11
1 MODAL SOSIAL 1 : UNSUR-UNSUR PEMBENTUK Oleh: Agus Supriono 2 , Dance J. Flassy 3 , Sasli Rais 4 ABSTRAK Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi, Hal ini dapat terjadi karena modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma- norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan secara bersama-sama. Unsur terpenting dan dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat adalah kepercayaan (trust). Adapun unsur-unsur yang dapat dipandang sebagai syarat kecukupan (sufficiency condition) dari terbentuk atau terbangunnya kekuatan modal sosial di suatu masyarakat adalah: (a) partisipasi dalam jaringan sosial (participation and social net work), (b) saling tukar kebaikan (resiprocity), (c) norma sosial (social norm), (d) nilai-nilai sosial, dan (e) tindakan yang proaktif. PENDAHULUAN Pelopor mazab ekonomi klasik, Adam Smith, menggambarkan bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yang sangat kompleks dan tertancap dalam kebiasaan-kebiasaan serta aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat (atau bangsa). Oleh karenannya aktivitas ekonomi merepresentasikan bagian yang krusial dari kehidupan sosial dan diikat bersama oleh varietas yang luas dari norma-norma, aturan-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang bersama-sama membentuk masyarakat. Suatu kenyatan yang tidak dapat ditolak bahwa bagaimanapun kehidupan ekonomi itu dipengaruhi oleh perilaku (behavior) manusia sebagai pelaku kehidupan ekonomi itu sendiri. Sedangkan perilaku manusia ini banyak dipengaruhi oleh faktor budaya (kultur) yang melekat pada masyarakat. Oleh karena itu pada dasarnya, faktor budaya memiliki pengaruh terhadap perilaku manusia (behavior) sebagai pelaku kehidupan ekonomi itu sendiri. Perilaku yang dapat menjadi kekuatan (pendorong) yang dapat dipergunakan menjadi sumber energi positif guna membangun perekonomian ini disebut sebagai modal sosial (social capital). Dimana faktor modal sosial ini melekat pada kehidupan budaya setiap masyarakat (atau bangsa). Modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme- mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama (2000). 1 Artikel Bagian-2. 2 Staf Pengajar Sosial Ekonomi Pertanian – Fakultas Pertanian – Universitas Jember; Mahasiswa S3, Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta . 3 Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Barat, Mahasiswa S3 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) – Universitas Indonesia. 4 Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen - Jakarta, Tim Teknis Project Management Unit – Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Daerah Tertinggal dan Khusus – Bappenas.

Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

1

MODAL SOSIAL1: UNSUR-UNSUR PEMBENTUK

Oleh: Agus Supriono2, Dance J. Flassy3, Sasli Rais4

ABSTRAK

Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi, Hal ini dapat terjadi karena modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan secara bersama-sama. Unsur terpenting dan dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat adalah kepercayaan (trust). Adapun unsur-unsur yang dapat dipandang sebagai syarat kecukupan (sufficiency condition) dari terbentuk atau terbangunnya kekuatan modal sosial di suatu masyarakat adalah: (a) partisipasi dalam jaringan sosial (participation and social net work), (b) saling tukar kebaikan (resiprocity), (c) norma sosial (social norm), (d) nilai-nilai sosial, dan (e) tindakan yang proaktif.

PENDAHULUAN

Pelopor mazab ekonomi klasik, Adam Smith, menggambarkan bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yang sangat kompleks dan tertancap dalam kebiasaan-kebiasaan serta aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat (atau bangsa). Oleh karenannya aktivitas ekonomi merepresentasikan bagian yang krusial dari kehidupan sosial dan diikat bersama oleh varietas yang luas dari norma-norma, aturan-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang bersama-sama membentuk masyarakat.

Suatu kenyatan yang tidak dapat ditolak bahwa bagaimanapun kehidupan ekonomi itu dipengaruhi oleh perilaku (behavior) manusia sebagai pelaku kehidupan ekonomi itu sendiri. Sedangkan perilaku manusia ini banyak dipengaruhi oleh faktor budaya (kultur) yang melekat pada masyarakat. Oleh karena itu pada dasarnya, faktor budaya memiliki pengaruh terhadap perilaku manusia (behavior) sebagai pelaku kehidupan ekonomi itu sendiri. Perilaku yang dapat menjadi kekuatan (pendorong) yang dapat dipergunakan menjadi sumber energi positif guna membangun perekonomian ini disebut sebagai modal sosial (social capital). Dimana faktor modal sosial ini melekat pada kehidupan budaya setiap masyarakat (atau bangsa).

Modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama (2000).

1Artikel Bagian-2. 2Staf Pengajar Sosial Ekonomi Pertanian – Fakultas Pertanian – Universitas Jember;

Mahasiswa S3, Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta . 3Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Barat, Mahasiswa S3

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) – Universitas Indonesia. 4Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen - Jakarta, Tim Teknis Project

Management Unit – Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Daerah Tertinggal dan Khusus – Bappenas.

Page 2: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

2

Modal sosial dibutuhkan guna menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas masyarakat dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum, dimana merupakan tempat meleburnya kepercayaan dan faktor yang penting bagi kesehatan ekonomi sebuah negara, yang bersandar pada akar-akar kutural (Fukyama,1995). Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi bagi masyarakat (atau bangsa) tersebut (Durkheim, 1973).

Artikel ini disusun dengan tujuan untuk menjelaskan secara komperehsif apa sebenarnya unsur-unsur yang membentuk dan terbangunnya modal sosial tersebut. Harapan penulis semoga altikel ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan pada diskusi-diskusi dan kajian-kajian ilmiah lebih lanjut terkait dengan keberadaan potensi dan peran penting modal sosial di dalam sistem perekonomian ataupun sistem sosial dan budaya masyarakat.

PEMBAHASAN Secara umum modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan

norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust). Atau dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat.

Pada masyarakat memiliki kapabilitas trust yang tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat. Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas trust yang rendah (low trust), atau memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), maka akan memiliki potensi modal sosial yang lemah.

Selain unsur pebentuk utama tersebut juga ada unsur pembentuk lain dari modal

sosial yang juga tidak kalah penting peranannya. Unsur-unsur ini dapat dikatakan sebagai syarat kecukupan (sufficiency condition) dari terbentuk atau terbangunnya kekuatan modal sosial di suatu masyarakat. Adapun unsur-unsur yang dimaksudkan adalah (Hasbullah, 2006):

Unsur Pokok Modal Sosial

Syarat Perlu/ Keharusan (Necessary Condition)

Syarat Kecukupan (Sufficiency Condition )

Trust dalam Masyarakat

Low Trust High Trust

Spectrum of Trust Sempit

Spectrum of Trust Lebar

Partisipasi dalam Jaringan

Saling Tukar Kebaikan (Resiprocity)

Norma-Norma Sosial (Social Norms)

Nilai-Nilai Sosial

Tindakan Proaktif

AmbivalenPositif

AmbivalenNegatif

Gambar 1 Unsur-Usur Pembentuk Modal Sosial

Page 3: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

3

(a) partisipasi dalam jaringan sosial (participation and social net work), (b) saling tukar kebaikan (resiprocity), (c) norma sosial (social norm), (d) nilai-nilai sosial, dan (e) tindakan yang proaktif.

Trust atau Rasa Saling Percaya (a) Kontekstual dan Definisi

Trust memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas atau bangsa (Putman, 1993). Oleh karena itu Fukuyama (1995) menyatakan, trust sebagai sesuatu yang amat besar dan sangat bermanfaat bagi penciptaan tatatan ekonomi unggul. Digambarkannya trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perililaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma5 yang dianut bersama-sama oleh anggota komunitas itu.

Putman (1992) mendefinisikan, trust sebagai bentuk keinginan untuk mengambil risiko dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan ’yakin’, bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan saling mendukung6. Adapun Brehm dan Rahn (1997) yang mengembangkan pemikiran Fukuyama (1995) mendefinisikan, trust sebagai penghargaan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, bersadasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu.

Woolcok (1998) mendefiniskan, trust sebagai rasa saling mempercayai antar individu dan antar kelompok di dalam suatu masyarakat (atau bangsa) yang dibangun oleh norma-norma nilai-nilai luhur yang melekat pada budaya masyarakat (atau bangsa) tersebut7. Adapun Dasgupta (2002) dengan lebih tegas mendefinisikan, trust sebagai daya atau semangat kemanusiaan yang jujur (altruism), berupa keinginan masyarakat untuk saling menghormati, mencintai, dan memperhatikan antar sesama manusia8.

Melalui trust orang-orang dapat bekerjama secara lebih efektif, oleh karena ada kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu9 (Fukuyama, 1995). Oleh karena itu Woolcok (1998) meyakini, trust merupakan sumber energi kolektif suatu masyarakat (atau bangsa) untuk membangun institusi-institusi di dalamnya guna mencapai kemajuan dan mempengaruhi semangat dan kemampuan berkompetisi secara sehat di tengah masyarakat (atau bangsa).

5Norma-norma tersebut dapat berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada niai-nilai luhur, seperti hakekat Tuhan atau keadilan, ataupun norma-norma sekuler seperti standar profesional dan kode etik perilaku (Fukuyama, 1995). Adapun yang dimaksudkan sebagai standar-standar profesional dan aturan-aturan perilaku (atau kode etik perilaku) adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam pepatah: ”Kita yakin bahwa dokter tidak akan menyakiti kita secara sengaja. Keyajinan muncul karena kita percaya bahwa dokter bekerja dengan kode etik kedokteran dan standar-standar profesional medis.”

6Paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putman, 1992). 7Di dalamnya memiliki unsur-unsur kekuatan untuk mempengaruhi prinsip-prinsip yang

melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu masyarakat (atau bangsa) tersebut (Woolcok, 1998).

8Dijelaskan oleh Dasgupta (2002), di dalamnya terdapat kemauan dan semangat keimbalbalikan untuk saling tolong-menolong tanpa mengharapkan imbalan seketika (social reciprocity), kemauan dan semangat untuk tidak merugikan orang lain (homo ets homo homini).

9Kesemuanya ini melekat pada budaya pada suatu entitas sosial dan menjadi energi luar biasa guna mengembangkan institusi-institusi dan kemampuan berkompetisi secara sehat, guna memperoleh kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi bersama-sama bagi entitas sosial yang menyandangnya (Fukyama, 1995).

Page 4: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

4

Berbagai tidakan kolektif yang didasari rasa saling mempercayai yang tinggi (high trust), sebagaimana diungkapkan Putman (1993), akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi, terutama dalam konteks membangun bersama. Sebaliknya, kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang berbagai problematik sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam, sehingga lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi (high cost) bagi pembangunan.

Fukuyama (1995) meyakini, bahwa trust sangat bermanfaat bagi penciptaan tatatan ekonomi unggul, oleh karena trust dapat diandalkan untuk mengurangi biaya (cost) dan waktu (time)10. Oleh karena itu menurut Putman (1993), trust memiliki kekuatan untuk mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas (bangsa).

Gambetta (2000) yang mengembangkan pemikiran Fukyama (1995) menyatakan, bahwa rasa saling percaya dan mempercayai (trust) menentukan kemampuan suatu bangsa untuk membangun masyarakat dan institusi-institusi di dalamnya guna mencapai kemajuan. Rasa saling mempercayai ini juga akan mempengaruhi semangat dan kemampuan berkompetisi secara sehat di tengah masyarakat. Rasa saling percaya ini tumbuh dan berakar dari niai-nilai yang melekat pada budaya kelompok.

Mengikuti Quinhong Fu (2004) dalam Hasbullah (2006), pada dasarnya trust dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (a) tingkatan individual, (b) tingkatan relasi sosial, dan (c) tingkatan sistem sosial. Pendapat ini merujuk pada beberapa pandangan sosiolog. Trust pada tingkatan individual merupakan kekayaan batin, norma, dan nilai individual yang merupakan variabel personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu11. Trust di dalam tingkatan relasi sosial, merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok yang didasari oleh semangat altruism, social resiprocity, dan homo ets homo homini12. Trust pada tingkatan sistem sosial, merupakan nilai publik komunitas, atau masyarakat, atau bangsa, yang perkembangnya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada, dimana sistem sosial tersebut didasari pada nilai-nilai budaya unggul13.

(b) Rentang/Radius Trust

Adapun kekuatan dan kelemahan trust di dalam suatu komunitas (masyarakat atau bangsa) ditentukan oleh rentang rasa mempercayai (the radius of trust) diantara anggota

10Di dalam bisnis, trust bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang

mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kontrak perjanjian, mengurangi keinginan menghindari situasi yang tidak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa, dan meminimalisasi keharusan akan proses hukum (Fukyama, 1995).

11Merujuk Nahapiet dan Ghosal (1998), pada tingkatan individual trust bersumber dari nilai-nilai, diantaranya dari: (a) agama atau kepercayaan yang dianut, (b) kompetensi seseorang, dan (c) keterbukaan, yang telah menjadi norma di masyarakat dan diyakini oleh seseorang.

12Mengikuti Coleman (1999) dan Wolfe (1989), pada tingkatan relasi sosial sumber trust berasal dari norma sosial yang memang telah melekat pada stuktur sosial komunitas (masyarakat/bangsa) yang diikat dengan nilai-nilai budaya. Hal ini terutama berkaitan dengan kepatuhan anggota komunitas terhadap berbagai kewajiban bersama yang telah menjadi kesepakatan tidak tertulis pada komintas tersebut.

13Mengikuti Hasbullah (2006) dengan memijam pendapat Putman (1993), di tingkat sistem sosial trust bersumber dari karakteristik sistem sosial tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap anggota komunitas (masyarakat/bangsa).

Page 5: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

5

komunitas tersebut (Coleman, 1999). Pada komunitas yang berorientasi inward looking cenderung memiliki the radius of trust yang pendek (sempit). Sedangkan pada komunitas yang berorientasi outward looking cenderung memiliki the radius of trust yang panjang (luas).

Komunitas atau masyarakat yang berorientasi inward looking akan lebih menunjukan kepada ego kelompok dan berpandangan negatif tentang dunia di luar kelompoknya, atau negative externality. Kebanyakan komunitas masyarakat tradisional pada umumnya berorientasi inward looking demikian ini. Menurut Woolcock dan Narayan (2000), pada dasarnya di tengah-tengah masyarakat tradisional kohesifitas kelompok cukup tinggi, hubungan antar individu dalam komunitas cenderung kohesif dan solidaritas pun terbangun dari nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama, akan tetapi miliki radius of trust yang pendek14.

Dapat dipetik pemahaman di sini, bahwa kekuatan trust salah satu diantaranya akan terbentuk dari kekuatan kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi di dalam suatu komunitas (masyarakat). Kekuatan kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi tersebut, terbentuk berdasarkan nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama. Akan tetapi tidak semua bentuk kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi di dalam komunitas dapat menjadi investasi serta sekaligus membawa kemajuan dan kekayaan ide bagi seluruh kelompok dan individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal demikian hanya dapat tumbuh pada komunitas yang memiliki karakteritik rentang rasa percaya (radius of trust) yang panjang (luas).

Radius of trust yang panjang (luas) hanya dapat dijumpai pada komunitas yang memiliki kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi dan memiliki pandangan outward looking. Yaitu terbuka terhadap harapan-harapan kemajuan dan semangat berkompetisi secara sehat yang dilandasi nilai universal altruism, social reciprocity, dan homo ets homo homini.

14Menangkap yang dimaksudkan Woolcock dan Narayan (2000), bahwa pada dasarnya ego

kelompok (komunitas) yang berkembang pada kebanyakan komunitas masyarakat tradisional memang pada gilirannya akan dapat membentuk (memupuk) rasa kohesifitas sosial (social cohesivity) dan solidaritas sosial (social solidarity) yang kuat berdasarkan nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama. Akan tetapi nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama tersebut pada kenyataanya justru membelenggu, atau menjadi faktor pembatas (constrain) bagi komunitas (kelompok) tersebut untuk berpandangan positif dan lebih luas terhadap dunia di luar komunitasnya (positive externality). Senada dengan hal ini Fukyama (2000) menyatakan, hampir semua bentuk budaya tradisional dengan masyarakatnya yang tertutup, seperti halnya suku-suku primitif, suku yang masih kuat menganut budaya klan dan feodal, pada umumnya hidup dan perilaku mereka didasarkan oleh norma bersama yang inward looking. Masyarakat yang demikian memang memiliki tingkat kehesifitas dan solidaritas kelompok yang tinggi, akan tetapi tidak dapat menjadi investasi serta sekaligus membawa kemajuan dan kekayaan ide bagi seluruh kelompok dan individu yang ada dalam masyarakat tersebut.

Trust

Tingkatan Relasi Sosial

Tingkatan Individual

Tingkatan Sistim Sosial

Resources:•Agama & kepercayaan•Kompetensi individu•Keterbukaan

Resources:•Norma sosial yang melekat pada struktur sosial.

Resources:•Karakteristik sistem sosial.

Contextual Variables:•Dignity•Altruism •Social reciprocity•Trustworthiness•Homo est homo hommini•Network•Institution

Radius of trust panjang (lebar) Radius of trust pendek (sempit)

Collective ActionCollective Action

Inward looking, Bonding, Tight group, Exclusive networking, Strong

distinction between insiders and outsiders, dan Single answer focus

Outward looking, No-bonding, No-tight group, No-exclusive networking, No-

strong distinction between insiders and outsiders, dan No-single answer focus

Gambar 2 Performen Trust: Resource, Contextual Variables, dan Radius of Trust

Page 6: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

6

Komunitas atau masyarakat yang menyandarkan dinamika kelompok pada group

solidarity atau ethnic solidarity adalah bentuk komunitas yang memiliki radius of trust yang pendek (sempit). Nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama yang kemudian menjadi pengikat kohesifitas dan solidaritas antar anggotanya, adalah bersifat inward looking15. Secara empirik Fukuyama (1995, 2000) memberikan contoh tentang masyarakat yang memiliki radius of trust yang pendek (sempit), yaitu masyarakat di negara-negara Amerika Latin16.

Menurut Gambetta (2000), kecenderungan masyarakat yang memiliki radius of trust yang pendek atau sempit (sebagaimana masyarakat di negara-negara Amerika Latin), adalah karakteristik dasar pola pergaulan masyarakat yang hidup dalam suasana pengelompokkan yang terikat (bonding group). Hasbullah (2006) menyatakan, ciri perilaku dan pola interaksi kelompok masyarakat yang demikian ini adalah kekentalan kelompok (tight group) dengan jaringan yang eksklusif (exclusive networking), memiliki sikap pembelaan yang kuat antara orang dalam dan orang luar (strong distinction between insiders and outsiders), serta dalam hal berbagai urusan biasanya hanya memiliki satu jenis jawaban dari suatu proses penyelesaian masalah (single answer focus).

Gambaran seperti ini juga masih mewarnai kehidupan banyak komunitas masyarakat tradisional dan kelompok suku yang ada di Indonesia, dimana nilai yang berasal dari pengalaman kultural kelompok yang bersifat doxa (sejenis pengalaman budaya dimana norma dan nilai yang selama ini dianut tanpa perlu dipertanyakan dan senantiasa dianggap sebagai kebenaran multak), bersifat inward looking dengan radius of trust yang pendek (sempit)17. Koherensi dan kohesifitas sosial yang terjadi dalam suatu entitas sempit. Jaringan-jaringan sosial pun tercipta dalam batas-batas lingkaran primordial dan ditujukan terutama hanya

15Hal demikian akan membatasi kemampuan anggotanya untuk bekerjasama dengan

masyarakat lain dan individu di luar radius kelompoknya. Sikap keseharian terkadang justru diwarnai oleh semangat kuatnya ego kelompok dan berpandangan negatif tentang dunia di luar lingkup (radius) komunitasnya.

16Hasil temuan dari studi yang dilakukannya menyimpulkan bahwa trust yang tumbuh terbatas di dalam keluarga, sesama keluarga besar mereka, atau dalam lingkaran kecil pertemanan yang bersifat sangat personal. Apa yang menjadi kebiasaan yang turun-temurun adalah adanya kesulitan bagi anggota masyarakat untuk saling mempercayai atau memiliki keyakinan bahwa orang-orang yang berada di luar kelompoknya patut dipercayai dan patut menjadi partner di dalam berbagai urusan. Orang di luar keluarganya, di luar kelompoknya, atau di luar sukunya, dianggap orang asing yang memiliki cara hidup kurang dibandingkan dengan cara hidup keluarga, kelompok, atau sukunya. Cara dan perlaku budaya orang lain, kelompok lain, atau suku lain, dianggap sebagai tidak pada tempatnya atau kurang pantas. Mereka cenderung memberikan bobot yang rendah terhadap orang lain, kelompok lain, atau suku lain. Trust yang terbangun cenderung ke arah group solidarity atau ethnic solidarity dan cenderung kuat menganut budaya klan dan feodal.

17Masing-masing suku hidup dalam suatu entitas yang inward looking, bonding, tight group, exclusive networking, strong distinction between insiders and outsiders, dan single answer focus, yang sekaligus menjadi ciri dari pola budaya sacred society. Pada setiap setting budaya tertanam kuat dan dipatuhi nilai-nilai formalitas yang berkaitan dengan status sosial dan hierarki sosial. Seorang Ketua Adat lebih dihormati karena label Ketua Adatnya. Bukannya dihormati karena apa yang telah dikerjakan oleh seorang Ketua Adat untuk memakmurkan dan menyelamatkan anggota masyarakat dalam lingkup rentang adat yang dia pimpin.

Page 7: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

7

untuk kepentingan ritual dan pelestarian kebiasaan. Bukan ditunjukkan sebagai sesuatu yang dapat dipandang sebagai aset sosial guna mengembangkan diri untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Setiap kelompok suku dari suatu entitas sosial, perkembangan ide, interpretasi dan alternatif, selalu terhalangi oleh kelompok elit masyarakat yang memaksakan kepatuhan pada suatu nilai dan norma yang sebetulnya hanya menguntungan sepktrum sosial atas (kind of symbolic violence to force people into line)18. Di dalam konteks demikian, pada masyarakat atau kelompok sosial yang dibentuk memang akan terjadi kohesifitas sosial yang harmonis. Akan tetapi pada kenyataanya, dengan memijam istilah Hasbullah (2006), hanyalah merupakan kohesifitas dan harmoni bayang-bayang (semu).

Hasbullah (2006) menyatakan, di dalam konteks Indonesia gerakan socially inward looking dengan radius of trust yang pendek (sempit) demikian ini tidak hanya berkembang di sebagian suku-suku di luar Jawa (yang selama ini mengidentifikasikan diri sebagai kelompok yang teraniaya), melainkan di suku yang memiliki kuantitas anggota yang sangat besar (di Jawa maupun di luar Jawa). Hal ini mungkin sejalan dengan yang dituliskan oleh Mahatir Mohamad (mantan PM Malaysia) di dalam bukunya ‘Malay Dilemma’, bahwa apa yang baik bagi orang Melayu adalah what is proper not what is pleasant19.

Partisipasi dalam Suatu Jaringan

Kemampuan anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis, akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat atau tidaknya modal sosial yang terbentuk/terbangun (Hasbullah, 2006). Kemampuan tersebut adalah kemampuan untuk ikut berpartisipasi guna membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesaamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility).

Partisipasi dan jaringan hubungan sosial yang terbentuk biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok masyarakat tradsional biasanya partisipasi dan jaringan hubungan sosial yang terbentuk didasarkan pada kesamaan garis keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun-temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada demensi religius (religious beliefs).

Sebaliknya pada kelompok masyarakat yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang luas. Pada tipologi kelompok masyarakat yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri

18Konsep baik, terutama kapan seorang disebut baik, bukan terletak pada perilaku orang

tersebut yang sejalan dengan nilai-nilai universal, melainkan apakah orang atau individu tersebut memiliki atau menunjukkan perilaku yang sesuai atau tidak dengan tuntutan adat. Nilai-nilai universal tersebut diantaranya adalah harkat diri (dignity), semangat kemanusian yang jujur (altruism), semangat saling membantu (social reciprocity), semangat yang amanah (trustworthiness), dan semangat untuk tidak menzolimi orang lain (homo est homo hommini), terasa kelihatan sangat tipis. Pola ini berlanjut ke kehidupan yang lebih modern, dimana asosiasi, kelompok, organisasi yang berorientasi pada penguatan kesejahteraan sekalipun, pada gilirannya memiliki setting koherensi dan kohesifitas sosial yang bersifat emosional identitas (bonding).

19Pandangan yang cenderung inert telah menjadi pandangan kolektif masyarakat, yang menjadikan mereka semakin sulit keluar dari lingkungan budaya yang terkungkung. Semakin sulit untuk merangsang tumbuhnya budaya kelompok yang menyatukan ide dan pemikiran untuk memperkaya kehidupan sosial, emosional dan kesejahteraan sosial.

Page 8: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

8

pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan lebih banyak menghadirkan dampak positif bagi kemajuan kelompok masyarakat tersebut maupun kontribusinya dalam pembangunan masyarakat secara luas20.

Saling Tukar Kebaikan (Resiprocity)

Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan (reiprocity) antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri di dalam masyarakat (Hasbullah, 2006). Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara seketika seperti halnya proses jual-beli, akan tetapi merupakan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Di dalam konsep religius keagaamaan (Islam), semangat semacam ini disebut sebagai ’keikhlasan’ (ikhlas).

Pada masyarakat atau pada kelompok sosial yang terbentuk yang didalamnya memiliki bobot resiprositas kuat, akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial tinggi (kuat). Hal ini juga akan terefleksikan dengan tingkat kepedulian sosial yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. Pada masyarakat yang demikian ini berbagai problem sosial akan dapat diminimalkan dan masyarakat akan lebih mudah membangun diri, kelompok, lingkungan sosial serta fisik mereka secara mengagumkan.

Akan tetapi pada suatu kelompok masyarakat yang memiliki tingkat resiprositas yang kuat, belum tentu dapat memiliki dampak positif yang cukup besar bagi kelompok masyarakat lainnya. Hal ini akan tergantung pada sifat-sifat dan orientasi nilai yang berkembang di dalam masyarakat tersebut. Pada tipologi masyarakat yang relatif relatif tertutup, resiprositas yang kuat akan bernilai positif untuk lingkungan sosial setempat (lingkungan sosialnya sendiri), akan tetapi belum tentu menghasilkan nilai positif bagi kelompok masyarakat yang lain. Sebaliknya pada tipologi masyarakat yang memiliki yang relatif terbuka, resiprositas yang kuat akan memberikan dampak positif yang lebih luas, baik untuk lingkungan sosial setempat (lingkungan sosialnya sendiri) dan juga untuk kelompok masyarakat yang lain.

Norma-Norma Sosial (Social Norms)

Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Menurut Hasbullah (2006), pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas (kelompok) tertentu. Norma-norma ini terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, akan tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial. Aturan-aturan kolektif itu misalnya menghormati pendapat orang lain, tidak mencurangi orang lain, kebersamaan dan lainnya.

Apabila di dalam suatu komunitas masyarakat, asosiasi, group, atau kelompok, norma-norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat, maka akan memperkuat masyarakat itu sendiri. Inilah alasan mengapa norma-norma sosial merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang keberlangsungan kohesifitas sosial yang hidup dan kuat. Akan tetapi juga harus dipahami bahwa norma-norma sosial ini senantiasa memiliki implikasi yang ambivelen. Sebagai contoh, norma formality yang dianut kuat di dalam masyarakat Melayu

20Hal yang sebaliknya biasanya akan terjadi pada tipologi kelompok masyarakat tradisonal

yang partisipasi dan jaringan hubungan sosial yang terbentuk didasarkan pada kesamaan garis keturunan, pengalaman-pengalaman sosial turun-temurun, dan kesamaan kepercayaan pada demensi religius.

Page 9: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

9

pada umumnya, memang dapat menciptakan suasana khidmat dalam hubungan sosial antar anggota kelompok atau sesama anggota masyarakat, akan tetapi di sisi lain cenderung tidak merangsang munculnya ide-ide baru21.

Nilai-Nilai Sosial (Social Value)

Nilai sosial adalah suatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat (Hasbullah, 2006). Misalnya nilai ’harmoni’, ’prestasi’, ’kerja keras’, ’kompetisi’ dan lainnya adalah merupakan contoh-contoh nilai yang sangat umum dikenal di dalam kehidupan masyarakat. Nilai sosial senantiasa juga memiliki kandungan konsekuensi yang ambivalen. Nilai harmoni misalnya, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai pemicu keindahan dan kerukunan hubungan sosial yang tercipta, akan tetapi di sisi lain dipercaya pula senantiasa menghasilkan suatu kenyataan yang menghalangi kompetisi dan produktivitas.

Pada kelompok masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai harmoni biasanya akan senantiasa ditandai oleh suatu suasana yang rukun, akan tetapi terutama dalam kaitannya dengan diskusi pemecahan masalah misalnya, akan tidak produktif. Modal sosial yang kuat juga ditentukan oleh nilai sosial yang tercipta dari suatu kelompok masyarakat demikian ini. Apabila suatu kelompok masyarakat memberikan bobot yang tinggi pada nilai-nilai: kompetisi, pencapaian, keterus-terangan, dan kejujuran, maka kelompok masyarakat tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan pada kelompok masyarakat yang senantiasa menghindari keterus-terangan, kompetisi, dan pencapaian22.

KESIMPULAN

Berdasarkarkan paparan sebelumnya dapat diambil beberapa poin simpulan antara lain: (1) Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust), atau dapat

dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat (atau bangsa).

(2) Trust dapat didefinisikan sebagai rasa saling mempercayai antar individu dan antar kelompok di dalam suatu masyarakat (atau bangsa) yang dibangun oleh norma-norma nilai-nilai luhur yang melekat pada budaya masyarakat (atau bangsa) tersebut.

21Hal tersebut dapat terjadi karena semua bentuk hubungan lebih mengutamakan kulit luar,

yaitu suatu label ketimbang pada demensi substansi isinya. Seorang Kepala Pemerintahan misalnya, akan dipandang sebagai penguasa dan secara formal lebih menonjolkan label penguasanya bukan pada muatan tanggung jawab pemerintahan dan sosial yang disandangnya. Oleh karena itu konfigurasi norma yang tumbuh di tengah masyarakat juga akan menentukan apakah norma tersebut akan memperkuat keeratan hubungan antar individu dan memberikan dampak positif bagi perkembangan masyarakat tersebut.

22Pada setiap kebudayaan, biasanya terdapat nilai-nilai sosial tertentu yang mendominasi ide yang berkembang. Dominasi ide tertentu dalam mayarakat akan membentuk dan mengurangi aturan-aturan bertindak masyarakatnya (the rules of conducts) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behaviors) yang sama-sama menurut istilah para sosiolog membentuk pola-pola kultural (cultural patten). Nilai-nilai individualistik, kecurigaan, dan konflik yang berkembang di masyarakat dapat mereduksi potensi modal sosial yang berkembang di masyarakat tersebut. Sedangkan nilai kebersamaan, tenggang rasa, dan penghormatan yang berkembang dimasyarakat akan dapat menguatkan potensi modal sosial yang ada di masyarakat tersebut.

Page 10: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

10

(3) Kekuatan dan kelemahan trust di dalam suatu masyarakat (atau bangsa) ditentukan oleh rentang rasa mempercayai (the radius of trust) diantara anggotanya, dimana pada komunitas yang berorientasi inward looking cenderung memiliki the radius of trust yang pendek (sempit), sedangkan pada komunitas yang berorientasi outward looking cenderung memiliki the radius of trust yang panjang (luas).

(4) Unsur-unsur yang juga tidak kalah pentingnya dalam membentuk terbentuk atau terbangunnya kekuatan modal sosial di suatu masyarakat (atau bangsa), atau dapat dikatakan sebagai syarat kecukupan (sufficiency condition) adalah: (a) partisipasi dalam jaringan sosial (participation and social net work), (b) saling tukar kebaikan (resiprocity), (c) norma sosial (social norm), (d) nilai-nilai sosial, dan (e) tindakan yang proaktif.

DAFTAR PUSTAKA

Brehm, J., W. Rahm. 1997. Individual-Level Evidence for the Causes and Consequences of

Social Capital. American Journal of Political Sciences, 41(3), July, 999-103. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

Coleman, J., 1999. Social Capital in the Creation of Human Capital. Cambridge Mass: Harvard University Press.

Dasgupta, P. 2002. Social Capital and Economic Performance: Analytics, 1-31 (Revised and abridged version of: Partha Dasgupta 2000). In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

Durkheim, E. 1973. Moral Education: Study in the Theory and Application of the Sociology of Education. New York: Free Press.

Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: Free Press.

---------------. 1995. Social Capital and The Global Economy. Foreign Affairs, 74(5), 89-103. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

--------------. 2000. Social Capital and Civil Society. International Monetary Fund Working Paper, WP/00/74, 1-8. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

Gambetta, D. 2000. Trust: Making and Breaking Cooperative Relations. Electronic Edition. Chapter 13. Oxford: Department Sociology, University of Oxford, 213-37. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

---------------. 2000. Can We Trust Trust ?. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press.

Nahapiet.J., Ghosal S. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and The Organization Advantage. The Academy of Management Review, 23(2): 242-276.

Putnam, R.D. 1992. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. American Prospect, 13, Spring, 35- 42. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

Page 11: Sosial Capital, Unsur-Unsur Pembentuk

11

--------------. 1993. Making Democracy Work: Civil Tradition in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press.

Quinhong Fu. 2004. Trust, Social Capital, and Organizational Effectiveness. Blacksburg, VA, April 2004.

Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis and Policy Framework. Theory and Society, 27 (1),151-208. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

----------------, D. Narayan. 2000. Social Capital: Implication for Development Theory, Research, and Policy. World Bank Research Observer, 15(2), August, 225-49. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.