Upload
truongtram
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI PENGGUNAAN ASAP CAIR SEBAGAI INHIBITOR KERAKKALSIUM KARBONAT (CaCO3) MENGGUNAKAN
METODE SEEDED EXPERIMENT
(Skripsi)
Oleh
Eka Setiososari
JURUSAN KIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG2018
ABSTRACT
STUDY OF LIQUID SMOKE AS A CALSIUMCARBONATE (CaCO3) SCALE INHIBITOR USING
SEEDED EXPERIMENT METHOD
By
Eka Setiososari
The formation of scale is a serious problem and often inflicted in industrial worldsuch as oil and gas industry. One of the most commonly encountered scale is calciumcarbonate (CaCO3). Therefore, in this study used scale inhibitor that can prevent theformation scale in a long period and it was cost of a relatively affordable. Thisresearch was conducted by using seeded experiment method at temperature 90 oCwith concentration of CaCO3 growth solution of 0.050; 0.075; 0.100; and 0.125 Mand inhibitor concentration variations added of 50, 150, 250 and 350 ppm. Thehighest percent of inhibitor effectiveness at the growth solution concentration of 350ppm and inhibitor concentration of 0.050 M is growth 277.6%. Based on qualitativeanalysis using Scanning Electron Microscopy (SEM) showed that the surface ofCaCO3 without inhibitor is bigger and solid compared with the addition of inhibitor.In the other hand, the quantitative analysis using Particle Size Analyzer (PSA)showed that the particle size distribution of CaCO3 scale became smaller with theaddition of inhibitor from 5.146 μm to 2.897 μm. Structural identification of CaCO3
crystal using X-Ray Raction (XRD) shows there was no change significantly beforeor after addition of the inhibitor.
Keywords: CaCO3, inhibitor, liquid smoke, scale.
ABSTRAK
STUDI PENGGUNAAN ASAP CAIR SEBAGAI INHIBITOR KERAKKALSIUM KARBONAT (CaCO3) MENGGUNAKAN
METODE SEEDED EXPERIMENT
Oleh
Eka Setiososari
Terbentuknya kerak merupakan masalah yang cukup serius dan sering ditimbulkandalam dunia industri diantaranya industri minyak dan gas. Salah satu kerak yangsering dijumpai adalah kalsium karbonat (CaCO3). Oleh karena itu, dalam penelitianini digunakan inhibitor kerak yang dapat mencegah terbentuknya kerak dalam periodelama serta biayanya yang relatif terjangakau. Penelitian ini dilakukan denganmenggunakan metode penambahan bibit kristal (seeded experiment) pada suhu 90oCdengan konsentrasi larutan pertumbuhan CaCO3 sebesar 0,050; 0,075; 0,100; dan0,125 M serta variasi inhibitor dari 50, 150, 250 dan 350 ppm. Persen efektifitasinhibitor tertinggi pada konsentrasi larutan pertumbuhan 350 ppm serta konsentrasiinhibitor 0,050 M yaitu sebesar 277,6%. Berdasarkan analisis kualitatif menggunakanScanning Electron Microscopy (SEM) menunjukan bahwa permukaan kerak CaCO3
tanpa inhibitor lebih besar dan padat dibandingkan dengan penambahan inhibitor.Sedangkan analisis kuantitatif menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)menunjukan bahwa distribusi ukuran partikel kerak CaCO3 menjadi lebih kecildengan adanya penambahan inhibitor yaitu dari 5,146 µm menjadi 2,897µm.Identifikasi struktur kristal CaCO3 menggunakan X-Ray Diffarction (XRD)menunjukan puncak difraktogram yang tidak mengalami perubahan secara signifikansebelum maupun sesudah penambahan inhibitor.
Kata kunci : Asap cair, CaCO3, inhibitor, kerak.
STUDI PENGGUNAAN ASAP CAIR SEBAGAI INHIBITOR KERAKKALSIUM KARBONAT (CaCO3) MENGGUNAKAN
METODE SEEDED EXPERIMENT
Oleh
Eka Setiososari
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh GelarSARJANA SAINS
Pada
Jurusan KimiaFakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama lengkap Eka Setiososari dilahirkan di
Kotagajah pada tanggal 17 Juli 1995, merupakan anak dari
Bapak Asngari dan Ibu Sri Suharyati, sebagai anak sulung dari
tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di TK PGRI 1
Tulung Balak lulus pada tahun 2001, melanjutkan ke SDN 1
Purwosari lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Kotagajah lulus
pada tahun 2010, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2
Kotagajah lulus pada tahun 2013. Saat SMA penulis aktif dalam organisasi Karya
Ilmiah Remaja (KIR) dan majalah sekolah (DIKSI). Tahun 2013 penulis terdaftar
sebagai mahasiswi jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA) Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN).
Selama menempuh pendidikan di kampus, penulis mendapat beasiswa Bidik Misi
pada tahun 2013 sampai 2017. Selain aktif di perkuliahan penulis pernah menjadi
asisten praktikum Kimia Dasar serta aktif dalam berorganisasi, diantaranya sebagai
anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) BEM FMIPA
Unila 2014/2015, anggota Biro Kesekretariatan HIMAKI FMIPA Unila periode
2014/2015, dan Ketua Biro Kesekretariatan HIMAKI FMIPA Unila periode
2015/2016. Tahun 2016 penulis telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL)
yang berjudul Studi Penggunaan Asap Cair sebagai Inhibitor Kerak Kalsium
Karbonat (CaCO3) Menggunakan Metode Seeded Expariment di Laboratorium Kimia
Anorganik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung. Penulis juga telah melaksanakan kegiatan KKN-PPM di
Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat pada bulan Juli-Agustus 2016. Selain itu
penulis juga pernah mengikuti acara yang diselenggarakan oleh Kemenpora RI yaitu
Kirab Pemuda 2017 sebagai peserta inti.
Do my best, so that I can’t blame myself
-Magdalena Neuner-
Hidup itu seperti sepeda, agar tetap seimbang
kau harus terus bergerak
-Albert Einstein-
Dengan kerendahan hati dan mengharap ridho Allah SWT
Kupersembahkan karya kecil ini kepada :
Orang tuaku,yang senantiasa memberikan do’a, kasih sayang, dukungan, dan
motivator utamaku
Adik-adikku yang selalu memberi bantuan dan kebahagian untuksetiap langkahku
Dengan rasa hormat kepada Prof. Suharso, Ph.D.,Prof. Dr. Buhani, M.Si. dan Dr. Agung Abadi K., M.Sc. serta seluruh
Dosen Jurusan Kimia yang telah membimbing dan mendidikku selamamenempuh pendidikan di kampus
Sahabat dan teman-teman yang telah memberikan banyak warna danpelajaran dalam hidupku
Dan almamater tercinta, Universitas Lampung
SANWACANA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya milik Allah, yang telah memberikan segala bentuk rahmat, hidayah
dan inayah-Nya yang tak bertepi. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW. Pembawa rahmat bagi seluruh alam, suri tauladan
yang baik bagi seluruh umat manusia. Semoga kita sebagai umatnya diberikan
keistiqomahan dalam menjalankan sunnah-sunnahnya. Atas segala karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Studi Penggunaan Asap Cair sebagai Inhibitor Kerak Kalsium Karbonat
(CaCO3) Menggunakan Metode Seeded Experiment”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di Jurusan Kimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan berupa dukungan baik moril maupun material kepada
penulis dari awal perkuliahan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, terutama
kepada :
1. Kedua Orang Tua tercinta Ibu Sri Suharyati dan Bapak Asngari yang selalu
memberikan semangat, motivasi, pengalaman, dan doa yang tak pernah henti-
hentinnya terucap untuk saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, serta
segala perjuangan dan pengorbanan yang telah diberikan. Semoga Allah SWT
selalu memberikan kesehatan, menjaga, dan melindunginya. Aamiin
2. Adikku Aditrio Fikri Yanto yang telah memberikan warna-warni tingkahnya
sehingga dapat menjadi penyemangat dan my twin Dwi Asmitasari yang selalu
memberikan semangat dengan caranya (yang selalu ngajak berantem) dan bikin
mood pelangi. Terimakasih atas segala totalitas yang diberikan kepadaku.
3. Keluarga Satu Produksi yang telah memberikan nasihat, motivasi, dan semangat
yang terkadang buat kocak, terutama kakek yang selalu memberi semangat dan
nasehat.
4. Prof. Suharso, Ph.D. selaku pembimbing I yang telah bersedia membimbing
penulis dan telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan, gagasan,
bantuan, dukungan, semangat, kesabaran, dan nasehat-nasehatnya kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan yang terbaik dan
membalas segala kebaikan Bapak.
5. Prof. Dr. Buhani, M.Si. selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan
ilmu pengetahuan, bimbingan, gagasan, bantuan, dukungan, semangat,
kesabaran, dan nasehat-nasehatnya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Semoga Allah memberikan yang terbaik dan membalas segala kebaikan Ibu.
6. Dr. Agung Abadi K., M.Sc. selaku pembahas yang telah memberikan kritik ,
saran, arahan, dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini
terselesaikan dengan baik.
7. Prof. Dr. Sutopo Hadi, S.Si, M. Sc., selaku pembimbing akademik, penulis
ucapkan terimakasih banyak kepada bapak atas kesediaannya untuk memberikan
bimbingan, nasehat dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis dari awal
perkuliahan hingga penulis telah menyelesaikan skripsi.
8. Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T., selaku Ketua Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung atas segala
bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
9. Prof. Warsito, S.Si., D.E.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
10. Seluruh Dosen Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung atas ilmu, bimbingan, pengalaman, dan semangat yang
telah diberikan kepada penulis. Semoga menjadi amal jariah. Aamiin
11. Seluruh civitas akademika Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan serta
dukungan kepada penulis.
12. Guru-guruku yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang
sangat berguna kepada penulis selama menempuh pendidikan.
13. Special partner Bella Aldila dari masih menjadi Mahasiswa Baru hingga penulis
menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas semua warna-warninya.
14. Keluarga Cendrawasih yang sudah seperti keluarga sendiri Bella, Dina, Lando,
Mira, Diah, Qibtya, Kiki, Desty dan semua penghuni cendrawasih baik yang
sudah lulus atau yang masih bertahan, terimakasih atas loyalitas kalian dalam
segala hal.
15. Keluarga besar Chetir (Chemistry Thirteen) yang membersamai dalam
perkuliahan, membantu, dan memberikan semangat dari masih Mahasiswa Baru
sampai penulis menyelesaikan skripsi. Ana, Anton, Arief, Arni, Aulia, Awan,
Bara, Badiatul, Citra, Khomsatun, Nabilla, Yuni, Dicky, Dilla, Dona, Rezky,
Erva, Esti, Fatimah, Febri, Fentri, Fera, Fika, Gesha, Khalimah, Nessia, Inggit,
Ismi, Kartika, Kiki, Linda, Lulu, Mega, Melia, Melita, Mia, Monica, Nia, Nita,
Nova, Nurma, Nurul, Oci, Paul, Riska, Ryan, Ryan Amha, Shella, Shinta, Siti,
Tia gyta, Tyas, Murnita, Uut, Vicka, Vyna, Dewi, Widya, Yudha, Yulia, Yuvica,
Indah, Della, Hermayana, Mayya, Carmel, Hernora, Renita, Anita, Netty, Anggi,
Tika, Celli, Anggun, Mega, Radho, Ezra, Yolanda, Yunitri, Ridho, Korina,
Kurnia, Dodi.
16. Sahabat-sahabat seperjuangan Dona, Indah, Kiki, Nessia, Yudha, Yuvica, Yuni,
Anton, Nabilla, Fentri, Shella, dan personil CCS (Oci, Yulia, Indah, Nurma,
Khomsatun, Anggi) kesayangan, terimakasih atas doa, semangat, motivasi, dan
keceriaan kalian.
17. Hawer-hawer (Agil, David, Riva’i, Andi, Bella), terimakasih telah menjadi
motivasi, semangat, dan gila kalian yang bikin mood boaster.
18. Partner satu bimbingan Arief, Awan, dan semua personil laboratorium
anorganik, serta partner satu Pembimbing Akademik Linda, Kartika, Nova,
beserta 30 personil KKN-PPM terimakasih atas kepedulian, saran, bantuannya,
dan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.
19. Kak Tiand, Mbak Ais, Mbak Nila, Kak Anwar, dan Kak Irkham terimakasih atas
bimbingan, masukan, dan sarannya.
20. Keluarga Kirab Pemuda dari 34 provinsi dan 4 OKP, terimakasih atas pelajaran,
motivasi, semangat, dan cerita pengalaman kalian. See you on top guys
21. Sahabat dan teman-teman sejak kecil hingga sekarang yang tidak dapat saya
sebutkan satu per satu, terimakasih telah memberikan warna-warni kehidupan.
22. Seluruh teman-teman kimia dari berbagai angkatan, baik senior maupun junior,
terimakasih atas bimbingan, arahan, dan juga menjadi bahan pembelajaran untuk
saya selama duduk dibangku perkuliahan.
23. Seluruh civitas akademika Universitas Lampung dan Almamater tercinta
Universitas Lampung.
Bandar Lampung, Januari 2018Penulis,
Eka Setiososari
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... v
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
C. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Proses Pengendapan Senyawa Anorganik pada Peralatan Industri 6
B. Kerak................................................................................................ 7
C. Mekanisme Pembentukan Kerak ..................................................... 9
D. Kalsium Karbonat (CaCO3) ............................................................ 15
E. Faktor Pembentuk Kerak .............................................................. 18
1. Kristalisasi ................................................................................. 19
2. Kelarutan Endapan .................................................................... 22
3. Derajat Lewat Jenuh (Supersaturasi) ........................................ 23
F. Waktu Induksi .................................................................................. 27
G. Metode Pencegahan Terbentuknya kerak Kalsium Karbonat
(CaCO3) .......................................................................................... 28
1. Pengendalian pH ....................................................................... 29
ii
2. Pelunakan dan Pembebasan Mineral Air .................................. 29
3. Penggunaan Inhibitor Kerak ..................................................... 30
H. Kandungan Asap Cair ...................................................................... 34
I. Metode Seeded Experiment.............................................................. 38
J. Analisis dan Karakterisasi Kerak Kalsium Karbonat (CaCO3)
1. Spektrofotometri Inframerah (IR) ............................................. 39
2. Scanning Electron Microscope (SEM) ..................................... 40
3. X-Ray Diffraction (XRD) .......................................................... 43
4. Particle Size Analyzer (PSA) .................................................... 45
III. METODOLOGI PERCOBAAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 48
B. Alat dan Bahan .............................................................................. 48
C. Prosedur Penelitian ........................................................................ 49
1. Preparasi Bibit Kristal ............................................................. 49
2. Penentuan Laju Pertumbuhan kerak CaCO3 Tanpa Inhibitor
pada Konsentrasi Larutan Pertumbuhan yang Berbeda dengan
Metode Seeded Experiment .................................................... 49
3. Penentuan Laju Pertumbuhan kerak CaCO3 dengan
Penambahan Inhibitor pada Konsentrasi Larutan Pertumbuhan
yang Berbeda dengan Metode Seeded Experiment ................ 50
D. Analisis Data ................................................................................. 51
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Gugus Fungsi dari Asap Cair Menggunakan
Spektrofotometer Infra Merah (IR) .............................................. 52
B. Penentuan Laju Pertumbuhan Kristal CaCO3 Tanpa Inhibitor
pada Konsentrasi Larutan Pertumbuhan yang Berbeda
Menggunakan Metode Seeded Experiment................................... 55
C. Penentuan Laju Pertumbuhan Kristal CaCO3 dengan Inhibitor
pada Konsentrasi Larutan Pertumbuhan yang Berbeda
Menggunakan Metode Seeded Experiment................................... 56
iii
1) Penentuan Laju Pertumbuhan Kristal CaCO3 dengan
Variasi Konsentrasi Inhibitor Asap Cair pada Larutan
Pertumbuhan 0,050 M……………………………………… 57
2) Penentuan Laju Pertumbuhan Kristal CaCO3 dengan
Variasi Konsentrasi Inhibitor Asap cair pada Larutan
Pertumbuhan 0,075 M ........................................................... 61
3) Penentuan Laju Pertumbuhan Kristal CaCO3 dengan
Variasi Konsentrasi Inhibitor Asap cair pada Larutan
Pertumbuhan 0,100 M .......................................................... 62
4) Penentuan Laju Pertumbuhan Kristal CaCO3 dengan
Variasi Konsentrasi Inhibitor Asap cair pada Larutan
Pertumbuhan 0,125 M ........................................................... 64
D. Analisis Morfologi Permukaan Kerak CaCO3
Menggunakan SEM ....................................................................... 67
E. Analisis Distribusi Ukuran Kristal CaCO3
Menggunakan PSA......................................................................... 69
F. Identifikasi Struktur Kristal CaCO3 Menggunakan XRD............... 70
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 72
B. Saran .............................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Representasi skematik proses pertukaran panas .............................. 7
2. Endapan kerak kalsium karbonat dalam pipa................................... 8
3. Nukleasi homogen............................................................................ 10
4. Nukleasi heterogen .......................................................................... 11
5. Skema umum mekanisme pembentukan deposit kerak air ............. 12
6. Skema representasi makroskopik pembentukan deposit kerakdi permukaan.................................................................................... 15
7. Tumpukan kerak pada pipa ............................................................. 18
8. Tahapan kristalisasi .......................................................................... 21
9. Diagram temperatur konsentrasi ...................................................... 24
10. Kurva penurunan keadaan lewat jenuh menunjukan kenaikanreaksi kristalisasi .............................................................................. 28
11. Mekanisme pencegahan dan peleburan kerak oleh polimer hijau ... 31
12. Reaksi hidrolisis polifosfat .............................................................. 32
13. Skema bagan SEM ........................................................................... 41
14. Skema alat SEM............................................................................... 41
15. Skema kerja alat XRD .................................................................... 43
16. Ilustrasi difraksi sinar-X pada XRD ............................................... 44
17. Skema alat PSA................................................................................ 46
v
18. Spektrum IR asap cair ..................................................................... 53
19. Grafik laju pertumbuhan kristal CaCO3 tanpa penambahaninhibitor ......................................................................................... 56
20. Grafik laju pertumbuhan kristal CaCO3 menggunakan inhibitorasap cair pada konsentrasi larutan pertumbuhan 0,050 M .............. 58
21. Grafik laju pertumbuhan kristal CaCO3 menggunakan inhibitorasap cair pada konsentrasi larutan pertumbuhan 0,075 M .............. 61
22. Grafik laju pertumbuhan kristal CaCO3 menggunakan inhibitorasap cair pada konsentrasi larutan pertumbuhan 0,100 M .............. 63
23. Grafik laju pertumbuhan kristal CaCO3 menggunakan inhibitorasap cair pada konsentrasi larutan pertumbuhan 0,125 M .............. 64
24. Morfologi permukaan kerak CaCO3 tanpa inhibitor dan denganinhibitor pada perbesaran 1000 dan 2000x. ..................................... 67
25. Distribusi ukuran partikel kerak CaCO3 .......................................... 69
26. Difraktogram kristal CaCO3 tanpa inhibitor dan dengan inhibitor .. 71
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Komposisi kimia tempurung kelapa ................................................... 34
2. Titik didih senyawa pendukung sifat fungsional asap cair dalamkeadaan murni .................................................................................... 36
3. Senyawa dominan asap cair hasil analisis GC-MS ........................... 37
4. Gugus fungsi dari asap cair hasil analisis spektrofotometri IR ......... 54
5. Data persen efektivitas inhibitor asap cair pada konsentrasi larutanpertumbuhan 0,050 M. ....................................................................... 60
6. Data persen efektivitas inhibitor asap cair pada konsentrasi larutanpertumbuhan 0,075 M ........................................................................ 62
7. Data persen efektivitas inhibitor asap cair pada konsentrasi larutanpertumbuhan 0,100 M ........................................................................ 64
8. Data persen efektivitas inhibitor asap cair pada konsentrasi larutanpertumbuhan 0,125 M ........................................................................ 65
9. Efisiensi inhibitor dalam menghambat kerak CaCO3 ........................ 67
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terbentuknya kerak (scaling) merupakan masalah yang cukup serius dan sering
ditimbulkan dalam dunia industri. Proses terbentuknya kerak umumnya terjadi
pada peralatan-peralatan industri, seperti: industri yang melibatkan proses
destilasi, industri yang menggunakan ketel, dan industri kimia, gas, serta minyak,
(Badr and Yassin, 2007; Lestari dkk., 2004; Suharso et al., 2009; Suharso and
Buhani, 2011, Suharso et al, 2013).
Kerak yang terbentuk pada pipa-pipa peralatan industri ini sangat mengganggu
dan menghambat proses produksi. Bahkan mengakibatkan inefisiensi waktu dan
dana, karena sebagian besar biaya perawatan alat ditujukan untuk mengganti atau
memperbaiki komponen yang rusak akibat penumpukan kerak. Salah satu contoh
adalah perusahaan minyak Indonesia (Pertamina, Tbk) menghabiskan 6-7 juta
dolar untuk mengganti setiap pipa pada bagian geotermal setiap 10 tahun dalam
mengatasi masalah kerak (Suharso et al., 2010; Suharso et al., 2014; Suharso et
al., 2017; Suharso et al., 2017a).
Kerak (scale) merupakan deposit keras dari senyawa-senyawa anorganik yang
terjadi pada permukaan peralatan penukar panas dan disebabkan oleh
2
pengendapan partikel mineral dalam air dengan jumlah yang melebihi
kelarutannya pada keadaan kesetimbangan, sehingga terbentuklah kristal
(Asnawati, 2001). Prinsip pembentukan kerak terjadi dalam suatu aliran yang
bersifat garam, jika mengalami penurunan tekanan dan temperatur secara tiba-tiba
maka aliran tersebut akan menjadi lewat jenuh dan menyebabkan penumpukan
endapan garam pada dinding-dinding peralatan industri. Salah satu endapan
garam yang terbentuk yaitu kalsium karbonat (Amjad, 1995). Endapan garam
tersebut akan mengendap sehingga terbentuklah kerak. Akibatnya pembentukan
kerak pada pipa-pipa peralatan industri akan memperkecil diameter serta
menghambat aliran fluida pada sistem pipa tersebut. Sehingga aliran fluida akan
terganggu dan menyebabkan semakin tinggi naiknya suhu dan tekanan, oleh sebab
itu kemungkinan pipa akan pecah juga semakin tinggi (Asnawati, 2001).
Metode yang dapat digunakan untuk mengontrol pembentukan kerak antara lain
dengan cara pembebasan mineral air (Lestari, 2008), akan tetapi penggunaan air
bebas mineral dalam industri-industri besar membutuhkan biaya yang cukup
mahal (Nunn, 1997). Oleh sebab itu sebagian besar biaya ditujukan untuk
menyediakan air bebas mineral.
Metode lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pengendalian pH (Suharso
and Buhani, 2012). Pengendalian pH dilakukan dengan menginjeksikan asam
(asam sulfat atau asam klorida). Menghilangkan kerak menggunakan asam
dengan konsentrasi tinggi juga tidak efektif karena dapat meningkatkan laju
korosi dan konduktivitas, serta mempunyai tingkat bahaya yang cukup tinggi
dalam penanganannya (Lestari, 2008).
3
Berdasarkan kelemahan pada beberapa metode diatas, maka perlu dikembangkan
metode efektif yang dapat digunakan untuk mengurangi laju pertumbuhan kerak
yaitu dengan penggunaan inhibitor kerak (Suharso et al., 2007). Inhibitor kerak
sendiri merupakan suatu zat yang dapat menghentikan atau mencegah
terbentuknya kerak (Halimatuddahliana, 2003). Metode inhibitor ini merupakan
metode yang menarik untuk dikembangkan lebih lanjut, karena inhibitor ini
memiliki efektifitas yang tinggi (Asnawati, 2001), dapat mencegah terbentuknya
kerak dalam periode yang lama (Cowan and Weinttritt, 1976), serta biayanya
relatif murah jika dibandingkan dengan metode lainnya. Salah satu prinsip kerja
dari inhibitor kerak tersebut adalah pembentukan senyawa penjebakan (kelat)
antara inhibitor kerak baru dengan unsur-unsur pembentuk kerak. Apabila
senyawa penjebakan yang terbentuk larut dalam air maka memungkinkan
pertumbuhan kristal akan besar (Patton, 1981).
Adapun faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan inhibitor
kerak adalah keefektifan, kestabilan, kecocokan, serta biaya. Sifat dari inhibitor
kerak yang sangat diharapkan yaitu stabil dalam air, dapat digunakan dalam
jangka waktu panjang, serta dapat digunakan pada temperatur tinggi (Cowan and
Weinttritt, 1976). Oleh sebab itu perlu adanya inhibitor kerak yang sesuai untuk
mengatasi permasalahan tersebut.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal perkebunan
terluas didunia dengan potensi sumber daya alamnya yaitu perkebunan kelapa.
Adanya potensi sumber daya alam yang luas ini hendaknya dapat dimanfaatkan
dan dikembangkan, seperti pemanfaatan hasil samping buah kelapa yaitu
4
tempurung kelapa. Pemanfaatan tempurung kelapa dengan menjadikannya arang
atau arang aktif belum optimal, karena hasil samping berupa asap yang
ditimbulkan berdampak negatif bagi lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan
lingkungan tersebut, dibutuhkan pengolahan lebih lanjut. Salah satu pengolahan
tempurung kelapa yang memiliki potensi tinggi yaitu pembuatan asap cair. Asap
cair ini dihasilkan dari kondensasi asap yang ditimbulkan selama proses pirolisi
atau pembakaran yang dilakukan selama kurang lebih 6-8 jam. Asap cair yang
diperoleh, dianalisis menggunakan GC-MS. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui profil persenyawaan atau komponen penyusun yang terdapat dalam
asap cair. Persenyawaan tersebut ditunjukan dari kromatogram hasil analisis.
Terdapat kurang lebih 42 persenyawaan yang terdapat dalam asap cair, meliputi
golongan senyawa-senyawa asam (asam asetat, propionat, butirat dan valerat),
senyawa fenol, senyawa karbonil, senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis, dan
senyawa benzo α-pirena. Kandungan asap cair berdasarkan penelitian yang
dilaporkan (Darmadji, 1996) yang menyatakan bahwa pirolisis tempurung kelapa
menghasilkan asap cair dengan kandungan utama yaitu senyawa fenol sebesar
4,13; karbonil 11,3; dan asam 10,2 %. Selain itu, (Fatimah, 1998) menyatakan
bahwa golongan senyawa penyusun asap cair adalah air 11-92; fenol 0,2-2,9;
asam 2,8-9,5; karbonil 2,6-4,0; dan tar 1 -7 %.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui keefektifan inhibitor kerak jika digunakan pada konsentrasi rendah
serta dalam temperatur tinggi untuk menanggulangi terbentuknya kerak pada pipa-
pipa peralatan industri. Metode seeded experiment merupakan metode yang akan
digunakan untuk mengetahui keefektifan inhibitor asap cair dalam menghambat
5
pembentukan kerak kalsium karbonat (CaCO3). Dilakukan analisis gugus fungsi
menggunakan spektrofotometer IR, analisis distribusi ukuran kristal menggunakan
Particle Size Analyzer (PSA), analisis morfologi permukaan kerak menggunakan
Scanning Electron Microscopy (SEM), serta identifikasi struktur kristal
menggunakan X-Ray Diffraction (XRD).
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui keefektifan asap cair sebagai inhibitor kerak kalsium karbonat
(CaCO3) menggunakan metode seeded experiment melalui analisis data,
serta karakterisasi menggunakan spektrofotometer IR, SEM, PSA dan
XRD.
2. Mengetahui perbedaan pertumbuhan kerak kalsium karbonat (CaCO3)
pada konsentrasi larutan pertumbuhan dan konsentrasi inhibitor asap cair
yang berbeda.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah memberi informasi mengenai
kemampuan asap cair sebagai inhibitor dalam menghambat pertumbuhan kerak
kalsium karbonat (CaCO3). Selanjutnya dapat dikembangkan sebagai inhibitor
kerak yang lebih efektif dan dapat mencegah pertumbuhan kerak pada peralatan
industri sehingga mengurangi dampak negatif dari pembentukan kerak serta
memberikan nilai guna pada tempurung kelapa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Proses Pengendapan Senyawa Anorganik Pada Peralatan Industri
Proses pengendapan senyawa-senyawa anorganik biasa terjadi pada peralatan-
peralatan industri yang melibatkan air garam, seperti: industri minyak, industri
gas, industri yang melibatkan proses destilasi dan industri yang menggunakan
ketel serta industri kimia (Badr and Yassin, 2007; Lestari dkk., 2004). Hal ini
disebabkan karena terdapatnya unsur-unsur anorganik pembentuk kerak salah
satunya logam Ca dalam jumlah yang melebihi kelarutannya pada keadaan
kesetimbangan. Terakumulasinya endapan-endapan dari senyawa anorganik
tersebut dapat menimbulkan masalah seperti kerak (Weijnen et al., 1983; Maley,
1999).
Secara luas air digunakan sebagai cairan pendingin untuk menghilangkan panas
yang tidak diinginkan dari permukaan perpindahan panas seperti pada alat
penukar panas, kondensor, evaporator, cooling tower, dan pipe walls. Untuk
proses pendinginan, air dipompa di seluruh tabung penukar panas logam yang
terkena proses panas. Air panas yang dihasilkan menjadi dingin dalam cooling
tower melalui proses penguapan, yang akan digunaan kembali sehingga proses
pendinginan dapat diulangi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 (Kragh et
7
al., 1981). Pendinginan uap tersebut memungkinkan sistem air menjadi lewat
jenuh, dengan adanya mineral terlarut yang dipengaruhi oleh karbonat, sulfat,
fosfat, logam silikat/silika, besi, dan lain-lain yang menghasilkan depot dan
pembentukan kerak. Pada supersaturasi, pembentukan kerak dapat terjadi
dikarenakan fluktuasi suhu yang mendadak pada permukaan perpindahan panas
ketika air menyentuh permukaan tersebut.
Gambar 1. Representasi skematik proses pertukaran panas (Kragh et al., 1981).
B. Kerak
Kerak didefinisikan sebagai suatu deposit dari senyawa-senyawa anorganik yang
terendapkan dan membentuk timbunan kristal pada permukaan suatu substansi
(Kemmer, 1979). Kristal-kristal yang terbentuk mempunyai muatan ion lebih
rendah dan cenderung untuk menggumpal sehingga terbentuklah kerak (Lestari,
2008; Hasson and Semiat, 2005). Pada prinsipnya, pembentukan kerak terjadi
dalam suatu aliran yang bersifat garam jika mengalami penurunan tekanan secara
tiba-tiba, maka aliran tersebut menjadi lewat jenuh dan menyebabkan
terbentuknya endapan garam yang menumpuk pada dinding-dinding peralatan
proses industri (Amjad, 1995).
8
Pembentukan kerak pada pipa-pipa di industri maupun rumah tangga
menimbulkan banyak permasalahan teknis dan ekonomis. Hal ini disebabkan
karena kerak dapat menutupi atau menyumbat air yang mengalir dalam pipa dan
sekaligus menghambat proses perpindahan panas pada peralatan penukar panas.
Sehingga, kerak yang terbentuk pada pipa-pipa akan memperkecil diameter dan
menghambat aliran fluida pada sistem pipa tersebut seperti yang ditunjukan pada
Gambar 2. Terganggunya aliran fluida menyebabkan suhu semakin naik dan
tekanan semakin tinggi sehingga kemungkinan pipa akan pecah dan rusak
semakin tinggi (Patton, 1981).
Gambar 2. Endapan kerak kalsium karbonat dalam pipa (Raharjjo, 2016).
Salah satu penyebab terbentuknya kerak adalah kesadahan air. Kesadahan
merupakan sifat air yang disebabkan oleh adanya ion-ion atau kation logam.
Salah satu penyebab kesadahan adalah ion Ca2+. Kalsium dalam air inilah yang
cenderung membentuk garam dengan karbonat atau bikarbonat. Bila di didihkan
bikarbonat akan berubah menjadi karbonat yang lebih kecil nilai kelarutanya.
Oleh sebab itu kelebihan ion kalsium dapat mengakibatkan pembentukan kerak
pada pipa yang disebabkan oleh endapan kalsium karbonat (CaCO3).
9
Selain kalsium karbonat (CaCO3) komponen-komponen kerak yang sering
dijumpai pada peralatan industri yaitu seng fosfat, kalsium fosfat, silika dengan
konsentrasi tinggi dan magnesium silikat (Lestari dkk., 2004), kalsium sulfat
(CaSO4), besi dioksida (senyawa yang disebabkan oleh kurangnya kontrol korosi
atau alami berasal dari besi yang teroksidasi), besi fosfat (senyawa yang
disebabkan karena pembentukan lapisan film dari inhibitor fosfat), mangan
dioksida (mangan teroksidasi tingkat tinggi), dan magnesium pada konsentrasi
tinggi dengan pH tinggi, magnesium karbonat, magnesium dengan konsentrasi
tinggi dan pH tinggi serta CO2 tinggi (Lestari, 2008; Nunn, 1997).
Kerak juga dapat terbentuk karena campuran air yang digunakan tidak sesuai.
Contoh tipe air yang tidak sesuai adalah air laut dengan konsentrasi SO42- tinggi
dan konsentrasi Ca2+ rendah dan air formasi dengan konsentrasi SO42- sangat
rendah dan konsentrasi Ca2+ tinggi. Campuran air ini menyebabkan terbentuknya
endapan CaSO4 (Badr and Yassin, 2007).
C. Mekanisme Pembentukan Kerak
Faktor utama yang berpengaruh terhadap pembentukan, pertumbuhan serta
pengendapan kerak antara lain perubahan tekanan, laju alir, temperatur,
percampuran dua jenis air yang mempunyai susunan mineral tidak sesuai, adanya
supersaturasi, penguapan akibat dari perubahan konsentrasi, pengadukan (agitasi,
pengaruh dari turbulensi), waktu kontak antara padatan dengan permukaan media
pengendapan serta perubahan pH air (Antony and Low, 2011).
10
Pertumbuhan kerak merupakan proses yang terdiri dari beberapa tahap dan berasal
dari suatu larutan. Pertumbuhan awal dalam pembentukan kerak mineral yaitu
terbentuknya gugus atom yang tidak stabil di dalam cairan lewat jenuh oleh
nukleasi homogen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Nukleasi homogen (Crabtree et al., 1999).
Gugus atom yang tidak stabil menghasilkan benih kristal kecil di dalam larutan
lewat jenuh. Akibatnya ukuran benih kristal tersebut tumbuh, dengan menyerap
ion ke dalam permukaan kristal yang tidak sempurna maka ukuran kristal menjadi
semakin lebih besar. Energi saat kristal tumbuh menjadi lebih besar diperoleh
dari reduksi pada permukaan energi bebas kristal. Selain itu, dengan cepat
direduksi saat peningkatan radius mencapai radius kritis. Hal ini menunjukan
bahwa kristal yang berukuran besar mendukung agar kristal dapat terus tumbuh,
sedangkan benih kristal berukuran kecil dapat kembali larut. Jadi, benih kristal
merupakan suatu katalisator pembentukan kerak yang dapat mendorong
11
pertumbuhan tumpukan kerak. Pada nukleasi heterogen, pertumbuhan kristal
dimulai pada permukaan batas larutan yang sudah ada sebelumnya di dalam pipa
pertukaran panas. Nukleasi heterogen yang ada pada permukaan, bekerja jauh
lebih baik daripada nukleasi homogen. Tempat nukleasi heterogen mencakup
permukaan tak sempurna seperti kekasaran permukaan pipa atau perforasi
(Alahmad, 2008) di liners produksi atau bahkan bergabung dan meninggalkan
bekas pada tubing dan pipelines seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Alat
penukar panas sistem air pendingin biasanya terbuat dari baja karbon, besi tahan
karat, tembaga, atau paduan tembaga. Karena permukaan berpengaruh pada
terjadinya nukleasi heterogen, maka perubahan struktur permukaan, penutup
permukaan, dan komposisi bisa memiliki dampak yang signifikan terhadap proses
pembentukan kerak.
Gambar 4. Nukleasi heterogen (Crabtree et al., 1999).
Pembentukan kerak dan deposit terbentuknya endapan pada pipa industri terjadi
karena adanya proses kristalisasi yang kompleks. Kecepatan pembentukan
lapisan awal kerak dan kecepatan pertumbuhan yang ditentukan melalui interaksi
dari beberapa kecepatan proses seperti: nukleasi, difusi, reaksi kimia, dan
12
kesesuaian pola geometris molekul-molekul dan atom-atom kristal kerak, dan
lain-lain. Sebagian besar kelarutan mineral pembentuk kerak cenderung menurun
terhadap kenaikan suhu. Oleh karena itu, bila larutan lewat jenuh bersinggungan
dengan permukaan transfer panas, mineral tersebut mengendap menjadi padatan
karena daya larut setimbangnya menurun. Pada saat larutan menjadi lewat jenuh
dan nukleasi terjadi, kondisi ini sangat cocok dan ideal untuk pertumbuhan kristal
partikel kerak. Senyawa-senyawa yang dibawa air seperti kalsium sulfat,
magnesium sulfat, barium sulfat, magnesium karbonat, kalsium karbonat, silikat,
dan lain-lain dapat mengendap dan membentuk kerak. Perubahan-perubahan
tersebut terjadi dalam peralatan-peralatan proses, penukar panas, evaporator,
boiler, cooling tower, dan lain-lain (Salimin and Gunandjar, 2007)
Skema mekanisme pembentukan kerak yang dilengkapi parameter-parameter
penting yang mengontrol setiap tahapan ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema umum mekanisme pembentukan deposit kerak air (Saliminand Gunandjar, 2007).
PadatanTersuspensi Air
Mineral DapatLarut
Pelarut
Lewat Jenuh
PertumbuhanKristal
Kerak
Pengendapan danPemadatan
Parameter yangmengontrol: waktu, suhu,tekanan, pH, faktorlingkungan, ukuranpartikel, kecepatanpengadukan
13
Mekanisme pembentukan endapan kerak berkaitan erat dengan komposisi di
dalam formasi. Secara umum, air mengandung ion-ion terlarut, baik itu berupa
kation (Na+, Ca2+, Mg2+, Ba2+, Sr2+ dan Fe3+), maupun anion (Cl-, HCO3 SO42- dan
CO32- ). Kation dan anion yang terlarut dalam air akan membentuk senyawa yang
mengakibatkan terjadinya proses kelarutan. Kelarutan didefinisikan sebagai batas
suatu zat yang dapat dilarutkan dalam formasi yang merupakan fungsi dari
tekanan, temperatur serta waktu kontak antara air dengan media pembentukan
(Ratna, 2011).
Proses terlarutnya ion-ion dalam air formasi, dimana air ini adalah air yang ikut
bersama dengan minyak dan gas. Biasanya air ini banyak mengandung
bermacam-macam garam dan asam, terutama NaCl yang dapat menyebabkan
terbentuknya kerak. Air ini biasanya disebut dengan oil field water atau connate
water atau inertial water. Air mempunyai batas kemampuan dalam menjaga
senyawa ion-ion tersebut tetap dalam larutan, sehingga pada kondisi tekanan dan
temperatur tertentu, dimana harga kelarutan terlampaui, maka senyawa tersebut
tidak akan terlarut lagi, melainkan terpisah dari pelarutnya dalam bentuk padatan
(Ratna, 2011).
Mekanisme pembentukan kerak bersifat kompleks dan dimulai dengan interaksi
elektrostatik antara anion dan kation terlarut untuk membentuk pasangan ion.
Supersaturasi yang tinggi merupakan suatu kekuatan pendorong yang kuat dan
penting untuk memulai nukleasi primer (sub partikel atau gugus ion terdiri dari
sekitar 10 ion kerak individu). Konsentrasi pasangan ion meningkat pada
supersaturasi yang lebih tinggi dan secara berurutan dapat bertindak sebagai
14
building block untuk partikel yang lebih besar. Selanjutnya, dalam nukleasi
sekunder partikel yang lebih besar atau mikrokristal berada dalam kesetimbangan
dinamis dengan larutan limbah dan disebut sebagai nukleasi homogen.
Mikrokristal yang dihasilkan berkumpul dan mengabsorpsi pada permukaan
(kristal lainnya dan batas-batas cairan dalam industri pengolahan) untuk
membentuk mikrokristal inti, yang akhirnya tumbuh menjadi makrokristal.
Pertumbuhan mikrokristal yang terus menerus ini mengakibatkan timbulnya
lapisan kerak pada permukaan. Kristalisasi permukaan dimulai dengan interaksi
dalam keadaan larutan lewat jenuh.
Pada prinsipnya, baik dalam nukleasi homogen atau heterogen, kerak terbentuk
dalam tiga tahap:
1. Ion dalam larutan konsentrat melalui supersaturasi. Ion-ion mulai
bergugus/berkelompok dalam reaksi yang bersifat reversible sebagai
proto-inti yang mencapai hingga 1000 atom.
2. Ketika protonuklei tumbuh, ion mulai menyusun dirinya sendiri dan inti
yang berbentuk reguler berkembang. Tahap ini juga bersifat reversible
sampai dengan 3 Å, tetapi ketika inti tumbuh, sifat reversible ini menjadi
kurang memungkinkan.
3. Tahap akhir adalah pertumbuhan permanen menjadi kristal mulai dari inti
hingga berukuran 0,3 mm (ukuran kritis yang didorong oleh supersaturasi),
yang juga dapat bertumpuk pada permukaan perpindahan panas dan
disebut sebagai nukleasi heterogen ditunjukan pada Gambar 6.
15
Gambar 6. Skema representasi makroskopik pembentukan deposit kerak dipermukaan (Addicott et al., 1987).
D. Kalsium Karbonat (CaCO3)
Kalsium karbonat (CaCO3) merupakan suatu zat padat putih, tak berbau, tak
berasa, terurai pada 825 oC, tak beracun, larut dalam asam dengan melepas CO2,
dan dijumpai di alam sebagai kalsit, napal, aragonit, travertin, marmer, batu
gamping, dan kapur, juga ditemukan bersama mineral dolomit (CaCO3.MgCO3).
Benar-benar tidak larut dalam air (hanya beberapa bagian perjuta), kristalnya
berwujud rombik/rombohedral dan dimanfaatkan sebagai obat penawar asam,
dalam pasta gigi, cat putih, pembersih, bahan pengisi kertas, semen, kaca, plastik,
dan sebagainya.
Kalsium karbonat (CaCO3) dibuat dari reaksi antara CaCl2 + Na2CO3 dalam air,
atau melewatkan CO2 melalui suspensi Ca(OH)2 dalam air yang murni.
Kemudian dihasilkan dengan metode Richard dan Honischmidt dengan cara
larutan Ca(NO3) diasamkan sedikit dengan HNO3. Lantas diperlakukan dengan
16
Ca(OH)2 cair murni yang sedikit berlebih untuk mengendapkan sebagian besar
Fe(OH)3 dan Mg(OH)2. Impuritas berupa garam-garam Ba, Sr, dan Mg dapat
dihilangkan dengan cara merekristalisasi nitratnya berulang kali. Amonium
karbonat yang dibutuhkan untuk mengendapkan karbonatnya bisa dimurnikan
lewat destilasi dari air (Arsyad and Natsir, 2001). Kalsium karbonat (CaCO3)
berupa endapan amorf putih terbentuk dari reaksi antara ion kalsium (Ca2+) dalam
bentuk CaCl2 dengan ion karbonat (CO32-) dalam bentuk Na2CO3 (Svehla, 1990).
Ca2+ + CO32- CaCO3↓
Karbonat dari kalsium tidak larut dalam air dan hasil kali kelarutannya menurun
dengan naiknya ukuran Ca2+ (Cotton and Wilkinson, 1989).
Kelarutan CaCO3 yang sedikit dapat terbentuk jika larutan lewat jenuh dalam
tempat pengolahannya terjadi kesetimbangan kimia dengan lingkungan pada
tekanan dan temperatur yang sebenarnya. Kesetimbangan CaCO3 dapat diganggu
dengan pengurangan gas CO2 dari aliran selama proses produksi berlangsung, hal
ini akan mengakibatkan pengendapan sehingga terbentuk kerak. Pengendapan
CaCO3 dapat dihasilkan dari reaksi sebagai berikut :
CO2 + 2OH- CO32- + H2O
Ca(OH)2 Ca2+ + 2OH-
Ca2+ + CO32- CaCO3 (Zhang et al., 2002).
Selain reaksi diatas kerak kalsium karbonat juga merupakan endapan senyawa
CaCO3 (kalsit) yang terbentuk dari hasil reaksi antara ion kalsium (Ca2+) dengan
ion bikarbonat (HCO3-), naiknya pH akibat lepasnya CO2 ke fasa gas akan terjadi
reaksi kesetimbangan pembentukan kerak CaCO3 dengan reaksi sebagai berikut :
17
Ca2+ + 2(HCO3-) CaCO3 + CO2 + H2O
Model kesetimbangan diatas berjalan lambat, atau dikenal sebagai sitem larutan
calco carbonic yang banyak digunakan oleh peneliti untuk memodelkan fenomena
pembentukan kerak pada air sadah. Adapun model larutan lain yang digunakan
oleh banyak peneliti dalam mengamati pembentukan CaCO3 adalah dengan
mencampurkan larutan Na2CO3 dengan reaksi sebagai berikut:
Na2CO3 2Na+ + CO32-
CaCl Ca2+ + 2Cl
Ca2+ + CO32- CaCO3↓
Proses pembentukan CaCO3 ini berjalan spontan terutama pada fasa larutan.
Pembentukan CaCO3 dapat terjadi di fasa larutan (homogeneous precipitation)
dan di fasa permukaan (heterogeneous precipitation). Bahwa pada kesadahan
rendah (Ca2+ < 80 ppm ) pembentukan CaCO3 lebih banyak terjadi di permukaan,
sedangkan kenaikan suhu lebih mendorong terjadinya presipitasi ke fasa larutan.
Tingkat turbulensi yang tinggi juga dapat menjadi faktor penyebab munculnya
tumpukan kerak. Dengan demikian, timbunan kerak dapat terjadi pada posisi
tekanan titik gelembung dalam flowing system. Kerak dapat berlapis-lapis dan
biasanya ditutupi dengan lilin, lapisan asphaltene. Pitting dan korosi dapat
berkembang di bawah kerak dikarenakan bakteri dan gas asam yang mengurangi
keutuhan baja sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7.
18
Gambar 7. Tumpukan kerak pada pipa (Crabtree et al., 1999).
E. Faktor Pembentuk Kerak
Faktor ataupun kondisi yang mempengaruhi pembentukan kerak kalsium karbonat
antara lain adalah perubahan kondisi reservoir (tekanan dan temperatur),
alkalinitas air, serta kandungan garam terlarut, dimana kecenderungan
terbentuknya kerak kalsium karbonat akan meningkat dengan :
1. meningkatnya temperatur
2. penurunan tekanan parsial CO2
3. peningkatan pH
4. laju alir air
5. penurunan kandungan gas terlarut secara keseluruhan
Selain hal-hal yang telah disebutkan diatas, turbulensi aliran dan lamanya waktu
kontak (contact time) juga berpengaruh terhadap kecepatan pengendapan dan
19
tingkat kekerasan kristal yang terbentuk (Antony and Low, 2011). Dari
penjelasan diatas faktor yang mendukung pembentukan, selama pengendapan
kerak yang berpengaruh pada ukuran kristal tergantung terutama pada dua faktor
penting, yaitu laju pembentukkan inti (nukleasi) dan laju pertumbuhan kristal.
a) Pembentukan Inti (Nukleasi)
Laju pembentukkan inti dapat dinyatakan dengan jumlah inti yang
terbentuk dalam satuan waktu jika laju pembentukkan inti tinggi, banyak
sekali kristal yang akan terbentuk yang terdiri dari partikel-partikel kecil.
Laju pembentukkan inti tergantung pada derajat lewat jenuh dari larutan.
Semakin tinggi derajat lewat jenuh maka semakin besar kemungkinan
untuk membentuk inti baru sehingga akan semakin besar laju
pembentukkan inti.
b) Laju Pertumbuhan Kristal
Laju pertumbuhan kristal merupakan faktor penting lainnya yang akan
mempengaruhi ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan
berlangsung. Semakin tinggi laju pertumbuhan maka kristal yang
terbentuk akan semakin besar. Laju pertumbuhan kristal juga tergantung
pada derajat lewat jenuh atau dapat disebut rekristalisasi (Svehla, 1990).
1. Kristalisasi
Kristalisasi merupakan peristiwa pembentukan partikel-partikel zat padat
dalam suatu fase homogen. Kristalisasi dari larutan dapat terjadi jika
padatan terlarut dalam keadaan berlebih (di luar kesetimbangan), maka
20
sistem akan mencapai kesetimbangan dengan cara mengkristalkan padatan
terlarut (Dewi and Ali, 2003). Pertumbuhan kristal juga dapat terjadi bila
konsentrasi suatu zat terlarut dalam larutannya melewati kadar kelarutan
lewat jenuhnya pada suhu tertentu. Kondisi kelarutan lewat jenuh dapat
diperoleh dengan jalan pendinginan larutan pekat panas, penguapan
larutan encer, kombinasi proses penguapan dan pendinginan, dan dengan
penambahan zat lain untuk menurunkan kelarutannya.
Kristalisasi senyawa dalam larutan langsung pada permukaan transfer
panas dimana kerak terbentuk memerlukan tiga faktor simultan yaitu
konsentrasi lewat jenuh (supersaturasi), nukleasi (terbentuknya inti kristal)
dan waktu kontak yang memadai. Pada saat terjadi penguapan, kondisi
jenuh (saturasi) dan kondisi lewat jenuh (supersaturasi) dicapai secara
simultan melalui pemekatan larutan dan penurunan daya larut setimbang
saat kenaikan suhu menjadi suhu penguapan.
Kristalisasi memiliki dua tahap proses, yaitu tahap pembentukkan inti
yang merupakan tahap mulai terbentuknya zat padat baru, dan tahap
pertumbuhan kristal yang merupakan tahap inti zat padat yang baru
terbentuk mengalami pertumbuhan menjadi kristal yang lebih besar.
Dalam keadaan larutan lewat jenuh beberapa molekul akan bergabung
membentuk inti kristal. Inti kristal ini akan terlarut bila ukurannya lebih
kecil dari ukuran partikel kritis (inti kritis), sementara itu kristal-kristal
akan berkembang bila ukurannya lebih besar dari partikel kritis. Apabila
ukuran inti kristal menjadi lebih besar dari inti kritis, maka akan terjadi
21
pertumbuhan kristal. Laju pertumbuhan kristal ditentukan oleh laju difusi
zat terlarut pada permukaan kristal dan laju pengendapan zat terlarut pada
kristal tersebut. Daya dorong difusi zat-zat terlarut adalah perbedaan
antara konsentrasi zat-zat terlarut pada permukaan kristal dan pada larutan.
Kristal-kristal yang telah terbentuk mempunyai muatan ion lebih rendah
dan cenderung untuk menggumpal sehingga terbentuklah kerak (Lestari,
2008; Hasson and Semiat, 2005). Contoh kasus laju pertumbuhan Kristal
yang mudah diamati terjadi pada pertumbuhan Kristal borak (Suharso,
2003; Suharso, 2004; Suharso, 2007; Suharso, 2009; Suharso, 2009a;
Suharso, 2010; Suharso, 2010a; Suharso, 2010b; Suharso, 2010c; Suharso,
2012; Suharso, 2012a; Suharso et al., 2002; Suharso et al., 2004; Suharso
et al., 2007; Suharso et al, 2007a; Suharso et al., 2008).
Proses pembentukkan kristalisasi ditunjukkan pada Gambar 8 berikut:
Gambar 8. Tahapan kristalisasi (Zeiher et al., 2003).
Pembentukan kerak merupakan proses kristalisasi yang pada umumnya
terdiri dari empat tahap, yaitu :
1. Tercapainya keadaan larutan lewat jenuh (supersaturasi)
Cluster Order Grow
22
2. Pembentukan inti kristal (nukleasi)
3. Pertumbuhan pada sekeliling inti
4. Pertumbuhan kristal kecil membentuk kristal dengan ukuran yang lebih
besar (penebalan lapisan kerak) (Hasson and Semiat, 2005).
2. Kelarutan Endapan
Endapan adalah zat yang memisahkan diri sebagai suatu fase padat dari
larutan (Svehla, 1990). Endapan mungkin berupa kristal atau koloid, dan
dapat dikeluarkan dari larutan dengan penyaringan atau pemusingan.
Endapan terbentuk jika larutan menjadi terlalu jenuh dengan zat yang
bersangkutan. Kelarutan (S) suatu endapan, menurut definisi adalah sama
dengan konsentrasi molar dari larutan jenuhnya. Kelarutan tergantung
berbagai kondisi, seperti temperatur, tekanan, konsentrasi, bahan-bahan
lain dalam larutan itu dan pada komposisi pelarutnya.
Kelarutan tergantung juga pada sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama
ion-ion dalam campuran itu. Ada perbedaan yang besar antara efek dari
ion sejenis dan ion asing. Ion sejenis adalah suatu ion yang juga
merupakan salah satu bahan endapan. Umumnya dapat dikatakan bahwa
suatu endapan berkurang banyak sekali jika salah satu ion sejenis terdapat
dalam jumlah berlebihan, meskipun efek ini mungkin diimbangi dengan
pembentukkan suatu kompleks yang dapat larut dengan ion sejenis yang
berlebihan itu. Dengan adanya ion asing, kelarutan endapan bertambah,
tetapi pertambahan ini umumnya sedikit, kecuali jika terjadi reaksi kimia
23
(seperti pembentukkan kompleks atau reaksi asam-basa) antara endapan
dan ion asing, pertambahan kelarutannya menjadi lebih besar.
Hasil kali kelarutan memungkinkan kita untuk menerangkan dan juga
memperkirakan reaksi-reaksi pengendapan. Hasil kali kelarutan dalam
keadaan sebenarnya merupakan nilai akhir yang dicapai oleh hasil kali ion
ketika kesetimbangan tercapai antara fase padat dari garam yang hanya
sedikit larut dalam larutan itu. Jika hasil kali ion berbeda dengan hasil kali
kelarutan, maka sistem itu akan berusaha menyesuaikan, sehingga hasil
kali ion mencapai nilai hasil kali kelarutan. Jadi, jika hasil kali ion dengan
sengaja dibuat lebih besar dari hasil kali kelarutan, penyesuaian oleh
sistem mengakibatkan mengendapnya garam larutan. Sebaliknya, jika
hasil kali ion dibuat lebih kecil dari hasil kali kelarutan, kesetimbangan
dalam sistem dicapai kembali dengan melarutnya sebagian garam padat ke
dalam larutan. Hasil kali kelarutan menentukan keadaaan kesetimbangan,
tetapi tidak memberikan informasi tentang laju ketika kesetimbangan itu
terjadi. Sesungguhnya, kelebihan zat pengendap yang terlalu banyak dapat
mengakibatkan sebagian endapan melarut kembali, sebagai akibat
bertambahnya efek garam atau akibat pembentukkan ion kompleks.
Dalam hal ini hasil kali kelarutan dari kalsium sulfat pada temperatur
ruang sebesar 2,3 x 10-4 mol/L (Svehla, 1990).
3. Derajat Lewat-Jenuh (Supersaturasi)
Larutan lewat jenuh (Gambar 9) adalah larutan yang mengandung zat
terlarut lebih besar daripada yang dibutuhkan pada sistem kesetimbangan
24
Konsentrasi
larutan jenuh. Kondisi kelarutan lewat jenuh dapat diperoleh dengan jalan
pendinginan larutan pekat panas, penguapan larutan encer, kombinasi
proses penguapan dan pendinginan serta dengan penambahan zat lain
untuk menurunkan kelarutannya.
Gambar 9. Diagram temperatur konsentrasi (Wafiroh, 1995).
Garis tebal adalah kelarutan normal untuk zat terlarut dalam pelarut. Garis
putus-putus adalah kurva lewat jenuh, posisinya dalam diagram tergantung
pada zat-zat pengotor. Pada diagram di atas, kondisi kelarutan dibagi
dalam tiga bagian yaitu daerah stabil, metastabil, dan daerah labil. Daerah
stabil adalah daerah larutan yang tidak mengalami kristalisasi. Daerah
yang memungkinkan terjadinya kristalisasi tidak spontan adalah daerah
metastabil, sedangkan daerah labil adalah daerah yang memungkinkan
terjadinya kristalisasi secara spontan.
Pada diagram temperatur konsentrasi, jika suatu larutan yang terletak pada
titik A dan didinginkan tanpa kehilangan volume pelarut (garis ABC),
C B A
D
E
Daerahmetastabil
Daerah labil
Daerah stabilTemperatur
25
maka pembentukkan inti secara spontan tidak akan terjadi sampai kondisi C
tercapai. Larutan lewat jenuh dapat juga tercapai dengan mengurangi
sejumlah volume palarut dari pelarutnya dengan proses penguapan. Hal ini
ditunjukkan dengan garis ADE, yaitu jika larutan pada titik A diuapkan
pada temperatur konstan (Wafiroh, 1995). Menurut (Lestari, 2008) faktor-
faktor yang mempengaruhi timbulnya kerak antara lain yaitu :
1. Kualitas Air
Pembentukkan kerak dipengaruhi oleh konsentrasi komponen-
komponen pembentuk kerak (kesadahan kalsium, konsentrasi fosfat),
pH, dan konsentrasi bahan penghambat kerak dalam air.
2. Temperatur Air
Pada umumnya komponen pembentuk kerak cenderung mengendap
atau menempel sebagai kerak pada temperatur tinggi. Hal ini
disebabkan karena kelarutannya menurun dengan naiknya temperatur.
Laju pengerakan mulai meningkat pada temperatur air 50 oC atau lebih
dan kadang-kadang kerak terbentuk pada temperatur air diatas 60 oC.
3. Laju Alir Air
Laju pembentukkan kerak akan meningkat dengan turunnya laju alir
sistem. Dalam kondisi tanpa pemakaian penghambat kerak, pada
sistem dengan laju alir 0,6 m/detik maka laju pembentukkan kerak
hanya seperlima dibanding pada laju alir air 0,2 m /detik.
26
Beberapa reaksi yang menunjukkan terbentuknya endapan (deposit) antara
lain (Halimatuddahliana, 2003):
1. CaCl2 + Na2SO4 CaSO4 + 2 NaCl
kalsium sulfat terdapat dalam air terkontaminasi
2. BaCl2 + Na2SO4 BaSO4 + 2 NaCl
barium sulfat terdapat dalam air terkontaminasi
3. Ca(HCO3)2 CaCO3 + CO2 + H2O
kalsium karbonat terdapat dalam air terkontaminasi karena penurunan
tekanan, panas dan agitasi (pengadukan).
Dibawah ini adalah tiga prinsip mekanisme pembentukkan kerak (Badr and
Yassin, 2007) :
1. Campuran dua air garam yang tidak sesuai (umumnya air formasi
mengandung banyak kation seperti kalsium, barium, dan stronsium,
bercampur dengan sulfat yang banyak terdapat dalam air laut,
menghasilkan kerak sulfat seperti CaSO4, SrSO4, dan BaSO4).
Ca2+ + SO42- CaSO4
2. Penurunan tekanan dan kenaikan temperatur air garam, yang akan
menurunkan kelarutan garam (umumnya mineral yang paling banyak
mengendap adalah kerak karbonat seperti CaCO3).
Ca(HCO3)2 CaCO3 + CO2 + H2O
3. Penguapan air garam, menghasilkan peningkatan konsentrasi garam
melebihi batas kelarutan dan membentuk endapan garam
27
F. Waktu Induksi
Waktu induksi adalah waktu yang dibutuhkan oleh ion dalam larutan untuk
bereaksi sehingga membentuk inti kristal yang pertama kali (Isopecus et al.,
2009). Semakin kecil waktu induksi berarti semakin cepat inti kristal terbentuk,
sebaliknya bila semakin besar berarti semakin lama inti kristal terbentuk. Inti
kristal selanjutnya menjadi pusat-pusat pertumbuhan kerak sehingga semakin
banyak inti yang terjadi akan semakin banyak jumlah kerak yang terbentuk. Ini
berarti bahwa bila waktu induksi kecil maka jumlah kerak yang terbentuk akan
semakin banyak (Ma’mun et al., 2013). Untuk mendapatkan waktu induksi
digunakan pendekatan tertentu agar mudah untuk diamati. Pada umumnya waktu
induksi didekati dengan melihat nilai konduktivitas larutan dimana bila terjadi
penurunan nilai konduktivitas yang signifikan maka hal ini memberikan isyarat
bahwa ion-ion mulai bereaksi membentuk inti kristal. Dari grafik didapatkan
waktu induksi yaitu ditandai dengan perubahan garis yang signifikan (Soediono et
al., 2011).
Sebagaimana waktu induksi yang di definisikan sebagai waktu ketika kristal
pertama kali terdeteksi dalam suatu sistem, lamanya waktu induksi dapat sangat
berbeda tergantung pada teknik yang digunakan. Oleh karena itu, akan lebih
mudah menggantinya dengan mencatat waktu laten dari kristalisasi. Waktu latern
didefinisikan sebagai titik pada suatu perubahan yang berarti dalam sistem itu,
seperti perubahan yang sangat besar dalam laju kristalisasi. Perbedaan waktu
induksi (tind) dan waktu laten (tlp) dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini.
Waktu induksi yang sebenarnya sangat sulit dideteksi secara pasti, karena itu
28
digunakan lamanya waktu laten, karena sangat mudah untuk mendeteksinya dan
mengukurnya. Waktu induksi dan waktu laten sangat sensitif, faktor seperti
temperatus, goncangan, dan ukuran permukaan bibit, dan area dapat sangat
mempengaruhi lamanya waktu (Mullin, 1993).
Gambar 10. Kurva penurunan keadaan lewat jenuh menunjukan kenaikanreaksi kristalisasi (Mullin, 1993).
Keterangan:
tn = waktu pengintian
tind = waktu induksi
tlp = waktu laten
C* = kesetimbangan keadaan lewat jenuh (Mullin, 1993).
G. Metode Pencegahan Terbentuknya Kerak Kalsium Karbonat (CaCO3)
Beberapa metode yang digunakan untuk mencegah terbentuknya kerak kalsium
clorida pada peralatan-peralatan industri adalah sebagai berikut :
29
1. Pengendalian pH
Pengendalian pH dengan penginjeksian asam (asam sulfat atau asam klorida)
telah lama diterapkan untuk mencegah pengerakan oleh garam-garam kalsium,
garam logam bivalen dan garam fosfat. Kelarutan bahan pembentukkan kerak
biasanya meningkat pada pH yang lebih rendah. Pada pH 6,5 atau kurang,
korosi pada baja karbon, tembaga dan paduan tembaga dengan cepat akan
berlangsung dan pH efektif untuk mencegah pengendapan kerak hanyalah
pada pH 7,0 sampai 7,5. Oleh karena itu, suatu sistem otomatis penginjeksian
asam diperlukan untuk mengendalikan pH secara tepat. Lagi pula, asam sulfat
dan asam klorida mempunyai tingkat bahaya yang cukup tinggi dalam
penanganannya.
2. Pelunakan dan Pembebasan Mineral Air
Untuk mencegah terjadinya kerak pada air yang mengandung kesadahan tinggi
(± 250 ppm CaCO3) perlu adanya pelunakan dengan menggunakan kapur dan
soda abu (pengolahan kapur dingin). Masalah kerak tidak akan di jumpai
bilamana dipakai air bebas mineral karena seluruh garam-garam terlarut dapat
dihilangkan. Oleh karena itu pemakaian air bebas mineral merupakan metoda
yang tepat untuk menghambat kerak di dalam suatu sistem dengan
pembebanan panas tinggi dimana pengolahan konvensional dengan bahan
penghambat kerak tidak berhasil (Lestari dkk., 2004). Namun penggunaan air
bebas mineral membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk digunakan dalam
industri skala besar sehingga dapat menurunkan efisiensi kerja.
30
3. Penggunaan Inhibitor Kerak
Pada umumnya, inhibitor kerak adalah bahan kimia yang menghentikan atau
mencegah terbentuknya kerak bila ditambahkan pada konsentrasi yang kecil
pada air (Halimatuddahliana, 2003). Penggunaan bahan kimia ini sangat
menarik, karena dengan dosis yang sangat rendah dapat mencukupi untuk
mencegah kerak dalam periode yang lama (Cowan and Weintritt, 1976).
Salah satu prinsip kerja dari scale inhibitor yaitu pembentukkan senyawa
kompleks (kelat) antara inhibitor kerak dengan unsur-unsur pembentuk kerak.
Senyawa kompleks yang terbentuk larut dalam air sehingga menutup
kemungkinan pertumbuhan kristal yang besar (Patton, 1981). Biasanya,
penggunaan bahan kimia tambahan untuk mencegah pembentukkan kerak
didukung dengan penggunaan bola-bola spons untuk membersihkan secara
mekanis permukaan bagian dalam pipa.
Penggunaan inhibitor kerak seperti zat pengompleks dengan biodegradabilitas
tinggi mengandung atom nitrogen, yang mampu berinteraksi dengan ion
logam dan gugus asam karboksilat yang mampu mengkoordinasikan ion
logam melalui oksigen (Kolodynska et al., 2008). Kebanyakan inhibitor
organik ramah lingkungan mengandung setidaknya satu gugus polar dengan
atom nitrogen, sulfur, atau oksigen, sebagai situs chemisorption. Kerapatan
elektron yang lebih tinggi dalam struktur inhibitor mampu mendorong
efektivitas inhibitor dalam pencegahan kerak. Senyawa kimia ramah
lingkungan sebagai inhibitor membentuk selaput adsorpsi pada permukaan
logam dan mencegah timbulnya kerak pada permukaan logam. Adsorpsi
bersifat subjektif terhadap kepadatan muatan permukaan logam dan juga
31
muatan molekul inhibitor (Ma et al., 2001). Kemampuan penghambatan
tergantung pada jumlah tempat adsorpsi, kerapatan muatan, ukuran molekul,
berat molekul, dan modus interaksi dengan permukaan logam untuk
membentuk kompleks permukaan logam yang stabil (Wang et al., 2001).
Mekanisme pencegahan dan peleburan kerak oleh polimer ramah lingkungan
ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Mekanisme pencegahan dan peleburan kerak oleh polimer hijau(Wang et al., 2001).
Terdapat beberapa syarat-syarat yang harus dimiliki senyawa kimia sebagai
inhibitor kerak yaitu :
1. Inhibitor kerak harus menunjukkan kestabilan termal yang cukup dan
efektif untuk mencegah terbentuknya air sadah dari pembentukkan
kerak.
2. Inhibitor kerak harus dapat merusak struktur kristal dan padatan
tersuspensi lain yang mungkin akan terbentuk.
3. Inhibitor kerak juga harus memiliki tingkat keamanan yang tinggi
dalam penggunaannya sehingga tidak menimbulkan efek samping yang
berbahaya bagi lingkungan sekitar (Al-Deffeeri, 2006).
32
Pada umumnya inhibitor kerak yang digunakan di ladang-ladang minyak atau
pada peralatan industri dibagi menjadi dua macam yaitu inhibitor kerak
anorganik dan inhibitor kerak organik. Senyawa anorganik fosfat yang umum
digunakan sebagai inhibitor adalah kondesat fosfat dan dehidrat fosfat. Pada
dasarnya bahan-bahan kimia ini mengandung grup P-O-P dan cenderung
untuk melekat pada permukaan kristal. Inhibitor kerak organik yang biasa
digunakan adalah organofosfonat organofosfat ester dan polimer-polimer
organik. Inhibitor kerak yang pernah digunakan yaitu polimer-polimer yang
larut dalam air dan senyawa fosfonat (Asnawati, 2001).
Salah satu inhibitor kerak dari polimer-polimer yang larut dalam air yaitu
polifosfat. Polifosfat merupakan inhibitor kerak yang murah namun
keefektifannya terbatas. Keunggulan polifosfat sebagai inhibitor kerak
kalsium karbonat (CaCO3) antara lain karena kemampuannya untuk menyerap
pada permukaan kristal yang mikroskopik, menghambat pertumbuhan kristal
pada batas konsentrasi rendah dan strukturnya yang mampu merusak padatan
tersuspensi. Hal ini dapat mencegah pertumbuhan kristal lebih lanjut, atau
setidaknya memperlambat proses pertumbuhan kerak. Namun, polifosfat
memiliki kelemahan utama yaitu mudah terhidrolisis pada temperatur di atas
90 °C menghasilkan ortofosfat.
Gambar 12. Reaksi hidrolisis polifosfat (Gill, 1999).
pH, temperatur,ion-ion lain, dll.
33
Reaksi di atas adalah reaksi hidrolisis polifosfat yang merupakan fungsi dari
temperatur, pH, waktu, dan adanya ion-ion lain. Ortofosfat yang dihasilkan
dapat menyebabkan menurunnya kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan kerak dan menyebabkan terbentuknya kerak baru dari presipitasi
kalsium fosfat (Gill, 1999), sehingga penggunaan polifosfat sebagai inhibitor
kerak hanya efektif pada temperatur rendah (Al-Deffeeri, 2006).
Fosfonat merupakan inhibitor yang sangat baik bila dibandingkan dengan
polifosfat. Namun fosfonat masih memiliki kelemahan yaitu struktur fosfonat
pH serta temperatur yang monomerik sehingga tidak efektif jika digunakan
sebagai dispersing agent (bahan pembantu untuk mendispersi) (Al-Deffeeri,
2006). Penggunaan senyawa-senyawa anorganik (Zhang and Dawe, 2000),
asam amino (Manoli et al., 2003), polimer-polimer yang larut dalam air
seperti poliaspartat (Donachy and Sikes, 1994), polifosfat dan senyawa-
senyawa lain seperti fosfonat, karboksilat (Al-Deffeeri, 2006), dan sulfonat
telah diketahui sangat efektif sebagai inhibitor endapan kalsium karbonat
(CaCO3) (He et al., 1999).
Mekanisme kerja inhibitor kerak terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Inhibitor kerak dapat teradsorpsi pada permukaan kristal kerak pada
saat mulai terbentuk. Inhibitor merupakan kristal yang besar yang dapat
menutupi kristal yang kecil dan menghalangi pertumbuhan selanjutnya.
2. Dalam banyak hal bahan kimia dapat dengan mudah mencegah
34
menempelnya suatu partikel-partikel pada permukaan padatan
(Suharso et al., 2007).
Inhibitor kerak ideal harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1) Kontrol kerak efektif pada konsentrasi inhibitor rendah
2) Kompatibilitas dengan air laut dan air produksi
3) Keseimbang antara sifat adsorpsi-desorpsi
4) Stabilitas termal tinggi
5) Toksisitas rendah dan biodegradabilitas tinggi
6) Biaya rendah
7) Bebas dari fosfor dan logam berat (Duccini et al., 1997).
H. Kandungan Asap Cair
Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang berfungsi sebagai
pelindung inti buah. Tempurung kelapa terletak di bagian dalam kelapa setelah
sabut, dan merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm, termasuk
golongan kayu keras. Komposisi kimia tempurung kelapa dapat dilihat pada
Tabel 1 .
Tabel 1. Komposisi kimia tempurung kelapa
Komponen %
Hemisellulosa 27,7Sellulosa 26,5Lignin 29,4Abu 0,6Komponen Ekstraktif 4,2Uronat Anhidrat 3,5Nitrogen 0,1Air 8,0
(Suhardiyono, 1988).
35
Tempurung kelapa digunakan sebagai salah satu bahan baku penggunaan asap
cair. Komposisi utama yang terdapat dalam tempurung kelapa adalah
hemisellulosa, sellulosa dan lignin. Hemisellulosa adalah jenis polisakarida
dengan berat molekul kecil berantai pendek dibanding dengan sellulosa dan
banyak dijumpai pada kayu lunak. Hemisellulosa disusun oleh pentosan (C5H8O4)
dan heksosan (C6H10O5). Pentosan banyak terdapat pada kayu keras, sedangkan
heksosan terdapat pada kayu lunak (Maga, 1987). Pentosan yang mengalami
pirolisis menghasilkan furfural, furan, dan turunannya serta asam karboksilat.
Heksosan terdiri dari mannan dan galakton dengan unit dasar mannosa dan
galaktosa, apabila mengalami pirolisis menghasilkan asam asetat dan homolognya
(Girard, 1992). Selain hemisellulosa tempurung kelapa juga mengandung
sellulosa dan lignin. Hasil pirolisis sellulosa yang terpenting adalah asam asetat
dan fenol dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan pirolisis lignin mengahasilkan
aroma yang berperan dalam produk pengasapan. Senyawa aroma yang dimaksud
adalah fenol dan eterfenolik seperti guaikol (2-metoksi fenol), syringol (1,6-
dimetoksi fenol) dan derivatnya (Girard, 1992).
Komposisi kimia asap cair tempurung kelapa adalah fenol 5,13%; karbonil
13,28%; asam 11,39% (Tranggono et al., 1997). Pada penelitian Tranggono et al.,
(1996) juga menyatakan bahwa asap cair mengandung senyawa fenol 2,10-5,13%
dan dikatakan juga bahwa asap cair tempurung kelapa memiliki 7 macam senyawa
dominan yaitu fenol, 3 -metil-1,2- siklopentadion, 2-metoksifenol, 2-metoksi-
4metilfenol, 2,6-dimetoksifenol, 4 etil-2- metoksifenol dan 2,5-dimetoksi-
benzilalkohol. Fraksi netral dari asap kayu juga mengandung fenol yang juga
dapat berperan sebagai antioksidan seperti guaikol (2-metoksi fenol) dan siringol
36
(1,6- dimetoksi fenol), 24 Senyawa penyusun asap cair dapat dipisahkan
berdasarkan titik didihnya. Titik didih senyawa-senyawa pendukung sifat
fungsional asap cair dalam keadaan murni dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Titik didih senyawa pendukung sifat fungsional asapcair dalam keadaan murni
Senyawa Titik didih(oC, 760 mmHg)
FenolGuaikol 2054-metilguaikol 211Eugenol 244Siringol 267Furfural 162Piroketakol 240Hidroquinon 285Isoeugenol 266
KarbonilGlioksal 51Metilglioksal 72Glioksaldehid 97Diasetil 88Formaldehid 21
AsamAsam Asetat 118Asam Butirat 162Asam Propionat 141Asam Isovalerat 176
(Wulandari et al., 1999).
Peran masing-masing komponen dalam asap cair berbeda-beda. Senyawa fenol
disamping memiliki peranan dalam aroma asap juga menunjukkan aktivitas
antioksidan. Senyawa aldehid dan keton mempunyai pengaruh utama dalam
warna (reaksi maillard). Asam-asam pengaruhnya kurang spesifik namun
mempunyai efek umum pada mutu organoleptik secara keseluruhan, sedangkan
37
senyawa hidrokarbon aromatik polisiklis seperti 3,4 benzopiren memiliki
pengaruh buruk karena bersifat karsinogenik (Girard, 1992).
Girard (1992) melaporkan bahwa komponen terdeteksi di dalam asap
dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu: (1). Fenol, 85 macam
diidentifikasi dalam kondensat dan 20 macam dalam produksi asapan. (2).
Karbonol, keton, dan aldehid, 45 macam diidentifikasi dalam kondensat. (3).
Asam-asam 35 macam diidentifikasi dalam kondensat. (4). Furan, 11 macam.
(5). Alkohol dan ester, 15 macam diidentifikasi dalam kondensat. (6). Lakton, 13
macam. (7). Hidrokarbon alifatis 1 macam, diidentifikasi dalam kondensat dan 20
macam dalam produksi asapan. (8). Poli Aromatik Hidrokarbon (PAH) 47 macam
diidentifikasi dalam kondensat dan 20 macam dalam produksi asapan.
Analisis komponen spesifik asap cair dilakukan menggunakan GC-MS.
Komponen-komponen senyawa dominan dari asap cair dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Senyawa dominan asap cair hasil analisis GC-MS (Rasyid, 2010)
Komponen senyawaspesifik
Waktu retensi(menit)
Nilai persenarea (%)
Fenol 10,53 21,55
2-Methoxyphenol (guaiacol), 12,48 4,44
Furfural, 2-furancarboxaldehid
8,04 3,98
2-methylphenol 11,78 1,73
2-methoxy, 4-methylphenol 14,11 0,89
3-methylphenol 12,10 0,72
2-methoxy benzene ethanol 15,41 0,43
38
Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa senyawa dominan pada asap cair
tempurung kelapa adalah senyawa fenol (C6H6O, BM = 94) hal ini sesuai dengan
penelitian Luditama (2006), dimana asap cair tempurung kelapa dengan luas area
31,93 % untuk suhu pembakaran 500 ºC dan luas area 34,45 % untuk suhu
pembakaran 300 ºC. Demikian pula berdasarkan penelitian (Tranggono et
al.,1996), bahwa senyawa dominan dari asap cair tempurung kelapa adalah
senyawa fenol dengan luas area sebesar 44,13 %. Menurut Djatmiko et al.,(1985)
komposisi kimia paling dominan pada tempurung kelapa adalah lignin dengan
konsentrasi sebesar 33,30 %. Fenol dihasilkan dari dekomposisi lignin pada suhu
300 ºC dan berakhir pada suhu 450 ºC (Girrard, 1992). Kadar maksimum
senyawa fenol tercapai pada suhu pirolisis 600 ºC (Hamm and Potthast, 1977
dalam Girrard, 1992). Berdasarkan penelitian Budijanto et al., (2008) hasil
analisis GC-MS menunjukkan terdapat 40 komponen yang teridentifikasi dari
asap cair, dengan 7 komponen dominan asap cair yaitu 2-Methoxyphenol
(guaiacol), 3,4-Dimethoxyphenol, Phenol, 2-methoxy-4-methylphenol, 4-Ethyl-2-
methoxyphenol, 3-Methylphenol, dan 5-Methyl-1,2,3-trimethoxybenzene.
I. Metode Seeded Experiment
Metode seeded experiment merupakan salah satu metode pembentukkan kristal
dengan cara menambahkan bibit kristal ke dalam larutan pertumbuhan.
Penambahan bibit kristal dilakukan untuk mendorong terjadinya proses kristalisasi
dengan lebih cepat. Adanya area permukaan bibit kristal akan mempermudah
pertumbuhan kristal menjadi lebih besar. Semakin cepat terjadinya proses
kristalisasi maka akan semakin cepat laju pertumbuhan inti kristal kalsium sulfat
39
untuk membentuk kristal yang lebih besar. Hal ini dilakukan untuk melihat laju
pertumbuhan kerak kalsium karbonat setelah ditambahkan inhibitor dengan
penambahan bibit kristal (seeded experiment).
J. Analisis dan Karakterisasi Kerak Kalsium Karbonat (CaCO3)
Pada penelitian ini akan dilakukan beberapa analisis dan karakterisasi terhadap
kerak CaCO3 yang telah terbentuk. Analisis tersebut meliputi: analisis
menggunakan IR merupakan salah satu metode dalam identifikasi struktur suatu
senyawa untuk mengetahui adanya gugus-gugus fungsional utama dalam suatu
sampel. Karakterisasi XRD bertujuan untuk mengetahui struktur kristal dari kerak
kalsium karbonat (CaCO3). Analisis morfologi permukaan kristal CaCO3
menggunakan SEM, dan analisis distribusi ukuran partikel menggunakan PSA.
Analisis dan karakterisasi ini dilakukan agar dapat mengetahui seberapa efektif
asap cair dalam menghambat pembentukkan kerak CaCO3.
1. Spektrofotometri Inframerah (IR)
Spektrofotometri inframerah merupakan salah satu metode dalam identifikasi
struktur suatu senyawa yaitu dengan mengetahui adanya gugus-gugus fungsional
utama dalam suatu sampel. Pada spektrofotometri inframerah, setiap gugus fungsi
pada suatu senyawa akan menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang
karakteristik. Menurut (Sastrohamidjojo, 2002) bila sinar inframerah dilewatkan
melalui cuplikan senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan
frekuensi yang lain diteruskan atau ditransmisikan. Sinar inframerah mempunyai
40
energi yang rendah dengan bilangan gelombang antara 600-4000 cm-1 atau sekitar
(1,7x10-3 cm sampai dengan 2,5x10-4 cm). Sinar infra merah hanya dapat
menyebabkan vibrasi (getaran) pada ikatan baik berupa rentangan (stretching)
maupun berupa bengkokan (bending) (Sitorus, 2009). Bila radiasi inframerah
dilewatkan melalui suatu cuplikan, maka molekul-molekulnya dapat menyerap
(mengabsorpsi) energi dan terjadilah transisi diantara tingkat vibrasi dasar
(ground state) dan tingkat energi tereksitasi (exited state) (Hendayana, 1994).
2. Scanning Electron Microscope (SEM)
SEM adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang dapat mengamati dan
menganalisis karakteristik struktur mikro dari bahan padat yang konduktif
maupun yang nonkonduktif. Sistem pencahayaan pada SEM menggunakan
radiasi elektron yang mempunyai λ = 200 – 0,1 Å, daya pisah (resolusi) yang
tinggi sekitar 5 nm sehingga dapat dicapai perbesaran hingga ± 100.000 kali dan
menghasilkan gambar atau citra yang tampak seperti tiga dimensi karena
mempunyai depth of field yang tinggi, sehingga SEM mampu menghasilkan
gambar atau citra yang lebih baik dibandingkan dengan hasil mikroskop optik.
Aplikasi mikroskop elektron ini tidak hanya terbatas pada analisis logam dan
paduan di bidang metalurgi, melainkan dapat diaplikasikan di berbagai bidang
lain, seperti farmasi, pertanian, biologi, kedokteran, dan industri bahan
elektronika, komponen mesin serta pesawat terbang. Pada prinsipnya mikroskop
elektron dapat mengamati morfologi, struktur mikro, komposisi, dan distribusi
unsur. Untuk menentukan komposisi unsur secara kualitatif dan kuantitatif perlu
dirangkaikan satu perangkat alat EDS (Energy Dispersive X-ray Spectrometer)
41
atau WDS (Wavelength Dispersive X-ray Spectrometer) (Handayani and
Sitompul., 1996). Skema bagan SEM ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Skema bagan SEM (Gabriel, 1985).
Prinsip dasar dari SEM ialah interaksi antara berkas elektron dengan spesimen
padatan, seperti dilukkiskan dalam Gambar 14.
Gambar 14. Skema alat SEM (Handayani and Sitompul., 1996).
42
Electron gun adalah suatu sumber elektron dengan energi yang tinggi dipancarkan
dari sebuah filamen seperti tungsten, yang berfungsi sebagai katoda. Hal ini akan
mengakibatkan elektron mengalir menuju anoda. Dalam prinsip pengukuran SEM
dikenal ada dua jenis elektron, yaitu elektron primer dan elektron sekunder.
Elektron primer merupakan elektron berenergi tinggi yang dipancarkan dari
sebuah katoda (Pt, Ni, W) yang dipanaskan. Katoda yang biasa digunakan adalah
tungsten (W) atau Lanthanum Hexaboride (LaB6). Tungsten digunakan sebagai
katoda karena memiliki titik lebur yang paling tinggi dan tekanan uap yang paling
rendah dari semua logam, sehingga memungkinkannya dipanaskan pada
temperatur tinggi untuk emisi elektron. Elektron sekunder adalah elektron
berenergi rendah, yang dibebaskan oleh atom pada permukaan, setelah permukaan
dikenai oleh berkas elektron elektron primer. Elektron sekunder inilah yang akan
ditangkap oleh detektor dan mengubah sinyal tersebut menjadi suatu gambar,
yang dikenal sebagai mikrograf.
Ketika arus mengalir melalui filamen maka terjadi perbedaan potensial antara
katoda dan anoda akibat pancaran elektron (electron beam). Kemudian berkas
elektron difokuskan ke suatu titik pada permukaan sampel dengan menggunakan
cermin pengarah (condenser lens). Gelombang elektron yang dipancarkan
electron gun terkondensasi di lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas
oleh lensa objektif. Kumparan pemindai (scanning coil) yang diberi energi
menghasilkan medan magnetik. Berkas elektron yang mengenai cuplikan
menghasilkan elektron sekunder (secondary electron) dan kemudian dikumpulkan
oleh detektor sekunder atau detektor backscatter. Mikrograf yang dihasilkan dari
analisis dengan SEM memberikan beberapa informasi yang berkaitan dengan
43
morfologi permukaan sampel, yakni ukuran butir, distribusi butir, dan porositas
permukaan.
3. X-Ray Diffarction (XRD)
Karakterisasi X-Ray Diffraction (XRD) ini merupakan teknik umum yang dipakai
untuk mengetahui karakteristik kristalografi suatu material melalui puncak-puncak
intensitas yang muncul. Bertujuan untuk mengidentifikasi struktur kristal, ukuran
kristal serta fasa kristalin suatu sampel (Leofanti, 1997). Pada analisis
menggunakan XRD, kristal memantulkan sinar-X yang dikirimkan dari sumber
dan diterima oleh detektor. Ketika berkas sinar-X berinteraksi dengan lapisan
permukaan kristal, sebagian sinar-X ditransmisikan, diserap, direfleksikan dan
sebagian lagi dihamburkan serta didifraksikan. Skema kerja alat XRD
ditunjukkan pada Gambar 15 berikut.
Gambar 15. Skema kerja alat XRD (Leofanti, 1997).
Sinar-X yang mengenai suatu bahan akan dipantulkan sehingga menghasilkan
spektrum pantulan yang spesifik dan berhubungan langsung dengan kisi kristal
yang dianalisis. Pada penelitian ini, uji difraksi dilakukan untuk mempelajari
struktur dan karakteristik dari kerak kalsium karbonat (CaCO3). Pola difraksi
dikelompokkan berdasarkan intensitas peak yang menyatakan peta parameter kisi
44
kristal atau indeks Miller (hkl) sebagai fungsi 2θ, dimana θ menyatakan sudut
difraksi berdasarkan persamaan (Richardson, 1989). Pada persamaan interpretasi
Hukum Bragg dilakukan berdasarkan asumsi bahwa permukaan dari mana sinar X
dipantulkan adalah datar. Hukum Bragg diturunkan berdasarkan karakteristik
difraksi sinar-X oleh suatu zat, seperti ditunjukkan dalam Gambar 16 di bawah
ini.
Gambar 16. Ilustrasi difraksi sinar-X pada XRD (Callister and Rethwisch, 2009).
Pada persamaan interpretasi Hukum Bragg dilakukan berdasarkan asumsi bahwa
permukaan dari mana sinar X dipantulkan adalah datar.
Dimana d menyatakan jarak antar lapisan atom atau ion yang berdekatan, λ yang
menyatakan panjang gelombang radiasi sinar-X, dan n adalah urutan pantulan.
Kristalinitas dapat juga ditentukan dengan XRD melalui perbandingan intensitas
atau luasan peak sampel dengan intensitas atau luasan peak standar yang
ditunjukkan pada persamaan :
( 1 )
( 2 )
45
Lebar peak XRD merupakan fungsi dari ukuran partikel, maka ukuran kristal
(crystallite size) dinyatakan dalam Persamaan Scherrer berikut (Richardson,
1989):
Dimana K = 1.000, B adalah lebar peak untuk jalur difraksi pada sudut 2θ, b
adalah Instrument peak broadening (0,1°), dan λ adalah panjang gelombang pada
0,154 nm (Wolfovich et al., 2004; Richardson, 1989). Suku (B2-b2)1/2 adalah lebar
peak untuk corrected instrumental broadening.
Keberadaan atau terbentuknya kristal dapat diidentifikasi menggunakan difraksi
sinar-X (XRD), karena karakterisasi menggunakan XRD didasarkan pada fakta
bahwa pola difraksi sinar-X untuk masing-masing material kristalin adalah
karakteristik. Dengan demikian, bila pencocokan yang tepat dapat dilakukan
antara pola difraksi sinar-X dari sampel yang tidak diketahui dengan sampel yang
telah diketahui, maka identitas dari sampel yang tidak diketahui itu dapat
diketahui (Skoog and Leary, 1992).
4. Particle Size Analyzer (PSA)
Karakterisasi menggunakan PSA dimaksudkan untuk mengetahui ukuran dan
distribusi partikel dari suatu sampel. Prinsip dasar PSA disajikan dalam Gambar
17.
( 3 )
46
Gambar 17. Skema alat PSA (Webb, 2002).
Berkas cahaya laser dalam skema diatas dilewatkan melalui sel berisi sampel.
Sampel dengan ukuran besar ketika terkena cahaya dari laser akan membentuk
berkas cahaya yang dapat dilakukan dengan mendispersikan sampel dengan dua
cara. Berdasarkan cara ini metode PSA dibedakan menjadi metode basah dan
metode kering. Pada sudut yang kecil dan sebaliknya. Sudut yang terbentuk akan
diteruskan melewati satu dari dua detektor (backangle detector dan right angle
detector), dan selanjutnya diteruskan ke pengolahan data, menghasilkan kurva
yang menunjukkan distribusi ukuran partikel sampel.
Analisis PSA pada metode basah digunakan pelarut sebagai media pendispersi.
Apabila digunakan sampel yang larut air maka digunakan pelarut organik,
sedangkan untuk sampel yang larut pada pelarut organik, maka bisa digunakan air
sebagai media pendispersinya. Hal ini dimaksudkan agar partikel tidak saling
menyatu hingga menggumpal. Dalam metode kering memanfaatkan aliran udara
untuk mendispersikan partikel. Metode ini baik digunakan untuk partikel yang
bobotnya tidak terlalu ringan.
Metode sedigraf digunakan untuk menentukan distribusi ukuran partikel yang
secara luas sudah dipakai dalam berbagai aplikasi sejak tahun 1967.
Instrumentasi ini sudah melalui pembuktian dalam kecepatan, kemampuan
47
penanganan sampel, dan reduksi data dan presentasi sejak diperkenalkan. Dasar
metode analisis, pengukuran partikel dengan mengukur kecepatan dan penentuan
fraksinasi massa dengan kerelatifan absorbsi sinar-X pada energi yang rendah.
Sedigraf menggunakan sinar-X sebagai tanda horizontal tipis untuk mengukur
konsentrasi partikel massa secara langsung dalam medium cairan. Cara ini
dilakukan pada pengukuran pertama intensitas massa, Imax dari garis dasar atau
keterangan atau informasi yang ditransmisikan sinar-X yang sudah diproyeksikan
melalui medium cairan sebelum pengenalan sampel. Sebagai sirkulasi cairan
yang berkelanjutan, sampel berupa padatan dimasukkan ke wadah cairan dan
dicampur sampai penyebaran aliran suspensi sampel berupa padatan homogen dan
penyebaran cairan dipompa melalui sel.
Sampel berupa padatan lebih banyak mengabsorbsi sinar-X daripada cairan, oleh
karena itu transmisi sinar-X dikurangi. Sejak pencampuran suspensi yang
homogen, intensitas diasumsikan sebagai nilai konstan, Imin untuk transmisi sinar-
X dalam skala pengurangan yang penuh. Aliran pencampuran dihentikan dan
penyebaran yang homogen dimulai untuk menyelesaikan pentransmisian
intensitas sinar-X yang dimonitor pada depth-s. Selama proses sedimentasi,
partikel yang besar menempati tempat pertama di bawah zona pengukuran dan
pada akhirnya, semua partikel menempati level ini dan yang tertinggal hanya
cairan yang bersih. Semakin banyak partikel besar yang menempati di bawah
zona pengukuran dan tidak digantikan dengan ukuran partikel yang sama yang
menempati dari atas, maka pelemahan sinar-X berkurang (Webb, 2002).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik Fisik Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada bulan Maret
hingga Juli 2017. Karakterisasi gugus fungsi asap cair menggunakan
Spektrofotometer IR dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Islam
Indonesia. Identifikasi struktur kristal CaCO3 menggunakan XRD dilakukan di
Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju (PSTBM)-BATAN. Selain itu, dilakukan
karakterisasi distribusi ukuran kristal CaCO3 menggunakan PSA di Laboratorium
Sentra Universitas Padjajaran. Morfologi permukaan kerak CaCO3 menggunakan
SEM dilakukan di Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Terpadu dan Sentra
Inovasi Teknologi (UPT LTSIT) Universitas Lampung.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini, yaitu alat-alat gelas, waterbath,
gelas-gelas plastik, spatula, magnetic stirrer, oven, neraca analitik merek
Airshwoth AA-160, spektrofotometri IR, PSA merek Beckman Coulter LS 13
320, SEM merek Zeiss Evo MA10, serta XRD.
49
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu asap cair, CaCl2, Na2CO3,
akuades, kertas saring, dan pH universal.
C. Prosedur Penelitian
1. Preparasi Bibit Kristal
Bibit kristal dibuat dengan cara mencampurkan CaCl2 1M dan Na2CO3 1M yang
masing-masing telah dilarutkan dalam 500 mL akuades. Campuran tersebut
diaduk hingga mengendap sempurna, kemudian dipisahkan menggunakan kertas
saring. Kristal yang diperoleh dicuci dengan akuades dan dicuci kembali dengan
aseton untuk menghilangkan sisa-sisa cairan induk dan kotoran, lalu dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 105 oC. Prosedur ini diulang beberapa kali hingga
diperoleh bibit kristal yang cukup untuk melakukan penelitian. Kristal yang
diperoleh akan digunakan sebagai bibit kristal untuk diamati pertumbuhannya.
(Suharso et al., 2009).
2. Penentuan Laju Pertumbuhan Kerak CaCO3 Tanpa Inhibitor padaKonsentrasi Larutan Pertumbuhan yang Berbeda Menggunakan MetodeSeeded Experiment
Larutan pertumbuhan dibuat dengan cara mencampurkan CaCl2 0,050 M dan
Na2CO3 0,050 M masing-masing dalam 200 mL akuades. Kemudian, masing-
masing larutan diaduk hingga homogen pada suhu 90 0C selama 15 menit .
Larutan CaCl2 0,050 M dan larutan Na2CO3 0,050 M dicampurkan dan diukur
nilai pH-nya menggunakan pH universal. Campuran tersebut dimasukkan ke
dalam 7 gelas plastik sebanyak 50 mL dan ditambahkan 0,2 g bibit kristal pada
50
masing-masing gelas. Setelah itu diletakkan dalam waterbath pada suhu 90 0C
selama 45 menit (15 menit pertama satu gelas diambil, gelas selanjutnya di ambil
setiap selang waktu 5 menit). Kemudian dilakukan penyaringan menggunakan
kertas saring, dikeringkan dalam oven pada suhu 90 oC selama 3 jam. Percobaan
ini diulang pada variasi konsentrasi larutan pertumbuhan 0,075; 0,100 dan 0,125
M.
3. Penentuan Laju Pertumbuhan Kerak CaCO3 dengan PenambahanInhibitor pada Konsentrasi Larutan Pertumbuhan dan KonsentrasiInhibitor yang Berbeda Menggunakan Metode Seeded Experiment
Larutan pertumbuhan dibuat dengan cara melarutkan CaCl2 0,050 M dan Na2CO3
0,050 M masing-masing dalam 200 mL asap cair 50 ppm. Masing-masing larutan
diaduk hingga homogen pada suhu 90 oC selama 15 menit. Selanjutnya, kedua
larutan tersebut dicampur dan diukur nilai pH-nya menggunakan pH universal.
Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam 7 gelas plastik sebanyak 50
mL dan ditambahkan 0,2 g bibit kristal kedalam masing-masing gelas plastik.
Setelah itu diletakkan dalam waterbath pada suhu 90 °C, selama 45 menit (15
menit pertama satu gelas diambil, gelas selanjutnya di ambil setiap selang waktu 5
menit). Selanjutnya larutan dalam gelas tersebut disaring menggunakan kertas
saring, dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 90 °C selama 3 jam.
Padatan yang diperoleh ditimbang untuk mengetahui berat kristal yang terbentuk.
Percobaan ini diulang dengan variasi konsentrasi larutan pertumbuhan 0,075;
0,100 dan 0,125 M serta pada variasi konsentrasi inhibitor 50, 150, 250 dan 350
ppm.
51
D. Analisa Data
Data yang diperoleh berupa jumlah endapan terhadap waktu dengan variasi
konsentrasi larutan pertumbuhan dan variasi konsentrasi inhibitor yang berbeda,
masing-masing akan diplot sebagai jumlah endapan terhadap waktu menggunakan
Microsoft Excel. Nilai yang diperoleh dari masing-masing gafik merupakan
pertumbuhan kerak CaCO3. Analisis gugus fungsi dari sampel menggunakan
Spektrofotometri IR, morfologi permukaan sampel dikarakterisasi menggunakan
SEM, distribusi ukuran partikel sampel dikarakterisasi menggunakan PSA, dan
identifikasi struktur kristal menggunakan XRD.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Persen efektivitas inhibitor tertinggi yaitu pada konsentrasi larutan
pertumbuhan 0,050 M dan pada konsentrasi inhibitor 350 ppm sebesar
277,6%.
2. Analisis morfologi permukaan kerak CaCO3 menggunakan SEM
menunjukan bahwa kristal sebelum penambahan inhibitor terlihat lebih
padat, beraturan, dan lebih besar namun kristal setelah penambahan
inhibitor terlihat tak beraturan dan lebih kecil.
3. Analisis struktur kristal CaCO3 menggunakan XRD menunjukan puncak
difraktogram yang lebih tinggi yaitu pada 2θ = 29,35; 39,36; dan 47,450
tanpa penambahan inhibitor, sedangkan puncak difraktogram pada
2θ = 26,15; 29,35; dan 45,420 setelah penambahan inhibitor. Sehingga
semakin tinggi puncak yang terbentuk maka laju pertumbuhan kerak
CaCO3 semakin besar serta kristal yang dihasilkan juga semakin besar.
73
4. Karakterisasi menggunakan PSA menunjukan bahwa distribusi ukuran
partikel kerak CaCO3 mengalami penurunan setelah ditambahkan inhibitor
asap cair yang terlihat pada nilai rata-rata (mean) yaitu 5,146 µm menjadi
2,897 µm.
B. Saran
Untuk meningkatkan mutu penelitian yang telah dilakukan, maka penulis
memberikan saran perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap
penghambatan kerak CaCO3 dengan menggunakan inhibitor asap cair pada
grade yang berbeda serta variasi waktu dan konsentrasi inhibitor berbeda.
Selain itu perlu dipelajari pula cara penghambatan senyawa organik yang
terdapat pada inhibitor asap cair ini terhadap pertumbuhan kerak CaCO3.
DAFTAR PUSTAKA
Addicott, J.F., Aho, J.M., Antolin, M.F., Padilla, D.K., Richardson, J.S., andSoluk, D.A. 1987. Ecological Neighborhoods: Scaling EnvironmentalPatterns. Oikos. 340-346.
Alahmad, M. 2008. Factors Affecting Scale Formation in Sea WaterEnvironmentsean Experimental Approach. Chem. Eng. Technol. 31:149-156.
Al-Deffeeri, N.S. 2006. Heat Transfer Measurement as a Criterion forPerformance Evaluation of Scale Inhibition in MSF Plants in Kuwait.Desalination. 204:423-436.
Amjad, Z. 1995. Kinetics of Crystal Growth of Calcium Sulfate Dihydrate, theInfluence of Polymer Composition, Molecular Weight, and Solution pH.Can. J. Chem. 66.
Antony, A., and Low, J. H. 2011. Scala Formation and Control in High PressureMembrane Water Treatment Systems. A Review. Journal of MembraneScience.383:1-16.
Arsyad, M. dan Natsir. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah.Gramedia. Jakarta.
Asnawati. 2001. Pengaruh Temperatur Terhadap Reaksi Fosfonat dalam InhibitorKerak pada Sumur Minyak. Jurnal Ilmu Dasar. 2(1).
Badr, A. and Yassin, A. A. M. 2007. Barium Sulfate Scale Formation in OilReservoir During Water Injection at High-Barium Formation Water.Journal of Applied Sciences. 7(17):2393-2403.
Budijanto, A. 2008. Metode Penentuan Koefisien Kekentalan Zat Cair DenganMenggunakan Regresi Linear Hukum Stokes. ISSN : 1978-0176 SekolahTinggi Teknologi Nuklir-BATAN.
75
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.Bumi Aksara, Jakarta.
Callister, W. D. Jr. and Rethwisch, D. G. 2009. Materials Science andEngineering an Introduction. Eighth Edition. United States of America.
Cotton dan Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. UI-Press. Jakarta.
Cowan, J.C. and Weintritt, D.J. 1976. Water Formed Scale Deposit. Houston,Texas. Gulf Publishing Co. 1-484.
Crabtree, M., Eslinger, D., Fletcher, P., Miller, M., Johnson, A., and King, G.1999. Fighting Scale-Removal and Prevention. Oilfield. 11:30-45.
Darmadji, P. 1996. Aktivitas Antibakteri Asap Cair yang Diproduksi dariBermacam-Macam Limbah Pertanian. Agritech. Yogyakarta. 16 (4):19-22.
Davidson, P. M. and Branen, A. L. 1981. Antimicrobial Activity of NonHalogenated Phenolic Compound. J. of Food Protect. 44(8):623-632.
Dewi and Ali. 2003. Kinetic Study of Electrocrystalization on Calcium Carbonateon Metallic Substrates. Journal of Crystal Growth. 291:428-435.
Djatmiko, B., Ketaren, S., dan Setyakartini. 1985. Arang: Pengolahan danKegunaannya. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, FakultasTeknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Donachy, J.E. and Sikes, C.S. 1994. Thermal Polycondensation Synthesis ofBiomimetic Serine-Containing Derivatives Polyaspartate: Potent Inhibitorsof Calsium Carbonate Phosphate Crystallisation. Journal Polymer Science.32:789-795.
Duccini, Y., Dufour, A., Harm, W. M., Sanders, T. W., and Weinstein, B. 1997.High Performance Oilfield Scale Inhibitors. In: Corrosion97. NaceInternational, New Orleans, LA.
Fatimah, F. 1998. Analisis Komponen-Komponen Penyusun Asap cair TempurungKelapa. Thesis S-2. PPS UGM Yogyakarta.
Gabriel, B.L. 1985. SEM: A User Manual of Material Science. USA: AmericanSociety for Metal. 37-44.
Gill, J. S. 1999. A Novel Inhibitor for Scale Control in Water Desalination.Desalination. 124:43-50.
76
Girard, J. P. 1992. Smoking in Technology of Meat and Meat Products. Girard(ed). Ellis Horwood. New York.
Halimatuddahliana. 2003. Pencegahan Korosi dan Scale Pada Proses ProduksiMinyak Bumi. FMIPA-USU. Medan.
Hamm and Potthast. 1977. Analysis of Smoke and Smoken Foods. Pure and Apl.Chem. Pangomon Press. 49:1665-1666.
Handayani, A. dan Sitompul, A. S. 1996. Teknik Pengamatan Struktur Mikrodengan SEM-EDAX. Makalah Kunjungan dan Demo PTBIN BATAN.Serpong.
Hasson, D. and Semiat, R. 2005. Scale Control in Saline and WastewaterDesalination. Israel Journal of Chemistry. 46:7-104.
Hendayana, S. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Edisi Kesatu. IKIP SemarangPress. Semarang.
He, S., Kan, A. T., and Tomson, M. B. 1999. Inhibition of Calsium CarbonatePrecipitation in NaCl Brines From 25 to 90 °C. Applied Geochemistry.14:17-25.
Isopecus, R., Mateescu, C., Mihai, M., and Dabija, G. 2009. The Effects ofOrganic Additives on Induction Time and Characteristics of PrecipitatedCalcium Carbonate. Chemical Engineering Research and Design. 88:1450-1454.
Kemmer, F. N. 1979. The Nalco Water Hand Book. Nalco Chemical Co. McGraw Hill Book CO. New York. 20:1-19.
Kolodynska, D., Hubicki, Z., and Geca, M. 2008. Application of a New-Generation Complexing Agent in Removal of Heavy Metal Ions FromAqueous Solutions. Ind. Eng. Chem. 47:3192-3199.
Kragh L.G., Sanderson, W. G., and Sumner, R. B. 1981. Waste Heat DisposalProcess. Patent No. US 4299786 A.
Leofanti, G. 1997. Catalyst Characterization. Applications Catalysis. 34:329-352.
Lestari, D. E., Sunaryo, G. R., Yulianto, Y. E., Alibasyah, S., dan Utomo, S.B.2004. Kimia Air Reaktor Riset G. A. Siwabessy. Makalah Penelitian P2TRRdan P2TKN BATAN. Serpong.
Lestari, D. E. 2008. Kimia Air, Pelatihan Operator dan Supervisor Reaktor Riset.Pusat Pendidikan dan Pelatihan BATAN. Serpong.
77
Luditama, C. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap cair Berbahan Dasar TempurungKelapa secara Pirolisis dan Destilasi [skripsi]. Fakultas TeknologiPertanian, IPB. Bogor.
Maga, Y. A. 1987. Smoke in Food Processing. CSRC Press, Inc. Boca Raton.
Maley, M. 1999. Inhibition of Calcite Nucleation and Growth UsingPhosphonate. Curtin University of Technology Western Australia. Australia.
Malkaj, P. and E. Dalas 2002. Effect of Metallocene Dichlorides on the CrystalGrowth of Calcium Carbonate. J. Cryst. Growth. 242:405 –411.
Manoli, F., Kanakis, J., Malkaj, P., and Dalas, E. 2003. The Effect of Aminoacidson The Crystal Growth of Calsium Carbonate. Journal of Crystal Growth.53:105-111.
Martinod, A., Euvrard, M., Foissy, A., and Neville, A. 2008 Progressing theUnderstanding of Chemical Inhibition of Mineral Scale by Green Inhibitors.Desalination. 220:345 –352.
Ma, H., Chen, S., Zhao, S., Liu, X., and Li. D. 2001. A Study of CorrosionBehavior of Copper in Acidic Solutions ContainingCetyltrimethylammonium Bromide. J. Electrochem. 148:482-488.
Ma’mun, H., Bayuseno, A. P., dan Muryanto, S. 2013. Pembentukan KerakKalsium Karbonat (CaCO3) di dalam Pipa Beraliran Laminer pada LajuAlir 30ml/menit hingga 50 ml/menit dan Penambahan Aditif Asam Malat. InProsiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Fakultas Teknik.
Miksic, B.A., Margarita, A., Kharshan, and Furman, A. Y. 2005. Vapor Corrotionand Scale Inhibitors Formulated from Biodegradable and Renewable RawMaterials. Eur. Symposium on Corrosion Inhibitors. (10 SEIC). Ferrara,Italy. Ctp.83.
Mullin, J. W. 1993. Crystallization. Butterworth-Heinemann. UniversitasMichigan.
Nunn, R. G. 1997. Water Treatment Essentials far Boiler Plant Operation.McGraw Hill. NewYork. Capillary Zone Electrophoresis.Elsevier B.V.Journal of Chromatography A. 934:113-122.
Nurhasanah, E. 2008. Perancangan Alat untuk Membuat Asap Cair dariTempurung Kelapa dan Karakterisasinya. Institut Teknologi Bandung(Tesis). Bandung.
78
Oktaviani, A. M. 2012. Studi Penggunaan Senyawa TDMA CMKR dan EkstrakGambir Sebagai Inhibitor Pembentukan Kerak Kalsium Karbonat(CaCO3) dengan Metode Unseeded Experiment. Skripsi. Jurusan KimiaFMIPA. Universitas Lampung. Lampung.
Patel, S., and Finan, M.A. 1999. New Antifoulants for Deposit Control in MSFand MED Plants. Desalination. 124:63 –74.
Patton, C. 1981. Oilfield Water System.2 ed. Cambeel Petroleum Series.Oklahoma. 49-79.
Raharjjo, S. 2016. Coulding CaCO3 Scale Deposion on the Pump SystemLamunaif Art Low Audition of Citive Acids.
Rasyid, Al. H. 2010. Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai BahanPengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Segar untukTujuan Transportasi. Departemen Teknologi Industri Pertanian InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Ratna, P. S. 2011. Studi Penanggulangan Problem Scale dari Near-Wellborehingga Flowline di Lapangan Minyak Limau. Fakultas Teknik UI. Depok.
Richardson, J. T. 1989. Principles of Catalyst Development. Plenum Press. NewYork and London. 171.
Salimin, Z. dan Gunandjar. 2007. Penggunaan EDTA sebagai PencegahTimbulnya Kerak pada Evaporasi Limbah Radioaktif Cair. Prosiding PPI –PDIPTN. Pustek Akselerator dan Proses Bahan – BATAN. Yogyakarta.
Sastrohamidjojo, H. 2002. Kromatografi. Liberty. Yogyakarta. 35-36.
Sikiric, M. D., and Milhofer, H. F. 2007. Adv Colloid Interface Sci. 128-130:135-158.
Sitorus, M. 2009. Spektroskopi (Elusidasi Struktur Molekul Organik). Graha Ilmu.Yogyakarta. 78.
Skoog, D. A. and Leary, J. J. 1992. Principles of Instrumental Analysis. J. Chem.Educ. 69(8):A224.
Soediono, W., Bayuseno, A. P., dan Muryanto, S. 2011. EksperimenPembentukan Kerak Gipsum dengan Konsentrasi Ca2+ ; 3500 ppm danAditif Fe2+. Momentum. 7(2).
79
Suhardiyono, L. 1988. Tanaman Kelapa, Budidaya dan Pemanfaatannya.Kanisius. Yogyakarta. 153-156.
Suharso, Parkinson, G., and Ogden, M. 2002. The Mechanism of BoraxCrystallization Using in Situ Optical Microscopy and AFM. ACEM17.Australian Conference on Electron Microscopy. 116:90.
Suharso. 2003. Investigation of the Crystallization of Sodium Borate. StudentSeminar Day. Curtin University of Technology.
Suharso. 2004. Effect of Sodium Lauryl Sulphate (SLS) on Growth Rate andMorphology of Borax Crystals. Jurnal Sains & Teknologi. 10 (3):165-172.
Suharso, Parkinson, G., and Ogden, M. 2004. Growth Rate Dispersion (GRD) ofthe (010) Face of Borax Crystals in Flowing Solution. Indonesian Journal ofChemistry. 4 (3):145-148.
Suharso. 2007. Effect of Sodium Dodecylbenzenesulfonic Acid (SDBS) on theGrowth Rate and Morphology of Borax Crystal. Indonesian Journal ofChemistry. 7 (1):5-9.
Suharso, Parkinson, G., and Ogden, M. 2007. Effect of CetyltrimehylammoniumBromide (CTAB) on the Growth Rate and Morphology of Borax Crystals.Journal of Applied Sciences. 7 (10):1390-1396.
Suharso, Buhani, Suhartati, T., dan Aprilia, L. 2007a. Sintesis C-Metil-4, 10, 16,22-Tetrametoksi Kaliks [4] Arena dan Peranannya Sebagai InhibitorPembentukan Kerak Kalsium Karbonat (CaCO3). Laporan Akhir ProgramInsentif. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Suharso, Parkinson, G., and Ogden, M. 2008. AFM investigation of Borax (100)Face: Two-Dimensional Nucleation Growth. Advances in Natural andApplied Sciences. 2 (3):135-141.
Suharso. 2009. In Situ Measurement of the Growth Rate of the (111) Face ofBorax Single Crystal. Jurnal Matematika & Sains. 10 (3):101-106.
Suharso. 2009a. Ex Situ Investigation of Surface Topography of Borax Crystalsby AFM: Relation Between Growth Hillocks and SupersaturationInterpreted by Spiral Growth Theory. Jurnal Matematika & Sains. 11(4):140-145.
Suharso, Buhani, and Suhartati, T. 2009. The Role of C-Methyl-4,10,16,22-Tetrametoxy Calix[4]Arene as Inhibitor of Calcium Carbonate (CaCO3)Scale Formation. Indonesian Journal of Chemistry. 9(2):206 – 210.
80
Suharso. 2010. Growth Rate Distribution of Borax Single Crystals on the (001)Face Under Various Flow Rates. Indonesian Journal of Chemistry. 6 (1):16-19.
Suharso. 2010a. Growth of the (001) Face of Borax Crystals. Indonesian Journalof Chemistry. 5 (2):98-100.
Suharso. 2010b. Characterization of Surface of the (010) Face of Borax CrystalsUsing Ex Situ Atomic Force Microscopy (AFM). Indonesian Journal ofChemistry. 5 (3):274-277.
Suharso. 2010c. Mechanism of Borax Crystallization Using Conductivity Method.Indonesian Journal of Chemistry. 8 (3):327-330.
Suharso, Buhani, Bahri, S., and Endaryanto, T. 2010. The Use of GambierExtracts from West Sumatra as a Green Inhibitor of Calcium Sulfate(CaSO4) Scale Formation. Asian Journal of Research in Chemistry.3(1):183-187.
Suharso dan Buhani. 2011. Efek Penambahan Aditif Golongan Karboksilat dalamMenghambat Laju Pembentukan Endapan Kalsium Sulfat. Jurnal NaturIndonesia. 13 (2):100-104.
Suharso. 2012. Characterization of Surface of the (100) Face of Borax CrystalsUsing Atomic Force Microscopy (AFM): Dislocation Source Structure andGrowth Hillocks. Jurnal Sains MIPA Universitas Lampung. 3 (2).
Suharso. 2012a. Ex Situ Investigation of the Hollow Cores on the SurfaceTopography of the (100) Face of Borax Crystals by Atomic ForceMicroscopy (AFM). Jurnal Sains MIPA Universitas Lampung. 4 (1).
Suharso dan Buhani. 2012. Penanggulangan Kerak. Lembaga PenelitianUniversitas Lampung. Lampung.
Suharso, Buhani, dan Aprilia, L. 2013. Pengaruh Senyawa Turunan KaliksarenaDalam Menghambat Pembentukan Kerak Kalsium Karbonat (CaCO3).Prosiding Semirata. 1 (1).
Suharso, Buhani, and Aprilia, L. 2014. Influence of Calix[4]arene DerivedCompound on Calcium Sulphate Scale Formation. Asian Journal ofChemistry. 26 (18):6155.
Suharso, Reno, T., Endaryanto, T., and Buhani. 2017. Modification of GambierExtracs as Green Inhibitor of Calcium Carbonate (CaCO3) Scale Formation.Journal of Water Process Engineering. 18:1-6.
81
Suharso, Buhani, Yuwono, S. D., and Tugiyono. 2017a. Inhibition of CalciumCarbonate (CaCO3) Scale Formation by Calix [4] ResorcinareneCompounds. Desalination and Water Treatment. 68:32-39.
Svehla, G. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.Alih Bahasa Oleh L. Setiono dan A.H pudjaatmaka. PT. Kalman MediaPustaka. Jakarta.
Tranggono, Suhardi, Bambang Setiaji, Darmadji, P., Supranto, dan Sudarmanto.1996. Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan TempurungKelapa. J. Ilmu dan Teknologi Pangan. 1(2):15-24.
Tranggono, Suhardi, dan Bambang S. 1997. Produksi Asap Cair danPenggunaannya pada Pengolahan Beberapa Bahan Makanan KhasIndonesia. Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu III. Kantor Menristek.Puspitek. Jakarta.
Wafiroh, S. 1995. Pemurnian Garam Rakyat Dengan Kristalisasi Bertingkat.Laporan Penelitian. Universitas Airlangga. Surabaya.
Wang, L., Yin, G. J., and Yin, J. G. 2001. 2-Mercaptothiazoline andCetylpyridinium Chloride as Inhibitors for the Corrosion of a Low CarbonSteel in Phosphoric Acid. Corros. 43:1197-1202.
Webb, P.A.2002. Interpretation of Particle Size Reported by Different AnalyticalTechnique. Diakses melalui www.micromeristics.com. Pada tanggal 5Januari 2017 Pukul 14.00 WIB.
Weijnen, M. P. C., Marchee, W. G. J., and Rosmalen, G. M. V. 1983. AQuantification of the Effectiveness of an Inhibitor on The Growth Process ofa Scalant. Desalination. 47:81-92.
Wolfovich, M. A., Landau, M. V., Brenner, A., and Herskowitz, M. 2004.Catalytic Wet Oxidation of Phenol with Mn−Ce-Based Oxide Catalysts: Impact of Reactive Adsorption on TOC Removal. Indudtrial andEngineering Chemistry Research. 43:5089-5097.
Wulandari, R., Darmadji, P., dan Santosa, U. 1999. Sifat AntioksidanAsap Cair Hasil Redestilasi Selama Penyimpanan. Prosiding SeminarNasional Pangan Yogyakarta.
Zeiher, E. H. K., Bosco, H., and Williams, K. D. 2003. Novel Antiscalant DosingControl. Elsevier Science B. V. Desalination.157:209-216.
Zhang, Y. and Dawe, R. A. 2000. Influence of Mg2+ on The Kinetics of CalcitePrecipication and Calcite Crystal Morphology. Chemical Geology.163:129-138.
82
Zhang, K., Sun, M., Werner, P., Kovera, A. J., Albu, J., Pi-Sunyer, F. X., andBoozer, C. N. 2002. Sleeping Metabolic Rate in Relation to Body MassIndex and Body Composition. International Journal of Obesity RelationsMetabolic Disorder. 26:376-383.