3
Sungguh, saya cukup kesulitan menjelaskan hal itu. Mencari perbedaan kongkrit antara ibu kartini dengan ibu pertiwi, yang secara bahasa -nyata- sama-sama menggunakan kata IBU. Sementara pengertiannya sangat jauh berbeda. Ada banyak kosa kata lain dalam bahasa Indonesia yang juga sulit –bagi saya- dicarikan penjelasannya. Misalnya soal akronim dan singkatan. Bagaimana sebenarnya kaidah dalam bahasa indonesia mengatur? Ada kalanya singkatan itu diambil dari huruf pertama dari setiap katanya. Seperti, SD singkatan dari Sekolah Dasar. Atau BI : Bank Indonesia. Atau BPSNT : Badan Pusat Sejarah dan Nilai Tradisi. Ada kalanya singkatan itu diambil bukan dari satu huruf pertama, melainkan dari sembarang kata yang terdapat pada kata itu. Seperti Bawaslu: Badan Pengawas Pemilu. Sementara PEMILU sendiri juga kata yang sudah disingkat Pemilihan Umum. Semakin hari singkatan itu semakin “keren” saja. Entah sengaja dibuat keren atau tren bahasa sekaranglah yang menuntun menjadi “ke-keren-keren-an”. Contohnya seperti lalin: lalu lintas. Barangkali menyingkat-nyingkat kata itu sudah menjadi candu bagi pengguna bahasa saat ini. Katanya agar lebih efektif. Tapi menurut saya, tidak pula susah menyebut kata itu baik-baik. Menyelesaikan kata itu sebagaimana mestinya. Yang ada kini, biar terlihat keren (mungkin), disingkatlah kata-kata itu. Walau tanpa aturan tertentu. Sembarang(an) saja. Ada pula singkatan dari bahasa asing yang tak jelas penggunaannya, seperti WC yaitu water-closet. Padahal ada padanan kata dalam bahasa Indonesia seperti jamban. Sayangnya kebanyakan masyarakat terbiasa menggunakan WC. Contoh lain seperti (maaf) BH : bustehouder yang jika diterjemahkan menjadi penyangga payudara. Berbeda dengan jamban, yang bahasa Indonesia-nya terkesan lebih baik, untuk BH ini, masyarakat (menurut saya) tidak salah jika memilih menggunakan kata tersebut, daripada versi Indonesianya; kutang.

Sung Guh

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tulisan

Citation preview

Sungguh, saya cukup kesulitan menjelaskan hal itu. Mencari perbedaan kongkrit antara ibu kartini dengan ibu pertiwi, yang secara bahasa -nyata- sama-sama menggunakan kata IBU. Sementara pengertiannya sangat jauh berbeda.

Ada banyak kosa kata lain dalam bahasa Indonesia yang juga sulit bagi saya- dicarikan penjelasannya. Misalnya soal akronim dan singkatan. Bagaimana sebenarnya kaidah dalam bahasa indonesia mengatur?Ada kalanya singkatan itu diambil dari huruf pertama dari setiap katanya. Seperti, SD singkatan dari Sekolah Dasar. Atau BI : Bank Indonesia. Atau BPSNT : Badan Pusat Sejarah dan Nilai Tradisi.

Ada kalanya singkatan itu diambil bukan dari satu huruf pertama, melainkan dari sembarang kata yang terdapat pada kata itu. Seperti Bawaslu: Badan Pengawas Pemilu. Sementara PEMILU sendiri juga kata yang sudah disingkat Pemilihan Umum.

Semakin hari singkatan itu semakin keren saja. Entah sengaja dibuat keren atau tren bahasa sekaranglah yang menuntun menjadi ke-keren-keren-an. Contohnya seperti lalin: lalu lintas.

Barangkali menyingkat-nyingkat kata itu sudah menjadi candu bagi pengguna bahasa saat ini. Katanya agar lebih efektif. Tapi menurut saya, tidak pula susah menyebut kata itu baik-baik. Menyelesaikan kata itu sebagaimana mestinya. Yang ada kini, biar terlihat keren (mungkin), disingkatlah kata-kata itu. Walau tanpa aturan tertentu. Sembarang(an) saja.

Ada pula singkatan dari bahasa asing yang tak jelas penggunaannya, seperti WC yaitu water-closet. Padahal ada padanan kata dalam bahasa Indonesia seperti jamban. Sayangnya kebanyakan masyarakat terbiasa menggunakan WC. Contoh lain seperti (maaf) BH : bustehouder yang jika diterjemahkan menjadi penyangga payudara. Berbeda dengan jamban, yang bahasa Indonesia-nya terkesan lebih baik, untuk BH ini, masyarakat (menurut saya) tidak salah jika memilih menggunakan kata tersebut, daripada versi Indonesianya; kutang.

Singkatan kata itu juga kadang- tidak menghargai. Seperti singkatan MITA untuk Minyak Tanah. Apa alasannya coba? Padahal ada banyak orang bernama demikian bukan? Judul media pun kadang main-main dengan kata ini, seperti Mita kembali bergejolak, atau Taslim: Tindak Penyelundup Mita, atau Mita langka, harga pun melambung di Dharmasraya. Aih! Risih dengan judul berita usil seperti itu -kalau tidak akan disebut kreatif-. Hahaha.

Nah, baru-baru ini saya dengar di media istilah baru lagi, Sprindik. Kata yang cukup sulit mengejanya, sama seperti spritus. Sprindik adalah Surat perintah penyidikan. Kenapa bukan SPP saja? Bukankah ada banyak kata lain yang juga merupakan singkatan yang sama, tapi kepanjangannya berbeda. Kita bisa mengetahui maknanya dari konteks pembicaraan kata tersebut. Seperti LPM. Ada banyak LPM. Lembaga Pengabdian Masyarakat, atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, atau juga Lembaga Pers Mahasiswa. Mudah saja bukan?

Kita tentu berbangga dengan keragaman bahasa yang dimiliki bangsa ini. Semakin hari semakin bertambah istilah yang muncul lewat media. Namun ada kekhawatiran, jika tidak ada aturan yang jelas tentang akronim dan singkatan itu.

Barangkali jika para pakar bahasa dan pemerhati bahasa terus mengikuti perkembangan itu, akan kesulitan meng-input (Bahasa Indonesianya: memasukkan) kosa kata baru tanpa aturan itu ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Atau, semua kata yang semakin begaram tak beraturan ini tak perlu saja dikumpulkan dalam KBBI? (eh? akhirnya, saya pakai singkatan juga nih!)

Dan, seperti itulah fenomena bahasa kita sehari-hari. Ini baru satu soal akronim dan singkatan saja, belum lagi jika kita komentari tentang bahasa alay, lebay, dan gaul anak muda sekarang. (ceileee, berasa tua aja! :D) Akan semakin membingungkan. Saya juga. Selamat ber-bingung-bingung-lah kalau begitu.

Pekerja kantoran, yang menghabiskan banyak waktu sambil duduk di depan komputer, stamina dan daya tahan tubuhnya pasti akan menurun. Penurunan kondisi kesehatan tersebut dapat memberi dampak negatif terhadap produktivitas kerja mereka dari waktu ke waktu. Namun, hal ini dapat ditanggulangi dengan makan siang di meja kerja, sebagaimana ditemukan dalam sebuah studi.Meskipun isi kedua kalimat itu sama saja, namun kita dapat membandingkan mana yang lebih nyaman kita baca dan lebih mudah kita pahami isinya. Bahkan, hampir bisa dikatakan bahwa kalimat kedua di atas adalah kalimat yang ditulis ulang dari kalimat pertama, bukan sekedar diedit.Maka, yang mengolok-olok gaya bahasa dan istilah-istilah ajaib yang digunakan oleh Vicky mungkin sebaiknya lebih berhati-hati. Jangan-jangan yang sedang kita olok-olok itu adalah diri kita sendiri.Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiridemikian kata pepatah lama kita.