73
Anas bin Malik Ya Allah berilah dia harta dan anak dan berkahilah. (Doa Rosul) dakwatuna.com – Anas bin Malik sejak usia belianya telah mendapat talqin dua syahadat dari ibunya Al ghumaisho’, sejak itu tumbuhlah kecintaan hatinya yang bersih kepada Rasul SAW, bersemangat untuk mendengar langsung darinya, tidak heran kalau kadang telinga lebih awal merindukan dari pada penglihatan. Sudah lama anak kecil ini mendambakan bertemu langsung dengan Rasul di Mekah atau di Yatsrib sehingga ia dapat bahagia dengan pertemuannya. Tidak berselang waktu yang lama, Yatsrib dibahagiakan oleh kedatangan Rasulullah dan sahabatnya As Siddiq yang sudah lama di damba-dambakan. Maka tidak satu pun keluarga dan hati penduduk Madinah yang tidak berbahagia. Saat itu semua pemuda menyebarkan berita setiap pagi bahwa Rasulullah SAW akan tiba di Yatsrib. Anas bin Malik bersama anak-anak yang lain yang berusaha ingin bertemu dengan Rasulullah, namun ketika belum berhasil menemuinya ia sedih. Pada suatu pagi yang indah yang menyebarkan keharuman, masyarakat berteriak-teriak, bahwa Muhammad dan sahabatnya telah dekat dari kota Madinah, semua orang berusaha menyambut kedatangan Nabi SAW. Begitu juga anak-anak, mereka berlomba- lomba ikut menyambut Rasulullah dengan hati yang diliputi kegembiraan yang meluap-luap dan wajah yang berseri-seri, maka di antara anak-anak itu adalah Anas bin Malik. Sementara para wanita telah berada di atas rumah mereka, menunggu dan berusaha melihat wajah Rasulullah SAW. Hati mereka berkata: “Mana yang orangnya yang disebut Rasul?” Sungguh hari itu adalah hari yang bersejarah. Peristiwa ini terus dikenang oleh Anas sampai usianya hampir seratus tahun. Belum lama Rasul tinggal di Madinah, datanglah seorang wanita bernama Al Ghumaiso’ binti Milhan menemui Rasulullah SAW bersama putranya Anas bin Malik, ia berkata: ، ُ هْ ذُ خ ف ا . .. هذ ي ن ب ر ا ي غ ه بَ كُ فِ ح تُ ! ا ماُ ذ ج! ا لا ي ن) ، واٍ هَ ف حُ - ت ب ك ف ح ت! ذ ا لا وق) ر ا صا ن! لا ا4 ن مٌ ه! را م ا ولاٌ لُ ج ر ق ب< ب م ل له .. . ال ول س ا ر ي ت! ئG ش ما ذمك خ ت ل ق. . . “Wahai Rasul, tidak satu pun seorang laki-laki dan perempuan dari Anshar ini, kecuali telah memberi hadiah kepadamu, dan sesungguhnya Aku tidak memiliki apa

surga

Embed Size (px)

DESCRIPTION

baba

Citation preview

Page 1: surga

Anas bin MalikYa Allah berilah dia harta dan anak dan berkahilah. (Doa Rosul)

dakwatuna.com – Anas bin Malik sejak usia belianya telah mendapat talqin dua syahadat dari ibunya Al ghumaisho’, sejak itu tumbuhlah kecintaan hatinya yang bersih kepada Rasul SAW, bersemangat untuk mendengar langsung darinya, tidak heran kalau kadang telinga lebih awal merindukan dari pada penglihatan. Sudah lama anak kecil ini mendambakan bertemu langsung dengan Rasul di Mekah atau di Yatsrib sehingga ia dapat bahagia dengan pertemuannya.Tidak berselang waktu yang lama, Yatsrib dibahagiakan oleh kedatangan Rasulullah dan sahabatnya As Siddiq yang sudah lama di damba-dambakan. Maka tidak satu pun keluarga dan hati penduduk Madinah yang tidak berbahagia. Saat itu semua pemuda menyebarkan berita setiap pagi bahwa Rasulullah SAW akan tiba di Yatsrib. Anas bin Malik bersama anak-anak yang lain yang berusaha ingin bertemu dengan Rasulullah, namun ketika belum berhasil menemuinya ia sedih.Pada suatu pagi yang indah yang menyebarkan keharuman, masyarakat berteriak-teriak, bahwa Muhammad dan sahabatnya telah dekat dari kota Madinah, semua orang berusaha menyambut kedatangan Nabi SAW. Begitu juga anak-anak, mereka berlomba-lomba ikut menyambut Rasulullah dengan hati yang diliputi kegembiraan yang meluap-luap dan wajah yang berseri-seri, maka di antara anak-anak itu adalah Anas bin Malik. Sementara para wanita  telah berada di atas rumah mereka, menunggu dan berusaha melihat wajah Rasulullah SAW. Hati mereka berkata: “Mana yang orangnya yang disebut Rasul?” Sungguh hari itu adalah hari yang bersejarah. Peristiwa ini terus dikenang oleh Anas sampai usianya hampir seratus tahun.Belum lama Rasul tinggal di Madinah, datanglah seorang wanita  bernama Al Ghumaiso’ binti Milhan menemui Rasulullah SAW bersama putranya Anas bin Malik, ia berkata:

�تِح�ُف�َك� .. . ُأ ما ُأجُد� ال وإني ، �ِحُف�ٍة� بُت ُأتِحُفَك وقُد إال األنصار من �امرُأٌة وال �رج�ٌل يبق لم الله رسول ياشئت . .. ما فليخُدمَك ، فخ�ْذ2ُه� هْذا ابني غير . . . به

“Wahai Rasul, tidak satu pun seorang laki-laki dan perempuan dari Anshar ini, kecuali telah memberi hadiah kepadamu, dan sesungguhnya Aku tidak memiliki apa yang dapat aku berikan kepadamu kecuali anakku ini…. maka ambillah anak ini agar dia dapat membantumu kapan Anda mau.”Tergugahlah Rasul untuk menerimanya, beliau mengusap kepalanya dan menyatukannya dengan keluarganya. Saat itu umur Anas sepuluh tahun, saat kebahagiaannya dapat menjadi pembantu Rasul, dan hidup terus bersama Rasulullah sampai Rasul kembali kepada Allah. Adalah masa hidupnya menjadi pembantu Rasul selama sepuluh tahun. Kondisi ini sangat dimanfaatkan oleh Anas untuk menimba langsung hidayah dari Rasul, memahami semua sabdanya, mengetahui sifat-sifatnya dan keutamaannya yang tidak dapat diketahui oleh selainnya.

Page 2: surga

Anas berkata: “Adalah Rasulullah SAW orang yang paling baik akhlaqnya, lapang dadanya, dan banyak kasih sayangnya. Suatu saat beliau menyuruhku untuk suatu keperluan, ketika aku berangkat aku tidak menuju ke tempat yang Rasul inginkan, namun aku pergi ke tempat anak-anak-anak yang sedang bermain di pasar ikut bermain bersama mereka. Ketika aku telah bersama mereka aku merasa ada seseorang berdiri di belakangku dan menari bajuku, maka aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah dengan senyum beliau menegurku: “Ya Unais (panggilan kesayangan) apakah kamu sudah pergi ke tempat yang aku perintahkan?” Aku gugup menjawabnya: Ya, ya Rasul, sekarang aku akan berangkat. Demi Allah aku telah menjadi pembantunya sepuluh tahun, tidak pernah aku mendengar ia menegurku: “Mengapa kamu lakukan ini dan itu, atau mengapa kamu tidak melakukan ini atau itu?””Dan adalah Rasulullah SAW jika memanggilnya selalu memanggilnya dengan panggilan rasa sayang dan memanjakan yaitu dengan memanggilnya dengan kata Unais atau ya bunayya. Begitu juga Rasulullah banyak menasihatinya sampai memenuhi hati dan otaknya. Di antara nasihat-nasihatnya adalah:فافعٌل ) ألحُد غش قلبَك في وليس �مسي وت �صبح ت ُأن قُدرت إن �ني@ ب . . . يا“Ya bunayya jika engkau mampu setiap pagi dan sore hatimu bersih dari perasaan dengki kepada orang lain maka lakukanlah.”

@ني ُأح�ب فقُد نُتي س� ُأحيا ومن ، نُتي س� من ذلَك إن@ �ني@ ب . ياالجنٍة في معي كان @ني ب ُأح� . ومن

“Ya bunayya sesungguhnya hal itu adalah sunnahku, barang siapa menghidupkan sunnahku maka mencintaiku, barangsiapa mencintaiku akan bersamaku di surga.”

بيُتَك ُأهٌل وعلى عليَك Gٍة� برك يكن فسلم ُأهلَك على دخلت إذا �ني ب ( يا“Ya bunayya jika engkau menemui keluargamu maka berilah salam niscaya akan menjadi keberkahan bagimu dan bagi keluargamu.”Anas bin Malik hidup setelah wafatnya Rasulullah SAW sekitar delapan puluh tahun lebih. Dadanya dipenuhi ilmu yang langsung diambil dari Rasulullah. Otaknya tumbuh dengan pemahaman kenabian. Oleh karena itu sepanjang umurnya menjadi rujukan umat Islam, tempat umat bertanya, setiap menghadapi permasalahan sulit dan tidak diketahui hukumnya. Suatu saat terjadi perdebatan tentang keberadaan telaga Nabi nanti di hari kiamat. Maka mereka bertanya kepada Anas tentang masalah ini. Beliau menjawab: “Aku tidak mengira hidup dalam kondisi mendapatkan kalian mendiskusikan tentang telaga. Sungguh aku telah meninggalkan para wanita tua di belakangku, tidaklah di antara mereka shalat kecuali mereka berdoa agar dapat minum dari telaga nabi tersebut.”Dan seterusnya Anas sepanjang hidupnya selalu mengenang kehidupan Rasulullah. Adalah Anas selalu riang setiap kali bertemu dengan Rasulullah, sangat sedih di saat perpisahan, banyak mengulang-ulang sabdanya, sangat perhatian mengikuti perkataan-perkataannya dan perbuatan-perbuatannya, menyenangi apa yang disenangi dan membenci apa yang dibenci, dan hari yang paling berkesan baginya karena dua peristiwa: Hari yang pertama ia bertemu dengan Rasulullah dan hari saat berpisah dengan Beliau. Apabila terkenang hari yang pertama beliau

Page 3: surga

berbahagia, dan apabila terkenang hari yang kedua terharu yang membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis. Beliau sering berkata: “Sungguh saya melihat Nabi SAW pada hari pertama bersama kita, dan hari pada saat wafatnya, maka tidaklah aku melihat dua hari itu ada kemiripan. Maka pada hari saat masuk ke Madinah menyinari segala sesuatu. Dan pada hari hampir wafatnya, jadilah Madinah kota yang gelap. Terakhir aku melihat Rasulullah SAW pada hari senin ketika tabir di kamarnya di buka, maka aku melihat wajahnya seperti kertas mushaf, para sahabat saat itu berdiri di belakang Abu Bakar melihatnya, hampir-hampir mereka bergejolak kalau saja Abu Bakar tidak menenangkan mereka. Pada hari itulah Rasulullah SAW wafat, maka tidaklah kami melihat pemandangan yang sangat mengherankan dari pada melihat wajah Rasulullah SAW harus diuruk dengan tanah.”Adalah Rasulullah SAW sering mendoakan  Anas bin Malik. Di antara doanya: ( اللهم

له وبارك ، G وولُدا G ماال Ya Allah berilah rezki kepadanya harta dan anak, dan“  ( ارزقهberkahilah.” Dan sungguh Allah telah mengabulkan doanya, jadilah Anas orang yang kaya di kalangan Anshar, dan paling banyak keturunannya, sampai-sampai dia panjang umur dan hidup bersama cucu-cucunya lebih dari seratus orang. Dan umurnya mencapai seratus tahun lebih. Dan adalah Anas, sahabat yang sangat mengharapkan syafaat Rasulullah SAW pada hari kiamat, sering sekali ia mengatakan: “Aku berharap dapat bertemu Rasulullah pada hari kiamat dan mengatakan kepada Rasulullah SAW, ya Rasul inilah saya yang dulu menjadi pembantumu.”Ketika Anas sakit menjelang kematiannya, dia berkata kepada keluarganya: “Tuntunlah aku untuk membaca laailaaha Illallah.” Begitulah ia mengulang-ulangnya sampai datang ajalnya. Beliau pernah berwasiat agar tongkat kecil milik Rasul dikuburkan bersamanya, maka diletakkanlah di antara lambungnya. Selamat bagi Anas, yang telah dikaruniai oleh Allah dengan berbagai macam kebaikan. Total masa hidup Anas bersama Rasulullah SAW selama sepuluh tahun. Beliau berada di ranking ketiga di dalam meriwayatkan hadits, setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar. Semoga Allah membalasnya dan ibunya atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/06/30/6477/anas-bin-malik/#ixzz3WJj8o2gL Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Page 4: surga

SAID BIN AMIR AL-JUMAHI “Said bin Amir, seorang laki-laki yang membeli akhirat dengan dunia dan mementingkan Allah dan Rasul-Nya di atas selain keduanya.” (Ahli Sejarah)

Anak muda ini, Said bin Amir, adalah satu dari ribuan orang

yang keluar ke daerah Tan’im di luar Mekah atas undangan

para pemuka Quraisy untuk menyakikan pelaksanaan hukum

mati atas khubaib bin Adi, salah seorang sahabat Muhammad

setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.

Sebagai pemuda yang kuat dan tangguh, Said mampu bersaing

dengan orang-orang yang lebih tua umurnya untuk berebut

tempat di depan, sehingga dia mampu duduk sejajar di antara

para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin

Umayyah, dan lain-lainya yang menyelenggarakan acara

tersebut.

Semua ini membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan

Quraisy yang terikat dengan tambang itu. Sementara tangan

anak-anak, para pemuda, dan kaum wanita mendorongnya ke

pelataran kematian dengan kuatnya, mereka ingin

melampiaskan dendam kesumat terhadap

Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, membalas kematian

orang-orang mereka yang terbunuh di Badar dengan

membunuh Khubaib.

Page 5: surga

Manakala rombongan besar dengan seorang tawanan tersebut

telah tiba di tempat yang sudah disiapkan untuk

membunuhnya, si anak muda Said bin Amir al-Jumahi berdiri

tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib.

Said mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita

dan anak-anak, dia mendengarnya berkata, “Bila kalian

berkenan membiarkanku shalat dua rakaat sebelum aku kalian

bunuh?”

Said melihat Khubaib menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua

rakaat yang sangat baik dan sangat sempurna.

Said melihat Khubaib menghadap para pembesar Quraisy dan

berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir kalian

menyangka bahwa aku memperlama shalat karena takut mati,

niscaya aku akan memperlama shalatku.”

Kemudia Said melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya

mencincang jasad Khubaib sepotong demi sepotong padahal

Khubaib masih hidup, sambil berkata, “Apakah kamu ingin

Muhammad ada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?[1]

Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya,

“Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga

dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang

sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.”

Page 6: surga

Maka orang banyak pun mengangkat tangan mereka tinggi-

tinggi ke udara, teriakan mereka gegap gempita menggema di

langit.

Di saat itu Said bin Amir melihat Khubaib mengangkat

pandangannya ke langit dari atas tiang salib dan berkata, “Ya

Allah, balaslah mereka satu persatu, bunuhlah mereka sampai

habis, dan jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup

dengan aman.”

Akhirnya Khubaib pun menghembuskan nafas terakhirnya, dan

tidak ada seorang pun yang mampu melindunginya dari

tebasan pedang dan tusukan tombak orang-orang kafir.

Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, mereka melupakan

Khubaib dan kematiannya bersama dengan datangya peristiwa

demi peristiwa besar yang mereka hadapi.

Namun tiak dengan anak muda yang baru tumbuh ini, Said bin

Amir, Khubaib tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat

pun.

Said melihatnya dalam mimpinya ketika dia tidur,

membayangkannya dalam khayalannya ketika dia terjaga,

berdiri di depannya ketika dia shalat dua rakaat dengan tenang

dan tenteram di depan kayu salib, Said mendengar bisikan

suaranya di keua telinganya ketika dia berdoa atas orang-orang

Quraisy, maka dia khawatir sebuah halilintar akan menyambar

atau sebuah batu dari langit akan jatuh menimpanya.

Page 7: surga

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Said

tentang persoalan besar yang belum dia ketahui selama ini.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa

kehidupan sejati adalah jihad di jalan akidah yang diyakininya

sampai mati.

Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa

iman yang terpancang kuat bisa melahirkan dan menciptakan

keajaiban-keajaiban.

Khubaib mengajarkan kepadanya perkara lainnya, yaitu

seorang laki-laki yang dicintai sedemikian rupa oleh para

sahabatnya adalah seorang nabi yang di dukung oleh kekuatan

dan pertolongan langit.

Pada saat itu Allah Ta’ala membuka dada Said bin Amir kepada

Islam, maka dia berdiri di hadapan sekumpulan orang banyak,

mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari dosa-dosa dan

kejahatan-kejahatan orang Quraisy, menanggalkan berhala-

berhala dan patung-patung menyatakan diri sebagai seorang

muslim.

Said bin Amir al-Jumahi berhijrah ke Madinah tinggal bersama

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut bersama beliau

dalam perang khaibar dan peperangan lain sesudahnya.

Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia

dipanggil menghadap keharibaan Rabbbnya alam keadaan

Page 8: surga

ridha, Said bin Amir tetap menjadi sebilah pedang yang

terhunus di tangan para khalifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam, Abu Bakar, dan Umar. Said bin Amir hidup sebagai

contoh menawan lagi mengagumkan bagi setiap mukmin yang

telah membeli akhirat dengan dunia, mementingkan ridha Allah

dan pahalaNya di atas segala keinginan jiwa dan hawa nafsu.

Dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam mengenal kejujuran Said dan ketakwaannya, keduanya

mendengar nasihatnya dan mencamkan kata-katanya.

Said datang kepada Umar bin al-Khatthab di awal khilafahnya,

dia berkata, “Wahai Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu

bertakwa kepada Allah dalam bermuamalah dengan

manusiadan jangan takut kepada manusia dengan melakukan

kemaksiatan kepada Allah. Janganlah kata-katamu menyelisihi

perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang

dibenarkan oleh perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah orang-

orang yang Allah Ta’ala telah menyerahkan perkara mereka

kepadamu, baik mereka dari kalangan kaum muslimin yang

dekat maupun yang jauh, cintailah sesuatu yang bermanfaat

untuk dirimu dan keluargamu, bencilah sesuatu yang mereka

alami, yang kamu pun benci apabila hal itu terjadi kepada

dirimu dan keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk

menuju pada kebenaran dan jangan takut celaan orang-orang

yang mencela ketika engkau berbuat ketaatan kepada Allah.”

Maka Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya

wahai Said?”

Page 9: surga

Said berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang

sepertimu yang Allah Ta’alaserahi perkara umat Muhammad

dan di antara dia dengan Allah tidak terdapat seorang pun.”

Pada saat itu Umar mengundang Said untuk mendukungnya,

Umar berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Himsh

kepadamu.” Maka Said menjawab, “Wahai Umar, dengan nama

Allah aku memohon kepadamu agar mencoret namaku.”

Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian

meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari

dariku. Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu.”

Umar mengangkat Said sebagai gubernur Himsh, Umar

bertanya kepadanya, “Aku akan mentapkan gaji untukmu.”

Said menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai

Amirul Mukminin? Pemberian dari baitul maal kepadaku

melebihi kebutuhanku.” Said pun berangkat ke Himsh

menunaikan tugasnya.

Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab

didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk

Himsh, Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama

penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”

Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya

tercantum nama fulan dan fulan serta Said bin Amir.

Page 10: surga

Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?”

Mereka menjawab, “Gubernur kami.”

Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”

Mereka menjawab, “Benar di rumahnya tidak pernah

dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”

Maka Umar menangis hingga air matanya membasahi

janggutnya, kemudia dia mengambil seribu dinar dan

memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar berkata,

“Sampaikan salamku kepadanya dan katakana kepadanya

bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa

menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”

Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan

menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya

dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya

seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah

Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.

Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia

berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin

wafat?”

Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”

Istrinya bertanya, “Aa yang lebih besar ?”

Page 11: surga

Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak

akhiratku, sebuat fitnah telah menerpa rumahku.”

Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia

belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.

Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”

Istrinya menjawab, “Ya”

Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam

kantong-kantong dan membagi-baginya kepada kaum muslimin

yang miskin.

Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang

ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar

tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk

kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena

banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya

seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika Umar

tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk

memberi salam kepadanya. Umar bertanya, “Bagaimana

dengan gubernur kalian?”

Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal

dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.

Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan

pribadi Sa’id sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis,

Page 12: surga

aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama

ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka

dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata,

“Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali

ketika siang sudah naik.”

Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”

Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku

sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi

memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai

pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka,

kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia

mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka,

kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”

Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang

kalian keluhkan darinya juga?”

Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam

hari.”

Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini.

Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam

maka aku memberikannya kepada Allah Ta’ala.

Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”

Page 13: surga

Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari

dalam sebulan.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku tidak mempunyai wahai Amirul Mukminin,

aku pun tidak mempunyai pakaian selain yang melekat di

tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan

menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore

hari.”

Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan

darinya?”

Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak

ingat terhadap orang-orang di sekitarnya.”

Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”

Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi

ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy

mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah

kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia

menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara

keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan

Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Allah setiap aku

teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak

menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan

Page 14: surga

bahwa Allah tidak akan mengampuniku, maka aku pun

pingsan.”

Saat itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang

membenarkan dugaanku kepadamu.”

Kemudian Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan

untuk memenuhi kebutuhannya.

Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah

yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah

kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”

Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan

kepada yang lebih baik dari itu? Istrinya balik bertanya, “Apa

itu?”

Said berkata, “Kita memberikan hatra tersebut kepada yang

memberikannya kepada kita, kita lebih memerlukan hal

(amalan) itu.”

Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”

Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang

baik.”

Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu

dengan kebaikan.”

Page 15: surga

Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar

tersebut di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah

seorang anggota keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda

fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah

ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang

miskin dari keluarga fulan.”

Semoga Allah meridhai Said bin Amir al-Jumahi, dia termasuk

orang-orang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia

sendiri memerlukan.[2]

ATH-THUFAIL BIN AMRU AD-DAUSI“Ya Allah, berikanlah sebuah bukti kepadanya atas kebaikan yang dia niatkan.”(Dari doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuknya)

Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah Daus

di masa jahiliyah, salah seorang pemuka orang-orang Arab

yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilikmuru’ah yang

diperhitungkan orang banyak.

Panci miliknya tidak pernah turun dari api karena senantiasa di

pakai untuk memasak dalam rangka menjamu tamu dan pintu

rumahnya tidak pernah tertutup dari tamu yang mengetuk

untuk bermalam.

Page 16: surga

Dia adalah potret manusia yang memberi makan orang yang

lapar, memberi rasa aman bagi orang yang takut, dan memberi

perlindungan kepada orang yang memerlukan perlindungan.

Di samping itu, dia adalah seorang sastrawan cerdik lagi ulung,

seorang penyair dengan ilham besar dan perasaan lembut,

mengenal dengan baik kata-kata yang manis dan pahit, dimana

kalimat berperan padanya layaknya sihir.

Ath-Thufail meninggalkan kampung halamannya di Tihamah[1]

menuju Mekah pada saat terjadi pertentangan antara

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan orang kafir

Quraisy, di saat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha

menyampaikan dakwah Islam kepada penduduknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka

kepada Allah, senjata beliau adalah iman dan kebenaran.

Sementara orang-orang kafir Quraisy memerangi dakwah

beliau dengan segala macam senjata, menghalang-halangi

manusia darinya dengan berbagai macam cara.

At-Thufail melihat dirinya masuk ke dalam pertentangan ini

tanpa persiapan, menerjuni lahannya tanpa dia kehendaki

sebelumnya.

Dia tidak datang ke Mekah untuk tujuan tersebut, perkara 

Muhammad dan orang-orang Quraisy tidak pernah terbesit

dalam pikirannya sebelum ini.

Page 17: surga

Dari sini ath-Thufail bin Amru ad-Dausi mempunyai    kisah

dengan pertentangan ini yang tidak terlupakan. Kita simak

kisah tersebut, karena ia termasuk kisah yang sangat menarik.

Ath-Thufail berkisah,

Aku datang ke Mekah, begitu para pembesar Quraisy

melihatku, mereka langsung menghampiriku, menyambutku

dengan sangat baik dan menyiapkan tempat singgah yang

terbagus bagiku.

Kemudian para pemuka dan pembesar Quraisy mendatangiku

sembari berkata, “Wahai Thufail, sesungguhnya kamu telah

datang ke negeri kami, dan laki-laki yang menyatakan dirinya

sebagai nabi itu telah merusak urusan kami dan memecah-

belah persatuan kami serta mencerai-beraikan persaudaraan

kami. Kami hanya khawatir apa yang menimpa kami ini akan

menimpamu sehingga mengancam kepemimpinanmu atas

kaummu. Oleh karena itu, jangan berbicara dengan laki-laki itu,

jangan mendengar apa pun darinya, karena dia mempunyai

kata-kata seperti sihir, memisahkan seorang anak dari

bapaknya, seorang saudara dari saudaranya, seorang istri dari

suaminya.”

Ath-Thufail berkata,

Demi Allah, mereka terus menceritakan berita-beritanya yang

aneh, menakut-nakutiku atas diri dan kaumku dengan

perbuatan-perbuatan Muhammad yang terkutuk dan tercela

Page 18: surga

sampai aku pun bertekad bulat untuk tidak mendekat

kepadanya, tidak berbicara dengannya dan tidak mendengar

apa pun darinya.

Manakala aku berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan

thawaf di Ka’bah dan mencari keberkahan kepada berhala-

berhala yang kepada merekalah kami menunaikan ibadah haji

dan kepada merekalah kami mengagungkan, aku menyumbat

kedua telingaku dengan kapas karena aku takut ada perkataan

Muhammad yang menuyusup ke telingaku.

Begitu aku masuk masjid, aku melihat Muhammad sedang

berdiri. Dia shalat di Ka’bah dengan shalat yang berbeda

dengan shalat kami, beribadah dengan ibadah yang berbeda

dengan ibadah kami, pemandangan itu menarik perhatianku,

ibadanya menggugah nuraniku. Tanpa sadar aku melihat diriku

telah mendekat kepadanya sedikit demi sedikit, sehingga tanpa

kesengajaan diriku telah benar-benar dekat kepadanya.

Allah pun membuka hatiku, sebagian apa yang diucapkan

Muhammad terdengar olehku, aku mendengar ucapan yang

sangat indah. Aku berkata kepada diriku, “Celaka kamu wahai

Thufail, sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair yang

cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk, apa yang

menghalangimu untuk mendengar ucapan laki-laki ini? Jika apa

yang dia bawa itu baik, maka kamu harus menerimanya, jika

buruk maka kamu harus membuangnya.”

Page 19: surga

Ath-Thufail berkata, “Aku diam sampai Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallammeninggalkan tempatnya menuju rumahnya,

aku mengikutinya sampai dia masuk ke dalam rumahnya dan

aku pun masuk kepadanya. Aku berkata, “Wahai Muhammad,

sesungguhnya kaumku telah berkata tentangmu begini dan

begini. Demi Allah, mereka terus menakut-nakuti dari ajaranmu

sampai aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku

tidak mendengar kata-katamu. Kemudian Allah menolak itu

semua dan membuatku mendengar sebagian dari ucapanmu.

Aku melihatnya baik, maka jelaskan ajaranmu kepadaku.”

Di saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam menjelaskan agamanya kepadaku, beliau membacakan

surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah

mendengar sbuah ucapan yang lebih bagus dari ucapannya,

aku tidak melihat sebuah perkataan yang lebih adil daripada

perkaranya.

Pada saat itu aku ulurkan tanganku untuknya, aku bersaksi

bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa

Muhammad adalah utusan Allah, aku masuk Islam.”

Ath-Thufail berkata,

Kemudian aku tinggal di Mekah beberapa waktu. Selama di

sana aku belajar ajaran-ajaran Islam dan aku menghafal

Alquran yang mungkin untuk aku hafal. Ketika aku berniat

untuk pulang ke kabilahku, aku berkata, “Rasulullah,

sesungguhnya aku ini adalah laki-laki yang ditaati di kalangan

Page 20: surga

kaumku, aku akan pulang untuk mengajak mereka kepada

Islam. Berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku sebuah

bukti untuk mendukungku dakwahku kepada mereka.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah

berikanlah dia sebuah bukti.”

Aku pun pulang kepada kaumku, ketika aku tiba di sebuah

tempat yang dekat dengan perkampunganku, tiba-tiba

secercah cahaya muncul di keningku seperti lampu, maka aku

berkata, “Ya Allah, pindahkanlah ia ke tempat lain, karena aku

khawatir mereka akan mengira bahwa ini merupakan hukuman

yang menimpa wajahku karena aku meninggalkan agama

mereka.”

Maka cahaya itu berpindah ke ujung semetiku, orang-orang

melihat cahaya tersebut di ujung cemetiku seperti lampu yang

tergantung, aku turun kepada mereka dari sebuah jalan di

bukit. Manakala aku tiba di perkampungan, bapakku yang

sudah berumur lanjut menyambutku, aku berkata kepadanya,

“Menjauhlah engkau dariku, aku bukan termasuk golonganmu

dan engkau bukan termasuk golonganku.”

Bapakku bertanya, “Mengapa wahai anakku?”

Aku menjawab, “Aku telah masuk Islam, aku mengikuti

Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dia berkata, “Anakku, agamamu adalah agamaku juga.”

Page 21: surga

Aku berkata, “Pergilah, mandilah dan sucikanlah pakaianmu,

kemudian kemarilah aku akan mengajarimu apa yang aku

ketahui.”

Maka bapakku pun pergi, dia mandi dan menyucikan bajunya,

kemudian dia datang dan aku menjelaskan Islam kepadanya

dan dia masuk Islam.

Kemudian istriku datang kepadaku, aku berkata kepadanya,

“Menjauhlah dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan

kamu bukan termasuk golonganku.

Dia bertanya, “Bapak dan ibumu sebagai jaminanku,

mengapa?”

Aku menjawab, “Islam memisahkan antara diriku dengan

dirimu, aku telah mengikuti Muhammad.”

Dia berkata, “Agamamu adalah agamaku.”

Aku berkata, “Pergilah dan jauhilah air Dzi asy-Syura.”[2]

Dia berkata, “Bapak dan ibuku sebagai jaminanku, apakah

kamu takut sesuatu terhadap wanita ini karena Dzi asy-Syura?”

Aku menjawab, “Celaka kamu dan celaka juga Dzi asy-Syura,

aku katakan kepadamu, ‘Pergilah, mandilah di sana jauh dari

penglihatan orang-orang aku menjamin bahwa batu pejal itu

tdak akan melakukan apa pun terhadapmu.”

Page 22: surga

Dia pun pergi untuk mandi, kemudian dia datang, aku

menjelaskan Islam kepadanya, maka dia masuk Islam.

Kemudian aku mengajak kaumku Daus, namun mereka tidak

menjawab dengan segera, kecuali Abu Hurairah, dia adalah

orang yang paling cepat menjawab seruanku.

Ath-Thufail berkata,

Aku datang bersama Abu Hurairah menemui

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Di saat itu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Hati

kaummu masih tertutupi sekat tebal dan kekufuran yang keras.

Orang-orang Daus telah dikuasai oleh kefasikan dan

kemaksiatan.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri mengambil

air, beliau wudhu kemudian mengerjakan shalat, beliau

mengangkat kedua tangan beliau ke langit. Abu Hurairah

berkata, “Manakala aku melihat beliau melakukan itu, aku

takut beliau berdoa buruk atas kaumku, akibatnya mereka

akan binasa. Maka aku berkata, ‘Celaka kaumku.”

Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya

Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah

petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada

Daus.”

Page 23: surga

Kemudian beliau menoleh kepada ath-Thufail dan berkata,

“Pulanglah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam

dengan lemah lembut.”

Ath-Thufail berkata,

Aku terus tinggal di kampung Daus, aku mengajak mereka

kepada Islam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam berhijrah ke Madinah. Perang Badar, Uhud, dan Khandaq

berlalu. Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersama delapan puluh keluarga dari Daus yang telah

masuk Islam dan mereka konsisten terhadap ajaran Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbahagia dengan

kehadiran kami, beliau memberikan bagian dari harta

rampasan perang Khaibar kepada kami sama dengan kaum

muslimin lainnya.

Kami berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, jadikanlah kami

sebagai sayap kanan pasukanmu dalam setiap peperangan

yang engkau terjuni. Jadikanlah syiar kami, ‘Mabrur.”

Ath-Thufail berkata,

Setelah itu aku terus bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam sampai AllahTa’ala membuka Mekah untuk beliau. Aku

berkata, “Ya Rasulullah, tugasilah aku ke Dzul Kafain untuk

menghancurkan berhala Amru bin Hamamah, aku ingin

menghancurkannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa

Page 24: surga

sallam mengizinkannya, ath-Thufail berangkat dengan sebuah

pasukan yang terdiri dari kaumnya.

Ketika ath-Thufail tiba di sana, dia hendak membakarnya, kaum

laki-laki wanita dan anak-anak memperhartikannya, mereka

berharap ath-Thufail akan ditimpa keburukan, mereka berharap

sebuah halilintar menyambarnya jika dia menghancurkan Dzul

Kafain.

Namun ath-Thufail tetap bergerak maju kepada berhala

tersebut di hadapan tatapan mata para pemujanya.

Ath-Thufail menyalakan api, membakar dada berhala itu sambil

bersyair,

Wahai Dzul Kafain, aku tidak termasuk pemujamu

Kelahiran kami mendahului kelahiranmu

Sesungguhnya aku membakar dadamu dengan api.

Api melahap berhal itu, sekaligus melahap sisa-sisa syirik yan

ada pada kabilah Daus, maka mereka semuanya masuk Islam

dan mereka pun memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam.

Setelah itu ath-Thufail bin Amru ad-Dausi senantiasa

mendampingi Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sampai

beliau wafat dan berpulang ke hadapan Rabbnya.

Page 25: surga

Setelah itu khilafah berpindah ke tangan Abu Bakar, ath-Thufail

memberikan jiwanya, pedangnya dan anaknya dalam menaati

khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika perang Riddah berkecamuk ath-Thufail berada di barisan

depan bala tentara kaum muslimin untuk memerangi

Musailamah al-Kadzdzab, putranya pun ikut bersamanya.

Ketika dia sedang menuju Yamamah, ath-Thufail bermimpi, dia

berkata kepada kawan-kawannya, “Aku bermimpi, tolong

jelaskan kepadaku apa artinya?”

Mereka bertanya, “Mimpi apa?”

Dia berkata, “Aku bermimpi kepalaku dicukur, seekor burung

keluar dari mulutku, seorang wanita memasukkanku ke dalam

perutnya, anakku Amru mencari-cari diriku dengan gigih

namun antara diriku dengan dirinya terdapat penghalang.”

Mereka berkata, “Itu mimpi yang baik.”

Selanjutnya ath-Thufail berkata, “Aku sudah bisa mengartikan

makna mimpiku. Kepalaku dicukur, artinya ia dipotong. Seekor

burung keluar dari mulutku, artinya arwahku meninggalkan

jasadku. Wanita yang memasukkanku ke dalam perutnya

adalah bumi yang digali lalu aku dikubur di sana. Anakku yang

gigih mencariku, artinya dia mengharapkah syahadah yang

akan aku dapatkan dengan izin Allah, anakku akan

mendapatkannya kelak.”

Page 26: surga

Di perang Yamamah, shahabat yang mulia Amru bin ath-Thufail

ad-Dausi berperang dengan gigih, memperlihatkan

kepahlawanannya dengan gagah berani, sampai dia gugur

sebagai syahid di bumi perang Yamamah.

Adapun anaknya, Amru, maka dia terus berperang sampai

tubuhnya penuh luka, tangan kananya terpotong, dia pulang ke

Madinah meninggalkan bapaknya sementara tangan kanannya

dikubur di bumi Yamamah.

Di masa khilafah Umar bin al-Khatthab, Amru bin ath-Thufail

datang menemuinya, tatkala makanan dihidangkan kepada al-

Faruq sementara orang-orang yang duduk di sekelilingnya

dipersilahkan untuk menyantap hidangan, Amru justru malah

menjauh darinya. Maka al-Faruq bertanya kepadanya,

“Ada apa dengan dirimu? Apakah kamu menjauh dari makanan

ini karena kamu merasa malu kepada tanganmu?”

Dia menjawab, “Benar wahai Amirul Mukminin.”

Umar pun berkata, “Demi Allah, aku tidak menyantap makanan

ini sehingga kamu mencampurnya melalui bagian tanganmu

yang terputus itu. Demi Allah, di antara yang hadir ini tidak ada

seseorang yang sebagian organnya telah tinggal di surga

selainmu –maksudnya adalah tangannya-.

Impian syahadah terus berkibar dalam angan-angan Amru

sejak dia berpisah dari bapaknya. Perang Yarmuk[3] tiba, Amru

Page 27: surga

bin ath-Thufail bersegera berpartisipasi di dalamnya bersama

orang-orang yang bersegera, dia berperang sehingga dia

meraih syahadah yang diharapkan oleh bapaknya untuknya.

Semoga Allah merahmati ath-Thufail bin Amru ad-Dausi,

seorang syahid dan bapak dari seorang syahid.[4]

Diketik ulang oleh Abu Abdillah Ridwansyah As-Slemani dari

buku Mereka Adalah Para Sahabat Penulis DR.

Abdurrahman Ra’fat Basya Penerbit At-Tibyan

Artikel www.KisahMuslim.com

[1] Tihamah adalah lembah pesisir di Jazirah Arab yang

bersebelahan dengan Laut Merah

[2] Dzu asy-Syura adalah berhala milik kabilah Daus, dikelilingi

oleh air yang turun dari sebuah gunung.

[3] Perang Yarmuk adalah salah satu peperangan yang

menentukan dalam sejarah, terjadi pada tahun lima belas

Hijriyah, dalam perang ini kaum muslimin unggul atas orang-

orang Romawi secara gemilang.

[4] Untuk mendambah wawasan tentang ath-Thufail bin Amru

ad-Dausi silahkan merujuk:

al-Ishabah, (II/225) atau (at-Tarjamah) (4254); al-Isti’ab (II/225)

di bagian bawah al-Ishabah, (II/230); Usudul Ghabah, (III/54-

55); Shifah ash-Shafwah, (I/245-246);Siyar A’lam an-Nubala’,

(I/248-250); Mukhtashar Tarikh Dimisyq, (VII/59-64); al-Bidayah

Page 28: surga

wa an-Nihayah, (VI/337); Syuhada’ al-Islam, (138-143); Sirah

Bahal, Muhammad Zaidan, diterbitkan oleh ad-Dar as-Suudiyah

tahun 1386 H.

MANISNYA IMAN (KISAH ABDULLAH BIN HUDZAFAH RADHIYALLAHU ‘ANHU BERSAMA HERAKLIUS)Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang panglima kaum muslimin yang ikut serta dalam pembebasan negeri Syam. Dia diserahi misi penting untuk memerangi penduduk Kaisariah, sebuah kota benteng di wilayah Palestina, tepatnya di tepi Laut Tengah. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu gagal dalam salah satu pertempuran, sehingga akhirnya ia ditangkap oleh tentara Romawi.

Heraklius merasa berkesempatan untuk menyakiti dan menyiksa kaum muslimin. Lalu ia mendatangkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu ke hadapannya. Ia ingin menguji seberapa kuat agamanya dan ingin menjauhkannya dari Islam. Heraklius memulai dengan memberikan bujukan dan penawaran. Ia menawarkan kepada Abdullah radhiyallahu ‘anhu beberapa tawaran yang menggiurkan.

Heraklius berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka engkau akan mendapatkan harta yang engkau inginkan.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhumenolak tawaran ini. Kemudian Heraklius menambahkan, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan menikahkanmu dengan putriku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu juga menolak tawaran kedua. Lantas Heraklius berkata lagi, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan merekrutmu menjadi orang penting dalam kerajaanku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu pun menolak tawaran ketiga ini.

Heraklius menyadari bahwa ia tengah berhadapan dengan bukan sembarang lelaki. Maka ia pun memberikan penawaran keempat. Ia berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan memberikan kepadamu separuh dari kerajaanku dan separuh hartaku.” Lantas Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhumemberikan jawaban yang tegas dan mematikan, “Meskipun kamu memberikan kepadaku semua harta yang kamu miliki dan semua harta yang dimiliki oleh orang Arab, saya

Page 29: surga

tidak akan kembali meninggalkan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun hanya sekejap mata.”

Setelah Heraklius gagal dalam memberikan penawaran dan bujukan, maka ia menekan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dengan cara memaksa, menyiksa, mengintimidasi, dan mengancamnya. Maka, Heraklius berkata kepadanya, “Kalau demikian, saya akan membunuhmu?” Heraklius tidak menyadari bahwa orang yang tidak tergiur dengan tawaran dan bujukan, tentunya juga tidak akan menyerah menghadapi paksaan dan siksaan. Orang yang menginjak dunia dengan kedua kakinya, tidak akan kikir untuk menyerahkan nyawa untuk menebus agamanya. Ia berkata kepada Heraklius, “Silakan kamu melakukan hal itu.”

Kemudian Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dijebloskan ke dalam penjara dan tidak diberi makan dan minum selama tiga hari. Setelah itu ia disuguhi arak dan daging babi agar ia memakannya. Akan tetapi, Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak mencicipinya. Akhirnya sampai berhari-hari ia tidak menyentuh makanan dan minuman sehingga ia hampir mati. Kemudian Heraklius mengeluarkannya dan bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu enggan minum arak dan makan daging babi padahal engkau dalam kondisi terpaksa dan kelaparan?” Ia menjawab, “Ketahuilah! Kondisi darurat memang telah menjadikan hal tersebut halal bagi saya dan tidak ada keharaman bagi saya memakannya. Akan tetapi, saya lebih memilih untuk tidak memakannya, sehingga saya tidak memberikan kesempatan kepadamu untuk bersorak melihat kemalangan Islam.”

Kemudian Heraklius memerintahkan kepada anak buahnya agar mereka menyalib Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengikatnya pada kayu. Para pemanah siap-siap melesakkan anak panah dari posisi yang dekat darinya. Ia pun tetap bertahan. Heraklius masih menawarkan agar ia memeluk agama Nasrani, tetapi ia tetap menolak. Kemudian ia diturunkan. Heraklius memerintahkan agar disiapkan air di dalam kuali besar dan dinyalakan api di bawahnya. Ketika air di dalam kuali telah mendidih, didatangkanlah seorang tawanan muslim, lalu ia diceburkan ke dalamnya, maka dagingnya pun meleleh sehingga tinggal tulang kerangka. Kemudian tawanan muslim yang kedua diceburkan di dalamnya sedangkan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu melihatnya.

Kemudian Heraklius memerintahkan agar Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhudilemparkan ke dalam air mendidih. Ketika mereka memegang Ibnu Hudzafahradhiyallahu ‘anhu untuk dilemparkan ke dalam air mendidih, maka ia menangis. Lantas dilaporkan kepada Heraklius bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhumenangis. Heraklius mengira bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menangis karena ia takut mati serta menunjukkan bahwa ia mundur dari posisinya dan membatalkan ketetapan hatinya dan ia akan mengabulkan keinginan Heraklius. Lantas

Page 30: surga

Heraklius memanggilnya dan memberi tawaran kepadanya agar ia memeluk agama Nasrani. Ia pun tetap menolaknya. Lalu Heraklus bertanya kepadanya, “Kalau demikian mengapa engkau menangis?” Lalu ia memberikan jawaban yang menakjubkan, benar-benar melemahkan, dan menetapkan kegagalan dan kekalahan Heraklius, “Saya menangis karena saya hanya memiliki jiwa sebanyak rambut saya, pastilah saya korbankan untuk menebus agamaku. Sehingga, semuanya mati di jalan Allah.” Akhirnya Heraklius mengakui kekalahannya di hadapan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Kekalahannya yaitu bahwa ia memiliki harta, pangkat, kekuatan, dan dunia berhadapan dengan seseorang muslim yang tidak bersenjata dan tidak menyandang apa-apa. Lantas ia memberikan tawaran terakhir sebagai bentuk kekalahan.

Demi menjaga martabatnya, Heraklius berkata, “Hai Ibnu Hudzafah! Maukah kamu mengecup kepalaku? Saya akan membebaskanmu dan melepaskanmu?” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Baiklah, dengan syarat engkau harus melepaskan semua tawanan kaum muslimin yang berada di dalam penjara kalian saat itu ada lebih dari 300 tawanan.” Lantas Umar radhiyallahu ‘anhu berdiri menghampiri Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengecup kepalanya, lalu para sahabat lainnya mengikutinya.

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Artikel www.KisahMuslim.com

Kisah Sahabat Nabi: Abu Ayub Al-Anshari, Pahlawan Perang Konstantinopel

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, unta

yang beliau tunggangi bersimpuh di depan rumah Bani Malik bin Najjar.

Maka beliau pun turun dari atasnya dengan penuh harapan dan

kegembiraan.

Salah seorang Muslim tampil dengan wajah berseri-seri karena

kegembiraan yang membuncah. Ia maju lalu membawa barang muatan

Page 31: surga

dan memasukkannya, kemudian mempersilakan Rasulullah masuk ke

dalam ruma. Nabi SAW pun mengikuti sang pemilik rumah.

Siapakah orang beruntung yang dipilih sebagai tempat persinggahan

Rasulullah dalam hijrahnya ke Madinah ini, di saat semua penduduk

mengharapkan Nabi mampir dan singgah di rumah-rumah mereka?

Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar.

Pertemuan ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu

utusan Madinah pergi ke Makkah untuk berbaiat dalam baiat Aqabah

Kedua, Abu Ayub Al-Anshari termasuk di antara 70 orang Mukmin yang

mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah serta

menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela.

Dan kini, ketika Rasulullah bermukim di Madinah dan menjadikan kota

itu sebagai pusat agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-

besarnya telah terlimpahkan kepada Abu Ayub, karena rumahnya

dijadikan tempat pertama yang didiami Rasulullah. Beliau akan tinggal di

rumah itu hingga selesainya pembangunan masjid dan bilik beliau di

sampingnya.

Sejak orang-orang Quraisy bermaksud jahat terhadap Islam dan

berencana menyerang Madinah, sejak itu pula Abu Ayub mengalihkan

aktifitasnya dengan berjihad di jalan Allah. Ia turut bertempur dalam

Perang Badar, Uhud dan Khandaq. Pendek kata, hampir di tiap medan

tempur, ia tampil sebagai pahlawan yang siap mengorbankan nyawa

dan harta bendanya.

Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun siang,

dengan suara keras atau perlahan adalah firman Allah

SWT,"Berjuanglah kalian, baik di waktu lapang, maupun waktu

sempit..." (QS At-Taubah: 41).

Page 32: surga

Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Abu Ayub berdiri di

pihak Ali tanpa sedikit pun keraguan. Dan kala Khalifah Ali bin Abi Thalib

syahid, dan khilafah berpindah kepada Muawiyah, Abu Ayub menyendiri

dalam kezuhudan. Tak ada yang diharapkannya dari dunia selain

tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang dalam barisan

kaum Muslimin.

Demikianlah, ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke

arah Konstantinopel, ia segera memegang kuda dan membawa

pedangnya, memburu syahid yang sejak lama ia dambakan.

Dalam pertempuran inilah ia menderita luka berat. Ketika komandannya

datang menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya

menghadap Ilahi. Maka bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid

bin Muawiyah, "Apakah keinginan anda wahai Abu Ayub?"

Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya

dibawa dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah

musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid

berangkat dengan balatentaranya sepanjang jalan itu, sehingga

terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya, dan

diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan.

Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di

jantung kota Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama

Istanbul, di sanalah terdapat pekuburan laki-laki besar.

Hingga sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi

dan penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu

sebagai orang suci. Dan yang mencengangkan, para ahli sejarah yang

mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata, "Orang-orang Romawi sering

berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan

perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."

Page 33: surga

Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan

kuda dan gemerincing pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu,

dan kapal telah berlabuh di tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap

Ilahi di tempat yang ia dambakan.

Kisah Sahabat Nabi: Abdullah bin Mas'ud, Pemegang Rahasia Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, Tak berapa lama setelah memeluk Islam, Abdullah

bin Mas'ud mendatangi Rasulullah dan memohon kepada beliau agar

diterima menjadi pelayan beliau. Rasulullah pun menyetujuinya.

Sejak hari itu, Abdullah bin Mas'ud tinggal di rumah Rasulullah. Dia

beralih pekerjaan dari penggembala domba menjadi pelayan utusan

Allah dan pemimpin umat. Abdullah bin Mas'ud senantiasa mendampingi

Rasulullah bagaikan layang-layang dan benangnya. Dia selalu

menyertai kemana pun beliau pergi.

Dia membangunkan Rasulullah untuk shalat bila beliau tertidur,

menyediakan air untuk mandi, mengambilkan terompah apabila beliau

hendak pergi dan membenahinya apabila beliau pulang. Dia

membawakan tongkat dan siwak Rasulullah, menutupkan pintu kamar

apabila beliau hendak tidur.

Bahkan Rasulullah mengizinkan Abdullah memasuki kamar beliau jika

perlu. Beliau memercayakan kepadanya hal-hal yang rahasia, tanpa

khawatir rahasia tersebut akan terbuka. Karenanya, Abdullah bin Mas'ud

dijuluki orang dengan sebutan "Shahibus Sirri Rasulullah" (pemegang

rahasia Rasulullah).

Page 34: surga

Abdullah bin Mas'ud dibesarkan dan dididik dengan sempurna dalam

rumah tangga Rasulullah. Karena itu tidak kalau dia menjadi seorang

yang terpelajar, berakhlak tinggi, sesuai dengan karakter dan sifat-sifat

yang dicontohkan Rasulullah kepadanya. Sampai-sampai orang

mengatakan, karakter dan akhlak Abdullah bin Mas'ud paling mirip

dengan akhlak Rasulullah.

Abdullah bin Mas'ud pernah berkata tentang pengetahuannya mengenai

Kitabullah (Al-Qur'an) sebagai berikut, "Demi Allah, yang tiada Tuhan

selain Dia. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an, melainkan aku

tahu di mana dan dalam situasi bagaimana diturunkan. Seandainya ada

orang yang lebih tahu daripada aku, niscaya aku datang belajar

kepadanya."

Abdullah bin Mas'ud tidak berlebihan dengan ucapannya itu. Kisah Umar

bin Al-Khathab berikut memperkuat ucapannya. Pada suatu malam,

Khalifah Umar sedang dalam perjalanan, ia bertemu dengan sebuah

kabilah. Malam sangat gelap bagai tertutup tenda, menutupi pandangan

setiap pengendara. Abdullah bin Mas'ud berada dalam kabilah tersebut.

Khalifah Umar memerintahkan seorang pengawal agar menanyai

kabilah.

"Hai kabilah, dari mana kalian?" teriak pengawal.

"Min fajjil 'amiq (dari lembah nan dalam)," jawab Abdullah.

"Hendak kemana kalian?"

"Ke Baitu Atiq (rumah tua, Ka'bah)," jawab Abdullah.

"Di antara mereka pasti ada orang alim," kata Umar.

Kemudian diperintahkannya pula menanyakan, "Ayat Al-Qur'an

Page 35: surga

manakah yang paling ampuh?"

Abdullah menjawab, "Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup

kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan

tidak pula tidur..." (QS Al-Baqarah: 255).

"Tanyakan pula kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang lebih

kuat hukumnya?" kata Umar memerintah.

Abdullah menjawab, "Sesungguhnya Allah memerintah kamu berlaku

adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah

melarang kamu dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia

memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil

pelajaran."(QS An-Nahl: 9).

"Tanyakan kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang mencakup

semuanya!" perintah Umar.

Abdullah menjawab, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan

walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan

barangsiapa mengerjakan kejahatan walaupun sebesar dzarrah, niscaya

dia akan melihat balasannya pula." (QS Al-Zalzalah: 8).

Demikian seterusnya, ketika Umar memerintahkan pengawal untuk

bertanya tentang Al-Qur'an, Abdullah bin Mas'ud langsung

menjawabnya dengan tegas dan tepat. Hingga pada akhirnya Khalifah

Umar bertanya, "Adakah dalam kabilah kalian Abdullah bin Mas'ud?"

Jawab mereka, "Ya, ada!"

Abdullah bin Mas'ud bukan hanya sekedar qari' (ahli baca Al-Qur'an)

terbaik, atau seorang yang sangat alim atau zuhud, namun ia juga

seorang pemberani, kuat dan teliti. Bahkan dia seorang pejuang

Page 36: surga

(mujahid) terkemuka. Dia tercatat sebagai Muslim pertama yang

mengumandangkan Al-Qur'an dengan suara merdu dan lantang.

Pada suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul di Makkah. Mereka

berkata, "Demi Allah, kaum Quraisy belum pernah mendengar ayat-ayat

Al-Qur'an yang kita baca di hadapan mereka dengan suara keras. Siapa

kira-kira yang dapat membacakannya kepada mereka?"

"Aku sanggup membacakannya kepada mereka dengan suara keras,"

kata Abdullah.

"Tidak, jangan kamu! Kami khawatir kalau kamu membacakannya.

Hendaknya seseorang yang punya keluarga yang dapat membela dan

melindunginya dari penganiayaan kaum Quraisy," jawab mereka.

"Biarlah, aku saja. Allah pasti melindungiku," kata Abdullah tak gentar.

Keesokan harinya, kira-kira waktu Dhuha, ketika kaum Quraisy sedang

duduk-duduk di sekitar Ka'Baha Ad-Daulah. Abdullah bin Mas'ud berdiri

di Maqam Ibrahim, lalu dengan suara lantang dan merdu dibacanya

surah Ar-Rahman ayat 1-4.

Bacaan Abdullah yang merdu dan lantang itu kedengaran oleh kaum

Quraisy di sekitar Ka'bah. Mereka terkesima saat mendengar dan

merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca Abdullah. Kemudian mereka

bertanya, "Apakah yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin

Mas'ud)?"

"Sialan, dia membaca ayat-ayat yang dibawa Muhammad!" kata mereka

begitu tersadar. Lalu mereka berdiri serentak dan memukuli Abdullah.

Namun Abdullah bin Mas'ud meneruskan bacaannya hingga akhir surah.

Ia lalu pulang menemui para sahabat dengan muka babak belur dan

berdarah.

Page 37: surga

"Inilah yang kami khawatirkan terhadapmu," kata mereka.

"Demi Allah, kata Abdullah, "Bahkan sekarang musuh-musuh Allah itu

semakin kecil di mataku. Jika kalian menghendaki, besok pagi aku akan

baca lagi di hadapan mereka."

Abdullah bin Mas'ud hidup hingga masa Khalifah Utsman bin Affan

memerintah. Ketika ia hampir meninggal dunia, Khalifah Utsman datang

menjenguknya. "Sakit apakah yang kau rasakan, wahai Abdullah?"

tanya khalifah.

"Dosa-dosaku," jawab Abdullah.

"Apa yang kau inginkan?" 

"Rahmat Tuhanku." 

"Tidakkah kau ingin supaya kusuruh orang membawa gaji-gajimu yang

tidak pernah kau ambil selama beberapa tahun?" tanya Khalifah. 

"Aku tidak membutuhkannya," kata Abdullah.

"Bukankah kau mempunyai anak-anak yang harus hidup layak

sepeninggalmu?" tanya Utsman.

"Aku tidak khawatir, jawab Abdullah, "Aku menyuruh mereka membaca

surah Al-Waqi'ah setiap malam. Karena aku mendengar Rasulullah

bersabda, "Barangsiapa yang membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam,

dia tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya!"

Pada suatu malam yang hening, Abdullah bin Mas'ud pun berangkat

menghadap Tuhannya dengan tenang. 

Page 38: surga

Kisah Sahabat Nabi: Amr bin Jamuh, Menggapai Surga dengan Kaki PincangREPUBLIKA.CO.ID, Amr bin Jamuh adalah salah seorang pemimpin Yatsrib pada masa jahiliyah. Dia ipar Abdull bin Amr bin Haram, juga kepala suku Bani Salamah yang dihormati yang dihormati karena pemurah dan memiliki peri kemanusiaan yang tinggi serta gemar menolong orang-orang yang membutuhkan

Telah menjadi kebiasaan para bangsawan jahiliyah untuk menempatkan patung di rumah mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka bisa mengambil berkah dan dan memuja patung tersebut setiap saat. Selain itu, untuk memudahkan mereka meletakkan sesajen sembari mengadukan keluhan-keluhan mereka pada waktu yang diperlukan.

Patung di rumah Amr bin Jamuh bernama “Manat”. Patung itu terbuat dari kayu, indah dan mahal harganya. Untuk perawatannya, Amr bin Jamuh terkadang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hampir setiap hari patung itu dibersihkan dan diminyaki dengan wangi-wangian khusus dan mahal.

Tatkala cahaya Islam mulai bersinar di Yatsrib dari rumah ke rumah, usia Amr bin Jamuh sudah lewat 60 tahun. Tiga orang putranya: Mu’awadz, Mu’adz dan Khalad, serta seorang kawan sebaya mereka, Mu’adz bin Jabal, telah masuk Islam di tangan Mush‘ab bin Umair, sang duta Islam. Bersamaan dengan ketiga putranya, masuk Islam pula ibu mereka Hindun, istri Amr bin Jamuh. Amr tidak mengetahui kalau mereka telah masuk Islam.

Saat itu, para bangsawan dan pemuka suku di Yatsrib (Madinah) telah banyak yang masuk Islam. Hindun yang sangat mencintai dan menghormati suaminya khawatir kalau suaminya mati dalam keadaan kafir lalu masuk neraka. Sebaliknya Amr sangat mencemaskan keluarganya yang akan meninggalkan agama nenek moyang mereka. Dia takut putra-putranya terpengaruh oleh dakwah yang disebarkan oleh Mush’ab bin Umair. Karena dalam tempo singkat Mush’ab berhasil merubah agama orang banyak dan menjadikan mereka Muslim.

Oleh sebab itu, Amr selalu berkata kepada istrinya, “Hai Hindun, hati-hatilah menjaga anak-anak, agar mereka jangan sampai bertemu

Page 39: surga

dengan orang itu (Mush ‘ab bin ‘Umair)!”

“Ya," jawab istrinya. "Tapi apakah kau pernah mendengar putra kita bercerita mengenai pemuda itu?”

“Celaka! Apakah Mu’adz telah masuk agama orang itu?" tanya Amr gusar.

“Tidak, bukan begitu! Tetapi Mu’adz pernah hadir dalam majelis orang itu, dia ingat kata-katanya,” jawab istrinya menenteramkan hati Amr.

"Panggillah dia kemari!” perintah suaminya.

Ketika Mu’adz hadir di hadapan ayahnya, Amr berkata, “Coba baca kata-kata yang pernah diucapkan orang itu. Bapak ingin mendengarkannya."

Mu’adz membacakan surat Al-Fatihah kepada bapaknya.

“Alangkah bagus dan indahnya kalimat itu. Apakah setiap ucapannya seperti itu?” tanya Amr.

“Bahkan lebih bagus dari itu. Bersediakah ayah baiat dengannya? Rakyat ayah telah banyak yang baiat dengan dia,” kata Mu’adz.

Orang tua itu diam sebentar. Kemudian dia berkata, “Aku tidak akan melakukannya sebelum musyawarah lebih dahulu dengan Manat. Aku menunggu apa yang dikatakan Manat.”

“Bagaimana Manat bisa menjawab? Bukankah itu benda mati, tidak bisa berpikir dan tidak bisa berbicara?” kata Mu’adz.

“Kukatakan padamu, aku tidak akan mengambil keputusan tanpa dia!” tegas Amr.

Putra-putranya mengetahui benar kapan ayah mereka menyembah berhala itu. Mereka juga tahu kalau hati ayah mereka mulai goyah. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan bagaimana cara menghilangkan patung tersebut dari hati Amr bin Jamuh. Salah satu jalannya adalah menyingkirkan berhala tersebut dari rumah mereka dan membuangnya jauh-jauh.

Pada suatu malam, putra-putra Amr dan bersama Mu’adz bin Jabal

Page 40: surga

menyusup ke dalam rumah lalu mengambil berhala tersebut dan membuangnya ke dalam lubang kotoran manusia. Tidak seorang pun yang mengetahui dan melihat perbuatan mereka itu.

Pagi harinya, Amr tidak melihat Manat di tempatnya. Ia bergegas mencari berhala tersebut dan akhirnya menemukan di tempat pembuangan kotoran. Bukan main marahnya Amr bin Jamuh melihat kondisi sesembahannya itu. Setelah membersihkan sang berhala dan memberinya wewangian, ia kembali meletakkannya di tempat semula.

Malam berikutnya, Muadz bin Jabal dan putra-putra Amr memperlakukan berhala itu seperti sebelumnya. Demikian juga pada malam-malam berikutnya. Akhirnya, habislah kesabaran Amr. Diambilnya pedang, kemudian digantungkannya di leher Manat, seraya berkata, " Hai Manat, jika kamu memang hebat, tentu bisa menjaga dirimu dari aniaya orang lain!"

Keesokan harinya, Amr bin Jamuh tidak menemukan berhalanya kembali. Ketika ia cari, benda tersebut ditemukannya di tempat pembuangan hajat, terikat bersama bangkai seekor anjing. Di saat ia keheranan, marah dan kecewa, muncullah beberapa pemuka Madinah yang telah masuk Islam. Sambil menunjuk berhala yang terikat dengan bangkai anjing itu, mereka berusaha mengetuk hati Amr bin Jamuh agar menggapai hidayah Allah.

Akhirnya ia sadar, bahwa Manat tak dapat berbuat apa-apa. Manat ternyata tak mempunyai sifat ketuhanan sedikit pun. Selama ini, ia berpikir bahwa kekayaan yang ia miliki itu datang dari Manat. Sekarang ia sadar, bahwa Manat bukanlah Tuhan yang dapat memberinya rezeki dan petunjuk. 

Ia kemudian membersihkan badan dan pakaiannya, memakai wewangian, lalu bergegas menemui Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan keislamannya. Amr bin Jamuh merasakan bagaimana manisnya iman. Dia sangat menyesali dosa-dosanya selama dalam kemusyrikan. Maka setelah masuk Islam, ia mengarahkan seluruh hidupnya, hartanya, dan anak-anaknya dalam menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.

Tatkala terjadi Perang Badar, Amr bin Jamuh bersiap-siap hendak turut bergabung, namun sayang Rasulullah tak mengizinkannya turut serta—melihat kondisinya yang renta dan pincang. Beliau memberikan keringanan padanya untuk tidak ikut berperang.

Page 41: surga

Namun ketika terjadi Perang Uhud, ia pun bersiap-siap hendak turut berjihad. Namun putra-putranya melarang. Ia pun nekat menemui Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, putra-putraku melarangku berbuat kebajikan. Mereka keberatan jika aku ikut berperang karena sudah tua dan pincang. Demi Allah, dengan pincangku ini, aku bertekad meraih surga."

Rasulullah pun akhirnya mengizinkan Amr bin Jamuh turut serta dalam Perang Uhud. Dengan suara mengiba ia memohon kepada Allah SWT, "Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk memperoleh syahid. Jangan kembalikan aku kepada keluargaku."

Tatkala perang berkecamuk, kaum Muslimin berpencar. Amr bin Jamuh berada di barisan paling depan. Dia melompat dan berjingkat seraya mengelebatkan pedangnya ke arah musuh-musuh Allah, sambil berteriak, "Aku ingin surga, aku ingin surga!"

Apa yang didambakan Amr akhirnya terwujud jua. Ia gugur sebagai syahid bersama beberapa sahabat lainnya. Tatkala perang berakhir, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memakamkan jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr bin Jamuh dalam satu liang lahat. Semasa hidup, mereka berdua adalah sahabat setia yang saling menyayangi. Dalam riwayat lain disebutkan, Amr bin Jamuh dimakamkan satu liang dengan putranya, Khalad bin Amr.

Setelah 46 tahun berlalu, tanah pemakaman itu dilanda banjir. Kaum Muslimin terpaksa memindahkan jasad para syuhada. Kala itu, Jabir bin Abdullah bin Haram—putra Abdullah bin Amr bin Haram—masih hidup. Bersama keluarganya, ia memindahkan jasad ayahnya, Abdullah bin Haram dan Amr bin Jamuh. Mereka mendapatkan kedua jasad syuhada itu tetap utuh. Tak sedikit pun dari tubuh mereka yang dimakan tanah. Bahkan keduanya seperti tertidur nyenyak dengan bibir menyunggingkan senyum.

Page 42: surga

Abdullah bin JahsyAbdullah bin Jahsy r.a adalah anak kepada ibu saudara

Rasulullah SAW, Umamah binti Abdul Mutallib dan juga ipar

kepada Rasulullah SAW kerana Rasulullah SAW mengahwini

saudara perempuannya Zainab binti Jahsy r.a. Silsilah keturunan

Abdullah bin Jahsy

Abdullah bin Jahsy r.a termasuk dikalangan 40 orang pertama

yang memeluk Islam (al-Sabiqun al-Awwalun).

Penghijrahan Abdullah bin Jahsy ke Madinah

Ketika Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat untuk

berhijrah ke Madinah, Abdullah bin Jahsy adalah orang kedua

berhijrah selepas Abu Salamah r.a. Penghijrahan ini bukanlah

sesuatu yang baru bagi beliau kerana beliau telah terlibat

dalam hijrah ke Habsyah sebelum ini, cuma penghijrahan kali

ini disertai isteri dan anak.

Berikutan daripada hijrah beliau ke Madinah, harta-harta

peninggalan dan kekayaan Abdullah bin Jahsy telah di rampas

oleh Abu Jahal. Peristiwa ini berlaku apabile para pembesar

Quraisy yang mengadakan rondaan bagi memeriksa sudut-

sudut kota Mekah mendatangi perkampunang Bani Jahsy, iaitu

setelah Abdullah bin Jahsy meninggalkan kota Mekah.

Pemimpin meraka, Abu Jahal yang mendapati rumah Abdullah

bin Jahsy tidak berpenghuni dan dipenuhi harta kekayaan, telah

mengambil seluruh harta itu.  Perkara ini kemudiannya sampai

Page 43: surga

ke pengatahuan Abdullah bin Jahsy dan beliau mengadu

kepada Rasulullah SAW.

Rasulullah telah menjawab:     “Allah akan menggantikannya

dengan rumah yang paling baik di Syurga”

 Abdullah bin Jahsy sebagai Amirul Mukminin

Untuk membentuk pasukan tentera Islam, Rasulullah SAW telah

memilih 8 orang yang dipandangnya mampu berperang

termasuk Abdullah bin Jahsy dan Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.

Dalam pasukan ini, Abdullah bin Jahsy telah terpilih sebagai

ketua dan telah diserahkan bendera Islam pertama kepadanya.

Bendera ini telah diikat pada tongkat Rasullulah SAW. Abdullah

bin Jahsy telah digelar Amirul Mukminin kerana peristiwa ini.

Setelah dilantik sebagai amir, beliau telah diperintahkan oleh

Rasulullah SAW untuk merisik dan mengintip musuh. Rasulullah

telah memberi Surat Perintah kepada beliau dan melarang

beliau membuka surat itu melainkan sesudah dua hari

perjalanan. Oleh itu sesudah dua hari perjalanan, beliau telah

membuka surat itu dan membacanya:

“ Bila kamu membaca surat ini, teruskanlah perjalananmu ke

arah Mekah. Berhentilah diantara Taif dan Mekah. Amatilah

gerak-geri kaun Quraisy dan segera laporkan kepadaku.”

Sesuai dengan arahan Rasulullah SAW, Abdullah bin Jahsy r.a

meneruskan perjalanannya dan tiba di Nakhlah. Di tempat

tersebut mereka mempersiapkan pos perisikan dan ketika

mereka bersiap-siap, tiba-tiba dari jarak yang agak jauh

Page 44: surga

mereka terlihat sekumpulan kabilah Quraisy terdiri daripada

Amr bin Hadhramy, Hakam bin Kaysan, Utsman bin Abdullah

dan al-Mughirah bin Abdullah. Mereka membawa dagangan

seperti kulit, anggur dan sebagainya. Abdullah bin Jahsy telah

bermesyuarat dengan pasukannya untuk menyerang atau

membiarkan kabilah Quraisy itu. Di saat akhir bulan Haram, jika

mereka melakukan penyerangan, bererti melanggar

kehormatan bulan itu serta akan mendatangkan kemarahan

bangsa Arab. Akan tetapi jika kabilah itu dibiarkan lalu, mereka

akan masuk ke tanah Haram (Mekah) iaitu bererti membiarkan

mereka masuk ke tempat aman.

Akhirnya mereka memutuskan menyerang dah merampas

harta kabilah itu.  Seorang anggota rombongan tewas, dua

ditawan dan seorang lagi berjaya melarikan diri. Tibanya di

Madinah, harta rampasan dan tawanan dibawa dihadapan

Rasulullah SAW. Abdullah bin Jahsy dan pasukan telah dimarahi

kerana bertindak diluar arahan dan perintah Rasulullah SAW.

Baginda telah menangguhkan keputusan mengenai hukuman

harta rampasan dan dua tawanan perang sementara

menunggu keputusan dari Allah. Abdullah bin Jahsy dan

pasukan telah digantung kerja. Mereka jelas bersalah kerana

melanggar perintah Rasulullah SAW. Kaum muslimin mencela

mereka sehingga mereka terase dipulaukan. Penyesalan dan

kesedihan menjadi lebih teruk apabila mereka mengetahui

kaum Quraisy menggunakan peluang ini untuk menekan

Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Mereka menyebarkan

berita dikalangan kabilah-kabilah Arab, bahawa kaum Muslimin

Page 45: surga

telah menghalalkan pertumpahan darah dan perampasan harta

dibulan Haram.

Abdullah bin Jahsy menganggung beban mental yang sangat

hebat. Walaubagaimanapun, beliau tetap terus beristigfar dan

memohan ampun kepada Allah SWT sehingga turunnya Al-

Baqarah ayat 217 membawa berita gembira. Turunnya ayat

ini telah menenangkan hati Rasulullah SAW. Harta rampasan

diberike Baitul Man dan kedua tawanan dibebaskan.  Harta

rampasan ini adalah harta rampasan pertama umat Islam dan

musuh yang dibunuh adalah musyrik pertama yang tertumpah

darahnya di tangan kaum Muslimin. Bendara pasukan mereka

juga, bendara pertama yang diikat oleh Rasulullah.

 

Syahidnya Abdullah bin Jahsy

Abdullah bin Jahsy adalah antara sahabat yang syahid dalam

perang Uhud. Di dalam perang ini Abdullah bin Jahsy dan Saad

bin Waqqash r.a telah berdoa di sebuah tempat yang agak

terpencil.

Doa Saad bin Waqqash r.a:

“Ya Allah, pertemukanlah aku dengan musuh yang paling buas

dan jahat. Aku akan melawannya dan berilah aku kemenangan”

Abdullah bin Jahsy mengaminkan doa seraya menambah:

Page 46: surga

“Ya Allah, pertemukanlah aku dengan musuh yang jahat dan

buas. Aku akan melawannya dan aku tewas ditangannya. Dia

kemudian memotong hidung dan telingaku”

Ketika perang Uhud berakhir, ternyata Allah memakbulkan

doanya. Para sahabat menemukan jasadnya tewas sepertimana

doanya. Hidung dan telinganya buntung dan tubuhnya

digantung dengan seutas tali. Allah SWT memuliakan nya

dengan pahala syahid bersama Hamzah bin Abdul Muttalib r.a.

Keduanya tewas dan dimakamkan didalam satu kubur. Air mata

Rasulullah telah membasahi kubur mereka menambah

harumnya darah syahid yang melumuri jasab mereka. Semoga

mereka dirahmati. Amin.

ABU UBAIDAH BIN JARRAH RA. - PEMEGANG AMANAT UMAT DAN RASULULLAHAbu Ubaidah Bin Jarrah ra. - Pemegang Amanat Umat Dan Rasulullah

Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya, "Setiap umat mempunyai sumber

kepercayaan, sumber kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah." Itulah

penghargaan bintang mahaputra yang diterima oleh Abu Ubaidah dari Rasulullah saw.

Penghargaan yang tidak diberikan Rasulullah kepada sahabat yang lainnya. Tapi ini bukan

berarti, bahwa Rasulullah saw tidak percaya kepada sahabat yang lainnya. Memang kalau

Page 47: surga

dilihat dari kenyataan yang ada Abu Ubaidah layak mendapatkan gelar seperti itu. Sekalipun

ia tidak mengharapkannya. Dari sosok tubuhnya yang tinggi, kurus tapi bersih, tampak disana

tersimpan sifat-sifat mulia yang tidak dimiliki orang lain. Jujur, tawadu', pemalu itulah

diantara sifat yang paling menonjol dari Abu 'Ubaidah bin Jarrah r.a. Muhammad bin Ja'far

pernah bercerita, suatu ketika datang rombongan Nasrani Najran menemui Rasulullah saw.

"Ya Abalqasim," kata utusan itu, "Datangkanlah utusanmu ke negeri kami untuk

menyelesaikan permasalahan yang sedang kami hadapi. Kami betul-betul ridha dan yakin

terhadap kaum muslimin." Rasulullah menyanggupinya dan menjanjikan kepada mereka

seraya berkata, "Esok hari aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar

terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya." Rasululah menyebut "amin"

(terpercaya) sampai diulanginya tiga kali.

Tak lama kemudian beritapun tersebar ditengah-tengah para sahabat ra. Masing-masing ingin

ditunjuk oleh Rasulullah saw menjadi utusan.

Umar ra mengungkapkan, "Aku benar-benar mengharap agar aku ditunjuk Rasulullah saw

untuk menduduki jabatan itu. Aku sengaja mengangkat kepalaku agar beliau bisa melihatku

dan mengutusku untuk menduduki jabatan yang diamanatkannya. Rasul masih tetap mencari

seseorang, sehingga beliau melihat Abu Ubaidah dan berkata, "Wahai Abu Ubaidah, pergilah

engkau bersama-sama dengan penduduk Najran. Jalankan hukum-hukum dengan penuh

kebenaran terhadap segala apa yang mereka perselisihkan." Itulah mulianya ahklak Abu

Ubaidah bin Jarrah.

Masuk kedalam shaff da'wah Islamiyah.

Setelah Abu Bakar masuk Islam, dia senantiasa mengajak kawan-kawan dekatnya untuk

mengikuti jejaknya. Keislaman beliau adalah atas ajakan Abu Bakar. Suatu ketika ia sadar

dan memahami apa yang dimaksudkan Abu Bakar terhadap dirinya. Akhirnya dia berangkat

bersama Abdurrahman bin 'Auf, Ustman bin Maz'un dan Arqam bin Abi Arqam untuk

menemui Rasulullah saw. Di depan Rasulullah saw mereka sama-sama mengucapkan kalimat

syahadah.

Pengorbanan

Setelah masuknya Abu Ubaidah dalam Islam. Ia sadar betul bahwa seluruh apa yang dia

miliki harus sepenuhnya diberikan untuk Islam. Bukan setengah atau pun sebahagiannya.

Harta, tenaga dan raga beliau persembahkan untuk Islam. Kalau Islam meminta hartanya

akan dia infakkan, kalau tenaganya yang dibutuhkan, akan diberikan, bahkan kalaupun nyawa

Page 48: surga

yang akan di minta itupun akan dikorbankan. Dia adalah seorang pemuda yang gagah berani

yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya dan sulit sekali untuk di kalahkan.

Setiap musuh mendekatinya pasti lehernya dipenggal. Itulah keistimewaan sahabat yang satu

ini, hasil dari binaan madrasah Rasulullah saw. Ini bisa terlihat di dalam perjuangannya

membela Islam. Dimana saat terjadinya perang Badar, Abu Ubaidah tampil kedepan,

memerangi tentara musyrikin. Tatkala Abu Ubaidah lagi berhadapan dengan musuh, tiba-tiba

ia dikejutkan oleh seorang lelaki yang mengasuhnya sejak kecil. Ayah kandungnya yang

masih musyrik. Sebelumnya dia sudah berusaha agar jangan ketemu bapaknya ditengah-

tengah kancah peperangan.

Tapi apa hendak dikata, peperangan saat itu bukanlah peperangan antara Qabilah atau

peperangan yang hanya untuk mempertahankan status quo. Akan tetapi adalah peperangan

antara hizbullah(tentara Allah) dengan hizb syaithan (tentara musuh), peperangan antara yang

haq dengan bathil, yang tidak mungkin disatukan selamamatahari masih terbit dari sebelah

timur. Akhirnya? dengan keimanan yang menyala-nyala terjadilah perlawanan antara sang

anak dengan ayah, yang berakhir dengan gugurnya ayah kandung di depan matanya sendiri.

Setelah peristiwa tersebut Allah menurunkan firmannya:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,

saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun

orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.

Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan

menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya

mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di

dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan

rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan

Allah itulah golongan yang beruntung." (QS Al Mujadilah: 22).

Itulah Abu Ubaidah bin Jarrah, yang betul-betul menyerahkan hidup beliau sepenuhnya untuk

Islam. Dia tidak menghiraukan sanak famili ataupun kaum kerabat, kalau Islam yang

berbicara tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang bathil tidak mungkin didirikan diatas yang haq

ataupun sebalikn

Di saat peperangan lagi berkecamuk, Rasulullah saw sempat terjatuh sehingga gigi depannya

retak, keningnya luka, pipinya kena dua mata rantai perisai. Melihat keadaan seperti itu, Abu

Bakar kasihan dan ingin mencabutnya, tapi ia dicegah Abu Ubaidah bin Jarrah. "Biarkan itu

bagian saya," pintanya. Abu Ubaidah tahu kalau ini di cabut dengan tangan Rasulullah pasti

Page 49: surga

kesakitan, akhirnya dia mencoba mencabutnya dengan gigi depannya. Disaat mata rantai

pertama tercabut, giginya masih utuh dan kuat, namun ketika mencabut mata rantai kedua

giginya pun ikut tercabut juga. Subhanallah. Saat itu Abu Bakar berkata, "Sebaik-baik gigi

yang terputus, itulah gigi Abu Ubaidah bin Jarrah."

Perjuangan

Jabir bin Abdullah pernah bercerita, "Suatu ketika Rasullah saw.mengutus kami dalam suatu

peperangan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Kami hanya dibekali sekarung

korma untuk tiga ratus orang. Padahal perjalanan sungguh jauh dan melewati padang pasir

yang luas dan tandus. Di tengah-tengah perjalanan, disaat tentara sudah mulai lapar, Abu

Ubaidah membagi-bagikan makanan untuk satu orang satu genggam korma. Namun disaat

bekal sudah mulai habis Abu Ubaidah membagi-baginya dengan satu korma untuk satu

orang.

Korma yang satu itulah diisap-isap airnya sehingga menambah semangat kami dalam

melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian bekalpun habis, badan terasa letih, capek dan

lapar. Namun perjalanan masih jauh. Akhirnya kamipun memilih jalan dekat pantai. Tiba-tiba

disaat kami betul-betul lapar, kami memperdapati ikan besar yang sudah mati, mula-mula

Abu Ubaidah melarang kami untuk memakannya. Akan tetapi, karena keadaan sudah

memaksa akhirnya kamipun memakannya, setelah itu kami melanjutkan perjalanan."

Perjuangan Abu Ubaidah bin Jarrah nampak juga kita lihat dari perkataan Umar bin Khattab.

Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat,

"Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian." Salah seorang dari mereka mengacungkan

tangan dan berkata, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan

saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah."

Umarpun mengulangi pertanyaannya, "Apa masih ada yang lebih baik dari itu?", lantas

sahabat yang lainpun menjawab, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini dipenuhi

dengan intan, emas dan permata, niscaya akan saya infakkan seluruhnya untuk Allah." Umar

bin Khattab kembali bertanya dengan lafadh yang sama. Merekapun serentak menjawab,

"Wahai Amirulmukminin kami tidak tahu lagi apa yang terbaik dari itu." Umar bin Khathab

kemudian menjelaskan, "Cita-cita yang terbaik adalah, seandainya ruangan ini Allah penuhi

dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah bin Jarrah yang jujur, adil dan bijaksana."

Menjelang wafatnya, Khalifah Umar pernah berkata, "Kalau Abu Ubaidah masih hidup maka

aku akan menunjuknya sebagai khalifah penggantiku. Dan bila kelak Allah swt bertanya

Page 50: surga

tentang apa sebabnya, maka aku akan menjawabnya, 'Aku memilih dia karena dia seorang

pemegang amanat umat dan pemegang amanat Rasulullah.'"

Demikianlah sosok kepribadian sahabat kita yang satu ini. Ia tidak pernah mundur dalam

memperjuangkan kesucian Islam. Tenaga, harta, waktu, dan jiwanya ia korbankan demi Islam

dan kejayaan umatnya. Radhiyallahu 'anhu wardhahu.

KISAH SAHABAT: MASUK ISLAMNYA SALMAN AL-FARISI RADHIALLAHU ‘ANHU

KISAH SAHABAT: SALMAN AL-FARISI RADHIALLAHU ‘ANHU

Dari Abdullah bin Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata, “Salman

al-Farisi menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya

sendiri. Dia berkata, ‘Aku seorang lelaki Persia dari Isfahan,

warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh

masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling

disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat

sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku

diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti

seorang budak saja.

Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi,

sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab

atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam.

Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari

beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku,

‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak

sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’ Beliau

menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus

diselesaikan.

Page 51: surga

Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku

melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara

mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti

mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah

saja (melarang aku keluar rumah).

Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara

mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu

untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?

Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka,

dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata

dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita

anut selama ini.’

Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari

terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku

bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?’

Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’

Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah

mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak

mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku

telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja

kamu pergi?

Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan

apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku

lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam

Page 52: surga

gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum.

Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari

terbenam.’

Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan

sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu

lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah,

sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’

Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau

merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.

Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus

menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada

rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka

supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para

pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke

negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.

Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka

memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat

kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga

aku tiba di Syiria.

Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang

ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang

tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku

berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini,

dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di

Page 53: surga

gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang

bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’

Maka akupun tinggal bersamanya.

Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan

menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah

itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan

sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada

orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan

perak.

Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia

meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk

mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak,

‘Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai

buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah.

Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya

untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-

orang miskin barang sedikitpun.’

Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa

buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku

menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya

itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut

kepada kami.’

Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu.

Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh

berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa

Page 54: surga

banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah,

selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka

menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya

dengan batu.

Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai

penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak

mengerjakan shalat lima waktu (bukan seorang muslim) yang

lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai

akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun

sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku

berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa

waktu.

Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata

kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu,

dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun

yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal

sebagaimana kamu lihat, telah menghampirimu saat

berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau

wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku

sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti

aku.

Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakatpun

mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya

sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di

Page 55: surga

Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini,

temuilah ia di sana!’

Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui

seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya

si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya

agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau

memiliki keyakinan sebagaimana dia.’

Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal

bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat

baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun

ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang,

aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan

mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini

taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau

maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak

engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan

kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada

seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang

di Nashibin (kota di Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!’

Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di

Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku

menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan

kepadaku.

Page 56: surga

Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku

mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si

Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama

seseorang yang sangat baik.

Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di

ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si

Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan

mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada

siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan

engkau perintahkan kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada

seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu

untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria

(kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana

yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya.

Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’

Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi

menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku

kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’

Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya

yang sekeyakinan.

Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki

beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun

berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama

Page 57: surga

ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku

untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan

aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku

untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan

engkau wasiatkan?dan apa yang akan engkau perintahkan

kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak

mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu

untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu

munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran

nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di

Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan.

Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri

nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan,

dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di

antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika

engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’

Kemudian orang inipun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya,

aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki

Allah.

Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari

Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para

pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab

dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka

menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada

mereka.

Page 58: surga

Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka

menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan

seorang Yahudi.

Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-

pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah

sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak

biasa hidup bebas.

Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya

datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku

darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di

Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebutkan si

Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.

Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah

beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar

ceritanya karena kesibukanku sebagai seorang budak.

Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika

aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku

bekerja di perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba

salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian

berkata, ‘Fulan,

Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini

sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang

datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang

itu Nabi.’

Page 59: surga

Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar

sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian

aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan

majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang

engkau katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku

dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu

menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’

Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin

mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal

sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai

akan diutusnya seorang nabi itu.’

Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku

menuju Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, ketika itu beliau

sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata,

‘Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah

seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat

yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit

sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima

sedekahku ini daripada orang lain.’

Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau,

kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda

kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian makan, sementara

beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya.

Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’

Page 60: surga

Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan

sesuatu. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pun berpindah

ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau

sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan

pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah

sebagai penghormatanku kepada engkau.’

Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku

dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka

pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘Inilah tanda

kenabian yang kedua.’

Selanjutnya aku menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang

mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau

mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk

di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada

beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung

beliau, adakah aku akan melihat cincin yang disebutkan Si

Fulan kepadaku.

Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku

sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku

sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang

disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas

kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat

tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah

seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan

memeluknya seraya menangis.

Page 61: surga

Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka

akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku

sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu

Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah

shallallohu ‘alaihi wasallam ketika mendengar cerita perjalanan

hidupku itu.”

Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah

yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar

dan Uhud. “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam suatu hari

bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas,

wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan

tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan

40 uqiyah.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

salllam mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah

bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku

dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada

yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon,

dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku

pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka,

sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.

Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku,

‘Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu

untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan

meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan

dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap

Page 62: surga

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan memberitahukan

perihalku. Kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam

keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami

dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah

pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman

yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun

yang mati.

Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih

mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam membawa emas

sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau

bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’

Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah

emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai

Salman!’

Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam, bagaimana

status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja!

Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan

kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa

Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40

uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku

serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.

Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallohu

‘alaihi wasallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada

satu peperangan yang tidak aku ikuti.” [1]

Page 63: surga

PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:

1. Di antara hasil/buah mentaati kedua orang tua adalah

dicintai orang.

2. Masuk penjara, cekal, rantai adalah cara musuh Islam

menghalangi kaum muslimin dalam menegakkan agama

Allah.

3. Jika gigih memperjuangkan keimanan maka urusan dunia

terasa ringan.

4. Berpegang pada keimanan lebih kokoh dari seluruh

rayuan.

5. Hendaknya seorang mukmin senantiasa siap mental

menghadapi segala kemungkinan.

6. Terkadang orang-orang jahat mengenakan

pakaian/menampakkan diri sebagai orang baik-baik.

7. Jalan mencapai ilmu tidak bisa ditempuh melainkan

dengan senantiasa dekat dengan orang yang berilmu.

8. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah

memberikan jalan keluar dari problematika hidupnya.

9. Takaran keimanan seseorang adalah mencintai dan

membenci karena Allah.

10. Di antara akhlak terpuji para nabi adalah mau

mendengarkan seseorang yang sedang berbicara dengan

baik.

11. Seorang pemimpin hendaknya senantiasa memantau

kondisi bawahannya.

12. Diperbolehkan membeli budak dari tawanan perang,

menghadiahkan dan memerdekakannya.

Page 64: surga

13. Saling tolong menolong adalah gambaran dari wujud

hidup bermasyarakat.

________________

[1] HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabrani dalam al-Kabir (6/222);

Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat, 4/75; al-Baihaqi dalam al-

Kubra, 10/323.

[Sumber: Sittuna Qishshah Rawaha an-Nabi wash Shahabah al-

Kiram, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, edisi bahasa

Indonesia: “61 KISAH PENGANTAR TIDUR Diriwayatkan Secara

Shahih dari Rasulullah dan Para Sahabat”, pent. Pustaka Darul

Haq, Jakarta]