If you can't read please download the document
Upload
vankhanh
View
263
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-
MAWARDI DAN AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Youngki Sendi Kristiannando
NIM : 109045200001
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014M
ii
SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-MAWARDI DAN
AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Youngki Sendi Kristiannando
NIM: 109045200001
Di bawah bimbingan:
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag
NIP: 197112121995031001
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
iii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI
Skripsi yang berjudul SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-
MAWARDI DAN AL-GHAZALI telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan HukumUIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Hari Jumat 3
Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Siyasah Syariyah
(Hukum Ketatanegaraan Islam).
Jakarta, 03 Januari 2014
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP: 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Dr. Asmawi, M. Ag. (.................................)
NIP: 197210101997031008
Sekertaris : Afwan Faizin, M.A. (..................................)
NIP: 19721026 200312 1001
Pembimbing : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag. (..................................)
NIP: 197112121995031001
Penguji I : Dr. Asmawi, M. Ag. (..................................)
NIP: 197210101997031008
Penguji II : Khamami Zada, M.A. (...................................)
NIP: 197501022003121001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi inimerupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil plagiat (jiplakan) dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 10 November 2013
Youngki S. Kristian
v
ABSTRAK
Youngki Sendi Kristianannando, Syarat Kepala Negara Menurut Al-
Mawardi Dan Al-Ghazali, Skripsi Konsentrasi Ketatanegaraan Islam
Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Al-Mawardi dan Al-Ghazali
mengenai penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif dengan desain penelitian menggunakan
metode pustaka dan pendekatan normatif doktriner, menjelaskan satu vaiabel
penelitian yaitu penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara menurut Al-
Mawardi dan Al-Ghazali.
Instrumen yang digunakan adalah karya Al-Mawardi yaitu Al-Ahkam Al-
Sulthaniyyah dan karya Al-Ghazali yaitu, Tibrul Al-Masbuk fi Nashihah Al-
Muluk. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
isi secara kualitatif. Yaitu, mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara jelas
dan mengambil isinya dengan menggunakan perspektif analisis yang kritis.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa; pertama, Ahlul Ijtihad adalah seorang ahli
fiqih (ahli hukum islam) yang mengerahkan segala daya dan kemampuannya
untuk mendapatkan status hukum syari; kedua, Al-Mawardi dan Al-Ghazali
mempunyai pandangan yang sama dalam hal kepala negara haruslah mempunyai
ilmu pengetahuan, sedangkan keduanya mempunyai pandangan yang berbeda
dalam hal ilmu yang dimaksud oleh Al-Mawardi mengharuskan seorang kepala
negara pada level mujtahid sedangkan ilmu yang dimaksud Al-Ghazali tidak
mengharuskan seorang kepala negara pada level mujtahid akan tetapi boleh juga
seorang kepala negara adalah mujtahid.
Kata kunci: Syarat Kepala Negara, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, Al-Iqtishad fi Al-
Itiqad, Al-Mawardi, Al-Ghazali.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa
memberikan hidayah-Nya. Sehingga dengan izinnya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Syarat Kepala Negara Menurut al-
Mawardi dan al-Ghazali.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Agung, Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju
zaman Islamiyyah semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau,
sahabat-sahabatnya, tabiin, tabiit tabiin, dan kita sebagai umatnya semoga
mendapatkan syafaat kelak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih jauh dari
sempurna, baik dalam proses maupun isinya. Dalam menyelesaikan skripsi ini,
penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membimbing, membantu, dan memotivasi penulis antara lain:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum dan beserta staf-stafnya.
3. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah. Dan juga kepada
Bapak Afwan Faizin, M.Ag, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang
telah banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah.
4. Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak
vii
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya disela-seka kesibukan untuk
membantu dan memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Dosen Pembimbing Akademik yang selama
ini telah memberikan nasehat serta dukungan kepada penulis selama menjadi
mahasiswa.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis
dengan ilmu yang berharga, nasehat-nasehat penyemangat yang memberikan
motivasi kepada penulis, kesabaran dalam mendidik penulis selama penulis
melakukan studi.
7. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan
kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur
kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan FSH, yang
telah berkenan meminjamkan buku-buku penunjang, sehingga penulis dapat
menyelesikan skripsi ini.
8. Orang tuaku tercinta, Bapak H. Soma dan Ibu Hj. Roidah yang sangat
berperan dalam mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis dengan penuh
kesabaran dan pengertian serta tiada henti memberikan doa dan dukungan
secara moriil dan materiil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman SJS tercinta, yang membuat penulis merasa senang dan bahagia
kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya for Sulthan, Muhdi,
Andre, Asep, Cocom, Anwar, Mansur, Hafiz, Ridho, Ade, dan Sopian yang
viii
dalam keadaan susah dan senang selalu kumpul bersama, bercanda bersama,
tertawa bersama sehingga menjadi obat penghibur untuk penulis. Rasanya
sudah banyak hal yang penulis lewati bersama dalam suka dan duka selama
kuliah. Oleh karena itu, tidak cukup satu buku untuk menulis kenangan
penulis bersama mereka selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung serta nasehat yang telah diberikan, sehingga terselesaikannya
penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru serta
bermanfaat untuk segenap pembaca.
Dalam penulisan skripsi ini mungkin terdapat banyak kekurangan, baik
yang terlihat dan tersembunyi. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini bisa
bermanfaat untuk para pembaca umumnya dan penulis khususnya. Sebagai
manusia biasa tentulah salah hal yang wajar yang terpenting ada kemauan untuk
belajar dan belajar agar bisa menyempurnakan yang kurang dan membenarkan
yang salah.
Ciputat, 10 November 2013
Youngki S. Kristian
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 6
E. Metodologi Penelitian ............................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ILMU DAN AHLUL
IJTIHAD
A. Pengertian Ilmu ........................................................................... 12
B. Pengertian Ahlul Ijtihad .............................................................. 15
1. Syarat-Syarat Ahlul Ijtihad .................................................... 18
2. Tingkatan Ahlul Ijtihad .......................................................... 20
x
BAB III SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI
A. Biografi Al-Mawardi .................................................................. 26
1. Riwayat Hidup Al-Mawardi ................................................... 26
2. Pemikiran Politik Al-Mawardi ................................................ 29
B. Biografi Al-Ghazali .................................................................... 33
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali ..................................................... 33
2. Pemikiran Politik Al-Ghazali .................................................. 39
BAB IV PENGUASAAN ILMU SEBAGAI SYARAT KEPALA
NEGARA MENURUT Al-MAWARDI DAN AL-GHAZALI
A. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-
Mawardi .................................................................................... 42
B. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-
Ghazali ...................................................................................... 50
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 57
B. Saran ......................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembicaraan tentang kepala negara haruslah melibatkan diskusi tentang
hubungan antara penguasa dan rakyat. Sebab di satu pihak kita dapat
mengatakan bahwa jabatan kepala negara adalah hak manusia. Akan tetapi di
pihak lain telah menjadi kenyataan pula bahwa manusia adalah makhluk sosial
dan politik yang di istilahkan oleh Aristoteles sebagai zoon politicon. Atau
dalam bahasa Ibnu Khaldun al-insan madaniyyun bi al-thabi yaitu manusia
adalah makhluk sosial secara naluri.1
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin dapat hidup seorang
diri. Kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam akan menuntutnya untuk
senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Perbedaan pendapat, ambisi, dan
kepentingan masing-masing pihak yang muncul dalam proses interaksi
tersebut tidak menutup kemungkinan akan memicu lahirnya konflik,
pertikaian, penindasan, peperangan, dan pembunuhan atau pertumpahan darah,
yang pada gilirannya nanti bisa berimplikasi pada terjadinya kehancuran total
dalam berbagai dimensi kehidupan umat manusia.
Untuk dapat menghindari kemungkinan terjadinya hal serupa dan agar
kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik, tertib, aman, damai,
1 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (al-Qahirah: Dar al-Syab), hal. 39, lihat
juga Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam: Mengenal
Jati Diri Manusia, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), hal. 46.
2
teratur, maka perlu dipilih seorang pemimpin yang akan mengayomi rakyat
dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.2
Allah SWT menggariskan bahwa dalam suatu negara harus ada
pemimpin sebagai penerus fungsi kenabian, hal ini untuk menjaga
terselenggaranya ajaran agama, mengatur negara, memegang kendali politik,
membuat kebijakan yang dilandasi syariat agama dan menyatukan umat
dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan negara) adalah
dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal
bagi terwujudnya umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman,
sejahtera. Dan dari kepemimpinan itu dibuat departemen-departemen dan
pemerintahan daerah yang mengurus bidang-bidang dan wilayah tersendiri
secara khusus, dengan berpedoman pada tuntunan hukum dan ajaran agama,
sehingga departemen dan pemerintahan daerah itu mempunyai keseragaman
yang solid di bawah kepemimpinan kepala negara.3
Sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa ayat 59:
( : )
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
2 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim: Tinjauan Dari
Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar,
2006), hal. 15.
3 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,
terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hal. 14.
3
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
(Q. S. An-Nisa: 59).
Terdapat pula sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang
menyatakan:
Artinya:
Jika kalian keluar bertiga dalam perjalanan, maka hendaklah salah seorang
(diantara kalian) memimpin (HR. Abu Dawud).4
Dengan alasan inilah, seorang pemimpin harus mampu bekerja keras
dan yang perhatiannya ditujukan kepada rakyat dan negaranya. Dia haruslah
orang yang benar-benar berwibawa dan dihormati rakyatnya. Perlu dicatat
bahwa kesetiaan dan kejujuran sangat diperlukan bagi pemegang jabatan
kepala negara. Jika terjadi banyak menghancurkan kepercayaan rakyat, maka
kepala negara itu bisa dipecat.5
Setelah Islam menyeru untuk memilih seorang pemimpin, ia
melengkapi seruannya dengan menyeru kepada ilmu hingga untuk menuntut
sesuatu haruslah dengan cara yang semestinya dan jalan yang benar.
Akal yang bodoh tampak di hadapan pemikiran bagaikan suatu
perkakas yang karatan dan karena tidak banyak gunanya maka tersisih, seperti
tidak pernah ada.6
4 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-
Kitab), no 2610, jilid ke 2, hal. 340. 5 Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, terjemahan Sufyanto dan Imam Musbikin dari
Islams Movement Goal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 144. 6 Bakar Musa, Kebebasan Dalam Islam, (Bandung: PT Al-Maarif, 1988), hal. 144.
4
Tanggung jawab atas kekuasaan pemerintah di suatu negara
dipercayakan kepada seorang pemimpin yang dapat disebandingkan dengan
seorang presiden atau perdana menteri. Semua rakyat baik laki-laki maupun
perempuan yang tunduk kepada konstitusi fundamental berhak memberikan
suara bagi pemilihan pemimpin.7
Sehubungan dengan kepala negara, sejatinya seorang kepala negara
haruslah seorang yang pintar dalam memutuskan suatu perkara ketika ada
perkara yang harus ditanganinya. Dan ia juga harus pandai melakukan
istinbath hukum sebagaimana seorang mujtahid.8
Sebagai contoh betapa pentingnya berijtihad yang dilakukan oleh
seorang pemimpin, ketika Umar mengangkat Syuraih bin Harits al-Kindy
sebagai qadi untuk wilayah Kufah, Umar berkata: Lihatlah apa-apa yang jelas
bagimu dalam Kitab Allah dan janganlah menanyakan hal itu kepada
siapapun, dan mengenai apa-apa yang tidak jelas bagimu dalam Kitab Allah
maka ikutilah Rasulullah SAW, dan mengenai apa-apa yang tidak jelas
bagimu dalam Sunnah Rasulullah maka berijtihadlah dengan pikiranmu
mengenai hal itu.9
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut permasalahan inti dan mendasar yang perlu diteliti,
dianalisis, dan dicarikan jawabannya.
7 Maulana Abul Ala Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, Penerjemah
Bambang Iriana Djajaatmadja dari Human Right in Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 7.
8 Al-Mawardi, Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah, (Al-Qahirrah: Dar al-Hadits, 2006), hal.
19-20.
9 M. Atho Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hal. 34.
5
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tersusun secara
sistematis pada pembahasan yang diharapkan, maka perlu penulis uraikan
tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan
perumusan masalah.
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini
penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai penguasaan ilmu
sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali.
Dari pembatasan masalah di atas dapat diuraikan beberapa masalah yang
dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:
1. Bagaimana pandangan al-Mawardi mengenai penguasaan ilmu sebagai
syarat kepala negara?
2. Bagaimana perspektif al-Ghazali mengenai penguasaan ilmu sebagai
syarat kepala negara?
3. Apa persamaan dan perbedaan dalam pandangan al-Mawardi dan al-
Ghazali tentang penguasaan ilmu?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun bermaksud untuk menjelaskan ahlul ijtihad
sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali. Secara
rinci penelitian ini bertujuan untuk:
a. Untuk mengetahui pandangan al-Mawardi mengenai penguasaan ilmu
sebagai syarat kepala negara.
6
b. Untuk mengetahui perspektif al-Ghazali mengenai penguasaan ilmu
sebagai syarat kepala negara.
c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan al-Mawardi
dan al-Ghazali tentang penguasaan ilmu.
2. Manfaat Penelitian
Salah satu hal yang penting di dalam kegiatan penelitian ini adalah
mengenal manfaat dari penelitian tersebut, baik manfaat akademis maupun
manfaat praktisnya. Jadi manfaat yang hendak dipakai adalah:
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi
dalam memahami ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut
al-Mawardi dan al-Ghazali.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi pemerintah dalam memilih kriteria bagi calon kepala negara dan
menambah wawasan dibidang politik.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam proposal
skripsi ini, perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang
menjadi pertimbangan di antaranya, yaitu:
Pertama, skripsi yang berjudul Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Menurut UU Nomor 23 Tahun 2003 dalam Perspektif Hukum Islam
ditulis oleh Sugiono tahun 2006 di Fakultas Syariah Dan Hukum. Dalam
7
skripsi ini dibahas mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden menurut
UU Nomor 23 Tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, dimana
yang berhak mencalonkan adalah partai politik atau gabungan partai politik
yang telah lulus dari seleksi bukan pribadi atau perorangan. Itupun harus
memenuhi 20 syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam
undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa pemilihan umum harus
dilakukan secara jujur dan adil berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia
(LUBER).
Kedua, skripsi yang berjudul Tinjauan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Tentang Kepala Negara ditulis oleh Ifan Sunarya tahun 2009 di
Fakultas Syariah dan Hukum. Dalam skripsi ini dibahas pandangan ulama
mengenai hukum memilih kepala negara, pemilihan kepala negara dalam
pandangan fatwa Majelis Ulama Indonesia dimana dalama fatwa tersebut
membahas tentang pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya
untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi
terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan
bangsa. Adapun syarat-syarat bagi pemimpin adalah beriman dan bertaqwa,
jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai
kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam
hukumnya adalah wajib.
Ketiga, karya Ridwan HR yang berjudul Fiqih Politik. Dalam buku ini
dibahas tentang siyasah syariyyah, sejarah ketatanegaraan Islam dan
8
pembentukan negara dan penyelenggaraan pemerintahan Islam yang salah
satunya membahas tentang tugas dan kewajiban kepala negara.
Dari beberapa tinjauan pustaka di atas masih terlihat umum dalam
membahas mengenai kepala negara serta pemikiran al-Mawardi dan al-
Ghazali mengenai kepala negara. Bedanya penulis akan membahas secara
khusus mengenai ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena memaparkan
data kualitatif. Dilihat dari segi tujuannya, penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif, karena bertujuan menjelaskan satu variabel penelitian
yaitu ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan
al-Ghazali.
Adapun ditinjau dari segi pemikiran pada umumnya, penelitian ini
merupakan studi hukum Islam dengan menggunakan normatif doktriner
yaitu menurut Al-Quran, Sunnah dan pendapat para ulama tentang
pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali.
2. Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan studi dokumenter.
Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan-
bahan pustaka:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data-data yang diperoleh dari
sumber aslinya, memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan
9
dengan penelitian ini. Sumber-sumber data tersebut adalah karya al-
Mawardi yaitu: al-Ahkam al-Sulthaniyyah serta Adab Ad-Dunya wa
Ad-Din dan karya al-Ghazali yaitu al-Iqtishad fi al-Itiqad serta Tibrul
al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan
penjelasan mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-
sumber tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang
berkaitan dengan penelitian ini, antara lain informasi yang relevan,
artikel, buletin, Serta buku-buku yang memberikan penjelasan ke arah
tema yang diangkat.
3. Analisis Data
Setelah pengumpulan data selesai, maka proses selanjutnya adalah
melakukan analisis data dengan menggunakan teknik analitis isi secara
kualitatif. Metode analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan
data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan
perspektif analisis yaitu jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap obyek yang
diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan
jalan memilih antara pengertian yang satu dengan pengertian-pengertian
yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan hal yang diteliti.10
Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara
10
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996),
hal. 59.
10
sistematis data-data yang telah terkumpul sebelumnya dengan
menggambarkan satu kesatuan yang utuh. Penulis menginterpretasikan
dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan
nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
4. Teknik penulisan
Sementara untuk teknik penulisan ini, penulis berpedoman pada
buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika
penulisan penelitian-penelitian yang lain. Penulis membagi skripsi ini dalam
lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Merupakan tinjauan umum tentang ahlul ijtihad yang terdiri dari
pengertian tentang ahlul ijtihad, syarat-syarat ahlul ijtihad, dan tingkatan ahlul
ijtihad.
BAB III Merupakan sketsa biografi al-Mawardi dan al-Ghazali yang terdiri
dari riwayat hidup al-Mawardi serta pemikiran politik al-Mawardi, dan
riwayat hidup al-Ghazali serta pemikiran politik al-Ghazali.
BAB IV Merupakan ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-
Mawardi dan al-Ghazali yang terdiri dari ahlul ijtihad sebagai syarat kepala
11
negara menurut al-Mawardi, dan ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara
menurut al-Ghazali.
BAB V Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan serta saran yang
berkaitan dengan masalah tersebut, yang penulis dapatkan dari hasil kajian.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ILMU DAN AHLUL IJTIHAD
A. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab - dengan yang berarti
mengerti, memahami benar-benar.1 Dalam bahasa inggris disebut science; dari
bahasa latin scentia (pengetahuan) atau scire (mengetahui). Sinonim yang
paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.2 Sedangkan ilmu dalam
kamus besar bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu.3
Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dapat digunakan untuk membedakan
dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya.4 Mohammad Hatta mendefinisikan
ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam
suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya
tampak dari luar ataupun dari dalam. Raplh Ross dan Ernest Van Den Haag
mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum dan sistematik.
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), hal. 1036
2 Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1998), hal. 324.
3 Wihadi Admojo, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal.
324.
4 Jujun S. Surisumantri, Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 3-4.
13
Sedangkan Karl Pearson mengatakan ilmu adalah lukisan atau
keterangan komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan
istilah yang sederhana. Ashley Montago menyimpulkan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang disusun dalam satu system yang berasal dari pengamatan,
studi dan percobaan untuk menentukan hakikat tentang hal yang sedang dikaji.
Harsojo mendefinisikan ilmu sebagai suatu pendekatan atau metode
pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh ruang
dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.5
Penulis mencoba untuk mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang
disusun secara sistematis melalui metode-metode tertentu untuk menyelediki,
menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi
kenyataan dalam alam manusia.
Adapun beberapa ciri-ciri utama ilmu menurut terminologi, antara lain:
1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat konheren, empiris, sistematis,
dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman yakni pengetahuan
didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta
pengalaman pribadi.
2. Ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan
tersendiri. Akan tetapi, ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang
mengacu pada objek yang sama dan saling berkaitan secara logis.
3. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-
masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat sendiri hipotesi-
hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
5 Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 15-16.
14
4. Ilmu harus berdasarkan metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu
tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari
banyak pengamatan dan ide yang terpisah.6
Dani Vardiansyah memberikan unsur persyaratan yang harus dipenuhi
dalam menemukan ilmu, sebagai berikut:
1. Objektif
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari
dalam. Objeknya dapat bersifat ada atau mungkin ada karena masih harus
diuji keberadaannya. Dalam mengkaji, objek yang dicari adalah kebenaran
yakni persesuaian antara tahu dengan objek sehingga disebut kebenaran
objektif, bukan subjektif.
2. Metodis
Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir
kemingkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensinya harus ada cara untuk menjamin kepastian kebenaran.
3. Sistematis
Dalam perjalanan menemukan ilmu, mencoba mengetahui dan
menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam
hubungan yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem yang
berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu dan mampu menjelaskan
rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
6 Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 13-14.
15
4. Universal
Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran yang bersifat universal
yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu).7
B. Pengertian Ahlul Ijtihad
Kata ijtihad menurut bahasa berasal dari isim mashdar dari kata kerja
-- yang diambil dari kata 8 -- yang berarti
bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala usaha. Kata ijtihad mengikuti
wazan iftial ) ) yang menunjukan makna mubalaghah (sangat atau lebih).
Ijtihad tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan
dan memerlukan banyak tenaga.9 Sedangkan menurut istilah ijtihad adalah
pencurahan daya upaya dalam rangka mencari suatu perkara yaitu pekerjaan
yang berlandaskan kesungguhan dan kemampuan.10
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
Artinya: Pencurahan kesungguhan untuk mencari atau mencapai hukum
syari dari dalil-dalil syara yang terperinci.11
7 Dani Vardiansyah, Filsafat ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: tp.p, 2008),
hal. 8. 8 Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam Kitab
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 21.
9 Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Keyataan, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2007), hal. 88. Lihat juga Yusuf al-Qardlawy, Ijtihad dalam Syariat Islam: Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 1.
10
Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 11-12.
11
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terjemahan Noer Iskandar al-Barsany dari kitab Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyyah, 1972), hal. 216.
16
Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
Artinya: Mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum Syara yang
bersifat operasional dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum).12
Sedangkan menurut Ibrahim Hosen dengan mengutip pendapat Ibn
Hazm, ijtihad adalah mencari hukun sesuatu masalah dalam nash al-Quran dan
hadis sahih.13
Dasar ijtihad dalam Al-Quran terdapat dalam surat An-Nisa ayat 83:
( : )
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,
kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu) (Q.S. An-Nisa: 83).
Terdapat juga di dalam hadits Nabi SAW
14
12
Yusuf al-Qardlawy, Ijtihad dalam Syariat Islam: Beberapa Pandangan Analitis
tentang Ijtihad Kontemporer, terjemahan Ahmad Khosay dari kitab al-Ijtihad fi al-Syariat al-
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 2.
13
Ibrahim Hosen, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 24.
14
Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin al-Mughirah al-Bukhori, Jami al-Shahih,
(al-Qahirah: Dar al-Syab,1987), cet.1, hal. 133.no 7352
17
Artinya:
Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala.
Tetapi bila berijtihad lalu keliru, maka baginya satu pahala. (H.R. Bukhari).
Adapun dasar dari ijma dimaksudkan bahwa umat Islam dalam
berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah
dipraktekan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama
merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena
tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap
masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-
Quran dan Sunnah. Orang yang dianggap mempunyai kemampuan untuk
berijtihad disebut mujtahid atau ahlul ijtihad.15
Adapun mengenai pengertian ahlul ijtihad, para ulama memberikan
beberapa pengertian yang berbeda. Menurut Nadiah Syarif al-Umari,
sesungguhnya ahlul ijtihad itu adalah seorang faqih (ahli hukum Islam) yang
mengerahkan segala daya dan kemampuannya untuk mendapatkan status
hukum syari.16
Sejalan dengan pengertian tersebut, al-Ghazali memberikan pengertian
bahwa ahlul Ijtihad adalah seseorang yang dapat memproduksi hukum Islam
yang bersifat zanni.17
15
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 127.
16
Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 24.
17
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa Min Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 8. Lihat Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 25.
18
1. Syarat-Syarat Ahlul Ijtihad
Mengingat bahwa ijtihad merupakan sebuah kegiatan dan aktifitas
yang tidak mudah untuk dilakukan, maka para ulama ushul fiqh telah
menetapkan beberapa kriteria yang mesti dimiliki oleh ahlul ijtihad.
Sehingga yang bersangkutan dianggap layak dan cakap untuk melakukan
istinbath hukum (penggalian hukum). Kalangan ulama ushul fiqh
kemudian memberikan penamaan terhadap beberapa persyaratan ini
dengan term al-ahliyyah li al-ijtihad.
Pada hakikatnya, ahlul ijtihad itu menempati posisi Nabi di tengah-
tengah umat dalam rangka menyampaikan risalah Islamiyyah (mubaligh),
penyingkap (kasyif), penjelas (mubayyin), dan penggali (mustanbith)
terhadap kedudukan hukum syari yang belum atau tidak dijelaskan secara
tekstual baik dalam al-Quran maupun Sunnah.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai subyek atau pelaku ijtihad,
seorang mujtahid dituntut untuk membekali dirinya dengan beberapa
persyaratan.18
Adapun syarat-syarat ahlul ijtihad sebagai berikut:
a. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian, yaitu meliputi syarat
umum dan syarat khusus. Syarat umum yakni baligh dan berakal.
Ahlul ijtihad harus baligh (dewasa), karena hanya pada orang yang
telah dewasa dapat ditemukan adanya kemampuan. Sedangkan ahlul
ijtihad harus berakal, karena hanya pada orang yang berakal ditemukan
18
Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam
Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal.
24-25.
19
adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri adalah suatu karya
ilmiah. Adapun syarat khusus yakni keimanan, ia harus beriman
kepada Allah SWT secara sempurna baik yang berkenaan dengan zat,
sifat, dan perbuatan-Nya.
b. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan, meliputi:
1) Mengetahui ilmu alat, dalam hal ini adalah bahasa Arab karena
sumber pokok hukum syara adalah Alquran, dan Hadits yang
berbahasa Arab. Pengetahuan bahasa Arab meliputi Ilmu Nahwu,
Sharaf, Bayan, Maani dan Badi.
2) Pengetahuan tentang Alquran, karena alquran sebagai sumber
asasi hukum syara.
3) Pengetahuan tentang Hadits Nabi, karena Hadits Nabi berfungsi
sebagai penjelasan alquran.
4) Pengetahuan tentang Ijma Ulama, karena ijma ulama untuk
mengetahui kasus atau peristiwa hukum apa saja yang ketentuan
hukumnya telah diijmakan oleh ulama.
5) Pengetahuan tentang Qiyas, karna ia harus mengetahui metode
qiyas serta mengetahui pokok-pokok istimbath yang memunginkan
membedakan dan memilih hukum yang paling dekat dengan tujuan
syara yaitu untuk kemashlahatan umat.
6) Pengetahuan tentang maksud syari dalam menetapkan hukum
sehingga saat mencari dan menggali hukum melalui ijtihad ia dapat
berpedoman kepada tujuan syari tersebut.
20
7) Pengetahuan tentang ushul fiqh, karena ilmu ini mempelajari untuk
berijtihad.19
Adapun menurut Amir Syarifudin, secara garis besar ada tiga syarat
mujtahid:
a. Mengetahui Maqashid al-Syariah karena dengan mengetahui
maqashid kita tahu tujuan yang akan dicapai
b. Mengetahui Al-Quran, al-Sunnah, dan bahasa Arab
c. Mengetahui thuruq al-istinbath, metode menemukan dan menerapkan
hukum, agar hukum hasil ijtihad tidak keluar dari nilai-nilai
uluhiyyah.20
2. Tingkatan Mujtahid
Pembicaraan tentang tingkatan mujtahid berkaitan erat dengan
pemenuhan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Abu
Zahrah memberikan tingkatan mujtahid sebagai berikut:
a. Mujtahid mustaqil
Penempatan mujtahid ini dalam peringkat pertama karena melihat
temuan hasil yang dicapai dan diterapkannya. Mujtahid ini menggali,
menemukan, dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia
menelaah hukum dari Al-Quran dan mengisthinbatkan hukum dari
hadits Nabi. Ia menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum atas
sesuatu yang dilihatnya adanya kesamaan illat antara hukum yang ada
19
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), jilid 2, hal. 270-282. 20
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal 98.
21
nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan istihsan
karena dilihatnya qiyas tidak menyelesaikan masalah, dan menetapkan
hukum atas dasar maslahah mursalah, istishhab dan dalil lain bila tidak
menemukan nash yang memberi petunjuk.
Mujtahid peringkat pertama ini harus memenuhi segala
persyaratan sebagaimana di atas, sehingga disebut mujtahid yang
sempurna atau al-kamil karena dalam berijtihad, ia merintis sendiri
dengan menggunakan kaidah dan ilmu ushul yang disusunnya sendiri.
Ia juga termasuk mujtahid mandiri atau al-mustaqil karena tidak
memiliki keterkaitan dengan suatu kaitan apapun yang mengurangi
derajat ijtihadnya. Juga termasuk mujtahid mutlaq21
atau mujtahid fi al-
Syari.22
Mujtahid yang memiliki kualifikasi dalam peringkat ini di
kalangan ulama tabiin adalah seperti: Said ibn Musayyab, Ibrahin al-
Nakhai dan ayahnya al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, al-Syafii, Ahmad
bin Hanbal, al-Auzai, al-Kaits ibn Saad, Sofyan al-Tsauri, dan
lainnya.
b. Mujtahid Muntasib
Peringkat kedua mujtahid disebut mujtahid muntasib dalam arti
ijtihadnya dihubungkan kepada mujtahid yang lain. Mujtahid ini dalam
21
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana, 2006), hal 157. Lihat juga A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh:
Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal 99.
22 A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hal 99.
22
berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah
diterapkan oleh mujtahid terdahulu, namun ia tidak mesti terkait
kepada mujtahid tersebut dalam menetapkan hukum furu (fiqh)
meskipun hasil temuan yang diterapkannya ada yang kebetulan sama
dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang dirujuknya.
Keterikatan mujtahid ini dengan imam mujtahid sebelumnya karena ia
berguru kepada mujtahid tersebut dan mengambil cara-cara yang
digunakan oleh gurunya dalam berijtihad. Dalam beberapa hal ia pun
berbeda pendapat dengan gurunya itu.
Di antara mujtahid yang masuk dalam peringkat ini adalah Abu
Yusuf, Muhammad ibn Hasan al-Syaibani yang menghubungkan
dirinya dengan Abu Hanifah, al-Muzanni yang berguru cukup lama
kepada al-Syafii, Abd al-Rahman ibn Qasim yang dihubungkan
kepada Imam Malik, Ahmad ibn Hanbal yang pada mulanya
dinisbahkan kepada al-Syafii, namun kemudian menyatakan mandiri
dan tidak lagi disebut al-muntasib.
c. Mujtahid Madzhab
Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang mengikuti imam mazhab
tempat ia bernaung baik dalam ilmu ushul maupun dalam furu. Ia
mengikutu temuan yang dicapai imam mazhab dan tidak menyalahi
apa yang ditetapkan oleh imamnya.
Mujtahid mazhab ini mempunyai ilmu yang luas tentang
mazhabnya sehingga memungkinkan untuk mengeluarkan
23
(mentakhrijkan) hukum dengan cara menghubungkannya kepada apa
yang telah digariskan oleh imamnya. Ijtihadnya terbatas pada usaha
mengistinbath hukum untuk masalah yang belum ditetapkan oleh
imamnya dengan mengikuti kaidah dan metode ijtihad yang telah
dirumuskan imamnya tersebut. Mujtahid mazhab ini dalam beberapa
literatur disebut juga dengan mujtahid mukharij karena posisinya
dalam ijtihad adalah mentakhrijkan (mengeluarkan) pendapat imam
mujtahid dalam menjawab persoalan hukum pada kasus lain yang
serupa. Walaupun dalam hal ini mujtahid tersebut berhasil menetapkan
hukum sebagai temuannya, namun ia tetap menisbahkan hukum yang
ditetapkannya itu kepada imamnya, sehingga pemikiran imam itu
sendiri semakin berkembang dan meluas.23
Berbeda dengan Abu Zahrah, A. Djazuli membagi tingakatan
mujtahid sebagai berikut:
a. Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil atau mujtahid fi syari yaitu
mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istinbath
hukum, mereka inilah imam-imam mazhab seperti Abu Hanifah,
Maliki, Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.
b. Mujtahid mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat
imam mazhab dalam ushul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil
ijtihadnya (hukum furunya) ada yang sama dan ada yang berbeda
dengan pendapat imam mazhab. Seperti al-Muzani dalam mazhab al-
Syafii.
23
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terjemahan Saefullah Mashum dari kitab
Ushul al-Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012), hal. 579-591. Lihat juga Amir Syarifudin,
Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), jilid ke 2, hal. 274-277.
24
c. Mujtahid fi al-Mazhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhab
dalam ushul maupun furu hanya berbeda dalam penerapannya. Jadi,
hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah
ada dalam mazhab. Seperti al-Ghazali dalam mazhab al-Syafii.
d. Mujtahid fi al-Masail yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya
berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-imam
mereka, dengan menggunakan metode imam-imam mereka. Seperti al-
Karhi dikalangan mazhab Hanafi dan ibnu Arabi di kalangan mazhab
al-Maliki.
e. Ahlu takhrij yaitu fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan
memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada
dalam mazhabnya. Seperti al-Jashosh dalam mazhab Hanafi.
f. Ahlu tarjih yaitu fuqoha yang kegiatannya hanya menarjih atau
menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam
mazhabnya.24
Adapun fungsi daripada ijtihad sebagai berikut: pertama,
memberikan jalan keluar dari segala urusan yang berbeda-beda dari setiap
manusia, hukum itu selalu berubah tidak kaku karena kehidupan manusia
itu terus berkembang dan kebutuhan manusia terus bertambah. Kedua,
sebagai penyalur dari kreativitas individual atau kelompok didalam
menanggapi peristiwa-peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman
mereka sendiri. Ketiga, sebagai interpreter yaitu memberi tafsir yang tepat
24
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana, 2006), hal 157-158.
25
terhadap dalil-dalil yang dzanni dalalahnya. Keempat, ijtihad berfungsi
sebagai syahid yaitu untuk membuktikan bahwa Islam yalu wa la yula
alaih dalam kehidupan praktis manusia.25
25
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hal 100-104.
26
BAB III
SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI
A. Biografi Al-Mawardi
1. Riwayat Hidup al-Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin
Habib al-Mawardi (364-450 H/974-1058 M), dilahirkan di Basrah, Irak.
Mawardi berasal dari kata ma (air) dan ward (mawar) karena ia adalah
anak seorang penjual air mawar.1 Al-Mawardi hidup pada masa
pemerintahan dua khalifah: al-Qadir Billah (380-422 H) dan al-Qaimu
Billah. Masa kehidupan al-Mawardi ditandai dengan suasana dan kondisi
disintegrasi politik dalam pemerintahan Daulat Bani Abbas. Pada masa itu
Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan Bani Abbas tidak mampu
membendung arus keinginan daerah-daerah yang dikuasainya untuk
melepaskan diri dari Bani Abbas dan membentuk daerah otonom. Ini
akhirnya memuculkan dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau
tunduk pada kekuasaan Bani Abbas.2
Di Mesir terdapat negara Fathimiyyah. Di Andalusia terdapat negara
Bani Umayyah. Di Khurasan dan daerah Timur secara umum terdapat
negara Bani Abbasiyyah.
1 Nur Mufid dan A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-Mawardi:
Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, (Surabaya: Pustaka Progressif,
2000), hal. 21.
2 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 2003), hal. 58.
27
Hubungan antara khalifah-khalifah Bani Abbasiyyah dengan negara
Fathimiyyah di Mesir didasari permusuhan sengit, sebab masing-masing
keduanya berambisi untuk menghancurkan yang lain.
Hubungan Bani Abbasiyyah dengan khalifah-khalifah Bani
Umayyah di Andalusia juga dilandasi permusuhan sejak Bani Abbasiyyah
meruntuhkan sendi-sendi negara Bani Umayyah dan untuk itu darah
tercecer disana sini.3
Di sisi lain, keberadaan khalifah-khalifah Bani Abbas sangat lemah.
Mereka menjadi boneka dari ambisi politik dan persaingan antara pejabat-
pejabat tinggi negara dan para panglima militer Bani Abbas. Khalifah
sama sekali tidak berkuasa menentukan arah kebijakan negara. Yang
berkuasa adalah para menteri Bani Abbas yang pada umumnya bukan
berasal dari bangsa Arab, melainkan dari bangsa Turki dan Persia.4
Dalam kondisi demikian, al-Mawardi pandai menari sesuai irama
gendang. Ia mampu memainkan perannnya dengan baik, sehingga
mendapatkan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Dalam
kapasitasnya sebagai ahli hukum mazhab Syafii, ia pernah menjadi hakim
di berbagai kota. Kemudian, pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir
(991-1031 M) al-Mawardi bahkan diangkat sebagai Ketua Mahkamah
Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Baghdad. Karena kepandaian diplomasinya
3 Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul
Falah, 2006), hal. Xxiv.
4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 2003), hal. 58.
28
pula ia ditunjuk sebagai mediator perundingan antara pemerintah Bani
Abbas dengan Buwaih yang sudah menguasai politik ketika itu. al-
Mawardi berhasil melakukan misinya dengan memuaskan kedua belah
pihak. Bani Abbas tetap memegang jabatan tertinggi kekhalifahan,
sementara kekuasaan politik dan pemerintahan dilaksanakan oleh orang-
orang Buwaih. Tidak mengherankan kalau al-Mawardi juga mendapatkan
tempat yang layak dan disenangi oleh amir-amir Buwaih yang menganut
paham Syiah.5
Al-Mawardi termasuk politisi yang produktif dalam hal menulis,
banyak sekali buku-buku yang ia tinggalkan, diantara buku-buku
karangannya adalah sebagai berikut:
a. Dalam fiqh
1) Al-Hawi Al-Kabiru.
2) Al-iqnau.
b. Dalam fiqh politik
1) Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah.
2) Siyasat al-Wizarat wa Siyasat Al-Maliki.
3) Tashilu An-Nadzari wa Tajilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Maliki
wa Siyasat Al-Maliki.
4) Siyasat Al-Maliki.
5) Nashihat Al-Muluk.
5 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 17.
29
c. Dalam tafsir
1) Tafsir Al-Quranul Al-Karim.
2) An-Nukat wa Al-Uyun.
3) Al-Amtsal wa Al-Hikam.
d. Dalam sastra
1) Adab Ad-Dunya wa Ad-Din.
e. Dalam akidah
1) Alam An-Nubuwwah.6
Al-Mawardi Rahimahullah wafat pada bulan Rabiul Awwal tahun
450 H dalam usia 86 tahun.
2. Pemikiran Politik al-Mawardi
Imamah (kepemimpinan) yang dimaksud al-Mawardi dijabat oleh
khalifah (pemimpin), raja, penguasa, atau kepala negara, dan kepadanya ia
diberi lebel agama. Al-Mawardi menyatakan Sesungguhnya imam
(khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam
menjaga agama dan mengatur dunia.7 Dengan demikian seorang imam
adalah pemimpin agama di satu pihak dan di lain pihak sebagai pemimpin
politik.
Dasar pembentukan imamah menurut al-Mawardi adalah wajib
secara ijma. Akan tetapi dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah
6 Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul
Falah, 2006), hal. Xxx-xxxi.
7 Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul
Falah, 2006), hal. 1.
30
berdasarkan akal atau syariat?. Menurutnya ada dua golongan, pertama
wajib berdasarkan akal dengan alasan manusia itu adalah makhluk sosial
dan dalam pergaulan mereka bisa terjadi permusuhan, perselisihan, dan
penganiayaan. Karenanya dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat
mencegah kemungkinan-kemungkinan itu. Kedua wajib berdasarkan
syariat bukan karena pertimbangan akal dengan alasan karena kepala
negara menjalankan tugas-tugas agama yang bisa saja akal tidak
mendukungnya dan akal hanya menghendaki setiap orang yang berakal
melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan
hubungan, kemudian ia bertindak dengan akalnya sendiri bukan dengan
akal orang lain. Sementara syariat menghendaki bahwa segala persoalan
itu harus diserahkan kepada pihak yang berwenang dalam agama.
Sebagaimana firman Allah SWT:
) : )
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya (Q.S. An-Nisa: 59).
Terdapat pula hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Hisyam bin
Urwah dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW bersabda:
31
8
Artinya:
Sepeninggalku akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin,
kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang baik dengan
membawa kebaikannya, kemudian akan datang kepada kalian
pemimpin yang jahat dengan membawa kejahatannya. Maka dengarkan
merekam dan taatilah apa saja yang sesuai dengan kebenaran. Jika
mereka berbuat baik, maka kebaikan tersebut untuk kalian, dan jika
berbuat jahat, maka kalian mendapatkan pahala dan mereka
mendapatkan dosa. (HR.Thabrani).
Ada dua cara menurut al-Mawardi di dalam pemilihan imam
(khalifah): pertama, Dewan pemilih yang bertugas memilih imam bagi
umat. Kedua, Dewan imam yang bertugas mengangkat salah seorang dari
mereka sebagai imam.9 Hal ini menunjukkan bahwa baik dari sumber awal
agama Islam atau fakta historis, al-Mawardi tidak menemukan sistem yang
baku dalam pemilihan kepala negara, tetapi pemilihan kepala negara dalam
Islam telah diimplementasikan oleh para sahabat.
Adapun kriteria yang harus dipenuhi oleh Dewan pemilih sebagai
berikut:
a. Adil dengan segala syarat-syaratnya.
b. Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi
imam sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.
8 Sulaiman ibn Ahmad Ibn Ayub Ibn Muthir al-Lakhmi as-Syamiy; Abu al Qosim
at-Thabrani, al-Mujam al-Kabir, (t.tp, t.th), juz.19, hal.460, no.1102
9 Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul
Falah, 2006), hal. 1
32
c. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih
siapa yang paling tepat menjadi imam dan paling efektif serta paling
ahli dalam mengelola semua kepentingan.
Sedangkan kriteria yang harus dipenuhi oleh Dewan imam adalah:
a. Adil dengan syarat-syaratnya yang universal.
b. Ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus dan
hukum-hukum.
c. Sehat inderawi (telinga, mata, dan mulut) yang dengannya ia mampu
menangani langsung permasalahan yang telah diketahuinya.
d. Sehat organ tubuh dari cacat yang menghalanginya bertindak dengan
sempurna dan cepat.
e. Wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat dan mengelola
semua kepentingan.
f. Berani dan ksatria yang membuatnya mampu melindungi wilayah
negara dan melawan musuh.
g. Nasab yaitu berasal dari keturunan Quraisy berdasarkan nash-nash
yang ada dan ijma yang terjadi pada pertemuan Tsaqifah Bani Sidah
ketika Abu Bakar menyatakan (pemimpin-pemimpin itu
berasal dari Quraisy) maka terpilihlah Abu Bakar r.a sebagai khalifah
pertama berdasarkan ijma. Kemudian Rasulullah juga bersabda
dahulukan orang Quraisy dan jangan kalian)
mendahuluinya).10
10
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul
Falah, 2006), hal. 3-4.
33
Ada sepuluh tugas yang harus dilakukan oleh seorang imam, antara
lain:
a. Menjaga agama sesuai dengan prinsip-prinsip yang disepakati oleh
ulama salaf.
b. Menerapkan keadilan diantara orang yang sedang berperkara.
c. Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci.
d. Menegakkan supremasi hukum untuk menjaga agama dan umat.
e. Melindungi daerah-daerah perbatasan dari serangan musuh.
f. Memerangi orang-orang yang menentang Islam (jihad) setelah adanya
dakwah.
g. Mengambil fai (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa
pertempuran) dan sedekah sesuai dengan yang diwajibkan oleh
Syariat.
h. Mengatur penggunaan harta baitul mal (kas negara) secara efektif.
i. Mengangkat orang-orang yang terlatih dan ahli dalam bidangnya untuk
membantu tugasnya.
j. Terjun langsung menangani persoalan yang terjadi di masyarakat
(blusukan).11
B. Biografi al-Ghazali
1. Riwayat Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali (450 H atau 1058 M). Ia lahir di Thus pada suatu kota kecil
11
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul
Falah, 2006), hal. 23
34
dekat Khurasan, Persia. Ayahnya seorang sufi yang fakir harta. Ia bekerja
keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat kepada tokoh-tokoh
agama dan ahli fiqh di berbagai majelis dan khalwat mereka12
, waktu
ayahnya sudah merasa usianya telah hampir habis, maka al-Ghazali
dititipkan pada seorang sufi pula.13
Ia mendapatkan pendidikan awalnya di
Thus, dibawah asuhan seorang pendidik dan ahli tasawuf, sahabat karib
ayahnya yang telah meninggal. Setelah tamat ia melanjutkan pelajarannya
ke kota Jurjan yang ketika itu menjadi kegiatan ilmiah. Disini ia
mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persia, di samping belajar
pengetahuan agama. Di antara gurunya adalah Imam Abu Nasr al-Ismaili.
Karena kurang puas ia kembali ke Thus.14
Beberapa tahun kemudian ia
pindah ke Naisabur dan berguru tentang ilmu kalam atau teologi pada
Imam Haramain Juwaini. Kemudian ia menggabungkan diri dengan
kelompok Nizham al-Mulk, wazir Sultan (Saljuk) A. Arsalan, suatu
kelompok yang waktu itu sangat menarik bagi para cendikiawan muda
Islam. Pada tahun 484 H atau 1091 M al-Ghazali ditugaskan oleh Nizham
al-Mulk untuk mengajar di lembaga pendidikan tinggi Nizhamiyah yang
didirikannya di Baghdad. Selama mengajar di Nizam al-Mulk, al-Ghazali
telah berhasil mengarang kitab-kitab yang sangat penting diantaranya: al-
Mankhul fi Ushul al-Fiqhi, Syifa al-Ghalil fi Ushul al-Fiqhi, Maakhad al-
Khilaf, Lubab al-Nadzar, Tahsin al-Maakhid, al-Mabadi wa al-Ghayat,
12
Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Ghazali Hujjatul Islam, (Solo: Pustaka Mantiq,
1988), hal. 20. 13
Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia 1989), hal. 96.
14
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994), hal. 25.
35
al-Basith, Khulashah al-Mukhtashar, al-Wasith, al-Wajiz fi Fiqhi al-Imam
al-Syafii, Tahdzib al-Ushul, Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah,
Fadhaih al-Bathiniyyah, Ihya Ulumiddin, Hujjat al-Haq, Miyar al-Ilmi,
Mahkul Nadzar, al-Iqtishad fi al-Itiqad, dan Mizan al-Amal.15
Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar dan melalui jabatannya
sebagai mahaguru namanya melejit, sehingga ia terhitung salah seorang
ilmuwan yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi tidak saja dalam
lingkungan Nizha al-Mulk, tetapi juga di kalangan pemerintahan di
Baghdad.16
Pada tahun 488 H atau 1095 M ia menderita gangguan saraf dan
karenanya ia tidak dapat lagi mengajar di Nizhamiyyah. Beberapa bulan
kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan memberi kesan akan pergi ke
Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi kemudian ternyata
kepergiannya dari Baghdad itu hendak mengakhiri karirnya baik sebagai
mahaguru maupun ahli hukum. Ia tidak pergi ke Mekah, tetapi ke
Damaskus, Suriah. Baru beberapa waktu kemudian menunaikan ibadah
haji. Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, al-Ghazali pulang ke
kampung halamannya untuk berkhalwat, beribadah, menulis dan memilih
jalan menjadi sufi sebagai jalan hidupnya.17
15
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakar hingga Nasr dan
Qardhawi, (Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2003), hal. 163.
16
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 2003), hal. 70.
17
Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Kalam Mulia 1989), hal. 96.
36
Semasa hidup al-Ghazali, dunia Islam mengalami kemunduran dan
kemerosotan yang semakin parah dibandingan masa sebelumnya, termasuk
kemerosotan kehidupan beragama dan akhlak. Pada waktu itu terjadilah
apa yang pernah terjadi di Eropa pada abad XVI dan XVII yakni para
penguasa politik yang saling berebut kekuasaan dan wilayah mencari
dukungan dari kelompok-kelompok agama tertentu. Sebaliknya, aliran-
aliran agama dalam usahanya mempertahankan dan memperluas pengaruh
dan wilayah masing-masing dan mencari dukungan dari penguasa-
penguasa politik yang akhirnya terjadi perselingkuhan diantara
keduanya.18
Nasib al-Ghazali tidak seluruhnya menyedihkan. Kekecewaannya
terhadap situasi keagamaan di dunia Islam bagian Timur sedikit atau
banyak telah terobati oleh perkembangan yang terjadi di bagian Barat
dunia Islam. Pada masa al-Ghazali di Afrika Utara sebelah Barat dunia
Islam telah berdiri dua kerajaan: Murabithin yang dibangun oleh Abdullah
bin Yasin dan Yusuf bin Tsyfin, yang wilayahnya meliputi Aljazair,
Marakisy, Afrika Barat dan Andalusia. Dan Muwahidun yang dibangun
oleh Muhammad bin Tumarat, yang wilayanhya meliputi seluruh daerah
Maghrib Arab, Afrika Barat dan Andalusia. al-Ghazali bersahabat dengan
para pendiri kedua kerajaan itu. Pada saat Yusuf meminta nasihat tentang
masalah-masalah perang dan damai, dan kebijakan politik negara. Oleh
karenanya al-Ghazali berhak ikut bangga dengan keberhasilan Yusuf bin
Tasyfin, baik dalam membangun maupun dalam mengelola negara dengan
18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 72.
37
penuh keadilan dan kearifan, sampai ia mendapatkan julukan amir al-
muslimin. Tetapi pada saat Yusuf bin Tasyfin meninggal yang kemudian
digantikan oleh anaknya, Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Hubungan yang akrab
antara dinasti Murabithin dengan al-Ghazali kemudian berubah menjadi
sebaliknya, mungkin karena hasutan para ulama di sekeliling raja, sikap
permusuhan Ali terhadap al-Ghazali demikian memuncak sampai pada
suatu hari diselenggararakan acara api unggun di halaman-halaman masjid
Andalusia dan Maghrib dengan bahan bakar buku Ihya Ulum al-Din.
Persahabatan al-Ghazali dengan tokoh lain yang juga menghasilkan
lahirnya suatu negara yang didasarkan atas pengarahan dan petunjuk
darinya adalah persahabatannya dengan Muhammad bin Tumarat, setelah
ia berhasil memberontak terhadap Murabithin dan merebut sejumlah
wilayah kekuasaannya.19
Dalam sejarah al-Ghazali pernah mengkritik penguasa karena suatu
masalah. Ia pernah didatangi Perdana Menteri Khalifah Anusyirwan
dirumahnya sebagai penghormatan dan pengakuan terhadap kedudukan
dan kelebihannya. Akan tetapi, al-Ghazali berkata umur anda akan
dihisab, dan anda bagaikan orang yang disewa umat, maka bila anda
memenuhi kepentingan mereka, itu lebih baik daripada membuang waktu
untuk mendatangiku.20
19
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 2003), hal. 73.
20
Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali, Terjemahan Hasan
Abrori dari kitab al-Imam al-Ghazali Baina Maadihihi wa Naaqidiihi. (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 90.
38
Dengan pengetahuannya yang luas al-Ghazali mengetahui bahwa
ikatan Islam yang paling cepat hancur adalah yang berkaitan dengan
pemerintahan dan politik. Penyelewengan yang paling tampak di bidang
pemerintahan adalah politik materi.
Atas dasar ini, al-Ghazali amat pedas kritiknya terhadap pengaturan
keuangan Sulthan. Ia melarang keras para ulama memasuki kesultanan,
bergaul dengan mereka atau menerima hadiah dari mereka karena hadiah
tersebut merupakan suap (risywah), sedangkan harta mereka pada
umumnya adalah haram.
Dalam dinamika politik, perlawanan terhadap tirani dan despotisme
politik, rezim-rezim Firaun dan Haman yang bertindak melampaui batas
dibumi dan memecah belah rakyatnya menjadi berbagai kelompok. Dalam
perbuatan, mereka itu telah mendudukan dirinya di singgasana Tuhan,
meskipun dalam perkataan mereka tidak pernah mengumandangkannya.
Mereka menistakan hamba-hamba Allah hingga menjadi budak-budak
mereka. Al-Ghazali sangat mendukung prinsip kemerdekaan bagi rakyat
dengan mengajak memperkuat jalannya prinsip syura. Al-Ghazali menilai
syura sebagai suatu kewajiban bukan hanya keutamaan. Dengan kata lain,
syura sifatnya mengikat bukan hanya sekedae simbol.21
Imam al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senen 14 Jumadil Akhir
505 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M.22
21
Yusuf Qardhawy, Syaikh Muhammad Al-Ghazali Yang Saya Kenal: Setengah Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, Terjemahan Surya Darma dari kitab Syaikh al-Ghazali Kama Araftuhu: Rihlatuhu Nifsihi Qarnin, (Jakarta:Robbani Press, 1998), hal. 261.
22 Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Ghazali Hujjatul Islam, (Solo: Pustaka Mantiq,
1988), hal. 55.
39
2. Pemikiran Politik Al-Ghazali
Mengenai masalah imamah bagi al-Ghazali hukumnya adalah
wajib. Pemikiran ini dapat dilihat dalam karyanya al-Iqtishad fi al-Itiqad
(sikap lurus dalam itikad). Al-Ghazali menggambarkan hubungan agama
dengan dengan kekuasaan politik dengan bahasa Sulthan adalah wajib
untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama.
Ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat.23
Agama adalah landasan bagi kehidupan manusia dan kekuasaan
politik (negara) adalah penjaganya. Keduanya memiliki hubungan erat:
politik tanpa agama bisa hancur, sebaliknya agama tanpa kekuasaan politik
dapat hilang dalam kehidupan manusia. Kekuasaan politik atau negara
merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama. 24
Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak
dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Disinilah perlunya mereka hidup
bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian lanjut al-Ghazali,
pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis
duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak.
Karena menurutnya bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan
kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan
berdasarkan kewajiban agama (syari). Ini dikarenakan bahwa
23
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-Itiqad, (Mesir: Maktabah al-Jund, 1972), hal. 198-
199. Lihat juga Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 28. 24
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-Itiqad, (Mesir: Maktabah al-Jund, 1972), hal. 198-199
40
kesejahteraan dan kebahagiaan diakhirat tidak tercapai tanpa pengalaman
dan penghayatan agama secara benar. Karenanya al-Ghazali menyatakan
bahwa agama dan negara (kekuasaan politik) bagian yang saling
melengkapi. Bahkan al-Ghazali menegaskan bahwa negara menempati
posisi yang sangat penting dan strategis, yang hanya berada setingkat di
bawah kenabian.25
Prinsip kepatuhan kepala negara juga sangat ditekankan oleh al-
Ghazali. Dalam karyanya al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali menyatakan
bahwa Allah telah memilih dua kelompok manusia. Pertama, adalah para
Nabi dan Rasul Allah. Mereka diutus untuk memberikan penjelasan
kepada manusia lainnya tentang petunjuk dan dalil-dalil beribadah
kepadanya. Kedua, adalah penguasa. Kelompok ini diutamakan Allah
karena mereka dapat menjaga umat manusia dari sikap permusuhan satu
sama lainnya. Kemaslahatan umat manusia di bumi sangat terkait erat
dengan keberadaan penguasa ini. Dengan kekuasaan yang mereka miliki,
Allah menempatkan mereka pada posisi yang paling terhormat.
Untuk itu mesti diketahui bahwa orang yang diberi pangkat oleh
Allah SWT sebagai penguasa dan dijadikan sebagai pengayom Tuhan di
muka bumi, maka setiap orang wajib mencintainya, tunduk, dan
mematuhinya. Mereka tidak dibenarkan mendurhakai dan
menentangnya.26
25
Al-Ghazali, Nasihat bagi Penguasa, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail
dari kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 136.
26
Ibid, hal. 125
41
Al-Ghazali melanjutkan bahwa setiap orang harus simpati kepada
penguasa dan wajib mematuhi segala perintah mereka. Ia mesti
mengetahui bahwa Allah memberi kekuasaan dan kerajaan pada mereka.
Berbeda dengan al-Mawardi yang merumuskan teori kontrak sosial, al-
Ghazali menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara adalah kudus (suci)
berasal dari Tuhan. Selain itu, al-Ghazali juga berpendapat bahwa
penguasa adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi (Zhill Allah fi al-
ardh).27
Al-Ghazali juga memberikan persyaratan kepada seseorang yang
dapat diangkat sebagai kepala negara: pertama, dewasa. Kedua, otak yang
sehat. Ketiga, merdeka. Keempat, laki-laki. Kelima, keturunan Quraisy.
Keenam, pendengaran dan penglihatan yang sehat. Ketujuh, kekuasaan
yang nyata. Kedelapan, memperoleh hidayah. Kesembilan, berilmu
pengetahuan. Kesepuluh, wara (kehidupan yang bersih dengan
kemampuan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan
tercela).28
27
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 30
28
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 78
42
BAB IV
PENGUASAAN ILMU SEBAGAI SYARAT KEPALA NEGARA
MENURUT AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI
A. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-Mawardi
Manusia sebagai bagian dari makhluk Allah SWT, pada hakikatnya
harus hidup berdampingan, bermasyarakat sesamanya, bahkan terhadap alam,
hewani, nabati untuk menciptakan kehidupan yang penuh rasa damai, aman
serta adil dan makmur.
Untuk memfokuskan hal-hal yang berhubungan dengan masalah
kepemimpinan, patut diperhatikan dalam Al-quran surat Al-Anam ayat 165:
( : )
Artinya:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Anam: 165).
Dalam ayat tersebut terdapat kata Khalaaifa yang berarti jamak,
diartikan sebagai penguasa-penguasa. Ayat ini menegaskan bahwa manusia
sebagai khalifah yang berwenang mengatur kehidupan dunia adalah mutlak
bagi seorang pemimpin atau khalifah, tentunya orang-orang yang telah
memenuhi kriteria dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang harus
dimilikinya.1
1A.M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hal. 159.
43
Manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna dan sebaik-baik bentuk
yang dilengkapi dengan indera dan akal, dengan demikian manusia berwenang
mengatur keadaan alam ini, semata-mata untuk kedamaian lahir batin,
sehingga dapat menjadi hamba-Nya di dalam rahmat dan karunia-Nya.
Pengertian khalifah sebagai penguasa atau pemimpin banyak ragam dan
jenis kekuasaan tersebut, baik secara operasional maupun konsepsional.
Khalifah juga mengandung arti yang universal tergantung dimana
menempatkan penguasa tersebut di dalam pembahasan. Ada kalangan dalam
suatu negara yang berdaulat bentuk-bentuk organisasi bahkan sampai kepada
bentuk yang sekecil-kecilnya. Allah mengangkat khalifah di muka bumi
untuk menjadi pemimpin terhadap sesamanya yang dilakukan secara
bersambung dari generasi ke generasi.2
Ahlul halli wal aqdi adalah lembaga perwakilan dan menyalurkan
aspirasi atau suara masyarakat. Anggota ahlul halli wal aqdi terdiri dari orang-
orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara
lain bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai pemimpin
pemerintahan. Al-Mawardi menyebutkan ahlul halli wal aqdi dengan sebutan
ahlul ikhyar, karena mereka yang berhak memilih khalifah.3 Sedangkan Ibnu
Taimiyyah menyebutnya dengan sebutan ahlul Syawkah. Sebagian yang lain
menyebutnya dengan sebutan ahlul Syura, ahlul ijma, dan ahlul ijtihad.4
2Abu Alfida Ismail Ibn Umar Ibn Kastir ad-Dimisqa. Tafsir al quran al adzim, (t.tp,
t.th), Jilid I, hal. 336.
3Al-Mawardi, al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Al-Qahirah: Dar Al-Hadits, 2006), hal. 5.
4Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), hal. 138.
44
Namun semuanya mengacu pada pengertian sekelompok anggota masyarakat
yang mewakili umat (rakyat) dalam menentukan arah dan kebijaksanaan
pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan hidup. Dari sekian definisi yang
ada yang dibahas disini adalah ahlul ijtihad sebagai kepala negara.
Firman Allah dalam surat Shad ayat 26:
): (
Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan (Q.S. Shaad : 26).
Allah menyebutkan bahwa Nabi Daud a.s juga sebagai khalifah
penguasa di bumi yang harus meletakan keadilan, kejujuran, serta kedamaian
di bumi Allah ini. Tafsir Qurthubi menyebutkan bahwa penguasa atau
pemimpin berkewajiban menghukumi perkara dengan adil, tidak
diperkenankan menuruti hawa nafsu.5 Karena apabila penguasa sudah
dikuasai oleh nafsu, pastilah akan lenyap serta berakibat fatal bagi dirinya dan
keluarganya, sebab yang batil itu pasti hancur dan sirna.
Kepemimpinan yang dikonsepsikan Al-quran ini merupakan suatu hal
yang sangat mendasar untuk mengelola hubungan sesama manusia maupun
5Abu Abdullah Muhammd Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar Ibn Farah al-Anshari al-
Khazraji Samsuddin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (al-Qahirah: Dar al-Kutub al-
Mishriyyah, 1964, ), Jilid XV, hal. 179
45
dengan alam lingkungannya. Tipe kepemimpinan yang dikemukakan Al-
quran bukan semata-mata hanya mengenai urusan ukhrawi, akan tetapi
banyak tekanan yang menyangkut berbagai urusan duniawi seperti tijarah
atau perdagangan, perindustrian, perniagaan, pemerintahan, organisasi sampai
terhadap kelompok keluarga bahkan lebih jauh lagi terhadap diri sendiri.6
Dalam hal syarat kepala negara yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, al-Mawardi memberikan kriteria terhadap orang yang berhak
dipilih sebagai kepala negara (imam) dengan tujuh syarat yaitu: pertama, adil
dalam arti yang luas. Kedua, punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad di
dalam menghadapi persoalan-persoalan dan hukum. Ketiga, sehat
pendengaran, mata, dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan
tanggung jawabnya. Keempat, sehat badan sehingga tidak terhalang untuk
melakukan gerak dan melangkah cepat. Kelima, pandai dalam mengendalikan
urusan rakyat dan kemaslahatan umum. Keenam, berani dan tegas membela
rakyat, wilayah negara dan menghadapi musuh. Ketujuh, keturunan Quraisy.7
Syarat ahlul ijtihad bagi calon kepala negara merupakan hal yang paling
penting, karena mengemban tugas sebagai kepala negara sangatlah berat
untuk dilaksanakan kalau tidak mempunyai ilmu yang luas.
Al-Mawardi mengaharuskan seorang kepala negara harus seorang
mujtahid, maka tidak dibenarkan mengangkat menjadi imam orang yang
bukan mujtahid. Dengan alasan karena imam melihat persoalan-persoalan
6A.M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hal. 159-160.
7 Al-Mawardi, Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah, (Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2006), hal.
19-20.
46
yang timbul yang ia hadapi. Apalagi jika terjadi perselisihan antara rakyat dan
pejabatnya, maka tidak ada pilihan lain kecuali jika imam adalah seorang
mujtahid.
Karena imam memilih dan menugaskan para qadhi dan mereka
disyaratkan memiliki kemampuan melakukan ijtihad, maka imam dengan
sendirinya harus seorang mujtahid yang melakukan ijtihad. Dengan demikian
jika terjadi perbedaan pendapat antara para qadhi, imam dapat membenarkan
yang benar dan menyalahkan yang salah.8
Apalagi kalau melihat akan kebutuhan ijtihad dewasa ini adalah suatu
hal yang berlebihan dan bersikap masa bodoh terhadap realita, bila
mengatakan bahwa buku-buku karya ulama terdahulu sudah cukup memadai
untuk memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru. Karena, setiap
zaman itu memiliki problematika sendiri, konteks realitas dan berbagai
kebutuhan yang senantiasa muncul. Apalagi bumi senantiasa berputar, semua
cakrawala pun bergerak,dunia tetap berjalan dan jarum jam tidak pernah
berhenti.
Seiring perputaran yang terus menerus ini dan perjalanan yang cepat,
munculah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh orang orang
terdahulu. Dengan demikian kebutuhan terhadap ijtihad merupakan
kebutuhan yang bersifat kontinyu, dimana realita kehidupan ini senantiasa
berubah,begitupun kondisi masyarakatnya yang senantiasa mengalami
8Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, terjemahan Musthalah
Maufur dari kitab al-Nizham al-Siyasi fi al-Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 126.
47
perubahan dan perkembangan.9 Melihat hal tersebut diatas tentu apa yang
ditawarkan al mawardi yaitu syarat seorang kepala negara harus seorang
mujtahid merupakan jawaban dari kebutuhan akan ijtihad.
Makna ijtihad yang diharuskan pada seorang kepala negara artinya dia
harus mengetahui hukum-hukum Islam yang bersangkutan dengan kaidah-
kaidah utamanya disamping mengetahui cabang-cabang dari keilmuan hukum
lainnya. Dasar hukum Islam itu ada 4 macam. Pertama, mempunyai ilmu
tentang Al-Quran yang sesuai dengan hukum-hukum yang berkaitan,
mengetahui Sunnah Nabi baik dari ucapannya maupun dari perbuatannya.
Kedua, mengetahui bagaimana hadits itu diperoleh. Ketiga, mengetahui
takwil yang telah dipakai oleh para ulama salaf baik itu berupa hasil
kesepakatan maupun hasil dari berikhtilaf. Keempat, mengetahui qiyas untuk
mengembalikan suatu hukum pada dasarnya semula yang diambil dari
lafalnya maupun dari hasil kesepakatan mereka sehingga seorang mujtahid
mampu menemukan sebuah jalan dengan dasar-dasar yang ada.10
Jika mampu
menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka dia termasuk mujtahid. Sebaliknya kalau
tidak, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai mujtahid.
Jika mau menafsirkan syarat keilmuan seperti diatas pada zaman
sekarang, kita dapat mengatakan bahwa disyaratkan bagi seorang kepala
negara harus menguasai ilmu-ilmu politik, ilmu-ilmu ekonomi, dan ilmu
perbandingan sosial.
9 Yusuf al-Qardawi, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,
terjemahan Abu Barzani dari kitab al-Ijtihad al-Muashir baina al-Indilbaath wa al-
Infiraath, (Surabaya:Risalah gusti,1995), hal. 56.
10
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, penerjemah Ahmad Burdan Hadi
dari kitab al-Nazhariyyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),
hal. 233
48
Syarat keilmuan meliputi dua macam ilmu. Pertama, ilmu-ilmu syariat
atau ilmu-ilmu agama, yakni ilmu Alquran, ilmu Hadits, ilmu Bahasa Arab,
ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, ilmu Nasakh Mansukh dan ilmu tentang perbedaan
pendapat para ulama dalam bidang ushul dan furu. Ilmu-ilmu ini diperlukan
agar kepala negara dapat menjadi suri tauladan bagi umat islam dalam
penguasaan ilmu-ilmu agama serta secara independen dapat