19
SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO Oleh : Gusmailina Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan ABSTRAK Gulma merupakan bahan yang cukup potensial karena sering dijumpai dimana saja, keberadaannya mengganggu tanaman budidaya, sehingga harus disingkirkan dan dibuang. Memanfaatkan gulma menjadi kompos atau arang kompos adalah solusi yang tepat untuk diterapkan, sebab gulma mudah diolah dan dapat dikembalikan ke lahan sebagai suplai bahan organik atau pembenah tanah. Sosialisasi pemanfaatan gulma menjadi kompos dan arang kompos telah di lakukan di dua lokasi yaitu di desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang Bogor dan Desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Tulisan ini menyajikan sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif dengan memanfaatkan gulma atau tumbuhan 1 1

SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gulma merupakan bahan yang cukup potensial karena sering dijumpai dimana saja, keberadaannya mengganggu tanaman budidaya, sehingga harus disingkirkan dan dibuang. Memanfaatkan gulma menjadi kompos atau arang kompos adalah solusi yang tepat untuk diterapkan, sebab gulma mudah diolah dan dapat dikembalikan ke lahan sebagai suplai bahan organik atau pembenah tanah. Sosialisasi pemanfaatan gulma menjadi kompos dan arang kompos telah di lakukan di dua lokasi yaitu di desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang Bogor dan Desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Citation preview

SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA

KARYASARI DAN WONOSOBO

Oleh : Gusmailina

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

ABSTRAK

Gulma merupakan bahan yang cukup potensial karena sering dijumpai dimana saja,

keberadaannya mengganggu tanaman budidaya, sehingga harus disingkirkan dan dibuang.

Memanfaatkan gulma menjadi kompos atau arang kompos adalah solusi yang tepat untuk

diterapkan, sebab gulma mudah diolah dan dapat dikembalikan ke lahan sebagai suplai bahan

organik atau pembenah tanah. Sosialisasi pemanfaatan gulma menjadi kompos dan arang

kompos telah di lakukan di dua lokasi yaitu di desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang Bogor

dan Desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Tulisan ini menyajikan sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif

dengan memanfaatkan gulma atau tumbuhan pengganggu sebagai bahan baku utama.

Tujuannya untuk memperkenalkan dan menjelaskan teknik pengadaan kompos dan arang

kompos dengan menggunakan bahan yang ada disekitarnya langsung pada masyarakat

khususnya petani. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa gulma sebagai tumbuhan

pengganggu yang berasal dari kebun petani dapat dijadikan kompos atau arang kompos

secara sederhana, murah, cepat dengan kandungan unsur hara cukup baik, dengan waktu

pengomposan satu minggu.

Kata Kunci: Sosialisasi, arang kompos bioaktif, gulma, potensi

1

1

LEMBAR ABSTRAK

SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO

Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang sering dijumpai dan keberadaannya

mengganggu tanaman budidaya, oleh karena itu harus disingkirkan dan dibuang.

Memanfaatkan gulma menjadi kompos dan arang kompos merupakan solusi yang tepat,

karena lahan budidaya akan bebas dari tumbuhan pengganggu. Di samping itu juga akan

diperoleh produktivitas lahan berkualitas secara mudah, murah dan cepat. Tulisan ini

menyajikan tentang kegiatan sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos dari gulma di

dua lokasi kelompok masyarakat tani (Karyasari dan Wonosobo).

Kata Kunci: Sosialisasi, arang kompos bioaktif, gulma, potensi

2

2

ABSTRACT SHEET

SOCIALIZATION ON THE MANUFACTURE OF COMPOST AND BIOACTIVE

COMPOST CHARCOAL FROM WILD WEEDS AT KARYASARI AND WONOSOBO

Wild weeds are often described as disturbing plants and therefore unwelcome.

Consequently, those weeds should be eradicated and discarded. Utilization of disturbing

weeds into compost and bioactive charcoal compost is regarded as one solution. This this

because this endeavor can clear their former growth areas free of disturbances, and in

addition allow to acquire area productivity with high quality easily, cheaply, and fast. In

relevant, this article deals with activities of manufacturing compost and bioactive charcoal

compost from wild weeds taking place on two locations of farmer groups (Karyasari and

Wonosobo).

Keyword: Socialization, wild and disturbing weeds, compost and ,bioactive charcoal

compost, useful, products.

3

3

I. PENDAHULUAN

Sebelum pupuk kimia, pestisida, dan zat pengatur tumbuh ditemukan, kebanyakan

petani di berbagai negara umumnya menanam tumbuhan yang berfungsi sebagai pupuk hijau.

Selain dibuat kompos, juga digunakan pupuk kandang dengan mengembalikan sisa panen ke

dalam tanah sehingga kadar bahan organik tetap terpelihara. Seiring dengan meningkatnya

pertambahan penduduk, para ahli dan praktisi pertanian berusaha keras meningkatkan

produksi pertanian dengan jalan menanam benih unggul, memperkenalkan pupuk kimia,

pemberian zat pengatur tumbuh, dan penggunaan pestisida. Di samping itu ada yang sama

sekali tidak mengembalikan sisa panen ke dalam tanah sebagai bahan organik, sehingga

kadar C-organik tanah semakin merosot.

Dampak dari kebiasaan tersebut akan terjadi perubahan pola pikir petani terhadap

aplikasi pupuk kimia, pestisida, dan zat pengatur tumbuh dalam dosis dan ketergantungannya

yang tinggi. Para petani konvensional beranggapan bahwa suatu produk pertanian tidak

mungkin dihasilkan tanpa memakai pupuk kimia, pestisida dan zat pengatur tumbuh. Petani

telah lupa bahwa untuk menghasilkan produksi tidak hanya tergantung pada pupuk, pestisida

dan zat pengatur tumbuh saja namun juga harus diperhitungkan kecukupan bahan organik

dalam tanah. Hingga saat ini perhatian petani dalam memanfaatkan pupuk organik masih

sangat rendah, bahkan sering dijumpai kebiasaan memusnahkan bahan organik melalui cara

pembakaran. Pemusnahan bahan organik ini, akan mempercepat berkurangnya bahan organik

tanah dan berakibat negatif terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang sangat diperlukan

bagi kesuburan tanah.

Untuk mengaplikasikan bahan organik ke areal yang luas juga membutuhkan

persediaan bahan organik yang sangat besar, sebagai contoh untuk meningkatkan hasil jagung

sebesar 1.292 kg/ha diperlukan kompos sebanyak 30.4 ton/ha (Anonim, 1987 dalam Away, et

4

4

al., 1997). Jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimia peningkatan hasil sebesar

itu mungkin hanya menggunakan beberapa ratus kilogram pupuk kimia per hektar saja.

Sejalan dengan pemakaian bahan organik yang sangat besar tersebut, ada kendala lain yang

juga dirasakan oleh petani yaitu pada saat bahan organik diaplikasikan ke suatu areal

penanaman membutuhkan biaya pengangkutan yang besar pula. Namun apapun alasannya

kecukupan bahan organik akan memberikan kondisi baik untuk mempertahankan atau

meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan tanah bisa menurun akibat pemupukan kimia

yang tidak seimbang dengan tingkat keberadaan bahan organik di tanah. Apalagi tidak diikuti

dengan adanya pemberian bahan organik ke dalam tanah, struktur tanah akan menjadi

semakin rusak.

Masalah utama yang dihadapi saat ini adalah bagaimana caranya menyediakan bahan

organik dalam jumlah besar (1-20 ton/ha), sementara tanah yang akan dibudidayakan

jumlahnya lebih dari seratus ribu hektar. Tentunya diperlukan suatu konsep penyediaan

bahan organik secara sederhana dan murah agar petani mampu memenuhi kebutuhannya

sendiri. Jika konsep swasembada bahan organik dapat diterapkan oleh petani secara luas,

dengan sendirinya penerapan sistem pertanian dengan biaya rendah dan ramah lingkungan

akan dapat segera terwujud secara berkesinambungan.

Gulma atau tumbuhan liar dalam suatu kawasan budidaya biasanya selalu dibuang

atau di bakar, karena mengganggu tanaman yang diusahakan dan akan menimbulkan

kompetisi dalam pengambilan unsur hara dalam tanah dengan tanaman pokok. Akibatnya

pertumbuhan tanaman pokok bisa kalah bersaing dan menjadi kerdil. Oleh sebab itu kepada

petani disarankan agar gulma dimanfaatkan menjadi kompos atau arang kompos sebagai

penyedia bahan organik bagi lahan budidaya. Potensi gulma cukup banyak, beragam dan

hampir selalu ada di lingkungan baik di perumahan, kebun, sawah, atau perkebun hutan

rakyat, sehingga para petani tidak sulit untuk mendatangkan bahan baku. Jenis tumbuhan

5

5

gulma bervariasi tergantung lokasi, biasanya dari jenis rumput-rumputan (Graminae), ilalang,

sejenis tumbuhan menjalar, Ageratum sp, ki pait, bahkan dedaunan seperti pisang juga dapat

dijadikan sebagai bahan utama. Oleh sebab itu gulma atau tumbuhan liar adalah bahan baku

yang cukup potensial dan dapat dimanfaatkan petani untuk dibuat kompos maupun arang

kompos pengganti pupuk kimia.

Salah satu prinsip pelestarian lingkungan hidup dalam menunjang pertanian dan

kehutanan yang berkelanjutan, adalah memanfaatkan sumberdaya yang sebelumnya tidak

dimanfaatkan. Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa aktivitas dengan tujuan untuk

mensosialisasikan teknologi penyediaan kompos dan arang kompos dengan menggunakan

bahan baku utamanya gulma dengan cara peragaan dan demontrasi. Diharapkan tulisan ini

dapat memberi inspirasi bagi petani atau masyarakat lainnya yang berminat untuk melakukan

kegiatan tersebut.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah gulma, aktivator pengomposan, arang serbuk

gergaji, arang sekam, jerami, kotoran hewan, daun pisang tua, dan seresah beberapa jenis

tanaman kehutanan.

Sedangkan alat yang dipakai adalah karung plastik, sekop dan cangkul untuk mencampur

atau mengaduk.

B. Lokasi Kegiatan

Pembuatan kompos dari gulma dilaksanakan di :

Desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah), sedangkan

pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma dilakukan di Desa Karyasari, Kecamatan

Leuwiliang, Kabupaten Bogor (Jawa Barat). Di desa ini gulma diolah menjadi arang

kompos bioaktif yang selanjutnya diaplikasikan pada tanaman Murbei.

6

6

C. Prosedur Pelaksanaan

1. Pembuatan kompos dari gulma di Desa Angestitani (lokasi 1).

Di desa ini gulma hanya diolah menjadi kompos saja dengan menggunakan

aktivator orgadec. Gulma diperoleh dari sekitar kebun petani dan dicacah secara

manual dengan golok/parang menjadi berukuran 2.5 - 5.0 cm. Aktivator orgadec

digunakan sebagai biang untuk mempercepat proses pengomposan dengan dosis 0.5%

(b/b) atau 5 kg OrgaDec per 1 ton gulma. Cara pencampuran dilakukan dengan

menaburkan bioaktivator pada tumpukan cacahan bahan kemudian diaduk dengan

cangkul/garpu sampai merata. Selanjutnya disiram dengan air guna memperoleh

kelembaban yang cukup (35 - 50%). Bahan kompos secara bertahap ditempatkan

dalam wadah plastik sambil dipadatkan sampai wadah terisi penuh dengan bahan

kompos (kurang lebih 1 meter) kemudian ditutup. Wadah kompos dibiarkan seminggu

dan diusahakan jangan sampai langsung kena air hujan (Gambar 1 dan 2).

2. Pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma di Desa Karyasari (lokasi 2).

Di lokasi ini banyak ditemukan limbah serbuk gergaji atau sekam, sehingga

disarankan membuat arang kompos bioaktif. Selain gulma juga ditambahkan jerami

dan kotoran hewan kambing dan ayam. Pembuatan arang kompos bioaktif gulma

juga menggunakan aktivator orgadec sebagai pemacu pengomposan (Goenadi dan

Away, 1995). Proses diawali dengan membuat arang dari serbuk gergaji atau dari

sekam, kemudian arangnya digunakan sebagai campuran pada pembuatan kompos

dengan dosis 10 % dari total volume bahan. Teknik pembuatan arang kompos

bioaktif mengacu pada prosedur yang dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

(Gusmailina et al., 2002).

7

7

a b c

Gambar 1. Tahapan proses pembuatan kompos dari gulma (tumbuhan pengganggu) di desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah

Keterangan gambar : a penyiapan bahan baku gulma, b memasukkan ke dalam wadah pengomposan, dan c. penutupan wadah kompos

a b c

Gambar 2. Proses pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma (tumbuhan pengganggu) di desa Karyasari, kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor

Keterangan gambar a: proses penyediaan arang serbuk/sekam, b gulma sebagai bahan utama, dan c proses pengomposan

3. Pengamatan

Parameter untuk mengetahui proses pengomposan berjalan sempurna sebagai

berikut:

a. Terjadi penyusutan bahan yang dikomposkan yang ditandai dengan longgar atau

turunnya tinggi permukaan pada wadah kompos.

b. Pada akhir pengomposan terlihat perubahan warna dan hilangnya bau yang

menyengat.

c. Untuk mengetahui kualitas hasil yang diperoleh dan kandungan unsure haranya

dilakukan analisis laboratorium.

8

8

d. Jika selama pengomposan tidak terjadi penurunan tinggi pada permukaan wadah

perlu dilakukan pengudaraan atau aerasi dengan cara mengaduk kembali

tumpukan kompos secara manual. Jika selama pengomposan berlangsung (+

seminggu) terjadi penurunan tinggi permukaan wadah atau terlihat longgar,

pengudaraan atau aerasi tidak perlu dilakukan (biasanya tinggi permukaan

tersebut turun berkisar antara 20 dan 30 cm).

4. Analisis kompos dan arang kompos di lakukan di laboratorium Natural products, Biotrop Bogor

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif selama seminggu, memberikan

hasil yang cukup menjanjikan. Kompos yang terbentuk berwarna cokelat kehitaman dan

tidak memberikan aroma bau yang menyengat, walaupun keadaan kompos secara visual

masih sama seperti bahan mentahnya. Ini merupakan ciri khas dari aktivator orgadec, karena

bioaktivator yang dipakai bukan bersifat penghancur bahan/limbah organik (Goenadi dan

Away, 1997 dan 1995; Away, 2003). Bioaktivator tersebut bersifat sebagai pengurai

komponen kimia yang kompleks pada bahan menjadi komponen kimia sederhana yang

langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil analisis kandungan unsur hara makro

kompos (lokasi 1) dan arang kompos bioaktif (lokasi 2) dari gulma dapat dilihat pada Tabel

1.

9

9

Tabel 1. Hasil analisis kandungan unsur hara makro kompos dan arang kompos bioaktif dari gulma/tumbuhan pengganggu

No. Komponen hara Metode analisis Kadar (%)Lokasi 1 Lokasi 2

1. N Kjeldahl 1,80 1.92

2. P2O5 Spektrofotometri 0,75 1,05

3. K2O AAS 3,37 3,51

4. CaO AAS 3,09 3,24

5. MgO AAS 1,92 1,68

6. C-Organik Volumetri 32,9 35,8

7. Nisbah C/N (karbon/nitrogen)

Perhitungan 18,27 18,6

Keterangan: Dianalisis di laboratorium Natural products, Biotrop Bogor Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah

Lokasi 2 : Karyasari, Kecamatan leuwiliang, Kabupaten Bogor

Sebagai salah satu tolok ukur tingkat kematangan bahan organik yang dikomposkan

adalah nisbah C (karbon) dan N (nitrogen). Makin matang tingkat dekomposisi bahan

organik, makin rendah nilai C/N-nya. Inbar et al. (1993) mengemukakan bahwa nilai C/N

yang dianggap tidak menggangu proses kimia tanah adalah < 20. Tabel 1 menunjukkan

bahwa tingkat kematangan kompos di lokasi 1 dari bahan baku gulma yang diproses selama

seminggu memberikan nilai C/N 18.27% sehingga kompos ini tidak mengganggu proses

kimia yang ada di tanah. Demikian juga arang kompos bioaktif di lokasi 2 mempunyai nilai

C/N sebesar 18,6 dan 18,27. Kandungan terbesar dari bahan organik dari kompos mencapai

18% hingga 59%. Selain itu kompos juga mengandung unsur-unsur lain seperti posfor,

kalium, calsium, dan magnesium yang relatif sedikit berkisar antara 2-3%. Besarnya

persentase dari unsur-unsur tersebut sangat tergantung dari bahan dasar yang digunakan dan

teknik pengomposannya.

Dari Tabel 1 terlihat pula bahwa pengaruh dekomposisi gulma terhadap kadar hara

dalam kompos memberikan nilai yang nyata antara lokasi 1 dengan lokasi 2 meskipun

analisis terhadap gulma yang masih segar tidak dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa

10

10

gulma di sekitar kebun petani jika diproses menjadi kompos atau arang kompos dapat

memberikan nilai tambah dalam penyediaan bahan organik. Dengan demikian dapat

menjamin kesuburan, kelestarian tanah dan mengurangi ketergantungan pupuk kimia.

Kegiatan berikutnya kompos yang telah ada akan diuji coba penggunaannya terhadap

tanaman kentang dan murbei. Jika dibandingkan dengan kualitas kompos menurut beberapa

standar yang berlaku seperti pada Tabel 2, ternyata kedua kompos tersebut cukup baik.

Kompos dan arang kompos gulma lebih baik kualitasnya jika disbanding dengan standar

kualitas kompos Perhutani (Perhutani, 1977 dalam Mindawati et al., 1998), kecuali untuk unsure

CaO. Namun demikian unsure ini jauh kalah penting disbanding unsure hara N (nitrogen), P

(fosfor), dan K (Kalium). Jika dibanding dengan Standar kualitas kompos dari Pusri

(Radiansyah, 2004), kompos dan arang kompos gulma sedikit lebih rendah, terutama unsur

hara N dan P, sedangkan unsur K lebih tinggi dibanding standar. Kualitas kompos sangat

tergantung dari bahan baku yang digunakan. Oleh karena itu untuk meningkatkan kandungan

unsur hara N pada kompos dapat diatasi dengan penambahan jerami sebagai bahan baku atau

dedaunan dari tumbuhan leguminosae (kacang-kacangan).

Tabel 2. Perbandingan kandungan unsur hara makro kompos gulma di lokasi 1 dan arang kompos bioaktif gulma di lokasi 2 dengan beberapa standar

No.

Komponen hara

Kadar (%) Standar Perhutani,

(%) *)

Standar Pusri, (%)

**)Lokasi 1 Lokasi 2

1. N, % 1,80 1.92 1,1 ≥ 2, 12

2. P2O5, % 0,75 1,05 0,9 ≥ 1, 30

3. K2O, % 3,37 3,51 0,6 ≥ 2,00

4. CaO, % 3,09 3,24 4,9 ≥ 0,97

5. MgO, % 1,92 1,68 0,7 ≥ 3,19

6. C-Organik, % 32,9 35,8 19,6 -

7. Nisbah C/N 18,27 18,6 10 – 20 -

Keterangan : Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah Lokasi 2: Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor *) Sumber : Perhutani, 1977 dalam Mindawati et al., 1998 **) Sumber : Radiansyah, 2004

11

11

KESIMPULAN

Dari hasil peragaan dan demontrasi teknologi pengomposan dan pembuatan arang

kompos bioaktif dengan bahan baku gulma dapat disimpulkan antara lain :

1. Tanaman pengganggu yang berasal dari kebun petani dapat dijadikan kompos atau

arang kompos dengan bioaktivator sebagai pemacu pengomposan secara sederhana,

murah, dan cepat.

2. Untuk mendapatkan kompos dan arang kompos bioaktif dari gulma dengan

kandungan hara yang relatif cukup baik, dibutuhkan waktu pengomposan satu

minggu

3. Masyarakat tani di desa, baik secara berkelompok maupun perorangan mampu

membuat kompos dan arang kompos sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Away, Y., D.H. Goenadi, dan P. Faturarchim. 1997. Pemanfaatan sampah pangkasan tanaman teh sebagai bahan baku kompos bioaktif. Warta Puslit. Biotek. Perkeb.III(1):33-40. Pusat Penelitian Biotek Perkebunan, Bogor

Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di TPA Bantar Gebang. Laporan. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor

Goenadi, D.H. & Y. Away. 1995. Cytophaga sp., and Trichoderma sp. as activators for composting. Proc. Int. Cong. On Soils of Trop. Forest Ecosystem. 3rd Conf. On Forest Soils (ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8:184-192. Kyoto University. Kyoto Japan.

Gusmailina, Gustan Pari dan Sri Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan Arang Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan Penelitian dan

Inbar, Y.Y., Chen and H.A.J. Hoitink. 1993. Properties for Establishing Standards for Utulization of Composts in Container Media. In: Science and Engineering of Composting: Design, Environmental, Microbiological and Utilization Aspects. H.A.J. Hoitink & H.M.Keener (Eds.). p.: 668-694. Renaissance Pub. Columbus, OH-USA.

12

12

Mindawati, N., N.H.L. Tata, Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998. Pengaruh beberapa macam limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan dengan bantuan efektif mikroorganisme 4 (EM4). Buletin Penelitian Hutan Bogor. No. 614 : 29-40. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan sampah organik menjadi Kompos. Makalah pada stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, 4 juli 2004. Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

13

13