20
9 BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan Slametan merupakan upacara keagamaan yang paling umum dalam budaya Jawa. Ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial. Masyarakat setempat merupakan pelaku utama dalam upacara slametan. Slametan merupakan suatu wadah bersama masyarakat yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan, dalam perubahan bentuk kehidupan di kota dan pedesaan. Pada abad keduapuluh sebagian masyarakat Jawa menganggap slametan kurang efisien dan kurang memuaskan sebagai suatu pengalaman keagamaan, tetapi sebagian besar masyarakat tradisional (pedesaan), menganggap slametan masih memiliki kekuatan dan daya tarik aslinya. 1 Slametan merupakan budaya leluhur orang Jawa dimana mengacu pada Gusti sing gawe urip (Tuhan yang menciptakan hidup) sebagai pokok dasar upacara slametan. Hal tersebut diadakan sebagai ucapan syukur pada Tuhan atau untuk memuja roh halus. Jika melihat upacara slametan yang dilakukan dalam budaya Jawa, maka kita akan menemukan suatu kelompok masyarakat yang saling membangun dalam suatu cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Bisa dikatakan upacara slametan yang dilakukan oleh orang Jawa merupakan upacara yang paling penting bagi kehidupan mereka. Upacara slametan merupakan upacara yang menyangkut akan keselamatan serta kesejahteraan orang Jawa, serta 1 Ani Rosiyati, Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini , (Yogyakarta: gunung mulia )

BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

9

BAB II

Landasan Teori

2.1 Definisi Slametan

Slametan merupakan upacara keagamaan yang paling umum dalam

budaya Jawa. Ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial. Masyarakat setempat

merupakan pelaku utama dalam upacara slametan. Slametan merupakan suatu

wadah bersama masyarakat yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan

sosial dan pengalaman perseorangan, dalam perubahan bentuk kehidupan di kota

dan pedesaan. Pada abad keduapuluh sebagian masyarakat Jawa menganggap

slametan kurang efisien dan kurang memuaskan sebagai suatu pengalaman

keagamaan, tetapi sebagian besar masyarakat tradisional (pedesaan), menganggap

slametan masih memiliki kekuatan dan daya tarik aslinya.1

Slametan merupakan budaya leluhur orang Jawa dimana mengacu pada

Gusti sing gawe urip (Tuhan yang menciptakan hidup) sebagai pokok dasar

upacara slametan. Hal tersebut diadakan sebagai ucapan syukur pada Tuhan atau

untuk memuja roh halus. Jika melihat upacara slametan yang dilakukan dalam

budaya Jawa, maka kita akan menemukan suatu kelompok masyarakat yang

saling membangun dalam suatu cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Bisa

dikatakan upacara slametan yang dilakukan oleh orang Jawa merupakan upacara

yang paling penting bagi kehidupan mereka. Upacara slametan merupakan

upacara yang menyangkut akan keselamatan serta kesejahteraan orang Jawa, serta

1 Ani Rosiyati, Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini ,

(Yogyakarta: gunung mulia )

Page 2: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

10

pandangan orang Jawa tentang Tuhan. Faham keselamatan Jawa sangat luas

kompleks, sekaligus mendalam. Bisa jadi orang Jawa “tidak selamat” karena ia

secara tradisi dianggap sebagai sukerta (punya cacat rohani), atau karena tidak

mampu hidup selaras dengan masyarakat dan alam semesta.2

2.2 Munculnya Slametan Dalam Budaya Jawa

Bagi mereka yang menetap di pulau Jawa, mereka terpengaruh oleh alam

lingkungan Jawa; keadaan gunung, sungai, udara, tumbuh-tumbuhannya, suara

burungnya dan sebagainya. Akibatnya membawa pengaruh pada mereka untuk

menumbuhkan kebudayaan Jawa, yaitu suatu budaya yang merupakan hasil

interaksi antara manusia pendatang dengan lingkungan alam Jawa. Oleh karena

itu orang-orang Melayu yang datang kemudian dianggap sebagai nenek-moyang

orang Jawa.3 Sebagaimana pada tempat-tempat yang lain, suku Jawa pada zaman

purba kehidupannya amat bergantung kepada lingkungan hidup, kemudian

menimbulkan kepercayaan adanya kekuatan alam dan arwah orang yang

meninggal bersamaan dengan timbulnya seni lukis yang berlatang belakang

magis, khususnya di dinding-dinding gua.4

Budiono Herusatoto dalam bukunya “Simbolisme Dalam Budaya Jawa”,

mengatakan bahwa bangsa Jawa pada zaman purba mempunyai pandangan hidup

Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuh-

tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri. Di samping Animisme, pada

2 Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto, Faham keselamatan dalam budaya Jawa (Yogyakarta:

Ampera Utama 2011) iii. 3 Sufa’at M, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan (Yogjakarta: Kota Kembang, 1985), 33. 4 R.P. Soejono, Ed., Sejarah Nasional Indonesia, Vol.I (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984), 159.

Page 3: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

11

mereka juga mempunyai pandangan hidup Dinamisme, yaitu kepercayaan akan

adanya tenaga magis pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-

benda, juga dalam sebuah kata yang diucapkan atau ditulis pada tanda yang

dipasang.5 Lebih jauh H.Th. Fischer mengatakan bahwa Animisme itu biasanya

menjadi religi, sebab orang akan merasa terikat kepada roh itu dan kemudian

berpaling menghamba kepadanya. Sedangkan Dinamisme biasanya menjadi magi,

sebab orang mengira bahwa dengan tindakan-tindakan tertentu tenaga-tenaga itu

dapat dimiliki, dapat dipergunakan untuk keuntungan diri sendiri atau kerugian

orang lain.6

Menurut I. Djumhur, antara Animisme dan Dinamisme tak dapat dipisah-

pisahkan; tidak ada bangsa primitip yang hanya mempunyai anggapan Dinamistis

dengan mengenyampingkan Animistis. Kedua gejala berpikir tersebut dapat di

jumpai pada suatu bangsa yang sama.7 Di Jawa misalnya, ada kepercayaan bahwa

apabila orang mempunyai ilmu tinggi, maka ia akan mengalami kesulitan apabila

akan mati, karena dia menyimpan tenaga magis. Gejala ini merupakan gejala

Dinamistis. Selanjutnya ada juga kepercayaan bahwa apabila orang mati harus

ditutup semua lubang yang ada pada mayat, agar nyawa yang ada pada tubuh itu

terlindung dari pengaruh buruk. Gejala ini adalah berkaitan dengan Animisme.

Animisme dan Dinamisme inilah yang merupakan asal-usul kepercayaan yang

dimiliki orang Jawa. Adanya kepercayaan terhadap kedua isme ini maka orang-

orang Jawa pada zaman purba itu tunduk kepada gejala-gejala alamiah dan benda-

5 Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Jogjakarta: PT. Hanindita, 1984), 43. 6 H.Th. Fischer, Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Anas Makruf (Jakarta:

Pustaka Sardjana, 1953), 149 7 I.Djumhur, Pengantar ke Antropologi Budaya (Bandung: Dirgantara. 1977), 100.

Page 4: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

12

benda alam. Ketundukan ini lahir dalam bentuk menyembah dan

mempertuhankannya. Maka disembahlah berbagai macam binatang dan tumbuh-

tumbuhan. Disembahlah manusia yang dianggap lebih kuat daripadanya.

Disembahlah benda-benda alam yang lain seperti matahari, bulan, binatang,

gunung, air, api dan lain-lain. Semuanya itu dianggap sebagai Tuhan. Untuk

mengungkapkan perasaan dan ketundukannya kepada sesembahannya itu maka

dibuatlah gambar dan tata-cara tertentu.8 Sebagai contoh untuk mencegah

kekuatan yang bisa menimbulkan penyakit, banjir, gempa bumi

atau hama tanaman maka dipersembahkanlah sesajian untuk benda-benda yang

dianggapnya punya roh dan kekuatan9. Oleh karena inilah masyarakat Jawa ingin

agar dirinya mendapatkan keselamatan yang benar-benar menjadi idaman orang

Jawa dalam suatu keadaan yang tidak ada gangguan apa pun baik di bumi maupun

di akhirat.

Sebenarnya slamet (selamat) dalam pengertian awal budaya Jawa memang

menjadi harapan semua orang. Slamet adalah kondisi ideal dimana tidak ada

gangguan-gangguan yang terjadi di dalam kehidupan seseorang yang mengacu

pada hidup damai sejahtera. Slamet yang menjadi pengharapan ini sering

memiliki arti lain antara beja (untung) yang berbeda arti dengan tidak terjadi apa-

apa. Slamet dari sisi pandang ini merupakan slamet yang minimalis, secara umum

untuk mengungkapkan kondisi yang setidaknya masih menyisakan suatu harapan

minimal bahwa tidak semua kejadian merampas tuntas keberadaan seseorang.

Slamet kadangkala dipakai untuk hal yang masih disisakan, yang masih utuh dan

8 Hasan al-Banna, Allah Fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, terj. Mukhtar Yahya (Solo: Ramadhani, 1981), 19.

9 HM.Rasyidi, Empat Kuliah Agama Pada Perguruan Tinggi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 11.

Page 5: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

13

masih masih dimiliki. Selain itu slamet merupakan ucapan syukur yang sekaligus

merupakan pengharapan milik orang Jawa yang sangat melekat dalam

kesehariannya. Begitu sering diucapkan oleh manusia umumnya, kata slamet

seolah-olah menjadi salah satu tujuan hidup manusia Jawa dan hal ini dapat

dilihat dari banyak upacara trasisional yang intinya memohon keselamatan baik

untuk diri-sendiri, batin, keluarga dan masyarakat.10 Kata slamet dengan

pemaknaan lain jika diperhatikan dengan teliti sangat berpengaruh pada

pengambilan keputusan, sikap dan perilaku dalam sosial dan upaya mendekatkan

diri dengan Tuhan. Upaya mencapai slamet itu kemudian diwujudkan melalui

ritual slametan. Ritual ini merupakan usaha untuk mengembalikan keharmonisan

atau keselarasan atara sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan

makhluk gaib dan antara manusia dengan Tuhan.

Ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap

agama, ajaran, tradisi dan budaya mana pun di dunia ini. Dalam masyarakat Jawa

ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik

Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol atau perlambang berupa sesaji, mantra,

ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji (syarat sesaji)

mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji

sebagai makanan setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan”

atau makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara

adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua juga merupakan makhluk

ciptaan Tuhan. Namun hakekat dari ritual adalah sama yakni bertujuan untuk

keselamatan. Slametan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada

10 Ibid, 1.

Page 6: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

14

Tuhan. Maka dalam ritual di dalamnya banyak sekali mengandung maksud

permohonan doa kepada Tuhan YME. Karena bagi masyarakat mistik Jawa,

berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun juga

saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak

ketinggalan pula acara bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk

kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah

Tuhan yang Maha pemurah.11

Upacara slametan yang dilakukan orang Jawa sudah mendarah daging,

hingga kini merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah

kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Aktifitas slametan

yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada

mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, sebuah fenomena

kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap

bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu. Dari sinilah manusia

pada awalnya merasa tak berdaya, lalu meminta perlindungan kepada yang maha

kuat, yang disebut dengan roh dan kekuatan pada benda-benda tertentu. Aktifitas

yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itulah kemudian disebut

dengan “slametan”.

Keadaan yang didambakan adalah slamet yang didefinisikan oleh orang

Jawa ora.. gak ana apa-apa (logat Jawa Timur) artinya tidak ada apa-apa, atau

yang lebih tepat tidak ada suatu yang menimpa dalam menjalani kehidupan.

Pandangan Jawa tentang keselamatan menjadi harapan bagi setiap manusia

11 http://id.wikipedia.org/wiki/ritualSlametan, Diakses pada, 26 juli 2012, 15:21 wib.

Page 7: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

15

memberikan gambaran yang sederhana bahwa setiap perjumpaan antara manusia

yang relatif cukup lama tak berjumpa andum slamet (berbagi keselamatan).

Sementara itu yang dibutuhkan manusia bukan hanya keselamatan masa kini,

melainkan keselamatan di dunia yang akan datang. Bukan keselamatan yang

sementara melainkan keselamatan yang kekal.12

2.3 Pola Slametan Dalam Budaya Jawa

Slametan adalah merupakan upacara keagamaan versi Jawa yang paling

umum di dunia. Geertz melakukan penelitan pada masyarakat Mojokutho, Ia

melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya

seperti: tetangga, rekan sekerja, sanak sekeluarga, arwah setempat, nenek moyang

yang sudah mati dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semua duduk bersama

mengelilingi satu meja dan karena itu terikat kedalam suatu kelompok sosial

tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Slametan

merupakan wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek

kehidupan sosial. Dengan demikian slametan merupakan upacara dasar yang inti

bagi masyarakat Jawa, karena slametan mencakup seluruh kegiatan orang Jawa

mulai dari kelahiran, pernikahan, kematian, panen dan acara yang lain. Selain itu

slametan juga merupakan suatu budaya warisan nenek moyang yang masih

dipegang oleh masyarakat Jawa.13

12 Pdt. Em. Siman Widyatmanta. Mth, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat-i stiadat

(Yogyakarta: BMGJ 2007). 30-35 13 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

Hal 13

Page 8: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

16

Kebanyakan slametan diselenggarakan waktu malam setelah matahari

terbenam dan sembahyang magrib dilakukan oleh mereka yang mengamalkanya.

Biasanya seorang yang melakukan slametan akan mengundang ahli agama untuk

menentukan hari yang baik menurut hitungan sistem kalender Jawa, jikalau

menyangkut kelahiran dan kematian maka peristiwa itulah yang menentukan

waktunya, karena peristiwa tersebut tidak bisa diprediksikan. Pada siang hari

dipergunakan untuk menyiapkan hidangan, dalam hal ini peran perempuan yang

melakukan, untuk pesta kecil hanya keluargalah yang menyiapkan tetapi untuk

pesta besar tetangga sekitar akan dimintai bantuan. Sedangkan upacara slametan

itu sendiri dilakukan oleh kaum pria, semua pria yang diundang adalah tetangga

dekat. Begitu para undangan datang mereka mengambil tempat diatas tikar dan

duduk dengan posisi formal yang disebut sila (dengan dua kaki dilipat kedepan

dan badan tegak lurus). Sedikit demi sedikit ruangan tersebut dipenuhi dengan

bau kemenyan, hal ini dimaksudkan untuk mengundang roh nenek moyang.

Dalam upacaara slametan tuan rumah membuka upacara dengan menggunakan

bahasa Jawa krama alus (bahasa Jawa yang halus/tinggi) hal ini dilakukan untuk

mengetahui maksud dan tujuan slametan serta menghargai undangan yang datang,

berharap semua memperoleh berkah yang ditimbulkan dari upacara slametan

tersebut.14

Pada upacara slametan, yang menjadi pesertanya bukan sekedar dari

orang-orang yang masih hidup, tetapi turut juga diundang orang yang sudah mati

yang disebut dengan roh leluhur15. Yang dimaksud dengan roh leluhur adalah

14 Ibid, 14-15 15 Ibid, 18

Page 9: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

17

nenek moyang mereka atau para pendahulu mereka yang sudah mati dan pernah

berjasa pada mereka. Mereka itu misalnya orang-orang yang telah berjasa dalam

mendirikan suatu desa atau cikal bakal desa, yang biasanya kemudian disebut

sebagai danyang desa. Selain itu juga orang-orang yang pernah mendirikan suatu

kerajaan dan berjasa dalam memakmurkannya. Inti dari slametan terletak pada

makanan karena makanan merupakan persembahan buat roh-roh nenek moyang,

dimana roh tersebut juga ikut makan bersama yang hadir. Dalam hal ini bukan

berti roh tersebut memakan makanan yang disiapkan, melainkan roh tersebut

memakan aroma atau bau dari makanan tersebut. Dalam hal ini dimaknai agar

para roh nenek moyang dan roh yang berada di sekitar masyarakat tidak

mengganggu. Dalam segi sosial slametan sangat erat hubunganya dengan relasi

antar manusia. Dimana upacara slametan mengundang warga setempat serta

keluarga agar relasi antara mereka tetap terjaga dengan baik.

Upacara slametan dapat digolongkan ke dalam empat macam sesuai

dengan peristiwa atau kehidupan manusia sehari-hari yakni:

1. Slametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil

tuju bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara

untuk menyentuh tanah pertama kali, sunat, kematian serta saat-saat

setelah kematian.

2. Slametan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah

pertanian dan setelah panen.

Page 10: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

18

3. Slametan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan

Islam dan Negara.

4. Slametan pada saat yang tidak tertentu berkenaan dengan kejadian-

kejadian, seperti perjalanan jauh, rumah kediaman baru, menolak

bahaya, janji setelah sakit dan lain-lain.

Di antara keempat macam golongan upacara slametan tadi, maka upacara

slametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan

dengan kematian serta saat sesudahnya, adalah suatu adat yang sangat

diperhatikan dan kerap dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Jawa. Hal ini

mungkin disebabkan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang

meninggal, terutama kalau orang itu keluarganya. Sehingga salah satu jalan yang

baik untuk menolong keselamatan roh nenek moyang ialah dengan membuka

upacara slametan sejak awal kematianya sampai seribu harinya.16

2.4 Makna Slametan Orang Jawa

Slametan yang oleh orang Jawa dimaknai dengan “ora…gak ana apa-

apa” (tidak ada apa-apa, atau yang lebih tepat tidak ada suatu yang menimpa).

Tetapi karena sesuatu yang mungkin terjadi dan hampir tak bisa dihindari.

Dipandang dari segi kepercayaan terhadap roh halus dan mencoba tawar-menawar

dengan mereka, khusus dalam masyarakat Jawa beranggapan bahwa roh itu

sangat menggangu. Pandangan Jawa tentang keselamatan menjadi harapan bagi

setiap manusia memberikan gambaran yang sederhana bahwa setiap perjumpaan

antara manusia yang relatif cukup lama tak berjumpa andum slamet (berbagi

16 Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 341.

Page 11: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

19

keselamatan). Sementara itu yang dibutuhkan manusia bukan hanya keselamatan

masa kini, saat ini melainkan juga keselamatan didunia yang akan datang. Bukan

keselamatan yang sementara melainkan keselamatan yang kekal. Keselamatan ini

diharapkan oleh setiap manusia, bukan dari banyaknya teman, berlimpahan benda

melainkan yang terutama keselamatan rohani dengan kata lain yang diperlukan

manusia ialah keselamatan di dunia dan akhirat. Kehidupan yang sementara

diibaratkan “mampir ngombe” yang artinya ibarat orang melakukan perjalan

untuk mencapai sebuah tujuan dan di tengah perjalanannya disediakan air minun

yang cuma-cuma, untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya sampai akhirat

untuk menuju hidup kekal. Pandangan Jawa tentang jalan keselamatan diperlukan

kerukunan, keselarasan, kalau dipandang perlu dengan pengorbanan diri demi

kepentingan masyarakat. Dalam hal ini dapat dicapai kalau orang bersedia dan

membiasakan mengutamakan soal hati dan rohani. Slametan mengorbankan

kepentingan jasmani. Slametan sebagai upacara adat demikian banyak jumlahnya

mulai dari sifat yang pribadi berkaitan dengan kehidupan seseorang sampai

dengan seribu hari sesudah manusia meninggalkan dunianya. Ada juga slametan

yang bersifat masal untuk seluruh kampung atau desa. Dari pandangan hidup

orang Jawa muncul sikap etis dari pandangan tentang Tuhan yang bagaimana pun

gambarannya tetapi diakui sebagai penciptanya, yang ditanggapi dengan sikap

pasrah. Pasrah disini berarti menyerah pada kuasa akodrati, yang tidak mungkin

ditolak oleh manusia.17

17 Pdt. Em. Siman Widyatmanta. Mth, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat-i stiadat

(Yogyakarta: BMGJ 2007). 30-35

Page 12: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

20

Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya “kebudayaan Jawa”

menganggap bahwa supacara slametan merupakan upacara yang paling penting

yang terjadi dalam Jawa. Karena masyarakat Jawa tidak lepas dari yang namanya

slametan itu sehingga setiap kegiatan yang dilakukan orang Jawa tidak lepas dari

slametan, baik dalam kelahiran, kematian, panen, tahun baru dll. Slametan adalah

suatu upacara makan bersama yang telah diberikan doa dan dibagikan. Slametan

tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi dan erat hubunganya

dengan kepercayaan kepada unsur-unsur baik kekuatan sakti mau pun roh halus

yang ada di sekitarnya, sebab hampir semua slametan yang dijutukan untuk

memperoleh hubungan keselamatan hidup dengan baik tidak ada suatu gangguan

apapun.18

Berbeda dengan pandangan beberapa tokoh yang melihat bahwa doa yang

ada pada slametan ini ditujukan pada roh halus. Dalam bukunya H. Santoso

Prodjodiningrat slametan merupakan suatu pengharapan yang diharapkan oleh

masyarakat Jawa, dimana masyarakat berdoa bersama kepada Tuhan. Dimana

slametan dimaksudkan agar relasi antara manusia dengan alam, manusia dengan

sesama dan manusia dengan Tuhan berjalan seimbang. Hal yang ditekankan

dalam bukunya adalah pengharapan pada Tuhan.

Upacara pokok bagi orang Jawa adalah slametan, dengan mengundang

sejumlah pria tetangga terdekat dengan doa dalam bahasa Arab oleh seorang dua

orang yang pandai dalam hal itu serta dengan cermat terinci semua dewa-dewa,

Allah, Muhammad dan arwah baureksa (yang melindungi, merawat dan berkuasa)

desa dan sederetan roh lainnya, semua diminta perlindungannya, restunya atau

18 Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 340.

Page 13: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

21

kesediaannya untuk tidak mengganggu. Pembacaan doa-doa itu merupakan unsur-

unsur pokok dalam kepercayaan kaum tani dan disertai dengan perbuatan upacara

tertentu lainnya misalnya dengan membakar kemenyan dan memberikan sesaji.19

Slametan boleh jadi sangat singkat tertutup oleh berbagai ritus dan aneka

ragam upacara lain, jika kita tidak memperhatikan dengan teliti maka kebudayaan

slametan akan hilang. Lalu mengapa orang Jawa melakuakan slametan? Menurut

Geertz ketika ia menayakan pada seorang tukang batu di Mojokutho, ada dua

alasan: pertama bila anda mengadakan slametan, tak seorangpun merasa dirinya

dibedakan dari orang lain, dengan demikian mereka tidak mau berpisah. Kedua

Slametan menjaga hubungan terhadap roh halus sehingga tidak mengganggu

kehidupan. Dalam slametan semua orang diperlakukan sama dan hasilnya orang

tidak merasa dibedakan dengan orang lain, tidak seorang pun yang merasa lebih

rendah dari orang lain dan tidak seorang pun merasa dirinya dikucilkan. Setelah

melakukan slametan arwah setempat tidak akan mengganggu, sasaran itu bersifat

kejiwaan, ketiadaan perasaan agresif terhadap orang lain, ketiadaan kekacauan

emosional, keadaan yang didambakan adalah slamet (selamat) yang oleh orang

Jawa didefinisikan tidak ada apa-apa yang menimpa dalam kehidupan.20

2.5 Pandangan Orang Jawa Tentang Keselamatan

Hidup orang Jawa yang dilatar belakangi kebatinan mistis (percaya pada

roh halus dan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan) mendapat pengaruh

19 Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. terj.Grafiti Pers .Jakarta: Grafiti Pers, 1985.14. 20 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

Hal 17-18

Page 14: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

22

oleh agama, dogma dan ajaran yang bermacama-macam menjadi konsep tentang

Tuhan kabur dan tidak tentu. Tuhan di satu pihak disebut sebagai tan kena apa

(tidak dapat disebut dan digambarkan seperti apa), dengan demikian keterangan

tanpa sifat-sifatnya, hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir,

tanpa arah tanpa tempat, jauh tak terhingga, dekat tak bersentuhan, bukan luar

bukan dalam, tetapi meliputi semua orang yang terbentang. Dengan bahasa

teologia Tuhan yang demikian disebut dengan Tuhan yang transcendence.

Dengan catatan bahwa kebatinan mistis di dalam kunci surga bertolak dengan

ajaran agama tetapi dekat dengan kehidupan manusia, bahkan setiap pribadi

memiliki Tuhanya sendiri. Selain itu di dalam diri manusia bersemayam Tuhan

sebagai inti dari setiap manusia. Dengan demikian Tuhan yang pada awalnya

transcendence. jauh dari jangkauan manusia, maka akhirnya dekat, bahkan ada

dalam diri manusia, serta campur tangan dengan urusan keperluan manusia.21

Dalam mencari keselamatan memang naluri setiap manusia di mana pun ia

berada. Bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan hidup setelah mati, pada

umumnya ingin supaya dirinya bisa selamat lahir dan batin, selamat di dunia dan

setelah kematiannya. Yang sedikit membedakan orang Jawa dengan orang lain

adalah siapa yang dapat mencelakakan manusia sehingga ia tidak selamat,

terutama di dunia. Orang Jawa percaya bahwa keselamatan itu tidak tergantung

pada relasi antar sesama (misal berebut harta dan kekuasaan), antara makluk

hidup dan lainnya (adanya wabah penyakit), dan dalam hubunganya pada benda-

benda (bencana alam dan rusaknya hidup). Orang Jawa dapat mencari

21 Pdt. Em. Siman widyatmanta, sikap gereja terhadap budaya dan adat-istiadat, (Yogyakarta:

BMGJ 2007), 24-25.

Page 15: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

23

keselamatan melalui bantuan dari roh halus. Pandangan Jawa yang masih primitif

tentang Tuhan didasarkan dari pengalaman individu, sehingga yang Ilahi dihayati

sebagai pelindungnya untuk melindungi dari mara bahaya yang ada di

sekelilingnya.22

Orang Jawa pada umumnya meyakini bahwa tidak lama setelah orang

meninggal, jiwanya berubah menjadi makhluk halus (roh) yang berkeliaran di

sekitar rumahnya, lama-kelamaan pergi ke tempat lain. Saat tertentu pihak dari

keluarga melakukan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh,

ketika menuju alam roh atau tempat yang abadi. Roh yang tidak mendapat tempat

di alam roh karena tingkah lakunya yang tidak baik semasa hidupnya, akan tetap

berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia, sebagai roh jahat yang menggangu

manusia, pembawa penyakit dan kesengsaraan. Banyak orang Jawa yang percaya

jika seseorang yang meninggalnya tidak wajar tidak akan mencapai alamnya dan

tetap berkeliaran selama-lamanya.23 Ajaran keselamatan yang utama dalam

budaya Jawa adalah pelaksana etika Jawa karena, pada etika terdapat sebuah nilai

hakiki, jika orang Jawa melakukannya akan berdampak pada orang lain.24 Jadi,

bisa dikatakan orang Jawa dalam mencari keselamatan, peranan etika yang

dilakukan sesorang akan berdampak pada kehidupan yang akan datang, karena

orang Jawa menginginkan keseimbangan baik dunia maupun akhirat.

22 Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto, Faham keselamatan dalam budaya Jawa (Yogyakarta:

Ampera Utama 2011) 1-5. 23 Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 335. 24 Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto. 205.

Page 16: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

24

2.6 Pandangan Kekristenan Tentang Keselamatan

Gereja Lutheran mengakui dua sakramen: Pembaptisan dan Perjamuan

Kudus. Katekismus Lutheran mengajarkan bahwa pembaptisan adalah karya

Allah, berlandaskan perkataan dan janji Kristus; sehingga dilayankan baik bagi

bayi maupun orang dewasa. Gereja Lutheran percaya bahwa roti dan anggur

dalam perjamuan kudus adalah sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus yang

dianugerahkan kepada umat Kristiani untuk dimakan dan diminum, yang

diperintahkan oleh Kristus sendiri. Banyak Kaum Lutheran yang melestarikan

pendekatan liturgis terhadap Ekaristi. Komunitas Kudus (atau Perjamuan Tuhan)

dipandang sebagai tindakan sentral dari pemujaan Kristiani. Gereja Lutheran

percaya bahwa roti dan anggur dalam perjamuan kudus hadir bersama dengan

tubuh dan darah Yesus, bukan hanya sebatas menggantikan atau melambangkan

tubuh dan darah-Nya.25

Luther memandang keselamatan itu merupakan jalan Tuhan yang

diberikan kepada setiap manusia. Di sini manusia harus menggali dirinya untuk

menemukan keselamatan Tuhan itu dengan cara berdoa, berpuasa dan mengakui

dosanya, yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah", dan "hanya Kitab Suci".

Maksudnya, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya diperoleh

karena imannya kepada karya anugerah Allah yang dikerjakannya melalui Yesus

Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci. (Efesus 2:8-9 Sebab

karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu,

tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang

memegahkan diri.) Luther menyatakan bahwa manusia diselamatkan bukan

25 http://www.scribd.com/doc/47590234/Gereja-lutheran , 15 juli 2012, 20:00 wib.

Page 17: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

25

karena amal atau perbuatannya yang baik, melainkan semata-mata oleh karena

anugerah Allah. Hal ini didasarkan pada perkataan Paulus dalam Surat Roma:

"Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah

mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8)26

Menurut Calvin keselamatan diperoleh hanya karena kasih Allah melalui

iman. Keselamatan juga merupakan keputusan Allah yang kekal yang denganya

ia menetapkan untuk dirinya sendiri, apa yang menurut kehendakya akan terjadi

pada setiap orang. Dengan demikian penebusan Kristus membuat orang untuk

memantapkan keyakinanya dan kepastianya dalam dirinya dan pada giliranya

mendorong mereka untuk memuliakan Allah. Gereja merupakan persekutuan

orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih karunia Allah dalam Yesus

Kristus, yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan manusia berdosa, yang

semuanya diterima manusia melalui iman. 27 Gereja bukanlah sekedar

menyediakan sarana anugerah melalui mana segala sesuatu harus dibangun.

Gereja sesungguhnya juga merupakan titik pijak melalui mana kefasikan dunia

harus ditanggulangi dengan kesabaran dan kerendahan hati. Gereja harus

menyediakan sarana pengudusan. Gereja harus berusaha agar komunitas

menerima nilai-nilai Kristen sehingga seluruh aspek kehidupan dapat ditempatkan

di bawah kontrol prinsip-prinsip Kekristenan. Dengan menekankan komunitas

kudus dan dengan adanya penghargaan sedemikian terhadap Alkitab (dan

bukannya doktrin keimamatan seluruh orang percaya), maka ia berhasil

menghindar dari bahaya subyektifitas agama. Partisipasi jemaat dimungkinkan

26 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Didalam Dan Di sekitargereja,(BPK Gunung Mulia

1994) hal 27-32. 27 Ibid, 65-66.

Page 18: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

26

tetapi di dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Kitab Suci, di dalam

hierarki yang telah ditetapkan, sehingga doktrin keimamatan seluruh orang

percaya dapat tetap terus berjalan tanpa membawa musibah dan tanpa adanya

bahaya dibelokkan kepada sekularisme. penekanan pada doktrin keselamatan

seluruh orang percaya membuatnya harus menarik diri dari usaha untuk

merealisasikan otonomi Gereja.28

Dalam pandangan Prof. L.A. Hoedemaker mengenai tantangan mutakhir

yang harus dihadapi gereja berkaitan dengan identitasnya. Hoedermaker

menggambarkan persoalan itu berupa ketegangan antara menemukan identitas

gereja yang esa, dengan penekanan pada kesatuan atau kesamaan identitas, dan

gereja yang kontekstual, dengan tekanan pada kekhasan atau keragaman identitas

sesuai dengan konteks masyarakat. “Pada satu pihak yang diharapkan dari gereja-

gereja adalah suatu kesadaran baru tentang arti tradisinya sendiri, tentang

kepribadiannya yang khusus, tentang kesaksian dan tanggung jawab terhadap

daerah sekitarnya. Pada pihak lain ditekankan tanggung jawab bersama,

kepentingan bentuk-bentuk kehidupan gerejawi yang menggantikan bentuk-

bentuk keterpisahan, dan keharusan ‘satu suara’ Kekristenan terhadap dunia.”29

Arthur W. Holmes menyatakan bahwa “teologi yang ditanamkan selama

ini merupakan konsepsi dari teologi barat,” di mana dari situasi sosialnya teologi

barat dapat lebih mudah diceraikan dari konteks dan situasi masyarakat Barat,

karena teologi berakar dari wahyu Allah, bukan dari pergumulan kontekstual. ini

28 http://www.scribd.com/doc/47590234/Gereja-Calvin. diakses pada 20 juli 2012 15:21 wib 29 L.A. HOEDEMAKER, “Keesaan dan Kemandirian: Soal Identitas Gereja Dalam Jaman

Oikumenis”, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks Berteologi di Indonesia: Buku Penghormatan Untuk HUT ke-70 Prof. Dr. P.D. Latuihamalo. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 325.

Page 19: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

27

tidak berarti bahwa teologi bersifat tidak kontekstual padahal secara ontologis

tidak ada suatu wawasan teologis yang sedemikian itu. sebab manusia berteologi

di dalam konteks, bahkan wahyu Allah juga diberikan dalam konteks. Namun,

teologi yang harus mulai dari teks, bukan dari konteks adalah sebuah bentuk

ambiguitas yang membuat sampai pemaknaan akan teologi dipandang berbeda

dari situasi sosial yang dimaknai oleh mayarakat.30 Rupa-rupanya bagi

Hoedemaker, persoalan ini,

“tidak bisa dibahas sebagai soal umum, lepas dari konteks-konteks tertentu. Sebaliknya: hubungan antara keesaan dan kemandirian mengambil bentuk-bentuk yang berbeda-beda –bergantung dari sejarah dan konteks yang berlaku pada salah satu tempat dan pendekatan misiologis yang memainkan peranan dalam sejarah itu”.31

Sehubungan dengan ini, lanjut Hoedemaker, maka sejarah dan situasi

konteks yang muncul dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan dari perjumpaannya

dengan Injil dalam pembentukan identitas diri yang kontekstual dan agamawi.32

Oleh sebab itu, dengan memperhatikan kekhususan sejarah kekristenan di

Indonesia inilah Hoedemaker kemudian melanjutkan:

“maka dalam dualitas ‘keesaan dan kemandirian’ tekanan utama terletak pada ‘kemandirian’. Kemandirian menunjuk pada kehidupan gereja setempat, di mana persekutuan, pergumulan dan kesaksian mengambil bentuk ‘darah daging’ dari kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk keesaan yang lebih luas, yang meliputi dan mempersatukan masyarakat setempat, hanya mempunyai arti kalau dihidupkan dan dibekali oleh ‘kontekstualitas’ itu. Kesaksian tentang Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang abstrak, yang lepas dari tempat-tempat kongkret; sebaliknya, kesaksian itu hanya wajar kalau dijelmakan melalui situasi-situasi pertemuan dan pergumulan antara manusia dan tradisi-tradisi serta tantangan-tantangan masa kini.”. 33

30 Arthur G. Holmes, Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah (diterj. oleh Yongky Karman;

Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1990), 33.

31 HOEDEMAKER, Ibid., 328. 32 Ibid., 330. 33 Ibid., 355.

Page 20: BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Slametan

28

Jadi terdapat adanya suatu hubungan yang konteks di mana gereja dapat

memberikan pemahaman ulang tentang upacara slametan tetapi orang Jawa tidak

lepas meninggalkan tradisi mereka. Dengan demikian unsur-unsur dalam upacara

slametan yang dilakukan oleh orang Jawa bisa saja mengalami perkembangan, di

mana pola slametan mengalami perkembangan seiring dengan masuknya agama-

agama baru dalam masyarakat Jawa. Sebagai bangsa yang beragama dan

berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang Jawa cukup antusias

melaksanakan aktifitas yang berhubungan dengan keagamaan/kepercayaan.

Upacara slametan yang ternyata merupakan budaya Jawa yang sarat dengan

unsur-unsur agama dan kepercayaan, nampaknya cukup memberikan motivasi

tersendiri bagi orang Jawa untuk menyelenggarakannya.