25
Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 1

Syarifudin, pemberdayaan wakaf produktif, 3 mei 2014

Embed Size (px)

Citation preview

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 1

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 2

PEMBERDAYAAN WAKAF PRODUKTIF DALAM

MENINGKATKAN KAPASITAS PEREKONOMIAN DI MALUKU

Oleh: Dr. Syarifudin

A. LATARBELAKANG.

Tak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan wakaf produktif di Maluku telah

menjadi bagian dari sistem perekonomian di Indonesia, fakta ini tampak adanya BWI

(Badan Wakaf Indonesia) perwakilan di Maluku yang berorientasi dalam

meningkatkan dan memperbaiki sistem kapasitas perekonomian di Maluku. Gambaran

perdangan di Maluku khususnya di kota Ambon jumlah pedagang kecil 547,

pedangang menengah 270 dan pedangang besar 115. Dari jumlah ini pemberdayaan

wakaf produktif belum tercatat dalam bagian sistem ekonomi di Maluku sehingga

pemberdayaan wakaf produktif sangat urgent di Maluku untuk menjadi bagian dari

regulasi sistem perekonomian di Provinsi Maluku.

Dari gambaran pedangan ini wakaf produktif

belum termasuk dalam data statistik sehingga

peran-peran wakaf produktif di Maluku khsusunya

di kota Ambon perlu ditingkatkan untuk

menggerakkan ekonomi di Maluku.

Menurut data Maluku Dalam Angka yang di kelolah oleh Balai Pusat Statistik

(BPS) Provinis Maluku bahwa pada tahun 2012 pertumbuhan jumlah penduduk

mencapai 1.457.076 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk dari 11 Kabupaten/Kota,

nampak laju pertumbuhan juga sangat meningkat. Sementara jumlah penduduk kota

Ambon sebesar 284.809. Dari jumlah ini pencari kerja sebanyak 17.859 orang terdiri

dari laki-laki 7.784 orang dan perempuan sebanyak 10.075 orang. Jumlah pencari

kerja tersebut jika presentasiakan muslim 31,7% maka jumlah pencari kerja yang

beragama Islam sebesar 8.395 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Keadaan ini perlu pemberdayaan wakaf produktif untuk mencegah keresahan dan

gesekan sosial akibat minimnya ruang kerja dengan jumlah pengangguran .

Untuk mencegah terjadinya benturan-benturan psikologis yang tajam itu

membutuhkan regulasi sistem wakaf produktif sebagai media untuk mencegah

terjadinya pergolakan sosial di Maluku. Wakap produktif adalah buah pikiran para

ulama yang memiliki peran strategis bagi penduduk muslim di Maluku untuk menjadi

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 3

garda terdepan menggerakkan ekonomi umat melalui wakaf produktif. Berdasarkan

pemikiran tersebut maka diperlukan pembinaan wakaf produktif bagi Kaupaten Kota

yang ada di Provinsi Maluku untuk meminimalisasi jumlah pencari kerja yang

berjumlah 8.395 orang. Realitas inilah yang melatarbelakangi perlu pembinaan wakaf

produktif bagi masyarakat Maluku untuk memberikan wawasan dalam

meminimalisasi jumlah pengangguran di Provinsi Maluku melalui wakaf produktif.

Persoalan kemunduran ekonomi umat di Maluku salah satu aspeknya akibat

pengelolaan wakaf produktif belum dikembangkan secara profesional dan akuntabel

sesuai standar pelayanan publik. Faktor inilah yang menyebabkan kondisi pembinaan

wakaf produktif di Provinsi Maluku belum maksimal memberikan kontribusi terhadap

perbaikan regulasi ekonomi di Maluku. Selain itu mazhab ekonomi kapitalis sanga

mendominasi alam pikiran pelaku ekonom di Maluku yang spiritnya berkiblat pada

kecenderungan nafsaha yang sangat dominan.

Jika pemberdayaan wakaf produktif ini dapat dilakukan secara maksimal maka

dapat memberikan wawasan dalam aspek pemahaman tentang kunci pengelolaan

wakaf produktif, manajemen sistem informasi wakaf produktif, dan cara

pengembangan wakaf produktif berbasis masjid. Kegiatan ini diharapkan dapat

meningkatkan ekonomi kerakyatan di Provinsi Maluku sebagai solusi efektif

menggunakan harta sesuai dengan fungsi dan terminologi Al-Quran dan Sunnah. Atas

dasar inilah sehingga workshop pembinaan wakaf produktif sangat strategi diberikan

kepada masyarakat di Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku.

Asumsi teologis mengungkapkan bahwa ketika masyarakat kurang memahami

dan mengetahui pengelolaan, pemanfaatan wakaf secara baik maka ia dapat

meningkatkan kriminalitas dan berpotensi melahirkan kesenjangan sosial di tengah

masyarakat.

Proposisi ini ketika mencermati kondisi penyuluhan perwakafan di

Maluku selama lima tahun terakhir ada kecenderungan kesenjangan tersebut akibat

rendahnya pemahaman wakaf dari aspek aqidah, syari‟ah, dan akhlaq. Selain itu

dampak dari migrasi lokal melahirkan ledakan penduduk di Maluku cukup tinggi

sehingga perlu pemberdayaan wakaf produktif untuk mencegah kesenjangan sosial

yang terjadi di kota Ambon.

Hal ini tampak dalam deskripsi aktivitas sosial masyarakat belum ada pendataan

secara maksimal jumlah wakif di kota Ambon, peta perwakafan, belum ada trainer

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 4

perwakafan, kurikulum wakaf, dan database harta wakaf, belum ada data wakaf

produktif, penyuluhan dan pembinaan nazdir, dan wakif yang dimiliki oleh Badan

Wakaf Indonesia di Maluku. Kondisi ini sehingga pilihan masyarakat di kota Ambon

belum memilih metode wakaf sebagai media kemaslahatan umat. Dalam mencegah

kriminal di kota Ambon karena selama ini materi pembinaannya kurang di arahkan

pada aspek aqidah, syari‟ah, akhlaq, dan wirausaha. Sebagai contoh pemberdayaan

wakaf di Jakarta dapat digambarkan dalam grafik berikut ini.

Dari hasil penelitian tahun 2013 ini menunjukkan bahwa peran wakaf produktif

telah menjadi urgent di kota Ambon dan memiliki peran strategis untuk mencegah dan

mengembalikannya pada poros ekonomi di Maluku sehat secara akutabel dari aspek

administrasi dan aspek spiritualitas demi kemakmuran masyarakat di Maluku melalui

pemberdayaan wakaf produktif.

B. PEMBAHASAN.

1. Pengertian Wakaf

Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-

tahbis (tertahan), altasbil (tertawan) dan al-man‟u (mencegah). disebut pula dengan

al-habs (al-ahbas, jamak). Secara bahasa, al-habs berarti al-sijn (penjara), diam,

cegah, rintangan, halangan, “tahanan,” dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa (al-

habs) dengan al-mal (harta) berarti wakaf (ahbasa al-mal). Terminologi waqf berarti

semua hal ibadah yang bersifat benda (materi) perlu dikembalikan sesuai fungsinya,

yakni kemaslahatan umat manusia yang berimplikasi pada ketaqwaan dan

kesejahteraan sesama umat manusia. Penggunaa kata al-habs dengan arti wakaf

terdapat dalam beberapa penjelasan para ulama antara lain:

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 5

1. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibn „Umar yang menjelaskan bahwa

Umar Ibn al-Khatab datang kepada Nabi saw. Meminta petunjuk pemanfaatan

tanah miliknya di Khaibar. Nabi saw. Bersabda: “Bila engkau menghendaki,

tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasinya (manfaatnya). Terminilogi ini

menunjukkan bahwa wakaf produktif itu perlu dikembangkan secara profesional

dengan sistem informasi yang mudah, sesuai kebutuhan publik, dan lebih

banyak manfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia.

2. Hadits riwayat Ibn Abbas (yang dijadikan alasan hukum oleh Imam Abu

Hanifah) dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda: “Harta yang sudah

berkedudukan sebagai tirkah (harta pusaka) tidak lagi termasuk benda wakaf.”

Dalam hadits dikatakan bahwa wakaf disebut dengan sedekah jariah (shadaqat

jariyah) dan al-habs (harta yang pokoknya dikelola dan hasilnya didermakan).

Oleh karena itu, nomenklatur wakaf dalam kitab-kitab hadis dan fiqih

berkembangan dalam beberap model sesuai kebutuhan publik ia bersifat fleksibel

sesuai perubahan sosial masyarakat. Misalnya pandangan Al-Syarkhasi dalam kitab

al-Mabsuth, memberikan terminologi wakaf dengan Kitab al-waqf, Imam Malik

menuliskannya dengan nomenklatur Kitab Habs wa al-Shadaqat, Imam al-Syafi‟I

dalam wakaf disebut al-Umm memberikan nomenklatur wakaf dengan al-Ahbas, dan

bahkan Imam Bukhari menyertakan hadis-hadis tentang wakaf dengan nomenklatur

kitab al-Washaya.

Secara normative idiologis, antroplogis, sosiologis, dan komunikasi perbedaan

nomenklatur wakaf tersebut dapat dibenarkan, karena landasan normatif perwakafan

secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Quran dan al-Sunna. Model

perkembangannya sesuai tingkat keilmuan dan kondisi sosial masyarakat. Dengan

demikian semakin canggih kreativitas masyarakat melakukan pemberdayaan zakat

semakin tinggi dampaknya pada peningkatan pendidikan, kesehatan, dan pertahanan

dan keamanan. Oleh karena itu pemberdayaan wakaf produktif adalah wilayah Ijtihad

yang dikemas dengan cara yang ma‟ruf sehingga dapat dipercaya oleh publik melalui

sistem yang akuntabel dan didukung oleh 5 S komponen sistem yang saling terpadu

dan terintegrasi. Empat komponen itu adalah Skil, Spiritual, Sistem, Sosial, dan

Modal.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 6

2. Landasan Normatif Tentang Wakaf dalam Al-Quran dan Sunnah.

Seperti telah diuangkapkan di muka, bahwa secara eksplisit tidak ditemukan

ayat al-Quran yang mengatur tentang wakaf, namun secara implisit cukup banyak

ayat-ayat yang bisa jadi dasar hukum tentang wakaf, yaitu beberapa ayat tetang infak

diantaranya:

a) Al-Qur‟an : Al-Hajj/22:77

77. Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah

Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.

Spirit pesan dalam ayat tersebut memberikan kontribusi besar ketika wakap

dikelolah sesuai standar prosedur pelayanan prima, karena perlu ada imam(keamanan

pengawasan dan pengelolaan wakaf), ruku (selalu meyakini bahwa Allah selalu hadir

dalam diri kita sehingga perlu ruku untuk menyebahnya) sebagai simbol konsisten

terhadap regulasi wakaf dan berusaha menghindari potensi kejahatan dengan

mencegah manusia dari aspek penguasaan kapital secara sepihak.

b) Al-Qur‟an: Al Baqarah/2:261

261. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan

hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh

bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa

yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.

Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan

jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

c) Al-Qur‟an Ali Imran/3:92

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 7

Terjemahnya;

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum

kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang

kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Kutipan Al-Quran surat Ali Imran ayat 92 tersebut benar-benar menyentuh.

Ternyata menafkahkan harta yang kita cintai merupakan salah satu jalan sekaligus

syarat untuk menyempurnakan semua kebajikan lain yang sudah, sedang, dan akan

kita lakukan. Bisa jadi seseorang telah banyak berbuat baik. Tampaknya dengan

menafkahkan sebagian hak milik yang sangat dicintai untuk perjuangan di jalan Allah,

barulah akan sampai kepada kebajikan/keshalehan yang sempurna.

Sabab Nuzul ayat tersebut adalah, Seperti diterangkan dalam hadits Nabi yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Tarmidzi, dan An-Nasa‟i, yang diterima

dari Anas bin Malik, Beliau menrangkan:

Abu Tholhah diantara salah seorang Sahabat Nabi yang paling banyak memiliki

kebun kurmanya di Madinah, salah satunya kebun kurma Bairuha, kebun tersebut

berhadapan dengan Masjid tempat Nabi sembahyang dan Nabi sering keluar

masuk memakan kurma tersebut dan meminum airnya yang harum.

Ketika turun ayat tersebut (Ali Imran: 92) Tholhah langsung mendatangi Rasull

lalu ia berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya kekayaan yang sangat kucintai yaitu

kebun kurma Bairuha, karena ada perintah dari Allah melalui ayat tadi, kusedekahkan

bairuha ini kepadamu Ya Rasulullah.

Mendengar ucapan Abu Tholhah, Rasulullah berkata, wahai Tholhah sungguh

engkau beruntung, kebun kurma itu membawa keberuntungan, kalau begitu alangkah

baiknya disedekahkan kebun kurma itu kepada karib kerabatmu. Timpal Abu Tholhah,

ya Rasulullah akan kusedekahkan harta itu sesuai dengan petunjukmu Ya Rasulullah.

Kemudian dalam Riwayat Abi Hatim dari Muhammad bin Al-Munkodir, beliau

berkata, bahwa ketika turun ayat Ali Imran ke 92, datang sahabat Zaid bin Haritsyah

membawa seekor kuda yang bernama Sibul, Zaid tidak memiliki lagi kekayaan lain

selain kuda itu. Beliau berkata, Ya Rasulullah saya datang akan menyerahkan kuda ini

untuk kepentingan agama, Rasull menjawab “Aku menerima sedekahmu” wahai Zaid.

Selanjutnya oleh Rasulullah ditunggangkan diatas punggung kuda itu Usamah bin

Zaid anaknya Zaid, lantas Rasull melihat muka Zaid agak muram masih merasa berat

hati melepaskan kuda kesayangannya.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 8

Namun Rasulullah melanjutkan perkataannya. Sesungguhnya Allah telah

menerima sedekah engakau Zaid.Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga

diambilkan dari beberapa hadits Nabi yang menyinggung masalah shadaqah jariyah,

yaitu:

Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : “Apabila anak

Adam (manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara:

Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang

tuanya”. (HR. Muslim).

Penafsiran shadaqah jariyah dalam hadits tersebut dikataakan masuk dalam

pembahasan wakaf, seperti yang diuangkapkan seorang Imam di dalam bab wakaf,

karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf Hadits Nabi yang

secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada

Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:

Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar Ra. Memperoleh sebidang

tanah d Khaibar kemudian menghadap kepada Rasulullah untukm memohon

petunjuk Umar berkata : Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di

Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah engkau

perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan

(pokoknya) ntanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar

menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian,

sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang

menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang

baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta (HR.

Muslim).

Pada sabda Nabi yang lainnya disebutkan :

Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Umar mengatakan kepada Nabi Saw, saya

mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat

harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya.

Nabi Saw mengatakan kepada Umar: Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan

wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”

(H.R. Bukhari dan Muslim).

Bertitik tolak dari beberapa ayat al-Quran dan hadits Nabi yang menyinggung

tentang wakaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-

hukum wakaf yang diterapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran

wakaf ini diletakan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta‟abudi, khususnya

yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-

lain.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 9

Meskipun demikian, ayat al-Quran dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi

pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafaur Rasyidun sampai sekarang,

dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan

metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum

wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode

ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain.

Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah

ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-

penafsiran baru, dinamis, fururistik dan berorientasi pada masa depan. Sehingga

dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi

yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi

ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang

sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.

Memang, bila ditijau dari kekuatan sandaan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf

merupakan ajaran yang bersifrat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki

sesungguhnya begitu besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan

masyarakat banyak. Sehingga dengan demikian, ajaran wakaf yang masuk dalam

wilayah ijtihadi, dengan sendirinya menjadi pendukung non manajerial yang bisa

dikembangkan pengelolaannya secara optimal.

3. Sejarah Wakaf

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena

wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada

dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’)

tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian

pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf

adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah

dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin

Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-

mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar,

sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW." (Asy-

Syaukani: 129).

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 10

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh

kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah

dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang

pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini

berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh

sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW

untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat

sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah

yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau

suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak

dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.

Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah)

kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan

tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari

hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain

dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab

dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun

“Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar

yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada

anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di

Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal

mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”.

Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar,

Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti

Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf

tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal

untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan

membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan

mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 11

perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk

membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik

dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan

yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya

lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan

baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola,

memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid

atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin

Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat

perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga

wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim.

Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di

Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah

mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di

bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya

disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan

“shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola

lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan

Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga

wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup

menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta

wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal).

Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud

mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan

dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah

sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal

masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 12

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal)

kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan

fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan

didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara

hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga

kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak

boleh diwakafkan.

Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk

kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk

pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan

madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun

dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping

kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni

Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi

orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea

cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi

(fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-

Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni

dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal)

menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan

menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti

Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan

beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh

diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah

tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan

tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di

wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan

pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman

Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 13

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan

wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk

kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk

membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam

adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain

ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-

Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah

setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap

lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang

punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian

khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya

undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun

bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-

Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-

undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat

mazhab Sunni.

Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori:

Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang

yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan

Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan

Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat

menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih

oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at

Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah

peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada

tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut

mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf,

upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi

wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 14

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan

tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah

produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di

negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan

diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan

dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari

waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari

agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia

sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak

benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita

perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup

sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada

masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu

berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-

inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual

(Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat

perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41

tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

Istilah wakaf uang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang (cash

waqf ) baru dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Imam az Zuhri (wafat

124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits

memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana

dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Di Turki, pada abad ke 15 H praktek

wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat. Wakaf uang

biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti

bank, dimana wakaf uang tersebut biasanya diinvestasikan pada profitable

business activities. Keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan kepada

segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.

Pada abad ke 20 mulailah muncul berbagai ide untuk meimplementasikan

berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 15

lahir seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga

tabungan haji dll. Lembaga-lembaga keuangan Islam sudah menjadi istilah yang

familiar baik di dunia Islam maupun non Islam.

Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan

wakaf uang salah satu basis dalam membangun perkonomian umat. Dari

berbagai seminar, yang dilakukan oleh masyarakat Islam, maka ide-ide wakaf

uang ini semakin menggelinding. Negara- negara Islam di Timur Tengah, Afrika,

dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berabagai cara.

4. Regulasi Perwakafan di Indonesia

Pelaksanaan pembinaan wakaf produktif di Provinsi Maluku merujuk pada

Perwakafan dalam Undang-Undang di Indonesia sebagai pranata keagamaan yang

memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang perlu dikelola secara efektif, efisien, dan

akuntabel. Hal ini didasarkan pada kepentingan ibadah dan memajukan ketaqwaan

dan kesejahteraan masyarakat secara holistik di Provinsi Maluku. Adapun dasar

hukum dalam pelaksaan workshop wakaf produktif merujuk pada Undang-Undang

berikut ini:

a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.

b. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tantang Wakaf

c. Peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

d. Wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi

yang perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan

untuk memajukan kesejahteraan umum.

e. Wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan

dalam masyarakat.

5. Benda Tidak Bergerak yang Dapat Diwakafkan

Ada beberapa peluang wakaf tidak bergerak yang dapat dikelolah secara efekitf

sesuai amanat UU RI Nomor. 41 tahun 2004 tentang perwakafan. Bentuknya antara

lain;

a) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 16

b) Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah dan atau bangunan.

c) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.

d) Hal milik atas satuan rumah sesuai dengan peraturan perundag-undangan yang

berlaku.

e) Benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan sejarah dan peraturan

perundang-unagan.

6. Benda Bergerak yang dapat Diwakafkan

Pemberdayaan wakaf produktif yang bergerak dapat dikelolah ketika citra secara

organisasi lembaga wakap telah memiliki beberapa standar pelayanan dan

kepercayaan publik terhadap lembaga wakaf. Ketika lembaga wakaf dikelolah dengan

tingkat kepercayaan dari masyarakat sangat rendah maka ia tidak mampu secara

maksimal bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak. Kemaslahatan itu bisa berdaya

dengan baik ketika organisasi memahami Unsur-Unsur Wakaf; seperti Wakif

(Penerima wakaf), Nadzir (Pemberdaya Wakaf), Harta Benda Wakaf Peruntukan

Wakaf, Jangka Waktu Wakaf, Sighat Wakaf/Akad (Transaksi). Peluang yang sangat

strategis dalam memberdayakan zakat produktif antara lain;

a) Uang Rupiah, Logam Mulia.

b) Surat Berharga, Benda bergerak lain yang berlaku.

c) Kendaraan, Hak atas kekayaan intelektual.

d) Hak sewa sesuai ketentuan syariah dan peraturan perunda-undanga yang

berlaku, dan benda elektronik yang berharga.

7. W a k i f

a) Wakif perseorangan (dewasa, sehat, dan cakap) Organisasi (Pengurus

memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, bergerak dalam bidang

sosial/pendidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.

b) Badan Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, Badan

Hukum sah, bergerak dalam bidang sosial/pendidikan/keagamaan Islam dan

kemasyarakatan

c) Pemilik sah harta benda yang akan diwakafkan.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 17

8. N a d z i r.

a) Nadzir Perorangan (dewasa, sehata, cakap).

b) Organisasi (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan,

bergerrak dalam bidang sosial/pemdidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.

c) Badan Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan,

Badan Hukum sah, bergerak dalam bidang sosial/ pendidikan/kemasyarakatan

/keagamaan Islam.

d) Terdaftar di BWI dan Kemenag (Pendaftaran dapat dilaksanakan setelah

proses wakaf bagi nadzir baru.

9. Metode Pemberdayaan Wakaf Produktif.

Dalam pemberdayaan wakaf produktif menurut Prof. Dr. KH. Tholhah Hasan,

Ketua Badan Pelaksana BWI mengungkapkan bahwa “nazhir” dalam kontek wakaf

adalah orang atau sekelompok orang yang bertanggungjawab untuk mengurusi,

mengelola, menjaga dan mengembangkan barang wakaf. Terminologi ini

menunjukkan bahwa nazhir itu adalah orang mampu mendesain sistem pelayanan

harta wakaf demi kemaslahatan umat manusia dengan mengembangkan fungsi wakaf

dalam meningkatkan regulasi perekonmian di Maluku.

Model pemberdayaan wakaf produktif Nazhir dapat dilakukan oleh orang yang

berwakaf (al-waqif) atau orang lain yang ditunjuk oleh waqif, atau mauquf „alaih

(orang atau pihak yang menerima hasil wakaf, menurut salah satu pendapat

madzhab), atau oleh hakim (pemerintah) apabila si waqif tidak menunjuknya. Apabila

waqif menunjuk nazhir kepada beberapa orang secara berurutan, seperti: saya tunjuk

si A menjadi nazhir wakaf saya, dan kalau dia meninggal supaya diganti si B, dan

kalau dia meninggal supaya diganti si C. Maka, penunjukan waqif tersebut harus

dipenuhi. Diriwayatkan, bahwa „Umar ibi Khothab, menjadi nazhir harta wakafnya

sendiri, kemudian berpesan agar yang menggantikannya sebagai nazhir selanjutnya

adalah Khafshaf (puterinya) selama masih hidup, dan seterusnya akan digantikan oleh

orang-orang yang kompeten dari keluarganya .(HR. Abu Daud).

Apabila waqif tidak menetapkan nazhir, maka diusulkan kepada pemerintah

agar menunjuk nazhir. (Nihayatu al-Muhtaj, 5/ 398). Dalam masalah wakaf ,

nazhir memang tidak termasuk salah satu rukun wakaf yang empat.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 18

1. Pertama, sighah, yaitu kata atau pernyataan yang menunjukkan kemauan

seseorang untuk mewakafkan sebagian harta miliknya, baik secara jelas

( shorih ), seperti ia mengatakan : saya mewakafkan tanah saya ini untuk

masjid. Atau dengan samaran (kinayah), seperti ia menyatakan: hasil sewa

bangunan ruko saya ini untuk fakir miskin .

2. Kedua, waqif, orang wang ber-wakaf, yang memenudi syarat, yaitu orang

yang memiliki kesadaran penuh („aqil) , sudah dewasa (baligh), tidak

terhalang haknya (ghair mahjur „alaih) tidak terpaksa (ghair mukrah), dan

sebagai pemegang hak milik terhadap barang yang diwakafkan (malik „ain

al-waqf).

3. Ketiga, mauquf „alaih , yaitu fihak yang menjadi sasaran hasil wakaf,

baik perorangan atau kelompok orang atau institusi seperti masjid, pondok

pesantren, dan lain sebagainya. Sasaran penerima hasil wakaf disyaratkan

harus sasaran yang baik (jihatu birrin) dan bukan sasaran maksiat (jihatu

ma‟shiah), dan sifatnya kontinyu . Namun sebagian ulama ada juga yang

berpendapat, bahwa penyaluran manfaat hasil wakaf boleh juga tidak

kontinyu (munqathi‟ah). Keempat, mauquf, yakni barang yang diwakafkan,

dengan syarat barang tersebut dapat diambil manfaatnya atau dimanfaatkan

menurut syara‟, tidak boleh mauquf itu barang yang dilarang oleh

syara‟(agama), seperti khamar, kasino, dan sejenisnya.

Menurut ulama-ulama fikih kontemporer, barang wakaf boleh berupa uang

tunai (waqfu an-nuqud), atau surat-surat berharga (saham, sukuk, deposito syari‟ah,

dll.) sebagaimana yang sekarang telah diberlakukan. oleh badan-badan wakaf

diseluruh dunia, termasuk di Indonesia. Siapa yang berhak menunjuk atau

mengangkat Nazhir? Para ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah hak

penunjukan atau pengangkatan Nazhir, secara ringkas dapat dipaparkan sebagai

berikut:

Madzhab Hanafiyah (Ahnaf) berpendapat bahwa Nazhir boleh dilakukan oleh

Waqif sendiri, atau ia menunjuk orang lain sebagai Nazhir. Kalau tidak demikian,

maka pemerintah (hakim) yang akan menunjuk atau menetapkan Nazhirnya. (Lihat,

Isa Zaki, “Mujaz Ahkam al-Waqf”, Majalah AUQAF, November 2000 M/ Sya‟ban

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 19

1421 H. Al-Amanah al-Ammah li al-Auqaf, Kuwait.). Madzhab Syafi‟iyah terdapat

tiga pendapat dalam penunjukan dan pengangkatan Nazhir; (1) oleh Waqif, (2) oleh

Mauquf „alaih, dan (3) oleh pemerintah. (Al-Muhadzab, 1/Bab al-Waqf). Madzhab

Malikiyah berpendapat, bahwa Waqif tidak boleh menunjuk atau mengangkat dirinya

sendiri sebagai Nazhir wakafnya, agar tidak memberikan image seakan-akan ia wakaf

untuk dirinya sendiri, atau karena lamanya waktu ia akan melakukan hal-hal yang

menyimpang dari tujuan wakaf.

Madzhab Hambaliyah (Hanabilah) mengatakan, bawa yang boleh menjadi

Nazhir adalah Mauquf „alaih apabila ia merupakan seseorang tertentu, seperti: Ahmad

atau Agus. Apabila Mauquf „alaih itu terdiri dari beberapa orang terentu, maka

masing-masing mareka menjadi Nazhir sesuai dengan bagian wakaf yang

ditetapkan untuknya. Tetapi apabila wakaf tersebut untuk orang-orang yang tidak

tertentu, seperti; orang-orang fakir, atau orang-orang miskin, atau para ulama, atau

mujahidin atau wakaf untuk fasilitas umum, seperti; mesjid, madrasah, pondok

pesantren, maka yang menjadi Nazhi adalah pemerintah atau yang mewakilinya.

(Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami, 8/231). Mayoritas ulama Sunny menetapkan

syarat-syarat nazhir sebagai berikut:

1. Islam (al-Islam), sebab nazhir merupakan suatu kekuasaan, dan tidak layak

orang kafir memegang jabatan membawahi urusan orang muslim.

2. Berakal sehat (al-„Aql) sehingga tidak sah apabila orang gila menjadi nazhir.

3. Dewasa (al-Bulugh), dan tidak sah mengangkat anak kecil (belum dewasa)

menjadi nazhir.

4. Adil (al-„Adalah), dalam arti menjaga diri dari perbuatan dosa besar dan atau

membiasakan perbuatan dosa kecil, seta amanah/ juju dan bertanggungjawab,

sehingga tidak boleh mengangkat orang yang suka berbuat dosa dan tidak

jujur menjadi nazhir .

5. Mampu (al-Kafa‟ah), dalam arti seorang nazhir harus dapat melakukan tugas-

tugas kenazhirannya secara professional dan kompeten. (Hasyiah ad-Dasuqi,

4/ 452).

Dilingkungan empat madzhab (Hanafiyah/Ahnaf, Malikiyah, Syafi‟iyah dan

Hanbaliyah/ Hanabilah) terdapat perbedaan pendapat tentang “syarat adil “ bagi

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 20

nazhir. Menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah, menyatakan tidak

perlu adanya syarat adil bagi nazhir, tapi cukup dengan syarat “amanah”. (Mughni

al-Muhtaj, 2/ 293) Tetapi madzhab Syafiiy mengharuskan adanya syarat adil bagi

Nazhir. (Kifayatu al-Ahyar, 1/ 197).

Dalam UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf, dijelaskan bahwa Nazhir ada tiga

macam: nazhir perorangan, nazhir organisasi, dan nazhir badan hukum. Nazhir

perseorangan disyaratkan sebagai berikut: Warga Negara Indonesia, beragama

Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, serta tidak terhalang

melakukian perbuatan hukum. Sedangkan nazhir organisasi, disyaratkan:

a) Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir

pereseorangan sebagaimana tersebut di muka.

b) Organisasi yang bergerak di bidang social, pendidikan, kemasyarakatan dan/

atau keagamaan Islam. Sedangkan nazhir badan hukum, disyaratkan agar

supaya: pertama, pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi

persyaratan nazhir perseorangan seperti tersebut di muka. Kedua, badan hukum

Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

c) Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan, dan/ atau keagamaan Islam. (UU No. 41 Th. 2004, pasal 9-10).

Dicantumkannya syarat “ke-Indonesiaan” bagi nazhir perorangan, nazhir

organisasi, maupun nazhir badan hukum dalam UU No. 41 Th. 2004 tersebut

memang tidak berdasarkan ketentuan hukum fikih madzhab manapun, tetapi atas

alasan/ pertimbangan protektif dan semangat nasionalitas, agar jangan sampai terjadi

hilangnya aset wakaf dibawa kabur oleh nazhirnya yang bukan warga negara

Indonesia , atau oleh organisasi atau oleh badan hukum yang diluar kewenangan

pemerintah Indonesia untuk menindakny. Hal itu tidak dilarang, dalam rangka

perlindungan aset-aset wakaf, karena seperti diketahui bahwa umumnya hukum

wakaf adalah ijtihadi (didasarkan ijtihad), dan membuka peluang kepada umat

Islam untuk menalarnya sesuai dengan tujuan dan prinsip kemaslahatan yang

menjadi tujuan syari‟ah.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 21

Prof. Musthafa az-Zarqa‟ menegaskan, sesungguhnya rincian-rincian hukum

wakaf yang ditetapkan dalam fikih, semuanya berdasarkan hasil ijtihad dan qiyas,

karenanya masih banyak peluang untuk dikaji secara nalar. (Musthafa az-Zarqa‟,

Ahkam Al-Auqaf , 1/15). Tugas dan kewajiban nazhir menurut hukum fikih dalam

garis besarnya adalah melakukan segala hal yang barkaitan dengan perlindungan

terhadap barang wakaf, penjagaan terhadap kemaslahatannya dan pengembangan

kemanfaatannya. Secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, memberdayakan barang wakaf, dengan melakukan penjagaan dan

perbaikan untuk melindungi barang wakaf dari kerusakan dan kehancuran, agar

tetap memberikan manfaatnya sebagaimana yang menjadi maksud wakaf

tersebut. Kedua, melindungi hak-hak wakaf, dengan melakukan

pembelaan/advokasi dalam menghadapi sengketa hukum, atau penggusuran dan

perampasan, demi menjaga kelestarian dan kemanfaatan wakaf untuk

kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, menunaikan hak-hak standar pelayanan yang memberikan ruang

kemudahan dan kepercayaan publik terhadap BWI dengan menyalurkan hasil wakaf

kepada yang berhak , dan tidak menundanya kecuali karena keadaan darurat atau

ada alasan-alasan syar‟iyah yang benar prinsip Al-Quran dan Sunnah. Melaksanakan

syart-syarat waqif , dan tidak boleh menyalahi syarat-syarat tersebut kecuali dalam

situasi dan kondisi yang khusus yang sulit dihindari , seperti dalam penunjukan

nazhir perorangan yang tidak mungkin dilakukan , karena tidak memenuhi syarat

kenazhiran atau standar prosedur yang menyenangkan publik.

Disamping itu, nazhir dilarang melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan

fitnah dan kecurigaan, seperti: a). Menyewakan barang wakaf kepada dirinya

sendiri atau keluarga dekatnya (anak-anak atau isteriya). b). menggadaikan barang

wakaf atau meminjamkan harta wakaf kepada orang lain yang tidak dijamin

keamanannya, karena hal-hal tersebut dapat menyebabkan lenyapnya atau rusaknya

barang wakaf. c). bertempat tinggal dirumah atau tanah wakaf tanpa membayar

sewanya, kecuali karena darurat atau alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan

(seperti karena kemiskinan atau adanya bencana alam, dan nazhir membutuhkan

penampungan sementra).

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 22

Hal-hal yang terkait dengan tugas BWI sebagai pembina nazhir, akan

diimplementasikan melalui divisi pembinaan nazhir. Pemberdayaan ini diarahkan

untuk membentuk nazhir professional, baik perseorangan, organisasi, atau badan

hukum. Adapun program dari divisi ini adalah sebagai berikut:

1) Menyusun standar kurikulum pelayanan wakaf dan panduan pengelolaan

nazhir.

2) Menyelenggarakan pelatihan pengelolaan wakaf produktif yang diawali

dengan workshop untuk memberikan pemahaman secara metodologis tenik

pengelolaan sesuai standar pelayanan publik.

3) Menyusun standar pencitraan dan kepercayaan kepada publik terhadap sistem

pengelolaan wakaf yang produktif dan menjaga etika dan profesionalitas

nazhir.

4) Mendata dan memetakan nazhir.

a. BENDA TIDAK BERGERAK YANG DAPAT DIWAKAFKAN;

a) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.

Misalnya tanah masjid, yayasan, dan sejenisnya.

b) Bangunan yang berdiri di atas tanah dan atau bangunan.

c) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.

d) Hak milik atas satuan rumah sesuai dengan peraturan perundag-

undangan yang berlaku.

b. BENDA BERGERAK YANG DAPAT DIWAKAFKAN;

a) Uang Rupiah, Logam Mulia.

b) Surat Berharga, Benda bergerak lain yang berlaku.

c) Kendaraan, Hak atas kekayaan intelektual.

d) Hak sewa sesuai ketentuan syariah dan peraturan perunda-undanga

yang berlaku, dan benda elektronik yang berharga.

C. KESIMPULAN.

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 23

Semakin canggih manajemen sistem pemberdayaan wakaf produktif serta

tingkat kepercayaan publik terhadap pengelolaan wakaf produktif semakin tinggi

tingkat kemaslahatan yang dirasakan oleh masyarakat. Pada dasarnya ketentuan

mengenai perwakafan berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan

dicantumkan kembali dalam Undang-Undang ini, namun terdapat pula berbagai

pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut:

1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf produktif guna

melindungi harta benda wakaf, Undang-Undang ini menegaskan bahwa

perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar

wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan

sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan.

Undang-Undang ini tidak memisahkan antara wakaf-ahli yang

pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum

kerabat (ahli waris) dengan wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk

kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

2. Ruang lingkup pemberdayaan wakaf yang selama ini dipahami secara

umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti

tanah dan bangunan, menurut Undang-Undang ini Wakif dapat pula

mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak,

baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat

berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda

bergerak lainnya.

IDENTITAS DIRI Nama : Dr. Syarifudin, S.Sos.I., M.Sos.I NIP : 1973061720071010003 Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat/Tanggal Lahir : Bone, 17 Juni 1973 Status Perkawinan : Kawin Agama : Islam Perguruan Tinggi : IAIN Ambon

Alamat : Jl.Dr.H.Tarmizi Taher Kebun Cengkeh Batu Merah Atas-

Ambon 97128 Telp./Faks. : (0911)344816–Faks (0911)344315

Email;[email protected]

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 24

Alamat Rumah : Jl.Dr.H.Tarmizi Kompleks IAIN Ambon Kebun Cengkeh Batu Merah Atas Ambon

Hand Phone (HP) : 081343372180 E-mail : [email protected]

Fb:[email protected].

RIWAYAT PENDIDIKAN SD s/d SMU Tahun Lulus Jenjang Ket

1987 SD SD 2 Passo Ambon 1990 SMP SMP Kairatu Maluku tengah 1993 SPMA/SPP SPP-PASSO (Kota Ambon)

RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI

Tahun Lulus Jenjang Perguruan

Tinggi Konsentrasi

2002 Strata Satu (S1) STAIN AMBON Komunikasi Penyiaran Islam

2010 Strata Dua (S2) UIN ALAUDDIN MAKASSAR

Dakwah dan Komunikasi

2012 Strata tiga (S3) UIN ALAUDDIN MAKASSAR

Dakwah dan Komunikasi

PELATIHAN PROFESIONAL Tahun Pelatihan Penyelenggara 1995 Pelatihan Jurnalistik STAIN Ambon

2007 Peserta Training Desain Grafis bidang kalkulasi biaya cetak.

Pusgrafin Jakarta

2007 Peserta Mobile Training Program Desain Grafis.

Kerjasama IAIN Ambon dengan Balai Grafika Makassar

2007 Fasilitator – jurnalistik fotografi Persatuan Fotografi Maluku 2007 Pelatihan Sistem Informasi Akademik

IAIN Ambon Melalui Komputer IAIN Ambon

2008 Fasilitator–Narasumber Workshop Metodologi Penelitian Participatory Action Research untuk Dosen dan Mahasiswa IAIN Ambon Sistem 144 Jam

Lembaga Penelitian IAIN Ambon

2010 Pelatihan Digitalisasi Naskah Kuno LITBANG Makassar 2011 Pelatihan Desain Pembelajaran IAIN Ambon 2011 Pelatihan Pembangunan karakter anak Sekolah Islam Terpadu Al-Fityan

Makassar. 2011 Pelatihan Doswar(Dosen

kewarganegaraan) Pangdam Pattimura

2012 Pelatihan ICT Rekapitulasi Nilai MTQ Nasional 2012

LPTQ Provinsi Maluku

2013 Peltihan teknologi Informasi berbasis Software Broadcasting dan Advertising

Bogor Jakarta utusan Pascasarjana

2014 Pelatihan Auditor Manajemen sistem Informasi Perkantoran

PENGALAMAN JABATAN

Syarifudin: Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku, 3 Mei 2014 25

Jabatan Institusi Tahun .2007 s.d. 2014 Staf Data dan Informasi IAIN Ambon Maret 2007 – 2010 Kepala Laboratorium Teknologi Informasi

IAIN Ambon Maret 2009 – 2010

Tenaga Dosen Komunikasi penyiaran Islam di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah

Juni 2010 - 2013

Dosen Pascasajrana IAIN Ambon 27 Juli 2013 sampai sekaran

PENGALAMAN PENELITIAN

Tahun Judul Penelitian Jabatan Sumber Dana

2009

Model Dakwah pada masyarakat terasing di Kab. Seram Bagian Timur Provinsi Maluku.

Mandiri

DIPA LITBANG Makassar

2008

Pemetaan Sistem Informasi Dakwah menuju Cyber City di Kota Makssar.

Ketua

DIPA DINAS INFOKOM

2009 Sistem informasi di PT. Telkom Makassar

Mandiri Biaya Sendiri

2010 Strategi Sistem Informasi pada masyarakat Multikultural di Kota Ambon.

Mandiri DIPA LITBANG Pusat Jakarta

2011 Peta Dakwah di Kota Ambon Kelompok DIPA IAIN Ambon

2012 Pemberdayaan masyarakat berbasis negeri wisata di Desa Larike Pulau Ambon

Kelompok DIPA LPM Pusat Jakarta

2013 Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Desa Solang

Tim/ Kelompok DIPA Pusat Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI

JENIS LEMBAGA Jabatan Tahun

Muhammadiyah Ketua Didang Dakwah 2007

Muhammadiyah Ketua Didang Dakwah 2008-Sekrang MUI Ketua Didang Dakwah 2009-Sekarang

Badan Wakaf Indonesia Ketua Didang Pembinaan Nazdhir

2010-Sekarang

Pemudah NU Maluku Pengembangan SDM 2011-Sekaran

LPTQ Kota Ambon Pengembangan dan penelitian

2012-Sekrang

LPTQ Provinsi Maluku Pengembangan dan penelitian

2013-Sekarang

PERSIS Ketua Wilayah UPZ Maluku 2014-Sekarang