Upload
iqha-honeysweet
View
224
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
baba
Citation preview
Anas bin MalikYa Allah berilah dia harta dan anak dan berkahilah. (Doa Rosul)
dakwatuna.com – Anas bin Malik sejak usia belianya telah mendapat talqin dua syahadat dari ibunya Al ghumaisho’, sejak itu tumbuhlah kecintaan hatinya yang bersih kepada Rasul SAW, bersemangat untuk mendengar langsung darinya, tidak heran kalau kadang telinga lebih awal merindukan dari pada penglihatan. Sudah lama anak kecil ini mendambakan bertemu langsung dengan Rasul di Mekah atau di Yatsrib sehingga ia dapat bahagia dengan pertemuannya.Tidak berselang waktu yang lama, Yatsrib dibahagiakan oleh kedatangan Rasulullah dan sahabatnya As Siddiq yang sudah lama di damba-dambakan. Maka tidak satu pun keluarga dan hati penduduk Madinah yang tidak berbahagia. Saat itu semua pemuda menyebarkan berita setiap pagi bahwa Rasulullah SAW akan tiba di Yatsrib. Anas bin Malik bersama anak-anak yang lain yang berusaha ingin bertemu dengan Rasulullah, namun ketika belum berhasil menemuinya ia sedih.Pada suatu pagi yang indah yang menyebarkan keharuman, masyarakat berteriak-teriak, bahwa Muhammad dan sahabatnya telah dekat dari kota Madinah, semua orang berusaha menyambut kedatangan Nabi SAW. Begitu juga anak-anak, mereka berlomba-lomba ikut menyambut Rasulullah dengan hati yang diliputi kegembiraan yang meluap-luap dan wajah yang berseri-seri, maka di antara anak-anak itu adalah Anas bin Malik. Sementara para wanita telah berada di atas rumah mereka, menunggu dan berusaha melihat wajah Rasulullah SAW. Hati mereka berkata: “Mana yang orangnya yang disebut Rasul?” Sungguh hari itu adalah hari yang bersejarah. Peristiwa ini terus dikenang oleh Anas sampai usianya hampir seratus tahun.Belum lama Rasul tinggal di Madinah, datanglah seorang wanita bernama Al Ghumaiso’ binti Milhan menemui Rasulullah SAW bersama putranya Anas bin Malik, ia berkata:
�تِح�ُف�َك� .. . ُأ ما ُأجُد� ال وإني ، �ِحُف�ٍة� بُت ُأتِحُفَك وقُد إال األنصار من �امرُأٌة وال �رج�ٌل يبق لم الله رسول ياشئت . .. ما فليخُدمَك ، فخ�ْذ2ُه� هْذا ابني غير . . . به
“Wahai Rasul, tidak satu pun seorang laki-laki dan perempuan dari Anshar ini, kecuali telah memberi hadiah kepadamu, dan sesungguhnya Aku tidak memiliki apa yang dapat aku berikan kepadamu kecuali anakku ini…. maka ambillah anak ini agar dia dapat membantumu kapan Anda mau.”Tergugahlah Rasul untuk menerimanya, beliau mengusap kepalanya dan menyatukannya dengan keluarganya. Saat itu umur Anas sepuluh tahun, saat kebahagiaannya dapat menjadi pembantu Rasul, dan hidup terus bersama Rasulullah sampai Rasul kembali kepada Allah. Adalah masa hidupnya menjadi pembantu Rasul selama sepuluh tahun. Kondisi ini sangat dimanfaatkan oleh Anas untuk menimba langsung hidayah dari Rasul, memahami semua sabdanya, mengetahui sifat-sifatnya dan keutamaannya yang tidak dapat diketahui oleh selainnya.
Anas berkata: “Adalah Rasulullah SAW orang yang paling baik akhlaqnya, lapang dadanya, dan banyak kasih sayangnya. Suatu saat beliau menyuruhku untuk suatu keperluan, ketika aku berangkat aku tidak menuju ke tempat yang Rasul inginkan, namun aku pergi ke tempat anak-anak-anak yang sedang bermain di pasar ikut bermain bersama mereka. Ketika aku telah bersama mereka aku merasa ada seseorang berdiri di belakangku dan menari bajuku, maka aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah dengan senyum beliau menegurku: “Ya Unais (panggilan kesayangan) apakah kamu sudah pergi ke tempat yang aku perintahkan?” Aku gugup menjawabnya: Ya, ya Rasul, sekarang aku akan berangkat. Demi Allah aku telah menjadi pembantunya sepuluh tahun, tidak pernah aku mendengar ia menegurku: “Mengapa kamu lakukan ini dan itu, atau mengapa kamu tidak melakukan ini atau itu?””Dan adalah Rasulullah SAW jika memanggilnya selalu memanggilnya dengan panggilan rasa sayang dan memanjakan yaitu dengan memanggilnya dengan kata Unais atau ya bunayya. Begitu juga Rasulullah banyak menasihatinya sampai memenuhi hati dan otaknya. Di antara nasihat-nasihatnya adalah:فافعٌل ) ألحُد غش قلبَك في وليس �مسي وت �صبح ت ُأن قُدرت إن �ني@ ب . . . يا“Ya bunayya jika engkau mampu setiap pagi dan sore hatimu bersih dari perasaan dengki kepada orang lain maka lakukanlah.”
@ني ُأح�ب فقُد نُتي س� ُأحيا ومن ، نُتي س� من ذلَك إن@ �ني@ ب . ياالجنٍة في معي كان @ني ب ُأح� . ومن
“Ya bunayya sesungguhnya hal itu adalah sunnahku, barang siapa menghidupkan sunnahku maka mencintaiku, barangsiapa mencintaiku akan bersamaku di surga.”
بيُتَك ُأهٌل وعلى عليَك Gٍة� برك يكن فسلم ُأهلَك على دخلت إذا �ني ب ( يا“Ya bunayya jika engkau menemui keluargamu maka berilah salam niscaya akan menjadi keberkahan bagimu dan bagi keluargamu.”Anas bin Malik hidup setelah wafatnya Rasulullah SAW sekitar delapan puluh tahun lebih. Dadanya dipenuhi ilmu yang langsung diambil dari Rasulullah. Otaknya tumbuh dengan pemahaman kenabian. Oleh karena itu sepanjang umurnya menjadi rujukan umat Islam, tempat umat bertanya, setiap menghadapi permasalahan sulit dan tidak diketahui hukumnya. Suatu saat terjadi perdebatan tentang keberadaan telaga Nabi nanti di hari kiamat. Maka mereka bertanya kepada Anas tentang masalah ini. Beliau menjawab: “Aku tidak mengira hidup dalam kondisi mendapatkan kalian mendiskusikan tentang telaga. Sungguh aku telah meninggalkan para wanita tua di belakangku, tidaklah di antara mereka shalat kecuali mereka berdoa agar dapat minum dari telaga nabi tersebut.”Dan seterusnya Anas sepanjang hidupnya selalu mengenang kehidupan Rasulullah. Adalah Anas selalu riang setiap kali bertemu dengan Rasulullah, sangat sedih di saat perpisahan, banyak mengulang-ulang sabdanya, sangat perhatian mengikuti perkataan-perkataannya dan perbuatan-perbuatannya, menyenangi apa yang disenangi dan membenci apa yang dibenci, dan hari yang paling berkesan baginya karena dua peristiwa: Hari yang pertama ia bertemu dengan Rasulullah dan hari saat berpisah dengan Beliau. Apabila terkenang hari yang pertama beliau
berbahagia, dan apabila terkenang hari yang kedua terharu yang membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis. Beliau sering berkata: “Sungguh saya melihat Nabi SAW pada hari pertama bersama kita, dan hari pada saat wafatnya, maka tidaklah aku melihat dua hari itu ada kemiripan. Maka pada hari saat masuk ke Madinah menyinari segala sesuatu. Dan pada hari hampir wafatnya, jadilah Madinah kota yang gelap. Terakhir aku melihat Rasulullah SAW pada hari senin ketika tabir di kamarnya di buka, maka aku melihat wajahnya seperti kertas mushaf, para sahabat saat itu berdiri di belakang Abu Bakar melihatnya, hampir-hampir mereka bergejolak kalau saja Abu Bakar tidak menenangkan mereka. Pada hari itulah Rasulullah SAW wafat, maka tidaklah kami melihat pemandangan yang sangat mengherankan dari pada melihat wajah Rasulullah SAW harus diuruk dengan tanah.”Adalah Rasulullah SAW sering mendoakan Anas bin Malik. Di antara doanya: ( اللهم
له وبارك ، G وولُدا G ماال Ya Allah berilah rezki kepadanya harta dan anak, dan“ ( ارزقهberkahilah.” Dan sungguh Allah telah mengabulkan doanya, jadilah Anas orang yang kaya di kalangan Anshar, dan paling banyak keturunannya, sampai-sampai dia panjang umur dan hidup bersama cucu-cucunya lebih dari seratus orang. Dan umurnya mencapai seratus tahun lebih. Dan adalah Anas, sahabat yang sangat mengharapkan syafaat Rasulullah SAW pada hari kiamat, sering sekali ia mengatakan: “Aku berharap dapat bertemu Rasulullah pada hari kiamat dan mengatakan kepada Rasulullah SAW, ya Rasul inilah saya yang dulu menjadi pembantumu.”Ketika Anas sakit menjelang kematiannya, dia berkata kepada keluarganya: “Tuntunlah aku untuk membaca laailaaha Illallah.” Begitulah ia mengulang-ulangnya sampai datang ajalnya. Beliau pernah berwasiat agar tongkat kecil milik Rasul dikuburkan bersamanya, maka diletakkanlah di antara lambungnya. Selamat bagi Anas, yang telah dikaruniai oleh Allah dengan berbagai macam kebaikan. Total masa hidup Anas bersama Rasulullah SAW selama sepuluh tahun. Beliau berada di ranking ketiga di dalam meriwayatkan hadits, setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar. Semoga Allah membalasnya dan ibunya atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/06/30/6477/anas-bin-malik/#ixzz3WJj8o2gL Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
SAID BIN AMIR AL-JUMAHI “Said bin Amir, seorang laki-laki yang membeli akhirat dengan dunia dan mementingkan Allah dan Rasul-Nya di atas selain keduanya.” (Ahli Sejarah)
Anak muda ini, Said bin Amir, adalah satu dari ribuan orang
yang keluar ke daerah Tan’im di luar Mekah atas undangan
para pemuka Quraisy untuk menyakikan pelaksanaan hukum
mati atas khubaib bin Adi, salah seorang sahabat Muhammad
setelah mereka menangkapnya dengan cara licik.
Sebagai pemuda yang kuat dan tangguh, Said mampu bersaing
dengan orang-orang yang lebih tua umurnya untuk berebut
tempat di depan, sehingga dia mampu duduk sejajar di antara
para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin
Umayyah, dan lain-lainya yang menyelenggarakan acara
tersebut.
Semua ini membuka jalan baginya untuk menyaksikan tawanan
Quraisy yang terikat dengan tambang itu. Sementara tangan
anak-anak, para pemuda, dan kaum wanita mendorongnya ke
pelataran kematian dengan kuatnya, mereka ingin
melampiaskan dendam kesumat terhadap
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, membalas kematian
orang-orang mereka yang terbunuh di Badar dengan
membunuh Khubaib.
Manakala rombongan besar dengan seorang tawanan tersebut
telah tiba di tempat yang sudah disiapkan untuk
membunuhnya, si anak muda Said bin Amir al-Jumahi berdiri
tegak memandang Khubaib yang sedang digiring ke tiang salib.
Said mendengar suara Khubaib di antara teriakan kaum wanita
dan anak-anak, dia mendengarnya berkata, “Bila kalian
berkenan membiarkanku shalat dua rakaat sebelum aku kalian
bunuh?”
Said melihat Khubaib menghadap kiblat, shalat dua rakaat, dua
rakaat yang sangat baik dan sangat sempurna.
Said melihat Khubaib menghadap para pembesar Quraisy dan
berkata, “Demi Allah, kalau aku tidak khawatir kalian
menyangka bahwa aku memperlama shalat karena takut mati,
niscaya aku akan memperlama shalatku.”
Kemudia Said melihat kaumnya dengan kedua mata kepalanya
mencincang jasad Khubaib sepotong demi sepotong padahal
Khubaib masih hidup, sambil berkata, “Apakah kamu ingin
Muhammad ada di tempatmu ini sedangkan kamu selamat?[1]
Khubaib menjawab sementara darah menetes dari jasadnya,
“Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara keluarga
dan anak-anakku dalam keadaan aman dan tenang
sementara Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.”
Maka orang banyak pun mengangkat tangan mereka tinggi-
tinggi ke udara, teriakan mereka gegap gempita menggema di
langit.
Di saat itu Said bin Amir melihat Khubaib mengangkat
pandangannya ke langit dari atas tiang salib dan berkata, “Ya
Allah, balaslah mereka satu persatu, bunuhlah mereka sampai
habis, dan jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup
dengan aman.”
Akhirnya Khubaib pun menghembuskan nafas terakhirnya, dan
tidak ada seorang pun yang mampu melindunginya dari
tebasan pedang dan tusukan tombak orang-orang kafir.
Orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, mereka melupakan
Khubaib dan kematiannya bersama dengan datangya peristiwa
demi peristiwa besar yang mereka hadapi.
Namun tiak dengan anak muda yang baru tumbuh ini, Said bin
Amir, Khubaib tidak pernah terbenam dari benaknya sesaat
pun.
Said melihatnya dalam mimpinya ketika dia tidur,
membayangkannya dalam khayalannya ketika dia terjaga,
berdiri di depannya ketika dia shalat dua rakaat dengan tenang
dan tenteram di depan kayu salib, Said mendengar bisikan
suaranya di keua telinganya ketika dia berdoa atas orang-orang
Quraisy, maka dia khawatir sebuah halilintar akan menyambar
atau sebuah batu dari langit akan jatuh menimpanya.
Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan sesuatu kepada Said
tentang persoalan besar yang belum dia ketahui selama ini.
Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa
kehidupan sejati adalah jihad di jalan akidah yang diyakininya
sampai mati.
Peristiwa kematian Khubaib mengajarkan kepadanya bahwa
iman yang terpancang kuat bisa melahirkan dan menciptakan
keajaiban-keajaiban.
Khubaib mengajarkan kepadanya perkara lainnya, yaitu
seorang laki-laki yang dicintai sedemikian rupa oleh para
sahabatnya adalah seorang nabi yang di dukung oleh kekuatan
dan pertolongan langit.
Pada saat itu Allah Ta’ala membuka dada Said bin Amir kepada
Islam, maka dia berdiri di hadapan sekumpulan orang banyak,
mengumumkan bahwa dirinya berlepas diri dari dosa-dosa dan
kejahatan-kejahatan orang Quraisy, menanggalkan berhala-
berhala dan patung-patung menyatakan diri sebagai seorang
muslim.
Said bin Amir al-Jumahi berhijrah ke Madinah tinggal bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut bersama beliau
dalam perang khaibar dan peperangan lain sesudahnya.
Manakala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia
dipanggil menghadap keharibaan Rabbbnya alam keadaan
ridha, Said bin Amir tetap menjadi sebilah pedang yang
terhunus di tangan para khalifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakar, dan Umar. Said bin Amir hidup sebagai
contoh menawan lagi mengagumkan bagi setiap mukmin yang
telah membeli akhirat dengan dunia, mementingkan ridha Allah
dan pahalaNya di atas segala keinginan jiwa dan hawa nafsu.
Dua orang khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenal kejujuran Said dan ketakwaannya, keduanya
mendengar nasihatnya dan mencamkan kata-katanya.
Said datang kepada Umar bin al-Khatthab di awal khilafahnya,
dia berkata, “Wahai Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu
bertakwa kepada Allah dalam bermuamalah dengan
manusiadan jangan takut kepada manusia dengan melakukan
kemaksiatan kepada Allah. Janganlah kata-katamu menyelisihi
perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang
dibenarkan oleh perbuatan. Wahai Umar, perhatikanlah orang-
orang yang Allah Ta’ala telah menyerahkan perkara mereka
kepadamu, baik mereka dari kalangan kaum muslimin yang
dekat maupun yang jauh, cintailah sesuatu yang bermanfaat
untuk dirimu dan keluargamu, bencilah sesuatu yang mereka
alami, yang kamu pun benci apabila hal itu terjadi kepada
dirimu dan keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk
menuju pada kebenaran dan jangan takut celaan orang-orang
yang mencela ketika engkau berbuat ketaatan kepada Allah.”
Maka Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya
wahai Said?”
Said berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang
sepertimu yang Allah Ta’alaserahi perkara umat Muhammad
dan di antara dia dengan Allah tidak terdapat seorang pun.”
Pada saat itu Umar mengundang Said untuk mendukungnya,
Umar berkata, “Wahai Said, aku menyerahkan kota Himsh
kepadamu.” Maka Said menjawab, “Wahai Umar, dengan nama
Allah aku memohon kepadamu agar mencoret namaku.”
Maka Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian
meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari
dariku. Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu.”
Umar mengangkat Said sebagai gubernur Himsh, Umar
bertanya kepadanya, “Aku akan mentapkan gaji untukmu.”
Said menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai
Amirul Mukminin? Pemberian dari baitul maal kepadaku
melebihi kebutuhanku.” Said pun berangkat ke Himsh
menunaikan tugasnya.
Tidak lama berselang, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab
didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk
Himsh, Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama
penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”
Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya
tercantum nama fulan dan fulan serta Said bin Amir.
Umar bertanya, “Siapa Said bin Amir?”
Mereka menjawab, “Gubernur kami.”
Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”
Mereka menjawab, “Benar di rumahnya tidak pernah
dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”
Maka Umar menangis hingga air matanya membasahi
janggutnya, kemudia dia mengambil seribu dinar dan
memasukkannya ke dalam sebuah kantong. Umar berkata,
“Sampaikan salamku kepadanya dan katakana kepadanya
bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa
menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan
menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya
dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya
seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah
Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.
Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia
berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin
wafat?”
Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”
Istrinya bertanya, “Aa yang lebih besar ?”
Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak
akhiratku, sebuat fitnah telah menerpa rumahku.”
Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia
belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.
Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”
Istrinya menjawab, “Ya”
Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam
kantong-kantong dan membagi-baginya kepada kaum muslimin
yang miskin.
Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang
ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar
tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk
kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena
banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya
seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika Umar
tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk
memberi salam kepadanya. Umar bertanya, “Bagaimana
dengan gubernur kalian?”
Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal
dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.
Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan
pribadi Sa’id sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis,
aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama
ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka
dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata,
“Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali
ketika siang sudah naik.”
Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”
Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku
sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi
memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai
pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka,
kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia
mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka,
kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”
Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang
kalian keluhkan darinya juga?”
Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam
hari.”
Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini.
Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam
maka aku memberikannya kepada Allah Ta’ala.
Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari
dalam sebulan.”
Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”
Said menjawab, “Aku tidak mempunyai wahai Amirul Mukminin,
aku pun tidak mempunyai pakaian selain yang melekat di
tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan
menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar di sore
hari.”
Kemudian aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan
darinya?”
Mereka menjawab, “Terkadang ia jatuh pingsan sehingga tidak
ingat terhadap orang-orang di sekitarnya.”
Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”
Said menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi
ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quraisy
mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah
kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia
menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada di antara
keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan
Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Allah setiap aku
teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak
menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan
bahwa Allah tidak akan mengampuniku, maka aku pun
pingsan.”
Saat itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang
membenarkan dugaanku kepadamu.”
Kemudian Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan
untuk memenuhi kebutuhannya.
Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Allah
yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah
kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”
Said berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan
kepada yang lebih baik dari itu? Istrinya balik bertanya, “Apa
itu?”
Said berkata, “Kita memberikan hatra tersebut kepada yang
memberikannya kepada kita, kita lebih memerlukan hal
(amalan) itu.”
Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”
Said menjawab, “Kita berikan kepada Allah dengan cara yang
baik.”
Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan.”
Said tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar
tersebut di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah
seorang anggota keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda
fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah
ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang
miskin dari keluarga fulan.”
Semoga Allah meridhai Said bin Amir al-Jumahi, dia termasuk
orang-orang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia
sendiri memerlukan.[2]
ATH-THUFAIL BIN AMRU AD-DAUSI“Ya Allah, berikanlah sebuah bukti kepadanya atas kebaikan yang dia niatkan.”(Dari doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuknya)
Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah Daus
di masa jahiliyah, salah seorang pemuka orang-orang Arab
yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilikmuru’ah yang
diperhitungkan orang banyak.
Panci miliknya tidak pernah turun dari api karena senantiasa di
pakai untuk memasak dalam rangka menjamu tamu dan pintu
rumahnya tidak pernah tertutup dari tamu yang mengetuk
untuk bermalam.
Dia adalah potret manusia yang memberi makan orang yang
lapar, memberi rasa aman bagi orang yang takut, dan memberi
perlindungan kepada orang yang memerlukan perlindungan.
Di samping itu, dia adalah seorang sastrawan cerdik lagi ulung,
seorang penyair dengan ilham besar dan perasaan lembut,
mengenal dengan baik kata-kata yang manis dan pahit, dimana
kalimat berperan padanya layaknya sihir.
Ath-Thufail meninggalkan kampung halamannya di Tihamah[1]
menuju Mekah pada saat terjadi pertentangan antara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang kafir
Quraisy, di saat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha
menyampaikan dakwah Islam kepada penduduknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka
kepada Allah, senjata beliau adalah iman dan kebenaran.
Sementara orang-orang kafir Quraisy memerangi dakwah
beliau dengan segala macam senjata, menghalang-halangi
manusia darinya dengan berbagai macam cara.
At-Thufail melihat dirinya masuk ke dalam pertentangan ini
tanpa persiapan, menerjuni lahannya tanpa dia kehendaki
sebelumnya.
Dia tidak datang ke Mekah untuk tujuan tersebut, perkara
Muhammad dan orang-orang Quraisy tidak pernah terbesit
dalam pikirannya sebelum ini.
Dari sini ath-Thufail bin Amru ad-Dausi mempunyai kisah
dengan pertentangan ini yang tidak terlupakan. Kita simak
kisah tersebut, karena ia termasuk kisah yang sangat menarik.
Ath-Thufail berkisah,
Aku datang ke Mekah, begitu para pembesar Quraisy
melihatku, mereka langsung menghampiriku, menyambutku
dengan sangat baik dan menyiapkan tempat singgah yang
terbagus bagiku.
Kemudian para pemuka dan pembesar Quraisy mendatangiku
sembari berkata, “Wahai Thufail, sesungguhnya kamu telah
datang ke negeri kami, dan laki-laki yang menyatakan dirinya
sebagai nabi itu telah merusak urusan kami dan memecah-
belah persatuan kami serta mencerai-beraikan persaudaraan
kami. Kami hanya khawatir apa yang menimpa kami ini akan
menimpamu sehingga mengancam kepemimpinanmu atas
kaummu. Oleh karena itu, jangan berbicara dengan laki-laki itu,
jangan mendengar apa pun darinya, karena dia mempunyai
kata-kata seperti sihir, memisahkan seorang anak dari
bapaknya, seorang saudara dari saudaranya, seorang istri dari
suaminya.”
Ath-Thufail berkata,
Demi Allah, mereka terus menceritakan berita-beritanya yang
aneh, menakut-nakutiku atas diri dan kaumku dengan
perbuatan-perbuatan Muhammad yang terkutuk dan tercela
sampai aku pun bertekad bulat untuk tidak mendekat
kepadanya, tidak berbicara dengannya dan tidak mendengar
apa pun darinya.
Manakala aku berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan
thawaf di Ka’bah dan mencari keberkahan kepada berhala-
berhala yang kepada merekalah kami menunaikan ibadah haji
dan kepada merekalah kami mengagungkan, aku menyumbat
kedua telingaku dengan kapas karena aku takut ada perkataan
Muhammad yang menuyusup ke telingaku.
Begitu aku masuk masjid, aku melihat Muhammad sedang
berdiri. Dia shalat di Ka’bah dengan shalat yang berbeda
dengan shalat kami, beribadah dengan ibadah yang berbeda
dengan ibadah kami, pemandangan itu menarik perhatianku,
ibadanya menggugah nuraniku. Tanpa sadar aku melihat diriku
telah mendekat kepadanya sedikit demi sedikit, sehingga tanpa
kesengajaan diriku telah benar-benar dekat kepadanya.
Allah pun membuka hatiku, sebagian apa yang diucapkan
Muhammad terdengar olehku, aku mendengar ucapan yang
sangat indah. Aku berkata kepada diriku, “Celaka kamu wahai
Thufail, sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair yang
cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk, apa yang
menghalangimu untuk mendengar ucapan laki-laki ini? Jika apa
yang dia bawa itu baik, maka kamu harus menerimanya, jika
buruk maka kamu harus membuangnya.”
Ath-Thufail berkata, “Aku diam sampai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallammeninggalkan tempatnya menuju rumahnya,
aku mengikutinya sampai dia masuk ke dalam rumahnya dan
aku pun masuk kepadanya. Aku berkata, “Wahai Muhammad,
sesungguhnya kaumku telah berkata tentangmu begini dan
begini. Demi Allah, mereka terus menakut-nakuti dari ajaranmu
sampai aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku
tidak mendengar kata-katamu. Kemudian Allah menolak itu
semua dan membuatku mendengar sebagian dari ucapanmu.
Aku melihatnya baik, maka jelaskan ajaranmu kepadaku.”
Di saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan agamanya kepadaku, beliau membacakan
surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah
mendengar sbuah ucapan yang lebih bagus dari ucapannya,
aku tidak melihat sebuah perkataan yang lebih adil daripada
perkaranya.
Pada saat itu aku ulurkan tanganku untuknya, aku bersaksi
bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, aku masuk Islam.”
Ath-Thufail berkata,
Kemudian aku tinggal di Mekah beberapa waktu. Selama di
sana aku belajar ajaran-ajaran Islam dan aku menghafal
Alquran yang mungkin untuk aku hafal. Ketika aku berniat
untuk pulang ke kabilahku, aku berkata, “Rasulullah,
sesungguhnya aku ini adalah laki-laki yang ditaati di kalangan
kaumku, aku akan pulang untuk mengajak mereka kepada
Islam. Berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku sebuah
bukti untuk mendukungku dakwahku kepada mereka.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah
berikanlah dia sebuah bukti.”
Aku pun pulang kepada kaumku, ketika aku tiba di sebuah
tempat yang dekat dengan perkampunganku, tiba-tiba
secercah cahaya muncul di keningku seperti lampu, maka aku
berkata, “Ya Allah, pindahkanlah ia ke tempat lain, karena aku
khawatir mereka akan mengira bahwa ini merupakan hukuman
yang menimpa wajahku karena aku meninggalkan agama
mereka.”
Maka cahaya itu berpindah ke ujung semetiku, orang-orang
melihat cahaya tersebut di ujung cemetiku seperti lampu yang
tergantung, aku turun kepada mereka dari sebuah jalan di
bukit. Manakala aku tiba di perkampungan, bapakku yang
sudah berumur lanjut menyambutku, aku berkata kepadanya,
“Menjauhlah engkau dariku, aku bukan termasuk golonganmu
dan engkau bukan termasuk golonganku.”
Bapakku bertanya, “Mengapa wahai anakku?”
Aku menjawab, “Aku telah masuk Islam, aku mengikuti
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dia berkata, “Anakku, agamamu adalah agamaku juga.”
Aku berkata, “Pergilah, mandilah dan sucikanlah pakaianmu,
kemudian kemarilah aku akan mengajarimu apa yang aku
ketahui.”
Maka bapakku pun pergi, dia mandi dan menyucikan bajunya,
kemudian dia datang dan aku menjelaskan Islam kepadanya
dan dia masuk Islam.
Kemudian istriku datang kepadaku, aku berkata kepadanya,
“Menjauhlah dariku, aku bukan termasuk golonganmu dan
kamu bukan termasuk golonganku.
Dia bertanya, “Bapak dan ibumu sebagai jaminanku,
mengapa?”
Aku menjawab, “Islam memisahkan antara diriku dengan
dirimu, aku telah mengikuti Muhammad.”
Dia berkata, “Agamamu adalah agamaku.”
Aku berkata, “Pergilah dan jauhilah air Dzi asy-Syura.”[2]
Dia berkata, “Bapak dan ibuku sebagai jaminanku, apakah
kamu takut sesuatu terhadap wanita ini karena Dzi asy-Syura?”
Aku menjawab, “Celaka kamu dan celaka juga Dzi asy-Syura,
aku katakan kepadamu, ‘Pergilah, mandilah di sana jauh dari
penglihatan orang-orang aku menjamin bahwa batu pejal itu
tdak akan melakukan apa pun terhadapmu.”
Dia pun pergi untuk mandi, kemudian dia datang, aku
menjelaskan Islam kepadanya, maka dia masuk Islam.
Kemudian aku mengajak kaumku Daus, namun mereka tidak
menjawab dengan segera, kecuali Abu Hurairah, dia adalah
orang yang paling cepat menjawab seruanku.
Ath-Thufail berkata,
Aku datang bersama Abu Hurairah menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Di saat itu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Hati
kaummu masih tertutupi sekat tebal dan kekufuran yang keras.
Orang-orang Daus telah dikuasai oleh kefasikan dan
kemaksiatan.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri mengambil
air, beliau wudhu kemudian mengerjakan shalat, beliau
mengangkat kedua tangan beliau ke langit. Abu Hurairah
berkata, “Manakala aku melihat beliau melakukan itu, aku
takut beliau berdoa buruk atas kaumku, akibatnya mereka
akan binasa. Maka aku berkata, ‘Celaka kaumku.”
Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya
Allah, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah
petunjuk kepada Daus. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada
Daus.”
Kemudian beliau menoleh kepada ath-Thufail dan berkata,
“Pulanglah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam
dengan lemah lembut.”
Ath-Thufail berkata,
Aku terus tinggal di kampung Daus, aku mengajak mereka
kepada Islam sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berhijrah ke Madinah. Perang Badar, Uhud, dan Khandaq
berlalu. Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersama delapan puluh keluarga dari Daus yang telah
masuk Islam dan mereka konsisten terhadap ajaran Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbahagia dengan
kehadiran kami, beliau memberikan bagian dari harta
rampasan perang Khaibar kepada kami sama dengan kaum
muslimin lainnya.
Kami berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, jadikanlah kami
sebagai sayap kanan pasukanmu dalam setiap peperangan
yang engkau terjuni. Jadikanlah syiar kami, ‘Mabrur.”
Ath-Thufail berkata,
Setelah itu aku terus bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sampai AllahTa’ala membuka Mekah untuk beliau. Aku
berkata, “Ya Rasulullah, tugasilah aku ke Dzul Kafain untuk
menghancurkan berhala Amru bin Hamamah, aku ingin
menghancurkannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengizinkannya, ath-Thufail berangkat dengan sebuah
pasukan yang terdiri dari kaumnya.
Ketika ath-Thufail tiba di sana, dia hendak membakarnya, kaum
laki-laki wanita dan anak-anak memperhartikannya, mereka
berharap ath-Thufail akan ditimpa keburukan, mereka berharap
sebuah halilintar menyambarnya jika dia menghancurkan Dzul
Kafain.
Namun ath-Thufail tetap bergerak maju kepada berhala
tersebut di hadapan tatapan mata para pemujanya.
Ath-Thufail menyalakan api, membakar dada berhala itu sambil
bersyair,
Wahai Dzul Kafain, aku tidak termasuk pemujamu
Kelahiran kami mendahului kelahiranmu
Sesungguhnya aku membakar dadamu dengan api.
Api melahap berhal itu, sekaligus melahap sisa-sisa syirik yan
ada pada kabilah Daus, maka mereka semuanya masuk Islam
dan mereka pun memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam.
Setelah itu ath-Thufail bin Amru ad-Dausi senantiasa
mendampingi Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
beliau wafat dan berpulang ke hadapan Rabbnya.
Setelah itu khilafah berpindah ke tangan Abu Bakar, ath-Thufail
memberikan jiwanya, pedangnya dan anaknya dalam menaati
khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika perang Riddah berkecamuk ath-Thufail berada di barisan
depan bala tentara kaum muslimin untuk memerangi
Musailamah al-Kadzdzab, putranya pun ikut bersamanya.
Ketika dia sedang menuju Yamamah, ath-Thufail bermimpi, dia
berkata kepada kawan-kawannya, “Aku bermimpi, tolong
jelaskan kepadaku apa artinya?”
Mereka bertanya, “Mimpi apa?”
Dia berkata, “Aku bermimpi kepalaku dicukur, seekor burung
keluar dari mulutku, seorang wanita memasukkanku ke dalam
perutnya, anakku Amru mencari-cari diriku dengan gigih
namun antara diriku dengan dirinya terdapat penghalang.”
Mereka berkata, “Itu mimpi yang baik.”
Selanjutnya ath-Thufail berkata, “Aku sudah bisa mengartikan
makna mimpiku. Kepalaku dicukur, artinya ia dipotong. Seekor
burung keluar dari mulutku, artinya arwahku meninggalkan
jasadku. Wanita yang memasukkanku ke dalam perutnya
adalah bumi yang digali lalu aku dikubur di sana. Anakku yang
gigih mencariku, artinya dia mengharapkah syahadah yang
akan aku dapatkan dengan izin Allah, anakku akan
mendapatkannya kelak.”
Di perang Yamamah, shahabat yang mulia Amru bin ath-Thufail
ad-Dausi berperang dengan gigih, memperlihatkan
kepahlawanannya dengan gagah berani, sampai dia gugur
sebagai syahid di bumi perang Yamamah.
Adapun anaknya, Amru, maka dia terus berperang sampai
tubuhnya penuh luka, tangan kananya terpotong, dia pulang ke
Madinah meninggalkan bapaknya sementara tangan kanannya
dikubur di bumi Yamamah.
Di masa khilafah Umar bin al-Khatthab, Amru bin ath-Thufail
datang menemuinya, tatkala makanan dihidangkan kepada al-
Faruq sementara orang-orang yang duduk di sekelilingnya
dipersilahkan untuk menyantap hidangan, Amru justru malah
menjauh darinya. Maka al-Faruq bertanya kepadanya,
“Ada apa dengan dirimu? Apakah kamu menjauh dari makanan
ini karena kamu merasa malu kepada tanganmu?”
Dia menjawab, “Benar wahai Amirul Mukminin.”
Umar pun berkata, “Demi Allah, aku tidak menyantap makanan
ini sehingga kamu mencampurnya melalui bagian tanganmu
yang terputus itu. Demi Allah, di antara yang hadir ini tidak ada
seseorang yang sebagian organnya telah tinggal di surga
selainmu –maksudnya adalah tangannya-.
Impian syahadah terus berkibar dalam angan-angan Amru
sejak dia berpisah dari bapaknya. Perang Yarmuk[3] tiba, Amru
bin ath-Thufail bersegera berpartisipasi di dalamnya bersama
orang-orang yang bersegera, dia berperang sehingga dia
meraih syahadah yang diharapkan oleh bapaknya untuknya.
Semoga Allah merahmati ath-Thufail bin Amru ad-Dausi,
seorang syahid dan bapak dari seorang syahid.[4]
Diketik ulang oleh Abu Abdillah Ridwansyah As-Slemani dari
buku Mereka Adalah Para Sahabat Penulis DR.
Abdurrahman Ra’fat Basya Penerbit At-Tibyan
Artikel www.KisahMuslim.com
[1] Tihamah adalah lembah pesisir di Jazirah Arab yang
bersebelahan dengan Laut Merah
[2] Dzu asy-Syura adalah berhala milik kabilah Daus, dikelilingi
oleh air yang turun dari sebuah gunung.
[3] Perang Yarmuk adalah salah satu peperangan yang
menentukan dalam sejarah, terjadi pada tahun lima belas
Hijriyah, dalam perang ini kaum muslimin unggul atas orang-
orang Romawi secara gemilang.
[4] Untuk mendambah wawasan tentang ath-Thufail bin Amru
ad-Dausi silahkan merujuk:
al-Ishabah, (II/225) atau (at-Tarjamah) (4254); al-Isti’ab (II/225)
di bagian bawah al-Ishabah, (II/230); Usudul Ghabah, (III/54-
55); Shifah ash-Shafwah, (I/245-246);Siyar A’lam an-Nubala’,
(I/248-250); Mukhtashar Tarikh Dimisyq, (VII/59-64); al-Bidayah
wa an-Nihayah, (VI/337); Syuhada’ al-Islam, (138-143); Sirah
Bahal, Muhammad Zaidan, diterbitkan oleh ad-Dar as-Suudiyah
tahun 1386 H.
MANISNYA IMAN (KISAH ABDULLAH BIN HUDZAFAH RADHIYALLAHU ‘ANHU BERSAMA HERAKLIUS)Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang panglima kaum muslimin yang ikut serta dalam pembebasan negeri Syam. Dia diserahi misi penting untuk memerangi penduduk Kaisariah, sebuah kota benteng di wilayah Palestina, tepatnya di tepi Laut Tengah. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu gagal dalam salah satu pertempuran, sehingga akhirnya ia ditangkap oleh tentara Romawi.
Heraklius merasa berkesempatan untuk menyakiti dan menyiksa kaum muslimin. Lalu ia mendatangkan Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu ke hadapannya. Ia ingin menguji seberapa kuat agamanya dan ingin menjauhkannya dari Islam. Heraklius memulai dengan memberikan bujukan dan penawaran. Ia menawarkan kepada Abdullah radhiyallahu ‘anhu beberapa tawaran yang menggiurkan.
Heraklius berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka engkau akan mendapatkan harta yang engkau inginkan.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhumenolak tawaran ini. Kemudian Heraklius menambahkan, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan menikahkanmu dengan putriku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu juga menolak tawaran kedua. Lantas Heraklius berkata lagi, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan merekrutmu menjadi orang penting dalam kerajaanku.” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu pun menolak tawaran ketiga ini.
Heraklius menyadari bahwa ia tengah berhadapan dengan bukan sembarang lelaki. Maka ia pun memberikan penawaran keempat. Ia berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam agama Nasrani, maka saya akan memberikan kepadamu separuh dari kerajaanku dan separuh hartaku.” Lantas Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhumemberikan jawaban yang tegas dan mematikan, “Meskipun kamu memberikan kepadaku semua harta yang kamu miliki dan semua harta yang dimiliki oleh orang Arab, saya
tidak akan kembali meninggalkan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun hanya sekejap mata.”
Setelah Heraklius gagal dalam memberikan penawaran dan bujukan, maka ia menekan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dengan cara memaksa, menyiksa, mengintimidasi, dan mengancamnya. Maka, Heraklius berkata kepadanya, “Kalau demikian, saya akan membunuhmu?” Heraklius tidak menyadari bahwa orang yang tidak tergiur dengan tawaran dan bujukan, tentunya juga tidak akan menyerah menghadapi paksaan dan siksaan. Orang yang menginjak dunia dengan kedua kakinya, tidak akan kikir untuk menyerahkan nyawa untuk menebus agamanya. Ia berkata kepada Heraklius, “Silakan kamu melakukan hal itu.”
Kemudian Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dijebloskan ke dalam penjara dan tidak diberi makan dan minum selama tiga hari. Setelah itu ia disuguhi arak dan daging babi agar ia memakannya. Akan tetapi, Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak mencicipinya. Akhirnya sampai berhari-hari ia tidak menyentuh makanan dan minuman sehingga ia hampir mati. Kemudian Heraklius mengeluarkannya dan bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu enggan minum arak dan makan daging babi padahal engkau dalam kondisi terpaksa dan kelaparan?” Ia menjawab, “Ketahuilah! Kondisi darurat memang telah menjadikan hal tersebut halal bagi saya dan tidak ada keharaman bagi saya memakannya. Akan tetapi, saya lebih memilih untuk tidak memakannya, sehingga saya tidak memberikan kesempatan kepadamu untuk bersorak melihat kemalangan Islam.”
Kemudian Heraklius memerintahkan kepada anak buahnya agar mereka menyalib Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengikatnya pada kayu. Para pemanah siap-siap melesakkan anak panah dari posisi yang dekat darinya. Ia pun tetap bertahan. Heraklius masih menawarkan agar ia memeluk agama Nasrani, tetapi ia tetap menolak. Kemudian ia diturunkan. Heraklius memerintahkan agar disiapkan air di dalam kuali besar dan dinyalakan api di bawahnya. Ketika air di dalam kuali telah mendidih, didatangkanlah seorang tawanan muslim, lalu ia diceburkan ke dalamnya, maka dagingnya pun meleleh sehingga tinggal tulang kerangka. Kemudian tawanan muslim yang kedua diceburkan di dalamnya sedangkan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu melihatnya.
Kemudian Heraklius memerintahkan agar Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhudilemparkan ke dalam air mendidih. Ketika mereka memegang Ibnu Hudzafahradhiyallahu ‘anhu untuk dilemparkan ke dalam air mendidih, maka ia menangis. Lantas dilaporkan kepada Heraklius bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhumenangis. Heraklius mengira bahwa Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menangis karena ia takut mati serta menunjukkan bahwa ia mundur dari posisinya dan membatalkan ketetapan hatinya dan ia akan mengabulkan keinginan Heraklius. Lantas
Heraklius memanggilnya dan memberi tawaran kepadanya agar ia memeluk agama Nasrani. Ia pun tetap menolaknya. Lalu Heraklus bertanya kepadanya, “Kalau demikian mengapa engkau menangis?” Lalu ia memberikan jawaban yang menakjubkan, benar-benar melemahkan, dan menetapkan kegagalan dan kekalahan Heraklius, “Saya menangis karena saya hanya memiliki jiwa sebanyak rambut saya, pastilah saya korbankan untuk menebus agamaku. Sehingga, semuanya mati di jalan Allah.” Akhirnya Heraklius mengakui kekalahannya di hadapan Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Kekalahannya yaitu bahwa ia memiliki harta, pangkat, kekuatan, dan dunia berhadapan dengan seseorang muslim yang tidak bersenjata dan tidak menyandang apa-apa. Lantas ia memberikan tawaran terakhir sebagai bentuk kekalahan.
Demi menjaga martabatnya, Heraklius berkata, “Hai Ibnu Hudzafah! Maukah kamu mengecup kepalaku? Saya akan membebaskanmu dan melepaskanmu?” Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Baiklah, dengan syarat engkau harus melepaskan semua tawanan kaum muslimin yang berada di dalam penjara kalian saat itu ada lebih dari 300 tawanan.” Lantas Umar radhiyallahu ‘anhu berdiri menghampiri Ibnu Hudzafah radhiyallahu ‘anhu dan mengecup kepalanya, lalu para sahabat lainnya mengikutinya.
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
Artikel www.KisahMuslim.com
Kisah Sahabat Nabi: Abu Ayub Al-Anshari, Pahlawan Perang Konstantinopel
REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, unta
yang beliau tunggangi bersimpuh di depan rumah Bani Malik bin Najjar.
Maka beliau pun turun dari atasnya dengan penuh harapan dan
kegembiraan.
Salah seorang Muslim tampil dengan wajah berseri-seri karena
kegembiraan yang membuncah. Ia maju lalu membawa barang muatan
dan memasukkannya, kemudian mempersilakan Rasulullah masuk ke
dalam ruma. Nabi SAW pun mengikuti sang pemilik rumah.
Siapakah orang beruntung yang dipilih sebagai tempat persinggahan
Rasulullah dalam hijrahnya ke Madinah ini, di saat semua penduduk
mengharapkan Nabi mampir dan singgah di rumah-rumah mereka?
Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar.
Pertemuan ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu
utusan Madinah pergi ke Makkah untuk berbaiat dalam baiat Aqabah
Kedua, Abu Ayub Al-Anshari termasuk di antara 70 orang Mukmin yang
mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah serta
menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela.
Dan kini, ketika Rasulullah bermukim di Madinah dan menjadikan kota
itu sebagai pusat agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-
besarnya telah terlimpahkan kepada Abu Ayub, karena rumahnya
dijadikan tempat pertama yang didiami Rasulullah. Beliau akan tinggal di
rumah itu hingga selesainya pembangunan masjid dan bilik beliau di
sampingnya.
Sejak orang-orang Quraisy bermaksud jahat terhadap Islam dan
berencana menyerang Madinah, sejak itu pula Abu Ayub mengalihkan
aktifitasnya dengan berjihad di jalan Allah. Ia turut bertempur dalam
Perang Badar, Uhud dan Khandaq. Pendek kata, hampir di tiap medan
tempur, ia tampil sebagai pahlawan yang siap mengorbankan nyawa
dan harta bendanya.
Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun siang,
dengan suara keras atau perlahan adalah firman Allah
SWT,"Berjuanglah kalian, baik di waktu lapang, maupun waktu
sempit..." (QS At-Taubah: 41).
Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Abu Ayub berdiri di
pihak Ali tanpa sedikit pun keraguan. Dan kala Khalifah Ali bin Abi Thalib
syahid, dan khilafah berpindah kepada Muawiyah, Abu Ayub menyendiri
dalam kezuhudan. Tak ada yang diharapkannya dari dunia selain
tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang dalam barisan
kaum Muslimin.
Demikianlah, ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke
arah Konstantinopel, ia segera memegang kuda dan membawa
pedangnya, memburu syahid yang sejak lama ia dambakan.
Dalam pertempuran inilah ia menderita luka berat. Ketika komandannya
datang menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya
menghadap Ilahi. Maka bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid
bin Muawiyah, "Apakah keinginan anda wahai Abu Ayub?"
Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya
dibawa dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah
musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid
berangkat dengan balatentaranya sepanjang jalan itu, sehingga
terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya, dan
diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan.
Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di
jantung kota Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama
Istanbul, di sanalah terdapat pekuburan laki-laki besar.
Hingga sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi
dan penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu
sebagai orang suci. Dan yang mencengangkan, para ahli sejarah yang
mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata, "Orang-orang Romawi sering
berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan
perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."
Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan
kuda dan gemerincing pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu,
dan kapal telah berlabuh di tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap
Ilahi di tempat yang ia dambakan.
Kisah Sahabat Nabi: Abdullah bin Mas'ud, Pemegang Rahasia Rasulullah
REPUBLIKA.CO.ID, Tak berapa lama setelah memeluk Islam, Abdullah
bin Mas'ud mendatangi Rasulullah dan memohon kepada beliau agar
diterima menjadi pelayan beliau. Rasulullah pun menyetujuinya.
Sejak hari itu, Abdullah bin Mas'ud tinggal di rumah Rasulullah. Dia
beralih pekerjaan dari penggembala domba menjadi pelayan utusan
Allah dan pemimpin umat. Abdullah bin Mas'ud senantiasa mendampingi
Rasulullah bagaikan layang-layang dan benangnya. Dia selalu
menyertai kemana pun beliau pergi.
Dia membangunkan Rasulullah untuk shalat bila beliau tertidur,
menyediakan air untuk mandi, mengambilkan terompah apabila beliau
hendak pergi dan membenahinya apabila beliau pulang. Dia
membawakan tongkat dan siwak Rasulullah, menutupkan pintu kamar
apabila beliau hendak tidur.
Bahkan Rasulullah mengizinkan Abdullah memasuki kamar beliau jika
perlu. Beliau memercayakan kepadanya hal-hal yang rahasia, tanpa
khawatir rahasia tersebut akan terbuka. Karenanya, Abdullah bin Mas'ud
dijuluki orang dengan sebutan "Shahibus Sirri Rasulullah" (pemegang
rahasia Rasulullah).
Abdullah bin Mas'ud dibesarkan dan dididik dengan sempurna dalam
rumah tangga Rasulullah. Karena itu tidak kalau dia menjadi seorang
yang terpelajar, berakhlak tinggi, sesuai dengan karakter dan sifat-sifat
yang dicontohkan Rasulullah kepadanya. Sampai-sampai orang
mengatakan, karakter dan akhlak Abdullah bin Mas'ud paling mirip
dengan akhlak Rasulullah.
Abdullah bin Mas'ud pernah berkata tentang pengetahuannya mengenai
Kitabullah (Al-Qur'an) sebagai berikut, "Demi Allah, yang tiada Tuhan
selain Dia. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an, melainkan aku
tahu di mana dan dalam situasi bagaimana diturunkan. Seandainya ada
orang yang lebih tahu daripada aku, niscaya aku datang belajar
kepadanya."
Abdullah bin Mas'ud tidak berlebihan dengan ucapannya itu. Kisah Umar
bin Al-Khathab berikut memperkuat ucapannya. Pada suatu malam,
Khalifah Umar sedang dalam perjalanan, ia bertemu dengan sebuah
kabilah. Malam sangat gelap bagai tertutup tenda, menutupi pandangan
setiap pengendara. Abdullah bin Mas'ud berada dalam kabilah tersebut.
Khalifah Umar memerintahkan seorang pengawal agar menanyai
kabilah.
"Hai kabilah, dari mana kalian?" teriak pengawal.
"Min fajjil 'amiq (dari lembah nan dalam)," jawab Abdullah.
"Hendak kemana kalian?"
"Ke Baitu Atiq (rumah tua, Ka'bah)," jawab Abdullah.
"Di antara mereka pasti ada orang alim," kata Umar.
Kemudian diperintahkannya pula menanyakan, "Ayat Al-Qur'an
manakah yang paling ampuh?"
Abdullah menjawab, "Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup
kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan
tidak pula tidur..." (QS Al-Baqarah: 255).
"Tanyakan pula kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang lebih
kuat hukumnya?" kata Umar memerintah.
Abdullah menjawab, "Sesungguhnya Allah memerintah kamu berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang kamu dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran."(QS An-Nahl: 9).
"Tanyakan kepada mereka, ayat Al-Qur'an manakah yang mencakup
semuanya!" perintah Umar.
Abdullah menjawab, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan
walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan
barangsiapa mengerjakan kejahatan walaupun sebesar dzarrah, niscaya
dia akan melihat balasannya pula." (QS Al-Zalzalah: 8).
Demikian seterusnya, ketika Umar memerintahkan pengawal untuk
bertanya tentang Al-Qur'an, Abdullah bin Mas'ud langsung
menjawabnya dengan tegas dan tepat. Hingga pada akhirnya Khalifah
Umar bertanya, "Adakah dalam kabilah kalian Abdullah bin Mas'ud?"
Jawab mereka, "Ya, ada!"
Abdullah bin Mas'ud bukan hanya sekedar qari' (ahli baca Al-Qur'an)
terbaik, atau seorang yang sangat alim atau zuhud, namun ia juga
seorang pemberani, kuat dan teliti. Bahkan dia seorang pejuang
(mujahid) terkemuka. Dia tercatat sebagai Muslim pertama yang
mengumandangkan Al-Qur'an dengan suara merdu dan lantang.
Pada suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul di Makkah. Mereka
berkata, "Demi Allah, kaum Quraisy belum pernah mendengar ayat-ayat
Al-Qur'an yang kita baca di hadapan mereka dengan suara keras. Siapa
kira-kira yang dapat membacakannya kepada mereka?"
"Aku sanggup membacakannya kepada mereka dengan suara keras,"
kata Abdullah.
"Tidak, jangan kamu! Kami khawatir kalau kamu membacakannya.
Hendaknya seseorang yang punya keluarga yang dapat membela dan
melindunginya dari penganiayaan kaum Quraisy," jawab mereka.
"Biarlah, aku saja. Allah pasti melindungiku," kata Abdullah tak gentar.
Keesokan harinya, kira-kira waktu Dhuha, ketika kaum Quraisy sedang
duduk-duduk di sekitar Ka'Baha Ad-Daulah. Abdullah bin Mas'ud berdiri
di Maqam Ibrahim, lalu dengan suara lantang dan merdu dibacanya
surah Ar-Rahman ayat 1-4.
Bacaan Abdullah yang merdu dan lantang itu kedengaran oleh kaum
Quraisy di sekitar Ka'bah. Mereka terkesima saat mendengar dan
merenungkan ayat-ayat Allah yang dibaca Abdullah. Kemudian mereka
bertanya, "Apakah yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin
Mas'ud)?"
"Sialan, dia membaca ayat-ayat yang dibawa Muhammad!" kata mereka
begitu tersadar. Lalu mereka berdiri serentak dan memukuli Abdullah.
Namun Abdullah bin Mas'ud meneruskan bacaannya hingga akhir surah.
Ia lalu pulang menemui para sahabat dengan muka babak belur dan
berdarah.
"Inilah yang kami khawatirkan terhadapmu," kata mereka.
"Demi Allah, kata Abdullah, "Bahkan sekarang musuh-musuh Allah itu
semakin kecil di mataku. Jika kalian menghendaki, besok pagi aku akan
baca lagi di hadapan mereka."
Abdullah bin Mas'ud hidup hingga masa Khalifah Utsman bin Affan
memerintah. Ketika ia hampir meninggal dunia, Khalifah Utsman datang
menjenguknya. "Sakit apakah yang kau rasakan, wahai Abdullah?"
tanya khalifah.
"Dosa-dosaku," jawab Abdullah.
"Apa yang kau inginkan?"
"Rahmat Tuhanku."
"Tidakkah kau ingin supaya kusuruh orang membawa gaji-gajimu yang
tidak pernah kau ambil selama beberapa tahun?" tanya Khalifah.
"Aku tidak membutuhkannya," kata Abdullah.
"Bukankah kau mempunyai anak-anak yang harus hidup layak
sepeninggalmu?" tanya Utsman.
"Aku tidak khawatir, jawab Abdullah, "Aku menyuruh mereka membaca
surah Al-Waqi'ah setiap malam. Karena aku mendengar Rasulullah
bersabda, "Barangsiapa yang membaca surah Al-Waqi'ah setiap malam,
dia tidak akan ditimpa kemiskinan selama-lamanya!"
Pada suatu malam yang hening, Abdullah bin Mas'ud pun berangkat
menghadap Tuhannya dengan tenang.
Kisah Sahabat Nabi: Amr bin Jamuh, Menggapai Surga dengan Kaki PincangREPUBLIKA.CO.ID, Amr bin Jamuh adalah salah seorang pemimpin Yatsrib pada masa jahiliyah. Dia ipar Abdull bin Amr bin Haram, juga kepala suku Bani Salamah yang dihormati yang dihormati karena pemurah dan memiliki peri kemanusiaan yang tinggi serta gemar menolong orang-orang yang membutuhkan
Telah menjadi kebiasaan para bangsawan jahiliyah untuk menempatkan patung di rumah mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka bisa mengambil berkah dan dan memuja patung tersebut setiap saat. Selain itu, untuk memudahkan mereka meletakkan sesajen sembari mengadukan keluhan-keluhan mereka pada waktu yang diperlukan.
Patung di rumah Amr bin Jamuh bernama “Manat”. Patung itu terbuat dari kayu, indah dan mahal harganya. Untuk perawatannya, Amr bin Jamuh terkadang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hampir setiap hari patung itu dibersihkan dan diminyaki dengan wangi-wangian khusus dan mahal.
Tatkala cahaya Islam mulai bersinar di Yatsrib dari rumah ke rumah, usia Amr bin Jamuh sudah lewat 60 tahun. Tiga orang putranya: Mu’awadz, Mu’adz dan Khalad, serta seorang kawan sebaya mereka, Mu’adz bin Jabal, telah masuk Islam di tangan Mush‘ab bin Umair, sang duta Islam. Bersamaan dengan ketiga putranya, masuk Islam pula ibu mereka Hindun, istri Amr bin Jamuh. Amr tidak mengetahui kalau mereka telah masuk Islam.
Saat itu, para bangsawan dan pemuka suku di Yatsrib (Madinah) telah banyak yang masuk Islam. Hindun yang sangat mencintai dan menghormati suaminya khawatir kalau suaminya mati dalam keadaan kafir lalu masuk neraka. Sebaliknya Amr sangat mencemaskan keluarganya yang akan meninggalkan agama nenek moyang mereka. Dia takut putra-putranya terpengaruh oleh dakwah yang disebarkan oleh Mush’ab bin Umair. Karena dalam tempo singkat Mush’ab berhasil merubah agama orang banyak dan menjadikan mereka Muslim.
Oleh sebab itu, Amr selalu berkata kepada istrinya, “Hai Hindun, hati-hatilah menjaga anak-anak, agar mereka jangan sampai bertemu
dengan orang itu (Mush ‘ab bin ‘Umair)!”
“Ya," jawab istrinya. "Tapi apakah kau pernah mendengar putra kita bercerita mengenai pemuda itu?”
“Celaka! Apakah Mu’adz telah masuk agama orang itu?" tanya Amr gusar.
“Tidak, bukan begitu! Tetapi Mu’adz pernah hadir dalam majelis orang itu, dia ingat kata-katanya,” jawab istrinya menenteramkan hati Amr.
"Panggillah dia kemari!” perintah suaminya.
Ketika Mu’adz hadir di hadapan ayahnya, Amr berkata, “Coba baca kata-kata yang pernah diucapkan orang itu. Bapak ingin mendengarkannya."
Mu’adz membacakan surat Al-Fatihah kepada bapaknya.
“Alangkah bagus dan indahnya kalimat itu. Apakah setiap ucapannya seperti itu?” tanya Amr.
“Bahkan lebih bagus dari itu. Bersediakah ayah baiat dengannya? Rakyat ayah telah banyak yang baiat dengan dia,” kata Mu’adz.
Orang tua itu diam sebentar. Kemudian dia berkata, “Aku tidak akan melakukannya sebelum musyawarah lebih dahulu dengan Manat. Aku menunggu apa yang dikatakan Manat.”
“Bagaimana Manat bisa menjawab? Bukankah itu benda mati, tidak bisa berpikir dan tidak bisa berbicara?” kata Mu’adz.
“Kukatakan padamu, aku tidak akan mengambil keputusan tanpa dia!” tegas Amr.
Putra-putranya mengetahui benar kapan ayah mereka menyembah berhala itu. Mereka juga tahu kalau hati ayah mereka mulai goyah. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan bagaimana cara menghilangkan patung tersebut dari hati Amr bin Jamuh. Salah satu jalannya adalah menyingkirkan berhala tersebut dari rumah mereka dan membuangnya jauh-jauh.
Pada suatu malam, putra-putra Amr dan bersama Mu’adz bin Jabal
menyusup ke dalam rumah lalu mengambil berhala tersebut dan membuangnya ke dalam lubang kotoran manusia. Tidak seorang pun yang mengetahui dan melihat perbuatan mereka itu.
Pagi harinya, Amr tidak melihat Manat di tempatnya. Ia bergegas mencari berhala tersebut dan akhirnya menemukan di tempat pembuangan kotoran. Bukan main marahnya Amr bin Jamuh melihat kondisi sesembahannya itu. Setelah membersihkan sang berhala dan memberinya wewangian, ia kembali meletakkannya di tempat semula.
Malam berikutnya, Muadz bin Jabal dan putra-putra Amr memperlakukan berhala itu seperti sebelumnya. Demikian juga pada malam-malam berikutnya. Akhirnya, habislah kesabaran Amr. Diambilnya pedang, kemudian digantungkannya di leher Manat, seraya berkata, " Hai Manat, jika kamu memang hebat, tentu bisa menjaga dirimu dari aniaya orang lain!"
Keesokan harinya, Amr bin Jamuh tidak menemukan berhalanya kembali. Ketika ia cari, benda tersebut ditemukannya di tempat pembuangan hajat, terikat bersama bangkai seekor anjing. Di saat ia keheranan, marah dan kecewa, muncullah beberapa pemuka Madinah yang telah masuk Islam. Sambil menunjuk berhala yang terikat dengan bangkai anjing itu, mereka berusaha mengetuk hati Amr bin Jamuh agar menggapai hidayah Allah.
Akhirnya ia sadar, bahwa Manat tak dapat berbuat apa-apa. Manat ternyata tak mempunyai sifat ketuhanan sedikit pun. Selama ini, ia berpikir bahwa kekayaan yang ia miliki itu datang dari Manat. Sekarang ia sadar, bahwa Manat bukanlah Tuhan yang dapat memberinya rezeki dan petunjuk.
Ia kemudian membersihkan badan dan pakaiannya, memakai wewangian, lalu bergegas menemui Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan keislamannya. Amr bin Jamuh merasakan bagaimana manisnya iman. Dia sangat menyesali dosa-dosanya selama dalam kemusyrikan. Maka setelah masuk Islam, ia mengarahkan seluruh hidupnya, hartanya, dan anak-anaknya dalam menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.
Tatkala terjadi Perang Badar, Amr bin Jamuh bersiap-siap hendak turut bergabung, namun sayang Rasulullah tak mengizinkannya turut serta—melihat kondisinya yang renta dan pincang. Beliau memberikan keringanan padanya untuk tidak ikut berperang.
Namun ketika terjadi Perang Uhud, ia pun bersiap-siap hendak turut berjihad. Namun putra-putranya melarang. Ia pun nekat menemui Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, putra-putraku melarangku berbuat kebajikan. Mereka keberatan jika aku ikut berperang karena sudah tua dan pincang. Demi Allah, dengan pincangku ini, aku bertekad meraih surga."
Rasulullah pun akhirnya mengizinkan Amr bin Jamuh turut serta dalam Perang Uhud. Dengan suara mengiba ia memohon kepada Allah SWT, "Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk memperoleh syahid. Jangan kembalikan aku kepada keluargaku."
Tatkala perang berkecamuk, kaum Muslimin berpencar. Amr bin Jamuh berada di barisan paling depan. Dia melompat dan berjingkat seraya mengelebatkan pedangnya ke arah musuh-musuh Allah, sambil berteriak, "Aku ingin surga, aku ingin surga!"
Apa yang didambakan Amr akhirnya terwujud jua. Ia gugur sebagai syahid bersama beberapa sahabat lainnya. Tatkala perang berakhir, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memakamkan jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr bin Jamuh dalam satu liang lahat. Semasa hidup, mereka berdua adalah sahabat setia yang saling menyayangi. Dalam riwayat lain disebutkan, Amr bin Jamuh dimakamkan satu liang dengan putranya, Khalad bin Amr.
Setelah 46 tahun berlalu, tanah pemakaman itu dilanda banjir. Kaum Muslimin terpaksa memindahkan jasad para syuhada. Kala itu, Jabir bin Abdullah bin Haram—putra Abdullah bin Amr bin Haram—masih hidup. Bersama keluarganya, ia memindahkan jasad ayahnya, Abdullah bin Haram dan Amr bin Jamuh. Mereka mendapatkan kedua jasad syuhada itu tetap utuh. Tak sedikit pun dari tubuh mereka yang dimakan tanah. Bahkan keduanya seperti tertidur nyenyak dengan bibir menyunggingkan senyum.
Abdullah bin JahsyAbdullah bin Jahsy r.a adalah anak kepada ibu saudara
Rasulullah SAW, Umamah binti Abdul Mutallib dan juga ipar
kepada Rasulullah SAW kerana Rasulullah SAW mengahwini
saudara perempuannya Zainab binti Jahsy r.a. Silsilah keturunan
Abdullah bin Jahsy
Abdullah bin Jahsy r.a termasuk dikalangan 40 orang pertama
yang memeluk Islam (al-Sabiqun al-Awwalun).
Penghijrahan Abdullah bin Jahsy ke Madinah
Ketika Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat untuk
berhijrah ke Madinah, Abdullah bin Jahsy adalah orang kedua
berhijrah selepas Abu Salamah r.a. Penghijrahan ini bukanlah
sesuatu yang baru bagi beliau kerana beliau telah terlibat
dalam hijrah ke Habsyah sebelum ini, cuma penghijrahan kali
ini disertai isteri dan anak.
Berikutan daripada hijrah beliau ke Madinah, harta-harta
peninggalan dan kekayaan Abdullah bin Jahsy telah di rampas
oleh Abu Jahal. Peristiwa ini berlaku apabile para pembesar
Quraisy yang mengadakan rondaan bagi memeriksa sudut-
sudut kota Mekah mendatangi perkampunang Bani Jahsy, iaitu
setelah Abdullah bin Jahsy meninggalkan kota Mekah.
Pemimpin meraka, Abu Jahal yang mendapati rumah Abdullah
bin Jahsy tidak berpenghuni dan dipenuhi harta kekayaan, telah
mengambil seluruh harta itu. Perkara ini kemudiannya sampai
ke pengatahuan Abdullah bin Jahsy dan beliau mengadu
kepada Rasulullah SAW.
Rasulullah telah menjawab: “Allah akan menggantikannya
dengan rumah yang paling baik di Syurga”
Abdullah bin Jahsy sebagai Amirul Mukminin
Untuk membentuk pasukan tentera Islam, Rasulullah SAW telah
memilih 8 orang yang dipandangnya mampu berperang
termasuk Abdullah bin Jahsy dan Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.
Dalam pasukan ini, Abdullah bin Jahsy telah terpilih sebagai
ketua dan telah diserahkan bendera Islam pertama kepadanya.
Bendera ini telah diikat pada tongkat Rasullulah SAW. Abdullah
bin Jahsy telah digelar Amirul Mukminin kerana peristiwa ini.
Setelah dilantik sebagai amir, beliau telah diperintahkan oleh
Rasulullah SAW untuk merisik dan mengintip musuh. Rasulullah
telah memberi Surat Perintah kepada beliau dan melarang
beliau membuka surat itu melainkan sesudah dua hari
perjalanan. Oleh itu sesudah dua hari perjalanan, beliau telah
membuka surat itu dan membacanya:
“ Bila kamu membaca surat ini, teruskanlah perjalananmu ke
arah Mekah. Berhentilah diantara Taif dan Mekah. Amatilah
gerak-geri kaun Quraisy dan segera laporkan kepadaku.”
Sesuai dengan arahan Rasulullah SAW, Abdullah bin Jahsy r.a
meneruskan perjalanannya dan tiba di Nakhlah. Di tempat
tersebut mereka mempersiapkan pos perisikan dan ketika
mereka bersiap-siap, tiba-tiba dari jarak yang agak jauh
mereka terlihat sekumpulan kabilah Quraisy terdiri daripada
Amr bin Hadhramy, Hakam bin Kaysan, Utsman bin Abdullah
dan al-Mughirah bin Abdullah. Mereka membawa dagangan
seperti kulit, anggur dan sebagainya. Abdullah bin Jahsy telah
bermesyuarat dengan pasukannya untuk menyerang atau
membiarkan kabilah Quraisy itu. Di saat akhir bulan Haram, jika
mereka melakukan penyerangan, bererti melanggar
kehormatan bulan itu serta akan mendatangkan kemarahan
bangsa Arab. Akan tetapi jika kabilah itu dibiarkan lalu, mereka
akan masuk ke tanah Haram (Mekah) iaitu bererti membiarkan
mereka masuk ke tempat aman.
Akhirnya mereka memutuskan menyerang dah merampas
harta kabilah itu. Seorang anggota rombongan tewas, dua
ditawan dan seorang lagi berjaya melarikan diri. Tibanya di
Madinah, harta rampasan dan tawanan dibawa dihadapan
Rasulullah SAW. Abdullah bin Jahsy dan pasukan telah dimarahi
kerana bertindak diluar arahan dan perintah Rasulullah SAW.
Baginda telah menangguhkan keputusan mengenai hukuman
harta rampasan dan dua tawanan perang sementara
menunggu keputusan dari Allah. Abdullah bin Jahsy dan
pasukan telah digantung kerja. Mereka jelas bersalah kerana
melanggar perintah Rasulullah SAW. Kaum muslimin mencela
mereka sehingga mereka terase dipulaukan. Penyesalan dan
kesedihan menjadi lebih teruk apabila mereka mengetahui
kaum Quraisy menggunakan peluang ini untuk menekan
Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Mereka menyebarkan
berita dikalangan kabilah-kabilah Arab, bahawa kaum Muslimin
telah menghalalkan pertumpahan darah dan perampasan harta
dibulan Haram.
Abdullah bin Jahsy menganggung beban mental yang sangat
hebat. Walaubagaimanapun, beliau tetap terus beristigfar dan
memohan ampun kepada Allah SWT sehingga turunnya Al-
Baqarah ayat 217 membawa berita gembira. Turunnya ayat
ini telah menenangkan hati Rasulullah SAW. Harta rampasan
diberike Baitul Man dan kedua tawanan dibebaskan. Harta
rampasan ini adalah harta rampasan pertama umat Islam dan
musuh yang dibunuh adalah musyrik pertama yang tertumpah
darahnya di tangan kaum Muslimin. Bendara pasukan mereka
juga, bendara pertama yang diikat oleh Rasulullah.
Syahidnya Abdullah bin Jahsy
Abdullah bin Jahsy adalah antara sahabat yang syahid dalam
perang Uhud. Di dalam perang ini Abdullah bin Jahsy dan Saad
bin Waqqash r.a telah berdoa di sebuah tempat yang agak
terpencil.
Doa Saad bin Waqqash r.a:
“Ya Allah, pertemukanlah aku dengan musuh yang paling buas
dan jahat. Aku akan melawannya dan berilah aku kemenangan”
Abdullah bin Jahsy mengaminkan doa seraya menambah:
“Ya Allah, pertemukanlah aku dengan musuh yang jahat dan
buas. Aku akan melawannya dan aku tewas ditangannya. Dia
kemudian memotong hidung dan telingaku”
Ketika perang Uhud berakhir, ternyata Allah memakbulkan
doanya. Para sahabat menemukan jasadnya tewas sepertimana
doanya. Hidung dan telinganya buntung dan tubuhnya
digantung dengan seutas tali. Allah SWT memuliakan nya
dengan pahala syahid bersama Hamzah bin Abdul Muttalib r.a.
Keduanya tewas dan dimakamkan didalam satu kubur. Air mata
Rasulullah telah membasahi kubur mereka menambah
harumnya darah syahid yang melumuri jasab mereka. Semoga
mereka dirahmati. Amin.
ABU UBAIDAH BIN JARRAH RA. - PEMEGANG AMANAT UMAT DAN RASULULLAHAbu Ubaidah Bin Jarrah ra. - Pemegang Amanat Umat Dan Rasulullah
Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya, "Setiap umat mempunyai sumber
kepercayaan, sumber kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah." Itulah
penghargaan bintang mahaputra yang diterima oleh Abu Ubaidah dari Rasulullah saw.
Penghargaan yang tidak diberikan Rasulullah kepada sahabat yang lainnya. Tapi ini bukan
berarti, bahwa Rasulullah saw tidak percaya kepada sahabat yang lainnya. Memang kalau
dilihat dari kenyataan yang ada Abu Ubaidah layak mendapatkan gelar seperti itu. Sekalipun
ia tidak mengharapkannya. Dari sosok tubuhnya yang tinggi, kurus tapi bersih, tampak disana
tersimpan sifat-sifat mulia yang tidak dimiliki orang lain. Jujur, tawadu', pemalu itulah
diantara sifat yang paling menonjol dari Abu 'Ubaidah bin Jarrah r.a. Muhammad bin Ja'far
pernah bercerita, suatu ketika datang rombongan Nasrani Najran menemui Rasulullah saw.
"Ya Abalqasim," kata utusan itu, "Datangkanlah utusanmu ke negeri kami untuk
menyelesaikan permasalahan yang sedang kami hadapi. Kami betul-betul ridha dan yakin
terhadap kaum muslimin." Rasulullah menyanggupinya dan menjanjikan kepada mereka
seraya berkata, "Esok hari aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar
terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya." Rasululah menyebut "amin"
(terpercaya) sampai diulanginya tiga kali.
Tak lama kemudian beritapun tersebar ditengah-tengah para sahabat ra. Masing-masing ingin
ditunjuk oleh Rasulullah saw menjadi utusan.
Umar ra mengungkapkan, "Aku benar-benar mengharap agar aku ditunjuk Rasulullah saw
untuk menduduki jabatan itu. Aku sengaja mengangkat kepalaku agar beliau bisa melihatku
dan mengutusku untuk menduduki jabatan yang diamanatkannya. Rasul masih tetap mencari
seseorang, sehingga beliau melihat Abu Ubaidah dan berkata, "Wahai Abu Ubaidah, pergilah
engkau bersama-sama dengan penduduk Najran. Jalankan hukum-hukum dengan penuh
kebenaran terhadap segala apa yang mereka perselisihkan." Itulah mulianya ahklak Abu
Ubaidah bin Jarrah.
Masuk kedalam shaff da'wah Islamiyah.
Setelah Abu Bakar masuk Islam, dia senantiasa mengajak kawan-kawan dekatnya untuk
mengikuti jejaknya. Keislaman beliau adalah atas ajakan Abu Bakar. Suatu ketika ia sadar
dan memahami apa yang dimaksudkan Abu Bakar terhadap dirinya. Akhirnya dia berangkat
bersama Abdurrahman bin 'Auf, Ustman bin Maz'un dan Arqam bin Abi Arqam untuk
menemui Rasulullah saw. Di depan Rasulullah saw mereka sama-sama mengucapkan kalimat
syahadah.
Pengorbanan
Setelah masuknya Abu Ubaidah dalam Islam. Ia sadar betul bahwa seluruh apa yang dia
miliki harus sepenuhnya diberikan untuk Islam. Bukan setengah atau pun sebahagiannya.
Harta, tenaga dan raga beliau persembahkan untuk Islam. Kalau Islam meminta hartanya
akan dia infakkan, kalau tenaganya yang dibutuhkan, akan diberikan, bahkan kalaupun nyawa
yang akan di minta itupun akan dikorbankan. Dia adalah seorang pemuda yang gagah berani
yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya dan sulit sekali untuk di kalahkan.
Setiap musuh mendekatinya pasti lehernya dipenggal. Itulah keistimewaan sahabat yang satu
ini, hasil dari binaan madrasah Rasulullah saw. Ini bisa terlihat di dalam perjuangannya
membela Islam. Dimana saat terjadinya perang Badar, Abu Ubaidah tampil kedepan,
memerangi tentara musyrikin. Tatkala Abu Ubaidah lagi berhadapan dengan musuh, tiba-tiba
ia dikejutkan oleh seorang lelaki yang mengasuhnya sejak kecil. Ayah kandungnya yang
masih musyrik. Sebelumnya dia sudah berusaha agar jangan ketemu bapaknya ditengah-
tengah kancah peperangan.
Tapi apa hendak dikata, peperangan saat itu bukanlah peperangan antara Qabilah atau
peperangan yang hanya untuk mempertahankan status quo. Akan tetapi adalah peperangan
antara hizbullah(tentara Allah) dengan hizb syaithan (tentara musuh), peperangan antara yang
haq dengan bathil, yang tidak mungkin disatukan selamamatahari masih terbit dari sebelah
timur. Akhirnya? dengan keimanan yang menyala-nyala terjadilah perlawanan antara sang
anak dengan ayah, yang berakhir dengan gugurnya ayah kandung di depan matanya sendiri.
Setelah peristiwa tersebut Allah menurunkan firmannya:
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.
Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya
mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan
Allah itulah golongan yang beruntung." (QS Al Mujadilah: 22).
Itulah Abu Ubaidah bin Jarrah, yang betul-betul menyerahkan hidup beliau sepenuhnya untuk
Islam. Dia tidak menghiraukan sanak famili ataupun kaum kerabat, kalau Islam yang
berbicara tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang bathil tidak mungkin didirikan diatas yang haq
ataupun sebalikn
Di saat peperangan lagi berkecamuk, Rasulullah saw sempat terjatuh sehingga gigi depannya
retak, keningnya luka, pipinya kena dua mata rantai perisai. Melihat keadaan seperti itu, Abu
Bakar kasihan dan ingin mencabutnya, tapi ia dicegah Abu Ubaidah bin Jarrah. "Biarkan itu
bagian saya," pintanya. Abu Ubaidah tahu kalau ini di cabut dengan tangan Rasulullah pasti
kesakitan, akhirnya dia mencoba mencabutnya dengan gigi depannya. Disaat mata rantai
pertama tercabut, giginya masih utuh dan kuat, namun ketika mencabut mata rantai kedua
giginya pun ikut tercabut juga. Subhanallah. Saat itu Abu Bakar berkata, "Sebaik-baik gigi
yang terputus, itulah gigi Abu Ubaidah bin Jarrah."
Perjuangan
Jabir bin Abdullah pernah bercerita, "Suatu ketika Rasullah saw.mengutus kami dalam suatu
peperangan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Kami hanya dibekali sekarung
korma untuk tiga ratus orang. Padahal perjalanan sungguh jauh dan melewati padang pasir
yang luas dan tandus. Di tengah-tengah perjalanan, disaat tentara sudah mulai lapar, Abu
Ubaidah membagi-bagikan makanan untuk satu orang satu genggam korma. Namun disaat
bekal sudah mulai habis Abu Ubaidah membagi-baginya dengan satu korma untuk satu
orang.
Korma yang satu itulah diisap-isap airnya sehingga menambah semangat kami dalam
melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian bekalpun habis, badan terasa letih, capek dan
lapar. Namun perjalanan masih jauh. Akhirnya kamipun memilih jalan dekat pantai. Tiba-tiba
disaat kami betul-betul lapar, kami memperdapati ikan besar yang sudah mati, mula-mula
Abu Ubaidah melarang kami untuk memakannya. Akan tetapi, karena keadaan sudah
memaksa akhirnya kamipun memakannya, setelah itu kami melanjutkan perjalanan."
Perjuangan Abu Ubaidah bin Jarrah nampak juga kita lihat dari perkataan Umar bin Khattab.
Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat,
"Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian." Salah seorang dari mereka mengacungkan
tangan dan berkata, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan
saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah."
Umarpun mengulangi pertanyaannya, "Apa masih ada yang lebih baik dari itu?", lantas
sahabat yang lainpun menjawab, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini dipenuhi
dengan intan, emas dan permata, niscaya akan saya infakkan seluruhnya untuk Allah." Umar
bin Khattab kembali bertanya dengan lafadh yang sama. Merekapun serentak menjawab,
"Wahai Amirulmukminin kami tidak tahu lagi apa yang terbaik dari itu." Umar bin Khathab
kemudian menjelaskan, "Cita-cita yang terbaik adalah, seandainya ruangan ini Allah penuhi
dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah bin Jarrah yang jujur, adil dan bijaksana."
Menjelang wafatnya, Khalifah Umar pernah berkata, "Kalau Abu Ubaidah masih hidup maka
aku akan menunjuknya sebagai khalifah penggantiku. Dan bila kelak Allah swt bertanya
tentang apa sebabnya, maka aku akan menjawabnya, 'Aku memilih dia karena dia seorang
pemegang amanat umat dan pemegang amanat Rasulullah.'"
Demikianlah sosok kepribadian sahabat kita yang satu ini. Ia tidak pernah mundur dalam
memperjuangkan kesucian Islam. Tenaga, harta, waktu, dan jiwanya ia korbankan demi Islam
dan kejayaan umatnya. Radhiyallahu 'anhu wardhahu.
KISAH SAHABAT: MASUK ISLAMNYA SALMAN AL-FARISI RADHIALLAHU ‘ANHU
KISAH SAHABAT: SALMAN AL-FARISI RADHIALLAHU ‘ANHU
Dari Abdullah bin Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata, “Salman
al-Farisi menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya
sendiri. Dia berkata, ‘Aku seorang lelaki Persia dari Isfahan,
warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh
masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling
disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat
sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku
diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti
seorang budak saja.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi,
sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab
atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari
beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku,
‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak
sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’ Beliau
menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus
diselesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku
melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara
mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti
mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah
saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara
mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu
untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka,
dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata
dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita
anut selama ini.’
Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari
terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku
bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?’
Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah
mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak
mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku
telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja
kamu pergi?
Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan
apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku
lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam
gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum.
Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari
terbenam.’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan
sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu
lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah,
sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’
Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau
merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.
Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus
menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada
rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka
supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para
pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke
negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.
Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka
memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat
kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga
aku tiba di Syiria.
Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang
ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang
tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku
berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini,
dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di
gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang
bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’
Maka akupun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan
menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah
itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan
sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada
orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan
perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia
meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk
mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak,
‘Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai
buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah.
Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya
untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-
orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa
buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku
menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya
itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut
kepada kami.’
Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu.
Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh
berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa
banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah,
selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka
menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya
dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai
penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak
mengerjakan shalat lima waktu (bukan seorang muslim) yang
lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai
akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun
sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku
berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa
waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata
kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu,
dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun
yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal
sebagaimana kamu lihat, telah menghampirimu saat
berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau
wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku
sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti
aku.
Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakatpun
mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya
sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di
Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini,
temuilah ia di sana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui
seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya
si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya
agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau
memiliki keyakinan sebagaimana dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal
bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat
baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun
ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang,
aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan
mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini
taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau
maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak
engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan
kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada
seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang
di Nashibin (kota di Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!’
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di
Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku
menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan
kepadaku.
Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku
mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si
Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama
seseorang yang sangat baik.
Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di
ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si
Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan
mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada
siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan
engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada
seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu
untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria
(kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana
yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya.
Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’
Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi
menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku
kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’
Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya
yang sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki
beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun
berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama
ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku
untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan
aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku
untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan
engkau wasiatkan?dan apa yang akan engkau perintahkan
kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak
mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu
untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu
munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran
nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di
Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan.
Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri
nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan,
dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di
antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika
engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’
Kemudian orang inipun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya,
aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki
Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari
Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para
pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab
dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka
menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada
mereka.
Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka
menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan
seorang Yahudi.
Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-
pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah
sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak
biasa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya
datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku
darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di
Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebutkan si
Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.
Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah
beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar
ceritanya karena kesibukanku sebagai seorang budak.
Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika
aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku
bekerja di perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba
salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian
berkata, ‘Fulan,
Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini
sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang
datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang
itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar
sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian
aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan
majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang
engkau katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku
dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu
menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin
mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal
sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai
akan diutusnya seorang nabi itu.’
Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku
menuju Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, ketika itu beliau
sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata,
‘Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah
seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat
yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit
sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima
sedekahku ini daripada orang lain.’
Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau,
kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda
kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian makan, sementara
beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya.
Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan
sesuatu. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pun berpindah
ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau
sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan
pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah
sebagai penghormatanku kepada engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku
dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka
pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘Inilah tanda
kenabian yang kedua.’
Selanjutnya aku menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang
mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau
mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk
di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada
beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung
beliau, adakah aku akan melihat cincin yang disebutkan Si
Fulan kepadaku.
Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku
sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku
sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang
disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas
kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat
tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah
seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan
memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka
akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku
sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu
Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam ketika mendengar cerita perjalanan
hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah
yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar
dan Uhud. “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam suatu hari
bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas,
wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan
tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan
40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
salllam mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah
bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku
dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada
yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon,
dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku
pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka,
sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku,
‘Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu
untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan
meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan
dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan memberitahukan
perihalku. Kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami
dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah
pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman
yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun
yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih
mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam membawa emas
sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau
bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’
Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah
emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai
Salman!’
Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam, bagaimana
status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja!
Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan
kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa
Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40
uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku
serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada
satu peperangan yang tidak aku ikuti.” [1]
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:
1. Di antara hasil/buah mentaati kedua orang tua adalah
dicintai orang.
2. Masuk penjara, cekal, rantai adalah cara musuh Islam
menghalangi kaum muslimin dalam menegakkan agama
Allah.
3. Jika gigih memperjuangkan keimanan maka urusan dunia
terasa ringan.
4. Berpegang pada keimanan lebih kokoh dari seluruh
rayuan.
5. Hendaknya seorang mukmin senantiasa siap mental
menghadapi segala kemungkinan.
6. Terkadang orang-orang jahat mengenakan
pakaian/menampakkan diri sebagai orang baik-baik.
7. Jalan mencapai ilmu tidak bisa ditempuh melainkan
dengan senantiasa dekat dengan orang yang berilmu.
8. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah
memberikan jalan keluar dari problematika hidupnya.
9. Takaran keimanan seseorang adalah mencintai dan
membenci karena Allah.
10. Di antara akhlak terpuji para nabi adalah mau
mendengarkan seseorang yang sedang berbicara dengan
baik.
11. Seorang pemimpin hendaknya senantiasa memantau
kondisi bawahannya.
12. Diperbolehkan membeli budak dari tawanan perang,
menghadiahkan dan memerdekakannya.
13. Saling tolong menolong adalah gambaran dari wujud
hidup bermasyarakat.
________________
[1] HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabrani dalam al-Kabir (6/222);
Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat, 4/75; al-Baihaqi dalam al-
Kubra, 10/323.
[Sumber: Sittuna Qishshah Rawaha an-Nabi wash Shahabah al-
Kiram, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, edisi bahasa
Indonesia: “61 KISAH PENGANTAR TIDUR Diriwayatkan Secara
Shahih dari Rasulullah dan Para Sahabat”, pent. Pustaka Darul
Haq, Jakarta]