92
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X) TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi RAKHMAT NOORY 1006817561 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI ADMINISTRASI FISKAL EKSTENSI DEPOK JUNI 2012 Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

TA-Rakhmat Noory.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TA-Rakhmat Noory.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN

ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS

WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X

SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X)

TUGAS KARYA AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu

Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi

RAKHMAT NOORY

1006817561

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI FISKAL EKSTENSI

DEPOK

JUNI 2012

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 2: TA-Rakhmat Noory.pdf

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar,

Nama : Rakhmat Noory

NPM : 1006817561

Tanda Tangan :

Tanggal : Juni 2012

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 3: TA-Rakhmat Noory.pdf

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Rakhmat Noory

NPM : 1006817561

Program Studi : Administrasi Fiskal

Judul Skripsi : Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti

Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waralaba

Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai

franchisor Waralaba Minimarket X)

Telah berhasil dipertahankan di hadapkan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekstensi pada Program Studi Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu

Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Ning Rahayu, M.Si

Penguji Ahli : Ruston Tambunan Ak., M.Si., M.Int.Tax

Ketua Sidang : Dr. Tafsir Nurchamid, M.Si., Ak.

Sekretaris Sidang : Milla Setyowati, S.Sos., M.Ak.

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 25 Juni 2012

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 4: TA-Rakhmat Noory.pdf

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam

Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai Franchisor

Waralaba Minimarket X)”. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana strata satu ilmu

Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit untuk

menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Dalam penyusunan

skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak,

baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi yang

berarti dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ning Rahayu, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi

Fiskal Program Studi Sarjana Ekstensi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Indonesia, dan selaku dosen pembimbing yang banyak

sekali mengarahkan dan membantu penyelesaian penelitian ini

2. Ruston Tambunan Ak., M.Si., M.Int.Tax selaku dosen penguji

3. Drs. Asrori, MA, FLMI selaku Ketua Program Sarjana Ekstensi

Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia.

4. Mama dan Papa tersayang yang selalu memberikan kasih sayang yang tak

ternilai harganya, serta kakak-kakak tercinta dan Mama Heri yang selalu

memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.

5. Teman-teman Ekstensi FISIP UI Fiskal 2010 terutama rekan satu tim

bimbingan Naela dan Eliana (Terimakasih Banyak), kemudian Fyko

Fabud, Try Dharmadi, Henry Triawan, Nuh Satryo, Vicha Aida, Lavira

Mavushi, Erik Dwi Putra, Chandra N, Dimas Bagus, Miqdam Sugiarto,

Andi Yudistira, Dessy, Aldilla, dan semua teman-teman lain yang tidak

dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan kalian semua.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 5: TA-Rakhmat Noory.pdf

v

6. Andri Kurnaedi Hidayat, sebagai teman, sahabat, sekaligus mentor yang

selalu memberikan arahan dan masukan yang sangat bermanfaat.

7. Dosen-dosen pengajar Ekstensi FISIP UI yang telah membantu

memberikan ilmu pengetahuan dan senyuman, terutama Dr. Waluyo dan

Prof. Dr. Gunadi, serta pengajar lain yang sangat saya hormati.

8. Pegawai sekretariat Ekstensi FISIP UI.

9. Narasumber dan Informan yang telah memberikan kesediaan waktu untuk

memberi data dan informasi kepada peneliti: Prof. Gunadi, Tommy

Sugianto, Enny Agustianty Jacob, John Hutagaol, Suryono Ekotama,

Tugiman Binsardjono, Heri Poerwanto, dan Fadiah.

10. Prima Pantau Putri Santosa yang selalu memberikan semangat untuk

menyelesaikan penelitian ini.

11. Varah Alista yang selalu setia menemani hari-hari peneliti.

12. Pihak-pihak lain yang penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu dalam

memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa

manfaat bagi pengembangan ilmu administrasi fiskal.

Depok, Juni 2012

Peneliti

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 6: TA-Rakhmat Noory.pdf

vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Rakhmat Noory

NPM : 1006817561

Program Studi : Administrasi Fiskal

Departemen : Ilmu Administrasi

Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Jenis karya : Tugas Karya Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menuyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Analisis Kebijakan Pajak Atas

Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal

Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan /

formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai

penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : Juni 2012

Yang menyatakan

(Rakhmat Noory)

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 7: TA-Rakhmat Noory.pdf

vii

ABSTRAKSI

Nama : Rakhmat Noory

Judul : Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa

Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi

Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)

Penelitian ini membahas tentang Penghasilan Royalti Dalam Format

Bisnis Waralaba Lokal Indonesia. Format Bisnis Waralaba adalah suatu format

yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Dalam Format Bisnis Waralaba ini,

terdapat penghasilan berupa royalti yang dibayarkan oleh francshisee kepada

franchisor terkait pemberian ”know-how” oleh franchisor kepada franchisee.

Namun dalam prakteknya, dalam penghasilan royalti tersebut ternyata tidak murni

dihasilkan dari penghasilan royalti saja, namun juga terdapat komponen

penghasilan yang termasuk Jasa Teknik. Hal ini menyebabkan terjadinya

kesalahan Wajib Pajak dalam melakukan pemotongan pajak penghasilan. Metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data

dilakukan menggunakan wawancara mendalam dan studi pustaka. Analisa yang

dilakukan adalah dengan membandingkan data-data yang telah diperoleh dengan

teori yang ada dan peraturan yang berlaku. Perbandingan yang dilakukan mengacu

pada tema penelitian ini. Kelemahan penelitian skripsi ini adalah masih adanya

data yang kurang didapatkan untuk dijadikan bahan perbandingan, namun dari

penelitian ini dapat diperoleh gambaran tentang pemotongan pajak penghasilan

atas royalti yang dilakukan oleh Waralaba Minimarket X kepada PT X sebagai

franchisor.

Kata Kunci : Penghasilan Royalti, Jasa Teknik, Waralaba Lokal Indonesia.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 8: TA-Rakhmat Noory.pdf

viii

ABSTRACTION

Nama : Rakhmat Noory

Judul : Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa

Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi

Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)

This study discusses the royalty income from Local Franchise Business

Format In Indonesia that growing rapidly. In Franchise Business Format, there is

royalti income paid by franchisee to the franchisor related to the provision of

know-how of the franchisor to the franchisee. However, in practice in that income

from royalty was also present income from technical services. This causes the

taxpayer makes mistakes in their income tax withholding obligations. The

research method used in this study is a qualitative. Data collection techniques

performed using in-depth interview and literature study. Analysis was performed

by comparing the data have been obtained with the existing theory and

regulations. Comparisons are made referring to the theme of this research. The

weakness of this thesis research is still a lack of data available to be used as a

comparison, but from this study may provide a general description of the

withholding tax on royalty income by Minimarket X franchise to PT X as a

franchisor.

Keywords : Royalty Income, Technical Services, Indonesian Local Franchise.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 9: TA-Rakhmat Noory.pdf

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………............................................ i

HALAMAN PERNYATAN ORISINALITAS ………………………………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….............. iii

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………………………………. vi

ABSTRAKSI………………………………………………………………........ vii

DAFTAR ISI……………………………………………...…………………...... ix

DAFTAR TABEL…………………………………………………………..….. xii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….xiii

BAB 1 PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1

I.2 Pokok Permasalahan …………………………………………. 6

I.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….. 7

I.4 Signifikansi Penelitian ……………………………………….. 8

I.5 Sistematika Penelitian ………………… …………………….. 8

BAB 2 KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Literatur …………………………………………… 11

2.2 Kebijakan Pajak……………………………………………… 15

2.3 Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan……………………… 17

2.3.1 Passive Income dan Active Income …………………… 19

2.4 Konsep Franchise……………......…………………………… 20

2.4.1. Waralaba (Franchise) di Indonesia …………………… 24

2.5 Konsep Royalti…………………………. ……………………. 24

2.5.1. Manfaat Royalti Dalam Bisnis Waralaba……………… 25

2.6 Konsep Jasa Teknik…………………………………………. 26

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 10: TA-Rakhmat Noory.pdf

x

2.7 Bagan Alur Pemikiran ……………………………………….. 28

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian………………………………………. 30

3.2 Jenis Penelitian …………………….……..………………… 31

3.3 Metode Pengumpulan Data…………….…………………… 31

3.4 Narasumber / Informa.n…..………………………………… 32

3.5 Proses Penelitian…… ……………………………………… 35

3.6 Site Penelitian ……………………………………………… 36

3.7 Batasan Penelitian ……..…………………………………… 36

BAB 4 GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Bisnis Waralaba (Franchise)………………37

4.1.1 Jenis-jenis Waralaba (Franchise)………….………… 41

4.1.2 Karakteristik Bisnis Waralaba (Franchise)…………. 42

4.1.3 Biaya-biaya Yang Timbul Dalam Bisnis Waralaba….. 43

4.1.4 Dasar Hukum Bisnis Waralaba (Franchise)……….… 44

4.1.5 Kewajiban Para Pihak……………………………….. 45

4.2. Gambaran Umum PT X………………………………………. 46

4.2.1 Skema Waralaba PT X………………………………. 48

4.2.2 Syarat Menjadi Pemiliki Toko Waralaba X…..……… 51

4.2.3 Royalti Dalam Waralaba X………………………….. 51

BAB V ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN

ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS

WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X

SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X)

5.1. Analisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee

ke PT X sebagai franchisor sesuai konsep perpajakan.............. 52

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 11: TA-Rakhmat Noory.pdf

xi

5.1.1 Penghasilan Royalti Dalam Format Bisnis

Waralaba PT X .………………………………………… 53

5.1.2 Unsur Jasa Teknik Dalam Pemberian Bantuan Pada Format

Bisnis Waralaba PT X…….………………………….… 57

5.1.3 Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis

Waralaba PT X………………………………………….. 63

5.1.4 Pemotongan Pajak Atas Royalti Pada PTX Terkait Dengan

Kebijakan Pajak………………………………………… 67

5.2. Dampak Yang Timbul Akibat Pemotongan Penghasilan Atas Royalti

Yang Dilakukan Oleh Franchisee Terhadap PT X……………. 69

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan……………………………………………………. 74

6.2 Saran…………………………………………………………… 75

DAFTAR REFERENSI ………………………………………………….. 77

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 12: TA-Rakhmat Noory.pdf

xii

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Penerimaan Pajak Indonesia

Tabel 1.2. Perkembangan Usaha Waralaba

Tabel 1.3. Pertumbuhan Gerai PT. X

Tabel 2.1. Tinjauan Pustaka

Tabel 2.2. Perbedaan Royalti dan Jasa Teknik

Tabel 4.1. Estimasi Investasi Waralaba X Skema Waralaba Toko Baru

Tabel 4.2. Persentase Pengenaan Royalti Waralaba X

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 13: TA-Rakhmat Noory.pdf

xiii

Daftar Lampiran

Lampiran 1 Transkrip Wawancara

Lampiran 2 Surat Edaran Nomor SE – 35/PJ/2010

Lampiran 3 PP nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 14: TA-Rakhmat Noory.pdf

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini, pajak masih menjadi sumber utama pendapatan Negara.

Penerimaan pajak masih menjadi yang terbesar dalam jumlah pendapatan Negara.

Sektor pajak juga menjadi penopang untuk melakukan pembangunan di berbagai

sektor. Penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan Negara juga terlihat

semakin meningkat dari tahun ke tahun, seperti terlihat dari tabel berikut ini :

Tabel 1.1: Penerimaan Pajak Indonesia

Tahun Penerimaan DN Penerimaan Pajak Persentase

APBN 2006 636.153,1 409.203,0 64,3%

APBN 2007 706.108,3 490.988,6 69,5%

APBN 2008 979.305,4 658.700,8 67,3%

APBN 2009 847.096,6 619.922,2 73,9%

APBN 2010 992.248,5 723.306,6 72,9%

APBN P 2011 1.165.252,5 878.685,2 75,4%

RAPBN 2012 1.292.052,6 1.019.332,4 78,9%

Sumber:http://www.anggaran.depkeu.go.id

Namun walaupun terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya,

pemerintah masih merasa penerimaan dari sektor pajak belum optimal. Karena itu,

pemerintah melakukan berbagai upaya agar dapat menempatkan pajak pada

proporsinya sebagai unsur penerimaan Negara yang handal. Ditambah lagi dengan

pesatnya pertumbuhan ekonomi di era globalisasi sekarang ini, penerimaan dari

sektor pajak seharusnya dapat lebih di optimalkan.

Sejalan dengan berkembangnya era globalisasi, semakin berkembang pula

kebutuhan dan kemajuan masyarakat. Masyarakat semakin menuntut suatu

kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien. Hal ini juga didukung dengan adanya

era globalisasi yang memudahkan masuknya format bisnis baru yang berasal dari

luar dan mendapatkan tanggapan yang baik di Indonesia. Format baru dalam

berbisnis ini muncul dengan dorongan kebutuhan manusia untuk dapat lebih

mengoptimalkan sebaik-baiknya potensi yang dimilikinya demi memperoleh

keuntungan yang semaksimal mungkin, termasuk perkembangan teknologi yang

terus berjalan. Dari sinilah kemudian timbul jenis-jenis bisnis baru, salah satunya

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 15: TA-Rakhmat Noory.pdf

2

Universitas Indonesia

yang sudah mulai berkembang sejak awal tahun 2000-an dan semakin

berkembang pada saat ini adalah format bisnis waralaba (franchise).

Kegiatan bisnis dengan sistem waralaba adalah suatu sistem dalam bisnis

dimana ada suatu pihak (franchisor) yang mempunyai hak milik atas suatu

kegiatan bisnis yang memberikan hak tersebut kepada pihak lain (franchisee)

untuk menggunakan atau memanfaatkan hak milik franchisor tersebut. Di

Indonesia, bisnis dengan sistem franchise ini sudah mulai berkembang sejak tahun

sembilan puluhan awal lalu. Sampai sekarang terus berkembang baik dari jenis

dan jumlah outletnya.

Dalam beberapa tahun belakangan, bisnis waralaba di Indonesia semakin

berkembang dengan pesat. Dari tahun ke tahun, peningkatan dari bisnis waralaba

terus menunjukkan perkembangan yang positif baik dari jumlah merk, total gerai,

hingga omset secara keseluruhannya. Menurut Perhimpunan Waralaba & Lisensi

Indonesia (Wali) omset waralaba pada 2011 sangat besar bahkan mencapai

ratusan triliun rupiah (http://www.franchisewaralaba.com/berapa-total-omset-

waralaba-di-indonesia.html). Hal ini tentunya sangat menggiurkan bagi para

investor untuk melirik usaha waralaba di Indonesia.

Untuk melihat perkembangan bisnis waralaba dengan lebih detail, dapat

dilihat dari sumber table berikut ini:

Tabel 1.2: Perkembangan Usaha Waralaba

Tahun Franchise Asing Franchise Lokal

Jumlah Pertumbuhan Jumlah Pertumbuhan

2001 230 42

2002 255 10.87% 45 7.14%

2003 239 -6.27% 49 8.89%

2004 270 12.97% 62 26.53%

2005 237 -12.22% 129 108.06%

2006 220 -7.17% 230 78.29%

2007 250 13.64% 450 95.65%

2008 255 2.00% 600 33.33%

2009 260 1.96% 750 25.00%

Sumber dari: http://www.franchiseindonesia.org/ , diolah kembali oleh

peneliti

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 16: TA-Rakhmat Noory.pdf

3

Universitas Indonesia

Berbeda dengan pertama kali berkembangnya bisnis waralaba pada tahun

Sembilan puluhan sampai awal tahun 2000-an yang cenderung dikuasai oleh

merk-merk dari luar Indonesia, pada beberapa tahun belakangan merk-merk lokal

sudah ikut meramaikan pasar. Hal ini terlihat dari semakin tersebarnya waralaba-

waralaba lokal di Indonesia. Waralaba lokal kini sudah semakin berkembang

dengan melipat gandakan gerainya dan sudah semakin dikenal di masyarakat.

Sebagai contoh, di bidang pendidikan, kita bisa melihat contoh kiprah

Primagama dan LP3I yang total gerainya sudah ratusan. Atau Apotek K24 yang,

meski termasuk pendatang baru, sudah punya lebih dari 200 gerai. Lalu di bidang

peralatan kantor, Veneta System juga menarik karena bisnis tinta isi ulang ini

sanggup menghidupi lebih dari 1.800 karyawan di 120 gerai.

(http://swa.co.id/business-strategy/melanggengkan-pertumbuhan-bisnis-waralaba)

Itu belum termasuk ratusan usaha waralaba di bidang makanan seperti kebab Baba

Rafi, Ayam Goreng Sabana, ataupun Semerbak Coffee. Dari waktu ke waktu

selalu saja terdengar berita resto waralaba yang menawarkan keunikan konsep

waralabanya. (http://www.swa.co.id, diolah kembali oleh peneliti)

Selain jenis waralaba di atas, masih ada waralaba retail, yaitu jenis waralaba

yang dimiliki oleh PT. X yang menjadi site penelitian dalam studi kasus Tugas

Karya Akhir ini. Waralaba retail menjadi fenomena karena perkembangannya

yang sangat pesat. Jenis waralaba ini seperti sedang berlomba dengan sejumlah

pesaingnya, dengan memberi pengumuman bahwa sekarang jumlah gerainya

sudah sekian dan telah tersebar di banyak kota. Bahkan sampai saat ini gerai

waralaba retail milik PT. X masih terus berusaha memperbanyak outlet untuk

memperoleh target omzet yang akan dicapai untuk tahun 2012. Pertumbuhan

outlet PT. X dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 17: TA-Rakhmat Noory.pdf

4

Universitas Indonesia

Tabel 1.3: Pertumbuhan Gerai PT. X :

Tahun Jumlah Gerai PT. X

Jumlah Pertumbuhan Gerai

2005 1293

2006 1755 462

2007 2266 511

2008 2779 513

2009 3373 594

2010 4812 1439

2011 5200 388 Sumber: Profil PT. X, diolah kembali oleh peneliti

PT. X, sebagai pengelola minimarket X menargetkan 800 gerai lagi pada

tahun 2012. “Untuk tahun 2012 kami menargetkan akan mencapai 6000 gerai di

seluruh Indonesia, dan untuk saat ini kami sedang memfokuskan untuk

memperluas gerai kami di Kota Medan. Jadi apabila ada yang memiliki property

di Medan, kami akan sangat terbuka untuk melakukan kerjasama waralaba.”

Demikian penjelasan dari Regional Franchise Manager dalam presentasinya untuk

format waralaba PT. X yang diikuti oleh peneliti. Perkembangan PT X yang

cukup pesat ini juga yang mendasari peneliti untuk melakukan studi kasus pada

PT X.

Dalam kaitannya dengan bisnis waralaba, perkembangannya terasa cukup

signifikan. Bahkan waralaba, khususnya yang berbentuk mini-market kini bukan

hanya menjadi monopoli franchisee di daerah metropolitan saja, melainkan telah

merambah hingga ke pelosok-pelosok desa. Sebagai contoh, Indomaret dan

Alfamart kini sanggup melipatgandakan gerai hingga ribuan tersebar dari kota-

kota besar hingga pelosok kampung. Bahkan di beberapa daerah, waralaba yang

ada mulai menciptakan persaingan yang sengit, tidak hanya antar pemain

waralaba, melainkan juga dengan pengelola bisnis non-waralaba semisal

pedagang pasar tradisional dan supermarket besar.

Melihat perkembangan yang cukup signifikan tidaklah mengherankan, karena

perputaran uang yang terlibat dalam bisnis tersebut juga tidak dapat dipandang

sebelah mata. Karena terdapat outlet jumlahnya yang ribuan untuk suatu merek

minimarket, tidak salah apabila omzet yang dihasilkan oleh bisnis ini menyentuh

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 18: TA-Rakhmat Noory.pdf

5

Universitas Indonesia

angka yang cukup menjanjikan. Hal ini pada sisi lain juga mengindikasikan

besarnya potensi pendapatan negara, dan tentunya juga penghasilan dalam bidang

pajak yang dapat diraih oleh Negara dari bisnis ini.

Dalam memberikan waralaba, Pemberi Waralaba tentu memperoleh

keuntungan yang tidak sedikit. Hal ini tentu juga menjadi faktor pendorong

perkembangan waralaba itu sendiri. Selain menerima franchise fee dari Penerima

Waralaba sebagai pengikat kontrak, Pemberi Waralaba juga menerima

penghasilan dari royalti atas hak kekayaan intelektual terkait dengan merek

dagang yang digunakan oleh Penerima Waralaba, serta memperoleh penghasilan

tambahan dari pembayaran-pembayaran atas program latihan khusus yang

diselenggarakan oleh Pemberi Waralaba bagi Penerima Waralaba.

Penghasilan yang diterima oleh pemberi waralaba itu tentunya meupakan

objek pajak, namun potensi pemasukan pajak dari sektor franchise ini belumlah

dapat dioptimalkan sebagaimana besarnya bisnis yang berjalan. Hal ini

dikarenakan belum optimalnya pemungutan pajak yang didapatkan dari bisnis

waralaba ini. Belum optimalnya pemungutan pajak tersebut dapat berupa berbagai

macam permasalahan pada saat operasional di lapangan, atau pada saat melakukan

pemotongan atau pemungutan pajak.

Dalam praktiknya, perusahaan pemberi lisensi (franchisor) umumnya

memungut dua hingga tujuh persen dari omzet penjualan perusahaan penerima

lisensi (franchisee) dalam bentuk royalti. Dalam hal ini, franchisor memperoleh

hak atas royalti atas penggunaan merek yang dipakai franchisee. Terhadap

penghasilan atas royalty tersebut tentu saja terdapat pemungutan pajak

penghasilan. Akan tetapi, terdapat beberapa oknum menemui kesulitan karena

terdapat kendala pemahaman yang belum merata mengenai pengetahuan

perpajakan yang menyangkut masalah-masalah khusus di kalangan petugas, serta

belum adanya surat edaran/penegasan lebih lanjut yang lebih terperinci mengenai

royalti dan imbalan jasa teknik, dan kegiatan yang seperti apa yang termasuk ke

dalam royalti atau jasa teknik.

Hal ini menyebabkan hambatan, yaitu mengenai kesulitan dalam

membedakan definisi mengenai penghasilan yang akan dikenakan pajak

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 19: TA-Rakhmat Noory.pdf

6

Universitas Indonesia

penghasilan, apakah penghasilan tersebut terklasifikasi sebagai royalti ataukah

terklasifikasi sebagai imbalan jasa teknik (fees for technical services). Karena itu

dalam praktiknya, baik petugas pajak maupun wajib pajak membuat penafsiran

sendiri-sendiri yang cenderung menguntungkannya. Hal ini tentu saja dapat

merugikan dalam segi pendapatan Negara mengingat perbedaan tari yang

signifikan antara royalti sebesar 15% sedangkan jasa teknik hanya 2%. Begitu

juga dari sisi franchisee yang dalam hal ini bertindak sebagai Witholding Tax

Agent yang diberi kewajiban untuk memotong pajak penghasilan untuk

franchisor. Franchisee akan merasa kebingungan dalam menentukan apakah akan

memotong dengan tarif 15% sebagai royalti atau dengan tarif 2% sebagai jasa

teknik, sedangkan apabila ternyata salah memotong, franchisee akan terkena

sanksi dari DJP karena melakukan salah potong.

1.2 Pokok permasalahan

Berkembang pesatnya bisnis waralaba di Indonesia ternyata tidak disertai

dengan penafsiran yang baik dan seragam mengenai kebijakan pajaknya. Baik itu

dari segi wajib pajak, maupun dari segi pemeriksa (fiskus) dalam memeriksa

kepatuhan pajak pengusaha waralaba. Sehingga terdapat hambatan-hambatan

dalam implementasi kebijakan tersebut di lapangan. Padahal dilihat dari

potensinya, penerimaan pajak dari royalti yang berasal dari bisnis waralaba sangat

besar.

Hal ini tentunya akan mempengaruhi penerimaan pajak yang seharusnya

sangat berpotensi dari bisnis waralaba ini. Hal ini selain disebabkan oleh

awamnya para pelaku bisnis waralaba tentang peraturan terkait, juga dikarenakan

lemahnya penafsiran pada peraturan pemerintah tentang klasifikasi antara

penghasilan sebagai royalty atau sebagai imbalan jasa teknik. Hal ini juga

menunjukkan masih lemahnya kerincian dari perundang-undangan yang ada

karena tidak mendefinisikan secara lebih spesifik tentang kegiatan yang menjadi

objek pajak tersebut.

Hal ini tentunya juga berdampak pada format bisnis waralaba yang digunakan

oleh PT X sebagai pengelola bisnis waralaba retail dengan merk X. Hal ini

otomatis akan mempengaruhi besarnya pemotongan pajak atas penghasilan yang

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 20: TA-Rakhmat Noory.pdf

7

Universitas Indonesia

akan diterimanya. Adanya dispute dalam kebijakan pajak yang mengatur tentang

pemotongan pajak penghasilan dari royalti dan jasa teknik menimbulkan keragu-

raguan dalam menjalankan pemotongan pajak penghasilan. Keragu-raguan

tersebut tentu akan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan kebijakan pajaknya,

dan cenderung akan mengarahkan pada kebijakan yang menurut mereka

menguntungkan.

Dari sisi Negara, dapat dirugikan karena tidak dapat mencapai optimalisasi

pajak bila para pelaku bisnis waralaba mengatakan itu adalah jasa teknik.

Sebaliknya, para pelaku bisnis akan merasa dirugikan apabila fiskus tetap

mamaksakan penafsirannya bahwa itu adalah penghasilan royalti. Hal ini karena

adanya perbedaan pengenaan tarif antara royalti dengan jasa teknik. Seperti yang

diketahui tarif pemotongan untuk penghasilan royalti adalah 15% sedangkan jasa

teknik hanya 2%. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan yaitu sebesar 13%.

Dengan perbedaan tarif yang cukup signifikan, tentunya akan merugikan salah

satu pihak apabila terjadi kesalahan pemotongan pajak karena salah menetapkan

tarif pajak.

Oleh karena itu mengacu pada permasalahan di atas, dapat dijabarkan

menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee kepada PT

X sebagai franchisor sudah sesuai menurut konsep royalti dan jasa teknik?

2. Apakah dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam format bisnis

waralaba PT X?

1.3 Tujuan Penulisan

Dalam penelitian ini penulis ingin menetapkan tujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee ke

PT X sebagai franchisor sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik.

2. Menganalisis dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam format

bisnis waralaba PT X.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 21: TA-Rakhmat Noory.pdf

8

Universitas Indonesia

1.4 Signifikansi Penelitian

1. signifikansi akademis

Tugas Karya Akhir ini diharapkan dapat menambah pengetahuan teoritis

dan wawasan perpajakan kepada kalangan akademisi yang ingin

mempelajari dan mengamati masalah royalti dan jasa teknik, khususnya

yang berkaitan dengan suatu bisnis yang menggunakan format waralaba

retail.

2. signifikansi praktis

Tugas Karya Akhir ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para

pelaku bisnis waralaba, baik pemilik ataupun karyawan yang menjalankan

bisnis waralaba, khususnya waralaba lokal dalam menganalisa implikasi

perpajakan yang berhubungan dengan royalti dan jasa teknik dari setiap

transaksi dan kontrak yang disepakati. Di samping itu, diharapkan dapat

memberikan masukan bagi para pemeriksa / fiskus dalam menganalisis

masalah perpajakan di dalam suatu format bisnis waralaba.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam

bab yang masing-masing terbagi menjadi beberapa sub bab, agar dapat

mencapai suatu pembahasan atas permasalahan pokok yang lebih mudah

dipahami. Garis besar penulisan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menjabarkan Latar Belakang

Permasalahan, Permasalahan dan Tujuan dan Manfaat Penulisan.

Selain itu, dalam bab ini juga diuraikan mengenai Signifikansi

Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB 2 KAJIAN LITERATUR

Dalam bab ini penulis melakukan tinjauan pustaka mengenai

penelitian terdahulu, serta menjabarkan teori dan pemikiran dari

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 22: TA-Rakhmat Noory.pdf

9

Universitas Indonesia

literature yang berkaitan dengan masalah penelitian. Teori yang

dijabarkan antara lain teori pajak, teori kebijakan fiskal, konsep

pajak penghasilan, teori bisnis waralaba, teori royalti, dan teori

jasa teknik.

Bab 2 terdiri dari 8 sub bab, yaitu:

1. Tinjauan Literatur

2. Kebijakan Pajak

3. Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan

4. Konsep Franchise

5. Konsep Royalti

6. Konsep Jasa Teknik

7. Bagan Alur Pikir

BAB 3 METODE PENELITIAN

Dalam bab ini penulis menjabarkan mengenai metode penelitian

yang digunakan penulis, yang terdiri dari pendekatan penelitian,

jenis/tipe penelitian, metode dan strategi penelitian, hipotesis

kerja, narasumber/informan, proses penelitian, penentuan site

penelitian, dan batasan penelitian.

BAB 4 GAMBARAN UMUM

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang gambaran umum

mengenai bisnis waralaba dalam sektor retail atau minimarket.

Penulis akan menjelaskan bagaimana penghasilan royalti

didapatkan dari format bisnis franchise.

Bab 4 akan terdiri dari 2 sub bab, yaitu:

1. Gambaran umum mengenai Format Bisnis Waralaba

(franchise).

2. Gambaran umum mengenai PT. X sebagai pemegang merk

Minimarket X.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 23: TA-Rakhmat Noory.pdf

10

Universitas Indonesia

BAB 5 ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN

ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS

WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X

SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X)

Bab ini menjelaskan deskripsi hasil penelitian, analisa, dan

pembahasan seluruh uraian mengenai informasi dan data yang

telah dikumpulkan dan dikaitkan dengan cara berpikir penulis

untuk mendapatkan jawaban terkait pokok permasalahan

penelitian.

Bab 5 terdiri dari :

1. Analisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari

franchisee ke PT X sebagai franchisor sesuai dengan konsep

royalti dan jasa teknik.

2. Analisis dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam

format bisnis waralaba PT X.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini dikemukakan simpulan yang diperoleh berdasarkan

uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya selain itu

disampaikan juga saran yang dianggap perlu oleh penulis.

Bab 6 terdiri dari 2 sub bab:

1. Kesimpulan

2. Saran

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 24: TA-Rakhmat Noory.pdf

11 Universitas Indonesia

BAB 2

KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Literatur

Dalam penyusunan penelitian ini, penulis melakukan tinjauan pustaka dari

hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang secara garis besar

memiliki karakteristik penelitian yang sama. Dengan melakukan tinjauan pusataka

ini, diharapkan dapat memberi informasi mengenai topik penelitian yang akan

dilakukan.

Penelitian yang pertama ditinjau oeh peneliti adalah penelitian yang

dilakukan oleh Ning Rahayu, mahasiswi Program Studi Administrasi Fiskal

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tahun 1998,

yaitu berupa tesis dengan judul “Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti Dan

Imbalan Jasa Teknik: Baik Berdasarkan Ketentuan Domestik Maupun Perjanjian

Internasional (Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan Kepastian Hukum Dan

Mencegah Penghindaran Pajak)”. Tujuan dari penulisan tesis tersebut adalah

untuk memperjelas perbedaan antara royalti dan imbalan jasa teknik, perlakuan

pengenaan PPh antara keduanya serta menguraikan permasalahan-permasalahan

yang timbul sekaligus mencari jalan keluarnya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis tersebut adalah

metode deskriptif analisis, dengan teknik pengumpulan data berupa studi

kepustakaan dan studi lapangan melalui wwawancara dengan pihak-pihak terkait.

Dari hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa royalti dan imbalan jasa

teknik sebenarnya merupakan objek pajak yang sangat potensial, namun belum

tergali secara maksimal, karena terhambat oleh kendala pemahaman yang belum

merata mengenai pengetahuan perpajakan yang menyangkut masalah-masalah

khusus di kalangan petugas, serta belum adanya surat edaran/penegasan lebih

lanjut yang lebih terperinci mengenai royalti dan imbalan jasa teknik. Hal ini

menyebabkan baik petugas pajak maupun wajib pajak membuat penafsiran

sendiri-sendiri yang cenderung menguntungkannya. Untuk menjamin kepastian

hukum, sebaiknya dibuat surat edaran khusus yang menjelaskan mengenai

perbedaan dan ciri-ciri khushs yang menjelaskan mengenai perbedaan dan ciri-ciri

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 25: TA-Rakhmat Noory.pdf

12

Universitas Indonesia

khusus antara royalti dan imbalan jasa teknik disertai dengan contoh-contohnya.

Sedangkan untuk meningkatkan keseragaman pemahaman mengenai pengetahuan

perpajakan yang bersifat khusus, sebaiknya dilakukan pendidikan khusus secara

periodik dan berkesinambungan.

Penelitian yang kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Dini Aulia, yaitu

berupa skripsi dengan judul “Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis Franchise Di

Indonesia (Suatu Analisa Kontrak Franchise antara Le France – franchisor

Perancis – dengan PT. X – Franchisee Indonesia – terhadap praktik penghindaran

pajak dan azas kepastian hukum)”, penelitian ini dibuat pada tahun 2002 oleh

mahasiswa program sarjana Ilmu Administrasi Fiskal. Metode yang digunakan

oleh Dini Aulia adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan penulisannya, tipe

penelitiannya adalah deskriptif analisis, yang berusaha menggambarkan atau

menjelaskan secara menyeluruh mengenai aspek perpajakan dalam bisnis

franchise. Adapun hasil dari penelitian Dini adalah dalam pelaksanaan bisnis

franchise, terdapat transaksi-transaksi yang menghasilkan obyek pajak

penghasilan seperti royalti, imbalan jasa teknik, dan kegiatan impor barang.

Untuk penjelasan secara lebih detail, dapat dilihat dari matriks dibawah ini:

TABEL KAJIAN LITERATUR

Nama Peneliti Ning Rahayu (1998) Dini Aulia (2002)

Judul Karya Ilmiah Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti

Dan Imbalan Jasa Teknik: Baik

Berdasarkan Ketentuan Domestik

Maupun Perjanjian Internasional

(Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan

Kepastian Hukum Dan Mencegah

Penghindaran Pajak)

Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis

Franchise Di Indonesia (Suatu Analisa

Kontrak Franchise antara Le France –

franchisor Perancis – dengan PT. X –

Franchisee Indonesia – terhadap

praktik penghindaran pajak dan azas

kepastian hukum)

Tujuan Penelitian 1. Menguraikan mengenai

pengertian-pengertian royalti dan

jasa teknik serta perbedaan hakiki

antara royalti dan jasa teknik

tersebut.

2. Menguraikan perlakuan

pengenaan pajak penghasilan

(PPh) atas royalti dan imbalan jasa

teknik

3. Menguraikan permasalahan-

permasalahan yang timbul

sehubungan dengan perbedaan

pengertian royalti dan imbalan

jasa teknik serta permasalahan

sehubungan dengan perbedaan

1. Menggambarkan secara menyeluruh

mengenai bisnis yang menggunakan

format franchise serta transaksi-

transaksi didalamnya yang

merupakan objek pajak penghasilan,

pada bisnis franchise pada

umumnya dan berdasarkan kontrak

franchise antara Le France dan PT.

X pada khususnya.

2. Menggambarkan dan menganalisis

ketentuan perpajakan domestik dan

internasional atas transaksi-transaksi

yang kerap terjadi dalam bisnis

franchise.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 26: TA-Rakhmat Noory.pdf

13

Universitas Indonesia

TABEL KAJIAN LITERATUR

Nama Peneliti Ning Rahayu (1998) Dini Aulia (2002) perlakuan PPh atas royalti dan

imbalan jasa teknik, untuk

kemudian menganalisis hal-hal

yang menyebabkan timbulnya

permasalahan-permasalahan

tersebut.

4. Menguraikan upaya-upaya yang

dilakukan Direktorat Jenderal

Pajak Untuk mengatasi

permasalahan perbedaan

pengertian dan perbedaan

perlakuan PPh atas royalti dan

imbalan jasa teknik dan

menganalisis sampai sejauh mana

kemungkinan upaya-upaya yang

dilakukan tersebut mencapai

3. Menggambarkan dan menganalisis

praktik penghindaran pajak yang

dimungkinkan terjadi atas transaksi-

transaksi yang terjadi di dalam

bisnis franchise.

4. Menganalisis penerapan ketentuan

pajak penghasilan atas transaksi-

transaksi dalam bisnis franchise,

terhadap azas kepastian hukum.

Metode Penelitian

Pendekatan Penelitian: Kualitatif

Jenis Penelitian yang digunakan:

Deskriptif Analisis.

Metode Pengambilan Data: Studi

Kepustakaan dan Wawancara

Mendalam

Pendekatan Penelitian: Kualitatif

Jenis Penelitian yang digunakan:

Deskriptif Analisis

Metode Pengambilan Data: Studi

Kepustakaan dan Wawancara

Mendalam

Hasil Penelitian 1. Untuk pemberian informasi yang

memberikan royalti dan pemberian

informasi yang memberikan

imbalan jasa teknik dalam praktik

di lapangan sering menimbulkan

dispute antara petugas pajak

dengan Wajib Pajak. Hal ini

dikarenakan pengertian royalti

menurut ketentuan perpajakan

domestik (yang hanya diatur dalam

penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h

Undang-undang PPh yang sedang

berlaku) dan pengertian jasa teknik

(yang hanya diatur dalam Surat

Edaran Direktur Jenderal Pajak

Nomor: SE.08/PJ.222/1984

tanggal 15 Maret 1984) masih

memerlukan penegasan lebih lanjut

yang lebih detail dengan

menyebutkan ciri khas dari royalti

dan imbalan jasa teknik..

2. hukum mengenai hal tersebut (baik

kepastian mengenai obyek yang

semestinya menjadi dasar

pengenaan pajak maupun kepastian

mengenai jumlah pajak yang harus

1. Dengan menganalisis kontrak

franchise Le France dan PT. X

dapat diketahui bahwa dalam

pelaksanaan Bisnis franchise,

terdapat transaksi-transaksi yang

menghasilkan obyek pajak

penghasilan seperti royalty,

imbalan jasa teknik dan kegiatan

impor barang. Di samping itu,

kontrak bisnis franchise juga

menetapkan / menyepakati adanya

biaya-biaya rutin yang akan

dikeluarkan sepanjang pelaksanaan

kontrak franchise.

2. Pembayaran royalty yang diterima

oleh Le France dikenakan pajak

penghasilan pasal 26 di Indonesia,

dengan pembatasan tariff dalam tax

treaty Indonesia – Perancis sebesar

10%. Untuk dapat memanfaatkan

dan mengaplikasikan ketentuan

dalam tax treaty tersebut, Le France

harus menyediakan dan

menyerahkan Certificate of

Domicile (Surat Keterangan

Domisili) dari pemerintah Perancis

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 27: TA-Rakhmat Noory.pdf

14

Universitas Indonesia

TABEL KAJIAN LITERATUR

Nama Peneliti Ning Rahayu (1998) Dini Aulia (2002) dibayar) menjadi kurang terjamin.

3. Royalti dan imbalan jasa teknik

sebenarnya merupakan obyek

pajak yang sangat potensial,

namun potensi yang ada tersebut

masih belum tergali secara

maksimal, karena terhambat oleh

kendala pengetahuan perpajakan,

khususnya yang menyangkut

pengertian dan perlakuan pajak

atas royalti dan imbalan jasa teknik

di kalangan aparat pajak yang

menangani kasus-kasus Wajib

Pajak.

4. Meskipun pihak Direktorat

Jenderal Pajak telah melakukan

upaya-upaya untuk mengatasi

permasalahan-permasalahan yang

timbul akibat perbedaan pengertian

dan perbedaan perlakuan PPh atas

royalti dan imbalan jasa teknik,

namun upaya-upaya yang

dijalankan tersebut masih kurang

efektif dan masih sangat minim

dibandingkan dengan semakin

banyaknya kasus-kasus Wajib

Pajak yang harus ditangani.

kepada pemerintah Indonesia.

3. Pemberian Jasa Teknik oleh Le

France di Indonesia tidak melebihi

Uji Waktu atau Time Test yang

telah ditentukan, sehingga Le

France di Perancis,

diidentifikasikan tidak memiliki

BUT di Indonesia. Dengan

demikian, sesuai dengan ketentuan

dalam Tax Treaty Indonesia –

Perancis, Indonesia sebagai Negara

sumber, tidak memiliki hak

pemajakan atas imbalan

sehubungan dengan kegiatan

pemberian jasa teknik tersebut.

4. Status PT. X sebagai “Development

Franchisee” tidak mempengaruhi

perhitungan uji waktu (time test)

pemberian jasa teknik di Indonesia,

sepanjang diantara kedua

franchisee yang berada dalam

wilayah eksklusif Indonesia benar-

benar tidak memiliki keterkaitan

satu sama lain.

5. Terdapat dua pilihan penghitungan

pajak penghasilan yang ditanggung

oleh PT. X sehubungan dengan

adanya pembayaran – pembayaran

kepada Le France, yaitu

penghitungan pajak penghasilan

dengan sistem gross atau sistem

gross-up. Apabila kedua

penghitungan tersebut

dibandingkan, maka penghitungan

pajak dengan sistem gross-up akan

mengimplikasikan manfaat

maksimal bagi PT. X, jika

penghitungan tersebut diterapkan

pada saat peghasilan kena pajak

(PKP) PT. X berada pada kisaran

tarif lapis tertinggi (tarif lapis ke-2

dan ke-3

Sumber: Diolah kembali oleh peneliti

Perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan dua penelitian di atas

terletak pada subjek penelitian. Subjek pajak yang akan diteliti dalam penelitian

ini adalah Usaha waralaba (franchise) lokal Indonesia yang saat ini semakin

banyak berkembang sampai ke pelosok daerah. Penulis juga akan membahas

kemungkinan adanya dispute dari kebijakan pajak pemerintah mengenai royalti

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 28: TA-Rakhmat Noory.pdf

15

Universitas Indonesia

dan jasa teknik yang dalam konsep praktik usaha waralaba saat ini sangat sulit

untuk dipisahkan. Penulis juga akan membahas upaya-upaya apa saja yang

dilakukan oleh PT X dalam mengatasi permasalahan yang timbul.

2.2 Kebijakan Pajak

Kebijakan pajak (tax policy) pada dasarnya merupakan suatu pemilihan

berbagai alternatif yang akan dipakai untuk mencapai sasaran dari sistem

perpajakan. Dalam memilih alternative-alternatif yang berkenaan

denganpemilihan dasar pengenaan pajak dalam kebijakan perpajakan, maka harus

diperhatikan prinsip-prinsip atau azas-azas perpajakan yang mendasari

pemungutan pajak.

Mansury dalam bukunya yang berjudul “Kebijakan Fiskal” menyatakan

bahwa Kebijakan Pajak dapat disebut sebagai Kebijakan Fiskal dalam artian yang

sempit. Kebijakan ini pertama-tama ditentukan berdasarkan atas suatu hasil kajian

tentang: sebaik apa-apa saja yang dipakai sebagai tujuan pemungutan pajak.

(Mansury: 1999: 2)

Senada dengan Mansury, Prathama Raharja juga mengatakan bahwa

Kebijakan Pajak adalah Kebijakan Fiskal dalam arti yang sempit. Kebijakan

Fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola

atau mengarahkan perekonomian Indonesia ke kondisi yang lebih baik dengan

cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. (Raharja: 2004:

257)

Mansury juga menyimpulkan bahwa dalam kebijakan perpajakan khususnya

pajak penghasilan di Indonesia, perlu memperhatikan semua kepentingan dengan

menerapkan azas-azas perpajakan yang sesuai. Azas tersebut menurut Mansury

dapat diringkas dan dikelompokkan dalam tiga prinsip dasar yaitu jumlah

penerimaan yang memadai (revenue adequacy principle) yang merupakan

kepentingan pemerintah dalam hal ini menekankan bidang penerimaan pajak

menjadi yang utama sesuai dengan fungsi budgeter. Prinsip kedua adalah

keadilan (the equity principle) yang merupakan kepentingan masyarakat yang

selalu cenderung mengutamakan keadilan dalam setiap pemungutan pajak.

Kemudian prinsip yang ketiga adalah kepastian (the certainty principle) adalah

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 29: TA-Rakhmat Noory.pdf

16

Universitas Indonesia

untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat yang sudah pasti akan menuntut

adanya kepastian dalam penerapan kebijakan pajak melalui kepastian hukum yang

tertuang dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

Itulah tiga azas yang seharusnya dipegang teguh oleh sistem Pajak

Penghasilan kita yang seimbang memperhatikan semua kepentingan. The Revenue

AdequacyPrinciple adalah kepentingan Pemerintah. The Equity Principle adalah

kepentingan masyarakat dan The Certainty Principle adalah untuk kepentingan

Pemerintah dan Masyarakat. (R. Mansury: 1994: 16)

Selain ketiga prinsip dasar tersebut, R. Mansury (2000) juga mengatakan

bahwa azas keadilan dalam pemungutan pajak dapat dicapai apabila memenuhi

lima kriteria Keadilan Horizontal dan dua kriteria Keadilan Vertikal. (P. 4).

Kriteria Keadilan Horizontal yaitu:

1. Definisi dari penghasilan yang menjadi Objek Pajak adalah sama untuk

semua Wajib Pajak, yaitu meliputi semua tambahan kemampuan ekonomis

atau semua tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa guna

dipakai memenuhi kebutuhan Wajib Pajak dan anggota keluarganya.

2. Indeks bagi seorang Wajib Pajak yang dipakai sebagai ukuran kemampuan

membayar (ability-to-pay) dan perbandingan dengan kemampuan Wajib

Pajak lainnya adalah keseluruhan jumlah tambahan kemampuan ekonomis

yang diterima atau diperoleh selama suatu jangka waktu, misalnya selama

satu tahun pajak.

3. Untuk pengenaan pajak atas penghasilan, konsep ability-to-pay yang

dipergunakan adalah tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan

mengandung makna, bahwa yang dikenakan pajak itu hanya kelebihan

penerimaan atau perolehan di atas pengeluaran biaya atau beban untuk

mendapatkan penerimaan atau perolehan tersebut. Jadi, kata “tambahan”

mengandung arti penghasilan netto atau net income.

4. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, sejumlah tertentu untuk kebutuhan

pokoknya, seyogjanya tidak dikenakan pajak, sebab tanpa tersedianya

sejumlah tertentu untuk kebutuhan pokoknya itu, Wajib Pajak yang

bersangkutan tidak akan dapat mencari penghasilan yang akan dikenakan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 30: TA-Rakhmat Noory.pdf

17

Universitas Indonesia

pajak. Jumlah tertentu untuk keperluan hidup Wajib Pajak itu lazimnya

disebut sebagai “personal exemption” atau di Indonesia disebut sebagai

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

5. Semua tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak harus

dikenakan pajak dan atas Wajib Pajak yang menerima tambahan

kemampuan ekonomis yang sama seyogjanya dikenakan pajak dengan

persentase tarif pajak yang sama.

Sedangkan kriteria Keadilan Vertikal adalah:

1. Perbedaan perlakuan hendaknya hanya didasarkan atas perbedaan jumlah

besarnya seluruh penghasilan dan perbedaan kemampuan membayar dari

Wajib Pajak yang satu dibandingkan dengan Wajib Pajak lainnya

ditentukan oleh perbedaan jumlah besarnya seluruh tambahan kemampuan

ekonomis dari masing-masing Wajib Pajak tersebut.

2. Wajib Pajak dengan jumlah penghasilan seluruhnya lebih besar daripada

jumlah seluruh penghasilan Wajib Pajak yang lain seyogjanya dikenakan

pajak dengan persentase tarif pajak yang lebih tinggi daripada Wajib Pajak

lainnya tersebut.

2.3 Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan

Definisi penghasilan dalam perpajakan pada mulanya dikemukakan oleh

George Schanz dan David Davidson. Seperti yang dikutip oleh Mansury, R. dalam

bukunya yang berjudul “Pembahasan Mendalam Pajak Atas Penghasilan”, George

dan David mengemukakan teori yang dikenal sebagai The Accretion Theory of

Income” yang menyatakan bahwa penghasilan adalah suatu tambahan

kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk menguasai barang dan jasa.

(R. Mansury: 2000: 37)

Menurut konsep pertambahan ini, besarnya jumlah pajak yang terutang

adalah atas oenghasilan yang sudah dikurangi dengan pengeluaran untuk

mendapatkan penghasilan tersebut. Hal ini dikarenakan pajak seharusnya

dikenakan hanya atas tambahan kemampuan ekonomis saja, dan dalam hal ini

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 31: TA-Rakhmat Noory.pdf

18

Universitas Indonesia

pengeluaran tersebut akan mengurangi kemampuan ekonomis dari penerima

penghasilan tersebut.

Selain George Schanz dan David Davidson, ahli lainnya seperti Robert

Murray Haig dan Henry C. Simons juga mengembangkan definisi penghasilan

untuk keperluan perpajakan. Definisi yang dikembangakan oleh Robert M. Haig

hamper sama isinya dengan pendapat George Schanz, yaitu penghasilan

merupakan kenaikan atau pertambahan kemampuan memenuhi kebutuhan untuk

mendapatkan kepuasan dalam jangka waktu tertentu, dimana kemampuan untuk

memenuhi kebutuhan tersebut dapat berupa uang atau segala sesuatu yang dapat

dinilai dengan uang. Sedangkan Henry C. Simons memaparkan penghasilan

sebagai jumlah aljabar dari suatu nilai konsumsi ditambah perubahan nilai suatu

harta, sehingga penghasilan itu harus bias diukur dan mengandung konsep

perolehan.

Ketiga definisi dari ahli-ahli tersebut disebut juga dengan istilah S-H-S

(Schanz-Haig-Simons) income concept, yang menjelaskan bahwa penghasilan

yang dipakai hendaknya tidak memandang sumbernya, artinya dari apa saja

sumber tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang dapat

dipakai untuk memenuhi kebutuhan merupakan penghasilan yang dikenakan

pajak. Penghasilan yang dikenakan pajak itu juga tidak dipengaruhi oleh

penggunaannya, apakah disimpan untuk hari tua, maupun dipakai habis dalam

tahun itu juga untuk memuaskan kebutuhan, sama-sama dikategorikan sebagai

penghasilan yang dikenakan pajak. (R. Mansury: 1996: 22)

Parthasarathi Shome, dalam bukunya yang berjudul “Tax Policy Handbook”

menjabarkan S-H-S concept, dan memenambahkannya dengan penjelasan dari

John Richard Hicks yang menjelaskan definisi dari penghasilan yaitu “the

maximum amount of money which the individual can spend this week, and still

expect to be able to spend the same amount in real terms in each ensuing week”.

(Parthasarathi Shome; 1995: 117). Dimana berarti jumlah maksimal yang dapat

dihabiskan seseorang dalan satu minggu, dan masih dapat menghabiskan jumlah

yang sama dalam setiap minggu berikutnya.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 32: TA-Rakhmat Noory.pdf

19

Universitas Indonesia

Menurut Gunadi (2005), untuk keperluan perpajakan terdapat dua pendekatan

pendefinisian penghasilan, yaitu:

a. Pendekatan sumber (source concept of income)

Pendekatan sumber membatasi untuk kepentingan pajak, sehingga

pendekatan ini berpendapat bahwa pengertian penghasilan adalah

gunggungan penghasilan dari usaha dan tenaga, harta tak bergerak, harta

bergerak dan hak atas pembayaran berkala. Menurut konsep sumber,

terdapat beberapa penghasilan yang diakui oleh akuntansi tapi dianggap

bukan penghasilan bagi ketentuan perpajakan (bukan objek pajak).

b. Pendekatan pertambahan (accretion concept of income).

Pendekatan pertambahan, mendefinisikan penghasilan secara lebih meluas,

yang meliputi unsur pertambahan kekayaan dan pengeluaran konsumsi tanpa

memperhatikan adanya sumber dan kontinuitas aliran kemampuan ekonomis yang

dimaksud.

2.3.1 Passive Income dan Active Income

Selain berdasarkan konsep penghasilan di atas, penghasilan juga dapat

dibedakan kedalam dua kategori yaitu penghasilan pasif (passive income) dan

penghasilan aktif (active income). Kedua penghasilan ini dibedakan berdasarkan

peran orang yang mendapatkan penghasilan tersebut. Apakah orang tersebut

melakukan suatu kegiatan atau tidak melakukan kegiatan dalam mendapatkan

penghasilan tersebut.

Secara teori, passive income menurut Barry Larking, seperti yang dikutip

dalam buku karya Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi yang berjudul

“Konsep Dan Aplikasi Perpajakan Internasional” mengatakan (Darussalam,

Hutagaol, Septriadi: 2010: 129) :

“A term used generally to describe investment income. The term may be so

used in the context of anti avoidance measures such as controlled foreign

company rules. The term is also used specifically refer to income from a passive

activity such as rental income or business in which the recipient does not

materally participate.”

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 33: TA-Rakhmat Noory.pdf

20

Universitas Indonesia

Pernyataan dari Barry Larking tersebut dapat diartikan sebagai berikut.

Passive Income adalah Suatu istilah yang biasanya digunakan untuk

menggambarkan penghasilan dari investasi. Istilah tersebut juga sering digunakan

dalam konteks anti avoidance measures seperti peraturan controlled foreign

company. Istilah ini juga biasanya mengacu secara spesifik kepada penghasilan

yang didapatkan dari aktifitas pasif seperti penghasilan dari sewa atau bisnis yang

penerima penghasilannya tidak ikut terlibat.

Dengan mengacu pada konsep di atas, secara singkat passive income

diperoleh oleh penerima penghasilan tanpa harus ikut serta dan terlibat langsung

dalam rangka mendapatkan penghasilan tersebut. Sedangkan jenis penghasilan

lain adalah active income. Masih mengacu pada buku yang sama, Darussalam,

Hutagaol, dan Septriadi menjelaskan bahwa active income atau disebut juga

business incom dapat dibedakan dari passive income sebagai berikut:

1. Dalam business income, untuk konteks orang pribadi, penhasilan diperoleh

melalui suatu kegiatan yang dilakukan oleh prang pribadi yang melakukan

pekerjaan bebas,

2. Sedangkan business income untuk konteks perusahaan, penghasilan

diperoleh melalui suatu kegiatan bisnis.

2.4 Konsep Franchise

Kata franchise memang sedang marak karena sudah berkembang dengan

sangat pesat. Perkembangan yang pesat tersebut tidak lepas dari menariknya

format bisnis yang ditawarkan. Karena itu, menarik untuk diketahui darimanakah

istilah franchise ini dimulai hingga bisa masuk ke Indonesia dengan sebutan

bisnis waralaba.

Istilah franchise berasal dari bahasa perancis, yang singkatnya berarti bebas atau

bebas dari perhambaan (free from servitude). Makna dari kata bebas tersebut

adalah, format bisnis franchise menawarkan kepada penggunanya kebebasan

dalam memiliki dan menjalankan usahanya sendiri.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 34: TA-Rakhmat Noory.pdf

21

Universitas Indonesia

Dalam memberikan waralaba, Pemberi Waralaba tentu memperoleh

keuntungan yang tidak sedikit. Hal ini tentu juga menjadi faktor pendorong

perkembangan waralaba itu sendiri. Selain menerima franchise fee dari Penerima

Waralaba, Pemberi Waralaba juga menerima royalti atas hak kekayaan intelektual

terkait yang digunakan oleh Penerima Waralaba, serta memperoleh penghasilan

tambahan dari pembayaran-pembayaran atas program latihan khusus yang

diselenggarakan oleh Pemberi Waralaba bagi Penerima Waralaba. Pemberi

Waralaba juga mendapatkan keuntungan berupa kemampuan untuk bertumbuh

tanpa adanya biaya pengembangan manajer kunci secara internal. Usaha yang

dimiliki oleh Pemberi Waralaba akan berkembang dan menjadi luas dengan cepat,

tanpa menggunakan modal dari Pemberi Waralaba itu sendiri. Dengan kata lain,

Pemberi Waralaba tidak perlu mengeluarkan biaya untuk perluasan usaha yang

dimilikinya. Biaya tersebut akan ditanggung dengan sendirinya oleh Penerima

Waralaba. Pemberi Waralaba juga tidak perlu berurusan dengan manajemen dari

cabang-cabangnya, karena hal tersebut akan dilakukan oleh Penerima Waralaba.

Disisi lain, Penerima Waralaba memilih sistem waralaba, karena dengan

mempergunakan sistem ini Penerima Waralaba dapat menekan biaya yang

diperlukan untuk memulai usahanya. Hal ini kurang lebih disebabkan karena

produk-produk atau jasa-jasa yang dimiliki oleh Pemberi Waralaba biasanya telah

terbukti kualitasnya, dikenal dan telah memiliki pangsa pasar yang jelas. Dengan

demikian, Penerima Waralaba dapat mengurangi resiko usaha. Selain itu, dalam

hal kegiatan operasional, Penerima Waralaba dapat memperoleh dukungan untuk

memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan

tenaga-tenaga ahli dari Pemberi Waralaba.

Dalam perkembangan lebih lanjut, franchise tidak hanya disorot dari aspek

pemasarannya saja, melainkan lebih ditekankan pada aspek hubungan kerja sama

yang terikat kontrak (contractural relationship) antara franchisor dan franchisee.

Selain itu, juga terjadi pengembangan dan penyempurnaan konsep dan sistemnya,

guna memberikan kemudahan bagi para frnachisee dalam menjalankan sistem

tersebut.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 35: TA-Rakhmat Noory.pdf

22

Universitas Indonesia

Seiring perkembangannya, definisi franchise mulai berubah mengikuti

perkembangan, franchise pada dasarnya bukan lagi suatu bisnis, melainkan suatu

metode untuk melakukan bisnis, metode untuk memasarkan produk atau jasa ke

masyarakat (Loyd Tarbutton: 1986) atau dapat dikatakan juga, franchise adalah

suatu konsep pemasaran (Martin Madelsohn: 1982).

Pembakuan dan standarisasi dilakukan pada pedoman operasi usaha, sehingga

menjadi suatu konsep bisnis total (Total Business Concept) yang dikemas ke

dalam suatu format bisnis atau paket usaha terpadu yang standar dan mudah

ditransfer serta dijalankan secara universal , dan dapat diterapkan oleh para calon

wirausaha dari beragam kultur mancanegara. Dari sanalah ”konsep franchise”

lahir, yang lebih dikenal dengan ”Business Format Franchise”. Menurut

International Franchise Association (IFA), definisi dari Business Format

Franchise adalah ”suatu hubungan kerja sama yang terikat kontrak antara

franchisor dan franchisee, dimana:

a. franchisor menawarkan atau diwajibkan untuk memberikan manfaat secara

berkesinambungan bagi kegiatan usaha franchisee, dalam bentuk, misalnya,

pemberian pengetahuan dan pelatihan.

b. Franchisee beroperasi di bawah suatu merek dagang, format dan atau prosedur

yang dimiliki dan dikendalikan oleh franchisor, dan

c. Franchisee sudah atau akan melakukan penanaman modal pada kegiatan usahanya

dengan modal yang berasal dari sumber permodalannya sendiri.

Hal ini merupakan definisi franchise yang berlaku umum di Amerika Serikat.

Namun masih dianggap belum sempurna. Sedangkan Franchise Format Bisnis

menurut Martin Madelsohn, adalah pemberian sebuah lisensi oleh seorang

(franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada

franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang

franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh

elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih

dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas

dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. (Martin Madelsohn: 1993)

Yang dimaksud format bisnis terdiri atas:

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 36: TA-Rakhmat Noory.pdf

23

Universitas Indonesia

Konsep bisnis yang menyeluruh, maksudnya adalah hal-hal yang menyangkut

pengembangan dan cara untuk menjalankan bisnis secara sukses pada seluruh

aspeknya yang dilakukan oleh franchisor. Dalam hal ini franchisor akan

memberikan konsep usahanya agar franchisee dapat menjalankan bisnis

tersebut. Konsep tersebut diharapkan mampu meminimalisir sebaik mungkin,

resiko yang biasanya melekat pada bisnis yang baru saja dimulai.

Sebuah proses permulaan dan pelatihan mengenai seluruh aspek pengelolaan

bisnis, sesuai dengan konsep franchisor. Franchisee dalam hal ini akan dilatih

mengenai bisnis yang diperlukan untuk mengelola bisnis, sesuai dengan konsep

yang diberikan oleh franchisor. Misalkan dengan pelatihan menggunakan

peralatan khusus, metode pemasaran, penyiapan produk, dan penerapan proses.

Pelatihan ini hendaknya dilakukan hingga dapat dikatakan relatif ahli pada

seluruh bidang yang diperlukan untuk menjalankan bisnis waralaba tersebut.

Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus. Franchisor pada umumnya

akan memberikan berbagai bantuan dan bimbingan scara terus menerus seperti:

- Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk

membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari

konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagan bagi franchisee.

- Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang

lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman.

- Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan-

kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada.

- Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya.

- Riset Pasar.

- Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional

- Peluang-peluang pembelian secara besar-besaran.

- Nasihat dan jasa manajemen dan akunting.

- Penerbitan News Letter.

- Riset mengenai material, proses dan metode bisnis.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 37: TA-Rakhmat Noory.pdf

24

Universitas Indonesia

2.4.1 Waralaba (Franchise) di Indonesia

Di Indonesia, kata franchise telah diterjemahkan sebagai waralaba yang bila

diartikan menjadi dua suku kata yaitu "wara" yang berarti lebih dan "laba" yang

berarti untung. Jadi, waralaba dalam bahasa Indonesia dapat diartikan secara

harfiah menjadi "lebih untung". Dengan kata lain, waralaba adalah pengaturan

bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor

kepada pihak independen atau franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai

dengan standarisasi kesepakatan. (Novitasari: 2010: 2)

Definisi lainnya dari bisnis waralaba menurut Novitasari adalah suatu bentuk

usaha kerja sama antara pemilik waralaba atau pewaralaba (franchisor) dengan

penerima waralaba atau terwaralaba (franchisee) dalam mengadakan persetujuan

jual beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha (waralaba). Kerja sama ini

biasanya dengan dukungan awal seperti pemilihan tempat, rencana pembangunan,

pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, pembukuan, pencatatan

dan akuntansi, konsultasi, standarisasi, promosi, pengendalian kualitas, riset,

nasihat hukum, dan sumber-sumber permodalan.

2.5 Konsep Royalti

Dalam masa sekarang ini, mungkin kata royalti sudah tidak asing lagi

didengar dalam kehidupan sehari-hari. Kata royalti sudah menjadi kata yang

umum untuk digunakan, dengan mengartikannya sebagai bayaran atau imbalan

untuk penggunaan suatu hak atau kepemilikan. Namun dalam menjalankan suatu

bentuk usaha franchise, perlu dicermati lebih dalam lagi apa yang dimaksud

dengan royalti tersebut, dan bagaimana peranannya dalam usaha waralaba

(franchise) di Indonesia.

Untuk mengetahui apa arti royalti yang sebenarnya, dapat dilihat dari

penjelasan yang dikemukakan beberapa pakar. Contohnya, Rachmanto Surahmat

dalam bukunya yang berjudul ”Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda”

mendefinisikan pemberian hak yang imbalannya berbentuk royalti adalah

pemberian hak untuk menggunakan suatu intellectual property, yaitu pemilik

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 38: TA-Rakhmat Noory.pdf

25

Universitas Indonesia

harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan pemakaian

hak tersebut. (Rachmanto Surahmat: 2000: 173)

Berbeda dengan Rachmanto, Mansury mendefinisikan royalti sebagai

penghasilan dari penyerahan paten atau harta tak berwujud lainnya untuk dipakai

oleh pihak lain. Penyerahan untuk dipakai tersebut mungkin diberikan kepada

perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan hak cipta karya ilmiah dari

pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang melakukan pekerjaan

bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten penemu atau

inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli waris dari

sang penemu.

Royalti menurut Roy Rohatgi dalam bukunya yang berjudul “Basic

International Taxation” menyatakan :

“royalty is normally a payment received for the use or the right to use any

intangible right or know how under license” (Roy Rohetgi: 2005: 272)

Atau terjemahannya “royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima

dari penggunaan hak untuk menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk

pengetahuan tertentu sesuatu dibawah perizinan. Know-how dalam hal ini adalah

pengetahuan tentang rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang

diperlukan untuk menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan

tersebut tidak disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi

pengetahuan tidak memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak

memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut

biasanya berdasarkan persentase dari penjualan atau keuntungan.

2.5.1 Manfaat Royalti Dalam Bisnis Waralaba

Menurut Bije Widjajanto dalam bukunya yang berjudul “Cara Aman

Memulai Bisnis”, menjelaskan ada dua manfaat pembayaran royalti untuk

franchisee. Manfaat royalti yang pertama menurut Bije adalah franchisee akan

mendapatkan manfaat sepenuhnya dari sistem yang diberikan oleh franchisor.

Selain manfaat yang diperoleh dari sistem franchise yang digunakan, franchisee

juga memerlukan dukungan dalam mengoperasikan bisnisnya dari waktu ke

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 39: TA-Rakhmat Noory.pdf

26

Universitas Indonesia

waktu. Ketika sedang berjalan lancer pun, franchisee tetap membutuhkan

dukungan franchisor-nya. Misalnya, pengembangan produk, pengembangan

brand, ataupun pengembangan strategi yang lebih baik dalam melakukan

pengelolaan pelanggan. (Bije Widjajanto: 2009: 111)

Dukungan franchisor lebih diperlukan lagi ketika franchisee mengalami

masalah. Untuk mengatasi masalah operasional ini, franchisor mempunyai

tanggung jawab untuk mencarikan solusi yang efektif sehingga sasaran-sasaran

bisnisnya bias tercapai dan franchise bias mendapatkan keuntungan usaha.

Dukungan franchisor dapat bersifat baku dan rutin yang secara seragam diberikan

kepada semua franchisee, atau bisa juga berupa dukungan tambahan yang

diberikan kepada franchisee tertentu ketika mendapatkan masalah.

Kedua manfaat yang dijelaskan oleh Bije Widjajanto tersebut merupakan

alasan mengapa royalti penting bagi franchisee. Tanpa pembayaran royalti, sulit

bagi franchisee untuk menuntut franchisor melakukan sesuatu bagi franchisee

baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, ini adalah sisi

“ongkos” dari pembayaran royalti. Sebaliknya bagi sisi franchisor pembayaran

royalti akan menjadi “utang”. Dengan adanya pembayaran royalti yang diterima,

franchisor akan mempunyai beberapa tanggung jawab kerja, biaya administrasi,

telekomunikasi, dan lainnya. Dari tanggung jawab tersebut franchisor harus

menyediakan dana operasional, dan dana itu akan diambil dari pembayaran royalti

oleh franchisee.

2.6 Konsep Jasa Teknik

Secara singkat, Imbalan Jasa Teknik dapat diartikan sebagai imbalan yang

diberikan kepada suatu pihak tertentu atas pekerjaan yang dilakukannya terkait

dengan spesifikasi profesional suatu bidang khusus tertentu, termasuk di

dalamnya seni dan teknik perancangan khusus.

Philip Kotler (1997:476) mendefinisikan jasa sebagai setiap tindakan atau

unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak lain yang secara prinsip

intangible dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya

bisa dan bisa juga tidak terikat pada suatu produk fisik.

Kemudian pakar lain yaitu A. Noteboom dalam bukunya menyebutkan:

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 40: TA-Rakhmat Noory.pdf

27

Universitas Indonesia

“The following three types of technical assistance will be considered:

1. The rendering of technical in relation to a specific project in the

industrial field,

2. The rendering of technical assistance in relation to the production

of certain products, and

3. The rendering of technical services in the management field.”

Maksud dari A. Noteboom tersebut adalah, tiga bentuk jasa yang dapat

dikatakan sebagai jasa teknik adalah:

1. Pemberian jasa atau bantuan teknik sehubungan dengan proyek tertentu di

bidang industri

2. Pemberian jasa atau bantuan teknik yang berhubungan dengan produksi

untuk produk tertentu, dan

3. Pemberian jasa atau bantuan teknik dalam bidang manajemen.

Ahli lainnya yaitu Rohatgi menyebutkan jasa teknik sebagai penggunaan atas

suatu kemampuan khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan kepada pihak lain

dimana pemilik kemampuan tersebut memiliki tanggung jawab atas hasil

pekerjaannya. Rohatgi menjelaskan dalam memberikan jasa teknik terdapat show-

how. Show-how menurut rohatgi adalah proses memberikan pengetahuan melalui

instruksi, pelatihan, pengawasan dan bantuan teknik lainnya. Pembayaran atas

show-how tersebut biasanya berdasarkan pada keuntungan yang didapatkan oleh

penerima jasa. (Rohatgi: 2005: 527)

Untuk membedakan pengertian antara royalti dan jasa teknik, Rahayu

membedakannya dengan melihat ciri-ciri dari keduanya sebagai berikut:

Royalti dari know-how Imbalan Jasa Teknik

1. Pemilik know how tidak ikut serta

dalam mengaplikasikan formula,

serta tidak bertanggung jawab

terhadap hasil yang diperoleh

2. Informasi (know how) diberikan

tanpa kehadiran si pemilik

1. Pemberi jasa ikut serta dalam

pemberian jasa dan bertanggung

jawab terhadap hasil yang

diperoleh

2. Jasa teknik pada umumnya

diberikan dengan kehadiran dan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 41: TA-Rakhmat Noory.pdf

28

Universitas Indonesia

Royalti dari know-how Imbalan Jasa Teknik

3. Pembayaran Royalti pada

umumnya didasarkan atas

persentase penjualan (dapat juga

bersifat Lump sum)

keterlibatan pemberi jasa dalam

pemberian jasa tersebut

3. Pembayaran imbalan jasa teknik

pada umumnya didasarkan atas

jumlah jam kerja (“working

hours”) yang dihabiskan untuk

melaksanakan pemberian jasa

tersebut.

2.8 Bagan Alur Pemikiran

Format Bisnis

Waralaba (Franchise)

Lokal Indonesia

Penghasilan PT. X

Dari Bisnis Waralaba

Retail (Active /

Passive Income)

Menentukan Royalti

Atau Jasa Teknik

Menjabarkan

Pemungutan Pajak

Penghasilan Yang

Dilakukan Oleh PT. X

Dampak yang

disebabkan

pemotongan pajak

oleh PT X

Kesimpulan Dan

Saran Dari Analisis

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 42: TA-Rakhmat Noory.pdf

29

Universitas Indonesia

Alur Pemikiran peneliti didasari dari Format Bisnis Waralaba Lokal

Indonesia yang sedang berkembang pesat. Peneliti kemudian memfokuskan

penelitian kepada PT X selaku franchisor dari waralaba X. Dari waralaba X

tersebut, peneliti menganalisis penghasilan PT X yang didapatkan dari royalti,

kemudian mendinisikannya sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik dengan

cara melihat sumber penghasilannya. Setelah mendefinisikan royalti dan jasa

teknik, peneliti menganalisis bagaimana PT X yang menangani keuangan

franchisee memotong pajak atas penghasilannya yang berupa royalti. Peneliti

kemudian menganalisis dampak yang timbul akibat dari pemotongan yang

dilakukan tersebut. Setelah mendapatkan jawabannya, peneliti kemudian

menjabarkan kesimpulan serta saran dari analisis yang telah dilakukan.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 43: TA-Rakhmat Noory.pdf

30 Universitas Indonesia

BAB 3

METODE PENELITIAN

Metode penelitian secara umum didefinisikan sebagai suatu kegiatan ilmiah

yang terencana, terstruktur, sistematis dan memiliki tujuan tertentu baik praktis

maupun teoritis. Dikatakan sebagai “kegiatan ilmiah” karena penelitian dengan

aspek ilmu pengetahuan dan teori. “Terencana” karena penelitian harus

direncanakan dengan memperhatikan waktu, dana dan aksesibilitas terhadap

tempat dan data. (Conny R. Semiawan; 2010)

3.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk

memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan

gambaran holistic lengkap yang dibentuk dengankata-kata, melaporkan

pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar alamiah.

(Creswell; 2003:18)

Sedangkan menurut Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh

subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara

holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

(Moleong: 2011: 6).

Dalam Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif karena

penelitian ini bertujuan untuk membahas secara mendalam bagaimana perlakuan

kebijakan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik dalam bisnis waralaba retail

lokal di Indonesia, dalam hal ini terhadap PT. X yang dilatarbelakangi adanya

kerancuan dalam pengenaan kebijakan pajak atas penghasilan royalti atau imbalan

jasa teknik. Penelitian ini juga membahas suatu konteks khusus yaitu royalti dan

jasa teknik dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah dari para ahli dalam

bidangnya.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 44: TA-Rakhmat Noory.pdf

31

Universitas Indonesia

3.2. Jenis Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan dan tujuan penulisan penelitian ini, maka

penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan

jenis penelitian yang berusaha menggambarkan atau menjelaskan secermat

mungkin mengenai suatu hal dari data yang ada. Jenis penelitian ini tidak terbatas

pada pengumpulan data , tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data

itu, menjadi suatu wacana dan konklusi dalam berpikir logis, praktis, dan teoritis.

(Irawan: 2004: 60)

Dalam penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian deskriptif juga

dikarenakan penulis membahas secermat mungkin mengenai gambaran

pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan royalti dalam bisnis waralaba.

Selanjutnya akan dianalisis ketentuan-ketentuan perpajakan yang mengatur

pemotongan pajak atas penghasilan yang didapatkan dari Royalti den Jasa Teknik.

Berdasarkan uraian-uraian yang dilakukan, penulis akan menganalisis

kemungkinan upaya apa saja yang dilakukan baik oleh para pelaku bisnis

waralaba, maupun oleh pemerintah yang membuat kebijakan.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, tehnik pengumpuan data yang digunakan oleh

peneliti adalah antara lain:

a. Studi Kepustakaan

Dalam studi kepustakaan, peneliti memperoleh berbagai informasi,

pendapat, konsep dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

fenomena yang terjadi di lapangan dengan cara membaca dari sumber

bahan cetak (buku, artikel, koran dan Undang-Undang). Tujuan penulis

menggunakan studi kepustakaan adalah sebagai acuan teori yang akan

digunakan untuk menganalisis data, serta memberikan kerangka untuk

menentukan signifikansi penelitian dan sebagai acuan untuk

membandingkan hasil suatu penelitian dengan temuan-temuan lainnya.

b. Studi Lapangan

Untuk melengkapi dan memperkuat analisis, penulis juga melakukan

studi lapangan dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 45: TA-Rakhmat Noory.pdf

32

Universitas Indonesia

beberapa nara sumber, yang diharapkan dapat menarik referensi

mengenai sudut pandang, kejadian, peristiwa dan proses yang diamati.

Dalam melakukan wawancara mendalam penulis akan menggunakan

pedoman wawancara sebagai acuan dalam mengajukan pertanyaan

kepada para narasumber. (Irawan: 2004: 60)

3.4. Narasumber / Informan

Informan yaitu pemberi informasi atau sumber informasi dalam penelitian.

Informan yang dihadirkan dalam penelitian ini dapat digolongkan sebagai key

informant, yang sengaja dipilih oleh peneliti. Pemilihan informan (key

informant)pada penelitian difokuskan pada representasi atas masalah yang

diteliti54. Pemilihan informan (key informant) pada penelitian difokuskan pada

representasi atas masalah yang diteliti.

Perencanaan dalam melakukan wawancara harus dilakukan dengan benar,

sehingga dalam pelaksanaannya peniliti tidak akan merasa kesulitan. Terdapat

beberapa langkah yang dapat dilakukan, menurut Moleong (2011: 199), yaitu:

1. Menentukan siapa yang akan diwawancarai;

Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah peneliti harus benar-

benar tahu pihak mana saja yang perlu diwawancarai. Informan adalah

mereka yang berperan, yag pengetahuannya luas tentang daerah atau

lembaga penelitian dan yang suka bekerja sama untuk kegiatan

penelitian yang sedang dilakukan.

2. Mencari tahu bagaimana cara terbaik melakukan kontak dengan

informan;

Jika informan merupakan orang-orang pilihan, maka yang menghubungi

informan tersebut adalah peneliti.

3. Mengadakan persiapan yang matang untuk pelaksanaan wawancara;

Sebelum melakukan wawancara, peneliti sebaiknya melakukan latihan

untuk memperkenalkan diri dan memberi penjelasan singkat mengenai

masaalah yang diangkat dalam penelitian tersebut. Dalam hal berpakaian

pun peneliti harus mempersiapkannya. Karena cara berpakaian

merupakan kesan pertama yang ditangkap informan terhadap peneliti.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 46: TA-Rakhmat Noory.pdf

33

Universitas Indonesia

Penentuan informan merupakan hal yang penting dalam penelitian, karena

informan ini akan menjadi sumber informasi yang potensial bagi peneliti dalam

menjawab masalah yang ada. Wawancara akan dilakukan dengan menggunakan

pedoman wawancara kepada para informan untuk mendapatkan gambaran yang

mendalam dan bersifat objektif mengenai fenomena yang diteliti. Dalam

penelitian ini penulis akan mengelompokkan informan ke dalam beberapa

kelompok, yaitu::

1. Pihak DJP

Kelompok ini adalah pejabat Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak

yang tugasnya sehari-hari sangat terkait dengan masalah yang diteliti.

Dalam hal ini wawancara pertama dilakukan terhadap:

1. Dr. Prof. Poltak John Liberty Hutagaol, M.Ec.(Acc)., M.Ec.(Hons),

Ak., sebagai Tenaga Ahli Bidang Pengawasan dan Penegakan

Hukum Perpajakan Ditjen Pajak.

Informasi yang ingin diperoleh adalah informasi tentang dasar

pemikiran dari penetapan kebijakan pajak atas royalty dan jasa teknik

serta perbedaan perlakuannya dalam pelaksanaan di lapangan.

2. Pihak Praktisi

Kelompok ini adalah Wajib Pajak yang melakukan transaksi royalti

dan jasa teknik. Dalam penelitian ini Wajib Pajak tersebut adalah:

1. PT. X sebagai pengelola gerai-gerai Minimarket X. Diwakilkan

oleh Tomy Sugianto sebagai Regional Franchise Manager dan

Enny Agustianty Jacob sebagai Franchise Support General

Manager.

2. Suryono Ekotama selaku ketua praktisi dan konsultan bisnis/

marketing Barracuda.

3. Tugiman Binsarjono sebagai pendiri konsultan Suluh Prima

Target, dan mantan pemeriksa pajak di DJP.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 47: TA-Rakhmat Noory.pdf

34

Universitas Indonesia

PT. X merupakan pengelola gerai-gerai Minimarket X. Wawancara

mendalam akan dilakukan terhadap manager keuangan PT. X yang

sehari-hari terkait dengan transaksi pembayaran royalti dan jasa teknik.

Informasi yang ingin didapatkan dari wawancara tersebut adalah

informasi mengenai masalah-masalah yang timbul dalam rangka

pemotongan pajak atas transaksi yang terkait dengan royalty dan jasa

teknik. Penulis juga akan mencari informasi mengenai upaya-upaya apa

saja yang telah dilakukan dalam menghadapi fenomena dari masalah

yang dihadapi serta kebijakan apa yang diambil oleh perusahaan sebagai

pihak yang dipotong.

Wawancara kedua kepada Suryono Ekotama selaku pengamat

perkembangan bisnis waralaba di Indonesia. Informasi yang ingin

didapatkan dari wawancara adalah tentang konsep dasar operasional dari

format bisnis waralaba.

Wawancara ketiga kepada Tugiman Binsarjono dilakukan dengan

tujuan ingin mendapatkan pendapat serta saran-saran terkait dengan

adanya dispute dalam kebijakan dan peraturan terkait dengan

pemotongan pajak penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba

lokal Indonesia. Saran yang ditanyakan adalah saran untuk PT. X

sebagai pelaku bisnis dan DJP selaku pembuat kebijakan.

3. Pihak Akademisi Perpajakan

Akademisi yang dipilih untuk diwawancarai dalam penelitian ini adalah:

1. Prof. Dr. Gunadi, M.Sc, Ak

Pemilihan akademisi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa

informan sangat memahami perpajakan yang terkait dengan transaksi

atas royalti dan imbalan jasa teknik. Informan juga merupakan pengajar

mata kuliah PPh Badan.

Wawancara dengan akademisi tersebut dimaksudkan untuk

mendapatkan informasi mengenai kelemahan-kelemahan yang terdapat

dalam kebijakan yang terkait dengan royalti dan jasa teknik. Peneliti

juga bermaksud mendapatkan informasi mengenai upaya-upaya yang

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 48: TA-Rakhmat Noory.pdf

35

Universitas Indonesia

sebaiknya diambil dalam menghadapi kelemahan-kelemahan dari

kebijakan tersebut.

3.5. Proses Penelitian

Peneliti mengawali penelitian ini, dimulai dari ketertarikan peneliti terhadap

kerancuan kebijakan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik apabila

diimplementasikan kedalam format bisnis waralaba di Indonesia. Dari ketertarika

tersebut, peneliti melihat bahwa telah terjadi ketidak sesuaian dalam pemungutan

pajak dari penghasilan royalti dan imbalan jasa teknik dalam format bisnis

waralaba dengan konsep royalti dan jasa teknik. Karena dalam format bisnis

waralaba, penghasilan dari royalti tersebut dapat dikatakan bukan lagi dari

penghasilan pasif karena pemberi lisensi juga ikut berkecimpung dalam

operasional bisnis tersebut. Hal itu akan menjadi terkait dengan penjelasan

imbalan jasa teknik. Kerancuan tersebut tentu akan berpengaruh kepada kebijakan

yang berlaku menjadi tidak sejalan dengan implementasinya.

Dari fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis pertanyaan

tentang hambatan-hambatan yang terjadi dalam penentuan kebijakan dalam

pemotongan pajak penghasilan atas royalti atau jasa teknik. Penulis juga akan

menganalisis upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan dan mungkin dilakukan

oleh pihak-pihak yang terkait dalam transaksi tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut penulis akan

mengawali penelitian dengan pengumpulan data yang terkait dengan penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan mencari teori-teori dasar yang terkait dengan

fenomena dan pertanyaan penelitian dengan mambaca sumber-sumber media

cetak seperti buku teori, majalah, jurnal, dan internet.

Untuk menguatkan dasar analisis, peneliti juga melakukan wawancara dan

diskusi mendalam dengan pejabat Negara yang dianggap kompeten dalam

kebijakan atas royalti dan jasa teknik tersebut. Untuk mengetahui tingkat validitas

dalam penelitiannya, peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada

akademisi untuk mengetahui perlakuan pajaknya dan dampaknya pemungutan

pajak di lapangan. Tidak lupa peneliti juga akan mewawancarai para pelaku bisnis

yang terkait dengan format bisnis waralaba Indonesia. Dalam hal ini penulis akan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 49: TA-Rakhmat Noory.pdf

36

Universitas Indonesia

mewawancarai pejabat dari PT. X yang bergerak sebagai pengelola gerai waralaba

X di Indonesia.

Setelah mendapatkan data yang cukup untuk melakukan analisis, penulis

menggunakan data-data tersebut untuk melakukan analisis terhadap pokok

permasalahan penelitian yaitu kendala-kendala yang dialami di lapangan serta

upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang terkait dalam transaksi royalti dan

jasa teknik tersebut. Dengan melakukan analisis, penulis akan mendapatkan

jawaban dari pertanyaan permasalahan penelitian, dan menarik kesimpulan yang

didapatkan dari jawaban tersebut. Penulis juga akan memberikan saran-saran

terkait dengan fenomena penelitian.

3.6. Site Penelitian

Site merupakan konteks dimana suatu fenomena terjadi. Site memiliki banyak

hubungan sosial, keragaman aktivitas dan kejadian akan menghasilkan data yang

kaya dan menarik. Dalam penelitian ini, site yang digunakan oleh peneliti adalah

PT. X selaku perusahaan yang mengelola format bisnis waralaba retail

Minimarket X.

3.7. Batasan Penelitian

Pembatasan dalam penelitian ini ditujukan agar penelitian menjadi lebih focus

dan terarah. Pembatasan pertama yang dilakukan terletak pada ruang lingkup

penelitian yang hanya terkonsentrasi pada penghasilan royalti dan jasa teknik

dalam format bisnis waralaba. Pembatasan yang kedua adalah penelitian ini hanya

dalam ruang lingkup PT. X sebagai pengelola waralaba retail Minimarket X.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 50: TA-Rakhmat Noory.pdf

37 Universitas Indonesia

BAB 4

GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Bisnis Waralaba (Franchise)

Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia pengertian franchising atau sistem

franchise adalah suatu bentuk kerjasama manufaktur atau penjualan antara

pemilik franchise dan pembeli franchise atas dasar kontrak dan pembayaran

royalty. Kerjasama ini meliputi pemberian lisensi atau hak pakai oleh pemegang

franchise yang memiliki nama atau merek, gagasan, proses, formula, atau alat

khusus ciptaannya kepada pihak pembeli franchise disertai dukungan teknis dalam

bentuk manajemen, pelatihan, promosi, dan sebagainya. Untuk itu, pembeli

franchise membayar hak pakai tersebut disertai royalty, yang pada umumnya

merupakan prosentase dari jumlah penjualan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba

disebutkan bahwa waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan

hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual

atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan

berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka

penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.

Dalam PP No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba tersebut disebutkan pula

bahwa Pemberi Waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang

memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan

hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang

dimilikinya; sedangkan Penerima Waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau

perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak

atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi

Waralaba.

Menurut Suryono Ekotama (Ekotama, 2010, p. 5) franchisor adalah pemilik

bisnis franchise atau orang yang mem-franchise-kan usahanya. Franchisor

mendapatkan keuntungan dari bisnis franchise-nya berupa franchise fee dan

royalty fee serta keuntungan dari penjualan bahan baku. Masih menurut Ekotama,

franchisee adalah orang atau perusahaan yang membeli bisnis franchise dari

franchisor. Hak utama franchisee adalah mendapatkan supporting management

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 51: TA-Rakhmat Noory.pdf

38

Universitas Indonesia

dari franchisor, kapanpun dibutuhkan, sesuai dengan ketentuan yang tercantum

dalam perjanjian franchise.

Berdasarkan PP 17 Tahun 1997 disebutkan bahwa Waralaba diselenggarakan

berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba,

di mana perjanjian Waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya

berlaku hukum Indonesia. Dari beberapa definisi mengenai franchise, dapat

dilihat bahwa setiap model perjanjian franchise sekurang-kurang memuat unsur-

unsur sebagai berikut:

1. adanya perjanjian atau perikatan antara dua pihak, yaitu pihak pemberi

waralaba (franchisor) dan pihak penerima waralaba (franchise).

2. pihak franchisor memberikan suatu hak untuk memanfaatkan dan atau

menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas

usaha yang dimilikinya kepada pihak franchisee yang berupa nama,

produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan

lain-lain hal yang berkenaan dengan company support.

3. pihak franchisee memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan;

perjanjian atau perikatan dilakukan dalam rangka penyediaan barang atau

jasa;

4. adanya syarat-syarat lain yang harus dipenuhi masing-masing pihak.

Hukum dan peraturan franchise di Indonesia telah diatur pada peraturan

pemerintah (PP) No.42 tahun 2007 dan peraturan menteri perdagangan R.I nomor

31/M-DAG/PER/8/2008 didalam peraturan tersebut telah dibahas dan dijelaskan

bagaimana tata tertib dan hak dan kewajiban pelaku usaha yang menjalankan

bisnisnya dengan cara franchise maka didalam PP No.42 tahun 2007 telah

dijelasksn kriteria dari bisnis yang dapat difranchise antara lain : memiliki ciri

khas usaha, terbukti telah memberikan keuntungan,memiliki standar atas

pelayanan atau barang dan jasa ditawarkan secara tertulis, mudah diajarkan atau

diaplikasikan, adanya dukungan berkesinambungan, hak kekayaan intelektual

yang telah didaftarkan selanjutnya pada PP No.42 tahun 2007 didalamnya dibahas

pula bagaimana hubungan yang baik antara pemberi franchise ( franchisor) dan

penerima franchise ( franchisee) yaitu mengatur kewajiban sebagai franchisor

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 52: TA-Rakhmat Noory.pdf

39

Universitas Indonesia

untuk memberikan binaan dan bimbingan dalam bentuk pelatihan, bimbingan

operasional, bagaimana pemasarannya, manajemen didalamnya, riset dan

pengembangan kepada franchisee secara berkelanjutan atau berkesinambungan.

Pada peraturan menteri perdagangan atau yang disingkat PerMen No.31/M-

DAG/PER/8/2008 maka hal yang mendasar adalah pentingnya pelaku usaha

franchise Indonesia harus memiliki surat pendaftaran waralaba yang dikeluarkan

dinas terkait yang kita kenal dengan STPW, STPW adalah bukti bahwa

perusahaan franchise yang kita jalankan sudah diakui sebagai usaha franchise

yang mendaftarkan usaha franchisenya diwilayah negara kesatuan republik

Indonesia maka dengan adanya peraturan tersebut setiap pelaku usaha yang

menjalankan bisnis dengan konsep franchise baik didalam negeri maupun yang

berasal dari luar negeri harus memiliki STPW yang dikeluarkan pejabat terkait di

depatemen perdagangan sehingga menjadikan franchise indonesia lebih tertib

secara hukum dan administrasi.

Dalam PP No. 42 tahun 2007 disebutkan bahwa waralaba harus memenuhi 6

(enam) kriteria, yaitu:

1. Memiliki ciri khas usaha.

“ciri khas” adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan

yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan konsumen

selalu mencari ciri khas yang dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara

penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan

karakteristik khusus dari pemberi waralaba.

2. Terbukti sudah memberikan keuntungan.

“sudah memberi keuntungan” adalah menunjuk kepada pemberi waralaba

yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat

bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini

terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan

menguntungkan.

3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang dibuat

secara tertulis.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 53: TA-Rakhmat Noory.pdf

40

Universitas Indonesia

Maksudnya adalah standar secara tertulis supaya penerima waralaba dapat

melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (standar

operasional kerjanya).

4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan.

“mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah mudah dilaksanakan sehingga

penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai

usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan

operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi

waralaba.

5. Adanya dukungan yang berkesinambungan.

“dukungan yang berkesinambungan” adalah dukungan dari pemberi

waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan

promosi.

6. Hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar.

“hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar” adalah hak kekayaan

intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, hak paten, rahasia

dagang sudah di daftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses

pendaftaran di instansi yang berwenang.

Bisnis waralaba atau franchise memiliki suatu konsep tersendiri dalam

pelaksanaannya. Dalam format bisnis ini, hal yang paling utama adalah hubungan

antara franchisor sebagai pemegang merk, dan franchisee sebagai yang diberikan

hak untuk menggunakan merk tersebut. Dengan kata lain, franchisee telah

diberikan hak oleh franchisor untuk menggunakan format bisnisnya yang tidak

dimiliki oleh orang lain untuk kepentingan franchisee menjalankan usahanya.

Dalam hal ini terdapat hubungan kerjasama antara franchisor dengan franchisee.

Dalam kerjasama tersebut, franchisor sebagai pemilik merek, memberikan

hak nya kepada franchisee untuk menggunakan merek tersebut dalam usahanya.

Kemudian, berdasarkan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2007 pasal 8,

disebutkan bahwa:

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 54: TA-Rakhmat Noory.pdf

41

Universitas Indonesia

“Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam

bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen,

pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima

Waralaba secara berkesinambungan. “

Peraturan pemerintah tersebut menjelaskan bahwa franchisor wajib memberikan

bantuan dalam rangka membantu franchisee menjalankan usahanya tersebut

secara berkesinambungan.

4.1.1 Jenis-Jenis Waralaba (Franchise)

Jenis-jenis usaha franchise dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :

franchise format bisnis, yang terdiri dari franchise pekerjaan, franchise usaha dan

franchise investasi; dan franchise distribusi pokok. Untuk franchise format bisnis,

seseorang pemegang franchise (franchisee) memperoleh hak untuk memasarkan

dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik

dengan menggunakan standar baik dalam operasional usaha maupun pemasaran.

Ada 3 (tiga) jenis format bisnis franchise, yaitu :

franchise pekerjaan :

franchise yang menjalankan usaha pekerjaan adalah usaha franchise yang

memberikan dukungan untuk usahanya sendiri. Sebagai contoh misalnya menjual

jasa penyetelan mesin mobil dengan merek tertentu. Bentuk franchise ini paling

murah dan umumnya hanya membutuhkan modal kecil karena tidak

menggunakan temapt dan perlengkapan yang berlebihan.

franchise usaha :

franchise usaha adalah jenis franchise yang paling berkembang. Bentuknya dapat

berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa, atau restoran cepat saji

(fast food). Biaya yang dibutuhkan untuk franchise jenis ini biasanya lebih besar

karena dibutuhkan tempat usaha yang memenuhi kriteria yang diwajibkan oleh

pemberi franchise (waralaba).

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 55: TA-Rakhmat Noory.pdf

42

Universitas Indonesia

franchise investasi :

franchise investasi adalah jenis franchise yang paling banyak membutuhkan biaya

atau modal (nilai investasi yang besar). Perusahaan yang mengambil franchise

investasi biasanya ingin melakukan diversifikasi usaha namun kurang

berpengalaman dalam pengelolaan manajemen. Contoh usaha franchise ini adalah

usaha perhotelan yang hendak menggunakan nama dan standar pelayanan hotel

milik franchisor.

Jenis franchise distribusi pokok adalah jenis franchise dengan memberikan lisensi

untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi tertentu

yang ditentukan (sub-franchise). Dalam hal ini franchisee membeli hak untuk

mengoperasikan atau menjual franchise di wilayah (geografis) tertentu dan

bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh pemasaran franchise, melatih atau

membantu franchisee baru serta melakukan pengendalian, dukungan operasional

serta penagihan royalty.

4.1.2 Karakteristik Bisnis Waralaba (Franchise)

Bisnis waralaba (franchise) memiliki beberapa karakteristik tertentu.

Karakteristik ini sesungguhnya yang menyebabkan bisnis dengan model franchise

dirasakan cukup menguntungkan. Karakteristik tersebut misalnya mengenai

keunikan produk, adanya pelatihan manajemen dan ketrampilan khusus yang

wajib diberikan franchisor kepada franchisee, pengendalian dan penyeragaman

mutu produk, promosi dan periklanan oleh franchisor, pemilihan lokasi serta

daerah pemasaran yang eksklusif, sebagian bisnis franchise mendapatkan bantuan

pendanaan dari pihak franchisor atau lembaga keuangan, adanya fee atau royalty

yang harus dibayarkan oleh franchisee pada franchisor, didaftarkannya merek

dagang, paten atau hak cipta serta pembelian produk langsung dari franchisor.

Keuntungan yang paling utama dari franchise adalah bahwa wiraswastawan

tidak perlu pusing dengan hal yang berkaitan dengan memulai usaha baru.

Pemberi franchise akan memberikan rencana operasi bisnis dengan arah yang

jelas. Penerima franchise diberikan nasihat atau sebuah lokasi usaha yang telah

ditetapkan. Dalam franchise eceran seperti McDonald, analisa lokasi dilakukan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 56: TA-Rakhmat Noory.pdf

43

Universitas Indonesia

untuk menjamin bahwa bisnis akan mencapai tujuan yang ditetapkan. Penilaian

keadaan lalu lintas, demografi, pertumbuhan bisnis di suatu daerah, persaingan,

dan lain-lain merupakan bagian integral dari keputusan di mana akan

menempatkan usaha. Sering franchise melibatkan nama yang telah mapan yang

akan memberikan pengakuan langsung dari penerima franchise di daerah pasar.

Hal ini tidak menjamin keberhasilan tetapi memberi dorongan untuk memulai

usaha dengan citra positif.

Salah satu tujuan dari pemberian hak usaha adalah bahwa pemberi hak bisa

mendapatkan manfaat dari ekspansi cepat dan luas tanpa meminjam atau

menanggung resiko finansial penting. Jika pemberi hak memberikan peluang kuat

untuk berhasil, dia juga akan menerima manfaat dari royalti yang diterima dari

penerima franchise. Untuk menjamin tercapainya hal itu, pemberi hak harus

menyediakan akuntansi standar dan prosedur operasional dan mempertahankan

kendali atas perancangan tata ruang, peralatan dan perlengkapan. Kendali

structural sesungguhnya menguntungkan bagi penerima hak karena dia akan

mendapatkan manfaat dari pengalaman pemberi hak.

Masing-masing penerima franchise individu tidak akan mampu memasang

iklan secara luas. Akan tetapi dengan penggabungan (pooling) di mana kontribusi

diberikan oleh tiap-tiap penerima hak berdasarkan volume penjualan, organisasi

keseluruhan bisa mengadakan pengiklanan besar-besaran untuk memperkuat

nama franchise. Penerima franchise individu kemudian bisa melakukan promosi

di daerah mereka sesuai dengan persetujuan yang ada.

4.1.3 Biaya-biaya yang Timbul dalam Usaha Waralaba (Franchise)

Ada beberapa biaya yang timbul dari pelaksanaan perjanjian franchise ini.

Biaya-biaya tersebut antara lain adalah :

- Royalty: Royalty adalah pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak

franchisee kepada franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak

franchise oleh franchisee.

- Franchise fee: Franchise fee merupakan pembayaran atas biaya franchise.

Biasanya pembayaran ini dilakukan untuk jumlah tertentu yang pati dan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 57: TA-Rakhmat Noory.pdf

44

Universitas Indonesia

dilakukan sekaligus dan dibayarkan pada tahap bisnis franchise akan

dimulai atau pada saat penandatanganan akta perjanjian franchise.

- Direct expenses: Direct expenses merupakan biaya langsung yang harus

dikeluarkan oleh franchisee sehubungan dengan pengoperasian suatu

usaha franchise, misalnya biaya pelatihan manajemen atau ketrampilan

tertentu.

- Marketing dan advertising fees: Marketing atau advertising fees adalah

biaya yang harus dikeluarkan untuk memasarkan atau mempromosikan

bisnis franchise.

- Assignment fees: Biaya yang lain adalah biaya Assignment fees yang harus

dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor bila akan mengalihkan

bisnisnya kepada pihak lain. Biaya ini biasanya meliputi biaya untuk

membuat perjanjian penyerahan serta pelatihan pemegang franchise yang

baru karena pengalihan bisnis.

4.1.4 Dasar Hukum dalam Bisnis Waralaba (Franchise)

Bisnis atau usaha waralaba (franchise) adalah salah satu jenis usaha yang

dilakukan dengan suatu perjanjian atau perikatan, maka dasar hukum untuk

beroperasinya dalam hal ini adalah pasal–pasal dalam KUH Perdata yang

mengatur mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau

perjanjian.

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan mengenai berlakunya asas

kebebasan berkontrak (beginsel der contractvrijheid), yaitu semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya (pacta sunt servanda). Walaupun Pasal 1338 mengatur mengenai

asas kebebasan berkontrak namun dalam ditegaskan pula bahwa walaupun para

pihak sebenarnya bebas membuat suatu kontrak atau perjanjian, namun perjanjian

tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, kepatutan dan ketertiban

umum. Sedangkan untuk sahnya suatu kontrak atau perjanjian berlaku Pasal 1320

KUH Perdata. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu adanya kesepakatan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 58: TA-Rakhmat Noory.pdf

45

Universitas Indonesia

antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek

tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal.

Usaha waralaba (franchise) selalu berkaitan dengan merek, paten dan hak

cipta karena franchise pada dasarnya menggunakan izin atau lisensi merek

dagang, paten atau hak cipta dari franchisor. Dengan demikian, atas penggunaan

lisensi tersebut, pihak franchisee mempunyai kewajiban untuk membayar fee atau

royalty pada pihak franchisor. Selain itu, bisnis waralaba (franchise) juga tunduk

pada peraturan perundang-undangan yang lain di Indonesia seperti undang-

undang Perseroan Terbatas bila usaha waralaba (franchise) tersebut berbentuk PT,

hukum ketenagakerjaan, hukum perpajakan, hukum perlindungan konsumen serta

peraturan-peraturan lain yang terkait dengan izin usaha, izin Undang-Undang

Gangguan (hinderordonantie) dsb.

Untuk pendaftaran usaha waralaba dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI

No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat

Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba Penerima Waralaba harus memiliki Surat

Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Untuk mendapatkan STPUW

tersebut, Penerima Waralaba harus mendaftarkan perjanjiannya di Departemen

Perdagangan. Dalam hal Penerima Waralaba lalai untuk melakukan pendaftaran

setelah diberikan 3 (tiga) kali peringatan, maka Surat Izin Usaha Perdagangannya

(SIUP) atau ijin-ijin usaha sejenis milik Penerima Waralaba dapat dicabut.

4.1.5 Kewajiban Para Pihak

Sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh pihak franchisor dan franchisee,

pada dasarnya kewajiban franchisor hanyalah berupa penyediaan atau pemberian

hak kepada franchisee untuk menggunakan merek dagang, identitas perusahaan,

atau memasarkan dan menjual produk atau jasanya untuk waktu dan tempat

tertentu sebagaimana disepakati dalam perjanjian franchise. Kewajiban lain yang

dimiliki franchisor adalah :

- melakukan pembinaan terhadap usaha yang dijalankan franchisee baik

secara operasional, manajemen maupun keuangan.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 59: TA-Rakhmat Noory.pdf

46

Universitas Indonesia

- memberikan pedoman operasi usaha franchise yang dijalankan dan

disepakati para pihak.

Untuk kewajiban pokok franchisee, utamanya ada 2 (dua) macam yaitu :

- membayar fee atau jasa kepada franchisor atas penggunaan nama merek

dagang atau identitas usaha franchisor.

- menjaga kualitas dan nama baik (brand image) franchisor.

Selain dua kewajiban pokok tersebut, franchisee masih memiliki berbagai

kewajiban yang disertakan dalam klausul-klausul kontrak franchise misalnya

memberikan laporan atas kegiatan usaha, kewajiban mengikuti standar operasi

dan spesifikasi yang telah ditentukan franchisor serta kewajiban-kewajiban

lainnya.

4.2 Gambaran Umum PT X (Pemegang Merek Franchise Retail)

PT X menjadi perusahaan publik di tahun 2009 dan saat ini memiliki ribuan

gerai di Jawa, Bali, Lampung, Palembang, dan Makassar. PT X bertekad untuk

menjadi jaringan distribusi ritel terbesar di Indonesia. PT X juga terus

memperluas jaringan serta jumlah pelanggan dengan membina gerai tradisional

dengan format yang lebih kecil, yaitu kios. PT X berencana untuk menjadi

spesialis usaha format kecil di Indonesia.

PT X juga pernah berhasil memperoleh berbagai penghargaan seperti Highest

Score Equity Index dari Nielsen, Top Brand Award dari majalah Marketing dan

Frontier serta Indonesia’s Best Brand Award dari majalah SWAsembada dan

MARS, dan berbagai penghargaan lainnya.

Visi PT X adalah “Menjadi jaringan distribusi ritel terkemuka yang dimiliki

oleh masyarakat luas, berorientasi kepada pemberdayaan pengusaha kecil,

pemenuhan kebutuhan dan harapan konsumen, serta mampu bersaing secara

global.

Misi PT X adalah:

- Memberikan kepuasan kepada pelanggan/konsumen dengan berfokus

kepada produk dan pelayanan yang berkualitas unggul.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 60: TA-Rakhmat Noory.pdf

47

Universitas Indonesia

- Selalu menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dilakukan dan selalu

mengakkan tingkah laku/etika bisnis yang tinggi.

- Ikut berpartisipasi dalam membangun Negara dengan menumbuh-

kembangkan jiwa wiraswasta dan kemitraan usaha.

- Membangun organisasi global yang terpercaya, sehat dan terus bertumbuh

dan bermanfaat bagi pelanggan, pemasok, karyawan, pemegang saham

dan masyarakat pada umumnya.

PT X juga berpegang pada standar yang tinggi dalam Integritas, inovasi,

kualitas dan produktivitas, kerjasama tim, dan kepuasan pelanggan. Nilai-nilai

dasar tersebut merupakan dasar dari budaya perusahaan. Saat ini PT X adalah

salah satu perusahaan yang mempunyai tenaga kerja terbanyak, yaitu lebih dari

50.000 karyawan, dan setiap bulan rata-rata merekrut 1.500 orang karyawan.

Visi PT X adalah memberdayakan pengusaha kecil dan menengah di

Indonesia. Karenanya, PT X membuka sistem franchise di tahun 2001, dan saat

ini sudah ada 1759 gerai franchise di seluruh Indonesia. sistem franchise ini

terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia (pribadi, pemilik toko, dll), Institusi

(komunitas agama, organisasi social, organisasi massa, asosiasi professional,dll).

Untuk semakin mendukung pertumbuhan ekonomi komunitas di sekitar wilayah

usaha kami, sistem franchise kami di desain begitu mudah dan sederhana dengan

bantuan untuk memperoleh pinjaman modal dari bank. Karyawan kami juga

diberi kesempatan untuk menjadi franchisee, sebagai salah satu bentuk

penghargaan atas dedikasi dan dukungannya terhadap PT X.

PT X dan para penerima waralaba adalah mitra strategis, PT X menyatukan

langkah untuk kemajuan bersama. Perseroan mempunyai tujuan agar setiap

penerima waralaba PT X terjaga kepuasannya. Untuk itu, perseroan bekerjasama

dengan tim survey indpenden dari professional menyelenggarakan survey

kepuasan penerima waralaba. Walaupun angka indeks yang diperoleh cukup

memuaskan, perseroan terus melakukan evaluasi dan selalu berupaya untuk

meningkatkan tingkat kepuasan dari para pewaralaba secara berkesinambungan.

Mengingat untuk memiliki gerai dari PT X diperlukan dana yang cukup

besar, Perseroan mencari strategi dan inovasi untuk dapat terus memperluas

kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memiliki gerai dari PT X. Sejak tahun

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 61: TA-Rakhmat Noory.pdf

48

Universitas Indonesia

2007, perseroan telah mengembangkan pola waralaba melalui kerjasama

pendanaan melalui bank dengan bunga yang kompetitif dan skema yang

memungkinkan peminjam untuk dapat merencanakan cashflow-nya, memberikan

kesempatan lebih besar kepada UKM, Koperasi, Yayasan ataupun Mitra Binaan

Pemerintah untuk ikut memiliki gerai dari PT X.

Perseroan selalu ingin berpartisipasi secara aktif dalam peningkatan kualitas

hidup serta pengembangan kemampuan masyarakat. Perseroan berpendapat

bahwa untuk dapat mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dukungan dari berbagai

pihak. Di tahun 2006, kerjasama strategis dengan Kementrian Koperasi dan UKM

membuahkan program yang berhasil membantu Koperasi Binaan Kementrian

untuk dapat ikut memiliki gerai waralaba PT X dan sampai dengan tahun 2010

sudah mencapai 83 gerai waralaba PT X dimiliki oleh Koperasi, Mitra Binaan

Pemerintah ataupun Organisasi Kemasyarakatan. Di tahun- tahun mendatang

Perseroan bertekad untuk terus mengembangkan komposisi ini, dan membawa PT

X selangkah kedepan untuk menjadi gerai komunitas sesungguhnya, dengan

demikian memberikan kesempatan lebih besar lagi kepada masyarakat untuk ikut

memiliki gerai dari PT X.

4.2.1 Skema Waralaba PT X

Untuk mengembangkan usahanya dalam bidang waralaba, PT X memiliki dua

skema untuk mendapatkan kepemilikan waralaba X. Skema pertama yang

ditawarkan adalah skema Waralaba Toko Baru. Skema ini diperuntukkan bagi

calon franchisee yang sudah memiliki properti berupa tanah dan atau bangunan.

Properti berupa tanah dan atau bangunan ini yang nantinya akan menjadi tempat

didirikannya waralaba X. Namun tidak sembarang tanah dan bangunan dapat

menjadi tempat didirikan waralaba X. Pihak PT X akan melakukan survey terlebih

dahulu untuk menentukan apakah properti tersebut layak untuk didirikan waralaba

X.

Untuk menjalankan usaha waralaba X dengan skema Waralaba Toko Baru,

calon franchisee dapat memperkirakan estimasi investasi sebagai berikut:

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 62: TA-Rakhmat Noory.pdf

49

Universitas Indonesia

Tabel 4.1: Estimasi Investasi Waralaba X Skema Waralaba Toko Baru

Estimasi Investasi Waralaba Toko Baru

Tipe Toko Luas Toko Investasi

36 rak 80 m2 Rp. 360 juta

45 rak 100 m2 Rp. 380 juta

54 rak >120 m2 Rp. 410 juta

Investasi awal tersebut mencakup:

- Biaya waralaba untuk 5 tahun

- Renovasi lahan (konstruksi sipil, instalasi kelistrikan)

- Perijinan

- Peralatan dan AC

- Cash Register & Sistemnya

- Papan nama toko berikut displaynya

- Promosi dan persiapan pembukaan toko

Estimasi tersebut diperhitungkan dengan perkiraan properti yang akan

digunakan sudah berupa Ruko. Bila properti yang akan digunakan masih berupa

bangunan lain (kios, rumah tinggal, tanah kosong), maka akan ada penyesuaian

estimasi investasi.

Untuk memiliki waralaba X dengan skema Waralaba Toko Baru, calon

franchisee akan melewati proses sebagai berikut:

- Presentasi Awal

- Evaluasi Lahan dan Persetujuan

- Pengukuran dan Evaluasi Proyek

- Presentasi Proposal

- Kesepakatan Waralaba

- Pembukaan Toko

Skema yang kedua adalah skema Waralaba Toko Take Over. Skema ini

diperuntukkan bagi calon franchisee yang belum memiliki properti berupa tanah

dan atau bangunan. Dengan skema ini, calon franchisee akan mendapatkan sebuah

waralaba X yang sudah berjalan cukup stabil. Berjalan cukup stabil maksudnya

adalah geral waralaba X tersebut sudah berjalan cukup lama dan selalu

menghasilkan penjualan yang baik setiap bulannya. Dengan begitu, resiko

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 63: TA-Rakhmat Noory.pdf

50

Universitas Indonesia

kegagalan yang mungkin akan dialami oleh calon franchisee pun akan semakin

kecil. Namun di sisi lain, investasi yang harus dikeluarkan oleh calon franchisee

pun akan menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan skema Waralaba Toko

Baru.

Besar investasi untuk toko take over besarnya bervariasi. Besarnya investasi

biasanya antara 600 – 800 juta rupiah. Besarnya investasi untuk toko take over

bergantung kepada:

- Harga sewa untuk 5 tahunnya

- Sales Harian

- Nilai Buku Fix Asset yang ada.

Dari nilai investasi tersebut, adalah untuk pembelian gerai waralaba X yang

sudah berjalan dengan harga ”Paket” yang sudah ditentukan termasuk:

- Sewa tempat untuk 5 tahun

- Perijinan

- Peralatan Toko

- Franchise Fee

- Goodwill

Toko waralaba X yang akan di take over-kan biasanya adalah toko waralaba

X yang sudah berjalan minimal selama 1 tahun, dengan sales harian antara 10 juta

– 13 juta dan dapat diperpanjang sewanya sampai dengan 5 tahun. Dengan sales

harian sebesar itu, diperkirakan penghasilan perbulan yang akan diperoleh oleh

franchisee adalah sebesar 9 juta – 11 juta perbulan.

Untuk memiliki waralaba X dengan skema Waralaba Toko Take Over, calon

franchisee akan melewati proses sebagai berikut:

- Presentasi proposal

- Kesepakatan Pembelian

- Pemindahan Perijinan

- Kesepakatan Waralaba

Dalam kedua format kepemilikan tersebut, baik dengan skema waralaba toko

baru maupun waralaba toko take over, PT X selaku franchisor akan memberikan

bantuan yang sama tanpa membeda-bedakan. Setiap franchisee akan mendapatkan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 64: TA-Rakhmat Noory.pdf

51

Universitas Indonesia

seluruh bantuan sesuai dengan kontrak, mulai dari perekrutan karyawan,

operasional waralaba X, serta pembukuan waralaba X. Dalam format kerjasama

dengan PT X, franchisee hanya tinggal mengawasi dan mengontrol jalannya

waralaba X tersebut sehingga tidak mengalami kesulitan.

4.2.2 Syarat Menjadi Pemilik Toko Waralaba X

Untuk memiliki waralaba X, calon franchisee juga harus memenuhi beberapa

syarat, yaitu:

- WNI dengan badan Usaha (PT atau CV) yang direkomendasikan oleh PT

X

- Sudah atau akan mempunyai lokasi tempat usaha dengan luas minimal 80

m2

tidak termasuk gudang dan mess karyawan (untuk skema waralaba

toko baru)

- Total keseluruhan lahan antara 150 – 250 m2 (untuk skema waralaba toko

baru)

- Memenuhi persyaratan perijinan (Ijin tetangga; Ijin Domisili; SIUP; TDP;

NPWP & NPPKP; STPUW; IUTM (Untuk daerah tertentu)

- Bersedia mengikuti sistem dan prosedur yang berlaku di PT X

4.2.3 Royalti Dalam Waralaba X

Royalti yang dibayarkan ke PT X dihitung secara progresif, tergantung dari

jumlah penjualan bersih bulanan gerai yang bersangkutan dan belum termasuk

pajak. Persentase progresif adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2: Persentase Pengenaan Royalti Waralaba X

Penjualan Bersih Persentase (Dalam %)

Rp. 0 s/d Rp. 75.000.000 0

Rp. 75.000.001 s/d Rp. 100.000.000 2

Rp. 100.000.001 s/d Rp. 150.000.000 2,5

Rp. 150.000.000 3

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 65: TA-Rakhmat Noory.pdf

52 Universitas Indonesia

BAB 5

ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ROYALTI DAN

JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS WARALABA LOKAL

INDONESIA (STUDI KASUS PT X SEBAGAI FRANCHISOR

WARALABA MINIMARKET X)

5.1 Analisis Pemotongan Atas Pajak Penghasilan Royalti Dari Franchisee

Ke PT X Sebagai Franchisor Sesuai Dengan Konsep Royalti Dan Jasa

Teknik.

Dalam kerjasama waralaba antara franchisee dan franchisor, pihak franchisee

memiliki kewajiban untuk membayar royalti kepada franchisor yang besarnya

ditentukan berdasarkan perjanjian awal antara kedua belah pihak. Sebagai contoh

dalam kerjasama PT X dengan franchisee-nya, royalti akan dikenakan besarnya

penjualan yang terjadi selama satu bulan dalam satu waralaba X. Franchisee akan

membayar royalti fee dihitung secara progresif, tergantung dari jumlah penjualan

bersih bulanan minimarket X yang bersangkutan dan belum termasuk pajak.

Menurut Ekotama, biasanya franchisor menghitung nilai royalti dari omset

yang dicapai bisnis franchise-nya. Besarannya antara 1% sampai dengan 15% dari

omset per bulan, tergantung keikhlasan dari franchisor sendiri untuk menghargai

haknya. Biasanya royalti ini dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor setiap

bulannya. Tanggal pembayarannya biasanya sudah ditetapkan oleh franchisor.

Sementara itu Menurut Anang Sukandar, ketua Asosiasi Franchise Indonesia,

keberadaan royalti fee sudah seharusnya dijadikan sumber utama pendapatan

franchisor demi kelangsungan usahanya, karena bagaimanapun juga franchisor

membutuhkan dana tersebut untuk membiayai segala pengeluaran untuk men-

support usahanya seperti: membayar biaya supervisi, biaya monitoring dan biaya

on going asistensi secara terus menerus.

Dalam memberikan penghasilan berupa royalti tersebut, otomatis franchisee

sebagai pemberi penghasilan mempunyai kewajiban untuk memotong pajak

penghasilan dari jumlah penghasilan tersebut. Susuai dengan UU PPh pasal 23,

franchisee wajib memotong pajak berdasarkan jumlah bruto sebesar 15%. Namun

dalam prakteknya, timbul keraguan bahwa dalam penghasilan royalti tersebut

terdapat juga unsur penghasilan yang seharusnya masuk ke dalam penghasilan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 66: TA-Rakhmat Noory.pdf

53

Universitas Indonesia

dari jasa teknik. Dalam Bab ini peneliti akan menganalisis apakah penghasilan

tersebut memang sudah merupakan biaya royalti atau terdapat unsur lain berupa

jasa teknik.

5.1.1 Penghasilan Royalti Dalam Format Bisnis Waralaba X

Dalam menganalisis pemotongan royalti oleh franchisee sesuai dengan

konsep dan peraturan yang berlaku, peneliti akan menganalisis melalui konsep-

konsep royalti dari sudut pandang beberapa ahli. Untuk konsep yang pertama,

dapat dilihat dari pengertian royalti menurut Mansury yang mendefinisikan royalti

sebagai penghasilan dari penyerahan paten atau harta tak berwujud lainnya untuk

dipakai oleh pihak lain. Penyerahan untuk dipakai tersebut mungkin diberikan

kepada perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan hak cipta karya ilmiah

dari pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang melakukan

pekerjaan bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten penemu

atau inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli waris

dari sang penemu.

Penjelasan dari Mansury tersebut sejalan dengan pengertian royalti dari sisi

hukum. Dari sisi hukum, secara umum, pengertian royalti adalah:

“Royalty is the consideration paid to the creator of a property,

idea, inventions etc, as a percentage of the revenue collected from

sale of the products created, manufactured or developed using the

idea, inventions or creations made by the creators”.

(http://www.legal-explanations.com/definitions/royalty.htm)

Dari pengertian di atas, seperti halnya pengertian royalti yang dijelaskan oleh

Mansury, yang dimaksud dengan royalti di sini adalah sejumlah bayaran

(imbalan/fee) yang harus dibayarkan kepada creator (pencipta atau penemu) dari

suatu property, ide, penemuan, dan sebagainya, yang dihitung melalui persentase

tertentu dari penghasilan yang didapat atas penjualan produk yang dihasilkan

menggunakan property, ide, penemuan, atau rekaan dari sang creator tersebut.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 67: TA-Rakhmat Noory.pdf

54

Universitas Indonesia

Berdasarkan penjelasan di atas, bila dikaitkan dalam format bisnis waralaba,

dalam hal ini antara PT X sebagai franchisor dengan para franchisee nya, PT X

sebagai pencipta atau penemu (creator) merek suatu waralaba X, melakukan

penyerahan atas hak pemakaian merek yang berupa merek waralaba tersebut, yang

merupakan harta tak berwujud (intangible asset) untuk dipakai oleh franchisee

menjalankan usahanya dengan menggunakan merek waralaba tersebut.

Berdasarkan teori tersebut, dapat dikatakan franchisor berhak untuk mendapatkan

penghasilan berupa royalti dari franchisee-nya. Penghasilan tersebut juga

didapatkan atas penjualan produk-produk yang dijual dengan memanfaatkan

format bisnis serta merek waralaba dari franchisor tersebut. Dengan kata lain, PT

X mendapatkan penghasilan royalti karena penggunaan format bisnis waralabanya

oleh franchisee dalam menjual barang.

Berdasarkan penjelasan dari ahli lain, yaitu Rachmanto Surahmat dalam

bukunya yang berjudul ”Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda”

mendefinisikan pemberian hak yang imbalannya berbentuk royalti dengan lebih

spesifik lagi. Menurut Surahmat, royalti adalah pemberian hak untuk

menggunakan suatu intellectual property, yaitu pemilik harta tak berwujud itu

tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan pemakaian hak tersebut. Terdapat

sedikit penambahan dari penjelasan tentang royalti apabila dibandingkan dengan

penjelasan dari Mansury sebelumnya, yaitu adanya tambahan keterangan bahwa

”pemilik harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan

pemakaian hak tersebut”.

Ahli lainnya yaitu Roy Rohatgi, juga mengatakan pendapat yang sejalan

dengan penjelasan dari Surahmat. Rohatgi dalam bukunya menjelaskan bahwa

royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima dari penggunaan hak

untuk menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk pengetahuan tertentu

sesuatu dibawah perizinan. Know-how dalam hal ini adalah pengetahuan tentang

rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang diperlukan untuk

menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan tersebut tidak

disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi pengetahuan tidak

memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 68: TA-Rakhmat Noory.pdf

55

Universitas Indonesia

untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut biasanya berdasarkan

persentase dari penjualan atau keuntungan.

Dalam teori menurut Rohatgi dan Surahmat di atas sejalan dengan teori-teori

sebelumnya, namun terdapat penambahan penjelasan yang sangat berpengaruh

yaitu tidak adanya kehadiran pemilik ”know-how” dalam memberikan hak nya

untuk pemakaian ”know-how” tersebut. Rohatgi dalam penjelasannya

menekankan bahwa pemberi pengetahuan ”tidak memberikan bantuan dan

pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai.

Dari penjelasan tentang tidak adanya kehadiran pemilik ”know-how” tersebut

juga dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari royalti seharusnya masuk kedalam

penghasilan pasif (passive income). Jenis penghasilan passive income ini

dijelaskan oleh seorang ahli yaitu Barry Larking:

“A term used generally to describe investment income. The

term may be so used in the context of anti avoidance measures such

as controlled foreign company rules. The term is also used

specifically refer to income from a passive activity such as rental

income or business in which the recipient does not materally

participate.”

Penjelasan dari Larking tersebut menjelaskan bahwa Passive Income adalah

Suatu istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan penghasilan dari

investasi. Istilah tersebut juga sering digunakan dalam konteks anti avoidance

measures seperti peraturan controlled foreign company. Istilah ini juga biasanya

mengacu secara spesifik kepada penghasilan yang didapatkan dari aktifitas pasif

seperti penghasilan dari sewa atau bisnis yang penerima penghasilannya tidak ikut

terlibat.

Dari penjelasan ahli-ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari

royalti adalah penghasilan yang didapatkan karena pemberian hak untuk

menggunakan “know-how”, yang merupakan barang tidak berwujud (intangible

asset) yang dimiliki oleh penerima penghasilan. Dalam memberikan “know-how”

tersebut, pemilik ”know-how” tidak ikut terlibat dalam penggunaan “know-how”

serta tidak memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai dari penggunaannya.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 69: TA-Rakhmat Noory.pdf

56

Universitas Indonesia

Jadi dapat disimpulkan bahwa penghasilan royalti dalam format bisnis waralaba

merupakan penghasilan yang bersifat passive income.

Berdasarkan konsep royalti menurut perpajakan di atas, bila dikaitkan dengan

pemakaian merek dagang ”minimarket X” yang dimiliki oleh PT X, maka akan

terdapat suatu perbedaan. Dalam mendapatkan penghasilan dari royalti, PT X

memang memberikan suatu informasi atau “know-how” berupa format bisnis

waralaba X kepada franchisee. Lalu franchisee akan menggunakan format bisnis

serta merek dagang waralaba X untuk menjalankan usahanya berupa waralaba X.

Dalam konteks tersebut, dapat dinyatakan memang penghasilan yang didapat oleh

PT X tersebut adalah penghasilan berupa royalty.

Pada sisi lain, dalam prakteknya ternyata PT X tidak hanya semata-mata

memberikan informasi atau “know-how” kepada franchisee. Dalam prakteknya

ternyata PT X juga memberikan bantuan lain yang berupa bantuan untuk

mendukung jalannya usaha yang menggunakan format bisnis waralaba X tersebut.

Seperti hasil wawancara peneliti dengan Tomy Sugianto selaku Regional

Franchise Manager, beliau mengatakan bahwa penghasilan yang didapatkan dari

royalti yang dibayarkan oleh para franchisee setiap bulannya, digunakan untuk

menjalankan usaha minimarket X yang dimiliki oleh franchisee tersebut. Maksud

dari menjalankan usaha tersebut adalah menjalankan sistem minimarket X

tersebut secara menyeluruh mulai dari perekrutan karyawan sampai dengan

pembukuan minimarket X tersebut.

Berdasarkan keterangan dari Tomy, dapat dikatakan bahwa penghasilan

royalti yang diterima oleh PT X tidak semata-mata murni penghasilan dari royalti

yang seharusnya merupakan penghasilan passive income dan akan dipotong pajak

penghasilan sebesar 15%. Dengan memberikan bantuan untuk menjalankan sistem

minimarket X kepada franchisee, yang biaya nya didapatkan dari penghasilan

royalti tersebut, dapat dikatakan dalam penghasilan royalti tersebut terdapat unsur

jasa teknik.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 70: TA-Rakhmat Noory.pdf

57

Universitas Indonesia

5.1.2 Unsur Jasa Teknik Dalam Pemberian Bantuan Pada Format Bisnis

Wralaba PT X

Seperti yang diketahui sebelumnya, dalam bisnis waralaba istilah royalti

sangat melekat dan dapat dikatakan pasti terdapat dalam format bisnis franchise.

Keberadaan pembayaran royalti ini bukan tanpa sebab atau hanya kewajiban

untuk para franchisee. Keberadaan royalti ini ternyata juga ada manfaatnya untuk

para franchisee.

Menurut Bije Widjajanto, salah satu manfaat royalti yang utama bagi

franchisee adalah untuk memperoleh dukungan dari franchisor ketika franchisee

mengalami masalah. Untuk mengatasi masalah operasional ini, franchisor

mempunyai tanggung jawab untuk mencarikan solusi yang efektif sehingga

sasaran-sasaran bisnisnya bias tercapai dan franchisee bisa mendapatkan

keuntungan usaha. Dukungan franchisor dapat bersifat baku dan rutin yang secara

seragam diberikan kepada semua franchisee, atau bisa juga berupa dukungan

tambahan yang diberikan kepada franchisee tertentu ketika mendapatkan masalah

Berdasarkan penjelasan dari teori-teori tentang royalti pada sub bab di atas,

bila dikaitkan dengan format bisnis waralaba PT X, maka akan terdapat suatu

dispute. Karena dalam format bisnis waralaba X, seperti yang dikatakan oleh

Widjajanto, PT X sebagai franchisor ternyata selain memberikan hak atas

penggunaan merek dagang dan formula bisnis (know-how) franchisor juga

mempunyai kewajiban lain yaitu dengan memberikan bantuan kepada franchisee.

Pemberian bantuan kepada franchisee ini juga dijelaskan oleh ahli yaitu

Martin Madelsohn bahwa dalam pemberian sebuah lisensi oleh seorang

(franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada

franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang

franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh

elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih

dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas

dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam penjelasan pemberian hak lisensi menurut Madelsohn di atas, terdapat

penjelasan bahwa dalam menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor,

franchisee akan menjalankan usahanya dengan mendapatkan bantuan yang terus-

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 71: TA-Rakhmat Noory.pdf

58

Universitas Indonesia

menerus (berkesinambungan) atas dasar-dasar (perjanjian) yang telah ditentukan

sebelumnya. Bantuan yang dimaksud oleh Madelsohn disini adalah memberikan

berbagai bantuan dan bimbingan scara terus menerus seperti:

- Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk

membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari

konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagan bagi franchisee.

- Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang

lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman.

- Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan-

kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada.

- Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya.

- Riset Pasar.

- Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional

- Peluang-peluang pembelian secara besar-besaran.

- Nasihat dan jasa manajemen dan akunting.

- Penerbitan News Letter.

- Riset mengenai material, proses dan metode bisnis.

Penjelasan dari Madelsohn dan Widjajanto tersebut juga sejalan seperti yang

dikatakan oleh Suryono Ekotama selaku ahli dalam bisnis waralaba. Ekotama

menjelaskan, sebagai seorang pemilik bisnis yang asli, franchisor memiliki

kewajiban utama memberikan supporting management (dukungan manajerial)

kepada para franchisee-nya sejak saat perjanjian franchise ditandatangani sampai

dengan perjanjian franchise tersebut berakhir.

Pemberian bantuan tersebut juga dijelaskan pada PP nomor 42 tahun 2007

tentang waralaba yang menyebutkan bahwa waralaba harus memenuhi 6 (enam)

kriteria yaitu:

1. Memiliki ciri khas usaha.

2. Terbukti sudah memberikan keuntungan.

3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang

dibuat secara tertulis.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 72: TA-Rakhmat Noory.pdf

59

Universitas Indonesia

4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan.

5. Adanya dukungan yang berkesinambungan.

6. Hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar.

Dalam kriteria di atas, poin nomor 5 menyebutkan bahwa waralaba

mempunyai kewajiban untuk memberikan dukungan secara terus menerus

(berkesinambungan) kepada franchisee nya dalam menjalankan bisnis tersebut.

Dalam penjelasan poin ke-5 pada PP tersebut dijelaskan bantuan yang diberikan

adalah seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi. Dalam PP tersebut

hanya memberikan contoh bantuan, karena untuk bantuan yang sebenarnya di

lapangan ada bermacam-macam tergantung format bisnis yang dijalankan dan

kesulitan apa yang dialami oleh franchisee.

Bila dilihat dari bantuan yang disebutkan oleh para ahli serta undang-undang

di atas, mengindikasikan bahwa dalam memberikan hak atas pemakaian merek

dagang dan format bisnisnya (know-how), PT X sebagai franchisor ternyata juga

memberikan bantuan lain. Komponen pemberian bantuan yang dilakukan oleh PT

X kepada para franchisee-nya, sesuai dengan wawancara dengan Sugianto dan

Enny contohnya adalah pemberian bantuan dalam hal sebagai berikut:

- Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk

membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari

konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagang bagi franchisee.

- Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang

lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman.

- Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan-

kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada.

- Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya.

- Riset Pasar.

- Nasihat dan jasa manajemen dan akunting.

Riset mengenai material, proses dan metode bisnis.

Pemberian bantuan di atas sesuai dengan bantuan dan bimbingan yang

diutarakan oleh Madelsohn. Pemberian bantuan ini menyebabkan pemberian

”know-how” bukan lagi menjadi murni sebagai passive income yang tidak

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 73: TA-Rakhmat Noory.pdf

60

Universitas Indonesia

melibatkan pemilik ”know-how” tersebut dalam menjalankan usaha penerima

know-how. Karena dengan adanya pemberian bantuan di atas, dapat dikatakan PT

X sebagai franchisor memberikan bantuan yang terolong ke dalam jasa teknik.

Pemberian bantuan yang terdapat dalam penghasilan royalti dalam format

bisnis waralaba PT X tersebut ternyata sesuai dengan teori jasa yang dijelaskan

oleh Philip Kotler yang mendefinisikan konsep mengenai jasa. Kotler

menjelaskan, jasa sebagai setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh

salah satu pihak lain yang secara prinsip intangible dan tidak menyebabkan

perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya bisa dan bisa juga tidak terikat

pada suatu produk fisik. Jasa teknik disini juga sesuai dengan penjelasan dari

Webster’s New World Dictionary yang secara umum menjelaskan pengertian jasa

teknik adalah pemberian jasa yang berhubungan dengan keahlian dalam bidang

ilmu pengetahuan yang bersifat khusus, seni, dan sebagainya.

Pemberian bantuan oleh PT X kepada franchisee-nya ini juga sesuai dengan

penjelasan seorang ahli, yaitu A. Noteboom, yang menjelaskan tentang jasa

teknik. Pengertian jasa teknik menurut A. Noteboom, yaitu:

4. Pemberian jasa atau bantuan teknik sehubungan dengan proyek tertentu di

bidang industri

5. Pemberian jasa atau bantuan teknik yang berhubungan dengan produksi

untuk produk tertentu, dan

6. Pemberian jasa atau bantuan teknik dalam bidang manajemen.

Berdasarkan kategori jasa dari A. Noteboom, jasa teknik yang dilakukan oleh

PT X sebagai franchisor kepada franchisee adalah pemberian jasa atau bantuan

yang masuk kedalam jenis jasa teknik karena franchisor memberikan bantuan

sehubungan dengan usaha waralabanya, dan bila di kaitkan dengan PT X, PT X

memberikan bantuan teknik dalam bidang manajemen kepada franchisee-nya.

Adanya bantuan berupa jasa teknik dalam format bisnis waralaba PT X juga

dapat diperkuat dengan melihat pada SE - 35/PJ/2010 yang menjelaskan tentang

jasa teknik. Jasa teknik sebagaimana dimaksud dalam SE - 35/PJ/2010 pada butir

1 huruf b merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 74: TA-Rakhmat Noory.pdf

61

Universitas Indonesia

berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu

pengetahuan yang dapat meliputi :

a. Pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti

pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;

b. Pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti

pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi,

perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau

c. Pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang

manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar

dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.

Dengan melihat penjelasan dalam SE - 35/PJ/2010 tersebut, PT X dapat

dikatakan memberikan informasi berkenaan dengan pengalaman dalam bidang

waralaba minimarket X. PT X juga memberikan informasi dalam bidang

manajemen, seperti memberikan pelatihan karyawan minimarket X.

Dengan mengetahui bahwa dalam penghasilan dari royalti yang didapatkan

PT X dalam format bisnisnya ternyata terdapat unsur jasa teknik, PT X seharusnya

dapat membedakan penghasilan dari royalti dan komponen penghasilan jasa

teknik, serta memisahkannya. Untuk membedakan pengertian antara royalti dan

jasa teknik, Rahayu membedakannya dengan melihat ciri-ciri dari keduanya

sebagai berikut:

Royalti dari know-how Imbalan Jasa Teknik

1. Pemilik know how tidak ikut serta

dalam mengaplikasikan formula, serta

tidak bertanggung jawab terhadap

hasil yang diperoleh

2. Informasi (know how) diberikan tanpa

kehadiran si pemilik

3. Pembayaran Royalti pada umumnya

didasarkan atas persentase penjualan

(dapat juga bersifat Lump sum)

1. Pemberi jasa ikut serta dalam

pemberian jasa dan bertanggung

jawab terhadap hasil yang diperoleh

2. Jasa teknik pada umumnya diberikan

dengan kehadiran dan keterlibatan

pemberi jasa dalam pemberian jasa

tersebut

3. Pembayaran imbalan jasa teknik pada

umumnya didasarkan atas jumlah jam

kerja (“working hours”) yang

dihabiskan untuk melaksanakan

pemberian jasa tersebut.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 75: TA-Rakhmat Noory.pdf

62

Universitas Indonesia

Penjelasan atas perbedaan dari royalti dan jasa teknik oleh Rahayu tersebut

juga sejalan bila dikaitkan dengan penjelasan beberapa ahli di atas sebelumnya.

Perbedaan mendasar yang terdapat antara royalti dan jasa teknik adalah ada atau

tidak-nya kehadiran pemilik ”know-how” dalam penggunaan ”know-how” tersebut

oleh penerima hak. Dalam format bisnis waralaba, pemilik ”know-how” adalah PT

X sebagai franchisor, sedangkan penerima hak untuk menggunakannya adalah

franchisee.

Rohatgi juga memberikan penjelasan dalam membedakan antara royalti

(know-how) dan jasa teknik. Dalam penjelasannya, rohatgi menyebutkan jasa

teknik sebagai penggunaan atas suatu kemampuan khusus untuk mengerjakan

suatu pekerjaan kepada pihak lain dimana pemilik kemampuan tersebut memiliki

tanggung jawab atas hasil pekerjaannya. Rohatgi menjelaskan dalam memberikan

jasa teknik terdapat show-how. Show-how menurut rohatgi adalah proses

memberikan pengetahuan melalui instruksi, pelatihan, pengawasan dan bantuan

teknik lainnya. Pembayaran atas show-how tersebut biasanya berdasarkan pada

keuntungan yang didapatkan oleh penerima jasa.

Berbeda dengan show-how, Know-how dalam hal ini adalah pengetahuan

tentang rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang diperlukan

untuk menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan tersebut tidak

disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi pengetahuan tidak

memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan

untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut biasanya berdasarkan

persentase dari penjualan atau keuntungan.

Dari penjelasan tentang perbedaan yang dijelaskan oleh Rahayu dan Rohatgi

tersebut, dapat dikatakan perbedaan mendasar dari royalti dan jasa teknik ada

pada tanggung jawab atas hasil, kehadiran pemberi jasa, serta dasar

pembayarannya. Berdasarkan penjelasan para ahli di atas juga dapat dikatakan

jasa teknik merupakan jenis penghasilan active income, yaitu penghasilan yang

melibatkan pihak penerima penghasilan dalam mendapatkan penghasilan tersebut.

Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi menjelaskan bahwa active income atau

disebut juga business income dapat dibedakan dari passive income sebagai

berikut:

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 76: TA-Rakhmat Noory.pdf

63

Universitas Indonesia

3. Dalam business income, untuk konteks orang pribadi, penghasilan

diperoleh melalui suatu kegiatan yang dilakukan oleh prang pribadi yang

melakukan pekerjaan bebas,

4. Sedangkan business income untuk konteks perusahaan, penghasilan

diperoleh melalui suatu kegiatan bisnis.

Dengan penjelasan mengenai teori tentang jasa teknik di atas, dapat dikatakan

bahwa penghasilan yang didapat oleh PT X sebagai franchisor dari royalti yang

dibayarkan oleh franchisee bukan murni merupakan penghasilan dari royalti yang

merupakan passive income tetapi juga terdapat unsur jasa teknik yang merupakan

active income, yang diberikan franchisor kepada franchisee dalam rangka

mendukung usahanya yang berkaitan dengan penggunaan ”know-how” tersebut.

Karena jasa teknik tergolong dalam activve income, maka sudah seharusnya

dipotong pajak lebih kecil dari passive income, karena untuk mendapatkan

penghasilan dengan active income, membutuhkan lebih banyak usaha dan biaya

yang dikeluarkan dalam penyelesaian pekerjaan tersebut. Karena itu, terdapat

perbedaan tarif pemotongan antara royalti (passive income) sebesar 15%

sedangkan jasa teknik (active income) sebesar 2%. Terdapat selisih perbedaan

sebesar 13% karena perbedaan jenis penghasilan.

5.1.3 Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis

Waralaba PT X

Dari analisis mengenai royalti dalam format bisnis franchise, dapat diketahui

bahwa ternyata penghasilan atas royalti dalam format bisnis franchise tidak murni

hanya dari pemberian ”know-how”, tetapi juga mengandung unsur penghasilan

yang tergolong dengan jasa teknik dalam rangka menunjang pemberian ”know-

how”. Hal ini tentunya akan mendorong terjadinya kesalahan wajib pajak dalam

melakukan pemotongan pajak. Kesalahan yang cenderung dilakukan oleh wajib

pajak adalah salah dalam menentukan tarif pajak, termasuk ke dalam pemotongan

royalti atau jasa teknik.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 77: TA-Rakhmat Noory.pdf

64

Universitas Indonesia

Untuk menentukan pemotongan penghasilan yang seharusnya dilakukan oleh

franchisee kepada franchisor, peneliti akan merujuk kepada ketentuan Undang-

undang no. 36 tahun 2008. Dalam UU PPh tersebut pengertian royalti terdapat

dalam pasal 4 (1) huruf h. Dalam penjelasannya UU PPh menjelaskan royalti

sebagai berikut:

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau

perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai

imbalan atas:

1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian

atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses

rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau

hak serupa lainnya.

2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial,

komersial, atau ilmiah.

3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,

atau komersial.

4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan

atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak

menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian

pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:

a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau

keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat

optik, atau teknologi yang serupa.

b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara

atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan

melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.

c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio

komunikasi.

5) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),

film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;

dan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 78: TA-Rakhmat Noory.pdf

65

Universitas Indonesia

6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan

atau pemberian hak kekayaan intelektual / industrial atau hak-hak lainnya

sebagaimana tersebut di atas.

Dalam penjelasan undang-undang pajak penghasilan di atas, menurut Gunadi

dalam wawancara dengan peneliti, terdapat kelemahan dalam penjelasan

mengenai bantuan untuk royalti tersebut. Terutama pada perubahan atau tambahan

3 poin baru yaitu poin 4, 5, dan 6 pada UU no. 36 tahun 2008 terebut. 3 poin

tersebut merupakan tambahan dari perubahan UU PPh tahun 2000. Tujuan dari

penambahan penambahan ketiga poin tersebut adalah untuk lebih mempertegas

posisi penghasilan dari royalti dalam undang-undang perpajakan yang berlaku.

Namun, dalam kenyataannya penambahan peraturan tersebut belum cukup mampu

untuk menjelaskan secara terperinci tentang posisi dari royalti tersebut, khususnya

dalam format bisnis waralaba.

Hal ini disebabkan oleh penjelasan pada poin ke-4 yang menjelaskan tentang

pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penghasilan

royalti tersebut. Dalam poin ke-4 terebut dinyatakan:

”Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan

dengan...................berupa:

a. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman

suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui

satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.

b. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau

rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio

yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau

teknologi yang serupa.

c. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh

spektrum radio komunikasi.”

Dalam poin ke-4 Undang-undang di atas menjelaskan tentang pemberian

bantuan untuk mendukung pemberian hak atas royalti yang dimasukkan ke dalam

kategori royalti. Dalam pemberian bantuan tersebut dijalaskan secara spesifik

bantuan yang seperti apa yang dikategorikan sebagai bantuan untuk royalti dan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 79: TA-Rakhmat Noory.pdf

66

Universitas Indonesia

dalam pemotongannya akan digabungkan ke dalam penghasilan royalti. Namun,

dalam penjelasan undang-undang tersebut tidak dijelaskan mengenai bantuan

dalam bentuk jasa teknik. Hal ini tentu sangat disayangkan, apabila melihat dalam

format bisnis waralaba terdapat jasa teknik yang diberikan dalam memberikan hak

atas merek dagang yang dipakai oleh franchisee.

Hal tersebut juga dipertegas dengan wawancara kepada Gunadi sebagai

narasumber akademisi. Dalam wawancara tersebut, Gunadi mengatakan bahwa

poin penambahan terutama poin ke-4 dalam undang-undang PPh tersebut

maksudnya tidak jelas dan kurang mencakup seluruh bantuan dalam royalti itu

sendiri. Karena dalam poin ke-4 Undang-undang tersebut, dijelaskan dengan kata

”berupa” yang mengakibatkan bantuan tersebut hanya meliputi bantuan yang ada

di dalam undang-undang tersebut saja. Padahal dalam praktiknya, bantuan yang

diberikan untuk menunjang royalti tersebut ada banyak macamnya, seperti

bantuan berupa jasa teknik yang dilakukan dalam format bisnis waralaba di PT X.

Dengan begitu, apabila mengacu pada penjelasan pasal 4 (1) tersebut, bantuan

yang dilakukan oleh franchisor kepada franchisee yang termasuk kedalam

bantuan yang berupa jasa teknik tidak dapat dikatakan sebagai pemberian bantuan

tambahan atau pelengkap sehubungan dengan pemberian ”know-how” seperti

yang dijelaskan dalam pasal tersebut. Hal ini dikarenakan dalam pasal tersebut,

bantuan yang dimaksud dijelaskan secara spesifik dengan kata-kata ”berupa”.

Namun dalam penjelasannya tidak disebutkan mengenai jasa teknik.

Setelah menentukan posisi royalti dan jasa teknik pada pasal 4 (1), maka

dapat ditentukan tarif pemotongan pajaknya pada UU PPh pasal 23 ayat 1 huruf a

dan c. Pada pasal 23 (1) huruf a, ditentukan untuk penghasilan yang termasuk

royalti, akan dikenakan tarif pajak sebesar 15% dari jumlah bruto dan tidak

bersifat final. Sedangkan untuk jasa teknik, akan dikenakan tarif pemotongan

pajak sebesar 2% dari jumlah bruto dan tidak bersifat final.

Melihat dari pasal 23 tersebut, dapat terlihat perbedaan tarif yang cukup

signifikan. Untuk royalti 15% sedangkan untuk jasa teknik sebesar 2%. Terdapat

selisih sebesar 13% dari kedua tarif di atas. Perbedaan tarif antara royalti dan jasa

teknik tersebut dikarenakan perbedaan cara mendapatkan kedua penghasilan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 80: TA-Rakhmat Noory.pdf

67

Universitas Indonesia

tersbut. Tarif pemotongan royalti jauh lebih besar dari tarif pemotongan jasa

teknik karena untuk mendapatkan penghasilan dari royalti, penerima penghasilan

tidak perlu melakukan pekerjaan apapun atau disebut juga sebagai passive income.

Sedangkan untuk mendapatkan penghasilan berupa jasa teknik, penerima

penghasilan harus ikut serta melakukan suatu pekerjaan dalam rangka

mendapatkan penghasilan tersebut.

Perbedaan tarif tersebut tentu akan sangat merugikan suatu pihak apabila

terjadi kesalahan pengenaan tarif pajak. Sayangnya dalam praktiknya, franchisor

dan franchisee selalu menggabungkan semua penghasilan tersebut menjadi satu,

dengan nama penghasilan royalti. Dengan begitu, sering terjadi kesalahan dalam

pemotongan pajak penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba karena

menggabungkan royalti dan jasa teknik ke dalam satu invoice. Oleh karena itu,

dalam prakteknya para pelaku bisnis harus dapat memisahkan komponen

pembayaran tersebut dan memisahkan invoice masing-masing. Dengan

memisahkan antara invoice royalti dan invoice jasa teknik secara terpisah, maka

pembedaan tarif pemotongan pun dapat dilakukan.

5.1.4 Pemotongan Pajak Atas Royalti Terkait Dengan Kebijakan Pajak.

Kesalahan dalam pemotongan penghasilan jasa teknik tersebut tentunya tidak

sejalan dengan konsep kebijakan pajak. Kesalahan tersebut akan menimbulkan

ketidak adilan dalam pemungutan perpajakan. Tentu saja hal itu menjadi tidak

sejalan dengan azas-azas perpajakan. Azas perpajakan tersebut adalah azas yang

menurut Mansury dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip dasar yaitu jumlah

penerimaan yang memadai (revenue adequacy principle) yang merupakan

kepentingan pemerintah dalam hal ini menekankan bidang penerimaan pajak

menjadi yang utama sesuai dengan fungsi budgeter. Prinsip kedua adalah

keadilan (the equity principle) yang merupakan kepentingan masyarakat yang

selalu cenderung mengutamakan keadilan dalam setiap pemungutan pajak.

Kemudian prinsip yang ketiga adalah kepastian (the certainty principle) adalah

untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat yang sudah pasti akan menuntut

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 81: TA-Rakhmat Noory.pdf

68

Universitas Indonesia

adanya kepastian dalam penerapan kebijakan pajak melalui kepastian hukum yang

tertuang dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

Menurut Mansury, ketiga azas itu seharusnya dipegang teguh oleh sistem

Pajak Penghasilan Indonesia. Pemerintah harus membuat sistem yang seimbang

dan memperhatikan semua kepentingan. The Revenue Adequacy Principle adalah

kepentingan Pemerintah. The Equity Principle adalah kepentingan masyarakat

dan The Certainty Principle adalah untuk kepentingan Pemerintah dan

Masyarakat.

Dengan demikian, dalam penentuan kebijakan pajak yang baik harus selalu

memperhatikan kepentingan pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.

Kebijakan pajak sebaiknya harus dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

hukumnya agar menimbulkan kepastian serta kemudahan dalam pelaksanaan

pemungutan pajak. Namun demikian pemilihan berbagai alternatif dalam

kebijakan pemungutan pajak dengan memberikan kemudahan dalam administrasi

pemungutan pajak bukan berarti harus mengorbankan azas keadilan dari pajak.

Sesuai dengan penjelasan Mansury, apabila melihat pada pemotongan pajak

penghasilan atas royalti dalam format bisnis franchise, dalam hal ini kebijakan

perpajakan yang dibuat oleh pemerintah belum mencakup semua azas perpajakan.

Karena dalam pemotongan pajak atas penghasilan royalti dalam format bisnis

franchise belum terlihat terpenuhinya azas The Certainty Principle. Hal ini dapat

terlihat dari masih bingungnya para wajib pajak dalam bisnis waralaba dalam

menentukan pemotongan pajak atas penghasilannya.

Kurangnya azas kepastian ini juga semakin terlihat karena para petugas

pemeriksa pajak pun tidak menjadikan kesalahan pemotongan pajak tersebut

kedalam koreksi fiskal. Hal ini didapat dari wawancara peneliti dengan Enny

Agustianty Jacob selaku Franchise Support General Manager di PT X. Enny

mengatakan bahwa selama ini pihaknya selalu memotong penghasilan tersebut

menjadi satu dengan pemotongan pajak atas royalti sebesar 15%. Selama ini, tidak

pernah ada masalah ataupun koreksi yang dilakukan oleh petugas pajak. Hal ini

memperlihatkan bahwa petugas pajak sepertinya masih belum memahami konsep

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 82: TA-Rakhmat Noory.pdf

69

Universitas Indonesia

dari royalti dalam perpajakan. Otomatis azas kepastian ini pun tidak akan dapat

tercapai.

Dengan tidak tercapainya azas kepastian tersebut, tentunya akan berpengaruh

kepada azas keadilan atau azas The Equity Principle. Dalam hal ini ketidakadilan

akan dialami oleh franchisor sebagai pihak yang dipotong karena terpaut selisih

tarif yang cukup besar yaitu sebesar 13% dari yang seharusnya dipotong (sesuai

pasal 23 UU PPh). Keadilan tersebut, bila dilihat dari konsep yang dijelaskan oleh

Mansury, tidak tercapai karena belum dapat memenuhi kriteria keadilan

horizontal dan keadilan vertikal.

Kriteria keadilan horizontal yang belum terpenuhi khususnya adalah kriteria

kelima yang dijelaskan oleh Mansury, khususnya keadilan horizontal poin kelima

(lihat bab 2). Isi poin tersebut adalah semua tambahan kemampuan ekonomis

yang diterima Wajib Pajak harus dikenakan pajak dan atas Wajib Pajak yang

menerima tambahan kemampuan ekonomis yang sama seyogjanya dikenakan

pajak dengan persentase tarif pajak yang sama. Hal ini belum tercapai karena para

wajib pajak dalam bisnis waralaba ternyata masih dikenakan tarif pajak sebesar

15% (tarif untuk royalti) dalam pemotongan penghasilan yang tergolong sebagai

jasa teknik yang seharusnya hanya dikenakan 2%.

5.2 Dampak Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis

Waralaba PT X

Dalam penelitian ini, karena keterbatasan data yang diberikan oleh PT X,

maka peneliti akan menganalisis dampak yang terjadi karena pemotongan pajak

atas royalti terhadap PT X dengan menggunakan simulasi perhitungan

menggunakan angka perkiraan. Perkiraan angka ini diolah oleh peneliti dengan

dasar jumlah gerai waralaba X yang dijadikan franchise oleh PT X. Sesuai data

yang diperoleh, jumlah gerai franchise waralaba X pada saat peneliti melakukan

wawancara adalah 1759 gerai. Jumlah ini kurang lebih sekitar 30% dari seluruh

total gerai waralaba X di seluruh Indonesia.

Dari 1759 gerai waralaba X tersebut, sesuai dengan konsep yang diterapkan

oleh PT X, franchisee akan diberikan kewajiban untuk memberikan royalti yang

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 83: TA-Rakhmat Noory.pdf

70

Universitas Indonesia

diambil dari penjualan bersih yang terjadi dalam setiap bulannya di waralaba X

tersebut. Dari penjualan bersih tersebut, akan dikenakan royalti berdasarkan

persentase secara progresif, tergantung dari besarnya penjualan bersih. Untuk

memperkirakan pendapatan royalti yang diterima oleh PT X, peneliti akan

mengambil persentase yang berada di tengah, yaitu 2% dari Rp. 100.000.000,-.

Disini peneliti akan menganggap rata-rata penghasilan dari setiap waralaba X

adalah 100 juta, dan akan dikenakan 2% untuk royalti. Berarti dari setiap

franchise waralaba X, PT X akan mendapatkan Rp. 2.000.000,- setiap bulannya.

Dari perolehan Rp. 2.000.000,- setiap waralaba, dapat diketahui PT X akan

mendapatkan royalti sekitar Rp. 3.518.000.000,- setiap bulannya dari seluruh

franchise waralaba X.

Dari penghasilan royalti sebesar Rp. 3.518.000.000,- tersebut, sesuai dengan

UU PPh pasal 23 dan keterangan dari Enny, PT X akan dipotong pajak

penghasilan sebesar 15% setiap bulannya. Besarnya pemotongan pajak atas royalti

PT X setiap bulannya adalah Rp. 527.700.000,-. Ini berarti apabila PT X tidak

memisahkan komponen bantuan berupa jasa teknik yang terdapat dalam

penghasilan royalti tersebut, PT X akan dipotong pajak penghasilan setiap

bulannya Rp. 527.700.000,-

Jumlah waralaba X = 1759

Perkiraan rata-rata penghasilan = Rp. 100 juta

Tarif Persentase untuk Royalti = 2%

Penghasilan PT X dari Royalti per bulan = Rp. 3.518.000.000,-

Jumlah pemotongan pajak atas royalti (tarif 15%) = Rp. 527.000.000,-

Dari hasil wawancara dengan pihak dari PT X, dikarenakan rahasia

perusahaan dan tidak dapat ditunjukkan kepada umum, peneliti tidak bisa

mendapatkan biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh PT X untuk memberikan

bantuan supporting management. Dari perolehan jasa royalti tersebut, peneliti

akan memperkirakan bahwa 50% dari penghasilan yang didapat dari penghasilan

royalti adalah penghasilan yang terdapat komponen pemberian bantuan berupa

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 84: TA-Rakhmat Noory.pdf

71

Universitas Indonesia

jasa teknik yang dilakukan oleh PT X kepada para franchisee nya, atau disebut

juga supporting management.

Dengan memperkirakan 50% penghasilan dari royalti adalah komponen

penghasilan dari jasa teknik, maka seharusnya pemotongan pajak PT X akan

terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian adalah untuk komponen penghasilan

yang benar-benar sebagai penghasilan dari royalti yaitu sebesar Rp.

1.759.000.000, akan dikenakan tarif 15% sesuai dengan UU PPh pasal 23. Maka

akan didapatkan angka sebesar Rp. 263.850.000,-.

Sedangkan satu bagian lainnya adalah penghasilan yang merupakan

komponen dari penghasilan atas supporting management sebesar Rp.

1.759.000.000, sesuai dengan UU PPh pasal 23 akan dikenakan tarif untuk jasa

teknik sebesar 2%. Maka akan didapatkan angka sebesar Rp. 35.180.000. Maka

Total pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan dari royalti yang diterima

oleh PT X seharusnya adalah Rp. 299.030.000 (Rp. 263.850.000 + Rp.

35.180.000).

1. Penghasilan Total Dari Royalti per Bulan = Rp. 3.518.000.000,-

2. Penghasilan Murni Dari Royalti (50%) = Rp. 1.759.000.000,-

3. Tarif Pemotongan Pajak PPh 23 15% = Rp. 263.850.000,-

4. Penghasilan Komponen Jasa Teknik (50%) = Rp. 1.759.000.000,-

5. Tarif Pemotongan Pajak PPh 23 2% = Rp. 35.180.000,-

6. Jumlah Pemotongan Pajak Penghasilan per Bulan = Rp. 299.030.000,- (3+5)

Dari contoh perhitungan di atas, dapat terlihat perbedaan apabila PT X

mengeluarkan komponen penghasilan yang termasuk kedalam jasa teknik.

Apabila PT X tidak mengeluarkan komponen jasa teknik dalam penghasilan

royaltinya, maka jumlah pemotongan pajak PT X setiap bulan adalah sebesar Rp.

527.700.000. Sedangkan apabila PT X dapat mengeluarkan komponen jasa teknik

yang terdapat dalam penghasilan royalti, maka jumlah pemotongan pajak PT X

akan berkurang menjadi Rp. 299.030.000.

Dari perhitungan di atas dapat diketahui PT X dapat menghemat pemotongan

pajaknya sebesar Rp. 228.670.000 untuk setiap bulannya. Namun seperti yang

dikatakan oleh Enny dalam wawancara dengan peneliti, bahwa perbedaan tersebut

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 85: TA-Rakhmat Noory.pdf

72

Universitas Indonesia

hanya masalah timing different atau masalah waktu saja. Hal ini dikarenakan

pemotongan yang dikenakan pada penghasilan PT X dapat dikreditkan pada akhir

tahun pembukuan. Akan tetapi, pemotongan pajak ini akan berpengaruh kepada

cash flow dan mempengaruhi cost of money perusahaan.

Seperti yang dijelaskan oleh Brigham dan Ehrhardt, terdapat 4 faktor

terpenting yang mempengaruhi cost of money yaitu kesempatan produksi

(production opportunities), preferensi waktu konsumsi (time preferences for

consumption), resiko (risk), dan inflasi (inflation). (Brigham, Ehrhardt: 2005: 15)

Dengan menunda pembayaran pemotongan pajak penghasilan, PT X akan

mendapatkan preferensi waktu atas uang yang akan dipotong pajak. Dengan

mendapatkan preferensi waktu untuk membayarkan pajak pada akhir tahun, maka

PT X akan mendapatkan kesempatan produksi dengan uang yang ada, dan

otomatis akan meningkatkan penjualan dan laba perusahaan.

”A dollar in hand today is worth more than a dollar to be

received in the future because, if you had it now, you could invest it,

earn interest, and end up with more than a dollar in the future”

(Brigham, Ehrhardt: 2005: 39)

Maksudnya adalah uang yang kita miliki saat ini nilainya lebih berharga daripada

yang kita miliki di masa akan datang. Karena apabila kita memiliki uang itu

sekarang, kita dapat menggunakan uang itu untuk berinvestasi, atau mendapatkan

bunga dari bank yang akan mengembangkan nilai uang tersebut.

Dengan menunda pembayaran pajak sebesar Rp. 228.670.000, pada setiap

bulannya, berarti PT X mempunyai dana tunai yang bersifat liquid sebesar jumlah

tersebut. Dana tunai tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengembangkan

usahanya sendiri. Dengan dana sebesar itu, PT X dapat membuka satu cabang

waralaba X dengan perkiraan biaya sebesar Rp. 410.000.000,-. Dengan begitu

perkembangan usaha waralaba X akan semakin meningkat tajam.

Dengan simulasi perhitungan di atas, dapat dikatakan pemisahan komponen

penghasilan tersebut akan sangat bermanfaat bagi PT X sebagai franchisor. Akan

tetapi, menurut Enny pada saat wawancara dengan peneliti, PT X sepertinya

belum dapat melakukan pemisahan komponen penghasilan tersebut. Menurut

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 86: TA-Rakhmat Noory.pdf

73

Universitas Indonesia

Enny, dengan untuk melakukan pemisahan komponen penghasilan tersebut

memerlukan perhitungan yang cermat agar mendapatkan formulasi yang tepat.

Sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Enny, diketahui PT X masih

menggabungkan penghasilannya kedalam suatu nama yang disebut dengan royalti.

Menurut Enny, penggabungan seluruh penghasilan itu dilakukan dengan tujuan

agar memudahkan pada saat melakukan pemotongan pajaknya. Karena jelas untuk

royalti akan dikenakan pajak sebesar 15% menurut UU PPh Pasal 23, dan tidak

mengundang pemeriksa untuk melakukan koreksi fiskal. Selain itu, untuk

melakukan perhitungan tersebut, tentunya akan memakan banyak waktu dan

tenaga. Untuk melakukan pemisahan tersebut diperlukan orang yang mengerti

konsep perpajakan dan konsep format bisnis franchise pada PT X. Apabila

melihat sumber daya manusia yang dimiliki oleh PT X, pemisahan tersebut

sepertinya akan sulit untuk dilakukan. Pada sisi lain, Enny juga menyebutkan

apabila dipaksa untuk melakukan pemisahan tersebut, takutnya akan berdampak

pada sulitnya saat dilakukan pemeriksaan.

Kekhawatiran Enny pada saat dilakukan pemeriksaan bukan tanpa alasan.

Dalam wawancaranya Enny mengatakan “Tenaga nya juga tidak ada. Lalu tidak

semua franchisee kita juga memiliki konsultan yang bisa fight”. Karena itu

menurut Enny, PT X akan mencari jalan aman agar tidak dipersulit pada saat

dilakukan pemeriksaan oleh pemeriksa pajak karena dari pihak PT X tidak ada

pegawai yang bisa memberikan argument terkait dengan pajak secara mendalam.

Dengan mencari jalan aman seperti itu, Enny juga mengatakan sudah

merasakan banyak manfaatnya. Menurutnya, dengan memilih untuk mengenakan

tarif yang paling besar dalam pemotongan pajaknya, pemeriksaan yang dilakukan

oelh pemeriksa juga tidak memakan waktu yang lama. Bahkan Enny juga

menambahkan, karena tidak adanya temuan yang ditemukan oleh pemeriksa,

pemeriksa itu justru meminta untuk diberikan temuan dalam pemeriksaannya.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 87: TA-Rakhmat Noory.pdf

74 Universitas Indonesia

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari uraian pada bab-bab sebelumnya

adalah sebagai berikut:

1. Pemotongan yang dilakukan oleh franchisee kepada PT X sebagai

franchisor yang memiliki “know-how” atas penghasilan royalti ternyata

belum sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik.

a. Ketidaksesuaian dalam pemotongan penghasilan royalti

tersebut disebabkan adanya bantuan yang diberikan PT X

sebagai franchisor kepada franchisee dalam menjalankan

usaha waralaba X yang menggunakan “know-how” dari PT X

dan menyebabkan penghasilan dari royalti tersebut tidak lagi

murni sebagai penghasilan dari passive income seperti

penjelasan dalam konsep perpajakan yang menyebutkan

bahwa pemilik harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur

tangan dan bertanggung jawab atas hasil dari pelaksanaan

pemakaian hak tersebut.

b. Perumusan bantuan yang termasuk penghasilan royalti yang

diatur dalam pasal 4 (1) huruf h dalam UU no. 36 tahun 2008

tentang Pajak Penghasilan belum sempurna. Dapat dikatakan

demikian karena dalam penjelasan undang-undang tersebut,

terdapat keterbatasan penentuan jenis bantuan yang tergolong

sebagai royalti. Sehingga karena adanya keterbatasan

tersebut, bantuan berupa jasa teknik yang terdapat dalam

format bisnis waralaba, khususnya format bisnis waralaba PT

X, belum dapat dikategorikan sebagai bantuan yang termasuk

sebagai bagian dari royalti. Hal ini tentunya menciptakan

keragu-raguan pada pelaku bisnis dalam melakukan

pemotongan pajak.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 88: TA-Rakhmat Noory.pdf

75

Universitas Indonesia

2. Sebagai pelaku bisnis waralaba, PT X juga mengalami kebingungan pada

saat melakukan pemotongan pajak atas penghasilan dari royalti tersebut.

Hal ini menimbulkan dampak pada pengambilan keputusan oleh PT X

(yang melaksanakan pembukuan atas keuangan franchisee) untuk

memotong pajak penghasilan atas royalti dengan tarif yang paling besar.

PT X memasukkan bantuan kepada franchisee yang merupakan

komponen jasa teknik menjadi bagian dalam royalti dan dipotong dengan

UU PPh pasal 23 dengan tarif 15%, sehingga dampaknya adalah PT X

melakukan pemotongan lebih besar daripada yang seharusnya. Karena

dampak tersebut, PT X mengalami kerugian dari sisi cost of money.

PT X memutuskan untuk mengambil tindakan sedemikian rupa

dengan pertimbangan kemudahan administrasi karena kurangnya sumber

daya manusia pada PTX, serta mempertimbangkan untuk menghindari

kesulitan pada saat dilakukan pemeriksaan oleh fiskus karena PT X

menilai bila nanti terdapat temuan pajak yang dilakukan oleh fiskus, PT X

tidak mempunyai pegawai yang dapat memberikan argumentasi kepada

fiskus.

6.2 Saran

1. PT X sebaiknya segera memisahkan komponen penghasilan antara

penghasilan dari royalti dan jasa teknik dengan memisahkan invoice

antara keduanya. PT X juga harus mencari sumber daya manusia yang

berkompeten, dan dapat melakukan pemisahan serta pembedaan antara

penghasilan dari royalti dan komponen penghasilan yang merupakan jasa

teknik. Pemisahan itu akan sangat berguna untuk perkembangan usaha PT

X. Selain lebih menguntungkan dari segi cost of money dan

perkembangan perusahaan, pemisahan tersebut juga menjadikan PT X

sebagai Wajib Pajak yang melakukan pemotongan pajak dengan benar.

2. Pemerintah sebaiknya melakukan revisi terhadap undang-undang yang

mengatur mengenai penjelasan royalti. Revisi yang dilakukan dapat berupa

penambahan jasa teknik sebagai jenis bantuan yang dapat dikategorikan

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 89: TA-Rakhmat Noory.pdf

76

Universitas Indonesia

sebagai bagian dari royalti, atau dengan menerbitkan PER atau PP. Revisi

tersebut juga dapat dilakukan dengan cara menghilangkan kata “berupa”

pada penjelasan pasal 4 (1) huruf h dengan kata lain misalnya “contohnya”

agar cakupan penjelasan tersebut menjadi lebih luas. Dapat juga dengan

tidak memberikan contoh, melainkan menjelaskan bahwa setiap bantuan

yang dilakukan dalam rangka membantu royalti merupakan bagian dari

royalti tersebut.

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 90: TA-Rakhmat Noory.pdf

77 Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Buku :

Brigham, Eugene F & Ehrhardt, Michael C. 2005. Financial Management:

Theory and Practice Twelfth Edition. South-Western Cengage Learning.

United State Of America.

Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and

Mixed Methods Approaches. London: Sage Publication, Inc.

Darussalam, John Hutagaol, Danny Septriadi. 2010. Konsep Dan Aplikasi

Perpajakan Internasional. Danny Darussalam Tax Center (PT Dimensi

Internasional Tax). Jakarta.

Gunadi, 2005. Akuntansi Perpajakan: Sesuai Dengan UU Pajak Baru.

Grasindo. Jakarta

Irawan, Prasetya. 2004. Logika dan Prosedur Penelitian Pengantar Teori dan

Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula.

Jakarta: STIA LAN press.

Madelsohn, Martin. (1993). Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan

Franchisee. PT. Ikrar Mandiriabadi

Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan

Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP 4).

__________. (2000). Pembahasan Mendalam Pajak Atas Penghasilan. Jakarta

__________. (1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia.

Jakarta: Bina Rena Pariwara

Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan,

Implementasi, dan Kontrol, Jilid 1. Jakarta: Prenhallindo.

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi penelitian kualitatif edisi revisi.

Bandung, remaja rosdakarya

Mulyono, Djoko. 2009. Akuntansi Pajak Lanjutan. Yogyakarta: C.V. Andi

Offset

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 91: TA-Rakhmat Noory.pdf

78

Universitas Indonesia

Novitasari, Dyna. (2010). 50 Waralaba Potensial Di Bawah 10 Juta.

Yogyakarta: G- Media

Raharja, Prathama. 2004. Teori Makro Ekonomi: Suatu Pengantar, Edisi

Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Rahayu, Ning & Santoso, Iman. (2007). Bunga Rampai Perpajakan Indonesia.

Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.

Rohatgi, Roy. (2005). Basic International Taxation Volume 1: Principles,

London : BNA International Inc.

___________. (2005). Basic International Taxation Volume 2: Principles,

London : BNA International Inc.

Shome, Parthasarathi. (1995). Tax Policy Handbook. Washington DC: Tax

Policy Division, Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund.

Surahmat, Rachmanto. (2000). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Tarbutton, Lloyd T. (1986). Franchising: The How-To Book. Prentice-Hall

Widjajanto, Bije. (2009). Cara Aman Memulai Bisnis. Grasindo

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang

Waralaba

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 35/PJ/2010 Tentang

Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan

Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana

Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2008.

Sumber Kajian Literatur :

Aulia, Dini. (2002). Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis Franchise Di

Indonesia (Suatu Analisa Kontrak Franchise antara Le France –

franchisor Perancis – dengan PT. X – Franchisee Indonesia –

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012

Page 92: TA-Rakhmat Noory.pdf

79

Universitas Indonesia

terhadap praktik penghindaran pajak dan azas kepastian hukum).

Universitas Indonesia.

Rahayu, Ning. (1998). Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti Dan Imbalan

Jasa Teknik: Baik Berdasarkan Ketentuan Domestik Maupun

Perjanjian Internasional (Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan

Kepastian Hukum Dan Mencegah Penghindaran Pajak).

Universitas Indonesia.

Sumber Elektronik

http://www.anggaran.depkeu.go.id

http://www.franchiseindonesia.org/

http://www.swa.co.id,

http://www.legal-explanations.com/definitions/royalty.htm

Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012