Upload
lekhanh
View
270
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
TEKNIK PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN IKAN BELUT (Monopterus albus) ISI
Oleh : Hariyani
C 34101012
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
HARIYANI (C34101012). Teknik pengolahan dan penyajian ikan belut (Monopterus albus ) isi. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan ELLA SALAMAH.
Belut sebagai salah satu produk perikanan baik untuk kesehatan. Namun
bentuk belut yang menyerupai ular menjadi suatu kendala mengapa belut belum begitu populer dikonsumsi oleh masyarakat sebagai bahan pangan. Penelitian ini bertujuan menyusun formulasi bumbu dalam pembuatan belut isi, mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap belut isi dalam berbagai bentuk pe nyajian, dan memperluas diversifikasi produk hasil perikanan. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari komposisi bumbu yang disukai panelis dalam pembuatan belut isi berdasarkan uji organoleptik dengan perlakuan penambahan kelapa sangrai sebanyak 10, 20, dan 30 gram atau dalam persentase terhadap daging belut adalah 6,66 %, 13,33 %, dan 20 %. Hasil dari penelitian pendahuluan dilanjutkan pada penelitian utama dengan berbagai bentuk penyajian seperti bentuk sosis, rolade, dan sosis belah yang dikukus dan dikukus goreng. Data yang diperoleh diolah dengan statistik non-parametrik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis dan jika hasil analisis berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Multiple Comparisson.
Hasil uji sensori belut isi pada penelitian pendahuluan menunjukkan penilaian panelis terhadap belut isi dari netral sampai agak suka. Perlakuan penambahan kelapa sangrai 10, 20, dan 30 gram tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma, rasa, dan tekstur belut isi. Dari penampakan produk maka penambahan 10 gram kelapa sangrai merupakan formulasi terbaik, akan tetapi dari warna produk maka penambahan 10 dan 20 gram kelapa sangrai merupakan formulasi terbaik. Dari hasil penelitian ini dengan mempertimbangkan faktor ekonomis dapat disimpulkan bahwa pena mbahan kelapa sangrai 10 gram merupakan formulasi bumbu terbaik dalam pembuatan belut isi.
Hasil penelitian utama menunjukkan penilaian panelis terhadap penyajian belut isi dari netral sampai agak suka. Parameter penampakan dan warna dari belut isi dengan bentuk penyajian rolade yang dimasak dengan dikukus merupakan bentuk penyajian terbaik dari belut isi. Belut isi diharapkan menjadi salah satu alternatif upaya diversifikasi dengan memberi nilai tambah dalam pengolahan dan penyajian.
TEKNIK PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN IKAN BELUT (Monopterus albus) ISI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh : Hariyani
C 34101012
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul : TEKNIK PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN IKAN BELUT
(Monopterus albus) ISI
Nama : Hariyani
NRP : C 34101012
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil Dra. Ella Salamah MSi NIP. 131 474 001 NIP. 131 788 597
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal lulus: 07 Februari 2006
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya
kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Teriring doa
keselamatan penulis pada pembawa risalah kebenaran Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat dan seluruh umat di seluruh penjuru dunia yang setia
mengikuti ajaranNya hingga akhir zaman.
Skripsi hasil penelitian ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini merupakan studi tentang teknik pengolahan
dan penyajian ikan belut (Monopterus albus ) isi.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ir. Ruddy Suwandi M.S.,M.Phil dan Dra. Ella Salamah, M.Si selaku dosen
pembimbing yang banyak memberikan kritik dan saran dalam penelitian
dan penulisan skripsi.
2. Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen
penguji tamu yang telah memberikan saran, masukan, dan perbaikan
dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dosen, staf dan Laboran Departemen THP atas bantuan dan kerjasama
selama penelitian.
4. Papa, mama, wo aris, kak ote atas semangat, doa, kasih sayang dan
dukungan yang tiada hentinya.
5. Tanti, M’eny, Baldep, Rina, Anggun, Uli, Intan, Indah, Istanti, Nurul dan
THP 38,39,40.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi,
yang tidak sempat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Bogor, Februari 2006
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 02 Oktober 1983
sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putri dari pasangan Bapak
Lukman Pikir dan Ibu Horaini.
Penulis mengawali pendidikan di SDN 188/VI Bangko –
Jambi dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 1995. Pada tahun 1995 penulis
diterima di SLTPN 3 Bangko - Jambi dan menyelesaikan pendidikannya pada
tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan di SMU 1 Bangko - Jambi dan
menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis
diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan.
Semasa kuliah, penulis pernah aktif pada Ikatan Mahasiswa Kerinci (IMK)
tahun 2002/2003 dan anggota HIMASILKAN (Himpunan Mahasiswa Pengolahan
Hasil Perikanan). Penulis pernah menjadi asisten luar biasa mata kuliah Dasar-
dasar Mikrobiologi Akuatik tahun ajaran 2003/2004, Program Studi Budidaya
Perairan. Penulis juga pernah menjadi panelis lomba karya ilmiah teknologi
perikanan tepat guna pelajar dan mahasiswa tahun 2005.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada
program studi Teknologi Hasil Perikanan, penulis melakukan penelitian dan
penulisan skripsi dengan judul ”Teknik Pengolahan dan Penyajian Ikan Belut
(Monopterus albus) Isi” di bawah bimbingan Ir. Ruddy Suwandi M.S., M.Phil dan
Dra. Ella Salamah, M.Si.
DAFTAR
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Belut .......................................................................... 3
2.2 Diversifikasi Pengolahan Ikan .......................................................... 5
2.3 Pengolahan Ikan Belut ...................................................................... 6
2.3.1 Penggorengan ........................................................................... 6 2.3.2 Dendeng belut .......................................................................... 7 2.3.3 Selai belut ................................................................................. 7
2.4 Belut Isi ............................................................................................. 8
2.4.1 Bahan baku utama .................................................................... 9 2.4.2 Bahan tambahan ....................................................................... 9
2.4.2.1 Garam ....................................................................... 9 2.4.2.2 Bawang putih ............................................................ 10 2.4.2.3 Bawang merah .......................................................... 10 2.4.2.4 Ketumbar .................................................................. 11 2.4.2.5 Jintan ........................................................................ 11 2.4.2.6 Cabai merah .............................................................. 12 2.4.2.7 Kemiri ....................................................................... 13 2.4.2.8 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia)................................ 13
2.4.2.9 Kelapa ....................................................................... 14
2.5 Penilaian Organoleptik .................................................................... 15
2.6 Pengolahan dan Penyajian ............................................................... 15
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................... 18
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 18
3.3 Metode Penelitian ............................................................................. 18
3.3.1 Penelitian pendahuluan ........................................................... 18 3.3.2 Penelitian utama ...................................................................... 19
3.4 Uji Organoleptik ............................................................................... 20
3.5 Rancangan Percobaan ...................................................................... 21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan .................................................................... 22
4.1.1 Penampakan ............................................................................ 22 4.1.2 Aroma ...................................................................................... 23 4.1.3 Rasa ……………………………………………… ................. 25 4.1.4 Warna ……………………………………………. ................. 26 4.1.5 Tekstur …………………………………………..................... 28
4.2 Penelitian Utama ……………………………………… .................. 29
4.2.1 Penampakan ……………………………………. ................... 30 4.2.2 Warna …………………………………………... ................... 34
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ………………………………………….. .................... 36
5.2 Saran …………………………………………………..................... 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi zat gizi belut (Monopterus albus ), telur ayam, daging sapi, ikan mas(Cyprinus carpi.................................................. 5
2. Kandungan gizi cabai merah besar per 100 gram bahan .................... 12
3. Kandungan gizi per 100 gram daging biji kemiri .............................. 13
4. Komposisi bumbu yang digunakan dalam pembuatan belut isi.......... 19
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Ikan belut (Monopterus albus) ............................................................. 3
2. Jintan (Coleus ambonicus ) .................................................................. 12
3. Jeruk nipis (Citrus aurantifolia).......................................................... 14
4. Diagram alir proses pembuatan belut isi ............................................ 20
5. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap penampakan pada penelitia n pendahuluan.............................................................. 23
6. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma pada penelitian pendahuluan ........................................................................................ 24
7. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap rasa pada penelitian pendahuluan......................................................................................... 26
8. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pada penelitian pendahuluan ........................................................................................ 27
9. Perubahan komponen warna belut isi.................................................. 28
10. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap tekstur pada penelitian pendahuluan........................................................................................ 29
11. Histogram nilai rata -rata kesukaan terhadap penampakan pada penelitian utama .................................................................................. 30
12. Produk belut isi dengan bentuk sosis yang dikukus dan dikukus goreng ................................................................................... 31
13. Produk ikan belut isi dengan bentuk rolade yang dikukus dan dikukus goreng.................................................................................... 32
14. Produk belut isi dengan bentuk sosis belah yang dikukus dan dikukus goreng .................................................................................... 32
15. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pada penelitian utama .................................................................................. 34
16. Bentuk penyajian ikan belut isi.......................................................... 35 .
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Format uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi pada penelitian pendahuluan ...................................................................... 41
2. Format uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi pada penelitian utama ................................................................................. 42
3. Hasil uji organoleptik penampakan pada penelitian pendahuluan..... 43
4. Hasil uji organoleptik aroma pada penelitian pendahuluan ............... 44
5. Hasil uji organoleptik rasa pada penelitian pendahuluan................... 45
6. Hasil uji organoleptik warna pada penelitian pendahuluan ............... 46
7. Hasil uji organoleptik tekstur pada penelitian pendahuluan ............. 47
8a. Hasil uji Kruskal Wallis penampakan pada penelitian pendahuluan....................................................................................... 48
8b. Hasil uji Kruskal Wallis aroma pada penelitian pendahuluan............ 48
8c. Hasil uji Kruskal Wallis rasa pada penelitian pendahuluan .............. 49
8d. Hasil uji Kruskal Wallis warna pada penelitian pendahuluan............ 49
8e. Hasil uji Kruskal Wallis tekstur pada penelitian pendahuluan........... 50
9a. Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap penampakan ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian pendahuluan ....... 51
9b. Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap warna ikan belut (Monopterus albus ) isi pada penelitian pendahuluan.......................... 52
10. Hasil uji organoleptik penampakan pada penelitian utama............... 53
11. Hasil uji organoleptik warna pada penelitian utama ......................... 54
12a.Hasil uji Kruskal Wallis penampakan pada penelitian utama ........... 55
12b.Hasil uji Kruskal Wallis warna pada penelitian utama .................... 55
13a. Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap penampakan ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian utama ................ 56
13b. Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap warna ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian utama ................................ 57
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bidang perikanan merupakan salah satu bidang dalam pembangunan yang
mempunyai prospek yang cukup cerah untuk dikembangkan. Luas perairan laut
nasional yang dimiliki Indonesia diperkirakan sebesar 5,8 juta km2, termasuk ZEE
(Zona Ekonomi Eksklusif) dan juga meliputi panjang pantai sekitar 81.000 km2.
Dari perairan laut saja Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan lestari
sebesar 6,6 juta ton per tahun. Namun sampai saat ini potensi tersebut belum
dimanfaatkan dengan baik karena faktor sumber daya manusia, teknologi maupun
kebijakan yang belum terarah (Sudarisman dan Elvina 1996).
Indonesia mempunyai potensi perikanan yang cukup besar, namun belum
dapat dimanfaatkan secara optimum. Selain itu, tingkat konsumsi ikan masyarakat
Indonesia masih rendah, sehingga perlu suatu upaya untuk meningkatkan
konsumsi ikan dan meningkatkan nilai ekonomis ikan dengan cara diversifikasi
produk perikanan.
Ikan merupakan salah satu hasil perikanan yang banyak dimanfaatkan oleh
manusia karena beberapa kelebihannya. Ikan dan produk-produk perikanan
merupakan protein yang relatif murah dibandingkan dengan sumber-sumber
protein hewani lainnya seperti daging sapi, daging ayam, susu, dan telur. Salah
satu jenis hasil perikanan adalah ikan air tawar. Dilihat dari aspek biologi, fisika
dan lingkungannya, ikan air tawar memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan ikan air laut. Belut merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak
dihasilkan dan belum dikenal dikalangan masyarakat sebagaimana jenis ikan air
tawar lainnya seperti ikan mas (Cyprinus carpio ). Belut banyak dijumpai di tanah
berlumpur, terutama di sawah, di tepi empang, atau sungai. Belut banyak
diperjualbelikan seperti ikan air tawar. Sekarang belut dapat diternakkan dalam
kolam, sehingga mudah diperoleh di pasar.
Di Taiwan dan RRC belut sudah menjadi komoditas ekspor yang bisa
meraup devisa. Ekspor belut ini ditujukan ke Jepang, Jerman, Belanda, Amerika
Serikat, Inggris, Afrika Utara, Selandia Baru, Australia, dan Korea. Di negara
Italia, Prancis, Jepang dan Hongkong, belut menjadi makanan yang ekslusif
karena berharga mahal dan terdapat di restoran-restoran kelas atas
(Sundoro 2002). Di Indonesia, belut yang dapat dimakan dan belakangan
dijadikan obat biasanya berasal dari sawah atau di tepi empang. Belut yang
berukuran besar sering disebut moa.
Belut merupakan bahan pangan hewani yang baik untuk kesehatan manusia,
belut memang cocok dijadikan pangan baru. Namun bentuk dari belut yang
menyerupai ular tersebut menjadi suatu kendala mengapa belut belum begitu
populer dikonsumsi oleh masyarakat sebagai bahan pangan. Hal ini menyebabkan
respon yang kurang baik di masyarakat. Masalah respon yang kurang baik dari
masyarakat terhadap penampakan belut dapat diatasi dengan mengolahnya ke
dalam bentuk makanan yang lezat dan dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu
alternatif untuk mengubah kesan seperti ular tadi adalah dengan mengubah atau
memberi nilai tambah dalam bentuk pengolahan belut isi dan penyajiannya berupa
bentuk sosis, rolade, dan sosis belah sehingga dihasilkan penampakan yang
menarik.
Belut isi diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif yang dipilih untuk
menarik konsumen dalam upaya meningkatkan konsumsi terhadap belut yang
kurang diterima jika dilihat dari segi penampakannya. Dengan adanya produk ini
diharapkan dapat memperbaiki gizi masyarakat dengan mengkonsumsi ikan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1). Menyusun formulasi bumbu dalam pembuatan belut isi dan untuk mengetahui
tingkat kesukaan panelis terhadap belut isi dalam berbagai bentuk penyajian
2). Memperluas diversifikasi produk hasil perikanan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Belut
Klasifikasi ikan belut (Monopterus albus) menurut Saanin (1968) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Toleostei
Ordo : Synbranchoidea
Famili : Synbranchoidae
Genus : Monopterus
Spesies : Monopterus albus
Belut (Monopterus albus) tersebar luas di Asia Tenggara dan Cina. Ikan ini
di Pulau Jawa dikenal dengan nama belut, lindung, dan welut. Sedangkan di
Madura dikenal dengan nama beludi dan di Sumatera disebut belan
(Sarwono 1999). Bentuk belut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ikan Belut (Monopterus albus)
Belut merupakan ikan air tawar yang mudah dikenal karena bentuknya
seperti ular, badannya licin, tidak bersisik dan tidak bersirip. Punggungnya
berwarna kehijau-hijauan dan perutnya berwarna kekuning-kuningan. Giginya
kecil runcing berbentuk kerucut dengan bibir berupa lipatan kulit yang lebar di
sekitar mulutnya (Sarwono 1999). Walaupun tidak memiliki kaki, belut
merupakan binatang melata yang termasuk bangsa ikan dan bukan sejenis ular
sebagaimana anggapan banyak orang yang enggan mengkonsumsinya. Hewan air
ini merupakan ikan darat yang tidak bersirip. Bentuk badannya bulat panjang dan
berlendir banyak sehingga tidak mudah ditangkap kecuali oleh mereka yang sudah
mengetahui cara penangkapannya (Sundoro 2002).
Pada umumnya belut betina mempunyai panjang 25-30 cm sedangkan belut
jantan 35-40 cm. Dalam kehidupan sehari-hari belut kecil memakan jasad renik
yang merupakan zooplankton dan zoobenthos dibagian perairan yang dangkal.
Belut berukuran sedang panjangnya 20-40 cm dengan diameter badan 1,5 cm,
sedangkan moa bisa mencapai 50-70 cm. Bahkan, moa bisa mencapai ukuran satu
meter, dengan diameter mulai dari 3 sampai 5 cm (Rahman 2004).
Ikan belut hidupnya di lumpur sehingga bau lumpur akan mempengaruhi
produk olahan ikan ini. Untuk menghilangkan bau lumpur, maka perut ikan belut
harus dikosongkan dengan membiarkan berada dalam air bersih yang mengalir
selama satu hari (Peranginangin dan Yunizal 1992).
Belut yang dimatikan dengan cara dipukul bagian kepalanya akan memiliki
keadaan daging yang kenyal daripada dimatikan dengan penambahan konsentrasi
garam 3 %. Belut dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh
permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi
dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir dan mengangkat lendir yang
masih terikat pada kulit. Untuk membersihkan lendir pada belut membutuhkan
tiga kali pemberian abu gosok (Rusiana 1988). Pengkulitan daging belut menurut
Sarwono (1999) dapat dilakukan bagi yang ahli. Lain halnya pendapat
Rusiana (1988) menyatakan bahwa pengkulitan sulit dilakukan karena ikatan
antara kulit dan daging sangat kuat sehingga apabila ditarik dagingpun ikut
tertarik.
Komposisi zat gizi belut (Monopterus albus) tidak kalah jika dibandingkan
dengan sumber protein hewani lainnya. Selain kadar protein yang tinggi, belut
juga memiliki kandungan lemak yang tinggi. Komposisi zat gizi belut dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi zat gizi belut (Monopterus albus), telur ayam, daging sapi, ikan mas (Cyprinus carpio)
Zat gizi Belut Daging sapi Telur ayam Ikan Mas Protein (gram) 14,0 18,8 12,8 16,0 Lemak (gram) 27,0 14,0 11,5 2,0
Karbohidrat(gram) 0,0 0,0 0,7 0,0 Kalori (kal) 303 207 162 36
Kalsium (mg) 20 11 54 20 Fosfor (mg) 200 170 180 150 Besi (mg) 1,0 2,8 2,7 2,0
Vitamin A (SI) 1600 20 900 150 Kadar Air (gram) 58,0 66,0 74,0 80,0
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
2.2 Diversifikasi Pengolahan Ikan
Diversifikasi merupakan salah satu cara penganekaragaman jenis produk
olahan hasil perikanan dari bahan baku yang belum atau sudah dimanfaatkan
dengan tetap memperhatikan faktor mutu dan gizinya sebagai usaha peningkatan
konsumsi produk perikanan baik kualitas maupun kuantitas dan peningkatan nilai
jualnya. Salah satu bentuk diversifikasi pengolahan ikan yaitu dalam bentuk
produk sosis ikan dan bandeng isi.
Sosis merupakan produk daging giling yang bersifat kenyal dan berbentuk
silinder dengan pembungkusan khusus yang disebut casing. Produk ini sangat
popular terutama di Jepang dan dipasarkan dalam berbagai kemasan seperti dalam
kantong plastik, kaleng, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri sosis ini dikenal
baik hanya oleh golongan masyarakat tertentu saja karena mempunyai harga yang
relatif mahal (BPPP 1991). Sosis ikan merupakan daging ikan cincang atau
sebagian besar daging ikan cincang yang dicampur dengan daging babi cincang,
sapi, kuda, kelinci atau unggas yang ditambahkan minyak, bumbu dan pati
sebagai pengisi. Campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam casing dan diikat,
setelah itu diuapkan atau direbus (Tanikawa 1971).
Makanan Jawa Tengah telah dikenal oleh selera Jawa. Makanan Jawa Timur
dapat dibedakan dengan selera Jawa Tengah yaitu cenderung menonjol rasa
asinnya, sementara masakan Jawa Tengah cenderung sangat manis, termasuk
gudeg Yogyakarta, masakan Semarang, dan lain-lain. Semarang dikenal sebagai
penghasil makanan khas bandeng presto yang digunakan untuk ole h-oleh dengan
aneka variasi, karena Semarang merupakan penghasil bandeng yang besar dan
terkenal. Ikan bandeng, selain enak digoreng dan dipindang, juga dapat dimasak
dengan cara lain, yaitu menjadi bandeng isi. Cara membuatnya antara lain sebagai
berikut: bahan yang digunakan yaitu 1 ekor ikan bandeng ukuran sedang, sisik dan
bagian perut dibersihkan tanpa merobek bagian perutnya. Seratus gram kelapa
parut, sangrai sebentar saja dengan api sedang (2-3 menit). Sedangkan bumbu
yang digunakan adalah cabai merah, bawang putih, bawang merah, ketumbar
sangrai, jintan sangrai, kemiri sangrai, dan garam secukupnya. Tulang ekor ikan
dipatahkan dengan cara menekukkan ekor ikan. Setelah itu ikan dipukul-pukul
dengan sendok kayu agar dagingnya lunak. Daging ikan dikeluarkan dengan
perlahan-lahan agar kulit ikan tidak robek dan bersihkan daging dari duri-duri
ikan. Daging ikan di campur dengan bumbu halus dan kelapa sangrai, lalu
dimasukkan ke dalam kulit ikan sambil dipadatkan. Alumunium foil atau daun
pisang yang sudah diolesi minyak digunakan untuk membungkus bandeng
tersebut. Ikan dimasak dengan cara dikukus selama kurang lebih 30 menit.
2.3 Pengolahan Belut
Daging belut dapat diolah menjadi berbagai macam jenis masakan. Daging-
daging belut tersebut dapat diolah dengan cara yang sampai saat ini dikenal yaitu
dengan cara digoreng, dibuat dendeng belut, selai belut, dan lain-lain.
2.3.1 Penggorengan
Menurut Dogerskog (1977), penggorengan merupakan proses transfer panas
melalui medium minyak, dimana suhu permukaan dapat mencapai lebih dari
100oC. Menggoreng ditandai dengan terjadinya proses dehidrasi permukaan,
pengerasan bentuk dan reaksi pencoklatan (browning) bila selesai digoreng dan
diletakkan pada lingkungan kering. Dengan menggoreng, permukaan (kulit)
produk akan menjadi coklat dan menarik. Rasa produk yang digoreng menjadi
gurih sehingga menimbulkan selera makan. Dalam deep fat frying atau
menggoreng produk di dalam volume minyak yang banyak, suhu minyak goreng
akan mencapai 180oC setelah produk digoreng selama 3 menit dan suhu di dalam
produk akan mencapai 68oC (Dogerskog 1977). Suhu penggorengan merupakan
salah satu faktor yang akan menentukan mutu hasil gorengan. Suhu penggorengan
mempengaruhi penampakan, flavor, lemak yang terserap, dan stabilitas
penyimpanan, serta faktor ekonomi (Ketaren 1986).
Secara umum semakin lama makanan digoreng makin banyak minyak yang
terserap. Suhu minyak yang rendah akan menyebabkan terjadinya kekerasan yang
tidak diinginkan pada makanan (bantat). Semakin luas permukaan bahan yang
digoreng makin banyak minyak yang terserap (Suman 1983). Bahan pangan yang
digoreng mempunyai permukaan luar yang berwarna coklat keemasan.
Munculnya warna ini disebabkan karena reaksi maillard. Tingkat intensitas warna
ini tergantung dari lama, suhu menggoreng, dan komposisi kimia pada permukaan
luar bahan pangan, sedangkan jenis lemak yang digunakan berpengaruh sangat
kecil terhadap warna permukaan bahan pangan (Ketaren 1986).
2.3.2 Dendeng belut
Dendeng merupakan produk semi basah yang banyak diminati oleh
masyarakat, produk ini terbuat dari daging yang dibumbui lalu dikeringkan. Cara
membuatnya antara lain sebagai berikut: belut dibersihkan dengan cara
membuang bagian kepala, isi perut dan insangnya. Potongan badan belut
ditelentangkan di atas talenan, kemudian ditumbuk agar bentuknya menipis dan
melebar (Sarwono 1999). .
Belut dicuci bersih, kemudian belut direndam dalam bumbu dendeng yang
terbuat dari bawang merah, ketumbar, jintan, gula, asam, dan bawang putih.
Setelah direndam dalam bumbu selama 20 menit, daging belut dikeringkan di
bawah panas matahari. Untuk menghindari kerumunan lalat dan kerusakan oleh
mikroba, sebaiknya dibuatkan pengeringan khusus dari plastik (rumah plastik)
(Sarwono 1999).
2.3.3 Selai belut
Salah satu bentuk pengolahan belut adalah dengan dibuat selai belut. Proses
pembuatannya adalah sebagai berikut: belut setelah dibuang isi perutnya, dikuliti,
dihilangkan kepala, dipotong-potong, dicuci bersih, dan ditiriskan. Suatu larutan
disiapkan antara dua bagian cuka dengan satu bagian air, lalu dimasak. Setelah
mendidih potongan-potongan daging belut dimasukkan ke dalam larutan tersebut
dan merebusnya jangan sampai terlalu masak (Sarwono 1999).
Daging dikeluarkan dari air rebusan, lalu ditiriskan sampai semua airnya
tidak la gi menetes ke bawah. Dalam air perebusan masukan bumbu yang terdiri
dari merica, cengkeh, daun salam, sepotong kulit sitrun dan garam, ditambahkan
sedikit agar-agar. Bumbu direbus selama 15 menit. Selanjutnya air masakan
bumbu disaring. Potongan-potongan belut ditaruh dalam botol penyimpanan, lalu
dituangi daging tersebut dengan air bumbu yang telah dingin. Selanjutnya botol
ditutup baik-baik (Sarwono 1999).
2.4 Belut Isi
Belut isi merupakan makanan yang dibuat dari daging belut cincang yang
dicampur bumbu-bumbu seperti garam, bawang putih, bawang merah, cabai
merah, jintan, kemiri, ketumbar, kelapa sangrai dan dimasukkan kedalam kulit
belut dan diikat, setelah itu dimasak dengan dikukus. Langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam pembuatan belut isi adalah mengacu pada pembuatan bandeng
isi, yaitu sebagai berikut (Hermawan 2004).
(1) Persiapan bahan
Belut dimatikan dengan cara memukul bagian kepalanya dan dibersihkan dari
kotoran disekitar kulit. Lendir yang melekat pada belut dicuci sampai bersih.
Untuk memudahkan menghilangkan lendir bisa dengan cara memberikan abu
gosok. Belut yang telah dibersihkan direndam dalam larutan air jeruk nipis
dengan konsentrasi 5 % dan lama perendaman selama 5 menit.
(2) Pengkulitan
Proses pelepasan kulit dengan daging dapat dilakukan dengan cara menyayat
kulit dibagian bawah kepala dan menariknya ke arah ekor.
(3) Pelumatan
Ikan dicuci kemudian disiangi. Isi perut, kepala dan ekor harus dibuang.
Setelah dicuci dibuat daging fillet dan membuang tulangnya. Fillet kemudian
dimasukkan ke dalam alat penggiling untuk mendapatkan daging lembut yang
homogen.
(4) Pemberian bumbu
Bumbu dibersihkan dan digerus halus. Campuran daging belut dan bumbu
dimasukkan ke dalam kulit belut dan dimasak dengan dikukus.
(5) Penggorengan
Belut yang sudah dikukus digoreng dengan minyak sampai berwarna
kecoklatan. Penggorengan dilakukan pada keadaan api konstan dan sama.
2.4.1 Bahan baku utama
Belut yang masih hidup atau baru saja ditangkap sangat bagus untuk diawet
atau diasap. Belut yang masih baru padat dagingnya, mata jernih, insang merah,
dan bagus warnanya (Sarwono 2003).
Sebelum diolah atau diawetkan daging belut perlu dibersihkan dulu dari
lendirnya. Untuk memudahkan menghilangkan lendir dapat dilakukan dengan cara
memberi abu atau menetesinya dengan air jeruk, selanjutnya belut tersebut dicuci
bersih (Sarwono 2003).
2.4.2 Bahan tambahan
Setelah belut dibersihkan, daging dilepaskan dari kulit dimana kulit jangan
sampai robek. Kemudian daging belut dihancurkan dengan terlebih dahulu
membuang tulang dari ikan tersebut, lalu dicampur dengan bumbu-bumbu yang
telah ditentukan, terakhir daging belut dimasukkan kembali ke dalam kulit ikan
belut.
Bumbu atau rempah-rempah adalah bahan yang berasal dari tumbuhan yang
biasa dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk memberikan flavor dan
dapat membangkitkan selera makanan (Somaatmadja 1985). Selain itu menurut
Winarno (1997), bumbu juga dapat meningkatkan mutu seperti aroma, warna,
tekstur dan lain -lain pada waktu pengolahan makanan.
2.4.2.1 Garam
Garam merupakan komponen bahan makanan yang ditambahkan dan
digunakan sebagai penegas cita rasa, bahan pengawet dan bahan untuk
melepaskan adonan pada industri roti. Garam mungkin terdapat secara alamiah
dalam makanan atau ditambahkan pada waktu pengolahan dan penyajian
makanan. Makanan yang mengandung kurang dari 0,3 % garam akan terasa
hambar dan tidak disukai (Winarno et al. 1980).
Garam mengandung tidak kurang dari 97,5 % natrium klorida setelah
dikeringkan. Pada konsentrasi rendah (1-3 %) garam tidak bersifat membunuh
mikroorganisme (germisidal) tetapi hanya sebagai bumbu yang akan memberi cita
rasa gurih pada bahan pangan yang ditambahkan (Zaitsev et al. 1969 ). Garam
yang dicampurkan ke dalam daging ikan harus mempunyai konsentrasi tertentu.
Suzuki (1981) menyatakan ba hwa garam yang ditambahkan berkisar antara 2-3 %
dari berat ikan yang digunakan.
2.4.2.2 Bawang putih (Allium longicuspis)
Bawang putih (Allium longicuspis) telah dikenal sebagai bumbu maupun
obat-obatan. Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk
meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih merupakan bahan
alami yang biasanya ditambahkan ke dalam makanan. Bau khas bawang putih
berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur. Karakteristik
bawang putih akan muncul apabila terjadi pemotongan atau pengrusakan jaringan
(Palungkun dan Budiarti 1992).
Allicin adalah komponen utama yang berperan memberi aroma bawang
putih dan merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-
kuman penyakit (bersifat anti bakteri). Allicin berperan ganda membunuh bakteri,
yaitu bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif karena mempunyai gugus
asam amino para amino benzoat (Palungkun dan Budiarti 1992).
2.4.2.3 Bawang merah (Allium cepa, L)
Bawang merah banyak dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap makanan.
Adanya kandungan minyak atsiri dapat menimbulkan aroma yang khas dan
memberikan cita rasa yang gurih serta mengundang selera. Disamping
memberikan cita rasa, kandungan minyak atsiri juga berfungsi sebagai pengawet
karena bersifat fungisida untuk bakteri dan cendawan tertentu (Rahayu dan
Berlian 1994).
Bawang merah (Allium cepa , L) juga berfungsi sebagai bahan pengawet dan
aromanya kuat (Wibowo 1991). Karakteristik bau dipengaruhi oleh kandungan
minyak volatil yang sebagian besar terdiri dari komponen sulfur. Komponen
volatil tidak terdapat dalam sel secara utuh. Ketika sel pecah terjadi reaksi enzim
liase dan komponen flavor seperti metil dan turunan propil (Lewis 1984). Bawang
merah mengandung allin yang karena sesuatu hal berubah menjadi allicin. Setelah
bereaksi dengan vitamin B1 berubah menjadi alitiamin. Zat ini membentuk
vitamin B1 menjadi lebih efisien dimanfaatkan oleh tubuh (Wibowo 1991).
2.4.2.4 Ketumbar (Coriandrum sativum L.)
Rempah-rempah seperti ketumbar sering ditambahkan dalam campuran
curing untuk pemberian aroma yang diinginkan. Manfaat ketumbar untuk
menghilangkan bau anyir, menimbulkan bau sedap, menimbulkan rasa pedas yang
gurih dan menyedapkan makanan (Zaitsev et al. 1969). Biji ketumbar dapat
dimanfaatkan sebagai obat peluruh dahak, penambah nafsu makan, pusing dan
masuk angin. Minyak dari biji ketumbar terutama mengamdung d-linalol
(60-70 %) yang menjadi penyebab bau, geraniol, borneol, strironelol, bermacam-
macam ester, keton, dan aldehida (Syukur dan Hernani 1999).
Daunnya yang dikenal dengan nama wansui (Cina) digunakan untuk bumbu
dalam makanan Tionghoa bersama-sama bawang cina dan kucai. Ketumbar
banyak ditanam di daerah pegunungan untuk diambil buahnya yang biasanya
untuk bumbu daging, kari, dan kimlo. Biasanya biji ketumbar dijual bersama biji
jintan dan dikenal dengan nama ketumbar jintan (Soediarto et al. 1978).
2.4.2.5 Jintan (Coleus amboinicus)
Jintan (Coleus amboinicus) merupakan suatu tumbuhan jenis rumput-
rumputan, mempunyai batang dan tangkai berkayu. Jintan biasanya ditanam di
kebun-kebun di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas
permukaan laut. Batangnya lunak dan berair, dan tepinya bergerigi. Daun jintan
memiliki bau yang khas dan bermanfaat untuk pengobatan. Pengembangbiakan
tanaman ini dapat dilakukan dengan cara stek dan dapat ditanam dalam pot
maupun ditanam langsung di tanah. Jintan tumbuh di tempat-tempat yang tidak
terlalu banyak kena sinar matahari dan airnya cukup (tidak terlalu kering).
Sifat kimia dan efek farmakologis dari jintan adalah sebagai berikut: rasa
pahit, agak dingin, penurun panas (antipiretik), anti radang (anti inflamasi),
menghentikan perdarahan, melancarkan peredaran darah, astringen. Pada jintan
terdapat kandungan kimia yaitu phytosterin-B (IPTEK Net 2002). Bentuk pohon
jintan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Jintan (Coleus amboinicus)
2.4.2.6 Cabai merah (Capsium annum var. longum)
Cabai merah (Capsium annum var. longum) merupakan suatu komoditas
sayuran yang tidak dapat ditinggalkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Selain berguna sebagai penyedap masakan, cabai juga mengandung zat gizi yang
sangat diperlukan untuk kesehatan manusia. Cabai mengandung protein, lemak,
karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin dan mengandung
senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavonoid, dan minyak essensial
(Prajnanta 1995). Kandungan gizi cabai merah besar per 100 gram bahan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Rasa pedas pada cabai ditimbulkan oleh zat capsaicin. Capsaicin terdapat
pada biji cabai dan pada plasenta, yaitu kulit cabai bagian dalam yang berwarna
putih tempat melekatnya biji. Rasa pedas tersebut bermanfaat untuk mengatur
peredaran darah, memperkuat jantung, nadi, dan syaraf (Prajnanta 1995).
Tabel 2. Kandungan gizi cabai merah besar per 100 gram bahan
Kandungan gizi Cabai merah segar
Cabai merah kering
Kadar air (%) 90,9 10,0 Kalori (kal) 31,0 311 Protein (g) 1,0 15,9 Lemak (g) 0,3 6,2
Karbohidrat (g) 7,3 61,8 Kalsium (mg) 29,0 160 Fosfor (mg) 24,0 370 Besi (mg) 0,5 2,3
Vitamin A (SI) 470 576 Vitamin C (mg) 18,0 50,0
Vitamin B1 (mg) 0,05 0,4 Berat yang dapat dimakan/BDD (%) 85 85
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1981) diacu dalam Prajnanta (1995)
2.4.2.7 Kemiri (Aleurites moluccana , Willd)
Menurut Dali dan Ginting (1981), tanaman kemiri mempunyai tinggi
25-70 meter dan beranting banyak. Bunga kemiri merupakan bunga majemuk
berumah satu, berwarna putih dan bertangkai pendek. Buah kemiri berkulit tebal,
berdiameter sekitar 5 cm, di dalamnya terdapat satu atau dua biji yang diselubungi
kulit biji (tempurung) yang keras dengan permukaan kasar dan beralur. B iji kemiri
merupakan bagian tanaman yang paling bernilai ekonomis dan paling banyak
digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Daging biji kemiri memiliki kadar
gizi dan energi yang sangat tinggi. Data mengenai kandungan gizi yang terdapat
pada daging biji kemiri selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Buah kemiri tidak dapat langsung dimakan mentah karena beracun yang
disebabkan oleh toxolbumin. Persenyawaan toxolbumin dapat dihilangkan dengan
cara pemanasan dan dapat dinetralkan dengan penambahan bumbu lainnya seperti
garam, merica, dan terasi (Ketaren 1986).
Tabel 3. Kandungan gizi per 100 gram daging biji kemiri
Komponen Gizi Jumlah terkandung Energi (kal) 636 Protein (g) 19 Lemak (g) 63
Karbohidrat (g) 8 Kalsium (mg) 80 Fosfor (mg) 200 Besi (mg) 2
Vitamin B (mg) 0,06 Air (g) 7
Sumber : Ketaren (1986)
2.4.2.8 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia )
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) sebagai penyedap atau bumbu masakan
banyak dipakai dalam pengolahan masakan daging dan ikan. Pada beberapa
masakan segar tertentu, jeruk nipis dikenal sebagai penyegar dan penyedap. Selain
dikenal sebagai pengganti cuka, jeruk nipis yang masih dalam keadaan segar
tanpa adanya kerusakan karena panas (suhu dibawah 40oC) dapat digunakan untuk
membumbui daging dan ikan, membantu menghilangkan bau amis dan tak sedap,
juga dapat mengempukkan daging yang alot (daging yang keras) (Sarwono 1986).
Bentuk jeruk nipis dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)
Jeruk nipis mengandung unsur-unsur senyawa kimia yang bemanfaat,
misalnya: limonen, linalin asetat, geranil asetat, fellandren, dan sitral. Di samping
itu jeruk nipis mengandung asam sitrat. Seratus gram (100 gram) buah jeruk nipis
mengandung: vitamin C 27 miligram, kalsium 40 miligram, fosfor 22 miligram,
hidrat arang 12,4 gram, vitamin B 1 0,04 miligram, zat besi 0,6 miligram,
lemak 0,1 gram, kalori 37 gram, protein 0,8 gram dan air 86 gram
(IPTEK Net 2002).
2.4.2.9 Kelapa (Cocos nucifera L)
Daging buah kelapa adalah jaringan yang berasal dari inti lembaga yang
dibuahi sel kelamin jantan dan membelah diri. Daging buah kelapa berwarna
putih, lunak, dan tebalnya 8-10 mm. Daging buah ini merupakan sumber protein
yang penting dan mudah dicerna. Jumlah protein terbesar terdapat pada kelapa
yang setengah tua. Sedangkan kandungan kalorinya mencapai maksimal ketika
buah sudah tua, demikian pula dengan kandungan lemaknya. Buah kelapa akan
maksimal kandungan aktivitas vitamin A dan thiaminnya ketika buah setengah tua
(Palungkun 1993).
Buah kelapa yang sudah tua mengandung kalori yang tinggi,
sebesar 359 kal per 100 gram; daging kelapa setengah tua mengandung 180 kalori
per 100 gram dan daging kelapa muda mengandung 68 kalori per 100 gram.
Sedang nilai kalori rata-rata yang terdapat pada air kelapa berkisar 17 kalori per
100 gram. Air kelapa hijau, dibandingkan dengan jenis kelapa lain banyak
mengandung tanin atau antidotum (anti racun) yang paling tinggi. Kandungan zat
kimia lain yang menonjol yaitu berupa enzim yang mampu mengurai sifat racun.
Komposisi kandungan zat kimia yang terdapat pada air kelapa antara lain asam
askorbat atau vitamin C, protein, lemak, hidrat arang, kalsium atau potassium.
Mineral yang terkandung pada air kelapa ialah zat besi, fosfor dan gula yang
terdiri dari glukosa, fruktosa dan sukrosa. Kadar air yang terdapat pada buah
kelapa sejumlah 95,5 gram dari setiap 100 gram (IPTEK Net 2002).
2.5 Penilaian Organoleptik
Penilaian organoleptik yaitu suatu disiplin ilmu yang digunakan untuk
mengungkapkan, mengukur, menganalisis dan menginterpretasikan reaksi-reaksi
seseorang terhadap karakteristrik pangan atau bahan lainnya yang dinyatakan oleh
penglihatan, perasa, dan peraba (Prell 1976, diacu dalam Nasoetion 1988).
Pengujian organoleptik mempunyai macam-macam cara pengujian yang
paling populer. Selain itu, terdapat dua pengujian yang lain yaitu pengujian skalar
dan pengujian deskripsi. Pada uji skalar, panelis diminta menyatakan besaran
kesan yang diperolehnya. Besaran itu dapat dinyatakan dalam bentuk besaran
skalar atau dalam bentuk skala numerik. Pengujian deskripsi merupakan penilaian
sensorik yang berdasarkan sifat-sifat sensorik yang lebih kompleks, meliputi
banyak sifat sensorik. Pengujian skalar dan pengujian deskripsi banyak digunakan
dalam pengawasan mutu (quality control). Parameter yang diuji dalam penilaian
organoleptik meliputi penampakan, aroma, warna, rasa dan teks tur
(Soekarto 1985).
2.6 Pengolahan dan Penyajian
Menurut Wirakusumah (1991), pengolahan adalah suatu proses perubahan
dari bahan makanan mentah atau makanan setengah jadi menjadi makanan yang
siap dihidangkan. Pengolahan adalah suatu proses kegiatan pemasakan seperti
membakar, merebus, menggoreng, mengetim, dan menumis.
Teknik yang digunakan untuk memasak ikan menurut Direktorat Bina Gizi
Masyarakat 1990, diacu dalam Sudaryani 2004 adalah sebagai berikut :
(1) merebus (boiling), yaitu memasak bahan makanan dalam cairan mendidih;
(2) mengukus (steaming), yaitu cara memasak dengan memanfaatkan uap air
mendidih; (3) sistem deep frying, yaitu memasak makanan dalam minyak panas
dan banyak; (4) menumis (sauting), yaitu memasak bahan makanan dengan
menggunakan mentega/minyak dalam jumlah sedikit; (5) sistem roasting , yaitu
memasak dengan membubuhkan mentega/minyak lalu dipanggang di dalam oven
dengan temperatur 200oC; dan (6) sistem bakar, yaitu memasak bahan makanan
dalam bara api.
Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem
jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Pengukusan
sebelum pengeringan terutama untuk menginaktifkan enzim yang akan
menyebabkan perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki
selama penyimpanan (Harris dan Karmas 1989).
Proses pemanfaatan panas merupakan salah satu tahap penting dalam
pengolahan ikan. Pemanasan yang diupayakan pada ikan adalah untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, seperti mempertahankan mutu ikan,
perbaikan terhadap cita rasa dan tekstur, nilai gizi dan daya cerna
(Harikedua 1992).
Perlakuan dengan cara pemanasan dapat menyebabkan protein ikan
terdenaturasi, demikian juga dengan enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan
(Lovern 1962). Pada suhu 100oC protein akan terkoagulasi dan air dalam daging
akan keluar. Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa dan akan
terdenaturasi, terjadi peningkatan kandungan senyawa bernitrogen, ammonium
dan hidrogen sulfida dalam daging. Pada daging tidak terjadi pemecahan
vitamin D, riboflavin, tiamin atau asam nikotin, tetapi jelas kehilangan vitamin A
(Zaitsev et al. 1969).
Adapun tujuan dilakukan pengukusan adalah untuk mengurangi kadar air
dalam bahan baku, sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Dalam pengukusan
diterapkan proses suhu tinggi dan penambahan air sehingga menyebabkan proses
gelatinasi pati (Harris dan Karmas 1989).
Menurut [Depdikbud] 1988, penyajian adalah proses, perbuatan, atau cara
menyajikan atau mengatur penampilan. Saat tuntutan konsumen untuk
memperoleh produk-produk yang lebih segar, lebih aman, makanan yang lebih
ramah lingkungan, perusahaan-perusahaan manufaktur terus berusaha untuk
memenuhi dengan menyediakan makanan-makanan siap santap dan penyajian
yang lebih mudah yang tetap segar dan bergizi tetapi juga berpenampilan menarik,
aroma dan rasa yang lezat, serta memiliki daya tahan yang lebih lama. Salah
satunya di Taman Bumbu Restoran, untuk penyajian nasi timbel misalnya, tidak
lagi menggunakan piring biasa, tapi dilapisi dengan daun layaknya tradisi
penyajian nasi timbel. atau penyajian nasi putih dengan memadatkannya seperti
kue putu.
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2005,
bertempat di Laboratorium Fisika-Kimia Hasil Perikanan dan Laboratorium
Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan belut
(Monopterus albus) dengan berat 150 gram per ekor. Selain itu digunakan bahan
tambahan lainnya seperti kelapa sangrai, jeruk nipis, garam, bawang putih,
bawang merah, ketumbar, cabai merah, jintan dan kemiri.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kompor, baskom,
wajan, pisau, kukusan, alat penggiling (blender), sodet, sendok kayu, dan
alumunium foil. Sedangkan alat yang digunakan untuk uji organoleptik adalah
lembaran score sheet, ballpoint dan piring-piring untuk penyajian.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan
dan penelitian utama.
3.3.1 Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari komposisi bumbu yang
disukai panelis dalam pembuatan belut isi berdasarkan uji organoleptik. Perlakuan
yang dilakukan adalah penambahan kelapa sangrai sebayak 10 gram, 20 gram, dan
30 gram. Komposisi bumbu yang digunakan dalam pembuatan belut (Monopterus
albus) isi dapat dilihat pada Tabel 4.
Ikan belut segar dimatikan dengan cara memukul bagian kepalanya. Belut
yang sudah mati dibersihkan dari lendir dan kotoran di sekitar kulit. Lendir
tersebut dapat dihilangkan dengan menggunakan abu gosok. Setelah bersih dari
lendir, kepala ikan belut dipotong. Perendaman belut (Monopterus albus) dalam
larutan jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dengan konsentrasi 5 % dan lama
perendaman selama 5 menit dilakukan untuk menghilangkan bau amis pada ikan.
Tabel 4. Komposisi bumbu yang digunakan dalam pembuatan belut (Monopterus albus ) isi
Bahan Jumlah Daging belut 150 gram
Kelapa parut(sangrai) 10 ;20 ;30 gram Cabai merah 2 gram
Bawang merah 5 gram Bawang putih 3,8 gram
Ketumbar (sangrai) 1,4 gram Jintan (sangrai) 0,3 gram
Kemiri (sangrai) 1,9 gram Garam 3,5 gram
Ikan dikuliti dengan cara terlebih dahulu menyayat kulit pada daging bagian
kepala dengan menggunakan pisau tajam. Kulit yang sedikit terpisah dari daging
itu kemudian ditarik mengarah ke belakang dan ke bawah dengan menggunakan
tangan secara hati-hati agar kulit tidak robek. Daging yang diperoleh dibersihkan
kemudian diiris bagian punggung mulai dari bagian kepala menuju ekor.
Pengirisan dilanjutkan kearah bagian dalam mengikuti tulang belakang menuju
perut. Sesampai di perut isinya dikeluarkan hingga tulang belakang mudah
dikeluarkan. Daging belut yang sudah bersih dihaluskan dengan mesin penggiling
dan dicampur dengan bumbu-bumbu yang telah disiapkan. Daging yang telah
tercampur dengan bumbu dimasukkan kembali kedalam kulit belut dan dikukus.
Proses pembuatan belut isi dapat dilihat pada diagram alir Gambar 4.
3.2.1 Penelitian utama
Hasil dari penelitian pendahuluan dikembangkan lebih lanjut pada berbagai
bentuk dan teknik penyajian. Bentuk produk sosis, rolade, dan sosis belah. Bentuk
sosis menyerupai bentuk lurus, didapat dengan cara memasukkan daging belut ke
dalam kulit dan diikat, bentuk rolade diperoleh dengan cara membelah kulit
sehingga berbentuk segiempat dan meletakkan daging diatas kulit sampai rata dan
digulung, sedangkan bentuk sosis belah diperoleh dari bentuk sosis yang dibelah
setengah. Dari semua bentuk tersebut kemudian dimasak dengan cara dikukus dan
dikukus goreng. Kemudian terhadap belut isi tersebut akan dilakukan uji
organoleptik terhadap penampakan dan warna.
3.2.2 Uji Organoleptik (Soekarto 1985)
Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan yang menyangkut
penilaian panelis terhadap sifat produk. Dalam uji ini panelis diminta tanggapan
pribadinya tentang kesukaan dan ketidaksukaannya. Skor penilaian organoleptik
adalah 1 sampai 9 yang dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Uji
organoleptik ini dilaksanakan dengan cara menyajikan belut isi berdasarkan kode
tertentu dan panelis diminta untuk memberikan penilaiannya pada score sheet
yang telah disediakan. Parameter organoleptik yang diamati meliputi
penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Untuk penelitian utama uji
organoleptik khusus ditekankan pada penampakan dan warna.
Ikan belut
↓ Pencucian
↓
Perendaman dalam larutan jeruk nipis (konsentrasi 5%, lama perendaman 5 menit)
↓
Pemukulan ikan dengan sendok kayu
↓ Pengeluaran daging ikan
↓
Pencampuran daging dengan bumbu
↓ Pemasukkan daging dalam kulit ikan, pemadatan.
Desain penampilan produk(sosis dan sosis belah, kecuali bentuk rolade)
↓ Pengukusan(± 30 menit)
↓
Penggorengan
↓ Belut isi
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan belut isi
3.3.2 Rancangan Percobaan
Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap belut isi, maka data
yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik non-parametrik.
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian utama meliputi bentuk sosis, rolade,
dan sosis belah dengan cara dikukus dan dikukus goreng. Analisis non parametik
dilakukan untuk pengujian organoleptik dengan skala hedonik menggunakan uji
Kruskal Wallis (Steel dan Torrie 1991) dan jika hasil analisis berbeda nyata maka
dilanjutkan dengan uji Multiple Comparisson. Rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut :
H = ( ) ( )131
12+−
+
∑ nni
Rix
nn
Faktor Koreksi = ( )1)1(1
+−− ∑
nnn
T
∑T = (t-1) t (t+1)
H’ = KoreksiFaktor
H
Keterangan : n = jumlah data
Ri = jumlah rangking pada perlakuan ke-I
ni = jumlah data pada perlakuan ke-I
T = jumlah skor yang jamak
FK = Faktor koreksi
Jika H’ < X2 tabel, maka terima HO
Jika H’ >X2 tabel, maka tolak HO dan dilanjutkan dengan uji Multiple
Comparisson dengan rumus sebagai berikut :
6
)1(2/
KnPZXRjRi
+− α dengan α = 0.05
Ri = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i
RJ = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j
K = Banyaknya ulangan
n = Jumlah total data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui formulasi bumbu
yang disukai oleh panelis berdasarkan uji organoleptik (uji hedonik) pada produk
ikan belut isi. Uji organoleptik pada produk ikan belut isi meliputi parameter
penampakan, aroma, rasa, warna dan tekstur dengan kriteria 1-9 (Lampiran 1).
Jumlah panelis yang diikutsertakan pada pengujian organoleptik ini adalah
30 orang dengan spesifikasi panelis semi terlatih. Nasoetion (1988)
mengemukakan bahwa faktor -faktor yang mempengaruhi kualitas suatu hidangan
tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan digambarkan
sebagai lingkaran kualitas inderawi suatu hidangan.
4.1.1 Penampakan
Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai dalam
mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan produk baik atau disukai,
maka konsumen baru akan melihat karakteristik yang lainnya (aroma, rasa dan
seterusnya). Meskipun penampakan tidak menentukan tingkat kesukaan
konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan
konsumen terhadap suatu produk. Konsumen biasanya menyukai produk dengan
bentuk utuh, permukaan rata dan warna yang menarik sesuai dengan karakteristik
produk tersebut (Soekarto 1985). Hasil penelitian pendahuluan terhadap parameter
penampakan adalah sebagai berikut dengan nilai rata-rata penilaian panelis
terhadap penampakan ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 5.
Berdasarkan uji organoleptik, diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap penampakan ikan belut isi adalah antara 2-8, yang secara deskriptif
berkisar antara amat tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 3). Nilai rata-rata
tertinggi pada penampakan terletak pada ikan belut isi perlakuan K10G
(penambahan kelapa sangrai 10 gram kukus goreng) dengan nilai rata -rata
organoleptik 6,16 (agak suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi
perlakuan K10K (penambahan kelapa sangrai 10 gram kukus) dengan nilai rata-
rata organoleptik 4,90 (agak tidak suka). Belut isi dengan perlakuan K10G
memiliki nilai tertinggi karena memiliki penampakan yang kering dibandingkan
dengan perlakuan K10K yang penampakannya agak basah.
6,16
4,905,865,805,80 5,63
01234567
K30K K30G K20K K20G K10K K10G
Kode perlakuan
rata
-ra
ta k
es
uk
aa
n
terh
ad
ap
pe
na
mp
ak
an
Keterangan :
K30K : kelapa 30 gram, kukus K20G: kelapa 20 gram, kukus goreng K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus
K20K : kelapa 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng Gambar 5. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap penampakan pada
penelitian pendahuluan.
Dari hasil uji Kruskal Wallis, diketahui bahwa perbedaan kelapa sangrai
pada formulasi bumbu mempengaruhi kesukaan panelis terhadap penampakan.
Hasil uji Kruskal Wallis tingkat kesukaan terhadap penampakan dapat dilihat pada
Lampiran 8a. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa ikan
belut isi dengan perlakuan K10G berbeda nyata dengan K10K, tapi K10G tidak
berbeda nyata dengan K20G, K20K, K30G dan K30K. Artinya penampakan
K10G, K20G, K20K, K30K, dan K30G cenderung sama. Panelis lebih menyukai
perlakuan K10G karena memiliki penampakan dan tekstur yang tidak terlalu padat
dan kering serta lebih mempertimbangkan faktor ekonomis. Menggoreng ditandai
dengan terjadinya proses dehidrasi permukaan, pengerasan bentuk, dan reaksi
pencoklatan bila selesai digoreng dan diletakkan pada lingkungan kering. Dengan
menggoreng produk akan menjadi coklat dan menarik (Dogerskog 1977). Hasil uji
lanjut Multiple Comparisons dapat dilihat pada Lampiran 9a.
4.1.2 Aroma
Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau tidak enaknya
makanan, bahkan aroma atau bau-bauan lebih kompleks daripada rasa, dan
kepekaan indera pembauan biasanya lebih tinggi dari indera pencicipan, bahkan
industri pangan menganggap sangat penting terhadap uji bau karena dapat dengan
cepat memberikan hasil penilaian apakah produk disukai atau tidak
(Soekarto 1985). Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap aroma ikan belut isi
dapat dilihat pada Gambar 6.
5,835,8
6,13
6,33
6,136,03
5.4
5.6
5.8
6.0
6.2
6.4
K30K K30G K20K K20G K10K K10G
Kode perlakuan
rata
-ra
ta k
es
uk
aa
n
terh
ad
ap
aro
ma
Keterangan : K30K : kelapa 30 gram, kukus K20G: kelapa 20 gram, kukus goreng K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus K20K : kelap a 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng Gambar 6. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma pada
penelitian pendahuluan.
Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap aroma ikan belut isi adalah antara 3-9, yang secara deskriptif berkisar
antara tidak suka sampai amat sangat suka (Lampiran 4). Nilai rata-rata tertinggi
pada aroma terletak pada ikan belut isi perlakuan K20K (penambahan kelapa
sangrai 20 gram kukus) dengan nilai rata-rata organoleptik 6,33 (agak suka),
sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi perlakuan K10K (penambahan
kelapa sangrai 10 gram kukus) dengan nilai rata -rata organoleptik 5,8 (biasa).
Hasil analisis statistik terhadap data organoleptik aroma ikan belut isi
dengan metode Kruskal-wallis (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa perlakuan
yang diberikan tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap aroma ikan
belut isi. Hal ini disebabkan panelis menganggap aroma yang timbul dari produk
ikan belut isi memiliki aroma yang hampir sama. Penambahan bumbu-bumbu
seperti cabai merah, bawang putih, bawang merah, ketumbar, kemiri, jintan dan
pemakaian jeruk nipis dapat menetralisir bau amis dari ikan belut, sehingga
panelis lebih mencium aroma spesifik jeruk dan bawang putih daripada kelapa
sangrai. Bawang putih mengandung senyawa alicin yang berperan memberi
aroma dan merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-
kuman penyakit. Karakteristik bawang putih akan muncul apabila terjadi
pemotongan atau pengrusakan jaringan (Palungkun dan Budiarti 1992). Selain itu,
jeruk nipis yang masih dalam keadaan segar tanpa adanya kerusakan karena panas
(suhu dibawah 40oC) dapat digunakan untuk membumbui daging dan ikan,
membantu menghilangkan bau amis dan tak sedap, juga dapat mengempukkan
daging yang alot (daging yang keras) (Sarwono 1986).
4.1.3 Rasa
Rasa memegang peranan penting dari keberadaan suatu produk. Dalam
kehidupan sehari-hari konsumen lebih menghargai dan bersedia membayar tinggi
makanan enak atau yang mereka senangi, tanpa mempertimbangkan komposisi
gizi atau sifat obyektif lainnya. Menurut Winarno (1997), rasa lebih banyak dinilai
menggunakan indera pengecap. Penginderaan cecapan dibagi
menjadi 4 cecapan utama yaitu asin, asam, manis, dan pahit. Rasa dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan
interaksi dengan komponen rasa lain. Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap
aroma ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 7.
Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap rasa ikan belut isi adalah antara 3-8, yang secara deskriptif berkisar
antara tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 5). Nilai rata-rata tertinggi pada
rasa terletak pada ikan belut isi perlakuan K30G (penambahan kelapa sangrai
30 gram kukus goreng) dengan nilai rata-rata organoleptik 6,43 (agak suka),
sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi perlakuan K20G (penambahan
kelapa sangrai 20 gram kukus goreng) dengan nilai rata-rata organoleptik
5,93 (biasa). Hal ini disebabkan produk ikan belut isi dengan perlakuan K30G
(penambahan kelapa sangrai 30 gram yang dikukus goreng) memiliki rasa yang
lebih enak dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Hasil analisis statistik terhadap data organoleptik rasa ikan belut isi dengan
metode Kruskal-wallis (Lampiran 8c) menunjukkan bahwa perlakuan yang
diberikan tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap rasa ikan belut isi.
Semua perlakuan yang diberikan menghasilkan rasa belut isi yang hampir sama
karena penambahan bumbu lebih berpengaruh terhadap rasa dibandingkan dengan
penambahan kelapa sangrai. Jadi karena penambahan bumbu untuk setiap
perlakuan relatif sama, maka rasa belut isi dinilai sama oleh panelis.
6,26
6,436,33
5,93
6,16
6,33
5.6
5.8
6.0
6.2
6.4
6.6
K 3 0 K K 3 0 G K 2 0 K K 2 0 G K10K K10G
Kode perlakuan
rata
-rat
a ke
suka
an
terh
adap
ras
a
Keterangan : K30K : kelapa 30 gram, kukus K20G : kelapa 20 gram, kukus goreng K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus K20K : kelapa 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng Gambar 7. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap rasa pada
penelitian pendahuluan.
4.1.4 Warna
Warna merupakan hasil indera mata yang biasa menjadi petimbangan dalam
memilih produk. Faktor warna penting bagi kebanyakan makanan baik yang
diproses maupun yang tidak diproses. Warna memegang peranan penting dalam
penerimaan makanan bersama -sama dengan bau, rasa, tekstur dan penampakan.
Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap aroma ikan belut isi dapat dilihat pada
Gambar 8.
Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap warna ikan belut isi adalah antara 2-8, yang secara deskriptif berkisar
antara amat tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 6). Nilai rata-rata tertinggi
pada warna terletak pada ikan belut isi perlakuan K20K dan K10G (penambahan
kelapa sangrai 20 gram kukus dan 10 gram kukus goreng) dengan nilai rata -rata
organoleptik 6,06 (agak suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi
perlakuan K10K (penambahan kelapa sangrai 10 gram kukus) dengan nilai rata-
rata organoleptik 4,93 (agak suka - biasa) .
6,064,93
5,66,065,966,03
0
2
4
6
8
K30K K30G K20K K20G K10K K10G
Kode perlakuanra
ta-r
ata
kesu
kaan
te
rhad
ap w
arna
Keterangan : K30K : kelapa 30 gram, kukus K20G: kelapa 20 gram, kukus goreng K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus K20K : kelapa 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng
Gambar 8. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pada penelitian pendahuluan.
Hasil uji Kruskal Wallis diketahui bahwa perbedaan kelapa sangrai pada
formulasi bumbu mempengaruhi kesukaan panelis terhadap warna. Hasil uji
Kruskal Wallis tingkat kesukaan terhadap warna dapat dilihat pada Lampiran 8d.
Hasil uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa ikan belut isi
dengan perlakuan K10G berbeda nyata dengan K10K, tapi tidak berbeda nyata
dengan K30K, K30G, K20K, dan K20G. Artinya K10G, K30K, K30G, K20K,
dan K20G cenderung sama. Panelis menyukai warna produk yang cerah yaitu
warna putih dan kecoklatan. Belut isi dengan perlakuan K30K dan K20K
memiliki warna putih, sedangkan perlakuan K30G, K20G, dan K10G memiliki
warna kecoklatan. Panelis lebih menyukai produk belut isi dengan warna
kecoklatan dengan penambahan kelapa sangrai sebanyak 10 gram (K10G) karena
lebih menarik dan lebih ekonomis dalam pembuatan belut isi dibandingkan
dengan produk perlakuan K20G. Belut isi berwarna kecoklatan disebabkan karena
terjadinya proses dehidrasi pada bagian luar bahan pangan pada waktu
menggoreng (Ketaren 1986), yang menyebabkan terjadinya perubahan warna pada
produk tersebut. Warna belut sebelum dimasak memiliki warna yang kuning
cerah, setelah mengalami proses pengukusan warna dari produk menjadi kuning
pucat. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons dapat dilihat pada Lampiran 9b.
Perubahan komponen-komponen warna belut isi dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Perubahan komponen warna belut isi
Warna kulit belut pada saat dikukus berwarna kuning cerah, setelah
dilakukan penggorengan warna kulit menjadi kecoklatan. Daging belut berwarna
putih keabuan, setelah ditambahkan bumbu dan kelapa sangrai warna dari daging
menjadi warna coklat. Warna dari produk yang digoreng berwarna coklat tapi
setelah dipotong warna bagian dalam berwarna kecoklatan.
4.1.5 Tekstur
Tekstur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen
terhadap suatu produk pangan. Tekstur terkadang lebih penting dari penampakan,
aroma, rasa, karena dapat mempengaruhi cita rasa makanan. Nilai rata-rata
penilaian panelis terhadap tekstur ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap tekstur ikan belut isi adalah antara 2-8, yang secara deskriptif berkisar
antara amat tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 7). Nilai rata-rata tertinggi
pada tekstur terletak pada ikan belut isi perlakuan K30K (penambahan kelapa
sangrai 30 gram kukus) dengan nilai rata-rata organoleptik 5,96 (agak suka),
sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi perlakuan K10K (penambahan
kelapa sangrai 10 gram kukus) dengan nilai rata -rata organoleptik 5,13 (biasa).
Hal ini dapat disebabkan penambahan kelapa sangrai pada produk
sebanyak 30 gram menghasilkan tekstur yang lebih kompak dan padat
dibandingkan dengan produk lain. Adapun tujuan dari pengukusan adalah
mengurangi kadar air dalam bahan baku, sehingga tekstur bahan menjadi kompak
(Harris dan Karmas 1989).
5,96
5,46
5,83 5,86
5,13
5,83
4.5
5.0
5.5
6.0
6.5
K30K K30G K20K K20G K10K K10G
Kode perlakuan
rata
-rat
a ke
suka
an
terh
adap
teks
tur
Keterangan : K30K : kelapa 30 gram, kukus K20G: kelapa 20 gram, kukus goreng K30G : kelapa 30 gram, kukus goreng K10K : kelapa 10 gram, kukus K20K : kelapa 20 gram, kukus K10G : kelapa 10 gram, kukus goreng
Gambar 10. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap tekstur pada penelitian pendahuluan.
Hasil analisis statistik terhadap data organoleptik tekstur ikan belut isi
dengan metode Kruskal-wallis (Lampiran 8e) menunjukkan bahwa perlakuan
yang diberikan tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap tekstur ikan
belut isi. Hal ini disebabkan penambahan kelapa sangrai menghasilkan tekstur
daging yang tidak padat pada semua perlakuan, sehingga tekstur dari belut isi
dianggap sama oleh panelis.
4.2 Penelitian Utama
Penelitian utama merupakan lanjutan dari penelitian pendahuluan. Dari hasil
penelitian pendahuluan diperoleh satu formulasi bumbu yang disukai oleh panelis
dengan cara organoleptik yaitu dengan memperhatikan parameter penampakan,
warna, aroma, rasa, dan tekstur. Dari parameter tersebut diperoleh formulasi
bumbu yang disukai oleh panelis yaitu formulasi bumbu dengan penambahan
kelapa sangrai sebanyak 10 gram. Hasil tersebut kemudian diaplikasikan dalam
bentuk penyajian ikan belut isi.
Penyajian bentuk belut isi meliputi tiga macam bentuk penyajian yaitu
bentuk sosis yang dikukus (a101), sosis yang dikukus goreng (a102), bentuk
rolade yang dikukus (a103), bentuk rolade yang dikukus goreng (a104), bentuk
sosis belah yang dikukus goreng (a105), dan bentuk sosis belah yang
dikukus (a106). Untuk mengetahui kesukaan panelis terhadap penyajian ikan belut
isi tersebut dilakukan uji organoleptik. Pada penelitian utama ini, uji organoleptik
lebih ditekankan pada penampakan dan warna dari belut isi yang disajikan.
Pengujian dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih
4.2.1 Penampakan
Penampakan merupakan parameter pertama yang dilihat oleh konsumen
sebelum membeli suatu produk makanan. Penginderaan tentang penampakan
biasanya berasal dari sentuhan yang dapat ditangkap oleh seluruh permukaan
kulit. Rangsangan sentuhan dapat bermacam-macam diantaranya rangsangan
mekanik, fisik, dan kimiawi (Soekarto 1985). Penampakan penyajian ikan belut isi
yang menarik akan menambah selera makan konsumen.
Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap penampakan ikan belut isi adalah antara 3-8, yang secara deskriptif
berkisar antara tidak suka sampai sangat suka (Lampiran 10). Hasil uji Kruskal
Wallis menunjukkan bahwa perbedaan bentuk penyajian ikan belut isi
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan. Hasil uji Kruskal
Wallis dapat dilihat pada Lampiran 12a. Nilai rata-rata tertinggi pada penampakan
terletak pada ikan belut isi bentuk rolade yang dikukus dengan nilai rata -rata
organoleptik 6,90 (suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi
dengan bentuk sosis belah yang dikukus goreng nilai rata-rata organoleptik 5,60
(biasa). Nilai rata -rata penilaian panelis terhadap penampakan ikan belut isi dapat
dilihat pada Gambar 11.
6,275,60
6,436,90
6,106,57
0
1
2
3
4
5
6
7
8
a101 a102 a103 a104 a105 a106
parameter penampakan
ra
ta
-ra
ta
ke
su
ka
an
te
rh
ad
ap
pro
du
k
Keterangan : a101 : bentuk biasa atau sosis, kukus a104 : bentuk rolade, kukus goreng a102 : bentuk biasa atau sosis, kukus goreng a105 : bentuk sosis dibelah, kukus goreng a103 : bentuk rolade, kukus a106 : bentuk sosis dibelah, kukus
Gambar 11. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap penampakan pada penelitian utama.
Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 13a) menunjukkan
perlakuan a103 berbeda nyata dengan a105, tapi tidak berbeda nyata dengan a101,
a102, a104, dan a106. Artinya a103, a101, a102, a104, dan a106 cenderung sama.
Panelis lebih menyukai penyajian belut isi dengan bentuk yang berbeda dari
bentuk awal belut isi yaitu belut isi dengan bentuk rolade yang dimasak dengan
dikukus yang terdapat pada perlakuan a103.
Penyajian produk belut (Monopterus albus) isi dengan bentuk sosis, bentuk
rolade, dan bentuk sosis dibelah yang dimasak dengan dikukus dan dikukus
goreng tanpa menggunakan aksesoris dalam penyajiannya, dapat dilihat pada
Gambar 12,13, dan 14.
Gambar 12. Produk belut isi dengan bentuk sosis yang dikukus dan dikukus goreng
Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan penampakan antara
produk yang dikukus dengan produk yang dikukus goreng. Panelis lebih
menyukai penampakan produk belut isi yang dimasak dengan dikukus
dibandingkan dengan produk belut isi yang dimasak dengan dikukus goreng.
Produk yang dikukus memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan dengan
warna produk yang dikukus goreng. Menggoreng ditandai dengan terjadinya
proses dehidrasi permukaan, pengerasan bentuk dan rea ksi pencoklatan
(browning) bila selesai digoreng dan diletakkan pada lingkungan kering
(Dogerskog 1977).
Gambar 13. Produk belut isi dengan bentuk rolade yang dikukus dan dikukus goreng
Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan penampakan
antara produk dengan bentuk rolade yang dikukus dengan produk yang dikukus
goreng. Secara deskriptif panelis lebih menyukai penampakan ikan belut isi yang
dimasak dengan dikukus dibandingkan dengan produk belut isi yang dimasak
dengan dikukus goreng. Pada produk yang dimasak dengan dikukus terlihat
bentuk gulungan dari rolade belut isi, sedangkan pada produk yang dikukus
goreng bentuk gulungan tidak terlalu jelas.
Gambar 14. Produk belut isi dengan bentuk sosis belah yang dikukus dan dikukus goreng
Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan penampakan antara
produk dengan bentuk sosis belah yang dikukus dengan produk yang dikukus
goreng. Secara deskriptif panelis lebih menyukai penampakan ikan belut isi yang
dimasak dengan dikukus dibandingkan dengan produk belut isi yang dimasak
dengan dikukus goreng. Dalam penyajian belut isi dengan bentuk sosis dibelah
perlu dilakukan secara hati-hati karena pada saat pembelahan bila tidak dilakukan
secara hati-hati dapat menyebabkan produk menjadi patah. Selain itu, proses
penggorengan juga mempengaruhi penampakan dari produk karena menyebabkan
terjadinya pengkerutan pada kulit ikan belut isi.
Secara deskriptif dari bentuk sosis, rolade dan bentuk sosis belah yang
dimasak dengan dikukus dan dikukus goreng, dapat diketahui bahwa penampakan
ikan belut isi dengan bentuk rolade kukus lebih disukai dibandingkan dengan
bentuk-bentuk penyajian yang lain. Hal ini disebabkan bentuk rolade yang
dikukus bentuknya lebih menarik atau jauh dari bentuk belut utuh yang
menyerupai bentuk ular, selain itu adanya bentuk gulungan pada produk
menambah daya tarik pada produk tersebut.
4.2.2 Warna
Warna merupakan salah satu parameter organoleptik untuk mendapatkan
penilaian paling awal, karena pada saat pelaksanaan penilaian mata merupakan
indera pertama yang memberikan reaksi. Warna juga dapat digunakan sebagai
indikator kesegaran atau kematangan. Baik atau tidaknya cara pencampuran atau
cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata
(Winarno 1997).
Berdasarkan uji organoleptik diketahui bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap warna ikan belut isi adalah antara 3-9, yang secara deskriptif berkisar
antara tidak suka sampai amat sangat suka (Lampiran 11). Hasil uji Kruskal
Wallis menunjukkan bahwa perbedaan bentuk penyajian ikan belut isi
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap warna. Hasil uji Kruskal Wallis
dapat dilihat pada Lampiran 12b. Nilai rata -rata tertinggi pada warna terletak pada
ikan belut isi bentuk rolade yang dikukus dengan nilai rata-rata organoleptik 6,53
(suka), sedangkan nilai terkecil terletak pada ikan belut isi dengan bentuk sosis
dibelah yang digoreng nilai rata-rata organoleptik 5,30 (biasa) . Nilai rata -rata
penilaian panelis terhadap warna ikan belut isi dapat dilihat pada Gambar 16.
Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 13b) menunjukkan
perlakuan a103 berbeda nyata dengan a105, tapi tidak berbeda nyata dengan a101,
a102, a104, dan a106. Artinya a103, a101, a102, a104, dan a106 cenderung sama.
Panelis lebih menyukai warna yang cerah dibandingkan dengan warna yang gelap
serta memiliki bentuk penyajian yang berbeda dari bentuk awal belut isi yaitu
yang terdapat pada perlakuan a103.
6,035,30
6,336,536,006,30
0
1
2
3
4
5
6
7
a101 a102 a103 a104 a105 a106
parameter warna
rata
-rata
kesu
kaan
terh
ad
ap
pro
du
k
Keterangan : a101 : bentuk sosis, kukus a104 : bentuk rolade, kukus goreng a10 2 : bentuk sosis, kukus goreng a105 : bentuk sosis belah, kukus goreng a103 : bentuk rolade, kukus a106 : bentuk sosis belah, kukus
Gambar 15. Histogram nilai rata-rata kesukaan terhadap warna pada
penelitian utama
Secara deskriptif warna ikan belut isi dengan bentuk rolade kukus lebih
banyak disukai dibandingkan dengan warna dari bentuk-bentuk penyajian yang
lain. Hal ini disebabkan warna dari rolade yang dikukus bentuknya cerah daripada
warna dari rolade dikukus goreng yang berwarna kecoklatan.
Dari segi fisio-psikologik warna adalah respon mata manusia terhadap
rangsangan sinar. Putih adalah tanggapan warna yang disebabkan oleh gabungan
seluruh spektrum terlihat, sedangkan warna gelap (warna hitam) adalah jika tidak
ada sama sekali spektrum terlihat dari suatu benda terpancar ke mata
(Soekarto 1985). Semakin lama waktu pengukusan warna yang terbentuk semakin
tambah pekat. Hal ini diduga akibat terjadinya reaksi pencoklatan pada lapisan
luar produk akibat proses pemanasan yang dilakukan.
Menurut Ketaren (1989), bahan pangan yang digoreng mempunyai
permukaan luar yang berwarna coklat keemasan. Munculnya warna ini
disebabkan karena reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari
lama, suhu penggoreng, dan komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan,
sedangkan jenis lemak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap warna
permukaan bahan pangan.
Penyajian produk belut (Monopterus albus) isi dengan bentuk sosis, rolade,
dan sosis belah yang dikukus dan dikukus goreng dengan menggunakan aksesoris
seperti tomat merah, cabai merah dan sayur salada dalam penyajiannya, dapat
dilihat pada Gambar 16.
A B
C D
E F
Gambar 15. Bentuk penyajian ikan belut isi : A : bentuk sosis yang dikukus B : bentuk sosis yang dikukus goreng C : bentuk rolade yang dikukus
D : bentuk rolade yang dikukus goreng E : bentuk sosis belah yang dikukus goreng F : bentuk sosis belah yang dikukus
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil uji sensori belut isi pada penelitian pendahuluan menunjukkan
penilaian panelis terhadap belut isi dengan penambahan kelapa sangrai dari netral
sampai agak suka. Perlakuan penambahan kelapa sangrai 10, 20, dan 30 gram
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma, rasa, dan tekstur belut isi.
Dari penampakan produk maka penambahan 10 gram kelapa sangrai merupakan
formulasi terbaik, akan tetapi dari warna produk maka penambahan 10 dan
20 gram kelapa sangrai merupakan formulasi terbaik. Dari hasil penelitian ini
dengan mempertimbangkan faktor ekonomis dapat disimpulkan bahwa
penambahan kelapa sangrai 10 gram merupakan formulasi bumbu terbaik dalam
pembuatan belut isi.
Hasil uji sensori belut isi pada penelitian utama menunjukkan penilaian
panelis terhadap penyajian belut isi dari netral sampai agak suka. Parameter
penampakan dan warna dari belut isi dengan bentuk penyajian rolade yang
dimasak dengan dikukus merupakan bentuk penyajian terbaik dari belut isi.
5.2 Saran
Perlu dilakukan :
1. Variasi la in pada belut isi bentuk sosis dengan menggunakan telur dan tepung
dalam proses penggorengan sehingga dihasilkan penampilan yang lebih baik.
2. Formulasi jenis bumbu untuk mendapatkan rasa yang lebih baik.
3. Proses pengemasan terhadap belut isi untuk memperpanjang daya awet dari
produk tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, ARMP 1991/1992, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Sub Balai Penelitian Perikanan Laut SLIPI. 1991. Teknologi Pemanfaatan Ikan Cucut. Jakarta: BPPP.
Dali J, Ginting A Ng. 1981. Cara Penanaman Kemiri. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed ke –2. Jakarta: Balai Pustaka.
[Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI]. 1979. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Dogerskog, M. 1977. Time Temperature Relationship in Industrial Cooking and
Frying. Di dalam Tore Hoyem and Oscar Kvale(Ed). Physical, Chemical and Biological Changes in Food Caused by Thermal Processing. London: Applied Science Publishers Limited. 398.
Harikedua, J W. 1992. Pengaruh perebusan terhadap komponen zat gizi daging
ikan layang ( Decapterus ruselli) khususnya asam lemak tidak jenuh omega-3. [tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. IPB.
Harris R S, Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Van Pangan.
Bandung: Penerbit ITB. Hermawan. 2004. Bandeng isi. [terhubung berkala].
http://forum.hermawan.com/index.php?showtopik=367-23k. html [17 Juni 2004].
[IPTEK NET] Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Internet. 2002. Tanaman Obat
Indonesia.[te rhubungberkala].http://www.ipteknet.id/ind/cakra obat/tanaman obat. Php?id-131. html [Kamis, 25 Agustus 2005].
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:
UI Press. Lewis Y S. 1984. Species and Herbs for The Food Industry. England: Food Trade
Press. Orpington. Lovern J A. 1962. The lipids of fish and change occuring during processing and
storage. Di dalam Heen dan Kreuzer (eds.). Fish in Nutrition. London: Fishing News (books)Ltd.
Nasoetion H. 1988. Cara Penilaian Kualitas Hidangan dan Konsumsi Pangan. Bogor: IPB PAU Pangan dan Gizi
Palungkun R, Budiarti A. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya. Palungkun, R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Jakarta: PT. Penebar
Swadaya. Peranginangin dan Yunizal. 1992. Pengolahan Belut. Di dalam
F. Cholik (Ed.).Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Perikanan. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Prajnanta, F. 1995. Agribisnis Cabai Hibrida. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Rahayu E, Nur Berlian VA. 1994. Bawang Merah. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Rahman S. 2004. Belut untuk nyeri ulu hati hingga vitalitas. [terhubung berkala].
htpp://www.kompas.co.id. [Minggu, 05 September 2004, 12: 23 WIB]. Rusiana.1988. Pembuatan dendeng gepuk belut dan daya terima
konsumen.[skripsi]. Tidak dipublikasikan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, IPB.
Sarwono B. 1999. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. . 2003. Budidaya Belut dan Sidat, edisi revisi. Jakarta: PT. Penebar
Swadaya. Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Jakarta: Penerbit Bina cipta. Soediarto A., Edi Guhardja, Sudarnadi H. 1978. Bumbu dan Rempah. Departemen
Ilmu Kesejahteraan Keluarga Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor: IPB Press.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik . Bogor: IPB Press. Somaatmadja D. 1985. Rempah-rempah Indonesia (The spices of Indonesia).
Bogor: Komunikasi Departemen Perindustrian. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Perikanan. Bogor. No. 219.
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik. B Sumantri, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sudarisman T, Elvina AR. 1996. Petunjuk Memilih Produk Ikan dan Daging.
Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Sudaryani A. 2004. Evaluasi teknik penyajian ikan nila (Oreochromis niloticus ). [skripsi]. Bogor: Fakulta s Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Suman M. 1983. Pengaruh pemberian telur terhadap kerupuk udang. [skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Sundoro SRM. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Budidaya dan
Pemanfaatan Belut. Jakarta: Agromedia Pustaka. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Tokyo: Applied
Science Publisher Ltd. Syukur C ,Hernani. 1999. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta:
PT. Penebar Swada ya. Tanikawa. 1971. Marine Product in Japan. Tokyo: Kosissha Koseikaku Co., Ltd. Wibowo S. 1991. Budidaya Bawang, Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang
Bombay. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia. Winarno FG, Fardiaz D, Fardiaz S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:
PT. Gramedia. Wirakusumah ES. 1991. Manajemen Makanan dan Gizi Institusi. Bogor : PAU
Pangan dan Gizi. IPB. Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V.1969.
Fish Curing and Processing. Moscow: MIR publ.
Lampiran 1. Format uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi penelitian pendahuluan
Uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi
Nama panelis : Tanggal : Nama produk : belut isi Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan kolom berikut dan berilah nilai pada setiap sampel sesuai dengan kesukaan Anda.
Kode sample
Penampakan Tekstur Aroma Rasa Warna
K30k K30g K20k K20g K10k K10g
Saran : ________________________________________________________
Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 2. Format uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi penelitian utama
Uji organoleptik (hedonik) ikan belut isi
Nama panelis : Tanggal : Nama produk : belut isi Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan kolom berikut dan berilah nilai pada setiap sampel sesuai dengan kesukaan Anda.
Kode sample Penampakan Warna A101 A102 A103 A104 A105 A106
Saran : _________________________________________ Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 3. Hasil uji organoleptik penampakan pada penelitian pendahuluan
Panelis K30k K30g K20k K20g K10k K10g
1 7 6 6 7 7 7
2 7 7 7 7 7 7
3 6 7 5 6 4 5
4 7 6 6 5 2 4
5 7 6 5 7 4 7
6 7 8 6 5 4 3
7 5 6 5 5 4 5
8 6 6 8 7 6 6
9 5 6 5 7 3 7
10 5 6 7 4 3 7
11 5 3 5 7 4 7
12 7 6 7 5 5 5
13 7 7 6 7 6 7
14 7 5 4 7 6 5
15 5 5 6 6 6 6
16 6 6 6 6 7 6
17 6 7 7 4 6 7
18 6 7 7 4 6 7
19 4 4 6 7 6 7
20 6 3 7 6 7 6
21 6 3 7 6 7 6
22 4 4 6 4 3 7
23 4 4 6 4 3 7
24 5 4 5 5 4 5
25 7 4 4 7 3 7
26 6 7 7 6 6 7
27 7 7 7 6 7 7
28 4 7 4 7 4 6
29 3 6 3 7 3 6
30 7 6 4 5 4 6
jumlah 174 169 174 176 147 185 Rata-rata 5,80 5,63 5,80 5,86 4,90 6,16 Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 4. Hasil uji organoleptik aroma pada penelitian pendahuluan
Panelis K30k K30g K20k K20g K10k K10g
1 6 7 7 7 8 6
2 7 7 7 7 8 6
3 6 6 6 7 6 5
4 6 7 5 8 3 4
5 7 7 6 7 5 7
6 7 7 8 7 4 3
7 7 7 6 6 6 6
8 7 7 8 8 8 8
9 5 5 4 7 4 5
10 6 3 7 6 3 4
11 5 4 6 6 5 6
12 7 7 7 7 5 6
13 8 7 7 7 7 7
14 3 8 9 7 6 6
15 7 7 6 6 6 6
16 6 6 5 6 6 6
17 6 6 7 6 6 7
18 6 6 7 6 6 7
19 6 5 6 7 7 5
20 6 6 7 5 7 6
21 6 6 7 5 7 6
22 5 5 4 5 4 5
23 5 5 4 5 4 5
24 5 5 5 5 5 6
25 6 6 6 6 6 6
26 7 8 6 5 6 5
27 5 6 7 6 7 7
28 5 5 7 4 7 7
29 6 6 6 4 7 7
30 7 7 7 6 5 5
jumlah 181 184 190 184 174 175 Rata-rata 6,03 6,13 6,33 6,13 5,80 5,83 Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 5. Hasil uji organoleptik rasa pada penelitian pendahuluan
Panelis K30k K30g K20k K20g K10k K10g
1 6 7 7 7 8 7
2 6 7 7 7 8 7
3 7 6 5 7 6 6
4 7 6 8 4 5 5
5 7 7 6 7 3 7
6 6 8 5 5 5 5
7 7 7 7 6 6 7
8 8 8 8 8 8 8
9 5 6 5 7 4 5
10 7 7 8 7 7 7
11 7 7 6 6 8 7
12 6 7 7 7 6 7
13 7 8 8 6 6 8
14 4 5 5 5 5 6
15 7 7 6 6 6 6
16 7 7 7 6 6 7
17 6 6 6 6 7 7
18 6 6 6 6 7 7
19 5 6 6 7 7 6
20 6 7 8 4 7 7
21 6 7 8 4 7 7
22 6 6 5 5 5 5
23 6 6 5 5 5 5
24 6 5 6 6 5 6
25 7 3 6 6 7 6
26 6 7 6 5 6 5
27 7 8 6 7 7 6
28 5 5 6 6 5 6
29 6 4 4 4 7 6
30 6 7 7 6 6 6
jumlah 188 193 190 178 185 190 Rata-rata 6,26 6,43 6,33 5,93 6,16 6,33 Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 6. Hasil uji organoleptik warna pada penelitian pendahuluan Panelis K30k K30g K20k K20g K10k K10g
1 7 7 7 6 8 7
2 7 7 7 6 8 7 3 6 7 5 6 3 6
4 7 6 5 8 2 4
5 7 7 6 7 3 7
6 7 8 6 5 4 3
7 6 6 7 7 6 6
8 5 6 8 6 6 6 9 7 7 4 4 7 7
10 6 7 7 7 3 7
11 5 5 6 7 3 7
12 7 6 7 5 5 6
13 8 7 6 5 6 7
14 7 5 5 7 7 7 15 5 5 6 5 5 6
16 6 6 6 6 6 6
17 6 6 6 4 6 5
18 6 6 6 4 6 5
19 4 5 6 7 7 7
20 6 4 7 3 6 6 21 6 4 7 3 6 6
22 4 4 6 4 3 7
23 4 4 6 4 3 7
24 5 5 5 4 4 5
25 8 6 8 6 2 3
26 7 8 7 7 6 7 27 7 7 7 6 6 7
28 4 7 4 7 4 7
29 4 5 4 7 3 5
30 7 6 5 5 4 6
jumlah 181 179 182 168 148 182
Rata-rata 6,03 5,96 6,06 5,60 4,93 6,06 Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 7. Hasil uji organoleptik tekstur pada penelitian pendahuluan
Panelis K30k K30g K20k K20g K10k K10g
1 7 7 6 7 6 6
2 8 8 6 7 7 6
3 6 6 6 6 5 6
4 8 8 6 7 3 4
5 7 7 5 7 5 7
6 7 7 8 6 4 3
7 6 6 5 6 5 5
8 7 7 8 6 6 6
9 6 6 5 6 7 6
10 5 5 7 3 3 5
11 6 6 5 7 5 7
12 7 7 7 6 5 6
13 7 7 6 7 6 8
14 7 7 4 7 7 5
15 4 4 6 6 7 6
16 5 5 6 5 6 6
17 6 6 7 5 6 7
18 6 6 7 5 6 7
19 4 4 6 6 7 7
20 6 6 7 6 6 6
21 6 6 7 6 6 6
22 4 4 3 6 3 6
23 4 4 3 6 3 6
24 5 5 5 5 4 6
25 7 7 8 6 2 6
26 6 6 6 6 5 6
27 6 6 6 6 6 6
28 4 4 4 4 4 4
29 6 6 4 4 4 5
30 6 6 6 6 5 5
jumlah 179 179 175 176 154 175 Rata-rata 5,96 5,96 5,83 5,86 5,13 5,83 Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 8a. Hasil uji Kruskal Wallis penampakan pada penelitian pendahuluan
PERLAKUAN N Mean Rank K30k 30 93,35 K30g 30 88,00 K20k 30 92,53 K20g 30 95,87 K10k 30 64,65 K10g 30 108,60
PENAMPAKAN
Total 180 ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups
27,294 5 5,459 3,358 ,006
Within Groups
282,900 174 1,626
PENAMPAKAN
Total 310.,94 179 Lampiran 8b. Hasil uji Kruskal Wallis aroma pada penelitian
pendahuluan
PERLAKUAN N Mean Rank K30k 30 88,90 K30g 30 95,10 K20k 30 103,00 K20g 30 93,43 K10k 30 82,27 K10g 30 80,30
AROMA
Total 180 ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups
6,111 5 1,222 ,927 ,465
Within Groups
229,533 174 1,319
AROMA Total 235,644 179
Lampiran 8c. Hasil uji Kruskal Wallis rasa pada penelitian pendahuluan
PERLAKUAN N Mean Rank
K30k 30 90,43 K30g 30 102,17 K20k 30 92,33 K20g 30 76,80 K10k 30 87,90 K10g 30 93,37
RASA
Total 180 ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups
4,644 5 ,929 ,822 ,535
Within Groups
196,600 174 1,130
RASA
Total 201,244 179 Lampiran 8d. Hasil uji Kruskal Wallis warna pada penelitian
Pendahuluan
PERLAKUAN N Mean Rank K30k 30 99,17 K30g 30 95,02 K20k 30 98,50 K20g 30 83,73 K10k 30 64,57 K10g 30 102,02
WARNA
Total 180 ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups
30,378 5 6,076 3,515 ,005
Within Groups
300,733 174 1,728
WARNA
Total 331,111 179
Lampiran 8e. Hasil uji Kruskal Wallis tekstur pada penelitian pendahuluan
PERLAKUAN N Mean Rank K30k 30 98,50 K30g 30 98,50 K20k 30 92,97 K20g 30 94,02 K10k 30 67,85 K10g 30 91,17
TEKSTUR
Total 180 ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups
15,000 5 3,000 2,129 ,064
Within Groups
245,200 174 1,409
TEKSTUR Total 260,200 179
Lampiran 9a. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian pendahuluan
Multiple Comparisons Tukey HSD
Mean Difference
(I-J)
Std. Error
Sig. 95% Confidence Interval
Dependent Variable
(I) PERLAKUAN
(J) PERLAKUAN
Lower Bound
Upper Bound
K30k K30g ,1667 ,32923 ,996 -,7821 1,1154 K20k ,0000 ,32923 1,000 -,9487 ,9487 K20g -,0667 ,32923 1,000 -1,0154 ,8821 K10k ,9000 ,32923 ,074 -,0487 1,8487 K10g -,3667 ,32923 ,875 -1,3154 ,5821
K30g K30k -,1667 ,32923 ,996 -1,1154 ,7821 K20k -,1667 ,32923 ,996 -1,1154 ,7821 K20g -,2333 ,32923 ,981 -1,1821 ,7154 K10k ,7333 ,32923 ,231 -,2154 1,6821 K10g -,5333 ,32923 ,587 -1,4821 ,4154
K20k K30k ,0000 ,32923 1,000 -,9487 ,9487 K30g ,1667 ,32923 ,996 -,7821 1,1154 K20g -,0667 ,32923 1,000 -1,0154 ,8821 K10k ,9000 ,32923 ,074 -,0487 1,8487 K10g -,3667 ,32923 ,875 -1,3154 ,5821
K20g K30k ,0667 ,32923 1,000 -,8821 1,0154 K30g ,2333 ,32923 ,981 -,7154 1,1821 K20k ,0667 ,32923 1,000 -,8821 1,0154 K10k ,9667 * ,32923 ,043 ,0179 1,9154 K10g -,3000 ,32923 ,943 -1,2487 ,6487
K10k K30k -,9000 ,32923 ,074 -1,8487 ,0487 K30g -,7333 ,32923 ,231 -1,6821 ,2154 K20k -,9000 ,32923 ,074 -1,8487 ,0487 K20g -,9667 * ,32923 ,043 -1,9154 -,0179 K10g -1,2667 * ,32923 ,002 -2,2154 -,3179
K10g K30k 3667 ,32923 ,875 -,5821 1,3154 K30g ,5333 ,32923 ,587 -,154 1,4821 K20k ,3667 ,32923 ,875 -,5821 1,3154 K20g ,3000 ,32923 ,943 -,6487 1,2487
PENAMPAKAN
K10k 1,2667 * ,32923 ,002 ,3179 2,2154 *: Tanda * menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap warna ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian pendahuluan
Multiple Comparisons Tukey HSD
Mean Difference
(I-J)
Std. Error
Sig. 95% Confidence Interval
Dependent Variable
(I) PERLAKUAN
(J) PERLAKUAN
Lower Bound
Upper Bound
K30k K30g ,0667 ,33945 1,000 -,9115 1,0449 K20k -,0333 ,33945 1,000 -1,0115 ,9449 K20g ,4333 ,33945 ,797 -,5449 1,4115 K10k 1.,000 * ,33945 ,018 ,1218 2,0782 K10g -.,333 ,33945 1,000 -1,0115 ,9449
K30g K30k -,0667 ,33945 1,000 -1,0449 ,9115 K20k -,1000 ,33945 1,000 -1,0782 ,8782 K20g ,3667 ,33945 ,889 -,6115 1,3449 K10k 1,0333 * ,33945 ,032 ,0551 2,0115 K10g -,1000 ,33945 1,000 -1,0782 ,8782
K20k K30k ,0333 ,33945 1,000 -,9449 1,0115 K30g ,1000 ,33945 1,000 -,8782 1,0782 K20g ,4667 ,33945 ,742 -,5115 1,4449 K10k 1,1333 * ,33945 ,013 ,1551 2,1115 K10g ,0000 ,33945 1,000 -,9782 ,9782
K20g K30k -,4333 ,33945 ,797 -1,4115 ,5449 K30g -,3667 ,33945 ,889 -1,3449 ,6115 K20k -,4667 ,33945 ,742 -1,4449 ,5115 K10k ,6667 ,33945 ,367 -,3115 1,6449 K10g -,4667 ,33945 ,742 -1,4449 ,5115
K10k K30k -1,1000 * ,33945 ,018 -2,0782 -,1218 K30g -1,0333 * ,33945 ,032 -2,0115 -,0551 K20k -1,1333 * ,33945 ,013 -2,1115 -,1551 K20g -,6667 ,33945 ,367 -1,6449 ,3115 K10g -1,1333 * ,33945 ,013 -2,1115 -,1551
K10g K30k ,0333 ,33945 1,000 -,9449 1,0115 K30g ,1000 ,33945 1,000 -,8782 1,0782 K20k ,0000 ,33945 1,000 -,9782 ,9782 K20g ,4667 ,33945 ,742 -,5115 1,4449
WARNA
K10k 1,1333 * ,33945 ,013 ,1551 2,1115 *: Tanda * menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 10. Hasil uji organoleptik penampakan pada penelitian utama
panelis a101 a102 a103 a104 a105 a106 1 5 5 6 8 6 7
2 8 7 8 8 6 7 3 3 3 7 5 3 5 4 8 7 7 8 7 7
5 7 7 8 8 6 5 6 7 7 8 8 7 8 7 7 6 8 7 6 7
8 7 6 8 7 6 7 9 6 7 7 6 7 6 10 5 5 8 6 5 7
11 8 6 7 5 4 5 12 4 5 5 3 5 7 13 4 7 7 6 4 5
14 6 4 6 5 4 5 15 7 6 6 6 6 5 16 7 7 8 7 6 7
17 8 4 6 4 4 7 18 9 6 7 6 5 8 19 7 6 6 5 6 7
20 7 6 6 5 5 6 21 6 6 7 7 5 6 22 7 7 8 7 6 7
23 6 6 6 6 6 6 24 7 6 6 5 5 6 25 6 6 6 7 7 5
26 7 7 7 8 6 6 27 6 7 7 6 6 5 28 7 7 8 8 5 5
29 7 7 6 8 8 7 30 8 7 7 8 6 7 jml 197 183 207 193 168 188 rata 6,56 6,10 6,90 6,43 5,60 6,26
Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 11. Hasil uji organolerptik warna pada penelitian utama
panelis a101 a102 a103 a104 a105 a106 1 5 5 6 8 6 7
2 8 7 8 8 5 7 3 3 3 7 5 3 5 4 7 7 7 8 6 7
5 7 6 7 7 6 6 6 7 7 8 8 7 8 7 7 6 7 7 6 6
8 7 6 7 7 6 6 9 3 7 5 5 4 4 10 6 5 8 6 4 5
11 7 6 7 6 4 4 12 4 4 6 4 5 7 13 4 7 7 6 4 5
14 5 4 6 4 4 5 15 6 6 5 6 5 5 16 7 7 8 7 6 7
17 8 4 6 4 4 7 18 9 6 7 5 7 8 19 7 7 6 6 6 7
20 6 5 5 6 6 5 21 6 6 6 7 4 6 22 7 6 7 6 4 6
23 6 6 6 6 6 6 24 5 6 6 6 5 6 25 7 6 6 5 5 6
26 7 7 7 8 6 6 27 6 6 5 7 7 7 28 7 8 8 8 5 5
29 7 7 6 8 7 6 30 8 7 6 6 6 6 jml 189 180 196 190 159 181 rata 6,30 6,00 6,53 6,33 5,30 6,03
Keterangan : 9 = amat sangat suka 4 = agak tidak suka 8 = sangat suka 3 = tidak suka 7 = suka 2 = sangat tidak suka 6 = agak suka 1 = amat sangat tidak suka 5 = biasa
Lampiran 12a. Hasil uji Kruskal Wallis penampakan pada penelitian utama
PERLAKUAN N Mean Rank a101 30 103,60 a102 30 82,10 a103 30 114,87 a104 30 96,50 a105 30 59,25 a106 30 86,68
PENAMPAKAN
Total 180 ANOVA
Sum of Squares
df Mean Square
F Sig.
Between Groups
29,378 5 5,876 4,540 ,001
Within Groups
225,200 174 1,294
PENAMPAKAN
Total 254,578 179
Lampiran 12b. Hasil uji Kruskal Wallis warna pada penelitian utama
PERLAKUAN N Mean Rank
a101 30 102,65 a102 30 88,05 a103 30 107,88 a104 30 99,80 a105 30 58,35 a106 30 86,27
WARNA
Total 180
ANOVA
Sum of Squares
df Mean Square
F Sig.
Between Groups
28,050 5 5,610 4,107 ,002
Within Groups
237,700 174 1,366
WARNA
Total 265,750 179
Lampiran 13a. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian utama
Multiple Comparisons Tukey HSD
Mean Difference
(I-J)
Std. Error
Sig. 95% Confidence Interval
Dependent Variable
(I) PERLAKUAN
(J) PERLAKUAN
Lower Bound
Upper Bound
a101 a102 ,4667 ,29374 ,607 -,3798 1,3132 a103 -,3333 ,29374 ,866 -1,1798 ,5132 a104 ,1333 ,29374 ,998 -,7132 ,9798 a105 ,9667 * ,29374 ,015 ,1202 1,8132 a106 ,3000 ,29374 ,910 -,5465 1,1465
a102 a101 -,4667 ,29374 ,607 -1,3132 ,3798 a103 -,8000 ,29374 ,076 -1,6465 ,0465 a104 -,3333 ,29374 ,866 -1,1798 ,5132 a105 ,5000 ,29374 ,532 -,3465 1,3465 a106 -,1667 ,29374 ,993 -1,0132 ,6798
a103 a101 ,3333 ,29374 ,866 -,5132 1,1798 a102 ,8000 ,29374 ,076 -,0465 1,6465 a104 ,4667 ,29374 ,607 -,3798 1,3132 a105 1,3000 * ,29374 ,000 ,4535 2,1465 a106 ,6333 ,29374 ,264 -,2132 1,4798
a104 a101 -,1333 ,29374 ,998 -,9798 ,7132 a102 ,3333 ,29374 ,866 -,5132 1,1798 a103 -,4667 ,29374 ,607 -1,3132 ,3798 a105 ,8333 ,29374 ,056 -,0132 1,6798 a106 ,1667 ,29374 ,993 -,6798 1,0132
a105 a101 -,9667 * ,29374 ,015 -1,8132 -,1202 a102 -,5000 ,29374 ,532 -1,3465 ,3465 a103 -1,3000 * ,29374 ,000 -2,1465 -,4535 a104 -,8333 ,29374 ,056 -16798 ,0132 a106 -,6667 ,29374 ,212 -1,5132 ,1798
a106 a101 -,3000 ,29374 ,910 -1,1465 ,5465 a102 ,1667 ,29374 ,993 -,6798 1,0132 a103 -,6333 ,29374 ,264 -1,4798 ,2132 a104 -,1667 ,29374 ,993 -1,0132 ,6798
PENAMPAKAN
a105 ,6667 ,29374 ,212 -,1798 1,5132 *: Tanda * menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 13b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap warna ikan belut (Monopterus albus) isi pada penelitian utama
Multiple Comparisons Tukey HSD
Mean Difference
(I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Dependent Variable
(I) PERLAKUAN
(J) PERLAKUAN
Lower Bound
Upper Bound
WARNA a101 a102 ,3000 ,30178 ,919 -,5697 1,1697 a103 -,2333 ,30178 ,972 -1,1030 ,6363 a104 -,0333 ,30178 1,000 -,9030 ,8363 a105 1,0000 * ,30178 ,014 ,1303 1,8697 a106 ,2667 ,30178 ,950 -,6030 1,1363 a102 a101 -,3000 ,30178 ,919 -1,1697 ,5697 a103 -,5333 ,30178 ,490 -1,4030 ,3363 a104 -,3333 ,30178 ,879 -1,2030 ,5363 a105 ,7000 ,30178 ,192 -,1697 1,5697 a106 -,0333 ,30178 1,000 -,9030 ,8363 a103 a101 ,2333 ,30178 ,972 -,6363 1,1030 a102 ,5333 ,30178 ,490 -,3363 1,4030 a104 ,2000 ,30178 ,986 -.,6697 1,0697 a105 1,2333 * ,30178 ,001 ,3637 2,1030 a106 ,5000 ,30178 ,562 -,3697 1,3697 a104 a101 ,0333 ,30178 1,000 -,8363 ,9030 a102 ,3333 ,30178 ,879 -,5363 1,2030 a103 -,2000 ,30178 ,986 -1,0697 ,6697 a105 1,0333 * ,30178 ,010 ,1637 1,9030 a106 ,3000 ,30178 ,919 -,5697 1,1697 a105 a101 -1,0000 ,30178 ,014 -1,8697 -,1303 a102 -,7000 ,30178 ,192 -1,5697 ,1697 a103 -1,2333 * ,30178 ,001 -2,1030 -,3637 a104 -1,0333 * ,30178 ,010 -1,9030 -,1637 a106 -,7333 ,30178 ,152 -1,6030 ,1363 a106 a101 -,2667 ,30178 ,950 -1,1363 ,6030 a102 ,0333 ,30178 1,000 -,8363 9030 a103 -,5000 ,30178 ,562 -1,3697 ,3697 a104 -,3000 ,30178 ,919 -1,1697 ,5697
a105 ,7333 ,30178 ,152 -,1363 1,6030 *: Tanda * menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)