13
65 BAB IV Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang kebudayaan slametan mau tidak mau gereja turut ikut campur dalam kaitanya dengan kebudayan yang dilakukan oleh jemaatnya agar, gereja dapat berjalan dengan kebudayaan dan masyarakat sekitar. Masyarakat kota Magetan mayoritas kehidupannya bermatapencaharian sebagai pegawai, hal ini dikarenakan jemaat GKJW Magetan mayoritas pendatang, jemaat GKJW Magetan yang tinggal di wilayah pedesaan kebanyakan bekerja sebagai sebagai petani, buruh pabrik dan pedagang, hal ini tidak membuat kebudayaan slametan hilang. Justru mereka masih mempertahankan hingga sekarang. Jika kita melihat pandangan masyarakat Jawa terutama jemaat GKJW Magetan terhadap kebudayaan upacara slametan, kita akan melihat begitu kentalnya kebudayaan slametan yang masih dipegang, dapat kita lihat melalui upacara slametan yang dilakukan oleh jemaat GKJW Magetan seperti: Bestonan, Kelahiran, Panen, Kematian, Kitanan, Syukuran. Hal ini jelas bahwa jemaat GKJW Magetan sangat menghargai warisan nenek moyang. Walaupun upacara slametan ini sebagai salah satu bukti masyarakat untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka, namun mereka berusaha untuk menghindari sisi negatif untuk mencari keselamatan kepada roh halus atau roh nenek moyang. Dilihat dari asal kata nama itu sendiri slamet, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa, slametan merupakan serangkaian kegiatan manusia

Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

  • Upload
    buikhue

  • View
    236

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

65

BAB IV

Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan

4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan

Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang

kebudayaan slametan mau tidak mau gereja turut ikut campur dalam kaitanya

dengan kebudayan yang dilakukan oleh jemaatnya agar, gereja dapat berjalan

dengan kebudayaan dan masyarakat sekitar. Masyarakat kota Magetan mayoritas

kehidupannya bermatapencaharian sebagai pegawai, hal ini dikarenakan jemaat

GKJW Magetan mayoritas pendatang, jemaat GKJW Magetan yang tinggal di

wilayah pedesaan kebanyakan bekerja sebagai sebagai petani, buruh pabrik dan

pedagang, hal ini tidak membuat kebudayaan slametan hilang. Justru mereka

masih mempertahankan hingga sekarang. Jika kita melihat pandangan masyarakat

Jawa terutama jemaat GKJW Magetan terhadap kebudayaan upacara slametan,

kita akan melihat begitu kentalnya kebudayaan slametan yang masih dipegang,

dapat kita lihat melalui upacara slametan yang dilakukan oleh jemaat GKJW

Magetan seperti: Bestonan, Kelahiran, Panen, Kematian, Kitanan, Syukuran. Hal

ini jelas bahwa jemaat GKJW Magetan sangat menghargai warisan nenek

moyang. Walaupun upacara slametan ini sebagai salah satu bukti masyarakat

untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka, namun mereka berusaha

untuk menghindari sisi negatif untuk mencari keselamatan kepada roh halus atau

roh nenek moyang. Dilihat dari asal kata nama itu sendiri slamet, sehingga dapat

diambil kesimpulan bahwa, slametan merupakan serangkaian kegiatan manusia

Page 2: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

66

yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dalam keselamatan. Bagi masyarakat

pendukungnya upacara tersebut tentunya akan mengalami kesulitan untuk

meninggalkan tradisi tersebut, karena keselamatan dan manusia tidak dapat

dipisahkan, setiap orang berlomba-lomba untuk mencari keselamatanya.

Selain sebagai budaya nenek moyang slametan merupakan tradisi turun-

temurun yang dilakukan oleh orang Jawa. Karena jikalau masyarakat Jawa tidak

melakukan tradisi tersebut, ada sesuatu yang kurang dari keselamatan mereka.

Ketika Islam masuk dalam kebudayaan slametan ini, doa serta tata cara slametan

berubah dan berbau Islami, tidak heran banyak orang yang beranggapan bahwa

upacara slametan merupakan kebudayaan Islam. Dari tradisi nenek moyang,

warisan turun-trurun dan budaya Islam, mau tidak mau jemaat GKJW Magetan

juga ikut terpengaruh oleh situasi budaya demikian. Dari tradisi inilah banyak

jemaat GKJW Magetan yang beranggapan, jikalau tidak melakukan slametan

warga GKJW Magetan akan mendapat sanksi sosial. Karena peranan masyarakat

sangat berpengaruh dalam slametan tersebut. Mereka merasa dikucilkan karena

tidak bisa berbaur dengan masyarakat setempat, malu karena tidak saling

menghargai. Karena bisa dikatakan orang Jawa sangat menghargai hubungan

sosial yang baik.

Dalam hal ini Geertz juga mengatakan bahwa kebudayaan slametan

merupakan warisan nenek moyang yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa,

karena slametan merupakan ekspresi orang Jawa dalam mencari keselamatan di

bumi dan akhirat. Slametan merupakan budaya leluhur orang Jawa dimana

mengacu pada Gusti sing gawe urip (Tuhan yang menciptakan hidup), sebagai

Page 3: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

67

pokok dasar adanya upacara slametan ini. Hal tersebut diadakan sebagai ucapan

syukur pada Tuhan atau untuk memuja makhluk gaib. Jika kita melihat upacara

slametan yang dilakukan dalam masyarakat Jawa, maka kita akan menemukan

suatu kelompok masyarakat yang saling membangun dalam suatu cara yang

dilakukan oleh masyarakat Jawa tersebut. Clifford Geertz juga mengatakan bahwa

upacara slametan merupakan upacara yang menyangkut akan keselamatan serta

kesejahteraan orang Jawa, serta pandangan orang Jawa tentang Tuhan merupakan

warisan nenek moyang yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Jawa.

Hingga kini merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah

kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Hal ini sangat jelas

berkaitan antara padangan Greetz dengan pemahaman warga jemaat GKJW

Magetan, karena slametan menjadi kebudayaan yang sulit untuk dipisahkan bagi

orang Jawa karena menyangkut keselamatan mereka.

Geertz tidak mengatakan bahwa faktor budaya merupakan akibat dari

terpengaruhnya masyarakat. Geertz mengatakan bahwa kebudayaan merupakan

warisan nenek moyang. Dalam era modernisai orang beranggapan budaya bukan

hanya merupakan warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Melainkan

juga, budaya merupakan kesatuan sosial yang saling menghargai antara satu

dengan yang lain, serta mengatur nilai dan norma. Oleh karena itu jikalau mereka

tidak melakukan slametan seperti halnya orang lain, tidak ada norma dan nilai

yang bisa mereka pegang. Mereka merasa tidak saling menghargai antara satu

dengan yang lain. Rasa saling menghargai ini lah yang membuat masyarakat

menjadi terpengaruh untuk saling berinteraksi dengan yang lain. sehingga

Page 4: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

68

menjadikan slametan itu penting untuk dilakukan oleh orang Jawa. Jikalau kita

kembali melihat masyarakat muslim yang melakukan slametan, peranan

masyarakat muslim sangat berpengaruh kepada slametan karena, jikalau orang

muslim tidak melalukan slametan dan menganggap bahwa slametan merupakan

suatu hal yang dilarang agama (kafir), mungkin upacara slametan tidak dapat kita

jumpai pada saat ini.1

Secara etimologis kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal,

namun ada juga yang menggangap bahwa budaya bersal dari kata majemuk “budi

daya” yang berarti daya dari budi atau daya dari akal yang berupa cipta, rasa dan

karsa. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya

terkandung ilmu pengetahuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia

sebagai anggota masyarakat. kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi

bentuk teknologi sosial, ideologi, bahasa, religi, dan kesenian serta benda yang

semuanya merupakan warisan sosial.2 Kebudayaan adalah hasil dari gagasan

manusia yang berupa cipta, rasa dan karsa baik yang kongkrit ataupun abstrak

yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup, yang telah menjadi

kebiasaan yang turun-temurun dari leluhur dan didalamnya terkandung norma

atau gagasan yang menjadi pedoman dan pengaruh bagi manusia dalam bersikap

dan berperilaku, baik secara individu maupuan kelompok, aturan dan nilai-nilai

sosial, sehingga banyak orang yang masih memegang kebudayaan sebagai salah

satu bentuk dari fungsi sosial.3

1 Hasil wawancara bapak Didik tgl 24 Agustus 2012. 2 E.B Taylor, Primitive Culture : Researches in the Development of Mythologi, Religion, art and

Custom, Gloucester, MA (1958/1871). 3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropolo, (Jakarta: Rineka Cipta 1981).

Page 5: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

69

Kebudayaan bukan suatu yang statis dalam keadaan diam (tidak bergerak,

tidak aktif, tidak berubah keadaannya), melainkan kebudayaan sangat dinamis

(bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan) atau cair sehingga

mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Bisa jadi

kebudayaan yang dulu dilakukan oleh nenek moyang sekarang tidak dilakukan

oleh masyarakat karena dianggap sebagai suatu yang berolak belakang dengan

norma yang berlaku. Jika melihat kebudayaan slametan yang dilakukan orang

Jawa secara turun-temurun memang ada perubahan di dalam slametan tersebut.

Dimana ada pergeseran makna yang mungkin menurut orang zaman dulu roh

halus sangat berpengaruh terhadap keselamatan mereka tetapi di zaman sekarang

ketika agama masuk orang beranggapan bahwa roh tersebut merupakan suatu hal

yang sudah dianggap tidak penting dan bisa saja orang tidak lagi melakukan

slametan karena dianggap sebagai suatu yang tidak etis untuk dilakukan. Mereka

lebih beranggapan bahwa Tuhan yang memberi keselamatan bagi mereka, tetapi

dalam memahami Tuhan yang trasenden tekanan utama terletak pada

‘kemandirian’. Kemandirian menunjuk pada kehidupan gereja setempat, di mana

persekutuan, pergumulan dan kesaksian mengambil bentuk ‘darah daging’ dari

kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk keesaan yang lebih luas, yang meliputi

mempersatukan masyarakat setempat, hanya mempunyai arti kalau dihidupkan

dan dibekali oleh ‘kontekstualitas’ itu. Kesaksian tentang Kerajaan Allah

bukanlah sesuatu yang abstrak, yang lepas dari tempat-tempat kongkret;

sebaliknya, kesaksian itu hanya wajar kalau dijelmakan melalui situasi-situasi

Page 6: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

70

pertemuan dan pergumulan antara manusia dan tradisi-tradisi serta tantangan-

tantangan masa kini.

Dengan demikian unsur-unsur kebudayaan upacara slametan yang

dilakukan oleh orang Jawa dan jemaat GKJW Magetan memang harus

dilestarikan sebagai bentuk tradisi nenek moyang, tradisi turun-temurun, norma,

aturan-aturan, religi dan nilai-nilai sosial tanpa harus membedakan agama dan

satatus sosial seseorang. Orang Jawa cukup antusias melaksanakan suatu aktifitas

yang berhubungan dengan keagamaan/kepercayaannya tanpa harus meninggalkan

Tuhan sebagai pusat keselamatan. Upacara slametan yang ternyata merupakan

budaya Jawa yang dekat dengan unsur-unsur agama dan kepercayaan, nampaknya

cukup memberikan motivasi tersendiri bagi orang Jawa untuk

menyelenggarakannya, jadi terdapat adanya suatu hubungan yang konteks

diamana gereja dapat memberikan pemahaman ulang tentang upacara slametan

tanpa harus meninggalkan tradisi slametan tersebut.

4.2 Pemahaman jemaat GKJW Magetan tentang makna slametan

Orang Jawa (khususnya jemaat GKJW Magetan Pepantahan Pelem) sangat

menghormati pola hubungan yang seimbang, baik dilakukan pada sesama

individu, lingkungan alam dan pada Tuhan. Masing-masing pola perilaku yang

ditunjukkan semata-mata untuk mengutamakan keseimbangan, sehingga apabila

terjadi suatu, gangguan kelangsungan kehidupan manusia, hal ini dianggap

sebagai adanya gangguan keseimbangan. Dari hal itu manusia harus dengan

segera memperbaiki ganguan tersebut, sehingga keseimbangan kembali dapat

Page 7: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

71

dirasakan. Keselamat menjadi harapan bagi semua manusia, oleh karena itu

jemaat GKJW Magetan pepanthan Pelem menginginkan keselamatan baik dibumi

maupun di kehidupan yang akan datang. Keselamatan yang diharapkan oleh sitap

manusia bukan hanya keselamatan jasmani melainkan juga dalam keselamatan

rohani. Selain untuk menjaga keseimbangan dan keselamatan jemaat GKJW

Magetan juga menggagap slametan sebagai tempat untuk berkumpulnya jemaat

lain, dimana Interaksi sosial merupakan suatu bentuk hubungan, baik hubungan

orang perorangan, individu dengan kelompok maupun hubungan kelompok

dengan kelompok. Interaksi tersebut terjadi karena kehidupan manusia selalu

membutuhkan orang lain untuk dapat saling mengenal, saling membantu dan

saling membagi pengalaman. Salah satu bentuk interaksi melalui komunikasi,

komunikasi merupakan sarana yang sangat penting untuk terwujudnya sebuah

hubungan yang baik. Selain itu sistem kekerabatan juga sangat berpengaruh

dalam sebuah relasi. Secara umum sistem kekerabatan orang Jawa Sistem

kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral (garis keturunan

diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan ibu), menunjukkan arti penting

dalam kebersamaan keluarga luas.

Pemahaman jemaat GKJW Magetan tentang makna slametan juga

mengandung kebersamaan warga jemaat dan non warga jemaat dan

menumbuhkan nilai kegotong-royongan. Nilai kegotong–royongan ini terlihat

baik pada saat mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk upacara

slametan itu sendiri, hingga kesuksesan upacara slametan tentunya tidak dapat

dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Warga masyarakat menyadari akan manfaat

Page 8: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

72

gotong-royong atau kerja bakti, sehingga walaupun tidak mendapat upah

masyarakat tetap antusias untuk ikut melaksanakannya demi kelangsungan

upacara slametan. Kepedulian melaksanakan gotong-royong tidak terlepas dari

tingginya kesadaran masyarakat. Salah satu dampak positif dari gotong-royong

adalah membentuk pribadi masyarakat yang suka menolong dan rela berkorban

untuk kepentingan bersama, dengan demikian perwujudan dari bentuk gotong-

royong akan membuktikan secara langsung bahwa kepentingan individu tidak

lebih diutamakan, namun hasil gotong-royong dapat dinikmati oleh seluruh

masyarakat. Upaya menanamkan sikap gotong-royong dan tolong-menolong

kepada generasi muda merupakan tanggungjawab masyarakat. Lingkungan

merupakan sarana efektif pembentuk sikap generasi muda yang menjadi sumber

dalam menentukan masa depan berkaitan dengan sikap moral masyarakat. Dengan

demikian upacara slametan juga mengandung makna untuk menanamkan sikap

gotong-royong dan tolong menolong sebagai wujud solidaritas jemaat GKJW

Magetan.

Slametan menurut jemaat GKJW Magetan Pepanthan Pelem juga sebagai

bentuk dari rasa syukur mereka atas apa yang telah Tuhan berikan serta sebagai

wujud cinta kasih mereka pada sesama. Karena menurut jemaat GKJW Magetan

Tuhan yang telah memberikan keselamatan dan berkat kurang lengkap jika orang

lain juga tidak merasakan berkat dan keselamatan tersebut. Sebagai ungkapan

syukur dan cinta kasih mereka atas apa yang tuhan berikan, dapat kita lihat

melalui makan-makan yang telah disiapkan untuk dibagi-bagikan pada keluarga

terdekat dan pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga

Page 9: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

73

dapat menikmati sukacita seperti keluarga yang melakukan slametan. rasa saling

memeberi dan berbagi pada sesama inilah yang juga membuat slametan itu masih

tetap dilakukan oleh jemaat GKJW Magetan. Ada jemaat yang menganggap

bahwa makan yang diberikan pada orang lain merupakan bentuk untuk

mengenang Yesus ketika melakukan perjamuan terakhir, hal ini sangat menarik

untuk kita analisa karena seperti halnya Yesus yang memberikan berkat dan cinta

kasih pada orang lain.

Slametan juga dipandang untuk menghargai kehidupan atas apa yang telah

Tuhan berikan. Berkaitan dengan lingkungan slametan dipandang sebagai upaya

untuk melestariakan alam dan menghargai serta merawat lingkungan. Karena bagi

seorang petani mereka mendapatkan kehidupan dari alam oleh karena itu mereka

juga harus dapat melestarikan alam.

Pandangan Geertz mengenai upacara slametan sebagai salah satu

kebudayaan yang penting yang bertujuan untuk mencari keselamatan baik di

dunia maupun di akhirat, keselamatan di bumi untuk menjalin relasi antara

manusia dan alam semesta agar semuanya berjalan seimbang. Geertz juga

mengatakan, upacara slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka

yang ikut serta di dalamnya seperti: tetangga, rekan sekerja, sanak sekeluarga,

arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan dewa-dewa yang hampir

terlupakan, semua duduk bersama mengelilingi satu meja untuk menjalin sebuah

relasi yang baik. Karena itu terikat kedalam suatu kelompok sosial tertentu yang

diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Slametan merupakan

wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan

Page 10: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

74

sosial dan pengalaman perseorangan. Dengan demikian slametan merupakan

upacara dasar yang inti bagi masyarakat Jawa.

Jikalau kita kaitkan pemahaman Geertz dengan pemahaman jemaat GKJW

Magetan, hal ini sangat erat hubungannya kerena keduanya menganggap bahwa

slametan merupakan upaya orang untuk mencari keselamatan akan dirinya, baik

berkaitan pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang, selain itu

slametan juga merupakan upacara inti bagi masyarakat Jawa untuk membentuk

relasi yang baik dengan masyarakat dengan cara saling gotong-royong dalam

menjalin solidaritas sosial.

Dalam upacara slametan ini terdapat makanan sebagai salah satu bentuk

syarat utama yang harus ada dalam upacara slametan. Jika Geertz mengatakan

bahwa makanan merupakan bentuk sesaji bagi makhluk halus, selain itu Geertz

secara umum juga menggambarkan doa yang terdapat dalam upacara slametan ini

ditujukan pada roh nenek moyang atau pada leluhur, karena masyarakat Jawa

menyadari bahwa keberadaan roh-roh yang ada di lingkungan sekitar sangat

berpengaruh terhadap keselamatan mereka, oleh karena itu doa yang ditujukan

pada roh agar tidak menggangu. Roh nenek moyang adalah alasan mengapa orang

melakukan slametan. Geertz juga mengatakan inti upacara slametan terletak pada

makanan karena makanan merupakan persembahan atau sesaji buat roh-roh nenek

moyang, dimana roh tersebut juga ikut makan bersama orang yang melakukan

slametan. Dalam hal ini bukan berati roh tersebut memakan makanan kita

melainkan roh tersebut memakan aroma atau bau dari makanan tersebut. Dalam

Page 11: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

75

hal ini dimaknai agar para roh-roh nenek moyang dan roh-roh yang berada di

sekitar kita tidak mengganggu kelangsungan hidup manusia.

Tetapi warga Jemaat GKJW Magetan tidak melakukan slametan karena

roh nenek moyang, karena dalam era modernisasi orang berfikir secara rasional

dimana keselamatan itu sudah diberikan Tuhan secara langsung pada manusia.

Berbeda dengan padangan Geertz jemaat GKJW Magetan pepantahan Pelem lebih

mengganggap makanan tersebut merupakan bentuk ungkapan syukur dan cinta

kasih mereka, selain itu ada juga jemaat yang beranggapan bahwa acara makan

bersama dimaknai untuk mengenang Yesus dalam perjamuan terakhir, dalam

slametan merupakan suatu pengharapan yang diharapkan oleh masyarakat Jawa

terkhusus jemaat GKJW Magetan, dimana jemaat berdoa dan berpengharapan

pada Tuhan. Karena keselamatan itu sendiri berpusat pada Yesus, bukan pada roh

halus. Inilah yang harus kita luruskan karena keselamatan yang dilakukan jemaat

GKJW Magetan pepantahan Pelem, harus ditujukan pada Tuhan Yesus Kristus,

sebagai orang Kristen yang percaya bahwa Yesus merupakan Juruslamat karena

Ia telah menyelamatkan dan menebus dosa manusia.

Bahkan Luther memandang keselamatan itu merupakan jalan Tuhan yang

diberikan kepada setiap manusia. Disini manusia harus menggali dirinya untuk

menemukan keselamatan Tuhan itu dengan cara berdoa, berpuasa dan mengakui

dosanya. yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah", dan "hanya Kitab Suci".

Maksudnya, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya diperoleh

karena imannya kepada karya anugerah Allah yang dikerjakannya melalui Yesus

Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci. “Sebab karena kasih

Page 12: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

76

karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi

pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang

memegahkan diri” (Efesus 2:8-9). Luther menyatakan bahwa manusia

diselamatkan bukan karena amal atau perbuatannya yang baik, melainkan semata-

mata oleh karena anugerah Allah. Hal ini didasarkan pada perkataan Paulus dalam

Surat Roma: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena

Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Calvin juga

mengutarakan bahwa Keselamatan diperoleh hanya karena kasih Allah melalui

iman. Keselamatan juga merupakan keputusan Allah yang kekal yang dengannya

ia menetapkan untuk dirinya sendiri, apa yang menurut kehendakya akan terjadi

pada setiap orang. Dengan demikian penebusan Kristus membuat orang untuk

memantapkan keyakinannya dan kepastianya dalam dirinya dan pada giliranya

mendorong mereka untuk memuliakan Allah.

Dengan demikian unsur-unsur dalam kebudayaan sangat dinamis, upacara

slametan yang dilakukan orang Jawa mengalami perkembangan, seiring dengan

berjalannya waktu orang lebih berfikir rasional. Masuknya agama baru dalam

masyarakat Jawa juga sangat mempengaruhi pola pikir pemahaman tentang

slametan itu sendiri. Setiap orang menginginkan keselamatan tetapi bagaimana

cara orang mendapatkan keselamatan berbeda. Masuknya agama akan

memberikan makna yang berbeda bagi keselamatan, sehingga jemaat GKJW

Magetan tidak menaruh keselamatan pada roh halus melainkan pada Tuhan.

Sebagai konsekuensi dari sikap ini, tindakan dan prilaku manusia tidak dapat

lepas dari nilai moral keagamaan, karena itu kebudayaan dan kesenian yang

Page 13: Slametan dan Kekristenan (Alasan warga jemaat pepanthan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6883/4/T1_712008046_BAB IV.pdfKarena jikalau masyarakat Jawa tidak melakukan tradisi

77

berkembang di daerah Jawa merupakan unsur keagamaan dan tujuan keagamaan.

Bercampurnya budaya dan agama membuat orang mengerti akan pentingnya nilai

sosial, norma dan pentingnya menjaga kelestarian budaya itu sendiri. Sebagai

orang Kristen kita harus dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarakat

sesuai dengan ajaran Kekristenan. Dengan demikian konteks kebudayaan dan

agama menjadi sangat penting untuk mewujudkan keharmonisan sosial.