17
Suku Bugis Oleh Abellia Anggi Wardani 0706164744 Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bugis merupakan salah satu suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan. Orang Bugis mendiami kabupaten BuluKumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sindenreng-Rappang, Polewali-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros. Daerah Pangkajene dan Maros merupakan daerah per-alihan yang juga didiami oleh anggota suku bangsa Makassar. Suku bangsa Makassar erat sering dikaitkan dengan suku bangsa Bugis, sehingga sering ditemukan istilah Bugis- Makassar. Namun, antara suku bangsa Bugis dan Makassar, sebenarnya merupakan dua kelompok etnik yang berbeda dengan variasi budaya masing-masing. Bahasa : Orang Bugis mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Bugis. Bahasa Bugis masih merupakan keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Ada beberapa dialek yang masih dipakai yaitu dialek Luwu, Wajo, Palakka, Enna, Soppeng, Sindereng, Pare-pare, Sawitto, Telumpanuae, dan Ugi. Selain itu, orang Bugis juga memiliki aksara sendiri, yaitu aksara lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Jenis-jenis Lontara antara lain :

Suku Bugis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Suku Bugis

Suku Bugis

Oleh Abellia Anggi Wardani 0706164744

Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia

Bugis merupakan salah satu suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan. Orang

Bugis mendiami kabupaten BuluKumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sindenreng-Rappang,

Polewali-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros. Daerah Pangkajene dan

Maros merupakan daerah per-alihan yang juga didiami oleh anggota suku bangsa Makassar.

Suku bangsa Makassar erat sering dikaitkan dengan suku bangsa Bugis, sehingga

sering ditemukan istilah Bugis-Makassar. Namun, antara suku bangsa Bugis dan Makassar,

sebenarnya merupakan dua kelompok etnik yang berbeda dengan variasi budaya masing-

masing.

Bahasa :

Orang Bugis mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Bugis. Bahasa Bugis masih

merupakan keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Ada beberapa dialek yang masih

dipakai yaitu dialek Luwu, Wajo, Palakka, Enna, Soppeng, Sindereng, Pare-pare, Sawitto,

Telumpanuae, dan Ugi. Selain itu, orang Bugis juga memiliki aksara sendiri, yaitu aksara

lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Jenis-jenis Lontara antara lain :

1. Paseng, kumpulan amanat keluarga atau orang-orang bijaksana yang diucapkan atau

dihafal.

2. Attoriolong, kumpulan catatan-catatan mengenai asal-usul turun-temurun raja-raja

atau keluarga tertentu.

3. Pau-pau ri kadong, cerita rakyat yang mengandung sifat-sifat legendaris.

4. Pau-pau atu talo’, cerita rakyat yang biasanya menceritakn seorang tokoh yang

memang benar-benar ada.

Page 2: Suku Bugis

Kesusastraan :

Sure’ Galigo, Sastra lisan yang berkembang di lingkungan istana Kerajaan Bugis dan

Kerajaan Makassar. Dalam Sure’ Galigo ini terangkai syair-syair yang mengandung makna

sangat dalam dan kebijaksanaan sangat tinggi.

Syair-syair klasik Bugis, mempunyai bentuk dan isi yang lain dari bentuk-bentuk

syair klasik nusantara. Biasanya syair-syair ini masih sering dinyanyikan pada saat pesta

perkawinan (di pedalaman Tana Bugis). Contoh syair :

De’ga pasa’ ri lipumu

Balanca ri kampommu

Mulinco’ mabela?

Artinya :

Tak adakah pasar dinegerimu,

Maka engkau mengembara jauh,

Untuk berbelanja?

Pantun, pada umumnya didasarkan atas perbandingan-perbandingan dengan alam

sekitarnya. Ada juga yang berisi sindiran atau kritikan terhadap suatu peristiwa. Contoh

pantun :

An-jo to-pe tas-sam-pe-a

Te-a-ko jal-lling ma-ta-i

Nia pa-tan-na

Ta-na-ka-lim-bu’-na ma-mi

Artinya :

Sarung yang tergantung itu,

Jangan kau tumpahkan kerling mata,

(karena) telah ada yang empuya,

Hanya belum diselimutinya.

Sinrili’, adalah salah satu hasil kesusastraan klasik orang Bugis yang juga amat

disenangi sampai sekarang. Sinrili’ bisa disebut dengan cerita yang disusun secara poetis,

atau prosa lirik yang diceritakan dengan jalan menyanyi, diiringi oleh sebuah alat musik

gesek (keso’-keso’).

Page 3: Suku Bugis

Lingkungan Alam :

Iklim di daerah Sulawesi Selatan adalah iklim tropis. Temperatur dan tekanan udara

disana tidak terlalu memperlihatkan fluktuasi yang besar. Dikarenakan penduduk Sulawesi

Selatan sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani, maka mereka sangat

memperhatikan tentang cuaca, baik hujan dan angin. Wilayah pemukiman orang Bugis ada

yang berupa dataran rendah, daerah perbukitan, dan daerah pegunungan Dataran rendah ada

di bagian selatan. Lingkungan pegunungan yang diselingi hamparan sawah terdapat di daerah

Sidrap dan Maros.

Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi Indonesia. Produksi

panen lainnya ialah, jagungn, ubi kayu, ubi jalar dan kacang-kacangan. Adapula hasil

perkebunan yang antara lain terdiri dari kelapa dan kopi. Kedua hasil perkebunan ini telah

menjadi komoditi ekspor. Sulawesi Selatan juga merupakan daerah yang subur sekaligus

kaya akan kandungan mineral seperti bijih tembaga, batu bara, emas, nikel, minyak tanah, dll.

Sistem kekerabatan :

Dalam kalangan masyarakat Bugis, sistem kekerabatan yang dianut adalah Ade’

asseajingeng. Sistem ini menyatakan peranannya dalam hal pencarian jodoh atau perkawinan

untuk membentuk keluarga baru. Dalam penarikan garis keturuanan mereka berpedoman

kepada prinsip bilateral, artinya hubungan seseorang dengan kerabat pihak kerabat ayah dan

pihak ibu sama erat dan pentingnya.

Masyarakat Bugis terdiri dari dua golongan yang bersifat eksogam, pertalian

kekerabatan dihitung menurut prinsip keturunan matrilineal, tetapi perkawinan bersifat

patriokal. Dalam suatu perkawinan, orang Bugis sangat memperhatikan uang belanja yang

diberikan dari mempelai laki-laki. Makin besar pesta perkawinan itu ( uang belanja ), makin

mempertinggi derajat sosial seseorang, walaupun harus dibelinya dengan kebangkrutan, atau

dengan berhutang sekalipun.

Penggolongan kerabat (seajing) di kalangan orang Bugis dibedakan antara rappe atau

kelompok kerabat sedarah (consanguinity) dan sumpung lolo atau pertalian kerabat karena

perkawinan (affinity). Kerabat itu dibedakan pula atas kerabat dekat (seajing mareppe) dan

kerabat jauh ( seajing mabela).

Page 4: Suku Bugis

Adat-istiadat :

Orang Bugis masih hidup diantara sistem norma dan aturan-aturan yang dianggap

luhur dan keramat. Keseluruhan sistem norma dan aturan-aturan adat tersebut dinamakan

dengan Panngaderreng. Panngaderreng atau panngadakkang ini dapat diartikan sebagai

keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah-laku terhadap

sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik. Terdapat pemberian gelar

terhadap seseorang yang dianggap memiliki kelebihan dalam melihat dan menyimak suatu

keadaan yang akan atau nanti terjadi, yang biasa menyebutnya sebagai sosok ’Panrita’.

Sistem Pannagaderreng terdiri atas lima unsur pokok, yaitu : Ade’, Bicara, Rapang,

Wari’, dan Sara’ (salah satu unsur pokok yang diadopsi dari ajaran Islam, syareat Islam).

Unsur-unsur pokok tersebut terjalin satu sama lain sebagai satu kesatuan organis dalam alam

pikiran orang Bugis, sehingga mereka sangat menjunjung harga diri, kesemuanya terkandung

dalam satu konsep yaitu Siri’.

Unsur Ade’ berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma dalam sistem

pemerintahan negeri. Bicara adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan. Rappang

merupakan analogi, kias, atau ungkapan adat untuk menjaga kontinuitas hukum. Wari’ adalah

klasifikasi benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Sara’ adalah

kaidah-kaidah yang berasal dari Islam.

Sistem kepercayaan :

Religi orang Bugis dalam zaman pra-Islam seperti yang disebutkan dalam sure’

Galigo (karya sastra kuno Bugis), sebenarnya telah mengandung suatu kepercayaan kepada

satu dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama seperti : Patoto’E (Dia yang

menentukan nasib); To-palanroE (Dia yang menciptakan); Dewata seuaE (Dewa yang

tunggal); Tu-riE A’ra’na (kehendak yang tertinggi); Puang Matua (Tuhan yang tertinggi).

Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17, maka

ajaran Tauhid dalam Islam, dapat mudah diterimadan proses itu dipercepat dengan adanya

kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu Islam yang sudah menetap di

Makassar, maupun dengan kunjungan-kunjungan niaga orang Bugis ke negeri-negeri lain

yang penduduknya sudah beragama Islam.

Siri’. Ketika dibicarakan tentang Panngaderreng, telah disebut tentang konsep siri’,

yang menintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng. Namun dari

hasil penelitian yang terjadi di lapangan, diketahui bahwa konsep siri’ itu, telah

Page 5: Suku Bugis

diintegrasikan dalam berbagai macam bidang. B.F. Matthes, menerjemahkan instilah siri’ itu

dengan ‘malu’, ‘beschaamd’, ‘schroomvallig’, ‘verlegen’. Diakui oleh beliau bahwa

penjabaran baik dengan bahasa Indonesia maupun dengna bahasa Belanda, tidak dapat

mendekati maknanya secara tepat. Dilain pihak, C.H. Slambasjah memberikan batan atas kata

siri’ dengan memberikan tiga pengertian :

1. Siri’ sama artinya dengan malu, isin (Jawa), shame (Inggris).

2. Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan,

mengusir, terhadap barang siapa yang menyinggung perasan mereka. Hal ini

merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman

menurut norma-norma adat, jika kewajiban itu tidak dilaksanakan.

3. Siri’ sebagai daya pendorong, bervariasi ke arah sumber pembangkitan tenaga untuk

membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau usaha.

Menurut Casutto, Siri’ merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk

membunuh pihak yang melanggar adat. Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa untuk mendekati batasan siri’, tidak mungkin orang memandang dari satu

aspeknya sja, memperhatikan perwujudannya saja. Hal itu mudah dimenerti, karena siri’

adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibtnya saja yang berwujud konkret sehingga dapat

diamati dan diobservasi.

Disamping konsep siri’ itu, terdapat lagi semacam konsep yang dianggap sedikit lebih

rendah dari konsep siri’, yaitu pesse. Menurut arti leksikalnya, pesse/ pacce dapat

diterjemahkan dengan ‘pedis’ atau ‘pedih’. Sebuah ungkapan dalam amanat orang-orang tua

menerangkan konsep pesse/ pacce itu sebagai berikut : “Ia sempugikku rekkua de’na siri’na,

engka messa pessena” yang artinya “mereka sesama saya orang Bugis, bilamana siri’ itu

padanya tak ada lagi, akan tetapi niscaya masih ada pesse-nya”. Sehingga dapat dikatakan

bahwa pesse adalah semacam dya dorong untuk menimbulkan rasa solidaritas yang kokoh

dikalangan orang Bugis.

Kesenian :

folklore didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan (tarian), benda-benda, cerita rakyat

yang belum dicatat atau dituliskan (folktale). Contoh beberapa folktale yang berkembang

diantara orang-orang Bugis adalah Pocci-Tana, asal-usul kota (Toraja dan Luwu, Sinjai,

Enrekang dan Mangkendek, dan Bulukamba), Pemmali (tentang larangan atau pantangan).

Page 6: Suku Bugis

Seni tari yang berasal dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) pada mulanya bersumber

dari rangkaian pemujaan kepada dewa-dewa yang dianggap menguasai alam semesta dan

segala sesuatu di atas dunia ini. Tari-tari pujian yang ditujukan kepada dewa-dewa tersebut

menunjukkan semacam gerakan anggota badan yang lemah gemulai, diiringi oleh bunyi-

bunyian yang merayu-rayu, utnuk membujuk atau mempengaruhi sang dewa agar memenuhi

permintaan manusia. Contoh tarian dari suku Bugis : Pagellu’ (tarian khas dari daerah

Toraja), Pajaga (dari daerah tana-Luwu), Pajoge (dari daerah tana-Bone), Pakarena (dari

daerah Butta Gowa), Patuddu’ (dari daerah Mandar). Selain contoh diatas masih ada beberapa

tarian lain yang sifatnya occasional seperti tarian Ma’dandan dan Manimbong yang hanya

ditarikan pada ritual-ritual sebagai rasa syukur terhadap para dewa, ataupun tari ma’badong

dan ma’rakka yang ditarikan pada pesta (selamatan) kematian.

Alat-alat yang digunakan untuk mencari nafkah (mata pencaharian), mencakup alat

pencaharian hidup di laut seperti Perahu dan alat-alat penangkap ikan. Ada beberapa jenis

perahu yang berasal dari suku Bugis, yaitu Perahu Pinisi (perahu dagang dengan ukuran

sangat besar), Lambo’/ palari (perahu dagang yang ukurannya lebih kecil dari Pinisi), Lambo

calabai (Perahu dagang yang bentuknya seperti kapal-kapal biasa).

Demografi :

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka

kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain

yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi

birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Jumlah orang Bugis tidak dapat

diketahui dengan pasti, termasuk dalam data sensus penduduk tahun 1930 yang

memperhatikan identitas kesuku-bangsaan. Dalam sensus tersebut orang Budis dan Makassar

disatukan dan jumlahnya tercatat sekitar 2.5 juta jiwa. Jumlah orang Bugis semakin terlihat

sedikit karena kini mereka tidak saja berdiam di daerah asalnya di Sulawesi Selatan,

melainkan juga tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Mereka dikenal sebagai masyarakat

perantau dan masyarakat bahari yang sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu.

Berbagai sumber menunjukkan bahwa orang Bugis menjadi alah satu unsur yang melahirkan

masyarakat Betawi, sebagai suatu hasil asimilasi dengan berbagai anggota masyarakat lain

sebagai unsurnya. Orang Bugis juga menjadi penyebar agama Islam di Pulau Alor, Nusa

Tenggara Timur. Bukti sifat kebaharian itu dapat juga dilihat dari daya jelajah mereka dengan

perahu-perahu pinisinya.

Page 7: Suku Bugis

Asal-usul dan latar belakang :

Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu

muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya

Yunan. Kata 'Bugis' berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi"

merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di

jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La

Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada

raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La

Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,

ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan

melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia

dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang

dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi

masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk

Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Latar belakang sejarah orang Bugis khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada

umumnya ditandai oleh sebuah epos bukti-bukti peninggalan dari jaman prasejarah, tulisan

pada lontar (lontara) hasil-hasil teknologi tradisional, serta konsepsi-konsepsi budaya.

Sebagai contohnya, Sure’ Galigo dan lukisan-lukisan di dinding gua (Leang). Leang yang

ditemukan di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep memperlihatkan macam-macam

wujud atau motif, seperti cap tangan, babi-rusa, cap kaki, motif perahu, binatang melata, figur

manusia, motif geometris, dll. Lukisan-lukisan tersebut cenderung lebih mengemban makna

religi daripada ekspresi keindahan. Lukisan cap jari, misalnya yang terdapat di Leang

Pettakere merupakan cap tangan yang hanya trdiri atas empat jari tanpa telunjuk. Pemotongan

jari itu diperkirakan dilakukan dalam rangka menghadapi suatu perkabungan.

Rumah Tradisional : Berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah.

Tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah,

yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur,

makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan

alat-alat pertanian, dan kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan

berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku.

Page 8: Suku Bugis

Gambar Suku Bugis dengan pakaian adatnya

Page 9: Suku Bugis

Gambar Seni tari Bugis

Page 10: Suku Bugis

Pernikahan Suku Bugis

Page 11: Suku Bugis

Kapal Pinisi

Page 12: Suku Bugis

Senjata khas Suku Bugis