21
1 Makalah disampaikan pada Workshop Pemodelan Sistem untuk Pengembangan Kebijakan Prioritas Nasional Menuju Surplus 10 Juta Ton Beras pada 2014, 25 Pebruari 2012 di Hotel Le Meridien Jakarta DAMPAK PENCAPAIAN SURPLUS PRODUKSI BERAS 10 JUTA TON TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL DAN WILAYAH 1) Hermanto Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian I. PENDAHULUAN Pangan beras merupakan salah satu pangan yang mempunyai peran strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan politik nasional. Hal ini menyebabkan ketersediaan beras sangat penting karena sekitar 95% masyarakat Indonesia masih menjadikan beras sebagai makanan pokok. Selain itu, berdasarkan Sensus Pertanian 2003 dan Pendataan Usahatani (PUT), BPS 2009, jumlah rumah tangga (RT) petani yang terlibat dalam usahatani padi mencapai 14,9 juta RT petani (83,7%) dari 17,8 juta rumah tangga pertanian. Kondisi ini menyebabkan keberadaan pangan beras menjadi sangat penting dan selalu dipantau serta diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai tingkat paling bawah, sampai ke tingkat tertinggi di kalangan pemerintah dan legislatif (Kementan, 2011). Meskipun Indonesia memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan beras bagi penduduknya. Akan tetapi Indonesia saat ini masih memiliki masalah dengan ketersediaan beras karena permintaan beras terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, yang pada 10 tahun terakhir mencapai sekitar 1,49% atau 4,5 juta jiwa per tahun (BPS, 2011). Dewasa ini kebutuhan beras nasional belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga impor masih menjadi pilihan kebijakan perberasan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Juli 2011, impor beras Indonesia mencapai 1,57 juta ton dengan nilai sekitar Rp 7,04 triliun. Impor tersebut berasal dari Vietnam (892,9 ribu ton), Thailand (665,8 ribu ton), Cina (1.869 ton), India (1.146 ton), Pakistan (3,2 ribu ton), dan beberapa negara lain (3,2 ribu ton). Disisi lain konversi lahan sawah untuk penggunaan lain terus berlanjut. Misalnya, luas lahan irigasi teknis berkurang dari 2,21 juta ha pada tahun 2000 menjadi 2,18 juta ha (2005). Total luas lahan sawah juga kurang dari luas perkebunan sawit, yaitu kurang dari 8 juta ha, sudah termasuk areal sawah tadah hujan, pasang-surut dan jenis lahan sawah lainnya (Pakpahan, 2011). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Indonesia ke depan masih dihadapi dengan permasalahan pangan yang sangat komplek, apabila persoalan ketahanan dan kemandirian pangan nasional tidak ditangani bersama secara komprehensif. Pemerintah sendiri melalui sidang kabinet paripurna 6 Januari 2011 telah menetapkan program “surplus beras” sebagai program prioritas untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. Secara implisit hal ini menunjukkan adanya perubahan orientasi kebijakan perberasan dari swasembada ke surplus beras minimal 10 juta ton pada tahun 2014. Program surplus beras tersebut akan dicapai melalui beberapa skenario antara lain; (1) peningkatan produktivitas, (2) perluasan areal dan pengelolaan lahan, serta (3) penurunan konsumsi beras. Namun, pada tulisan ini pembahasan akan difokuskan pada skenario

Surplus Beras: CGE Model

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Indonesia ke depan masih dihadapi dengan permasalahan pangan yang sangat komplek, apabila persoalan ketahanan dan kemandirian pangan nasional tidak ditangani bersama secara komprehensif. Pemerintah sendiri melalui sidang kabinet paripurna 6 Januari 2011 telah menetapkan program “surplus beras” sebagai program prioritas untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. Secara implisit hal ini menunjukkan adanya perubahan orientasi kebijakan perberasan dari swasembada ke surplus beras minimal 10 juta ton pada tahun 2014.

Citation preview

  • 1 Makalah disampaikan pada Workshop Pemodelan Sistem untuk Pengembangan Kebijakan Prioritas Nasional Menuju Surplus 10 Juta Ton Beras pada 2014, 25 Pebruari 2012 di Hotel Le Meridien Jakarta

    DAMPAK PENCAPAIAN SURPLUS PRODUKSI BERAS 10 JUTA TON TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL DAN WILAYAH1)

    Hermanto Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

    Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian

    I. PENDAHULUAN

    Pangan beras merupakan salah satu pangan yang mempunyai peran strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan politik nasional. Hal ini menyebabkan ketersediaan beras sangat penting karena sekitar 95% masyarakat Indonesia masih menjadikan beras sebagai makanan pokok. Selain itu, berdasarkan Sensus Pertanian 2003 dan Pendataan Usahatani (PUT), BPS 2009, jumlah rumah tangga (RT) petani yang terlibat dalam usahatani padi mencapai 14,9 juta RT petani (83,7%) dari 17,8 juta rumah tangga pertanian. Kondisi ini menyebabkan keberadaan pangan beras menjadi sangat penting dan selalu dipantau serta diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai tingkat paling bawah, sampai ke tingkat tertinggi di kalangan pemerintah dan legislatif (Kementan, 2011).

    Meskipun Indonesia memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan beras bagi penduduknya. Akan tetapi Indonesia saat ini masih memiliki masalah dengan ketersediaan beras karena permintaan beras terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, yang pada 10 tahun terakhir mencapai sekitar 1,49% atau 4,5 juta jiwa per tahun (BPS, 2011). Dewasa ini kebutuhan beras nasional belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga impor masih menjadi pilihan kebijakan perberasan di Indonesia.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Juli 2011, impor beras Indonesia mencapai 1,57 juta ton dengan nilai sekitar Rp 7,04 triliun. Impor tersebut berasal dari Vietnam (892,9 ribu ton), Thailand (665,8 ribu ton), Cina (1.869 ton), India (1.146 ton), Pakistan (3,2 ribu ton), dan beberapa negara lain (3,2 ribu ton). Disisi lain konversi lahan sawah untuk penggunaan lain terus berlanjut. Misalnya, luas lahan irigasi teknis berkurang dari 2,21 juta ha pada tahun 2000 menjadi 2,18 juta ha (2005). Total luas lahan sawah juga kurang dari luas perkebunan sawit, yaitu kurang dari 8 juta ha, sudah termasuk areal sawah tadah hujan, pasang-surut dan jenis lahan sawah lainnya (Pakpahan, 2011).

    Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Indonesia ke depan masih dihadapi dengan permasalahan pangan yang sangat komplek, apabila persoalan ketahanan dan kemandirian pangan nasional tidak ditangani bersama secara komprehensif. Pemerintah sendiri melalui sidang kabinet paripurna 6 Januari 2011 telah menetapkan program surplus beras sebagai program prioritas untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. Secara implisit hal ini menunjukkan adanya perubahan orientasi kebijakan perberasan dari swasembada ke surplus beras minimal 10 juta ton pada tahun 2014.

    Program surplus beras tersebut akan dicapai melalui beberapa skenario antara lain; (1) peningkatan produktivitas, (2) perluasan areal dan pengelolaan lahan, serta (3) penurunan konsumsi beras. Namun, pada tulisan ini pembahasan akan difokuskan pada skenario

  • 2

    peningkatan produktivitas dan perluasan areal, karena dianggap memiliki dampak langsung terhadap perubahan optimalisasi pada sektor padi dan sektor lain, sehingga akan mempengaruhi permintaan faktor produksi dan input antara (intermediate input), serta output dari sektor tersebut. Perubahan permintaan input juga akan mempengaruhi harga faktor produksi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan rumahtangga dan tingkat kemiskinan. Kesemua interaksi ini akan membawa dampak terhadap aktivitas ekonomi nasional dan wilayah.

    Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis seberapa besar dampak program surplus produksi beras yang akan dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral, pendapatan dan tingkat kemiskinan, baik pada tingkat nasional maupun wilayah dengan menggunakan model IRSA-Indonesia5 (Resosudarmo, et al., 2009). Model ini merupakan model Inter-Regional CGE (IRCGE) yang dapat menganalisis interaksi antar agen-agen (pelaku-pelaku ekonomi) dan keterkaitan antar sektor yang berbeda di dalam suatu negara dan wilayah serta antar wilayah. Dengan dilakukannya analisis dampak, maka saran-saran kebijakan pencapaian surplus produksi beras dapat dirumuskan secara terstruktur dan komprehensif.

    II. KERANGKA TEORI

    Struktur perekonomian dalam teori mikroekonomi mengandung berbagai macam pasar yang saling berinteraksi satu sama lain, sehingga perubahan yang terjadi pada satu pasar akan mempengaruhi pasar lainnya. Keseimbangan umum tercapai bila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar berada dalam keseimbangan. Keadaan ini disebut dengan pendekatan ekonomi keseimbangan umum atau Computable General Equilibrium/CGE (Shoven dan Walley, 1992; Pindyck dan Rubinfeld, 1995; Petersen, T., W. 1997; Oktaviani, 2011). Beberapa pakar ekonomi seperti Dervis, de Melo dan Robinson (1982), Shoven dan Whalley (1984), Lewis, Jeffrey D, (1991), Dixon, et al., (1992), Bergman (1990), serta Ginsburgh dan Keyzer (1997) mengklasifikasikan model CGE sebagai pendekatan analisis yang melihat ekonomi sebagai sistem yang komprehensif dengan komponen-komponennya yang saling terkait satu sama lain (industri, rumah tangga, investors, pemerintah, importir dan eksportir).

    Dalam konteks menganalisis dampak surplus beras tidak secara langsung dapat dianalisis dengan menggunakan CGE model karena tidak terpenuhinya salah satu asumsi yang digunakan dalam model tersebut, yaitu hukum Walras (Shoven dan Walley, 1992). Untuk memenuhi hukum Walras, maka jumlah kelebihan permintaan di seluruh pasar harus sama dengan nol untuk setiap tingkat harga. Dengan kata lain semua pasar dalam kondisi equilibrium atau disebut dengan istilah market clearing. Untuk itu, pada analisis ini diasumsikan bahwa surplus produksi beras hanya terjadi dalam jangka pendek (short term), sehingga dalam jangka panjang (long term) semua pasar akan melakukan penyesuaian (adjustment) untuk mencapai keseimbangan umum sehingga hukum Walras terpenuhi.

    Gambar 1 mengilustrasikan suatu perekonomian negara atau wilayah yang terdiri dari beberapa pelaku ekonomi, yaitu produsen membeli input dan menjual output dan rumah tangga membeli output dan menjual faktor-faktor produksi (primary inputs) seperti tenaga kerja,

  • 3

    modal dan lahan. Demikian pula pemerintah, investor dan rest of the world (ekportir dan importir) membeli output. Di samping itu, ada dua pasar, yaitu pasar faktor produksi dan pasar komoditi (market product). Di pasar komoditi, produsen tidak hanya menjual outputnya kepada rumah tangga, pemerintah, investor dan rest of the world tetapi juga membeli input antara (intermediate inputs) untuk kegiatan produksi.

    Gambar 1. Dampak surplus produksi beras terhadap sistem perekonomian

    Mengigat program surplus beras 10 juta ton ditujukan untuk peningkatan kemampuan wilayah dalam penyediaan pasokan atau cadangan beras, maka peningkatan produktivitas, dan perluasan areal dan pengelolaan lahan merupakan pilihan yang dapat dilakukan. Peningkatan produktivitas dapat ditempuh antara lain melalui perubahan teknologi (technological change). Perubahan teknologi mencakup seluruh perubahan teknik produksi yang ada.

    Pengalaman di negara-negara industri menunjukkan bahwa science dan technology merupakan sumber utama dan faktor pengerak dalam pembangunan ekonomi, khususnya dari sudut pertumbuhan dengan tolak ukur hasil produksi perkapita. Sebaliknya implementasi teknologi pada system produksi di negara berkembang mengarah kepada dualism ekonomi, yaitu menggunakan sektor modern dan padat modal (capital intensive) yang efisien di satu sisi, dan disisi lain menggunakan sektor tradisional dan padat karya (labor intensive) yang tidak

  • 4

    efisien. Kombinasi dan interaksi antara ke dua faktor dinamika tersebut akan membawa dampak yang luas terhadap kegiatan ekonomi masyarakat (Seed, 1994).

    Dalam konteks pengembangan program surplus beras 10 juta ton, maka upaya peningkatan produktivitas akan mempengaruhi realokasi sumberdaya dan jumlah permintaan akhir, sehingga akan mempengaruhi pasar lainnya. Secara teoritis dampak tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut (Armstrong dan Taylor, 1993; Bendavid-Val, 1991; Edgar, 1971):

    (1) Dampak langsung (direct effects) terhadap ekonomi, berupa perubahan pendapatan, lapangan kerja dan upah sebagai konsekuensi dari peningkatan output dari berbagai sektor.

    (2) Dampak tidak langsung (indirect effects), peningkatan jumlah output yang menyebabkan perubahan pembelian atau penjualan output kepada perusahaan lokal. Karena terbentuknya permintaan baru, memungkinkan bagi industri lokal untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, upah dan keuntungan. Hal ini kemudian akan membawa dampak terhadap peningkatan kegiatan-kegiatan ekonomi nasional/wilayah.

    (3) Induced effect adalah dampak khusus yang berkaitan dengan prilaku dari angkatan kerja dimana peningkatan penyerapan lapangan kerja menyebabkan peningkatan kegiatan ekonomi berupa peningkatan dalam jumlah konsumsi makanan, penggunaan transportasi dan lain sebagainya yang kemudian akan membawa pada dampak terhadap keseluruhan aktivitas ekonomi nasional dan wilayah.

    III. METODOLOGI

    Pendekatan yang digunakan dalam model IRSA-Indonesia5 adalah bottom-up, dimana optimasi diselesaikan pada tingkat region yang kemudian diaggregasi ke tingkat nasional, dengan menggunakan agregat fungsi Constant elasticity of substitution (CES) dan fungsi Leontief. Pendekatan bottom-up ini memungkinkan harga serta kuantitas bervariasi secara independen antar region. Ini berarti bahwa variasi harga serta kuantitas di tiap wilayah dapat diamati dengan menggunakan model ini.

    3.1. Struktur Model

    Model IRSA-Indonesia5 merupakan model dengan banyak persamaan, yang solusinya menggambarkan keseimbangan umum. Persamaan-persamaan tersebut menggambarkan tingkah laku mikroekonomi yang umumnya merupakan persamaan nonlinear dengan asumsi-asumsi teoritis, antara lain: (1) semua agen ekonomi melakukan optimisasi dalam menentukan berbagai keputusan ekonominya; (2) terjadi equilibrium (market clearing) baik di pasar barang maupun pasar tenaga kerja, dan pasar-pasar tersebut adalah pasar kompetitif.

    Secara ringkas persamaan model IRSA-Indonesia5 dapat diuraikan dengan notasi sebagai berikut; c adalah komoditi, d adalah tujuan komoditi pada domestik region, f adalah faktor produksi (tenaga kerja dan capital, h adalah rumah tangga (households), i adalah industri, r adalah sumber komoditi di dalam domestik region, dan s adalah sumber komoditi composite/domestik region dan impor (Resosudarmo, et al., 2009). Solusi sistem persamaan-

  • 5

    persamaan tersebut diselesaikan dengan menggunakan paket software GAMS (General Algebraic Modelling System).

    Produksi

    Hubungan antara semua input dan output ( ,i dXTOT ) yang dihasilkan untuk industri i

    pada daerah tujuan d; gabungan faktor-faktor primer/composite of primary factors ( ,i dXPRIM ) dan barang setengah jadi/intermediate goods, ditunjukan oleh fungsi produksi Leontief sebagai berikut:

    int, , , , ,_ .c i d c i d i dXINT S XTOT= (3.1)

    , , ,.prim

    i d i d i dXPRIM XTOT= (3.2)

    dimana int, ,c i d dan ,primi d adalah proporsi dari masing-masing intermediate goods dan composite

    primary factors yang digunakan untuk menghasilkan output.

    Permintaan Faktor Primer

    Permintaan tiap industri untuk primary factors ( , ,f i dXFAC ) diformulasikan sebagai berikut;

    1 11 1 1,

    , , ,,

    . .( )f df i d i i di d

    PFACXFAC XPRIM

    PPRIM

    + + += (3.3)

    dimana ,f dPFAC adalah harga primary factors, ,i dPPRIM is harga composite primary factors yang dibayar oleh tiap industri i dalam region d .

    Perdagangan Inter-Regional

    Dengan menggunakan agregat fungsi CES, permintaan komoditi c dengan sumber region r ke tujuan region d diformulasikan sebagai berikut;

    1 11 1 1,

    , , , , , ,, ,

    . _ . .( )c rc r d c d c d c r dc dom d

    PDOMXTRAD XTRAD R

    PQ

    + + +

    = (3.4)

    1 11 1 1, ,

    , , , , , ,,

    . _ . .( )_c s d

    c s d c d c d c r dc d

    PQXD XD S

    PQ S

    + + += (3.5)

    , , , , , ,_ ( _ ) ( _ ) _c d c i d c h d c di h

    XD S XINT S XHOU S XGOR S= + +

    (3.6)

  • 6

    dimana ,_ c dXD S adalah permintaan untuk komoditi c dari sumber composite (domestic

    regions and imported), dengan tujuan region d. , ,c s dPQ adalah harga pembelian (purchaser

    price) komoditi dari sumber region s dengan tujuan region d. ,_ c dPQ S adalah harga pembelian komoditi c dari sumber composite dengan tujuan region d. Total permintaan komoditi c,

    ,_ c dXD S adalah penjumlahan dari intermediate goods ( ), ,_ c i dXINT S , konsumsi rumah tangga ( ), ,_ c h dXHOU S dan pemerintah ( ),_ c dXGOR S .

    Market Clearing

    Dalam kondisi ekuilibrium, semua output untuk komoditi c dari region r ( ),c rXTOT harus sama dengan jumlah permintaan untuk komoditi c di semua tujuan domestik ( ), ,c r dXTRAD , permintaan untuk komoditi oleh lembaga-lembaga nasional ( ),c rXTRADN , dan persediaan ( ),c rXSTCK .

    , , , , ,( )c r c r d c r c rd

    XTOT XTRAD XTRADN XSTCK= + + (3.7)

    Permintaan komoditi

    Permintaan komoditi c yang dibentuk melalui agregasi fungsi CES dari sumber region r ke tujuan region d , adalah identik dengan permintaan di region d untuk komoditi komposit tersebut. Optimasinya dapat diformulasikan sebagai berikut;

    1 11 1 1,

    , , , , , , ,, ,

    . . .( )c rc r d c d c dom d c r dc dom d

    PDOMXD XD

    PQ

    + + +

    = (3.8)

    dimana , ,c r dXD adalah permintaan untuk komoditi c dari sumber domestik region r ke tujuan region d .

    Permintaan Rumah Tangga

    Optimasi rumah tangga adalah sama dengan optimasi pada industri di mana komoditi yang diminta rumah tangga berasal dari berbagai wilayah domestik serta impor. Dalam hal ini rumah tangga akan memaksimalkan utilitinya berdasarkan fungsi utiity Stone-Geary (Stone-Geary utility function) dengan sistem pengeluaran linier (linear expenditure system). Untuk itu, permintaan komoditi rumah tangga dengan tujuan region d dapat didefiniskan sebagai berikut; .

    , ,, , , , , , , ,

    ,

    _ .( _ . )_

    nc h d

    c h d c h d h d cc d cc h di ccc d

    XHOU S EH PQ SPQ S

    =

    = +

    (3.9)

  • 7

    dimana c, h, d adalah elastisitas pengeluaran untuk komoditas c untuk rumah tangga h di region d, cc, h, d adalah parameter Frisch pada komoditas c untuk rumah tangga h di region d, dan c, h, d adalah bagian anggaran yang dikalibrasi pada komoditas c untuk rumah tangga h di region d, dan ,h dEH adalah disposable income rumah tangga.

    Permintaan Ekspor

    Model ini memungkinkan permintaan luar negeri untuk barang-barang produksi lokal menjadi sensitif terhadap harga. Jika harga barang lokal naik relatif terhadap harga dunia, permintaan ekspor akan jatuh. Dengan demikian persamaannya dapat diilustrasikan sebagai berikut;

    =

    c

    cc c w

    c

    PXEXPP

    (3.10)

    di mana c adalah parameter, cP adalah harga domestik, adalah nilai tukar nominal, danc adalah elastisitas permintaan. Dengan kata lain, ekspor barang c adalah fungsi menurun dari harga dalam mata uang asing, relatif terhadap harga dunia.

    Insiden Kemiskinan

    Idealnya analisis kemiskinan dilakukan secara terintegrasi di dalam CGE model dengan mendisagregasi pendapatan atau pengeluaran per kapita kelompok rumah tangga, seperti yang dilakukan di dalam Micro-simulation CGE model (Decaluw, et al.,1999; Round, 2003; Savad, 2003; Yusup, 2006). Pada kajian ini insiden kemiskinan (incidence of poverty) dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut (Yusuf, 2006);

    dimana yc adalah pengeluaran per kapita rumah tangga dari c-th percentil (dimana = 1, , n, dan = 100). yP adalah garis kemiskinan (poverty line). Perubahan insiden kemiskinan setelah dilakukan simulasi di hitung sebagai berikut;

    dimana

  • 8

    adalah persentase perubahan pengeluaran rill per kapita untuk c percentil yang dihasilkan dari simulasi CGE model. Perubahan pengeluaran per kapita kelompok rumah tangga akan digunakan untuk menganalisis ex-ante distribusi (sebelum perubahan kebijakan) and ex-post distribusi (setelah adanya perubahan kebijakan).

    Closure

    Closure adalah sebuah pernyataan yang menentukan variabel apa yang sifatnya endogen dan variabel apa yang sifatnya eksogen. Ini diperlukan agar jumlah variabel endogen dan jumlah persamaan jumlahnya sama. Beberapa bagian dari closure yang terpenting dari model IRSA-INDONESIA-5 adalah sebagai berikut.

    Closure untuk pasar faktor bersifat flexible. Dalam closure standard, kapital dan lahan bersifat fixed dan tidak memiliki mobilitas. Konsekuensinya harga kapital dan lahan bisa bervariasi antar industri dan daerah. Kapital dan lahan selalu fully-employed.

    Closure untuk pasar tenaga kerja terbagi dua. Untuk tenaga kerja yang sifatnya informal kondisi full employment selalu terpenuhi. Tenaga kerja bersifat fully-mobile antar industry (tidak antar daerah) dan fully-employed. Sementara itu, untuk tenaga kerja yang sifatnya formal, diasumsikan terjadi nominal-wage-rigidity, dimana upah nominal bersifat exogen. Walaupun tenaga kerja formal bersifat fully-mobile antar industri (tidak antar daerah) tetapi tidak ada jaminan akan fully-employed.

    Harga barang yang bersumber dari pasar internasional bersifat exogenous. Secara implisit diasumsikan bahwa Indonesia adalah sebuah small-open economy.

    Saving semua institusi, kecuali foreign saving, bersifat endogenous (tetapi saving rate-nya exogenous), sehingga investasi ditentukan oleh saving.

    Inventory bersifat exogen.

    Dalam closure standar, indeks harga produsen adalah numeraire, yaitu harga relatif terhadap satu barang sehingga bukan harga absolut.

    3.2. Data dan Sumber Data

    Model IRSA-Indonesia5 menggunakan struktur data Inter-Regional Neraca Sosial Ekonomi atau Inter-Regional Social Accounting Matrix (IRSAM) tahun 2005. Untuk masing-masing region terdiri atas 35 sektor (aktivitas) produksi; 16 klasifikasi tenaga kerja yang dapat dikelompokkan menjadi tenaga kerja terampil dan tidak maupun formal dan informal; 2 klasifikasi faktor produksi bukan tenaga kerja, yaitu modal dan tanah; 2 kelompok rumah tangga, yaitu desa dan kota; serta institusi lainnya berupa pemerintah daerah dan perusahaan. Disamping itu, pada neraca nasional terdapat neraca kapital yang terbagi atas private, daerah dan pusat; neraca pemerintah pusat terdiri atas pajak, subsidi dan institusi pemerintah pusat itu sendiri; neraca ekpor atau impor; serta Rest of the World (ROW).

  • 9

    3.3. Skenario

    Ada 3 (tiga) bentuk skenario yang akan dianalisis, yaitu (1) pesimis, (2) moderat, dan (3) optimis. Dari ketiga skenario tersebut, variabel yang dijadikan sebagai shock dalam pencapaian surplus produksi beras adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal sawah, seperti terlihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Besaran shock peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam padi menuju pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton pada tahun 2014

    Uraian Skenario (%)

    Pesimis Moderate Optimis

    1. Peningkatan Produktivitas padi 1.38 3.2 4.0

    2. Perluasan areal Tanam padi 6.02 6.02 6.02

    Pada Tabel 1, besaran shock skenario pesimis dihitung berdasarkan eksisting rata-rata peningkatan produktivitas, yaitu sebesar 1.38 % tahun (Kementan, 2011). Pada skenario ini diasumsikan pemerintah tidak melakukan pengembagan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas, namun hanya melakukan peningkatan perluasan areal tanam sebesar 6.02% per tahun.

    Tabel 2. Potensi kenaikan produktivitas padi berdasarkan expert adjustment untuk menuju pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton pada tahun 2014

    Uraian 2012 SL-PTT Cetak Sawah Jumlah

    Sasaran cetak sawah (ha) 100,000 Sasaran luas tanam (ha) 3,500,000 81,050 3,581,050

    Sasaran luas panen (ha) 3,377,500 78,213 3,455,713 Sasaran produktivitas (ton/ha) 5.50 2.80 5.439 Produksi (ton GKG) dalam area 18,576,250 218,997 18,795,247 Tambahan produksi (ton GKG)* 1,877,890 218,997 2,096,887 Produksi Nasional 2011 (ton GKG) 65,385,183 65,385,183 65,385,183 Produksi Nasional 2012 dugaan (ton GKG)

    67,263,073 65,604,180 67,482,070

    Kenaikan prod. Nasional (%) 2.872 0.335 3.207 Sumber: Hasil olahan tim modeling Badan Litbang Pertanian, 2012.

    Pada skenario moderate, besaran shock untuk peningkatan produktivitas padi ditentukan berdasarkan expert adjustment dengan memperhitungkan potensi kenaikan produktivitas padi pada pengembangan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) dan cetak sawah, yaitu sebesar 3,2% (Tabel 2). Pada skenario ini total peningkatan perluasan areal tanam padi nasional adalah sebesar 6,02% per tahun termasuk di dalamnya pencetakan sawah baru oleh BUMN, penyiapan lahan beririgasi, optimasi lahan, dan pengelolaan air. Selanjutnya, skenario optimis, besaran shock untuk peningkatan produktivitas

  • 10

    ditentukan berdasarkan skenario pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton yang telah ditetapkan oleh Kementan pada tahun 2012-2014, yaitu sebesar 4,0% dengan total peningkatan perluasan areal tanam padi sebesar 6,02% per tahun (Kementan, 2011).

    IV. DAMPAK SURPLUS BERAS 4.1. Dampak Terhadap Kinerja Makroekonomi

    Dampak peningkatan surplus produksi beras terhadap variabel-variabel makroekonomi terlihat pada Tabel 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan persentase GDP adalah positif dengan nilai tertinggi ditunjukkan pada simulasi 3, yaitu 0,26%. Peningkataan nilai GDP ini disebabkan adanya peningkatan investasi, ekspor dan konsumsi (privat dan pemerintah) serta penurunan jumlah import. Dengan adanya peningkatan GDP menyebabkan pengeluaran pemerintah pusat meningkat sebesar 0.06% pada simulasi 1, 0.15% (simulasi 2) dan 0.19% (simulasi 3).

    Tabel 3. Hasil Simulasi skenario peningkatan surplus beras terhadap peubah makroekonomi (dalam %)

    No Uraian Simbol % change Sim-1 Sim-2 Sim-3

    1 GDP GDPMP 0.10 0.21 0.26 2 Aggregat Investasi P_INV 0.07 0.16 0.20 3 Import IMPORT -0.10 -0.18 -0.22 4 Export EXPORT 0.06 0.15 0.19 5 Konsumsi rumah tangga PRVCON 0.09 0.17 0.21 6 Konsumsi pemerintah GOVCON 0.04 0.10 0.12 7 Pengeluaran pemerintah pusat P_EGC 0.06 0.15 0.19 8 Insiden kemiskinan POVIN_NAT -0.23 -0.38 -0.44

    Keterangan: Sim-1 = simulasi 1; Peningkatan produktivitas padi 1,38% dan perluasan areal tanam 6,02% Sim-2 = simulasi 2; Peningkatan produktivitas padi 3.2% dan perluasan areal tanam 6,02% Sim-3 = simulasi 3; Peningkatan produktivitas padi 4.0% dan perluasan areal tanam 6,02%

    Dari sisi kemiskinan, hasil simulasi ketiga skenario tersebut berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Berkurangnya proporsi jumlah penduduk miskin masing-masing sebesar 0,23% pada simulasi 1, 0,38% (simulasi 2), dan 0,44% (simulasi 3). Hal ini terjadi karena adanya peningkatan pendapatan nasional (GDP) sehingga berdampak positif terhadap penurunan tingkat kemiskinan.

    Dilhat secara regional, hasil simulasi juga menunjukkan dampak positif terhadap beberapa variable makroekonomi (Gambar 3). Pada simulasi 3, Gross Domestic Regional Product (GDRP), konsumsi privat dan konsumsi pemerintah daerah menunjukkan peningkatan terbesar. Peningkatan GDRP dan konsumsi pemerintah terbesar terdapat di wilayah Sumatera, sedangkan konsumsi privat tertinggi berada di wilayah Sulawasi.

  • 11

    0.130.11

    0.030.08

    0.050.04

    0.190.24

    0.43

    0.26

    0.160.10 0.06

    0.14

    0.06

    0.00

    0.10

    0.20

    0.30

    0.40

    0.50

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Regional Makroekonomi (% perubahan) pada SIM-2

    Gross Domestic Regional Product Private Consumption Government Consumption

    0.070.06

    0.020.05

    0.030.02

    0.100.13

    0.22

    0.15

    0.08

    0.03 0.020.06

    0.010.00

    0.05

    0.10

    0.15

    0.20

    0.25

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Regional Makroekonomi (% perubahan) untuk SIM-1

    Gross Domestic Regional Product Private Consumption Government Consumption

    0.160.14

    0.030.09 0.060.05

    0.220.29

    0.52

    0.31

    0.200.13 0.07

    0.17

    0.08

    0.00

    0.20

    0.40

    0.60

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Regional Makroekonomi (% perubahan) untuk SIM-3

    Gross Domestic Regional Product Private Consumption Government Consumption

    Gambar 3. Dampak surplus produksi beras terhadap regional makroekonomi

    Secara umum pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton berdampak positif terhadap kinerja makroekonomi nasional maupun wilayah/regional. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya peningkatan produktivitas di sektor padi sehingga mendorong peningkatan GDP yang dihitung dari sisi pengeluaran; konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor bersih (ekspor minus impor).Temuan ini sejalan dengan endogenous growth theory yang menekankan pentingnya peningkatan produktivitas, dimana produktivitas dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi (Lucas, 1988; Rebelo, 1991; Romer, 2001). Penomena ini juga sejalan dengan pendapat Aldeman (1984) bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, konsumsi domestik merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi.

    4.2. Dampak Terhadap Kinerja Sektoral

    Secara teoritis, peningkatan surplus produksi beras melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam akan diikuti oleh peningkatan output pada sektor yang bersangkutan dan sektor lainnya yang terkait. Hal ini berarti terjadi pergeseran kurva penawaran ke kanan, sebagai akibat adanya peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Meskipun demikian pada makalah ini tidak semua perubahan output pada berbagai sektor ekonomi

  • 12

    0.83

    1.98 2.302.59 2.72

    -4.87

    -2.57

    -0.45 -0.48 -1.32

    -6.00

    -5.00

    -4.00

    -3.00

    -2.00

    -1.00

    0.00

    1.00

    2.00

    3.00

    4.00

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Padi dalam SIM-1 (% perubahan)

    Output Harga

    1.49

    3.614.46 4.93

    5.11

    -8.80

    -4.74

    -0.86 -0.88-2.35

    -10.00

    -8.00

    -6.00

    -4.00

    -2.00

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Padi dalam SIM-2 (% perubahan)

    Output Harga

    1.77

    4.335.45 6.00

    6.22

    -10.5

    -5.7

    -1.0 -1.1 -2.8

    -12.00

    -10.00

    -8.00

    -6.00

    -4.00

    -2.00

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Padi dalam SIM-3 (% perubahan)

    Output Harga

    dibahas, namun difokuskan hanya pada beberapa sektor, diantaranya sektor padi, tanaman pangan lainnya, perkebunan, dan sektor industri makanan dan minuman.

    Sektor Padi Peningkatan surplus produksi beras berdampak positif terhadap peningkatan output

    sektor padi (Gambar 4). Peningkatan output terbesar terjadi di wilayah Indonesia Timur; 2,27% (simulasi 1), 5,11% (simulasi 2) dan 5,22% (simulasi 3). Sebaliknya peningkatan output terendah terjadi di wilayah Sumatera; 0,83% (smulasi 1), 1,49% (simulasi 2) dan 1,77% (simulasi 3).

    Gambar 5. Dampak surplus produksi beras terhadap output dan harga pada sektor padi

    Pola perubahan output sektor padi berpengaruh langsung terhadap tingkat harga output. Peningkatan jumlah output padi diikuti oleh penurunan harga output padi. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi, dimana penambahan jumlah output yang dihasilkan akan mendorong penurunan harga jual output yang bersangkutan. Adapun penurunan harga output terbesar terjadi di wilayah Sumatera; 4,87% (simulasi 1), 8,80% (simulasi 2) dan 10,5% (simulasi 3). Sebaliknya penurunan harga output terendah terjadi di wilayah Kalimantan; 0,45% (smulasi 1), 0,86% (simulasi 2) dan 1,0% (simulasi 3).

  • 13

    0.34

    -0.04-0.17

    -0.32

    -0.21

    0.16

    0.26 0.250.32 0.32

    -0.40

    -0.30

    -0.20

    -0.10

    0.00

    0.10

    0.20

    0.30

    0.40

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Tanaman Pangan lain dalam SIM-1 (% Perubahan)

    Output Harga

    0.69

    0.09

    -0.28

    -0.53

    -0.34

    0.140.29 0.33

    0.48 0.42

    -0.60

    -0.40

    -0.20

    0.00

    0.20

    0.40

    0.60

    0.80

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Tanaman Pangan Lain dalam SIM-2 (% Perubahan)

    Output Harga

    0.85

    0.15

    -0.33

    -0.62-0.41

    0.10.3 0.4

    0.5 0.5

    -1.00

    -0.50

    0.00

    0.50

    1.00

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Tanaman Pangan Lain dalam SIM-3(% Perubahan)

    Output Harga

    Sektor Tanaman Pangan Lainnya Jumlah output pada sektor tanaman pangan lainnya (selain padi) kecuali di wilayah

    Sumatera dan Jawa-Bali (simulasi 2 dan 3) mengalami penurunan (Gambar 6). Penurunan output terbesar terjadi di wilayah Sulawesi; 0,32% (simulasi 1), 0,53% (simulasi 2) dan 0,62% (simulasi 3). Penurunan output ini diduga terkait erat dengan penurunan investasi pada sektor tersebut. Keadaan seperti ini menyebabkan harga output mengalami peningkatan kecuali di wilayah Sumatera dan Jawa-Bali (simulasi 2 dan 3). Peningkatan harga output di wilayah Sumatera dan jawa-Bali diduga karena meningkatnya jumlah permintaan. Peningkatan jumlah permintaan terhadap output sektor ini di wilayah Sumatera, tercatat sebesar 0,28% (simulasi 1), 0,56% (simulasi 2), dan 0,69%, sementara di wilayah Jawa-Bali jumlah permintaan meningkat sebasar 0,06% (simulasi 1), 0,17% (simulasi 2), dan 0,23%.

    Gambar 6. Dampak surplus produksi beras terhadap output dan harga pada sektor tanaman pangan lainnya

    Sektor Perkebunan

    Gambar 7 menunjukkan hampir semua wilayah kecuali di Sumatera, peningkatan surplus produksi beras berdampak negatif terhadap peningkatan jumlah output sektor

  • 14

    0.19

    -0.19-0.13

    -0.30

    -0.16

    0.09

    0.22 0.21 0.180.24

    -0.40

    -0.30

    -0.20

    -0.10

    0.00

    0.10

    0.20

    0.30

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Komoditi Perkebunan dalam Sim-1 (% perubahan)

    Output Harga

    0.43

    -0.09-0.19

    -0.44

    -0.24

    0.08

    0.25 0.28 0.280.32

    -0.60

    -0.40

    -0.20

    0.00

    0.20

    0.40

    0.60

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Komoditi Perkebunan dalam Sim-2 (% perubahan)

    Output Harga

    0.54

    -0.04

    -0.23

    -0.51

    -0.28

    0.1

    0.30.3 0.3

    0.4

    -0.60

    -0.40

    -0.20

    0.00

    0.20

    0.40

    0.60

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur

    Output dan Harga Komoditi Perkebunan dalam Sim-3 (% perubahan)

    Output Harga

    perkebunan. Penurunan output sektor perkebunan terbesar terjadi di wilayah Sulawesi; 0,30% (simulasi 1), 0,44% (simulasi 2) dan 0,51% (simulasi 3). Sebaliknya peningkatan output sektor perkebunan hanya terjadi di wilayah Sumatera; 0,19% (smulasi 1), 0,43% (simulasi 2) dan 0,54% (simulasi 3).

    Pola perubahan output sektor perkebunan juga berpengaruh langsung terhadap tingkat harga output kecuali di wilayah Sumatera. Penurunan jumlah output perkebunan di wilayah Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur diikuti oleh peningkatan harga output sektor perkebunan. Peningkatan harga output terbesar terjadi di wilayah Indonesia Timur; 0,24% (simulasi 1), 0,32% (simulasi 2) dan 0,4% (simulasi 3).

    Gambar 7. Dampak surplus produksi beras terhadap output dan harga pada sektor perkebunan

    Sektor Industri Makanan dan Minuman

    Output pada sektor industri makanan dan minuman kecuali di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur mengalami penurunan (Gambar 8). Penurunan output terbesar terjadi di wilayah Sulawesi; 0,45% (simulasi 1), 0,82% (simulasi 2) dan 0,99% (simulasi 3). Penurunan output pada sektor industri makanan dan minuman di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur diduga disamping terjadinya penurunan investasi juga terkait dengan masih rendah kapasitas produksi serta belum efsiennya sektor industri tersebut.

  • 15

    -0.07

    0.15

    0.27

    0.36

    0.26

    0.14 0.15 0.11

    0.230.15

    -0.10

    0.00

    0.10

    0.20

    0.30

    0.40

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Household_rural Household_urban

    -0.15

    0.25

    0.48

    0.69

    0.44

    0.27 0.30 0.22

    0.450.27

    -0.20

    0.00

    0.20

    0.40

    0.60

    0.80

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Household_rural Household_urban

    -0.19

    0.29

    0.58

    0.84

    0.52

    0.33 0.360.27

    0.54

    0.33

    -0.40

    -0.20

    0.00

    0.20

    0.40

    0.60

    0.80

    1.00

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Household_rural Household_urban

    Gambar 8. Dampak surplus produksi beras terhadap output pada sektor industri makanan dan minuman

    4.3. Dampak Terhadap Pendapatan

    Peningkatan surplus produksi beras melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam berdampak terhadap perubahan pendapatan rumah tangga (household) di pedesaan maupun di perkotaan (Gambar 8).

    a. Simulasi 1 (dalam % perubahan) b. Simulasi 2 (dalam % perubahan)

    c. Simulasi 3 (dalam % perubahan)

    Gambar 8. Dampak surplus produksi beras terhadap pendapatan rumahtangga di perdesaan dan perkotaan

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia TimurSIM-1 1.21 0.25 -0.35 -0.45 -0.10Sim-2 2.23 0.49 -0.63 -0.82 -0.18Sim-3 2.66 0.61 -0.75 -0.99 -0.23

    -1.50-1.00-0.500.000.501.001.502.002.503.00

    Output sektor industri makanan dan minuman (%)

  • 16

    Dari ketiga skenario, kecuali rumah tangga di pedesaan Sumatera menunjukkan adanya peningkatan pendapatan. Hal ini memperlihatkan bahwa peningkatan surplus produksi beras berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Gambar 8 juga menunjukan bahwa hasil simulasi 3 memberikan dampak terbesar terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Wilayah Sulawesi merupakan daerah yang mengalami peningkatan pendapatan rumahtangga terbesar, yaitu 0.54% di perdesaan dan 0.84% di perokotaan. Sebaliknya, wilayah Sumatera merupakan satu-satunya daerah yang mengalami penurunan pendapatan rumah tangga, khususnya di perdesaan, yaitu sebesar 0,19%. Temuan ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang mengarah pada upaya peningkatan surplus produksi beras belum dapat memperbaiki pendapatan rumah tangga di perdesaan Sumatera.

    4.4. Dampak Terhadap Kemiskinan

    Analisis kemiskinan dilakukan dengan menggunakan formulasi insiden kemiskinan (incidence of poverty) dengan garis kemiskinan (poverty line) di perkotaan dan di perdesaan ditetapkan berdasarkan standar BPS tahun 2008, yaitu masing-masing sebesar Rp. 204,896 dan Rp. 161,831 per kapita per bulan. Sementara nilai head-count index sebelum dilakukan simulasi terlihat seperti pada Tabel 4. Nilai ini menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan terhadap total penduduk.

    Tabel 4. Head-count index untuk rumahtangga di perdesaan dan perkotaan sebelum dilakukan simulasi/Ex-ante (dalam %)

    Rumah Tangga Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Pedesaan 18.65 20.70 13.00 20.89 31.99

    Urban 14.90 12.02 8.05 7.79 22.25

    Pada Tabel 4, nilai head-count index di Sumatera sekitar 18,65% di pedesaan dan 14,90% di perkotaan, Jawa-Bali 20,70% di perdesaan, dan 12,02% di perkotaan, Kalimantan 13% di perdesaan, dan 8.05% di perkotaan, Sulawesi 20.89% di perdesaan, dan 7.79% di perkotaan, dan Indonesia Timur 31.99% di perdesaan, dan 22,25% di perkotaan. Sementara nilai head-count index secara nasional adalah sekitar 16,7%. Dari Tabel 4 tersebut terlihat bahwa tingkat kemiskinan rumahtangga di perdesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Penomena ini selaras dengan pendapat Thorbecke dan Pluijm (1993), bahwa sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah perdesaan.

    Gambar 9 menunjukkan bahwa peningkatan surplus produksi beras melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada seluruh wilayah. Adapun penurunan tingkat kemiskinan terbesar terdapat di wilayah Indonesia Timur, yaitu 0.82% pada simulasi 1, 0.94% (simulasi 2), dan 1,0% (simulasi 3). Sebaliknya, penurunan kemiskinan terkecil berada di wilayah Kalimantan; 0,05% (simulasi 1 dan 2), dan 0,12% (simulasi 3) .

  • 17

    Sumatera-0.18

    Jawa-Bali-0.21

    Kalimantan -0.05

    Sulawesi-0.37

    Indonesia Timur-0.82

    0.08

    -0.58

    -0.13

    -0.93

    -1.09

    -0.93

    -0.16

    -0.04

    -0.15

    -0.53

    -1.20

    -1.00

    -0.80

    -0.60

    -0.40

    -0.20

    0.00

    0.20

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Rural Urban

    Sumatera-0.28

    Jawa-Bali-0.37

    Kalimantan-0.05

    Sulawesi-0.71

    Indonesia Timur-0.94

    0.11

    -0.69

    -0.16

    -1.09 -1.12-0.98

    -0.19

    -0.05

    -0.18

    -0.65

    -1.20

    -1.00

    -0.80

    -0.60

    -0.40

    -0.20

    0.00

    0.20

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Rural Urban

    Sumatera-0.28

    Jawa-Bali-0.44

    Kalimantan-0.12

    Sulawesi-0.83

    Indonesia Timur-1.00

    0.02

    -0.34

    -0.07

    -0.49

    -1.02

    -0.55

    -0.08

    -0.02

    -0.07-0.29

    -1.20

    -1.00

    -0.80

    -0.60

    -0.40

    -0.20

    0.00

    0.20

    Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur

    Rural Urban

    Gambar 9. Dampak surplus produksi beras terhadap penurunan tingkat kemiskinan menurut wilayah dan

    rumah tangga di perdesaan dan perkotaan (dalam %)

    Apabila tingkat kemiskinan didisagregasi menurut kelompok rumah tangga yang berada di pedesaan dan di perkotaan, nampak bahwa penurunan tingkat kemiskinan terbesar terdapat pada rumahtangga di pedesaan Indonesia Timur, yaitu 1,02% (simulasi 1), 1,09% (simulasi 2), dan 1,12% (simulasi 3). Sebaliknya, penurunan kemiskinan terbesar pada rumahtangga di perkotaan terdapat di wilayah Sumatera; 0,55% (simulasi1), 0.93%(simulasi 2), dan 0,98% (simulasi 3). Pada analisis ini juga menunjukkan adanya peningkatan kemiskinan pada rumahtangga di perdesaan Sumatera; 0,02% (simulasi 1), 0,08% (simulasi 2), dan 0,11% (simulasi 3).

    Analisis secara nasional juga menunjukkan terjadinya penurunan tingkat kemiskinan (Gambar 10). Adapun penurunan tingkat kemiskinan terbesar terdapat pada simulasi 3, yaitu 0.44%. Sebaliknya, penurunan kemiskinan terkecil terdapat pada simulasi 1 (0,23%). Apabila

  • 18

    Rural-0.29

    Urban-0.16

    Nasional-0.23 Rural

    -0.46

    Urban-0.28

    Nasional-0.38

    Rural -0.53

    Urban-0.32

    Nasional-0.44

    penurunan tingkat kemiskinan tersebut didisagregasi menurut kelompok rumahtangga yang berada di pedesaan dan di perkotaan, nampak bahwa penurunan tingkat kemiskinan terbesar terdapat pada rumahtangga di pedesaan; 0,29% (simulasi 1), 0,46% (simulasi 2), dan 0,53% (simulasi 3).

    Gambar 10. Dampak surplus produksi beras terhadap penurunan tingkat kemiskinan nasional (dalam %)

    Berdasarkan analisis tingkat kemiskinan seperti diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Temuan ini selaras dengan hasil kajian Sumedi dan Supadi (2004), bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan adanya perbaikan struktur perekonomian yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, maka pengurangan jumlah penduduk miskin di perdesaan akan lebih besar daripada di perkotaan.

  • 19

    V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

    5.1. Kesimpulan

    Program pencapaian surplus produksi beras melalui skenario 3, yaitu peningkatan produktivitas padi 4% dan perluasan areal tanam 6,02% akan memberikan dampak terbesar terhadap perekonomian nasional dan wilayah, dengan perubahan sebagai berikut;

    a. Peningkatan kinerja makroekonomi: GDP meningkat 0.26%, investasi (0.2%), impor turun 0,22%, ekspor meningkat 0.19% dan proporsi penduduk miskin turun sebesar 0.44%

    b. Peningkatan kinerja regional makroekonomi; GDRP dan Kemiskinan masing-masing di Sumatera (0.20% untuk GDRP dan -0.28% untuk kemiskinan), Jawa Bali (0.13% dan -0.44%), Kalimantan (0.07% dan -0.12%), Sulawesi (0.17% dan -0.83%) dan Indonesia Timur (0.08% dan -1.0%)

    c. Peningkatan kinerja sektoral padi; output meningkat dan harga turun masing-masing di wilayah Sumatera sebesar 1.77% dan 10.5%, Jawa Bali (4.33% dan 5.7%), Kalimantan (5.45% dan 1.0%), Sulawesi (6.0% dan 1.1%) dan Indonesia Timur (6.22% dan 2.8%).

    d. Perubahan pendapatan rumah tangga; di wilayah Sumatera masing-masing meningkat 0.33% di perkotaan dan menurun 0.19% di perdesaan, Jawa Bali meningkat 0.36% (di perkotaan) dan 0.29% (perdesaan), Kalimantan 0.27% (perkotaan) dan 0.58% (di perdesaan), Sulawesi 0.54% (di perkotaan), dan 0.84% (di perdesaan), serta Indonesia Timur 0.33% (di perkotaan) dan 0.52% (di perdesaan).

    e. Penurunan tingkat kemiskinan terjadi di seluruh wilayah, dimana Indonesia Timur tercatat sebagai wilayah yang tingkat kemiskinannya mengalami penurunan terbesar (1,0%).

    5.2. Implikasi Kebijakan

    Melihat pentingnya arti sosial-ekonomi beras bagi ekonomi nasional dan wilayah, maka kebijakan pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton perlu disertai dengan upaya menyeimbangkan produksi, stok dan kebutuhan beras di tiap wilayah/region. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan keterkaitan industri primer (padi) dengan industri pengolahan (penggilingan), dan industri makanan yang berbahan baku beras. Hampir tidak mungkin industri padi kokoh dan pendapatan petani meningkat secara berkelanjutan, manakala industri penggilingan padi lemah dan kapasitas industri makanan yang berbahan baku beras masih rendah. Selain itu, kebijakan ekpor beras perlu diambil terutama ketika kebutuhan lokal terpenuhi. Untuk itu, kebijakan HPP multikualitas dalam upaya mendorong terpenuhinya kualitas beras untuk pasar ekspor perlu diimplementasikan.

    Penerapan kebijakan HPP multikualitas di Indonesia juga berimplikasi seperti berikut ini (Sawit, 2010). Pertama, mendorong peningkatan volume pengadaan dalam negeri oleh Bulog yang dalam waktu yang sama dapat meningkatkan kualitas beras pengadaan dan penyalurannya, serta meningkatkan harga yang diterima produsen. Kedua, industri penggilingan padi akan merespons dengan memperbaiki kualitas beras yang dihasilkan, terjadi percepatan adopsi dryers dan mendorong modernisasi penggilingan padi. Dalam jangka panjang akan mempercepat perbaikan kualitas beras/gabah dan menurunkan susut. Ketiga, petani akan terangsang untuk memperbaiki kualitas gabah dengan menanam varietas terpilih.

  • 20

    Insentif pasar/harga merupakan sumber utama untuk keberlanjutan pencapaian surplus produksi beras, karena pengambilan keputusan petani untuk menanam padi sangat dipengaruhi oleh harga yang berlaku dan harga yang terima sebelumnya. Untuk itu, upaya mengembalikan fungsi kebijakan harga sebagai fungsi perlindungan petani sangat diperlukan, karena dapat menstimulasi petani agar mau menanam padi. Hal ini dapat dilakukan, antara lain; (1) mengembangkan resi gudang di sentra-sentra produksi padi, (2) memperkuat keberadaan dan peranan lembaga ekonomi lokal sebagai mitra atau pesaing bagi pedagang pengumpul atau pedagang besar, (3) tidak melakukan operasi pasar ketika saat harga sedang bergerak turun, dan (4) meningkatkan peran Bulog dalam pengadaan beras domestik sebagai upaya melindungi petani dari kejatuhan harga jual gabah/beras di bawah ongkos produksi.

    Kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah meminimalkan dampak negatif terhadap penurunan produksi pada sektor pertanian lainnya terutama pada sektor tanaman pangan lain, dan perkebunan. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong pertumbuhan investasi dan pengembangan inovasi teknologi pada sektor tersebut.

    DAFTAR PUSTAKA

    Armstrong H, and Taylor J. 1993. Regional Economics and Policy (Second edition). Harvester Wheatsheaf Publishers. New York

    Aldeman,I. 1984. Beyond Eport-Led Growth. In Adelman,I. 1995. Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Irma Adelman. University of California, Berkeley, US.

    Bendavid-Val A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners (Fourth edition). Praeger Publishers, London.

    Bergman, L 1990. The Development of Computable General Equilibrium Modeling. In Bergman, L., Jorgenson D., W and Zalai., E. General Equilibrium Modeling and Economic Policy Analysis. Basil Blackwell Inc.

    BPS. 2011.Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia.

    Decaluw, E, B., J. C. Dumont, and L. Savard (1999). How to measure poverty and inequality in general equilibrium framework. CREFA Working Paper no. 9920. Laval University.

    Dervis, K ., De Mello J and Robinson, S,. 1982. General Equilibrium Model for Development Policy. Cambridge University Press.

    Dixon, P., B ., Parmenter B., R and Powell., A., A. 1992. Note and Problem in Applied General Equilibrium Economics. North-Holland.

    Edgar M. Hoover. 1971. An Introduction to Regional Economics (Second edition). Albert A. Knopf, New York.

    Ginsburgh, V., and Keyzer, M. 1997. The Structure of Applied General Equilibrium Models. The MIT Press

    Kementerian Pertanian. 2011. Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton Pada Tahun 2014. Kementerian Pertanian.

  • 21

    Lewis, Jeffrey D. (1991), "A Computable General Equilibrium (CGE) Model of Indonesia." HIID Series of Development Discussion Papers No. 378

    Lucas, Robert E. (1988): On the Mechanics of Economic Development, Journal of Monetary Economics, 22, 342.

    Oktaviani, R. 2011. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan Aplikasinya di Indonesia. PT. IPB Press, Kampus IPB Tanam Kencana Bogor..

    Pakpahan, A. 2011. Sawit, Sawah, dan Sejarah Masa Depan Indonesia. Koran Tempo, 9 Januari 2011.

    Petersen, T., W. 1997. An Introduction to CGE-modelling and an Illustrative Application to Eastern European Integration with the EU. Kobenhavns Universitet Okonomisk Institut

    Pindyck, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld (1995), Microeconomics, Prentice Hall.

    Rebelo, Sergio T. 1991. Long-Run Policy Analysis and Long-Run Growth. Journal of Political Economy, 99(3), 500521

    Resosudarmo, B.P., Yusuf, A.A, D. Hartono and D.A. Nurdianto.2009. Implementation of the IR-CGE Model for Planning: IRSA-INDONESIA 5 (Inter-Regional System of Analysis for Indonesia in 5 Regions). Bappenas and CSIRO, University Drive, Townsville 4810 QLD, Australia

    Romer, D. 2001. Advanced Macroeconomics. Second edition. McGraw-Hill International. New York.

    Round, J. (2003): Social Accounting Matrices and SAM-Based Multiplier Analysis, in The impact of economic policies on poverty and income distribution: Evaluation techniques and tools, ed. by F. Bourguignon, P. da Silva, and L. A, Washington, DC.: World Bank.

    Sawit, M.H, 2010. Mengoptimalkan Peran Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah. Dalam Tim Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Kebijakan Harga Beras di Asia Kajian di 5 Negara Asia. Sekretariat KRKP Sindangbarang- Bogor.

    Savard, L. (2003): Poverty and Income Distribution in a CGE-Household Micro-Simulation Model: Top-Down/Bottom Up Approach, Cahiers de Recherche 0343, CIRPEE, available at http://ideas.repec.org/p/lvl/lacicr/0343.html.

    Seed, Khalid. 1994. Development Planning and Policy Design. New Castle Asigate.

    Shoven., J., B and Walley, J, 1984. Applied General-Equilibrium Models of Taxation and International Trade: An Introduction and Survey

    Shoven., J., B and Walley, J. 1992. Applying General Equilibrium. Cambridge. University Press.

    Sumedi dan Supadi. 2004. Kemiskinan di Indonesia; Suatu Fenomena Ekonomi. ICARSERD Working Paper No.22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litban Pertanian, Kementerian Pertanian .

    Thorbecke and T.V.D. Pluijm. 1993. Rural Indonesia: Socioeconomic Development in a Changing Environment. IFAD. New York. University Press, New York.

    Yusuf, A. A. 2006. Constructing Indonesian Social Accounting Matrix for Distributional Analysis in the CGE Modelling Framework. Working Paper in Economics and Development Studies. November, 2006.