Upload
shinobi-anjir-serapat
View
400
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU DALAM ISLAM
Oleh: Muhammad Subhan Lutfi
A. Pendahuluan
Bagi umat Islam, menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban yang tidak
boleh ditinggalkan baik oleh muslim laki-laki maupun muslim perempuan dan
tidak pandang umur. Selagi nafas dikandung badan, menuntut ilmu adalah WAJIB
HUKUMNYA. Ilmu apapun sepanjang itu membawa kemashlahatan bagi diri dan
umat manusia pada umumnya.
Dalam hal menuntut ilmu pengetahuan, Agama Islam telah memberikam
konsep yang brilian dan luar biasa yang disebut konsep menuntut ilmu sepanjang
hayat, dalam dunia barat dikenal dengan life long education. Hal ini tercermin
pada hadits Rasulullah saw:
ا ن� ال�عل�م� اط�ل�ب�و� د م ه� د إل�ى ال�م� الل�ح�Artinya : Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahad
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa dalam menuntut ilmu tidak
mengenal waktu, usia, dan juga tidak mengenal perbedaan. Pria dan wanita punya
kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu sehingga setiap orang, baik pria
maupun wanita bisa mengembangkan potensi yang diberikan Allah swt, sesuai
dengan fitrahnya. Karena itulah agama memandang bahwa ibadah tidak terbatas
pada sholat, puasa, zakat dan haji saja, tetapi menuntut ilmu juga termasuk ibadah.
Bahkan ilmu dianggap sebagai ibadah yang utama, sebab dengan ilmulah kita bisa
melaksanakan ibadah-ibadah lainnya dengan benar. Tanpa ilmu pengetahuan
maka ibadah yang dilaksanakan tidak bernilai apa-apa dalam tantaran hakikat.
2
Dengan ilmu pulalah manusia dapat meraih kesejahteraan hidup didunia
dan kebahagiaan diakhirat. Disinilah urgensi ilmu sebagai suatu yang niscaya
dimiliki oleh setiap muslim. Oleh karena itu menuntu ilmu wajib bagi setiap
individu muslimin dan muslimat tanpa adanya perbedaan.
B. Definisi Ilmu
Dalam perspektif ensiklopedi Islam, kata Ilmu berasal dari bahasa Arab
yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata dari jahil, ketidaktahuan atau
kebodohan.1
Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ilmu secara bahasa
berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai
ciri kejelasan. Oleh karena itu lebih lanjut dia menjelaskan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.2
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ilmu diartikan sebagai pengetahuan
atau kepandaian tentang hal yang berhubungan dengan duniawi, akhirat, lahir,
batin dan lain sebagainya.3
Pengertian lain dapat ditemukan dalam ensiklopedi al-Qur’an yang
menjelaskan kata ilmu bentuk masdar dari a’lima ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibnu
Zakaria, pengarang buku Mu’jam Muqayyis Al-Lugah bahwa kata ‘ilm
mempunyai arti detonative “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan
1 Ensiklopedia Islam, Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve), h.261
2 M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, tafsir tematik atas berbagai persoalan umat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h.571
3 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indionesia, cet.3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.42
3
sesuatu dari yang lainnya”. Menurut Ibnu Manzur, ilmu adalah antonym dari tidak
tahu (Naqid al Jahl), sedangkan menurut al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah
mengetahui hakekat sesuatu.4
Imam Ragib al-Asfahani dalam kitabnya Mufradat al-Qur’an sebagaimana
dikutib Yusuf Qardhawi berkata, “Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan
hakikatnya.5
C. Perintah Menuntut Ilmu
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang mewajibkan manusia untuk menuntut
ilmu pengetahuan baik secara tersirat maupun tersurat. Islam sebagai agama yang
paling mulia memandang ilmu sebagai cahaya dalam kehidupan, sementara
kebodohan merupakan “kematian dan kegelapan”. Seperti diketahui bahwa
kejahatan disebabkan oleh ketidakadaan cahaya yang menerangi didalam hidup
dan kehidupan. Ilmu merupakan cahaya yang menuntun hidup dan kehidupan
manusia agar selamat didunia dan diakhirat. Sehingga tampak jelas urgensi ilmu
dalam kehidupan manusia.
Ayat pertama yang turun adalah surat Al-Alaq ayat 1-5. Ayat tersebut
sekaligus sebagai ayat pertama yang mewajibkan kepada manusia untuk menuntut
ilmu melalui belajar dengan jalan membaca, baik dalam makna tekstual maupun
dalam makna majazi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
4 Ensiklopedi al-Qur’an, Kajian Kosakata dan Tafsirnya. (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h. 150
5 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. (Jakarta: Bimantara, 1997), h.150
4
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Turunnya surat al alaq 1-5 menyuruh kepada Nabi Saw untuk membaca,
walaupun ketika itu beliau belum bisa membaca dan menulis. Namun malaikat
Jibril mendesaknya sampai 3 kali agar Nabi Saw membaca, sampai akhirnya
beliau membaca dengan dibimbing Malaikat jibril.
Hal itu menunjukkan bahwa untuk dapat memahami petunjuk Allah Swt.,
yang diberikan melalui wahyuNya, maka seseorang harus dapat membaca, karena
membaca merupakan kunci ilmu pengetahuan.
Pada ayat kedua surat tersebut dijelaskan bahwa Allah Swt, menciptakan
manusia dari segumpal darah kemudian menjadikannya sebagai makjkluk yang
paling mulia. Ini menunjukkan betapa maha kuasanya Allah dengan ilmu dari asal
kejadian yang rendah mahkluk yang paling mulia.
Kemudian pada ayat ketiga Allah Swt menyuruh kembali untuk membaca,
dengan menunjukkan betapa pentingnya membaca yang hanya dapat diperoleh
dengan latihan berulang-ulang. Seperti halnya nabi saw, yang tidak dapat
5
membaca, dengan bimbingan malaikat Jibril secara berulang-ulang akhirnya
beliau dapat membaca hingga mengantarnya menjadi mahkluk yang paling mulia.6
Dengan demikian rangkaian ayat dalam surat ini menunjukkan betapa
pentingnya memiliki kemampuan membaca dan menulis serta pentingnya ilmu
pengetahuan yang dapat mengangkat derajat manusia dihadapan Allah Swt.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa kata “iqra”
pada ayat diatas, terambil dari kata kerja “qara’a” yang pada mulanya berarti
menghimpun. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa apabila anda
merangkai huruf atau kata kemudian anda mengucapkan rangkaian tersebut, maka
anda telah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan demikian realisasi
perintah tersebut tidak mengharuskan adanya teks tertulis sebagai objek bacaan,
tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain.7
Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud.
Ada yang berpendapat wahyu-wahyu al-Qur’an, sehingga perintah itu dalam arti
bacalah wahyu-wahyu al-Qur’an ketika dia turun nanti. Ada juga yang
berpendapat objeknya adalah “isma Rabbika” sambil menilai huruf “ba” yang
menyertai kata isim adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu
atau berdzikirlah. Tapi menurut Quraish Shihab, jika demikian mengapa Nabi saw
menjawab “saya tidak dapat membaca”. Seandainya yang dimaksud adalah
perintah berdzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum
dating wahyu beliau telah senantiasa melakukannya.8
6 M.Quraish Shihab, 0p.cit. h.4257 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), volume 15, h.3928 Ibid, h.392
6
Huruf “ba” pada kata “bismi” ada juga yang memahaminya sebagai
penyertaan atau mulaabasah, sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti
“bacalah disertai dengan nama tuhanmu”. Disini dapat kita pahami bahwa
apapun yang kita kerjakan hendaknya dimulai dengan menyebut nama Tuhan.
Demikian halnya belajar dalam konteks menuntut ilmu.9
Wahyu pertama sebagai dasar utama yang mewajibkan menuntut ilmu
tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki
umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut “bismi rabbika”, dalam arti
bermanfaat bagi kemanusiaan. Iqra, berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri
sendiri, yang tertulis maupun tidak tertulis.10 Jadi objek perintah iqra’ mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Selanjutnya menurut Quraish Shihab, dari wahyu pertama al-Qur’an
diperoleh isyarat bahwa ada dua cara memperoleh dan pengembangan ilmu, yaitu
Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain, dan mengajar
manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah allah
mengajar manusia dengan perantaraan atau usaha dari manusia itu sendiri, dan
mengajar manusia tanpa perantaraan dan tanpa usaha dari manusia. Walaupun
berbeda, tetapi keduanya berasal dari satu sumber yaitu Allah SWT.11
Dalam pandangan al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan
manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi
9 Ibid10 M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, tafsir tematik atas berbagai persoalan umat,
op.cit, h.57011 ibid
7
kekhalifahan. Ini tercemin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan
al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 31 dan 32:
Artinya: (31) Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-
benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!". (32) Mereka menjawab: "Maha suci Engkau,
tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Selanjutnya menurut al-Qur’an, manusia memiliki potensi untuk meraih
ilmu dan megembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu bertebaran ayat yang
memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal
tersebut. Salah satunya adalah ayat yang memerintahkan kepada manusia dengan
cara belajar atau bertanya kepada yang ahli ilmu sebagaimana tercermin dalam
surat Yunus ayat 43:
Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, Apakah
dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka
tidak dapat memperhatikan. (Q.S.Yunus: 43)
8
Berkali-kali pula al-Qur’an menjelaskan betapa tinggi dan kedudukan
orang-orang yang berilmu pengetahuan. Salah satunya tercermin dalam al-Qur’an
surat al-Mujadillah ayat 11:
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.al-Mujadilah: 11)
Menurut Quraish Shihab, ilmu yang dimaksud pada ayat 11 surat al-
Mujadillah bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Pada sisi
lain juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan kassyah yakni rasa
takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu
mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk.12
Pada ayat yang lain Allah mulai memberikan identitas yang wajib
menuntut ilmu sertai ilmu apa saja yang harus dituntut, hal ini tercermin dalam
firman Allah swt:
12 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, Volume 14, h.80
9
Artinya, Tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah:122)
Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu
agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong
mendapatkan kedudukan tinggi dihadapan Allah swt, dan tidak kalah derajatnya
dari orang-orang yang berjihad dengan harta dan dirinya dalam rangka
meninggikan kalimat Allah, bahkan upaya tersebut kedudukannya lebih tinggi
dari mereka yag keadaannya tidak sedang berhadapan dengan musuh.13
Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menggaris
bawahi pentingnya memperdalam ilmu dan memperluas informasi yang benar. Ia
tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah. Bahkan pertahanan
wilayah berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu
pengetahuan atau sumber daya manusia. Sementara ulama menggarisbawahi
persamaan redaksi anjuran/perintah menyangkut kedua hal tersebut. Ketika
berbicara tentang perang, redaksi ayat 120 surat yang sama dimulai dengan
13 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawi), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008, h. 159
10
menggunakan istilah maa kaama. Dengan juga ayat ini yang berbicara tentang
pentingnya memperdalam ilmu dan penyebaran informasi.14
Berdasarkan keterangan ini maka ilmu yang paling wajib dipelajari adalah
ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan hukum-hukum agama ( fiqh), walaupun
sebenarnya kata tafaqqahu tersebut makna umumnya adalah memperdalam ilmu
agama, termasuk fiqh, ilmu kalam, ilmu tafsir, tasawuf dan sebagainya ilmu yang
dapat menjadi maslahat bagi dirinya dan umat secara umum. Rasulullah saw.
Dalam hal ini juga menekankan kewajiban pada aspek pencarian ilmunya, tidak
pada objek ilmu itu sendiri. Oleh karena itu selama ilmu itu bermanfaat bagi
kemaslahatan umat terutama individu muslim untuk dunia dan akhiratnya maka
menuntut ilmu itu wajib baginya dalam konteks fardu’Ain. Sebagaimana hadis
Rasulullah saw:
ة� ال�عل�م �ط�ل�ب� ري�ض� لم� ك�ل ع�ل�ى ف� م�س�
Artinya : Menuntut ilmu wajib atas setiap individu muslim (HR. Ibnu
Abdilbar)
Menuntut ilmu itu adakalanya wajib 'ain dan adakalnya wajib kifayah.
Ilmu yang wajib kifayah hukum mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang hanya
menjadi pelengkap, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadist dan sebagainya. Sedangkan
Ilmu yang wajib 'ain dipelajari oleh mukallaf yaitu untuk meluruskan 'aqidah yang
wajib dipercayai oleh seluruh muslimin, yang berhubungan dengan pelaksanaan
14 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, Volume 5, h. 751
11
pekerjaan-pekerjaan yang difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji. 15
Oleh karena itu, ilmu-ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu bahasa
'arab, ilmu sains seperti perobatan, kejurusasteraan, ilmu perundangan dan
sebagainya adalah termasuk dalam ilmu yang tidak diwajibkan untuk dituntuti
tetapi tidaklah dikatakan tidak perlu karena ia adalah dari pada ilmu fardhu
kifayah. Begitu juga dengan ilmu berkaitan tarekat ia adalah sunat dipelajari tetapi
perlu difahami bahwa yangg paling utama ialah mempelajari ilmu fardhu 'ain
terlebih dahulu. Tidak mempelajari ilmu fardhu 'ain adalah suatu dosa kerana ia
adalah perkara yg wajib bagi kita untuk dilaksanakan dan mempelajari ilmu
selainnya tidaklah menjadi dosa jika tidak dituntuti.
D. Objek Ilmu dan Cara Memperoleh
Menurut pandangan al-Qur’an, ilmu terdiri dari dua macam. Pertama,
ilmu yang diperolah tanpa upaya manusia, dinamai ‘ilm laduni seperti yang
diinformasikan antara lain oleh surat al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 65:
Artinya: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-
hamba kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang
telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami.
15 Ibid, h.749
12
Kedua, Ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai ‘ ilm kasbi,
Ayat-ayat ‘ilm Kasbi jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘ilm
ladduni.16
Pembagian ini disebabkan dalam pandangan al-Qur’an terdapat hal-hal
yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui malalui upaya manusia sendiri. Ada wujud
yang tidak Nampak, sebagai mana ditegaskan bekali-kali oleh al-Qur’an antara
lain dalam firman-Nya:
Artinya: Maka aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan
apa yang tidak kamu lihat. (Al-Haqqah: 38-39)
Artinya: dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
(QS.An Nahl:8)
Dari ayat diatas jelaslah bahwa objek ilmu meliputi atas alam materi dan
nonmateri. Sains mutakhir mengarahkan pandangan kepada alam materi, dan
sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan
dialam materi.
Sedangkan menurut pandangan ilmuan muslim objek ilmu mencakup alam
materi dan non materi. Karena itu, sebagian ilmuan muslim khususnya kaum sufi
melalui ayat-ayat al-Qur’an memperkenalkan ilmu untuk menggambarkan
keseluruhan realitas wujud ilahi melalui lima hal yaitu: alam nasut (alam materi),
16 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, tafsir temutik atas berbagai persoalan umat,op.cit. h. 573
13
alam malakut (alam kejiwaan), alam jabarut (alam ruh), alam lahut (sifat-sifat
ilahi), dan alam hahut (wujud zat ilahi).17
Untuk meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut diatas, memerlukan
cara dan sarana yang digunakan. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah swt:
Artinya: dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur.(QS. An Nahl: 78)
Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu: pendengaran,
penglihatan, akal serta hati. Trial and error (coba-coba), pengamatan dan
perecobaan dan tes-tes kemungkinan merupakan cara-cara yang digunakan ilmuan
untuk meraih pengetahuan.
Kemudian menurut Quraish Shihab, disamping mata, telinga dan pikiran
sebagai sarana meraih pengetahuan, kesucian hati juga termasuk sarana yang
sangat berpengaruh. Hal ini karena ilmu pengetahuan yang baik hanya dapat
diterima dengan hati yang suci.18
Dalam perspektif islam makna belajar atau menuntut ilmu bukan hanya
sekedar upaya perubahan perilaku, tetapi juga harus memperkuat akhlak sesuai
dengan nilai-nilai ajaran islam. Memperkuat akhlak artinya mencari atau
mencapai ilmu yang sebenarnya dan mencapai akhlak yang sempurna.19
17 Ibid,h.57418 Ibid,h.57619 Tohirin, “Psikologi Pembelajaran Pendidikan Islam”. (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2006),h.57
14
Oleh karena itu, hendaklah sebagai seorang muslim memiliki sifat yang
baik yakni taqwa kepada Allah swt, sehingga Allah akan memberikan petunjuk
dan hidayahnya dan menjadikannya sebagai ahli ilmu yang memiliki keutamaan
baik disisi manusia maupun Allah SWT
E. Kesimpulan
Bahwa dalam menuntut ilmu tidak mengenal waktu, usia, dan juga tidak
mengenal perbedaan. Pria dan wanita punya kesempatan yang sama untuk
menuntut ilmu sehingga setiap orang, baik pria maupun wanita bisa
mengembangkan potensi yang diberikan Allah swt, sesuai dengan fitrahnya.
Karena itulah agama memandang bahwa ibadah tidak terbatas pada sholat, puasa,
zakat dan haji saja, tetapi menuntut ilmu juga termasuk ibadah. Bahkan ilmu
dianggap sebagai ibadah yang utama, sebab dengan ilmulah kita bisa
melaksanakan ibadah-ibadah lainnya dengan benar. Tanpa ilmu pengetahuan
maka ibadah yang dilaksanakan tidak bernilai apa-apa.
Menuntut ilmu itu adakalanya wajib 'ain dan adakalnya wajib kifayah.
Ilmu yang wajib kifayah hukum mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang hanya
menjadi pelengkap, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadist dan sebagainya. Sedangkan
Ilmu yang wajib 'ain dipelajari oleh mukallaf yaitu untuk meluruskan 'aqidah yang
15
wajib dipercayai oleh seluruh muslimin, yang berhubungan dengan pelaksanaan
pekerjaan-pekerjaan yang difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawi), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008.
Ensiklopedia Islam, Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Ensiklopedi al-Qur’an, Kajian Kosakata dan Tafsirnya. Jakarta, Yayasan Bimantara, 1997.
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, tafsir tematik atas berbagai persoalan umat, Bandung, Mizan Pustaka, 2007.
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta, Bimantara, 1997.
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta, Lentera Hati, 2002.
, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, Volume 14.
Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, Volume 5.
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indionesia,Jakarta, Balai Pustaka, 2007.
16
Tohirin, “Psikologi Pembelajaran Pendidikan Islam”. Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2006.