Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    1/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan

    SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR

    BAWAH TANAH YANG BERKELANJUTAN

    Dr. Heru Hendrayana

    Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering, Gadjah Mada UniversityEmail : [email protected]

    Website : www.heruhendrayana.staff.ugm.ac,id

    Tahun : 2003

    PENDAHULUAN

    Air bawah tanahmerupakan sumberdaya alam yang terbarukan(renewal natural

    resources), dan memainkan peranan penting pada penyediaan pasokan kebutuhan air

    untuk berbagai keperluan. Mengingat peranan air bawah tanahyang semakin vital,

    maka pemanfaatan air bawah tanahharus memperhatikan keseimbangan dan

    pelestarian sumberdaya itu sendiri, atau dengan kata lain yang sekarang populer,

    pemanfaatan air bawah tanahharus berwawasan lingkungan.

    Air bawah tanahsebagai salah satu sumberdaya air, saat ini telah menjadi

    permasalahan nasional yang cukup komplek, sehingga mutlak dituntut perlunya

    langkah-langkah nyata untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh

    kegiatan eksploitasi air bawah tanahyang tidak terkendali.

    Pengelolaan air bawah tanahharus dilakukan secara bijaksana yang bertumpu

    pada aspek hukum, yakni peraturan perundangan yang berlaku di bidang air bawah

    tanah, serta aspek teknis yang menyangkut pengetahuan ke-air bawah tanah-an

    (groundwater knowledge) di suatu daerah.

    Pengelolaan air bawah tanahdalam arti luas adalah segala upaya yang

    mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta

    pengawasan dalam rangka konservasi air bawah tanah. Pengelolaan air bawah

    tanahpada hakekatnya melibatkan banyak pihak dan harus dilakukan secara bijaksana

    dengan mendasarkan aspek hukum dan aspek teknis. Pengelolaan air bawah

    tanahharus didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan air bawah tanah

    (Groundwater Basin Management). Secara umum pengelolaan air bawah tanah yang

    berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi air bawah

    tanahdan pemantauan keseimbangan pemanfaatan air bawah tanah.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    2/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 2

    Pada saat ini pengelolaan air bawah tanahdan kegiatan konservasi air bawah

    tanahtelah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun

    Swasta, tetapi pada kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi air bawah

    tanahbelum dapat mencapai sasaran dan masih relatif jauh dari titik optimal.

    Pada ayat (3) pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, dituliskan, bahwa "Bumi danair dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

    dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat", maka keberadaan

    sumberdaya air di bumi Indonesia ini harus dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai

    kebutuhan air baku, bagi kemakmuran seluruh masyarakat. Pada kenyataan selama ini,

    penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air masih belum mencapai tujuan tersebut.

    Hanya sebagian kecil masyarakat yang terpenuhi kebutuhan air bersih, sementara itu

    bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, air bersih merupakan barang langka dan

    mahal.

    Sebagai gambaran di daerah Bandung dan sekitarnya, terdapat sekitar 2000

    sumur bor untuk memenuhi keperluan industri (Soetrisno, 2002a), dengan rata-rata

    pemompaan sekitar 200 lt/menit setiap sumur dengan lama pemompaan rata-rata 8

    jam/hari, maka untuk keperluan industri di Bandung sebesar 0.2 juta m3 per hari yang

    berasal dari air bawah tanahdengan mutu prima. Sementara masyarakat miskin di

    daerah Bandung, dengan mengacu pada angka nasional penduduk yang hidup di

    bawah garis kemiskinan, sebesar 400.000 jiwa. Apabila diperkirakan rata-rata 70%

    mempunyai akses ke air bawah tanah, maka jumlah air bawah tanahdengan mutu

    rendah yang diambil masyarakat miskin kota adalah sebesar 14.000 m3 per hari.

    Dengan demikian bila dibandingkan kedua pemanfaatan tersebut di atas, maka kaum

    miskin perkotaan hanya menikmati air bawah tanahsebesar 7% (kurang dari 10%) dari

    yang digunakan untuk sektor industri (Soetrisno, 2000b).

    Di samping itu, pengambilan air bawah tanahyang berlebihan pada beberapa

    cekungan di daerah perkotaan, seperti Jakarta dan Bandung dalam satu dekade

    terakhir telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, misalnya degradasi

    muka air bawah tanahantara 2 hingga 4,6 m /tahun; intrusi air asin yang telah

    mencapai 6 hingga 10 km ke arah daratan, dan amblesan tanah tercatat maksimum

    34 cm/tahun. Kondisi seperti ini telah banyak terjadi di daerah-daerah perkotaan di

    Jawa, Sumatra, dan Bali (Soetrisno, 2002b). Gambaran tersebut merupakan indikasi,

    bahwa pengelolaan sumberdaya air, khususnya air bawah tanah, yang bertumpu pada

    pada aspek hukum/kelembagaan yang ada dan aspek teknis, belum mampu

    mengatasi dampak negatif yang timbul.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    3/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 3

    Aspek teknis dan aspek hukum serta kelembagaan merupakan dasar dari

    penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air bawah tanah. Oleh sebab itu kedua

    aspek tersebut mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan penyelenggaraan pengelolaan

    sumberdaya air bawah tanah yang menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat dalam

    memanfaatkan air bawah tanah sekaligus menjamin keberlanjutan sumberdaya air itusendiri. Kebutuhan tersebut semakin mendesak dengan diberlakukannya Undang-

    Undang No. 22 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan dan

    tanggung jawab Daerah secara otonom untuk mengelola sumberdaya alam (termasuk

    sumberdaya air) yang ada di wilayahnya. Pada era otonomi dan desentralisasi,

    pengelolaan sumberdaya air menjadi semakin rumit. Aspek hukum dan kelembagaan

    pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan paradigma pemerintahan yang

    baru tersebut, sehingga menjamin pemanfaatan yang lebih adil bagi seluruh

    masyarakat di setiap derah otonom, serta keberlanjutan keterdapatan dan

    kemanfaatannya.

    Tulisan singkat ini bermaksud membahas konsep dasar pengelolaan sumberdaya

    air bawah tanahyang berkelanjutan pada aspek teknis yang merupakan dasar

    pelaksanaan aspek hukum dan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air

    bawah tanah. Di samping itu, akan ditinjau aspek hukum dengan kaitannya pada

    penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu telaah terhadap pelaksanaan peraturan serta

    masalah yang timbul dalam pelaksanaan tersebut. Dan, tindakan-tindakan yang perlu

    dilakukan dari aspek teknis dan aspek hukum agar pengelolaan sumberdaya air bawah

    tanahpada era otonomi daerah dapat mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat dan

    kemanfaatan air yang berkelanjutan.

    PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DI INDONESIA

    Pengelolaan air bawah tanahdi Indonesia pada dasarnya bertumpu pada aspek

    hukum dan aspek teknis. Aspek hukum merupakan peraturan dan perundangan yang

    digunakan untuk melandasi upaya pengelolaan air bawah tanah, baik yang dikeluarkan

    oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan dan perundangan yang

    dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebenarnya merupakan pranata hukum yang

    bertindak sebagai ujung tombak pelaksanaan upaya pengelolaan dan perlindungan air

    bawah tanah, dengan demikian peraturan daerah sangat menentukan dalam

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    4/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 4

    pelaksanaan konservasi sumberdaya air bawah tanah. Karena sifatnya demikian, maka

    peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah seharusnya

    disesuaikan dan mengacu pada kondisi fisik sumberdaya air bawah tanah di daerah

    tersebut. Aspek teknis pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah tidak mendasarkan

    pada batas administrasi suatu daerah, tetapi harus tetap mengacu pada konfigurasicekungan air bawah tanah dengan memperhatikan kondisi batas hidrogeologi yang

    ada.

    Pelaksanaan kebijakan pengelolaan air bawah tanah mencakup kegiatan

    inventarisasi, peruntukan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pemantauan

    pengambilan air bawah tanah, yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya

    keseimbangan pemanfaatan air bawah tanahdan konservasi air bawah tanah secara

    optimal. Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka VISI Pengelolaan air bawah tanah

    di Indonesia adalah: KELESTARIAN KETERSEDIAAN AIR BAWAH TANAH DEMI KESINAMBUNGAN

    PEMANFAATANNYA. Atas dasar hal tersebut, maka penyelenggaraan pengelolaan

    sumberdaya air bawah tanah didasarkan, bahwa:

    Sumberdaya air bawah tanah adalah karunia Tuhan yang terkandung di

    dalam bumi Indonesia, dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-

    besarnya bagi kemakmuran rakyat.

    Sumberdaya air bawah tanah mempunyai fungsi sosial. Pola pengaturan air

    bawah tanah didasarkan atas asas kemanfaatan, keseimbangan dan

    kelestarian,

    Hak atas air bawah tanah adalah semata-mata hak guna air, yakni hak

    untuk memperoleh air bagi keperluan tertentu.

    Air bawah tanahuntuk keperluan air minum merupakan prioritas utama diatas

    keperluan lain.

    Perlu memperhatikan kondisi alam (hidrogeologi) termasuk yang di atas

    permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah.

    Perlu mempertimbangan hal-hal lain, yaitu :

    o Keterpihakan kepada masyarakat atau kepentingan yang lebih luas

    yang tercermin pada prioritas peruntukannya

    o Tuntutan kebutuhan PAD perlu diimbangi dengan peningkatan upaya

    konservasi atau pelestarian air bawah tanah dan pelayanan

    kebutuhan masyarakat terhadap air bersih.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    5/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 5

    Sedangkan perwujudan kebijakan dalam pengelolaan air bawah tanah oleh

    Menteri Pertambangan dan Energi, adalah:

    Mengkoordinasi segala inventarisasi sumberdaya air bawah tanah dengan

    memperhatikan kepentingan umum, departemen dan lembaga lain terkait

    Mengatur peruntukan pemanfaatan air bawah tanah

    Melakukan pengendalian dan pemantauan pengambilan air bawah tanah

    dalam rangka ijin pengambilan dan konservasi

    Mengelola data air bawah tanah sebagai sumber informasi air bawah tanah

    Memberi ijin usaha perusahaan pengeboran air bawah tanah

    Sampai saat ini upaya pengelolaan air bawah tanah untuk menjamin

    keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian air bawah tanah terus menerus diterapkan

    di lapangan, baik yang mencakup aspek teknis maupun aspek hukum. Tetapi pada

    kenyataannya, meskipun upaya pengelolaan air bawah tanah telah dilakukan oleh

    semua unsur terkait, di lapangan masih menunjukkan adanya degradasi sumberdaya air

    bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya, di samping terhadap lingkungan di

    sekitarnya. Hal ini menunjukkan, bahwa pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah

    dalam rangka konservasi air bawah tanah belum mencapai sasaran secara optimal.

    Seperti dijelaskan di atas, bahwa pada dasarnya pengelolaan air bawah tanahdi

    Indonesia bertumpu pada dua aspek, yaitu (1). Aspek hukum dan (2). Aspek Teknis.

    Aspek Hukum

    Perioda Sebelum Otonomi Daerah

    Beberapa peraturan tentang air bawah tanah pada masa kolonial tetap dipakai

    selama masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, walaupun pada beberapa kasus

    sudah tidak sesuai lagi dengan situasi pada saat itu. Adapun beberapa peraturan

    perundangan yang menyangkut tentang air bawah tanah pada masa sebelum

    otonomi daerah, antara lain adalah (Soetrisno, 2002b dan Hendrayana, 2002a-b):

    Keputusan Presiden No. 64 Tahun 1972

    Keputusan Presiden No. 64 tahun 1972 tentang "Pengaturan Penguasaan dan

    Pengurusan Uap Geothermal, Sumber Air Bawah Tanah dan Mataair Panas". Pada pasal

    1 dari keputusan tersebut tercantum, bahwa tanggungjawab pengurusan administrasi

    atas geothermal, sumber air bawah tanah dan mataair panas yang terdapat di

    Indonesia ada pada Menteri Pertambangan.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    6/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 6

    Undang-Undang No. 11 Tahun 1974

    Sebagai perwujudan ayat (3) pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka pada

    tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang No. 11 tentang Pengairan. Undang-Undang ini

    menitik-beratkan fungsi sosial sumberdaya air, oleh sebab itu penguasaan atas

    penggunaan sumberdaya tersebut dilakukan oleh Negara bagi kemakmuran rakyat.

    Peraturan yang ada mengenai air dan atau sumber-sumber air, sebelum Undang-

    Undang ini ditetapkan, dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat itu dan

    tidak memenuhi cita-cita yang diharapkan seperti pada Pancasila dan Undang Undang

    Dasar 1945.

    Algemen Waterreglement (AWR) Tahun 1936 yang dipakai dasar pengaturan

    sebelum undang-undang tersebut ditetapkan, tidak memberikan dasar yang kuat untukusaha pengembangan pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air guna

    meningkatkan taraf hidup rakyat. Selain itu AWR hanya berlaku di P. Jawa dan Madura.

    Khusus tentang air bawah tanah pasal 5 ayat (2) pada undang-undang tersebut,

    ditetapkan sebagai berikut :

    "Pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah dan mataair panas sebagai

    sumber mineral dan tenaga adalah di luar wewenang dan tanggung jawab Menteri

    yang disebut dalam ayat (1) pasal ini" (maksudnya Menteri yang diserahi tugas urusan

    pengairan).

    Dengan pasal tersebut jelas, bahwa air bawah tanah memerlukan pengaturan

    tersendiri oleh Menteri yang diserahi tugas urusan air bawah tanah.

    Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982

    Untuk pelaksanaan undang-undang tersebut di atas, kemudian ditetapkan

    Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1982, tentang Tata Pengaturan Air. Pada ayat (2)

    pasal 5 Undang-Undang No. 11 dan pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 22, makapengurusan administratif atas sumber air bawah tanah, mataair panas sebagai sumber

    mineral dan sumber tenaga menjadi wewenang Menteri yang bertanggung jawab

    dalam bidang pertambangan. Selanjutnya pasal 6 ayat (2) dan (3) peraturan

    pemerintah tersebut menetapkan :

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    7/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 7

    Ayat (2) :

    Pengambilan air bawah tanah untuk penggunaan airnya pada batas kedalaman

    tertentu hanya dapat dilaksanakan dengan izin Gubernur yang bersangkutan setelah

    mendapat petunjuk-petunjuk teknis dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    pasal ini.

    Karena kedudukan lapisan pembawa air bawah tanah (akuifer) pada tiap

    daerah berbeda-beda kedalamannya, maka pengaturan pengambilan air bawah

    tanah harus disesuaikan dengan kondisi hidrogeologi setempat. Batas-batas kedalaman

    ini ditetapkan oleh Menteri yang diatur dalam suatu peraturan tersendiri.

    Pengambilan air bawah tanah memerlukan izin dari pejabat yang diberi

    wewenang oleh Menteri yang berwewenang dalam bidang pertambangan yang

    pelaksanaannya diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan yang khusus

    mengatur hal tersebut, sedang penggunaannya tunduk pada ketentuan-ketentuan

    tersebut pada Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan lain dalam bidang

    pengairan.

    Ayat (3) :

    Pelaksanaan ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut oleh Menteri sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

    Dengan demikian kewenangan dalam pengaturan air merupakan kewenangan

    Pemerintah Pusat, sedangkan dalam batas-batas tertentu kewenangan tersebut

    dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka tugas pembantuan.

    Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983

    Mengingat ketentuan pada pasal 6 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah No. 22

    Tahun 1982, maka ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.

    03/P/M/Pertamben/1983, tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Pada dasarnya

    peraturan Menteri tersebut menetapkan, bahwa pengurusan administratif air bawah

    tanah adalah pengelolaan air bawah tanah dalam arti luas yang mencakup segalausaha inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perizinan dan pengendalian serta

    pengawasan dalam rangka konservasi air bawah tanah.

    Peraturan ini lebih lanjut mengatur wewenang dan tanggung jawab Menteri

    dalam melaksanakan pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah yang

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    8/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 8

    dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, yang dapat

    melimpahkan pelaksanaannya kepada Direktur Geologi Tata Lingkungan.

    Pengambilan air bawah tanah hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari

    Gubernur, yaitu setelah mendapat saran teknik yang mengikat dari Direktur Geologi Tata

    Lingkungan. Selain kewenangan dalam pemberian izin, Pemerintah Daerah dilibatkan

    dalam pelaksanaan pengawasan air bawah tanah bersama-sama dengan Direktorat

    Geologi Tata Lingkungan dan Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi.

    Dengan demikian Pemerintah Daerah melakukan tugas pembantuan pada

    pengurusan administratif air bawah tanah. Meskipun di dalam Peraturan Menteri tersebut

    tidak diatur secara khusus mengenai masalah pungutan/biaya pengelolaan, namun

    untuk melaksanakan tugas pembantuan tersebut, Pemerintah Daerah menetapkan

    sendiri pungutan/biaya pengelolaan air bawah tanah di daerah masing-masing

    berdasarkan Peraturan Daerah di bidang air bawah tanah.

    Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08.P/03/M.PE/1991

    Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 menetapkan: Penggunaan air

    dan/atau sumber air untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan, termasuk

    kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi diatur bersama oleh Menteri dan

    Menteri yang bersangkutan.

    Oleh itu penggunaan air untuk masing-masing kegiatan tersebut, seperti

    dinyatakan pada penjelasan pasal di atas, perlu diatur tersendiri dengan

    memperhatikan aspek teknis maupun administratif bidang bersangkutan dan tata

    pengaturan air secara keseluruhan. Untuk keperluan itu, pasal tersebut menjelaskan,

    bahwa Menteri bersama Menteri yang bersangkutan ditugaskan untuk menetapkan

    peraturan dan persyaratan penggunaan air untuk masing-masing bidang teknis yang

    bersangkutan.

    Atas dasar penjelasan tersebut ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan

    Energi No. 08.P/03/M.PE/1991 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertambangan dan

    Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang menetapkan,

    bahwa : Izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan mataair untuk

    kegiatan usaha industri dan pertambangan diberikan oleh Menteri yang

    pelaksanaannya dilakukan Direktur Jenderal (Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya

    Mineral), sementara izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan mataair

    untuk kegiatan di luar usaha industri dan pertambangan tetap dapat diberikan oleh

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    9/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 9

    Gubernur sesuai dengan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.

    03/P/M/Pertamben/1985.

    Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertambangan dan

    Energi No 04/KPTS/1991 & No. 0076/101/MPE/1991

    Keputusan bersama ini dibuat sebagai tindak lanjut Pasal 22 Peraturan

    Pemerintah No. 22 Tahun 1982. Kepurtusan ini mengatur tentang Penggunaan Air dan

    atau Sumber Air untuk Kegiatan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, serta

    Pengusahaan Sumberdaya Panas Bumi.

    Dalam keputusan bersama ini tata cara pelaksanaan penggunaan air

    permukaan dan air bawah tanah, untuk kegiatan dimaksud, persyaratan teknis

    penggunaan air, serta iuran jasa pemanfaatan air.

    Peraturan ini mencerminkan pemanfaatan bersama sumberdaya air, meskipun

    sebatas dalam bentuk keputusan bersama dan hanya mengatur beberapa kegiatan

    manajemen (pemberian izin pemanfaatan) air untuk kegiatan tertentu.

    Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/101/M.PE/1994

    Pada pelaksanaan di lapangan dari kedua peraturan di atas ditemui adanya

    pemahaman yang berbeda tentang kewenangan pemberian izin pengambilan air

    bawah tanah untuk kegiatan usaha industri oleh Pemerintah Daerah, sehingga

    pengelolaan air bawah tanah di beberapa daerah kurang dapat berjalan dengan

    lancar.

    Oleh sebab itu, di samping untuk menunjang kebijaksanaan Pemerintah di

    bidang deregulasi dan debirokratisasi, terutama berkaitan dengan pengambilan dan

    pemanfaatan air bawah tanah, maka Menteri memandang perlu mencabut Peraturan

    Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 03/P/M/Pertamben/83 dan Nomor

    08.P/03/M.PE/1991 dan menetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan EnergiNomor 02.P/101/M.PE/1994 tanggal 26 Desember 1994 tentang Pengurusan Administratif

    Air Bawah Tanah.

    Di dalam peraturan baru tersebut yang paling mendasar adalah, bahwa izin

    pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah untuk kegiatan di luar kegiatan

    usaha pertambangan dan energi diberikan oleh Gubernur. Sementara izin pengeboran

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    10/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 10

    dan pengambilan air bawah tanah untuk kegiatan usaha pertambangan dan energi

    diatur tersendiri oleh Menteri.

    Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/M.PE/1995

    Berkaitan dengan penyerahan sebagian urusan pemerintahan di beberapa

    bidang kepada Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan seperti diatur dalam Peraturan

    Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995, maka di bidang air bawah tanah, Menteri

    Pertambangan dan Energi menetapkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi

    No.1945.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang Pedoman Pengelolaan

    Air Bawah Tanah untuk Daerah Tingkat II.

    Urusan bidang air bawah tanah yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II

    Otonomi Percontohan meliputi:

    a. penerbitan izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah

    b. penetapan tarif dan retribusi air bawah tanah

    c. pembinaan dan pengawasan operasional terhadap pengelolaan air bawah tanah

    Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995

    Sebagai pelaksanaan pasal 7 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi

    Nomor 02.P/101/M.PE/1994, maka ditetapkan Keputusan Menteri Pertambangan dan

    Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang Perizinan

    Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah untuk Kegiatan Usaha Pertambangan

    dan Energi.

    Dalam keputusan tersebut ditetapkan, bahwa pengeboran dan pengambilan air

    bawah tanah untuk kegiatan usaha pertambangan dan energi hanya dapat

    dilaksanakan setelah mendapat izin dari Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya

    Mineral.

    Peraturan Daerah tentang Air Bawah Tanah

    Berdasarkan peraturan-perundangan di atas, setiap propinsi menerbitkan

    peraturan daerah tentang air bawah tanah. Pada dasarnya peraturan tersebut

    mengatur bagaimana pemerintah propinsi membantu (tugas pembantuan) pemerintah

    pusat melaksanakan pengelolaan air bawah tanah yang ada di wilayahnya. Peraturan

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    11/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 11

    tersebut terutama mengatur masalah perizinan, retribusi pengambilan air, pengawasan,

    dan pengendalian.

    Dari sisi kelembagaan daerah, umumnya di setiap propinsi, kewenangan tugas

    pembantuan pengelolaan air bawah tanah dilaksanakan oleh lembaga Dinas

    Pertambangan. Sedangkan air permukaan dilaksanakan oleh Dinas Pengairan.

    Peran Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Air Bawah Tanah

    Apabila dikaji semua peraturan-perundangan yang ada di bidang air bawah

    tanah, maka jelas bahwa wewenang pengurusan administratif air bawah tanah adalah

    pada Menteri Pertambangan dan Energi sebagai Menteri yang bertanggungjawab

    dalam urusan pertambangan {Undang-undang No. 11 tahun 1974 pasal 5 ayat (2) jo

    Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982 pasal 6 ayat (1)}. Artinya, bahwa pengurusan

    administratif merupakan wewenang Pemerintah Pusat.

    Pemerintah Daerah Tingkat I c/q Gubernur Kepala Daerah berwewenang pada

    pemberian izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah berdasarkan petunjuk

    teknis Menteri, dalam hal ini Menteri yang bertanggungjawab dalam urusan

    pertambangan {Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982 pasal 6 ayat (2)}.

    Dengan demikian, peran Pemerintah Daerah adalah melakukan tugas

    pembantuan terhadap pemerintah pusat pada pengurusan administratif air bawah

    tanah; termasuk juga bagi Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan sesuai PeraturanPemerintah No. 8 Tahun 1995 jo Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.

    1945.K/102/M.PE/95.

    Tugas-tugas pembantuan tersebut secara garis besar mencakup:

    1. Pemberian izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah

    2. Pengawasan

    3. Pengendalian

    Perioda Otonomi Daerah

    Sejak diberlakukannya otonomi daerah, maka beberapa peraturan

    perundangan yang menyangkut tentang air bawah tanah telah ditetapkan untuk

    disesuaikan dengan semangat otonomi dan desentralisasi kewenangan. Adapun

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    12/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 12

    beberapa peraturan tentang air bawah tanah pada masa perioda otonomi daerah,

    antara lain (Soetrisno, 2002b dan Hendrayana, 2002a-b):

    UndangUndang No. 22 Tahun 1999

    Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku efektif

    mulai 1 Januari 2001. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, maka Daerah

    berwenang untuk mengelola sumberdaya alam (termasuk air) yang ada di wilayahnya,

    seperti tercantum pada Pasal 10 Ayat (1); Daerah berwenang mengelola sumberdaya

    nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian

    lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Sumberdaya nasional dimaksudkan adalah sumberdaya alam, sumberdaya

    buatan, dan sumberdaya manusia yang tersedia di Daerah, seperti diuraikan dalam

    penjelasan undang-undang tersebut. Mengacu pada penjelasan tersebut, maka

    sumberdaya air termasuk di dalamnya.

    Undang-undang tersebut merupakan semangat otonomi dan desentralisasi

    semua urusan pemerintahan yang telah diserahkan Pemerintah (Pusat) kepada Daerah.

    Pemerintah Daerah mengatur setiap urusan pemerintahan sendiri, termasuk

    pengelolaan air bawah tanah.

    Undang-undang ini menjadi sumber bagi pranata hukum dan kelembagaan

    pengelolaan air bawah tanah setelah otonomi diberlakukan. Dengan demikian setiap

    peraturan-perundangan yang berkaitan dengan air, khususnya air bawah tanah yang

    bertentangan dengan undang-undang tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi.

    Oleh sebab itu, Undang-Undang No. 11 tahun 1974 serta peraturan turunannya, menjadi

    usang (obsolete), karena beberapa pasal tentang kewenangan tidak lagi sesuai, dan

    semangat desentralisasi tidak pernah ada dalam undang-undang tersebut serta

    peraturan turunannya.

    Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000

    Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan

    Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi diterbitkan sebagai peraturan

    pelaksanaan dari ketentuan Pasal 12, Undang-Undang No.22 Tahun 1999.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    13/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 13

    Peraturan ini mengatur kewenangan di setiap bidang pemerintahan yang ada di

    Pemerintah Pusat dan Propinsi. Sementara kewenangan bidang pemerintahan yang

    tidak diatur dalam peraturan tersebut dengan sendirinya adalah kewenangan

    Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut pada dasarnya berupa penetapan,

    pengaturan, pembinaan, dan pengawasan. Khusus tentang air bawah tanah, peraturantersebut menetapkan kewenangan Pemerintah (Pasal 2, Ayat 3) meliputi:

    Penetapan standar penyelidikan umum dan standar pengelolaan air bawah

    tanah;

    Pengaturan survei air bawah tanah skala lebih kecil atau sama dengan

    1:250.000;

    Penetapan pedoman, kriteria, dan standar; pelayanan dalam bidang yang

    wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota

    Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah.

    Sedangkan kewenangan Propinsi mencakup (Pasal 3, Ayat 5) :

    Penyediaan dukungan pengembangan dan pemanfaatan air bawah tanah;

    Pelatihan dan penelitian air bawah tanah.

    Peraturan Daerah tentang Air Bawah Tanah

    Dengan pemberlakuan otonomi daerah, maka beberapa daerah

    Kabupaten/Kota telah menerbitkan peraturan daerah tentang air bawah tanah, tetapi

    sebagian besar masih mengandalkan peraturan daerah yang lama. Hal tersebut antara

    lain disebabkan karena belum adanya undang-undang yang baru tentang sumberdaya

    air setelah pemberlakukan otonomi daerah. Kelembagaan yang berwenang

    melaksanakan pengelolaan air bawah tanah beragam dari satu daerah otonom ke

    daerah otonom yang lain.

    Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor : 1451

    K/10/MEM/2000

    Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, dalam

    rangka memberikan pembinaan dan membantu Daerah pada penyelenggaraan

    pengelolaan air bawah tanah di wilayahnya, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    14/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 14

    sesuai dengan kewenangannya menetapkan Keputusan Menteri Energi dan

    Sumberdaya Mineral Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 tanggal 3 November 2000, tentang

    Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air

    Bawah Tanah.

    Keputusan tersebut berisi berbagai pedoman dan prosedur pada pengelolaan

    air bawah tanah di daerah otonom, yang dimaksudkan sebagai acuan pada

    pelaksanaan pengelolaan. Pedoman dan prosedur tersebut meliputi:

    1. Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah.

    2. Pedoman Teknis Perencanaan Pendayagunaan Air Bawah Tanah.

    3. Pedoman Teknis Penentuan Debit Pengambilan Air Bawah Tanah.

    4. Prosedur Pemberian Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah.

    5. Prosedur Pemberian Izin Pengeboran dan Izin Pengambilan Air Bawah Tanah.

    6. Prosedur Pemberian Izin Penurapan dan Izin Pengambilan Mata air.

    7. Prosedur Pemberian Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah.

    8. Prosedur Pemberian Izin Juru Bor Air Bawah Tanah.

    9. Pedoman Teknis Pengawasan Pelaksanaan Konstruksi Sumur Produksi Air Bawah

    Tanah.

    10.Pedoman Teknis Penentuan Nilai Perolehan Air dan Pemanfaatan Air Bawah

    Tanah dalam Penghitungan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah.

    11.Pedoman Pelaporan Pengambilan Air Bawah Tanah.

    Diskusi Peraturan Yang Ada

    Berdasarkan prinsip dasar hukum Romawi, air bawah tanah ditetapkan oleh

    hukum sebagai harta dari pemilik lahan di atasnya. Negara-negara yang menganut

    kode Napoleonic, seperti halnya negara-negara pengikut tradisi hukum Anglo-Saxon,

    memberlakukan prinsip yang sama. Negara Republik Indonesia, seperti halnya tradisi

    Muslim, menetapkan air/air bawah tanah sebagai suatu komoditi umum atau

    masyarakat, merupakan anugerah Tuhan yang tak dapat dimiliki secara pribadi (Burchi,

    1999 dan Soetrisno, 2002a)

    Seorang pribadi atau komunitas tertentu hanya dapat memiliki bangunan sumur,

    tetapi tidak mempunyai hak kepemilikan atas air bawah tanah yang ada di dalam

    sumur tersebut. Demikian juga sesorang pribadi atau komunitas tertentu tidak

    mempunyai hak kepemilikan atas mata air yang berada di lahan miliknya.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    15/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 15

    Dengan prinsip kepemilikan seperti itu, serta dengan memahami asal-usul dan

    sifat-sifat air bawah tanah, maka pada dasarnya air bawah tanah adalah sebuah

    common pool atau public property, yaitu setiap orang berhak mendapatkannya.

    Hukum atau peraturan yang ada harus mengatur secara adil dan seimbang antara

    pengakuan hak pribadi dan kekuasaan negara, sehingga orang atau komunitas pemiliklahan di atasnya, serta masyarakat di sekitarnya mempunyai prioritas utama untuk

    mendapatkan keadilan dan kemakmuran atas setiap pemanfaatan mata air atau air

    bawah tanah tersebut.

    Keberadaan peraturan perundangan tentang sumberdaya air dan air bawah

    tanah pada dasarnya menunjukkan, bahwa air mempunyai nilai ekonomi dan

    lingkungan yang strategis, oleh sebab itu perlu diatur, bahkan dimasukkan dalam

    konstitusi. Prinsip dasar hukum air bawah tanah seperti diuraikan di atas, seharusnya

    menjadi dasar peraturan perundangan air bawah tanah di Indonesia.

    Beberapa pandangan atau diskusi terhadap peraturan perundangan yang ada

    sebelum masa otonomi daerah (Soetrisno, 2002a dan Hendrayana, 2002a-b):

    Pengaturan yang bersifat terfragmentasi dan sektoral. Pengelolaan air bawah tanah

    dan pengelolaan air permukaaan diatur oleh dua lembaga yang berbeda, tanpa

    adanya keterpaduan dalam perencanaan, pendayagunaan, dan pelestariannya.

    Sebagai akibatnya tidak ada jaringan kerja yang bersifat institusional antar pengelola

    masing-masing sumberdaya air, dan tidak dapat dilakukannya pemanfaatan kedua

    sumberdaya air yang saling menunjang (conjuctive use).

    Pengaturan yang bersifat sentralistik, kurang memberdayakan daerah, sebagai

    akibatnya daerah lebih berkepentingan dalam memperoleh manfaat nilai ekonomi

    air/air bawah tanah sebagai pendapatan asli daerah daripada usaha-usaha

    konservasi atau perlindungannya.

    Penetapan Pemerintah sebagai regulator, operator, dan juga penyedia data,

    mengakibatkan pelaksanaan pengelolaan menjadi rancu, bias, dan tidak adil,

    karena Pemerintah mengutamakan kepentingan sendiri apabila terjadi konflik

    kepentingan dengan pihak lain.

    Pengaturan kewenangan yang multi tafsir, sehingga mengakibatkan terjadinya konflik

    kewenangan antar sektor.

    Pengaturan yang lebih menitik beratkan kepada pemanfaatan daripada

    konservasinya. Izin pemanfaatan air merupakan instrumen utama pengendalian,

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    16/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 16

    sementara retribusi atas pemanfaatan air merupakan sumber pendapatan asli

    daerah yang tidak atau sedikit dikembalikan untuk upaya konservasinya.

    Belum adanya pengaturan peran masyarakat, swasta, dan para pihak terkait pada

    penyelenggaraan pengelolaan air bawah tanah.

    Pengaturan yang kurang memberikan sanksi berat bagi pelanggar hukum di bidangsumberdaya air/air bawah tanah.

    Peraturan perundangan yang khusus mengatur tentang sumberdaya air bawah

    tanah pada era otonomi daerah masih sangat terbatas, sehingga peraturan

    perundangan yang ada sebelum era otonomi daerah masih tetap diberlakukan

    sepanjang ketentuan di dalamnya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan

    otonomi daerah.

    Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun2000 sebagai dasar pelaksanaan otonomi dalam pengelolaan air bawah tanah daerah

    otonom, dapat ditelaah bahwa penetapan masalah kewenangan di bidang

    pemerintahan yang bersifat lintas batas Kabupaten dan Kota dapat menimbulkan

    tafsiran yang berlainan, tergantung kepentingan Pemerintah, Propinsi, dan

    Kabupaten/Kota. Hal ini berkaitan dengan karakteristik air yang mengalir tidak mengenal

    batas kewenangan pemerintahan, khususnya pada suatu cekungan air bawah tanah

    atau akuifer lintas batas (transboundary aquifer) kabupaten/kota.

    Dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dinyatakan antaralain Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi ,

    pendayagunaan sumberdaya alam... Ayat ini dapat ditafsirkan, bahwa

    pendayagunaan sumberdaya air masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

    Sedangkan pada Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan Daerah berwenang mengelola

    sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya .. dengan demikian kedua ayat

    tersebut dapat ditafsirkan saling bertentangan.

    Kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota,

    seperti tercantum pada Pasal 9 Ayat (1) dari undang-undang tersebut di atas, dapat

    menimbulkan penafsiran yang berbeda, yaitu: a) Apakah pengelolaan air/air bawah

    tanah termasuk urusan pemerintahan yang bersifat lintas batas daerah otonom?; dan b)

    Sumberdaya alam yang penyebarannya lintas batas daerah otonom, apakah urusan

    pemerintahannya juga dengan sendirinya bersifat lintas daerah? (Soetrisno, 2002b)

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    17/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 17

    Pada aspek kelembagaan di tingkat Pemerintah Pusat, meskipun dengan

    kewenangan yang sebagian besar telah didesentralisasikan ke Propinsi, Kabupaten/Kota,

    air bawah tanah dan air permukaan masih dikelola oleh dua lembaga yang berbeda.

    Air permukaan menjadi tanggungjawab Departemen Permukiman dan Prasarana

    Wilayah, sedangkan air bawah tanah masih menjadi tanggungjawab DepartemenEnergi dan Sumberdaya Mineral. Sementara itu di Propinsi dan Kabupaten/Kota,

    lembaga yang mengelola sangat beragam, ada satu instansi yang mengelola kedua

    sumberdaya air, dan ada dua instansi berbeda yang masing-masing mengelola air

    bawah tanah dan air permukaan. Dengan adanya dua instansi/lembaga yang berbeda

    baik di tingkat pusat maupun daerah yang mengelola sumberdaya air, maka pada iklim

    birokrasi dan kultur kerja di Indonesia sangat kurang menguntungkan untuk

    penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air terpadu, serta hampir tidak

    memungkinkan dilakukannya pemanfaatan air saling menunjang (conjungtive use).

    Aspek Teknis

    Setiap pengelola air bawah tanah mempunyai suatu kewajiban untuk

    memahami hal paling mendasar mengenai pengetahuan air bawah tanah

    (groundwater knowledge), yakni asal-usul dan karakteristik air bawah tanah. Dengan

    pemahaman tersebut, maka setiap pranata hukum dan kelembagaan pengelolaan air

    bawah tanah yang ada pada praktek pelaksanaanya tidak bertentangan dengan sifat-

    sifat dasar tersebut, sehingga akan menjamin, bahwa air bawah tanah diperlakukan

    sesuai dengan fungsi dan nilai ekonomi maupun lingkungannya. Oleh sebab itu, bagi

    setiap penyelenggara pengelolaan air bawah tanah seharusnya memahami hal yang

    paling mendasar terhadap ke-air bawah tanah-an tersebut, antara lain (Soetrisno,

    2002a-b dan Hendrayana, 2002a-b):

    Air bawah tanah adalah salah satu sumberdaya air yang sangat besar jumlahnya di

    bumi ini, tetapi kurang dipahami keterdapatannya. Di bumi ini 97% berupa air tawar,

    di luar tudung es kutub, adalah berupa air bawah tanah.

    Air bawah tanah adalah benda yang tidak dapat dilihat secara langsung, sehingga

    membutuhkan biaya yang relatif besar untuk menyelidikinya. Hanya sebagian kecil

    wilayah Indonesia yang diketahui secara kuantitatif keterdapatan air bawah

    tanahnya.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    18/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 18

    Air bawah tanah terbentuk berasal dari air hujan dan air permukan, yang meresap ke

    zona tak jenuh dan kemudian meresap semakin dalam hingga mencapai zona

    jenuh, dan menjadi air bawah tanah. Dengan demikian air bawah tanah merupakan

    bagian dari daur hidrologi, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekologi.

    Air bawah tanah berinteraksi dengan air permukaan serta komponen lain yangterlibat dalam daur hidrologi. Interaksi air bawah tanah dan air permukaan dapat

    bersifat air bawah tanah memasok air permukaan sebagai aliran dasar (base flow)

    ataupun sebaliknya air bawah tanah dipasok air permukaan.

    Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pengelolaan, maka obyek pengelolaan

    adalah semua air bawah tanah, baik air bawah tanah dangkal maupun dalam,

    yakni semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah, yang terkandung dalam

    zona jenuh.

    Air bawah tanah tersimpan dalam suatu wadah, yakni suatu formasi geologi yang

    mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan melalukan air bawah tanah dalam

    jumlah yang cukup, dan tergantung pada tingkat kemampuannya, maka formasi

    geologi tersebut dapat disebut sebagai akuifer, akuitard, akuiklud, dan akuifuge.

    Sebaran akuifer serta pengaliran air bawah tanah tidak mengenal batas

    kewenangan administratif pemerintahan. Sebaran akuifer yang melewati batas

    administrasi pemerintahan disebut akuifer lintas batas (transboundary aquifer) dalam

    pengertian lokal. Suatu wilayah yang dibatasi oleh batasan hidrogeologis dan yang

    mengandung satu akuifer atau lebih dengan penyebaran luas, disebut cekungan air

    bawah tanah.

    Air bawah tanah terbentuk atau mengalir secara horisontal maupun vertikal dari

    daerah recharge, seketika itu juga pada saat hujan turun, hingga membutuhkan

    waktu harian, mingguan, bulanan, tahunan, puluhan tahun, ratusan tahun, bahkan

    ribuan tahun, berada di dalam akuifer sebelum muncul kembali secara alami di

    daerah discharge. Dengan demikian bila dibandingkan dalam kerangka waktu umur

    rata-rata manusia, maka air bawah tanah sesungguhnya adalah salah satu

    sumberdaya alam yang tak terbarukan dalam waktu singkat. Sifat alami air bawah

    tanah tetap merupakan sumberdaya alam yang terbarukan, tetapi memerlukan

    waktu cukup lama, sehingga upaya konservasi tetap harus dilaksanakan untuk

    menjamin keberlanjutan kemanfaatan dan keterdapatan air bawah tanah.

    Air bawah tanah dapat muncul ke permukaan secara alami, sebagai mata air,

    maupun karena budidaya manusia, melalui sumur bor.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    19/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 19

    Mata air adalah keluaran terpusat dari air bawah tanah yang muncul di permukaan

    tanah sebagai suatu aliran air.

    Pengambilan air bawah tanah dari suatu sistem akuifer dapat menyebabkan

    penurunan muka air. Pengambilan yang melampaui jumlah rata-rata imbuhan,

    dapat mengakibatkan penurunan muka air bawah tanah secara menerus, sertapengurangan cadangan air bawah tanah dalam akuifer. Hal tersebut dapat

    menyebabkan terjadinya intrusi air laut di daerah pantai, penurunan kualitas air, serta

    amblesan tanah.

    Kualitas air bawah tanah secara alami sangat dipengaruhi oleh jenis litologi

    penyusun akuifer, jenis tanah/batuan yang dilalui air bawah tanah, serta jenis air asal

    air bawah tanah (=faktor geogen). Kualitas air tersebut dapat berubah apabila

    terjadi pengaruh aktivitas manusia terhadap air bawah tanah, seperti pengambilan

    air bawah tanah yang berlebihan, pembuangan limbah, dll. (=faktor anthropogen).

    Pemulihan degradasi kualitas dan kuantitas air bawah tanah membutuhkan biaya

    yang sangat mahal serta teknologi maju. Pengalaman menunjukkan, bahwa

    pemulihan tidak dapat mengembalikan kondisi air bawah tanah seperti kondisi awal.

    Dengan tinjauan aspek teknis, maka keterdapatan air bawah tanah tidak dibatasi

    oleh batas administratif suatu daerah, sehingga pengelolaan air bawah tanah mengacu

    pada cekungan air bawah tanah, yaitu suatu wilayah yang ditentukan oleh batasan-

    batasan hidrogeologi, yang mengandung satu akuifer atau lebih dengan penyebaran

    luas, dimana semua proses hidraulika (pengisian, pengaliran, pengambilan atau

    pengeluaran) berlangsung. Batasan-batasan teknis hidrogeologi tersebut meliputi : (1)

    waktu, (2) jumlah, (3) ruang/wadah dan (4) kualitas (Hendrayana, 2000b, 2002a-b)

    Waktu : bahwa ketersediaan air bawah tanah dibatasi oleh dimensi waktu

    yang menyangkut waktu pengaliran dan pembentukan air bawah

    tanah, termasuk waktu tinggal air bawah tanah di dalam akuifer.

    Ruang/wadah : tempat dimana air bawah tanah tersimpan, yaitu akuifer atau

    wadah yang secara hidrogeologi memungkinkan menyimpan danmelepaskan air bawah tanah dalam jumlah berarti, sehingga

    diperlukan pemahaman terhadap konfigurasi, geometri, dan

    parameter akuifer di suatu cekungan untuk membantu menentukan

    keterdapatan dan besaran sumberdaya air bawah tanah. Batas

    akuifer (aquifer boundaries) dalam wadah tersebut ditentukan oleh

    sifat-sifat hidraulika yang dimilikinya.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    20/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 20

    Jumlah : dengan mengetahui adanya batasan waktu dan ruang/wadah,

    maka jumlah suatu sumberdaya air bawah tanah di suatu cekungan

    (a) dapat dihitung dan diketahui dan (b) ditentukan skenario

    pemanfaatannya.

    Kualitas : dengan analisis hidrokimia air bawah tanah dapat diketahuikesesuaian peruntukannya, yaitu untuk air minum, industri, pertanian.

    Beberapa upaya pengelolaan air bawah tanah dari aspek teknis yang telah

    dilaksanakan di Indonesia dalam rangka pengendalian dampak negatif akibat

    pemompaan air bawah tanah secara berlebihan, antara lain:

    1. Pengaturan Penentuan Lokasi Penurapan

    Mengingat keterdapatan lapisan pembawa air bawah tanah tidak merata, maka

    penentuan lokasi pengambilan air bawah tanah sangat menentukan, agar sumberdayaair bawah tanah dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Disamping itu, pengaruh

    pengambilan air bawah tanah melalui sumur-sumur yang berdekatan akan

    mengakibatkan penurunan muka air bawah tanah yang lebih besar, maka penentuan

    lokasi dan jarak antar sumur, akan dapat mencegah pengaruh dampak negatif tersebut

    di atas (Hendrayana, 1993, 2000b).

    2. Pengaturan Kedalaman Penyadapan

    Suatu daerah sering mempunyai akuifer berlapis banyak (multi layer aquifers).

    Kondisi yang demikian sangat memungkinkan untuk dilakukan pengaturan kedalaman

    penyadapan pada lapisan akuifer tertentu. Dengan pengaturan kedalaman

    penyadapan dapat dihindari terjadinya eksploitasi air bawah tanah yang terkonsentrasi

    hanya pada satu lapisan akuifer tertentu, yang dampaknya tentu berbeda dengan

    penyadapan yang dilakukan pada beberapa lapisan akuifer yang berlainan. Peruntukan

    air bawah tanah untuk berbagai keperluan, diatur dengan mengambil air bawah tanah

    dari berbagai kedalaman yang berbeda. Namun pada dasarnya pengaturan

    kedalaman penyadapan air bawah tanah tetap mengacu pada prioritas pemanfaatan/

    peruntukan air bawah tanah, di mana air minum merupakan prioritas utama.

    3. Pembatasan Debit Penurapan

    Pembatasan besarnya debit air bawah tanah yang disadap, bertujuan agar

    penurunan muka air bawah tanah dapat dibatasi pada kedudukan yang aman.

    Pengertian aman mempunyai arti dapat mencegah terjadinya intrusi air laut pada

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    21/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 21

    pengambilan air bawah tanah di daerah pantai, maupun kemungkinan terjadinya

    amblesan, serta untuk menyesuaikan dengan cadangan air bawah tanah yang

    tersedia, yaitu menyeimbangkan antara jumlah pengambilan dan jumlah imbuhan.

    Namun konsekuensi dari pembatasan ini adalah, harus dapat disediakan sumber-

    sumber pasokan air yang lain, misalnya dari air permukaan. Kondisi hidrogeologi suatudaerah sangat menentukan besarnya cadangan dan kualitas air bawah tanah,

    sehingga berapa batas yang aman jumlah debit pengambilan air bawah tanah, sangat

    berbeda dari suatu daerah ke daerah yang lain. Tetapi secara kualitatif dapat

    ditentukan, bahwa jumlah pengambilan air bawah tanah hendaknya tidak melebihi

    jumlah imbuhan air bawah tanah.

    4. Penambahan Imbuhan

    Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama air bawah tanah adalah

    berasal dari air hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya mempunyai

    curah hujan yang relatif tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun, dengan hari hujan yang relatif

    panjang. Kondisi ini sangat menguntungkan dalam imbuhan air bawah tanah secara

    alami, dimana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan penggantian dari defisit air

    bawah tanah yang terjadi pada musim kemarau. Dengan demikian akuifer akan

    mendapat penambahan cadangan air bawah tanah. Permasalahannya adalah di

    daerah-daerah yang telah berkembang, terutama di kota-kota besar, peristiwa

    pengisian kembali air bawah tanah pada musim hujan terhambat karena adanya

    perubahan lingkungan atau fungsi lahan. Daerah-daerah yang sebetulnya merupakan

    daerah imbuh air bawah tanah telah berubah fungsi, sehingga hanya sebagian kecil air

    hujan yang meresap dan mengimbuh air bawah tanah.

    5. Penentuan Kawasan Lindung

    Kawasan lindung air bawah tanah mengarah kepada penataan ruang suatu

    daerah dengan maksud untuk melindungi jumlah dan mutu sumberdaya air bawah

    tanah. Oleh sebab itu, untuk menentukan kawasan lindung air bawah tanah, disamping

    kondisi hidrogeologi, maka penggunaan lahan dan keberadaan infrastruktur harus

    dipertimbangkan. Penentuan kawasan lindung ini merupakan suatu hal yang tidak

    mudah untuk dilaksanakan, karena sering terjadi konflik kepentingan. Misalnya, di daerah

    imbuh air bawah tanah, sering terjadi tuntutan pembangunan sebagai daerah

    pemukiman, industri, buangan sampah, dan penggunaan lahan lain yang berdampak

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    22/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 22

    negatif terhadap jumlah maupun mutu air bawah tanah. Oleh sebab itu banyak

    kendala untuk memberlakukan secara efisien upaya perlindungan air bawah tanah.

    Meskipun demikian usaha-usaha perlindungan air bawah tanah dapat ditetapkan dari

    sudut pandang hidrogeologi dan geologi lingkungan (Hendrayana, 2001a).

    PERMASALAHAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN AIR BAWAH

    TANAH

    Dengan mendasarkan pada kenyataan, bahwa di lapangan masih menunjukkanadanya gejala degradasi kuantitas dan kualitas terhadap sumberdaya air bawah tanah,

    serta fakta sebagian besar masyarakat belum atau tidak mendapatkan pelayanan air

    bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, bencana banjir yang terjadi hampir

    setiap tahun di beberapa daerah, dan kekurangan air di daerah yang sama pada

    musim kemarau, membuktikan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan

    sumberdaya air pada umumnya dan air bawah tanah pada khususnya. Dengan

    demikian jelas, bahwa masih banyak dijumpai permasalahan pada pelaksanaan

    pengelolaan air bawah tanah yang berwawasan lingkungan. Meskipun hal tersebut

    disebabkan oleh banyak faktor, serta permasalahan yang sangat kompleks, baik aspek

    teknis, aspek hukum dan kelembagaan yang ada. Untuk mencapai hasil yang optimal

    sesuai sasaran pengelolaan, maka perlu identifikasi permasalahan dan meminimalkan

    kendala yang ada.

    Berhubungan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, permasalahan yang

    timbul selama ini dan mungkin akan timbul pada pelaksanaan pengelolaan

    sumberdaya air bawah tanah perlu diidentifikasi dan dikaji agar pengelolaan air bawah

    tanah di setiap daerah otonom dapat diselenggarakan secara benar, dan dapatmenjamin ketersediaan air serta kemanfaatan yang lebih adil bagi semua masyarakat,

    serta kesinambungan keterdapatan air bawah tanah.

    Pada pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air/air bawah tanah selama ini

    dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai penyebab kurang optimalnya

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    23/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 23

    pencapaian sasaran pengelolaan sumbersaya air bawah tanah, antara lain

    (Hendrayana, 2002a-b, dan Soetrisno, 2002b):

    Kebijakan pengelolaan yang mengingkari karakteristik air bawah tanah, kurang/tidak

    menjamin hak dasar masyarakat mendapatkan akses penyediaan air, serta

    kurang/tidak mengakomodasi keinginan masyarakat lokal, kurang/tidak melibatkan

    partisipasi para pihak lain yang berkepentingan, daerah, dan masyarakat lokal,

    kurang/tidak memberdayakan sumberdaya lokal.

    Peraturan perundangan yang kurang efektif dan tidak cukup menunjang

    pelaksanaan pengelolaan. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 dan peraturan-

    peraturan turunannya, tidak secara tegas mengatur dan menetapkan kewenangan

    dan tanggung jawab setiap lembaga yang berkaitan dengan pengumpulan data

    dan sistem pengelolaanya, serta tidak mengatur secara tegas hubungan

    kelembagaan antar institusi yang berkaitan dengan hal tersebut. Ketentuan, pasal,ayat yang ada berkaitan dengan hal tersebut bermakna ganda (ambiguity), yang

    menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang

    kepentingan masing-masing insitusi.

    Fragmentasi sistem pengelolaan sumberdaya air, yang membedakan antara air

    hujan, air permukaan dan air bawah tanah. Air bawah tanah dikelola secara terpisah

    dengan air permukaan, oleh institusi yang berbeda, baik di tingkat pusat maupun

    daerah. Hal ini menyebabkan pengelolaan pemanfaatan air saling menunjang tidak

    dapat dilaksanakan.

    Sentralisasi yang terlalu kuat, berakibat memperpanjang sistem pengambilan

    keputusan. Di samping itu, kurang atau tidak memberdayakan organisasi di daerah,

    yang menyebabkan daerah kurang atau tidak mempunyai rasa memiliki atas

    sumberdaya air yang ada di wilayahnya.

    Desentralisasi pengelolaan sampai tingkat kabupaten/kota cenderung mengabaikan

    prinsip pengelolaan akuifer lintas batas. Kewenangan yang dimiliki daerah otonom

    terbatas dalam lingkup wilayah administratif pemerintahan, sehingga daerah

    cenderung hanya berkepentingan atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya,

    sedangkan sifat air tidak mengenal batas kewenangan tersebut.

    Tidak adanya jaringan data dan informasi air bawah tanah antar lembaga

    pengumpul atau pengelola data air bawah tanah, hal tersebut akibat keterbatasan

    sumberdaya serta kurang diberdayakannya sumberdaya daerah.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    24/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 24

    Pemanfaatan air bawah tanah yang parsial, kurang berkeadilan, serta tidak/kurang

    menjamin hak masyarakat, terutama masyarakat miskin untuk mendapatkan akses

    penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

    Pemanfaatan air bawah tanah yang dilakukan dengan cara yang tidak

    mencerminkan nilai-nilai ekonomi dan lingkungan air bawah tanah. Pemanfaatanlebih menitikberatkan kepada eksploitasi untuk mendapatkan pendapatan bagi

    daerah daripada konservasinya.

    Data dan informasi air bawah tanah yang kurang memadai baik kuantitas maupun

    kualitasnya. Data dan informasi yang ada kurang informatif dan tidak seragam

    dalam format, belum tersusunnya standart sistem informasi air bawah tanah, yang

    merupakan alat bantu pada dasar perencanaan pengelolaan dan pendukung

    pengambilan keputusan.

    Degradasi kuantitas, kuantitas, dan lingkungan air bawah tanah akibat pengambilan

    air bawah tanah yang berlebihan, pencemaran, serta perubahan fungsi lahan,

    terutama di cekungan perkotaan. Di sisi lain, telah terjadi peningkatan kebutuhan

    sumber air baku yang sangat pesat, dan akhirnya terjadi konflik antar pengguna air

    baku.

    Keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun

    daerah, menyebabkan pengelolaan air bawah tanah kurang efektif dilaksanakan.

    Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah atas setiap pelanggaran yang

    terjadi terhadap peraturan pengelolaan air bawah tanah yang ada.

    Konsep pengelolaan dan konservasi air bawah tanah tidak didasarkan pada konsep

    pengelolaan cekungan air bawah tanah, tetapi lebih mendasarkan pada

    pengelolaan sumur (well management) dan juga mendasarkan pada batas

    administrasi.

    Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat awam terhadap pemahaman air

    bawah tanah, sehingga kurang concern terhadap keberadaan air bawah tanah,

    baik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya.

    Demikian juga adanya perubahan paradigma yang pada akhirnya berpengaruhpada penentuan kebijakan dan proses pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air,

    antara lain (Hendrayana, 2002a-b):

    Perubahan fungsi status air dari Komoditas Sosial menjadi Komoditas Sosial-

    Komersial

    Pergeseran peran Pemerintah sebagai Provider menjadi Enabler.

    Perubahan sistem pemerintahan dari Sentralisasi menjadi Desentralisasi.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    25/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 25

    Perubahan pola pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air dari

    Government Centrist menjadi Private-Public Participation.

    Perubahan pelayanan pemerintah dari birocrative-normative menjadi

    responsive-flexible

    Perubahan sistem kebijakan Pemerintah dari top-down menjadi bottom-up

    Banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada, baik yang bersifat teknis

    maupun non teknis sangat berpengaruh pada sasaran pelaksanaan pengelolaan air

    bawah tanah dan konservasinya. Dengan demikian dalam rangka penyelenggaraan

    otonomi daerah, maka pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah menghadapi

    beberapa TANTANGAN, antara lain seperti berikut (Hendrayana, 2002a-b, dan Soetrisno,

    2002a):

    Pengelolaan secara total dan menyatu antara air bawah tanah dan air permukaan,

    hal ini dengan menyadari, bahwa air bawah tanah adalah bagian tak terpisahkan

    dari ekosistem dan berinteraksi dengan air permukaan.

    Menerapkan konsep dasar pengelolaan air bawah tanah secara total (Total

    Groundwater Management) yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater

    Basin dan River Basin. Pendekatan pengelolaan air bawah tanah dengan

    mendasarkan konsepRegional-, Intermediate- dan Local/Artificial Groundwater Flow

    System guna memecahkan permasalahan kuantitas dan kualitas air bawah tanah

    pada setiaprecharge areaatau pun discharge area.

    Desentralisasi pengelolaan, yaitu memberdayakan daerah untuk mengelola air

    bawah tanah dalam lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan dan

    aliran air bawah tanah serta prinsip-prinsip pengelolaan akuifer lintas batas.

    Pemenuhan hak dasar, yaitu menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air dari

    air bawah tanah di daerah yang kondisi air bawah tanahnya memungkinkan, bagi

    kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan

    produktif. Menjamin terselenggaranya pemanfaatan air bawah tanah yang adil bagi

    setiap pengguna air.

    Ketersediaan data dan informasi, yaitu membangun satu sistem informasi dan

    jaringan informasi air bawah tanah yang terpadu didasari oleh data ke-air bawah

    tanah-an yang andal, tepat, akurat, dan berkesinambungan, yang mencakup

    seluruh wilayah Indonesia.

    Keberlanjutan ketersediaan air bawah tanah, yaitu dengan menjamin keseimbangan

    antara pemanfaatan nilai ekonomi air dan keterdapatan air bawah tanah sebagai

    bagian dari ekosistem, mencegah dan merestorasi degradasi kuantitas, kualitas, dan

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    26/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 26

    lingkungan air bawah tanah, mengendalikan pemanfaatan air bawah tanah sesuai

    nilai ekonomi dan aspek lingkungannya.

    Pemanfaatan air saling menunjang, yaitu menciptakan keterpaduan pemanfaatan

    air bawah tanah, air permukaan, dan air hujan.

    Ketersediaan sumberdaya (keahlian, peralatan, dan biaya) pengelolaan, yaitudengan memberdayakan sumberdaya dari masyarakat, swasta, para pihak

    berkepentingan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.

    KONSEP PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH

    Kebutuhan Konsep Pengelolaan

    Sebagai alat bantu utama pada penentuan kebijakan pada proses pengelolaan

    sumberdaya air, maka diperlukan pemahaman konsep dasar pengelolaan sumberdaya

    air. Konsep pengelolaan sumberdaya air harus dibedakan menjadi dua konsep

    pendekatan pengelolaan pada dua macam sumberdaya air, yaitu : (1) Pengelolaan Air

    Permukaan, dan (2) Pengelolaan Air bawah tanah . Namum demikian implementasi

    kedua konsep pengelolaan sumberdaya air tersebut harus terintegrasi pada satu

    kebijakan dan dilaksanakan secara simultan atau bersamaan (Hendrayana 2002a-b).

    Pengelolaan air permukaan didasarkan pada pemahaman Daerah Aliran Sungai

    (River Basin), dengan konsep: One River - One Plan One Management. Sedangkan

    pengelolaan air bawah tanah didasarkan pada pemahaman Cekungan Air Bawah

    Tanah (Groundwater Basin), dengan konsep One Basin One Plan One

    Management, yaitu dengan mendasarkan pada konsep sistem aliran air bawah tanah

    (Groundwater Flow System), yang dibedakan menjadi (1) sistem aliran airbawah tanah

    regional, (2) intermediate dan (3) sistem aliran air bawah tanah lokal atau artificial

    groundwater flow system (Hendrayana, 2002a-b).

    Sinkronisasi konsep pengelolaan air permukaan dan pengelolaan air bawah

    tanah tersebut di atas harus diimplementasikan secara benar dengan melibatkan

    berbagai pihak atau instansi terkait dengan dukungan komitmen para pemegang

    kebijakan.

    Pengelolaan air bawah tanah berbasis cekungan air bawah tanah sampai saat

    ini masih merupakan aktivitas atau kegiatan berorientasi proyek, dan implementasinya

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    27/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 27

    belum mendasarkan pada konsep yang benar. Kenyataan ini mendorong perlu segera

    diwujudkannya pendekatan konsep untuk pengelolaan air bawah tanah secara

    menyeluruh (Total Groundwater Management).

    Tahapan pada Konsep Pengelolaan

    Implementasi pengelolaan sumberdaya air bawah tanah perlu didahului oleh

    beberapa kegiatan awal, yaitu : (1) penentuan daerah/basin yang akan dikelola, (2)

    penyusunan sistem informasi dan data base dan (3) evaluasi data yang tersedia.

    Disamping itu mutlak perlu adanya dukungan komitmen semua pihak terkait pada

    pelaksanaan pengelolaannya.

    Penyusunan data base dan sistem informasi pada daerah yang akan dikelola

    dilaksanakan melalui pengumpulan data primer maupun data sekunder, termasuk di

    dalamnya aspek legal, manajerial dan aspek teknis. Melalui evaluasi ketiga aspek

    tersebut, selanjutnya ditentukan variabel utama atau parameter-parameter yang

    digunakan pada proses commitment building dari semua pihak terkait.

    Hasil yang didapatkan pada proses commitment building tersebut digunakan

    untuk menyusun kebijakan yang dimanifestasikan pada item-item tujuan dan target

    yang diharapkan dari pelaksanaan pengelolaan. Bersamaan dengan proses tersebut

    diperlukan pembentukan kelembagaan / pengorganisasian sesuai peraturan

    perundangan yang berlaku. Item tujuan dan target pengelolaan yang telah ditentukan

    di suatu daerah yang akan dikelola harus diikuti dengan penyusunan program-programpengelolaan yang nyata dan sesuai dengan kondisi fisik daerah yang akan dikelola.

    Tahapan berikutnya pada proses siklus pengelolaan (management cycle) adalah proses

    audit. Hasil proses audit pengelolaan didasarkan pada evaluasi kebijakan yang telah

    dilaksanakan dan semua kegiatan dalam rangka pengelolaan. Hal tersebut sangat

    penting, karena hasil audit tersebut diharapkan sebagai control dari berbagai pihak

    terkait. Kontrol, saran dan kritik perbaikan dari semua pihak sangat diperlukan untuk

    peningkatan proses pengelolaan berkelanjutan (gambar 5 dan 6).

    PENGELOLAAN CEKUNGAN AIR BAWAH TANAH

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    28/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 28

    Cekungan air bawah tanah didefinisikan sebagai suatu cekungan hidrogeologi

    pada suatu wilayah yang dibatasi oleh kondisi hidraulika berbeda, yang mengandung

    satu akuifer atau lebih dengan penyebaran luas. Cekungan air bawah tanah secara

    alamiah dibatasi oleh batas-batas hidraulika yang dikontrol oleh karakteristik kondisi

    geologi dan hidrogeologi wilayah setempat. Suatu cekungan air bawah tanah dapatdibatasi oleh satu atau lebih tipe batas yang kondisi hidraulika pada setiap batasnya

    berbeda-beda (Hendrayana, 1993). Suatu cekungan air bawah tanah dapat berada

    dalam satu wilayah kabupaten/kota, lintas kabupaten/kota, lintas provinsi, atau bahkan

    lintas Negara, dengan demikian batas cekungan air bawah tanah tidak selalu berimpit

    denga batas administrasi pemerintahan.

    Dalam rangka menjaga kelangsungan ketersediaan sumberdaya air bawah

    tanah, maka diperlukan langkah-langkah sistematis untuk pelaksanaan pengelolaan air

    bawah tanah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas dalam suatu cekungan air bawah

    tanah. Pengelolaan cekungan air bawah tanah harus dilaksanakan dengan

    mendasarkan pada efektifitas pemanfaatan air bawah tanah untuk meminimalkan

    dampak negatif, seperti penurunan muka air bawah tanah, degradasi kualitas maupun

    terjadinya penurunan muka tanah/amblesan.

    Tidak tercapainya hasil yang optimal pada proses pengelolaan air bawah tanah

    selama ini, antara lain disebabkan adanya kesalahan konsepsi (misconception) pada

    pendekatan teknis pengelolaannya, yaitu (Hendrayana, 2000b, 2002a-b) :

    (1)implementasi pengelolaan air bawah tanah didasarkan hanya pada

    konsep well management;

    (2)batas administrasi dijadikan batas daerah pengelolaan air bawah tanah ;

    (3)pengelolaan kuantitas dan kualitas air bawah tanah dilaksanakan dengan

    menggunakan konsep pendekatan pengelolaan yang sama;

    (4)belum adanya integrasi pengelolaan antara air bawah tanah dan air

    permukaan;

    (5)dan beberapa penyebab lainnya seperti yang telah dijelaskan pada sub

    bab terdahulu.

    Secara umum pengelolaan cekungan air bawah tanah dilaksanakan melalui tiga

    tahapan utama, yaitu :

    1. Tahapan penelitian, untuk memperoleh gambaran karakteristik fisik

    cekungan air bawah tanah, identifikasi rona awal kuantitas dan kualitas air

    bawah tanah, inventarisasi permasalahan atau problem air bawah tanah,

    dll.

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    29/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 29

    2. Tahapan observasi, untuk memantau perkembangan atau perubahan

    kuantitas dan kualitas air bawah tanah, analisa data dan

    mengumpulkannya pada sistem data base.

    3. Tahapan pengelolaan, implementasi program pelaksanaan pengelolaan

    air bawah tanah berbasis cekungan air bawah tanahPada kenyataan di alam, satu daerah aliran sungai (River Basin) di permukaan

    dapat mencakup satu atau lebih cekungan air bawah tanah, dan terdapat juga satu

    cekungan air bawah tanah di bawah permukaan dapat mencakup satu atau lebih

    daerah aliran sungai. (lihat gambar ). Masing-masing cekungan air bawah tanah dan

    daerah aliran sungai dapat berada pada satu atau lebih daerah administrasi. Pada

    kasus kenyataan di alam seperti di atas, maka regulasi pemanfaatan sumberdaya air

    tidak ditentukan oleh batas administrasi, tetapi tetap mendasarkan pada batas

    cekungan air bawah tanah atau pun batas daerah aliran sungai (untuk air permukaan).

    Pada dasarnya pengelolaan cekungan air bawah tanah di setiap wilayah

    mempunyai karakteristik dengan kata kunci, sebagai berikut (Hendrayana, 2002a-b) :

    a. Bersifat spesifik pada setiap daerah yang dikelola

    b. Evaluasi bersifat spatial berdasar cekungan air bawah tanah

    c. Evaluasi Sebab-Akibat

    d. Implementasi program bersifat integrasi

    e. Memerlukan komitmen dari pemegang kebijakan

    f. Didukung oleh peraturan perundangan

    g. Memerlukan partisipasi PemerintahMasyarakatSwasta

    h. Demokrasi-HAM-Lingkungan Hidup

    A. Dua DAS pada Satu Cekungan Air bawah tanah

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    30/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 30

    Gambar 1 : Hubungan antara Cekungan Air Bawah Tanah dan Daerah Aliran Sungai

    (Hendrayana, 2002a)

    Sumberdaya air bawah tanah baik secara kuantitas dan kualitas harus dikelola

    bersamaan, dengan menggunakan pendekatan konsep pengelolaan yang berbeda,

    sehingga dapat dicapai sasaran atau hasil pengelolaan yang lebih optimal dan nyata.

    Konsep dasar sistem pola aliran air bawah tanah secara regional, intermediate dan

    local sangat berperan pada pendekatan konsep pengelolaan cekungan air bawah

    tanah di suatu daerah, yaitu untuk pendekatan konsep pengelolaan kuantitas dan

    kualitas air bawah tanah (Hendrayana, 2002b)

    Aliran air bawah tanah regional(Regional Groundwater Flow System) adalah air

    bawah tanah yang mengalir secara regional dari satu wilayah ke wilayah lain dalam

    satu atau antar cekungan air bawah tanah. Pola aliran air bawah tanah regional

    didapatkan dari hasil pemetaan pada skala regional 1 : 100.000 atau lebih kasar (1 :

    250.000 dan seterusnya). Pola aliran ini merupakan kondisi aliran air bawah tanah secara

    alamiah, yang dikontrol oleh kondisi geologi dan hidrogeologi daerah setempat(=faktor

    geogen). Konsep aliran air bawah tanah regional ini sangat efektif untuk digunakan

    pada konsep pendekatan pengelolaan kuantitas air bawah tanah (lihat gambar 2, 3

    dan 4)

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    31/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 31

    Aliran air bawah tanah intermediate (Intermediate Groundwater Flow System)

    adalah air bawah tanah yang mengalir secara sub regional/intermediate/menengah

    dari satu tempat ke tempat lain dalam satu cekungan air bawah tanah. Pola aliran air

    bawah tanah intermediate didapatkan dari hasil pemetaan pada skala intermediate 1 :

    50.000 atau 1 : 25.000. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran airbawah tanah alamiah (dikontrol oleh kondisi geologi dan hidrogeologi = faktor geogen),

    tetapi di beberapa tempat tertentu dapat dipengaruhi pula oleh kegiatan manusia

    (=faktor anthropogen). Konsep aliran air bawah tanah intermediate ini dapat digunakan

    pada konsep pendekatan pengelolaan kuantitas air bawah tanah, dan pada kondisi

    tertentu dapat pula diterapkan untuk pendekatan pengelolaan kualitas air bawah tanah

    (lihat gambar 2, 3 dan 4).

    Aliran air bawah tanah lokal (Local Groundwater Flow System = Artificial

    Groundwater Flow System) adalah air bawah tanah yang mengalir secara lokal dari satu

    lokasi ke lokasi lain dalam satu cekungan air bawah tanah. Pola aliran air bawah tanah

    lokal didapatkan dari hasil pemetaan pada skala rinci 1 : 12.500 atau lebih detil 1 :

    10.000 dan seterusnya. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran air

    bawah tanah yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia (=faktor anthropogen), tetapi di

    beberapa tempat tertentu merupakan kondisi alamiah (dikontrol oleh kondisi morfologi

    lokal/setempat (=faktor geogen). Konsep aliran air bawah tanah lokal ini sangat efektif

    untuk digunakan pada konsep pendekatan pengelolaan kualitas air bawah tanah (lihat

    gambar 2, 3 dan 4).

    Gambar 2 : Sistem aliran air bawah tanah Regional-, Intermediate-, dan Lokal dalam

    Cekungan Air Bawah Tanah (Domenico, 1990 )

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    32/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 32

    Gambar 3 : Sistem aliran air bawah tanah Regional-, Intermediate-, dan Lokal pada

    skala pemetaan yang berbeda (Domenico, 1990)

    Groundwater Basin

    Regional GwFlowSystem

    Intermediate GwFlow System Local GwFlow System

    Regionalhydrostratigraphical

    units

    (Regionalhydrogeological

    System)

    Intermediatehydrostratigraphical

    units

    (Intermediatehydrogeological

    System)

    Localhydrostratigraphical

    units

    (Microhydrogeological

    System)

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    33/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 33

    Gambar 4 : Klasifikasi sistem aliran air bawah tanah dan penerapannya pada

    pemecahan masalah air bawah tanah (Hendrayana,, 2002a-b)

    Pendekatan konsep pengelolaan KUANTITAS air bawah tanah

    Langkah awal pada proses pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam

    cekungan air bawah tanah adalah penentuan batas dan karakterisasi cekungan air

    bawah tanah yang akan dikelola. Pada pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam

    cekungan ini didasarkan pada pemahaman konsep aliran air bawah tanah secara

    regional atau intermediate tergantung luas penyebaran cekungan air bawah tanah.

    Analisis sistem aliran airtanah regional/intermediate digunakan untuk menentukan

    daerah recharge dan discharge air bawah tanah. Selanjutnya pada daerah-daerah

    tersebut dilakukan analisis neraca air bawah tanah dengan menggunakan evaluasi data

    numerik sistem aliran air bawah tanah dan bantuan dari sistem data base.

    Pada pendekatan konsep ini harus diintegrasikan dengan konsep pengelolaan

    air permukaan pada suatu daerah aliran sungai. Deliniasi dan karakterisasi daerah aliransungai dilakukan untuk analisis sistem aliran sungai regional/intermediate dan karakterisasi

    daerah recharge dan discharge aliran air permukaan. Dengan demikian selanjutnya

    dapat dihitung neraca air permukaan.

    Berdasarkan pada hasil analisis neraca air bawah tanah pada cekungan air

    bawah tanah dan neraca air permukaan pada daerah aliran sungai, serta didukung

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    34/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 34

    oleh sistem data base dan sistem informasi sumberdaya air, maka pengelolaan

    kuantitas air bawah tanah dapat diimplementasikan dengan menggunakan sistem siklus

    pengelolaan (management cycle) (lihat gambar 5)

    Pendekatan konsep pengelolaan KUALITAS air bawah tanah

    Konseptualisasi secara kuantitatif dari suatu proses pergerakan massa yang

    komplek dalam air bawah tanah relatif lebih rumit dibandingkan dengan analisis neraca

    air pada pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam suatu cekungan. Proses

    kontaminasi atau pencemaran air bawah tanah yang terjadi di suatu tempat harus

    diketahui secara akurat dengan melakukan penelitian dan pemantauan secara detil,

    yaitu untuk mengetahui proses dan pergerakan kontaminan dalam air bawah tanah.

    Proses pencemaran air bawah tanah berlangsung lambat dan komplek, sehingga

    memerlukan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan pemecahan masalah

    pada kuantitas air bawah tanah.

    Berdasar uraian di atas, maka pemahaman konsep pola aliran air bawah tanah

    secara lokal sangat berperan pada pendekatan konsep pengelolaan kualitas air bawah

    tanah dalam cekungan, yaitu pemahaman terhadap interaksi air permukaan dan air

    bawah tanah secara lokal, pola aliran air bawah tanah akibat kegiatan manusia dan

    akibat pengaruh morfologi daerah setempat.

    Pada pendekatan konsep pengelolaan kualitas air bawah tanah ini, maka perlu

    dilakukan pembagian cekungan air bawah tanah dan daerah aliran sungai menjadi

    satuan-satuan yang lebih kecil, sesuai sub daerah yang akan dikelola kualitas air bawah

    tanah nya.

    Konsep MikroHidrogeologi dapat diterapkan pada cekungan air bawah tanah

    untuk mengetahui sistem aliran air bawah tanah secara lokal (Local and artificial

    groundwater flow system), yang pada dasarnya sangat berpengaruh pada proses dan

    pergerakan massa / kontaminan dalam air bawah tanah. Demikian juga pada suatu

    aliran sungai di dalam daerah aliran sungai seharusnya dibagi menjadi segmen-segmenyang lebih pendek untuk mengetahui interaksi antara air permukaan dan air bawah

    tanah secara lokal di setiap tempat.

    Dengan berbasis pada konsep aliran air bawah tanah secara lokal tersebut di

    atas, maka data hidrokimia air bawah tanah dan air permukaan yang sangat berkaitan

    dalam cekungan air bawah tanah dan daerah aliran sungai, serta dengan dukungan

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    35/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 35

    sistem database, maka dapat diimplementasikan konsep pengelolaan kualitas air

    bawah tanah dengan memanfaatkan sistem siklus pengelolaan (gambar 6)

    CHARACTERIZATION

    RECHARGE AND DISCHARGEAREA OF GROUNDWATER

    DELINEATION ANDCHARACTERIZATION

    GROUNDWATER BASIN

    ANALYSISREGIONAL AND INTERMEDIATE

    GWFLOW SYSTEM

    GROUNDWATERQUANTITYMANAGEMENT

    Commitment Buildin

    Polic Decision

    DELINEATION ANDCHARACTERIZATION

    RIVER BASIN

    ANALYSIS

    GROUNDWATER BALANCE

    CHARACTERIZATION

    RECHARGE AND DISCHARGEAREA OF SURFACE WATER

    ANALYSIS

    WATER BALANCE

    ANALYSIS

    SURFACE WATER FLOW SYSTEM

    DEVELOPMENT

    OF

    DATABASE

    SYSTEM

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    36/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 36

    Gambar 5 : Pendekatan konsep pengelolaan KUANTITAS air bawah tanah secara total

    (Hendrayana, 2002a-b)

    CHARACTERIZATION

    LOCAL RECHARGE ANDDISCHARGE AREA

    DELINEATION ANDCHARACTERIZATION

    GROUNDWATER BASIN

    ANALYSIS

    LOCAL AND ARTIFICIALGWFLOW SYSTEM

    GROUNDWATERQUALITYMANAGEMENT

    Commitment Buildin

    Polic Decision

    DELINEATION ANDCHARACTERIZATION

    RIVER BASIN

    ANALYSIS

    LOCAL SURFACE WATER FLOW

    ANALYSIS

    HYDROGEOCHEMICAL DATA

    CHARACTERIZATION

    INTERACTION OF SURFACEWATER AND GROUNDWATER

    ANALYSIS

    HYDROCHEMICAL DATA

    DEVELOPMENT

    OF

    DATABASE

    SYSTEM

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    37/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 37

    Gambar 6 : Pendekatan konsep pengelolaan KUALITAS air bawah tanah secara total

    (Hendrayana, 2002a-b)

    PENUTUP

    Sesuai dengan kenyataan, bahwa hasil pelaksanaan pengelolaan air bawah

    tanah di Indonesia masih jauh dari sasaran yang diharapkan, dan dengan jelasterindikasikan adanya permasalahan yang sangat kompleks, sehingga perlu untuk

    mewujudkan tantangan-tantangan yang ada menjadi peluang (opportunities). Dengan

    demikian perlu perwujudan pranata hukum pengelolaan air bawah tanah dari tindakan

    yang bersifat kebijakan, pengaturan, dan penetapan dalam pengelolaan air bawah

    tanah.

    Pranata hukum yang mengacu pada aspek teknis tersebut akan menjadi dasar

    yang baru dalam setiap pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah dalam

    penyelenggaraan otonomi daerah. Semangat reformasi, serta visi air dunia

    menciptakan paradigma baru pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Paradigma

    baru ini harus menjadi dasar dalam menciptakan pranata hukum yang baru dalam

    pengelolaan air bawah tanah (Soetrisno, 2002a)

    Berkaitan dengan tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat atas

    pemanfaatan air akibat peningkatan pembangunan dan kenaikan jumlah penduduk,

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    38/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 38

    sementara di sisi lain tuntutan terhadap kelestarian lingkungan, meningkatnya

    kelangkaan (scarcity) sumber air baku, serta tuntutan keterlibatan masyarakat, telah

    mengubah secara radikal pola pikir (paradigm) tentang pengelolaan sumberdaya air.

    Paradigma tersebut bergaung secara global sejak International Conference on Water

    and the Environment di Dublin, Irlandia,Tahun 1992, dan United Nations Conference onEnvironment and Development di Rio de Janeiro, Brazil, serta yang terakhir World Water

    Forum 2000 di The Hague, Netherland.

    World Water Forum 2000, menetapkan visi air dunia Making Water Everybodys

    Business, serta tujuh tantangan terhadap kebutuhan air baku, yaitu : i) memenuhi

    kebutuhan pokok penduduk; ii) menjamin penyediaan pangan; iii) melindungi ekosistem;

    iv) membagi sumberdaya air antar wilayah berkaitan; v) menanggulangi resiko; vi)

    memberi nilai air; dan vii) menguasai air secara bijaksana. Untuk menjawab tantangan

    tersebut disepakati: 1) inovasi di bidang klembagaan, teknologi, dan finansial; 2)pengelolaan sumberdaya air dan sumberdaya lahan secara terpadu, yang mencakup

    perencanaan dan pengelolaan sumberdaya manusia; 3) kerjasama dan kemitraan di

    semua tingkat; 4) melaksanakan prinsip-prinsip yang telah disepakati berupa tindakan

    nyata berdasarkan kemitraan semua pihak untuk mewujudkan keamanan terhadap air

    baku dengan berbagai cara.

    Di Indonesia, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

    tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan kewenangan dalam

    pengelolaan sumberdaya air, dan dengan diilhami rekomendasi dari konferensi di atas,maka perlu reformasi pengelolaan sumberdaya air yang bertumpu pada paradigma

    baru pengelolaan sumberdaya air seperti yang disarankan pada konferensi di atas.

    Paradigma baru dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia dapat

    dirangkum sebagi berikut (Soetrisno, 2000)

    Pengelolaan yang terpadu antar setiap jenis sumberdaya air (air hujan, air

    permukaan, dan air bawah tanah), tidak lagi terfragmentasi.

    Desentralisasi pengelolaan, tidak lagi sentralisasi, di mana daerah kabupaten/kotaberwenang mengelola sumberdaya nasional (termasuk sumberdaya air) yang

    tersedia di wilayahnya.

    Peran pemerintah pusat dari regulator dan sekaligus operator yang sentralistik

    menjadi sebagai regulator, pembuat kebijakan, perencanaan nasional, pembinaan,

    konservasi dan standarisasi nasional, dan menyerahkan pelaksanaan kebijakan dan

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    39/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 39

    pengambilan keputusan pengelolaaan kepada pemerintah daerah, serta

    melibatkan para stake holders, akar rumput di daerah, dan sektor swasta.

    Pengelolaan yang tidak hanya menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya air,

    tetapi juga menjamin keberlanjutan (sustainability) ketersediaan sumberdaya air

    dalam ruang dan waktu tertentu, baik jumlah maupun mutunya.

    Pengelolaan sumberdaya air bawah tanah harus dilakukan secara bijaksana oleh

    semua pihak dengan bertumpu pada aspek teknis dan aspek hukum dan

    kelembagaan yang benar. Secara teknis, penerapan konsep dasar pengelolaan air

    bawah tanah secara total harus segera dimulai, yaitu dengan memadukan konsep

    pengelolaan air permukaan yang berbasis daerah aliran sungai dan konsep

    pengelolaan air bawah tanah berbasis cekungan air bawah tanah, yang mendasarkan

    pada analisis sistem aliran airtanah regional, intermediate dan lokal, guna memecahkan

    permasalahan kuantitas dan kualitas air bawah tanah secara lebih nyata.

    Aspek hukum dan kelembagaan memegang peran sangat penting dalam

    penyelenggaraan pengelolaan air bawah tanah. Pranata hukum dan kelembagaan

    yang baik adalah yang tidak mengingkari asal-usul dan sifat alamiah air bawah tanah.

    Dukungan komitmen yang nyata dari semua pihak terkait, kelembagaan, aspek

    hukum, pemerintah, swasta dan masyarakat serta dukungan teknis yang memadai

    menjamin terlaksananya konsep pengelolaan air bawah tanah secara total ( total

    groundwater basin management concept). Siklus pengelolaan seharusnya tetap

    diimplementasikan untuk evaluasi efektivitas pengelolaan air bawah tanah.

    PUSTAKA

    Anonymous, 1993, Water Resources Management. A World Bank Policy Paper, The World

    Bank, Washington D.C.

    Anonymous, 2000, Tinjauan Umum dan Pokok-Pokok Pikiran Konservasi dan Pelestarian

    Sumberdaya Air, Deputi Bidang Sumberdaya Air, Kantor Menteri Negara

    Pekerjaan Umum, Jakarta.

    Anonymous, 2001, Internationally Share/Transboundary Aquifer Resources Management,

    United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, Paris.

    Bedient, P.B., Rifai, H.S., Newell, C.J., 1999, Groundwater Contamination, Transport and

    Remediation, 2ndedition, Prentice Hall PTR, Singapore, 604 p.

    BMZ-GTZ, 2000, Water Framework Planning, Prosiding Sistem Pengelolaan Terpadu DAS,

    Program LH Indonesia-Jerman, Kantor Menteri Negara LH/Bapedal-GTZ,

    Jakarta

  • 7/26/2019 Sustainable Groundwater Management System (Heru Hendrayana)

    40/41

    Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 40

    Burchi S., 1999, National Regulations for Groundwater: Options, Issues and Best Practices,

    dalam Grounwater, Legal and Policy Perspectives, World Bank Technical

    Paper # 456, The World Bank, Washington D. C.

    Domenico, S., and Schwartz, F.W., 1990, Physical and Chemical Hydrogeology, John

    Wiley & Sons, Canada, 824p.

    Hehanussa P.E., 1999, Ketersediaan Air dalam Perspektif Abad-21, Kaitannya dengan

    Hak Asasi Manusia, Makalah dalam Seminar Sehari Air Bersih dan Hak Asasi

    Manusia, Bogor, 25 Februari 1999.

    Hendrayana, H., 1993, Hydrogeologie und Groudwassergewinnung Im Yogyakarta-

    Becken, Indonesien, Disertai (tidak dipublikasikan).

    Hendrayana, H., 2000a, Hasil Zonasi Kawasan Perlindungan Sumber Airbaku di Kab.

    Sleman, Makalah Desiminasi Informasi Hasil Penelitian Perlindungan

    Sumber Air Baku, Yogyakarta.

    Hendrayana, H., 2000b, Konservasi Airtanah dalam rangka Pemanfaatan