Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Brikolase Online: : https://jurnal.isi -ska.ac.id/index.php/brikolase/index
Proses Review : 1 - 15 Desember 2020, Dinyatakan Lolos: 9 Desember 2020
Vol. 12, No. 2, Desember 2020 159
STUDI PENCIPTAAN KARYA SENI INSTALASI “MARI KITA…!”
Satriana Didiek Isnanta1, Much. Sofwan Zarkasi2, Asmoro Nurhadi Panindias3
Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Surakarta1,2,3
Jl. K.H. Dewantara 19 Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRACT
This article is the result of a study on the creation of installation art based on local wisdom with the source of the idea of creating the loro blonyo statue. Loro blonyo is a pair of wooden statues consisting of a statue of a woman accompanied by a man wearing a traditional Javanese wedding dress in a basahan style in a sitting position. Broadly speaking, the meaning of the loro blonyo statue for the Javanese community is the unity of a couple as a reflection of the harmony and unity of Javanese thoughts. The meaning of the loro blonyo statue is then analyzed, elaborated, and reinterpreted. The research method used is Dharsono's Artistik Creation (2016), namely: research with an ethical approach and research with an emic approach, exploration, experimentation, and formation. The results of the research were concluded and became the basis for the concept of installation art with the visual form of local culture as a strengthening of cultural identity. Keywords : installation art, art experimentation, loro blonyo, cultural identity..
ABSTRAK Artikel ini merupakan hasil studi penciptaan karya seni instalasi berbasis kearifan lokal dengan sumber ide penciptaan patung loro blonyo. Loro blonyo adalah sepasang patung dari bahan kayu yang terdiri atas patung perempuan dan didampingi seorang laki-laki dengan menggunakan busana perkawinan adat Jawa gaya basahan dalam posisi duduk. Secara luas, makna patung loro blonyo bagi masyarakat Jawa adalah kesatuan pasangan sebagai refleksi pikiran Jawa yang harmoni dan manunggal. Makna patung loro blonyo tersebut kemudian dianalisis, dielaborasi dan ditafsir ulang. Metode penelitian menggunakan Kreasi Artisik Dharsono (2016), yaitu : riset dengan pendekatan etik dan riset dengan pendekatan emik, eksplorasi, eksperimentasi dan pembentukan. Hasil riset tersebut disimpulkan dan menjadi dasar konsep karya seni instalasi dengan wujud visual budaya lokal sebagai penguatan identitas kultural.
Kаtа Kunci: seni instalasi, eksperimentasi seni, loro blonyo, identitas kultural.
Satriana Didiek Isnanta, Much. Sofwan Zarkasi, Asmoro Nurhadi Panindias
Studi Penciptaan Karya Seni Instalasi “Mari Kita…!”
160 Vol. 12, No. 2, Desember 2020
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan seni rupa di Indonesia masa kini secara historis tidak dapat
dipisahkan dari berbagai pengaruh global yang menimbulkan kecenderungan-
kecenderungan dalam mengadopsi, mengapresiasi, mensintesa pemikiran - pemikiran
baru yang tersampaikan baik melalui pendidikan, literatur, media massa, teknologi,
hubungan internasional yang semuanya bermuara pada wacana, ideologi, pasar dan
praktika seni rupa. Hal ini menimbulkan paradok tentang identitas seni rupa Indonesia
dalam konfigurasi seni rupa Internasional.
Untuk mensikapi konsepsi seni rupa yang berakar Indonesia, perlu adanya
pencarian alternatif konsep pengembangan seni. Idiom rupa dari budaya yang berakar
dari tradisi etnis yang sudah merupakan kekayaan bangsa harus dimanfaatkan. Seni
tradisi mampu memberikan rangsang cipta seni; sebagai sumber gagasan dan media
ekspresi. Sikap progresif yang mendambakan kreatifitas menghasilkan produk budaya
yang berpijak pada masa kini yang membuahkan bentuk alternatif yang bersifat
eksperimental.
Salah satu produk seni tradisi yang bisa sumber ide penciptaan adalah patung
loro blonyo yang akrab dalam kehidupan masyarakat Jawa sampai sekarang. Awalnya,
patung loro blonyo untuk kepentingan ritual dan digunakan sebagai kekuatan magis.
Sekarang, patung loro blonyo tidak lagi berkaitan dengan pengalaman religius,
mengandung nilai spiritual, kesucian, dan ritual, tetapi lebih berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari (profan), yaitu sebagai asesoris ruangan atau pelengkap keindahan interior.
Bahkan bagi pengrajin patung loro blonyo difungsikan sebagai sarana mencari nafkah
sehingga mengarah sebagai motif ekonomi. Dari yang dulunya terkait dengan kesuburan
dan keselamatan, sekarang patung loro blonyo dianggap sebagai simbol rejeki/
keuntungan ekonomi.
Bentuk dan makna patung loro blonyo bagi masyarakat Jawa tersebut kemudian
akan dianalisis dan direinterpretasi yang kemudian akan diwujudkan ke dalam karya seni
instalasi dengan menggunakan tahapan-tahapan penciptaan yang terdokumentasi,
terukur dan sistematis sesuai dengan kaidah ilmiah.
Seni instalasi berasal dari perkembangan salah satu teknik dalam seni rupa
(patung) yaitu asemblasi. Asemblasi sendiri berasal dari perkembangan aliran Kubisme
(Picasso dan Braque), ditambah dengan semakin gencarnya pengaruh Dadaisme,
Surealisme dan Conseptual Art/ Seni Konseptual. Dalam buku Art Speak, Robert, A.
Jurnal Brikolase Online: : https://jurnal.isi -ska.ac.id/index.php/brikolase/index
Proses Review : 1 - 15 Desember 2020, Dinyatakan Lolos: 9 Desember 2020
Vol. 12, No. 2, Desember 2020 161
(1990:90), menyebutkan bahwa seni instalasi dunia pertama kali muncul pada era pop
art (1950- 1970-an) salah satu tokohnya Judy Pfaff dengan karyanya yaitu membuat
taman bawah laut dari ribuan berbagai jenis sampah dengan sangat fantastik.
Adapun artian harfiahnya (asal kata install = memasang, installation =
pemasangan), jadi seni instalasi merupakan seni yang memasang, menyatukan,
memadukan dan mengkontruksi sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada
suatu konteks kesadaran makna tertentu. Lebih spesifiknya instalasi adalah
memasang, merakit, komponen-komponen benda seni maupun benda lain (bentuk di
luar konteks seni rupa).
Seni instalasi menurut Mark Rosenthal (2003) dalam bukunya yang bertajuk
Understanding Installation Art membagi seni instalasi menjadi 2 kategori, yaitu Filled-
Space Installation dan Site-Specific Installation. Filled-space, dimana karya instalasi
tersebut hanya sebagai pengisi ruang (ruang dalam bangunan arsitektur maupun ruang
imajiner (ruang di alam terbuka) dan ketika dia dipindahkan ke ruang yang lain bentuk
karya tetap sama seperti sebelumnya. Biasanya dilakukan oleh seniman yang dalam
aktifitasnya selalu bergerak dari negara satu ke negara lainnya (movable), karya
bersifat knock down agar mudah dalam pembawaanya.
Berbeda degan Site-specific, dimana karya selalu adaptif pada site (ruang)
bahkan sampai mengeksplorasi ruang/ site pada karya. Pada jenis ini karya tersebut
sangat kontekstual pada ruang dan merupakan dialog antara seniman dengan ruang
dan lingkungannya, baik ruang riil (ruang dalam bangunan arsitektur maupun ruang
imajiner (ruang dialam terbuka). Dalam melakukan proses berkarya dengan kategori
‟site specific‟, seorang perancang seni instalasi harus melakukan riset terlebih dahulu
terhadap ruang dimana karya akan ditempatkan, hal inilah yang dimaksud, kontekstual.
Dengan kata lain bahwa seni instalasi merupakan sebuah bidang keilmuan yang
berurusan dengan kreatifitas manusia yang mempunyai kecenderungan konsepsional
dan termasuk seni kontemporer yang lahir di era Posmodern. Karakteristik dari seni
rupa kontemporer, yaitu :
1. Adanya pluralism dalam estetika, dalam prakteknya seniman mendapatkan
kebebasan untuk berorientasi pada masa depan, masa lalu ataupun
sekarang,
2. Berorientasi karya bebas, tidak menghiraukan batasan-batasan kaku seni
rupa yang dianggap baku,
3. Penggunaan media atau bahan apapun dalam berkarya seni,
Satriana Didiek Isnanta, Much. Sofwan Zarkasi, Asmoro Nurhadi Panindias
Studi Penciptaan Karya Seni Instalasi “Mari Kita…!”
162 Vol. 12, No. 2, Desember 2020
4. Berani menyentuh situasi sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang
sedang, pernah ataupun mungkin akan terjadi.
Dari beberapa paparan teori tentang seni instalasi dan konsep seni kontemporer
di atas, maka sangat dimungkinkan studi penciptaan karya seni instalasi dengan
mengunakan sumber ide penciptaan dari menafsir makna patung loro blonyo yang
dikembangkan menggunakan material rotan. Kajian literaturnya mengenai makna
patung loro blonyo bagi masyarakat Jawa dan studi estetika bentuknya.
Istilah loro blonyo berasal dari kata loro berarti dua, dan blonyo berarti gambaran
atau warna, maksudnya sepasang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan diperindah
dengan aneka warna. Sebutan lain ada yang menghubungkan dengan sebutan rara
atau wanita, dan juga blonyoh yang maksudnya lulur. Pengertian terakhir konotasinya
adalah hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan, yang dikaitkan dengan
peristiwa perkawinan. Dalam makna luas kedua patung dalam kesatuan pasangan
dianalogikan sebagai refleksi pikiran Jawa yang harmoni dan manunggal (Subiyantoro,
2009: 532)
Sebagai bentuk kebudayaan, seni patung memiliki fungsi dan makna tersendiri
bagi masyarakat dimana patung tersebut berada (Boas, 1955). Bukti-bukti arkelologis
peninggalan masa Hindu di Jawa Tengah ditemukan patung dewa-dewi, pasangan Ciwa
dengan Laksmi. Mitos ini menggambarkan bahwa di tengah-tengah masyarakat budaya
Jawa ada keyakinan, bahwa manusia itu keturunan dewa (Hadiwijono, 1983: 22).
Peninggalan berupa artefak, seperti relief, arca, dan patung, pada dasarnya merupakan
perwujudan pandangan masyarakat pada zamannya, yang ditampilkan sebagai simbol,
atau lambang sebagai sarana untuk ritual yang bermakna religius (Yudoseputro, 1993:
76-77).
Patung loro blonyo sebagai bentuk pernyataan secara kongkrit gagasan atau
pandangan hidup Jawa. Secara vertikal patung merupakan susunan atau tahapan
menuju ke Esaan Tuhan, sedangkan secara imanen bagian bawah patung
mencerminkan lima karakter atau watak Jawa yang dipercaya sebagai kerangka struktur
gambaran pemahaman orang Jawa mengenai pandangan hidupnya. Dengan demikian
loro blonyo menggambarkan filosofi orang Jawa dalam upayanya menyelaraskan
keberadaannya dengan alam semesta dengan dzat yang kuasa agar menjadi insan
yang hidup dan matinya sempurna yang dilandasi pada pemahaman terhadap sangkan
paraning dumadi (Subiyantoro, 2009:173).
Struktur loro blonyo berupa dua arca atau patung tiruan pengantin (Atmojo,
1994: 198), pria dan wanita dalam sikap duduk bersimpuh, mengenakan pakaian Jawa
Jurnal Brikolase Online: : https://jurnal.isi -ska.ac.id/index.php/brikolase/index
Proses Review : 1 - 15 Desember 2020, Dinyatakan Lolos: 9 Desember 2020
Vol. 12, No. 2, Desember 2020 163
tradisional (Darsiti, 1989: 208), busana gaya basahan, yaitu busana ala pengantin
Keraton, dimana pengantin pria mengenakan kain panjang yang disebut dodot dan
bermahkota, tanpa mengenakan baju. Pengantin wanita mengenakan pakaian sama
hanya tanpa mahkota, namun pada bagian tubuh atasnya dibalut kemben (penutup
dada), keduanya dilengkapi dengan perhiasan (Setyawan, 2001: 45).
Gambar 01. Patung loro blonyo. sumber: Isnanta, 2020.
Ukuran patung loro blonyo yang berkembang di dalam masyarakat Surakarta
sekarang mempunyai ukuran yang beragam. Sulistyo (2009: 5) mengatakan bahwa
pada dasarnya ukuran loro blonyo sangat variatif dari ukuran panjang/tinggi kurang dari
10 cm hingga lebih dari 100 m untuk patung duduk, sedangkan untuk patung berdiri bisa
sampai kurang lebih 170 cm, atau bahkan terkadang bisa lebih panjang lagi karena
adanya pesanan. Berdasarkan ukuran umumnya maka patung loro blonyo dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok ukuran sebagai berikut.
1. Besar: untuk posisi duduk ukuran patung loro blonyo 1m, dan untuk patung loro
blonyo posisi berdiri berukuran 150-170 cm.
2. Sedang: berukuran tinggi 50-70 cm
3. Kecil: berukuran tinggi 10-20 cm yang umumnya loro blonyo dalam posisi
duduk.
Satriana Didiek Isnanta, Much. Sofwan Zarkasi, Asmoro Nurhadi Panindias
Studi Penciptaan Karya Seni Instalasi “Mari Kita…!”
164 Vol. 12, No. 2, Desember 2020
Studi makna patung loro blonyo bagi masyarakat Jawa dan bentuk struktur
patung loro blonyo ini kemudian dielaborasi dan diinterpretasi ulang sebagai dasar
penciptaan karya seni instalasi berbasis eksperimentasi dengan menggunakan tahapan
penciptaan yang terukur.
B. Metode Penciptaan Seni
Dalam penciptaan karya, diperlukan suatu metode untuk menjelaskan jalannya
tahapan-tahapan proses penciptaan. Pengertian metode menurut Hasan Alwi (2001:35),
adalah cara teratur yang digunakan untuk melakukan suatu pekerjaan agar tercapai
sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode yang digunakan
dalam proses penciptaan karya seni instalasi ini secara garis besar melakukan beberapa
tahapan seperti tahapan dalam Kreasi Artisik (Dharsono, 2016), yaitu : pertama, riset
dengan pendekatan etik dan riset dengan pendekatan emik sebagai dasar penciptaan
karya, dan kedua, tahapan penciptaan karya berisi: eksperimentasi, perenungan dan
pembentukan. Untuk detilnya seperti tahapan di bawah ini.
Riset dengan pendekatan etik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi
pustaka yang berkaitan dengan seni instalasi, teknis penciptaan karya dan sejarah,
makna loro blonyo bagi masyrakat Jawa. Riset dengan pedekatan emik yang dilakukan
dalam studi penciptaan karya ini adalah melakukan wawancara mendalam terhadap
beberapa narasumber yang menguasai seni instalasi dan tema studi penciptaan ini.
Wawancara dilakukan kepada beberapa narasumber yang kompeten seperti akademisi
seni rupa dan praktisi seni rupa (berkaitan dengan seni instalasi) dan kepada budayawan
di Surakarta (berkaitan dengan patung loro blonyo).
Selain itu juga dilakukan Focus Group Discussion (FGD) berkaitan dengan karya
yang akan diciptakan. FGD ini dilakukan sebanyak dua kali. Pertama pada tahap
pengumpulan data awal sebagai dasar penciptaan karya dan yang kedua pada saat uji
prototype karya secara terbatas.
Semua data kemudian dianalisis menggunakan metode triangulasi data, setelah
semua data telah siap kemudian disusun dalam bentuk deskripsi sebagai dasar
penyusunan konsep karya. Setelah tahapan riset dengan pendekatan etik dan emik,
maka hasil dari riset tersebut akan menjadi dasar tahapan studi penciptaan ini, yang
akan terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu: tahap eksperimentasi, tahap perenungan dan
tahap pembentukan.
Jurnal Brikolase Online: : https://jurnal.isi -ska.ac.id/index.php/brikolase/index
Proses Review : 1 - 15 Desember 2020, Dinyatakan Lolos: 9 Desember 2020
Vol. 12, No. 2, Desember 2020 165
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seni rupa berbasis pada penalaran eksperimentasi, memang membahana
sebagai arus kreatif seni kontemporer. Beragam media tidak saja dieksplorasi sebagai
ruang bebas untuk menuturkan ide-ide seorang perupa. Melainkan juga sebagai
''identitas'' baru kesenimanan seorang perupa. Dalam sejarah perkembangan seni
rupa, gerakan eksperimentasi karya seni muncul sekitar tahun 1950-an akhir dan
berkembang menjadi genre baru yang banyak diperbincangkan oleh praktisi seni rupa
barat pada tahun 1960-an dengan nama ”Experimental Art”.
Di dalam literatur seni abad ke 20 seperti yang dikutip oleh Walker (1977), istilah
“eksperimental” dianggap berbau ”provokatif”, yang secara tidak langsung disamakan
dengan avant garde (seni garda depan). Kata ini bersifat paradok, di satu sisi punya
konotasi negatif dan di sisi lain positif. Bagi yang memuji “eksperimental”, didasarkan
pada praktik empirik di mana seniman bermain-main dengan materialnya dan
melakukan perubahan dari prosedur yang konvensional. Dengan praktik ini diharapkan
dapat menghasilkan sesuatu yang berharga, yaitu kebaruan. Pendapat ini dapat
diringkas menjadi “trial and see”, atau “coba dan lihat”.
Bagi yang setuju dengan “eksperimentasi”, percaya bahwa seni bisa disamakan
dengan ilmu yang seharusnya terus dikembangkan seperti halnya ilmu alam. Seperti
ada kecenderungan pemandangan alam sudah tidak lagi dianggap dan diperhatikan
hanya sebagai sebuah gambar dalam filsafat alam, tetapi diteliti. Hal senada juga
diungkap oleh Stephen Bann (1970), mendefinisikan bahwa kerja eksperimentasi
seniman sebagai seorang yang meyakini dan melakukan penelitian kecil dengan
aktivitas yang terkontrol, yang mana hasil karya yang dikerjakannya menyisakan bukti-
bukti otentik. Menurut mereka yang setuju dengan eskperimentasi karya mengganggap
bahwa di dalam ilmu pengetahuan, penemuan terjadi karena “secara kebetulan”, bukan
oleh pemikiran tinggi seperti dalam laporan eksperimen hasil penelitian yang diprediksi
oleh teori-teori.
Eksperimentasi kekaryaan seni sangat berhubungan dengan ” trial and see”.
Suatu uji coba yang bersifat transisional, sebuah ”proses menjadi”, bukan sesuatu yang
jadi. Hal ini tentu saja dibutuhkan sebuah daya kreativitas yang luar biasa. Semakin
besar kreativitas dimiliki oleh senimannya, semakin besar pula lompatan temuannya.
Kreativitas memiliki berbagai norma, pertama gradasi yaitu yang berhubungan dengan kapasitas dan abilitas yang dimiliki masing-masing individu; kedua level (tahapan), yaitu yang berhubungan dengan mutu kreativitas yang dicapai oleh individu pada titik tertentu dalam perjalanan usianya. Ketiga, periode yaitu yang berhubungan dengan apa yang dicapai oleh individu pada titik tertentu dalam
Satriana Didiek Isnanta, Much. Sofwan Zarkasi, Asmoro Nurhadi Panindias
Studi Penciptaan Karya Seni Instalasi “Mari Kita…!”
166 Vol. 12, No. 2, Desember 2020
perkembangan sejarah atau kebudayaan manusia, dan keempat, degree (derajat atau taraf) yaitu merupakan manifestasi gradasi, level, periode tersebut, atau pengejawantahan dari kreativitas itu sendiri. (Tabrani, 2006; 34)
Secara umum konsep kreativitas dapat dilihat dalam dua perspektif yang luas.
Pertama, kreativitas dalam perspektif empirikal atau ilmiah, kedua kreat ivitas dalam
perspektif praktikal. Kedua konsep kreativitas ini tidak berbeda, hanya perspektif yang
pertama itu lebih mengutamakan pengkajian kreativitas dan dilakukan dalam berbagai
situasi dan konteks. Sedangkan perspektif yang kedua, lebih memberi tumpuan pada
praktik dan metode kreativitas dalam berbagai praktik atau implementasinya.
Dalam penciptaan karya seni, pada dasarnya harus memenuhi kedua konsep
besar kreativitas itu, secara ilmiah (berkaitan dengan konsep) dan sekaligus praktiknya
(proses penciptaan karya). Menurut kamus Webster‟s (1976) pemikiran kreatif ialah,
“The ability to bring something new existence”. Hal ini sesuai dengan pendapat Primadi
Tabrani (2006, 34) yang mengatakan bahwa; kemampuan kreatif manusia adalah
kemampuan yang membantunya untuk dapat berbuat lebih dari kemungkinan rasional
dari data dan pengetahuan yang dimilikinya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kreativitas menjadi kata kunci dalam
proses eksperimentasi karya pada khususnya dan perkembangan seni rupa pada
umumnya. Dengan pemikiran kreatiflah muncul kemungkinan ditemukannya hal-hal
baru dalam perkembangan seni rupa. Termasuk dalam studi penciptaan seni instalasi
dengan sumber ide loro blonyo sebagai penguatan identitas kultural ini.
Sesuai dengan tahapan penciptaan dalam Kreasi Artistik , maka tahapan pertama
adalah melakukan riset dengan pendekatan etik dan emik. Hasilnya adalah karya yang
diciptakan merupakan karya Filled-Space Installation, dimana karya instalasi tersebut
hanya sebagai pengisi ruang (ruang dalam bangunan arsitektur maupun ruang imajiner
(ruang di alam terbuka). Pilihan tersebut berdasarkan pertimbangan mudah dipindahkan
(movable) karena bersifat knock down (secara teknis bisa bongkar pasang) dan tidak
memerlukan tempat khusus sehingga memudahkan dalam penyajiannya. Langkah
kedua melakukan riset dengan pendekatan emik yang menghasilkan konsep karya.
Patung loro blonyo tidak ubahnya sebagai bentuk pernyataan secara kongkrit
gagasan atau pandangan hidup Jawa. loro blonyo menggambarkan filosofi orang Jawa
dalam upayanya menyelaraskan keberadaannya dengan alam semesta dengan dzat
yang kuasa agar menjadi insan yang hidup dan matinya sempurna, dilandasi pada
pemahaman terhadap sangkan paraning dumadi. Patung loro blonyo dalam kontek seni
rupa tradisi Jawa tidak hanya sebagai karya seni yang secara visual indah, tetapi punya
Jurnal Brikolase Online: : https://jurnal.isi -ska.ac.id/index.php/brikolase/index
Proses Review : 1 - 15 Desember 2020, Dinyatakan Lolos: 9 Desember 2020
Vol. 12, No. 2, Desember 2020 167
fungsi ritual (kesuburan dan keselamatan).
Ritus keselamatan ini menduduki peranan penting di dalam masyarakat Jawa.
Slametan merupakan ritus yang mengembalikan kerukunan dalam masyarakat dan
dengan alam rohani, yang dengan demikian mencegah gangguan-gangguan terhadap
keselarasan kosmis. Seperti halnya kondisi pandemi sekarang ini, perlu adanya ritual
slametan dengan menghadirkan patung loro blonyo sebagai simbol keseimbangan hidup
manusia dengan alam.
Loro blonyo sebenarnya dalam rangka mengingatkan tentang pengendalian
keseimbangan di dalam manajemen bumi. Bumi yang dimaksud adalah hidup kita di
dunia, jadi loro blonyo tidak berurusan langsung dengan Gusti Allah (Tuhan) tetapi justru
berurusan langsung dengan kehidupan di bumi. Ritual bukan dalam artian nyenyuwun/
meminta kepada Tuhan, tetapi dalam arti “MARI KITA...!”.
Gambar 02. Skets karya terpilih.
sumber: Isnanta, 2020.
Tahapan selanjutnya adalah tahapan perwujudan karya yang dibagi menjadi tiga,
yaitu: tahap eksperimentasi, tahap perenungan dan tahap pembentukan. Pada tahap
eksperimentasi, mengeksplorasi beberapa metafor dan bentuk-bentuk alternatif yang
nanti akan digunakan sebagai elemen estetik karya. Selain mengeksplorasi ide gagasan
berkaitan dengan metafor yang akan ditransfer ke dalam skets, pada tahap ini juga akan
Satriana Didiek Isnanta, Much. Sofwan Zarkasi, Asmoro Nurhadi Panindias
Studi Penciptaan Karya Seni Instalasi “Mari Kita…!”
168 Vol. 12, No. 2, Desember 2020
mengeksplorasi skets/ gambar kerja karyanya secara keseluruhan, dan bagaimana
karya tersebut dirangkai menjadi karya seni instalasi. Setelah beberapa bentuk alternatif
tersebut jadi, akan dipilih satu yang kemudian akan dieksekusi menjadi elemen estetik
karya. Sedangkan pada tahap perenungan untuk menyambungkan antara konsep dan
bentuk karya yang dipilih dari sket alternatif. Selain itu juga memilih medium yang paling
mungkin untuk dibentuk seperti yang diinginkan. Terutama pada pematangan
konsepnya.
Pada tahap eksperimentasi dilakukan eksperimentasi alat, teknik dan rancang
bangun karya yang akan diciptakan. Pilihan material dari awal adalah rotan, maka
eksperimentasinya adalah teknik anyam yang digunakan. Kesulitan karya yang
diciptakan memang tidak menggunakan rangka untuk penguat struktur karyanya, tetapi
dianyam dari awal sampai akhir sampai bisa berdiri tegak tanpa penopang rangka.
Pilihan ini diambil karena rangka besi akan mengurangi keindahan karya tersebut. Rotan
yang dipilih sebagai material adalah serat/ tali rotan bagian dalam berukuran 0,6 cm
untuk struktur tubuh patung dan ukuran 0.3 untuk detil aksesoris yang digunakan,
misalnya untuk pembuatan keris dan kalung, dan cunduk mentul.
Gambar 03. Menyambung elemen estetis aksesoris patung pengantin laki-laki dan perempuan
sumber: Isnanta, 2020.
Selain itu, patung loro blonyo juga dirancang knock down dengan membaginya
menjadi dua bagian yaitu bagitan atas dari kepala sampai pinggang dan bagian bawah
dari pinggang sampai kaki. Kedua bagian tersebut dibuat secara terpisah. Untuk bagian
bawah karena ada ayunan agar karya ini bisa interaktif (audiens bisa duduk dan main
Jurnal Brikolase Online: : https://jurnal.isi -ska.ac.id/index.php/brikolase/index
Proses Review : 1 - 15 Desember 2020, Dinyatakan Lolos: 9 Desember 2020
Vol. 12, No. 2, Desember 2020 169
ayunan) maka dibutuhkan rangka besi hollow sebagai penguat sekaligus penopang
patung yang tingginya 4 m.
Pada tahapan akhir, yaitu tahap pembentukan yang dilakukan adalah merangkai
seluruh bagian karya seni intalasi ini menajdi satu kesatuan untuh. Langkah pertama
yang dilakukan adalah menyatukan bagian utama patung (tubuh) dengan aksesoris
yang digunakan patung laki-laki maupun perempuan.
Langkah kedua adalah menyambung kedua bagian patung (bagian atas dan
bawah). Penyatuan bagian atas dan bawah ini direkatkan dengan anyaman rotan
dengan diameter 0.3 cm agar kedua bagian tersebut menyatu. Langkah ketiga adalah
menata kedua patung tersebut di lokasi pameran agar karya tersebut menjadi satu
kesatuan utuh sebagai karya seni instalasi dan diberi lampu yang dinyalakan pada
malam hari sebagai penguat estetika.
Gambar 04. Proses menyatukan bagian atas dan bagian bawah (atas) dan karya telah selesai
diinstal (bawah). sumber: Isnanta, 2020.
Untuk mengetahui kelayakan karya maka diperlukan uji coba di lingkungan
sebenarnya. Uji coba yang diamksud adalah diikutkan pameran agar bisa diapresiasi
oleh publik. Uji Coba Konsep dan Bentuk Visual pada Pameran Seni Rupa Non Tradisi
Jawa Tengah. Pameran Seni Rupa Non Tradisi Jawa Tengah, “Nyawiji”
diselenggarakan 20-30 Agustus 2020 secara luring. Bersama dengan enam karya seni
Satriana Didiek Isnanta, Much. Sofwan Zarkasi, Asmoro Nurhadi Panindias
Studi Penciptaan Karya Seni Instalasi “Mari Kita…!”
170 Vol. 12, No. 2, Desember 2020
instalasi lainnya, karya seni instalasi patung loro blonyo dipamerkan dan mendapatkan
respon positif. Hal tersebut dari banyaknya antusiasme penonton/ apresian yang
menikmati karya dan berinteraksi dengan patung loro blonyo. Bahkan karya tersebut
menjadi spot swa foto terfavorit bagi apresian.
Gambar 05. Pameran Seni Rupa Non Tradisi Jawa Tengah “Nyawiji”
Sumber: Isnanta 2020
SIMPULAN
Bentuk dan makna patung loro blonyo mampu memberikan rangsang cipta seni;
sebagai sumber gagasan dan media ekspresi seni dalam proses penciptaan karya seni
instalasi yang bersifat eksperimental. Patung loro blonyo dalam konteks seni rupa tradisi
Jawa tidak hanya sebagai karya seni yang secara visual indah, tetapi punya fungsi ritual
(kesuburan dan keselamatan).
Ritus keselamatan menduduki peranan penting di dalam masyarakat Jawa.
Slametan merupakan ritus yang mengembalikan kerukunan dalam masyarakat dan
Jurnal Brikolase Online: : https://jurnal.isi -ska.ac.id/index.php/brikolase/index
Proses Review : 1 - 15 Desember 2020, Dinyatakan Lolos: 9 Desember 2020
Vol. 12, No. 2, Desember 2020 171
dengan alam rohani, yang dengan demikian mencegah gangguan-gangguan terhadap
keselarasan kosmis. Kehadiran karya seni instalasi patung loro blonyo merupakan
simbol keseimbangan hidup manusia dengan alam.
Penciptaan karya seni instalasi tidak hanya membutuhkan kepekaan estetik
terkait material dan bentuk karyanya tetapi juga terkait dengan ruang dimana karya
tersebut dipresentasikan. Meskipun karya seni instalasi yang diciptakan tidak termasuk
karya site specific yang memerlukan ruang khusus tetapi karya seni instalasi tetap harus
memperhatikan ruang presentasinya.
Paling utama luaran penelitian ini adalah karya seni instalasi loro blonyo yang
banyak menaik perhatian public karena menjadi spot swafoto yang menarik. Oleh karena
itu, ada kemungkinan penelitian lanjutan bagaimana karya seni instalasi dikomodifikasi
menjadi sesuatu yang aplikatif untuk dunia industri kreatif.
Dari hasil penelitian di atas kami selaku peneliti mengucapkan terima kasih
banyak kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jendral Penguat
Riset dan Pengembangan Kementrian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia (KEMENRISTEKDIKTI) yang telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR ACUAN
Bann, Stephen, 1970, Experimental Painting: Construction, Abstraction, Destruction, Reduction, London: Studio Vista.
Boas, Franz, 1955, Primitive Art, Mineola, New York ,Dover Publications. Dharsono, Sony Kartika, Kreasi Artistik, LPKBN Citra Sains : Surakarta, 2016 Hadiwijono, Harun. 1983. Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta:
Sinar Harapan. Rosenthal, Mark, 2002, Understanding Installation Art: From Duchamp to Holzer,
Munich: Prestel. Setyawan, Agus Nur, “Meniti Jejak Makna Kesuburan dalam Simbolisasi Loro Blonyo”.
Jurnal Ilmiah Gradasi Vol 1 no. 1 Mei 2000, hal. 45-54 Subiyantoro, Slamet, “Patung Loro blonyo dalam Kosmologi Jawa”, dalam Jurnal Ilmiah
Humaniora, VOL. 21 NO. 2 Juni 2009. Sulistyo, Edy Try dan Jamal Wiwoho, “Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung
Loro Blonyo Berbasis “Haki “ Sebagai Upaya Melestarikan Konsep Keseimbangan Lingkungan Sosial Budaya Masyarakat Jawa”, dalam Artikel
Satriana Didiek Isnanta, Much. Sofwan Zarkasi, Asmoro Nurhadi Panindias
Studi Penciptaan Karya Seni Instalasi “Mari Kita…!”
172 Vol. 12, No. 2, Desember 2020
Hasil Penelitian, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009. Yudoseputra,W. 1993. Pengantar Wawasan Seni Budaya. Jakarta:Pusat Perbukuan
Depdikbud Primadi Tabrani, 2006, Kreativitas dan Humanitas, Yogyakarta, Jalasutra. Walker, John A, 1977, Glossary of Art, Architecture and design Since 1945, London,
Penerbit Clive Bingley LTD.