Upload
duongnhu
View
239
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS
WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X
SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X)
TUGAS KARYA AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi
RAKHMAT NOORY
1006817561
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI FISKAL EKSTENSI
DEPOK
JUNI 2012
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar,
Nama : Rakhmat Noory
NPM : 1006817561
Tanda Tangan :
Tanggal : Juni 2012
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Rakhmat Noory
NPM : 1006817561
Program Studi : Administrasi Fiskal
Judul Skripsi : Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti
Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waralaba
Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai
franchisor Waralaba Minimarket X)
Telah berhasil dipertahankan di hadapkan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekstensi pada Program Studi Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. Ning Rahayu, M.Si
Penguji Ahli : Ruston Tambunan Ak., M.Si., M.Int.Tax
Ketua Sidang : Dr. Tafsir Nurchamid, M.Si., Ak.
Sekretaris Sidang : Milla Setyowati, S.Sos., M.Ak.
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 25 Juni 2012
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam
Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai Franchisor
Waralaba Minimarket X)”. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana strata satu ilmu
Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit untuk
menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Dalam penyusunan
skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi yang
berarti dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ning Rahayu, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Fiskal Program Studi Sarjana Ekstensi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, dan selaku dosen pembimbing yang banyak
sekali mengarahkan dan membantu penyelesaian penelitian ini
2. Ruston Tambunan Ak., M.Si., M.Int.Tax selaku dosen penguji
3. Drs. Asrori, MA, FLMI selaku Ketua Program Sarjana Ekstensi
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia.
4. Mama dan Papa tersayang yang selalu memberikan kasih sayang yang tak
ternilai harganya, serta kakak-kakak tercinta dan Mama Heri yang selalu
memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.
5. Teman-teman Ekstensi FISIP UI Fiskal 2010 terutama rekan satu tim
bimbingan Naela dan Eliana (Terimakasih Banyak), kemudian Fyko
Fabud, Try Dharmadi, Henry Triawan, Nuh Satryo, Vicha Aida, Lavira
Mavushi, Erik Dwi Putra, Chandra N, Dimas Bagus, Miqdam Sugiarto,
Andi Yudistira, Dessy, Aldilla, dan semua teman-teman lain yang tidak
dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan kalian semua.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
v
6. Andri Kurnaedi Hidayat, sebagai teman, sahabat, sekaligus mentor yang
selalu memberikan arahan dan masukan yang sangat bermanfaat.
7. Dosen-dosen pengajar Ekstensi FISIP UI yang telah membantu
memberikan ilmu pengetahuan dan senyuman, terutama Dr. Waluyo dan
Prof. Dr. Gunadi, serta pengajar lain yang sangat saya hormati.
8. Pegawai sekretariat Ekstensi FISIP UI.
9. Narasumber dan Informan yang telah memberikan kesediaan waktu untuk
memberi data dan informasi kepada peneliti: Prof. Gunadi, Tommy
Sugianto, Enny Agustianty Jacob, John Hutagaol, Suryono Ekotama,
Tugiman Binsardjono, Heri Poerwanto, dan Fadiah.
10. Prima Pantau Putri Santosa yang selalu memberikan semangat untuk
menyelesaikan penelitian ini.
11. Varah Alista yang selalu setia menemani hari-hari peneliti.
12. Pihak-pihak lain yang penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu dalam
memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu administrasi fiskal.
Depok, Juni 2012
Peneliti
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Rakhmat Noory
NPM : 1006817561
Program Studi : Administrasi Fiskal
Departemen : Ilmu Administrasi
Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Jenis karya : Tugas Karya Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menuyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Analisis Kebijakan Pajak Atas
Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal
Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan /
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : Juni 2012
Yang menyatakan
(Rakhmat Noory)
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
vii
ABSTRAKSI
Nama : Rakhmat Noory
Judul : Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa
Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi
Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)
Penelitian ini membahas tentang Penghasilan Royalti Dalam Format
Bisnis Waralaba Lokal Indonesia. Format Bisnis Waralaba adalah suatu format
yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Dalam Format Bisnis Waralaba ini,
terdapat penghasilan berupa royalti yang dibayarkan oleh francshisee kepada
franchisor terkait pemberian ”know-how” oleh franchisor kepada franchisee.
Namun dalam prakteknya, dalam penghasilan royalti tersebut ternyata tidak murni
dihasilkan dari penghasilan royalti saja, namun juga terdapat komponen
penghasilan yang termasuk Jasa Teknik. Hal ini menyebabkan terjadinya
kesalahan Wajib Pajak dalam melakukan pemotongan pajak penghasilan. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data
dilakukan menggunakan wawancara mendalam dan studi pustaka. Analisa yang
dilakukan adalah dengan membandingkan data-data yang telah diperoleh dengan
teori yang ada dan peraturan yang berlaku. Perbandingan yang dilakukan mengacu
pada tema penelitian ini. Kelemahan penelitian skripsi ini adalah masih adanya
data yang kurang didapatkan untuk dijadikan bahan perbandingan, namun dari
penelitian ini dapat diperoleh gambaran tentang pemotongan pajak penghasilan
atas royalti yang dilakukan oleh Waralaba Minimarket X kepada PT X sebagai
franchisor.
Kata Kunci : Penghasilan Royalti, Jasa Teknik, Waralaba Lokal Indonesia.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
viii
ABSTRACTION
Nama : Rakhmat Noory
Judul : Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa
Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi
Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)
This study discusses the royalty income from Local Franchise Business
Format In Indonesia that growing rapidly. In Franchise Business Format, there is
royalti income paid by franchisee to the franchisor related to the provision of
know-how of the franchisor to the franchisee. However, in practice in that income
from royalty was also present income from technical services. This causes the
taxpayer makes mistakes in their income tax withholding obligations. The
research method used in this study is a qualitative. Data collection techniques
performed using in-depth interview and literature study. Analysis was performed
by comparing the data have been obtained with the existing theory and
regulations. Comparisons are made referring to the theme of this research. The
weakness of this thesis research is still a lack of data available to be used as a
comparison, but from this study may provide a general description of the
withholding tax on royalty income by Minimarket X franchise to PT X as a
franchisor.
Keywords : Royalty Income, Technical Services, Indonesian Local Franchise.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………............................................ i
HALAMAN PERNYATAN ORISINALITAS ………………………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….............. iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………………………………. vi
ABSTRAKSI………………………………………………………………........ vii
DAFTAR ISI……………………………………………...…………………...... ix
DAFTAR TABEL…………………………………………………………..….. xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
I.2 Pokok Permasalahan …………………………………………. 6
I.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….. 7
I.4 Signifikansi Penelitian ……………………………………….. 8
I.5 Sistematika Penelitian ………………… …………………….. 8
BAB 2 KERANGKA TEORI
2.1 Tinjauan Literatur …………………………………………… 11
2.2 Kebijakan Pajak……………………………………………… 15
2.3 Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan……………………… 17
2.3.1 Passive Income dan Active Income …………………… 19
2.4 Konsep Franchise……………......…………………………… 20
2.4.1. Waralaba (Franchise) di Indonesia …………………… 24
2.5 Konsep Royalti…………………………. ……………………. 24
2.5.1. Manfaat Royalti Dalam Bisnis Waralaba……………… 25
2.6 Konsep Jasa Teknik…………………………………………. 26
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
x
2.7 Bagan Alur Pemikiran ……………………………………….. 28
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian………………………………………. 30
3.2 Jenis Penelitian …………………….……..………………… 31
3.3 Metode Pengumpulan Data…………….…………………… 31
3.4 Narasumber / Informa.n…..………………………………… 32
3.5 Proses Penelitian…… ……………………………………… 35
3.6 Site Penelitian ……………………………………………… 36
3.7 Batasan Penelitian ……..…………………………………… 36
BAB 4 GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Umum Bisnis Waralaba (Franchise)………………37
4.1.1 Jenis-jenis Waralaba (Franchise)………….………… 41
4.1.2 Karakteristik Bisnis Waralaba (Franchise)…………. 42
4.1.3 Biaya-biaya Yang Timbul Dalam Bisnis Waralaba….. 43
4.1.4 Dasar Hukum Bisnis Waralaba (Franchise)……….… 44
4.1.5 Kewajiban Para Pihak……………………………….. 45
4.2. Gambaran Umum PT X………………………………………. 46
4.2.1 Skema Waralaba PT X………………………………. 48
4.2.2 Syarat Menjadi Pemiliki Toko Waralaba X…..……… 51
4.2.3 Royalti Dalam Waralaba X………………………….. 51
BAB V ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS
WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X
SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X)
5.1. Analisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee
ke PT X sebagai franchisor sesuai konsep perpajakan.............. 52
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
xi
5.1.1 Penghasilan Royalti Dalam Format Bisnis
Waralaba PT X .………………………………………… 53
5.1.2 Unsur Jasa Teknik Dalam Pemberian Bantuan Pada Format
Bisnis Waralaba PT X…….………………………….… 57
5.1.3 Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis
Waralaba PT X………………………………………….. 63
5.1.4 Pemotongan Pajak Atas Royalti Pada PTX Terkait Dengan
Kebijakan Pajak………………………………………… 67
5.2. Dampak Yang Timbul Akibat Pemotongan Penghasilan Atas Royalti
Yang Dilakukan Oleh Franchisee Terhadap PT X……………. 69
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan……………………………………………………. 74
6.2 Saran…………………………………………………………… 75
DAFTAR REFERENSI ………………………………………………….. 77
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
xii
Daftar Tabel
Tabel 1.1. Penerimaan Pajak Indonesia
Tabel 1.2. Perkembangan Usaha Waralaba
Tabel 1.3. Pertumbuhan Gerai PT. X
Tabel 2.1. Tinjauan Pustaka
Tabel 2.2. Perbedaan Royalti dan Jasa Teknik
Tabel 4.1. Estimasi Investasi Waralaba X Skema Waralaba Toko Baru
Tabel 4.2. Persentase Pengenaan Royalti Waralaba X
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
xiii
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Transkrip Wawancara
Lampiran 2 Surat Edaran Nomor SE – 35/PJ/2010
Lampiran 3 PP nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampai saat ini, pajak masih menjadi sumber utama pendapatan Negara.
Penerimaan pajak masih menjadi yang terbesar dalam jumlah pendapatan Negara.
Sektor pajak juga menjadi penopang untuk melakukan pembangunan di berbagai
sektor. Penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan Negara juga terlihat
semakin meningkat dari tahun ke tahun, seperti terlihat dari tabel berikut ini :
Tabel 1.1: Penerimaan Pajak Indonesia
Tahun Penerimaan DN Penerimaan Pajak Persentase
APBN 2006 636.153,1 409.203,0 64,3%
APBN 2007 706.108,3 490.988,6 69,5%
APBN 2008 979.305,4 658.700,8 67,3%
APBN 2009 847.096,6 619.922,2 73,9%
APBN 2010 992.248,5 723.306,6 72,9%
APBN P 2011 1.165.252,5 878.685,2 75,4%
RAPBN 2012 1.292.052,6 1.019.332,4 78,9%
Sumber:http://www.anggaran.depkeu.go.id
Namun walaupun terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya,
pemerintah masih merasa penerimaan dari sektor pajak belum optimal. Karena itu,
pemerintah melakukan berbagai upaya agar dapat menempatkan pajak pada
proporsinya sebagai unsur penerimaan Negara yang handal. Ditambah lagi dengan
pesatnya pertumbuhan ekonomi di era globalisasi sekarang ini, penerimaan dari
sektor pajak seharusnya dapat lebih di optimalkan.
Sejalan dengan berkembangnya era globalisasi, semakin berkembang pula
kebutuhan dan kemajuan masyarakat. Masyarakat semakin menuntut suatu
kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien. Hal ini juga didukung dengan adanya
era globalisasi yang memudahkan masuknya format bisnis baru yang berasal dari
luar dan mendapatkan tanggapan yang baik di Indonesia. Format baru dalam
berbisnis ini muncul dengan dorongan kebutuhan manusia untuk dapat lebih
mengoptimalkan sebaik-baiknya potensi yang dimilikinya demi memperoleh
keuntungan yang semaksimal mungkin, termasuk perkembangan teknologi yang
terus berjalan. Dari sinilah kemudian timbul jenis-jenis bisnis baru, salah satunya
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
2
Universitas Indonesia
yang sudah mulai berkembang sejak awal tahun 2000-an dan semakin
berkembang pada saat ini adalah format bisnis waralaba (franchise).
Kegiatan bisnis dengan sistem waralaba adalah suatu sistem dalam bisnis
dimana ada suatu pihak (franchisor) yang mempunyai hak milik atas suatu
kegiatan bisnis yang memberikan hak tersebut kepada pihak lain (franchisee)
untuk menggunakan atau memanfaatkan hak milik franchisor tersebut. Di
Indonesia, bisnis dengan sistem franchise ini sudah mulai berkembang sejak tahun
sembilan puluhan awal lalu. Sampai sekarang terus berkembang baik dari jenis
dan jumlah outletnya.
Dalam beberapa tahun belakangan, bisnis waralaba di Indonesia semakin
berkembang dengan pesat. Dari tahun ke tahun, peningkatan dari bisnis waralaba
terus menunjukkan perkembangan yang positif baik dari jumlah merk, total gerai,
hingga omset secara keseluruhannya. Menurut Perhimpunan Waralaba & Lisensi
Indonesia (Wali) omset waralaba pada 2011 sangat besar bahkan mencapai
ratusan triliun rupiah (http://www.franchisewaralaba.com/berapa-total-omset-
waralaba-di-indonesia.html). Hal ini tentunya sangat menggiurkan bagi para
investor untuk melirik usaha waralaba di Indonesia.
Untuk melihat perkembangan bisnis waralaba dengan lebih detail, dapat
dilihat dari sumber table berikut ini:
Tabel 1.2: Perkembangan Usaha Waralaba
Tahun Franchise Asing Franchise Lokal
Jumlah Pertumbuhan Jumlah Pertumbuhan
2001 230 42
2002 255 10.87% 45 7.14%
2003 239 -6.27% 49 8.89%
2004 270 12.97% 62 26.53%
2005 237 -12.22% 129 108.06%
2006 220 -7.17% 230 78.29%
2007 250 13.64% 450 95.65%
2008 255 2.00% 600 33.33%
2009 260 1.96% 750 25.00%
Sumber dari: http://www.franchiseindonesia.org/ , diolah kembali oleh
peneliti
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
3
Universitas Indonesia
Berbeda dengan pertama kali berkembangnya bisnis waralaba pada tahun
Sembilan puluhan sampai awal tahun 2000-an yang cenderung dikuasai oleh
merk-merk dari luar Indonesia, pada beberapa tahun belakangan merk-merk lokal
sudah ikut meramaikan pasar. Hal ini terlihat dari semakin tersebarnya waralaba-
waralaba lokal di Indonesia. Waralaba lokal kini sudah semakin berkembang
dengan melipat gandakan gerainya dan sudah semakin dikenal di masyarakat.
Sebagai contoh, di bidang pendidikan, kita bisa melihat contoh kiprah
Primagama dan LP3I yang total gerainya sudah ratusan. Atau Apotek K24 yang,
meski termasuk pendatang baru, sudah punya lebih dari 200 gerai. Lalu di bidang
peralatan kantor, Veneta System juga menarik karena bisnis tinta isi ulang ini
sanggup menghidupi lebih dari 1.800 karyawan di 120 gerai.
(http://swa.co.id/business-strategy/melanggengkan-pertumbuhan-bisnis-waralaba)
Itu belum termasuk ratusan usaha waralaba di bidang makanan seperti kebab Baba
Rafi, Ayam Goreng Sabana, ataupun Semerbak Coffee. Dari waktu ke waktu
selalu saja terdengar berita resto waralaba yang menawarkan keunikan konsep
waralabanya. (http://www.swa.co.id, diolah kembali oleh peneliti)
Selain jenis waralaba di atas, masih ada waralaba retail, yaitu jenis waralaba
yang dimiliki oleh PT. X yang menjadi site penelitian dalam studi kasus Tugas
Karya Akhir ini. Waralaba retail menjadi fenomena karena perkembangannya
yang sangat pesat. Jenis waralaba ini seperti sedang berlomba dengan sejumlah
pesaingnya, dengan memberi pengumuman bahwa sekarang jumlah gerainya
sudah sekian dan telah tersebar di banyak kota. Bahkan sampai saat ini gerai
waralaba retail milik PT. X masih terus berusaha memperbanyak outlet untuk
memperoleh target omzet yang akan dicapai untuk tahun 2012. Pertumbuhan
outlet PT. X dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
4
Universitas Indonesia
Tabel 1.3: Pertumbuhan Gerai PT. X :
Tahun Jumlah Gerai PT. X
Jumlah Pertumbuhan Gerai
2005 1293
2006 1755 462
2007 2266 511
2008 2779 513
2009 3373 594
2010 4812 1439
2011 5200 388 Sumber: Profil PT. X, diolah kembali oleh peneliti
PT. X, sebagai pengelola minimarket X menargetkan 800 gerai lagi pada
tahun 2012. “Untuk tahun 2012 kami menargetkan akan mencapai 6000 gerai di
seluruh Indonesia, dan untuk saat ini kami sedang memfokuskan untuk
memperluas gerai kami di Kota Medan. Jadi apabila ada yang memiliki property
di Medan, kami akan sangat terbuka untuk melakukan kerjasama waralaba.”
Demikian penjelasan dari Regional Franchise Manager dalam presentasinya untuk
format waralaba PT. X yang diikuti oleh peneliti. Perkembangan PT X yang
cukup pesat ini juga yang mendasari peneliti untuk melakukan studi kasus pada
PT X.
Dalam kaitannya dengan bisnis waralaba, perkembangannya terasa cukup
signifikan. Bahkan waralaba, khususnya yang berbentuk mini-market kini bukan
hanya menjadi monopoli franchisee di daerah metropolitan saja, melainkan telah
merambah hingga ke pelosok-pelosok desa. Sebagai contoh, Indomaret dan
Alfamart kini sanggup melipatgandakan gerai hingga ribuan tersebar dari kota-
kota besar hingga pelosok kampung. Bahkan di beberapa daerah, waralaba yang
ada mulai menciptakan persaingan yang sengit, tidak hanya antar pemain
waralaba, melainkan juga dengan pengelola bisnis non-waralaba semisal
pedagang pasar tradisional dan supermarket besar.
Melihat perkembangan yang cukup signifikan tidaklah mengherankan, karena
perputaran uang yang terlibat dalam bisnis tersebut juga tidak dapat dipandang
sebelah mata. Karena terdapat outlet jumlahnya yang ribuan untuk suatu merek
minimarket, tidak salah apabila omzet yang dihasilkan oleh bisnis ini menyentuh
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
5
Universitas Indonesia
angka yang cukup menjanjikan. Hal ini pada sisi lain juga mengindikasikan
besarnya potensi pendapatan negara, dan tentunya juga penghasilan dalam bidang
pajak yang dapat diraih oleh Negara dari bisnis ini.
Dalam memberikan waralaba, Pemberi Waralaba tentu memperoleh
keuntungan yang tidak sedikit. Hal ini tentu juga menjadi faktor pendorong
perkembangan waralaba itu sendiri. Selain menerima franchise fee dari Penerima
Waralaba sebagai pengikat kontrak, Pemberi Waralaba juga menerima
penghasilan dari royalti atas hak kekayaan intelektual terkait dengan merek
dagang yang digunakan oleh Penerima Waralaba, serta memperoleh penghasilan
tambahan dari pembayaran-pembayaran atas program latihan khusus yang
diselenggarakan oleh Pemberi Waralaba bagi Penerima Waralaba.
Penghasilan yang diterima oleh pemberi waralaba itu tentunya meupakan
objek pajak, namun potensi pemasukan pajak dari sektor franchise ini belumlah
dapat dioptimalkan sebagaimana besarnya bisnis yang berjalan. Hal ini
dikarenakan belum optimalnya pemungutan pajak yang didapatkan dari bisnis
waralaba ini. Belum optimalnya pemungutan pajak tersebut dapat berupa berbagai
macam permasalahan pada saat operasional di lapangan, atau pada saat melakukan
pemotongan atau pemungutan pajak.
Dalam praktiknya, perusahaan pemberi lisensi (franchisor) umumnya
memungut dua hingga tujuh persen dari omzet penjualan perusahaan penerima
lisensi (franchisee) dalam bentuk royalti. Dalam hal ini, franchisor memperoleh
hak atas royalti atas penggunaan merek yang dipakai franchisee. Terhadap
penghasilan atas royalty tersebut tentu saja terdapat pemungutan pajak
penghasilan. Akan tetapi, terdapat beberapa oknum menemui kesulitan karena
terdapat kendala pemahaman yang belum merata mengenai pengetahuan
perpajakan yang menyangkut masalah-masalah khusus di kalangan petugas, serta
belum adanya surat edaran/penegasan lebih lanjut yang lebih terperinci mengenai
royalti dan imbalan jasa teknik, dan kegiatan yang seperti apa yang termasuk ke
dalam royalti atau jasa teknik.
Hal ini menyebabkan hambatan, yaitu mengenai kesulitan dalam
membedakan definisi mengenai penghasilan yang akan dikenakan pajak
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
6
Universitas Indonesia
penghasilan, apakah penghasilan tersebut terklasifikasi sebagai royalti ataukah
terklasifikasi sebagai imbalan jasa teknik (fees for technical services). Karena itu
dalam praktiknya, baik petugas pajak maupun wajib pajak membuat penafsiran
sendiri-sendiri yang cenderung menguntungkannya. Hal ini tentu saja dapat
merugikan dalam segi pendapatan Negara mengingat perbedaan tari yang
signifikan antara royalti sebesar 15% sedangkan jasa teknik hanya 2%. Begitu
juga dari sisi franchisee yang dalam hal ini bertindak sebagai Witholding Tax
Agent yang diberi kewajiban untuk memotong pajak penghasilan untuk
franchisor. Franchisee akan merasa kebingungan dalam menentukan apakah akan
memotong dengan tarif 15% sebagai royalti atau dengan tarif 2% sebagai jasa
teknik, sedangkan apabila ternyata salah memotong, franchisee akan terkena
sanksi dari DJP karena melakukan salah potong.
1.2 Pokok permasalahan
Berkembang pesatnya bisnis waralaba di Indonesia ternyata tidak disertai
dengan penafsiran yang baik dan seragam mengenai kebijakan pajaknya. Baik itu
dari segi wajib pajak, maupun dari segi pemeriksa (fiskus) dalam memeriksa
kepatuhan pajak pengusaha waralaba. Sehingga terdapat hambatan-hambatan
dalam implementasi kebijakan tersebut di lapangan. Padahal dilihat dari
potensinya, penerimaan pajak dari royalti yang berasal dari bisnis waralaba sangat
besar.
Hal ini tentunya akan mempengaruhi penerimaan pajak yang seharusnya
sangat berpotensi dari bisnis waralaba ini. Hal ini selain disebabkan oleh
awamnya para pelaku bisnis waralaba tentang peraturan terkait, juga dikarenakan
lemahnya penafsiran pada peraturan pemerintah tentang klasifikasi antara
penghasilan sebagai royalty atau sebagai imbalan jasa teknik. Hal ini juga
menunjukkan masih lemahnya kerincian dari perundang-undangan yang ada
karena tidak mendefinisikan secara lebih spesifik tentang kegiatan yang menjadi
objek pajak tersebut.
Hal ini tentunya juga berdampak pada format bisnis waralaba yang digunakan
oleh PT X sebagai pengelola bisnis waralaba retail dengan merk X. Hal ini
otomatis akan mempengaruhi besarnya pemotongan pajak atas penghasilan yang
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
7
Universitas Indonesia
akan diterimanya. Adanya dispute dalam kebijakan pajak yang mengatur tentang
pemotongan pajak penghasilan dari royalti dan jasa teknik menimbulkan keragu-
raguan dalam menjalankan pemotongan pajak penghasilan. Keragu-raguan
tersebut tentu akan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan kebijakan pajaknya,
dan cenderung akan mengarahkan pada kebijakan yang menurut mereka
menguntungkan.
Dari sisi Negara, dapat dirugikan karena tidak dapat mencapai optimalisasi
pajak bila para pelaku bisnis waralaba mengatakan itu adalah jasa teknik.
Sebaliknya, para pelaku bisnis akan merasa dirugikan apabila fiskus tetap
mamaksakan penafsirannya bahwa itu adalah penghasilan royalti. Hal ini karena
adanya perbedaan pengenaan tarif antara royalti dengan jasa teknik. Seperti yang
diketahui tarif pemotongan untuk penghasilan royalti adalah 15% sedangkan jasa
teknik hanya 2%. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan yaitu sebesar 13%.
Dengan perbedaan tarif yang cukup signifikan, tentunya akan merugikan salah
satu pihak apabila terjadi kesalahan pemotongan pajak karena salah menetapkan
tarif pajak.
Oleh karena itu mengacu pada permasalahan di atas, dapat dijabarkan
menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee kepada PT
X sebagai franchisor sudah sesuai menurut konsep royalti dan jasa teknik?
2. Apakah dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam format bisnis
waralaba PT X?
1.3 Tujuan Penulisan
Dalam penelitian ini penulis ingin menetapkan tujuan sebagai berikut:
1. Menganalisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee ke
PT X sebagai franchisor sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik.
2. Menganalisis dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam format
bisnis waralaba PT X.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
8
Universitas Indonesia
1.4 Signifikansi Penelitian
1. signifikansi akademis
Tugas Karya Akhir ini diharapkan dapat menambah pengetahuan teoritis
dan wawasan perpajakan kepada kalangan akademisi yang ingin
mempelajari dan mengamati masalah royalti dan jasa teknik, khususnya
yang berkaitan dengan suatu bisnis yang menggunakan format waralaba
retail.
2. signifikansi praktis
Tugas Karya Akhir ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para
pelaku bisnis waralaba, baik pemilik ataupun karyawan yang menjalankan
bisnis waralaba, khususnya waralaba lokal dalam menganalisa implikasi
perpajakan yang berhubungan dengan royalti dan jasa teknik dari setiap
transaksi dan kontrak yang disepakati. Di samping itu, diharapkan dapat
memberikan masukan bagi para pemeriksa / fiskus dalam menganalisis
masalah perpajakan di dalam suatu format bisnis waralaba.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam
bab yang masing-masing terbagi menjadi beberapa sub bab, agar dapat
mencapai suatu pembahasan atas permasalahan pokok yang lebih mudah
dipahami. Garis besar penulisan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menjabarkan Latar Belakang
Permasalahan, Permasalahan dan Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Selain itu, dalam bab ini juga diuraikan mengenai Signifikansi
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB 2 KAJIAN LITERATUR
Dalam bab ini penulis melakukan tinjauan pustaka mengenai
penelitian terdahulu, serta menjabarkan teori dan pemikiran dari
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
9
Universitas Indonesia
literature yang berkaitan dengan masalah penelitian. Teori yang
dijabarkan antara lain teori pajak, teori kebijakan fiskal, konsep
pajak penghasilan, teori bisnis waralaba, teori royalti, dan teori
jasa teknik.
Bab 2 terdiri dari 8 sub bab, yaitu:
1. Tinjauan Literatur
2. Kebijakan Pajak
3. Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan
4. Konsep Franchise
5. Konsep Royalti
6. Konsep Jasa Teknik
7. Bagan Alur Pikir
BAB 3 METODE PENELITIAN
Dalam bab ini penulis menjabarkan mengenai metode penelitian
yang digunakan penulis, yang terdiri dari pendekatan penelitian,
jenis/tipe penelitian, metode dan strategi penelitian, hipotesis
kerja, narasumber/informan, proses penelitian, penentuan site
penelitian, dan batasan penelitian.
BAB 4 GAMBARAN UMUM
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang gambaran umum
mengenai bisnis waralaba dalam sektor retail atau minimarket.
Penulis akan menjelaskan bagaimana penghasilan royalti
didapatkan dari format bisnis franchise.
Bab 4 akan terdiri dari 2 sub bab, yaitu:
1. Gambaran umum mengenai Format Bisnis Waralaba
(franchise).
2. Gambaran umum mengenai PT. X sebagai pemegang merk
Minimarket X.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
10
Universitas Indonesia
BAB 5 ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS
WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X
SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X)
Bab ini menjelaskan deskripsi hasil penelitian, analisa, dan
pembahasan seluruh uraian mengenai informasi dan data yang
telah dikumpulkan dan dikaitkan dengan cara berpikir penulis
untuk mendapatkan jawaban terkait pokok permasalahan
penelitian.
Bab 5 terdiri dari :
1. Analisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari
franchisee ke PT X sebagai franchisor sesuai dengan konsep
royalti dan jasa teknik.
2. Analisis dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam
format bisnis waralaba PT X.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini dikemukakan simpulan yang diperoleh berdasarkan
uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya selain itu
disampaikan juga saran yang dianggap perlu oleh penulis.
Bab 6 terdiri dari 2 sub bab:
1. Kesimpulan
2. Saran
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
11 Universitas Indonesia
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Tinjauan Literatur
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis melakukan tinjauan pustaka dari
hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang secara garis besar
memiliki karakteristik penelitian yang sama. Dengan melakukan tinjauan pusataka
ini, diharapkan dapat memberi informasi mengenai topik penelitian yang akan
dilakukan.
Penelitian yang pertama ditinjau oeh peneliti adalah penelitian yang
dilakukan oleh Ning Rahayu, mahasiswi Program Studi Administrasi Fiskal
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tahun 1998,
yaitu berupa tesis dengan judul “Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti Dan
Imbalan Jasa Teknik: Baik Berdasarkan Ketentuan Domestik Maupun Perjanjian
Internasional (Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan Kepastian Hukum Dan
Mencegah Penghindaran Pajak)”. Tujuan dari penulisan tesis tersebut adalah
untuk memperjelas perbedaan antara royalti dan imbalan jasa teknik, perlakuan
pengenaan PPh antara keduanya serta menguraikan permasalahan-permasalahan
yang timbul sekaligus mencari jalan keluarnya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis tersebut adalah
metode deskriptif analisis, dengan teknik pengumpulan data berupa studi
kepustakaan dan studi lapangan melalui wwawancara dengan pihak-pihak terkait.
Dari hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa royalti dan imbalan jasa
teknik sebenarnya merupakan objek pajak yang sangat potensial, namun belum
tergali secara maksimal, karena terhambat oleh kendala pemahaman yang belum
merata mengenai pengetahuan perpajakan yang menyangkut masalah-masalah
khusus di kalangan petugas, serta belum adanya surat edaran/penegasan lebih
lanjut yang lebih terperinci mengenai royalti dan imbalan jasa teknik. Hal ini
menyebabkan baik petugas pajak maupun wajib pajak membuat penafsiran
sendiri-sendiri yang cenderung menguntungkannya. Untuk menjamin kepastian
hukum, sebaiknya dibuat surat edaran khusus yang menjelaskan mengenai
perbedaan dan ciri-ciri khushs yang menjelaskan mengenai perbedaan dan ciri-ciri
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
12
Universitas Indonesia
khusus antara royalti dan imbalan jasa teknik disertai dengan contoh-contohnya.
Sedangkan untuk meningkatkan keseragaman pemahaman mengenai pengetahuan
perpajakan yang bersifat khusus, sebaiknya dilakukan pendidikan khusus secara
periodik dan berkesinambungan.
Penelitian yang kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Dini Aulia, yaitu
berupa skripsi dengan judul “Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis Franchise Di
Indonesia (Suatu Analisa Kontrak Franchise antara Le France – franchisor
Perancis – dengan PT. X – Franchisee Indonesia – terhadap praktik penghindaran
pajak dan azas kepastian hukum)”, penelitian ini dibuat pada tahun 2002 oleh
mahasiswa program sarjana Ilmu Administrasi Fiskal. Metode yang digunakan
oleh Dini Aulia adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan penulisannya, tipe
penelitiannya adalah deskriptif analisis, yang berusaha menggambarkan atau
menjelaskan secara menyeluruh mengenai aspek perpajakan dalam bisnis
franchise. Adapun hasil dari penelitian Dini adalah dalam pelaksanaan bisnis
franchise, terdapat transaksi-transaksi yang menghasilkan obyek pajak
penghasilan seperti royalti, imbalan jasa teknik, dan kegiatan impor barang.
Untuk penjelasan secara lebih detail, dapat dilihat dari matriks dibawah ini:
TABEL KAJIAN LITERATUR
Nama Peneliti Ning Rahayu (1998) Dini Aulia (2002)
Judul Karya Ilmiah Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti
Dan Imbalan Jasa Teknik: Baik
Berdasarkan Ketentuan Domestik
Maupun Perjanjian Internasional
(Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan
Kepastian Hukum Dan Mencegah
Penghindaran Pajak)
Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis
Franchise Di Indonesia (Suatu Analisa
Kontrak Franchise antara Le France –
franchisor Perancis – dengan PT. X –
Franchisee Indonesia – terhadap
praktik penghindaran pajak dan azas
kepastian hukum)
Tujuan Penelitian 1. Menguraikan mengenai
pengertian-pengertian royalti dan
jasa teknik serta perbedaan hakiki
antara royalti dan jasa teknik
tersebut.
2. Menguraikan perlakuan
pengenaan pajak penghasilan
(PPh) atas royalti dan imbalan jasa
teknik
3. Menguraikan permasalahan-
permasalahan yang timbul
sehubungan dengan perbedaan
pengertian royalti dan imbalan
jasa teknik serta permasalahan
sehubungan dengan perbedaan
1. Menggambarkan secara menyeluruh
mengenai bisnis yang menggunakan
format franchise serta transaksi-
transaksi didalamnya yang
merupakan objek pajak penghasilan,
pada bisnis franchise pada
umumnya dan berdasarkan kontrak
franchise antara Le France dan PT.
X pada khususnya.
2. Menggambarkan dan menganalisis
ketentuan perpajakan domestik dan
internasional atas transaksi-transaksi
yang kerap terjadi dalam bisnis
franchise.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
13
Universitas Indonesia
TABEL KAJIAN LITERATUR
Nama Peneliti Ning Rahayu (1998) Dini Aulia (2002) perlakuan PPh atas royalti dan
imbalan jasa teknik, untuk
kemudian menganalisis hal-hal
yang menyebabkan timbulnya
permasalahan-permasalahan
tersebut.
4. Menguraikan upaya-upaya yang
dilakukan Direktorat Jenderal
Pajak Untuk mengatasi
permasalahan perbedaan
pengertian dan perbedaan
perlakuan PPh atas royalti dan
imbalan jasa teknik dan
menganalisis sampai sejauh mana
kemungkinan upaya-upaya yang
dilakukan tersebut mencapai
3. Menggambarkan dan menganalisis
praktik penghindaran pajak yang
dimungkinkan terjadi atas transaksi-
transaksi yang terjadi di dalam
bisnis franchise.
4. Menganalisis penerapan ketentuan
pajak penghasilan atas transaksi-
transaksi dalam bisnis franchise,
terhadap azas kepastian hukum.
Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian: Kualitatif
Jenis Penelitian yang digunakan:
Deskriptif Analisis.
Metode Pengambilan Data: Studi
Kepustakaan dan Wawancara
Mendalam
Pendekatan Penelitian: Kualitatif
Jenis Penelitian yang digunakan:
Deskriptif Analisis
Metode Pengambilan Data: Studi
Kepustakaan dan Wawancara
Mendalam
Hasil Penelitian 1. Untuk pemberian informasi yang
memberikan royalti dan pemberian
informasi yang memberikan
imbalan jasa teknik dalam praktik
di lapangan sering menimbulkan
dispute antara petugas pajak
dengan Wajib Pajak. Hal ini
dikarenakan pengertian royalti
menurut ketentuan perpajakan
domestik (yang hanya diatur dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h
Undang-undang PPh yang sedang
berlaku) dan pengertian jasa teknik
(yang hanya diatur dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor: SE.08/PJ.222/1984
tanggal 15 Maret 1984) masih
memerlukan penegasan lebih lanjut
yang lebih detail dengan
menyebutkan ciri khas dari royalti
dan imbalan jasa teknik..
2. hukum mengenai hal tersebut (baik
kepastian mengenai obyek yang
semestinya menjadi dasar
pengenaan pajak maupun kepastian
mengenai jumlah pajak yang harus
1. Dengan menganalisis kontrak
franchise Le France dan PT. X
dapat diketahui bahwa dalam
pelaksanaan Bisnis franchise,
terdapat transaksi-transaksi yang
menghasilkan obyek pajak
penghasilan seperti royalty,
imbalan jasa teknik dan kegiatan
impor barang. Di samping itu,
kontrak bisnis franchise juga
menetapkan / menyepakati adanya
biaya-biaya rutin yang akan
dikeluarkan sepanjang pelaksanaan
kontrak franchise.
2. Pembayaran royalty yang diterima
oleh Le France dikenakan pajak
penghasilan pasal 26 di Indonesia,
dengan pembatasan tariff dalam tax
treaty Indonesia – Perancis sebesar
10%. Untuk dapat memanfaatkan
dan mengaplikasikan ketentuan
dalam tax treaty tersebut, Le France
harus menyediakan dan
menyerahkan Certificate of
Domicile (Surat Keterangan
Domisili) dari pemerintah Perancis
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
14
Universitas Indonesia
TABEL KAJIAN LITERATUR
Nama Peneliti Ning Rahayu (1998) Dini Aulia (2002) dibayar) menjadi kurang terjamin.
3. Royalti dan imbalan jasa teknik
sebenarnya merupakan obyek
pajak yang sangat potensial,
namun potensi yang ada tersebut
masih belum tergali secara
maksimal, karena terhambat oleh
kendala pengetahuan perpajakan,
khususnya yang menyangkut
pengertian dan perlakuan pajak
atas royalti dan imbalan jasa teknik
di kalangan aparat pajak yang
menangani kasus-kasus Wajib
Pajak.
4. Meskipun pihak Direktorat
Jenderal Pajak telah melakukan
upaya-upaya untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang
timbul akibat perbedaan pengertian
dan perbedaan perlakuan PPh atas
royalti dan imbalan jasa teknik,
namun upaya-upaya yang
dijalankan tersebut masih kurang
efektif dan masih sangat minim
dibandingkan dengan semakin
banyaknya kasus-kasus Wajib
Pajak yang harus ditangani.
kepada pemerintah Indonesia.
3. Pemberian Jasa Teknik oleh Le
France di Indonesia tidak melebihi
Uji Waktu atau Time Test yang
telah ditentukan, sehingga Le
France di Perancis,
diidentifikasikan tidak memiliki
BUT di Indonesia. Dengan
demikian, sesuai dengan ketentuan
dalam Tax Treaty Indonesia –
Perancis, Indonesia sebagai Negara
sumber, tidak memiliki hak
pemajakan atas imbalan
sehubungan dengan kegiatan
pemberian jasa teknik tersebut.
4. Status PT. X sebagai “Development
Franchisee” tidak mempengaruhi
perhitungan uji waktu (time test)
pemberian jasa teknik di Indonesia,
sepanjang diantara kedua
franchisee yang berada dalam
wilayah eksklusif Indonesia benar-
benar tidak memiliki keterkaitan
satu sama lain.
5. Terdapat dua pilihan penghitungan
pajak penghasilan yang ditanggung
oleh PT. X sehubungan dengan
adanya pembayaran – pembayaran
kepada Le France, yaitu
penghitungan pajak penghasilan
dengan sistem gross atau sistem
gross-up. Apabila kedua
penghitungan tersebut
dibandingkan, maka penghitungan
pajak dengan sistem gross-up akan
mengimplikasikan manfaat
maksimal bagi PT. X, jika
penghitungan tersebut diterapkan
pada saat peghasilan kena pajak
(PKP) PT. X berada pada kisaran
tarif lapis tertinggi (tarif lapis ke-2
dan ke-3
Sumber: Diolah kembali oleh peneliti
Perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan dua penelitian di atas
terletak pada subjek penelitian. Subjek pajak yang akan diteliti dalam penelitian
ini adalah Usaha waralaba (franchise) lokal Indonesia yang saat ini semakin
banyak berkembang sampai ke pelosok daerah. Penulis juga akan membahas
kemungkinan adanya dispute dari kebijakan pajak pemerintah mengenai royalti
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
15
Universitas Indonesia
dan jasa teknik yang dalam konsep praktik usaha waralaba saat ini sangat sulit
untuk dipisahkan. Penulis juga akan membahas upaya-upaya apa saja yang
dilakukan oleh PT X dalam mengatasi permasalahan yang timbul.
2.2 Kebijakan Pajak
Kebijakan pajak (tax policy) pada dasarnya merupakan suatu pemilihan
berbagai alternatif yang akan dipakai untuk mencapai sasaran dari sistem
perpajakan. Dalam memilih alternative-alternatif yang berkenaan
denganpemilihan dasar pengenaan pajak dalam kebijakan perpajakan, maka harus
diperhatikan prinsip-prinsip atau azas-azas perpajakan yang mendasari
pemungutan pajak.
Mansury dalam bukunya yang berjudul “Kebijakan Fiskal” menyatakan
bahwa Kebijakan Pajak dapat disebut sebagai Kebijakan Fiskal dalam artian yang
sempit. Kebijakan ini pertama-tama ditentukan berdasarkan atas suatu hasil kajian
tentang: sebaik apa-apa saja yang dipakai sebagai tujuan pemungutan pajak.
(Mansury: 1999: 2)
Senada dengan Mansury, Prathama Raharja juga mengatakan bahwa
Kebijakan Pajak adalah Kebijakan Fiskal dalam arti yang sempit. Kebijakan
Fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola
atau mengarahkan perekonomian Indonesia ke kondisi yang lebih baik dengan
cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. (Raharja: 2004:
257)
Mansury juga menyimpulkan bahwa dalam kebijakan perpajakan khususnya
pajak penghasilan di Indonesia, perlu memperhatikan semua kepentingan dengan
menerapkan azas-azas perpajakan yang sesuai. Azas tersebut menurut Mansury
dapat diringkas dan dikelompokkan dalam tiga prinsip dasar yaitu jumlah
penerimaan yang memadai (revenue adequacy principle) yang merupakan
kepentingan pemerintah dalam hal ini menekankan bidang penerimaan pajak
menjadi yang utama sesuai dengan fungsi budgeter. Prinsip kedua adalah
keadilan (the equity principle) yang merupakan kepentingan masyarakat yang
selalu cenderung mengutamakan keadilan dalam setiap pemungutan pajak.
Kemudian prinsip yang ketiga adalah kepastian (the certainty principle) adalah
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
16
Universitas Indonesia
untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat yang sudah pasti akan menuntut
adanya kepastian dalam penerapan kebijakan pajak melalui kepastian hukum yang
tertuang dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Itulah tiga azas yang seharusnya dipegang teguh oleh sistem Pajak
Penghasilan kita yang seimbang memperhatikan semua kepentingan. The Revenue
AdequacyPrinciple adalah kepentingan Pemerintah. The Equity Principle adalah
kepentingan masyarakat dan The Certainty Principle adalah untuk kepentingan
Pemerintah dan Masyarakat. (R. Mansury: 1994: 16)
Selain ketiga prinsip dasar tersebut, R. Mansury (2000) juga mengatakan
bahwa azas keadilan dalam pemungutan pajak dapat dicapai apabila memenuhi
lima kriteria Keadilan Horizontal dan dua kriteria Keadilan Vertikal. (P. 4).
Kriteria Keadilan Horizontal yaitu:
1. Definisi dari penghasilan yang menjadi Objek Pajak adalah sama untuk
semua Wajib Pajak, yaitu meliputi semua tambahan kemampuan ekonomis
atau semua tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa guna
dipakai memenuhi kebutuhan Wajib Pajak dan anggota keluarganya.
2. Indeks bagi seorang Wajib Pajak yang dipakai sebagai ukuran kemampuan
membayar (ability-to-pay) dan perbandingan dengan kemampuan Wajib
Pajak lainnya adalah keseluruhan jumlah tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh selama suatu jangka waktu, misalnya selama
satu tahun pajak.
3. Untuk pengenaan pajak atas penghasilan, konsep ability-to-pay yang
dipergunakan adalah tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
mengandung makna, bahwa yang dikenakan pajak itu hanya kelebihan
penerimaan atau perolehan di atas pengeluaran biaya atau beban untuk
mendapatkan penerimaan atau perolehan tersebut. Jadi, kata “tambahan”
mengandung arti penghasilan netto atau net income.
4. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, sejumlah tertentu untuk kebutuhan
pokoknya, seyogjanya tidak dikenakan pajak, sebab tanpa tersedianya
sejumlah tertentu untuk kebutuhan pokoknya itu, Wajib Pajak yang
bersangkutan tidak akan dapat mencari penghasilan yang akan dikenakan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
17
Universitas Indonesia
pajak. Jumlah tertentu untuk keperluan hidup Wajib Pajak itu lazimnya
disebut sebagai “personal exemption” atau di Indonesia disebut sebagai
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
5. Semua tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak harus
dikenakan pajak dan atas Wajib Pajak yang menerima tambahan
kemampuan ekonomis yang sama seyogjanya dikenakan pajak dengan
persentase tarif pajak yang sama.
Sedangkan kriteria Keadilan Vertikal adalah:
1. Perbedaan perlakuan hendaknya hanya didasarkan atas perbedaan jumlah
besarnya seluruh penghasilan dan perbedaan kemampuan membayar dari
Wajib Pajak yang satu dibandingkan dengan Wajib Pajak lainnya
ditentukan oleh perbedaan jumlah besarnya seluruh tambahan kemampuan
ekonomis dari masing-masing Wajib Pajak tersebut.
2. Wajib Pajak dengan jumlah penghasilan seluruhnya lebih besar daripada
jumlah seluruh penghasilan Wajib Pajak yang lain seyogjanya dikenakan
pajak dengan persentase tarif pajak yang lebih tinggi daripada Wajib Pajak
lainnya tersebut.
2.3 Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan
Definisi penghasilan dalam perpajakan pada mulanya dikemukakan oleh
George Schanz dan David Davidson. Seperti yang dikutip oleh Mansury, R. dalam
bukunya yang berjudul “Pembahasan Mendalam Pajak Atas Penghasilan”, George
dan David mengemukakan teori yang dikenal sebagai The Accretion Theory of
Income” yang menyatakan bahwa penghasilan adalah suatu tambahan
kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk menguasai barang dan jasa.
(R. Mansury: 2000: 37)
Menurut konsep pertambahan ini, besarnya jumlah pajak yang terutang
adalah atas oenghasilan yang sudah dikurangi dengan pengeluaran untuk
mendapatkan penghasilan tersebut. Hal ini dikarenakan pajak seharusnya
dikenakan hanya atas tambahan kemampuan ekonomis saja, dan dalam hal ini
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
18
Universitas Indonesia
pengeluaran tersebut akan mengurangi kemampuan ekonomis dari penerima
penghasilan tersebut.
Selain George Schanz dan David Davidson, ahli lainnya seperti Robert
Murray Haig dan Henry C. Simons juga mengembangkan definisi penghasilan
untuk keperluan perpajakan. Definisi yang dikembangakan oleh Robert M. Haig
hamper sama isinya dengan pendapat George Schanz, yaitu penghasilan
merupakan kenaikan atau pertambahan kemampuan memenuhi kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dalam jangka waktu tertentu, dimana kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut dapat berupa uang atau segala sesuatu yang dapat
dinilai dengan uang. Sedangkan Henry C. Simons memaparkan penghasilan
sebagai jumlah aljabar dari suatu nilai konsumsi ditambah perubahan nilai suatu
harta, sehingga penghasilan itu harus bias diukur dan mengandung konsep
perolehan.
Ketiga definisi dari ahli-ahli tersebut disebut juga dengan istilah S-H-S
(Schanz-Haig-Simons) income concept, yang menjelaskan bahwa penghasilan
yang dipakai hendaknya tidak memandang sumbernya, artinya dari apa saja
sumber tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang dapat
dipakai untuk memenuhi kebutuhan merupakan penghasilan yang dikenakan
pajak. Penghasilan yang dikenakan pajak itu juga tidak dipengaruhi oleh
penggunaannya, apakah disimpan untuk hari tua, maupun dipakai habis dalam
tahun itu juga untuk memuaskan kebutuhan, sama-sama dikategorikan sebagai
penghasilan yang dikenakan pajak. (R. Mansury: 1996: 22)
Parthasarathi Shome, dalam bukunya yang berjudul “Tax Policy Handbook”
menjabarkan S-H-S concept, dan memenambahkannya dengan penjelasan dari
John Richard Hicks yang menjelaskan definisi dari penghasilan yaitu “the
maximum amount of money which the individual can spend this week, and still
expect to be able to spend the same amount in real terms in each ensuing week”.
(Parthasarathi Shome; 1995: 117). Dimana berarti jumlah maksimal yang dapat
dihabiskan seseorang dalan satu minggu, dan masih dapat menghabiskan jumlah
yang sama dalam setiap minggu berikutnya.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
19
Universitas Indonesia
Menurut Gunadi (2005), untuk keperluan perpajakan terdapat dua pendekatan
pendefinisian penghasilan, yaitu:
a. Pendekatan sumber (source concept of income)
Pendekatan sumber membatasi untuk kepentingan pajak, sehingga
pendekatan ini berpendapat bahwa pengertian penghasilan adalah
gunggungan penghasilan dari usaha dan tenaga, harta tak bergerak, harta
bergerak dan hak atas pembayaran berkala. Menurut konsep sumber,
terdapat beberapa penghasilan yang diakui oleh akuntansi tapi dianggap
bukan penghasilan bagi ketentuan perpajakan (bukan objek pajak).
b. Pendekatan pertambahan (accretion concept of income).
Pendekatan pertambahan, mendefinisikan penghasilan secara lebih meluas,
yang meliputi unsur pertambahan kekayaan dan pengeluaran konsumsi tanpa
memperhatikan adanya sumber dan kontinuitas aliran kemampuan ekonomis yang
dimaksud.
2.3.1 Passive Income dan Active Income
Selain berdasarkan konsep penghasilan di atas, penghasilan juga dapat
dibedakan kedalam dua kategori yaitu penghasilan pasif (passive income) dan
penghasilan aktif (active income). Kedua penghasilan ini dibedakan berdasarkan
peran orang yang mendapatkan penghasilan tersebut. Apakah orang tersebut
melakukan suatu kegiatan atau tidak melakukan kegiatan dalam mendapatkan
penghasilan tersebut.
Secara teori, passive income menurut Barry Larking, seperti yang dikutip
dalam buku karya Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi yang berjudul
“Konsep Dan Aplikasi Perpajakan Internasional” mengatakan (Darussalam,
Hutagaol, Septriadi: 2010: 129) :
“A term used generally to describe investment income. The term may be so
used in the context of anti avoidance measures such as controlled foreign
company rules. The term is also used specifically refer to income from a passive
activity such as rental income or business in which the recipient does not
materally participate.”
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
20
Universitas Indonesia
Pernyataan dari Barry Larking tersebut dapat diartikan sebagai berikut.
Passive Income adalah Suatu istilah yang biasanya digunakan untuk
menggambarkan penghasilan dari investasi. Istilah tersebut juga sering digunakan
dalam konteks anti avoidance measures seperti peraturan controlled foreign
company. Istilah ini juga biasanya mengacu secara spesifik kepada penghasilan
yang didapatkan dari aktifitas pasif seperti penghasilan dari sewa atau bisnis yang
penerima penghasilannya tidak ikut terlibat.
Dengan mengacu pada konsep di atas, secara singkat passive income
diperoleh oleh penerima penghasilan tanpa harus ikut serta dan terlibat langsung
dalam rangka mendapatkan penghasilan tersebut. Sedangkan jenis penghasilan
lain adalah active income. Masih mengacu pada buku yang sama, Darussalam,
Hutagaol, dan Septriadi menjelaskan bahwa active income atau disebut juga
business incom dapat dibedakan dari passive income sebagai berikut:
1. Dalam business income, untuk konteks orang pribadi, penhasilan diperoleh
melalui suatu kegiatan yang dilakukan oleh prang pribadi yang melakukan
pekerjaan bebas,
2. Sedangkan business income untuk konteks perusahaan, penghasilan
diperoleh melalui suatu kegiatan bisnis.
2.4 Konsep Franchise
Kata franchise memang sedang marak karena sudah berkembang dengan
sangat pesat. Perkembangan yang pesat tersebut tidak lepas dari menariknya
format bisnis yang ditawarkan. Karena itu, menarik untuk diketahui darimanakah
istilah franchise ini dimulai hingga bisa masuk ke Indonesia dengan sebutan
bisnis waralaba.
Istilah franchise berasal dari bahasa perancis, yang singkatnya berarti bebas atau
bebas dari perhambaan (free from servitude). Makna dari kata bebas tersebut
adalah, format bisnis franchise menawarkan kepada penggunanya kebebasan
dalam memiliki dan menjalankan usahanya sendiri.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
21
Universitas Indonesia
Dalam memberikan waralaba, Pemberi Waralaba tentu memperoleh
keuntungan yang tidak sedikit. Hal ini tentu juga menjadi faktor pendorong
perkembangan waralaba itu sendiri. Selain menerima franchise fee dari Penerima
Waralaba, Pemberi Waralaba juga menerima royalti atas hak kekayaan intelektual
terkait yang digunakan oleh Penerima Waralaba, serta memperoleh penghasilan
tambahan dari pembayaran-pembayaran atas program latihan khusus yang
diselenggarakan oleh Pemberi Waralaba bagi Penerima Waralaba. Pemberi
Waralaba juga mendapatkan keuntungan berupa kemampuan untuk bertumbuh
tanpa adanya biaya pengembangan manajer kunci secara internal. Usaha yang
dimiliki oleh Pemberi Waralaba akan berkembang dan menjadi luas dengan cepat,
tanpa menggunakan modal dari Pemberi Waralaba itu sendiri. Dengan kata lain,
Pemberi Waralaba tidak perlu mengeluarkan biaya untuk perluasan usaha yang
dimilikinya. Biaya tersebut akan ditanggung dengan sendirinya oleh Penerima
Waralaba. Pemberi Waralaba juga tidak perlu berurusan dengan manajemen dari
cabang-cabangnya, karena hal tersebut akan dilakukan oleh Penerima Waralaba.
Disisi lain, Penerima Waralaba memilih sistem waralaba, karena dengan
mempergunakan sistem ini Penerima Waralaba dapat menekan biaya yang
diperlukan untuk memulai usahanya. Hal ini kurang lebih disebabkan karena
produk-produk atau jasa-jasa yang dimiliki oleh Pemberi Waralaba biasanya telah
terbukti kualitasnya, dikenal dan telah memiliki pangsa pasar yang jelas. Dengan
demikian, Penerima Waralaba dapat mengurangi resiko usaha. Selain itu, dalam
hal kegiatan operasional, Penerima Waralaba dapat memperoleh dukungan untuk
memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan
tenaga-tenaga ahli dari Pemberi Waralaba.
Dalam perkembangan lebih lanjut, franchise tidak hanya disorot dari aspek
pemasarannya saja, melainkan lebih ditekankan pada aspek hubungan kerja sama
yang terikat kontrak (contractural relationship) antara franchisor dan franchisee.
Selain itu, juga terjadi pengembangan dan penyempurnaan konsep dan sistemnya,
guna memberikan kemudahan bagi para frnachisee dalam menjalankan sistem
tersebut.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
22
Universitas Indonesia
Seiring perkembangannya, definisi franchise mulai berubah mengikuti
perkembangan, franchise pada dasarnya bukan lagi suatu bisnis, melainkan suatu
metode untuk melakukan bisnis, metode untuk memasarkan produk atau jasa ke
masyarakat (Loyd Tarbutton: 1986) atau dapat dikatakan juga, franchise adalah
suatu konsep pemasaran (Martin Madelsohn: 1982).
Pembakuan dan standarisasi dilakukan pada pedoman operasi usaha, sehingga
menjadi suatu konsep bisnis total (Total Business Concept) yang dikemas ke
dalam suatu format bisnis atau paket usaha terpadu yang standar dan mudah
ditransfer serta dijalankan secara universal , dan dapat diterapkan oleh para calon
wirausaha dari beragam kultur mancanegara. Dari sanalah ”konsep franchise”
lahir, yang lebih dikenal dengan ”Business Format Franchise”. Menurut
International Franchise Association (IFA), definisi dari Business Format
Franchise adalah ”suatu hubungan kerja sama yang terikat kontrak antara
franchisor dan franchisee, dimana:
a. franchisor menawarkan atau diwajibkan untuk memberikan manfaat secara
berkesinambungan bagi kegiatan usaha franchisee, dalam bentuk, misalnya,
pemberian pengetahuan dan pelatihan.
b. Franchisee beroperasi di bawah suatu merek dagang, format dan atau prosedur
yang dimiliki dan dikendalikan oleh franchisor, dan
c. Franchisee sudah atau akan melakukan penanaman modal pada kegiatan usahanya
dengan modal yang berasal dari sumber permodalannya sendiri.
Hal ini merupakan definisi franchise yang berlaku umum di Amerika Serikat.
Namun masih dianggap belum sempurna. Sedangkan Franchise Format Bisnis
menurut Martin Madelsohn, adalah pemberian sebuah lisensi oleh seorang
(franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada
franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang
franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh
elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih
dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas
dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. (Martin Madelsohn: 1993)
Yang dimaksud format bisnis terdiri atas:
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
23
Universitas Indonesia
Konsep bisnis yang menyeluruh, maksudnya adalah hal-hal yang menyangkut
pengembangan dan cara untuk menjalankan bisnis secara sukses pada seluruh
aspeknya yang dilakukan oleh franchisor. Dalam hal ini franchisor akan
memberikan konsep usahanya agar franchisee dapat menjalankan bisnis
tersebut. Konsep tersebut diharapkan mampu meminimalisir sebaik mungkin,
resiko yang biasanya melekat pada bisnis yang baru saja dimulai.
Sebuah proses permulaan dan pelatihan mengenai seluruh aspek pengelolaan
bisnis, sesuai dengan konsep franchisor. Franchisee dalam hal ini akan dilatih
mengenai bisnis yang diperlukan untuk mengelola bisnis, sesuai dengan konsep
yang diberikan oleh franchisor. Misalkan dengan pelatihan menggunakan
peralatan khusus, metode pemasaran, penyiapan produk, dan penerapan proses.
Pelatihan ini hendaknya dilakukan hingga dapat dikatakan relatif ahli pada
seluruh bidang yang diperlukan untuk menjalankan bisnis waralaba tersebut.
Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus. Franchisor pada umumnya
akan memberikan berbagai bantuan dan bimbingan scara terus menerus seperti:
- Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk
membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari
konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagan bagi franchisee.
- Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang
lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman.
- Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan-
kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada.
- Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya.
- Riset Pasar.
- Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional
- Peluang-peluang pembelian secara besar-besaran.
- Nasihat dan jasa manajemen dan akunting.
- Penerbitan News Letter.
- Riset mengenai material, proses dan metode bisnis.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
24
Universitas Indonesia
2.4.1 Waralaba (Franchise) di Indonesia
Di Indonesia, kata franchise telah diterjemahkan sebagai waralaba yang bila
diartikan menjadi dua suku kata yaitu "wara" yang berarti lebih dan "laba" yang
berarti untung. Jadi, waralaba dalam bahasa Indonesia dapat diartikan secara
harfiah menjadi "lebih untung". Dengan kata lain, waralaba adalah pengaturan
bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor
kepada pihak independen atau franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai
dengan standarisasi kesepakatan. (Novitasari: 2010: 2)
Definisi lainnya dari bisnis waralaba menurut Novitasari adalah suatu bentuk
usaha kerja sama antara pemilik waralaba atau pewaralaba (franchisor) dengan
penerima waralaba atau terwaralaba (franchisee) dalam mengadakan persetujuan
jual beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha (waralaba). Kerja sama ini
biasanya dengan dukungan awal seperti pemilihan tempat, rencana pembangunan,
pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, pembukuan, pencatatan
dan akuntansi, konsultasi, standarisasi, promosi, pengendalian kualitas, riset,
nasihat hukum, dan sumber-sumber permodalan.
2.5 Konsep Royalti
Dalam masa sekarang ini, mungkin kata royalti sudah tidak asing lagi
didengar dalam kehidupan sehari-hari. Kata royalti sudah menjadi kata yang
umum untuk digunakan, dengan mengartikannya sebagai bayaran atau imbalan
untuk penggunaan suatu hak atau kepemilikan. Namun dalam menjalankan suatu
bentuk usaha franchise, perlu dicermati lebih dalam lagi apa yang dimaksud
dengan royalti tersebut, dan bagaimana peranannya dalam usaha waralaba
(franchise) di Indonesia.
Untuk mengetahui apa arti royalti yang sebenarnya, dapat dilihat dari
penjelasan yang dikemukakan beberapa pakar. Contohnya, Rachmanto Surahmat
dalam bukunya yang berjudul ”Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda”
mendefinisikan pemberian hak yang imbalannya berbentuk royalti adalah
pemberian hak untuk menggunakan suatu intellectual property, yaitu pemilik
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
25
Universitas Indonesia
harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan pemakaian
hak tersebut. (Rachmanto Surahmat: 2000: 173)
Berbeda dengan Rachmanto, Mansury mendefinisikan royalti sebagai
penghasilan dari penyerahan paten atau harta tak berwujud lainnya untuk dipakai
oleh pihak lain. Penyerahan untuk dipakai tersebut mungkin diberikan kepada
perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan hak cipta karya ilmiah dari
pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang melakukan pekerjaan
bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten penemu atau
inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli waris dari
sang penemu.
Royalti menurut Roy Rohatgi dalam bukunya yang berjudul “Basic
International Taxation” menyatakan :
“royalty is normally a payment received for the use or the right to use any
intangible right or know how under license” (Roy Rohetgi: 2005: 272)
Atau terjemahannya “royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima
dari penggunaan hak untuk menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk
pengetahuan tertentu sesuatu dibawah perizinan. Know-how dalam hal ini adalah
pengetahuan tentang rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang
diperlukan untuk menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan
tersebut tidak disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi
pengetahuan tidak memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak
memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut
biasanya berdasarkan persentase dari penjualan atau keuntungan.
2.5.1 Manfaat Royalti Dalam Bisnis Waralaba
Menurut Bije Widjajanto dalam bukunya yang berjudul “Cara Aman
Memulai Bisnis”, menjelaskan ada dua manfaat pembayaran royalti untuk
franchisee. Manfaat royalti yang pertama menurut Bije adalah franchisee akan
mendapatkan manfaat sepenuhnya dari sistem yang diberikan oleh franchisor.
Selain manfaat yang diperoleh dari sistem franchise yang digunakan, franchisee
juga memerlukan dukungan dalam mengoperasikan bisnisnya dari waktu ke
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
26
Universitas Indonesia
waktu. Ketika sedang berjalan lancer pun, franchisee tetap membutuhkan
dukungan franchisor-nya. Misalnya, pengembangan produk, pengembangan
brand, ataupun pengembangan strategi yang lebih baik dalam melakukan
pengelolaan pelanggan. (Bije Widjajanto: 2009: 111)
Dukungan franchisor lebih diperlukan lagi ketika franchisee mengalami
masalah. Untuk mengatasi masalah operasional ini, franchisor mempunyai
tanggung jawab untuk mencarikan solusi yang efektif sehingga sasaran-sasaran
bisnisnya bias tercapai dan franchise bias mendapatkan keuntungan usaha.
Dukungan franchisor dapat bersifat baku dan rutin yang secara seragam diberikan
kepada semua franchisee, atau bisa juga berupa dukungan tambahan yang
diberikan kepada franchisee tertentu ketika mendapatkan masalah.
Kedua manfaat yang dijelaskan oleh Bije Widjajanto tersebut merupakan
alasan mengapa royalti penting bagi franchisee. Tanpa pembayaran royalti, sulit
bagi franchisee untuk menuntut franchisor melakukan sesuatu bagi franchisee
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, ini adalah sisi
“ongkos” dari pembayaran royalti. Sebaliknya bagi sisi franchisor pembayaran
royalti akan menjadi “utang”. Dengan adanya pembayaran royalti yang diterima,
franchisor akan mempunyai beberapa tanggung jawab kerja, biaya administrasi,
telekomunikasi, dan lainnya. Dari tanggung jawab tersebut franchisor harus
menyediakan dana operasional, dan dana itu akan diambil dari pembayaran royalti
oleh franchisee.
2.6 Konsep Jasa Teknik
Secara singkat, Imbalan Jasa Teknik dapat diartikan sebagai imbalan yang
diberikan kepada suatu pihak tertentu atas pekerjaan yang dilakukannya terkait
dengan spesifikasi profesional suatu bidang khusus tertentu, termasuk di
dalamnya seni dan teknik perancangan khusus.
Philip Kotler (1997:476) mendefinisikan jasa sebagai setiap tindakan atau
unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak lain yang secara prinsip
intangible dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya
bisa dan bisa juga tidak terikat pada suatu produk fisik.
Kemudian pakar lain yaitu A. Noteboom dalam bukunya menyebutkan:
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
27
Universitas Indonesia
“The following three types of technical assistance will be considered:
1. The rendering of technical in relation to a specific project in the
industrial field,
2. The rendering of technical assistance in relation to the production
of certain products, and
3. The rendering of technical services in the management field.”
Maksud dari A. Noteboom tersebut adalah, tiga bentuk jasa yang dapat
dikatakan sebagai jasa teknik adalah:
1. Pemberian jasa atau bantuan teknik sehubungan dengan proyek tertentu di
bidang industri
2. Pemberian jasa atau bantuan teknik yang berhubungan dengan produksi
untuk produk tertentu, dan
3. Pemberian jasa atau bantuan teknik dalam bidang manajemen.
Ahli lainnya yaitu Rohatgi menyebutkan jasa teknik sebagai penggunaan atas
suatu kemampuan khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan kepada pihak lain
dimana pemilik kemampuan tersebut memiliki tanggung jawab atas hasil
pekerjaannya. Rohatgi menjelaskan dalam memberikan jasa teknik terdapat show-
how. Show-how menurut rohatgi adalah proses memberikan pengetahuan melalui
instruksi, pelatihan, pengawasan dan bantuan teknik lainnya. Pembayaran atas
show-how tersebut biasanya berdasarkan pada keuntungan yang didapatkan oleh
penerima jasa. (Rohatgi: 2005: 527)
Untuk membedakan pengertian antara royalti dan jasa teknik, Rahayu
membedakannya dengan melihat ciri-ciri dari keduanya sebagai berikut:
Royalti dari know-how Imbalan Jasa Teknik
1. Pemilik know how tidak ikut serta
dalam mengaplikasikan formula,
serta tidak bertanggung jawab
terhadap hasil yang diperoleh
2. Informasi (know how) diberikan
tanpa kehadiran si pemilik
1. Pemberi jasa ikut serta dalam
pemberian jasa dan bertanggung
jawab terhadap hasil yang
diperoleh
2. Jasa teknik pada umumnya
diberikan dengan kehadiran dan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
28
Universitas Indonesia
Royalti dari know-how Imbalan Jasa Teknik
3. Pembayaran Royalti pada
umumnya didasarkan atas
persentase penjualan (dapat juga
bersifat Lump sum)
keterlibatan pemberi jasa dalam
pemberian jasa tersebut
3. Pembayaran imbalan jasa teknik
pada umumnya didasarkan atas
jumlah jam kerja (“working
hours”) yang dihabiskan untuk
melaksanakan pemberian jasa
tersebut.
2.8 Bagan Alur Pemikiran
Format Bisnis
Waralaba (Franchise)
Lokal Indonesia
Penghasilan PT. X
Dari Bisnis Waralaba
Retail (Active /
Passive Income)
Menentukan Royalti
Atau Jasa Teknik
Menjabarkan
Pemungutan Pajak
Penghasilan Yang
Dilakukan Oleh PT. X
Dampak yang
disebabkan
pemotongan pajak
oleh PT X
Kesimpulan Dan
Saran Dari Analisis
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
29
Universitas Indonesia
Alur Pemikiran peneliti didasari dari Format Bisnis Waralaba Lokal
Indonesia yang sedang berkembang pesat. Peneliti kemudian memfokuskan
penelitian kepada PT X selaku franchisor dari waralaba X. Dari waralaba X
tersebut, peneliti menganalisis penghasilan PT X yang didapatkan dari royalti,
kemudian mendinisikannya sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik dengan
cara melihat sumber penghasilannya. Setelah mendefinisikan royalti dan jasa
teknik, peneliti menganalisis bagaimana PT X yang menangani keuangan
franchisee memotong pajak atas penghasilannya yang berupa royalti. Peneliti
kemudian menganalisis dampak yang timbul akibat dari pemotongan yang
dilakukan tersebut. Setelah mendapatkan jawabannya, peneliti kemudian
menjabarkan kesimpulan serta saran dari analisis yang telah dilakukan.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
30 Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Metode penelitian secara umum didefinisikan sebagai suatu kegiatan ilmiah
yang terencana, terstruktur, sistematis dan memiliki tujuan tertentu baik praktis
maupun teoritis. Dikatakan sebagai “kegiatan ilmiah” karena penelitian dengan
aspek ilmu pengetahuan dan teori. “Terencana” karena penelitian harus
direncanakan dengan memperhatikan waktu, dana dan aksesibilitas terhadap
tempat dan data. (Conny R. Semiawan; 2010)
3.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk
memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan
gambaran holistic lengkap yang dibentuk dengankata-kata, melaporkan
pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar alamiah.
(Creswell; 2003:18)
Sedangkan menurut Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara
holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
(Moleong: 2011: 6).
Dalam Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif karena
penelitian ini bertujuan untuk membahas secara mendalam bagaimana perlakuan
kebijakan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik dalam bisnis waralaba retail
lokal di Indonesia, dalam hal ini terhadap PT. X yang dilatarbelakangi adanya
kerancuan dalam pengenaan kebijakan pajak atas penghasilan royalti atau imbalan
jasa teknik. Penelitian ini juga membahas suatu konteks khusus yaitu royalti dan
jasa teknik dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah dari para ahli dalam
bidangnya.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
31
Universitas Indonesia
3.2. Jenis Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan dan tujuan penulisan penelitian ini, maka
penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan
jenis penelitian yang berusaha menggambarkan atau menjelaskan secermat
mungkin mengenai suatu hal dari data yang ada. Jenis penelitian ini tidak terbatas
pada pengumpulan data , tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data
itu, menjadi suatu wacana dan konklusi dalam berpikir logis, praktis, dan teoritis.
(Irawan: 2004: 60)
Dalam penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian deskriptif juga
dikarenakan penulis membahas secermat mungkin mengenai gambaran
pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan royalti dalam bisnis waralaba.
Selanjutnya akan dianalisis ketentuan-ketentuan perpajakan yang mengatur
pemotongan pajak atas penghasilan yang didapatkan dari Royalti den Jasa Teknik.
Berdasarkan uraian-uraian yang dilakukan, penulis akan menganalisis
kemungkinan upaya apa saja yang dilakukan baik oleh para pelaku bisnis
waralaba, maupun oleh pemerintah yang membuat kebijakan.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, tehnik pengumpuan data yang digunakan oleh
peneliti adalah antara lain:
a. Studi Kepustakaan
Dalam studi kepustakaan, peneliti memperoleh berbagai informasi,
pendapat, konsep dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
fenomena yang terjadi di lapangan dengan cara membaca dari sumber
bahan cetak (buku, artikel, koran dan Undang-Undang). Tujuan penulis
menggunakan studi kepustakaan adalah sebagai acuan teori yang akan
digunakan untuk menganalisis data, serta memberikan kerangka untuk
menentukan signifikansi penelitian dan sebagai acuan untuk
membandingkan hasil suatu penelitian dengan temuan-temuan lainnya.
b. Studi Lapangan
Untuk melengkapi dan memperkuat analisis, penulis juga melakukan
studi lapangan dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
32
Universitas Indonesia
beberapa nara sumber, yang diharapkan dapat menarik referensi
mengenai sudut pandang, kejadian, peristiwa dan proses yang diamati.
Dalam melakukan wawancara mendalam penulis akan menggunakan
pedoman wawancara sebagai acuan dalam mengajukan pertanyaan
kepada para narasumber. (Irawan: 2004: 60)
3.4. Narasumber / Informan
Informan yaitu pemberi informasi atau sumber informasi dalam penelitian.
Informan yang dihadirkan dalam penelitian ini dapat digolongkan sebagai key
informant, yang sengaja dipilih oleh peneliti. Pemilihan informan (key
informant)pada penelitian difokuskan pada representasi atas masalah yang
diteliti54. Pemilihan informan (key informant) pada penelitian difokuskan pada
representasi atas masalah yang diteliti.
Perencanaan dalam melakukan wawancara harus dilakukan dengan benar,
sehingga dalam pelaksanaannya peniliti tidak akan merasa kesulitan. Terdapat
beberapa langkah yang dapat dilakukan, menurut Moleong (2011: 199), yaitu:
1. Menentukan siapa yang akan diwawancarai;
Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah peneliti harus benar-
benar tahu pihak mana saja yang perlu diwawancarai. Informan adalah
mereka yang berperan, yag pengetahuannya luas tentang daerah atau
lembaga penelitian dan yang suka bekerja sama untuk kegiatan
penelitian yang sedang dilakukan.
2. Mencari tahu bagaimana cara terbaik melakukan kontak dengan
informan;
Jika informan merupakan orang-orang pilihan, maka yang menghubungi
informan tersebut adalah peneliti.
3. Mengadakan persiapan yang matang untuk pelaksanaan wawancara;
Sebelum melakukan wawancara, peneliti sebaiknya melakukan latihan
untuk memperkenalkan diri dan memberi penjelasan singkat mengenai
masaalah yang diangkat dalam penelitian tersebut. Dalam hal berpakaian
pun peneliti harus mempersiapkannya. Karena cara berpakaian
merupakan kesan pertama yang ditangkap informan terhadap peneliti.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Penentuan informan merupakan hal yang penting dalam penelitian, karena
informan ini akan menjadi sumber informasi yang potensial bagi peneliti dalam
menjawab masalah yang ada. Wawancara akan dilakukan dengan menggunakan
pedoman wawancara kepada para informan untuk mendapatkan gambaran yang
mendalam dan bersifat objektif mengenai fenomena yang diteliti. Dalam
penelitian ini penulis akan mengelompokkan informan ke dalam beberapa
kelompok, yaitu::
1. Pihak DJP
Kelompok ini adalah pejabat Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
yang tugasnya sehari-hari sangat terkait dengan masalah yang diteliti.
Dalam hal ini wawancara pertama dilakukan terhadap:
1. Dr. Prof. Poltak John Liberty Hutagaol, M.Ec.(Acc)., M.Ec.(Hons),
Ak., sebagai Tenaga Ahli Bidang Pengawasan dan Penegakan
Hukum Perpajakan Ditjen Pajak.
Informasi yang ingin diperoleh adalah informasi tentang dasar
pemikiran dari penetapan kebijakan pajak atas royalty dan jasa teknik
serta perbedaan perlakuannya dalam pelaksanaan di lapangan.
2. Pihak Praktisi
Kelompok ini adalah Wajib Pajak yang melakukan transaksi royalti
dan jasa teknik. Dalam penelitian ini Wajib Pajak tersebut adalah:
1. PT. X sebagai pengelola gerai-gerai Minimarket X. Diwakilkan
oleh Tomy Sugianto sebagai Regional Franchise Manager dan
Enny Agustianty Jacob sebagai Franchise Support General
Manager.
2. Suryono Ekotama selaku ketua praktisi dan konsultan bisnis/
marketing Barracuda.
3. Tugiman Binsarjono sebagai pendiri konsultan Suluh Prima
Target, dan mantan pemeriksa pajak di DJP.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
34
Universitas Indonesia
PT. X merupakan pengelola gerai-gerai Minimarket X. Wawancara
mendalam akan dilakukan terhadap manager keuangan PT. X yang
sehari-hari terkait dengan transaksi pembayaran royalti dan jasa teknik.
Informasi yang ingin didapatkan dari wawancara tersebut adalah
informasi mengenai masalah-masalah yang timbul dalam rangka
pemotongan pajak atas transaksi yang terkait dengan royalty dan jasa
teknik. Penulis juga akan mencari informasi mengenai upaya-upaya apa
saja yang telah dilakukan dalam menghadapi fenomena dari masalah
yang dihadapi serta kebijakan apa yang diambil oleh perusahaan sebagai
pihak yang dipotong.
Wawancara kedua kepada Suryono Ekotama selaku pengamat
perkembangan bisnis waralaba di Indonesia. Informasi yang ingin
didapatkan dari wawancara adalah tentang konsep dasar operasional dari
format bisnis waralaba.
Wawancara ketiga kepada Tugiman Binsarjono dilakukan dengan
tujuan ingin mendapatkan pendapat serta saran-saran terkait dengan
adanya dispute dalam kebijakan dan peraturan terkait dengan
pemotongan pajak penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba
lokal Indonesia. Saran yang ditanyakan adalah saran untuk PT. X
sebagai pelaku bisnis dan DJP selaku pembuat kebijakan.
3. Pihak Akademisi Perpajakan
Akademisi yang dipilih untuk diwawancarai dalam penelitian ini adalah:
1. Prof. Dr. Gunadi, M.Sc, Ak
Pemilihan akademisi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa
informan sangat memahami perpajakan yang terkait dengan transaksi
atas royalti dan imbalan jasa teknik. Informan juga merupakan pengajar
mata kuliah PPh Badan.
Wawancara dengan akademisi tersebut dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi mengenai kelemahan-kelemahan yang terdapat
dalam kebijakan yang terkait dengan royalti dan jasa teknik. Peneliti
juga bermaksud mendapatkan informasi mengenai upaya-upaya yang
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
35
Universitas Indonesia
sebaiknya diambil dalam menghadapi kelemahan-kelemahan dari
kebijakan tersebut.
3.5. Proses Penelitian
Peneliti mengawali penelitian ini, dimulai dari ketertarikan peneliti terhadap
kerancuan kebijakan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik apabila
diimplementasikan kedalam format bisnis waralaba di Indonesia. Dari ketertarika
tersebut, peneliti melihat bahwa telah terjadi ketidak sesuaian dalam pemungutan
pajak dari penghasilan royalti dan imbalan jasa teknik dalam format bisnis
waralaba dengan konsep royalti dan jasa teknik. Karena dalam format bisnis
waralaba, penghasilan dari royalti tersebut dapat dikatakan bukan lagi dari
penghasilan pasif karena pemberi lisensi juga ikut berkecimpung dalam
operasional bisnis tersebut. Hal itu akan menjadi terkait dengan penjelasan
imbalan jasa teknik. Kerancuan tersebut tentu akan berpengaruh kepada kebijakan
yang berlaku menjadi tidak sejalan dengan implementasinya.
Dari fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis pertanyaan
tentang hambatan-hambatan yang terjadi dalam penentuan kebijakan dalam
pemotongan pajak penghasilan atas royalti atau jasa teknik. Penulis juga akan
menganalisis upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan dan mungkin dilakukan
oleh pihak-pihak yang terkait dalam transaksi tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut penulis akan
mengawali penelitian dengan pengumpulan data yang terkait dengan penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan mencari teori-teori dasar yang terkait dengan
fenomena dan pertanyaan penelitian dengan mambaca sumber-sumber media
cetak seperti buku teori, majalah, jurnal, dan internet.
Untuk menguatkan dasar analisis, peneliti juga melakukan wawancara dan
diskusi mendalam dengan pejabat Negara yang dianggap kompeten dalam
kebijakan atas royalti dan jasa teknik tersebut. Untuk mengetahui tingkat validitas
dalam penelitiannya, peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada
akademisi untuk mengetahui perlakuan pajaknya dan dampaknya pemungutan
pajak di lapangan. Tidak lupa peneliti juga akan mewawancarai para pelaku bisnis
yang terkait dengan format bisnis waralaba Indonesia. Dalam hal ini penulis akan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
36
Universitas Indonesia
mewawancarai pejabat dari PT. X yang bergerak sebagai pengelola gerai waralaba
X di Indonesia.
Setelah mendapatkan data yang cukup untuk melakukan analisis, penulis
menggunakan data-data tersebut untuk melakukan analisis terhadap pokok
permasalahan penelitian yaitu kendala-kendala yang dialami di lapangan serta
upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang terkait dalam transaksi royalti dan
jasa teknik tersebut. Dengan melakukan analisis, penulis akan mendapatkan
jawaban dari pertanyaan permasalahan penelitian, dan menarik kesimpulan yang
didapatkan dari jawaban tersebut. Penulis juga akan memberikan saran-saran
terkait dengan fenomena penelitian.
3.6. Site Penelitian
Site merupakan konteks dimana suatu fenomena terjadi. Site memiliki banyak
hubungan sosial, keragaman aktivitas dan kejadian akan menghasilkan data yang
kaya dan menarik. Dalam penelitian ini, site yang digunakan oleh peneliti adalah
PT. X selaku perusahaan yang mengelola format bisnis waralaba retail
Minimarket X.
3.7. Batasan Penelitian
Pembatasan dalam penelitian ini ditujukan agar penelitian menjadi lebih focus
dan terarah. Pembatasan pertama yang dilakukan terletak pada ruang lingkup
penelitian yang hanya terkonsentrasi pada penghasilan royalti dan jasa teknik
dalam format bisnis waralaba. Pembatasan yang kedua adalah penelitian ini hanya
dalam ruang lingkup PT. X sebagai pengelola waralaba retail Minimarket X.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
37 Universitas Indonesia
BAB 4
GAMBARAN UMUM
4.1 Gambaran Umum Bisnis Waralaba (Franchise)
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia pengertian franchising atau sistem
franchise adalah suatu bentuk kerjasama manufaktur atau penjualan antara
pemilik franchise dan pembeli franchise atas dasar kontrak dan pembayaran
royalty. Kerjasama ini meliputi pemberian lisensi atau hak pakai oleh pemegang
franchise yang memiliki nama atau merek, gagasan, proses, formula, atau alat
khusus ciptaannya kepada pihak pembeli franchise disertai dukungan teknis dalam
bentuk manajemen, pelatihan, promosi, dan sebagainya. Untuk itu, pembeli
franchise membayar hak pakai tersebut disertai royalty, yang pada umumnya
merupakan prosentase dari jumlah penjualan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba
disebutkan bahwa waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan
hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan
berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka
penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Dalam PP No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba tersebut disebutkan pula
bahwa Pemberi Waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang
memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan
hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
dimilikinya; sedangkan Penerima Waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau
perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi
Waralaba.
Menurut Suryono Ekotama (Ekotama, 2010, p. 5) franchisor adalah pemilik
bisnis franchise atau orang yang mem-franchise-kan usahanya. Franchisor
mendapatkan keuntungan dari bisnis franchise-nya berupa franchise fee dan
royalty fee serta keuntungan dari penjualan bahan baku. Masih menurut Ekotama,
franchisee adalah orang atau perusahaan yang membeli bisnis franchise dari
franchisor. Hak utama franchisee adalah mendapatkan supporting management
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
38
Universitas Indonesia
dari franchisor, kapanpun dibutuhkan, sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam perjanjian franchise.
Berdasarkan PP 17 Tahun 1997 disebutkan bahwa Waralaba diselenggarakan
berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba,
di mana perjanjian Waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya
berlaku hukum Indonesia. Dari beberapa definisi mengenai franchise, dapat
dilihat bahwa setiap model perjanjian franchise sekurang-kurang memuat unsur-
unsur sebagai berikut:
1. adanya perjanjian atau perikatan antara dua pihak, yaitu pihak pemberi
waralaba (franchisor) dan pihak penerima waralaba (franchise).
2. pihak franchisor memberikan suatu hak untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas
usaha yang dimilikinya kepada pihak franchisee yang berupa nama,
produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan
lain-lain hal yang berkenaan dengan company support.
3. pihak franchisee memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan;
perjanjian atau perikatan dilakukan dalam rangka penyediaan barang atau
jasa;
4. adanya syarat-syarat lain yang harus dipenuhi masing-masing pihak.
Hukum dan peraturan franchise di Indonesia telah diatur pada peraturan
pemerintah (PP) No.42 tahun 2007 dan peraturan menteri perdagangan R.I nomor
31/M-DAG/PER/8/2008 didalam peraturan tersebut telah dibahas dan dijelaskan
bagaimana tata tertib dan hak dan kewajiban pelaku usaha yang menjalankan
bisnisnya dengan cara franchise maka didalam PP No.42 tahun 2007 telah
dijelasksn kriteria dari bisnis yang dapat difranchise antara lain : memiliki ciri
khas usaha, terbukti telah memberikan keuntungan,memiliki standar atas
pelayanan atau barang dan jasa ditawarkan secara tertulis, mudah diajarkan atau
diaplikasikan, adanya dukungan berkesinambungan, hak kekayaan intelektual
yang telah didaftarkan selanjutnya pada PP No.42 tahun 2007 didalamnya dibahas
pula bagaimana hubungan yang baik antara pemberi franchise ( franchisor) dan
penerima franchise ( franchisee) yaitu mengatur kewajiban sebagai franchisor
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
39
Universitas Indonesia
untuk memberikan binaan dan bimbingan dalam bentuk pelatihan, bimbingan
operasional, bagaimana pemasarannya, manajemen didalamnya, riset dan
pengembangan kepada franchisee secara berkelanjutan atau berkesinambungan.
Pada peraturan menteri perdagangan atau yang disingkat PerMen No.31/M-
DAG/PER/8/2008 maka hal yang mendasar adalah pentingnya pelaku usaha
franchise Indonesia harus memiliki surat pendaftaran waralaba yang dikeluarkan
dinas terkait yang kita kenal dengan STPW, STPW adalah bukti bahwa
perusahaan franchise yang kita jalankan sudah diakui sebagai usaha franchise
yang mendaftarkan usaha franchisenya diwilayah negara kesatuan republik
Indonesia maka dengan adanya peraturan tersebut setiap pelaku usaha yang
menjalankan bisnis dengan konsep franchise baik didalam negeri maupun yang
berasal dari luar negeri harus memiliki STPW yang dikeluarkan pejabat terkait di
depatemen perdagangan sehingga menjadikan franchise indonesia lebih tertib
secara hukum dan administrasi.
Dalam PP No. 42 tahun 2007 disebutkan bahwa waralaba harus memenuhi 6
(enam) kriteria, yaitu:
1. Memiliki ciri khas usaha.
“ciri khas” adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan
yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan konsumen
selalu mencari ciri khas yang dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara
penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan
karakteristik khusus dari pemberi waralaba.
2. Terbukti sudah memberikan keuntungan.
“sudah memberi keuntungan” adalah menunjuk kepada pemberi waralaba
yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat
bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini
terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan
menguntungkan.
3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang dibuat
secara tertulis.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
40
Universitas Indonesia
Maksudnya adalah standar secara tertulis supaya penerima waralaba dapat
melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (standar
operasional kerjanya).
4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan.
“mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah mudah dilaksanakan sehingga
penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai
usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan
operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi
waralaba.
5. Adanya dukungan yang berkesinambungan.
“dukungan yang berkesinambungan” adalah dukungan dari pemberi
waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan
promosi.
6. Hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar.
“hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar” adalah hak kekayaan
intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, hak paten, rahasia
dagang sudah di daftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses
pendaftaran di instansi yang berwenang.
Bisnis waralaba atau franchise memiliki suatu konsep tersendiri dalam
pelaksanaannya. Dalam format bisnis ini, hal yang paling utama adalah hubungan
antara franchisor sebagai pemegang merk, dan franchisee sebagai yang diberikan
hak untuk menggunakan merk tersebut. Dengan kata lain, franchisee telah
diberikan hak oleh franchisor untuk menggunakan format bisnisnya yang tidak
dimiliki oleh orang lain untuk kepentingan franchisee menjalankan usahanya.
Dalam hal ini terdapat hubungan kerjasama antara franchisor dengan franchisee.
Dalam kerjasama tersebut, franchisor sebagai pemilik merek, memberikan
hak nya kepada franchisee untuk menggunakan merek tersebut dalam usahanya.
Kemudian, berdasarkan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2007 pasal 8,
disebutkan bahwa:
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
41
Universitas Indonesia
“Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam
bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen,
pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima
Waralaba secara berkesinambungan. “
Peraturan pemerintah tersebut menjelaskan bahwa franchisor wajib memberikan
bantuan dalam rangka membantu franchisee menjalankan usahanya tersebut
secara berkesinambungan.
4.1.1 Jenis-Jenis Waralaba (Franchise)
Jenis-jenis usaha franchise dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
franchise format bisnis, yang terdiri dari franchise pekerjaan, franchise usaha dan
franchise investasi; dan franchise distribusi pokok. Untuk franchise format bisnis,
seseorang pemegang franchise (franchisee) memperoleh hak untuk memasarkan
dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik
dengan menggunakan standar baik dalam operasional usaha maupun pemasaran.
Ada 3 (tiga) jenis format bisnis franchise, yaitu :
franchise pekerjaan :
franchise yang menjalankan usaha pekerjaan adalah usaha franchise yang
memberikan dukungan untuk usahanya sendiri. Sebagai contoh misalnya menjual
jasa penyetelan mesin mobil dengan merek tertentu. Bentuk franchise ini paling
murah dan umumnya hanya membutuhkan modal kecil karena tidak
menggunakan temapt dan perlengkapan yang berlebihan.
franchise usaha :
franchise usaha adalah jenis franchise yang paling berkembang. Bentuknya dapat
berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa, atau restoran cepat saji
(fast food). Biaya yang dibutuhkan untuk franchise jenis ini biasanya lebih besar
karena dibutuhkan tempat usaha yang memenuhi kriteria yang diwajibkan oleh
pemberi franchise (waralaba).
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
42
Universitas Indonesia
franchise investasi :
franchise investasi adalah jenis franchise yang paling banyak membutuhkan biaya
atau modal (nilai investasi yang besar). Perusahaan yang mengambil franchise
investasi biasanya ingin melakukan diversifikasi usaha namun kurang
berpengalaman dalam pengelolaan manajemen. Contoh usaha franchise ini adalah
usaha perhotelan yang hendak menggunakan nama dan standar pelayanan hotel
milik franchisor.
Jenis franchise distribusi pokok adalah jenis franchise dengan memberikan lisensi
untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi tertentu
yang ditentukan (sub-franchise). Dalam hal ini franchisee membeli hak untuk
mengoperasikan atau menjual franchise di wilayah (geografis) tertentu dan
bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh pemasaran franchise, melatih atau
membantu franchisee baru serta melakukan pengendalian, dukungan operasional
serta penagihan royalty.
4.1.2 Karakteristik Bisnis Waralaba (Franchise)
Bisnis waralaba (franchise) memiliki beberapa karakteristik tertentu.
Karakteristik ini sesungguhnya yang menyebabkan bisnis dengan model franchise
dirasakan cukup menguntungkan. Karakteristik tersebut misalnya mengenai
keunikan produk, adanya pelatihan manajemen dan ketrampilan khusus yang
wajib diberikan franchisor kepada franchisee, pengendalian dan penyeragaman
mutu produk, promosi dan periklanan oleh franchisor, pemilihan lokasi serta
daerah pemasaran yang eksklusif, sebagian bisnis franchise mendapatkan bantuan
pendanaan dari pihak franchisor atau lembaga keuangan, adanya fee atau royalty
yang harus dibayarkan oleh franchisee pada franchisor, didaftarkannya merek
dagang, paten atau hak cipta serta pembelian produk langsung dari franchisor.
Keuntungan yang paling utama dari franchise adalah bahwa wiraswastawan
tidak perlu pusing dengan hal yang berkaitan dengan memulai usaha baru.
Pemberi franchise akan memberikan rencana operasi bisnis dengan arah yang
jelas. Penerima franchise diberikan nasihat atau sebuah lokasi usaha yang telah
ditetapkan. Dalam franchise eceran seperti McDonald, analisa lokasi dilakukan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
43
Universitas Indonesia
untuk menjamin bahwa bisnis akan mencapai tujuan yang ditetapkan. Penilaian
keadaan lalu lintas, demografi, pertumbuhan bisnis di suatu daerah, persaingan,
dan lain-lain merupakan bagian integral dari keputusan di mana akan
menempatkan usaha. Sering franchise melibatkan nama yang telah mapan yang
akan memberikan pengakuan langsung dari penerima franchise di daerah pasar.
Hal ini tidak menjamin keberhasilan tetapi memberi dorongan untuk memulai
usaha dengan citra positif.
Salah satu tujuan dari pemberian hak usaha adalah bahwa pemberi hak bisa
mendapatkan manfaat dari ekspansi cepat dan luas tanpa meminjam atau
menanggung resiko finansial penting. Jika pemberi hak memberikan peluang kuat
untuk berhasil, dia juga akan menerima manfaat dari royalti yang diterima dari
penerima franchise. Untuk menjamin tercapainya hal itu, pemberi hak harus
menyediakan akuntansi standar dan prosedur operasional dan mempertahankan
kendali atas perancangan tata ruang, peralatan dan perlengkapan. Kendali
structural sesungguhnya menguntungkan bagi penerima hak karena dia akan
mendapatkan manfaat dari pengalaman pemberi hak.
Masing-masing penerima franchise individu tidak akan mampu memasang
iklan secara luas. Akan tetapi dengan penggabungan (pooling) di mana kontribusi
diberikan oleh tiap-tiap penerima hak berdasarkan volume penjualan, organisasi
keseluruhan bisa mengadakan pengiklanan besar-besaran untuk memperkuat
nama franchise. Penerima franchise individu kemudian bisa melakukan promosi
di daerah mereka sesuai dengan persetujuan yang ada.
4.1.3 Biaya-biaya yang Timbul dalam Usaha Waralaba (Franchise)
Ada beberapa biaya yang timbul dari pelaksanaan perjanjian franchise ini.
Biaya-biaya tersebut antara lain adalah :
- Royalty: Royalty adalah pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak
franchisee kepada franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak
franchise oleh franchisee.
- Franchise fee: Franchise fee merupakan pembayaran atas biaya franchise.
Biasanya pembayaran ini dilakukan untuk jumlah tertentu yang pati dan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
44
Universitas Indonesia
dilakukan sekaligus dan dibayarkan pada tahap bisnis franchise akan
dimulai atau pada saat penandatanganan akta perjanjian franchise.
- Direct expenses: Direct expenses merupakan biaya langsung yang harus
dikeluarkan oleh franchisee sehubungan dengan pengoperasian suatu
usaha franchise, misalnya biaya pelatihan manajemen atau ketrampilan
tertentu.
- Marketing dan advertising fees: Marketing atau advertising fees adalah
biaya yang harus dikeluarkan untuk memasarkan atau mempromosikan
bisnis franchise.
- Assignment fees: Biaya yang lain adalah biaya Assignment fees yang harus
dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor bila akan mengalihkan
bisnisnya kepada pihak lain. Biaya ini biasanya meliputi biaya untuk
membuat perjanjian penyerahan serta pelatihan pemegang franchise yang
baru karena pengalihan bisnis.
4.1.4 Dasar Hukum dalam Bisnis Waralaba (Franchise)
Bisnis atau usaha waralaba (franchise) adalah salah satu jenis usaha yang
dilakukan dengan suatu perjanjian atau perikatan, maka dasar hukum untuk
beroperasinya dalam hal ini adalah pasal–pasal dalam KUH Perdata yang
mengatur mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan mengenai berlakunya asas
kebebasan berkontrak (beginsel der contractvrijheid), yaitu semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya (pacta sunt servanda). Walaupun Pasal 1338 mengatur mengenai
asas kebebasan berkontrak namun dalam ditegaskan pula bahwa walaupun para
pihak sebenarnya bebas membuat suatu kontrak atau perjanjian, namun perjanjian
tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, kepatutan dan ketertiban
umum. Sedangkan untuk sahnya suatu kontrak atau perjanjian berlaku Pasal 1320
KUH Perdata. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
45
Universitas Indonesia
antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek
tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal.
Usaha waralaba (franchise) selalu berkaitan dengan merek, paten dan hak
cipta karena franchise pada dasarnya menggunakan izin atau lisensi merek
dagang, paten atau hak cipta dari franchisor. Dengan demikian, atas penggunaan
lisensi tersebut, pihak franchisee mempunyai kewajiban untuk membayar fee atau
royalty pada pihak franchisor. Selain itu, bisnis waralaba (franchise) juga tunduk
pada peraturan perundang-undangan yang lain di Indonesia seperti undang-
undang Perseroan Terbatas bila usaha waralaba (franchise) tersebut berbentuk PT,
hukum ketenagakerjaan, hukum perpajakan, hukum perlindungan konsumen serta
peraturan-peraturan lain yang terkait dengan izin usaha, izin Undang-Undang
Gangguan (hinderordonantie) dsb.
Untuk pendaftaran usaha waralaba dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI
No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat
Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba Penerima Waralaba harus memiliki Surat
Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Untuk mendapatkan STPUW
tersebut, Penerima Waralaba harus mendaftarkan perjanjiannya di Departemen
Perdagangan. Dalam hal Penerima Waralaba lalai untuk melakukan pendaftaran
setelah diberikan 3 (tiga) kali peringatan, maka Surat Izin Usaha Perdagangannya
(SIUP) atau ijin-ijin usaha sejenis milik Penerima Waralaba dapat dicabut.
4.1.5 Kewajiban Para Pihak
Sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh pihak franchisor dan franchisee,
pada dasarnya kewajiban franchisor hanyalah berupa penyediaan atau pemberian
hak kepada franchisee untuk menggunakan merek dagang, identitas perusahaan,
atau memasarkan dan menjual produk atau jasanya untuk waktu dan tempat
tertentu sebagaimana disepakati dalam perjanjian franchise. Kewajiban lain yang
dimiliki franchisor adalah :
- melakukan pembinaan terhadap usaha yang dijalankan franchisee baik
secara operasional, manajemen maupun keuangan.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
46
Universitas Indonesia
- memberikan pedoman operasi usaha franchise yang dijalankan dan
disepakati para pihak.
Untuk kewajiban pokok franchisee, utamanya ada 2 (dua) macam yaitu :
- membayar fee atau jasa kepada franchisor atas penggunaan nama merek
dagang atau identitas usaha franchisor.
- menjaga kualitas dan nama baik (brand image) franchisor.
Selain dua kewajiban pokok tersebut, franchisee masih memiliki berbagai
kewajiban yang disertakan dalam klausul-klausul kontrak franchise misalnya
memberikan laporan atas kegiatan usaha, kewajiban mengikuti standar operasi
dan spesifikasi yang telah ditentukan franchisor serta kewajiban-kewajiban
lainnya.
4.2 Gambaran Umum PT X (Pemegang Merek Franchise Retail)
PT X menjadi perusahaan publik di tahun 2009 dan saat ini memiliki ribuan
gerai di Jawa, Bali, Lampung, Palembang, dan Makassar. PT X bertekad untuk
menjadi jaringan distribusi ritel terbesar di Indonesia. PT X juga terus
memperluas jaringan serta jumlah pelanggan dengan membina gerai tradisional
dengan format yang lebih kecil, yaitu kios. PT X berencana untuk menjadi
spesialis usaha format kecil di Indonesia.
PT X juga pernah berhasil memperoleh berbagai penghargaan seperti Highest
Score Equity Index dari Nielsen, Top Brand Award dari majalah Marketing dan
Frontier serta Indonesia’s Best Brand Award dari majalah SWAsembada dan
MARS, dan berbagai penghargaan lainnya.
Visi PT X adalah “Menjadi jaringan distribusi ritel terkemuka yang dimiliki
oleh masyarakat luas, berorientasi kepada pemberdayaan pengusaha kecil,
pemenuhan kebutuhan dan harapan konsumen, serta mampu bersaing secara
global.
Misi PT X adalah:
- Memberikan kepuasan kepada pelanggan/konsumen dengan berfokus
kepada produk dan pelayanan yang berkualitas unggul.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
47
Universitas Indonesia
- Selalu menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dilakukan dan selalu
mengakkan tingkah laku/etika bisnis yang tinggi.
- Ikut berpartisipasi dalam membangun Negara dengan menumbuh-
kembangkan jiwa wiraswasta dan kemitraan usaha.
- Membangun organisasi global yang terpercaya, sehat dan terus bertumbuh
dan bermanfaat bagi pelanggan, pemasok, karyawan, pemegang saham
dan masyarakat pada umumnya.
PT X juga berpegang pada standar yang tinggi dalam Integritas, inovasi,
kualitas dan produktivitas, kerjasama tim, dan kepuasan pelanggan. Nilai-nilai
dasar tersebut merupakan dasar dari budaya perusahaan. Saat ini PT X adalah
salah satu perusahaan yang mempunyai tenaga kerja terbanyak, yaitu lebih dari
50.000 karyawan, dan setiap bulan rata-rata merekrut 1.500 orang karyawan.
Visi PT X adalah memberdayakan pengusaha kecil dan menengah di
Indonesia. Karenanya, PT X membuka sistem franchise di tahun 2001, dan saat
ini sudah ada 1759 gerai franchise di seluruh Indonesia. sistem franchise ini
terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia (pribadi, pemilik toko, dll), Institusi
(komunitas agama, organisasi social, organisasi massa, asosiasi professional,dll).
Untuk semakin mendukung pertumbuhan ekonomi komunitas di sekitar wilayah
usaha kami, sistem franchise kami di desain begitu mudah dan sederhana dengan
bantuan untuk memperoleh pinjaman modal dari bank. Karyawan kami juga
diberi kesempatan untuk menjadi franchisee, sebagai salah satu bentuk
penghargaan atas dedikasi dan dukungannya terhadap PT X.
PT X dan para penerima waralaba adalah mitra strategis, PT X menyatukan
langkah untuk kemajuan bersama. Perseroan mempunyai tujuan agar setiap
penerima waralaba PT X terjaga kepuasannya. Untuk itu, perseroan bekerjasama
dengan tim survey indpenden dari professional menyelenggarakan survey
kepuasan penerima waralaba. Walaupun angka indeks yang diperoleh cukup
memuaskan, perseroan terus melakukan evaluasi dan selalu berupaya untuk
meningkatkan tingkat kepuasan dari para pewaralaba secara berkesinambungan.
Mengingat untuk memiliki gerai dari PT X diperlukan dana yang cukup
besar, Perseroan mencari strategi dan inovasi untuk dapat terus memperluas
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memiliki gerai dari PT X. Sejak tahun
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
48
Universitas Indonesia
2007, perseroan telah mengembangkan pola waralaba melalui kerjasama
pendanaan melalui bank dengan bunga yang kompetitif dan skema yang
memungkinkan peminjam untuk dapat merencanakan cashflow-nya, memberikan
kesempatan lebih besar kepada UKM, Koperasi, Yayasan ataupun Mitra Binaan
Pemerintah untuk ikut memiliki gerai dari PT X.
Perseroan selalu ingin berpartisipasi secara aktif dalam peningkatan kualitas
hidup serta pengembangan kemampuan masyarakat. Perseroan berpendapat
bahwa untuk dapat mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dukungan dari berbagai
pihak. Di tahun 2006, kerjasama strategis dengan Kementrian Koperasi dan UKM
membuahkan program yang berhasil membantu Koperasi Binaan Kementrian
untuk dapat ikut memiliki gerai waralaba PT X dan sampai dengan tahun 2010
sudah mencapai 83 gerai waralaba PT X dimiliki oleh Koperasi, Mitra Binaan
Pemerintah ataupun Organisasi Kemasyarakatan. Di tahun- tahun mendatang
Perseroan bertekad untuk terus mengembangkan komposisi ini, dan membawa PT
X selangkah kedepan untuk menjadi gerai komunitas sesungguhnya, dengan
demikian memberikan kesempatan lebih besar lagi kepada masyarakat untuk ikut
memiliki gerai dari PT X.
4.2.1 Skema Waralaba PT X
Untuk mengembangkan usahanya dalam bidang waralaba, PT X memiliki dua
skema untuk mendapatkan kepemilikan waralaba X. Skema pertama yang
ditawarkan adalah skema Waralaba Toko Baru. Skema ini diperuntukkan bagi
calon franchisee yang sudah memiliki properti berupa tanah dan atau bangunan.
Properti berupa tanah dan atau bangunan ini yang nantinya akan menjadi tempat
didirikannya waralaba X. Namun tidak sembarang tanah dan bangunan dapat
menjadi tempat didirikan waralaba X. Pihak PT X akan melakukan survey terlebih
dahulu untuk menentukan apakah properti tersebut layak untuk didirikan waralaba
X.
Untuk menjalankan usaha waralaba X dengan skema Waralaba Toko Baru,
calon franchisee dapat memperkirakan estimasi investasi sebagai berikut:
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
49
Universitas Indonesia
Tabel 4.1: Estimasi Investasi Waralaba X Skema Waralaba Toko Baru
Estimasi Investasi Waralaba Toko Baru
Tipe Toko Luas Toko Investasi
36 rak 80 m2 Rp. 360 juta
45 rak 100 m2 Rp. 380 juta
54 rak >120 m2 Rp. 410 juta
Investasi awal tersebut mencakup:
- Biaya waralaba untuk 5 tahun
- Renovasi lahan (konstruksi sipil, instalasi kelistrikan)
- Perijinan
- Peralatan dan AC
- Cash Register & Sistemnya
- Papan nama toko berikut displaynya
- Promosi dan persiapan pembukaan toko
Estimasi tersebut diperhitungkan dengan perkiraan properti yang akan
digunakan sudah berupa Ruko. Bila properti yang akan digunakan masih berupa
bangunan lain (kios, rumah tinggal, tanah kosong), maka akan ada penyesuaian
estimasi investasi.
Untuk memiliki waralaba X dengan skema Waralaba Toko Baru, calon
franchisee akan melewati proses sebagai berikut:
- Presentasi Awal
- Evaluasi Lahan dan Persetujuan
- Pengukuran dan Evaluasi Proyek
- Presentasi Proposal
- Kesepakatan Waralaba
- Pembukaan Toko
Skema yang kedua adalah skema Waralaba Toko Take Over. Skema ini
diperuntukkan bagi calon franchisee yang belum memiliki properti berupa tanah
dan atau bangunan. Dengan skema ini, calon franchisee akan mendapatkan sebuah
waralaba X yang sudah berjalan cukup stabil. Berjalan cukup stabil maksudnya
adalah geral waralaba X tersebut sudah berjalan cukup lama dan selalu
menghasilkan penjualan yang baik setiap bulannya. Dengan begitu, resiko
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
50
Universitas Indonesia
kegagalan yang mungkin akan dialami oleh calon franchisee pun akan semakin
kecil. Namun di sisi lain, investasi yang harus dikeluarkan oleh calon franchisee
pun akan menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan skema Waralaba Toko
Baru.
Besar investasi untuk toko take over besarnya bervariasi. Besarnya investasi
biasanya antara 600 – 800 juta rupiah. Besarnya investasi untuk toko take over
bergantung kepada:
- Harga sewa untuk 5 tahunnya
- Sales Harian
- Nilai Buku Fix Asset yang ada.
Dari nilai investasi tersebut, adalah untuk pembelian gerai waralaba X yang
sudah berjalan dengan harga ”Paket” yang sudah ditentukan termasuk:
- Sewa tempat untuk 5 tahun
- Perijinan
- Peralatan Toko
- Franchise Fee
- Goodwill
Toko waralaba X yang akan di take over-kan biasanya adalah toko waralaba
X yang sudah berjalan minimal selama 1 tahun, dengan sales harian antara 10 juta
– 13 juta dan dapat diperpanjang sewanya sampai dengan 5 tahun. Dengan sales
harian sebesar itu, diperkirakan penghasilan perbulan yang akan diperoleh oleh
franchisee adalah sebesar 9 juta – 11 juta perbulan.
Untuk memiliki waralaba X dengan skema Waralaba Toko Take Over, calon
franchisee akan melewati proses sebagai berikut:
- Presentasi proposal
- Kesepakatan Pembelian
- Pemindahan Perijinan
- Kesepakatan Waralaba
Dalam kedua format kepemilikan tersebut, baik dengan skema waralaba toko
baru maupun waralaba toko take over, PT X selaku franchisor akan memberikan
bantuan yang sama tanpa membeda-bedakan. Setiap franchisee akan mendapatkan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
51
Universitas Indonesia
seluruh bantuan sesuai dengan kontrak, mulai dari perekrutan karyawan,
operasional waralaba X, serta pembukuan waralaba X. Dalam format kerjasama
dengan PT X, franchisee hanya tinggal mengawasi dan mengontrol jalannya
waralaba X tersebut sehingga tidak mengalami kesulitan.
4.2.2 Syarat Menjadi Pemilik Toko Waralaba X
Untuk memiliki waralaba X, calon franchisee juga harus memenuhi beberapa
syarat, yaitu:
- WNI dengan badan Usaha (PT atau CV) yang direkomendasikan oleh PT
X
- Sudah atau akan mempunyai lokasi tempat usaha dengan luas minimal 80
m2
tidak termasuk gudang dan mess karyawan (untuk skema waralaba
toko baru)
- Total keseluruhan lahan antara 150 – 250 m2 (untuk skema waralaba toko
baru)
- Memenuhi persyaratan perijinan (Ijin tetangga; Ijin Domisili; SIUP; TDP;
NPWP & NPPKP; STPUW; IUTM (Untuk daerah tertentu)
- Bersedia mengikuti sistem dan prosedur yang berlaku di PT X
4.2.3 Royalti Dalam Waralaba X
Royalti yang dibayarkan ke PT X dihitung secara progresif, tergantung dari
jumlah penjualan bersih bulanan gerai yang bersangkutan dan belum termasuk
pajak. Persentase progresif adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2: Persentase Pengenaan Royalti Waralaba X
Penjualan Bersih Persentase (Dalam %)
Rp. 0 s/d Rp. 75.000.000 0
Rp. 75.000.001 s/d Rp. 100.000.000 2
Rp. 100.000.001 s/d Rp. 150.000.000 2,5
Rp. 150.000.000 3
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
52 Universitas Indonesia
BAB 5
ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ROYALTI DAN
JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS WARALABA LOKAL
INDONESIA (STUDI KASUS PT X SEBAGAI FRANCHISOR
WARALABA MINIMARKET X)
5.1 Analisis Pemotongan Atas Pajak Penghasilan Royalti Dari Franchisee
Ke PT X Sebagai Franchisor Sesuai Dengan Konsep Royalti Dan Jasa
Teknik.
Dalam kerjasama waralaba antara franchisee dan franchisor, pihak franchisee
memiliki kewajiban untuk membayar royalti kepada franchisor yang besarnya
ditentukan berdasarkan perjanjian awal antara kedua belah pihak. Sebagai contoh
dalam kerjasama PT X dengan franchisee-nya, royalti akan dikenakan besarnya
penjualan yang terjadi selama satu bulan dalam satu waralaba X. Franchisee akan
membayar royalti fee dihitung secara progresif, tergantung dari jumlah penjualan
bersih bulanan minimarket X yang bersangkutan dan belum termasuk pajak.
Menurut Ekotama, biasanya franchisor menghitung nilai royalti dari omset
yang dicapai bisnis franchise-nya. Besarannya antara 1% sampai dengan 15% dari
omset per bulan, tergantung keikhlasan dari franchisor sendiri untuk menghargai
haknya. Biasanya royalti ini dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor setiap
bulannya. Tanggal pembayarannya biasanya sudah ditetapkan oleh franchisor.
Sementara itu Menurut Anang Sukandar, ketua Asosiasi Franchise Indonesia,
keberadaan royalti fee sudah seharusnya dijadikan sumber utama pendapatan
franchisor demi kelangsungan usahanya, karena bagaimanapun juga franchisor
membutuhkan dana tersebut untuk membiayai segala pengeluaran untuk men-
support usahanya seperti: membayar biaya supervisi, biaya monitoring dan biaya
on going asistensi secara terus menerus.
Dalam memberikan penghasilan berupa royalti tersebut, otomatis franchisee
sebagai pemberi penghasilan mempunyai kewajiban untuk memotong pajak
penghasilan dari jumlah penghasilan tersebut. Susuai dengan UU PPh pasal 23,
franchisee wajib memotong pajak berdasarkan jumlah bruto sebesar 15%. Namun
dalam prakteknya, timbul keraguan bahwa dalam penghasilan royalti tersebut
terdapat juga unsur penghasilan yang seharusnya masuk ke dalam penghasilan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
53
Universitas Indonesia
dari jasa teknik. Dalam Bab ini peneliti akan menganalisis apakah penghasilan
tersebut memang sudah merupakan biaya royalti atau terdapat unsur lain berupa
jasa teknik.
5.1.1 Penghasilan Royalti Dalam Format Bisnis Waralaba X
Dalam menganalisis pemotongan royalti oleh franchisee sesuai dengan
konsep dan peraturan yang berlaku, peneliti akan menganalisis melalui konsep-
konsep royalti dari sudut pandang beberapa ahli. Untuk konsep yang pertama,
dapat dilihat dari pengertian royalti menurut Mansury yang mendefinisikan royalti
sebagai penghasilan dari penyerahan paten atau harta tak berwujud lainnya untuk
dipakai oleh pihak lain. Penyerahan untuk dipakai tersebut mungkin diberikan
kepada perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan hak cipta karya ilmiah
dari pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang melakukan
pekerjaan bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten penemu
atau inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli waris
dari sang penemu.
Penjelasan dari Mansury tersebut sejalan dengan pengertian royalti dari sisi
hukum. Dari sisi hukum, secara umum, pengertian royalti adalah:
“Royalty is the consideration paid to the creator of a property,
idea, inventions etc, as a percentage of the revenue collected from
sale of the products created, manufactured or developed using the
idea, inventions or creations made by the creators”.
(http://www.legal-explanations.com/definitions/royalty.htm)
Dari pengertian di atas, seperti halnya pengertian royalti yang dijelaskan oleh
Mansury, yang dimaksud dengan royalti di sini adalah sejumlah bayaran
(imbalan/fee) yang harus dibayarkan kepada creator (pencipta atau penemu) dari
suatu property, ide, penemuan, dan sebagainya, yang dihitung melalui persentase
tertentu dari penghasilan yang didapat atas penjualan produk yang dihasilkan
menggunakan property, ide, penemuan, atau rekaan dari sang creator tersebut.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
54
Universitas Indonesia
Berdasarkan penjelasan di atas, bila dikaitkan dalam format bisnis waralaba,
dalam hal ini antara PT X sebagai franchisor dengan para franchisee nya, PT X
sebagai pencipta atau penemu (creator) merek suatu waralaba X, melakukan
penyerahan atas hak pemakaian merek yang berupa merek waralaba tersebut, yang
merupakan harta tak berwujud (intangible asset) untuk dipakai oleh franchisee
menjalankan usahanya dengan menggunakan merek waralaba tersebut.
Berdasarkan teori tersebut, dapat dikatakan franchisor berhak untuk mendapatkan
penghasilan berupa royalti dari franchisee-nya. Penghasilan tersebut juga
didapatkan atas penjualan produk-produk yang dijual dengan memanfaatkan
format bisnis serta merek waralaba dari franchisor tersebut. Dengan kata lain, PT
X mendapatkan penghasilan royalti karena penggunaan format bisnis waralabanya
oleh franchisee dalam menjual barang.
Berdasarkan penjelasan dari ahli lain, yaitu Rachmanto Surahmat dalam
bukunya yang berjudul ”Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda”
mendefinisikan pemberian hak yang imbalannya berbentuk royalti dengan lebih
spesifik lagi. Menurut Surahmat, royalti adalah pemberian hak untuk
menggunakan suatu intellectual property, yaitu pemilik harta tak berwujud itu
tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan pemakaian hak tersebut. Terdapat
sedikit penambahan dari penjelasan tentang royalti apabila dibandingkan dengan
penjelasan dari Mansury sebelumnya, yaitu adanya tambahan keterangan bahwa
”pemilik harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan
pemakaian hak tersebut”.
Ahli lainnya yaitu Roy Rohatgi, juga mengatakan pendapat yang sejalan
dengan penjelasan dari Surahmat. Rohatgi dalam bukunya menjelaskan bahwa
royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima dari penggunaan hak
untuk menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk pengetahuan tertentu
sesuatu dibawah perizinan. Know-how dalam hal ini adalah pengetahuan tentang
rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang diperlukan untuk
menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan tersebut tidak
disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi pengetahuan tidak
memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
55
Universitas Indonesia
untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut biasanya berdasarkan
persentase dari penjualan atau keuntungan.
Dalam teori menurut Rohatgi dan Surahmat di atas sejalan dengan teori-teori
sebelumnya, namun terdapat penambahan penjelasan yang sangat berpengaruh
yaitu tidak adanya kehadiran pemilik ”know-how” dalam memberikan hak nya
untuk pemakaian ”know-how” tersebut. Rohatgi dalam penjelasannya
menekankan bahwa pemberi pengetahuan ”tidak memberikan bantuan dan
pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai.
Dari penjelasan tentang tidak adanya kehadiran pemilik ”know-how” tersebut
juga dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari royalti seharusnya masuk kedalam
penghasilan pasif (passive income). Jenis penghasilan passive income ini
dijelaskan oleh seorang ahli yaitu Barry Larking:
“A term used generally to describe investment income. The
term may be so used in the context of anti avoidance measures such
as controlled foreign company rules. The term is also used
specifically refer to income from a passive activity such as rental
income or business in which the recipient does not materally
participate.”
Penjelasan dari Larking tersebut menjelaskan bahwa Passive Income adalah
Suatu istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan penghasilan dari
investasi. Istilah tersebut juga sering digunakan dalam konteks anti avoidance
measures seperti peraturan controlled foreign company. Istilah ini juga biasanya
mengacu secara spesifik kepada penghasilan yang didapatkan dari aktifitas pasif
seperti penghasilan dari sewa atau bisnis yang penerima penghasilannya tidak ikut
terlibat.
Dari penjelasan ahli-ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari
royalti adalah penghasilan yang didapatkan karena pemberian hak untuk
menggunakan “know-how”, yang merupakan barang tidak berwujud (intangible
asset) yang dimiliki oleh penerima penghasilan. Dalam memberikan “know-how”
tersebut, pemilik ”know-how” tidak ikut terlibat dalam penggunaan “know-how”
serta tidak memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai dari penggunaannya.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
56
Universitas Indonesia
Jadi dapat disimpulkan bahwa penghasilan royalti dalam format bisnis waralaba
merupakan penghasilan yang bersifat passive income.
Berdasarkan konsep royalti menurut perpajakan di atas, bila dikaitkan dengan
pemakaian merek dagang ”minimarket X” yang dimiliki oleh PT X, maka akan
terdapat suatu perbedaan. Dalam mendapatkan penghasilan dari royalti, PT X
memang memberikan suatu informasi atau “know-how” berupa format bisnis
waralaba X kepada franchisee. Lalu franchisee akan menggunakan format bisnis
serta merek dagang waralaba X untuk menjalankan usahanya berupa waralaba X.
Dalam konteks tersebut, dapat dinyatakan memang penghasilan yang didapat oleh
PT X tersebut adalah penghasilan berupa royalty.
Pada sisi lain, dalam prakteknya ternyata PT X tidak hanya semata-mata
memberikan informasi atau “know-how” kepada franchisee. Dalam prakteknya
ternyata PT X juga memberikan bantuan lain yang berupa bantuan untuk
mendukung jalannya usaha yang menggunakan format bisnis waralaba X tersebut.
Seperti hasil wawancara peneliti dengan Tomy Sugianto selaku Regional
Franchise Manager, beliau mengatakan bahwa penghasilan yang didapatkan dari
royalti yang dibayarkan oleh para franchisee setiap bulannya, digunakan untuk
menjalankan usaha minimarket X yang dimiliki oleh franchisee tersebut. Maksud
dari menjalankan usaha tersebut adalah menjalankan sistem minimarket X
tersebut secara menyeluruh mulai dari perekrutan karyawan sampai dengan
pembukuan minimarket X tersebut.
Berdasarkan keterangan dari Tomy, dapat dikatakan bahwa penghasilan
royalti yang diterima oleh PT X tidak semata-mata murni penghasilan dari royalti
yang seharusnya merupakan penghasilan passive income dan akan dipotong pajak
penghasilan sebesar 15%. Dengan memberikan bantuan untuk menjalankan sistem
minimarket X kepada franchisee, yang biaya nya didapatkan dari penghasilan
royalti tersebut, dapat dikatakan dalam penghasilan royalti tersebut terdapat unsur
jasa teknik.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
57
Universitas Indonesia
5.1.2 Unsur Jasa Teknik Dalam Pemberian Bantuan Pada Format Bisnis
Wralaba PT X
Seperti yang diketahui sebelumnya, dalam bisnis waralaba istilah royalti
sangat melekat dan dapat dikatakan pasti terdapat dalam format bisnis franchise.
Keberadaan pembayaran royalti ini bukan tanpa sebab atau hanya kewajiban
untuk para franchisee. Keberadaan royalti ini ternyata juga ada manfaatnya untuk
para franchisee.
Menurut Bije Widjajanto, salah satu manfaat royalti yang utama bagi
franchisee adalah untuk memperoleh dukungan dari franchisor ketika franchisee
mengalami masalah. Untuk mengatasi masalah operasional ini, franchisor
mempunyai tanggung jawab untuk mencarikan solusi yang efektif sehingga
sasaran-sasaran bisnisnya bias tercapai dan franchisee bisa mendapatkan
keuntungan usaha. Dukungan franchisor dapat bersifat baku dan rutin yang secara
seragam diberikan kepada semua franchisee, atau bisa juga berupa dukungan
tambahan yang diberikan kepada franchisee tertentu ketika mendapatkan masalah
Berdasarkan penjelasan dari teori-teori tentang royalti pada sub bab di atas,
bila dikaitkan dengan format bisnis waralaba PT X, maka akan terdapat suatu
dispute. Karena dalam format bisnis waralaba X, seperti yang dikatakan oleh
Widjajanto, PT X sebagai franchisor ternyata selain memberikan hak atas
penggunaan merek dagang dan formula bisnis (know-how) franchisor juga
mempunyai kewajiban lain yaitu dengan memberikan bantuan kepada franchisee.
Pemberian bantuan kepada franchisee ini juga dijelaskan oleh ahli yaitu
Martin Madelsohn bahwa dalam pemberian sebuah lisensi oleh seorang
(franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada
franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang
franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh
elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih
dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas
dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam penjelasan pemberian hak lisensi menurut Madelsohn di atas, terdapat
penjelasan bahwa dalam menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor,
franchisee akan menjalankan usahanya dengan mendapatkan bantuan yang terus-
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
58
Universitas Indonesia
menerus (berkesinambungan) atas dasar-dasar (perjanjian) yang telah ditentukan
sebelumnya. Bantuan yang dimaksud oleh Madelsohn disini adalah memberikan
berbagai bantuan dan bimbingan scara terus menerus seperti:
- Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk
membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari
konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagan bagi franchisee.
- Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang
lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman.
- Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan-
kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada.
- Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya.
- Riset Pasar.
- Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional
- Peluang-peluang pembelian secara besar-besaran.
- Nasihat dan jasa manajemen dan akunting.
- Penerbitan News Letter.
- Riset mengenai material, proses dan metode bisnis.
Penjelasan dari Madelsohn dan Widjajanto tersebut juga sejalan seperti yang
dikatakan oleh Suryono Ekotama selaku ahli dalam bisnis waralaba. Ekotama
menjelaskan, sebagai seorang pemilik bisnis yang asli, franchisor memiliki
kewajiban utama memberikan supporting management (dukungan manajerial)
kepada para franchisee-nya sejak saat perjanjian franchise ditandatangani sampai
dengan perjanjian franchise tersebut berakhir.
Pemberian bantuan tersebut juga dijelaskan pada PP nomor 42 tahun 2007
tentang waralaba yang menyebutkan bahwa waralaba harus memenuhi 6 (enam)
kriteria yaitu:
1. Memiliki ciri khas usaha.
2. Terbukti sudah memberikan keuntungan.
3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang
dibuat secara tertulis.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
59
Universitas Indonesia
4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan.
5. Adanya dukungan yang berkesinambungan.
6. Hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar.
Dalam kriteria di atas, poin nomor 5 menyebutkan bahwa waralaba
mempunyai kewajiban untuk memberikan dukungan secara terus menerus
(berkesinambungan) kepada franchisee nya dalam menjalankan bisnis tersebut.
Dalam penjelasan poin ke-5 pada PP tersebut dijelaskan bantuan yang diberikan
adalah seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi. Dalam PP tersebut
hanya memberikan contoh bantuan, karena untuk bantuan yang sebenarnya di
lapangan ada bermacam-macam tergantung format bisnis yang dijalankan dan
kesulitan apa yang dialami oleh franchisee.
Bila dilihat dari bantuan yang disebutkan oleh para ahli serta undang-undang
di atas, mengindikasikan bahwa dalam memberikan hak atas pemakaian merek
dagang dan format bisnisnya (know-how), PT X sebagai franchisor ternyata juga
memberikan bantuan lain. Komponen pemberian bantuan yang dilakukan oleh PT
X kepada para franchisee-nya, sesuai dengan wawancara dengan Sugianto dan
Enny contohnya adalah pemberian bantuan dalam hal sebagai berikut:
- Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk
membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari
konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagang bagi franchisee.
- Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang
lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman.
- Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan-
kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada.
- Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya.
- Riset Pasar.
- Nasihat dan jasa manajemen dan akunting.
Riset mengenai material, proses dan metode bisnis.
Pemberian bantuan di atas sesuai dengan bantuan dan bimbingan yang
diutarakan oleh Madelsohn. Pemberian bantuan ini menyebabkan pemberian
”know-how” bukan lagi menjadi murni sebagai passive income yang tidak
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
60
Universitas Indonesia
melibatkan pemilik ”know-how” tersebut dalam menjalankan usaha penerima
know-how. Karena dengan adanya pemberian bantuan di atas, dapat dikatakan PT
X sebagai franchisor memberikan bantuan yang terolong ke dalam jasa teknik.
Pemberian bantuan yang terdapat dalam penghasilan royalti dalam format
bisnis waralaba PT X tersebut ternyata sesuai dengan teori jasa yang dijelaskan
oleh Philip Kotler yang mendefinisikan konsep mengenai jasa. Kotler
menjelaskan, jasa sebagai setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh
salah satu pihak lain yang secara prinsip intangible dan tidak menyebabkan
perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya bisa dan bisa juga tidak terikat
pada suatu produk fisik. Jasa teknik disini juga sesuai dengan penjelasan dari
Webster’s New World Dictionary yang secara umum menjelaskan pengertian jasa
teknik adalah pemberian jasa yang berhubungan dengan keahlian dalam bidang
ilmu pengetahuan yang bersifat khusus, seni, dan sebagainya.
Pemberian bantuan oleh PT X kepada franchisee-nya ini juga sesuai dengan
penjelasan seorang ahli, yaitu A. Noteboom, yang menjelaskan tentang jasa
teknik. Pengertian jasa teknik menurut A. Noteboom, yaitu:
4. Pemberian jasa atau bantuan teknik sehubungan dengan proyek tertentu di
bidang industri
5. Pemberian jasa atau bantuan teknik yang berhubungan dengan produksi
untuk produk tertentu, dan
6. Pemberian jasa atau bantuan teknik dalam bidang manajemen.
Berdasarkan kategori jasa dari A. Noteboom, jasa teknik yang dilakukan oleh
PT X sebagai franchisor kepada franchisee adalah pemberian jasa atau bantuan
yang masuk kedalam jenis jasa teknik karena franchisor memberikan bantuan
sehubungan dengan usaha waralabanya, dan bila di kaitkan dengan PT X, PT X
memberikan bantuan teknik dalam bidang manajemen kepada franchisee-nya.
Adanya bantuan berupa jasa teknik dalam format bisnis waralaba PT X juga
dapat diperkuat dengan melihat pada SE - 35/PJ/2010 yang menjelaskan tentang
jasa teknik. Jasa teknik sebagaimana dimaksud dalam SE - 35/PJ/2010 pada butir
1 huruf b merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
61
Universitas Indonesia
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu
pengetahuan yang dapat meliputi :
a. Pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti
pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
b. Pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti
pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi,
perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
c. Pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang
manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar
dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
Dengan melihat penjelasan dalam SE - 35/PJ/2010 tersebut, PT X dapat
dikatakan memberikan informasi berkenaan dengan pengalaman dalam bidang
waralaba minimarket X. PT X juga memberikan informasi dalam bidang
manajemen, seperti memberikan pelatihan karyawan minimarket X.
Dengan mengetahui bahwa dalam penghasilan dari royalti yang didapatkan
PT X dalam format bisnisnya ternyata terdapat unsur jasa teknik, PT X seharusnya
dapat membedakan penghasilan dari royalti dan komponen penghasilan jasa
teknik, serta memisahkannya. Untuk membedakan pengertian antara royalti dan
jasa teknik, Rahayu membedakannya dengan melihat ciri-ciri dari keduanya
sebagai berikut:
Royalti dari know-how Imbalan Jasa Teknik
1. Pemilik know how tidak ikut serta
dalam mengaplikasikan formula, serta
tidak bertanggung jawab terhadap
hasil yang diperoleh
2. Informasi (know how) diberikan tanpa
kehadiran si pemilik
3. Pembayaran Royalti pada umumnya
didasarkan atas persentase penjualan
(dapat juga bersifat Lump sum)
1. Pemberi jasa ikut serta dalam
pemberian jasa dan bertanggung
jawab terhadap hasil yang diperoleh
2. Jasa teknik pada umumnya diberikan
dengan kehadiran dan keterlibatan
pemberi jasa dalam pemberian jasa
tersebut
3. Pembayaran imbalan jasa teknik pada
umumnya didasarkan atas jumlah jam
kerja (“working hours”) yang
dihabiskan untuk melaksanakan
pemberian jasa tersebut.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
62
Universitas Indonesia
Penjelasan atas perbedaan dari royalti dan jasa teknik oleh Rahayu tersebut
juga sejalan bila dikaitkan dengan penjelasan beberapa ahli di atas sebelumnya.
Perbedaan mendasar yang terdapat antara royalti dan jasa teknik adalah ada atau
tidak-nya kehadiran pemilik ”know-how” dalam penggunaan ”know-how” tersebut
oleh penerima hak. Dalam format bisnis waralaba, pemilik ”know-how” adalah PT
X sebagai franchisor, sedangkan penerima hak untuk menggunakannya adalah
franchisee.
Rohatgi juga memberikan penjelasan dalam membedakan antara royalti
(know-how) dan jasa teknik. Dalam penjelasannya, rohatgi menyebutkan jasa
teknik sebagai penggunaan atas suatu kemampuan khusus untuk mengerjakan
suatu pekerjaan kepada pihak lain dimana pemilik kemampuan tersebut memiliki
tanggung jawab atas hasil pekerjaannya. Rohatgi menjelaskan dalam memberikan
jasa teknik terdapat show-how. Show-how menurut rohatgi adalah proses
memberikan pengetahuan melalui instruksi, pelatihan, pengawasan dan bantuan
teknik lainnya. Pembayaran atas show-how tersebut biasanya berdasarkan pada
keuntungan yang didapatkan oleh penerima jasa.
Berbeda dengan show-how, Know-how dalam hal ini adalah pengetahuan
tentang rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang diperlukan
untuk menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan tersebut tidak
disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi pengetahuan tidak
memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan
untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut biasanya berdasarkan
persentase dari penjualan atau keuntungan.
Dari penjelasan tentang perbedaan yang dijelaskan oleh Rahayu dan Rohatgi
tersebut, dapat dikatakan perbedaan mendasar dari royalti dan jasa teknik ada
pada tanggung jawab atas hasil, kehadiran pemberi jasa, serta dasar
pembayarannya. Berdasarkan penjelasan para ahli di atas juga dapat dikatakan
jasa teknik merupakan jenis penghasilan active income, yaitu penghasilan yang
melibatkan pihak penerima penghasilan dalam mendapatkan penghasilan tersebut.
Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi menjelaskan bahwa active income atau
disebut juga business income dapat dibedakan dari passive income sebagai
berikut:
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
63
Universitas Indonesia
3. Dalam business income, untuk konteks orang pribadi, penghasilan
diperoleh melalui suatu kegiatan yang dilakukan oleh prang pribadi yang
melakukan pekerjaan bebas,
4. Sedangkan business income untuk konteks perusahaan, penghasilan
diperoleh melalui suatu kegiatan bisnis.
Dengan penjelasan mengenai teori tentang jasa teknik di atas, dapat dikatakan
bahwa penghasilan yang didapat oleh PT X sebagai franchisor dari royalti yang
dibayarkan oleh franchisee bukan murni merupakan penghasilan dari royalti yang
merupakan passive income tetapi juga terdapat unsur jasa teknik yang merupakan
active income, yang diberikan franchisor kepada franchisee dalam rangka
mendukung usahanya yang berkaitan dengan penggunaan ”know-how” tersebut.
Karena jasa teknik tergolong dalam activve income, maka sudah seharusnya
dipotong pajak lebih kecil dari passive income, karena untuk mendapatkan
penghasilan dengan active income, membutuhkan lebih banyak usaha dan biaya
yang dikeluarkan dalam penyelesaian pekerjaan tersebut. Karena itu, terdapat
perbedaan tarif pemotongan antara royalti (passive income) sebesar 15%
sedangkan jasa teknik (active income) sebesar 2%. Terdapat selisih perbedaan
sebesar 13% karena perbedaan jenis penghasilan.
5.1.3 Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis
Waralaba PT X
Dari analisis mengenai royalti dalam format bisnis franchise, dapat diketahui
bahwa ternyata penghasilan atas royalti dalam format bisnis franchise tidak murni
hanya dari pemberian ”know-how”, tetapi juga mengandung unsur penghasilan
yang tergolong dengan jasa teknik dalam rangka menunjang pemberian ”know-
how”. Hal ini tentunya akan mendorong terjadinya kesalahan wajib pajak dalam
melakukan pemotongan pajak. Kesalahan yang cenderung dilakukan oleh wajib
pajak adalah salah dalam menentukan tarif pajak, termasuk ke dalam pemotongan
royalti atau jasa teknik.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
64
Universitas Indonesia
Untuk menentukan pemotongan penghasilan yang seharusnya dilakukan oleh
franchisee kepada franchisor, peneliti akan merujuk kepada ketentuan Undang-
undang no. 36 tahun 2008. Dalam UU PPh tersebut pengertian royalti terdapat
dalam pasal 4 (1) huruf h. Dalam penjelasannya UU PPh menjelaskan royalti
sebagai berikut:
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai
imbalan atas:
1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses
rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau
hak serupa lainnya.
2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah.
3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial.
4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan
atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa.
b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi.
5) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
dan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
65
Universitas Indonesia
6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual / industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
Dalam penjelasan undang-undang pajak penghasilan di atas, menurut Gunadi
dalam wawancara dengan peneliti, terdapat kelemahan dalam penjelasan
mengenai bantuan untuk royalti tersebut. Terutama pada perubahan atau tambahan
3 poin baru yaitu poin 4, 5, dan 6 pada UU no. 36 tahun 2008 terebut. 3 poin
tersebut merupakan tambahan dari perubahan UU PPh tahun 2000. Tujuan dari
penambahan penambahan ketiga poin tersebut adalah untuk lebih mempertegas
posisi penghasilan dari royalti dalam undang-undang perpajakan yang berlaku.
Namun, dalam kenyataannya penambahan peraturan tersebut belum cukup mampu
untuk menjelaskan secara terperinci tentang posisi dari royalti tersebut, khususnya
dalam format bisnis waralaba.
Hal ini disebabkan oleh penjelasan pada poin ke-4 yang menjelaskan tentang
pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penghasilan
royalti tersebut. Dalam poin ke-4 terebut dinyatakan:
”Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan
dengan...................berupa:
a. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
b. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau
rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio
yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa.
c. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh
spektrum radio komunikasi.”
Dalam poin ke-4 Undang-undang di atas menjelaskan tentang pemberian
bantuan untuk mendukung pemberian hak atas royalti yang dimasukkan ke dalam
kategori royalti. Dalam pemberian bantuan tersebut dijalaskan secara spesifik
bantuan yang seperti apa yang dikategorikan sebagai bantuan untuk royalti dan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
66
Universitas Indonesia
dalam pemotongannya akan digabungkan ke dalam penghasilan royalti. Namun,
dalam penjelasan undang-undang tersebut tidak dijelaskan mengenai bantuan
dalam bentuk jasa teknik. Hal ini tentu sangat disayangkan, apabila melihat dalam
format bisnis waralaba terdapat jasa teknik yang diberikan dalam memberikan hak
atas merek dagang yang dipakai oleh franchisee.
Hal tersebut juga dipertegas dengan wawancara kepada Gunadi sebagai
narasumber akademisi. Dalam wawancara tersebut, Gunadi mengatakan bahwa
poin penambahan terutama poin ke-4 dalam undang-undang PPh tersebut
maksudnya tidak jelas dan kurang mencakup seluruh bantuan dalam royalti itu
sendiri. Karena dalam poin ke-4 Undang-undang tersebut, dijelaskan dengan kata
”berupa” yang mengakibatkan bantuan tersebut hanya meliputi bantuan yang ada
di dalam undang-undang tersebut saja. Padahal dalam praktiknya, bantuan yang
diberikan untuk menunjang royalti tersebut ada banyak macamnya, seperti
bantuan berupa jasa teknik yang dilakukan dalam format bisnis waralaba di PT X.
Dengan begitu, apabila mengacu pada penjelasan pasal 4 (1) tersebut, bantuan
yang dilakukan oleh franchisor kepada franchisee yang termasuk kedalam
bantuan yang berupa jasa teknik tidak dapat dikatakan sebagai pemberian bantuan
tambahan atau pelengkap sehubungan dengan pemberian ”know-how” seperti
yang dijelaskan dalam pasal tersebut. Hal ini dikarenakan dalam pasal tersebut,
bantuan yang dimaksud dijelaskan secara spesifik dengan kata-kata ”berupa”.
Namun dalam penjelasannya tidak disebutkan mengenai jasa teknik.
Setelah menentukan posisi royalti dan jasa teknik pada pasal 4 (1), maka
dapat ditentukan tarif pemotongan pajaknya pada UU PPh pasal 23 ayat 1 huruf a
dan c. Pada pasal 23 (1) huruf a, ditentukan untuk penghasilan yang termasuk
royalti, akan dikenakan tarif pajak sebesar 15% dari jumlah bruto dan tidak
bersifat final. Sedangkan untuk jasa teknik, akan dikenakan tarif pemotongan
pajak sebesar 2% dari jumlah bruto dan tidak bersifat final.
Melihat dari pasal 23 tersebut, dapat terlihat perbedaan tarif yang cukup
signifikan. Untuk royalti 15% sedangkan untuk jasa teknik sebesar 2%. Terdapat
selisih sebesar 13% dari kedua tarif di atas. Perbedaan tarif antara royalti dan jasa
teknik tersebut dikarenakan perbedaan cara mendapatkan kedua penghasilan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
67
Universitas Indonesia
tersbut. Tarif pemotongan royalti jauh lebih besar dari tarif pemotongan jasa
teknik karena untuk mendapatkan penghasilan dari royalti, penerima penghasilan
tidak perlu melakukan pekerjaan apapun atau disebut juga sebagai passive income.
Sedangkan untuk mendapatkan penghasilan berupa jasa teknik, penerima
penghasilan harus ikut serta melakukan suatu pekerjaan dalam rangka
mendapatkan penghasilan tersebut.
Perbedaan tarif tersebut tentu akan sangat merugikan suatu pihak apabila
terjadi kesalahan pengenaan tarif pajak. Sayangnya dalam praktiknya, franchisor
dan franchisee selalu menggabungkan semua penghasilan tersebut menjadi satu,
dengan nama penghasilan royalti. Dengan begitu, sering terjadi kesalahan dalam
pemotongan pajak penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba karena
menggabungkan royalti dan jasa teknik ke dalam satu invoice. Oleh karena itu,
dalam prakteknya para pelaku bisnis harus dapat memisahkan komponen
pembayaran tersebut dan memisahkan invoice masing-masing. Dengan
memisahkan antara invoice royalti dan invoice jasa teknik secara terpisah, maka
pembedaan tarif pemotongan pun dapat dilakukan.
5.1.4 Pemotongan Pajak Atas Royalti Terkait Dengan Kebijakan Pajak.
Kesalahan dalam pemotongan penghasilan jasa teknik tersebut tentunya tidak
sejalan dengan konsep kebijakan pajak. Kesalahan tersebut akan menimbulkan
ketidak adilan dalam pemungutan perpajakan. Tentu saja hal itu menjadi tidak
sejalan dengan azas-azas perpajakan. Azas perpajakan tersebut adalah azas yang
menurut Mansury dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip dasar yaitu jumlah
penerimaan yang memadai (revenue adequacy principle) yang merupakan
kepentingan pemerintah dalam hal ini menekankan bidang penerimaan pajak
menjadi yang utama sesuai dengan fungsi budgeter. Prinsip kedua adalah
keadilan (the equity principle) yang merupakan kepentingan masyarakat yang
selalu cenderung mengutamakan keadilan dalam setiap pemungutan pajak.
Kemudian prinsip yang ketiga adalah kepastian (the certainty principle) adalah
untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat yang sudah pasti akan menuntut
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
68
Universitas Indonesia
adanya kepastian dalam penerapan kebijakan pajak melalui kepastian hukum yang
tertuang dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Menurut Mansury, ketiga azas itu seharusnya dipegang teguh oleh sistem
Pajak Penghasilan Indonesia. Pemerintah harus membuat sistem yang seimbang
dan memperhatikan semua kepentingan. The Revenue Adequacy Principle adalah
kepentingan Pemerintah. The Equity Principle adalah kepentingan masyarakat
dan The Certainty Principle adalah untuk kepentingan Pemerintah dan
Masyarakat.
Dengan demikian, dalam penentuan kebijakan pajak yang baik harus selalu
memperhatikan kepentingan pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.
Kebijakan pajak sebaiknya harus dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
hukumnya agar menimbulkan kepastian serta kemudahan dalam pelaksanaan
pemungutan pajak. Namun demikian pemilihan berbagai alternatif dalam
kebijakan pemungutan pajak dengan memberikan kemudahan dalam administrasi
pemungutan pajak bukan berarti harus mengorbankan azas keadilan dari pajak.
Sesuai dengan penjelasan Mansury, apabila melihat pada pemotongan pajak
penghasilan atas royalti dalam format bisnis franchise, dalam hal ini kebijakan
perpajakan yang dibuat oleh pemerintah belum mencakup semua azas perpajakan.
Karena dalam pemotongan pajak atas penghasilan royalti dalam format bisnis
franchise belum terlihat terpenuhinya azas The Certainty Principle. Hal ini dapat
terlihat dari masih bingungnya para wajib pajak dalam bisnis waralaba dalam
menentukan pemotongan pajak atas penghasilannya.
Kurangnya azas kepastian ini juga semakin terlihat karena para petugas
pemeriksa pajak pun tidak menjadikan kesalahan pemotongan pajak tersebut
kedalam koreksi fiskal. Hal ini didapat dari wawancara peneliti dengan Enny
Agustianty Jacob selaku Franchise Support General Manager di PT X. Enny
mengatakan bahwa selama ini pihaknya selalu memotong penghasilan tersebut
menjadi satu dengan pemotongan pajak atas royalti sebesar 15%. Selama ini, tidak
pernah ada masalah ataupun koreksi yang dilakukan oleh petugas pajak. Hal ini
memperlihatkan bahwa petugas pajak sepertinya masih belum memahami konsep
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
69
Universitas Indonesia
dari royalti dalam perpajakan. Otomatis azas kepastian ini pun tidak akan dapat
tercapai.
Dengan tidak tercapainya azas kepastian tersebut, tentunya akan berpengaruh
kepada azas keadilan atau azas The Equity Principle. Dalam hal ini ketidakadilan
akan dialami oleh franchisor sebagai pihak yang dipotong karena terpaut selisih
tarif yang cukup besar yaitu sebesar 13% dari yang seharusnya dipotong (sesuai
pasal 23 UU PPh). Keadilan tersebut, bila dilihat dari konsep yang dijelaskan oleh
Mansury, tidak tercapai karena belum dapat memenuhi kriteria keadilan
horizontal dan keadilan vertikal.
Kriteria keadilan horizontal yang belum terpenuhi khususnya adalah kriteria
kelima yang dijelaskan oleh Mansury, khususnya keadilan horizontal poin kelima
(lihat bab 2). Isi poin tersebut adalah semua tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima Wajib Pajak harus dikenakan pajak dan atas Wajib Pajak yang
menerima tambahan kemampuan ekonomis yang sama seyogjanya dikenakan
pajak dengan persentase tarif pajak yang sama. Hal ini belum tercapai karena para
wajib pajak dalam bisnis waralaba ternyata masih dikenakan tarif pajak sebesar
15% (tarif untuk royalti) dalam pemotongan penghasilan yang tergolong sebagai
jasa teknik yang seharusnya hanya dikenakan 2%.
5.2 Dampak Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis
Waralaba PT X
Dalam penelitian ini, karena keterbatasan data yang diberikan oleh PT X,
maka peneliti akan menganalisis dampak yang terjadi karena pemotongan pajak
atas royalti terhadap PT X dengan menggunakan simulasi perhitungan
menggunakan angka perkiraan. Perkiraan angka ini diolah oleh peneliti dengan
dasar jumlah gerai waralaba X yang dijadikan franchise oleh PT X. Sesuai data
yang diperoleh, jumlah gerai franchise waralaba X pada saat peneliti melakukan
wawancara adalah 1759 gerai. Jumlah ini kurang lebih sekitar 30% dari seluruh
total gerai waralaba X di seluruh Indonesia.
Dari 1759 gerai waralaba X tersebut, sesuai dengan konsep yang diterapkan
oleh PT X, franchisee akan diberikan kewajiban untuk memberikan royalti yang
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
70
Universitas Indonesia
diambil dari penjualan bersih yang terjadi dalam setiap bulannya di waralaba X
tersebut. Dari penjualan bersih tersebut, akan dikenakan royalti berdasarkan
persentase secara progresif, tergantung dari besarnya penjualan bersih. Untuk
memperkirakan pendapatan royalti yang diterima oleh PT X, peneliti akan
mengambil persentase yang berada di tengah, yaitu 2% dari Rp. 100.000.000,-.
Disini peneliti akan menganggap rata-rata penghasilan dari setiap waralaba X
adalah 100 juta, dan akan dikenakan 2% untuk royalti. Berarti dari setiap
franchise waralaba X, PT X akan mendapatkan Rp. 2.000.000,- setiap bulannya.
Dari perolehan Rp. 2.000.000,- setiap waralaba, dapat diketahui PT X akan
mendapatkan royalti sekitar Rp. 3.518.000.000,- setiap bulannya dari seluruh
franchise waralaba X.
Dari penghasilan royalti sebesar Rp. 3.518.000.000,- tersebut, sesuai dengan
UU PPh pasal 23 dan keterangan dari Enny, PT X akan dipotong pajak
penghasilan sebesar 15% setiap bulannya. Besarnya pemotongan pajak atas royalti
PT X setiap bulannya adalah Rp. 527.700.000,-. Ini berarti apabila PT X tidak
memisahkan komponen bantuan berupa jasa teknik yang terdapat dalam
penghasilan royalti tersebut, PT X akan dipotong pajak penghasilan setiap
bulannya Rp. 527.700.000,-
Jumlah waralaba X = 1759
Perkiraan rata-rata penghasilan = Rp. 100 juta
Tarif Persentase untuk Royalti = 2%
Penghasilan PT X dari Royalti per bulan = Rp. 3.518.000.000,-
Jumlah pemotongan pajak atas royalti (tarif 15%) = Rp. 527.000.000,-
Dari hasil wawancara dengan pihak dari PT X, dikarenakan rahasia
perusahaan dan tidak dapat ditunjukkan kepada umum, peneliti tidak bisa
mendapatkan biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh PT X untuk memberikan
bantuan supporting management. Dari perolehan jasa royalti tersebut, peneliti
akan memperkirakan bahwa 50% dari penghasilan yang didapat dari penghasilan
royalti adalah penghasilan yang terdapat komponen pemberian bantuan berupa
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
71
Universitas Indonesia
jasa teknik yang dilakukan oleh PT X kepada para franchisee nya, atau disebut
juga supporting management.
Dengan memperkirakan 50% penghasilan dari royalti adalah komponen
penghasilan dari jasa teknik, maka seharusnya pemotongan pajak PT X akan
terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian adalah untuk komponen penghasilan
yang benar-benar sebagai penghasilan dari royalti yaitu sebesar Rp.
1.759.000.000, akan dikenakan tarif 15% sesuai dengan UU PPh pasal 23. Maka
akan didapatkan angka sebesar Rp. 263.850.000,-.
Sedangkan satu bagian lainnya adalah penghasilan yang merupakan
komponen dari penghasilan atas supporting management sebesar Rp.
1.759.000.000, sesuai dengan UU PPh pasal 23 akan dikenakan tarif untuk jasa
teknik sebesar 2%. Maka akan didapatkan angka sebesar Rp. 35.180.000. Maka
Total pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan dari royalti yang diterima
oleh PT X seharusnya adalah Rp. 299.030.000 (Rp. 263.850.000 + Rp.
35.180.000).
1. Penghasilan Total Dari Royalti per Bulan = Rp. 3.518.000.000,-
2. Penghasilan Murni Dari Royalti (50%) = Rp. 1.759.000.000,-
3. Tarif Pemotongan Pajak PPh 23 15% = Rp. 263.850.000,-
4. Penghasilan Komponen Jasa Teknik (50%) = Rp. 1.759.000.000,-
5. Tarif Pemotongan Pajak PPh 23 2% = Rp. 35.180.000,-
6. Jumlah Pemotongan Pajak Penghasilan per Bulan = Rp. 299.030.000,- (3+5)
Dari contoh perhitungan di atas, dapat terlihat perbedaan apabila PT X
mengeluarkan komponen penghasilan yang termasuk kedalam jasa teknik.
Apabila PT X tidak mengeluarkan komponen jasa teknik dalam penghasilan
royaltinya, maka jumlah pemotongan pajak PT X setiap bulan adalah sebesar Rp.
527.700.000. Sedangkan apabila PT X dapat mengeluarkan komponen jasa teknik
yang terdapat dalam penghasilan royalti, maka jumlah pemotongan pajak PT X
akan berkurang menjadi Rp. 299.030.000.
Dari perhitungan di atas dapat diketahui PT X dapat menghemat pemotongan
pajaknya sebesar Rp. 228.670.000 untuk setiap bulannya. Namun seperti yang
dikatakan oleh Enny dalam wawancara dengan peneliti, bahwa perbedaan tersebut
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
72
Universitas Indonesia
hanya masalah timing different atau masalah waktu saja. Hal ini dikarenakan
pemotongan yang dikenakan pada penghasilan PT X dapat dikreditkan pada akhir
tahun pembukuan. Akan tetapi, pemotongan pajak ini akan berpengaruh kepada
cash flow dan mempengaruhi cost of money perusahaan.
Seperti yang dijelaskan oleh Brigham dan Ehrhardt, terdapat 4 faktor
terpenting yang mempengaruhi cost of money yaitu kesempatan produksi
(production opportunities), preferensi waktu konsumsi (time preferences for
consumption), resiko (risk), dan inflasi (inflation). (Brigham, Ehrhardt: 2005: 15)
Dengan menunda pembayaran pemotongan pajak penghasilan, PT X akan
mendapatkan preferensi waktu atas uang yang akan dipotong pajak. Dengan
mendapatkan preferensi waktu untuk membayarkan pajak pada akhir tahun, maka
PT X akan mendapatkan kesempatan produksi dengan uang yang ada, dan
otomatis akan meningkatkan penjualan dan laba perusahaan.
”A dollar in hand today is worth more than a dollar to be
received in the future because, if you had it now, you could invest it,
earn interest, and end up with more than a dollar in the future”
(Brigham, Ehrhardt: 2005: 39)
Maksudnya adalah uang yang kita miliki saat ini nilainya lebih berharga daripada
yang kita miliki di masa akan datang. Karena apabila kita memiliki uang itu
sekarang, kita dapat menggunakan uang itu untuk berinvestasi, atau mendapatkan
bunga dari bank yang akan mengembangkan nilai uang tersebut.
Dengan menunda pembayaran pajak sebesar Rp. 228.670.000, pada setiap
bulannya, berarti PT X mempunyai dana tunai yang bersifat liquid sebesar jumlah
tersebut. Dana tunai tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengembangkan
usahanya sendiri. Dengan dana sebesar itu, PT X dapat membuka satu cabang
waralaba X dengan perkiraan biaya sebesar Rp. 410.000.000,-. Dengan begitu
perkembangan usaha waralaba X akan semakin meningkat tajam.
Dengan simulasi perhitungan di atas, dapat dikatakan pemisahan komponen
penghasilan tersebut akan sangat bermanfaat bagi PT X sebagai franchisor. Akan
tetapi, menurut Enny pada saat wawancara dengan peneliti, PT X sepertinya
belum dapat melakukan pemisahan komponen penghasilan tersebut. Menurut
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
73
Universitas Indonesia
Enny, dengan untuk melakukan pemisahan komponen penghasilan tersebut
memerlukan perhitungan yang cermat agar mendapatkan formulasi yang tepat.
Sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Enny, diketahui PT X masih
menggabungkan penghasilannya kedalam suatu nama yang disebut dengan royalti.
Menurut Enny, penggabungan seluruh penghasilan itu dilakukan dengan tujuan
agar memudahkan pada saat melakukan pemotongan pajaknya. Karena jelas untuk
royalti akan dikenakan pajak sebesar 15% menurut UU PPh Pasal 23, dan tidak
mengundang pemeriksa untuk melakukan koreksi fiskal. Selain itu, untuk
melakukan perhitungan tersebut, tentunya akan memakan banyak waktu dan
tenaga. Untuk melakukan pemisahan tersebut diperlukan orang yang mengerti
konsep perpajakan dan konsep format bisnis franchise pada PT X. Apabila
melihat sumber daya manusia yang dimiliki oleh PT X, pemisahan tersebut
sepertinya akan sulit untuk dilakukan. Pada sisi lain, Enny juga menyebutkan
apabila dipaksa untuk melakukan pemisahan tersebut, takutnya akan berdampak
pada sulitnya saat dilakukan pemeriksaan.
Kekhawatiran Enny pada saat dilakukan pemeriksaan bukan tanpa alasan.
Dalam wawancaranya Enny mengatakan “Tenaga nya juga tidak ada. Lalu tidak
semua franchisee kita juga memiliki konsultan yang bisa fight”. Karena itu
menurut Enny, PT X akan mencari jalan aman agar tidak dipersulit pada saat
dilakukan pemeriksaan oleh pemeriksa pajak karena dari pihak PT X tidak ada
pegawai yang bisa memberikan argument terkait dengan pajak secara mendalam.
Dengan mencari jalan aman seperti itu, Enny juga mengatakan sudah
merasakan banyak manfaatnya. Menurutnya, dengan memilih untuk mengenakan
tarif yang paling besar dalam pemotongan pajaknya, pemeriksaan yang dilakukan
oelh pemeriksa juga tidak memakan waktu yang lama. Bahkan Enny juga
menambahkan, karena tidak adanya temuan yang ditemukan oleh pemeriksa,
pemeriksa itu justru meminta untuk diberikan temuan dalam pemeriksaannya.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
74 Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari uraian pada bab-bab sebelumnya
adalah sebagai berikut:
1. Pemotongan yang dilakukan oleh franchisee kepada PT X sebagai
franchisor yang memiliki “know-how” atas penghasilan royalti ternyata
belum sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik.
a. Ketidaksesuaian dalam pemotongan penghasilan royalti
tersebut disebabkan adanya bantuan yang diberikan PT X
sebagai franchisor kepada franchisee dalam menjalankan
usaha waralaba X yang menggunakan “know-how” dari PT X
dan menyebabkan penghasilan dari royalti tersebut tidak lagi
murni sebagai penghasilan dari passive income seperti
penjelasan dalam konsep perpajakan yang menyebutkan
bahwa pemilik harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur
tangan dan bertanggung jawab atas hasil dari pelaksanaan
pemakaian hak tersebut.
b. Perumusan bantuan yang termasuk penghasilan royalti yang
diatur dalam pasal 4 (1) huruf h dalam UU no. 36 tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan belum sempurna. Dapat dikatakan
demikian karena dalam penjelasan undang-undang tersebut,
terdapat keterbatasan penentuan jenis bantuan yang tergolong
sebagai royalti. Sehingga karena adanya keterbatasan
tersebut, bantuan berupa jasa teknik yang terdapat dalam
format bisnis waralaba, khususnya format bisnis waralaba PT
X, belum dapat dikategorikan sebagai bantuan yang termasuk
sebagai bagian dari royalti. Hal ini tentunya menciptakan
keragu-raguan pada pelaku bisnis dalam melakukan
pemotongan pajak.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
75
Universitas Indonesia
2. Sebagai pelaku bisnis waralaba, PT X juga mengalami kebingungan pada
saat melakukan pemotongan pajak atas penghasilan dari royalti tersebut.
Hal ini menimbulkan dampak pada pengambilan keputusan oleh PT X
(yang melaksanakan pembukuan atas keuangan franchisee) untuk
memotong pajak penghasilan atas royalti dengan tarif yang paling besar.
PT X memasukkan bantuan kepada franchisee yang merupakan
komponen jasa teknik menjadi bagian dalam royalti dan dipotong dengan
UU PPh pasal 23 dengan tarif 15%, sehingga dampaknya adalah PT X
melakukan pemotongan lebih besar daripada yang seharusnya. Karena
dampak tersebut, PT X mengalami kerugian dari sisi cost of money.
PT X memutuskan untuk mengambil tindakan sedemikian rupa
dengan pertimbangan kemudahan administrasi karena kurangnya sumber
daya manusia pada PTX, serta mempertimbangkan untuk menghindari
kesulitan pada saat dilakukan pemeriksaan oleh fiskus karena PT X
menilai bila nanti terdapat temuan pajak yang dilakukan oleh fiskus, PT X
tidak mempunyai pegawai yang dapat memberikan argumentasi kepada
fiskus.
6.2 Saran
1. PT X sebaiknya segera memisahkan komponen penghasilan antara
penghasilan dari royalti dan jasa teknik dengan memisahkan invoice
antara keduanya. PT X juga harus mencari sumber daya manusia yang
berkompeten, dan dapat melakukan pemisahan serta pembedaan antara
penghasilan dari royalti dan komponen penghasilan yang merupakan jasa
teknik. Pemisahan itu akan sangat berguna untuk perkembangan usaha PT
X. Selain lebih menguntungkan dari segi cost of money dan
perkembangan perusahaan, pemisahan tersebut juga menjadikan PT X
sebagai Wajib Pajak yang melakukan pemotongan pajak dengan benar.
2. Pemerintah sebaiknya melakukan revisi terhadap undang-undang yang
mengatur mengenai penjelasan royalti. Revisi yang dilakukan dapat berupa
penambahan jasa teknik sebagai jenis bantuan yang dapat dikategorikan
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
76
Universitas Indonesia
sebagai bagian dari royalti, atau dengan menerbitkan PER atau PP. Revisi
tersebut juga dapat dilakukan dengan cara menghilangkan kata “berupa”
pada penjelasan pasal 4 (1) huruf h dengan kata lain misalnya “contohnya”
agar cakupan penjelasan tersebut menjadi lebih luas. Dapat juga dengan
tidak memberikan contoh, melainkan menjelaskan bahwa setiap bantuan
yang dilakukan dalam rangka membantu royalti merupakan bagian dari
royalti tersebut.
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
77 Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Buku :
Brigham, Eugene F & Ehrhardt, Michael C. 2005. Financial Management:
Theory and Practice Twelfth Edition. South-Western Cengage Learning.
United State Of America.
Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approaches. London: Sage Publication, Inc.
Darussalam, John Hutagaol, Danny Septriadi. 2010. Konsep Dan Aplikasi
Perpajakan Internasional. Danny Darussalam Tax Center (PT Dimensi
Internasional Tax). Jakarta.
Gunadi, 2005. Akuntansi Perpajakan: Sesuai Dengan UU Pajak Baru.
Grasindo. Jakarta
Irawan, Prasetya. 2004. Logika dan Prosedur Penelitian Pengantar Teori dan
Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula.
Jakarta: STIA LAN press.
Madelsohn, Martin. (1993). Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan
Franchisee. PT. Ikrar Mandiriabadi
Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan
Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP 4).
__________. (2000). Pembahasan Mendalam Pajak Atas Penghasilan. Jakarta
__________. (1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia.
Jakarta: Bina Rena Pariwara
Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan,
Implementasi, dan Kontrol, Jilid 1. Jakarta: Prenhallindo.
Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi penelitian kualitatif edisi revisi.
Bandung, remaja rosdakarya
Mulyono, Djoko. 2009. Akuntansi Pajak Lanjutan. Yogyakarta: C.V. Andi
Offset
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
78
Universitas Indonesia
Novitasari, Dyna. (2010). 50 Waralaba Potensial Di Bawah 10 Juta.
Yogyakarta: G- Media
Raharja, Prathama. 2004. Teori Makro Ekonomi: Suatu Pengantar, Edisi
Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Rahayu, Ning & Santoso, Iman. (2007). Bunga Rampai Perpajakan Indonesia.
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Rohatgi, Roy. (2005). Basic International Taxation Volume 1: Principles,
London : BNA International Inc.
___________. (2005). Basic International Taxation Volume 2: Principles,
London : BNA International Inc.
Shome, Parthasarathi. (1995). Tax Policy Handbook. Washington DC: Tax
Policy Division, Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund.
Surahmat, Rachmanto. (2000). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tarbutton, Lloyd T. (1986). Franchising: The How-To Book. Prentice-Hall
Widjajanto, Bije. (2009). Cara Aman Memulai Bisnis. Grasindo
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang
Waralaba
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 35/PJ/2010 Tentang
Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan
Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
Sumber Kajian Literatur :
Aulia, Dini. (2002). Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis Franchise Di
Indonesia (Suatu Analisa Kontrak Franchise antara Le France –
franchisor Perancis – dengan PT. X – Franchisee Indonesia –
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
79
Universitas Indonesia
terhadap praktik penghindaran pajak dan azas kepastian hukum).
Universitas Indonesia.
Rahayu, Ning. (1998). Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti Dan Imbalan
Jasa Teknik: Baik Berdasarkan Ketentuan Domestik Maupun
Perjanjian Internasional (Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan
Kepastian Hukum Dan Mencegah Penghindaran Pajak).
Universitas Indonesia.
Sumber Elektronik
http://www.anggaran.depkeu.go.id
http://www.franchiseindonesia.org/
http://www.swa.co.id,
http://www.legal-explanations.com/definitions/royalty.htm
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012