64
i UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI ALAT PERAGA MODEL BANGUN RUANG DALAM PEMBELAJARAN ANAK TUNA RUNGU KELAS D 1 SLB – B YRTRW SURAKARTA TAHUN PEMBELAJARAN 2008/2009 SKRIPSI Oleh : SRI KRISTIAWATI NIM : X.51076610 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Skripsi Sri Kristiawati - digilib.uns.ac.id/Upaya... · Menurut Moeres (1982: 6), “Orang dikatakan tuli jika pendengarannya rusak sampai pada satu taraf tertentu (biasanya 70 db

Embed Size (px)

Citation preview

i

UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA

MELALUI ALAT PERAGA MODEL BANGUN RUANG DALAM

PEMBELAJARAN ANAK TUNA RUNGU

KELAS D1 SLB – B YRTRW SURAKARTA

TAHUN PEMBELAJARAN 2008/2009

SKRIPSI

Oleh :

SRI KRISTIAWATI NIM : X.51076610

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak orang yang memandang matematika sebagai bidang studi yang

paling sulit. Meskipun demikian, semua orang harus mempelajarinya karena

merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. seperti

halnya bahasa, membaca dan menulis, kesulitan belajar matematika harus diatasi

sedini mungkin. Kalau tidak, siswa akan menghadapi banyak masalah karena

hampir semua bidang studi memerlukan matematika yang sesuai.

Matematika sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran, diharapkan

dapat memberikan sumbangan dalam mencerdaskan siswa dengan jalan

mengembangkan kemampuan berfikir kuantitatif atau berfikir logis deduktif.

Semua mata pelajaran yang diajarkan disekolah diharapkan dapat memberi

sumbangan dalam meningkatkan kemampuan siswa dan dapat meningkatkan

sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang merupakan tujuan pendidikan

nasional. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk sikap serta peradaban bangsa yan bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI No. 20 Tahun 2003).

Berdasarkan fungsi pendidikan nasional diatas, maka peran guru menjadi

kunci keberhasilan dalam misi pendidikan di sekolah selain bertanggung jawab

untuk mengatur, mengarahkan dan menciptakan sesuatu yang mendorong siswa

untuk meningkatkan kegiatan di kelas.

Kenyataan dilapangan, berdasarkan pengalaman mengajar di kelas

D1 SLB – B YRTRW Surakarta, siswa mengalami kesulitan belajar matematika

khususnya bangun ruang, yaitu benda-benda yang berbentuk bola, kubus, balok,

iii

kerucut, tabung. Hali ini disebabkan karena kondisi anak yang mengalami

hambatan dalam pendengaran, sehingga anak sulit memahami konsep bangun

ruang. Menurut Moeres (1982: 6), “Orang dikatakan tuli jika pendengarannya

rusak sampai pada satu taraf tertentu (biasanya 70 db atau lebih) sehingga

menghalangi pengertian terhadap suatu pembicaraan melalui indra pendengaran,

baik tanpa maupun dengan alat bantu dengar (Hearing Aid).”

Kondisi diatas disebabkan karena banyak guru yang belum menggunakan

atau memanfaatkan alat peraga secara maksimal/intensif alam melaksanakan

proses belajar mengajar dikelas dalam pelajaran matematika pada pokok bahasan

bangun ruang apalagi siswa tuna rungu yang mengalami kesulitan dalam

memahami konsep, alat peraga sangat membantu dalam pelaksanaan proses

belajar matematika agar anak lebih mudah menguasai.

Permasalahan penggunaan alat peraga oleh guru kaitannya dengan

pelajaran matematika tidak sederhana. proses belajar matematika banyak

mengalami hambatan dan permasalahan. Namun untuk mengatasi hambatan dan

permasalahan itu harusnya guru melaksanakan manajemen kelas yang baik,

diantaranya dengan menggunakan alat peraga yang maksimal pada waktu

melaksanakan proses belajar mengajar di kelas dalam pelajaran matematika.

Anak tunarungu, banyak mengalami kesulitan dalam berbagai hal,

diantaranya kesulitan memahami konsep bangun ruang dalam pelajaran

matematika, karena anak tunarungu mengalami kelainan dalam pendengaran,

sehingga anak kesulitan memahami suatu konsep tanpa menggunakan alat peraga.

Sehingga dengan menggunakan alat peraga diharapkan dapat memotivasi siswa

untuk belajar matematika sehingga dapat meningkatkan prestasinya.

Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa untuk memenuhi satu

target pencapaian prestasi belajar yang diinginkan perlu adanya berbagai faktor

diantaranya partisipasi aktif siswa dalam mengikuti pelajaran dan yang paling

penting adalah visualisasi dengan alat peraga untuk menghilangkan kesan abstrak,

sehingga memudahkan siswa untuk memahami konsep, khususnya pelajaran

matematika dalam pokok bahasan bangun ruang.

iv

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengajukan penelitian

tindakan kelas dengan judul : “Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Matematika

Melalui Alat Peraga Model Bangun Ruang Dalam Pembelajaran Anak Tuna

Rungu Kelas D1 SLB – B YRTRW Surakarta Tahun Pelajaran 2008/2009.”

B. Pembatasan Masalah

Prestasi belajar matematika yang dimaksud disini adalah hasil yang

dicapai oleh anak dalam pre test dan post test.

Alat peraga model bangun ruang yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah alat untuk menerangkan konsep matematika dengan benda-benda yang

berbentuk bangun ruang seperti bola, kubus, balok, tabung, dan kerucut.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dapat

dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :

“Apakah melalui alat peraga model bangun ruang dalam pembelajaran anak

tunarungu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi siswa kelas D1

SLB – B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2008/2009.

A. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar

matematika melalui alat peraga model bangun ruang dalam pembelajaran anak

tunarungu kelas D1 SLB – B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2008/2009.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

3

v

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendapatkan

pengetahuan yang baru tentang alat peraga.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Siswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa agar mudah

dalam memahami pelajaran matematika dengan pokok bahasan bangun

ruang melalui alat peraga. Siswa lebih dapat berkonsentrasi dalam

menerima pelajaran matematika dan dapat mendorong atau memberikan

motivasi bagi siswa agar prestasi belajar matematikanya meningkat serta

anak tidak mudah bosan.

b. Bagi Guru

Guru dapat menggunakan media atau alat peraga lain untuk meningkatkan

prestasi belajar matematika.

4

vi

BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Anak Tunarungu

a. Pengertian dan Klasifikasi Anak Tunarungu

1) Pengertian

Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan

pendengaran yang mengakibatkan seorang tidak dapat menangkap berbagai

rangsangan, terutama melalui indra pendengarannya. Batasan pengertian anak

tunarungu telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang semuanya itu pada

dasarnya mengandung pengertian yang sama. Dibawah ini dikemukakan

beberapa definisi anak tunarungu.

Menurut Dudung Abdurrachman dan Moch Sugiarto (1999/2000:3)

menyatakan bahwa : “yang disebut tuna rungu adalah keadaan kemampuan

dengar yang kurang atau tidak berfungsi secara norma sehingga tidak mungkin

diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara tanpa dibantuk dengan media dan

peralatan khusus”. Adapun menurut Sidibyo Markus yang dikutip Sardjono

(1997:8) dikemukakan bahwa : “anak tuna rungu adalah mereka yang

menderita tuna rungu sejak bayi/sejak lahir, yang karenanya tak dapat

menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan

kemampuan bicaranya, meskipun tak mengalami gangguan pada alat

suaranya”. Sedangkan Somad dan Hernawati (1996:27) mengartikan anak tuna

rungu adalah :

Seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar, baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak

vii

berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengar, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara komplek.

2) Klasifikasi Anak Tura Rungi Wicara

Menurut Mohammad Efendi (2006:59-61) klasifikasi anak tunarungu

ditinjau dari kepentingan pendidikannya, secara terinci anak tuna rungi dapat

dikelompokkan sebabai berikut :

(1) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 – 30 dB. (slight losses)

(2) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30 – 40 dB. (mild losses)

(3) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40 – 60 dB. (moderate losses)

(4) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60 – 75 dB. (severe losses)

(5) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas. (profoundly losses)

Dari kelima klasifikasi tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 – 30 dB. (slight

losses).

Ciri-ciri Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 – 30 dB.

(slight losses), antara lain: a) kemampuan mendengar masih baik karena

berada digaris batas antara pendengaran normal dan kekurangan pendengaran

taraf ringan; b) tidak mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat

mengikuti sekolah biasa dengan syarat tempat duduknya perlu diperhatikan,

terutama harus dekat dengan guru; c) dapat belajar bicara secara efektif

dengan melalui kemampan pendengarannya; d) perlu diperhatikan

kekayaan perbendaharaan bahasanya supaya perkembangan bicara dan

bahasanya tidak terhambat; e) disarankan yang bersangkutan menggunakan

alat bantu dengar untuk meningkatkan kerjasama daya pendengarannya.

2) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30 – 40 dB. (mild

losses)

Ciri-ciri Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30 – 40 dB.

(mild losses) antara lain: a) dapat mengerti percakapan biasa pada jarak sangat

dekat; b) tidak mengalami kesulitan untuk mengekpresikan isi hatinya; c)

viii

tidak dapat menangkap suatu percakapan yang lemah; d) kesulitan menangkap

isi pembicaraan dari lawan bicaranya, jika berada pada posisi tidak searah

dengan pandangannya; e) untuk menghindari kesulitan bicara perlu

mendapatkan bimbingan yang intensif; f) ada kemungkinan dapat mengikuti

sekolah biasa; g) disarankan menggunakan alat bantu dengar (hearing aid)

untuk menambah ketajaman daya pendengarannya.

3) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40 – 60 dB. (moderate

losses)

Ciri-ciri Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40 – 60 dB.

(moderate losses) antara lain; a) dapat mengerti percakapan keras pada jarak

dekat, kira-kira satu meter; b) sering terjadi salah pengertian terhadap lawan

bicaranya; c) mengalami kelainan bicara, terutama dalam huruf konsonan,

missal: “K” atau “G” mungkin diucapkan “T” dan “D”; d) kesulitan

menggunakan bahasa dengan benar dalam percakapan; e) perbendaharaan

kosakatanya sangat terbatas.

4) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60 – 75 dB. (severe

losses)

Ciri-ciri Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60 – 75 dB.

(severe losses) antara lain; a) kesulitan membedakan suara; dan b) tidak

memiliki kesadaran bahwa benda-benda yang ada di sekitarnya memiliki

getaran suara. Kebutuhan layanan pendidikannya, perlu layanan khusus dalam

belajar bicara maupun bahasa, menggunakan alat bantu dengar karena anak

semacam ini tidak mampu berbicara spontan.

5) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas. (profoundly

losses)

Ciri-ciri Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas.

(profoundly losses) antara lain; a) ia hanya dapat mendengarkan suara keras

sekali pada jarak kira-kira 1 inchi (+ 2,54 cm) atau sama sekali tidak

mendengar; b) biasanya ia tidak menyadari bunyi keras, mungkin juga ada

reaksi jika dekat telinga. Anak tunarungu kelompok ini meskipun

menggunakan pengeras suara, tetapi tidak dapat memahami atau menangkap

ix

suara. Jadi mereka menggunakan alat bantu dengar atau tidak dalam belajar

bicara atau bahasanya sama saja.

Sedangkan menurut Djoko S. Sindu Sakti (1997:25) mengklasifikasikan

ketulian yang dikaitkan dengan penyebab, derajat ketulian dan validasi social

akibat gangguan pendengaran adalah sebagai berikut :

Klasifikasi Ketulian

Jenis Ketulian Pathologi Derajat Ketulian Validitas

Tuli Konduksi Kerusakan pada telinga luar dan tengah

Ringan Sedang

Baik Kurang

Tuli Syaraf Kerusakan pada reseptor/ syarat

Ringan – Sedang Berat total

Kurang

Tuli Campuran Telinga luar, tengah, dalam Ringan - Berat Kurang – Jelek

Tuli Sentral Tumor, trauma perdarahan dalam otak

Berat Jelek

3) Ciri-ciri Anak Tuna Rungu Wicara

Ciri-ciri khas anak tuna rungu wicara menurut Sumadi HS yang dikutip

Sardjono (1997:34-36) adalah sebagai berikut:

1) Ciri-ciri khas dalam segi fisik : a) Cara berjalan biasanya cepat dan agak membungkuk b) Gerakan matanya cepat, agak beringas c) Gerakan anggota badanya cepat dan lincah d) Pada waktu bicara pernafasannya pendek dan agak terganggu e) Dalam keadaan biasa (bermain, tidur, tidak bicara) pernafasan biasa.

2) Ciri-ciri khas dalam segi inteligensi Dalam hal intelegensi anak tuna rungu, intelegensi potensial tidak berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya, tetapi dalam hal intelegensi fungsional rata-rata lebih rendah.

3) Ciri-ciri khas dalam segi emosi Tekanan emosi dapat menghambat perkembangan kepribadiannya dengan menampilkan sikap: menutup diri, bertindak agresif/sebaliknya, menampakkan kebimbangan dan keraguan, emosi tidak stabil.

4) Ciri-ciri khas dalam segi social a) Perasaan rendah diri dan merasa disingkirkan oleh keluarga dan

masyarakat. b) Perasaan cemburu dan syak wasangka dan merasa diperlakukan tidak

adil.

x

c) Kurang dapat bergaul, mudah marah dan berlaku agresif atau sebaliknya.

d) Cepat merasa bosan, tidak tahan berfikir lama. 5) Ciri-ciri khas dalam segi bahasa

a) Miskin kosa kata b) Sulit mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti

kiasan c) Sulit mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung

irama dan gaya bahasa. Sedangkan menurut Van Uden yang dikutip Muh Bandi (1997 : 64)

mengungkapkan bahwa ciri khas anak tuna rungu wicara adalah sebagai berikut :

1) Sifat egosentris yang lebih besar dari anak normal disebabkan oleh sempitnya dunia penghayatan mereka terhadap kejadian-kejadian di sekitar mereka.

2) Mempunyai rasa takut akan hidup, sedikit banyak mereka kurang dapat menguasai dunia sekitar. Hal ini membawa sifat ragu-ragu.

3) Selalu menunjukkan sikap tergantung pada orang lain, disebabkan perasaan khawatir.

4) Perhatian mereka sulit dialihkan apabila mereka melakukan sesuatu yang menurut mereka senangi dan dikuasai.

4) Dampak Anak Tuna Rungu Wicara

Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam pendidikanny,

yaitu :

Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuna rungu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsangan atau peristiwa bunyai yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rangsangan bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006: 72) Dari uraian diatas, maka kehilangan pendengaran bagi seseorang sama

halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran

merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembangan

secara optimal. Atas dasar itulah anak tuna rungu yang belum terdidik dengan

baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu sebenarnya masih

semu, serta tampak tidak komunikatif.

Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tuna rungu dari aspek

kemampuan bahasa dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah

xi

pengembangan kemampuan bahasa dan bicara menjadi skala prioritas program

pendidikannya. Pendekatan yang lazim digunakan untuk mengembangkan

kemampuan bahasa dan bicara anak tuna rungu, yaitu oral dan isyarat. Selama ini

pendekatan yang digunakan dalam pendidikan secara controversial, sebab masing-

masing institusi punya dasar filosofi yang berbeda.

Tingkat II Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 – sampai 69 dB, penderitanya kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara, dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

Tingkat III Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB, dan

Tingkat IV Kehilangan kemampuan mendengar antara 90 dB keatas.

Penderita dari kedua kategori ini dikatakan mengalami tuli. Dalam

kebiasaan sehari-hari mereka sekali adanya latihan berbicara, mendengar,

berbahasa dan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan

kemampuan mendengar dari tingkat III sampai IV pada hakekatnya

memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

b. Pengaruh Pendengaran pada Perkembangan Bicara dan Bahasa Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman

pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Dengan demikian pada anak tunarungu tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa meraban, proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual. Selanjutnya dalam perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan taraf ketunarunguannya.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipergunakan manusia dalam mengadakan hubungan dengan sesamanya. Hal ini berarti bila sekelompok manusia memiliki bahasa yang sama, maka mereka akan dapat saling bertukar pikiran mengenai segala sesuatu yang dialami secara kongkrit maupun yang abstrak. Tanpa mengenal bahasa yang digunakan suatu masyarakat, kita sukar

xii

mengambil bagian dalam kehidupan social mereka, sebab hal tersebut terutama dilakukan dengan media bahasa. Dengan demikian bila kita memiliki suatu kemampuan berbahasa berarti kita memiliki media untuk komunikasi.

Bahasa mempunyai fungsi dan peranana pokok sebagai media untuk komunikasi. Dalam fungsinya dapat pula dibedakan berbagai peran bahasa lainya seperti :

1) Bahasa sebagai wahana untuk mengadakan kontak/hubungan

2) Untuk mengungkapkan perasaan kebutuhan dan keinginan.

3) Untuk mengatur dan menguasai tingkah laku orang lain.

4) Untuk memberikan informasi

5) Untuk memperoleh kemampuan.

Dengan demikian bila seorang anak memiliki kemampuan berbahasa,

mereka akan memiliki sarana untuk mengembangkan segi social, emosional

maupun inteleknya. Mereka akan memiliki kemampuan untuk mengungkapkan

perasaan dan keinginannya terhadap sesama, dapat memperoleh pengetahuan dan

saling bertukar pikiran.

Perkembangan kemampuan berbahasa dan komunikasi anak tunarungu

terutama yang tergolong tuli tentu tidak mungkin sampai pada penguasaan bahasa

melalui pendengarannya, melainkan harus melalui penglihatannya dan

memanfaatkan sisa pendengarannya. Oleh sebab itu komunikasi bagi anak

tunarungu mempergunakan segala aspek yang ada pada anak tunarungu tersebut.

Adapun berbagai media komunikasi yang dapat digunakan adalah sebagai

berikut :

1) Bagi anak tunarungu yang mampu bicara tetap menggunakan bicara sebagai

media dan membaca ajaran sebagai sarana penerimaan dari pihak tunarungu.

2) Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai sarana penerimaannya.

3) Menggunakan isyarat sebagai media.

c. Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu

Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan

anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh

xiii

tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi dan kiranya daya

abstraksi anak. Akibat ketunarunguannya menghambat proses pencapaian

pengetahuan yang lebih luas. Dengan demikian perkembangan intelegensi

secara fungsional terhambat.

Perkembangan kognitif anak tuna rungu sangat dipengaruhi oleh

perkembangan bahasa, sehingga hambatan pada bahasa pada anak tunarungu

menghambat perkembangan intelegensinya. Kerendahan tingkat intelegensi

anak tuna rungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya yang rendah, tetapi

umunya disebabkan intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk

berkembang. Pemberian bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan

berbahasa akan dapat membantu perkembangan intelegensi anak-anak

tunarungu. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat. Aspek

intelegensi yang terhambat perkembangannya ialah yang bersifat verbal,

misalnya merumuskan pengertian menghubungkan, menarik kesimpulan dan

meramalkan kejadian.

Aspek intelegensi yang bersumber dari penglihatan dan yang berupa

motorik tidak banyak mengalami hambatan, tetapi justru berkembang lebih

cepat. Cruickshank yang dikutip Yuke R. Siregar (1986: 6) mengemukakan

bahwa :

Anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam

belajar dan kadang tampaik terbelakang. Keadaan ini tidak hanya

disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami anak, tetapi

tergantung juga pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan

mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang memberikan

kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu.

Banyak pendapat yang mengemukakan tentang kemampuan intelektual

anak tunarungu. Pendapat-pendapat ini ada yang saling bertentangan. Ada

beberapa ahli ilmu jiwa yang menyatakan bahwa kemampuan kognitif sangat

erat kaitannya dengan bahasa. Sebaliknya ada pula yang berpendapat bahwa

xiv

anak tunarungu tidak harus lebih rendah taraf intelegensinya dari anak normal.

Fruth, yang dikutip oleh Sri Murdiani (1987: 32) mengemukakan bahwa :

“Anak tunarungu menunjukkan kelemahan dalam memahami konsep

berlawanan dan konsep berlawanan itu sangat tergantung dari pengalaman

bahasa, misalnya panas dingin.”

d. Perkembangan Emosi Anak Tunarungu Kekurangan akan pemahaman akan bahasa lisan atau Tulsan seringkali

menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negative atau salah dan hal ini sering tekanan pada emosinya.

Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya, dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif atau sebaliknya menampakkan kebimbangan atau keragu-raguan.

Emosi anak tunarungu selalu bergolak pada satu pihak karena kemiskinan bahasanya dan dilain pihak karena pengaruh dari luar yang diterimanya. Anak tunarungu bila ditegur oleh orang yang tidak dikenalnya akan tampak resah dan gelisah.

e. Perkembangan Sosial Anak Tunarungu

Manusia sebagai makhluk social yang selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain, demikian juga anak tunarungu tidak terlepas dari kebutuhan tersebut. Akan tetapi dikarenakan mereka memiliki kelainan dari segi fisik yang biasanya akan menyebabkan suatu kelainan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. pada umumnya lingkungan mereka melihat sebagai individu yang memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seorang yang kurang berkarya. Dengan penilaian lingkungan yang demikian mengakibatkan anak tunarungu merasa benar-benar besar pengaruhnya terhadap perkembangan fungsi sosialnya.

Dengan adanya hambatan dalam perkembangan social ini mengakibatkan pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat egosentris.

xv

Faktor social dan budaya meliputi pengertian yang sangat luas yaitu lingkungan hidup dimana anak berinteraksi yaitu interaksi antar individu dengan individu dengan kelompok keluarga dan masyarakat.

Untuk kepentingan anak tunarungu keseluruhan anggota keluarga, guru dan masyarakat disekitarnya hendaknya berusaha mempelajari dan memahami keadaan, dan karena mereka dapat menghambat perkembangan kepribadian yang negative pada anak tuna rungu.

Kita mesti harus hati-hati jika ada pendapat bahwa ketunaan seperti

tunarungu biasanya menyebabkan kelainan dalam penyesuaian diri terhadap

lingkungannya. Kalaupun terjadi hal itu bukanlah akibat dari kelainannya itu

semata. Sebab kelainan fisik hanyalah marupakan variable dalam kelainan

dalam psikologi. Jadi bukanlah reaksi langsung tetapi hanyalah akibat reaksi

anak dan lingkungannya tidak memahami keadaan.

Anak tunarungu banyak dihinggapi kecemasan karena mereka

menghadapi lingkungan yang beraneka ragam komunikasinya, hal seperti ini

akan membingungkan anak tunarungu. Anak tunarungu sering mengalami

berbagai konflik, kebingungan dan ketakutan karena ia sebenarnya hidup dalam

lingkungan yang bermacam-macam.

Sudah menjadi kejelasan bagi kita bahwa hubungan social banyak

ditentukan oleh komunikasi antara orang satu dengan orang lain. Kesulitan

komunikasi tidak bisa dihindari. Namun bagi anak tunarungu tidaklah demikian

karena anak ini mengalami hambatan dalam berbicara. Kemiskinan bahasa

membuat dia tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi sosialnya. Dan

sebaliknya orang lain sulit memahami perasaan dan pikirannya.

f. Perkembangan Kepribadian Anak Tunarungu

Kepribadian pada dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan sikap pada

seseorang yang menentukan cara-caranya yang unik dalam menyesuaikan

dirinya dengan lingkungannya. Oleh karena itu banyak ahli berpendapat perlu

diperhatikan masalah penyesuaian seseorang agar kita bagaimana

xvi

kepribadiannya. Demikian pula anak tunarungu, untuk mengetahui keadaan

kepribadiannya perlu kita perhatikan bagaimana penyesuaian mereka.

Perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan antar anak

dan orang tua terutama ibunya. Lebih-lebih pada awal masa perkembangannya.

Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan pengalaman

pada umumnya dan diarahkan pada faktor anak sendiri. Pertemuan antara

faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima

rangsangan pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi dan

keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya

menghambat perkembangan kepribadiannya.

g. Masalah-masalah dan Dampak Ketunarunguan Bagi Individu, Keluarga,

Masyarakat dan Penyelenggara Pendidikan

1) Dampak bagi Anak Tunarungu Sendiri

Sehubungan dengan karakteristik anak tunarungu yaitu : miskin dalam

kosa kata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit memahami kata-kata yang

mengandung kiasan, adanya gangguan bicara maka hal ini merupakan

sumber masalah pokok bagi anak tersebut.

2) Dampak bagi Keluarga

Lingkungan keluarga merupakan faktor yang mempunyai pengaruh

penting dan kuat terhadap perkembangan anak terutama anak luar biasa.

Anak ini mengalami hambatan sehingga mereka akan sulit menerima norma

lingkungannya.

Berhasil tidaknya anak tunarungu melaksanakan tugasnya sangat

tergantung pada bimbingan dan pengaruh keluarga. Tidaklah mudah bagi

orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya menderita cacar.

Reaksi pertama pada saat orang tua mengetahui bahwa anaknya menderita

tunarungu adalah merasa terpukul dan bingung. Reaksi ini kemudian diikuti

dengn reaksi lain.

Reaksi-reaksi yang tampak biasanya dapat dibedakan atas bermacam-

macam pola yaitu :

xvii

a) Timbulnya rasa bersalah atau berdosa

b) Orang tua menghadapi anak cacatnya dengan perasaan kecewa, karena

tidak memenuhi harapannya.

c) Orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dengan

anak-anak lain.

d) Orang tua menerima anaknya beserta keadaan sebagaimana mestinya.

Sikap orang tua sangat tergantung pada reaksinya terhadap kelainan

anaknya itu. Sebagai reaksi dari orang tua atas sikap-sikapnya itu maka :

a) Orang tua ingin menebus dosa dengan jalan mencurahkan kasih

sayangnya secara berlebih-lebihan kepada anaknya.

b) Orang tua biasanya menolak kehadiran anaknya.

c) Orang tua cenderung menyembunyikan anaknya atau menahannya di

rumah.

d) Orang tua bersikap realistis terhadap anaknya.

Sikap-sikap orang tua ini mempunyai pengaruh yang sangat besar

terhadap perkembangan kepribadian anaknya. Sikap-sikap yang kurang

mendukung akan keadaan anaknya maka tentu saja akan menghambat

perkembangan anaknya misalnya dengan melindunginya atau

mengabaikannya.

3) Dampak Bagi Masyarakat

Pada umumnya orang masih berpendapat bahwa anak tunarungu tidak

dapat berbuat apapun. Padangan yang semacam ini sangat merugikan anak

tunarungu. Pandangan ini biasanya dapat kita lihat sulitnya anak tunarungu

memperoleh lapangan pekerjaan. Karena disamping pandangan karena

ketidakmampuannya tadi ia sulit untuk bersaing dengan orang normal.

Kesulitan memperoleh pekerjaan ini dimasyarakat mengakibatkan

timbulnya kecemasan baik itu dari anak sendiri maupun bagi keluarganya

sehingga lembaga pendidikan dianggap tidaklah dapat berbuat sesuatu

karena anak tidak dapat sebagaimana biasanya. Oleh karena itu masyarakat

hendaknya dapat kemampuan yang dimiliki anak tunarungu walaupun

xviii

hanyalah merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah lazim

dilakukan oleh orang normal.

4) Dampak bagi Penyelenggara Pendidikan

Perhatian akan kebutuhan pendidikan bagi anak tunarungu tidaklah

dapat dikatakan kurang karena terbukti bahwa anak tunarungu telah banyak

yang mengikuti pendidikan sepanjang lembaga pendidikan itu dapat

dijangkaunya.

persoalan baru yang perlu mendapatkan perhatian jika anak tunarungu

tetap harus sekolah pada sekolah khusus (SLB) maka akan timbul permasalahan

bahwa anak-anak yang tempat tinggalnya jauh dari SLB tentu saja mereka tidak

akan dapat bersekolah. Usaha lain muncul adalah didirikannya asrama disamping

sekolah khususnya itu. Rupanya usaha ini tidak dapat diharapkan menjadi satu-

satunya cara untuk menyekolahkan mereka.

Usaha lain yangmungkin akan mendorong anak tunarungu dapat

bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan pada sekolah

normal/biasa dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu

mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.

2. Alat Peraga Model Bangun Ruang

a. Pengertian Alat Peraga

Alat peraga dalam mengajar, memegang peranan penting sebagai alat

bantu untuk menciptakan proses belajar mengajar yang efektif. setiap proses

belajar mengajar ditandai dengan adanya beberapa unsure antara lain : tujuan,

bahan, metode, dan alat serta evaluasi. Unsur alat dan metode merupakan unsure

yang tidak bisa lepas dari unsure lainya yang berfungsi sebagai cara atau teknik

untuk mengantarkan bahan pelajaran agar sampai pada tujuan. Dalam pencapain

tujuan tersebut, peranan alat bantu atau alat peraga memegang peranan yang

penting sebab dengan adanya alat peraga, bahan pelajaran dapat dengan mudah

dipahami oleh siswa.

xix

Pengertian alat peraga menurut Oemar Hamalik (2003 : 15),

mengemukakan bahwa alat bantu belajar disebut juga alat peraga atau media

belajar merupakan semua alat yang dapat digunakan untuk membantu siswa

melakukan perbuatan belajar, sehingga kegiatan belajar menjadi lebih efisien

dan efektif. Dengan bantuan berbagai alat, maka pelajaran akan lebih menarik,

menjadi konkrit, mudah dipahami, dan hasil belajar lebih bermakna.

Menurut Mulyani Sumantri dan Johar Permana (2001 : 152), mengemukakan bahwa alat peraga merupakan alat pembantu pengajaran yang mudah memberi pengertian kepada peserta didik. Sedangkan menurut Aristo Rahadi (2003: 10), alat peraga adalah alat (benda) yang digunakan untuk memperagakan fakta, konsep, prinsip atau prosedur tertentu agar tampak lebih nyata atau konkrit.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan alat peraga adalah merupakan alat bantu yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan proses belajar mengajar agar lebih konkrit, efisien dan efektif dalam mencapai tujuan pendidikan.

b. Jenis-jenis Alat Peraga

Menurut Rukidi (1996: 101) jenis-jenis atau macam-macam alat peraga dibedakan menjadi : 1) Alat peraga dua dimensi adalah alat peraga yang mempunyai ukuran

panjang dan lebar. Misalnya: bagan, grafik, proster dan sebagainya.

2) Alat peraga tiga dimensi adalah alat peraga yang mempunyai ukuran panjang, lebar dan tinggi. Misalnya: peta dasar, peta timbul, globe, papan tulis.

3) Alat peraga yang diproyeksikan adalah alat peraga yang menggunakan proyektor sehingga gambar nampak pada layer. Misalnya: film, slide, film strip, overhead proyektor.

c. Tujuan Penggunaan Alat Peraga

xx

Menurut Mulyani Sumantri dan Johar Permana (2001: 153), mengemukakan bahwa tujuan penggunaan alat peraga atau media pengajaran adalah sebagai berikut : 1) Memberikan kemudahan kepada peserta didik untuk lebih memahami

konsep, prinsip, sikap, dan ketrampilan. 2) Memberikan pengalaman belajar yang berbeda dan bervariasi sehingga lebih

merangsang minat peserta didik untuk belajar. 3) Menumbuhkan sikap dan ketrampilan tertentu dalam teknologi sehingga

peserta didik tertarik untuk menggunakan media atau alat tersebut. 4) Menciptakan situasi belajar yang tidak dapat dilupakan peserta didik.

d. Fungsi Alat Peraga Disamping tujuan, alat peraga juga mempunyai fungsi sebagai berikut :

1) Di samping adanya alat peraga, anak-anak akan lebih banyak mengikuti

pelajaran matematika dengan gembira, sehingga minatnya dalam

mempelajari matematika akan semakin besar. Anak akan senang,

terangsang, tertarik dan bersikap positif.

2) Dengan disajikannya konsep abstrak matematika dalam bentuk konkrit,

maka siswa pada tingkat-tingkat yang lebih rendah akan lebih mudah

memahami dan mengerti.

3) Alat peraga dapat membantu daya tilik ruang, karena tidak membayangkan

bentuk-bentuk geometri terutama bentuk geometri ruang, sehingga dengan

melalui gambar dan benda-benda nyatanya akan terbantu daya tiliknya

sehingga lebih berhasil dalam belajarnya.

4) Anak akan menyadari adanya hubungan antara pengajaran dengan benda-

benda yang ada disekitarnya, atau antara ilmu dengan alam sekitar dan

masyarakat.

5) Konsep-konsep abstrak yang disajikan dalam bentuk konkrit, yaitu dalam

bentuk model matematika dapat disajikan objek penelitian dan dapat pula

dijadikan alat untuk penelitian ide-ide baru dan realisasi-realisasi baru.

Selain dari fungsi dan manfaat alat peraga seperti telah disebutkan tadi,

pemakaian alat peraga dalam pengajaran matematika dapat pula dikaitkan dan

dihubungkan dengan salah satu atau beberapa tujuan berikut ini :

xxi

1) Pembentukan konsep

2) Pemahaman konsep

3) Latihan dan penguatan

4) Melayani perbedaan individu, termasuk yang lemah dan anak yang berbakat.

5) Pengukuran alat peraga dipakai sebagai alat ukur

6) Pengamatan dan penemuan sendiri, alat peraga sebagai objek penelitian

maupun sebagai alat untuk meneliti.

7) Pemecahan masalah

8) Mengundang berfikir.

e. Cara Membuat Alat Peraga Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam membuat alat peraga

yang sederhana, diantaranya : 1) Dibuat dari bahan yang cukup kuat supaya tahan lama. 2) Diusahakan bentuk maupun warnanya menarik 3) Dibuat secara sederhana, mudah dikelola dan tidak rumit. 4) Ukuranya dibuat sedemikian rupa sehingga seimbang dengan ukuran fisik

anak. 5) Dapat menjasikan konsep matematika (bentuk nyata, gambar, diagram). 6) Sesuai dengan konsep, misalnya dengan membuat alat peraga segitiga

berdaerah dari karton atau triplek, mungkin anak beranggapan bahwa segitiga itu bukan hanya rusuk-rusuknya saja, tetapi berdaerah, jelas ini tidak sesuai dengan konsep segitiga.

7) Peragaan itu supaya merupakan dasar untuk timbulnya konsep abstrak. 8) Bila diharapkan siswa belajar aktif (sendiri atau kelompok) alat peraga itu

supaya dapat dimanipulasi, yaitu diutak-atik seperti diraba, dipegang, dipindahkan atau dipasang dan dicopotkan.

9) Bila memungkinkan buatlah alat peraga yang berfungsi banyak. f. Alat Peraga Model Bangun Ruang

Pengertian model menurut Oemar Hamalik (1986:55) model adalah benda-benda pengganti yang menggantikan benda sebenarnya dalam bentuk sederhana,

xxii

menghilangkan bagian-bagian yang kurang perlu serta menonjolkan bagian yang perlu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke 2, 1996:662) model adalah barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru. Dari dua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model adalah benda buatan dalam arti yang kecil.

Jadi dalam keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa alat peraga model bangun ruang yaitu suatu benda atau alat peraga yang digunakan berupa model yang ditirukan berupa benda-benda yang berbentuk bangun ruang, dalam bentuk seperti aslinya dan digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar agar materi pelajaran yang disampaikan mudah diterima oleh siswa.

Adapun bentuk-bentuk bangun ruang yang sesuai dengan Standar

Kompetensi dan Kompetensi Dasar adalah sebagai berikut :

a) Bola

b) Balok

c) Kubus

d) Kerucut

xxiii

e) Tabung

Bentuk bola adalah merupakan salah satu benda yang berbentuk bangun

ruang, sedangkan ciri-cirinya adalah berbentuk bulat. Adapaun benda-benda yang

secara geometris berbentuk bulat adalah globe, jeruk, kelereng, bola, balon.

Kubus merupakan barung ruang dengan ciri-ciri rusuknya sama panjang, contoh

benda-bendan yang secara geometris berbentuk kubus adalah dadu, kotak kapur,

kado. Sedangkan balok mempunyai ciri-ciri rusuknya tidak sama panjang, adapun

contoh benda-benda yang secara geometris berbentuk balok adalah batu bata,

televise, almari, buku, radio, korek api, mainan mobil. Adapun bangun ruang yang

lain adalah tabung dan kerucut, kalau tabung mempunyai alas dan tutup, contoh

benda-bendan yang secara geometris berbentuk tabung adalah kaleng susu, drum,

pot bunga, bamboo, gendang. Dan kerucut mempunyai ciri-ciri bagian atas lancip

dari bagian bawah bulat. Sedangkan contoh bendah-benda yang secara geometris

berbentuk kerucut adalah topi ulang tahun dan terompet.

Contoh benda yang sesuai dengan bentuk bangun ruang.

No Bentuk Nama Contoh Benda

1 2 3 4

1.

Bola

2.

Tabung

xxiv

3.

Balok

4.

Kubus

5.

Kerucut

Pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga model bangun

ruang ini bertujuan agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam memahami

benda-benda yang secara geometris berbentuk bola, balok, kubus, tabung dan

kerucut. Dan hal ini dapat mempermudah siswa untuk belajar matematika

khususnya bangun ruang untuk kelas selanjutnya.

Alat peraga model bangun ruang dapat memberi gagasan dan dorongan bagi

guru dalam mengajar anak-anak agar lebih aktif dan suasana kelas menjadi lebih

hidup sehingga prestasi belajar matematika anak lebih meningkat.

g. Pengaruh Alat Peraga Model Bangun Ruang Terhadap Prestasi Belajar

Matematika.

Alat peraga model bangun ruang mempunyai pengaruh yang besar dalam

pembelajaran siswa untuk meningkatkan prestasi belajar matematika, karena

dengan menggunakan alat peraga model bangun ruang dapat memberikan

kemudahan kepada siswa untuk lebih memahami benda-benda yang secara

geometris berbentuk bola, balok, kubus, tabung, dan kerucut, dan dapat

memberikan pengalaman belajar yang berbeda dan bervariasi sehingga dapat

merangsang siswa untuk belajar serta dapat menciptakan situasi belajar yang tidak

dapat dilupakan peserta didik.

Alat peraga model bangun ruang juga dapat membantu daya tarik ruang,

karena siswa tidak hanya membayangkan bentuk-bentuk geometris terutama

bangun ruang seperti bola, kubus, balok, tabung dan kerucut. Sehingga dengan

xxv

melalui gambar, benda-benda nyata maupun tiruan atau model bangun ruang akan

membantu siswa dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi

belajar matematika siswa kelas D1 SLB – B YRTRW – Surakarta

3. Prestasi Belajar Matematika

a. Pengertian Prestasi Belajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999; 700) kata prestasi mempunyai

pengertian hasil yang dicapai, dilakukan / dikerjakan. Menurut Winkel (1996 ;

391) prestasi adalah bukti usaha yang telah dicapai. Pendapat lain dikemukakan

oleh Zainal Arifin (1989; 3) menyatakan “Prestasi adalah hasil dari kemampuan,

ketrampilan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal”.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian

prestasi adalah bukti atau hasil dari usaha yang dicapai seseorang setelah

melakukan usaha sebaik-baiknya sesuai dengan batas kemampuannya.

Menurut Nana Sudjana (1997; 5) belajar pada hakekatnya adalah proses

perubahan tingkah laku seseorang berkat adanya pengalaman. Pendapat lain

dikemukakan oleh Garry dan Kingsley dalam Nana Sudjana (1997 ; 5)

menyatakan bahwa “Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang orisinil

melalui pengalaman dan latihan-latihan”.

Menurut Oemar Hamalik (1989; 6), belajar (learning) adalah merupakan

proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan latihan. Hal

diatas sependapat dengan Skinner dalam Muhibbin Syah, (1995; 89) bahwa

belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang

berlangsung secara progresif. Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut

akan mendatangkan hasil yang optimal apabila diberi penguatan.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa belajar adalah proses

perubahan tingkah laku yang berlangsung secara progresif sebagai hasil dari

pengalaman dan latihan.

Menurut Suhaenah Suparno (2001; 2) belajar adalah merupakan suatu

aktivitas yang menimbulkan suatu perubahan yang relative permanent sebagai

akibat dari upaya-upaya yang dilakukan. Perubahan-perubahan tersebut tidak

xxvi

disebabkan factor kelelahan (fatique), kematangan, ataupun karena mengkonsumsi

obat tertentu.

Sejalan dengan perumusan diatas, menurut Hilgard dan Bower dalam

Ngalim Parwanto, (1990 ; 84) mengemukakan bahwa belajar adalah berhubungan

dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang

disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana

perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan,

respon pembawaan, kematangan, atau keadaan sesaat dari seseorang (kelelahan,

kecelakaan, pengaruh obat).

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan

belajar adalah suatu usaha kegiatan yang menghasilkan perubahan tingkah laku

sebagai akibat dari pengalaman yang berulang-ulang.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan belajar adalah suatu proses

kegiatan atau usaha dengan melalui latihan dan pengalaman yang berulang-ulang

dalam proses belajar agar mendapat perubahan tingkah laku yang bersifat leibih

baik dan tersimpan dalam jangka waktu yang lama.

Sedangkan menurut Slameto (1995; 2) berpendapat bahwa belajar adalah

suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan

tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri

dalam interaksi dengan lingkungan. Senada dengan pendapat Oemar Hamalik

(2003; 327), bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu

melalui interaksi dengan lingkungannya.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan

belajar adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh

suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman melalui interaksi

dengan lingkungan yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotorik.

Jadi jelaslah bahwa seseorang dikatakan telah melakukan kegiatan belajar

apabila terjadi adanya perubahan tingkah laku yang baru pada orang tersebut,

yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu, yang sebelumnya tidak bisa menjadi

bisa.

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Belajar

25

xxvii

Untuk mencapai prestasi belajar yang optimal, maka perlu memperhatikan

fakto-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Dibawah ini beberapa factor

yang berkaitan dengan keberhasilan belajar yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

Menurut Sumadi Suryabrata (1993 ; 249), menyatakan bahwa factor-faktor

yang mempengaruhi belajar antara lain :

1) Faktor yang berasal dari luar individu.

Faktor ini digolongkan menjadi dua golongan yaitu :

a. Faktor-faktor Nasional, seperti :(1) keadaan udara, (2) suhu udara, (3)

cuaca, (4) waktu, (5) tempat (letak, pergedungan), (6) alat-alat belajar

(seperti alat tulis menulis, buku-buku, alat-alat peraga).

b. Faktor-faktor Sosial adalah gangguan yang terjadi pada proses belajar,

seperti perhatian, keadaan lingkungan kelas.

2) Faktor yang berasal dari dalam individu

Faktor tersebut digolongkan menjadi dua golongan yaitu:

a. Faktor Fisiologis antara lain : (1) keadaan jasmani pada umumnya seperti

lelah, lesu, ngantuk, sakit gigi, batuk, (2) keadaan fungsi jasmani terutama

fungsi panca indera.

b. Faktor Psikologis, yaitu (1) sifat ingin tahu, (2) kreativitas, (3) simpati dari

orang lain, (4) memperbaiki kegagalan, (5) rasa aman, (6) adanya ganjaran

atau hukuman.

Muhibin Syah (1995; 32) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

prestasi belajar adalah :

1) Faktor Internal (faktor yang berasal dari dalam diri siswa) meliputi dua aspek

yakni :

a. Aspek Fisiologis yaitu kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot)

yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya,

dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti

pelajaran.

b. Aspek Psikologis yaitu faktor-faktor rohani siswa yang meliputi :

xxviii

o Kecerdasan (intelegensi) siswa adalah kemampuan psikofisik untuk

merealisasi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan

dengan cara yang tepat.

o Sikap siswa

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi aktif berupa

kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang

relative tetap terhadap objek secara positif maupun negative.

o Bakat siswa

Bakat adalah kemampuan potensi yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.

o Minat siswa Minat (interes) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.

o Motivasi siswa Motivasi adalah keadaan internal organisme manusia yang mendorong untuk berbuat sesuatu.

2) Faktor Eksternal (faktor yang berasal dari laur diri siswa). Faktor tersebut terdiri atas dua macam, yaitu : a. Lingkungan Sosial meliputi : Lingkungan social sekolah seperti para guru, staf adminitrasi, dan

teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Lingkungan social siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-

teman sepermainan disekitar tempat tinggal siswa. Lingkungan social yang lain adalah orang tua dan kelaurga siswa itu

sendiri yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar. b. Lingkungan Nasional

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non social ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa.

3) Faktor Pendekatan Belajar Pendektan belajar meliputi beberapa tingkat : pendekatan tinggi, pendekatan sedang, dan pendekatan rendah.

xxix

Dari dua pendapat diatas, dapat penulis simpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar antara lain faktor internal (faktor yang berasal dari dalam diri individu), faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri individu), dan faktor pendekatan belajar

c. Matematika Ada berbagai pendapat tentang pengertian matematika diantaranya yang

dikemukakan oleh Johnson dan Myklebust dalam Mulyono Abdurrahman (2003), matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekpresikan. hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya

adalah untuk memudahkan berpikir. Lemer (1988: 430) mengemukakan bahwa

matemtika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal

uang memungkinkan matematika memikirkan, mencatat dan mengkomunikasikan

ide mengenai eleman dan kuantitas. Kline (1981: 172) juga mengemukakan

bahwa matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah

penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar

induktif.

Menurut Paling (1982: 1), ide manusia tentang matematika berbeda-beda,

tergantung pada pengalaman dan pengetahuan masing-masing. ada yang

mengatakan matematka hanya perhitungan yang mencakup tambah, kurang, kali

dan bagi, tatapi ada pula yang beranggapan bahwa matematika mencakup segala

sesuatu yang berkaitan dengan berfikir logis. Selanjutnya, Paling mengemukakan

bahwa matematika adalah suatu cara menemukan jawaban yang dihadapi

manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan bentuk

dan ukur, menggunakan pengetahuan menghitung dan yang paling penting adalah

memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan

hubungan-hubungan. Berdasarkan pendapat Paling tersebut dapat disimpulkan

bahwa untuk menemukan jawaban atas tiap masalah yang dihadapinya, manusia

akan mengemukakan (1) informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi

(2) pengetahuan tentang bilangan, bentuk dan ukuran (3) kemampuan untuk

xxx

menghitung dan (4) kemampuan untuk mengingat dan menggunakan hubungan-

hubungan.

Dewan Nasional untuk pengajaran matematika di Amerika Serikat seperti

dikutip oleh Leman (1988: 436) mengusulkan agar kurikulum mencakup 10

ketrampilan dasar sebagai berikut :

1) Pemecahan masalah

2) Penerapan matematika dalam situasi kehidupan sehari-hari

3) Ketajaman perhatian terhadap kelayakan hasil

4) Perkiraan

5) Ketrampilan perhitungan yang sesuai

6) Geometri

7) Pengukuran

8) Membaca, menginterprestasikan, membuat tabel, cart dan grafik

9) Menggunakan matematika untuk meramalkan dan

10) Melek computer (Computer literacy)

d. Pengertian Prestasi Belajar Matematika

Berdasarkan pengertian prestasi, belajar dan matematika yang telah

diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika adalah

hasil yang dicapai dalam menempuh/mengikuti pelajaran matematika yang

menghasilkan perubahan pada diri seseorang berupa pemahaman, penguasaan,

ketrampilan dan kemampuan baru yang diperlihatkan dalam bentuk nilai.

B. Kerangka Berfikir

Proses pembelajaran dapat mencapai hasil yang baik apabila termotivasi

untuk melakukannya. Beberapa upaya agar siswa terdorong untuk belajar,

diantaranya adalah penyajian materi yang menarik perhatian siswa sehingga

menumbuhkan semangat, minat dan motivasi untuk belajar.

Dengan optimalisasi pemilihan dan penggunaan alat peraga yang tepat

serta menarik perhatian diharapkan dapat memperkuat ingatan siswa. Hal ini akan

xxxi

terlihat jika seseorang terus menerus melihat dan memegang suatu benda, maka

orang tersebut akan hafal dan ingat dengan sendirinya walaupun suatu ketika tidak

melihat. Penggunaan alat peraga secara tepat dan menarik, membuat siswa

termotivasi untuk belajar dan apa yang telah diterimanya akan lebih melekat

dalam ingatan untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

Berdasarkan kajian teoritik yang telah diuraikan sebelumnya diperoleh

alur kerangkan berfikir dalam penelitian ini yang dapat digambarkan sebagai

berikut :

Kondisi Awal

Kondisi Akhir

Tindakah

1. Pembelajaran lebih berpusat pada guru.

2. Siswa enggan atau malas belajar matematika

3. Prestasi belajar matematika pokok bahasan bangun ruang rendah.

1. Guru menggunakan alat peraga bangun ruang

2. Guru memberi motivasi belajar kepada siswa.

3. Guru memberi penjelasan tentang cara belajar matematika.

1. Prestasi belajar matematika pokok bahasan bangun ruang meningkat.

2. Siswa lebih senang untuk belajar matematika.

3

xxxii

Skema 1

Kerangka Berpikir

C. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka berfikir sebagaimana diuraikan di atas, maka dirumuskan

hipotesis tindakan sebagai berikut : Bahwa pembelajaran matematika melalui alat

peraga model bangun ruang dapat meningkatkan prestasi belajar matematika

siswa kelas D1 SLB – B YRTRW Surakarta tahun 2008/2009.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Seting Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa – B YRTRW Surakarta

yang beralamatkan di : Gumunggung RT 01/II, Kelurahan Gilingan, Kecamatan

Banjarsari, Kota Surakarta Telp. 0271 – 730909. Penelitian ini berlangsung

selama 2 bulan yaitu April sampai Mei 2009.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas D1 SLB – B

YRTRW jumlah 8 anak.

C. Sumber Data

Sumber data primer diperoleh dari :

- Pre tes

- Post tes

- Nilai ulangan harian

D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

xxxiii

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Tes (tertulis, lisan, perbuatan)

Suharsimi Arikunto (1998: 139) mengemukakan bahwa “Tes adalah

serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk

mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bobot yang

dimiliki individu atau kelompok”. Sedangkan menurut Sumadi dalam M.

Chabib Toha (11994: 22) menyebutkan bahwa test adalah pertanyaan yang

harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dilaksanakan yang

mendasarkan harus bagaimana tes tersebut menjawab pertanyaan atau

melakukan perintah-perintah itu.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tes adalah

suatu pertanyaan yang harus dijawab oleh tes guna mengukur kemampuan,

ketrampilan, intelegensi, atau bobot yang dimiliki oleh individu atau

kelompok.

2. Non tes (wawancara atau diskusi, pengamatan yang masing-masing secara

singkat) diuraikan berikut ini :

a. Pengamatan

Pengamatan itu dilakukan terhadap kinerja siswa selama proses belajar

mengajar berlangsung. Pengamatan dilakukan oleh peneliti dengan

mengambil tempat duduk paling belakang. Pengamatan terhadap siswa

difokuskan pada tingkat partisipasi siswa dalam mengikuti pelajaran,

seperti terlihat pada keaktifan dalam menanggapi dan menjawab

pertanyaan yang datang dari guru, keaktifan siswa dalam mengerjakan

tugas dan sebagainya.

b. Wawancara atau diskusi

Wawancara atau diskusi dilakukan antara peneliti dan pengamat.

Wawancara atau diskusi dengan pengamat dilaksanakan setelah

melakukan pengamatan pertama terhadap kegiatan belajar mengajar

(KBM) dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang berbagai hal

yang berkaitan dengan pelaksanaan belajar matematika dengan

menggunakan alat peraga, khususnya dalam pokok bahasan bangun ruang.

xxxiv

Dari wawancara atau diskusi tersebut dapat dilakukan identifikasi

permasalahan-permasalahan yang ada berkenaan dengan upaya

peningkatan prestasi belajar matematika dengan menggunakan alat peraga

bangun ruang.

Dalam kegiatan diskusi itu, pemimpin diskusi melakukan hal-hal berikut :

1) Meminta pendapat pengamat tentang keaktifan siswa dalam mengikuti

proses belajar matematika di dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)

di kelas;

2) Mengemukakan catatan dengan hasil pengamatannya terhadap alat

peraga yang digunakan dalam KBM di kelas;

3) Mendiskusikan hal-hal yang telah dikemukakan baik oleh pengamat

atau peneliti untuk menyamakan persepsi tentang hal-hal yang perlu

dilakukan oleh guru (peneliti) dalam upaya meningkatkan prestasi

belajar matematika dengan menggunakan alat peraga bangun ruang.

Dengan perkataan lain, pada akhir setiap kegiatan diskusi disepakati

hal-hal yang perlu dilakukan pada siklus berikutnya untuk

meningkatkan prestasi belajar matematika dengan menggunakan alat

peraga bangun ruang.

B. Validasi Data

Teknik yang digunakan untuk memeriksa validasi data adalah Triangulasi.

Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan validitas data dengan memanfaatkan

sarana di luar data itu (Lexy J. Moleong 1995: 1978). Teknik triangulasi yang

digunakan antara lain berupa triangulasi sumber data. Misalnya, untuk mengetahui

kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam kegiatan belajar matematika pokok

bahasan bangun ruang dan faktor-faktor penyebabnya, peneliti melakukan hal-hal

sebagai berikut : 1) Memberikan tes yang soalnya ada hubunganya dengan bangun

ruang. 2) Melakukan diskusi atau wawancara dengan pengamat (guru) tentang

hambatan-hambatan yang dialami siswa dalam belajar matematika dengan pokok

bahasan bangun ruang dan sebagainya.

xxxv

C. Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis diskriptip

dibantu dengan grafik histogram. Data kuantitatif menggunakan analisis

deskriptip komperatif yang membandingkan nilai test kondisi awal, nilai test

setelah siklus I dan nilai post test dan seterusnya.

D. Indikator Kinerja

Indikator kinerja dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Siswa lebih aktif dalam belajar matematika 2. Peningkatan prestasi dalam belajar matematika

Nilai rata-rata kelas ≥ 60

H. Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan 2 siklus tahapan-tahapan dalam siklus adalah sebagai berikut : 1. Siklus I

a. Perencanaan Materi pelajaran matematika dengan alokasi waktu April – Mei 2009.

b. Tindakan Peningkatan Prestasi belajar matematika dengan menggunakan alat peraga

c. Observasi Dilaksanakan bersamaan proses pembelajaran

d. Refleksi Kegiatan belajar mengajar di kelas dianalisa dan sekaligus menyusun rencana perbaikan pada siklus berikutnya. Yang membantu dalam pelaksanaan observasi dan refleksi selama penelitian berlangsung adalah teman sejawat.

34

xxxvi

2. Siklus II a. Perencanaan

Materi pelajaran matematika dengan alokasi waktu April – Mei 2009 b. Tindakan

Peningkatan prestasi matematika dengan menggunakan alat peraga c. Observasi

Dilaksanakan bersamaan proses pembelajaran di kelas d. Refleksi

Kegiatan belajar mengajar di kelas dianalisa dan sekaligus menyusun rencana perbaikan pada siklus berikutnya. Yang membantu dalam

Pelaksanaan observasi dan refleksi selama penelitian berlangsung adalah

teman sejawat.

1. Siklus I a. Perencanaan Merencanakan pembelajaran yang akan

diterapkan dalam proses pembelajaran

Menentukan pokok bahasan

Menyiapkan sumber belajar

Menyiapkan alat peraga

Mengembangkan format evaluasi

Mengembangkan format obsevasi

b. Tindakan Menerapkan tindakan mengacu pada

scenario pembelajaran

c. Observasi Melakukan observasi dengan memakai

format observasi

d. Refleksi Melakukan evaluasi tindakan yang telah

dilakukan

Melakukan pertemuan untuk membahas hasil

evaluasi tentang scenario pembelajaran

Memperbaiki pelaksanaan tindakan sesuai

hasil evaluasi, untuk digunakan siklus

xxxvii

berikutnya.

2. Siklus II a. Perencanaan o Atas dasar hasil evaluasi siklus I dilakukan

penyempurnaan tindakan

o Pengamatan program tindakan II

b. Tindakan o Pelaksanaan program tindakan II

c. Observasi o Pengumpulan data tindakan II

d. Refleksi o Evaluasi tindakan II berdasarkan indicator

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Diskpripsi Kondisi Awal

Penelitian ini dilaksanakan di kelas DI, SLB – B YRTRW Surakarta,

semester II tahun ajaran 2008 / 2009. Tempat penelitian ini berlokasi di SLB – B

YRTRW Surakarta yang beralamatkan di Gumunggung RT. 01 RW. II, Kelurahan

Gilingan Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta Telp. (0271) 739909. jumlah guru

semuanya 24 orang yang terdiri dari guru PNS 17 orang, guru wiyata bhakti 5

orang, guru agama 1 orang, kepala sekolah 1 orang, tenaga perpustakaan 1 orang,

dan penjaga sekolah 2 orang.

Dengan adanya jumlah guru yang lengkap, proses belajar mengajar dapat

berjalan dengan baik dan lancar., sehingga jumlah siswa yang masuk ke sekolah

SLB – B YRTRW banyak. Jumlah siswa seluruhnya 97 siswa yang terdiridari

kelas Persiapan I sebanyak 11 siswa, kelas Dasar IB 8 siswa, kelas Dasar II

sebanyak 7 siswa, kelas Dasar III sebanyak 4 siswa, kelas Dasar IV

sebanyak 8 siswa, kelas Dasar V sebanyak 4 siswa, kelas Dasar VIA sebanyak 5

siswa, kelas Dasar VIB sebanyak 9 siswa, kelas Lanjutan I sebanyak 7 siswa, kelas

xxxviii

Lanjutan II sebanyak 4 siswa, kelas Lanjutan III sebanyak 4 siswa, kelas SMA

LB sebanyak 2 siswa.

Berdasarkan observasi yang penulis laksanakan di kelas DI SLB – B

YRTRW Surakarta, sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam pelajaran

Matematika khususnya dalam memahami benda-benda yang berbentuk bangun

ruang, seperti bola, balok, kubus, tabung dan kerucut. Hal ini disebabkan karena

anak mengalami hambatan dalam pendengaran yang mengakibatkan anak

mengalami kesulitan dalam memahami suatu konsep tanpa menggunakan bantuan

alat peraga. Untuk itulah dalam rangka ikut membantu sekolah dalam

meningkatkan mutu pendidikan dan mengatasi kesulitan anak dalam belajar

Matematika khususnya dalam memahami benda-benda

berbentuk bangun ruang. Penulis melakukan penelitian dengan mengambil kelas

DI SLB – B YRTRW Surakarta sebagai subyek penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian tindakan kelas, yaitu

melalui proses atau siklus berulang yang akan direncanakan dalam 2 siklus.

Dalam penelitian ini penulis mengadakan penelitian pada siswa kelas DI sejumlah

8 siswa yang terdiri dari 6 siswa laki-laki dan 2 siswa perempuan. Dari 8 siswa

tersebut ; tiap-tiap siswa mempunyai kondisi yang berbeda-beda, sebagaimana

penulis uraikan dibawah ini.

Tabel I. Data Keaktifan, Partisipasi dan Semangat Siswa Kelas DI SLB – B

YRTRW Surakarta.

No.

Nama Siswa Keaktifan

Siswa Konsentrasi

Siswa Semangat

siswa 1. PS Sering tidak masuk

sekolah dengan alasan sakit, sehingga tidak aktif dalam mengikuti pelajaran.

Konsentrasi anak kurang karena anak sering main sendiri sehingga kurang memperhatikan penjelasan guru.

Semangat anak kurang, karena kalau disuruh mengerjakan tugas selesainya lama.

2. CS Kurang aktif menjawab pertanyaan guru dan mau

Konsentrasi anak cukup bagus.

Semangat cukup baik, bila mengerjakan tugas

xxxix

bertanya kepada guru kalau belum jelas, tetapi perlu ditingkatkan

paling cepat sendiri dan suka mengatuf temannya, tetapi hasilnya belum memuaskan

3. AYR Anak kurang aktif dalam mengikuti pelajaran.

Konsentrasi kurang, karena anak sering mengajak mengajak teman duduknya bermain atau berbicara.

Semangat cukup, kalau diberi tugas mau mengerjakan

No.

Nama Siswa Keaktifan

Siswa

Konsentrasi

Siswa

Semangat

siswa

4. ADW Anak malas atau tidak

aktif dalam mengikuti

pelajaran, sering

terlambat masuk sekolah.

Konsentrasi kurang, anak

sering bermain-main

sehingga mengganggu

teman-teman lainya.

Semangat anak kurang,

kalau diberi tugas sering

tidak mengerjakan dan

kalau disuruh menulis

malas.

5. MED Anak kurang aktif dalam

mengikuti pelajaran,

kalau diberi pertanyaan

belum mau menjawab.

Konsentrasi kurang, karena

anak sering mengganggu

teman-temannya sehingga

kurang mempertahikan

penjelasan guru.

Semangat siswa cukup

bagus, kalau diberi tugas

selalu mengerjakan.

6. LYS Anak belum aktif dalam

mengikuti pelajaran dan

belum aktif menjawab

pertanyaan guru.

Konsentrasi anak cukup

bagus, walaupun kadang-

kadang melamun atau

bengong.

Semangat siswa kurang,

kalau diberi tugas

mengerjakan walaupun

kadang-kadang agak

malas.

7. H Anak kurang aktif dalam

mengikuti pelajaran dan

Konsentrasi cukup bagus. Semangat siswa cukup

bagus, kalau diberi tugas

xl

belum mau bertanya

kepada guru kalau

kurang jelas.

cepat selesai, tetapi

hasilnya belum

memuaskan

8. INS Anak kurang aktif

mengikuti pelajaran,

sering bengong.

Konsentrasi kurang, anak

sering terpengaruh teman-

temannya sehingga kurang

memperhatikan penjelasan

guru.

Semangat anak kurang,

karena kalau disuruh

mengerjakan tugas tidak

segera dikerjakan,

walaupun akhirnya mau

mengerjakan.

Data-data diatas sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu

mengadakan pre test untuk menindak lanjuti penelitian selanjutnya. Pre test

diadakan sebelum dilaksanakan tindakan pembelajaran tanpa menggunakan

bantuan alat peraga model bangun ruang, untuk mengetahui sejauh mana

kemampuan anak dalam memahami benda-benda yang berbentuk bangun ruang.

B. Deskripsi Siklus I

Pembelajaran siklus I dilaksanakan selama 35 menit ( 2 x pertemuan ).

Adapun tahapan pada siklus I terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan

tindakan, observasi dan refleksi.

a. Perencanaan Tindakan.

Pada tahap perencanaan tindakan ini peneliti akan merencanakan

pembelajaran matematika dengan materi bangun ruang. Bangun ruang yang

diajarkan meliputi bola, balok, kubus, tabung dan kerucut.

Dengan berpedoman pada Standar Kompetensi dan kompetensi dasar mata

pelajaran matematika, maka peneliti membuat langkah-langkah perencanaan

pembelajaran matematika dengan materi bangun ruang sebagai berikut :

1) Mempersiapkan materi pelajaran

xli

2) Menentukan Standar Kompetensi dan kompetensidasar.

3) Memilih Indikator yang sesuai dengan materi bangun ruang.

4) Menyusun RPP ( Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ) berdasarkan pada

indicator. Rencana pembelajaran matematika yang disusun peneliti

menggunakan 4 indikator. Indicator itu adalah : (1) Menunjukkan gambar

benda-benda sekitar yang secara geomtris berbentuk (bola, balok, kubus,

tabung, kerucut), (2) Mengenal benda-benda yang secara

geometris berbentuk (bola, balok, kubus, tabung dan kerucut), (3)

Mengelompokkan benda-benda menerut bentuk, permukaan, atau cirri-ciri

lainnya, (4) Mengurutkan benda-benda yang secara geometris berbentuk (bola,

balok, kubus, tabung dan kerucut)

5) Penetapan scenario pembelajaran.

6) Menyiapkan alat peraga yang sesuai dengan materi pembelajaran yaitu alat

peraga model bangun ruang.

7) Koordinasi dengan Observer

b. Pelaksanaan Tindakan.

Pada tahap pelaksanaan tindakan ini guru dalam menyampaikan

pembelajaran matematika sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat.

Rencana pembelajaran yang disusun oleh peneliti sesuai dengan indicator. Pada

siklus I ini dilaksanakan selama 2 kali pertemuan.

1). Pertemuan I

Pada pertemuan yang pertama ini menggunakan 2 indikator yaitu : (1)

Menunjukkan gambar benda-benda sekitar yang secara geometris berbentuk (bola,

balok, kubus, tabung, kerucut), (2) Mengenal benda-benda yang secara geometris

berbentuk (bola, balok, kubus, tabung, dan kerucut).

Pada pertemuan ini kegiatan awal dimulai dengan berdo’a, setelah itu

sebagai awal pembelajaran guru mengadakan Tanya jawab dengan materi yang

ada hubungannya dengan bangun ruang. Adapun Tanya jawab itu meliputi nama-

xlii

nama benda yang ada didalam kelas. Setelah Tanya jawab guru mempersiapkan

materi pembelajaran matematika yang akan diajarkan yaitu bangun ruang.

Setelah kegiatan awal dilaksanakan dengan kegiatan inti pembelajaran yaitu

dimulai dengan guru menunjukkan dan menjelaskan gambar bangun ruang

sederhana yaitu (bola, balok, kubus, tabung, dan kerucut). Guru menyuruh siswa

untuk menirukan ucapan guru tentang kosa kata yang ada hubungannya dengan

bangun ruang (bola, balok, kubus, tabung, dan kerucut), sambil menunjukkan

gambar yang sudah disediakan. Setelah itu guru menunjukkan alat peraga model

bangun ruang yaitu benda-benda yang secara geometris berbentuk bangun ruang.

Kemudian guru memperkenalkan satu persatu nama benda-benda itu dan siswa

disuruh mengamati dan mengingat nama-nama benda tersebut. Untuk mengetahui

kemampuan siswa

guru menyuruh siswa maju kedepan satu persatu untuk menunjukkan benda-bend

yang secara geometris berbentuk bangun ruang sesuai dengan perintah guru.

Dokumentasi Alat Peraga Model Bangun Ruang. Dapat dilihat pada gambar

dibawah ini :

Gambar 1. Gambar alat peraga model bangun ruang.

Pada akhir pembelajaran siswa diberi tugas untuk mengerjakan soal-soal

latihan yang sudah disediakan oleh guru. Setelah selesai lembar soal dikumpulkan

xliii

dan guru mengakhiri pelajaran dengan memberikan pesan supaya apa yang sudah

diberikan guru dipelajari lagi dirumah.

2). Pertemuan II

Pertemuan yang kedua ini kegiatan awal dimulai dengan berdo’a, setelah

berdo’a dilanjutkan dengan persensi siswa agar siswa lebih dapat mengingat

materi pembelajaran yang sudah diberikan sebelumnya, maka diadakan Tanya

jawab terlebih dahulu sebelum pelajaran dimulai. Setelah itu guru menyiapkan

materi pembelajaran yang akan diberikan.

Pada inti pembelajaran matematika ini adalah mengelompokkan benda-

benda menurut bentuk, permukaan atau cirri-ciri lainya dan mengurutkan benda-

benda yang

secara geometris berbentuk (bola, balok, kubus, tabung, dan kerucut). Siswa

dengan dibimbing guru mengelompokkan benda-benda yang secara geometris

berbentuk bangun ruan dan mengurutkannya.

Dokumentasi proses pembelajaran matematika dengan alat peraga model

bangun ruang. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2 Gambar 3

Gambar proses pembelajaran matematika dengan alat peraga model bangun

ruang.

xliv

Guru menyuruh salah satu siswa yang sudah mampu menunjukkan benda-

benda yang berbentuk bangun ruang ke depan kelas, siswa yang lain mengamati.

Ini dilakukan secara bergantian sampai siswa yang belum bisa menjadi paham dan

dapat mengelompokkan dan mengurutkan benda-benda yang secara geometris

berbentuk bangun ruang. Guru memberikan motivasi dan membantu siswa yang

mengalami kesulitan mengelompokkan benda-benda yang secara geometris

berbentuk bangun ruang.

Untuk mengetahui keberhasilan materi yang sudah diberikan dalam 2 kali

pertemuan maka guru mengadakan post test yang sudah disediakan. Dan setelah

siswa selesai mengerjakan post test, guru mengakhiri pelajaran dengan

mempersilahkan siswa untuk istirahat dan guru berpesan supaya rajin belajar.

c. Hasil Pengamatan (observasi)

Dalam tahapan ini peneliti secara kolaboratif bersama teman sejawat

melaksanakan pemantauan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang sudah

dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu berupa lembar observasi dan

perekaman dengan kamera photo. Observasi ini dilakukan untuk memperoleh data

mengenai kesesuaian pelaksanaan pembelajaran matematikan dengan rencana

pembelajaran yang telah disusun. Dan untuk memperoleh data mengenai :

1) Keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajr mengajar.

2) Semangat siswa dalam menggunakan alat peraga model bangun ruang.

3) Prestasi belajar matematika khususnya bangun ruang.

Uraian hasil pengamatan pada siklus I dalam pertemuan I (satu) dapat

diuraikan sebagai berikut :

1) Kegiatan Siswa

a. Siswa belum aktif memperhatikan penjelasan guru.

b. Siswa belum aktif menjawab pertanyaan guru.

c. Inisiatif siswa untuk bertanya belum ada.

d. Siswa aktif mengerjakan tugas individu.

xlv

2) Kegiatan Guru

a. Guru sudah memberikan apresiasi secara tepat.

b. Guru sudah menggunakan berbagai sumber.

c. Guru sudah menggunakan waktu secara tepat.

d. Guru sudah memberikan motivasi dan perhatian pada siswa.

e. Guru sudah menggunakan alat peraga.

f. Guru sudah melakukan penilaian proses dan hasil belajar.

g. Guru sudah memberikan tindak lanjut.

Uraian hasil pengamatan pada siklus I dalam pertemuan ke II (dua) :

1) Kegiatan siswa

a. Siswa mulai aktif memperhatikan penjelasan guru.

b. Siswa belum aktif menjawab pertanyaan guru.

c. Inisiatif siswa untuk bertanya belum ada.

d. Siswa aktif mengerjakan tugas dari guru

2) Kegiatan Guru

a. Guru sudah memberikan apresiasi secara tepat.

b. Guru sudah menggunakan berbagai sumber.

c. Guru sudah menggunakan waktu secara tepat.

d. Guru sudah memberikan motivasi dan perhatian pada siswa.

e. Guru sudah menggunakan alat peraga.

f. Guru sudah melakukan penilaian proses dan hasil belajar.

g. Guru sudah memberikan tindak lanjut.

Penulis tidak hanya menguraikan hasil pengamatan kegiatan guru dan siswa,

tetapi juga menguraikan hasil pengamatan prestasi belajar siswa. Yaitu nilai post

test yang telah dilaksanakan pada siklus I, hasil pengamatan nilai dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

xlvi

Tabel 2. Data Nilai Post Test Siklus I.

No. Nama Siswa Nilai

1. PS 60

2. CS 70

3. AYR. 50

4. ADW. 40

5. MED 60

6. LYS. 50

7. H 70

8. IFS 60

d. Refleksi

Berdasarkan hasil pengamatan selama proses pembelajaran pada siklus I,

siswa sudah aktif mengerjakan tugas guru tetapi belum aktif memperhatikan

penjelasan dan menjawab pertanyaan guru. Kemampuan siswa dalam memahami

benda-benda yang secara geometris berbentuk bangun ruang sudah menunjukkan

perubahan, tetapi belum sesuai dengan yang diharapkan, siswa baru memperoleh

nilai rata-rata kelas 57,5. dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan

alat peraga model bangun ruang belum berhasil dan perlu dilanjutkan pada siklus

II.

C. Deskripsi Siklus II.

Siklus II dilaksanakan pada bulan Mei 2009, adapun tahapan kegiatan yang

dilaksanakan terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi

dan refleksi.

a. Perencanaan Tindakan

Berdasarkan hasil refleksi dan evaluasi pelaksanaan tindakan pada siklus I

diketahui bahwa pembelajran matematika dengan menggunakan alat peraga model

xlvii

bangun ruang ternyata belum menunjukkan hasil yang sesuai dengan yang

diharapkan. Oleh karena itu guru sebagai peneliti dengan arahan dari Kepala

Sekolah serta masukandari teman sejawat yang menjadi observer, kembali

menyusun rencana pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga

model bangun ruang. Sedangkan indicator dan materinya sama seperti pada siklus

I. Adapun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) terlampir.

b. Pelaksanaan Tindakan

Sesuai dengan jumlah mata pelajaran matematika dalam 1 minggu ada 2 kali

pertemuan, maka untuk pelaksanaan tindakan permbelajaran matematika ada 2

pertemuan yang telah disusun.

Pelaksanaan tindakan pembelajaran dalam siklus II ini dilaksanakan dua kali

pertemuan :

1) Pertemuan

Guru mengawali pembelajaran dengan mengadakan Tanya jawab tentang

benda-benda yang secara geometris berbentuk bangun ruang. Guru menyuruh

siswa maju satu persatu ke depan kelas untuk menunjukkan benda-benda yang

secara geometris berbentuk bangun ruang sesuai dengan perintah guru. Guru

memberikan penguatan dengan acungan jempol kepada siswa yang dapat

menjawab dengan benar.

Dokumentasi proses pembelajaran matematika dengan alat peraga model

bangun ruang, dimana siswa-siswi disuruh maju satu persatu. dapat dilihat

pada gambar dibawah ini :

xlviii

Gambar 4. proses pembelajaran matematika dimana anak disuruh maju

satu persatu.

Memasuki materi matematika guru menunjukkan beberapa jenis benda yang

secara geometris berbentuk bangun raung dengan menggunakan alat peraga model

bangun ruang. Siswa dengan dibantu guru menyebutkan nama bangun ruang.

Sebelum mengakhiri pembelajaran guru memberikan soal-soal untuk

dikerjakan oleh siswa secara individu, setelah selesai mengerjakan anak-anak

boleh istirahat dan guru memberi pesan supaya pelajaran yang sudah diberikan

dipelajari lagi di rumah.

2) Pertemuan II.

Pada pertemuan ini guru mengawali pelajaran dengan do’a bersama dan

melakukan persensi pada siswa. Kemudian dilanjutkan dengan Tanya jawab

tentang pelajaran yang sudah diberikan pada siklus I yaitu tentang bangun ruang.

Memasuki materi pembelajaran matematika guru menjelaskan kembali

tentang bangun ruang dengan menggunakan alat peraga model bangun ruang.

Guru menyuruh 2 siswa maju kedepan untuk mengelompokkan benda-benda yang

secara geometris berbentuk bangun ruang sesuai dengan perintah guru. Bagi siswa

yang berhasil melaksanakan perintah guru dengan benar mendapat hadiah

acungan jempol dan tepuk tangan. Setelah semua siswa memahami materi

pelajaran tentang bangun ruang yaitu bola, balok, kubus, tabung dan kerucut,

siswa diberikan evaluasi yang dikerjakan secara individu, untuk mengetahui

prestasi tiap-tiap siswa.

Dokumentasi proses pembelajaran matematika dengan alat peraga model

bangun ruang, dimana siswa disuruh maju kedepan untuk mengelompokkan

benda-benda yang secara geometris berbentuk bangun ruang. Dapat dilihat

gambar dibawah ini :

xlix

Gambar 5 Gambar 6

Gambar siswa maju kedepan untuk mengelompokkan benda-benda yang

secara geometris berbentuk bangun ruang.

Pada akhir pembelajaran, siswa diberikan pekerjaan rumah dengan maksud

untuk mengingat kembali pelajaran yang telah diberikan dan melatih siswa supaya

rajin belajar.

c. Hasil Pengamatan (observasi)

Guru kelas secara kolaboratif bersama teman sejawat melaksanakan

observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan cermat dan teliti pada

masing-masing anak pada setiap pertemuan. Pengamatan (observasi) ini bertujuan

untuk mengamati aktivitas atau partisipasi siswa dalam pembelajaran, maupun

kegiatan guru dalam pelaksanaan pembelajaran dan suasana kelas saat

pembelajaran berlangsung. Keseluruhan data yang diperoleh dalam kegiatan ini

termasuk pencatatan hasil tes akan digunakan sebagai bahan atau masukan untuk

menganalisa perkembangan prestasi belajar matematika dari tiap-tiap siklus.

Adapun uraian hasil pengamatan siklus II pada pertemuan I adalah sebagai berikut

:

1) Hasil Pengamatan Kegiatan Siswa :

a. Siswa cukup aktif memperhatikan penjelasan guru.

b. Siswa cukup aktif menjawab pertanyaan guru.

c. Inisiatif siswa untuk bertanya belum ada.

d. Siswa aktif mengerjakan tugas dari guru

l

2) Hasil Pengamatan Kegiatan Guru

a. Guru sudah memberikan apresiasi secara tepat.

b. Guru sudah menggunakan berbagai sumber.

c. Guru sudah menggunakan waktu secara tepat.

d. Guru sudah memberikan motivasi dan perhatian pada siswa.

e. Guru sudah menggunakan alat peraga.

f. Guru sudah melakukan penilaian proses dan hasil belajar.

g. Guru sudah memberikan tindak lanjut.

Uraian hasil pengamatan Siklus II pada pertemuan II adalah sebagai berikut

:

1) Hasil Pengamatan Kegiatan siswa

a. Siswa sudah aktif memperhatikan penjelasan guru.

b. Siswa aktif menjawab pertanyaan guru.

c. Sudah ada Inisiatif siswa untuk bertanya kepada guru

d. Siswa aktif mengerjakan tugas dari guru

2) Hasil Pengamatan Kegiatan Guru

a. Guru sudah memberikan apresiasi secara tepat.

b. Guru sudah menggunakan berbagai sumber.

c. Guru sudah menggunakan waktu secara tepat.

d. Guru sudah memberikan motivasi dan perhatian pada siswa.

e. Guru sudah menggunakan alat peraga.

f. Guru sudah melakukan penilaian proses dan hasil belajar.

g. Guru sudah memberikan tindak lanjut.

Pada siklus II ini peneliti juga menguraikan hasil nilai pos tes II. Hasil

pengamatan nilai post test II dapat dilihat tabel dibawah ini .

Tabel 3. Data Nilai Pos Tes II pada Siklus II

No. Nama Siswa Nilai

1. PS 80

li

2. CS 90

3. AY 70

4. AD 50

5. ME 80

6. LY 60

7. H 90

8. IN 80

d. Refleksi

Hasil analisis data dan diskusi dengan teman sejawat sebagai observer

terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga model

bangun ruang pada siklus II, secara umum telah menunjukkan hasil yang

signifikan. Aktifitas atau partisipasi siswa dalam pembelajaran meningkat, siswa

lebih banyak memperhatikan dan menjawab pertanyaan guru, lebih berinisiatif

dan kreatif. Dengan pertisipasi siswa dalam pembelajaran yang semakin

meningkat, maka suasana kelas lebih hidup.

Dari analisa hatis tes siswa pada siklus ini diketahui bahwa rata-rata kelas

mencapai 75 dari 8 siswa. Untuk siswa yang mendapat nilai kurang dari 6,00

sebanyak 1 siswa atau 12,5% dan yang mendapat nilai 75 sebanyak 7 siswa atau

87,5%.

Dalam penelitian ini pembelajaran dikatakan berhasil apabila partisipasi

siswa dalam pembelajaran meningkat. Selain itu hasil yang dicapai siswa melalui

tes pada akhir pembelajaran mencapai nilai rata-rata kelas 6≤. Atas dasar

ketentuan tersebut dan melihat hasil atau prestasi yang diperoleh siswa pada akhir

pembelajaran, maka pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga

model bangun ruang yang dilaksanakan pada siklus II dikatakan berhasil,

sehingga tidak perlu dilanjutkan pada siklus berikutnya. Tetapi guru harus tetap

melaksanakan bimbingan belajar untuk meningkatkan prestasi belajar siswa yang

lii

mendapat nilai dibawah rata-rata kelas dan melaksanakan pengayaan untuk siswa

yang memperoleh nilai diatas rata-rata kelas sebagai tindak lanjut.

D. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan analisis data yang ada, dapat dilihat adanya

peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajarannya, serta perkembangan prestasi

belajar matematika. Siswa kelas DI SLB – B YRTRW Surakarta. Peningkatan

aktivitas siswa dalam pembelajaran antara lain :

1. Siswa lebih aktif memperhatikan penjelasan guru

2. Siswa lebih aktif menjawab pertanyaan guru.

3. Rasa ingin tahu dan keberanian siswa untuk bertanya semakin meningkat.

4. Siswa lebih aktif mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru.

Berdasarkan uraian hasil observasi diatas diketahui bahwa keaktifan siswa

dalam pembelajaran matematika meningkat. Peningkatan keaktifan siswa dalam

pembelajaran matematika dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 4. Data Perbandingan Keaktifan Siswa

No

Nama Anak

Keaktifan Siswa

Sebelum Tindakan

Sesudah Tindakan Siklus I

Sesudah Tindakan Siklus II

Pertemuan I

Pertemuan II

Pertemuan I

Pertemuan II

1. PS Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi

2. CS Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi

3. AY Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi

4. AD Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang

5. ME Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi

6. LY Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi

7. H Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi

8. IN Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi

liii

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa belum diadakan tindakan keaktifan

siswa semuanya rendah. Sesudah diadakan tindakan Siklus I pada pertemuan I

keaktifan siswa juga masih rendah, kemudian dilanjutkan pertemuan II keaktifan

siswa dengan kategori sedang hanya 2 siswa atau 25 % dan 5 siswa masih rendah

keaktifannya atau 75 %. Adapun dalam siklus II pertemuan I keaktifan siswa

dengan kategori sedang 3 siswa dan 5 siswa keaktifannya sudah tinggi, kemudian

dilanjutkan pertemuan II keaktifan siswa dengan kategori tinggi 7 siswa atau 87, 5

% dan hanya 1 siswa yang sedang keaktifannya atau 12,5 % dan yang rendah

keaktifannya sudah tidak ada.

Dari temuan diatas bahwa prestasi dalam pembelajaran matematika dengan

materi bangun ruang pada siswa kelas DI SLB – B YRTRW mengalami

peningkatan prosentasinya, karena siswa yang memperoleh nilai diatas 6,00

meningkat. Peningkatan prestasi belajar matematika dapat dilihat dalam tabel

frekuensi nilai matematika siswa kelas DI SLB –B YRTRW Surakarta dibawah ini

:

Tabel 5 : Data Perbandingan Nilai Hasil Belajar Matematika Pre Tes, Post

Test Siklus I dan Post Tes Siklus II.

No

Nama Anak Nilai Sebelum

Tindakan (Pre Test)

Nilai Siklus I

Nilai Siklus II

1. PS 40 60 80

2. CS 60 70 90

3. AY 40 50 70

4. AD 30 40 50

5. ME 40 60 80

6. LY 40 50 60

7. H 60 70 90

liv

8. IN 50 60 80

Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat bahwa sebelum dilaksanakan tindakan

siswa yang memperoleh nilai 6,0 hanya 2 siswa atau 25 %, sedangkan siswa yang

mendapat nilai dibawah 6 sebanyak 6 siswa atau 75 %.

Melihat tabel diatas bahwa pembelajaran matematika pada materi bangun

ruang sebelum dilaksanakan tindakan belum berhasil, maka perlu adanya

perbaikan dalam proses belajar mengajar serta penggunaan alat peraga dalam

pembelajaran yang sesuai, sebab dengan menggunakan alat peraga yang sesuai

yang diharapkannya akan meningkat dan lebih baik sesuai yang diharapkan.

Disamping itu dapat lebih

menanamkan konsep kedalam pikiran siswa. Sebagaiman diuraikan dalam tabel

data perbandingan nilai diatas bahwa setelah diadakan tindakan dalam siklus I,

anak yang mendapat nilai 6,00 3 siswa dan yang mendapat nilai dibawah 6,00

sebanyak 3 siswa. Dengan demikian ada peningkatan prestasi belajar setelah

diadakan tindakan siklus I. Kemudian dalam siklus II anak yang mendapat nilai

diatas 6 hanya 1 siswa, sehingga ada peningkatan prestasi belajar yang berarti.

Agar lebih jelasnya data prestasi belajar siswa dari kondisi awal, siklus I,

dan siklus II dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

1. Grafik Prestasi Belajar : PS 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Kondisi Siklus Siklus awal I II

Dari gambar grafik diatas dapat dilihat ada kenaikan prestasi belajar yang

tinggi dari anak yang bernama Paulus Steven S. setelah diadakan tindakan.

lv

2. Grafik Prestasi Belajar : CS

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Kondisi Siklus Siklus awal I II

Dari gambar grafik diatas dapat dilihat ada kenaikan belajar yang sangat

tinggi dari anak yang bernama Cahyo Setyono setelah diadakan tindakan siklus I

dan tindakan siklus II.

3. Grafik Prestasi Belajar : AY 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 sebelum Siklus Siklus tindakan I II

Dari grafik diatas dapat dilihat ada kenaikan prestasi belajar yang sedang

dari anak yang bernama Afrizal Yofi R. Setelah diadakan tindakan.

4. Grafik Prestasi Belajar : AD 50 40 30 20 10 0 sebelum Siklus Siklus tindakan I II

lvi

Dari grafik diatas dapat dilihat ada kenaikan prestasi belajar, tetapi belum

sesuai yang diharapkan. Karena anak tersebut nilainya masih dibawah rata-rata

kelas. Untuk mengatasinya anak tersebut perlu mendapat bimbingan belajar

supaya prestasinya meningkat lagi.

5. Grafik Prestasi Belajar : ME 80 70 60 50 40 30 20 10 0 sebelum Siklus Siklus tindakan I II

Dari grafik diatas dapat dilihat ada kenaikan prestasi belajar yang tinggi dari

anak yang bernama Muh. Efendy Dela setelah diadakan tindakan.

6. Grafik Prestasi Belajar : LY 60 50 40 30 20 10 0 sebelum Siklus Siklus tindakan I II

Dari grafik diatas ada kenaikan prestasi belajar nilai yang cukup setelah

diadakan tindakan siklus I dan siklus II

7. Grafik Prestasi Belajar : H

lvii

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 sebelum Siklus Siklus tindakan I II

Dari grafik diatas dapat dilihat ada kenaikan prestasi belajar yang sangat

tinggi dari anak yang bernama Hernando setelah diadakan tindakan siklus I dan

siklus II.

8. Grafik Prestasi Belajar : IN 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 sebelum Siklus Siklus tindakan I II

Dari gambar grafik diatas dapat dilihat ada kenaikan nilai yang tinggi dari

anak yang bernama Ifana Nafisa S, setelah diadakan tindakan siklus I dan siklus II

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setelah dilaksanakan tindakan pada

siklus II ternyata pembelajaran matematika dengan materi bangun ruang

mengalami peningkatan yang berarti. Dari jumlah keseluruhan siswa yang

memperoleh nilai diatas 60 sebanyak 7 siswa atau 87,5 % dan hanya 1 siswa yang

memperoleh nilai dibawah 60 atau 12,5 % yang memperoleh nilai dibawah cukup.

Secara lebih rinci perkembangan prestasi belajar matematika, siswa kelas DI

SLB – B YRTRW dalam penelitian ini dapat dijelaksan sebagai berikut :

lviii

Tabel 6 : Rekapitulasi Nilai Rata-rata Kelas Sebelum Tindakan dengan

Siklus I.

Materi Matematika

Rata-Rata Nilai Tes Hasil Belajar

Keterangan Sebelum Tindakan Sesudah Tindakan

Bangun Ruang

45

57,5

Meningkat tetapi

belum seperti

yang diharapkan.

Tebel 7 : Presentasi Siswa Yang Memperoleh Nilai Lebih Dari Sama Dengan

60 Sebelum Tindakan dan Sesudah Siklus I.

Materi

Matematika

Jumlah siswa yang mendapat nilai ≥ 60

Presentase

Keterangan Sebelum Tindaka

Sesudah Tindakan

siklus I

sebelum Tindakan

Sesudah Tindakan Siklus I

Bangun Ruang

2

5

25 %

62,5 %

Meningkat tetapi

belum seperti

yang diharapkan.

Dari tabel 4 dan 5 dapat dilihat bahwa pembelajaran matematika yang

dilaksanakan pada siklus I pada materi bangun ruang sudah menunjukkan

peningkatan, tetapi peningkatan tersebut belum sesuai yang diharapkan peneliti.

Dengan demikian penelitian dilanjutkan pada siklus II dengan materi yang sama.

Tabel 8 : Nilai Rata-rata Kelas Matematika Siklus I dan Siklus II.

Materi Matematika

Rata-Rata Nilai Tes Hasil Belajar

Keterangan Siklus I Siklus II

Bangun Ruang

57,5

75

Berhasil

lix

Tebel 9 : Presentasi Siswa Yang Memperoleh Nilai Lebih Dari Sama Dengan

60 Siklus Idan Siklus II.

Materi

Matematika

Jumlah siswa yang mendapat nilai ≥ 60

Presentase

Keterangan Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II

Bangun Ruang

5

7

62,5 %

87,5 %

Berhasil

Dari tabel 6 dan 7 dapat dilihat bahwa pembelajaran matematika yang dilaksanakan pada siklus II pada materi bangun ruang telah menunjukkan peningkatan prestasi belajar yang berarti, dengan demikian tidak perlu dilaksanakan siklus berikutnya.

E. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan temuan hasil penelitian seperti diuraikan diatas maka hasil penelitian ini merefleksikan bahwa pembelajaran matematika siswa kelas DI SLB – B YRTRW Surakarta, telah menunjukkan adanya peningkatan prestasi belajar.

Dari keseluruhan tindakan atau siklus yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat peraga model bangun ruang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa DI SLB – B YRTRW Surakarta. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan nilai yang diperoleh siswa baik perorangan maupun dengan rata-rata kelasnya, dimana sebelum ada tindakan nilai rata-rata kelasnya 45 tetapi setelah dilaksanakan tindakan sampai siklus II rata-rata nilai kelasnya meningkat menjadi 75.

Dengan demikian dapat diajukan suatu rekomendasi bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga model bangun ruang dapat meningkatkan prestasi belajar matematika pada siswa kelas DI SLB – B YRTRW Surakarta Tahun Pelajaran 2008 / 2009.

Dalam menerapkan pembelajaran matematika dengan materi bangun ruang, guru menghadapi beberapa kendala baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan. Kendala tersebut di antaranya : memerlukan waktu yang cukup banyak dalam menyusun perangkat pendukungnya, kurang tersedianya alat peraga

lx

yang dibutuhkan secara individu, dan tuntutan untuk melakukan evaluasi yang lebih beragam. Untuk mengatasi kendala tersebut guru kelas berusaha dengan mengerahkan seluruh kemampuan berpikir dan waktu luangnya untuk menyusun perangkat pendukung pembelajaran matematika, memanfaatkan benda-benda bekas dan di sekeliling siswa sebagai alat peraga, dan untuk mendukung pelaksanaan evaluasi yang beragam (penilaian proses dan penilaian hasil belajar) guru menerapkan multi metode dalam pembelajaran yaitu : demontrasi, ceramah dan pemberian tugas. Hasil penelitian tindakan kelas pada siklus I sudah menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar matematika khususnya materi bangun ruang, namun peningkatan itu belum sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Karena nilai rata-rata yang diperoleh baru 57,5, oleh peneliti dianggap berhasil apabila rata-rata kelas sudah mencapai 6,00 keatas.

Dengan demikian peneliti berusaha kembali mengulang materi bangun ruang pada siklus II yang bertujuan supaya siswa dapat memahami betul tentang benda-benda yang secara geometris berbentuk bangun ruang. Ternyata pada siklus II sudah menunjukkan peningkatan yang berarti. Pada siklus I rata-rata kelas hanya 57,5 sekarang sudah meningkat mencapai 75 pada siklus II dan presentasi siswa yang memperoleh nilai diatas 60 juga sudah mencapai 87,5 %.

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dengan menggunakan 2 siklus tersebut di atas, ternyata hipotesis yang dirumuskan telah terbukti kebenarannya, artinya pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga model bangun ruang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas DI SLB – B YRTRW Surakarta. Tahun Pelajaran 2008 / 2009.

Berdasarkan teori, kelebihan penelitian dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga model bangun ruang adalah sebagai berikut : 1.Anak-anak akan lebih banyak mengikuti pelajaran matematika dengan gembira,

sehingga minatnya dalam mempelajari matematika akan semakin besar. 2.Anak lebih aktif dalam mengikuti pelajaran matematika 3.Dengan disajikannya konsep abstrak matematika dalam bentuk konkret, maka

siswa pada tingkat-tingkat yang lebih rendah akan lebih mudah memahami dan mengerti.

4.Menciptakan situasi belajar yang tidak dapat dilupakan peserta didik. 5.Memberikan kemudahan kepada peserta didik untuk lebih memahami konsep.

lxi

6.Dapat meningkatkan prestasi belajar siswa Adapun kelemahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Memerlukan waktu yang lama 2.Tidak tersedianya alat peraga yang memadai, sehingga guru harus berusaha

mendapatkan alat peraga yang sesuai dengan pembelajaran. 3.Tiap-tiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam 2

siklus, dengan menerapkan pembelajaran matematika dengan menggunakan alat

peraga model bangun ruang pada siswa kelas DI SLB – B YRTRW Surakarta

dapat simpulkan bahwa :

Pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga model bangun

ruang dapat meningkatkan prestasi belajar bagi siswa kelas DI SLB – B YRTRW

Surakarta Tahun Pelajaran 2008/2009.

Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan nilai yang diperoleh siswa baik

perorangan maupun dengan rata-rata kelasnya, dimana sebelum ada tindakan, nilai

rata-rata kelasnya 45 tetapi setelah dilaksanakan tindakan sampai siklus II rata-

rata nilai kelasnya meningkat menjadi 75 dan presentasi siswa yang memperoleh

nilai diatas 60 juga sudah mencapai 87, 5 %. Dengan demikian penelitian

dikatakan berhasil, tidak perlu dilanjutkan siklus berikutnya.

B. Implikasi

Penetapan model dan prosedur dalam penelitian ini didasarkan pada materi

bangun ruang dalam pembelajaran matematika. Model yang dipakai dalam

penelitian tindakan kelas ini adalah model siklus. Adapun prosedur penelitiannya

lxii

terdiri dari dua siklus. Siklus I dilaksanakan 2 kali pertemuan, sedangkan siklus II

sama 2 kali pertemuan. Dalam setiap tindakan atau siklus terdiridari 4 tahapan

yaitu : Perencanaan, tindakan, Pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi.

Berdasarkan criteria temuan dan pembahasan hasil penelitian, seperti yang

diuraikandalam BAB IV maka penelitian ini layak dipergunakan untuk membantu

guru dalam menghadapi permasalahan yang sejenis. Disamping itu perlu

penelitian yang lebih lanjut tentang upaya guru mempertahankan dan

meningkatkan prestasi belajar siswa. Pemanfaatan dan penggunaan alat peraga

model bangun ruang ini layak digunakan dan ditingkatkan oleh guru yang

menghadapi masalah sejenis, terutama untuk mengatasi masalah peningkatan

prestasi belajar siswa. Adanya kendala yang dihadapi dalam menerapkan

pembelajaran matematika dengan materi bangun ruang harus diatasi semaksimal

mungkin. Oleh karena itu kreatifitas dan keaktifan guru sangat diperlukan dalam

meningkatkan aktifitas dan prestasi belajar siswa.

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas ini serta dalam rangka ikut menyumbangkan pemikiran bagi guru Sekolah Luar Biasa dalam meningkatkan prestasi belajar khususnya bidang pelajaran matematika, maka dapat kami sampaikan beberapa saran untuk dipertimbangkan dan sekaligus sebagai penutup dalam skripsi ini. Adapun saran-saran tersebit adalah sebagai berikut :

1. Kepada Guru

Guru hendaknya mempersiapkan secara cermat dan tepat perangkat pendukung pembelajaran matematika dan fasilitas belajar khususnya bangun ruang, karena alat peraga model bangun ruang sangat mempengaruhi aktifitas dan efektivitas pembelajaran yang akhirnya berpengaruh pada keaktifan dan prestasi belajar siswa.

2. Kepada Siswa Siswa hendaknya ikut serta berperan aktif dalam proses pembelajaran dan selalu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru serta meningkatkan

lxiii

usaha belajarnya, sehingga akan memperoleh hasil atau prestasi yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Aristo Rahadi, 2003, Media Pembelajaran. Jakarta : Depdiknas Dirjen Dikti

Djoko S.Sindusakti, 1997. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran ( Aspek Psikologis, Diagnostik, Medik, dan Rehabilitasnya). Surakarta : tp

Dudung Abdurachman dan Moch. Sugiarto, 1999/2000. Pedoman

Guru Pengajaran Wicara Untuk Anak Tuna Rungu. Jakarta : Depdikbud Depdikbud, 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999. Jakarta : Balai Pustaka

Muhammad Efendi, 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta : Buma Aksara.

Muh. Bandi, 1997. Psikologi Anak Luar Biasa Berkelainan. Surakarta :

FKIP UNS Mulyono Abdurrahman, 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar.

Jakarta : Rineka Cipta Mulyono Abdurrahman dan Sudjadi, 1994. Pendidikan Luar Biasa Umum.

Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moelong, Leog. J, 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung :

PT. Remaja Rasdya Karya. Ngalim Purwanto, 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosda

Karya. Oemar Hamalik, 1994. Media Pendidikan. Bandung : Citra Aditya Bakti

lxiv

Poerwadarminta, WJS, 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Susila, 2007. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta : Pustaka Book

Publisher. Sumadi Suryabrata. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Slameto, 1995. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta : Rineka

Cipta Sukaenah Suparno, 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta : Dirjen Dikti

Depdiknas. Zainal Aqib, 2006. Penelitian Tindakan Kelas, Bandung : Yrama Widya