16
Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu) 24 MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI WILAYAH TANAH BUMBU, KERESIDENAN BORNEO BAGIAN SELATAN DAN TIMUR, 1930-1942 Mansyur Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Alamat Korespondensi: [email protected] Abstract The Bugis migration to Tanah Bumbu, Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, Residentie Borneo’s Zuid en Oosterafdeeling continued until the early decades of the 20th century, especially in 1930-1942. It was indirectly indicates how strong economic motives of the Bugis. In an effort to survive in the midst of economic depression or malaise, Bugis migrants "creates" economic adaptation strategy to establish a network of fisheries Ponggawa (skipper) Bugis in the early 1930's. Most migrant Bugis also tried farmer (bahuma) for copra and coconut planting. Plantation crops are suitable and almost the same as plantation crops in South Sulawesi. In addition, in the field of marine migrant boat Bugis also developed business people to serve the marine transportation. This study uses the history of the historical method, which is a method to test and analyze critically the recording and relics of the past. The historical method comprises step heuristics, criticism of sources (external and internal), interpretation and historiography. Keywords: migration, economy networks, Bugis. Abstrak Kontinuitas migrasi Suku Bugis ke landschap Tanah Bumbu, Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, Resident ie Borneo’s Zuid en Oosterafdeeling terus berlangsung hingga dekade awal abad ke-20, khususnya 1930-1942. Migrasi yang berlangsung pada masa akhir kekuasaan Hindia Belanda ini secara tidak langsung mengindikasikan begitu kuatnya keinginan bertahan hidup dan motif ekonomi Suku Bugis. Dalam upaya bertahan di tengah depresi ekonomi atau malaise, migran Bugis “menciptakan” strategi adaptasi ekonomi dengan membentuk jaringan perikanan ponggawa (juragan) Bugis pada awal 1930-an. Sebagian migran Bugis juga berusaha tani (bahuma) dan menanam kelapa untuk kopra. Tanaman perkebunan ini cocok dan hampir sama dengan tanaman perkebunan di Sulawesi Selatan. Selain itu, dalam bidang kelautan migran Bugis juga mengembangkan usaha perahu rakyat untuk melayani transportasi laut. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yakni metode untuk menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Metode sejarah terdiri dari tahap heuristik, kritik sumber (ekstern dan intern), interpretasi dan historiografi. Kata Kunci: migrasi, jaringan ekonomi, Bugis. PENDAHULUAN Orang Bugis mulai bermigrasi ke berbagai wilayah di Nusantara secara intensif sejak awal abad ke-17. Migrasi tersebut secara umum didorong oleh faktor ekonomi dan non- ekonomi, seperti tidak adanya ketentraman jiwa, peperangan, kehilangan kemerdekaan, dan juga filosofi yang dipegang, khususnya orang Bugis dari Wajo yang berprinsip Maradeka to-Wajo’e ade’mi napopuwang (rakyat Wajo itu merdeka dan hanya hukumlah yang menjadi tuan). Dalam Diterima/ Received: 20 Desember 2015; Disetujui/ Accepted: 28 Januari 2016

MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu)

24

MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI WILAYAH TANAHBUMBU, KERESIDENAN BORNEO BAGIAN SELATAN DAN TIMUR,

1930-1942

Mansyur

Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUniversitas Lambung Mangkurat

Alamat Korespondensi: [email protected]

Abstract

The Bugis migration to Tanah Bumbu, Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, Residentie Borneo’s Zuid enOosterafdeeling continued until the early decades of the 20th century, especially in 1930-1942. It was indirectlyindicates how strong economic motives of the Bugis. In an effort to survive in the midst of economic depression ormalaise, Bugis migrants "creates" economic adaptation strategy to establish a network of fisheries Ponggawa (skipper)Bugis in the early 1930's. Most migrant Bugis also tried farmer (bahuma) for copra and coconut planting. Plantationcrops are suitable and almost the same as plantation crops in South Sulawesi. In addition, in the field of marinemigrant boat Bugis also developed business people to serve the marine transportation. This study uses the history of thehistorical method, which is a method to test and analyze critically the recording and relics of the past. The historicalmethod comprises step heuristics, criticism of sources (external and internal), interpretation and historiography.

Keywords: migration, economy networks, Bugis.

Abstrak

Kontinuitas migrasi Suku Bugis ke landschap Tanah Bumbu, Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, ResidentieBorneo’s Zuid en Oosterafdeeling terus berlangsung hingga dekade awal abad ke-20, khususnya 1930-1942.Migrasi yang berlangsung pada masa akhir kekuasaan Hindia Belanda ini secara tidak langsung mengindikasikanbegitu kuatnya keinginan bertahan hidup dan motif ekonomi Suku Bugis. Dalam upaya bertahan di tengah depresiekonomi atau malaise, migran Bugis “menciptakan” strategi adaptasi ekonomi dengan membentuk jaringanperikanan ponggawa (juragan) Bugis pada awal 1930-an. Sebagian migran Bugis juga berusaha tani (bahuma) danmenanam kelapa untuk kopra. Tanaman perkebunan ini cocok dan hampir sama dengan tanaman perkebunan diSulawesi Selatan. Selain itu, dalam bidang kelautan migran Bugis juga mengembangkan usaha perahu rakyat untukmelayani transportasi laut. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yakni metode untuk menguji danmenganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Metode sejarah terdiri dari tahap heuristik,kritik sumber (ekstern dan intern), interpretasi dan historiografi.

Kata Kunci: migrasi, jaringan ekonomi, Bugis.

PENDAHULUAN

Orang Bugis mulai bermigrasi ke berbagaiwilayah di Nusantara secara intensif sejak awalabad ke-17. Migrasi tersebut secara umumdidorong oleh faktor ekonomi dan non-

ekonomi, seperti tidak adanya ketentraman jiwa,peperangan, kehilangan kemerdekaan, dan jugafilosofi yang dipegang, khususnya orang Bugisdari Wajo yang berprinsip Maradeka to-Wajo’eade’mi napopuwang (rakyat Wajo itu merdekadan hanya hukumlah yang menjadi tuan). Dalam

Diterima/ Received: 20 Desember 2015; Disetujui/ Accepted: 28 Januari 2016

Page 2: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 24-39

25

arti lain, jika dalam penyelenggaraan pemerinta-han hukum tidak bisa ditegakkan, maka orangBugis dan Makassar akan bermigrasimeninggalkan daerahnya menuju daerah lain.Hal ini bisa dimaknai sebagai bentuk protesterhadap kezaliman rezim berkuasa.

Gelombang migrasi besar-besaran SukuBugis ke berbagai wilayah di Nusantara terjadihampir bersamaan dengan ekspansi pemerintah-an kolonial Belanda secara total atas seluruhwilayah Sulawesi Selatan (Zuid Celebes) pada1906. Belanda memperluas wilayah kekuasaan-nya sampai ke pedalaman, menaklukkan wilayahBone pada 1905 hingga Tana Toraja pada 1907.Selain penaklukan, tekanan-tekanan jugadilakukan pemerintah kolonial Belanda, antaralain dalam bentuk kerja paksa dalam pembuatanjalan dan kegiatan lainnya untuk kepentinganpemerintah Belanda. Banyak petani yang tidakdapat mengerjakan sawah dan ladangnya karenaharus mencurahkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang berkaitan dengankepentingan penjajah. Penetrasi kapitalisBelanda menjalar sampai ke daerah perdesaanSulawesi Selatan. Bukan hanya tekanan fisik danpsikis yang dialami penduduk, tetapi perbedaankelas sosial semakin nyata dan feodalismemeningkat.

Kondisi tersebut turut meningkatkan arusgerak penduduk ke luar Sulawesi Selatan.Ketergantungan, kelompok pengikut atau rakyatjelata yang berada pada status sosial ekonomirendah kepada kelompok atas, elit tradisional,dan pemilik alat-alat produksi semakin tampak.Apalagi kelompok elit tradisional memperolehberbagai kemudahan dan kesempatan daripemerintah kolonial Belanda untuk memperkuatkekuasaannya atas kelompok ekonomi rendah.Ketimpangan sosial ekonomi antara kelompokmelebar, sehingga terjadi gerak penduduk ke luardaerah, dalam istilah Bugis disebut mallekke'dapureng atau pindah menetap.

Menurut Mattulada, mallekke' dapureng(pindah menetap) adalah pilihan paling amanuntuk berpindah ke luar daerah. Hal ini memicumigrasi orang Bugis secara besar-besaran keseluruh Nusantara. Alasan utama adalah karena

merasa siri’ (malu) dengan keadaan tersebut,mereka kemudian memutuskan hijrah ke tempatlain. Satu di antara lokasi yang menjadi tujuanmigrasi Suku Bugis di Borneo (Kalimantan)adalah landschap Tanah Bumbu, Afdeeling Pasiren de Tanah Boemboe, Residentie Borneo’sZuid en Oosterafdeeling (Karesidenan BorneoBagian Selatan dan Timur). Alasannya, lokasiBorneo (Kalimantan) strategis dan berdekatandengan Sulawesi Selatan, kemudian memilikibanyak lahan yang bisa digarap menjadi areapertanian dan perkebunan kelapa, serta potensiperikanan melimpah. Wilayah landschap TanahBumbu terdiri dari distrik Batulicin, Cantung,Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal, Cengal,Pagatan, Kusan, Buntar Laut, Pulau Laut danSebamban (Hollander, 1864: 143).

Oleh karena itu tulisan ini inginmemberikan gambaran yang jelas tentang latarbelakang migrasi penduduk suku Bugis kelandschap Tanah Bumbu, Afdeeling Pasir en deTanah Boemboe, Keresidenan Borneo BagianSelatan dan Timur, pada masa kolonial. Selainitu, tulisan ini ingin menjelaskan jaringanekonomi yang terbentuk sebagai dampak atasaktivitas migrasi suku Bugis ke Borneo(Kalimantan).

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian iniadalah metode sejarah yang meliputi tahapheuristik, verifikasi (kritik sejarah, keabsahansumber), interpretasi dan historiografi. Heuristikadalah kegiatan mencari dan menemukansumber-sumber sejarah, baik primer maupunsekunder. Adapun tempat pencarian sumber-sumber bagi penelitian ini antara lainPerpustakaan Nasional Republik Indonesia,Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).Sumber lain berupa artikel yang diperolehmelalui penelusuran situs-situs internet denganmengunjungi website yang berhubungan dengansejarah. Selain itu digunakan pula sumberkepustakaan yang relevan, baik yang diterbitkanmaupun yang tidak diterbitkan seperti disertasi,tesis, dan laporan penelitian lainnya.

Page 3: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu)

26

Tahap verifikasi atau pengujian ataskebenar-an data kemudian dilakukan dengancara kritik sumber-sumber yang telah diperoleh.Kritik sumber atau teks merupakan kegiatanyang bertujuan menyelidiki dan menguji apakahsumber-sumber sejarah yang ditemukan bisadipercaya (kredibel) baik bentuk maupun isinya.Tahap ini merupakan kegiatan mencari faktasejarah. Selanjutnya dilakukan interpretasi, yaitukegiatan menetapkan makna dan salingmenghubungkan fakta-fakta sejarah yangdiperoleh. Tahap yang terakhir yaituhistoriografi atau rekonstruksi sejarah, yaitumenyajikan hasil penelitian dalam bentuk tulisansejarah.

LETAK GEOGRAFIS DANADMINISTRATIF TANAH BUMBU

Landschap Tanah Bumbu pada awalnyamerupakan daerah onderafdeeling yang dikenaldengan nama onderafdeeling van Tanah Boemboepada 1844. Adapun distrik-distrik yangtergabung dalam wilayah ini yaitu Pagatan,Kusan, Batulicin, Cantung, Bangkalan,Sampanahan, Manunggal, Buntar Laut, danCengal. Menurut Staatsblad 1849 No. 8, wilayahTanah Bumbu dan daerah Kotawaringin,Sampit, Pembuang, Mendawai, Tanah Laut,Dusun Ilir, Pasir, Kutai, Berau termasuk dalamBorneo Zuid Ooster Afdeeling (Afdeeling BorneoSelatan dan Timur) yang beribukota diBanjarmasin.1 Sementara wilayah Pulau Laut danBatulicin berada di bawah pemerintah Kusan(Schwaner, 1853: 357; Bleckmann, 1953: 354).

Dalam perkembangan sejak 1898, terjadiperubahan pembagian wilayah lokaladministratif, seperti yang terdapat dalamStaatblad 1898 No. 178. Wilayah Tanah Bumbumenjadi satu afdeeling yang bernama AfdeelingPasir en de Tanah Boemboe dalam wilayahResidentie Borneo’s Zuid en Ooster-afdeeling(Keresidenan Borneo bagian Selatan danTimur) (Ideham, et. al., 2003: 233). Wilayah inimembawahi wilayah sebelumnya ditambahPulau Laut dan Sebamban menjadi distriktersendiri (Bleckmann, 1953: 351).

Perubahan administratif kemudian terjadipada 1936, walaupun pada dasarnya masihmenerapkan sistem pemerintahan sipil kolonial.Afdeeling Tanah Bumbu berubah status menjadionderafdeeling yakni Onderafdeeling Tanah Bumbudan Pulau Laut, di bawah Afdeeling Banjarmasin.Selain itu, terdapat Onderafdeeling Banjarmasin,Marabahan, Martapura dan Pleihari. OnderafdeelingTanah Bumbu dan Pulau Laut membawahi beberapadistrik yakni Pagatan, Kusan, Cengal, Manunggal,Bangkalaan, Sampanahan, Cantung, Batulicin,Sebamban, Pulau Laut dan Pulau Sebuku (Korch,2009).

Gambar 1. Peta wilayah Afdeeling Pasir en de TanahBoemboe, Keresidenan Borneo Bagian

Selatan dan Timur.Sumber: Stanford's Geographical Establishment,

1919.

Dari catatan J.J. Hollander pada 1864,wilayah Tanah Bumbu memiliki luas sekitar141,5 mil persegi dengan beberapa daerah(distrik) yakni Batulicin, Cantung, Bangkalaan,Sampanahan, Manunggal dan Cengal(Hollander, 1864). Dari catatan tersebut belummemasukkan tambahan wilayah Pulau Laut,Pagatan dan Tanah Kusan dalam wilayah TanahBumbu karena kedua wilayah baru bergabungdalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe pada1898. Tanah Bumbu berbatasan dengan daerahPasir di sebelah utara, di sebelah timur denganSelat Makassar, berbatasan dengan Tanah Kusandi sebelah selatan, dan sebelah barat berbatasandengan daerah Banjarmasin (Veth, 1869: 637).

Page 4: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 24-39

27

INTENSITAS PERSEBARAN SUKU BUGIS

Linneton beranggapan bahwa migrasi suku Bugiske berbagai wilayah di Nusantara, lebihdisebabkan oleh daya tarik tersendiri. Hal utamayang paling signifikan yang memengaruhimigrasi Bugis ke daerah-daerah lain dalam empatdekade pertama abad kedua puluh adalah boomtanaman pertanian dan perkebunan primerkhususnya padi, karet, dan kopra. Sebagian besarimigran Bugis ke Borneo (Kalimantan) danMalaya terlibat dalam penanaman karet dankelapa untuk kopra serta tidak lagi menanamtanaman-tanaman untuk produksi pertaniansubsistensi seperti di wilayah Sulawesi Selatan.Hingga tahun 1930, lebih dari sepuluh persendari etnis Bugis berdomisili di luar SulawesiSelatan (Linneton, 1973: 181).

Mattulada menyebutkan migrasi orangBugis disebabkan oleh keadaan yang tidak amansecara terus-menerus di Sulawesi Selatan karenaadanya berbagai peperangan sejak abad ke-18.Alasan ekonomi juga turut mendorong migrasiBugis, seperti masalah keterbatasan lahanpertanian di beberapa daerah di Sulawesi Selatanseperti Bone dan Wajo (Naim, 1979: 42; Hugo,1987: 31-37). Berbeda dari kondisi di wilayahPinrang, Maros, Pangkajene, Sidrap, pendudukpada umumnya mempunyai cukup sawah untukbercocok tanam, sehingga jarang yangmelakukan migrasi ke luar Sulawesi Selatan.Sebuah pengecualian mungkin terdapat padamasyarakat Sengkang, Sulawesi Selatan. Merekamembawa kopra dan hasil-hasil produksi daerahmereka ke Pulau Jawa dan kembali membawabarang berupa semen, gula, barang barang besi,tekstil, dan sebagainya (Naim, 1979: 42).

Migrasi utama yang tercatat dalam sensusini adalah migrasi dari Sulawesi Selatan keBorneo (Kalimantan) bagian Selatan, migrasidari Jawa ke Sumatera, terutama SumateraTimur dan Lampung, dan migrasi dari Borneo(Kalimantan) Selatan ke Sumatera, terutama keRiau dan Jambi. Selain itu, terdapat jugasejumlah migrasi besar dari berbagai daerah diIndonesia ke Semenanjung Malaya, terutamadari Jawa, Borneo (Kalimantan) Selatan,

Sumatera, Sulawesi Selatan, dan Pulau KecilBawean.2

Menurut Mochtar Naim, intensitasmigrasi Bugis ke luar wilayah sendiri pada 1930menduduki peringkat kelima setelah sukuBawean, Batak, Banjar dan Minangkabau. Selainkelima suku tersebut terdapat suku lain yangintensitas migrasinya tinggi, yakni Manado,Ambon, Bengkulu dan Mandar. Suku-sukubangsa yang intensitas migrasinya lebih rendahadalah Jawa, Sunda, Madura, Bali, Sasak, Timor,Makassar, Toraja, Dayak, Melayu Pesisir, Aceh,Jambi, Palembang, Lampung dan Nias. Jumlahsuku Bugis yang bermigrasi ke luar wilayahnya162.701 orang (10,5%) (Naim, 1979: 44).

Berdasar Volkstelling 1930, jumlah orangBugis di Nusantara berjumlah sekitar 1.533.035orang. Pada wilayah Sulawesi Selatan sendirijumlah orang Bugis adalah 1.380.334 orang.Jumlah orang Bugis yang merantau ke Borneo(Kalimantan) menduduki tempat teratas dalammigrasi orang Bugis ke wilayah Nusantara dansemenanjung Malaya. Dari sensus 1930,diketahui jumlah orang Bugis yang bermigrasi keBorneo (Kalimantan) adalah 95.048 jiwa atausekitar 60,29% dari jumlah migrasi orang Bugiske pulau lainnya seperti Sumatera, Jawa, Bali danNusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, SulawesiUtara dan Tengah dan Malaysia. Setelah Borneo(Kalimantan), yang menempati peringkat keduaadalah migrasi Bugis ke Sulawesi Utara danTengah yang berjumlah 27.477 jiwa atau 17,43%dari total migrasi Bugis ke Nusantara. Kemudianmigrasi Bugis ke wilayah Bali dan Nusa Tenggaraberjumlah sekitar 14.120 jiwa atau 8,96%.Sementara itu migrasi ke Sumatera adalah10.170 jiwa atau sekitar 6,45%, hampirsebanding dengan migrasi ke Malaysia yangberjumlah 10.000 jiwa atau 6,30%. Berikutnyamigrasi ke Jawa berjumlah 4.593 jiwa atau 2,91%,sedangkan migrasi terkecil adalah migrasi Bugiske Maluku dan Irian Jaya jumlahnya adalahsekitar 1.293 jiwa atau 0,82%. Jumlah ini cukupbesar dibandingkan dengan jumlah orangMakassar, Mandar dan Toraja yang jugabermigrasi ke daerah lainnya (Naim, 1979: 42).Dari jumlah migran tersebut dapat dirinci per

Page 5: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu)

28

jenis kelamin, yang ditampilkan dalam Tabel 1berikut.

Tabel 1. Emigrasi Bugis menurut Daerah Asaldan Jenis Kelamin, 1930

Daerah Asal Laki Laki Perempuan TotalPare Pare 5.479 3.858 9.328Makassar 9.812 6.063 16.175Enrekang 5.436 5.640 11.076Sinjai 6.448 6.188 12.636Gowa 6.970 5.533 12.503Majene 4.720 3.449 8.169Soppeng 6.896 6.512 13.408Maros 6.007 5.309 11.316Bone 21.000 16.788 37. 848Bantaeng 3.821 3.279 7.100SidenrengRappang

6.442 5.501 11.943

Wajo 10.247 7.001 17.248Sumber: Departement van Landbouw, Nijverheid en

Handel, 1930.

Tabel 1. menunjukkan bahwa migrasiorang Bugis ke luar Sulawesi Selatan berasal dari12 daerah di atas. Bone dan Wajo merupakandaerah pengirim migran Bugis ke luar SulawesiSelatan yang terbesar, walaupun hanya 11% dan9% dari jumlah penduduknya masing-masing.Migran Makassar, yang jumlahnya lebih sedikit,terutama berasal dari Makassar dan Gowa, tetapidengan persentase migrasi keluar dari jumlahpenduduknya lebih besar, masing-masing 16%dan 12,4%.

Terkait komposisi suku bangsa di wilayahKeresidenan Borneo Bagian Selatan dan Timur(tidak termasuk wilayah Pasir dan Distrik Satui),Gooszen menyebutkan bahwa pada 1930,terdapat suku Dayak sebanyak 33.821 orang(8,63%). Selanjutnya suku Banjar sebanyak254.399 orang (64,91%), suku Jawa sebesar36.451 orang (9,30%) dan suku Bugis sebanyak43.340 orang (11,06%). Sementara itu, sukulainnya (Mandar, Bajau dan lain-lain) sebesar23.916 orang (6,10%). Data tersebutmenempatkan penduduk dari suku Bugis padaposisi kedua terbanyak di wilayah KeresidenanBorneo Bagian Selatan dan Timur. MenurutGooszen, hal ini menunjukkan adanya intensitasmigrasi Bugis yang tinggi dari wilayah SulawesiSelatan (Gooszen, 1999: 108-111).

Data sensus penduduk (Volkstelling) 1930memberikan gambaran yang berbeda. Di daerah-daerah seperti Tanah Bumbu dan Pulau Laut diwilayah Keresidenan Borneo Bagian Selatan danTimur, jumlah suku Bugis di kedua tempattersebut secara berurutan berjumlah sekitar29,66% dan 15,70% dari total seluruh pendudukyang ada di masing-masing daerah. Dataselengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Suku Bugis diWilayah Borneo (Kalimantan) MenurutSensus Penduduk 1930

No Daerah LakiLaki

Perempuan Total

1. Sambas 178 196 374(0,58)

2. Mempawah 965 877 1.824(4,18)

3. Pontianak 19.601 18.398 37.999(53,48)

4. Landak 189 162 351(0,56)

5. Soekadana 330 290 620(2,91)

6. Boneden-Matan 222 187 409(2,40)

7. Poeloelaoet 2.046 1.891 3.937(15,70)

8. Tanahboemboe 5.852 6.143 11.995(29,66)

9. Pasir 4.510 4.407 8.917(22,35)

10. Balikpapan 4.768 3.335 8.103(51,81)

11. Oost Koetai 4.152 3.493 7.645(21,62)

12. West Koetai 1.582 984 2.566(3,15)

13. BovenMahakam

191 174 365(3,03)

14. Beraoe 1.003 626 1.629(8,33)

15. Boeloengan 344 237 581(3,43)

16. Pontianak * 1.924 1.730 3.654(13,45)

17. Kotabaroe * 120 100 220(7,72)

18. Balikpapan* 1.230 721 1.951(8,33)

19. Samarinda* 360 212 572(6,80)

Page 6: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 24-39

29

20. Tandjongseilor* 140 147 287(23,66)

21. Tarakan * 171 66 237(2,87)

Sumber: Departement van Landbouw, Nijverheid enHandel,1930: 28.

Keterangan :1. Wilayah urutan 1- 15 adalah wilayah onderafdeling dan

daerah di luar kota.2. Wilayah urutan 16-20 (bertanda *) adalah wilayah

gemeente dan kota.

Tabel tersebut menunjukkan pendudukBugis di wilayah Pulau Laut dan Tanah Bumbupada 1930 mencapai 15.932 orang. Totalpenduduk Bugis 3.937 orang atau 15,70% dariseluruh penduduk Pulau Laut, terdiri atas 2.046orang laki-laki dan 1.891 orang perempuan.Sementara itu, penduduk Bugis di Tanah Bumbusecara keseluruhan 11.995 orang atau sekitar44,1% dari seluruh penduduk OnderafdeelingTanah Bumbu dan Pulau Laut. Jumlah ini terdiriatas laki-laki 5.852 orang dan perempuan 6.143orang. Penduduk Bugis di Tanah Bumbu danPulau Laut umumnya bertempat tinggal dipedesaan dan pesisir pantai. Seperti terdapatdalam data, di Gemeente Kotabaru (ibukotaOnderafdeeling Tanah Bumbu dan Pulau Laut),hanya 220 orang Bugis yang bertempat tinggal diperkotaan, sisanya di kampung dan pesisirpantai.

EKSISTENSI PONGGAWA BUGIS PADADEPRESI EKONOMI 1930-AN

Kalangan “To Maradeka” Membangun UsahaPerikanan

Satu di antara dampak migrasi Bugis ke wilayahTanah Bumbu adalah munculnya jaringanekonomi orang Bugis di wilayah KeresidenanBorneo (Kalimantan) Bagian Selatan dan Timur.Untuk melihat jaringan ekonomi orang Bugispada 1930-an tidak terlepas dari perkembangankondisi perekonomian di Hindia Belanda padaumumnya. Pada 1930-an, dilaporkan banyakmasyarakat Hindia Belanda yang haruskehilangan pekerjaannya, terutama para pekerja

perkebunan akibat terjadinya depresi ekonomi,karena perdagangan internasional mengalamikemunduran (Burger, 1960: 190). Bagi rakyatzaman ini sering disebut dengan zaman meleset(dari kata malaise), yang berarti pengurangankesempatan kerja, pemotongan gaji, penurunanharga-harga hasil pertanian, rendahnya upah,dan kenaikan pajak. Semua itu merupakan akibatdari politik (kebijakan) ekonomi yang di satupihak bermaksud menjalankan penghematansecara besar-besaran dan di pihak lain hendakmempertahankan pendapatan ekspor terutamayang diperoleh dari hasil perkebunan(Kartodirdjo, 1999). Hal ini juga berpengaruhsecara umum terhadap migrasi di HindiaBelanda umumnya dan di wilayah Borneokhususnya. Para migran mengembangkankegiatan ekonomi untuk meningkatkan tarafhidupnya di tanah rantau.

Diperkirakan hampir semua migran Bugisyang datang secara bergelombang ke kawasanTanah Bumbu pada 1900 hingga 1930-an,umumnya berasal dari kalangan petani dannelayan. Mereka berasal dari lapisan sosial tomaradeka (orang merdeka atau pendudukbiasa), yang melakukan mallekke dapureng(migrasi menetap) karena ingin melepaskan diridari kesulitan di bidang ekonomi danmeningkatkan taraf kehidupannya di daerahrantau. Kemudian mereka ingin menyelamatkandiri dari kekacauan militer karena pendudukanBelanda di Sulawesi Selatan (Lenggono, 2011:120).

Seperti dikemukakan Lenggono,fenomena di wilayah Borneo (Kalimantan)terutama Kalimantan bagian timur, banyak diantara ponggawa-ponggawa (juragan-juragan)sukses di wilayah ini yang berasal dari lapisan tomaradeka. Mereka berasal dari keluargasederhana yang jauh dari berkecukupan,tepatnya dari strata bawah dalam sebuahmasyarakat di suatu kampong (Lenggono,2011). Demikian pula yang terjadi di wilayahTanah Bumbu, struktur sosial masyarakatmigran Bugis di kawasan Tanah Bumbusepertinya tidak hanya membuka peluang bagigolongan elit tradisional Bugis (anakarung),

Page 7: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu)

30

tetapi juga memberikan kesempatan yang luasbagi golongan to-maradeka (orang merdeka ataupenduduk biasa) memasuki bidang kegiatanekonomi perikanan seperti penangkapan ikanyang mulai berkembang pada 1930-an(Wawancara dengan Andi Tajuddin, 2012).

Menurut Lenggono, status tanah negara didaerah tujuan, khususnya pulau-pulau dikawasan pesisir Borneo (Kalimantan) bagianselatan dan timur yang luas namun tidakmemiliki nilai intrinsik dan absennya PemerintahHindia Belanda di dalam pengaturan kawasancoastal frontiers (bagian pesisir) ini menjadi salahsatu alasan penting mengapa migran Bugis darigolongan to-maradeka (orang merdeka ataupenduduk biasa) dalam strata masyarakat Bugisfeodal lebih berpeluang memasuki kegiatanperikanan (Lenggono, 2011). Kegiatanperikanan memerlukan bidang tanah yang sangatluas untuk dibangun dan dikembangkan menjadiarea pertambakan dan membuat usahapenangkapan ikan yang dapat memasok jumlahikan dalam jumlah besar (Lenggono, 2011: 120).

Pada masa awal kedatangannya, anggotaelit tradisional migran Bugis tampaknya kurangtertarik terhadap beberapa wilayah pesisirkawasan Tanah Bumbu yang berawa rawa danrelatif sulit diolah dan diubah menjadi kawasanpertanian atau perkebunan yang potensial selaintidak memiliki sumber mata air yang memadai.Oleh karena itu, para migran dari kalangan elittradisional yang biasanya membawa serta parapengikutnya tersebut, lebih cenderung membukadaerah-daerah baru (di sekitar hutan yang masihmerupakan kesatuan dengan Pulau Borneo(Kalimantan), yang tanahnya lebih subur dansangat potensial untuk dikembangkan menjadikawasan pertanian (sawah atau palawija) atauperkebunan (lada, kelapa dan buah-buahan),serta memiliki sumber mata air melimpah.Pertimbangan tersebut juga didasarkankepentingan pragmatis untuk dapat segeramendapatkan hasil produksi memadai, sehinggadapat mempertahankan stabilitas ekonomiuntuk menghidupi keluarga besar mereka,berikut keberlangsungan klientisme yang masihmereka pertahankan (Lenggono, 2011: 120).

Sementara itu, masyarakat asli setempatyakni Dayak dan Banjar, serta keturunan darimigran Banjar, Jawa dan Bugis yang dilahirkan disekitar kawasan Tanah Bumbu, relatif tidaktertarik untuk menggarap tanah-tanah di sekitarpulau pulau dan pesisir Kawasan Tanah Bumbu.Alasannya karena tidak memiliki pengetahuanmemadai dalam mengembangkan danmengubah tanah rawa-payau tersebut menjadiusaha ekonomi alternatif. Hanya sebagian kecildari keturunan migran Bugis ini yang kemudianberhasil membuka kawasan hutan mangrovetersebut menjadi area perkebunan kelapaberskala kecil. Sementara sebagian besar darimereka lebih suka memilih tetap melanjutkanpekerjaan orang tuanya sebagai nelayantradisional atau bertani tadah hujandibandingkan harus membuka hutan mangroveyang membutuhkan pengorbanan tenaga, waktudan materi yang tidak kecil (Lenggono, 2011:120). Dalam Laporan Augustu de Wit,disebutkan bahwa vegetasi mangrove banyakditemukan di wilayah Borneo (Kalimantan)bagian selatan, di muara sungai dan wilayahTanjung Selatan. Vegetasi mangrove juga banyakterdapat di pantai-pantai wilayah Tanah Bumbudan sepanjang daerah aliran sungai di TanahLaut hingga beberapa kilometer persegi (de Wit,1926: 339).

Beberapa di antara orang Bugis di Borneo(Kalimantan) bagian selatan dan timur yangmemiliki kemampuan finansial memadai,mencoba menjadi pengumpul hasil perikanantangkap untuk kemudian dijual secara berkala kedaerah lain dalam bentuk ikan asin atau udangolahan. Mereka inilah yang digolongkan sebagaiponggawa (juragan) perintis, beberapa orang diantaranya adalah migran dari golongan elittradisional Bugis (anakarung) yang memilikibeberapa unit armada kapal atau perahu tangkapsendiri. Sementara itu, lainnya berasal darigolongan to-maradeka (orang merdeka ataupenduduk biasa). Sangat menarik bahwaponggawa (juragan) perintis yang berasal darigolongan elit tradisional (anakarung) cenderungberdomisili di daerah yang masih satu-kesatuandengan mainland Pulau Borneo (Kalimantan),

Page 8: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 24-39

31

sementara domisili ponggawa perintis darigolongan to-maradeka (orang merdeka ataupenduduk biasa) cenderung tersebar ke pulau-pulau di kawasan Tanah Bumbu.

Dalam kondisi seperti inilah migran Bugisdari golongan to-maradeka yang datang secaraberkelompok sejak awal 1900-an mulaiberbondong-bondong datang ke kawasan TanahBumbu. Dengan meminta izin tinggal-garappada para toa/kampoeng atau kepala kampung,secara berkelompok mereka kemudian mulaimenempati tempat-tempat strategis di sekitarwilayah toa/kampoeng Pejala dan Pakkaja yangjumlahnya ratusan buah di dalam kawasanTanah Bumbu atau menetap di sekitarperkampungan. Meskipun tidak sedikit di antaramereka yang langsung menetap di suatu tempattanpa meminta izin dan baru melaporkankeberadaannya pada aparat kampung yangberwenang jika menghadapi konflik ataumasalah. Tidak berbeda dengan migran yangtelah menetap sebelumnya, mereka jugamemulai aktivitas ekonominya dari kegiatanperikanan tangkap dan nelayan tradisional(Nuralang, 2007: 11).

Beratnya kehidupan di daerah coastalfrontiers yang jauh dari layak dan nyaman untukdihuni membuat mereka harus beradaptasi didaerah-daerah baru yang belum terjamah dandikuasai orang lain dan relatif terisolir. Hal initampaknya bisa menjadi penjelas mengapa paramigran dari golongan to-maradeka (orangmerdeka atau penduduk biasa) tersebutmembawa nilai we’re’ (untuk tidak tunduk padanasib), sehingga mereka bisa bertahan dalamhimpitan hidup dengan keterbatasan (Leng-gono, 2011: 120). Penggolongan penduduk danakses terhadap tanah di wilayah Tanah Bumbu1930-an dalam Tabel 3.

Tabel 3. Penggolongan Penduduk dan AksesTerhadap Tanah di Wilayah Tanah Bumbu1930-1942

Penggolongan Penduduk AksesTerhadap

Tanah

OrientasiEkonomi

WargaSetem

Warga Asli (Dayak,Banjar dan Bugis

Penguasa-an Tanah

Untukkeperluan

pat yang lahir di TanahBumbu)

Pertaniandanperikanan

sendiri dandiperdagang-kan keBanjar danJawa

WargaKeturunanBugislahir diTanahBumbu

Gol. ElitTradisional

Penguasa-an tanahuntukdidistribusikan

Untukkeperluansendiri dandiperdagangkan keBanjar danJawa

Gol.Masyara-katkebanyakan

Penguasaan tanahuntukpertaniandanperkebun-an

Untukkeperluansendiri

Migran Bugis dari golonganelit tradisional (anakarung)

Penguasa-an TanahUntukPertaniandanperkebun-an

Untukkeperluansendiri

Migran Bugis dari GolonganKebanyakan (tomaradeka)

Penguasa-an Tanahuntukpertanian,perkebun-an danpertambak-an

Untukkeperluansendiri

Sumber: diadaptasi Lenggono, 2011: 93.

Berdasar kemunculannya, para ponggawadi Tanah Bumbu pada 1940-an dapat dibagi kedalam tiga kelompok: pertama, kelompok pong-gawa/ juragan perintis (menjadi ponggawa sebe-lum 1900-an); kedua, ponggawa/ juraganpengikut (1920-1930); dan ketiga, ponggawa/juragan penerus (1930-1940). Golongan pong-gawa/juragan penerus menjadi ponggawa/juragan karena faktor keturunan atau pewarisanusaha. Para ponggawa yang mampu bertahan danberhasil mengembangan usahahanya adalahmereka yang tidak hanya berhasil melakukanhegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural,namun juga adaptif dalam melihat perubahan(Wawancara dengan Abdul Kadir Wellang,2012).

Page 9: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu)

32

Terkait dengan stratifikasi sosialmasyarakat Bugis di Tanah Bumbu secara garisbesar hanya terdiri atas dua lapisan, yaituAjjoareng (pemimpin) dan Joa’ (pengikut).Kedua lapisan tersebut dipisahkan olehstatusnya. Pemisahan status sendiri, berdasarpada penguasaan kapital (modal) dan alatproduksi. Khusus Ajjoareng (pemimpin) sendiriterbagi lagi dalam kelompok ponggawa/ juraganbesar, ponggawa/ juragan menengah danponggawa/ juragan kecil (Pelras, 2000: 400-405).3

Pada lapisan joa’, terdapat tiga status, yaitusawi (anak buah) orang yang bekerja sendiridengan kapal kecil, sawi (anak buah) yangdipekerjakan ponggawa/ juragan, dan sawi (anakbuah) penangkap ikan yang dijual dalam jumlahbesar. Meskipun demikian, pelapisan tersebuttidak selalu terimple-mentasi secara ketat, karenaterdapat pula seorang penangkap ikan (nelayan)bekerja sendiri, yang “bebas” atau tidak terikatpada seorang ponggawa/ juragan yang tidak bisadiklasifikasikan sebagai joa’ (pengikut) karena iaseorang pekerja mandiri. Adapun pembagianlapisan masyarakat dan status pada masyarakatBugis Tanah Bumbu 1920-1940, terdapat dalamTabel 4.

Bagi orang Bugis, usaha memperkaya dirisebagai suatu kewajiban, sepanjang dilakukansecara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’).Mereka bahkan mempertaruhkan siri’ (rasamalu)-nya ketika meran-tau dan merasa “malu”bila tidak bisa pulang untuk memperlihatkanbukti keberhasilannya. Menjadi orang yangberharta memungkinkan mereka mampumembantu sesama yang kurang beruntung,setidaknya juga menutup kemungkinanterjerumus menjadi ata (budak) dan kehilangansiri’(rasa malu)-nya (Pelras, 2000: 405).

Tabel 4. Pembagian Lapisan Masyarakat,Golongan dan Status pada Masyarakat BugisTanah-Bumbu, 1920-1940-an

Lapisan Golongan StatusAjjoareng 1. Ponggawa/juragan

Besar2. Ponggawa/juragan

menengah dan

Ponggawa/juragan

kecilJoa/ pengikutklien

1. Penangkap ikandengan kapalkecil tanpa anakbuah atau sawi.

2. Kalangan anakbuah/sawipenangkapikanyang dipekerjakanponggawa.

3. Sawi /anak buahatau penangkapikan untukperikanan yangdijual dalamjumlah besar.

Nelayan kecilPenyambangPenjagaEmpang/tam-bak (buruh)

Sumber: Nuralang, 2007: 12.

Bahuma (bertani) dan Membuat Kopra

Migran Bugis tidak hanya berkecimpung dalambidang perikanan, tetapi terdapat juga yangberprofesi sebagai petani di Tanah Bumbu.Menurut Pelras dalam Lenggono, para perantauBugis bukan sekedar petani tradisional, tetapiadalah pengusaha berorientasi ekonomi.Berbeda dari orang Jawa yang memiliki konsepkeberhasilan yang diukur berdasar kemampuanuntuk semakin memperluas sawah atau kebunguna mengintensifkan dan meningkatkanproduksi pertanian, para petani Bugis justrumemiliki pemikiran berbeda. Menurut Tanaka,jika petani Bugis memperoleh uang yang besar,mereka lebih memilih menginvestasikan kembaliuang itu dalam bidang lain, seperti transportasi,perniagaan atau menyewakan lahan kepadapetani dari suku Jawa atau orang Bugis yang barutiba dan selanjutnya mereka akan mencaritempat-tempat yang lebih menguntungkan. Bagimigran Bugis, ikatan mereka dengan tanah yangdikuasainya tidak lebih dari “ikatan instrument-tal”, jika mereka menganggap tanah-tanah yangdikuasainya tidak lagi menguntungkan, merekaakan segera menyewakan atau dijualnya denganharga layak (Lenggono, 2011: 171). Tidakterdapat data jumlah petani Bugis yang ada diwilayah Tanah Bumbu. Akan tetapi, dari dataVolkstelling 1930, terdapat data-data tentang

Page 10: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 24-39

33

persentase jumlah petani di wilayah tersebutdalam Tabel 5.

Tabel 5. Persentase Petani dari Setiap 100Pekerja di Residensi Borneo bagian Selatandan Timur

No Daerah LakiLaki

Perempuan Prosentase

1. Koealakapoeas 88,35 82,03 83,072. Bandjarmasin 55,04 44,87 52,283. Zuid Oostkust

van Borneo74,07 55,23 68,57

4. Hoeloesoengai 81,40 82,08 81,595. Samarinda 60,26 38,89 52,496. Bulungan 20,27 7,45 14,74

Total 70,42 59,24 67,11Sumber: Departement van Landbouw, Nijverheid en

Handel, 1930: 47.

Berdasar Tabel 5 diperoleh informasi me-ngenai jumlah petani di wilayah ResidensiBorneo (Kalimantan) bagian Selatan dan Timuradalah sekitar 68,57% dari sekitar 100% pekerjadi wilayah ini. Rinciannya persentase petani lakilaki adalah 74,07%. Sementara itu, petaniperempuan adalah 55,23% dari jumlah setiap100 pekerja di wilayah ini. Dengan demikianberarti jumlah petani di sekitar wilayah ResidensiBorneo (Kalimantan) bagian Selatan dan Timurcukup besar dibandingkan dengan bidanglainnya seperti perikanan dan perdagangan.

Walaupun memiliki tanah yang luas,sejumlah migran Bugis diketahui engganmenjual tanah miliknya yang dianggap memilikinilai historis tertentu. Selanjutnya merekaberusaha mencari tanah-tanah yang lebih“menguntungkan” dan sering kali mengikutijejak keberhasilan orang lain (meskipun berbedaetnis). Hal ini bisa dilihat dari kemampuanadaptasi para migran Bugis yang mampumengadopsi kegiatan pertanian padi dengansistem handil atau bahuma yang dikembangkanmigran Banjar ataupun sistem perladanganberpindah yang dipraktekkan penduduk aslisetempat (Dayak) (Levang, 2010: 165).

Para migran di wilayah Tanah Bumbu jugamembuka perkebunan kelapa untuk kopra yangmemiliki harga menarik di pasaran atau punperikanan tangkap. Selain itu, mereka juga

melakukan tukar-menukar hasil perikanantangkap dengan barang kebutuhan pokok yangmereka butuhkan dengan para pedagangperantara dari Pangkajene. Para pemimpinkomunitas Bugis di Kampoeng Baroe (kampungtertua di kawasan Pagatan, Tanah Bumbu)tampaknya tidak terlalu banyak mendapatkankeuntungan dari kegiatan perdagangan hasilproduksi pertanian dan perikanan tersebut. Olehkarena itu, tidak sedikit dari para migran Bugistersebut yang kemudian terlibat dalam kegiatanilegal dengan bergabung menjadi perompak diperairan pantai timur dan selatan Borneo(Kalimantan).4

Menjelang 1940-an, di dalam kawasanTanah Bumbu telah berkembang perkampu-ngan-perkampungan baru, seperti Pakkaja yangdibangun oleh migran Bugis yang berasal dariSulawesi Selatan. Dari penelitian Balai ArkeologiBanjarmasin, menunjukkan banyak lokasi-lokasipertanian dan perkebunan di kawasan tersebutyang dulunya merupakan area jelajah pertaniandan perkebunan dari penduduk Tanah Bumbu.Pada masa tersebut warga di perkampungantersebut diketahui telah melakukan hubunganperdagangan dengan melakukan transaksi jualbeli kopra, melalui pedagang-pedagang diBanjarmasin (Nuralang, 2007: 17). Namunsulitnya medan yang harus ditempuh danminimnya akses yang bisa digunakan nelayan-nelayan di dalam kawasan Tanah Bumbu, sertadampak krisis ekonomi 1930 telah memaksasebagian dari mereka masuk dalam kegiatanjaringan penyelundupan kopra antarpulau.Banyak pemilik perahu Bugis tidak hanyamelakukan kegiatan di sektor perikanan tangkap,namun juga berperan serta dalam kegiatanpenyelundupan berbagai bahan makanan dankopra hingga ke wilayah Tawau, Malaysia(Wawancara dengan Usman Lundrung, 2012).

Mengembangkan Usaha Perahu Rakyatdalam Bidang Transportasi Laut

Seiring dengan keberadaan orang-orang Bugisbermukim di pesisir timur dan selatan Borneo(Kalimantan) pada 1900-an, turut berkembang

Page 11: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu)

34

pula aspek pelayaran dan perdagangan. Selainitu, muncul beberapa pelabuhan laut yangmelayani perdagangan antar pulau, sepertipelabuhan Pagatan di Keresidenan bagianSelatan dan Timur yang dikembangkan orang-orang Bugis. Berawal dari Kampoeng Pagattangyang dibuka oleh Puanna Dekke pada 1830,berkembang menjadi bandar kecil yang strategisberbatasan dengan Laut Jawa dan berada didaerah aliran Sungai Kusan (Muller, 1857: 301).

Oleh karena itu, keberadaan pelabuhankecil Pagatan dapat digolongkan dalam daerahexpansion of Bugis trade. Kemudian pada 1900berkembang pelabuhan Batulicin dan Kotabaru.Pelabuhan ini berkembang karena interaksiperdagangan, baik penduduk asli, migran dariSulawesi Selatan maupun peran pemerintahkolonial Belanda yang melakukan pengangkutanbatubara di wilayah Pelabuhan Kotabaru (PulauLaut). Sejak pertengahan abad ke-19 hingga awalabad ke-20, pelabuhan Pagatan dan Batulicinmenjadi pelabuhan perahu rakyat alternatif disamping pelabuhan utama Kotabaru danpelabuhan besar Banjarmasin di kawasan Keresi-denan Borneo (Kalimantan) bagian Selatan danTimur (Abidin, 1983: 61).

Mengenai jalur perdagangan awal diwilayah Tanah Bumbu dapat ditelusuri kembalidari catatan Van der Ven. Pada 1846 terdapatdua kapal bermuatan rotan dan lilin berlayar dariPagatan ke Singapura. Dalam hal ini, perananpenting jalur pelayaran perahu rakyat di daerahPagatan sudah muncul sejak abad ke-19. Bahkan,terbentuk pelayaran antarpulau atau interinsuleryakni Pagatan-Makassar, Pagatan-Jawa danPagatan-Singapura. Demikian halnya diungkap-kan Poelinggomang, perdagangan antaraMakasar-Maluku dan Timor serta Makassardengan kepulauan lainnya (Bali, Lombok,Sumbawa dan Borneo) berkembang pesat antaratahun 1830-1846 (Poelinggomang, 2002: 144).

Kemudian dari catatan van der Stok tahun1863, dilaporkan bahwa salah satu pemasukanimpor di Pulau Selayar adalah barang dariPagatan yakni sejumlah komoditas dengan totalbiayanya f 405. Sayangnya van der Stok tidakmerinci barang-barang yang berasal dari Pagatan

tersebut. Hanya dalam daftar barang impor diPulau Selayar terdapat dua komoditas yangdihasilkan di wilayah Pagatan yakni rotan dangambir. Adapun jumlah perahu dari Pagatanterdapat dua buah dengan biaya f 9,5 per satuankomoditasnya (van der Stok, 1931). Jalurpelayaran dan perdagangan interinsuler dari danke wilayah Pagatan tersebut bisa dikategorikansebagai jalur sepi karena sedikitnya kapal yangmelewati jalur tersebut. Walaupun demikian,keberadaan pelayaran ini sudah menggambarkanbahwa hubungan antara migran Bugis dengandaerah asal di Sulawesi Selatan sudah terjaga danberlangsung secara kontinu sejak abad ke-19.Selain data tersebut, hanyalah data umum yangbisa didapatkan dari data-data statistik tentangperdagangan di Borneo (Kalimantan) bagianselatan dan timur.

Kelangkaan catatan statistik tentangvolume perdagangan di wilayah Tanah Bumbuyang dilakukan oleh orang Bugis ini,kemungkinan karena perdagangan umumnyadilakukan oleh perahu layar secara tradisional.Perahu layar yang dipergunakan dalamperdagangan antarpulau pada 1900-an adalahperahu pinisi, pelari maupun sekonyer. Jenisperahu inilah yang dipergunakan atau berfungsisebagai perahu layar yang mengarungi laut atausamudera biasanya membawa lepa lepa yangberfungsi sebagai sekoci pada kapal laut yangbesar. Biasanya perahu atau lepa-lepa ini diikat diburitan perahu layar yang mengarungi laut atausamudera. Ini dipakai sebagai alat transportasidari perahu layar tersebut ke darat atau pantaiketika perahu tersebut berlabuh atau singgahpada suatu tempat di wilayah Nusantara(Syarifuddin, 1992: 30). Selain itu, kemungkinankarena jalur pelayaran dan perdagangan yangtidak ramai di wilayah Tanah Bumbu(Pelabuhan kecil Pagatan dan Batulicin)sehingga sangat jarang sekali terdapat catatanstatistik tentang pelayaran dan perdagangan diwilayah ini.5

Dalam perkembangannya, denganmunculnya armada KPM yang dimotoripemerintah Hindia Belanda, peranan perahulayar seperti di pelabuhan Pagatan, Kotabaru dan

Page 12: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 24-39

35

Batulicin pun berubah fungsi. Menurut EndangSusilowati, kapal layar berubah menjadi alattransportasi pembantu atau feeder vessels. Hal initampak dengan makin menurunnya jumlah dankapasitas perahu yang singgah di pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia sampai denganpertengahan tahun 1920-an, denganperkecualian pelabuhan Makassar (Susilowati,2004: 15-160). Dalam hal ini, keberadaanarmada perahu KPM di beberapa kasus dipelabuhan besar memang menggantikan posisiperahu rakyat. Namun tidak demikian halnyadengan pelayaran perahu di daerah Pagatan.Keberadaan perahu rakyat justru menjadipenyuplai komoditas perdagangan dari parapedagang pribumi. Kemudian perahu rakyat inijuga melakukan pelayaran dan perdagangan kerute yang dilalui oleh kapal KPM milikpemerintah Belanda (Susilowati, 2004: 6).

Dinamika pelayaran perahu terjadi pada1930 secara global. Hal ini dilatarbelakangi krisisekonomi atau yang lebih dikenal dengan malaise.Pada 1930 merupakan puncak terjadinya krisisekonomi yang bersekala internasional. Tentusaja, bagi wilayah Hindia Belanda sangatterpukul dengan adanya krisis tersebut, karenabanyak produksi yang berorientasi ekspor sangatrentan terhadap siklus perdagangan.

Krisis ini telah membawa dampak negatifterhadap aktivitas pelayaran dan perdagangan diHindia Belanda, terutama bagi pelayaran kapaluap secara keseluruhan, termasuk KPM. KPMsebagai pemegang monopoli pelayaranantarpulau mengalami banyak kesulitan sehu-bungan dengan krisis tersebut. Jatuhnya hargaberbagai komoditas telah menyebabkan parapedagang tidak bisa membayar premi untukpelayanan KPM yang tinggi. Pedagangmenginginkan kapal laut yang lebih murahbiayanya dibandingkan kapal KPM. Keinginanpara pedagang itu tentunya merupakan kabargembira bagi armada kapal kecil dan armadaperahu.

Pada saat itu telah dikembangkan kapalkayu bermesin diesel yang biaya operasionalnyajauh lebih ekonomis dibandingkan kapal uap,sehingga tarifnya pun lebih murah. Di samping

kapal kayu, untuk memenuhi kebutuhan akansarana transportasi laut yang murah, armadaperahu layar tampil sebagai “penyelamat” karenakapal uap sedang collapse. Tidak hanya parapedagang pribumi saja yang kemudianberpindah untuk mengangkut barang daganganmereka, tetapi juga banyak firma dagang Cinadan Eropa yang memanfaatkan saranatransportasi murah tersebut (Susilowati, 2004:150-151). Sebagai gambaran hubungan antarapedagang pribumi dengan armada dagang KPMdapat dilihat pada Gambar 2.

Dari periode 1929 hingga 1931 yangberlanjut hingga 1942, rata-rata muatan perahudi berbagai pelabuhan di Hindia Belandamengalami kenaikan, sedangkan muatan kapaluap menurun. Pada tahun-tahun tersebut,pelayaran kapal uap dapat dikatakan mengalamikelumpuhan karena biaya operasi yang tinggitidak mungkin dapat tertutup dalam kondisipasar yang sangat lesu. Perahu yang berteknologisederhana justru tetap dapat survive dan bahkanmenjadi andalan pedagang dalam perdaganganantarpulau. Dalam masa depresi ekonomi, jalur-jalur pelayaran utama kembali diramaikan olehkiprah perahu layar (Susilowati, 2004: 150-151).

Gambar 2. Perahu Pedagang Bugis dan Kapal KPMdi Kotabaru, 1940

Sumber: http://www.kitlv.nl.eo, 2012.

Pada masa krisis tersebut pelayaranperahu telah berekspansi keluar peranannyasebagai vedeer vessel dan melayani jaringanantarpulau secara intensif karena permintaan

Page 13: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu)

36

pasar. Bahkan tidak menutup kemungkinan jugatelah terjadi diversifikasi dalam pelayaran danperdagangan oleh armada perahu dalam kurunwaktu krisis ekonomi tersebut. Misalnya, pada1931 di Bima terjadi kegagalan panen bawangputih, namun pada musim angin timurpangkalan perahu di Bima tetap dipadati perahu-perahu Bugis. Kecuali itu, para pedagang dipantai timur Borneo (Kalimantan) mulaimendatangkan bawang putih langsung dari Bimatanpa melalui Makassar (Susilowati, 2004: 150).

Sebagai pelabuhan kecil alternatif,pelabuhan Pagatan memang tidak terkenadampak malaise secara langsung. Akan tetapi,krisis ini malah mendorong makin ramainyapelayaran perahu rakyat ke Pagatan yangmenjadi alternatif perdagangan yang melayaniperdagangan ke daerah Borneo (Kalimantan)bagian selatan dan timur. Satu hal yang menjadiperkembangan penting, posisinya yang strategisdalam jaringan perdagangan Borneo-Celebes-Jawa, selain pelabuhan Banjarmasin. Apalagimenurunnya volume pelayaran kapal uap,menjadikan Pagatan sebagai salah satupelabuhan kecil alternatif di dekade 1930 sampai1942. Karena posisinya yang strategis, dalamkurun waktu 1930 sampai 1942 tersebut, daerahPagatan juga menjadi salah satu rute pelayaranRoepelin dengan Surabaya sebagai pangkalan-nya. Rute ke Borneo (Kalimantan) ini melayanipelabuhan di Borneo (Kalimantan) bagian barat,timur dan selatan, seperti Banjarmasin,Kotabaru, Pagatan, Balikpapan, Samarinda danPontianak. Untuk rute pelayaran ini, muatanyang diangkut berbagai macam barang impor,beras, gula, botol kosong, dan besi tua. Pelayarankembali ke Surabaya mengangkut kayu, kopradan kelapa (Susilowati, 2004).

SIMPULAN

Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwaterdapat tiga faktor yang mendorong dansekaligus daya tarik migrasi dan terbentuknyajaringan ekonomi Suku Bugis di wilayah TanahBumbu. Faktor pertama adalah faktor alam,berhubungan dengan potensi sumber daya alam

di pesisir Tanah Bumbu yang memungkinkandikelola. Kemudian faktor politik, berhubungandengan kondisi politik di Sulawesi Selatan yangtidak memungkinkan lagi untuk menunjangpenghidupan. Selanjutnya adalah faktorekonomi, berhubungan dengan upaya migranBugis di Tanah Bumbu untuk meningkatkantaraf kehidupannya di tanah rantau.

Ketiga hal ini mengindikasikan begitukuatnya keinginan bertahan hidup dan motifekonomi dalam setiap mobilitas yang dilakukanorang Bugis menjadi pendorong yang luar biasauntuk selalu mencari peluang ekonomi danpenghidupan yang lebih baik di berbagai tempatyang mereka datangi. Hal itu tampaknya menjadiciri khas yang melekat dalam diri orang Bugis.

Wilayah Tanah Bumbu yang secaraadministratif terletak di Afdeeling Pasir en deTanah Boemboe, Residentie Borneo’s Zuid enOosterafdeeling (Karesidenan Borneo BagianSelatan dan Timur) merupakan tempat migrasiterbesar orang Bugis, jika dibandingkan berbagaiwilayah lain di Indonesia. Di wilayah tersebutorang Bugis beradaptasi dan berusahamembangun penghidupan di tanah yang baru.Secara bertahap mereka membentuk suatujaringan ekonomi orang Bugis. Dalam kurunwaktu 1930, keberadaan ponggawa Bugis turutmemberikan andil terhadap perkembanganekonomi di Tanah Bumbu di tengah depresiekonomi. Usaha perikanan ini dibangun olehorang Bugis yang berasal dari strata sosial to-maradeka (orang merdeka) dan anakarung(bangsawan/elit tradisional). Karena faktordepresi ekonomi 1930, orang Bugis di Pagatanjuga mengembangkan sistem pertanian bahuma(bertani) dan membuat kopra menjadi bagiandari strategi adaptasi ekonomi. Orang Bugis jugamengembangkan usaha perahu rakyat dalambidang transportasi laut. Armada perahu rakyatyang dipergunakan dalam perdaganganantarpulau pada 1930-an adalah perahu pinisi,pelari, dan sekonyer. Pada masa malaise usahayang terakhir ini utamanya mampu bertahan danberkembang, bahkan dapat bersinergi denganpemerintah Hindia Belanda.

Page 14: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 24-39

37

CATATAN

1Pembagian wilayah Borneo/Kalimantan berdasarkan“Besluit van den Minister van Staat, Gouverneur Generaalvan Nederlandsch-Indie”, 27 Agustus 1849 No. 8,Staatsblad van Nederlandisch Indie voor het Jaar 1849.Batavia: Ter Lands Drukkerij, hlm.1-2; “De Minister vanStaat, Gouverneur Generaal van Nederlandsc Indie”,dalam L.J.A. Tollens (1856). Verzameling van Wetten,Besluiten, Bepalingen, Kennisgaven, enz, over de Jaren 1808-1856, Tweede Deel. Batavia: Lange & Co., hlm. 160; “HetEiland Borneo en Zijne Bewoners”, dalam J. B. J. vanDooren (1860). Bijragen tot de Kennis van VerschillendeOverzeesche Landen, Volken, enz, Eesrste Deel. Amsterdam:J.D. Sybrandi, hlm. 241.2Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel(1930). Volkstelling (Population Census), DefinitieveUitkomsten van de Volkstelling 1930. Batavia: Departementvan Landbouw, Nijverheid en Handel, hlm. 28, 47-8; Lihatjuga Muhammad Idrus Abustam (1983). “GerakPenduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial KasusTiga Komunitas Padi Sawah di Sulawesi Selatan”. Tesispada Institut Pertanian Bogor, hlm. 260: Lihat jugaWidjojo Nitisastro (1970). Population Trends in Indonesia.Ithaca & London: Cornell University Press, hlm. 88-91.3Mengenai hubungan Ajjoareng dan Joa, lihat ChristianPelras (2000). “Patron-Client Ties Among the Bugis andMakassarese of South Sulawesi”, Authority and EnterpriseAmong the Peoples of South Sulawesi. Leiden: KITLV, hlm.400-405.4Mengenai perompakan dan perdagangan gelap di Borneo(Kalimantan) sebenarnya sudah berlangsung lama sejakpertengahan abad ke-19. Sebagaimana dilaporkan dalamlaporan Politik Hindia Belanda terdapat perompakan AjiBedu dan Daeng Manggading di wilayah Tanjung Selatandan Batulicin pada tahun 1845-an. Lihat ANRI (1973).Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848.Djakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, hlm. xci.5Misalnya dalam kumpulan data statistik Jeroen Touwen(2000). Shipping and Trade in The Java Sea Region 1870-1940: A Collection of Statistics on the Major Java Sea Regionhanya membahas tentang data statistik pelayaran danperdagangan di wilayah Banjarmasin tanpa memuat datadata tentang pelabuhan pelabuhan kecil di wilayahsekitarnya.

REFERENSI

Abidin, Andi Zaenal (1983). Persepsi OrangBugis, Makasar Tentang Hukum, Negara danDunia luar. Bandung: Alumni.

Abustam, Muhammad Idrus (1983). “GerakPenduduk, Pembangunan dan PerubahanSosial Kasus Tiga Komunitas Padi Sawah di

Sulawesi Selatan”. Tesis pada InstitutPertanian Bogor.

ANRI (1973). Ikhtisar Keadaan Politik HindiaBelanda Tahun 1839-1848. Djakarta:Arsip Nasional Republik Indonesia.

ANRI (1849). “Besluit van den Minister vanStaat, Gouverneur-Generaal vanNederlandsch-Indie”, tanggal 27 Agustus1849 No. 8, Staatsblad van NederlandischIndie Voor Het Jaar 1849. Batavia: TerLands Drukkerij.

BPS Kabupaten Tanah Bumbu (2009). TanahBumbu dalam Angka 2009. Batulicin: BPSTanah Bumbu.

Bleckmann, G. M. (1953). “Iets over hetNoodzake-lijke en Voorkelige EenerNegerlandshe Vestiging op de Ooskustvan Borneo”, dalam Jacob swart,Verhandelingen en Berigten Betrekkelijk hetZeewegen, Zeevaartkunde, de Hydrographie,de Kolonien. Amsterdam: G. Hulst vanKeulen.

Burger, D. H. (1960). Sejarah Ekonomi SosiologisIndonesia. Jakarta: Pradnja Paramita.

De Wit, Augusta (1940). Natuur in Zuid en OostBorneo, Fauna, Flora en Natuurbeschermingin de Zuider en Oosterafdeling van Borneo.door de Ned. Indie Vereeniging totNatuur-bescherming, 1926-1940.

Departement van Landbouw, Nijverheid enHandel (1930). Nijverheid en Handel:Volkstelling (Population Census),Definitieve Uitkomsten van de Volkstelling1930. Batavia: Departement vanLandbouw, Nijverheid en Handel.

Gooszen, A. J. (1999). A Demographic History ofthe Indonesian Archipelago, 1880-1942.Nether-lands: KITLV Press.

Hugo, Greeme J. et. al. (1987). The DemographicDimension in Indonesian Development.Singapore: Oxford University Press.

Hollander, J. J. (1864). Borneo’s Zuider en OosterAfdeling. Handleiding bij de Beoefeningder Land en Volkenkunde vanNederlansch Oost Indie, KoninklijkeMilitaire Akademie.

Page 15: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Mansyur (Migrasi dan Jaringan Ekonomi Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu)

38

Ideham, M. Suriansyah et. al. (ed.) (2003).Sejarah Banjar. Banjarmasin: PemerintahProvinsi Kalimantan Selatan.

Kartodirdjo, Sartono (1999). Pengantar SejarahIndo-nesia Baru: Sejarah PergerakanNasional dari Kolonialisme SampaiNasionalisme, Jilid 2. Jakarta: Gramedia.

Koroh, Alex A. (2009). Lintasan SejarahPemerintahan Daerah di KalimantanSelatan 1901-1957. Banjarbaru: ScriptaCendekia.

Koninklijk Instituut voor Taal, Land enVolkenkunde (KITLV) (1940). ArmadaKPM di Pelabuhan Stagen (Kotabaru).Diperoleh dari http:// www.kitlv.nl.eo.

Lenggono, P. Setia (2011). “Ponggawa danPatronase Pertambakan di DeltaMahakam, Teori Pembentukan EkonomiLokal”. Disertasi pada SekolahPascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Levang, Patrice (2010). La Terre de en Face: LaTransmigration en Indonesia (Ayo ke TanahSabrang: Transmigrasi di Indonesia),terjemahan Sri Ambar Wahyuni Prayoga.Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Linneton, Jacqueline (1973), “Passompe’ Ugi’:Bugis Migrants and Wanderers”, Archipel,Volume 10.

Muller, Solomon (1857). “Reis duur eengedeelte der Sultans en zoogenaamdeLawut landen, ten oosten en zuidoostenvan de hoofdlaats Bandjermasin” dalamReizen en Onderzoekingen in den IndischenArchipel, gedaan op las der NederladscheIndische Regering, Tussen de Jaren 1828 en1836, Eerste Deel. Amsterdam:FrederikMuller.

Naim, Mochtar (1979). Merantau: Pola MigrasiSuku Minangkabau. Yogyakarta: GadjahMada University Press.

Nitisastro, Widjojo (1970). Population Trends inIndonesia. Ithaca & London: CornellUniversity Press.

Nuralang, Andi (2007). “Jejak Komunitas BugisMakassar, Suatu Indikasi Adaptasi Ling-kungan: Tinjauan Sejarah dan Arkeologi”.Balai Arkeologi Banjarmasin.

Pelras, Christian (2000). “Patron-Client TiesAmong the Bugis and Makassarese ofSouth Sulawesi”. In Authority andEnterprise Among the Peoples of SouthSulawesi. Leiden: KITLV.

Poelinggomang, Edward L. (2002). MakassarAbad XIX: Studi Tentang KebijakanPerdagangan Maritim. Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia.

Susilowati, Endang (2004). Pasang SurutPelayaran Perahu Rakyat di PelabuhanBanjarmasin, Tahun 1880-1990. Disertasipada Universitas Indonesia, Jakarta.

Schwaner, Carl Anton Ludwig Maria (1853).Historische, Geograpische en StatistiekeAantee-keningen Betreffende TanahBoemboe. Tidjschrift Voor Indische TaalLand en Volkenkunde, Batavia: Lange &Co.

Stanford’s Geographical Establishment (1919).Diperoleh dari https://exhibits.stanford.edu.

Syarifuddin (1992). Perahu Bugis Pagatan.Banjarbaru: Museum Negeri LambungMangkurat, Provinsi Kalimantan Selatan.

Touwen, Jeroen (2000). Shipping and Trade inthe Java Sea Region 1870-1940: ACollection of Statistics on the Major Java SeaRegion. Semarang: Diponegoro UniversityPress.

Stok, N. V. van der (1866). “Het Eiland Saleier”.In Tijdscrift voor Indische Taal Land enVolkenkunde. Uitgeven Door HetBataviaasch Genootschap van Kunsten enWaten-schappen. Deel XV. Batavia: sHage& M. Nijhoff.

Veth, Pieter Johannes (1869). Aardrijkskundig enstatistisch woordenboek van NederlandschIndie. Amsterdam: Van Kampen.

WAWANCARA

Andi Tajuddin, 20 Maret 2012.Abdul Kadir WellangTanah Bumbu, 3 Maret

2012.Bustani Azhar, 24 Maret 2012.Usman Lundrung, 23 Maret 2012.

Page 16: MIGRASI DAN JARINGAN EKONOMI SUKU BUGIS DI …

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 1, 2016, hlm. 24-39

39

M. Koding (Zainuddin), Tanah Bumbu, 20Maret 2012.

M. Kasran Hamid, Tanah Bumbu, 20 Maret2012.