Upload
syah-muhammad-reza
View
26
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
TTH
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri kepala merupakan gejala yang kerap dialami secara umum oleh populasi di
dunia. Nyeri kepala merupakan salah satu gejala penyerta pada cedera kepala, peningkatan
tekanan intrakranial, tumor otak, sinusitis, stres emosional, alkohol, makanan, dan
sebagainya.1
Terdapat tiga jenis nyeri kepala, berdasarkan klasifikasi Internasional Nyeri Kepala
dari IHS (International Headache Society), terdiri atas Migraine, Tension-Type Headache
(tension headache), serta Cluster Headache dan nyeri kepala primer lainnya. Sakit kepala
sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang disebabkan oleh karena trauma pada kepala
dan leher, sakit kepala akibat kelainan vaskular kranial dan servikal, sakit kepala yang bukan
disebabkan kelainan vaskular intrakranial, sakit kepala akibat adanya zat atau withdrawal,
sakit kepala akibat infeksi, sakit kepala akibat gangguan homeostasis, sakit kepala atau nyeri
pada wajah akibat kelainan kranium, leher, telinga, hidung, gigi, mulut atau struktur lain di
kepala dan wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri.2
Tension-type headache (tension headache) merupakan reaksi tubuh terhadap stres
emosiaonal, obesitas, intoksikasi, kelelahan dan gangguan organik. Respon yang terjadi
terhadap faktor – faktor tersebut adalah sensasi nyeri yang menekan di daerah kepala yang
biasanya berhubungan dengan kontraksi otot-otot rangka kepala, leher dan wajah.3
Tension-type headache dapat menyerang segala usia. Usia yang sering mengalaminya
adalah 25-30 tahun. Sekitar 40% penderita tension headache memiliki riwayat keluarga
dengan tension headache. Prevalensi terjadinya tension headache seumur hidup pada
perempuan mencapai 88%, sedangkan pada laki-laki hanya 69%. Perempuan lebih sering
mengalami tension headache jika dibandingkan dengan laki – laki.4
Diagnosa tension headache didasarkan pada anamnesa mengenai keluhan yang timbul
didukung dengan pemeriksaan fisik yang sesuai. Terapi pada tension headache terbagi
menjadi terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.2 NYERI KEPALA
Otak manusia terdiri dari serebrum (otak besar), serebelum (otak kecil), brainstem
(batang otak), dan diensefalon. Diensefalon terdiri dari hipotalamus dan talamus. Serebrum
terdiri dari nukleus basal dan korteks serebrum. 5
Masing – masing bagian otak memiliki fungsi tersendiri. Batang otak berfungsi sebagai
berikut:
1. Pusat pengaturan kardiovaskuler, respirasi dan pencernaan
2. Asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer
3. Pengaturan refleks otot yang terlibat dalam keseimbangan dan postur
4. Pusat tidur
5. Penerimaaan dan integrasi semua masukan sinaps dari korda spinalis; Pengaktifan
korteks serebrum
Serebellum berfungsi untuk memelihara keseimbangan, koordinasi, peningkatan tonus
otot, dan perencanaan aktivitas otot volunter yang terlatih. 5
Hipotalamus berfungsi sebagai berikut:
1. Pengatur fungsi homeostatik, seperti kontrol suhu, rasa haus, pengeluaran urin, dan
asupan makanan
2
2. Penghubung penting antara sistem saraf dan endokrin
3. Terlibat dalam emosi dan pola perilaku dasar
Talamus berfungsi sebagai pemancar untuk semua masukan sinaps, beberapa tingkat
kesadaran, berperan dalam kontrol motorik. Nukleus basal berfungsi untuk inhibisi tonus otot
dan koordinasi gerakan yang lambat dan menetap. Korteks serebrum berfungsi untuk persepsi
sensorik, kontrol gerakan volunter, bahasa, sifat pribadi, proses mental tinggi seperti berpikir,
mengingat, membuat keputusan, kreativitas dan kesadaran diri.5
Korteks serebrum dapat dibagi menjadi 4 lobus yaitu lobus frontalis, lobus, parietalis,
lobus temporalis, dan lobus oksipitalis. Lobus tersebut ini memiliki fungsi yang berbeda –
beda.5
Rasa nyeri dimulai dengan adanya perangsangan pada reseptor nyeri oleh stimulus
nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi tiga yaitu mekanik, termal, dan kimia. Mekanik, spasme
otot merupakan penyebab nyeri yang umum karena dapat mengakibatkan terhentinya aliran
darah ke jaringan, meningkatkan metabolisme di jaringan dan juga perangsangan langsung ke
reseptor nyeri sensitif mekanik. Termal, rasa nyeri yang ditimbulkan oleh suhu yang tinggi,
berhubungan dengan kecepatan kerusakan jaringan yang timbul. Kimia, ada beberapa zat
kimia yang dapat merangsang nyeri seperti bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam,
asetilkolin, dan enzim proteolitik. Dua zat lainnya yang diidentifikasi adalah prostaglandin
dan substansi P yang bekerja dengan meningkatkan sensitivitas dari free nerve endings.1
Semua jenis reseptor nyeri pada manusia merupakan free nerve endings. Reseptor nyeri
banyak tersebar pada lapisan superfisial kulit dan juga pada jaringan internal tertentu, seperti
periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, falx, dan tentorium. Sebagian besar jaringan
internal lainnya hanya diinervasi oleh free nerve endings yang letaknya berjauhan sehingga
nyeri pada organ internal umumnya timbul akibat penjumlahan perangsangan berbagai nerve
endings.1
Terdapat 5 tipe nyeri kepala yaitu vascular, myogenic (muscle tension), cervicogenic,
traction, dan inflammatory.
1. Vascular
Nyeri kepala tipe vaskular yang paling sering adalah migraine. Migraine biasanya nyeri hebat
pada satu atau dua sisi kepala, mual dan gangguan penglihatan. Lebih sering terjadi pada
wanita. Perubahan vaskular selama migraine, penyebab nyeri kepala adalah neurologis bukan
vaskular. Setelah migraine, tipe sakit kepala vaskular adalah nyeri kepala “toxic” yang
3
disebabkan oleh demam. Jenis lain nyeri kepala vaskular termasuk cluster headaches,
menyebabkan epidosik intensitas nyeri berulang dan nyeri kepala yang berasal dari tekanan
darah tinggi (jarang).12
2. Muscular/myogenic
Sakit kepala muscular (atau myogenic) melibatkan tekanan atau spasme pada otot wajah dan
leher; yang menyebar pada dahi. Tension headache merupakan nyeri kepala myogenic yang
paling sering.12
3. Cervicogenic
Sakit kepala cervicogenic berasal dari gangguan leher termasuk struktur anatomi yang
diinervasi cervical roots C1-C3 . Cervical headache sering dicetuskan/dipresipitasi oleh
gerakan leher dan/atau sustained awkward head positioning. Sering disertai restriksi range of
motion cervical, leher ipsilateral, bahu atau arm pain of a rather vague non-radicular nature
or, occasionally, arm pain of a radicular nature.12
4. Traction/inflammatory
Nyeri kepala traksi dan inflamasi merupakan gejala gangguan lain, dari stroke sampai infeksi
sinus.12
Berdasarkan WHO International Classification of Headache Disorders, nyeri kepala dibagi
menjadi:13
Primary 1. Migraine, including:1.1 Migraine without aura1.2 Migraine with aura
2. Tension-type headache, including:2.1 Infrequent episodic tension-type headache2.2 Frequent episodic tension-type headache2.3 Chronic tension-type headache
3. Cluster headache and other trigeminal autonomic cephalalgias, including:
3.1 Cluster headache
4. Other primary headaches
Secondary 5. Headache attributed to head and/or neck trauma, including:5.2 Chronic post-traumatic headache
4
6. Headache attributed to cranial or cervical vascular disorder, including:
6.2.2 Headache attributed to subarachnoid haemorrhage6.4.1 Headache attributed to giant cell arteritis
7. Headache attributed to non-vascular intracranial disorder, including:
7.1.1 Headache attributed to idiopathic intracranial hypertension7.4 Headache attributed to intracranial neoplasm
8. Headache attributed to a substance or its withdrawal, including:8.1.3 Carbon monoxide-induced headache8.1.4 Alcohol-induced headache8.2 Medication-overuse headache8.2.1 Ergotamine-overuse headache8.2.2 Triptan-overuse headache8.2.3 Analgesic-overuse headache
9. Headache attributed to infection, including:9.1 Headache attributed to intracranial infection10. Headache attributed to disorder of homoeostasis11. Headache or facial pain attributed to disorder of cranium, neck, eyes, ears, nose, sinuses, teeth, mouth or other facial or cranial structures, including:
11.2.1 Cervicogenic headache11.3.1 Headache attributed to acute glaucoma
12. Headache attributed to psychiatric disorder
Neuralgias and other headaches
13. Cranial neuralgias, central and primary facial pain and other headaches, including:
13.1 Trigeminal neuralgia14. Other headache, cranial neuralgia, central or primary facial pain
5
1.3 TENSION-TYPE HEADACHE
1.3.1 DEFINISI
Tension-type Headache (tension headache) adalah nyeri kepala bilateral yang menekan
(pressing/squeezing), mengikat, tidak berdenyut, bersifat ringan hingga sedang, tidak selalu
disertai mual dan atau muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia.4 Tension headache
terjadi pada daerah kepala, kulit kepala atau leher yang biasanya berhubungan dengan
ketegangan otot di daerah tersebut.3
1.3.2 KLASIFIKASI
Tension headache dibedakan menjadi tiga subklasifikasi:
1. Tension headache episodik yang jarang (infrequent episodic): 1 serangan per bulan
atau kurang dari 12 sakit kepala per tahun.
2. Tension headache episodik yang sering (frequent episodic): 1-14 serangan per bulan
atau antara 12 dan 180 hari per tahun.
3. Tension headache menahun (chronic): lebih dari 15 serangan atau sekurangnya 180
hari per tahun.6
1.3.3 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala. tension
headache dan nyeri kepala yang paling sering dijumpai. Sekitar 78% orang dewasa pernah
mengalami tension headache setidaknya sekali dalam hidupnya.8 Tension headache episodik
adalah nyeri kepala primer yang paling umum terjadi, dengan prevalensi 1-tahun sekitar 38–
74%. Rata-rata prevalensi tension headache 11-93%. Sekitar 40% penderita tension headache
memiliki riwayat keluarga dengan tension headache, 25% penderita tension headache juga
menderita migren. Rasio perempuan:laki-laki adalah 5:4. Onset usia penderita tension
headache adalah antara 25 hingga 30 tahun.9
1.3.4 ETIOLOGI
Etiologi dari tension headache ini belum diketahui secara pasti, namun diduga
disebabkan oleh beberapa faktor pencetus antara lain adalah cahaya yang menyilaukan, stres
psikososial, kecemasan, perubahan pola tidur, depresi, caffeine withdrawal, marah, terkejut,
serta penggunaaan obat untuk tension headache yang berlebihan.6
6
1.3.5 PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patofisiologi tension headache masih belum jelas diketahui. Pada beberapa
literatur dan hasil penelitian disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan
terjadinya tension headache sebagai berikut :
1. Disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperan daripada sistem saraf perifer dimana
disfungsi sistem saraf perifer lebih mengarah pada episodic tension headache sedangkan
disfungsi sistem saraf pusat mengarah kepada chronic tension headache.
2. Transmisi nyeri tension headache melalui nukleus trigeminoservikalis pars kaudalis yang
akan mensensitasi second order neuron pada nukleus trigeminal dan kornu dorsalis ( aktivasi
molekul NO) sehingga meningkatkan input nosiseptif pada jaringan perikranial dan miofasial
lalu akan terjadi regulasi mekanisme perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot
perikranial. Hal ini akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter pada jaringan miofasial,
4. Hiperflesibilitas neuron sentral nosiseptif pada nukleus trigeminal, talamus, dan korteks
serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal (limbik) terhadap nosiseptif. Nilai ambang
deteksi nyeri ( tekanan, elektrik, dan termal) akan menurun di sefalik dan ekstrasefalik. Selain
itu, terdapat juga penurunan supraspinal decending pain inhibit activity.
5. Terdapat hubungan jalur serotonergik dan monoaminergik pada batang otak dan
hipotalamus dengan terjadinya tension headache. Defisiensi kadar serotonin dan noradrenalin
di otak, dan juga abnormal serotonin platelet, penurunan beta endorfin di CSF dan penekanan
eksteroseptif pada otot temporal dan maseter.
Pada tension headache dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada beberapa
teori yang menjelaskan hal tersebut yaitu:
1. Adanya stress fisik (kelelahan) akan menyebabkan pernafasan hiperventilasi sehingga
kadar CO2 dalam darah menurun yang akan mengganggu keseimbangan asam basa dalam
darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis yang selanjutnya akan mengakibatkan
ion kalsium masuk ke dalam sel dan menimbulkan kontraksi otot yang berlebihan sehingga
terjadilah nyeri kepala.
2. Stress mengaktifasi saraf simpatis sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah otak
selanjutnya akan mengaktifasi nosiseptor lalu aktifasi aferen gamma trigeminus yang akan
menghasilkan neuropeptida (substansi P). Neuropeptida ini akan merangsang ganglion
trigeminus (pons).
3. Stress dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu alarm reaction, stage of resistance, dan stage of
exhausted. Alarm reaction dimana stress menyebabkan vasokontriksi perifer yang akan
mengakibatkan kekurangan asupan oksigen lalu terjadilah metabolisme anaerob.
7
Metabolisme anaerob akan mengakibatkan penumpukan asam laktat sehingga merangsang
pengeluaran bradikinin dan enzim proteolitik yang selanjutnya akan menstimulasi jaras nyeri.
Stage of resistance dimana sumber energi yang digunakan berasal dari glikogen yang akan
merangsang peningkatan aldosteron, dimana aldosteron akan menjaga simpanan ion kalium.
Stage of exhausted dimana sumber energi yang digunakan berasal dari protein dan aldosteron
pun menurun sehingga terjadi deplesi K+. Deplesi ion ini akan menyebabkan disfungsi
saraf.7,14
1.3.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala pada tension headache adalah nyeri kepala yang dirasakan seperti
kepala berat seperti diikat tali yang melingkari kepala, kencang dan menekan. Dapat pula
disertai gejala mual, kadang-kadang muntah, lesu, sukar tidur, mimpi buruk, sering terbangun
menjelang pagi dan sulit tidur kembali, hiperventilasi, hilangnya kemauan untuk belajar atau
bekerja, anoreksia dan keluhan depresi lainnya. Nyeri dapat pula dirasakan seperti perasaan
tegang yang menjepit di kepala dan nyeri berlokasi di daerah oksipito servikal.10
Bentuk akut dikaitkan dengan keadaan stres, kegelisahan dan atau kelelahan
temporer yang biasanya berlangsung satu atau 2 hari. Tipe kronis biasanya nyeri bersifat
bilateral, tidak mereda, dapat berlangsung siang maupun malam hari, dan berlangsung sampai
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, terasa menekan, tidak berdenyut dan sering dikaitkan
dengan perasaan gelisah, depresi dan perasaan tertekan. Gambaran intensitas nyeri pada nyeri
kepala ini sebagai “seakan-akan kepala akan pecah”.10
Nyeri kepala tension headache bisa berupa suatu aktivitas yang dapat menyebabkan
kepala berada pada 1 posisi dalam jangka waktu lama tanpa bergerak, sehingga menyebabkan
sakit kepala, aktivitas tersebut meliputi pengetikan atau penggunaan computer, pekerjaan
8
halus dengan tangan dan penggunaan mikroskop. Tidur di dalam suatu ruangan yang dingin
atau tidur dengan posisi leher yang salah dapat mencetuskan sakit kepala jenis ini.11
1.3.7 DIAGNOSIS
Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis komprehensif adalah
kunci evaluasi klinis tension headache dan dapat menyediakan petunjuk potensial terhadap
penyebab penyakit yang mendasar terjadinya tension headache. Pada palpasi manual gerakan
memutar kecil dan tekanan kuat dengan jari ke dua dan ke tiga di daerah frontal, temporal,
masseter, pterygoid, sternocleidomastoid, splenius, dan otot-otot trapezius, dijumpai
pericranial muscle tenderness. Tenderness dinilai dengan empat poin (0,1,2, dan 3) di tiap
lokasi. Nilai dari kedua sisi kiri dan kanan dijumlah menjadi skor tenderness total
(maksimum 48 poin). Penderita tension headache diklasifi kasikan sebagai terkait (≥8 poin)
atau tidak terkait (≤ 8 poin) dengan pericranial tenderness.4
Pada tension headache juga dijumpai variasi TrPs, yaitu titik pencetus nyeri otot
(muscle trigger points). Baik TrPs aktif maupun laten dijumpai di otot-otot leher dan bahu
penderita tension headache. TrPs berlokasi di otot-otot splenius capitis, splenius cervicis,
semispinalis cervicis, semispinalis capitis, levator scapulae, upper trapezius, atau
suboccipital. TrPs di otot-otot superior oblique, upper trapezius, temporalis, sub occipital,
dan sternocleidomastoid secara klinis relevan untuk diagnosis tension headache episodik dan
kronis.4
Diagnostik penunjang tension headache adalah pencitraan (neuroimaging) otak atau
cervical spine, dan analisis CSF. Neuroimaging terutama direkomendasikan untuk: nyeri
kepala dengan pola atipikal, riwayat kejang, dijumpai tanda/gejala neurologis, penyakit
simtomatis seperti: AIDS (acquired immunodefi ciency syndrome) dan tumor. Pemeriksaan
funduskopi untuk papilloedema atau abnormalitas lainnya penting untuk evaluasi nyeri
kepala sekunder.4
1.3.8 DIAGNOSIS BANDING
Sebagian besar nyeri kepala dalam konteks gangguan medis, antara lain:
hipotiroidisme, gangguan tidur, dan krisis hipertensif memiliki potret klinis yang tumpang-
tindih dengan tension headache. Tension headache primer sulit dibedakan dari nyeri kepala
servikogenik sekunder jika hanya didasarkan pada kriteria klinis. Selain itu, penderita
cervical spine discogenic dan gangguan spondilotik juga sering disertai tension headache.
Pada kondisi tertentu, koneksi mekanistik tension headache juga perlu dibedakan dari
9
disfungsi sendi temporomandibular atau cervical spine disease. Beberapa penyakit/kondisi
yang mirip tension headache: cervical spondylosis, nyeri kepala akibat overuse obat, nyeri
kepala pascacedera yang kronis. Juga nyeri kepala yang berkaitan dengan: penyakit
mata/rongga sinus di hidung, gangguan sendi temporomandibular, kondisi kejiwaan, tumor
otak.4
1.3.9 TATALAKSANA
Terapi non farmakologi:
1. Terapi psikofisiologis
Terapi ini dapat berupa terapi relaksasi, program untuk mengatasi stres. Dengan
modalitas terapi tersebut, frekuensi tension headache serta beratnya penyakit dapat
berkurang. Strategi pengelolaan stress mungkin sangat menolong pada tension headache.
Perubahan cara hidup mungkin diperlukan untuk nyeri kepala chronic tension headache. Cara
tersebut meliputi istirahat yang cukup dan latihan, perubahan dalam pekerjaan atau kebiasaan
relaksasi ataupun perubahan yang lain.4
2. Fisioterapi
Terapi ini berupa latihan pengendoran otot-otot, misalnya latihan relaksasi, yoga,
semedi, diatermi, kompres hangat, ataupun terapi akupuntur. Terapi fisik dan teknik relaksasi
ini dapat memberikan keuntungan pada kasus-kasus khusus.4
Farmakoterapi
Obata-obatan yang dapat digunakan pada pengobatan tension headache yaitu :
a. NSAIDs
Pada dewasa, obat golongan anti-infl amasi non steroid efektif untuk terapi tension headache
episodik. Hindari obat analgesik golongan opiat (misal: butorphanol). Pemakaian analgesik
berulang tanpa pengawasan dokter, terutama yang mengandung kafein atau butalbital, dapat
memicu rebound headaches. Beberapa obat yang terbukti efektif: ibuprofen (400 mg),
parasetamol (1000 mg), ketoprofen (25 mg). Ibuprofen lebih efektif daripada parasetamol.
Kafein dapat meningkatkan efek analgesik. Analgesik sederhana, nonsteroidal anti-infl
ammatory drugs (NSAIDs), dan agen kombinasi adalah yang paling umum
direkomendasikan.4
b. Hipnotik-sedatif/antiansietas
10
Kerjanya terutama merupakan potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat
(GABA) sebagai mediator. Efek sampingnya berupa inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan
fungsi mental dan psikomotor, gangguan koordinator berpikir, bingung, disartria, mulut
kering dan rasa pahit. Obat-obat yang dapat digunakan yaitu :
i. Klordiazepoksid 5 mg tablet dengan dosis 15-30 mg/hr
ii. Klobazam 10 mg tablet dengan dosis 20-30 mg/hr
iii. Lorazepam 1-2 mg tablet dengan dosis 3-6 mg/hr
iv. Diazepam 2-5 mg tablet dengan dosis 2-10 mg/hr
c. Antidepresan.
Cara kerjanya dengan memblokade pengambilan kembali noradrenalin dan memblokade
aktivitas kolinergik, adrenergik, dan reseptor histamin. Efek sampingnya adalah mengantuk,
mulut kering, mata kabur dan sukar berak. Obat-obatan yang dapat digunakan misalnya :
i. Amitriptilin 10/25 mg tablet dengan dosis 150-300mg/hr
ii. Maprotiline 25/50/75 mg tablet dengan dosis 25-75 mg/hr
iii. Amineptine 100 mg tablet dengan dosis 200 mg/hr
d. Antagonis serotonin
Golongan obat ini bekerja dengan cara meningkatkan kadar neurotransmitter serotonin di
otak. Obat yang digunakan yaitu :
i. Metysergid 2 mg tablet dengan dosis 4-6 mg/hr
ii. Sumatriptan 100 mg tablet dengan dosis 300 mg/hr
iii. Fluoksetin 10 mg tablet dengan dosis maksimal 60 mg/hr
e. Agonis selektif reseptor α2
Obat yang digunakan yaitu tizanidin. Cara kerjanya adalah dengan mencegah mengecilnya
dan melebarnya pembuluh darah secara abnormal. Bekerja pada rangsangan sentral neuron-
neuron penghambat.10
Serangan akut berespon terhadap aspirin dan obat AINS lainnya seperti asam
asetilsalisilat, metampiron maupun asam mefenamat. Untuk tindakan profilaksis diberikan
pengobatan amitriptilin, atau pemberian kembali inhibitor selektif serotonin dan tizanidin
sangat berguna dalam beberapa kasus.10
11
No Kelompok/Jenis Obat
Khasiat Efek samping obat Kontraindikasi obat
1 NSAIDsAsam mefenamat
Meredakan pegal pada otot dan persendian, sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid dan pasca bedah
Gangguan dan perdarahan GI, ulkus peptik, sakit kepala, mengantuk, pusing, cemas, gangguan penglihatan, ruam kulit, diskrasia darah, nefropati
Perdarahan/tukak saluran cerna, gangguan hati dan ginjal
Ibuprofen Analgetik-antipiretik, antiinflamasi
Mual, muntah, diare,konstipasi, nyeri dan rasa panas di epigastrium
Riwayat tukak lambung, hpersensitifitas terhadap ibuprofen atau aspirin dan non streoid antiinflamasi lain
Metampiron
Sakit kepala karena tegang dan terlalu capai, neuralgia serta sakit yang berhubungan dengan infuenza
Reaksi hipersensitif, agranulositosis, denyut nadi cepat
Hipersensitivitas
Asam asetil salisilat, asetosal, aspirin
Meringankan sakit kepala, pusing, sakit gigi, nyeri otot, menurunkan demam
Iritasi lambung, mual, muntah, ulkus peptik, gangguan GI, peningkatan waktu perdarahan, hipoprotrombinemia, pusing, tinitus
Tukak lambung, gangguan perdarahan, asma
2 Hipnotik-sedatif/antiansietasKlobazam Anti konvulsi,
ansiolitik, sedatif, relaksasi otot.
Mulut dan tenggorokan kering, gangguan saluran cerna, kegagalan pernapasan, urtikaria
Depresi ssp, penderita psikosis dan gangguan mental, myastenia gravis, gangguan pernapasan
Lorazepam Hipnotik dan antiansietas, status epileptikus, katatonia akibat neuroleptik
Sedasi, pusing, lesu, ataksia Penderita gagal ginjal dan pasien geriatri
Diazepam Relaksan otot pada semua bagian tubuh, termasuk trauma otot lokal, pengurangan terhadap ansietas sedang atau berat,
Mengantuk, lemas, halusinasi, bradikardi, urtikaria, konstipasi, mual, neutropenia, depresi pernapasan, ikterik
Glaukoma, psikosis, syok, koma, intotoksikasi alkohol akut
12
Klordiazepoksid
Pengobatan manifestasi organik dari ansietas
Mulut kering, konstipasi, gangguan miksi
Glaukoma
3 AntidepresanAmitriptilin Antidepresi, terutama
bila diperlukakan sedasi. Nocturnal enuresis pada anak
Mulut kering, sedasi, pandangan kabur, konstipasi, mual, sulit BAK, efek pada kardiovaskular (aritmia, hipotensi postural, takikardi, sinkop, terutama pada dosis tinggi) barkeringat, tremor, ruam, gangguan perilaku (terutama anak), hippomania, binggung (terutama usia lanjut), gangguan fungsi sensual, perubahan gula darah, nafsu makan bertambah, Lebih jarang terjadi lidah hitam, ileus paralitik, kejang, agranulositosis, leukopenia, eosinofilia, purpura, trombositipenia, hiponatremia, sakit kuning.
Infark miokardinal yang baru, aritmia, mania, penyakit berat
Maprotilin Depresi, terutama bila diperlukan sedasi
Sama dengan amitriptilin, efek antimuskarinik lebih jarang, sering terjadi ruam pada kulit, pada dosis tinggi resiko kejang meningkat.
Sama dengan : amitriptilin, riwayat epilepsy
4 Antagonis serotoninMetysergid Menghambat efek
vasokontriksi dan pressor serotonin pada otot polos vaskuler, profilaksi tension headache
Gangguan saluran cerna, insomnia, nervositas, halusinasi, bingung, klemahan badan, nafsu makan menurun
Serangan migren akut
Sumatriptan
Sering digunakan untuk pengobatan nyeri kepala. Sangat berkhasiat untuk mengatasi mual, muntah, dan fotophobia
Efek samping ringan dan sepintas berhubungan dengan cara pemberian dan gangguan rasa setelah pemberiaan per oral, gangguan sensasi berupa kesemutan, rasa panas, rasa tidak enak pada dada
Penyakit jantung koroner, ischemic, angina
Amineptin Depresi Reaksi kulit, sakit kuning, Huntington’s
13
mudah tersinggung, gugup, insomnia, hipotensi, konstipasi, mulut kering
chorea, riwayat hepatitis karena amineptin
Fluoksetin Antidepresi, bulimia nervosa, gangguan obsesif konfulsif
Saluran cerna, reaksi hipersensitifvitas, mulut kering, gugup, cemas, nyeri kepala, insomnia, palpitasi, tremor, binggung, hipotensi, hippomania/mania, mengantuk, asthenia, kejang, demam, disfungsi seksual, berkeringat, gangguan gerak, & diskinesia, sindrom, neuroleptik maligna, hiponatremia, gangguan fungsi hati, anemia aplastik, GPDO, ekimosis, pneumonia eosinofilik, hiperprolaktinemia, anemia hemolitik, pankreatitis, pansitopenia, kecenderungan bunuh diri, trombositopenia, purpura trombositopenik, pendarahan vagina pada pemutusan obat, perilaku kekerasan, rambut rontok
Anak tidak dianjurkan, penyakit jantung, epilepsi yang sulit dikendalikan, bersama dengan terapi elektrosyok, riwayat mania, gangguan hati dan ginjal, hamil dan menyusui, hindari pemutusan mendadak.
5. Agonis selektif reseptor ∞2
Tizanidin Mengobati gangguan spasme otot, profilaksis tension headache kronik
Rasa kantuk, hipotensi, mulut kering, astenia
-
1.3.10 KOMPLIKASI
Komplikasi tension headache adalah rebound headache yaitu nyeri kepala yang
disebabkan oleh penggunaan obat – obatan analgesia seperti aspirin, asetaminofen yang
berlebihan.10
1.3.11 PROGNOSIS
Konsumsi analgesic akan mengurangi nyeri dan terapi penegahan cukup efektif bila
pencetusnya diketahui dan dihindari. Hal yang harus diperhatikan adalah penggunaan obat
14
analgesic berlebihan dpaat menimbulkan efek damping. Secara umum, episodic tension-type
headache prognpsisnya lebih baik karena akan membaik dengan seiring bejalannya waktu.
Chronic tension-type headache memiliki prognosis yang kurang baik karena adanya faktor
komorbiditas lain seperti gangguan psikiatrik.10
BAB III
KESIMPULAN
Tension-type Headache (TTH) adalah nyeri kepala yang bersifat menekan, tegang,
tidak berdenyut, tidak selalu disertai mual dan atau muntah, serta disertai fotofobia atau
fonofobia. TTH sangat berhubungan erat dengan kontraksi otot pada daerah tersebut.
Penyebab TTH belum dapat dijelaskan secara pasti, namum cahaya yang menyilaukan, stres
15
psikososial, marah, terkejut, serta penggunaan analgesik yang berlebihan telah diketahui
sebagai pencetus terjadinya TTH. TTH dibedakan menjadi tiga subklasifikasi, yaitu TTH
episodic jarang, TTH episodic sering, dan TTH kronik.
Gejala-gejala pada tension headache adalah nyeri kepala tegang yang kencang dan
menekan. Gejala penyerta dari TTH dapat berupa mual, lesu, sukar tidur, mimpi buruk, sering
terbangun menjelang pagi dan sulit tidur kembali, dan hiperventilasi. Nyeri juga dapat
dirasakan seperti perasaan tegang yang menjepit di kepala dan nyeri berlokasi di daerah
oksipito servikal.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis adalah kunci evaluasi klinis
TTH. Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah palpasi manual gerakan memutar
kecil dan tekanan kuat dengan jari ke dua dan ke tiga di daerah frontal, temporal, masseter,
pterygoid, sternocleidomastoid, splenius, dan otot-otot trapezius, dijumpai pericranial muscle
tenderness. Pada TTH juga dijumpai variasi TrPs, yaitu titik pencetus nyeri otot (muscle
trigger points). TrPs di otot-otot superior oblique, upper trapezius, temporalis, sub occipital,
dan sternocleidomastoid secara klinis relevan untuk diagnosis TTH episodik dan kronis.
Diagnostik penunjang TTH yang dapat dilakukan adalah pencitraan (neuroimaging) otak atau
cervical spine, dan analisis CSF.
Penatalaksanaan untuk TTH terbagi menjadi penatalaksanaan non farmakologi dan
penatalaksanaan farmakologi. Penatalaksanaan non farmakologi meliputi terapi
psikofisiologis dan fisioterapi. Sedangkan penatalaksanaan farmakologi yang paling sering
diberikan adalaha NSAIDs.
Prognosis episodic tension-type headache lebih baik karena akan membaik dengan
seiring bejalannya waktu. Chronic tension-type headache memiliki prognosis yang kurang
baik karena adanya faktor komorbiditas lain seperti gangguan psikiatrik
DAFTAR PUSTAKA
1. Price S, Wilson L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. The International Headache Society. 2004. Classification ICHD-II. Dikutip tanggal: 8
Mei 2015. Tersedia pada http://ihs-classification.org/en/02_klassifikation/
3. George Dewanto et.al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
16
4. Dito Anugroho. 2014. Tension Type Headache. CDK-214 Vol.41, 186-191.
5. Duus, Peter. 2006. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Kaniecki RG. 2012. Tension-Type Headache. Continuum Lifelong Learning
Neurologi;18(4):823–834.
7. Bendtsen L. 2000. Central Sensitization in Tension type Headache-Possible
Pathophysiological Mechanisms. Cephalalgia;20:486-508.
8. Ravishankar K, et.al. 2011. Guidelines on the diagnosis and the current management of
headache and related disorders. Ann Indian Acad Neurol. 2011 July;14(Suppl1):S40–
S59.
9. Crystal SC, Robbins MS. Epidemiology of tension-type headache. Curr Pain Headache
Rep. 2010;14:449–54.
10. Mansjoer A et.al. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
11. Campellone JV. 2013. Tension Headache. Dikutip tanggal: 8 Mei 2015. Tersedia pada
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000797.htm
12. Morris Levin, Steven M. Baskin, Marcelo E. Bigal (2008). Comprehensive Review of
Headache Medicine. Oxford University Press US. p. 60
13. Headache disorders. World Health Organization. 2004. Dikutip tanggal: 9 Mei 2015.
Tersedia pada http://www.who.int
14. Singh, Manish K. Muscle Contraction Tension Headache. Dikutip tanggal: 9 Mei 2015. Tersedia pada http://emedicine.com//
17