7
Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA (MtDNA) BILOU (Hylobates klossii, Miller 1903) Melalui Polymerase Chain Reaction [THE NON-INVASIVE ANALYSIS TECHNIQUE FOR DNA MITOCHONDRIA OF BILOU (Hylobates klossii) BY POLYMERASE CHAIN REACTION] Ike N. Nayasilana 1 , Sri Suci Utami Atmoko 2 , Firman 1 1 Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta 2 Universitas Nasional Jakarta Korespondensi : [email protected] Abstrak : Teknik analisis non-invasif untuk mitochondria DNA bilou (Hylobates klossii) dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik molekuler yang dapat mendukung kesejahteraan hewan. Analisis non- invasif dari sampel tinja dapat menentukan sampel DNA dari daerah kontrol pada rRNA 12S. Sampel tinja dikumpulkan dari tiga pulau yang berbeda (Sipora, Siberut dan Pagai) dengan total 39 sampel yang diekstraksi untuk DNA. Analisis dilakukan di laboratorium Genetika Zoologi LIPI, Cibinong pada bulan Juli sampai Agustus 2005. Hasil tes PCR yang digunakan Qiagen QIAamp ® DNA stool mini kit dan elektroforesis dapat menunjukkan bahwa sampel DNA dapat ditampilkan bahkan dalam konsentrasi terendah dari pengukuran spektrofotometer. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi referensi baru di penelitian masa depan sebagai indikator konservasi manajemen yang sesuai dengan peraturan kesejahteraan hewan yang baik. Polaroid foto dari rRNA 12S (L = 1.091, H = 1478) yang diambil dengan transluminator UV dan kamera Polaroid MP4 dari produk PCR dengan annealing digunakan pada suhu 50 o C dalam 30 detik, menunjukkan hasil dari pita penanda elektroforesis DNA berukuran antara 750 sampai 815 pb DNA ladder. Abstract: Polymerase Chain Reaction is a non invasive molecular technique that can support animal welfare. Non-invasie analysis from fecal sample can determine DNA samples from the control region on 12S rRNA. Fecal samples were collected from three different islands (Sipora, Siberut and Pagai) with a total of 39 samples were extracted for DNA. The analyses were done at the laboratory of Genetic Zoology LIPI, Cibinong in July until August 2005. The results of the PCR test which used Qiagen QIAamp® DNA stool mini kit and electrophoresis can show that the sample displays the quality DNA from the fecal sample even in the lowest concentration of the spectrophotometer measurements. Thus, it has become a new reference in future research as an indicator of good management conservation in line with excellent animal welfare rules. The polaroid photos of the 12S rRNA (L=1091, H=1478) taken with UV transluminator and MP4 polaroid camera from the PCR products with annealing used at 50 o C in 30 seconds, shows the results of this running process of electrophoresis DNA sized marker band processes between 750 until 815 pb DNA ladder. Key words: Hylobates klossii, bilou, mtDNA, PCR, 12S rRNA, non-invasive technique. Pendahuluan Satwa primata merupakan jenis satwa yang memiliki penyebaran geografis yang sangat khas khususnya di Asia Tenggara. Salah satunya satwa primata Hylobates klossii ini memiliki penyebaran yang terbatas dan endemik di Indonesia. Kelompok Hylobatidae sulit untuk menyeberangi air, sungai ataupun laut, sehingga menyebabkan beberapa spesies Hylobatidae terpisah dan mereka berkembang menjadi spesies yang berbeda. Menurut Chivers (1977), nenek moyang Hylobatidae tersebar di dataran Asia Selatan dan meluas di Lempeng Sunda kurang dari tiga juta tahun yang lalu dengan populasi yang cukup melimpah dengan nenek moyang Hylobatidae yang mungkin berbeda dengan kera besar (Pongidae) (Lekagul & McNeely, 1977). Ketika Hominoidae pertama muncul, peninggalan fosil mengindikasikan bahwa Hylobatidae terpisah taksonominya dengan Pongidae sebelum manusia dan Pongidae lebih dekat dengan manusia. Keberadaan Hylobatidae diketahui pada masa Oligosin, Miosen Afrika, Miosen Eropa, Pliosen awal, dan Pleistosen Asia. Penemuan ini pertama kali diketahui dari bentuk Pliopithecus pada masa Miosen Eropa atau Limnopithecus dan pada masa Miosen Afrika Timur yang mirip dengan nenek moyang Hylobatidae modern. Penemuan fosil terbarupun diketahui pada masa Miosen awal, yaitu Krishnapithecus di India Utara, Micropithecus di Afrika Timur, dan Dionysopithecus di Cina, namun dari fosil tersebut tidak ditemukan fosil kaki. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 7 No.1 Juni 2010, p. 27-33. ISSN 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor.

Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA ( MtDNA) BILOU

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA ( MtDNA) BILOU

Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA (MtDNA) BILOU(Hylobates klossii, Miller 1903) Melalui Polymerase

Chain Reaction

[THE NON-INVASIVE ANALYSIS TECHNIQUE FOR DNA MITOCHONDRIA OF BILOU(Hylobates klossii) BY POLYMERASE CHAIN REACTION]

Ike N. Nayasilana1, Sri Suci Utami Atmoko2, Firman1

1Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta2Universitas Nasional Jakarta

Korespondensi : [email protected]

Abstrak : Teknik analisis non-invasif untuk mitochondria DNA bilou (Hylobates klossii) dengan PolymeraseChain Reaction (PCR) adalah teknik molekuler yang dapat mendukung kesejahteraan hewan. Analisis non-invasif dari sampel tinja dapat menentukan sampel DNA dari daerah kontrol pada rRNA 12S. Sampel tinjadikumpulkan dari tiga pulau yang berbeda (Sipora, Siberut dan Pagai) dengan total 39 sampel yang diekstraksiuntuk DNA. Analisis dilakukan di laboratorium Genetika Zoologi LIPI, Cibinong pada bulan Juli sampaiAgustus 2005. Hasil tes PCR yang digunakan Qiagen QIAamp ® DNA stool mini kit dan elektroforesis dapatmenunjukkan bahwa sampel DNA dapat ditampilkan bahkan dalam konsentrasi terendah dari pengukuranspektrofotometer. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi referensi baru di penelitian masa depan sebagaiindikator konservasi manajemen yang sesuai dengan peraturan kesejahteraan hewan yang baik. Polaroid fotodari rRNA 12S (L = 1.091, H = 1478) yang diambil dengan transluminator UV dan kamera Polaroid MP4 dariproduk PCR dengan annealing digunakan pada suhu 50oC dalam 30 detik, menunjukkan hasil dari pita penandaelektroforesis DNA berukuran antara 750 sampai 815 pb DNA ladder.

Abstract: Polymerase Chain Reaction is a non invasive molecular technique that can support animal welfare.Non-invasie analysis from fecal sample can determine DNA samples from the control region on 12S rRNA.Fecal samples were collected from three different islands (Sipora, Siberut and Pagai) with a total of 39 sampleswere extracted for DNA. The analyses were done at the laboratory of Genetic Zoology LIPI, Cibinong in Julyuntil August 2005. The results of the PCR test which used Qiagen QIAamp® DNA stool mini kit andelectrophoresis can show that the sample displays the quality DNA from the fecal sample even in the lowestconcentration of the spectrophotometer measurements. Thus, it has become a new reference in future researchas an indicator of good management conservation in line with excellent animal welfare rules. The polaroidphotos of the 12S rRNA (L=1091, H=1478) taken with UV transluminator and MP4 polaroid camera from thePCR products with annealing used at 50oC in 30 seconds, shows the results of this running process ofelectrophoresis DNA sized marker band processes between 750 until 815 pb DNA ladder.

Key words: Hylobates klossii, bilou, mtDNA, PCR, 12S rRNA, non-invasive technique.

Pendahuluan

Satwa primata merupakan jenis satwa yangmemiliki penyebaran geografis yang sangat khaskhususnya di Asia Tenggara. Salah satunya satwaprimata Hylobates klossii ini memiliki penyebaranyang terbatas dan endemik di Indonesia. KelompokHylobatidae sulit untuk menyeberangi air, sungaiataupun laut, sehingga menyebabkan beberapaspesies Hylobatidae terpisah dan merekaberkembang menjadi spesies yang berbeda. MenurutChivers (1977), nenek moyang Hylobatidae tersebardi dataran Asia Selatan dan meluas di LempengSunda kurang dari tiga juta tahun yang lalu denganpopulasi yang cukup melimpah dengan nenek moyangHylobatidae yang mungkin berbeda dengan kera

besar (Pongidae) (Lekagul & McNeely, 1977).Ketika Hominoidae pertama muncul, peninggalan fosilmengindikasikan bahwa Hylobatidae terpisahtaksonominya dengan Pongidae sebelum manusia danPongidae lebih dekat dengan manusia.

Keberadaan Hylobatidae diketahui pada masaOligosin, Miosen Afrika, Miosen Eropa, Pliosen awal,dan Pleistosen Asia. Penemuan ini pertama kalidiketahui dari bentuk Pliopithecus pada masaMiosen Eropa atau Limnopithecus dan pada masaMiosen Afrika Timur yang mirip dengan nenekmoyang Hylobatidae modern. Penemuan fosilterbarupun diketahui pada masa Miosen awal, yaituKrishnapithecus di India Utara, Micropithecus diAfrika Timur, dan Dionysopithecus di Cina, namundari fosil tersebut tidak ditemukan fosil kaki.

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 7 No.1 Juni 2010, p. 27-33.ISSN 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor.

Page 2: Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA ( MtDNA) BILOU

Menurut Preuschoft (1998), melalui informasibiologi molekuler dapat diketahui posisi Hylobatidaedan Pongidae yang tergolong dalam monyet dunialama. Keberadaannyapun terpisah menurutperkembangan taksonomi. Kelompok Hylobatidaemerupakan satwa primata yang tergolong dalam kerakecil. Di Indonesia, suku Hylobatidae terdiri dari 7jenis dan masing-masing memiliki penyebaran padadaerah Kepulauan Sunda, yang meliputi Sumatera,Kalimantan, Jawa, dan Kepulauan Mentawai(Hylobates lar, H. klossii, H. agilis, H. mulleri,H. moloch, H. albibarbis dan Symphalangussyndactilus) (Geissman 1995 (Gambar 1).

Gambar 1.

Status konservasi genus ini cukup kritis, karenahilangnya habitat akibat illegal logging, legallogging, perburuan, dan perdagangan satwa primata,sehingga satwa primata inipun masuk dalam kategoriCritical Endangered Appendix 1 (CITES) dan RedData Book. Selain itu, informasi dari PeraturanPerlindungan Binatang liar 1931 No.266, serta SKMenteri Kehutanan 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/1991 diperkuat dengan UU No.5 tahun 1991menyatakan bahwa menurunnya populasi di alam inimenyebabkan tingkat kepunahan yang sangat tinggi,sehingga statusnyapun dalam keadaan genting.

Hylobates klossii merupakan kera kecil yangendemik kepulauan Mentawai dan bersifat kerdil,memiliki jumlah kromosom yang sama denganHylobates lar 44 kromosom. Reproduksi Hylobates

klossii pun masih simpang siur untuk menyatakankelompok monogami atau poligami (hasil penelitianFirman et al. 2004), oleh karena komposisi jantandewasa yang hanya berjumlah satu individu danbetina dijumpai dengan jumlahnya yang bervariasiantara 1-4 individu dalam setiap kelompoknya.Sementara jalur keturunannya bersifat urut dalam saturantai (sub adult, juvenile dan infant), tetapi tidakditemukan 2 atau lebih jalur keturunan (Gambar 2).

Gambar 2. a) Bilou anak (Hylobates klossii)

[Sumber foto: Abegg, 2003] dan b) Bilou dewasa di alam [Sumber foto: Whittaker, 2003]

a b

Menurut Marshall dan Sugardjito (1986), genussatu-satunya dari Hylobatidae adalah Hylobatesyang masing-masing memiliki jumlah kromosom danwarna rambut yang berbeda satu sama lain.Hylobates klossii sama dengan Hylobates lardengan jumlah kromosom 44 buah. SymphalangusSyndactilus dengan jumlah kromosom 50 buah.Hylobates hoolock dengan jumlah kromosom 38buah dan Hylobates concolor dengan jumlahkromosom yang tersusun sebanyak 52 buah (Groves,2001).

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknikanalisis non-invasif mitokondria DNA (mtDNA) bilou(Hylobates klossii) melalui proses PolymeraseChain Reaction (PCR), dengan menggunakan suhuanneling dan primer yang tepat untuk sampel feses.

Metode Penelitian

Pengambilan Sampel Feses BilouSampel feses bilou berasal dari populasi di Taman

Nasional dan Hutan Lindung Siberut, Mentawai,Sumatera Barat hasil koleksi Danielle Whittaker dkk.Pengumpulan sampel dilakukan selama kurun waktukurang lebih 6 bulan, mulai dari pertengahan Julisampai dengan pertengahan Desember 2003 dengancara mengikuti kelompok-kelompok bilou yang ditemuidi tiap titik pengambilan sampel.

28 Jurnal Primatologi Indonesia, Volume 7, Nomor 1, Juni 2010, p. 27-33

Gambar

1. Peta distr dengan d (Geissma

ribusi geogradistribusi di Aann 1995)

afis genus HyAsia Tenggar

ylobates

ra

Page 3: Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA ( MtDNA) BILOU

Nayasilana et al., Teknik Analisis Non- Invasif Mitokondria DNA (MtDNA) Bilou 29

)

Sampel segar yang berasal dari individu yangbaru melakukan defekasi segera dikoleksi dandipreservasi dalam larutan alkohol 70% dalam daparlisis. Bagian yang dikoleksi terutama bagianpermukaan terluar feses yang diambil dengan caramengoleskan bagian tersebut dengan cotton bud.Informasi jenis kelamin, kelas umur dan lokasigeografis dicatat berdasarkan GPS. Selain itu datasekunder berupa komposisi kelompok (jumlah individudalam kelompok dan kelas usia) juga dicatat. Apabilaselama eksplorasi di lapangan ditemukan feses bilousecara tidak sengaja (adlibitum) tanpa diketahui dataindividunya, maka feses tersebut tetap dikoleksi dandipreservasi.

Seluruh analisis sampel DNA dan analisisdatanya dilakukan selama 3 bulan (Juni-Agustus2005) di Laboratorium Genetika Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong Bogor.

Bahan Ekstraksi Feses dan PCRBahan yang digunakan untuk preservasi sampel

feses adalah dapar pengurai atau digesti (lysis/digestion buffer), proteinase-K, larutan fenolkloroform isoamil alkohol (PCI), dapar ASL (stoollysis buffer) (Qiagen), inhibitEX (Qiagen), dapar AL(Qiagen), dapar AW1 dan AW2 (Wash buffer)(Qiagen) dan dapar AE (elution buffer) (Qiagen),etanol absolut (96-100%), air miliQ dan air destilasi.Ekstraksi DNA dari feses dilakukan sesuai denganmetode yang dikembangkan Fernando et al. (2003).

Campuran bahan kimia yang digunakan adalahcampuran modifikasi khusus PCR dan MgCl2. Bahankimia dalam proses amplifikasi fragmen DNA antaralain dNTP (deoxynucleoside triphosphates), enzimTaq polimerase, larutan RG-Rich, dan dua pasangprimer sebagai penguji.1. Untuk pengujian pertama pada amplifikasi

daerah sitokrom b, digunakan: H15149 (5’AAACTG CAG CCC CTC AGA ATG ATA TTT GTCCTC A-3’) sebagai primer forward dan L 14841(5’-AAA AAG CTT CCA TCC AAC ATC TCAGCA TGA TGA AA-3’) sebagai primer reverse.

2. Untuk pengujian kedua pada amplifikasi daerah12S rRNA mtDNA, digunakan: H1478 (5’-GAGGGT GAC GGG CGG TGT GT-3’) sebagaiprimer forward dan L 1091 (5’-CAA ACT GGGATT AGA TAC CCC ACT-3’) sebagai primerreverse.Bahan kimia yang digunakan untuk proses

elektroforesis adalah 1x buffer TAE, ethidiumbromide (10 mg/ml) agarose, DNA ladder danloading dye. Selanjutnya dilakukan pengukurankonsentrasi molekul DNA analisis polymerase chainreaction (PCR) dan penentuan hasil elektroforesis,jika pita/band molekul DNA terlihat terang maka

pengambilan dokumentasi dilakukan denganmenggunakan UV Tansilluminator + MP4 kamerapolaroid.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Koleksi SampelKoleksi sampel dari ketiga pulau sebanyak 48

sampel (15 sampel di Siberut Utara, 5 sampel diSiberut Selatan, 17 sampel di Sipora, dan 11 sampeldi Pagai Selatan) dan diantaranya 39 sampel telahdilakukan analisis mitokondria DNA. Beberapasampel lainnya berasal dari spesies yang berbeda,yaitu Macaca pagensis (monyet Siberut). Hal inididuga bahwa keberadaan 2 spesies yang berbedaini terdapat overlapping (tumpang tindih) daerahkekuasaan, jelajah atau teritori. Ini juga dapatdibuktikan melalui data GPS yang tercatat melaluihasil pengamatan di lapangan dari tiga pulau yangberbeda (Gambar 3).

Selain itu pula melalui hasil pengamatan lebihlanjut karakteristik sampel yang berhasil dikumpulkandari berbagai lokasi dan individu yang berbedamenyatakan bahwa antara Hylobates klossii (bilou)dengan Macaca pagensis (monyet siberut) memiliki

Gambar 3. Peta loka

bilou (Hy [Whittake 2003 ]

asi pengambiylobates kloser , 2005 & 2

lan sampel fssii) di Menta2006, Firman

feses awai n et al.

Page 4: Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA ( MtDNA) BILOU

30 Jurnal Primatologi Indonesia, Volume 7, Nomor 1, Juni 2010, p. 27-33

jenis fecal yang berbeda, seperti: bau, bentuk, warna,dan ukuran feses. Ciri feses bilou memiliki bau yangkhas, seperti bau buah dan daun-daunan yang segar.Dari bentuk feses diperoleh hasil dari sisa makananberupa biji seperti biji Ficus sp, sedangkan dari warnafeses dapat diketahui perbedaannya dengan fesesmonyet siberut. Feses bilou berwarna kuning buahdan kehijauan kadang berwarna hijau mudabercampur jingga. Dari ukuran, feses bilou berukurankurang lebih 3 cm berbentuk padatan bulat lonjong,namun sering juga ditemukan dalam bentuk agak cair.Hal ini memperkuat pustaka yang menyatakan bahwakelompok Hylobatidae memiliki persentasi makananlebih utama buah-buahan segar, pucuk-pucuk daundan serangga kecil.

Penyimpanan sampel dalam tabung 5 ml denganpengawet buffer RNAase later dan EDTA. Kriteriakoleksi sampel feses ada yang segar maupun tidaksegar. Pengambilan sampel feses padat dapatdilakukan dari bagian tengahnya karena diharapkantersimpan DNA mitokondria yang berasal dari sel-sel epitel usus, sedangkan sampel feses yang cairdikoleksi sebagian besar dari sampel tersebut.Kendala feses cair adalah banyak terdapat bakteri-bakteri penyusun substrat atau tanah yang masuk kedalam tabung, hingga terbawa dalam pengkoleksiansampel. Penandaan sampel sangat penting, yaituwaktu ditemukan sampel feses, nomor sampel, kodelokasi berdasarkan GPS, jenis kelamin serta perkiraanumur masing-masing individu bila memungkinkan.

Hasil Ekstraksi DNA dari FesesHasil ekstraksi DNA mitokondria dengan bantuan

kit Qiagen QIAamp® DNA Stool Mini Kit dan PCI(phenol chloroform isoamialcohol) dapat dilakukandengan baik, walaupun melalui pengukuranspektrofotometer pada konsentrasi yang sangat kecilbila dibandingkan dengan penggunaan sampel yangberasal dari darah. Proses ekstraksi merupakan tahapterpenting dalam keberhasilan analisis DNAmitokondria yang merupakan proses penghancurandinding sel (lysis of cell walls), penghilangan proteindan RNA (cell digestion), dan pengendapan DNA(precipitation of DNA), serta pemanenan.

Hasil Pengukuran Konsentrasi DNA denganSpectrofotometer

Pengukuran konsentrasi DNA melaluispektrofotometer dengan hasil pemurnian(purifikasi) antara 1,3-8,3 nm dan konsentrasi yangdapat terukur berkisar antara 0,2-162,35 nm, melaluipengenceran 10 kali dari jumlah sampel. Ukuranmolekul DNA yang teramat kecil hingga tidak dapatdilihat dengan kasat mata. Namun demikian ukuran(panjang-pendek), kuantitas (jumlah) DNA yangberhasil dimurnikan/purifikasi dan kualitas tingkat

purifikasi (kemurnian) molekul DNA dapat diketahuidengan pendugaan yang cukup akurat. Pengukurankuantitas dan kualitas DNA dapat diduga melaluispektrofotometri sinar ultra violet, dengan bantuanalat spektrofotometer DU 650, buatan USA tipeWarburg-Christian Consentration.

Iradiasi sinar ultra violet yang diserap olehnukleotida dan protein dalam larutan memungkinkanterbaca dan terukurnya konsentrasi molekul DNA,penyerapan sinar oleh nukleotida terhadap molekulDNA secara maksimal mencapai panjang gelombang260 nm, sedangkan penyerapan maksimal olehprotein mencapai panjang gelombang 280 nm.

Kemurnian (purifikasi) DNA ditentukan olehtingkat kontaminasi protein dalam larutan, molekulDNA yang telah terukur dapat diketahui mencapainilai standar yang berkisar antara 1,8-2,0 nm. Jikanilai tersebut lebih kecil dari 1,8 nm maka dapatterindikasi mengalami kontaminasi protein, alkohol,atau fenol di dalam larutan. Kesulitan di dalammenemukan dan mengukur kemurnian, sertakonsentrasi DNA ini karena DNA yang berada dalamtabung Eppendorf tersebut menyebar atau beradahanya satu titik saja. Setelah melalui pengukuranspektrofotometer ini tidak dapat ditemukan secaratepat dan akurat dan sering pula mengalamipengulangan dalam pengukuran kemurnian ataukonsentrasi tersebut (Gambar 4).

Elektroforesis Hasil EkstraksiHasil running elektroforesis dengan foto UV

transiluminator dan MP4 kamera polaroid, pita-pitaini tidak dapat dilihat atau terdeteksi dengan baik.Hal ini kemungkinan karena sulitnya menemukanDNA yang tersimpan dalam tabung Eppendorf dantersebar diberbagai titik, sehingga kemungkinansulitnya pengambilan pada pipetor saat running, inijuga yang menyebabkan konsentrasi DNA di dalamtabung yang rendah, walaupun melalui purifikasiDNA atau pemurnian DNA ini telah terlaksanadengan baik.

Hasil amplifikasi DNA melalui PolymeraseChain Reaction (PCR)a. Amplifikasi daerah Cytocrom B

Pengujian kedua sampel, yaitu CA01 (konsentrasiDNA 59,05 nm) dan sampel SP12 (konsentrasi DNA19,19 nm) dengan menggunakan sitokrom B untukmolekul DNA mitokondria di location of universalprimer L14841 dan H15149 serta ukuran penanda1000 pb DNA ladder. Pengaturan jumlah koktail dansampel dalam larutan setiap sampel dan tabungEppendorf masing-masing sebanyak 25 µl. Suhu danwaktu untuk proses PCR, yaitu 94oC selama 5 menit,94oC selama 30 detik, 50oC selama 30 detik, 72 oCselama 1 menit dan 72 oC selama 5 menit dengan

Page 5: Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA ( MtDNA) BILOU

o

DNA hasil spektrofotometer konsentrasi;

DNA hasil spektrofotometer asam nukleat µg/ml)

Ko

nsen

trasi

/Pur

ifika

siDNA hasil spektrofotometer konsentrasi;

DNA hasil spektrofotometer asam nukleat µg/ml)

Ko

nsen

trasi

/Pur

ifika

si

Gambar 4. Hasil konsentrasi dan purif ikasi DNA dengan spektrofotometer

Nayasilana et al., Teknik Analisis Non- Invasif Mitokondria DNA (MtDNA) Bilou 31

perputaran dan perpanjangan (elongisasi) sebanyak40 siklus, akan tetapi tidak terdeteksi pita-pitaelectroforesis (band) saat running kemungkinanteknik PCR yang kurang tepat.

b. Amplifikasi daerah 12S rRNA mt DNABerdasarkan hasil pengujian elektroforesis

menggunakan gel agarosa 2%, dari 2 sampel DNAmemberi kemurnian dan konsentrasi yang cukup baik.Pengujian sampel ini ditujukan untuk membuktikansecara pasti molekul DNA yang terkandung dantersimpan dalam larutan secara pasti. Dua sampelyang berhasil diamplifikasi melalui teknik PCRmenggunakan primer L1091 dan H1478, denganpenggunaan suhu saat annelling adalah 94oC selama5 menit. DNA mengalami denaturasi (pembelahanuntai ganda menjadi untai tunggal), pada suhu 94oCselama 30 detik, proses ini mulainya DNA mengalamielongisasi atau perpanjangan. Apabila sasaran DNAbanyak mengandung nukleotida G/C, maka suhudenaturasi dapat ditingkatkan. Proses denaturasisangat ketat dan teliti dalam penggunaan suhunyakarena apabila saat denaturasi ini kurang tepat ataugagal, maka proses renaturasipun semakin cepatterjadi. Namun, proses denaturasi yang lama danpenggunaan waktu kurang tepat, maka proses kerjataq polymerase pun semakin terhambat, hinggamenghambat pula dalam proses keberhasilan produkPCR yang terjadi. Namun biasanya sering puladilakukan pre denaturasi selama 3-5 menit untukmeyakinkan bahwa DNA yang tersimpan dalamtabung Eppendorf 0,2 ml dengan cairan yang beradadi dalamnya sebanyak 25 µl tersebut benar-benar adadan siap untuk dilipatgandakan.

Setelah proses denaturasi selesai, maka proseselongisasipun terjadi pada suhu 50oC selama 30 detik.

Proses ini merupakan proses anneling ataupunproses penempelan primer pada DNA yang telahterbelah pada daerah yang terspesifik dengan baik.Primer-primer tersebut biasanya menyimpan 18-25pasang basa dan menyimpan 50-60% basa G+C danperhitungan formulasi anneling tersebut sama, sertapengguaan suhu yang sama pada suhu 72oC tahappertama selama 1 menit, dan suhu 72oC tahap keduaselama 5 menit, maka daerah tersebut dapat berhasilfikasi yaitu didaerah 12S rRNA mitokondria DNA(mtDNA), melalui perputaran dan perpanjang saat(elongisasi) selama 40 siklus (Tabel 1).

Daerah yang merupakan mtDNA ribosomdibandingkan dengan DNA penanda ukuran yangbesarnya 1000 pb DNA ladder, maka pita-pitaelektroforesis yang terbentuk berada pada kisaran750-815 pb, ukuran pita-pita ini dapat dilihat saatdilakukan pewarnaan dengan ethidium bromideselama 10 menit dan pemotretan menggunakan UVTansilluminator + MP4 kamera polaroid.

PembahasanPengkoleksian sampel feses merupakan teknik

yang telah lama ditinggalkan oleh para peneliti, halini karena sulitnya pencarian dan penemuan DNAyang terkandung dalam feses tersebut. Namunpengkoleksian sampel feses sebagai penelitian lebih

Tabel 1. Proses amplifikasi Proses inisiasi Suhu: 94oC Waktu: 5’ Denaturasi 94 oC 30’’ Annealing 50 oC 30’’ Ekstensielongisasi 92 oC 1’ Ekstemsi akhir 72 oC 5’

Page 6: Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA ( MtDNA) BILOU

Gambar 5. Hasil elektrofores is mtDNA bilou dengan 1,5-2% agarose gel diwarnai

etidium bromide, penanda DNA 100

750 pb

815 pb

M Ca01 TL 05

32 Jurnal Primatologi Indonesia, Volume 7, Nomor 1, Juni 2010, p. 27-33

lanjut tentang molekuler dan memecahkan beberapapertanyaan mengenai pola kekerabatan, sertamendukung data di lapang merupakan cara terbaiktanpa menyakitkan satwa (bilou) sehinggakesejahteraan (animal welfare) tetap terjaga.

Teknik analisis molekuler melalui sampel fesesmerupakan jalan terbaik secara non-invasif. Dalamsampel feses tersimpan sel-sel epitel usus yangmenyimpan informasi penting untuk dapat menelusurijalur keturunan, kekerabatan, hubungan antar dan interpopulasi ataupun pola perkawinan. Hal ini dapatdilakukan untuk penelitian tentang analisis DNA baikDNA inti ataupun DNA mitokondria sebagaipengembangan manajemen konservasi sertaevolutionary significant unit.

Banyak kendala-kendala yang sering dijumpaisaat pengkoleksian sampel di lapang walaupun tekniknon-invasif tergolong baik. Salah satu kendala diantaranya sulitnya menemukan spesies atau bilouyang dijadikan objek, karena satwa (bilou) bergerakdengan cepat dan memiliki daerah jelajah atau teritoriyang luas didukung pula dengan keadaan hutan yangcukup lebat hingga sulit terdeteksi dengan baikkeberadaannya. Akan tetapi apabila satwa tersebuttelah diketahui secara pasti tiap kelompoknya, penelitiharus berusaha mengikutinya sampai satwa (bilou)melakukan defekasi. Dengan demikian pengkoleksiansampel dapat berjalan dengan baik dan dapat dijumpaipula saat satwa tersebut melakukan defekasi. Akantetapi saat feses jatuh dari atas pohon, sering hancurakibat melewati ranting-ranting ataupun dahan,sehingga pengkoleksian sampel terhambat ataukurang sempurna. Selain itu pula, sering sulitdibedakan antara feses bilou dengan feses darispesies satwa primata lainnya yang serimg tumpangtindih, seperti jenis spesies Macaca. Koleksi fesesjuga sering sulit bila sampel berbentuk cair dan tidaksegar. Dalam keadaan sampel yang tidak segar inidapat diperkirakan sampel yang ada telahterkontaminasi oleh bakteri atau senyawa penguraidan pembusuk yang berada dalam tanah.

Selain kendala-kendala yang terjadi di lapang,ternyata ketika analisis di laboratorium tidak dapatberjalan dengan mulus. Kendala-kendala yang seringditemukan tersebut diantaranya terjadiya kontaminasietanol, fenol ataupun alkohol akibat pencucian yangkurang bersih. Kendala yang cukup berat adalahkadar atau konsentrasi DNA yang cukup rendah,sehingga hasil ekstraksi maupun hasil produk PCRdari elektroforesis sulit mengetahui pita-pita dalampendeteksian UV Transluminator + MP4 kamerapolaroid.

Perbandingan dalam menggunakan sampelanalisis mitokondria DNA pada bilou dengan analisis

mitokondria DNA pada owa jawa (Whittaker 2004)menunjukkan sedikit kesamaan dalam pendeteksianpita-pita pada proses elektroforesis, terutama padapenggunaan primer forward: 378 dan primerreverse: 12SR pada 12S rRNA dalam penelitian owajawa (Daniel,2004) dan primer L1041 dan H1478pada 12S rRNA dalam penelitian bilou, pita-pita initerdeteksi dengan ukuran 750-815 pb, walaupun padapengujian produk PCR sampel yang digunakan dandideteksi hanya 2 sampel saja (Gambar 5).

Namun bila semua ini dilihat dari awal analisisproses ekstraksi, mengalami perbedaan yang cukupsignifikan. Walaupun proses ekstraksi menggunakankit Qiagen mini stool® dengan merk yang sama,tetapi terdapat perbedaan dari semua jenis larutanyang ada dalamnya dan yang digunakan pada analisisekstraksi mitokondria DNA. Fungsi semua itu sama,perbedaan larutan tersebut adalah QG(solubilization buffer) (Qiagen), dapar PE (Washbuffer) (Qiagen) dan dapar EB (Elution buffer)(Qiagen) dan dapar AE (elution buffer) (Qiagen)untuk analisis ekstraksi mitokondria DNA pada owajawa (Whittaker 2004). Dapar ASL (stool lysisbuffer) (Qiagen), inhibitEX (Qiagen), dapar AL(Qiagen), dapar AW1 dan AW2 (Wash buffer) daparAE (elution buffer) (Qiagen) untuk analisis ekstraksimitokondria DNA pada bilou.

Analisis DNA yang digunakan dalam penelitianini merupakan analisis DNA mitokondria (mtDNA).Hal ini merupakan pendekatan yang cukup baik untukmengetahui pola perkawinan ataupun polakekerabatan suatu spesies. DNAmt merupakanpenurunan sifat yang berasal dari maternalitas

Page 7: Teknik Analisis Non-Invasif Mitokondria DNA ( MtDNA) BILOU

Nayasilana et al., Teknik Analisis Non- Invasif Mitokondria DNA (MtDNA) Bilou 33

(keturunan yang berasal dari maternal) yangmenyimpan kode genetik penting dan seringmengalami mutasi, mutasi inilah yang lebih cepatterjadi hingga 5-10 kali lebih cepat dibandingkandengan mutasi yang terjadi pada sel inti atau nukleus,hingga mutasi terus- menerus dalam suatu sel dan(Qiagen) dan dapar AE (elution buffer) (Qiagen)untuk analisis ekstraksi mitokondria DNA pada bilou.

Analisis DNA yang digunakan dalam penelitianini merupakan analisis DNA mitokondria (mtDNA).Hal ini merupakan pendekatan yang cukup baik untukmengetahui pola perkawinan ataupun polakekerabatan suatu spesies. DNAmt merupakanpenurunan sifat yang berasal dari maternalitas(keturunan yang berasal dari maternal) yangmenyimpan kode genetik penting dan seringmengalami mutasi, mutasi inilah yang lebih cepatterjadi hingga 5-10 kali lebih cepat dibandingkandengan mutasi yang terjadi pada sel inti atau nukleus,hingga mutasi terus- menerus dalam suatu sel dandan dalam suatu spesies menyebabkan terjadinyaevolusi pada individu ataupun spesies tersebut.

Penggunaan 12S rRNA, karena selainmempunyai beberapa daerah amplifikasi danperunutan dengan urutan yang sangat terpelihara.Molekul ini mudah digunakan dalam eksperimendaripada 23S rRNA. Sementara 5S rRNA denganukuran yang lebih kecil (kurang dari 120 nukleotida)hanya mengandung sedikit informasi dalammolekulnya (Brock, 1991 dalam Wijayanti 1996).

Perbandingan urutan basa yang conserve dariribosomal RNA, digunakan sebagai dasar penentuanhubungan kekerabatan antar organisme. 12S rRNAsebagai sub unit kecil ribosom pada eukariotik,mempunyai fungsi yang setara dengan 16S rRNApada organisme prokariotik, hingga 12S rRNAdigunakan sebagai dasar pohon filogenetik untukorganisme eukariotik.

Simpulan

Teknik analisis non-invasif mitokondria DNAbilou (Hylobates klossii) melalui Polymerase ChainReaction (PCR) lebih efektif dilakukan pada daerah12S rRNA dengan penggunaan anneling suhu 50oCselama 30 detik dan di location of universal primerL=1091, H=1478, melalui penanda ukuran di kisaranantara 750-815 pb DNA ladder.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih penulis ucapkan kepada: DanielleJ. Whittaker (USA), Laboratorium Zoologi Genetika(LIPI, Cibinong), Dannile N. Lumban Tobing(Departemen Biologi FMIPA-UI), DepartemenBiologi, FMIPA-UIA.

Daftar Pustaka

Abegg C, Thierry B. 2002. The Phylogenetic statusof Siberut Macaques: Hints from Bared teethdisplay. Primate Report 63: 73-78

Chivers DJ. 1977. The Lesser Apes. Di dalam: HisSerene Highness Prince Rainier II of Monaco,Bourne GH, Editor. Primate Conservation.London: Academic Pr. hlm 539-598.

Firman, Novi H, Abegg C. 2003. Study awalpopulasi konservasi satwa primata di Siberututara. Sumatera Barat. Seminar Ilmiah PekanIlmiah Biologi 2004 di Universitas Islam As-Syafi’iyah. Jakarta.

Geissmann, T. 1995. Gibbon systematics andspecies identification. International Zoo News42: 467-501.

Groves C. 2001. Primate Taxonomy. SmithsonianInstitution Press. USA

Lekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals ofThailand. Bangkok: Kurusapha Ladprao Pr.

Marshall J, Sugardjito J. 1986. Gibbon systematic.Di dalam: Comparative Primate Biology Vol.1: Systematics, Evolution and Anatomy. London:Alan. R. Liss. hlm 137-185.

Preuschoft H. 1998. Grzimek’s EncyclopediaMammals Vol.2 New York: Mc. Graw-Hill

Suryo. 1990. Genetika. Gadjah Mada University –Press. Yogyakarta. (tidak dipakai di dalam)

Whittaker DJ. 2005. New population estimates forthe endemic Kloss’s gibbon Hylobates klossiion the Mentawai Islands, Indonesia. Oryx Vol.39 No. 4: 458-461

Whittaker DJ. 2006. A Conservation Action Planfor the Mentawai Primates. PrimateConservation 2006 (20): 95–105