks kenabian akan hal-hal pergumulan hidup riil adalah
keprihatinan Injil. Ini adalah suatu keprihatinan radikal juga di dalam
tujuan kemesianikan berita Injil yang berdampak pada hal-hal sosial
kemanusiaan-Nya. Untuk itu kaum Injili harus dapat meneladani berita
kenabian mesianik Kristus sebagai contoh atau pola dasar, misalnya
dalam Lukas 4: 18:18-19,
“Roh Tuhan ada pada-Ku ,oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;
dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-
orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas,
untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Jelas kenabian Kristus mengandung keprihatinan sosial dalam
konteks tahun Yobel yang rohani dalam masyarakat non emansipatif.
Perhatian kenabian Kristus yang dinubuatkan Nabi Yesaya adalah suatu
perhatian kepada orang miskin, komunitas tersingkir, dan pembelaan
nyata bagi orang yang berdosa, para perempuan, orang sakit yang
15
Saya sebagai dosen di bidang ini selama bertahun-tahunpun sangat kecewa
dengan dosen Injili yang hanya menyangkali bahwa tugas satu-satunya hanyalah
penginjilan, tidak ada yang lain. Para pembaca diharapkan dapat menggoogling
gerakan misi Lausanne dari sejak semula sampai terakhir, karena tidak ada tempat
riil
TEOLOGI KENABIAN INJILI 35
menjadi korban masyarakat. Di sinilah kaum Injili dapat memetik
pelajaran dari Brueggemann dalam argumen menarik tentang konsep
profetik, “Jesus of Nazareth, a prophet, and more than a prophet we
argue, practiced in the most radical form the mains elements of prophetic
ministry and imagination.”16 Jadi, bukan soal ketertindasan dosa semata,
walapun itu utama dan penting dalam pemikiran Injili. Di sinilah
pentingnya akomodasi teologis dalam pemikiran kenabian Injili yang
tidak kompromi namun dapat bekerja sama dalam menghadapi peradaban
secara adil.
Jalan Akomodasi Teologis dalam Pemikiran Injili
Di sini sikap toleransi Injili adalah penting dalam kerangka pemikiran
akomodatifnya pada pergumulan kekinian manusia. Akomodasi teologis
dalam kaitan ini adalah sarana yang dipakai Allah dalam inspirasi dan
inkarnasi.17 Calvin memaknainya sebagai “accomodating himself to our
ability.”18 Pola ini dapat dipakai sebagai cara berteologi kekinian oleh
kaum Injili sebagai bentuk mengadaptasikan keunikan diri demi
mentransformasikan masyarakat pada situasi kelemahan rohani dunia ini.
Dengan pola ini, tentunya bukan dimaksudkan untuk mengartikan ‘Injil
sudah tidak relevan bagi setiap lokal dan waktu zaman sekarang’. Di sini
McGrath seakan melihat konsekuensi pernyataannya bahwa Injil relevan
16
Walter Brueggemann, The Prophetic Imagination (Minneapolis: Fortress
Press, 1987), 110. 17
Saya pernah membahasnya dalam artikel “Hak[i]kat [Teologi} Teologi
Akomodatif: Suatu Tinjauan Komprehensif” dalam Jurnal Teologi Stulos Vol. 4
No. 1 (Juni 2006): 135-53. 18
Alister McGrath, Evangelicalisme and The Future of Christianity,
(Downers Grove: InterVarsity Press, 1996), 131. Bahkan menurutnya pemikiran
Injili sekarang lebih dikuasai konteks Amerika Utara dan bahkan orang Eropa
daratan, sehingga bagi orang Eropa “evangelicalism” sekarang distereotipkan
sebagai “made in America” (113). Dari sana kita menilai, kalau di Eropa saja sudah
tidak terasa pentingnya gerakan Injili bagi kekristenannya. Apalagi di Asia yang
melihatnya sebagai “rasa keju” itu tidak terasa dan dapat dihidupi selain dinikmati.
Di sini gereja masa depan tetap memerlukan evanglikalisme dalam identitas Kristen
yang solid dan harus terkontekstualisasikan pada pergumulan praksis orang Kristen,
termasuk di dalam kekhususan kenabian gereja.
36 STULOS: JURNAL TEOLOGI
pada suatu tempat berarti tidak relevan di tempat lain.19 Namun dalam
tulisan ini maksudnya bukan seperti itu; pesan Injil pasti relevan
sepanjang masa karena kekal, tetapi kaum Injli harus mencari relevansi-
relevansi teologisnya bagi gereja di dunia bukan agar efektif, tetapi
sebagai suatu keniscayaan konteks berteologi yang benar. Tetapi hal ini
lebih menunjukkan bahwa relevansi Injil harus dicari pada konteks
segarnya, agar Injil dapat dinikmati dan dimengerti secara normal pada
konteks pengertian dan pengalaman orang berbeda Tentu kebanyakan
seminarian Injili belum dapat menerima hal ini sebagai suatu yang absah
dalam pelayana Injili, khususnya karena perbudakan doktrin westernnya
sehingga menganggap “tabu” panggilan berteologi kontekstual secara
doktrin yang teraplikasi pada konteks riil.
Khususnya mantan-mantan pelajar seminari Injili, selama ini yang
hanya cukup puas dengan label-label teologis yang dibakukan lalu
mempertentangkan, misalnya teologi Reformed versus teologi Asia.
Padahal keduanya bisa berjalan bersama, sebagai prinsip kerangka
berteologi dan skop kontekstual berteologi. Rupanya ciri khas dari
fundamentalisme masih menjadi sandungan yang besar bagi gerakan
teologi doktrinal, sehingga secara salah kaprah menganggap “kekinian”
konteks sebagai hal yang sesat karena dianggap liberal secara doktrinal.
Jadi, bukan berarti harus mengikuti agenda dunia tetapi menjawab
tantangan zaman tempat kekristenan berada sebagai agen transformasi.
Teolog Injili sering menyangkali keniscayaan konteks dalam pemikiran
apapun termasuk teologi dengan postulat “teologi tidak keluar dari ruang
kosong” atau “tidak dapat berteologi di dalam ruang kosong”. Studi
berteologi Injili yang menyangkal konteks adalah mengkhianati maksud
teologi itu sendiri.
Sikap akomodasi Injili dapat dimaknai prosesnya dari yang kuat
kepada yang dirasa lemah, setara dengan prinsip toleransi: keras dalam
hal intrinsik dan lunak pada hal ekstrinsik, sehingga dapat mencari
relevansi yang sesuai sebagai titik temu atau pintu masuk pada dunia
sosial yang berbeda lalu membangun jembatan seagai usaha berteologi.
Dasar teologis yang demikian adalah prinsip inkarnasi Kristus, (Yesus
19
Ibid., 92-93.
TEOLOGI KENABIAN INJILI 37
Kristus lahir mati dan bangkit, naik ke surga), prinsip inspirasi Alkitab
(organik memakai kata-kata manusia yang terbatas namun ineransi):
prinsip providensi Allah (belas kasihan Allah bagi kelemahan umat-Nya
tanpa membahayakan kekekalan-Nya), dan prinsip etika (garam, terang,
ragi, dan saksi Kristus di dunia tanpa mengkompromikan pesan
keselamatan Injil yang mutlak).
Dalam hal ini kaum Injili dapat saja menghindari pendekatan: 1)
Oposisi dan berkonflik dengan pemikiran dunia non-Kristen, 2) Korelasi
yang mengadaptasi, bahkan mengadopsi pemikiran sekularisme sejalan,
3) Koordinasi yang merelasikan dan mengakomodasi pada kelemahan
pihak lain sambil tetap dalam prinsip-prinsipnya solidnya, 4) Kooperasi
menuju transformasi masyarakat, sebagai puncak peran Injil di dunia.
Keempat pendekatan ini dapat dinamis dan simultan dalam menghadapi
pergumulan masyarakat secara dinamis dan kritis.
Posisi akomodasi yang paling banyak diperdebatkan dan dituduh
sebagai pendekatan kompromi dan sinkritis oleh kaum Injili, mungkin
dikarenakan kekuranglengkapan pengertian. Kaum Injili harus
menyadari ada tanggung jawab teologisnya sebagai “penyambung lidah
Kebenaran” kepada masyarakat luas berdasarkan rumusan teologis yang
akomodatif pada kehidupan sekitar yang dianggapnya lebih lemah secara
iman. Khususnya bagi teologi Injili yang telah dianggap agak ketinggalan
dalam kontekstualisasi arena ini, dapat dipakai sebagai tuntunan
pelayanan dalam masyarakat. Jadi, ada titik masuk untuk melampaui
mandat kultural Injili menuju mandat peradaban masa kini, khususnya
arena masyarakat agama-agama yang tidak sopan. Biasanya
implementasi doktrinal dilakukan melalui kerangka studi etika sosial, di
mana isu-isu politis keagamaan dan politis akan disorot dan dipikirkan,
secara teologis dan bukan secara politis.
Bagi saya “akomodasi” sebagai pendekatan orang Kristen tidak
harus dimaknai kompromi sepanjang sikap yang diajarkan Francis
Schaeffer, “to stand for truth as truth. There is one word for this namely,
accommodation.”20 Pendekatan Injili dengan akomodasi teologis sangat
20
Francis A. Schaffer, The Great Evangelical Disaster (Wheaton: Crossway
Book/L’Abri Fellowship,1984/1993), 307, 367 dan seterusnya.
38 STULOS: JURNAL TEOLOGI
penting dalam masyarakat, tentunya tanpa harus mengkompromikan
natur gereja yang rohani dalam iman keselamatan dalam Kristus.
Khususnya terkait ide-ide kemanusiaan global dari era ini, Webber
menilai bangkitnya apa yang disebutnya sebagai Younger Evangelicals
yang pendekatannya berkarakter keprihatinan aksi sosial yang berbasis
pada local Church, dan berfokus kepada “cities issues” seperti: The
poor, The homeless, the abused” dengan tujuannya adalah: rebuilding the
cities and city communities, dan “creating alternative communities”21.
Secara paradigma pikir, kelompok gerakan yang terbaru ini bergerak
dalam era pascamodern dan meninggalkan pendekatan-pendekatan era
lalu seperti “traditional evangelicals” (sehabis perang dunia kedua) dan
pragmatic evangelicals (akhir abad 20 M). Ini memang situasi Injili
Amerika, tetapi fenomenanya sampai kepada Injili Asia juga.
Teolog Injili tetap mengingat pesan ini, “perhaps the mist
distinctive feature of the movement is its accommodationism – that is,
it’s the traditional Christian doctrines should be restate or reinterpretation
in order to render them harmonious with spirit of the age.22 Hal harmonis
di sini tidak selalu harus mengadaptasi dan mencampur spirit zaman pada
kepercayaannya, tetapi mengakomodasi kebenaranya kepada dunia dan
tidak terlibat dalam mengkorelasikan kebenaranya dengan dunia dalam
pencampuran pragmatis. Dan tidak juga melawan dan bermusuhan
terhadap dunia dan masyarakat seperti kaum Fundamentalis yang
menyangkali pelayanan Gereja sebagai garam dan terang ilahi di dunia.
Prinsip-prinsip teologis Injili bukan yang tata cara hurufiah, tetapi
pengajaran rohani dan etis untuk warga gereja. Pengajaran bersifat kekal
berdasarkan refleksi atas standar Allah yang absolut, di mana Firman
Allah harus diaplikasikan sebagai prinsip kehidupan etis dan rohani dari
pada legalisme formal per kosa-katanya. Kita sadar bahwa “kosa kata
alkitabiah tidak normatif bagi teologi”23 Kristen atau pemikiran gereja.
21
Robbert E. Webber, The Younger Evangelicals: Facing The Challenges If
The New World (Downers Groove: InterVarsity, 2002), 235-236. 22
Alister McGrath, Passion for Truth Intellectual Coherence of
Evangelicalism (Downers Groove: InterVarsity, 1996), 122. 23
Ini peringatan John Frame, Doktrin Pengetahuan Akan Allah 2, terj.
(Malang: Literatur SAAT, 2004), 209.
TEOLOGI KENABIAN INJILI 39
Dengan demikian, kita tidak diwajibkan menulis dan berbicara teologis
dalam bahasa Gerika atau Ibrani. Ini yang sejak pertama diingatkan agar
pembicaraan teologis, singkatnya bukan hanya biblical tetapi juga
Scriptural. Di sinilah dasar reformatoris Sola Scriptura bagi kaum Injili
dimengerti sebagai pemahaman ajaran Alkitab secara komprehensif, dari
Kejadian sampai Wahyu.
PANGGILAN KENABIAN INJILI
UNTUK KONTEKSTUALISASI PADA ISU INI
Dalam membicarakan isu ini kita akan meluaskan pengertian Injili yang
dipelajari dari mana-mana sepanjang dapat diterima jalan pikir Injili.
Teologi kontekstual pada isu-isu profetik adalah sesuatu yang tidak jahat
di dalam Injili. Maknanya adalah teologi doktrinal yang teraplikasikan
dalam situasi dan kondisi kekinian Injili, khususnya yang diarahkan para
isu-isu kemanusiaan di dalam dunia, di mana gereja berada. Ini adalah
promosi solidaritas rohani kepada masyarakat yang lebih luas, khususnya
tugas diakonia gereja dalam keprihatinan sosialnya. Gereja melayani
sebagai agen kontrol sosial dalam refleksi keprihatinan Injili mengenai
situasi rill yang dihadapinya dalam masyarakat.
Panggilan Teologis Kenabian Injili dalam Masyarakat Profetis
Kaum Injili menilai dalam jabatan “nabi” dari “karunia-karunia
kenabian” masa kini seharusnya disertai mujizat dan tanda-tanda.
Walaupun tanda-tanda karuniawi kegerejaan itu sudah berhenti sebagai
penyertaan spektakular pada pemberitaan gereja mula-mula, yaitu zaman
Rasul-rasul. Walaupun karunia nubuatan dan kerasulan sudah habis
namun Allah masih terus dan dapat melakukan banyak mujizat sampai
saat ini. Allah tidak terbatas oleh karunia-karunia dan jabatan-jabatan
tersebut.
Secara obyektif Allah berbicara dan bertindak sekarang ini melalui
Alkitab yang adalah Firman Allah. Jadi, fungsi kenabian (prophetic) yang
masih ada pada masa kini, bukan nabi (prophet) dan nubuat
(prophecy)nya. Dan fungsi dan tugasnya kenabian itu sendiri ditaruh
40 STULOS: JURNAL TEOLOGI
dalam dan disalurkan melalui gereja-gereja berdasarkan tugas dan jabatan
Kristus sebagai Nabi yang benar yang adalah Kepala Gereja, di dunia.
Dari sana, dapat ditarik pemikiran bahwa yang diutamakan sebagai suara
kebenaran Allah di dalam kehidupan yang berdampak pada pembelaan
orang lemah yang mengalami penindasan di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, kaum Injili menggumuli hal ini dari perspektif etis dan bukan
politis, karena tugas gereja adalah suara kenabian bersifat moral dan
bernilai rohani bukan untuk kekuasaan. Jadi, suara kenabian berdasarkan
firman Allah yang ada dalam Alkitab dan dalam pemberitaan gereja.
Tugas itu diberikan dan diteruskan dari jabatan Kristus sebagai Nabi,
berbarengan sebagai Raja dan Imam.
Di sini masyarakat profetis diartikan sebagai golongan yang
tertindas, terpinggirkan dan teraniaya, juga terabaikan, tidak tergantung
SARAnya. Situasi pada orang demikian adalah masyarakat profetis seperti
yang digambarkan dalam berita Nabi-nabi klasik Perjanjian Lama bahkan
dalam pelayanan Yesus dalam Perjanjian Baru. Arah-arah jeritan sosialnya
dari bawah ke atas, dari rakyat yang terabaikan oleh orang kaya dan elite
namun suaranya sangat diperhatikan Allah. Masyarakat minoritas yang
berjuang dalam problem kesetaraan golongan dalam beribadah memerlukan
pertolongan ilahi dalam pembelaan kenabian. Kalau arah prosesnya
terbalik, dari atas ke bawah maka akan disebut keimamatan, di mana
kekuatan besar menekan kaum yang sudah terjepit dengan memakai
“fatwa” sekelompok elite agama, yaitu para “imam-imam”. Jadi, berbeda
arah penanggulangan problem di masyarakat antara kenabian dan
keimaman; topdowntop versus buttomupdown. Keimaman
menyangkut komunitas gereja secara khusus dan tugas kenabian bagi
masyarakat yang lebih luas.
Panggilan kenabian disadari sebagai tugas teologis gereja dalam
ortodoksi dan ortopraksi. Apakah ini berarti gereja, khususnya yang arus
utama terlalu terfokus pada sosial selama ini? Apakah hasilnya isu-isu
sosial itu didalami? Apakah ini masalah bagi gereja? Ini adalah
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Stachhouse pada gereja-
gereja arus utama; dan beliau meragukan hal tersebut, apalagi dari
TEOLOGI KENABIAN INJILI 41
perspektif Injili sehingga tidak terjatuh pada “sosialist confusion,”24 tanpa
harus terjatuh pada sosialisme apalagi komunisme yang sangat
berlawanan dengan nilai-nilai rohani, karena reduksinya semata-mata
hanya benda dan dunia ini. Perjuangan etis Kristen bukan berdasarkan
hanya perjuangan manusia semata-mata, tetapi perintah Allah dalam
nilai-nilai alkitabiah. Kasih Allah akan seluruh dunia dan berkat Allah
harus mengalir dari gereja-Nya juga. Kebajikan dan kemurahan yang
menuju pada kedamaian dan kesejahteraan manusia pada porsinya. Ini
adalah nilai-nilai kekekalan yang tidak ada pada sosialisme dan
kapitalisme. Namun tanpa harus terperosok dalam ekstensialisme dan
sekularisme teologis. Panggilan teologi Injili menghadapi dua titik
ekstrim antara materialisme dan dualisme; pragmatisme dan
eksistensalisme pada masa kini. Alkitab adalah dasar bagi teologi yang
realisme berdasarkan inkarnasi Kristus dan pemeliharaan Allah akan
dunia ini dari hari ke sehari, di mana alatnya adalah gereja-Nya. Di sini
langkahnya adalah etis bukan politis, moral kerajaan bukan sosial
kerajaan.
Untuk itu perisiwa dan pergumulan manusia di depan mata gereja
adalah pengalaman mendasar dan penghayatan makna untuk kenabian
dalam beberapa poin teoritis: 1) Sebagai tanda-tanda peristiwa kenabian
pada pergumulan manusia, 2) Tanda kenabian gereja sebagai tanda
peringatan Allah, 3) Tanda-tanda penghukuman Allah, 4) Tanda
kenabian gereja sebagai tanda pemeliharaan, 5) Kajian kenabian gereja
sebagai tanda pengharapan ilahi, 6) Kajian kenabian gereja pada
pembelaan keadilan dan kebenaran sosial, 7) Panggilan kenabian Injili
dalam pembelaan dari tanda-tanda kenabian dalam fenomena penutupan
gereja masa ini.
Kesempatan Kenabian Etis Kaum Injili
Kenabian etis bukanlah kenabian politis di dalam visi kenabian Injili di
dunia ini. Bagaimanapun kaum Injili harus mulai bertanggung jawab dan
tantangannya di Indonesia dapat melihat ulasan Tony Campolo di
24
Max L. Stackhouse, et. al, Christian Global Ethics in Global Era
(Nashville: Abingdon Press, 1995), 12 dan seterusnya.
42 STULOS: JURNAL TEOLOGI
Amerika, demikian “the task of prophet is …nurture and nourish and
evoke a vision of an alternative to the dominant system. The prophet
must generate hope for something that lies beyond the present order”.25
Kemudian dilanjutkan secara tegas “We need a vision of an alternatives
future vision of possibilities that will make our blood run hot and give us
the courage to revolt against the way things are”.26 Walau kelihatannya
sangat bersifat politis, namun ini bukan untuk politik saja tetapi untuk
keimanan.
Terlepas dari mereka memiliki prinsip universal panggilan nabi di
masyarakat sekarang, prophets have never got on well with organized
religion… in ancient Israel, they picked on priest who pretend to be
official spokesmen for god an accused them being phonies. Jesus had less
than harmonious relation with priests and scribes of his day… since His
time prophetic voices have kept up their barrage of attacks on officialy
ordained servents who dress in clerical garp”…the religious profesionals
are generally condemn for being more interested in holding on to their
jobs than they are speaking the truth”.27 Ada pertentangan dengan status
quo agama yang dipimpin oleh para imam dengan para pembicara dari
Allah secara khusus untuk masalah kemanusiaan. Seorang melihatnya
dalam kenabian dan keimaman”.28 Lebih lanjut Campolo melihat
kemunculan “radicals church of the prophets” dengan kriteria
“…Christianity much need the creative tension created by prophetic
countercultural church… the prophet of God would probably be happiest
in fellowshipth them and would resonate most to their message”.29
Gereja yang tertindas dan teraniaya serta termaginalkan dalam
masyarakatnya sendiri dibandingkan superchurches yang secara eksklusif
mengejar aktualisasi diri dalam potensi human dan kedap dari urusan
dunia dan hanya menikmati keselamatan sekarang dan nanti. Di sini para
pembicaranya melakukan “offers great sermon about Jesus being
25
Tony Campolo, Wake up America: Answering God’s Radical Call While
Living in The Real World (New York; Harper SanFransisco, 1991), 19. 26
Ibid. 27
Ibid., 95. 28
Ibid. 29
Ibid., 99.
TEOLOGI KENABIAN INJILI 43
personal Savior, but they are not about to spell out the sociometric
implications of what it means to established His Kingdom here on
earth.30 Artinya, hanya arah vertikal dan mengabaikan isu-isu horizontal.
Penerapannya berbeda pada etika Kristen berdasarkan pemahaman
bahwa ada dua kerajaan di atas bumi ini (gereja dan negara) dengan
otoritas masing-masing dari Allah. Gereja merelasikan secara selayaknya
di sepanjang zaman berdasarkan relasi koordinasi di dalam warga negara
sebagai titik koordinatnya dalam sifat konsutaltif antar pemimpin
lembaga, pemimpin umat, pemimpin pemerintahan, baik di daerah dan
pusat, dalam hal ini pejabat pemerintahan pusat dan dalam peranan aktif
mempengaruhi sebagai terang dunia di dalam peran dan tugas dalam
kenabian gereja di masyarakat, serta bagaimana orang Kristen menilainya
secara etis. Belajar dari non-Injili seperti Boenhoffer yang berkata,
“Etika tidak bisa dilepaskan dari realitas hidup, sebab itu kemajuan yang
kontinu dalam pembelajaran untuk mengatasi realitas merupakan suatu
unsur yang harus ada dalam tindakan etikal”.31 Maka keadilan etis dalam
kenabian Injili harus memahami mispat sebagai penghakiman menuntut
hak yang bermakna pembelaan dan tsedaqah (kebenaran) sebagai
keadilan yang membebaskan dan penghukuman yang membela hak-hak
orang, khususnya orang miskin dan tidak berdaya”.32 Etika sosial Injili
didasarkan pada pengajaran garam dan terang dalam perbuatan baik,
diasumsikan bahwa Yesus bukan hanya tertarik pada sikap batin dan
keadaan hati manusia, tetapi juga pengajaran-Nya bersifat “sosial” dan
“politis”, kalau tidak maka akan mengacaukan hal-hal moral bagi misi
gereja dalam dunia termasuk kesaksian moral politiknya”.33
Berpolitik aktif dan praktis dalam pemilu secara umum dan bagi
yang ingin terlibat lebih jauh dan khusus dalam partai politik sebagai
saluran karya-Nya lewat politik praktis. Memang dalam etika Kristen
30
Ibid., 116. Khotbahnya, “High on Happiness, Let’s Get Going, How You
Can’t Gave The Power to Cope, Eco Power and Eagle Power, - that soaring spirit
can be yours, 119-120. 31
Stassen Glenn H. & David P Gushee, Etika Kerajaan: Mengikut Yesus
dalam Konteks Masa Kini, terj. (Surabaya: Momentum), 2008), 500. 32
Ibid., 147, 148. 33
Ibid., 623.
44 STULOS: JURNAL TEOLOGI
yang Injili menyadari, “politic is separate from religion, lets keep it that
way as reformational ethics.34 Karena kekacauan agama dapat
menyebabkan “politik”35, karena keduanya terpisah secara hakikat
kesucian. Di sini etika Kristen mengenai sosial politik harus mengambil
refleksi kritis mengenai kebutuhan-kebutuhan politis; namun Gereja
belum berhasil menyediakannya kendati dunia menantikannya.36 Tujuan
etika Kristen adalah tentang keadilan dari versi Alkitab, terjemahan
(KJV) tsedaqah sebagai “righteousness” (kebenaran) dan mispat sebagai
judgement (hukuman). Kata tsedaqah berarti keadilan yang
membebaskan dan memulihkan komunitas dan mispat berarti
penghakiman membela hak-hak, khususnya orang miskin dan orang-
orang tidak berdaya. Dalam situasi inilah kita dapat menerima bahwa
ajaran-ajaran ucapan bahagia seharusnya diinterpretasikan “ajaran-ajaran
profetik”, “keadilan bukan hikmat”37 saja.
Kenabian Injili melalui gereja bersifat etis-moral atas masalah
kebenaran dan keadian di dalam sosial, khususnya masyarakat kecil.
Perannya aktif dan partisipasi dalam transformatif bersifat nilai-nilai
profetis Kerajaan Allah. Khusus dalam fenomena penutupan (paksa)
rumah ibadah di dalam kondisi transisi era reformasi. Fenomena biasanya
adalah suatu yang nampak secara pengertian panca indera. Namun
fenomenologi melihatnya jauh melampaui kebendaan peristiwa sampai
pada kesadaran dari pengalaman tersebut yang menghasilkan makna
murni yang sebenarnya, sebagai pembentuk fenomena itu sendiri. Di
sinilah pentingnya melihat fenomena penyatuan gereja sebagai rumah
ibadah dikaji untuk melihat beberapa makna yang hakiki sebagai awalnya
menuju makna murni, biasanya dilakukan dengan mengurung dua
persoalan fenomenalnya.
34
Disini kita belajar sedikit dari William W. Miller, Protestant Ethics and
Politics (Phildelphia: Westminster, nd.), 26. 35
Ibid. 36
Richard Mouw, Politics and Biblical Dream (Grand Rapids: Baker Books,
1983), 13. 37
Stassen, Etika Kerajaan, 148, 149.
TEOLOGI KENABIAN INJILI 45
Tantangan Rohani pada Situasi Kenabian yang Injili
Tentunya, semua harus berada dalam kontrol pengaruh moral Kristen
yang rohani, bukan hanya pengaruh kekuasaan politis dan kedudukan
dalam struktur agama. Aksi sosial Kristen harus memahami tugasnya
bukan sekedar provokasi yang hanya spontan dan ‘kaget-kagetan’ untuk
kepentingan sesaat, tetapi keprihatinan jangka panjang berdasarkan suara
keadilan Allah; berdasarkan pandangan dunia Kristen dan hati Yesus
yang mulia. Tentunya harus dipahami dalam konteks pewartaan
Kerajaan Allah yang seimbang antara Injil keselamatan dan keprihatinan
sosial, seperti yang ditegaskan dalam Perjanjian Lausanne 1974, dalam
point 5 ditegaskan tentang hubungan keprihatinan sosial Kristen dengan
penginjilan (evangelism) di dalam pekabaran Injil sedunia (world
evangelization). Sampai sekarang, kaum Injili seakan masih mengklaim
“Amanat Agung” sebagai “tanda keempat” dari kesejatian gereja-gereja
yang kelak berkonsekuensi pada tugas gereja dalam pemberitaan
keselamatan. Sementara yang non-Injili agak mengabaikannya, bahkan
mensekularisasikan Injil menjadi berita “sosial” belaka, bahkan terjatuh
ke dalam politisasi Injil. Tidak harus menjadi sekularis ala social gospel
dulu baru dapat melakukan karya kenabian sekarang.
Pembahasan ini sengaja ditegaskan untuk mempraktiskan peran
dalam tugas kenabian gereja dan memang harus ditimbang juga prinsip
“Gospel had to be more than evangelism”.38 Pendapat frasial ini
bukannya tidak beralasan di dalam gerakan kaum Injili, khususnya
Perjanjian Lausanne yang melihat evangelism adalah bagian kecil dari
(world) evangelization.39 Keduanya tidak identik dalam pengertiannya,
seperti anggapan beberapa Injili ekstrim yang kurang mendalami secara
komprehensif. Dalam judul pendahuluannya yang bertopik menyentak
38
John Perkins, With Justice for Allah (Ventura: Regal Books, 1984), 22-23 39
Lih. ICWE (International Conference of World Evangelization) di
Lausanne yang menghasilkan LCWE (Lausanne Covenant of World Evangelization)
yang pertama dengan Kepala surat perjanjian pertamanya yang di dalamnya
mencakup “evangelism” dengan definisi dan hubungan-hubungannya dengan gereja
bekerja sama keprihatinan social, dll. Khusus terkait dengan poin 5 tentang
evangelism dan social responsibility, keduanya dimaknai berbeda namun tidak
terpisah dalam world evangelization).
46 STULOS: JURNAL TEOLOGI
Injili, “evangelism is not enough,” sebenarnya ini normal dari perspektif
dasar kata “Injili” yang bukan hanya bermakna “memberitakan Injil”,
tetapi “berdasarkan Injil”, “mempercayai Injil”, “mempertahankan/
membela Injil”, dan “menghidupi Injil. Ini yang membedakan golongan-
golongan Injili utama dengan Injili Karismatik sekarang yang hampir
menguasai gerakan Injili di Indonesia bahkan dunia.40 Dan ini memang
seharusnyalah demikian karena ada banyak Injil gerejawi tereduksi
menjadi evangelism saja, sebagai satu-satunya tugas gereja sehingga
menghapuskan pentingnya tugas gereja yang lain, seperti penyembahan,
persekutuan, pembinaan juga tugas kenabian masa kini yang terlupakan.
Tidak ada alasan naif kaum Injili menganggap ini teologi liberal dan
tidak perlu harus menjadi liberal dan sekular dulu baru bisa mengerjakan
berita keadilan bagi dunia. Ini adalah tugas misi yang total dalam
evangelisasi sedunia seperti rumusan LCWE, Lausanne 1 lalu Lausanne 2
dengan misi holistiknya (dengan salah satu terma kritis), “whole world”
selain whole church dan whole gospel) serta terkomitmenkan kembali
dalam Lausanne 3 (di Capetown 2000), yang di dalamnya terlihat
perjuangan kenabiannya lebih jelas dan lebih rinci untuk diperjuangkan
dalam “call to action”nya.41
Pendekatan itu dianggap lebih konsisten dengan Alkitab dan
ortodoks karena: (1) mengaitkan dengan Yesus Kristus khususnya
inkarnasi Ilahi-Nya, (2) menghargai gereja sebagai pelebaran kehadiran
Kristus dalam ruang dan waktu, di mana gereja adalah fokus aktivitas
Allah di dunia, (3) menolak privatisasi moralisme sempit dalam satu sisi
dan agama eksklusif orang miskin di pihak lain….42 Menurut Webber
jalan moderat sebagai keseimbangan untuk hidup dalam kondisi sosial
40
Dulu saya pernah melihat situasi ini dalam artikel “Gerakan Pentakosta
Gelombang Ketiga” dalam Jurnal Teologi Stulos Vol. 6 No. 2, Sep 2007, yang
mengikat mereka sebagai kaum Injili juga adalah: Children of Revival” sehingga
banyak konferensi Injili dikuasai oleh kaum Karismatik. 41
Ternyata Lausanne 3 dalam Capetown Commitment (2000) telah dikenal
dan diakui baik oleh non-Injili, bahwa kaum Injili punya kepedulian sosial untuk
berteologi misional. Lihat Memberitakan Injil di Tengah Masyarakat Majemuk, Tiga
dokumen kontemporer Gerejawi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 105-194. 42
Robbert E. Webber, The Moral Majority: Right or Wrong (Westchester:
Corner Stone Books, 1981), 18.
TEOLOGI KENABIAN INJILI 47
politik Kristen di masyarakat dengan menolak sistem ekonomi dan politik
khusus dengan mencari cara-cara untuk menengahi nilai-nilai ke dalam
keteraturan sosial yang terjatuh di dalam jantung etika sosial Kristen.43
Selanjutnya, dalam etika deskriptif harus dikerjakan dalam kekristenan,
bukan saja etika preskriptif “apa yang harus dikerjakan bersama dalam
isi-isu dunia agama.”
Di sini perjalanan pemikiran dapat menuju metaetika khusus dalam
pandangan dunia Kristen, di mana pencarian etis yang komprehensif di
lapangan masyarakat pluralistik, sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan
secara khusus dalam studi etika keagamaan.44 Ini terkait dengan etika
teologis yang lebih komprehensif bukan sekedar utilitarianisme yang
kegunaan dan hasil sesaat saja serta mengindari relativisme etis. Oleh
karena itu, mengapa kita harus takut terkotori oleh ide kemanusiaan dunia
dalam “etika global” dalam menangani isu-isu intoleransi dan konflik
agama yang dapat menjadi sumber kehancuran peradaban manusia
sekarang? Kita tahu prinsip golden rule agama-agama yang berbeda dan
dipakai sebagai sistem etika tambahan di dalam masyarakat yang
pluralistik, namun bukan etika pribadi
Kenabian Injili untuk Pembelaan Kemanusiaan
Kaum intelektualitas Injili dapat belajar dari orang non-Injili ketika
menghadapi peringatan, “the church must beware of relying too heavily
upon politic and economic means deal with social evil. Our calling an our
mission go broader and deeper than the political process ever could”.
Selanjutnya dikatakan juga “the church needs to be active in both fronts,
in the political arena and in the larger society, striving for social
righteousness in all aspects of its mission. We are to be leavening agents
that permit all of lives with the presence and promise of Gods reign”45
Ini adalah kesempatan kenabian gereja sebagai tugas gereja melalui
43
Ibid., 19-20. 44
Sebagai bahan pembelajaran lih. dan bdk., Denis Lardner Cormody, How
To Live Well: Ethics in The World Religions (Belmont: Wadsworth Pub Co., 1988),
2-3. 45
Bruland and Mott, A Passion for Jesus: A Passion for Justice (Valey
Forge: Judson Press, 1983), 92.
48 STULOS: JURNAL TEOLOGI
nubuatan dan proklamasi berdasarkan firman Allah yang tertulis sebagai
perkataan kebenaran. Berdasarkan kenabian alkitabiah, tugas kenabian
Kristen masa kini dapat berbentuk: suara, drama, dan aksi suara kenabian
yang berisi proklamasi firman Allah pada masa kini.
Pada tahap tertentu memang dapat diterima bahwa “law needs the
church” karena anggapan dasar kita adalah “morality can’t be taught to a
society without religion”.46 Tentu hal itu dimengerti sepanjang wacana
pluralisme agama ditegakkan dengan adil dalam kerangka agama sipil
dan demokratis. Sehingga ekses diskriminasi SARA dapat terhindari
dengan cara mempublikasi nilai-nilai keagamaan yang luhur dan positif
dari agama-agama dalam ruang publik. Ini prinsip agama publik yang
tidak asing lagi bagi gereja dalam kenabiannya, sebagai cara hidup
Kerajaan Allah yang berdasarkan nilai-nilai rohani dan moral kerajaan
Allah di dalam masyarakat. Kaum Injili mengenalnya dalam prinsip
“gereja sebagai agen transformasi sosial di masyarakat berdasarkan
prinsip garam dan terang dan akomodasi teologis yang bermotif inkarnasi
Kristus. Prinsip hidup melayani dalam masyarakat dengan kebaikan
Kristen yang tidak membeda-bedakan. Jadi, tindakan profetik yang
sangat relevan pada berita masa kini dalam menghadirkan firman Allah
dalam bentuk peristiwa, tindakan, dan aksi dalam keberadaannya secara
keseluruhan, sehingga lebih gamblang terpahami beritanya. Panggilan
Kristen kita adalah bukanlah “kristendom” lagi dalam arti keagamaan
Kristen geo-politis seperti di Eropa masa lalu yang penuh dengan
superiorisme agama. Sikap mengucilkan orang lain dengan alasan
menjaga kemurnian teologis, “sama seperti pembersihan etnis dan
diskriminasi rasial yang menyimpang”47 Itu adalah penyimpangan
maksud Kristen pada masyarakat plural masa kini.
Prinsip profetik tidak sama dengan prinsip keimaman. Operasi
profetis berasal dari bawah ke atas dengan pergumulan yang ada,
sedangkan prinsip keimaman dan klerikal beroperasi dari atas ke bawah.
46
Ibid. 47
Ini pernyataan yang menarik dari seorang Injili seperti Os Guiness,
Panggilan Allah: Menemukan dan Menggenapi Tujuan Utama dalam Hidup Anda
(Bandung: Pionir Jaya, 2011), 154.
TEOLOGI KENABIAN INJILI 49
Kedua hal ini sangat tidak produktif dalam masyarakat sipil yang
demokratis, karena telah dipakai oleh sentiment pemimpin agama untuk
menggerakkan massa tertentu berdasarkan kepentingan agama yang
berbeda. Di era reformasi modern ini, orang beragama pada dasarnya, di
tingkat masyarakat bawah dapat mengatur diri sendiri. Arus bawah
masyarakat plural harus dapat bersaksi bagi agamanya masing-masing
tanpa harus memperbandingkan ajaran-ajarannya secara tidak adil dan
tidak sopan. Kelak agama-agama yang ada akan berbanding dengan
sendirinya di dalam masyarakat berdasarkan penghayatan dan
pengamalan agamanya di dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat
sopan hanya berani berharap bahwa pendidikan kemanusiaan yang
meningkat demi kelanjutan peradaban berkembang, sehingga dapat
melihat perbedaannya secara natural dan wajar.
Di sini prinsip kenabian Kerajaan Allah harus dapat bergerak pada
situasi dan kondisi moral etis yang saling menghargai harkat
kemanusiaan. Ini membutuhkan pemikiran terbuka dari kaum Injili untuk
mengesampingkan rasa superioritas tertentu, di masyarakat plural.
Suara kenabian Injili melalui gereja-gereja sekarang terdiri dari:
berita peringatan, pembelaan, penghiburan, dan pengharapan bagi
masyarakat tertindas. Di dalam pemberitaannya mengandung
kemungkinan penganiayaan atas nama Allah. Orientasi kenabian Injili
bukanlah hanya soal masa depan, tetapi yang terutama adalah bagi masa
kini sebagai berita peringatan, penghiburan, bahkan penghukuman.
Gereja harus didorong untuk terus melanjutkan berita kenabian ini
sebagai wakil Kristus di dunia. Panggilan dan tugasnya pada pergumulan
keadilan sosial dalam mispat dan tsedaqah, seperti para nabi klasik PL.
Kaum Injili dapat belajar lagi bahwa secara alamiah, awalnya masyarakat
dalam “koinonia” melibatkan dua unsur: persahabatan dan keadilan.
Kaum Injili harus menghindari persaingan agama sebagai suatu yang
tidak produktif dan anti masyarakat sipil sejati. Di sini yang terpenting
adalah persaudaraan dan kebenaran demi kebahagiaan bersama.
50 STULOS: JURNAL TEOLOGI
KESIMPULAN
Kajian teologi Injili bersifat doktrinal namun harus kontekstual yang
tetap berlandaskan wahyu alkitabiah dan iman yang partikular dalam
Kristus serta menghargai tradisi historis Gereja. Sejalan dengan itu yang
patut diingat adalah perhatian pada konteks hidup manusia kekinian,
khususnya problem manusia di dunia. Setiap buku-buku teologi Injili
Barat pun keluar dari pergumulan masing-masing dan spesifik dalam
pergumulan kontemporernya. Teologi injili Indonesia harus keluar dari
perbudakan intelektualnya, terutama para dosennya yang hanya bangga
dengan hal-hal Barat, sehingga terlupa untuk membuat teologinya
sendiri, dalam situasi politik, ekonomi, agama, budaya, dan sosialnya
sendiri. Konteks itu adalah berkat bagi kita sebagai bahan baku dalam
pemikiran Injili.
Secara khusus dalam konteks kenabiannya masa kini, panggilan
dan tugas peringatannya dalam pemberitaan kebenaran, serta pembelaan
orang yang tertindas. Ini termasuk bagi gereja-gereja yang menderita itu
sendiri. Namun berita kenabian ilahi akan menyatakan keadilannya juga
dengan menghukum kejahatan kelak. Teologi Injili menghadapi
tantangan dan kesempatan untuk memikirkan perannya dalam membela
orang-orang yang tertindas dan minoritas sambil mengusahakan
kedamaian bagi semua orang, apapun golongannya.
Kurangnya pemahaman internal warga gereja mengenai “peristiwa
kenabian” pada masa kini membuat kepekaan berteologinya mandeg
secara negatif. Teolog Injili, khususnya para Seminarian harus melihat
kesempatan berpikir-lanjut, di mana Allah sedang berbicara melalui
kejadian-kejadian tersebut sehingga kita dapat belajar untuk menemukan
secara positif hakikat kebaikan Allah yang alkitabiah. Sehingga masalah
ketidakadilan yang semakin marak dalam apa yang disebut fenomena
penganiayaan, dibandingkan dengan era sebelumnya. Namun demikian di
tengah-tengah penganiayaan selalu ada pengharapan bagi umat. Ini
adalah tanda anugerah Allah dan kesetiaan-Nya.
TEOLOGI KENABIAN INJILI 51
DAFTAR PUSTAKA
Bloesch, Donald G. The Church, Sacraments, Worship, Ministry and
Mission. Downers Grove: InterVarsity Press, 2002.
Brueggemann, Walter. The Prophetic Imagination. Minneapolis: Fortress
Press, 1987.
Campolo, Tony. Wake up America: Answering God’s Radical Call While
Living in the Real world. New York; Harper San Fransisco, 1991.
Cormody, Denis Lardner. How To Live Well: Ethics in The World Religions.
Belmont: Wadsworth Pub Co., 1988.
Driver, John. Gambaran Gereja dalam Misi. Terjemahan Bandung: Penerbit
STT Bandung, 2010.
Grenz, Stanley. Renewing The Center: Evangelical Theology In a Post-
Theological Era. Grand Rapids: Baker Academic, 2000.
Kelsey, Morton T. Prophetic Ministry. New York: Crossroad Pub. Co.,
1982.
Hammon, Bill. Jebakan-Jebakan dan Prinsip Nabi. Terjemahan Jakarta:
Metanioa, 2008.
Hick, Peter. Evangelicals and Truths, A Creative Proposal for a Postmodern
Age, Leicester: Apolos, 1998.
Hyatt, J. Philips Prophetic Religion: In Search for The Ideas of the Religion
on Which Jesus Built. Nashville: Abingdon Press, nd.
McGrath, Alister. Passion for Truth Intellectual Coherence of
Evangelcalism. Downers Grove: InterVarsity Press, 1996.
Mouw, Richard. Politics and Biblical Dream. Grand Rapids: Baker Book,
1983.
Schaffer, Francis A. The Great Evangelical Disaster. Wheaton: Crossway
Book/L’Abri Fellowship,1993.
Siburian, Togardo. “Gereja Misional di Tengah Pergumulan Manusia:
Tinjauan Eklesiologis” Jurnal Teologi Stulos, Vol. 16 No.1 (Januari
2018).
Sider, Ron. Skandal Hati Nurani Kristen. Terjemahan Jakarta: Perkantas,
2007.
52 STULOS: JURNAL TEOLOGI
Stassen Glenn H & David P. Gushee. Etika Kerajaan: Mengikut Yesus
dalam Konteks Masa Kini. Terjemahan Surabaya: Momentum, 2008.
Stackhouse, Max L. Et.al. Christian Global Ethics in Global Era. Nashville:
Abingdon Press, 1995.
Webber, Robbert E. The Younger Evangelicals: Facing The Challenges If
The New World. Downers Groove: InterVarsity, 2002.