9
Imam Pituduh: Social Entrepreneurship Harus Mengakui Hukum Pasar” Sumber: Judul buku : Menggali Konsep ‘Social Entrepreneurship’, Suatu Riset Pustaka Ditulis ulang dari : Jurnal Galang, Vol.1 No.4 Juli 2006, PIRAC, 2006, Opini Hal 125 – 133 Kewiraswastaan sosial (social entrepreneurship) secara umum dimaknai sebagai pelaku organisasi nirlaba dalam menggabungkan konsep bisnis dan sosial dengan lebih mengedepankan nilai sosial dan pemberdayaannya. Kewiraswastaan sosial diyakini mampu mendatangkan perubahan-perubahan yang signifikan baik dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi bagi kelompok-kelompok miskin dan terpinggirkan. Sayangnya, kewiraswastaan sosial baik dalam konsep maupun praktiknya masih belum mengacu pada suatu kesepahaman. Beberapa lembaga nirlaba di dalam negeri sudah mempraktikkan konsep ini dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda. Apakah konsep ini secara lebih terbuka menawarkan alternatif pemecahan masalah pemberdayaan lembaga dan masyarakat? Bagaimana prospeknya di Indonesia? Kendala apa saja yang mungkin muncul dihubungkan dengan pengalaman konkrit sebuah lembaga? Berikut petikan wawancara Redaktur Galang, Hamid Abidin dan Yuni Kusumastuti, dengan Direktur Yayasan Pekerti, Imam Pituduh. Bagaimana Anda memaknai konsep kewiraswastaan sosial (social entrepreneurship)? Kita awali dari entrepreneur, yaitu orang yang menyukai risiko untuk mendapatkan keuntungan. Nah, kalau ditambahi ‘sosial’ artinya kemudian ada beban dan batasan bahwa keuntungan itu harus kembali kepada masyarakat. Misalnya, koperasi tidak membagi deviden. Kalaupun keuntungan itu dibagi, tentu saja harus ada yang diinvestasikan kembali, kemudian ada yang dibayarkan bagi orang-orang yang terlibat, di antaranya pengurus, pelaksana, perajin, dan lainnya. Selain itu social entrepreneurship juga mengupayakan adanya dana pengembangan untuk keberlanjutan usaha dan organisasi. Sehingga pengembangan usaha tersebut nantinya mampu memberdayakan masyarakat yang lebih luas. Apa nilai lebih yang ditawarkan oleh konsep ini jika dibandingkan dengan usaha yang dilakukan perusahaan dan kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan lembaga sosial? Perbedaan mendasar antara konsep social entrepreneurship dengan perusahaan, misalnya, keuntungan usaha yang didapat perusahaan akan kembali kepada pemilik modal. Jadi keuntungan tersebut adalah mutlak menjadi hak pemilik modal, tentunya setelah dikurangi biaya-biaya operasional, gaji karyawan, dan sebagainya. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan sosial merupakan kegiatan derma, hibah, dan setelah itu hilang. Batasan social

Social Entrepreneurship Harus Mengikuti Hukum Pasar filesustainability dalam social entrepreneurship adalah pelatihan. Selain itu lembaga juga harus menyamakan visi di antara karyawan,

Embed Size (px)

Citation preview

Imam Pituduh:

”Social Entrepreneurship Harus Mengakui Hukum Pasar”

Sumber: Judul buku : Menggali Konsep ‘Social Entrepreneurship’, Suatu Riset Pustaka Ditulis ulang dari : Jurnal Galang, Vol.1 No.4 Juli 2006, PIRAC, 2006, Opini

Hal 125 – 133

Kewiraswastaan sosial (social entrepreneurship) secara umum dimaknai sebagai pelaku organisasi nirlaba dalam menggabungkan konsep bisnis dan sosial dengan lebih

mengedepankan nilai sosial dan pemberdayaannya. Kewiraswastaan sosial diyakini mampu mendatangkan perubahan-perubahan yang signifikan baik dalam konteks sosial, politik, dan

ekonomi bagi kelompok-kelompok miskin dan terpinggirkan. Sayangnya, kewiraswastaan sosial baik dalam konsep maupun praktiknya masih belum mengacu pada suatu

kesepahaman. Beberapa lembaga nirlaba di dalam negeri sudah mempraktikkan konsep ini dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda. Apakah konsep ini secara lebih terbuka menawarkan alternatif pemecahan masalah pemberdayaan lembaga dan masyarakat?

Bagaimana prospeknya di Indonesia? Kendala apa saja yang mungkin muncul dihubungkan dengan pengalaman konkrit sebuah lembaga? Berikut petikan wawancara Redaktur Galang,

Hamid Abidin dan Yuni Kusumastuti, dengan Direktur Yayasan Pekerti, Imam Pituduh. Bagaimana Anda memaknai konsep kewiraswastaan sosial (social entrepreneurship)? Kita awali dari entrepreneur, yaitu orang yang menyukai risiko untuk mendapatkan keuntungan. Nah, kalau ditambahi ‘sosial’ artinya kemudian ada beban dan batasan bahwa keuntungan itu harus kembali kepada masyarakat. Misalnya, koperasi tidak membagi deviden. Kalaupun keuntungan itu dibagi, tentu saja harus ada yang diinvestasikan kembali, kemudian ada yang dibayarkan bagi orang-orang yang terlibat, di antaranya pengurus, pelaksana, perajin, dan lainnya. Selain itu social entrepreneurship juga mengupayakan adanya dana pengembangan untuk keberlanjutan usaha dan organisasi. Sehingga pengembangan usaha tersebut nantinya mampu memberdayakan masyarakat yang lebih luas. Apa nilai lebih yang ditawarkan oleh konsep ini jika dibandingkan dengan usaha yang dilakukan perusahaan dan kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan lembaga sosial? Perbedaan mendasar antara konsep social entrepreneurship dengan perusahaan, misalnya, keuntungan usaha yang didapat perusahaan akan kembali kepada pemilik modal. Jadi keuntungan tersebut adalah mutlak menjadi hak pemilik modal, tentunya setelah dikurangi biaya-biaya operasional, gaji karyawan, dan sebagainya. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan sosial merupakan kegiatan derma, hibah, dan setelah itu hilang. Batasan social

entrepreneurship selain profit itu kembali kepada masyarakat adalah proses bisnis yang dilakukan bersama-sama masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan. Selain itu sustainability merupakan aspek kunci. Sustainability baik dari bisnis itu sendiri maupun partisipan, siapapun yang terlibat. Jadi dua-duanya harus sustain, walaupun mungkin tetap ada beberapa hal yang tidak bisa berlanjut, misalnya karena ketidakmampuan. Misalnya, seperti yang terjadi pada kelompok-kelompok Pekerti. Pekerti mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya sekarang ini tidak memakai uang muka pada item tertentu. Setiap orang yang membutuhkan dana harus pinjam kepada koperasi. Nah, kebijakan ini tentunya akan memakan ‘korban’ di mana ada beberapa orang yang kemudian tidak bisa memenuhinya. Dalam hal ini persoalan tersebut selanjutnya menjadi kewajiban dari institusi atau lembaga untuk memberikan subsidi silang. Jadi, misalnya produk-produk yang dihasilkan belum bisa masuk pasar, karena harganya dianggap belum efisien dan sebagainya, tentunya harus ada subsidi silang. Hal itu satu di antara upaya-upaya sustainability yang nantinya dapat meningkatkan partisipasi mereka.

Satu hal upaya yang bisa dilakukan untuk peningkatan kapasitas dan menjadi kunci sustainability dalam social entrepreneurship adalah pelatihan. Selain itu lembaga juga harus menyamakan visi di antara karyawan, pengurus dan partisipan. Kalau dalam Pekerti partisipannya kelompok-kelompok perajin. Penyamaan visi penting sekali agar ada pihak-pihak tersebut dapat saling memahami karena jika Pekerti hancur, maka hancurlah mereka. Sebaliknya, jika mereka hancur, Pekerti juga tidak akan memperoleh keuntungan. Konsep social entrepreneurship masih dianggap rancu. Apa saja yang membuat hal itu masih sulit didefinisikan secara jelas? Bagi kami sudah jelas sebenarnya. Tetapi karena ini sebuah konsep baru, ada beberapa pihak yang belum mengakuinya. Misalnya, social entrepreneurship itu harus mengakui hukum pasar. Namun, pihak lain mengatakan “Wah, tidak bisa begitu. Itu namannya kapitalis jika mengikuti hukum pasar. Kita harus menciptakan hukum pasar kita sendiri.” Dalama hal ini akhirnya butuh kesepakatan. Kalau kita sudah punya pasar sendiri, supply sendiri, semua unsur bisnis itu kita miliki sendiri, barangkali kita boleh berdiri sendiri. Tetapi kalau kita menjual barang itu juga pada mainstream pasar umum, maka mau tidak mau hukum pasar harus diberlakukan. Jadi, misalnya, produk yang ditolak pasar harus kita kembalikan ke perajin untuk memberi pelajaran kepada mereka dalam hal quality control. Namun, ini ternyata belum banyak dipahami. Misalnya, pada waktu Pekerti harus mengembalikan satu truk hasil perajin, mereka merasa Pekerti tidak lagi menjalankan fair trade, bukan bisnis sosial tetapi kapitalis. Mereka membandingkan kebijakan kontrol kualitas supermarket di Jakarta dengan ekspor. Jelas berbeda, kan? Padahal hal ini sudah dijelaskan di awal kerjasama. Penolakan atau pengembalian produk ini juga merupakan sebuah pendidikan sekaligus punishment. Hal-hal semacam ini merupakan contoh masih agak rancunya pemahaman social entrepreneurship. Kalau dari positioning-nya, kewiraswastaan sosial berada di tengah-tengah antara market (kapitalis) dengan lembaga sosial. Dalam konteks lembaga, apakah bentuknya lembaga komersial tapi punya aspek sosial lembaga sosial tapi punya usaha komersial? Itu tinggal pengertian atau cara pandang kita tentang sosial dan komersial. Bagi saya sebenarnya dua-duanya tidak ada masalah, apakah organisasi sosial yang sangat

profesional atau komersial tetapi berjiwa sosial, yang penting adalah output dan manfaat yang didapat. Katakanlah setiap perusahaan besar itu biasanya mereka mempunyai kegiatan-kegiatan sosial yang cukup tinggi. Nah, sekarang tinggal diukur saja berapa “darah yang sudah mereka hisap” dari masyarakat, kemudian berapa yang sudah mereka kembalikan kepada masyarakat. Kalau itu lebih kecil, hal itu artinya sebuah strategi public relation (PR). Kemudian, siapa yang bisa mengukur? Ini perlu penelitian yang lebih konkrit. Social enterprise lebih mengedepankan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan bersama daripada yang harus dikembalikan kepada pemilik modal. Jadi, bagi saya sejauh yang berkuasa itu adalah modal maka itu bukan social entreprise atau social entrepreneurship. Dalam konteks social entrepreneurship salah satu cirinya lebih banyak motif ke pengembangan masyarakat daripada pembagian modal. Kalau dari aspek manajemennya, bagaimana membedakannya dengan lembaga sosial secara umum atau lembaga komersial? Dalam konteks pengalaman Pekerti, manajemen seperti apa yang diterapkan? Dalam manajemen kami, hal-hal yang besar seperti laporan keuangan, berapa persen Pekerti mengambil untung, berapa subsidi silangnya, berapa persen yang harus dikembalikan kepada perajin, termasuk kita masih memerlukan reward dan punishment atau tidak, semua itu kita bicarakan dalam annual meeting yang biasanya kita laksanakan di Yogya karena berada di tengah-tengah selain murah. Kemudian semua permasalahan tersebut kita diskusikan bersama, apa yang akan dilakukan berikutnya, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan yang diperlukan kita susun bersama, kecuali misalnya tentang hal-hal yang sifatnya teknis bisa diserahkan pada Pekerti. Segala hal yang dikomunikasikan antara Pekerti dan perajin sedapat mungkin diakomodasi di forum tahunan tersebut. Kalau perusahaan, misalnya Astra, apakah pernah bertanya kepada konsumennya? Pekerti juga tidak langsung bertanya kepada konsumen, tetapi konsumen kita diwakili oleh beberapa kelompok. Setiap tahun kita melakukan semacam evaluasi pertumbuhan mitra. Jadi kita bagikan kuesioner dan meminta anggota untuk mengisi. Misalkan tahun kemarin pendapatan berapa-sekarang berapa, dulu karyawan berapa-sekarang berapa, bagaimana pengaruh pelatihan yang kita lakukan. Kemudian hal itu sebagai bahan dan laporan tahunan kita sebagai bahan untuk pertemuan tahunan. Di samping itu kita juga melakukan self-assessment, mengukur keberhasilan kita dengan sebuah perangkat, 9 prinsip fair trade Pekerti. Hasil itu semua selanjutnya kita evaluasi, kemudian kita kirimkan kepada seluruh buyer kita. Kalau buyer kita datang kemari, mereka kita persilakan untuk menilai. Misalnya, dia akan datang ke perajin, menanyakan penghasilannya berapa kemudian dia akan mencocokkan itu dengan hasil survei kita tahun kemarin. Dalam konteks SDM, kalau di LSM secara umum dikelola orang-orang yang punya kapasitas sosial, sementara di perusahaan lebih banyak dikelola orang profesional murni. Bagaimana menentukan kapasitas karyawan dalam lembaga yang menerapkan konsep social entrepreneurship? Bagi saya lebih baik dikombinasikan. Nomer satu bisnis dulu. Jadi biasanya calon karyawan Pekerti diberikan psikotes pada awalnya, kemudian dilakukan orientasi, ada penilaian-penilaian karya satu tahun sekali untuk kemampuan bisnisnya. Selanjutnya beberapa kali dalam satu tahun kita melakukan assessment untuk kepekaan sosial mereka. Puncaknya pada saat annual meeting itu. Di sana kita mengadakan diskusi-diskusi bersama, memang

metodologinya tidak dengan memberikan nilai sekian, tapi lebih pada penyadaran. Tentunya si karyawan itu nantinya memiliki kemampuan bisnis yang ditunjang oleh kemampuan sosialnya. Ia harus menguasai betul 9 prinsip fair trade Pekerti. Karena kemampuan itu nantinya akan mempengaruhi kondite seseorang itu naik jabatan atau tidak, berapa persen ia akan mendapatkan bonus dan berapa range kenaikan gajinya. Walaupun sudah dilakukan hal-hal demikian, masih cukup tinggi juga turn-over-nya. Setidaknya metode yang kita terapkan ini mampu juga mengurangi hal itu. Bagaimana dengan aspek permodalannya? Mengenai permodalan kita menerapkan prinsip dari, oleh, dan untuk anggota. Di dunia bisnis internasional, keberadaan bank merupakan kunci dan mutlak dibutuhkan keberadaannya. Namun, belum tentu kita harus menggantungkan pendanaan dari bank karena administrasinya cukup rumit dan sulit. Di level internasional kita mempunyai kelompok dan mengupayakan adanya lembaga semacam bank, namanya Shared Interest. Lembaga tersebut merupakan media bagi anggotanya untuk berbagi risiko, artinya kita menanamkan modal di sana, kita bisa pinjam dari mereka, perajin juga bisa pinjam dari mereka. Kedua, kita sendiri di sini juga punya koperasi, KOPERTI (Koperasi Pengembangan Kerajinan Rakyat). Jadi seluruh karyawan, pengurus, dan seluruh mitra kita menjadi anggota. Kita mengumpulkan dana, kemudian ditambahi dengan berbagai pinjaman, yang pasti tidak dari bank. Dari koperasi ini, anggota bisa meminjam dengan agunan (tanah atau rumah), tetapi kita tidak menerima agunan STNK atau BPKB dan anggota membayar dengan bunga. Kemudahan lain yang kita berikan kepada anggota adalah peminjaman bisa disesuaikan dengan kebutuhan, tidak selalu untuk kepentingan bisnis, misalnya untuk renovasi rumah, pendidikan anak, kecelakaan ataupun bencana banjir. Dikaitkan dengan problem LSM mengenai keberlanjutan pendanaan, apakah konsep ini bisa menjadi semacam alternatif buat LSM agar mereka tidak tergantung pada lembaga donor? Saya kira persoalan ini bukan sekarang saja terjadi, dari dulu Bina Swadaya, LP3ES sudah memikirkan persoalan itu. Beberapa lembaga pernah mencoba konsep ini, namun tidak semuanya berhasil. Saya dengar, misalnya Dian Desa sudah tidak jalan lagi, penerbitan LP3ES juga tidak semaju dulu. Sayangnya memang kemudian teman-teman di dunia LSM ada yang mengelompokkan diri, sangat puritan. Ia tidak mau mengelola bisnis. Menurut saya hal itu berarti ia telah menggantungkan, menggadaikan visi mereka kepada pemberi dana. Faktor apa yang menjadi kendala selama ini sehingga LSM kurang begitu familiar dengan social entrepreneurship? Pertama, mereka memang mengususkan diri untuk tidak mau terlibat, mereka takut tenggelam. Mereka takut tenggelam karena semua hal diukur dari efisiensi, semua diukur dari untung rugi. Kedua, kurangnya kapasitas SDM. Menurut pengalaman saya di Pekerti, karyawan yang kita rekrut haruslah orang-orang yang terpilih sesuai dengan seleksi yang banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan. Kebanyakan LSM setahu saya tidak melalui sistem seleksi semacam itu. Sebagian besar masih menggunakan sistem yang kurang profesional misalnya, kebetulan teman baik kemudian di-interview kira-kira cocok, pinter

berbicara (berorasi) dan lain sebagainya, akhirnya menjadi karyawan. Padahal kalau dilakukan psikotes untuk pekerjaan yang ditawarkan, ia belum tentu cocok. Ketiga, pendidikan-pelatihan. Pelatihan itu pada prinsipnya harus terencana dan urut. Jadi misalnya kalau yang di bagian keuangan, mereka harus menguasai betul tehnologinya, skill-nya, kemudian didukung oleh brain; begitu pula bidang yang lain. Kebanyakan teman-teman LSM lebih banyak mengikuti pelatihan di bidang yang bersifat sosial. Pelatihan yang bersifat praktis dan ekonomis itu sangat sedikit. Coba kalau misalnya ada pelatihan-pelatihan tentang jurnalistik atau PRA (Participatory Rural Appraisal), biasanya banyak sekali peserta yang mengikuti. Saya tidak pernah mendapat undangan untuk pelatihan, misalnya costing, pricing, kemudian bagaimana menyeleksi produk baru, bagaimana market opprttunity-nya, bagaimana pula membuat new market strategy. Dulu Pekerti pernah mengundang mereka kalau kita melakukan pelatihan semacam itu. Ternyata peminatnya sangat kecil dan setelah kembali ke lembaganya, orang tersebut tidak akan ditempatkan di tempat yang dilatihnya itu. NGO secara kultur lebih banyak bergerak ke arah sosial. Seandainya ia ingin menekuni social entrepreneurship, apakah lembaga tersebut lebih baik memiliki divisi atau manajemen yang terpisah secara profesional? Sebenarnya sangat tergantung pada komandannya, visi komandannya. Di Pekerti, kita harus menguasai dua-duanya. Orang divisi pengembangan masyarakat harus paham juga tentang aspek-aspek bisnis yang dipedomani, begitu juga sebaliknya. Kegiatan yang dilakukan juga tidak jauh berbeda dengan LSM pada umumnya, seperti membuat proposal, melakukan pelatihan-pelatihan. Tetapi lembaga yang menerapkan kewiraswastaan sosial sangat tegas di dalam menganalisis waktu, output meskipun output-nya itu lebih bersifat sosial, misalnya.

Mengenai pengelolaan memang mutlak harus terpisah, mulai dari administrasi, manajemen. Bahwa orangnya, misalnya melakukan 50:50 atau paro waktu, hal tersebut sangat tergantung pada beban pekerjaan yang ditangani. Kalau misalnya direktur tugasnya rapat, memimpin rapat, juga lobi, ia bisa memegang LSM plus PT. Sebaliknya, apakah marketing manager-nya bisa melakukan hal yang sama? Tentu saja tidak. Misalnya, di Pekerti ada sekitar 9 orang yang tidak boleh diganggu gugat selain pengelolaan usaha. Mereka setiap hari berada di depan komputer, yang satu mengelola bagaimana menangani buyer, yang satu mengatur antara pembelian dengan bagian administrasi, juga ada bagian gudang dan perangkat-perangkat lainnya. Mereka sama sekali tidak boleh diganggu, kecuali jika diperlukan. Misalnya ada kegiatan-kegiatan di lapangan yang membutuhkan orientasi sosial dan bisnis sekaligus, mereka bisa menjadi fasilitator. Dengan pekerjaan yang hampir mirip dengan pekerjaan di perusahaan itu, Pekerti sangat memperhatikan kesejahteraan mereka. Misalnya tunjangan keluarga (kesehatan, pendidikan, dsb.) sehingga karyawan merasa aman dan tentram dalam bekerja. Pada prinsipnya kewiraswastaan sosial yang kita lakukan harus mengupayakan kesejahteraan baik ke dalam maupun ke luar. Kita upayakan agar usaha kita bisa sukses dan organisasi dapat pula menolong dan meringankan beban kelompok sasaran. Sebagai NGO yang mencoba masuk ke ranah social entrepreneurship merasa agak gamang karena misalnya, ketika mereka mencoba menjual produk dan jasa, masyarakat kemudian mempertanyakan, Anda ini lembaga sosial atau komersial? Bagaimana menanggapi hal tersebut?

Sebenarnya kita bisa menjelaskan kepada mereka, mengapa kita menjual. Tentunya karena kita ingin “merdeka”. Kedua, siapa yang dirugikan? Adakah yang dirugikan? Adakah yang diuntungkan? Kita jelaskan hal-hal semacam itu. Pilihan lain adalah kita mau ikut arus atau tidak. Arus di masyarakat itu membedakan antara trading (bisnis) dan karitatif. Tentunya tidak bisa hitam-putih begitu. Kalau mau memantapkan untuk mandiri harus mulai menentukan pilihan. Tentunya akan banyak kritik yang masuk. Tetapi, mana yang lebih baik, membantu masyarakat menjual produknya atau me-mark up biaya-biaya pelatihan atau lainnya?

Pada awalnya dulu sister company kita di Yogya mengalami banyak kritik. Namun kita berusaha menjelaskan kepada masyarakat apa yang kita lakukan. Mengapa kita melakukan ini karena masyarakat memiliki masalah. Kita elaborasi permasalahan mereka, kemudian kita memberikan pelatihan dan kita carikan solusinya dalam pelatihan tersebut. Misalnya, output mereka adalah produk dan permasalahan mereka tidak bisa memasarkan sendiri, nah di sinilah kita berperan. Kemudian ketika kita mengembangkan di Bali, juga di 10 provinsi lainnya, kita sudah tidak menemui persoalan yang serius. Prinsipnya menjalin komunikasi yang partisipatif mengenai kebutuhan kedua belah pihak. Ada beberapa NGO yang terjun ke social entrepreneurship dinilai kebablasan. Misalnya, ada lembaga yang semula menerbitkan majalah untuk petani atau melaksanakan training, kemudian merubah dan format orientasinya menjadi majalah dan training komersial, sehingga petani miskin tak bisa lagi menikmati layanan tersebut. Bagaimana menjaga agar visi sosial itu tetap terjaga? Kita bisa melakukan self-assessment dan evaluasi setiap tahun sekali atau beberapa tahun sekali. Dalam forum tersebut kita bisa melakukan evaluasi kembali tentang visi dan misi organisasi, apakah masih dianggap relevan. Jika dianggap masih relevan, ya tinggal melanjutkan saja. Misalnya, mengapa mereka menerbitkan majalah tersebut dan siapa yang diuntungkan dari usaha tersebut? Pertanyaannya sederhananya demikian. Nah, kalau menurut mereka visi-misi tadi masih relevan; mereka mempunyai angkanya, mempunyai data-datanya, usaha itu tetap bisa dilanjutkan. Ya, mungkin orang luar saja yang tidak tahu; bisa jadi demikian. Penuntun atau orientasi usaha komersial adalah jelas, yaitu kebutuhan atau peluang pasar. Bagaimana dengan kewiraswastaan sosial? Pada dasarnya sama. Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, melihat peluang pasar. Kedua, menentukan yang siapa yang akan diajak dan bagaimana caranya untuk memenuhi pasar itu. Kalau kapitalis lebih mudah, bisa dengan membebaskan tanah, membangun pabrik. Namun, kalau social entrepreneurship mungkin prosesnya dengan mendekati orang-orang itu dan nantinya mereka menjadi pemilik saham dari usaha yang akan dibangun. Inilah perbedaannya.

Memenuhi kebutuhan pasar tidak mudah. Kita harus jeli mengelola perubahan pasar yang begitu cepat. Misalnya, satu tahun perajin belum bisa menguasai satu desain, tahun depannya pasar sudah meminta desain baru. Begitu produk kita masukkan pasar, tahun depan sudah ada perusahaan besar yang mengopi. Pekerti sering mengalami hal tersebut. Kemudian kita juga membagi beban kerja kepada kelompok penyangga dan utama. Misalnya, ada pesanan sebanyak 5.000, maka 3.000 produk kita pesan kepada kelompok utama yang sudah berjalan dengan baik dan sisanya sebanyak 2.000 kita lempar kepada

kelompok masyarakat (penyangga) yang masih 1-2 tahun menjadi anggota kelompok. Diharapkan penyangga berlatih banyak dahulu sebelum dia menjadi kelompok utama. Sejauh ini, bagaimana dukungan pemerintah terhadap organisasi-organisasi yang mencoba masuk ke ranah social entrepreneurship? Dari segi kebijakan pemerintah tidak banyak membantu. Selama ini kita berjalan si sela-sela barikade ini. Untuk trading, misalnya, ada peraturan yang dibuat Menteri Perindustrian jaman Megawati, Rini Suwandi, yang mengharuskan setiap eksportir produk rotan dan kayu, terdaftar dan hal ini menelan biaya 3,5 juta. Tentunya ini tidak memungkinkan bagi semua perajin. Di Yogya kita melakukan pendekatan pada Sultan, kemudian Sultan memerintahkan kepada dinas-dinas untuk membebaskan bea produk kerajinan. Kita juga melakukan pendekatan kepada beberapa anggota asosiasi, di mana anggota perajin asosiasi memakai nama asosiasi, anggota Pekerti memakai nama Pekerti. Sebenarnya semua persoalan itu tinggal bagaimana kita menyiasati dan memanfaatkan. Seberapa besar prospek pengembangan konsep social entrepreneurship di Indonesia? Sebenarnya prospeknya sangat besar; untuk negara miskin prospeknya sangat besar karena di negara miskin banyak orang membutuhkan bantuan. Bukan berarti anggotanya harus orang miskin semua. Menurut pengalaman kami, orang miskin itu mempunyai kesungguhan, ketekunan, dan motivasi yang tidak kalah dengan orang yang tidak miskin; orang-orang yang berpendidikan menengah atau orang-orang kaya yang tanggung. Jadi para tukang yang hanya pendidikan SD, perajin-perajin itu yang dulunya buruh, kalau kita tunjukkan, kita ajak bersama-sama mereka rela berkorban dibanding orang yang sudah pernah berhasil atau memiliki warisan. 9 Prinsip Fair Trade (FT) Pekerti: 1. Menjangkau Kaum Lemah/Miskin

Menjangkau kaum miskin dan mengurangi tingkat kemiskinan melalui perdagangan adalah merupakan bagian kunci gerakan. Mendukung mereka yang kurang beruntung secara ekonomi dan termarjinalkan; baik perajin individu, bisnis keluarga maupun kelompok dalam asosiasi atau koperasi. Hal ini dilakukan agar memungkinkan mereka dapar berubah dari sebuah posisi rentan ke posisi aman dan dari miskin materi ke posisi berpenghasilan dan memiliki aset usaha.

2. Transparansi dan Akuntabilitas Seluruh kegiatan usaha dilakukan secara transparan, baik dalam organisasi dan manajemen. Melakukan hubungan dagang dan bertransaksi secara adil dan saling menghormati. Bertanggung jawab dan menghargai sensitifitas dan kerahasiaan informasi dagang. Terbuka atas keikutsertaan karyawan / staf dan perajin / pekerja dalam setiap proses pembuatan keputusan penting serta terbuka untuk memberikan informasi yang sesuai dan diperlukan oleh semua mitra dagangnya.

3. Pengembangan Kapasitas

Berupaya untuk meningkatkan keterampilan / kemampuan staf / karyawan dan perajin / pekerja yang menjadi mitra kerja. Memberikan perhatian khusus agar hubungan kerja dan hubungan dagang dapat berkesinambungan sesuai kesepakatan. Bersama mencari jalan keluar apabila terjadi pemutusan kemitraan. Mendampingi upaya peningkatan keterampilan manajemen dan perluasan akses pasar baik ke pasar internasional, regional atau lokal, Fair Trade maupun pasar bebas.

4. Memromosikan Fair Trade Meningkatkan kesadaran akan tujuan FT dan berupaya untuk menerapkan keadilan dalam setiap kegiatan usaha. Melakukan advokasi dan promosi atas tujuan dan kegiatan FT sesuai jangkauan. Memberikan informasi yang benar tentang organisasi, manajemen, produk, dan kondisi-kondisi yang telah dihasilkan. Melakukan periklanan dan pemasaran dengan jujur serta menjaga agar standard mutu dan pengepakan selalu terjaga.

5. Pembayaran Harga yang Adil Harga yang adil sesuai kemampuan pasar yang lahir dari kesepakatan melalui dialog yang partisipatif, untuk memberikan upah yang adil pada para pekerja. Adil dalam arti layak secara sosial (dalam konteks lokal) disepakati keduabelah pihak dan menganut prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Para buyer FT mendukung pengembangan kapasitas serta menjamin pembayaran yang cepat dan jika mungkin membantu dengan uang muka produksi.

6. Kesetaraan Gender FT memberikan perlakuan yang adil kepada perempuan dan laki-laki dan secara khusus dapat memrioritaskan perempuan karena pertimbangan di suatu daerah tertentu. FT memperhatikan keperluan kesehatan dan keamanan khusus bagi wanita, terutama bagi yang hamil dan menyusui. Budaya dan tradisi masyarakat dihormati dan dilakukan upaya khusus untuk menghindari adanya diskriminasi agama, politik, jasmani, kasta, dan umur.

7. Kondisi Kerja Gerakan FT memromosikan lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan sehat bagi para pekerja dengan air bersih, sanitasi, akses pengobatan, dan kebutuhan ibadah. Jam kerja sesuai yang ditetapkan oleh hukum dan konvensi ILO serta ketentuan masing-masing daerah. Secara tetap para perajin / pengusaha berupaya meningkatkan kesadaran pekerja pada isu kesehatan, keamanan, kualitas produk, keterampilan serta masa depan mereka.

8. Buruh Anak FT menghargai konvensi UN, hukum dan norma-norma tentang hak-hak anak, untuk menjamin bahwa kesertaan anak pada proses produksi tidak mempengaruhi kesejahteraan, keamanan, keperluan pendidikan, dan keperluan bermain mereka secara merugikan. FT dengan kerja sama semua pihak selalu memantau secara langsung dan terus menerus keterlibatan anak dalam produksi.

9. Lingkungan

FT memaksimalkan penggunaan bahan baku dari sumber daya yang dikelola secara berkelanjutan dan bertanggung jawab, semikian juga dalam memperdagangkan produknya. Pengepakan diprioritaskan mempergunakan bahan yang dapat didaur ulang dengan mudah. Gerakan FT mempromosikan penggunaan teknologi yang memperhatikan kelestarian lingkungan serta mengurangi konsumsi energi dan meningkatkan kesadaran adanya bahaya kerusakan lingkungan.