Upload
vominh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI KONSEPTUAL MENGENAI BADAN PENGAWAS
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
TOMI MARLIN MANDAY
NIM :
1113048000013
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARATA
1439 H/2018 M
STUDI KONSEPTUAL MENGBNAI BADAN PENGA\ryAS KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memcnuhi salah satupersyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Tonry Marlin Manday
N{M : 1i1304800{013
K O N S ENT RA S I II U KUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIYERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
AKARTA
1439 IJ|2018 M
Nur
!979A416201101 1004
1. Ketr-ra
2. Sckcr-talis
3. Pernbiinbing
4. Penguji I
5 PcngLr;i II
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul STUDI KONSEPTUAL MENGEN; BADAN PENGAWAS
I(OMISI PEMBERANTASAN KORUPSI telah diujian dalain sidang munaqasyah
padaZ Agustus 2018. Skripsi ini telali diterima sebagai salah satu syat'at memperoleh
Gelar Sariana Hukurn (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum.
19691216 199603 1 001
PANITIiT UJIAN
Dr. H. Asep Syarifirddin Hicla),at. S.F{.. M.HNrP. 1969t121 199403 100r
Drs-@l'lulNiP 19660908 199s03 i ()01
Nur Rohim Yurrus. LLN4
NIP. 1979041620110i I 00,1
Dr. Alhtra. S.H.. M.HNIP. l 97202032001 0t t03 4
N'lara Siitan Ranrbe. S.FII." i\'(.H
-lakada,
Syariah
25 .Iu1i 2018
dan Hukum
2.
1J.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini rnerupakan hasil karya asli saya yang saya ajukan untuk memenuhisalah satu syarat memperoleh gelar Strata I (S1) di Universitas Islarn NegeriSyarif Hidayahrllah Jakada.
Semua sumber yang sa}a gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkansesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta.
Jika kemudian terbukti hasil karya ini bukan hasil saya atau merupakan jiplakanorang lain, makas saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jaknrta,25 Juli 2018
tfi
iv
ABSTRAK
Tomy Marlin Manday, NIM 1113048000013, STUDI KONSEPTUAL
MENGENAI BADAN PENGAWAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI,
Strata satu (S1). Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2018
M. Ix + 59 halaman 11 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui urgensi pembentukan lembaga Badan
Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi. Peneliti ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif. Sumber data terdiri dari data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, yaitu UUD NRI 1945 dan Undang-
Undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi dan bahan
hukum sekunder, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya yang memiliki relevansi
dengan masalah peneliti. sedangkan metode analisis data yang digunakan ialah
metode analisis konseptual, yaitu pendekatan yang tidak beranjak dari aturan hukum
kerena belum ada aturan hukum, dan beranjak dari doktrin dan pandangan yang
berkembang dalam ilmu hukum dan menemukan pemahaman yang dijadikan sebagai
sandaran dalam memecahkan isu hukum. Hasil dari penelitian ini terdiri dari faktor
penyebab pembentukan Badan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi yakni,
penyalahgunaan wewenang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, kedua, pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, ketiga,
penegakan kode etik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan dampak
dari pembentukan badan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi yakni pertama,
menjaga dan meningkatkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi, kedua,
menghindari potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia, ketiga, meminimalisir
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang/kekuasaan serta pelanggaran hukum.
Kata Kunci : Urgensi pembentukan Dewan Pengawas Komisi Pemberantas Korupsi
Pembimbing : Nur Rohim Yunus, LLM.,
Sumber Rujukan dari 1949 sampai 2015.
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمان الرحيم
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak
terhingga banyakanya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga
akhir zaman. Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil „alamin penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “STUDI KONSEPTUAL MENGENAI
BADAN PENGAWAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI ”. Penelitian ini
merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti
dalam membuat penulisan ini, mengalami berbagai kesulitan, mengingat penulisan
tersebut terbilang masih baru, namun hal ini dijadikan motivasi untuk menggapai
cita-cita lebih tinggi. Terciptanya penulisan ini tidak terlepas dari pengetahuan
keilmuan peneliti dapatkan dari berbagai sumber. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini ingin peneliti sampaikan dengan setulus hati ucapan terima kasih kepada Yang
Terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
vi
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan
serta masukan atas penyusunan skripsi.
3. Nur Rohim Yunus, LL.M., dosen Pembimbing yang telah bersedia
menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan
masukan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Guntur F. Psisanto, S.E., S.H., M.Hum., M.H., Tenaga Ahli Wakil Ketua
DPR-RI yang telah bersedia memberikan informasi maupun masukan
terhadap peneliti.
5. Prof. Dr. H. A. Salman Manggalatung, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata
Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan informasi
atau masukan terkait penelitian ini.
6. Kepala Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi berupa doa, dukungan, dan
menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan
perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan
peyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Akhir kata, peneliti
mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 25 Juli 2018
Peneliti,
Tomy Marlin Manday
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING………………………………………i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………….ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………………iii
ABSTRAK………………………………………………………………………....iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………….…………..... 1
B. Indetifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah……….... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………....... 6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu……………………………….. 7
E. Metode Penelitian………………………………………………....... 8
F. Sistematika Penulisan……………………………………………….. 10
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritis
1. Teori Pengawasan......................................................................... 12
2. Konsep Check and Balances dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia........................................................................................ 16
3. Teori Produktifitas Kinerja............................................................ 19
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.................................................... 22
BAB III : KELEMBAGAAN BADAN PENGAWAS KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Gagasan Awal Pembentukan Dewan Pengawasan Komisi
Pemberantasan Korupsi…………………............................................ 25
B. Landasan Hukum Pembentukan Badan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi……………………….................................... 29
C. Struktur, Fungsi dan Tugas Pengawasan Komisi Pemberantasan
Korupsi................................................................................................. 31
viii
BAB IV : STUDI KONSEPTUAL MENGENAI BADAN PENGAWAS KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Faktor Penyebab Pembentukan Badan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi
1. Indikasi Penyalahgunaan Wewenang...........................................35
2. Pelanggaran Hukum yang dilakukan komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi................................................................38
3. Pelanggaran Kode Etik terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi.........................................................................................42
B. Dampak Pembentukan Badan Pengawas Komisi Pemberantasan
Korupsi
1. Menjaga dan Meningkatkan Kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi.........................................................................................45
2. Menghindari Potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia...............47
3. Meminimalisir Penyimpangan dan Penyalahgunaan
wewenang/kekuasaan serta Pelanggaran Hukum........................ 49
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………........... 54
B. Rekomendasi……………………………………………………….... 55
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 56
LAMPIRAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasca Reformasi salah satu perkembangan tata Negara Indonesia ialah
terlahirlah berbagai lembaga-lembaga Negara non-struktural, sebagai
responsibilitas terhadap kompleksnya problematika yang ada. Hal ini didasari
bahwa semakin banyaknya kebutuhan maka akan semakin berkembang pula
institusi untuk mengorganisirnya, sebagai bentuk dari invinitive organization.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu lembaga independen
yang berdiri sejak tahun 2003. Komisi Pemberantasan Korupsi berdiri karena
budaya korup yang sudah menjalar di berbagai lini penyelenggara Negara, tak
terkecuali terhadap kepolisian dan kejaksaan, sehingga korupsi di Indonesia telah
mengakar dan membudaya.1 Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi
dikarenakan lemahnya penegakan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi
dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas dan kewenangan yang ada
sebelumnya Penjelasan undang-undang menyebutkan peran Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai trigger mechanisme, yang berarti mendorong atau
sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang
telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.2
Dengan berbagai tugas pokok dan fungsinya, tercatat Komisi
Pemberantasan Korupsi selama perjalanannya telah menuliskan tinta emasnya
dengan menyelamatkan keuangan Negara, baik secara preventif maupun refresif.
Paling tidak tingkat kepuasan masyarakat terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi cukup memuaskan, dan telah banyak pelaku-pelaku pidana korupsi yang
diadili dan dipidanakan serta menyelamatkan miliar rupiah aset Negara.3
1Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2009), h.20.
2http://Komisi Pemberantasan Korupsi.go.id/id/tentang-Komisi Pemberantasan
Korupsi/sekilas-Komisi Pemberantasan Korupsi, di akses 12 februari 2017, pukul 15.00.
3 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi edisi
kedua, (Jakarta: Sinar grafika, 2010). h.19.
2
Komisi Pemberantasan Korupsi dewasa ini, diposisikan sebagai salah satu
lembaga Negara independen4, bekerja secara mandiri, dan non intervensi. Hal ini
didasari pada karakteristik lembaga lembaga non-struktural lainnya, yang dalam
mekanisme pemilihan melalui panitia seleksi yang dibentuk oleh presiden dan
untuk selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan
Rakyat.
Dengan karakteristik independen ini, Komisi Pemberantasan Korupsi
sejatinya dicitakan untuk melangsungkan tugas dan wewenangnya berdasarkan
undang-undang dan non intervensi, dari kekuasaan legislatif eksekutif dan
yudikatif. Karena pada hakikatnya, ketiga komponen cabang kekuasaan tersebut
merupakan komponen utama dalam penyelenggaraan Negara yang juga objek dari
pada pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menentukan kerugian
Negara.
Setelah lebih dari satu dasawarsa, Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata
tidak luput dari berbagai hal yang dinilai menyebabkan hilangnya proporsionalitas
dan kredibilitas dalam mengawal pemberatasan korupsi. Hal tersebut penulis
landasi dari berbagai kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dan kerangka hukum
yang melatar belakangi.
Dalam konsep Negara hukum yang ada pada UUD 1945 pada pasal 3 ayat
(1), berbagai tindak tanduk pemerintah maupun masyarakat haruslah didasari pada
hukum yang disepakati dan diinstitusikan. Atas dasar tersebutlah Komisi
Pemberantas Korupsi berhak dan berwenang dalam menjalankan pemberantasan
korupsi di dalam hukum positif negeri ini.
Perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi, selama satu dasawarsa
memang tidaklah dapat dinafikan telah memberikan kontribusi yang besar dalam
pembangunan dan perekonomian Negara dari prilaku-prilaku korup. Komisi
Pemberantasan Korupsi mengklaim telah berhasil menyelamatkan keuangan
negara dengan memberi kontribusi kepada negara sebesar Rp 270 triliun dalam
kegiatan pencegahan korupsi sejak tahun 2010-2014. Jumlah tersebut jauh lebih
4 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), h. 2-3.
3
besar dibandingkan penyelamatan uang negara lewat penindakan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang hanya mencapai Rp 1,3 triliun sejak 2004.5
Dasar hukum pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.6 Akan tetapi setelah 15 tahun didirikan, menurut data yang
dikeluakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terjadi penurunan terhadap
kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang dimana pada 2015 turun pada 88,9%
dibandingkan pada tahun 2011 mencapai 111,9%.7 Komisi Pemerantasan Korupsi
menerima laporan sedikitnya 32 laporan Korupsi dalam satu hari. Namun sejak ,
Komisi Pemberantasan Korupsi hanya mampu menangani 285 kasus.
Table 1.1 Kasus korupsi yang ditangani dari 2015 hingga sekarang
Pelanggar Kasus Kerugian
Negara
Denda Durasi
penjara
Ismet
Abdullah
Gubernur
pulau riau,
mark-up
pengadaan
mobil
pemadam
kebakaran
5,5 Miliar 100 Juta 2 tahun
Wahyudi
Purnomo
Pengadaa
n surat suara
7,9 Miliar 50 Juta 2 Tahun
Zulkarnain Pengadaa 35 Milliar 300 Juta 15 Tahun
5https://www.Komisi Pemberantasan Korupsi.go.id/id/berita/berita-sub/2641-Komisi
Pemberantasan Korupsi-selamatkan-uang-negara-rp-270-t, di akses 12 februari 2017 Pukul 19.41
WIB. 6Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), h.2-3.
7https://www.KomisiPemberantasanKorupsi.go.id/images/pdf/LAKIP/LAKIP_TAHUN_20
15.pdf diakses 12 februari 2016 pukul 15.58 WIB.
4
Jabar n Al-quran
Nunun
Nurbaeti
Penyuapa
n Anggota
DPR
24 Milliar 150 Juta 2,5
Tahun
Dalam berbagai catatan peneliti, terdapat beberapa faktor yang melatar
belakangi penilaian ketidakproporsionalitas dan lemahnya kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi. Salah satunya adalah lemahnya supervisi dan koordinasi
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai menyebabkan ketimpangan
wewenang antar lembaga penegak hukum. Terkait luasnya kewenangan yang
dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi dibandingkan dengan instansi Kepolisian
dan Kejaksaan. Ada potensi tumpang tindih dalam penggunaan wewenang antara
ketiga lembaga tersebut. Dalam contoh kasus dugaan korupsi proyek simulator
roda dua dan roda empat ujian surat izin mengemudi (SIM) yang melibatkan
petinggi anggota kepolisian sebagai tersangka, kasus ini berujung ditariknya 20
penyidik Kepolisian di Komisi Pemberantasan Korupsi yang secara tidak
langsung melemahkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.8
Berbagai kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penetapan
tersangka dalam melaksanakan tugas penyelidikan (baik melalui penyadapan,
maupun mekanisme kolektif kolegial). Disamping itu, jika melihat dari
kedudukan lembaga Negara, maka jangkauan terhadap kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang super body, secara yuridis normatif hanya
didasarkan pada pengawasan internal Komisi Pemberantasan Korupsi oleh deputi
pengawasan komisi pemberantasan korupsi.
Melihat dari sudut pandang yuridis, dan konsep lembaga Negara, maka
sejatinya harus melahirkan kejelasan konseptual yang dapat dijalankan secara
tataran praktis dan normatif. Sehingga penulis terilhami untuk mencoba meneliti
8 Ida Bagus Surya Darmajaya, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI) Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, (Bali: Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2008), h. 5.
5
pengawasan dalam mengawal Penegakkan hukum Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Dalam hal sistem pengawasan secara teori, pengawasan pada dasarnya
diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan
atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Pengawasan juga dapat
mendeteksi seluas apa kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana
penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Menurut Saiful
Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah
diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan
dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.9
Melihat kondisi tersebut perlunya dibentuk suatu Badan Pengawas
lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini diberi nama Badan
Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, yang tidak hanya internal tetapi juga
eksternal. Peneliti berfokus pada sebuah pembahasan badan pengawasan, dan
menyusun skripsi dengan judul : STUDI KONSEPTUAL MENGENAI
BADAN PENGAWAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI.
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti mengindetifikasi
beberapa masalah dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Lemahnya Pengawasan didalam Komisi Pemberantasan Korupsi,
b. Ketidak Profosionalitas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
pemberantasan Korupsi.
c. Tidak adanya pengawasan terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
d. Salah satu lembaga independen yang tidak ada badan pengawas
eksternal.
9 Saiful Anwar., Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Glora Madani Press, 2004),
h.127.
6
2. Pembatasan Masalah
Menimbang cukup luasnya cakupan Pengawasan Komisi Pemberantasan
Korupsi maka dalam hal ini peneliti hanya akan memfokuskan pada perlunya
pembentukan Badan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi baik internal
maupun eksternal.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, salah satu lembaga
independen yang tidak memiliki pengawasan di bidang eksternal, turunnya
kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, lemahnya pengawasan
di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk petanyaan peneliti
sebagai berikut:
a. Apa faktor penyebab pembentukan Badan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi?
b. Bagaimana dampak pembentukan Badan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi terhadap kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang
bagaimana pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi yang tanpa adanya
pengawasan yang disamping itu lembaga tersebut memiliki wewenang yang
superbody, sedangkan secara khususnya:
a. Untuk mengetahui faktor pembentukan Badan Pengawasan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
b. Untuk mengetahui dampak pembentukan Badan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi terhadap kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
7
Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan dalam bidang hukum kelembagaan Negara, lembaga non-
struktural, dan lembaga independen hukum, ketatanegaraan yang
berkaitan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
sebagai berikut:
1) Memberi Pengetahuan kepada Masyarakat secara umum tentang
butuhnya pengawasan external lembaga Komisi Pemberantasan Kopusi.
2) Memberi saran kepada Badan Ekekutif dan Badan Legislatif tentang
perlunya pembentukan pengawasan ekternal di Komisi Pemberantasan
Korupsi.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dari literatur yang telah ditelaah dalam rangka penulisan penelitian ini,
terdapat beberapa karya tulis dan buku yang dijadikan acuan untuk penulisan
penelitian.
1. Eva Yuliani, Tugas dan Wewenang Kejaksaan dan Komisi Pemberantasaan
Korupsi dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatulllah Jakarta, 2009 Dalam skripsi ini membahas
tentang bagaimana perbandingan wewenang dan tugas Kejaksaan dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penelitian ini, peneliti mencari
apakah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dibutuhkan sebuah Badan
Pengawas Untuk menunjang dari kinerja dan wewenang dari Komisi
Pemberantasan Korupsi.
2. Kewenangan Komisi Pemerantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, ditulis oleh Sri Hayati
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2013, bersubtansi meninjau kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
8
dalam menyidik yang mana merupakan tugas dari POLRI perbedaan dengan
peneliti, Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang memiliki
wewenang yang superbody yang dimana dalam hal pengawasan secara
external tidak ada yang mengatur dalam undang-undang.
3. Buku berjudul Politik Pemberantasan Korupsi Strategi Independent
Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong Dan Komisi
Pemberantasan Korupsi Indonesia ditulis oleh Rizki Febari diterbitkan oleh
yayasan pustaka obor Indonesia jakarta 2015 bersubstansi tentang strategi
yang diterapkan oleh ICAC pada Komisi Pemberantasan Korupsi di
Indonesia. Perbedaan dengan peneliti adalah peneliti berfokus dalam
pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak ada batasan
kewenagannya.
4. Jurnal Hukum kajian yuridis mengenai kewenangan komisi pemberantasan
korupsi sebagai penyidik dan penuntut umum tindak pidana pencucian uang
yang berasal dari tindak pidana korupsi yang ditulis oleh Komang Sinta
Prabawati mahasiswa Universitas Atma Jaya Jogjakarta bersubstansi tentang
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penyidik dalam tindak
pidana pencucian uang hasil dari korupsi yang merupakan kewenagan POLRI
perbedaan dengan peneliti adalah di dalam skripsi saya memaparkan tentang
kejelasan hukum tentang aspek dari pengawasan dalam hal kinerja dari
Komisi Pemberantasan Korupsi, dikarenakan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang super body, sehingga menimbulkan
kekhawatiran yang berpotensi untuk penyalahgunaan wewenang yang
diamanahi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini antara lain adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) dalam rangka mengupas lebih dalam dan
menjawab masalah yang ada di dalam penelitian ini. Pendekatan perundang-
9
undangan ialah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut isu hukum yang ditangani.
10Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang tidak beranjak dari aturan
hukum karena belum ada aturan hukum, beranjak dari pandangan dan doktrin
yang berkembang dalam ilmu hukum dan menemukan pemahaman yang
dijadikan sandaran dalam memecahkan isu hukum.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan berbagai bahan
yang berasal dari berbagai buku, artikel, jurnal, makalah, koran, serta bahan-
bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat, serta penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni
menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,
teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana
3. Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Studi pustaka (library research) yaitu dengan cara membaca buku-buku dan
mempelajari literature-literatur yang selanjutnya diolah dan dirumuskan
secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok bahasannya. Terkait
studi konspetual mengenai badan pengawas ekternal Komisi Pemberantasan
Korupsi.
4. Sumber Data
a. Data sekunder, yang terdiri dari:
1) Bahan primer, di dalamnya termasuk UUD NRI 1945 dan Undang-
Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi.
2) Bahan hukum sekunder, di dalamnya termasuk buku, makalah,
jurnal, artikel, dan bahan kepustakaan lainnya.
b. Data primer, yang terdiri dari wawancara terkait masalah yang akan
diteliti.
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: kencana prenada media group,
2011), h.93.
10
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan penelitian ini dalam mengumpulkan data adalah
studi dokumen. Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang
ditunjuk langsung kepada subjek penelitian. Studi dokumen adalah jenis
pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen yang berguna
untuk bahan analisis.
6. Metode Analisa Data
Analisa bahan hukum dalam penelitian skripsi ini menggunakan metode
analisis deskriptif dimana peneliti akan menganalisis sebuah studi konseptual
mengenai pembentukan Badan Pengawas ekternal pada Komisi
Pemberantasan Korupsi dan data-data yang dikumpulkan kemudian dikelola
sehingga menemukan sebuah kebenaran untuk menjawab sebuah persoalan
dalam penelitian.
7. Teknik Penulisan
Teknik penelitian dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi ini
disesuaikan kaidah-kaidah penelitian karya ilmiah dan buku “Pedoman
Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”
F. Sistematika Penulisan
Dalam memaparkan isi penelitian ini secara menyeluruh maka peneliti
menggunakan sistematika penelitian skripsi sebagai berikut :
BAB I, Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menjelaskan terkait latar
belakang masalah, perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, , metode penelitian, sistematika
penelitian.
BAB II, Tinjauan Umum Tentang Pengawasan Lembaga Negara, pada bab
ini diuraikan mengenai (a) Teori pengawasan (b) asas check and balance (c) Teori
11
produktivitas. Yang memaparkan tetntang teori yang bersangkutan dengan hal
pengawasan, produkivitas kinerja dan adanya asas check and balances
BAB III, Kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam bab ini
peneliti akan menjabarkan tentang gagasan awal pembentukan dewan pengawas
komisi pemberantasan korupsi, landasan hukum pembentukan badan pengawasan
dan stuktur, tugas dan fungsi badan pengawasan komisi pemberantasan korupsi.
BAB IV, Studi Konseptual Mengenai Badan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi, dalam bab ini peneliti menejelaskan faktor penyebab
pembentukan badan pengawasan komisi pemberantasan korupsi dan dampak
pembentukan badan pengawasan komisi pemberantasan korupsi.
BAB V Penutup. Berisi kesimpulan dan rekomendasi peneliti yang didapat
berdasarkan pemaparan dari bab-bab sebelumnya.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritis
1. Teori Pengawasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah kata pengawasan berasal
dari kata awas, sehingga pengawasan memiliki makna kegiatan mengawasi
yang dalam artinya melihat sesuatu dengan seksama.1 Dimana memiliki satu
tujuan penting yang hanya melaporkan hasil kegiatan. Sedangkan dalam
bahasa Inggris disebut dengan controlling yang diartikan dengan istilah
pengawasan. Akan tetapi menurut salah satu ahli, Winardi Mengatakan
bahwa pengawasan tidak hanya melihat dan sesuatu dengan seksama dan
melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti
memperbaiki dan meluruskan, sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan
apa yang direncanakan. Pengawasan termasuk pengendalian yang mempunyai
sifat preventif dan represif.
Menurut Sujamto dalam bahasa Indonesia fungsi controlling mempunyai
pandangan yakni pengawasan dan pengendalian. Pengawasan ini dalam arti
sempit, yang oleh Sujamto2 diberi definisi sebagai segala usaha atau kegiatan
untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang
1 Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai
pustaka, 2007) edisi-3, cek-4. h.90.
2 Sujamto, Beberapa pengertian di bidang pengawasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983) h.17.
13
pelaksanaan tugas atau pekerjaan apakah sesuai dengan semestinya atau
tidak. Adapun pengendalian itu pengertiannya lebih forcefull dibandingkan
pengawasan, yaitu segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan
mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerja berjalan sesuai dengan
semestinya.
Sementara itu pengawasan dikenal dan dikembangkan dalam ilmu
manajemen karena pengawasan merupakan salah satu unsur dalam kegiatan
pengelolaan. Henry Fayol menyebutkan: “control consist in verifying wether
everything occur in conformity with the plan adopted, the instruction issued
and principle estabilished. It has for object to point out weaknesses in error
in order to rectify then and preventrecurrance”. Dari pengertian ini dapat
dilihat bahwa pengawasan hakekatnya merupakan suatu penilaian apakah
sesuatu sudah berjalan sesuai dengan yang telah ditentukan. Dengan
pengawasan ini akan dapat ditemukan kesalahan–kesalahan yang akan dapat
diperbaiki dan yang paling terpenting jangan sampai kesalahan tersebut
terulang kembali.
Selanjutnya, Muchsan mengemukakan bahwa pengawasan adalah kegiatan
untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan
pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang
dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan
sebelumnya.3
3 Sirajun dkk., Hukum Pelayanan Publik. ( Malang ; Setara press, 2012), h.126.
14
Dalam konteks yang lebih luas maka arti dan makna pengawasan lebih
bercorak pada pengawasan yang berlaku pada organisasi dan birokrasi. Jika
ditarik dalam makna yang lebih luas dan kompeherensif, maka pengawasan
dapat dilihat dari beberapa segi yakni :
a. Kontrol sebagai penguasaan pemikiran;
b. Disiplin sebagai kontrol diri;
c. Kontrol sebagai sebuah makna simbolik.
Kontrol tidak terbatas pada prosedur formal dalam penyelenggara
organisasi. Kontrol bisa digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang sesuai
dengan keinginan kelompok tertentu. Kontrol dikonstruksikan beragam.
“Selain menciptakan suasana horor dan kondisi chaos, sebuah sitem
kekuasaan, dalam rangka semakin menumbuhkan kepatuhan total terhadap
kekuasaan, menciptakan berbagai kontrol yang sistematis terhadap pikiran
dan jiwa masyarakat. Ia mengembangkan semacam penjara pikiran. Wacana
pikiran atau filsafat yang dikembangkan oleh penguasa tidak lagi berkaitan
dengan upaya–upaya pengembangan daya nalar, daya kritis, daya analitis,
daya kreatifitas, daya imajinasi yang didukung oleh sikap obyekifitas,
kejujuran, sportivitas, kebijaksanaan atau kearifan akan tetapi telah
dikontaminasi oleh model–model wacana pemikiran yang berdasarkan
kepatuhan, loyalitas, pembelaan buta dan ketakutan.”4
Antonio Gramsci melalui konsep hegemoni berbicara mengenai penguasaan
pemikiran. Menurutnya, masyarakat sipil dan masyarakat politik adalah dua level
suprastruktur yang masing–masing menjalankan fungsi kontrol sosial politik
dalam pengertian berbeda.
“kedua level ini pada fungsi “hegemoni” dimana kelompok dominan
menangani keseluruhan masyarakat dan disisi lain berkaitan dengan
“dominasi langsung” atau perintah yang dilaksanakan diseluruh negara dan
pemerintah yuridis”5
Atas pandangan di atas, Mahadi Sugiono memberikan komentar sebagai berikut:
4 Yasraf Amir Piliang, Sebuah dunia yang menakutkan, Mesin – mesin Kekerasan
dalam jagad raya (Bandung:Mizan, 2001), h 53-54.
5 Anthon F Susanto,Wajah peradilan kita. (Bandung; Refika Aditama,2004), h.55.
15
“perbedaan yang dibuat Gramsci antara masyarakat sipil dan masyarakat
politik seperti yang diuraikan sebelumnya, sesungguhnya tidak sejelas yang
terlihat dan pembedaan itu dibuat hanya semata untuk kepentingan analitis
semata. Dibagian lain, karya yang sama dengan jelas ia menunjukan bahwa
kedua suprastruktur itu pada kenyataannya, sangat diperlukan satu dan
lainnya tidak bisa dipisahkan. Bahwa kedua level itu sangat diperlukan bisa
dilihat dengan gamblang dalam konsepsi Gramsci tentang negara yang lebih
luas, dimana ia ditunjuk sebagai “negara integral”, yang meliputi tidak
hanya masyarakat politik tetapi juga masyarakat sipil.”6
Hal tersebut diperkuat dalam hal kenyataan pada praktek di negara
Indonesia dimana istilah controlling yang sama diartikan dengan istilah
pengawasan, dimana memiliki kandungan arti yang sangat luas, yakni tidak hanya
sifat melihat dan melaporkan hasil yang diawasi, akan tetapi mengandung makna
pengendalian atau menggerakkan, yang memiliki tujuan memperbaiki,
meluruskan dengan cara diawasi untuk mencapai tujuan sesuai apa yang telah di
rencanakan.
Secara teori terdapat beberapa definisi pengawasan, salah satunya yaitu
pengawasan adalah setiap usaha atau tindakan dalam rangka untuk mengetahui
seauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan dan sasaran
yang hendak dicapai. Adapun maksud dari dilakukannya pengawasan yaitu:7
a. Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak
b. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan
mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan
yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru;
c. Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat
pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak;
6 Mahadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia
Ketiga.(Yogyakarta;pustaka pelajar, 1999), h.36.
7 Komisi Hukum Nasional Indonesia, Laporan Akhir Administrasi Peradilan:
Pembentukan Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu, (Jakarta: MaPPi-FHUI,
2003), h.47.
16
d. Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam
rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan apa yang
direncanakan;
e. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan
dalam planning.
Sedangkan tujuan dilakukannya pengawasan yaitu:8
a. Agar terciptanya aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang
didukung oleh sesuatu sistem manajemen pemerintahan yang berdaya guna
dan berhasil guna;
b. Agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan pemerintahan;
c. Menjamin ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijakan dan
perintah;
d. Menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan.
e. Mencegah pemborosan dan penyelewengan;
f. Menjamin terwujudnya kepuasaan masyarakat atas barang atau jasa yang
dihasilkan.
g. Membina kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan organisasi.
Pada umumnya pengawasan dapat dibedakan menjadi:9
a. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung
1) Pengawasan Langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan secara
pribadi oleh pimpinan atau pengawas yang mengamati, meneliti,
memeriksa, dam mengecek sendiri ditempat pekerjaan, serta menerima
laporan-laporan secara langsung.
2) Pengawasan Tidak Langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan dengan
mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan
8 Komisi Hukum Nasional Indonesia, Laporan Akhir Administrasi Peradilan:
Pembentukan Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu, (Jakarta: MaPPi-FHUI,
2003), h.48.
9 Komisi Hukum Nasional Indonesia, Laporan Akhir Administrasi Peradilan:
Pembentukan Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu, h.50.
17
maupun tertulis, serta mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan
sebagainya.
b. Pengawasan Preventif dan Represif
1) Pengawasan Preventif, yaitu pengawasan yang dilakukan melalui
preaudit pekerjaan dimulai. Misalnya megadakan pengawasan terhadap
persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana
penggunaan tenaga dan sumber-sumber lainnya;
2) Pengawasan Represif, yaitu pengawasan yang dilakukan melalui
posaudit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan ditempat (inspeksi),
meminta laporan pelaksanaan, dan sebagainya.
c. Pengawasan Intern dan Ekstern
1) Pengawasan Intern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dalam organisasi itu sendiri;
2) Pengawasan Ekstern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dari luar organisasi itu sendiri.
2. Konsep Checks and Balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
Lahirnya konsep check and balances didasari pada pemikiran akan
pentingnya pembatasan kekuasaan, dikarenakan kekuasaan yang tidak
dibatasi akan cenderung disalahgunakan. Maka para ahli membuat
perkembangan dengan adanya teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali
dikenalkan oleh John Locke. Pemisahan Kekuasaan dilakukan dengan
memisahkan kekuasaan menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif
(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan
federatif (federative power).
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk undang-
undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental lainnya.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan peraturan-peraturan
yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan
yang berkaitan dengan hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,
18
perdamaian, liga, aliansi antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara
asing.
Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Baron
Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica. Dalam teorinya,
kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif yaitu
kekuasaan yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-
undang suatu negara. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan penerapan hukum tersebut. Sedangkan yudikatif adalah
kekuasaan kehakiman.
Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan Negara tersebut
harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ
hanya oleh menjalankan satu fungsi saja dan tidak boleh saling mencampuri
urusan organ lain, yang masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak
demikian, kebebasan akan terancam. Namun pada kenyataannya, teori yang
diidealkan Montesquieu tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dewasa
ini. Dalam kenyataannya ketiga cabang kekuasaan tersebut bersifat sederajat
dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari sinilah dasar teori check and
balances dikembangkan.
Prinsip check and balances menyatakan bahwa masing-masing cabang
pemerintahan membagi sebagian kekuasaannya pada cabang yang lain dalam
rangka pembatasan tindakan-tindakannya, terkait erat pula dengan konsep
pemisahan kekuasaan. Kekuasaan ini yang terbagi semacam ini dapat
mencegah absolutisme dan korupsi kekuasaan yang timbul karena kekuasaan
tanpa pengawasan dan pembatasan.10
Dalam hal menata kekuasaan lain di luar tiga kekuasaan yang diprakarsai
oleh Montesquieu, Crince le Roy menyimpulkan bahwa dalam sistem
pemerintahan juga harus membangun sistem check and balances. Menurut
Crince le Roy negara merupakan lembaga penertib. Bagi Crice le Roy sistem
10
Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, cet. Ke-1,
(Yogyakarta: UII Press, 2007), h.65
19
kekuasaan adalah sistem yang terbuka, setiap lembaga yang berkerja dalam
tahap proses penertiban dilengkapi dengan kekuasaan, mengambil keputusan
dan turut menentukan kebijakan, maka badan atau lembaga tersebut
merupakan suatu representative dari kekuasaan yang dimana keputusan-
keputusan tersebut diambil. Sehingga sistem pengawasan dan keseimbangan
yang tepat dalam hal ini ialah sistem check and balances.11
Sistem check and balances atau pengawasan dan keseimbangan dapat
diartikan karena setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbagi
setiap cabang kekuasaan lainnya. Dimana pada cakupan check and balances
adalah tidak ada lembaga pemeritahan yang supreme.12
Sebagaimana yang
dikatakan oleh Miriam Budiardjo berikut:13
“Check and balances ini yang mengakibatkan suatu cabang kekuasaan
dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang
kekuasaan lainnya, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja
tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara
efektif.”
Check and balances mengacu pada variasi atau aturan prosedur yang
memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya.14
Judicial review adalah bukti pelanggaran batas atas prinsip pemisahan
kekuasaan, demikian juga impeachment presiden oleh legislative. Tindakan-
tindakan saling mengimbangi dan mengawasi yang sekarang ini dipahami
sebagai check and balances. Gagasan ini menjadi niscaya karena berlakunya
UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik ternyata Indonesia tak pernah
11 Crince le Roy, Kekuasaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh
Soehadjo, tanpa cetakan, (Semarang: 1981), h.42.
12 R.M.A.B.Kusuma, “sistem Pemerintahan dengan Prinsip “check and balances”
Jurnal konstitusi, Vol. 1 Nomor 2 Desember (2004), h.143.
13 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h.153.
14 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
h.63.
20
lahir sistem politik yang demokratis sehingga timbul korupsi dalam berbagai
bidang kehidupan.15
Sistem check and balances mulai di terapkan setelah amandemen UUD
1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi
pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang
agar tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan
lainnya. Kedudakan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang
pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tetrtinggi Negara yang
menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar
dengan lembaga tinggi lainnya.
Reformasi membuka pintu bagi dilakukannya amandemen atas UUD
1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukan sistem
check and balances antara lembaga legislative, lembaga eksekutif, dan
lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara presiden dan DPR, maka
dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan jika dalam
waktu 30 hari sejak (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai
UU dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden [Pasal
20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan
antara yudikatif dan legislatif diberi wewenang untuk menguji UU terhadap
UUD 1945.16
Hal ini berarti sistem check and balances dalam peyelenggaraan
kekuasaan memungkinkan adanya saling kontrol antara cabang kekuasaan
yang ada dan menghindari tindakan-tindakan hegemonic, tirantik dan
sentralisasi kekuasaan. Sistem ini mencegah terjadinya over lapping antar
15
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen
Konstitusi), cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h.67.
16 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen
Konstitusi), cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h.67
21
kewenangan yang ada.17
Begitu juga pula dengan pendapat Jimly Asshiddiqie
adanya sistem check and balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat
diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan negara yang
menduduki jabatan dalam lembaga Negara dapat dicegah dan ditanggulangi
dengan sebaik-baiknya.18
3. Teori Produktifitas Kinerja
Pengertian produktivitas sangat berbeda dengan produksi. Tetapi produksi
merupakan salah satu komponen dari usaha produktivitas, selain kualitas dan
hasil keluarannya. Produksi adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan
hasil keluaran dan umumnya dinyatakan dengan volume produksi, sedangkan
produktivitas berhubungan dengan efisiensi penggunaan sumber daya.
Prinsip dalam manajemen produktivitas adalah efektif dalam mencapai
tujuan dan efisien dalam menggunakan sumber daya. Unsur-unsur yang
terdapat dalam produktivitas :
a. Efisiensi
Produktivitas sebagai rasio output/input merupakan ukuran efisiensi
pemakaian sumber daya (input). Efisiensi merupakan suatu ukuran
dalam membandingkan penggunaan masukan (input) yang
direncanakan dengan penggunaan masukan yang sebenarnya terlaksana.
Pengertian efisiensi berorientasi kepada masukan.
b. Efektivitas
Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran
seberapa jauh target yang dapat tercapai baik secara kuantitas maupun
waktu. Makin besar presentase target tercapai, makin tinggi tingkat
efektivitasnya.
17
A. Fickar Hadjar, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemiyraan, 2003), h.4
18 Jimlly Asshidduqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, sekertariat jendral dan kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, (Jakarta: cet-1 2006)
h.31
22
c. Kualitas
Secara umum kualitas adalah ukuran yang menyatakan seberapa
jauh pemenuhan persyaratan, spesifikasi, dan harapan konsumen.
Kualitas merupakan salah satu ukuran produktivitas. Meskipun kualitas
sulit diukur secara matematis melalui rasio output/input, namun jelas
bahwa kualitas input dan kualitas proses akan meningkatkan kualitas
output.
Menurut Blocher, Chen, Lin Produktivitas adalah hubungan antara
berapa output yang dihasilkan dan berapa input yang dibutuhkan untuk
memproduksi output tersebut. Menurut Husien Umar produktivitas
mengandung arti sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai (output)
denan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input).19
Rumus
produktivitas sebagai berikut:
Produktivitas = Efektifitas menghasilkan output
Efisiensi menggunakan input
Dalam buku akuntansi biaya dan akuntansi manajemen untuk teknologi
maju dan globalisasi, supriyono mengemukakan produktivitas adalah:
Produktivitas berkaitan dengan memproduksi secara efisien dan
khususnya ditujukan pada hubungan antara keluaran dan masukan yang
digunakan untuk memproduksi keluaran tersebut.
Sedangkan menurut Basu Swasta dan Ibnu sukotjo Produktivitas adalah
suatu konsep yang menggambarkan hubungan antar hasil (jumlah barang dan
jasa yang diproduksi) dengan sumber (tenaga kerja, bahan baku, modal,
energy, dan lain-lain) yan g dipakai untuk menghasilkan barang tersebut.
Menurut Sinungan produktivitas dapat diartikan sebagai perbandingan antara
totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama
periode terbut. Dua aspek penting dalam produktivitas yaitu efisiensi dan
19 Blocher, Chen, Lin, Manajemen Biaya Buku I,(Jakarta: Salemba Empat, 2000), h.53
23
efektivitas. Efisiensi berkaitan dengan seberapa baik berbagai masukan itu
dikombinasikan atau bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan.
Pentingnya arti produktivitas dalam meningkatkan kesejahteraan telah
disadari secara universal, tidak ada jenis kegiatan manusia yang tidak
mendapatkan keuntungan dari produktivitas yang ditingkatkan sebagai
kekuatan untuk menghasilkan lebih banyak barang-barang maupun jasa,
peningkatan produktivitas juga menghasilkan peningkatan langsung pada
standar hidup yang berada dibawah kondisi distribusi yang sama dari perolehan
produktivitas yang sesuai dengan masukan tenaga kerja. Produktivitas penting
dalam meningkatkan dan mempertahankan hasil kerja yang ada pada dasarnya
tidak lepas dari peningkatan dan pengefektifan mutu tenaga kerja. Dengan
undang-undang dapat mengimplementasikan dengan sungguh-sungguh dan
perlu adanya pengawasan sehingga dapat terwujudnya sesuai dengan tujuan
yang dicita-citakan yaitu masyarakat yang sejahtera dan produktif.20
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dari literatur yang telah ditelaah dalam rangka penulisan penelitian ini,
terdapat beberapa karya tulis dan buku yang dijadikan acuan untuk penulisan
penelitian.
1. Eva Yuliani, Tugas dan Wewenang Kejaksaan dan Komisi Pemberantasaan
Korupsi dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatulllah Jakarta, 2009 Dalam skripsi ini membahas
tentang bagaimana perbandingan wewenang dan tugas Kejaksaan dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penelitian ini, peneliti mencari
apakah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dibutuhkan sebuah Badan
Pengawas Untuk menunjang dari kinerja dan wewenang dari Komisi
Pemberantasan Korupsi.
2. Kewenangan Komisi Pemerantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, ditulis oleh Sri Hayati
20
http://e-journal.uajy.ac.id/3551/3/2EA16466.pdf (diakses pada tanggal 26 juli 2017
pukul 20.30 WIB)
24
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2013, bersubtansi meninjau kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam menyidik yang mana merupakan tugas dari POLRI perbedaan dengan
peneliti, Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang memiliki
wewenang yang superbody yang dimana dalam hal pengawasan secara
external tidak ada yang mengatur dalam undang-undang.
3. Buku berjudul Politik Pemberantasan Korupsi Strategi Independent
Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong Dan Komisi
Pemberantasan Korupsi Indonesia ditulis oleh Rizki Febari diterbitkan oleh
yayasan pustaka obor Indonesia jakarta 2015 bersubstansi tentang strategi
yang diterapkan oleh ICAC pada Komisi Pemberantasan Korupsi di
Indonesia. Perbedaan dengan peneliti adalah peneliti berfokus dalam
pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak ada batasan
kewenagannya.
4. Jurnal Hukum kajian yuridis mengenai kewenangan komisi pemberantasan
korupsi sebagai penyidik dan penuntut umum tindak pidana pencucian uang
yang berasal dari tindak pidana korupsi yang ditulis oleh Komang Sinta
Prabawati mahasiswa Universitas Atma Jaya Jogjakarta bersubstansi tentang
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penyidik dalam tindak
pidana pencucian uang hasil dari korupsi yang merupakan kewenagan POLRI
perbedaan dengan peneliti adalah di dalam skripsi saya memaparkan tentang
kejelasan hukum tentang aspek dari pengawasan dalam hal kinerja dari
Komisi Pemberantasan Korupsi, dikarenakan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang super body, sehingga menimbulkan
kekhawatiran yang berpotensi untuk penyalahgunaan wewenang yang
diamanahi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
25
BAB III
KELEMBAGAAN BADAN PENGAWAS KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Gagasan Awal Pembentukan Badan Pengawasan Komisi Pemberantasan
Korupsi
Dasar mula dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi adalah
mendorong kinerja Komisi Kejaksaan dan Kepolisian Republik Indonesia untuk
lebih baik dan lebih giat. Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki fungsi triger
mechanism yaitu mendorong pemberantasan korupsi, satu-satunya lembaga yang
luar biasa ini bukan hanya masalah kewenangannya saja yang diantaranya
menyadap tanpa izin1, mencekal orang waktu penyelidikan tetapi juga Komisi
Pemberantasan Korupsi memiliki tugas yang lain seperti koordinasi supervisi
dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kementerian lembaga. selain memonitoring
dan evaluasi yang sifatnya mencegah.
Pada realitanya Komisi Pemberantasan Korupsi didirikan dari tahun 2002
hingga sekarang, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dianggap berkerja bila
tidak menangkap orang. Dengan begitu berarti Komisi Pemberantasan Korupsi
tidak menggunakan seluruh potensi kewenangannya untuk menjalankan tugas-
tugasnya dengan perkiraan karena keterbatasan orang-orang yang ada di Komisi
Pemberantasan Korupsi dan/ataupun karena kemampuan dari Komisi
Pemberantasan Korupsi yang terbatas ataupun biaya yang terbatas, tapi disamping
itu Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh terlepas dari tugasnya yaitu
mencegah dan menindak.
Harapan berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi, ketika Komisi
Pemberantasan Korupsi menindak satu kementrian seperti Kementrian
Perhubungan, dengan Komisi Pemberantasan Korupsi langsung mengambil tugas
1 Ismail, “Fungsi Penyidik KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, vol.01
No.02, (2013). h.3.
26
korsup atau yang disebut dengan kordinasi supervisi dengan terus diawasi dan
managemennya diperbaiki sampai benar baru dapat ditinggal untuk tugas yang
lainnya. Pada realitanya sekarang Komisi Pemberantasan Korupsi setelah
melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan), Komisi Pemberantasan Korupsi
kurang memaksimalkan tugasnya dengan kordinasi supervisi.
Fungsi koordinasi dan supervisi yang diemban oleh KPK ternyata belum
dapat dilaksanakan sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan perundangan. Kedua
fungsi ini tidak dapat diabaikan oleh KPK mengingat kedua fungsi tersebut sangat
penting dalam pelaksanaan penyidikan Tipikor yang dilakukan oleh penyidik
kepolisian dan kejaksaan di daerah manakala ditemui kesulitan menyidik kasus
tipikor.2
Pada kenyataannya Komisi Pemberantasan Korupsi bukan mencegah
melainkan menindak habis tersangka yang terlibat korupsi dengan berbagai cara,
sehingga dapat dilihat sekarang Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan OTT
(Operasi Tangkap Tangan) dalam hitungan perminggu dengan hasil yang kurang
memuaskan yakni tidak membuat efek jerah terhadap pelaku-pelaku korupsi.
Dengan aturan sekarang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
OTT (Operasi Tangkap Tangan) dengan menayangkan dimuka publik atau
membawa wartawan sebelum terjadinya keputusan di pengadilan yang
menyatakan bahwa tersangka korupsi itu bersalah. Walaupun dugaan Komisi
Pemberantasan Korupsi itu permulaan yang cukup untuk melakukan
penangkapan, hal itu tidak boleh dilakukan karena melanggar privasi seseorang
walaupun dugaan Komisi Pemberantasan Korupsi ada bukti permulaan yang
cukup. Pada realitanya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan aksinya
dengan adanya dugaan dengan bukti awal telah melakukan penayangan dimuka
publik dengan seolah-olah menyatakan bahwa tersangka itu bersalah, karena pada
ketentuannya pada dugaan awal dengan bukti tersebut, seseorang belum dapat
dikatakan bersalah sebelum pengadilan menyatakan putusannya di meja hijau.
2 Hibnu Nugroho, “Efektivitas Kordinasi dan Supervisi dalam penyidikan Tindak
Pidana Korupsi oleh KPK”, Jurnal Dinamika Hukum, vol. 13 no. 3 September (2013). h.393.
27
Karena dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi mengalami kekurangan
dalam sistem kerja birokrasi yang kurang pengawasan.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki anggaran berjumlah tiga triliun
dalam setahun. Anggaran tersebut lebih besar dari aparat penegak hukum
kepolisian. Dalam menjalankan pekerjaannya Prof Romli selaku pendiri dari
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penelitian terhadapat lembaga
tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2009-2014 hanya
mengembalikan kerugian negara berjumlah 728 miliar. Angka tersebut tidak
sepadan dengan anggaran yang diberikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
yakni tiga triliun.
Dengan perkembangan hukum saat ini, regulator pembentukan hukum
atau pakar hukum harus memikirkan tentang tindak pidana korupsi. Dengan
bayangan setiap seseorang yang melakukan korupsi harus ditindak lanjuti tanpa
merugikan negara dan merugikan tersangka korupsi maupun keluarganya.
Salah satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah
korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai
momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui
atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan
banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang
politik,sosial budaya, maupun keamanan.3
Pada sistem yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai telah
rusak, sebagaimana pada hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
diteliti dan ditulis oleh Prof Romli sebagai pakar hukum dan pembentuk lembaga
anti rasuah yang berjudul “akuntabilitas KPK dan ICW”, dimana dalam lembaga
tersebut dijelaskan bahwa lembaga tersebut menerima donor dari negara asing.
Oleh karena itu perlulah pembentukan pengawasan untuk lembaga pemberantasan
korupsi ini dikarenakan sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi, dilain
3 Deni Styawati, KPK Pemburu Koruptor, Cet I,(Yogyakarta:pustaka timur 2008), h.1.
28
sisi memiliki kewenganan yang luas dan anggaran yang besar. Kekuasaan dan
anggaran yang besar memungkinkan abuse of power.
Oleh karena itu haruslah timbul gagasan untuk pembentukan lembaga
pengawas pada Komisi Pemberantasan Korupsi dikarenakan alasan yang meliputi:
1. Adanya asas abuse of power (penyalahgunaan wewenang)
Secara garis besar penyalahgunaan wewenang dibagi menjadi dua yaitu
penyalahgunaan wewenang dalam tindak pemerintahan dan penyalahgunaan
wewenang dalam tindak pidana korupsi. Penyalahgunaan
wewenang/kewenangan dalam tindak pemerintahan menurut konsep Hukum
Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara selalu diparalelkan dengan
konsep de’tornement de puvoir. Dalam Verklarend Woordenboek openbaar
Bestuur dirumuskan bahwa penggunaan wewenang tidak sebagaimana
mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.
Hal ini sebagai bentuk pelanggaran asas spesialitas (asas tujuan). Dalam
pembuktian apakah terjadi penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan
pembuktian factual bahwa pejabat tersebut telah menggunakan
kewenangannya utnuk tujuan lain. Implikasi penyalahgunaan kewenangan
dalam tindak pemerintahan , tidaklah semata kewenangan terikat, tetapi juga
merupakan suatu kekuasaan bebas yang meliputi kebebasan kebijakan dan
kebebasan penilaian.
Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap telah menjadi lembaga abuse of
power, karena sering menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu.4 Bahkan Komisi
Pemberantasan Korupsi dianggap telah melakukan kriminalisasi dalam
penyidikannya terhadap terduga korupsi.
2. Adanya asas Super Body
4 Ujang Charda S., “Potensi Penyalahgunaan Kewenangan oleh Pejabat Administrasi
Negara dalam Pengambilan dan Pelaksanaan Kebijakan Publik”, Jurnal Wawasan Hukum, vol.27
No.02 September (2012). h.602.
29
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi di pandang oleh banyak
kalangan hukum sebagai lembaga Super Body, karena memiliki kewenagan
yang lebih besar dari pada kepolisian dan kerjaksaan.5
Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjadi ikon nasional
dan internasional di Indonesia. Ketiadaan lembaga penegak hukum khusus
(Special Task Force for Combating Corruption) menjadi penyebab utama
penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi tidak kurang berdaya.
Karena itu, urgensi dibentuknya KPK, melalui UU No 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dan sejahtera. Dengan
memberikan amanah dan tanggungjawab kepada KPK untuk melakukan
peningkatan pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih profesional.
Ada kekuatiran dan kerisauan bahwa apabila ada suatu lembaga, yang
pertanggungjawabannya hanya kepada Tuhan yang maha kuasa, dan tidak
kepada institusi yang lain, akan dapat kebablasan, sebab bagaimanapun
semua pengemban amanah adalah manusia biasa yang memiliki kelemahan,
kekeliruan dan dapat tergoda atau tergelicir kepada penyalahgunaan
kekuasaan.
B. Landasan Hukum Pembentukan Badan Pengawas Komisi Pemberantasan
Korupsi
Pengawasan pada dasarnya diarahkan secara penuh pada kemungkinan
penyelewengan dan penyimpangan atas tujuan yang hendak dicapai. Melalui
pengawasan diharapkan dapat membantu pelaksanaan kebijakan yang telah
ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan
efisien. Melalui pengawasan diharapkan dapat tercipta suatu aktivitas yang
berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan
kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauh mana
5 Ismail, “Fungsi Penyidik KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, vol.01
No.02, (2013). h.5.
30
kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang
terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Dasar atau landasan hukum yang digunakan KPK di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2. Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Sedangkan Undang-Undang yang dijadikan sebagai dasar dan landasan
hukum KPK di antaranya adalah sebagai berikut:
1. UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari KKN
2. UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
3. UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4. UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Selain dasar hukum di atas, tugas dan fungsi KPK juga diatur dalam
peraturan pemerintah berikut ini:
1. PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. PP RI No. 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Komisi Pemberantasan Korupsi terbentuk pada tahun 2003, yang
diamanahi dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi
membawahi empat bidang yang salah satunya membidangi pengawasan internal
31
dan pelayanan masyarakat, yang diatur dalam pasal 26 ayat (2). Dalam bidang
pengawasan internal dan pengaduan masyarakat diatur menjadi subbidang yang
tertulis didalam pasal 26 ayat (6) huruf a.
Kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi lebih diperluas lagi dengan wewenang untuk mengambil alih penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini didasarkan pada tugas KPK sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang KPK, yang berbunyi KPK
mempunyai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas
supervisi tersebut, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang mejalankan tugas dan wewenang yang
berkaitan dengan pemberatasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.
C. Struktur, Fungsi dan Tugas Pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang
ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota.
Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari
unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan
selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang
Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang
deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris
Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia,
namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.
Struktur KPK dapat dirinci seperti berikut ini:6
1. Pimpinan
6 Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: KPK RI, tt), h.58-59.
32
Pimpinan KPK adalah pejabat negara yang terdiri dari 5 (lima)
anggota yakni Ketua yang merangkap Anggota, serta Wakil Ketua
yang terdiri atas 4 (empat) orang dan masing-masing merangkap
anggota.
2. Ketua KPK
Ketua KPK adalah salah satu dari lima pimpinan di KPK. Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi juga merangkap sebagai anggota
KPK.
3. Wakil Ketua KPK
Wakil Ketua KPK merupakan pimpinan KPK yang juga merangkap
sebagai anggota KPK. Wakil Ketua KPK terdiri dari:
a. Wakil Ketua Bidang Pencegahan;
b. Wakil Ketua Bidang Penindakan;
c. Wakil Ketua Bidang Informasi dan Data; dan
d. Wakil Ketua Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat
4. Tim Penasehat
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai
dengan kepakarannya kepada Komisi Pernberantasan Korupsi dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) anggota
5. Pelaksana Tugas
Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi No. PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja KPK, pelaksana tugas KPK terdiri dari:
a. Deputi Bidang Pencegahan.
b. Deputi Bidang Penindakan.
c. Deputi Bidang Informasi dan Data.
d. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
e. Sekretariat Jenderal.
33
Deputi bidang pengawasan intenal dan masyarakat memiliki sturktur,
fungsi dan tugas yang telah diamanahi oleh negara yakni:
1. Struktur
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
membawahi:
a. Direktorat Pengawasan Internal;
b. Direktorat Pengaduan Masyarakat; dan
c. Sekretariat Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat.
2. Tugas dan Fungsi
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
mempunyai tugas menyiapkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan
di bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengawasan Internal
dan Pengaduan Masyarakat;
b. Pelaksanaan pengawasan internal terhadap pelaksanaan tugas
dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
ditetapkan Pimpinan;
c. Penerimaan dan penanganan laporan / pengaduan dari
masyarakat tentang dugaan tindak pidana korupsi yang
disampaikan kepada KPK, baik secara langsung maupun tidak
langsung;
d. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan
sumberdaya di lingkungan Deputi Bidang Pengawasan Internal
dan Pengaduan Masyarakat;
e. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan
pelaksanaan hubungan kerja pada bidang Pengawasan Internal
dan Pengaduan Masyarakat; dan
34
f. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai
dengan bidangnya.
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat dipimpin
oleh Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat dan
bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pengawasan
Internal dan Pengaduan Masyarakat dapat membentuk Kelompok Kerja yang
keanggotaannya berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang ditetapkan dengan
Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.7
7 https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pipm diakses pada tanggal 14
mei 2018 pada pukul 13.00
35
BAB IV
STUDI KONSEPTUAL MENGENAI BADAN PENGAWAS KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Faktor Penyebab Pembentukan Badan Pengawas Komisi Pemberantasan
Korupsi
Banyak kritik dari masyarakat yang menilai bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi memiliki kewenangan yang super body, sehingga berpotensi besar dalam
penyalahgunaan wewenang, selain menimbulkan konflik antara Komisi
Pemberantasan Korupsi dan institusi penegak hukum lainnya, sehingga
menimbulkan gejolak dan upaya untuk menjatuhkan lembaga ini.
1. Indikasi Penyalahgunaan Wewenang
Adapun penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi seperti pada kasus Novel Baswedan, terlihat pada
pernyataan dari direktur penyidikan (Dirdik) Komisi Pemberantasan
Korupsi melontarkan jawaban dari pertanyaan anggota dalam sidang pansus
angket Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat terbuka. Dalam sidang
tersebut anggota sidang pansus angket mengindikasi adanya praktek
penyalahgunaan wewenang dalam tubuh lembaga tersebut, dan ketua pansus
hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi mengkonfirmasi bahwa terdapat
konflik internal di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI,
menyatakan bahwa dalam konteks demokrasi tidak ada manusia yang benar-
benar jahat atau benar-benar baik. Jadi pada hakikatnya sebuah lembaga,
manusia diposisikan sama. Disatu sisi manusia tidak boleh mencurigai
orang dengan berlebihan, dan disisi lain tidak boleh menganggap manusia
itu tidak pernah melakukan kesalahan.1
Dalam fakta lainnya ditemukan bahwa terdapat 26 tersangka yang
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian ditetapkan
1 Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli wakil Ketua DPR-RI, Interview Pribadi, Jakarta, 11
Juli 2018.
36
sebagai tersangka tanpa alat bukti yang kuat. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ketidakmatangan kinerja yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi menimbulkan pelemahan didalam lembaga.
Terdapat beberapa hal lain terkait penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, terkait pelanggaran Undang-
Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada pasal 66 yang mengatur
tentang larangan penyidik atau pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
berhubungan langsung atau tidak langsung terhadap tersangka atau pihak
lain yang bersangkutan.
Tanpa kerangka akuntabilitas yang kuat, maka potensi penyalahgunaan
wewenang oleh oknum pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan terus
terjadi dimasa depan, karena itu tidak mengherankan bila sekarang ada
laporan/tuduhan yang dilakukan oleh oknum Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Bila tuduhan terhadap oknum pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
kemudian ternyata benar, maka hipotesis selama ini membuktikan
kebenaran bahwa tanpa kerangka akuntabilitas yang kuat atau tanpa Dewan
pengawas ekternal independen Komisi Pemeberantasan Korupsi akan rawan
disalahgunakan atau berpotensi menyalahgunakan kewenangan.
Menurut A. Salman Manggalatung, Guru Besar Hukum Tata Negara UIN
Jakarta, mengatakan bahwa pada Komisi Pemberantasan Korupsi penting
dibentuk lembaga pengawas external yang mengawasi dari unsur pimpinan
sampai pegawai yang ada didalam lembaga tersebut. Agar lembaga tersebut
tidak bertindak sewenang-wenang walaupun sudah memiliki aturan, dan
tidak terlalu menjadi lembaga yang superbody, karena hal tersebut
berdampak pada arogansi lembaga, selain tidak ada pengawasan terhadap
lembaga tersebut. Sehingga menimbulkan persepsi bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi abuse of power.2
2 A. Salman Manggalatung, Guru besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
Interview Pribadi, Ciputat, 16 juli 2018.
37
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bermasalah dengan
integritas dan hukum akan cenderung tidak independen, tebang pilih, dan
menyalahgunakan kewenangan / kedudukannya. Ia akan cenderung
melindungi politisi dan partai tertentu, namun di sisi lain ia akan
menzhalimi politisi dan partai lainnya. Akan tetapi, tidak ada jaminan kelak
ia akan terus melindungi politisi dan partai itu, ia akan berbalik menzhalimi
dan “menyerang” politisi dan partai yang tadinya ia lindungi itu jika hal
tersebut menguntungkan dirinya. Baginya Komisi Pemberantasan Korupsi
tidak lebih hanyalah alat politik untuk melindungi kepentingan personal dan
kelompoknya serta untuk memenuhi ambisi pribadi dan syahwat
kekuasaannya.3
Upaya dalam pembentukan Dewan Pengawas dimasa depan dapat
menimbulkan nilai positif bagi Komisi Pemberantasan Korupsi maupun
masyarakat. Dalam upaya menjalankan sistem check and balances, karena
kekuasaan tanpa ada batasan sangat cenderung disalahgunakan bagi oknum
di pemerintahan.
Jelas bahwa masalah kewenangan masing-masing sub sistem dalam sistem
peradilan pidana sangat menentukan sekali dalam rangka penegakan hukum
terutama pada tindak pidana korupsi, agar kepastian hukum dan
kesebandingan hukum dapat tercapai. Sistem peradilan didalamnya
terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukung (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) yang secara
keseluruhan dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha
mentrasformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang
menjadi tujuan sistem peradilan pidana yang berupaya resosialisasi pelaku
tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah)
dan kesejahteraan sosial (jangka panjang). Untuk itu perlu adanya
sinkronisasi pelaksanaan penegakan hukum di kalangan subsistem-
subsistem. Jika keterpaduan subsistem-subsistem dalam sistem peradilan
3Roby Arya Brata, Perppu Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta:
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2015), h.21.
38
pidana tidak terwujud, masyarakat dapat beranggapan bahwa sistem
peradilan pidana menyebabkan timbulnya kejahatan.4
Mengapa masalah kewenangan ini perlu diperjelas, mengingat penegakan
hukum pidana (perkara tindak korupsi) sangat terkait dengan Hak Asasi
manusia, jadi jika suatu lembaga mempunyai kewenangan dalam hal
penegakan hukumnya harus diatur secara limitatif, hal ini disebabkan bahwa
dalam hukum pidana menganut Asas Legalitas, Asas legalitas pada
hakikatnya adalah tentang ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu
dan sumber/dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu
perbuatan. (jadi sebagai “dasar kriminalisasi atau landasan yuridis
pemidanaan)5. menurut Romli Atmasasmita, makna asas legalitas dalam
KUHP adalah:
a. Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali telah
ditentukan dalam undang-undang terlebih dulu.
b. Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan
pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis
untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.6
2. Pelanggaran Hukum yang dilakukan komisioner Komisi Pemberantasan
Korupsi
Adapun dalam pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum komisi
pemberantasan yang mengakibatkan melemahnya kinerja lembaga superbody
tersebut berfaktor dengan peran kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
yang begitu luasnya menyebabkan lembaga anti rasuah tersebut menjadi abuse
of power. Dalam hal ini terbukti dengan berbagai kasus yang terjadi dalam
Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri, salah satu contoh kasusnya adalah
pada saat Budi Gunawan yang dicalonkan sebagai kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan terlibat
4 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002), h.124. 5 Muchamad Iksan, “Asas Legalitas dalam Hukum Pidana”, jurnal serambi hukum, vol.
11 (Februari-Juli 2017), h. 12. 6 Muchamad Iksan, “Asas Legalitas dalam Hukum Pidana”, h. 13.
39
transaksi yang mencurigakan dan tidak wajar. Beliau terjerat Pasal 12 huruf a
atau b, Pasal 5 ayat 2, dan Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hasil dari penetapan tersangka Budi
Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah perseteruan dua institusi
prestise karena pada jum’at pagi, 23 januari 2015 wakil ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto ditangkap atas dugaan kesaksian
palsu pada kasus sengketa Pilkada Kota Waringin. Sehingga pada saat itu
terjadi saling tangkap antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polisi
Republik Indonesia yang pada akhirnya dua perselisihan institusi prestise
ditutup dengan deponir oleh Jaksa Agung H.M Prasetyo pada tanggal 04 maret
2016.7
Subtansi pernyataan praktisi birokrasi India, S. Guhon, tersebut tampaknya
bisa dijadikan rujukan utama untuk menjelaskan praktik korupsi di Indonesia
yang terjadi begitu maraknya. Demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi
para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam
brankas negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tinggi.8
Menurut Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI,
menyatakan bahwa politik yang ada didalam Komisi Pemberantasan Korupsi
cenderung disalahgunakan sehingga menimbulkan kekhawatiran. Tendensi
politik bisa saja terjadi dalam kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam
menjalankan hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Regulator,
bisikan-bisikan sering terdengar, sering sekali merasa dikerjai dengan cara
menagkap anggota DPR, dalam artian Komisi Pemberantasan Korupsi
mempunyai target-target tertentu dalam menjalankan politik lembaga.9
Inti dari korupsi politik, adalah penyalahgunaan jabatan seorang pejabat
publik yang terkait dengan jaringan partai politiknya diluar. Segala kebijakan
7Berita kompas.com edisi jum’at 4 maret 2016, yang diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/04/13083311/Deponir.Kasus.Abraham
BW.Dianggap.Akan.Kurangi.Kegaduhan diakses pada tanggal 15 desember 2017. 8 Laode Ida, Negara Mafia, (Yogyakarta: Galang Press, 2010), h.106.
9 Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI, Interview Pribadi, Jakarta, 11
juli 2018.
40
cenderung memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang menjadi
pendukung politiknya. Pada saat yang sama, diantara sesama pelaku korupsi
terjadi upaya saling melindungi, saling memahami, atau saling mentoleransi.
Sehingga sulit untuk berlaku adil dalam menangani kasus korupsi yang terjadi.
Kekuatan politik yang menjadi kendaraan bersamapun haruslah terisi
bensinnya dengan dukungan dana dari hasil penyalahgunaan jabatan yang
sedang diduduki.
Jaringan korupsi yang saling melindungi ini sudah pasti bukan saja mereka
yang incumbent, melainkan mereka juga yang sudah retired. Kalau diantara
para konco itu berada dalam jaringan kekuasaan, sudah pastilah akan selalu
muncul kesulitan untuk mewujudkan pemberantasan korupsi yang
berkeadilan.10
Terkait tentang pengawasan internal Komisi Pemberantasan Korupsi
sudah diatur dalam Pasal 26 ayat (2) point d dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang
menyatakan bahwa:
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membawahi 4 (empat) bidang yang terdiri atas:
a. Bidang Pencegahan;
b. Bidang Penindakan;
c. Bidang Informasi dan Data; dan
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d membawahkan:
a. Subbidang Pengawasan Internal;
b. Subbidang Pengaduan Masyarakat.
Akan tetapi pengawasan tersebut tidak sebanding dengan besarnya
kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat hanya mempunyai
tugas menyiapkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan.
10
Laode Ida, Negara Mafia, h.162-163.
41
Meskipun dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab terhadap public, akan tetapi
seorang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara prosedur diangkat
melalui proses politik hukum yang lahir dari konsekuensi check and balance.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 30 dan 31 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehingga jika dipandang
melalui koridor politik, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pun rentan
dalam menerima tekanan eksternal maka efektivitas pengawasan yang
dilakukan Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang
bertanggung jawab kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pun
kurang efektif dalam melakukan pengawasan.
Berbeda dengan fungsi pengawasan komite pengawasan lembaga anti
rasuah Hongkong yang menempatkan komite pengawasan di bidang operasi
yang anggotanya berisi dari seluruh unsur masyarakat.11
Independent
Commission Againts Corruption Hongkong tidak bertanggung jawab kepada
pemerintah (Government Minister).12
Lembaga anti rasuah tersebut
bertanggung jawab dan bekerja di bawah dua komite pengawasan
Parliamentary Join Commission (PJC) dan Operasional Review Committee
(ORC). Parliamentary Join Commission (PJC) melakukan laporan berkala
terhadap permasalahan yang spesifik atau pertanyaan kepada parlemen.
Operasional Review Committee (ORC) mengawasi akuntabilitas kinerja
Independent Commission Againts Corruption Hongkong. Hal menarik pula
yang dimiliki oleh Independent Commission Againts Corruption Hongkong
adalah adanya unit Internal Investigation and Monitoring Group, merupakan
unit yang melakukan investigasi penyidikan kedalam tubuh Independent
Commission Againts Corruption Hongkong sehingga jika adanya praktik
11
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi
edisi kedua. (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h.419. 12
ICAC, Independence/Accountability, yang diakses dari
http://www.icac.nsw.gov.au/go/ the-icac/what-is-the-icac/independence/-accountability diakses
pada tanggal 15 desember 2017 pukul 23.39WIB.
42
korupsi didalam tubuh lembaga tersebut maka akan segera dilakukan
penyidikan.13
Dalam rangka menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Timbul pemikiran bahwa dengan dibentuknya lembaga-lembaga
tambahan yang bersifat non struktural akan lebih membuka peluang dalam
upaya menerapkan prinsip-prinsip good governance. Perlu disadari bahwa
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi beranjak dari asumsi bahwa
tindak pidana korupsi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan luar biasa
sehingga dibutuhkan lembaga yang luar biasa dengan kewenangan yang luar
biasa pula.
3. Pelanggaran Kode Etik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam upaya penegakan kode etik oleh oknum pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi, pada kasus Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja
kedua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi telah terindikasi atas
pelanggaran kode etik perihal surat perintah penyidikan (sprindik) dalam amar
putusan komite etik menyebutkan bahwa pelaku utama yang membocorkan
dokumen sprindik terkait kasus Anas Urbanigrum ialah Wiwin Suandi
sekertaris yang menjabat di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Temuan oleh komite etik menyatakan bahwa Wiwin dimintai Abraham
Samad untuk memindai dokumen hasil sprindik atas nama Anas Urbanigrum,
dan diketahui Wiwin beberapa kali mencetak pindaiannya dan menyalinkan
hasil dari surat perintah penyidikan tersebut kepada wartawan. Wiwin terbukti
berinisiatif memberitahu pesan singkat Abraham Samad terkait surat perintah
penyidikan kasus Anas Urbaningrium kepada beberapa pihak tentang
penetapan status kasus Hambalang.
Bagian lain dari amar putusannya, komite etik menjatuhkan sanksi kepada
wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Adnan Pandu Praja karena
terindikasi terkait pelanggaran kode etik pimpinan. Sehingga dalam hal ini
13
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi
edisi kedua. (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h.413.
43
Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai merugikan nama baik lembaga karena
terjerat beberapa unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam
perkara ini unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terjerat pasal 6 ayat
(1) huruf e undang-undang pemberantasan korupsi. Sehingga dalam hal
meningkatkan optimalisasi kinerja, upaya produktifitas kinerja haruslah
dilakukan untuk menimbulkan efesiensi, efektivitas dan kualitas dalam
menjalankan kinerja dalam Komisi Pemberantasan Korupsi. Disisi lain
tumpang tindih kewenangan antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana
tentang siapa yang berwenang melakukan penyidikan pada perkara tindak
pidana korupsi setelah keluarnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimulai dengan rumusan Pasal 26
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, merumuskan: Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam perundang-
undangan.14
Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A. Salman
Manggalatung, menyatakan bahwa urgensi dibentuk lembaga pengawas
eksternal Komisi Pemberantasan Korupsi, karena kewenangan yang besar
seperti melakukan penyadapan, penyitaan dan penyelidikan bertindak
sewenang-wenang disebabkan tidak ada lembaga pengawas. Hal tersebut
terlihat dari segi pelaksanaan dan penyidikan maupun segi anggaran yang besar
dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi, karena setiap satu perkara yang
dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi membutuhkan anggaran dari APBN
yang besar.15
Guna mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
14
Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Nomor: KEP-
049/A/J.A/03/2012; Nomor: B/23/III/2012; Nomor: SPJ-39/01/03/2012 tentang Optimalisasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 15
A. Salman Manggalatung, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
Interview Pribadi, Ciputat, 16 juli 2018.
44
Tahun 1945 serta meningkatkan citra Indonesia di mata masyarakat
internasional, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilaksanakan
lebih berdaya guna dan berhasil guna. Untuk mengatasi berbagai kendala
dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian
keuangan negara, khususnya dalam pengawasan penanganan perkara tindak
pidana korupsi, perlu adanya eksternal pengawasan yang dapat
mengoptimalisasikan kerja komisi pemberantasan korupsi.
Setelah diketahui tentang lembaga yang berwenang dalam penegakan
hukum pada perkara tindak pidana korupsi berdasarkan sistem peradilan
pidana, maka hal-hal yang diperlukan masing-masing sub sistem dalam sistem
peradilan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi yang bersifat
sistemik dan extra ordinary crime harus mempunyai persepsi yang sama
berupa adanya singkronisasi baik bersifat vertikal maupun horizontal.
Sinkronisasi horizontal ini sangat menentukan berhasil tidak kerja dari
sub-susb sistem dalam sistem peradilan pidana, bahwa salah satu unsur
pengawasan adalah keterpaduan atau kebersamaan dalam koordinasi.
Sinkronisasi horizontal harus tumbuh dari diri masing-masing pimpinan
dalam sub-sub sistem dalam sistem peradilan pidana dengan niat dan komitmen
untuk memberantas tindak pidana korupsi. Perlu diingat bahwa singkronisasi
horizontal baru dapat mencapai hasil yang maksimal jika masing-masing sub
sistem dalam sistem peradilan pidana secara sadar bahwa mereka merupakan
lembaga-lembaga mempunyai fungsi-fungsi masing-masing dan bukannya
salah satu sub sistem lebih tinggi dari susbsistem lainya.16
Dapat diambil poin dari beberapa faktor penyebab pembentukan badan
pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya adalah:
1. Penyalahgunaan wewenang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Pelanggaran hukum yang dilakukan komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi.
3. Penegakan kode etik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.
16
Disampaikan oleh Bapak Gandjar Laksmana B. dalam mata kuliah Tindak Pidana
Korupsi, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007.
45
Sehingga di era demokrasi sekarang ini haruslah dibentuk lembaga
pengawas karena setiap manusia itu berpotensi abuse of power, oleh karena
itu terbentuknya lembaga pengawasan yang melekat pada Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance).
B. Dampak Pembentukan Badan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi
Pada zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda telah berulangkali pula
dibentuk komisi-komisi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.
Salah satunya, sebagai contoh, adalah CommisieVoor De Volkslectuur yang
mengkaji ihwal penerbitan bacaan untuk rakyat; atau juga berbagai komisi yang
mendapat tugas melakukan kajian (bevolen onderzoek) berkenaan dengan, antara
lain, masalah pertanahan rakyat atau masalah kerja rodi sebagai pengganti pajak
uang di desa-desa.
Dibentuknya komisi-komisi oleh DPR berkaitan erat dengan kian
merosotnya seni pengelolaan kekuasaan dan kewenangan yang terkualifikasi, baik
di berbagai badan pemerintahan, khususnya di badan-badan pemerintahan di
tingkat layanan umum. Penyalahgunaan wewenang, kolusi dan korupsi sebagai
akibat tiadanya transparansi dan pengawasan publik (sebagai akibat
berkelanjutannya konsep budaya Kawula --yang ngawula alias menghamba –
Gusti) telah menjadikan perubahan tata pemerintahan baru, yang lebih bernuansa
demokratik, menjadi amat terkendala. Pada era feodalisme para pemimpin yang
berkuasa tahu berfalsafah pengendalian diri melalui berbagai piwulang untuk
selalu mengingati ajaran ojo dumeh17
dan harus selalu mengingati kewajiban
untuk selalu ngayomi dan ngayemi para kawula, kini ini semua ajaran dan moral
pengendalian diri itu telah sirna. Di sini kontrol pribadi sudah tidak berkekuatan
lagi sehingga diperlukan kontrol oleh Dewan atau Komisi yang dibentuk dari
Dewan Legislatif.
17
ojo Dumeh merupakan Bahasa jawa, yang diartikan sebagai Jangan Sombong, dapat
diartikan sebagai suatu peringatan agar manusia selalu ingat kepada sesamanya, saling cinta
mencintai. Mengisyaratkan agar manusia tidak larut dengan apa ayang di miliki atau di
jalaninya, sehingga cenderung menjalani keputusan hidup yang negatif.
46
1. Menjaga dan Meningkatkan Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adapun dorongan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk
mengoptimalisasikan kinerja yang telah diamanahi oleh Undang-Undang
dengan terbentuknya Dewan Pengawas yang bertujuan untuk mengawasi
jalan kerja lembaga tersebut.
Disisi lain, masyarakat telah menilai adanya penurunan terhadap kinerja
Komisi pemberantasan Korupsi pada beberapa tahun silam, dikarenakan
faktor kriminalisasi untuk menjatuhkan lembaga tersebut. Dikarenakan
besarnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan
Penindakan terhadap calon koruptor, sehingga banyak masyarakat
mengkhawatirkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berjalan pada koridor
hukum yang berlaku. Sehingga peran Dewan Pengawas sangat penting untuk
menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab terhadap
perbuatan/kinerja yang telah dilakukan oleh lembaga tersebut. Sehingga tidak
menimbulkan faktor-faktor terkait hal negatif untuk penilaian Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dampak lainya untuk menjaga Komisi
Pemberantasan Korupsi berjalan sesuai Standar Prosedur Operasional(SOP).
Menurut A.Salman Manggalatung, Guru besar Hukum Tata Negara UIN
Jakarta, dengan adanya lembaga pengawas eksternal maka dapat
meningkatkan mutu kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, disisi lain Komisi
Pemberantasan Korupsi jadi bertindak dengan penuh kehati-hatian
dikarenakan merasa telah diawasi. Selain itu mitra Komisi Pemberantasan
Korupsi di masyarakat/lembaga akan menjadi lebih baik.18
Dalam hal realita kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi menerima
laporan sedikitnya 32 laporan dugaan korupsi dalam satu hari. Namum
semenjak berdirinya lembaga tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi hanya
mampu menangani 285 kasus. Sehingga dari dampak tersebut berpengaruh
terhadap kurangnya pengawasan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam menjalankan kinerjanya. Dari situlah muncul gagasan masyarakat akan
18
A. Salman Manggalatung, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
Interview Pribadi, Ciputat, 16 Juli 2018.
47
dampak terhadap pembentukan Dewan Pengawas yang menimbulkan nilai
positif bagi peningkatan dalam menjaga kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi. Serta menjalankan sistem check and balances dalam meningkatkan
produktifitas kinerja pada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI, Komisi
Pemberantasan Korupsi selaku pemberantasan korupsi di Indonesia, dapat
menjamin semua proses penegakan hukum di Indonesia dapat dijalankan
sesuai Undang-Undang. Adanya lembaga pengawas Komisi Pemberantasan
Korupsi, KPK tidak lagi mengurus hal yang bersangkutan dengan sistem
kerja, dan hadirnya lembaga pengawas ini dapat mempermudah dan
memajukan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi.19
2. Menghindari Potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dalam persoalan penyadapan banyak topik pembicaraan untuk dijadikan
perdebatan, dikarenakan salah satu wewenang yang dimiliki pada Komisi
Pemberantasan Korupsi ialah penyadapan yang tanpa melalui jalur di
pengadilan. Persoalan ini banyak menjadi kontroversi pada kalangan
masyarakat dan pemerintahan.
Dalam hal menjalankan Undang-Undang untuk penindakan terhadap para
koruptor yang telah marak di Indonesia. Pada permasalahan penyadapan
Komisi Pemberantasan Korupsi mencari sebuah info terkait dugaan korupsi
dengan salah satu cara penyadapan, akan tetapi apabila dalam sebuah mencari
informasi terkait dugaan tersebut bila tidak terindikasi ada penyaluran dana
korupsi maka timbulah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berlaku di
Indonesia. Hak asasi manusia dapat dikatakan buah reformasi yang paling
“manis”. Hak Asasi Manusia merupakan tuntutan yang dapat diajukan
seseorang kepada orang lain sampai kepada batas-batas pelaksanaan hak
tersebut. Hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang
sebagai manusia dan bersifat universal, serta tidak memandanng apakah
19
Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI, Interview Pribadi, Jakarta, 11
Juli 2018.
48
orang tersebut kaya atau miskin, atau laki-laki maupun perempuan.20
Secara
definitif “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya
peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.21
Menurut Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI,
pentingnya sebuah lembaga pengawas untuk mengawasi Komisi
Pemberantasan Korupsi dari sifat kerja teknisnya dalam salah satu contohnya
penyadapan, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi tidak
menyalahgunakan wewenangnya. Secara sistematis orang yang diawasi
(calon tersangka korupsi) dalam penyadapan harus memiliki bukti permulaan
yang cukup baru dapat ditindak lanjuti untuk penyadapan, dan disitulah harus
diawasi, bukan asal menyadap. Pada realitanya, saat ada indikasi korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi lansung melakukan penyadapan, padahal
perbuatan tersebut melanggar hak kebebasan dari privasi setiap orang, dan
pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebebasan yang dilindungi oleh
HAM.22
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan dibentuknya Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Pengadilan
Hak Asasi Manusia adalah produk awal hak asasi manusia pasca reformasi.
Ditambah lagi, Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap dua instrumen
hak asasi manusia yang paling dasar yakni International Covenant on Civil
and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights melalui Undang-Undang No. 11 dan No. 12 tahun 2005.
Keseluruhan beleid tersebut mengatur mengenai hak sebagai manusia yang
paling dasar sehingga menjadikan pelanggaran hak yang diatur melalui
regulasi tersebut sebagai kejahatan yang paling “jahat”. Pada tahun 2003,
20
C.de Rover, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakkan HAM). (Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada, 2002) h.47. 21
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
(Jakarta : Prenada Media,2003) h.199. 22
Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI, Interview Pribadi, Jakarta, 11
Juli 2018.
49
Indonesia juga melakukan ratifikasi konvensi PBB mengenai Pemberantasan
Korupsi (United Nations Convention against Corruption).
Maka hal itu selalu menjadi persoalan dikarenakan setiap warga Indonesia
memiliki kesetaraan di muka umum dan setiap orang dapat memiliki rasa
hormat, sehingga isu ini dapat berpotensi besar terhadap lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dampak terbentuknya Dewan Pengawas
kekhawatiran masyarakat dapat terselesaikan dengan controlling yang
dilakukan Dewan Pengawas. Sehingga setiap kerja yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat dipertanggung jawabkan dengan adanya
Dewan Pengawas yang melakukan laporan yang akan disampaikan kepada
presiden selaku kepala pemerintahan.
Rancangan Undang-Undang yang dibentuk Dewan Legislatif telah
memasukan klausa terkait persetujuan izin penyadapan yang diamanahi
kepada Dewan Pengawas Komisi Pemberantas Korupsi untuk
mengkonfirmasi terkait pelaksanaan penyadapan, sehingga potensi
pelanggaran pada Hak Asasi Manusia terselesaikan dengan dibentuknya
Dewan Pengawas eksternal di lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sehingga asas legalitas akan terpenuhi terkait kinerja yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
3. Meminimalisir Penyimpangan dan Penyalahgunaan wewenang/kekuasaan
serta pelanggaran hukum.
Maraknya pelanggaran hukum pada organ pemerintah sehingga
menimbulkan kewaspadaan dengan mengantisipasi keburukan tersebut dengan
berbagai cara yang diupayakan untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan
bersih dari jenis pelanggaran. Banyak masyarakat telah mengetahui terkait
pada pelanggaran hukum yang menjatuhkan Dewan Komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi, seperti hal contoh pada kasus Abraham Samad dan
Budi Gunawan beberapa pimpinan Komisi Peberantasan Korupsi diproses
hukum untuk meminta petangung jawaban terkait kasus yang dilanggar.
Sehingga lembaga super body ini banyak mendapatkan protes masyarakat
terkait adanya pelanggaran yang dilakukan Dewan Komisioner Komisi
50
Pemberantasan Korupsi, karena harapan masyarakat dengan berdirinya
lembaga pemberantasan korupsi untuk menutup dan menimalisir pelanggaran
hukum yang spesifikasinya terkait korupsi di Indonesia, sehingga citra pada
komisi tersebut telah tercemar buruk.
Adapun gagasan dari masyarakat untuk mengawasi lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan membentuk lembaga pengawas ekternal pada
tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertujuan untuk menjadikan
Komisi Pemberantasan Korupsi berada pada koridor hukum yang ditetapkan,
dan adanya gagasan pembentukan Dewan Pengawas ini untuk memperkuat
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan fungsi, tugas dan
wewenang. sehingga pengkerdilan atau cobaan-cobaan untuk menjatuhkan
lembaga pemberantasan korupsi teratasi dengan pembentukan Dewan
Pengawas yang berada pada eksternal pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Disamping itu dewan-dewan pada Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
terawasi dengan adanya Dewan Pengawas eksternal. Selain pembentukan
lembaga baru ini diharapkan dewan-dewan komisioner pada Komisi
Pemberantasan Korupsi mendapatkan kekuatan hukum dari berbagai serangan
politisi untuk menjatuhkan dan/atau menurunkan kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Menurut Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI, harapan
dari pembentukan badan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi ialah
mengurangi peluang kebocoran sistem akibat besarnya kekuasaan yang
dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Seperti meningkatkan kualitas
kerja Komisi Pemberantasan Korupsi dan menghindari potensi Komisi
Pemberantasan Korupsi melanggar Hak Asasi Manusia setiap orang, serta
meminimalisir penyalahgunaan wewenang serta pelanggaran hukum.23
Disisi lain, Analisis kebijakan ini mengkaji lebih mendalam bagaimana
seharusnya Dewan itu dirancang (insitutional design). Tanpa Dewan Pengawas
yang dirancang dengan baik pembusukan internal KPK yang telah, sedang, dan
23
Guntur F. Prisanto, Tenaga Ahli Wakil Ketua DPR-RI, Interview Pribadi, Jakarta, 11
Juli 2018.
51
sangat mungkin terjadi di masa depan akan terus dilakukan. Tanpa pengawasan
yang efektif, KPK sangat rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Karena itu, sebelum struktur
kelembagaan dan kewenangan Dewan Pengawas dirancang, perlu diidentifikasi
terlebih dahulu berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu.
Banyak potensi pelanggaran hukum, kepatutan, dan kode etik
(misconduct) yang dapat dilakukan pimpinan dan pegawai KPK. KPK dapat
melakukan discriminative investigation, misalnya dengan tidak mengungkap
kasus tertentu, tidak menetapkan seseorang menjadi tersangka, atau tidak
menahan tersangka padahal terdapat alasan kuat untuk itu. KPK juga dapat
melambatkan, menunda, menghalangi (obstruction of justice) atau mendistorsi
proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan kasus korupsi tertentu.24
Penyidik dan penuntut KPK dapat menghancurkan, menghilangkan, dan
merekayasa barang bukti. Mereka juga dapat berkonspirasi untuk melemahkan
atau merekayasa tuntutan dan dakwaan untuk meringankan hukuman atau
bahkan membebaskan terdakwa. Selain itu, mereka dapat melanggar hukum
acara pidana dan standar operating procedure (SOP) yang sudah ditetapkan.
Pimpinan dan pegawai KPK dapat melanggar indepedensi KPK. Dengan misi
tersembunyi, mereka juga dapat menghambat kinerja KPK dengan memecah
belah solidaritas kepemimpinan KPK dan menciptakan suasana kerja yang
tidak kondusif.
Dewan Pengawas harus diberi wewenang untuk menjaga dan mengawasi
agar KPK benar-benar bertindak berdasarkan hukum dan peraturan yang
berlaku. Ia adalah penjaga the rule of the game, pengawas kode etik dan
independensi KPK. Dewan tidak mentolerir underperformance dan segala
bentuk pelemahan internal KPK. Ia akan menindak penyidik dan penuntut
KPK yang melanggar SOP dan hukum acara pidana dalam menangani suatu
kasus. Karena itu, Dewan berwenang melakukan evaluasi dan audit kinerja,
24
Roby Arya Brata, Perppu Dewan Pengawas KPK, (Jakarta: Sekretariat Kabinet
Republik Indonesia, 2015), h.144.
52
juga menyarankan corrective action. Dewan Pengawas dapat menyelidiki
mengapa Pimpinan KPK tidak segera menahan tersangka.25
Dewan Pengawas juga harus berwenang memberikan sanksi yang kuat
(punitive power). Misalnya, Dewan dapat memberikan rekomendasi kepada
Presiden untuk memecat Pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran berat,
seperti menghalangi pengungkapan kasus, melanggar independensi KPK,
melakukan kejahatan dan korupsi. Akan tetapi, mekanisme checks and
balances harus diterapkan atas rekomendasi pemecatan Pimpinan KPK ini.
Apabila Presiden setuju atas rekomendasi Dewan Pengawas, ia meneruskan
rekomendasi itu ke DPR. Jika DPR juga setuju atas rekomendasi tersebut,
maka untuk menghemat anggaran, waktu, dan menjaga kinerja KPK, DPR
dapat menggunakan mekanisme penggantian antar waktu Pimpinan KPK.
Untuk mencegah terjadinya kriminalisasi dan pelemahan KPK oleh oknum
pimpinan institusi penegak hukum lain, tindak pidana dan korupsi yang
dilakukan oleh pimpinan dan pegawai (penyidik dan penuntut umum) KPK
hanya dapat disidik dan dituntut oleh Dewan Pengawas. Selain untuk bahan
evaluasi dan audit kinerja, karena itu, Dewan memiliki akses penuh terhadap
informasi dan dokumen KPK. Untuk kepentingan pemeriksaan Dewan, setiap
keputusan Pimpinan KPK harus dicatat dan dimungkinkan voting dan
dissenting opinion.26
Penyidik dan penuntut KPK hanya dapat dipecat atau dikembalikan ke
instansi asal oleh Dewan, atas usulan Pimpinan KPK atau inisiatif Dewan.
Mereka dipecat karena kinerja yang buruk, pelanggaran hukum, SOP, dan kode
etik. Pegawai administrasi KPK, dengan alasan yang sah, cukup diberhentikan
oleh Pimpinan KPK.
Pengambilan keputusan Dewan dilakukan dengan konsensus, transparan,
dan terbuka untuk umum (public inquiry). Akan tetapi, atas usul satu dari lima
anggota Dewan, keputusan harus diambil dengan voting. Keputusan dicatat dan
dimungkinkan dissenting opinion. Dewan tidak berwenang mengintervensi
25
Roby Arya Brata, Perppu Dewan Pengawas KPK, h.146. 26
Roby Arya Brata, Perppu Dewan Pengawas KPK, h.146.
53
proses penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan oleh KPK. Pimpinan,
penyidik, dan penuntut KPK dapat mengadukan dugaan pelanggaran kode etik
dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan anggota Dewan kepada suatu
dewan kehormatan ad hoc.
Menurut A. Salman Manggalatung, Guru Besar Hukum Tata Negara UIN
Jakarta, menyatakan bahwa lembaga pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi
diharapkan dipilih dengan cara selektif dan diisi oleh orang-orang yang
berintegritas tinggi serta memiliki moral yang baik. Disisi lain lembaga
pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan diisi oleh tokoh-tokoh
masyarakat maupun akademisi bukan dari politisi, sehingga tidak timbul
tendensi politik dalam lembaga pengawas ekternal Komisi Pemberantasan
Korupsi.27
Dewan Pengawas juga harus berwenang memberikan sanksi yang kuat
(punitive power). Misalnya, Dewan dapat memberikan rekomendasi kepada
Presiden untuk memecat Pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran berat,
seperti menghalangi pengungkapan kasus, melanggar independensi KPK,
melakukan kejahatan dan korupsi. Akan tetapi, mekanisme checks and
balances harus diterapkan atas rekomendasi pemecatan Pimpinan KPK ini.
Apabila Presiden setuju atas rekomendasi Dewan Pengawas, ia meneruskan
rekomendasi itu ke DPR. Jika DPR juga setuju atas rekomendasi tersebut,
maka untuk menghemat anggaran, waktu, dan menjaga kinerja KPK, DPR
dapat menggunakan mekanisme penggantian antar waktu Pimpinan KPK.
Dalam penggantian antar waktu ini, DPR langsung menetapkan calon
Pimpinan KPK yang menduduki ranking teratas namun tidak lolos dalam
seleksi di DPR. Kemudian Presiden mengangkat pengganti Pimpinan KPK itu.
27
A. Salman Manggalatung, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
Interview Pribadi, Ciputat, 16 Juli 2018.
54
Karena itu, panitia seleksi Pimpinan KPK wajib membuat perankingan calon
pimpinan KPK, dan idealnya DPR menerima perankingan ini. Namun bila
DPR tidak menerima perankingan panitia, ia dapat membuat perankingan
sendiri. Sebaliknya, bila Presiden dan DPR tidak setuju atas rekomendasi
pemecatan dari Dewan Pengawas maka Pimpinan KPK tersebut dapat aktif
bekerja kembali. Jika Presiden tidak setuju namun DPR setuju pemecatan,
maka DPR menggunakan sistem perankingan di atas dan Presiden melantik
pengganti Pimpinan KPK itu. Pimpinan KPK yang diusulkan dipecat dapat
melakukan pembelaan di depan DPR. Namun demikian, apabila integritas dan
kinerja Pimpinan KPK sangat baik, Dewan dapat merekomendasikan kepada
DPR maksimal dua orang Pimpinan KPK untuk dipilih kembali.
Untuk mencegah terjadinya kriminalisasi dan pelemahan KPK oleh oknum
pimpinan institusi penegak hukum lain, tindak pidana dan korupsi yang
dilakukan oleh pimpinan dan pegawai (penyidik dan penuntut umum) KPK
hanya dapat disidik dan dituntut oleh Dewan Pengawas. Selain untuk bahan
evaluasi dan audit kinerja, karena itu, Dewan memiliki akses penuh terhadap
informasi dan dokumen KPK. Untuk kepentingan pemeriksaan Dewan, setiap
keputusan Pimpinan KPK harus dicatat dan dimungkinkan voting dan
dissenting opinion.
Dapat ditarik beberapa point dari dampak pembentukan Badan Pengawas
Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya adalah:
1. Menjaga dan meningkatkan Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Menghindari Potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
3. Meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang/kekuasaan
serta pelanggaran hukum.
Dari beberapa dampak pembentukan tersebut dapat dinilai atas
terbentuknya Dewan Pengawas pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
55
dapat menjadikan sebuah lembaga anti rasuah tersebut berada pada koridor
hukum. Sehingga dimasa yang akan datang tidak ada kekhawatiran dari
masyarakat maupun pemerintah yang menilai Komisi Pemberantasan Korupsi
buruk.
56
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya, berikut disajikan
kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini,
yaitu:
1. Faktor penyebab pembentukan Badan Pengawas Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah adanya potensi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran
hukum dan penegakan kode etik oleh oknum pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat
mempertanggung jawabkan setiap tindakan dan keputusan yang dibuatnya.
Karena itu, kerangka akuntabilitas yang kuat dan komprehensif harus
didesain agar Komisi Pemberantasan Korupsi dapat bekerja optimal sesuai
tugas, fungsi, dan kewenangan hukumnya. Pengawas internal Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak cukup dan tidak akan mampu mencegah
penyimpangan dan pembusukan Komisi Pemberantasan Korupsi itu,
sebagaimana yang terjadi dalam krisis kepemimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi sekarang. Badan Pengawas harus diberi wewenang untuk menjaga
dan mengawasi agar Komisi Pemberantasan Korupsi benar-benar bertindak
berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku.
2. Dampak pembentukan Badan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi
terhadap Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yakni menjaga dan
meningkatkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi, menghindari potensi
penlanggaran Hak Asasi Manusia, meminimalisir penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang/kekuasaan serta pelanggaran hukum. Adapun
aturan mengenai Badan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi
dimasukkan dalam Pasal 37A sampai 37F RUU Komisi Pemberantasan
Korupsi. Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dipresepsi menjadi
lembaga superbody, sehingga dibuatlah Badan Pengawas yang diharapkan
57
dapat mengawasi komisi antirasuah ini. Ada Badan Pengawas yang
mengawasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan bertanggung jawab kepada
Presiden, di sisi lain ada Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
segala kewenangannya masing-masing.
B. Rekomendasi
1. Hendaknya pemerintah dan DPR meninjau kembali mengenai pembentukan
Badan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, agar nantinya Badan
Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi ini tidak menghambat kinerja dari
Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan dapat melemahkan Komisi
Pemberantasan Korupsi, yang bertujuan untuk memperkuat pola kerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam memberantas korupsi.
2. Apabila ternyata Badan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi jadi
dibentuk, hendaknya wewenang Badan Pengawas Komisi Pemberantasan
Korupsi ini hanya untuk mengawasi Komisi Pemberantasan Korupsi apakah
sudah sesuai dengan SOP dari Undang-Undang yang berlaku, dan Badan
Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi tidak ikut campur dalam proses
penyidikan.
58
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU:
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006.
--------------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
sekertariat jendral dan kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI Jakarta: cet-1
2006.
Brata, Roby Arya, Perppu Dewan Pengawas KPK, Jakarta: Sekretariat Kabinet
Republik Indonesia, 2015.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2003.
Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi, Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK edisi kedua, Sinar
grafika, Jakarta, 2010.
Fickar Hadjar, A, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, Jakarta: KRHN dan Kemiyraan, 2003.
Huda, Ni’matul, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, cet. Ke-1,
Yogyakarta: UII Press, 2007.
Ida, Laode, Negara mafia. Yogyakarta: Galang Press, 2010.
Komisi Hukum Nasional Indonesia, Laporan Akhir Administrasi Peradilan:
Pembentukan Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu, Jakarta:
MaPPi-FHUI, 2003.
Lin, Blocher, Chen, Manajemen Biaya Buku I, Jakarta: Salemba Empat, 2000.
Maheka, Arya, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta: KPK RI, tt
Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.
59
MD, Moh, Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen
Konstitusi), cet. Ke-2 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Montesquieu, The Spirit of the Law, translated by Thomas Nugent, New York:
Hafner Press, 1949.
Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002.
Rover C. De, To Serve and To Protect (Acuan Universal Penegakkan HAM).
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
Roy, Crince le, Kekuasaan ke-empat pengenalan ulang, diterjemahkan oleh
soehadjo, tanpa cetakan, semarang: 1981.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 2014.
Styawati,Deni, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, Yogyakarta:pustaka timur 2008
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada ,2012.
Sunggu ,Tumbhur Ompu, Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penegakan Hukum di Indonesia Yogyakarta :Total media 2012.
Syamsudi, M, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta : Prenada Media,2003.
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta:
Balai pustaka, 2007.
Zoelva, Hamdan, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
60
Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undan-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas
Tindak Pidana Korupsi
Jurnal :
Iksan, Muchamad “Asas Legalitas dalam Hukum Pidana”, jurnal serambi hukum,
vol. 11 (Februari-Juli 2017)
Ismail, “Fungsi Penyidik KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002”, Jurnal Ilmu Hukum Legal
Opinion, vol.01 No.02, (2013).
Kusuma, R.M.A.B., “sistem Pemerintahan dengan Prinsip “check and balances”
Jurnal konstitusi, Vol. 1 Nomor 2 Desember 2004
Nugroho, Hibnu,“Efektivitas Kordinasi dan Supervisi dalam penyidikan Tindak Pidana
Korupsi oleh KPK”, Jurnal Dinamika Hukum, vol. 13 no. 3 September (2013).
S., Ujang Charda, “Potensi Penyalahgunaan Kewenangan oleh Pejabat
Administrasi Negara dalam Pengambilan dan Pelaksanaan Kebijakan Publik”,
Jurnal Wawasan Hukum, vol.27 No.02 September (2012).
http://e-journal.uajy.ac.id/3551/3/2EA16466.pdf
Situs Web :
http://news.liputan6.com/read/3078042/ada-potensi-penyalahgunaan-wewenang-
di-tubuh-kpk
61
https://kgsc.wordpress.com/prinsip-dasar-kekuasaan
ICAC, Independence/Accountability, yang diakses dari
http://www.icac.nsw.gov.au/go/ the-icac/what-is-the-icac/independence/-
accountability
www.kpk.go.id
www.radarkontra.com
F
SURAT KETERAN]CAN TELAH MELAKUKAN WAWANCARA
Saya yang befiandatangan dibawah ini :
Narna
Jabatan
Nama
Nim
lnstansi
: Prof. Dr. H. A. Salman Manggalatung, S.H., M.H.
: Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum
Dengan ini Menerangkan bahwa :
: Tomy Marlin Manday
:1113048000013
: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Benar benar telah melakukan warvancara yang berkaitan dengan judul penelitian STUDI
KONSEPTUAL MENGENAI BADAN PENGAWAS KOMISI PEMBER-q.NTASAN
KORUPSI' Demikian surat keterangan ini agar dapat digunakan sebagaimana mestinya
16 Juli 2018
F
I
Saya yang
Nama
Jabatarr
Dr. Guntur F. Prisanto, SE, SH, MHum, MHTeruga Ahli Wakil Ketua DPR-RI
DPR RI - Cedmg Nmtara III I.t- 4Jl. fenC. Catot Subroto lakarta 7O27O Telp-V21-5715519 Fax.021-57?6971
18 7,75 225€ mail: g-.rntur74€idord.com
SURAT KETERANGAN TELAH MELAKUKAN WAWANCARA
bertandatangan Jibawah ini :
: Dr. GunturF. Prisanto, S.8., S.H., M.Hum., M.H.
,.T.ew l.!!!... yh*:! K(s A{tP - ?i
Dengan ini Menerangkan bahwa :
Nama : Tomy Marlin Manday
Nim : 1t 13048000013
lnstansi : universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta
Benar benar telah melakukan wa\+'ancra yang bsrkaitan dengan judul penelitian STUDI
r\ONSEPTUAL MENGENAI BADAN PE}iGAWAS KOMISI PEMBERANTASAN
KoRUFSI. Demikian surat keterangan ini agar dapatdigunakan sebagairnana mestinya
I
Jakarta, ll Juli 2018
TRANSKRIP WAWANCARA PENELITIAN
Prof. Dr. H. A. Salman Manggalatung, S.H., M.H.
1. Bagaimana menurut bapak tentang pengawasan?
Pengawasan itu ialah rangkaian kegiatan mengawasi guna untuk memperbaiki dan
meluruskan apa yang organisasi lakukan tersebut sudah berjalan sesuai dengan
apa yang telah ditentukan, untuk mencapai tujuan tertentu. Dan disamping lain
berguna untuk membatasi setiap wewenang intistusi tersebut karena di
khawatirkan bertidak sewenang-wenang.
2. Bagaimana menurut bapak, KPK sebuah lembaga independen yang tidak memiliki
pengawasan?
Menurut saya, penting adanya lembaga pengawas untuk Komisi Pemberantasan
Korupsi dikarenakan lembaga yang bersangkutan tidak betindak sewenang-
wenang walaupun sudah memiliki aturan, dan jangan terlalu menjadikan lembaga
yang superbody, karena berdampak terjadinya arogansi lembaga karena lembaga
tersebut merasa tidak ada yang mengawasi. Yang menurut lembaga/orang lain itu
bisa berdampak abuse of power karena hal itu, tidak ada rasa yang mengawasi
disebuah lembaga tersebut. Karena pada dasarnya ada pengawasan internal
disebuah lembaga indepeden tidak dapat menjamin bahwa sistem yang dijalankan
telah pada koridor hukum yang ditetapkan.
3. Apa faktor dari pembentukan badan pengawasan KPK?
Dari segi pelaksanaan, Komisi Pemberantasan Korupsi harus diawasi dari bidang
penyidikan maupun penyelidikannya. Dan dari segi fungsi anggaran itu harus
diawasi karena tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk menangani sebuah kasus korupsi. Karena anggaran yang dimiliki
KPK mencapai 3 Triliun itu sangat besar, jadi itu salah satu faktor dorongan
lembaga independen ini harus diawasi. Jadi semua manusia yang terlibat di
lembaga tersebut dari unsur pimpinan sampai unsur pelaksana tugas harus
diawasi.
4. Bagaimana dampak dari pembentukan badan pengawas KPK?
Banyak dampak yang dapat diperoleh yakni, Komisi Pemberantasan Korupsi jadi
bertindak dengan penuh kehati-hatian, dan mitra ke masyarakat dan lembaga-
lembaga lainnya jadi lebih baik karena lahirnya lembaga pengawas yang
mengawasi KPK. Karena pada sebelumnya KPK dalam menjalankan
kewajibannya dinilai lemah.jadi lahirnya lembaga ini bedampak positif buat KPK.
Disisi lain lembaga pengawas KPK ini dipilih harus selektif dan diisi oleh orang-
orang yang berintegritas dan moral yang tinggi, tetapi tidak dari partai politik,
melaikan dari akademisi, tokoh masyarakat sehingga tidak timbul kandungan nilai
politik di dalam lembaga pengawas ekternal KPK tersebut.
Diketahui
.....................................
TRANSKRIP WAWANCARA PENELITIAN
Dr. Guntur F. Prisanto, S.E., S.H., M.Hum., M.H.
1. Bagaimana menurut bapak tentang pengawasan?
Kalau bicara tentang pengawasan, kita bicara pada konteks demokrasi, tidak ada
manusia benar-benar jahat dan tidak ada manusia benar-benar baik, jadi manusia
itu posisinya rata-rata. Disatu sisi kita tidak boleh mencurigai manusia dengan
berlebihan tapi disisi lain jangan menganggap manusia itu tidak pernah punya
potensi salah maka dari itu diperlukanlah sistem pengawasan untuk menghindari
abuse of power.
2. Adakah undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang pentingnya
pegawasan disetiap lembaga?
Pada prinsipnya, indonesia menganut sistem trias politica. Dan KPK itu termasuk
dari bagian eksekutif maka perlu lembaga yang mengawasi. Selama ini DPR
mengawasi semua lembaga negara yang mendapat dana dari APBN, tetapi yang
dimaksud pengawasan disini lebih bersifat teknis dan DPR tidak bisa masuk
keranah tersebut. Karena dikhawatirkan terjadinya konflik of intres. Memang
perlu sebuah lembaga pengawas untuk mengawasi KPK dari sifat kerja teknisnya
dalam salah satu contoh penyadapan, sehingga KPK tidak menyalahgunakan
wewenangnya di lembaga tersebut. Menurut pak guntur secara sistematis orang
yang diawasi dalam artian penyadapan harus memiliki bukti permulaaan yang
cukup baru dapat ditindak lanjuti untuk penyadapan dan disitulah harus diawasi.
Konon kabarnya komisioner KPK tidak tau disadap itu siapa. Jadi ada SOP
(standar operasional prosedur) internal di KPK sebetulnya hukum acara dan SOP
tersebut tidak pernah diuji dan orang lain tidak tahu kelayakan SOP yang dibuat
KPK tepat atau tidak. Dan itu melanggar prinsip demokrasi jadi disamping itu
perlualah lembaga pengawas, guna untuk mengawasi sistem yang ada di KPK.
3. Bagaimana menurut bapak, KPK sebuah lembaga independen yang tidak memiliki
pengawasan ekternal?
Jadi seharusnya indepedensinya itu adalah dalam dia melakukan tupoksinya, dia
tidak harus bertanya kepada siapapun (lembaga lain) untuk menjalankan
pemberantasan korupsi, dari hal penyidikan dan penyelidikan karena tupoksinya
dijamin oleh Undang-Undang. Tetapi harus ada yang mengawasi dalam artian
bahwa KPK itu menjalankan amanat dari undang-undang, tidak boleh malakukan
lebih dari yang dimanatkan undang-undang, tidak boleh melakukan hal yang
berpotensi melanggar hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Pada realitanya
sekarang dengan membawa nama pemberantasan korupsi, KPK semena-mena
melakukan penyadapan, dan itu tidak tepat jadi jangan sampai agenda
pemberantasan korupsi tersebut lebih besar dibandingkan dengan
mempertahankan nilai-nilai demokrasi di indonesia, prinsip kebebasan individu
itu harus dijaga.
Independen itu dalam arti menjalankan tupoksinya tetapi tidak berarti tidak
diawasi, pada prinsipnya manusia pasti pernah melakukan kesalahan.
4. Bisakah terjadinya hal-hal politik yang pernah disampaikan pak fahri apabila KPK
tidak dibentuk lembaga pengawas? Hal politik apasaja yang dapat dilakukan?
Jadi itu yang di khawatirkan, buat sebagian masyarakat ini bisa dibuat sebagai
rumor, Nilai-nilai politik itu bisa saja terjadi dalam hal kinerja KPK, dalam
menjalankan hak angket KPK oleh regulator dalam bisik-bisikan sering sekali
merasa dikerjain dengan cara menangkap anggota DPR dalam artian KPK itu
mempunyai target-target tertentu, dalam targetnya tersebut KPK banyak
menargetkan kepada politisi-politisi. Ada 2 tipe politik di dunia ini, yang pertama
politik yang dibiayai oleh negara jadi politisi ini hanya memikirkan gagasan saja,
yang kedua politik pembiayaannya dari partai-partai politik, seperti contoh
kecilnya antara pengusaha dan lobby’s dengan mempertahanakan nilai-nilai yang
ada dipasal tersebut, tetapi pihak regulator tidak ikut campur dan tidak menerima
suap untuk kepentingan pribadi antara lobby’s dan pengusaha tersebut sehingga
perjanjian tersebut mempunyai feedback antara pengusaha dan warga negara
indonesia dan itu legal, tidak menyimpang dari aturan. Walaupun di indonesia
belum mengatur secara jelas sitem berpolitik. Pemerintah membiayai Rp 1000
perlembar suara pada saat pemilu, dan jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Uang
tersebut digunakan untuk pembiayaan operasional partai. Dan dari jumlah
pembiayaan tersebut tidak mencukupi sehingga kader politisi ini mencari uang
dengan cara mereka sendiri, karena tidak ada aturan yang mengatur, akhirnya
kebanyakan politisi salah jalan menggunakan haknya. Pada akhirnya kita melihat
korupsi di indonesia merupakan dampak dari keserakahan manusia. Kembali lagi
ke sistem demokrasi tidak ada orang yang benar-benar baik dan benar-benar jahat,
jadi karena antara kebutuhan dan peluang mereka mau mengambil tindakan
tersebut. Dikarenakan biaya berpolitik di indonesia ini sangatlah besar sehingga
indonesia perlu membentuk pembiayaan partai politik oleh negara dan kembali
lagi tidak lepas dari keserakahan manusia.
5. Apa nilai positif ketika dibentuk lembaga pengawas KPK?
Dapat menjamin bahwa semua proses penegekan hukum di indonesia dapat
dijalankan dengan cara sesuai dengan Undang-Undang, jadi adanya pegawasan,
KPK tidak lagi mengurus hal-hal mekanisme kerja, dengan adanya lembaga
pengawas ini dapat mempermudah cara kerja KPK dengan prosedur-prosedur
yang ditetapkan oleh lembaga pengawas, sehinggi tidak lagi menjadi buah bibir
dimasyarakat. Dapat menaikan citra KPK ke masayarakat dan melepaskan
kecurigaan politisi terhadap KPK.
6. Apa nilai negatif ketika dibentuk lembaga pengawas KPK?
Nilai negatif ini dapat diantisipasi kita bisa memastikan di dalam lembaga
pengawas diisi oleh orang-orang yang berkopeten dan memiliki intergritas yang
tinggi dan tidak lekang dari pengalaman dibidang hukum
7. Apa faktor dari pembentukan pengawasan KPK?
Badan pengawas ini jangan dicurigai, antara kedua belah pihak. Dan selama ini
motornya hanya dari DPR dan KPK. Hadirnya badan pengawas ini bertujuan
untuk menghilangkan kecurigaan-kecurigaan dan kebocoran sistem karena KPK
intitusi yang kewenangannya sangat besar. Jadi kita harus membangun sistem fear
dari demokrasi yang setiap manusia itu sama dalam artian melakukan kebaikan
dan melakukan kejahatan. Pada realitanya penyidik KPK begitu keluar dari
lembaga tersebut balik ke kepolisian ternyata ditangkap dengan terima suap. Jadi
haruslah kita membuat sistem untuk menantisipasi terjadinya hal penyelewengan,
dengan timbul gagasan pembentukan lembaga pengawas KPK ini akan banyak
memberi nilai positif baik bagi KPK maupun masyarakat dan lembaga lainnya.
Seperti kekhawatiran legislatif kepada KPK, dengan adanya lembaga pengawas
sedikitnya akan berkurang monitoring DPR terhadap KPK karena telah ada yang
mengawasi.
8. Bagaimana dampak dari pementukan badan pengawas KPK?
Harapan dari pembentukan badan pengawas KPK ialah mengurangi peluang
terjadinya kebocoran sistem akibat besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh KPK.
Seperti meningkatkan mutu kerja KPK dan mengindari potensi KPK dalam
melanggar hak asasi setiap manusia dalam hal penyadapan serta dapat
meminimalisir penyalahgunaan wewenang serta pelanggaran hukum.
Diketahui
..............................