Upload
soni-sangteknik
View
289
Download
23
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sosialisasi
A.1. Pengertian Sosialisasi
Brim (dalam Brice, 1994) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses
dimana seseorang memperoleh pengetahuan, kemampuan dan dasar yang
membuat mereka mampu atau tidak mampu menjadi anggota dari suatu kelompok.
Pengertian ini memandang sosialisasi sebagai suatu proses belajar dimana
individu belajar dan mendapatkan nilai dari kelompok-kelompok yang
dimasukinya.
Pengertian tersebut juga sejalan dengan pengertian dari Zigler dan Child
(dalam Brice, 1994) yang menyatakan bahwa sosialisasi adalah keseluruhan
proses dimana individu mengembangkan, melalui proses transaksi dengan orang
lain, bentuk-bentuk khusus dari perilaku dan pengalaman yang berhubungan
dengan sosialnya. Pengertian ini menekankan pada hubungan dengan orang lain
dalam pembentukan sosialisasi bukan hanya pada proses perkembangan saja.
Sosialisasi merupakan suatu proses dari perkembangan individu yaitu disposisi
perilaku dan hubungan dengan orang lain, bukan hanya keluarga tetapi juga
semua orang yang bertransaksi dengan orang tersebut.
Menurut Hurlock (1998), sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang
memperoleh kemampuan sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan
Universitas Sumatera Utara15
sosial. Kemampuan sosial ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan sosial
anak.
Sosialisasi adalah suatu proses pembentukan standar individu tentang
keterampilan, dorongan sikap dan perilaku agar dapat berjalan sesuai dengan
tuntutan dan harapan masyarakat (Hetherington dan Parke, 1999). Pembentukan
standar individu tersebut didapatkan dari orangtua sejak dari lahir sampai dewasa.
Sosialisasi merupakan suatu proses sepanjang hidup sejak dari lahir sampai akhir
hidup.
Papalia (2003) menyatakan bahwa sosialisasi adalah proses
mengembangkan kebiasaan, nilai-nilai, perilaku dan motif untuk dapat menjadi
anggota masyarakat. Proses tersebut bermula dari keluarga sebagai tempat anak
melakukan kontak pertama dan berkembang terus selama kehidupan anak.
Pengertian ini juga mencakup mengenai proses transaksi dengan orang lain dalam
lingkungan sekolah, maupun dengan teman sebayanya. Sosialisasi bergantung
pada proses internalisasi standar-standar sosial yang berlaku dalam kelompok.
Anak-anak menerima standar sosial tersebut atau tidak tergantung pada rasa aman
yang dirasakan oleh anak tersebut di dalam kelompoknya (Papalia, 2003).
Ambron (dalam Yusuf, 2005) mengatakan bahwa sosialisasi adalah suatu
proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial
sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah
suatu kemampuan individu untuk dapat berinteraksi secara baik dengan
Universitas Sumatera Utara16
lingkungan dan memperoleh nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungannya.
Sosialisasi ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang itu berada.
A.2. Agen Sosialisasi
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya,
baik orangtua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya.
Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang
terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai
perkembangan sosialnya secara matang. Apabila lingkungan sosial itu kurang
kondusif, seperti perlakuan orang tua yang kasar, maka anak cenderung
menampilkan perilaku maladjustment (Yusuf, 2005).
Elkin (dalam Brice, 1994), megemukakan bahwa agen sosialisasi adalah
kelompok-kelompok dimana suatu individu mendapatkan proses belajar
sosialisasi. Agen-agen sosialisasi tersebut adalah: (1) Keluarga, (2) Teman sebaya,
(3) Sekolah, dan (4) Media. Setiap agen sosialisasi memiliki bentuk dan nilai yang
berbeda bagi proses sosialisasi anak.
A.2.a. Keluarga
Keluarga merupakan agen sosialisasi anak yang paling awal, dimana
keluarga merupakan tempat pertama anak melakukan hubungan sosial. Anak akan
membawa ingatan mengenai hubungan keluarganya dalam melakukan kontak
sosial dengan sahabat, guru, tetangga dan lainnya (Hetherington dan Parke, 1999).
Universitas Sumatera Utara17
Wahini (2002) mengemukakan bahwa keluarga merupakan tempat
pertama dan utama terjadinya sosialisasi pada anak. Pengaruh paling besar
selama perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya terjadi dalam
keluarga. Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam
pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemauan anak
akan ikut menentukan proses perkembangannya. Kepribadian orangtua sangat
besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak.
Anggota keluarga yang pertama yang paling berpengaruh dalam proses
sosialisasi adalah orangtua. Bentuk pengasuhan, sikap orangtua terhadap anak
semuanya dapat mempengaruhi proses sosialisasi anak kedepannya (Hethrington
& Parke, 1999).
Kehangatan dari orang tua dalam mengasuh anak sangat penting dalam
proses sosialisasi. Orangtua yang hangat dan penuh kasih, akan membuat anak
merasa aman dan berusaha untuk mempertahankan hubungan tersebut. Anak juga
akan merasa nyaman dan mengurangi nilai stres dari anak sehingga anak mampu
bersosialisasi dengan baik (Baumrind dalam Hetherington & Parke, 1999).
Tujuan dari sosialisasi adalah membuat anak mampu untuk mengatur dan
memilih perilaku yang tepat dalam berhubungan sosial. Peran kontrol keluarga
juga sangat berperan dalam menjaga hubungan sosial anak. Apabila orang tua
konsisten dalam menerapkan disiplin keluarga maka anak juga akan menerima
dan menginternalisasi aturan keluarga dengan baik (Crockenberg & Litman dalam
Hetherington & Parke, 1999).
Universitas Sumatera Utara18
Menurut Kopp (dalam Hetherington & Parke, 1999), tantangan dalam
mendidik sosialisasi anak adalah bukan suatu uji coba, orangtua perlu untuk
membimbing anaknya agar dapat menyesuaikan diri dengan keluarga dan
lingkungan. Kemampuan anak dalam sosialisasi tidak hanya berpengaruh dalam
hubungan keluarga dengan interaksi sosial lainnya tetapi merupakan suatu
kemampuan sosial sepanjang hidup dan berperan dalam perkembangan emosional
dan perkembangan lainnya.
Hubungan dengan para anggota keluarga tidak hanya semata-mata dengan
orang tua saja, tetapi juga dengan saudara. Tidak hanya satu anggota keluarga
yang mempengaruhi sosialisasi pada anak. Cicirelli (dalam Santrock, 1997)
mengemukakan bahwa ada bukti yang menyatakan bahwa hubungan saudara
mungkin lebih kuat pengaruhnya pada sosialisasi anak daripada hubungan anak
dengan orang tua.
Menurut Katz (dalam Hetherington & Parke, 1999), hubungan saudara
mungkin merupakan konteks utama bagi anak dalam mempelajari bagaimana
bersaing dengan orang lain, bagaimana bertoleransi dengan orang lain. Persaingan
dalam hubungan tidak akan menghilangkan hubungan sehingga merupakan awal
dalam belajar berhubungan dengan orang lain.
Keluarga besar juga menjadi salah satu pengaruh besar dalam sosialisasi
anak. Keluarga besar yang terdiri dari kakek, nenek dan keluarga inti, interaksi
yang terjadi dalam keluarga semakin tinggi. Santrock (1997) menyatakan bahwa
keluarga besar dapat mengurangi kadar stres yang terjadi pada anak-anak.
Universitas Sumatera Utara19
Interaksi dalam keluarga besar khususnya kakek dan nenek kepada anak-anak
menyebabkan rasa aman bagi anak dan mengurangi kadar stres bagi anak.
Keluarga besar juga memberikan dorongan emosional bagi anak-anak
sehingga dapat memaksimalkan perkembangan emosional anak. Kehadiran nenek
juga memberikan dorongan emosional kepada orangtua melalui nasehat dan
bimbingan (Santrock, 1997).
Berdasarkan uraian di atas, keluarga merupakan agen sosialisasi yang
paling awal dalam perkembangan anak-anak, dimana pihak yang berpengaruh
adalah orangtua, saudara kandung, dan juga keluarga besar lainnya.
A.2.b. Teman Sebaya
Teman sebaya memainkan peranan yang khusus dalam perkembangan
anak. Hubungan anak dengan orangtuanya lebih sering, walaupun demikian
interaksi diantara teman sebaya lebih bebas dan egaliter. Hubungan dengan teman
sebaya menawarkan kesempatan kepada anak-anak untuk mengeksplorasi
hubungan interpersonal yang baru. Hubungan itu menjadi dasar bagi anak dalam
perkembangan kemampuan sosialnya (Hetehrington & Parke, 1999).
Teman sebaya adalah anak-anak yang memiliki usia yang setara dan tahap
kematangan yang sama (Santrock, 1997). Salah satu fungsi yang utama dari teman
sebaya adalah menyediakan informasi dan perbandingan mengenai dunia di luar
lingkungan keluarga bagi anak. Anak-anak menerima masukan mengenai
kemampuan mereka dari teman sebayanya. Anak-anak mengevaluasi apa yang
mereka lakukan berdasarkan nilai dari teman sebayanya.
Universitas Sumatera Utara20
Menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1998), teman sebaya adalah
kumpulan orang-orang yang kurang lebih berusia sama yang berpikir dan
bertindak bersama-sama. Kelompok teman sebaya ini disebut Havighurts sebagai
geng. Anak-anak menjadi anggota suatu kelompok teman sebaya yang secara
bertahap menggantikan keluarga dalam mempengaruhi perilakunya.
Hubungan teman sebaya yang baik sangat penting bagi perkembangan
sosial anak-anak. Isolasi sosial, sangat berperan kuat dalam berbagai masalahmasalah sosialisasi anak (Santrock, 1997). Suatu studi yang dilakukan oleh Roff,
Sells, & Golden (dalam Santrock, 1997) menyatakan bahwa hubungan dengan
teman sebaya yang kurang baik berhubungan dengan kecenderungan untuk keluar
dari sekolah, perilaku delinkuen ketika masa dewasa.
Seiring dengan perkembangan anak dan hubungannya dengan teman
sebaya, pertukaran negatif dan konflik juga semakin meningkat (Hay & Ross
dalam Hetherington & Parke, 1999). Menjadi sociable dan mendapatkan konflik
selalu berjalan beriringan. Anak-anak yang sering mengalami konflik dengan
teman sebaya biasanya lebih mudah berinteraksi dengan orang lain (Brown &
Brownell dalam Hetherington & Parke, 1999).
Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa teman sebaya merupakan
sumber informasi bagi anak-anak dalam berhubungan dengan orang lain. Teman
sebaya dalam perannya sebagai sumber informasi dapat menjadi reinforcer, model
dan juga pembanding yang menyediakan kesempatan bagi anak-anak untuk
bersosialisasi dan belajar.
Universitas Sumatera Utara21
Adapun fungsi teman sebaya dalam sosialisasi anak menurut Hetherington
& Parke (1999) adalah:
1. Teman Sebaya sebagai Reinforcer
Anak-anak cenderung untuk berbagi dengan teman sebaya daripada
dengan orang tuanya (Chalesworth & Hartup dalam Hetherington & Parke, 1999).
Banyak orangtua yang menemukan bahwa anak-anak lebih mendengarkan nasehat
teman sebaya daripada nasehat orang tuanya.
Tidak diragukan lagi bahwa dorongan teman sebaya dalam bentuk
penerimaan dan perhatian mempengaruhi sosialisasi anak. Berbagai studi
membuktikan bahwa peranan teman sebaya dalam membentuk tingkah laku anakanak apakah ke arah positif ataupun negatif sangat besar (Hetherington & Parke,
1999).
2. Teman Sebaya sebagai Model
Teman sebaya juga mempengaruhi anak-anak dengan berperan sebagai
model. Anak-anak mendapatkan pengetahuan yang luas mengenai berbagai jenis
respon melalui pengamatannya terhadap perilaku anak-anak lainnya (Papalia,
2003). Anak-anak juga belajar kemampuan sosial melalui imitasi, modeling
terhadap anggota kelompok yang lebih dominan (Hetherington & Parke, 1999).
3. Teman Sebaya sebagai Pemandu dan Instruktur
Teman sebaya menyediakan kesempatan untuk bersosialisasi dan
mengembangkan hubungan dan rasa memiliki (Zarbatany et al. dalam
Hetehrington & Parke, 1999). Teman sebaya berperan dalam memberikan
informasi dan masukan bagi teman sebaya lainnya. Hubungan ini bersifat dua arah
Universitas Sumatera Utara22
dimana teman sebaya saling memberi informasi dan masukan serta panduan bagi
teman sebaya lainnya.
A.2.c. Sekolah
Tujuan utama dari sekolah adalah untuk mengembangkan dan
mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Sekolah membantu anak
mendapatkan orientasi abstrak simbolis mengenai dunia, yang membuat anakanak mampu mengembangkan kemampuan berpikir mengenai konsep umum,
peraturan, dan situasi tertentu.
Sekolah tidak hanya mengajarkan pengetahuan umum saja, sekolah juga
mengajarkan anak-anak untuk berpikir mengenai dunia dalam berbagai cara. Hal
ini membuat fungsi sekolah bukan hanya mengembangkan kemampuan kognitif
anak tetapi juga kemampuan sosial anak (Hetherington & Parke, 1999).
Sekolah khususnya TK dan RA difokuskan pada peletakan dasar-dasar
pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangannya. Penyelenggaraan TK dan RA secara khusus
bertujuan untuk memantapkan perkembangan fisik, emosi, dan sosial untuk siap
mengikuti pendidikan berikutnya (Megawangi, Latifah, & Dina, 2005).
Menurut Megawangi dkk (2005), kemampuan sosialisasi merupakan salah
satu yang difokuskan dalam pendidikan anak usia dini. Anak-anak diharapkan
mampu berinteraksi dengan orang lain dan berkomunikasi secara efektif.
Penelitian oleh Epstein (dalam Hetherington & Parke, 1999) membuktikan
bahwa sekolah bersama dengan keluarga dan teman sebaya mempengaruhi anak
Universitas Sumatera Utara23
dalam perkembangan orrientasi nilai anak, perkembangan jiwa politik dan
motivasi anak.
A.2.d. Media
Media meliputi Koran, majalah, buku, radio, televisi dan berbagai jenis
alat komunikasi lainnya yang mencapai jumlah pendengar yang besar yang
disampaikan melalui medium impersonal antara pengirim dan penerima. Media
tidak langsung mempengaruhi interaksi seperti halnya agen sosialisasi yang lain,
walaupun begitu media tetap merupakan agen sosialisasi karena mengungkapkan
berbagai aspek mengenai masyarakat dan mempengaruhi anak-anak dalam
pengertiannya mengenai dunia (Berns, 2004).
Anak-anak, karena kemampuan kognitif yang belum sepenuhnya matang
sangat dipengaruhi oleh media massa (Huston, Zilman & Bryant dalam Berns,
2004). Mereka memproses apa yang dilihat dan didengar dan menjadikan itu
sebagai sesuatu yang berarti bagi mereka.
Televisi merupakan salah satu media yang paling mempengaruhi anakanak (Hetherington & Parke, 1999). Anak-anak biasanya meniru karakter-karakter
yang ada di dalam televisi, terutama yang aktif dan terkenal. Mereka bertindak
dan bertingkah laku sesuai dengan tokoh televisi yang mereka lihat dan hal itu
mereka bawa dalam pergaulan sehari-hari dan biasanya dilakukan ketika bersama
dengan teman-teman sebaya mereka (Berns, 2004).
Televisi dan film menimbulkan banyak perhatian terhadap perkembangan
anak, khususnya efeknya terhadap sosialisasi anak. Televisi memiliki efek yang
Universitas Sumatera Utara24
membedakannya dari media lain, khususnya karena televisi lebih diminati
daripada media lain (Singer, Singer & Zuckerman dalam Berns, 2004).
Anak-anak adalah pendengar khusus dalam kaitannya dengan televisi
(Dorr dalam Berns, 2004). Anak-anak memandang images yang mereka lihat di
dalam televisi adalah nyata seperti bahwa kekerasan adalah jalan untuk
menyelesaikan masalah (Huston, Zillman, & Bryant dalam Berns, 2004).
Media sebagai salah satu agen sosialisasi tidak dapat dilepaskan dari anakanak dan harus diperhatikan karena sangat berpengaruh pada perkembangan anak,
khususnya pada masa kanak-kanak awal karena belum mampu menyaring
informasi secara baik.
A.3. Aspek Sosialisasi
Menurut Hurlock (1998), sosialisasi terdiri dari tiga aspek yaitu
penyesuaian sosial, penerimaan sosial dan keterampilan sosial. Keberhasilan
seorang anak dalam sosialisasi dapat dilihat dari keberhasilannya dalam ketiga
faktor tersebut.
A.3.a. Penyesuaian Sosial
Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk
menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya
pada khususnya (Hurlock, 1998).
Universitas Sumatera Utara25
Orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari
berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan
dengan orang lain sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan.
Anak-anak diharapkan agar semakin lama dapat semakin menyesuaikan
diri terhadap kehidupan sosial dan dapat memenuhi harapan sosial sesuai dengan
usia mereka. Tidak ada seorangpun yang mengharapkan seorang bayi untuk dapat
menyesuaikan diri dengan baik, namun semakin besar seseorang diharapkan untuk
dapat menyesuaikan diri (Hurlock, 1998).
Hurlock (1998) mengungkapkan beberapa kriteria penyesuaian sosial
untuk menentukan sejauh mana penyesuaian diri anak secara sosial.
1. Penampilan nyata. Perilaku sosial anak yang dinilai berdasarkan standar
kelompoknya, memenuhi harapan kelompok, akan diterima menjadi anggota
kelompok.
2. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok. Anak yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, baik kelompok
teman sebaya maupun kelompok orang dewasa, secara sosial dianggap
sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik.
3. Sikap sosial. Anak harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap
orang lain, terhadap partisipasi sosial, bila ingin dinilai sebagai orang yang
dapat menyesuaikan diri dengan baik.
4. Kepuasan pribadi. Anak harus merasa puas terhadap kontak sosialnya dan
terhadap peran yang dimainkan dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin
maupun sebagai anggota. Agar dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Universitas Sumatera Utara26
A.3.b. Penerimaan Sosial
Penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktivitas
dalam kelompok di mana seorang menjadi anggota. Penerimaan sosial ini
merupakan indeks keberhasilan yang digunakan anak untuk berperan dalam
kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka anggota kelompok yang lain
untuk bekerja atau bermain dengannya (Hurlock, 1998).
Hurlock (1998) mengkategorikan penerimaan sosial ke dalam 6 kategori
yaitu :
1. Star. Hampir semua orang dalam kelompok menganggap “star” sebagai
sahabat karib, meskipun “star” tidak banyak membalas uluran persahabatan
ini. Setiap orang mengagumi “star” karena adanya beberapa sifat yang
menonjol. Hanya sedikit sekali anak-anak yang termasuk dalam kategori ini.
2. Accepted. Anak yang “accepted” disukai oleh sebagian besar anggota
kelompok. Statusnya kurang terjamin dibandingkan dengan status “star”,
dan dia dapat kehilangan status tersebut bila dia terus-menerus melakukan
atau mengatakan sesuatu yang menentang anggota kelompok.
3. Isolate. “Isolate” tidak mempunyai sahabat diantara teman sebayanya.
Hanya sedikit sekali anak yang termasuk dalam kategori ini. Ada dua jenis
“isolate” : “voluntary isolate” yang menarik diri dari kelompok karena
kurang memiliki minat untuk menjadi anggota kelompok atau untuk
mengikuti aktivitas kelompok; “involuntary isolate” yang ditolak oleh
kelompok meskipun dia ingin menjadi anggota kelompok tersebut.
“Involuntary isolate” yang “subjektif” mungkin beranggapan bahwa ia tidak
Universitas Sumatera Utara27
dibutuhkan dan menjauhkan diri dari kelompok “involuntary isolate” yang
“objektif,” sebaliknya, benar-benar ditolak oleh kelompok.
4. Fringer. “Fringer” adalah orang yang terletak pada garis batas penerimaan.
Seperti “climber,” dia berada pada posisi yang genting karena dia bisa
kehilangan penerimaan yang dia peroleh melalui tindakan atau ucapan
tentang sesuatu yang dapat menyebabkan kelompok berbalik menentang dia.
5. Climber. “Climber” diterima dalam suatu kelompok tetapi ingin
memperoleh penerimaan dalam kelompok yang secara sosial lebih disukai.
Posisinya genting karena dia mudah kehilangan penerimaan yang telah
diperolehnya dalam kelompok semula dan mudah mengalami kegagalan
untuk memperoleh penerimaan dalam kelompok yang baru bila dia
melakukan atau mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan anggota
kelompok tersebut.
6. Neglectee. “Neglectee” adalah orang yang tidak disukai tetapi juga tidak
dibenci. Dia diabaikan karena dia pemalu, pendiam, dan tidak termasuk
kategori tertentu. Dia hampir tidak dapat memberikan apa-apa sehingga
anggota kelompok mengabaikannya.
Hurlock (1998), juga memberikan beberapa sumber umum penilaian
tingkat penerimaan sosial, yaitu:
1. Ekspresi wajah atau nada suara seseorang. Anak memperoleh isyarat tentang
bagaimana perasaan orang lain terhadap mereka melalui ekspresi wajah
yang diberikan kepada mereka.
Universitas Sumatera Utara28
2. Perlakuan yang diterima anak dari orang lain. Perlakuan teman sebaya atau
orang dewasa lain dapat mengungkapkan dengan cukup akurat apakah
seorang anak disukai atau tidak.
3. Kesediaan. Kepastian bahwa anak disukai adalah juga melalui kesediaan
orang lain dalam melakukan apa yang diinginkan oleh si anak. Anak akan
memperoleh kepastian bahwa dia disukai bila anak lain dengan sukarela
meniru cara bicara, perilaku, ataupun pakaiannya.
4. Jumlah teman. Anak yang memiliki banyak teman bermain atau sahabat
mengetahui bahwa mereka diterima dengan lebih baik daripada anak yang
hanya memiliki sedikit teman bermain atau sahabat.
5. Perkataan orang lain. Melalui perkataan orang lain terhadap anak, anak
dapat mengetahui dengan mudah bagaimana perasaan orang lain terhadap
mereka.
6. Sebutan. Isyarat yang paling akurat tentang tingkat penerimaan sosial yang
diperoleh anak adalah melalui sebutan yang mereka terima. Ejekan yang
diterima dapat menjadi ungkapan bahwa anak tersebut kurang diterima
daripada sebutan yang lebih menyenangkan, seperti “Kawan”.
A.3.c. Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial diartikan sebagai kemampuan sosial dalam membina
hubungan dengan orang lain dan lingkungan. Individu harus menjadi anggota
yang kooperatif untuk menjadi anggota kelompok sosial yang diterima oleh
Universitas Sumatera Utara29
lingkungan, dan untuk mendapatkan penerimaan tersebut diperlukan keterampilan
sosial tertentu (Hurlock, 1998).
Hetherington & Parke (1999) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk
keterampilan sosial pada anak-anak meliputi: dapat menyemangati orang alin,
dapat memulai interaksi dengan orang lain, dapat berkomunikasi dengan baik,
mampu mengikuti aturan yang telah diberitahukan dengan baik, dan mencoba
mengajak anak lain untuk ikut berpartisipasi.
National Association of School Psychologists (2002) mengemukakan hasil
positif dari anak-anak yang mempunyai keterampilan sosial yang baik, yaitu
dengan keterampilan sosial yang tinggi anak-anak akan memiliki kemampuan
untuk membuat keputusan sosial yang akan menguatkan hubungan interpersonal
mereka dan memudahkan kesuksesan disekolah.
B. Pendidikan Anak Usia Dini
B.1. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20,
2003).
Menurut Semlok PADU, pengertian PAUD adalah usaha sadar dalam
memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak sejak
Universitas Sumatera Utara30
lahir sampai dengan usia enam tahun. Pendidikan ini dilakukan melalui
penyediaan pengalaman dan stimulasi yang kaya dan bersifat megembangkan
secara terpadu dan menyeluruh agar anak dapat tumbuh kembang secara sehat dan
optimal sesuai dengan nilai, norma, dan harapan masyarakat.
Istilah lain yang sering digunakan untuk diskusi tentang pendidikan anak
usia dini adalah “nursery school” atau “preschool” (prasekolah). Nursery school
adalah program pendidikan anak usia dua, tiga dan empat tahun (Patmonodewo,
2000).
Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 (dalam Patmonodewo, 2000)
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan “Selain
jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan
pendidikan prasekolah.” Pendidikan prasekolah adalah pendidikan yang
diselenggarakan untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan ketrampilan
yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai
dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup.
PP RI No. 27 Tahun 1990 (dalam Patmonodewo, 2000) tentang
Pendidikan Prasekolah. Bab I Pasal 1 Ayat (2) dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan Taman Kanak-kanak (TK) adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah
yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai
memasuki pendidikan dasar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa satuan pendidikan
prasekolah meliputi Taman Kanak-kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak.
Universitas Sumatera Utara31
B.2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Anak Usia Dini
PAUD dimaksudkan untuk menfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani anak usia dini agar ia dapat tumbuh kembang secara sehat dan
optimal sesuai dengan nilai, norma dan harapan masyarakat.
Sesuai dengan aspek perkembangan dan keperluan kehidupan anak
selanjutnya, PAUD memiliki fungsi-fungsi (Abdulhak, 2003) sebagai berikut:
a. Pengembangan segenap potensi anak,
b. Penanaman nilai-nilai dan norma-norma kehidupan,
c. Pembentukan dan pembiasaan perilaku-perilaku yang diharapkan,
d. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar,
e. Pengembangan motivasi dan sikap belajar yang positif.
B.3. Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyelengaraan PAUD
(Abdulhak, 2003) adalah sebagai berikut:
a. Holistik dan terpadu; PAUD dilakukan dengan terarah ke pengembangan
segenap aspek pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak
serta dilaksanakan secara terintegrasi dalam suatu kesatuan program utuh
dan proporsional. Secara makro, prinsip holistic dan terpadu ini juga
mengandung makna bahwa penyelenggaraan PAUD dilakukan secara
terintegrasi dengan sistem sosial yang ada di masyarakat dan menyertakan
segenap komponen masyarakat sesuai dengan tanggung jawab dan
kewenangannya. Dalam hal ini perlu ada keselarasan antara pendidikan
Universitas Sumatera Utara32
yang dilakukan dalam berbagai unit pendidikan – keluarga, sekolah dan
masyarakat.
b. Berbasis keilmuan; Prinsip ini mengandung arti bahwa praktek pendidikan
anak usia dini yang tepat perlu dikembangkan berdasarkan temuan-temuan
muktahir dalam bidang keilmuan yang relevan. Dalam hal ini, para ahli
PAUD perlu senantiasa menyebarluaskan temuan-temuan ilmiahnya di
bidang PAUD sehingga dapat diaplikasikan oleh para praktisi PAUD baik
oleh tenaga professional di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini
maupun oleh tenaga-tenaga non-profesional di masyarakat dan keluarga.
c. Berorientasi pada perkembangan anak; PAUD dilaksanakan sesuai dengan
karakteristik dan tingkat perkembangan anak sehingga proses
pendidikannya bersifat tidak terstruktur, informal, emergen dan responsive
terhadap perbedaan individual anak, serta melalui aktivitas langsung dalam
suasana bermain.
d. Berorientasi masyarakat; Anak adalah bagian dari masyarakat dan
sekaligus sebagai genarasi penerus dari masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, PAUD hendaknya berlandaskan dan sekaligus turut
mengembangkan nilai-nilai sosio-kultural yang berkembang pada
masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut, prinsip ini juga mensyaratkan
perlunya PAUD untuk memanfaatkan potensi lokal baik itu berupa
keragaman sosial-budaya maupun berupa sumber-sumber daya potensial
yang ada di masyarakat setempat.
Universitas Sumatera Utara33
B.4. Kurikulum PAUD
Rosegrant (dalam Suyanto, 2005) menyarankan agar pengembangan
kurikulum untuk PAUD mengikuti pola sebagai berikut:
1. Berdasarkan keilmuan PAUD
Kurikulum PAUD didasarkan atas ilmu terkini dari PAUD dan hasil-hasil
penelitian tentang belajar dan pembelajaran. Kajian keilmuan secara komprehensif
hendaknya menjadi landasan pengembangan kurikulum. Pengetahuan.
Keterampilan, serta sikap merupakan satu kesatuan. Cara memperoleh
pengetahuan dan keterampilan akan mempengaruhi sikap anak, begitu juga
sebaliknya.
2. Mengembangkan Anak secara Menyeluruh
Tujuan kurikuler hendaknya ditujukan untuk mengembangkan anak secara
menyeluruh, yang meliputi aspek fisik-motorik, sosial, moral, emosional, dan
kognitif. Isi kkurikulum hendaknya mencerminkan sofat demokratis, adanya
kebebasan untuk menentukan pilihan, keadilan, persamaan hak dan kewajiban,
serta keterbukaan. Tujuan kurikuler juga hendaknya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak.
3. Relevan, Menarik dan Menantang
Isi kurikulum hendaknya relevan, menarik dan menantang anak untuk
melakukan eksplorasi, memecahkan masalah, mencoba, dan berpikir. Kurikulum
yang efektif dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari
konteks yang berarti dalam kehidupan anak.
4. Mempertimbangkan Kebutuhan Anak
Universitas Sumatera Utara34
Perencanaan kurikulum hendaknya mempertimbangkan kebutuhan anak,
perkembangan anak, kebutuhan masyarakat, dan ideology bangsa secara nasional.
Keurikulum hendaknya realistis dan dapat dicapai oleh anak. Apa yang dipelajari
anak hendaknya sesuai dengan apa yang diinginkan anak, masyarakat dan negara.
Nasionalisme, kebudayaan, nilai-nilai susila dan norma hendaknya diperhatikan
dalam penyusunan kurikulum.
5. Mengembangkan Kecerdasan
Kurikulum hendaknya mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir,
menalar, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah. Pembelajaran pada
anak usia dini hendaknya tidak bersifat hafalan, tetapi mengembangkan
kecerdasan dengan cara melatih anak berpikir, bernalar, mengambil keputusan,
dan memecahkan masalah.
6. Menyenangkan
Kurikulum disesuaikan dengan kondisi psikologis anak sehingga anak
merasa mampu, senang, rileks, dan nyaman belajar di TK. Anak usia dini suka
bermain, aktif dan selalu ingin tahu. Oleh karena itu, kegiatan kurikuler dirancang
agar anak dapat belajar sambil bermain, aktif secara fisik dan mental untuk
memuaskan rasa ingin tahunya.
7. Fleksibel
Kurikulum sebaiknya bersifat fleksibel, baik tentang isi maupun waktu
agar dapat disesuaikan dengan perkembangan, minat dan kebutuhan setiap anak.
Kurikulum TK fiharapkan bisa mengakomodasi hal-hal baru, menyediakan
Universitas Sumatera Utara35
alternatif, dan memungkinkan anak untuk memilih kegiatan. Selain itu, dalam
pelaksanaannya tidak terlalu dibatasi oleh waktu.
8. Menyatu dan Padu
Kurikulum untuk TK bersifat menyatu dan padu (unified and integrated),
artinya tidak mengajarkan bidang studi sendiri-sendiri atau secara terpisah, tetapi
secara terpadu dan terintegrasi melalui tematik unit.
C. Anak Usia Dini
Anak usia dini merupakan anak yang berusia 0-6 tahun atau dalam bahasa
perkembangannya disebut sebagai masa kanak-kanak awal. Masa kanak-kanak
awal merupakan masa emas pertumbuhan karena mengalami pertumbuhan yang
pesat dalam fisik dan kognitifnya. Perkembangan anak pada masa kanak-kanak
awal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1999).
Masa kanak-kanak awal sering disebut “usia prageng”. Pada masa ini
sejumlah hubungan yang dilakukan anak dengan anak-anak lain meningkat dan ini
sebagian menentukan bagaimana gerak maju perkembangan sosial mereka. Anakanak yang mengikuti pendidikan prasekolah, biasanya mempunyai sejumlah besar
hubungan sosial yang telah ditentukan dengan anak-anak yang umurnya sebaya.
Anak yang mengikuti pendidikan prasekolah melakukan penyesuaian sosial yang
lebih baik dibandingkan anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan prasekolah.
Alasannya adalah mereka dipersiapkan secara lebih baik untuk melakukan
partisipasi yang aktif dalam kelompok dibandingkan dengan anak-anak yang
Universitas Sumatera Utara36
aktivitas sosialnya terbatas dengan anggota keluarga dan anak-anak dari
lingkungan tetangga dekat (Hurlock, 1998).
Keuntungan pendidikan prasekolah adalah bahwa pusat pendidikan
tersebut memberikan pengalaman sosial di bawah bimbingan para guru yang
terlatih yang membantu mengembangkan hubungan yang menyenangkan dan
berusaha agar anak-anak tidak mendapat perlakuan yang mungkin menyebabkan
mereka menghindari hubungan sosial. Akibatnya semua reaksi negatif kepada
anak lain berkurang. Walaupun demikian, reaksi negatif terhadap guru kadangkadang meningkat sedikit setelah anak lebih suka bergaul dengan teman sebaya
daripada dengan orang dewasa (Hurlock, 1998).
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan
berikutnya. Perkembangan fisik pada masa kanak-kanak awal mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Perkembangan motorik halus megalami kemajuan
yang sangat pesat sehingga anak-anak pada masa ini dapat melakukan kegiatan
menulis, dan gerakan motorik halus lainnya. Hal ini menyebabkan anak-anak pada
masa ini dapat belajar banyak dan menyerap banyak hal (Yusuf, 2005).
Sejalan dengan perkembangan fisiknya, anak juga harus menjalani
perkembangan sosialnya. perkembangan sosial anak dimulai dari sifat egosentris,
individual ke arah interaksi sosial. Anak bersifat egosentris pada mulanya,
memandang segala sesuatu dari sisi dirinya sendiri sehingga pada usia 2-3 tahun
anak masih suka bermain sendiri sampai akhirnya ia mulai berintaraksi dengan
orang lain (Suyanto, 2005).
Universitas Sumatera Utara37
C.1. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang
sesuai dengan tuntutan sosialnya. Menurut Hurlock (1998), untuk menjadi orang
yang mampu bermasyarakat memerlukan tiga proses yaitu:
1. belajar berperilaku yang dapat diterima sosial,
2. memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan
3. perkembangan sikap sosial.
Yusuf (2005) mengatakan bahwa perkembangan sosial anak sudah tampak
jelas pada usia prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun), karena mereka sudah
mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan
sosial pada tahap ini adalah:
a. Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun
dalam lingkungan bermain.
b. Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan.
c. Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.
d. Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer
group).
Sikap anak-anak terhadap orang lain dan pengalaman sosial dan seberapa
baik mereka dapat bergaul dengan orang lain sebagian besar tergantung pada
pengalaman belajar selama tahun-tahun awal kehidupan yang merupakan masa
pembentukan. Menurut Hurlock (1998), ada empat faktor yang menentukan
apakah mereka dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan menjadi
pribadi yang dapat bermasyarakat:
Universitas Sumatera Utara38
1. Kesempatan yang penuh untuk sosialisasi. Hal ini sangatlah penting karena
anak-anak tidak dapat belajar hidup bermasyarakat dengan orang lain jika
sebagian besar waktu mereka dipergunakan seorang diri. Anak perlu untuk
bergaul tidak hanya dengan anak yang seumur tetapi juga dengan orang
dewasa yang umur dan lingkungannga berbeda.
2. Anak-anak tidak hanya harus mampu berkomunikasi dalam kata-kata yang
dapat dimengerti orang lain, tetapi juga harus mampu berbicara tentang topik
yang dapat dipahami dan menarik bagi orang lain. Pembicaraan yang bersifat
sosial, merupakan penunjang yang penting bagi sosialisasi, tetapi pembicaraan
yang egosentrik menghalangi sosialisasi.
3. Anak hanya akan belajar sosialisasi hanya apabila mereka mempunyai
motivasi untuk melakukannya. Motivasi sebagian besar bergantung kepada
tingkat kepuasan yang dapat diberikan oleh aktivitas sosial kepada anak. Jika
mereka mendapatkan kesenangan melalui hubungan dengan orang lain,
mereka akan mengulangi hubungan tersebut dan sebaliknya, jika hubungan
sosial hanya memberikan kegembiraan sedikit, mereka akan menghindarinya.
4. Metode belajar yang efektif dengan bimbingan adalah penting. Anak
mempelajari beberapa pola perilaku yang penting bagi penyesuaian sosial
yang baik melakui metode coba-coba. Mereka juga belajar mempraktekkan
peran, yaitu dengan menirukan orang lain yang dijadikan tujuan
identifikasinya. Mereka akan belajar lebih cepat jika diajar oleh seseorang
yang dapat membimbing dan megarahkan kegiatan belajar dan memilihkan
Universitas Sumatera Utara39
teman sejawat sehingga mereka akan mempunyai contoh yang baik untuk
ditiru.
C.2. Pola Perilaku Pada Anak Usia Dini
Anak-anak pada masa awal biasanya mengembangkan bentuk-bentuk
tingkah laku sosial melalui hubungan dan pergaulan sosial baik dengan orangtua,
anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya (Yusuf, 2005).
Pola-pola perilaku anak-anak tersebut menurut Hurlock (1998) terbagi dua
yaitu pola perilaku sosial dan pola perilaku yang tidak sosial. Pola perilaku sosial
adalah sebagai berikut:
1. Kerja sama. Sejumlah kecil anak belajar bermain atau bekerja sama dengan
anak lain sampai mereka berumur 4 tahun. Semakin banyak kesempatan yang
mereka miliki untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka
belajar melakukannya dengan cara bekerja sama.
2. Persaingan. Jika persaingan merupakan dorongan bagi anak-anak untuk
berusaha sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka. Jika hal
itu diekspresikan dalam pertengkaran dan kesombongan, akan menyebabkan
timbulnya sosialisasi yang buruk.
3. Kemurahan hati. Kemurahan hari sebagaimana terlihat pada kesediaan untuk
berbagi sesuatu dengan anak lain, meningkat dan sikap mementingkan diri
sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati
menghasilkan penerimaan sosial.
Universitas Sumatera Utara40
4. Simpati. Anak kecil tidak mampu berperilaku simpatik sampai mereka pernah
mengalami situasi yang mirip dengan dukacita. Mereka mengekspresikan
simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang
bersedih.
5. Empati. Empati kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain
dan menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya berkembang jika
anak dapat memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain.
6. Ketergantungan. Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan,
perhatian, dan kasih sayang mendorong anak untuk berperilaku dalam cara
yang diterima secara sosial. Anak berjiwa bebas kekurangan motivasi ini.
7. Sikap ramah. Anak kecil memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan
melakukan sesuatu untuk atau bersama anak/orang lain dan dengan
mengekspresikan kasih sayang kepada mereka.
8. Sikap tidak mementingkan diri sendiri. Anak yang mempunyai kesempatan
dan mendapat dorongan untuk membagi apa yang mereka milliki dan yang
tidak terus-menerus menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan
orang lain dan berbuat untuk orang lain dan bukannya hanya memusatkan
perhatian pada kepentingan dan milik mereka sendiri.
9. Meniru. Meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial, anakanak mengembangkan sifat yang menambah penerimaan kelompok terhadap
diri mereka.
10. Perilaku kelekatan. Landasan yang diletakkan pada masa bayi, yaitu tatkala
bayi mengembangkan suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih
Universitas Sumatera Utara41
kepada ibu atau pengganti ibu, anak kecil mengalihkan pola perilaku ini
kepada anak/orang lain dan belajar membina persahabatan dengan mereka.
Pola perilaku yang tidak sosial adalah sebagai berikut:
1. Negativisme. Neativisme adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain
untuk berperilaku tertentu. Biasanya hal itu dimulai pada usia dua tahun dan
mencapai puncaknya antara umur 3 dan 6 tahun. Ekspresi fisiknya mirip
dengan ledakan kemarahan, tetapi secara setahap demi setahap diganti dengan
penolakan lisan untuk menuruti perintah.
2. Agresi. Agresi adalah tindakan permusuhan yang nyata atau ancaman
permusuhan, biasanya tidak ditimbulkan oleh orang lain. Anak-anak mungkin
mengekspresikan sikap agresif mereka berupa penyerangan secara fisik atau
lisan terhadap anak lain, biasanya terhadap anak yang lebih kecil.
3. Pertengkaran. Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang
mengandung kemarahan yang umumnya dimulai apabila seseorang melakukan
penyerangan yang tidak beralasan. Pertengkaran berbeda dari agresi; pertama
karena pertengkaran melibatkan dua orang atau lebih sedangkan agresi
merupakan tindakan individu, dan kedua karena salah seorang yang terlibat di
dalam peterngkaran memainkan peran bertahan sedangkan dalam agresi peran
selalu agresif.
4. Mengejek atau menggertak. Mengejek merupakan serangan secara lisan
terhadap orang lain, tetapi menggertak merupakan serangan yang bersifat fisik.
Universitas Sumatera Utara42
5. Perilaku yang sok kuasa. Perilaku sok kuasa adalah kecenderungan untuk
mendominasi orang lain atau menjadi ”majikan”. Jika diarahkan secara tepat
hal ini dapat menjadi sifat kepemimpinan.
6. Egosentrisme. Hampir semua anak kecil bersifat egosentrik dalam arti bahwa
mereka cenderung berpikir dan berbicara tentang diri mereka sendiri. Apakah
kecenderungan ini akan hilang, menetap atau berkembang semakin kuat,
sebagian bergantung pada kesadaran anak bahwa hal itu membuat mereka
tidak popular dan sebagian lagi bergantung pada kuat lemahnya keinginan
mereka untuk menjadi populer.
7. Prasangka. Landasan prasangka terbentuk pada masa kanak-kanak awal yaitu
tatkala anak menyadari bahwa sebagian orang berbeda dari mereka dalam hal
penampilan dan perilaku dan bahwa perbedaan ini oleh kelompok sosial
dianggap sebagai tanda kerendahan.
8. Antagonisme jenis kelamin. Ketika masa kanak-kanak berakhir, banyak anak
laki-laki ditekan oleh keluarga laki-laki dan teman sebaya untuk menghindari
pergaulan dengan anak perempuan atau memainkan “permainan anak
perempuan”. Mereka juga mengetahui bahwa kelompok sosial memandang
laki-laki lebih tingga derajatnya daripada perempuan. Walaupun demikian,
pada umur ini anak laki-laki tidak melakukan pembedaan terhadap anak
perempuan, tetapi menghindari mereka dan menghindari aktivitas yang
dianggap sebagai aktivitas anak perempuan.
Universitas Sumatera Utara43
Sebagian dari bentuk perilaku sosial yang berkembang pada masa kanakkanak merupakan landasan yang diletakkan pada masa bayi, tetapi banyak juga
diantaranya yang merupakan landasan baru yang dibina oleh hubungan sosial
dengan teman sebaya di luar rumah dan hal-hal yang ditonton dari televisi,
ataupun buku komik (Berns, 2004).
Peningkatan perilaku sosial cenderung paling menyolok pada masa kanakkanak awal. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sosial yang semakin bertambah
dan anak-anak mempelajari pandangan pihak lain terhadap perilaku mereka dan
bagaimana pandangan tersebut mempengaruhi tingkat penerimaan dari kelompok
teman sebaya (Hurlock, 1998).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa kanakkanak awal (anak usia dini) merupakan masa yang sangat penting dalam
menentukan perkembangan sosialisasi anak di kemudian hari sehingga sangat
perlu untuk diperhatikan. Khususnya perkembangan sosialnya sehingga perlu
diperhatikan agar anak dapat berkembang menjadi anak-anak yang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakatnya karena pada masa
kanak-kanak awal peningkatan perilaku sosial sangat penting dan menentukan
bagaimana perilaku sosial anak pada tahap berikutnya.
Universitas Sumatera Utara