Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
SKRIPSI
PENGARUH LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP
PERUBAHAN SKOR KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT
PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
OLEH:
NOVITA NIPA
C12114316
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
SKRIPSI
PENGARUH LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP
PERUBAHAN SKOR KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT
PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
Skripsi ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH:
NOVITA NIPA
C12114316
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
iii
iv
ABSTRAK
Novita Nipa. C12114316. PENGARUH LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM
TERHADAP PERUBAHAN SKOR KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL
KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN, dibimbing oleh Hapsah dan Abdul Majid.
Latar Belakang : Penderita penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis dapat
mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan. Salah satu cara untuk mengatasi kecemasan
yaitu memberikan latihan relaksasi napas dalam. Tujuan : penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor kecemasan pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSP UNHAS.
Metode : Dalam penelitian ini digunakan Quasi Experimental dengan rancangan Time Series with
Control Group Design. Kelompok intervensi diberikan latihan relaksasi napas dalam diberikan
selama 2 minggu dan dilakukan 2 kali sehari selama 10 menit. Besar sampel masing-masing 15
responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada penelitian ini digunakan pendekatan
dengan uji Independent t-test dan uji Mann Whitney.
Hasil : Terdapat perbedaan skor kecemasan setelah intervensi dengan selisih mean sebesar 33,6
sehingga terdapat pengaruh latihan relaksasi napas dalam dengan p=0,000 atau p<0.005.
Sedangkan, pada kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan relaksasi napas dalam hanya
memiliki selisih mean sebesar 3,46.
Kesimpulan dan saran : Latihan relaksasi napas dalam dapat menurunkan skor kecemasan pasien
yang menjalani hemodialisis.
Kata kunci : Relaksasi napas dalam, skor kecemasan, pasien hemodialisis
Sumber literatur : 86 Kepustakaan (2000-2017)
v
ABSTRACT
Novita Nipa. C121114316. THE EFFECT OF DEEP BREATHING RELAXATION
EXERCISE ON CHANGE ANXIETY SCORE IN PATIENTS WITH CHRONIC KIDNEY
DISEASE UNDERGOING HEMODIALYSIS AT EDUCATION HOSPITAL OF
HASANUDDIN UNIVERSITY, guide by Hapsah and Abdul Majid.
Background : Patients with chronic kidney disease (CKD) undergoing hemodialysis have a
psychological disorders that is anxiety. One way to overcome the anxiety is to provide deep
breathing relaxation exercises. Objective : this study was to determine the effect of deep breathing
relaxation exercises on change in anxiety score of patient with chronic kidney disease undergoing
hemodialysis at Hospital of Hassanuddin University.
Methods : The research used the Quasi Experimental Time Series with Control Group Design.
The intervention group was given a deep breathing relaxation exercise 2 weeks with twice a day
for 10 minutes. The sample size was 15 respondents each intervention and control group. On the
research also used approach with Independent t-test and Mann Whitney test.
Result : The results showed that the differences the mean anxiety score is 33.6 than there is the
influence of deep breathing relaxation exercise with p=0.000 or p<0.005. Whereas, in the control
group there was not given a deep breathing relaxation exercise just have a differences mean is
3.46.
Conclusions and suggestions : Deep breathing relaxation exercises can decreased anxiety score of
patient undergoing hemodialysis.
Key words : Deep Breathing Relaxation, Anxiety Score, Hemodialysis Patient.
Source of literature : 86 Literature (2000-2017).
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Latihan
Relaksasi Napas Dalam terhadap Perubahan Skor Kecemasan Pasien Gagal Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang
selalu mendoakan, mendukung, dan memberikan semangat dalam penyelesaian
skripsi ini.
Dari perencanaan hingga penyusunan skripsi ini tentunya menuai banyak
hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan, bantuan, dan kerjasama dari
berbagai pihak akhirnya hambatan dan kesulitan yang dihadapi peneliti dapat
diatasi. Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Ibu Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp., M.Si selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Hasanuddin
2. Ibu Hapsah, S.Kep., Ns., M.Kep selaku pembimbing I dan Bapak Abdul
Majid, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB selaku pembimbing II yang telah setia
membimbing dan memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini
3. Ibu Dr. Yuliana Syam, S.Kep., Ns., M.Kes selaku penguji I dan Titi Iswanti
Afelya, S.Kep., M.Kep., Ns., Sp.KMB selaku penguji II yang senantiasa
memberikan saran demi menyempurnakan skripsi ini
4. Kepala ruangan hemodialisa Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
serta staf yang telah memberi izin dan membantu dalam penelitian ini
vii
5. Segenap dosen, staf akademik, staf perpustakaan, dan staf tata usaha Program
Studi Ilmu Keperawatan UNHAS yang telah membantu penulis dalam
menyusun dan menyelesaikan skripsi ini
6. Sahabat-sahabat angkatan 2014 “CRAN14L” yang selalu memberikan
dukungan dan semangat agar segera menyelesaikan skripsi ini
7. Semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Dari semua bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis tentunya
tidak dapat memberikan balasan yang setimpal kecuali berdoa semoga Tuhan
Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua
pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap
dengan adanya skripsi ini, pembaca dapat menambah ilmu dan dapat mengetahui
manfaat relaksasi napas dalam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
dapat diterima dengan senang hati demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata dari
penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, 11 Desember 2017
Novita Nipa
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................... Error! Bookmark not defined.
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................ Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiii
DAFTAR DIAGRAM .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10
A. Penyakit Ginjal Kronik ................................................................................ 10
1. Defenisi Penyakit Ginjal Kronik .............................................................. 10
2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik............................................................... 10
3. Tahap Perkembangan dan Derajat Penyakit Ginjal Kronik ..................... 11
4. Manifestasi Klinik Penyakit Ginjal Kronik.............................................. 13
ix
5. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik ....................................................... 14
6. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik ......................................................... 18
7. Penataksanaan Penyakit Ginjal Kronik .................................................... 18
B. Hemodialisis ................................................................................................ 19
1. Defenisi Hemodialisis .............................................................................. 19
2. Indikasi Hemodialisis ............................................................................... 20
3. Prinsip Kerja Hemodialisis ...................................................................... 21
4. Lama Terapi ............................................................................................. 23
5. Komplikasi Hemodialisis ......................................................................... 23
C. Kecemasan Pasien yang Menjalani Hemodialisis........................................ 27
1. Defenisi Kecemasan ................................................................................. 27
2. Penyebab dan Faktor yang Memengaruhi Kecemasan ............................ 28
3. Gejala-Gejala Kecemasan ........................................................................ 29
4. Tingkat Kecemasan .................................................................................. 30
5. Dampak Kecemasan ................................................................................. 32
6. Rentang respon kecemasan ...................................................................... 33
7. Penatalaksanaan Kecemasan ................................................................... 34
D. Relaksasi Napas Dalam ............................................................................... 36
1. Defenisi Relaksasi Napas Dalam ............................................................. 36
2. Manfaat Relaksasi napas dalam ............................................................... 36
3. Mekanisme kerja latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan
kecemasan .................................................................................................... 37
4. Indikasi relaksasi napas dalam ................................................................. 43
5. Langkah-Langkah Relaksasi Napas Dalam ............................................. 43
E. Kerangka Teori ............................................................................................. 48
x
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ........................................... 49
A. Kerangka Konsep ......................................................................................... 49
B. Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 50
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 51
A. Rancangan Penelitian ................................................................................... 51
B. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 53
C. Populasi dan Sampel .................................................................................... 53
D. Alur Penelitian ............................................................................................. 56
E. Variabel Penelitian ....................................................................................... 57
F. Instrumen Penelitian..................................................................................... 58
G. Pengolahan dan Analisa Data....................................................................... 62
H. Etika Penelitian ............................................................................................ 67
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 69
A. Hasil Penelitian ............................................................................................ 69
B. Pembahasan .................................................................................................. 76
C. Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 87
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 88
A. Kesimpulan .................................................................................................. 88
B. Saran ............................................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 90
xi
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Pembagian Derajat PGK ............................................................................. 12
Tabel II.2 Gejala-Gejala Kecemasan ........................................................................... 30
Tabel 5. 1 Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Usia, Lama Menderita
PGK, dan Lama menjalani Hemodialisis di Ruang Hemodialisa
Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (n=30) ................................... 70
Tabel 5. 2 Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan, Pekerjaan, Status Pernikahan, dan Penyakit Penyerta di
Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (n=30) ... 71
Tabel 5.3 Distribusi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis sebelum
diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
(n=30) ......................................................................................................... 72
Tabel 5.4 Distribusi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis setelah
diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
(n=30) ......................................................................................................... 73
Tabel 5.5 Hasil analisis perbedaan rerata skor kecemasan pada kelompok
intervensi dan kelompok ontrol sebelum (pre), setelah 1 minggu (post
1), dan setelah 2 minggu (post 2) diberikan intervensi latihan relaksasi
napas dalam (n=30) ................................................................................... 73
Tabel 5.6 Hasil analisis perbedaan selisih skor kecemasan pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol setelah diberikan latihan relaksasi
napas dalam pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSP
UNHAS (n=30) ......................................................................................... 75
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Rentang respons kecemasan ......................................................... 34
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Mekanisme kerja latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan
kecemasan ............................................................................................................... 42
Bagan 2. Kerangka teori ...................................................................................... 48
Bagan 3. Kerangka konsep .................................................................................. 49
xiv
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1. Perbedaan skor kecemasan kelompok intervensi sebelum, setelah 1
minggu, dan setelah 2 minggu diberikan latihan relaksasi napas dalam
pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin
Diagram 2. Perbedaan skor kecemasan kelompok kontrol sebelum, setelah 1
minggu, dan setelah 2 minggu diberikan latihan relaksasi napas dalam
pada pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Penjelasan untuk Responden
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Lampiran 3 Lembar Observasi Kemampuan Responden dalam Melakukan
Latihan Relaksasi Napas Dalam
Lampiran 4 Kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS)
Lampiran 5 Lembar data karakteristik responden
Lampiran 6 Lembar Tabulasi Skor Kecemasan Pasien yang Menjalani
Hemodialisis pada Kelompok Intervensi
Lampiran 7 Lembar Tabulasi Skor Kecemasan Pasien yang Menjalani
Hemodialisis pada Kelompok Kontrol
Lampiran 8 Lembar Kerja Prosedur Latihan Relaksasi Napas Dalam
Lampiran 9 Buku Panduan Latihan Relaksasi Napas Dalam
Lampiran 10 Master Tabel
Lampiran 11 Diagram
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan
ketidakmampuan ginjal membuang sisa metabolisme dan mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia (Baradero,
Dayrit, & Siswadi, 2008). Pendapat lain menurut Cahyaningsih (2009) penyakit
ginjal kronik juga terjadi ketika ginjal tidak dapat mempertahankan lingkungan
yang cocok bagi kelangsungan hidupnya, sedangkan menurut Suharyanto &
Madjid (2009) penyakit ginjal kronik bersifat progresif dan irreversible dimana
ginjal tidak mampu mengembalikan fungsinya. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hilangnya fungsi ginjal dan
berakibat pada ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan komponen lain dalam
tubuh.
Pasien penyakit ginjal kronik ini mengalami banyak perubahan, seperti
perubahan fisik, perubahan psikologis, perubahan sosial dan lingkungan. Gejala
fisik yang ditimbulkan dari penyakit ginjal kronik, seperti: gangguan
kardiovaskuler (hipertensi), gangguan pencernaan, gangguan perkemihan,
gangguan reproduksi, gangguan endokrin, dan lain-lain. Sementara, dampak dari
perubahan psikologis yang terjadi salah satunya adalah kecemasan. Gangguan
psikologis tersebut terkait dengan kondisi medis pada umumnya dialami oleh
penderita (Andri, 2013). Pendapat yang sama menurut Wang & Chen (2012)
bahwa penyakit ginjal kronik cenderung memengaruhi aspek fisik dan mental
2
salah satunya ialah timbulnya rasa cemas. Sekitar 12%-52% pasien dengan
penyakit ginjal kronik mengalami kecemasan berat.
Gejala yang dialami tentunya dapat mengancam nyawa pasien bila tidak
diatasi dengan segera (RISKESDAS, 2013). Sehingga, untuk mengatasi gejala
tersebut pasien dianjurkan untuk menjalani terapi pengganti ginjal. Salah satu
terapi pengganti fungsi ginjal adalah hemodialisis. Hemodialisis akan mencegah
kematian namun tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal. Bagi
pasien penyakit gagal ginjal kronik, harus menjalani terapi dialisis sepanjang
hidupnya untuk meningkatkan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala
uremia (Smeltzer & G.Bare, 2001). Hingga sekarang, beberapa sumber mencatat
pasien dengan kasus PGK yang menjalani hemodialisis di seluruh dunia terus
meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya.
End-Stage Renal Disease (ESRD) Patients melaporkan adanya peningkatan
jumlah penderita PGK yang menjalani hemodialisis dari tahun 2010 hingga 2013.
Berdasarkan laporan tahun 2010 jumlah pasien yang menjalani hemodialisis
sebanyak 1.810.000 orang, tahun 2012 sebanyak 2.106.000 orang dan tahun 2013
sebanyak 2.250.000 orang (Fresenius Medical Care, 2010; 2012; 2013). Selain
itu, World Health Organization (WHO) mencatat lebih dari 500 juta orang
penyandang PGK. Dari tahun 2010 - 2014 sebanyak 36 juta orang meninggal
dunia dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung pada terapi
hemodialisis sebanyak 1,5 juta orang (WHO, 2014).
Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah penderita PGK yang
cukup tinggi. Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), (2015) melaporkan
3
sekitar 25 juta sampai 30 juta orang di Indonesia mengidap penyakit ginjal baik
penyakit ginjal akut maupun kronik. Data dari Indonesian Renal Registry (2015)
menunjukkan adanya peningkatan pasien yang menjalani hemodialisis dari tahun
ke tahun, total pasien yang menjalani hemodialisis hingga 31 Desember 2015
sebanyak 51.604 orang dari 249 renal unit.
Di Sulawesi Selatan sendiri PGK menempati urutan ke-3 dari prevalensi
tertinggi yaitu sebesar 0,3 % setelah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara
(RISKESDAS, 2013). Data dari Indonesian Renal Registry (2015), di Sulawesi
Selatan sendiri terdapat 5 renal unit dan pada tahun 2015 melaporkan jumlah
pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 1.287 pasien. Di kota Makassar
berdasarkan hasil studi pendahuluan di ruang hemodialisis Rumah Sakit
Pendidikan Universitas Hasanuddin diperoleh data jumlah pasien yang menjalani
hemodialisis selama tahun 2015 sebanyak 770 pasien, tahun 2016 sebanyak 753
pasien dan tahun 2017 sampai bulan Agustus tercatat sebanyak 436 pasien.
Setiap pasien dijadwalkan menjalani hemodialisis 2-3 kali per minggu selama 4-
5 jam setiap kali menjalani hemodialisis.
Penelitian yang dilakukan oleh Tokala, Kandou, & Dundu (2015) mengenai
tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis menunjukkan hasil bahwa
dari 34 pasien, 16 orang (47,1%) tidak cemas, 11 orang (32,4%) mengalami
cemas ringan, 6 orang (17,6%) cemas sedang, dan 1 orang (2,95%) mengalami
cemas berat. Sedangkan pada penelitian Zhang & et.al (2014) pasien yang
menjalani hemodialisis merasakan kecemasan sebesar 43%, depresi 33%, dan
sisanya 24% tidak mengalami depresi maupun cemas. Penelitian yang sama
4
dilakukan oleh Vasilopoulou & et.al (2016) di Canada dengan hasil bahwa pasien
hemodialisis merasakan kecemasan berat sebanyak 47,8% dan depresi berat
sebanyak 38,2%.
Kecemasan yang dirasakan oleh pasien yang menjalani hemodialisis
tentunya menjadi perhatian khusus dari tenaga kesehatan. Apabila tidak diatasi
maka dapat berdampak pada masalah psikologis yang lebih berat. Sehingga,
dalam mengatasi hal ini digunakan terapi non farmakologi seperti terapi perilaku
dan terapi kognitif (Stuart, 2013). Menurut National Institute of Mental Health,
penelitian telah membuktikan bahwa kedua terapi tersebut sangat efektif
mengurangi kecemasan. Salah satu terapi perilaku yang dapat dilakukan yaitu
relaksasi napas dalam dengan ciri pernapasan lambat dan dalam (American
Psycological Association, 2008; Bulechek & et.al, 2013).
Relaksasi napas dalam dapat mengatasi kecemasan, mengurangi rasa nyeri,
insomnia, dan stress. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi
nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi dalam darah. Relaksasi napas dalam juga dapat memunculkan
keadaan tenang dan rileks yaitu gelombang otak perlahan-lahan akan melambat
yang dapat membuat seseorang dapat beristirahat dengan tenang (Smeltzer &
G.Bare, 2001). Manfaat lain dari relaksasi napas yaitu terjadi penurunan kadar
kortisol, epineprin, dan norepineprin yang dapat menyebabkan perubahan
hemodinamik yaitu penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi (Dusek &
Benson, 2009).
5
Penelitian yang dilakukan (Gea, 2013) dengan intervensi relaksasi napas
dalam menunjukkan adanya perubahan skor kecemasan pada pasien pre operasi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semua pasien yang menjalani
hemodialisis sebelum intervensi relaksasi napas dalam merasakan kecemasan
mulai dari kecemasan ringan 20%, kecemasan sedang 70%, dan kecemasan berat
10%. Namun, setelah diberikan relaksasi napas dalam pasien tidak lagi
merasakan kecemasan berat tetapi menurun ke tingkat kecemasan sedang sebesar
13,3%, kecemasan ringan 70% bahkan tanpa kecemasan sebesar 16,7%.
Penelitian lain dilakukan oleh (Hidayat & Ekaputri, 2015) dengan hasil
menunjukkan adanya penurunan tingkat kecemasan pada pasien diabetes mellitus
dan TB paru. Sedangkan dalam penelitian Irem Huzmeh,et.al (2016) yang
dilakukan di Turki, terapi napas dalam efektif dalam meningkatkan kualitas
hidup pasien penyakit ginjal kronik.
Relaksasi napas dalam merupakan salah satu intervensi mandiri
keperawatan yang dapat digunakan untuk mengatasi gejala psikologis pasien. Hal
ini penting untuk diajarkan kepada pasien mengingat kondisi yang dihadapi tidak
menentu, misalnya mengalami gejala psikologis. Relaksasi ini dapat berguna
untuk memperbaiki kondisi kesehatan dan menghambat timbulnya stres dan
kecemasan (Rickard, et.al, 2014). Oleh karena hubungan tubuh dengan pikiran
yang sangat kuat sehingga tidak hanya menimbulkan efek yang menenangkan
fisik tetapi juga bermanfaat dalam memberi ketenangan pada pikiran. Hingga
saat ini, relaksasi napas dalam masih termasuk salah satu terapi yang banyak
digunakan karena mudah dan tidak membutuhkan alat saat dilakukan. Hanya
6
memerlukan konsentrasi penuh, posisi yang nyaman, serta dapat menggunakan
imajinasi (Widyastuti & Yulianti, 2003).
Di Rumah Sakit UNHAS berdasarkan hasil wawancara 5 pasien,
mengatakan bahwa mereka cenderung merasakan cemas, khawatir, tidak tenang,
gelisah, dan takut terlebih saat pertama kali menjalani hemodialisis. Di antara
mereka bahkan masih ada yang merasa denial (menolak) menjalani hemodialisis.
Kondisi yang dialami tersebut sebagai tanda bahwa mereka mengalami
kecemasan (Barbara Kozier, et.al, 2010). Selain itu, di ruang hemodialisis pasien
diberikan napas dalam oleh perawat namun teknik yang digunakan belum sesuai
dengan standar operasional prosedur (SOP). Napas dalam yang diberikan hanya
pada saat pasien akan disuntik untuk menjalani hemodialisis demi mengurangi
rasa nyeri namun bukan untuk mengatasi gejala psikologis pasien, seperti:
kecemasan. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana
latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor kecemasan pada pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin Makassar.
B. Rumusan Masalah
Kecemasan menjadi salah satu masalah psikologis pada pasien
hemodialisis. Hal ini berdampak buruk pada kondisi fisik maupun psikologis
pasien jika dibiarkan tanpa tindakan yang tepat. Pada kondisi seperti ini,
diperlukan terapi untuk mengatasi kecemasan pasien demi meningkatkan
kualitas hidupnya selama menjalani hemodialisis. Salah satu terapi kecemasan
ialah latihan relaksasi napas dalam.
7
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa latihan relaksasi napas
dalam menjadi salah satu dari intervensi keperawatan yang dapat menurunkan
kecemasan. Latihan relaksasi napas dalam dapat membuat perasaan rileks dan
tenang. Berdasarkan hasil studi awal, diperoleh data di Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin bahwa gejala cemas yang dirasakan pasien yang
menjalani hemodialisis belum mendapat intervensi karena tenaga kesehatan
belum pernah melakukan pengkajian mengenai kecemasan pasien. Sehingga,
untuk mengatasi hal tersebut belum diberikan terapi salah satunya relaksasi
napas dalam.
Informasi lain yang diperoleh di ruang hemodialisis yaitu pasien telah
diberikan napas dalam oleh perawat sebelum disuntik namun teknik yang
digunakan belum sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Selain
itu, di ruang hemodialisis belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya
mengenai latihan relaksasi napas dalam kepada pasien yang menjalani
hemodialisis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh
latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor kecemasan pasien
hemodialisis di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin. Berdasarkan latar
belakang tersebut, pertanyaan untuk penelitian ini adalah: Bagaimana
pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor kecemasan
pasien hemodialisis di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin?
8
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan
skor kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Universitas Hasanuddin
2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasi gambaran karakteristik responden berdasarkan usia,
jenis kelamin, lama menderita penyakit ginjal kronik, lama menjalani
hemodialisis, penyakit penyerta, status pernikahan, tingkat pendidikan
terakhir, dan pekerjaan pasien yang menjalani hemodialisis
b. Teranalisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani
hemodialisis sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol
c. Teranalisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani
hemodialisis setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol
d. Teranalisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani
hemodialisis sebelum, setelah 1 minggu, dan setelah 2 minggu pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah diberikan latihan
relaksasi napas dalam
e. Teranalisis perbedaan selisih skor kecemasan antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol setelah diberikan latihan relaksasi
napas dalam
9
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan bukti-bukti empiris bahwa latihan relaksasi napas dalam
mampu mengubah skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah sakit
Meningkatkan pengetahuan dan menjadi pembelajaran bagi tenaga
kesehatan tentang manfaat latihan relaksasi napas dalam terhadap
perubahan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis.
b. Bagi Masyarakat
Menambah wawasan masyarakat serta mampu menerapkan relaksasi
napas dalam dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih saat
mengalami gejala psikologis.
c. Bagi peneliti selanjutnya
Memberikan informasi terhadap penelitian selanjutnya tentang latihan
relaksasi napas dalam. Selain itu, perlu dilakukan pengembangan
penelitian terkait terapi lain yang mampu menurunkan skor kecemasan
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronik
1. Defenisi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan ketidakmampuan ginjal
mempertahankan lingkungan hidupnya dalam melaksanakan fungsi
membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Kerusakan ginjal menyebabkan
ginjal kehilangan fungsi dan tidak dapat pulih seperti sedia kala.
Akibatnya, terjadi kepenyakitan dalam mempertahankan keseimbangan
metabolisme, cairan dan elektrolit. Gangguan fungsi renal ini bersifat
progresif dan irreversible yang dapat menyebabkan uremia (retensi urea
dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & G.Bare, 2001;
Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008; Suharyanto & Madjid, 2009).
2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal
dalam mempertahankan kemampuan metabolisme serta keseimbangan
elektrolit dan cairan menyebabkan uremia. Hal ini terjadi karena
disebabkan oleh beberapa hal yang sangat bervariasi. Penyebab terjadinya
penyakit ginjal kronik menurut (Smeltzer & G.Bare, 2001; Suharyanto &
Madjid, 2009) diantaranya:
a) Penyakit sistemik:
1) Gangguan metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis
11
2) Peradangan: glomerulonephritis kronis
3) Obstruksi traktus urinarius
4) Penyakit kongenital dan herediter, seperti: penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal
5) Gangguan vaskuler: hipertensi, nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis
6) Penyakit infeksi: pielonefritis kronik
7) Medikasi dan agens toksik: penyalahgunaan analgesik
8) Gangguan jaringan penyambung: lupus eritematosus sistemik,
poliartritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
9) Nefropati obstruktif: saluran kemih bagian atas yaitu kalkuli,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal, sedangkan saluran kemih
bagian bawah yaitu hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
b) Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi penyakit ginjal
kronis mencakup timah, kadmium, merkuri, dan kromium.
3. Tahap Perkembangan dan Derajat Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik dapat berlangsung melalui empat stadium
menurut (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008) yaitu :
a) Stadium I (penurunan cadangan ginjal)
Stadium I ditandai sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi, laju filtrasi
glomerulus (GFR) adalah 40% sampai 50% laju normal, BUN dan
kreatinin serum masih normal, dan pasien asimtomatik.
12
b) Stadium II (insufisiensi ginjal)
Stadium II ditandai sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi, laju
filtrasi glomerulus (GFR) adalah 20% sampai 40% laju normal, BUN dan
kreatinin serum mulai meningkat di atas batas normal, anemia ringan dan
azotemia ringan, serta nokturia dan poliuria.
c) Stadium III (penyakit ginjal)
Stadium III ditandai laju filtrasi glomerulus (GFR) 10% sampai 20%
laju normal, BUN dan kreatinin serum meningkat, anemia, azotemia, dan
asidosis metabolik, nokturia dan poliuria, serta gejala penyakit ginjal.
d) Stadium IV (tahap akhir)
Stadium IV ditandai lebih dari 85% nefron tidak berfungsi, laju
filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 10% laju normal, BUN dan
kreatinin serum tinggi, anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,berat
jenis urine tetap 1,010, oliguria, serta gejala penyakit ginjal.
Sedangkan menurut Aguirre, et al. (2011), penurunan laju filtrasi
glomerulus sangat memengaruhi derajat penyakit ginjal kronik. Derajat
penyakit ginjal kronik dapat dibagi menjadi lima tahap yaitu :
Tabel II.1 Pembagian Derajat PGK
Derajat LFG
mL/menit/
Rencana tatalaksana
Derajat 1:
(kerusakan ginjal
dengan LFG normal
atau meningkat)
>90 Menegakkan diagnosa dan mengatasi dari
kondisi yang mendasari dan kondisi komorbid,
pemburukan lambat, memperkecil risiko
kardiavasukuler
Derajat 2: (ringan) 60-89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal
Derajat 3: (sedang) 30-59 Evaluasi dan atasi komplikasi
Derajat 4: (berat) 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal
Derajat 5:(gagal ginjal) <15 atau dialysis Dialisis jika uremia
Sumber: (Aguirre, et al., 2011)
13
4. Manifestasi Klinik Penyakit Ginjal Kronik
Secara umum manifestasi klinis dari penyakit ginjal kronik dapat
dilihat dari berbagai gangguan sistem yang timbul menurut (Baughman &
Hackley, 2000; Smeltzer & G.Bare, 2001; Baradero, Dayrit, & Siswadi,
2008; Brunner & Suddarth, 2014) yaitu sebagai berikut :
a) Gangguan kardiovaskuler : hipertensi akibat retensi cairan dan natrium
dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, nyeri dada, sesak
napas, pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema perorbital,
pembesaran vena pada leher, hipervolemia, hyperlipidemia,
hyperkalemia, takikardia, disritmia, penyakit jantung kongestif,
perikarditis akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksin uremik,
edema pulmoner akibat cairan berlebih
b) Sistem respirasi : takipnea, ronkhi basah kasar (krekels), napas
dangkal, pernapasan kussmaul, sputum lengket dan kental, batuk
disertai nyeri, penurunan refleks batuk, pleural friction rub, edema
paru, nyeri pleura, dan sesak napas.
c) Sistem gastrointestinal : anoreksia, nausea dan vomitus, cegukan,
perdarahan saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan pada
mulut, parotitis atau stomatitis, distensi abdomen, diare dan konstipasi
d) Sistem muskuloskeletal : tremor, miopati, nyeri sendi, osteodistrofi
ginjal, kram otot, kehilangan kekuatan otot, dan fraktur
14
e) Sistem perkemihan : proteinuria, nokturia, poliuria, natrium dalam
urine berkurang, haluaran urine berkurang, berat jenis urine menurun,
fragmen dan sel dalam urine
f) Sistem endokrin : hiperlipedimia, gangguan hormone seksual,
penurunan libido, impotensi, amenorea pada wanita.
g) Sistem integumen : kulit berwarna pucat/keabu-abuan akibat anemia
dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom, pruritus akibat
toksik, kuku tipis dan rapuh, kulit kering, ekimosis, lecet, rambut tipis
dan kasar, dan uremic frosts.
h) Sistem reproduksi : Amenorea, atrofi testis, infertilitas, libido
menurun, disfungsi ereksi, dan lambat pubertas
i) Sistem hematopoietik : Anemia, cepat lelah, trombositopenia,
ekimosis, dan perdarahan
j) Sistem neurologi : kelemahan dan keletihan, tungkai tidak nyaman,
kejang, tidur terganggu, asteriksis, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kedutan otot, perubahan tingkat kesadaran, seperti: letargi, bingung,
stupor, dan koma.
5. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik yang terus menerus berlanjut tidak mengubah
jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal. Disamping itu,
jumlah nefron yang berfungsi terus menurun secara progresif. Sebagai
bentuk adaptasi, sisa nefron yang masih tersisa dan masih berfungsi
mengalami hipertrofi dalam melaksanakan seluruh fungsi ginjal. Selain
15
itu, terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun laju filtrasi glomerulus (LFG) atau
Glomerular Filtration Rate (GFR) setiap nefron dibawah normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam hal mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit namun tidak dapat berangsung lama
(Price & Wilson, 2005).
Semakin besar massa nefron yang hancur menyebabkan fungsi ginjal
berangsur-angsur hilang. Apabila sekita 75% massa nefron telah hancur
maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron semakin
tinggi. Hal tersebut berdampak pada ketidakmampuan ginjal
mempertahankan keseimbangan antara filtrasi dan reabsorpsi oleh tubulus.
Hal ini juga diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors dan mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang akan diikuti
dengan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus (Smeltzer
& G.Bare, 2001; Price & Wilson, 2005).
Pada stadium awal penyakit ginjal kronik, belum nampak gejala klinis
secara serius. Keadaan ini ditandai dengan laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang masih normal. Akan tetapi, perlahan-lahan terjadi penurunan jumlah
nefron secara progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Hal tersebut menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG). Penurunan laju filtrasi glomerulus dideteksi dengan
cara pengambilan urine 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin
(Smeltzer & Bare, 2010).
16
Penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan klirens kreatinin
menurun dan kadar kreatinin serum serta kadar nitrogen urea darah (BUN)
meningkat. Kreatinin serum menjadi indikator paling sensitif dari ginjal
karena substansinya diproduksi secara konstan oleh tubuh. Akibat fungsi
ginjal untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal
telah menurun, menyebabkan terjadinya retensi cairan dan natrium.
Penumpukan cairan ini meningkatkan risiko edema paru, gagal jantung
kongestif, dan hipertensi (Setiati,et.al, 2014).
Fungsi renal menurun dan produk protein tertimbun dalam darah yang
normalnya protein diekskresikan ke dalam urine menyebabkan gejala
uremia semakin berat. Penyebab uremia yang belum diketahui pasti diduga
berasal dari abnormalitas yang diakibatkan oleh retensi urea dan hasil
akhir metabolism lainnya dalam darah. Uremia menggambarkan kegagalan
fungsi ekskretorik ginjal (Isselbacher, et.al, 2000). Masalah yang lain yaitu
terjadi gangguan klirens ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomerulus yang berfungsi. Sehingga, terjadi penurunan klirens substansi
darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal dan diekskresikan
(Smeltzer & Bare, 2010).
Laju filtrasi glomerulus sampai 60% masih belum menimbulkan
gejala serius tetapi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum terus
terjadi. Namun, pada laju filtrasi glomerulus yang telah mencapai 30%
sudah mulai menimbulkan keluhan pada penderita. Gejala yang dirasakan,
seperti: letih, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun, penurunan
17
berat badan, susah tidur kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki
dan pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering
kencing terutama pada malam hari (Setiati,et.al, 2014).
Laju filtrasi glomerulus di bawah 30% telah memperlihatkan gejala
uremia dan gejala lain yang nyata. Gejala yang dirasakan semakin berat
dari sebelumnya. Masalah yang terjadi, seperti: hipertensi, pruritus akibat
bahan toksik pada kulit, mual, muntah, gangguan metabolisme dalam
tubuh, dan anemia sebagai akibat ketidakadekuatan produksi eritropoietin,
memendeknya usia eritrosit, dan defisiensi nutrisi (Smeltzer & G.Bare,
2001).
Pada kondisi lain, kecenderungan kehilangan garam meningkatkan
risiko hipotensi dan hipovolemia. Muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium yang akan memperburuk status uremia. Gejala
yang lain dapat muncul, seperti terjadi asidosis metabolik. Hal ini
disebabkan ginjal tidak mampu mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebih dalam tubuh dan tubulus ginjal tidak mampu menyekresi
ammonia (NH3) serta mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3)
(Setiati,et.al, 2014).
Sedangkan laju filtrasi glomerulus di bawah 15% akan terjadi gejala
dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy). Tujuan dari terapi pengganti
ginjal ini, agar fungsi ginjal tetap berjalan walaupun bukan ginjal yang
18
secara langsung menjalankan fungsinya tersebut. Salah satu terapi
pengganti ginjal ialah hemodialisis (Setiati,et.al, 2014).
6. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik
Komplikasi potensial yang dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik
menurut (Smeltzer & G.Bare, 2001), mencakup:
a) Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme, dan masukan diet berlebih
b) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat
c) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin-angiotensin-aldosteron
d) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan
kehilangan darah selama hemodialisis
e) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal, dan
peningkatan kadar aluminium
7. Penataksanaan Penyakit Ginjal Kronik
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik dengan tujuan untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatis selama mungkin. Faktor-
faktor yang berperan dalam penyakit ginjal kronik dapat diidentifikasi dan
ditangani dengan baik. Pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang
19
mengalami gangguan metabolisme dan cairan dalam tubuh yang dapat
memperburuk efek uremia (Smeltzer & G.Bare, 2001).
Dalam mengatasi gejala penyakit ginjal kronik tersebut, diperlukan
terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal. Hemodialisis merupakan alat atau sebuah mesin ginjal
buatan yang terdiri dari membran semipermeabel yang mana darah di satu
sisi dan cairan dialisis di sisi lain. Hemodialisis adalah suatu proses
pemisahan atau penyaringan darah untuk membuang sisa metabolisme dari
tubuh (Price & Wilson, 2005).
Dengan menjalani hemodialisis secara efektif, asupan makanan dan
cairan dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa
penyesuaian atau pembatasan pada asupan makanan, seperti: pembatasan
protein. Mengingat asupan protein yang tinggi dapat memungkinkan
terjadinya penumpukan limbah nitrogen dalam tubuh. Selain protein,
penumpukan cairan juga menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema
paru. Dengan demikian, dianjurkan bagi penderita penyakit ginjal kronik
untuk menjalani hemodialisis demi mengatasi gejala uremia dan gejala
lainnya (Smeltzer & Bare, 2010). Penjelasan lebih lanjut mengenai
hemodialisis akan dibahas pada sub bab berikut.
B. Hemodialisis
1. Defenisi Hemodialisis
Hemodialisis (cuci darah) merupakan salah satu terapi pengganti
ginjal yang digunakan oleh penderita penyakit ginjal baik akut maupun
20
kronik. Terapi ini dilakukan apabila fungsi ginjal yakni membuang zat sisa
metabolik yang beracun serta kelebihan cairan tubuh yang sangat menurun
(lebih dari 90%) sehingga tidak mampu menjaga kelangsungan hidup
pasien (Bakta & Suastika, 2014). Hemodialisis adalah suatu proses
penyaringan darah dari tubuh pasien melalui membran semipermeabel
(dialiser) yang kemudian dikembalikan ke dalam tubuh pasien.
Hemodialisis hanya sekedar terapi pengganti ginjal namun bukan untuk
mengobati kerusakan ginjal dan tidak dapat memperbaiki aktivitas
endokrin atau metabolik pada ginjal (Smeltzer & G.Bare, 2001; Baradero,
Dayrit, & Siswadi, 2008; Smeltzer & Bare, 2010).
2. Indikasi Hemodialisis
Beberapa hal yang menjadi indikasi hemodialisis yaitu sebagai berikut
(Price & Wilson, 2005; Aziz, J.Witjaksono, & Rasjidi, 2008; Setiati,et.al,
2014)
a. Kelebihan (overload) cairan ekstraselular yang sulit dikendalikan atau
hipertensi
b. Hiperkalemia berat yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi
farmakologis
c. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi
bikarbonat
d. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi
pengikat fosfat
e. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi.
21
f. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa
penyebab yang jelas
g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala
mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis
h. Gangguan neurologis (seperti neuropati perifer, ensefalopati, gangguan
psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang menjadi indikasi segera
dilakukannya hemodialisis.
i. Indikasi klinis, misalnya terjadi sindrom uremia yang berat seperti
mual, muntah hebat, penurunan kesadaran, dan kejang-kejang, terjadi
overhidrasi yang tidak teratasi dengan pemberian diuretik, dan edema
paru akut yang tidak bisa diatasi.
j. Indikasi biokimiawi, misalnya: ureum plasma lebih atau sama dengan
150 mg%, kreatinin plasma lebih atau sama dengan 10 mg%, dan
bikarbonat plasma kurang atau sama dengan 12 meq/L.
k. Penyandang PGK yang sudah tidak sanggup lagi bekerja purnawaktu,
kadar kreatinin serum biasanya di atas 6 mg/dl pada laki-laki dan 4
mg/dl pada perempuan, nilai GFR kurang dari 4 ml/menit.
3. Prinsip Kerja Hemodialisis
Dialiser sebagai ginjal buatan merupakan lempengan rata atau ginjal
serat artifisial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus,
bekerja sebagai membran semipermeabel dalam sirkulasi darah dan
pertukaran limbah. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara
22
cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) bersirkulasi di sekelilingnya
(Smeltzer & G.Bare, 2001).
Prinsip-prinsip kerja yang mendasari hemodialisis terbagi atas 3
Setiati,et.al, 2014) yaitu difusi, ultrafiltrasi, dan osmosis. Difusi
merupakan perpindahan molekul zat terlarut karena adanya perbedaan
konsentrasi zat terlarut dalam darah dan dialisat. Pada proses hemodialisis
sendiri, terjadi perpindahan darah yang berkonsentrasi tinggi ke cairan
dialisat dengan konsentrasi rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua
elektrolit penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal (Smeltzer &
G.Bare, 2001).
Proses perpindahan zat pelarut atau air melalui membran semi
permiabel akibat perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah
dan dialisat termasuk dalam proses ultrafiltrasi. Trans Membran Pressure
(TMP) merupakan kompartemen dialisat yang mengatur besarnya tekanan
hidrostatik dimana tekanan tersebut ditentukan oleh tekanan positif dalam
kompartemen darah dan tekanan negatif dalam kompartemen dialisat.
Gradien tekanan pada proses osmosis ditingkatkan melalui penambahan
tekanan negatif pada mesin dialisis. Tekanan negative tersebut sebagai
pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Setiati,et.al,
2014).
Cairan tubuh yang berlebih adakan dikendalikan dengan menciptakan
tekanan melalui proses osmosis pada prinsip kerja hemodialisis. Proses
osmosis terjadi dimana air berpindah dari tekanan yang lebih tinggi (tubuh
23
pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat) (Smeltzer & G.Bare,
2001; Setiati,et.al, 2014).
4. Lama Terapi
Pasien penyakit ginjal kronik menjalani terapi hemodialisis sepanjang
hidupnya. Tujuan dari hemodialisis adalah untuk mengeluarkan toksik dan
limbah nitrogen serta air yang berlebihan dari dalam tubuh. Pasien
dijadwalkan menjalani hemodialisis sesuai kondisi yang dialami dan
biasanya dijalani 1-3 kali seminggu selama 2-5 jam setiap kali terapi atau
sampai pasien menerima ginjal baru melalui pencangkokan yang berhasil
(transplantasi) (Smeltzer & G.Bare, 2001).
Lamanya waktu menjalani hemodialisis tergantung dari ukuran badan,
fungsi ginjal residual, masukan diet, komplikasi penyakit, dan derajat
anabolisme dan katabolisme (Isselbacher,et.al, 2013). Namun demikian,
bagi mereka yang mengidap gangguan jantung, stroke, atau lanjut usia
(lansia) diperlukan hemodialisis berulang (8-10 kali per bulan).
Hemodialisis juga dapat membebani kerja jantung sewaktu proses
pemerasan cairan tubuh untuk dibersihkan dalam waktu lama (2-5 jam)
(Bakta & Suastika, 2014).
5. Komplikasi Hemodialisis
Tindakan hemodialisis menyebabkan pasien mengalami berbagai
permasalahan dan komplikasi sebagai berikut (Doenges, Moorhouse, &
Geissler, 2000; Smeltzer & G.Bare, 2001; Smeltzer & Bare, 2010;
Vasilopoulou, et.al, 2016).
24
a. Pra hemodialisis
Sebelum menjalani hemodialisis, pasien yang baru pertama kali
divonis akan menjalani hemodialisis cenderung merasakan gejala
psikologis, seperti kecemasan terhadap status kesehatan, khawatir
terhadap status sosioekonomi, rasa takut menjalani hemodialisis, stres
dan gejala psikologis lainnya (Smeltzer & G.Bare, 2001;
Vasilopoulou, et.al, 2016). Penelitian Hargyowati (2016) juga
membuktikan bahwa dari 44 responden, terdapat 36 responden
(81,8%) yang mengalami kecemasan tingkat sedang sebelum
dilakukan hemodialisis. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara pasien
yang menjalani hemodialisis dan perawat di ruang hemodialisis Rumah
Sakit Universitas Hasanuddin.
b. Intra hemodialisis
Selama menjalani hemodialisis, pasien dengan penyakit ginjal
kronik sangat berpotensi mengalami masalah sebagai komplikasi
hemodialisis menurut (Smeltzer & G.Bare, 2001; Isselbacher, et.al,
2000; Smeltzer & Bare, 2010) yaitu:
1) Hipotensi disebabkan oleh banyak faktor salah satunya cairan yang
dikeluarkan terlalu banyak. Mual dan muntah, diaporesis,
takikardia, dan pusing merupakan gejala umum hipotensi.
Perkiraan terhadap cairan ekstraseluler yang akan dibuang dan
penggunaan ultrafiltrasi terpisah serta dialisat natrium yang lebih
tinggi membantu dalam mencegah hipotensi.
25
2) Emboli udara terjadi akibat adanya udara memasuki sistem
vaskuler pasien
3) Nyeri dada akibat menurunnya pCO2 bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh
4) Pruritus terjadi ketika produk akhir metabolisme meninggalkan
kulit
5) Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan caian
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Hal ini dapat
kemungkinan besar terjadi jika terdapat gejala uremia berat
6) Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel
7) Kekurangan volume cairan (hipovolemia) akibat pembatasan
cairan dan kehilangan darah secara aktual
Komplikasi saat menjalani hemodialisis bukan hanya komplikasi
fisik yang telah dicantumkan di atas tetapi juga ditemukan komplikasi
psikologis yang dirasakan oleh pasien. Hasil penelitian Rosdiana,
Yetty, & Sabri (2014) membuktikan bahwa saat menjalani
hemodialisis, pasien masih cenderung merasakan cemas. Cemas yang
dirasakan dapat berhubungan dengan gangguan tidur pasien. Pasien
yang mengalami kecemasan disertai gangguan tidur memiliki tingkat
kecemasan lebih berat dibanding yang tidak mengalami gangguan
tidur. Data dari 58 responden yang mengalami kecemasan disertai
gangguan tidur (insomnia) memiliki tingkat kecemasan ringan
26
sebanyak 21 orang (42,9%) dan kecemasan berat 37 orang (64,9%).
Sedangkan, responden yang tidak mengalami gangguan tidur,
cenderung memiliki kecemasan tingkat lebih ringan. Dari 48
responden, 28 diantaranya mengalami kecemasan ringan (57%) dan 20
orang (35,1%) mengalami kecemasan berat.
Data yang diperoleh tersebut, meyakinkan peneliti dalam
menggunakan kuesioner Hamilton Rating for Anxiety (HARS)
sebagaiinstrumen penelitian untuk menilai gangguan tidur responden
saat penelitian. Mengenai penjelasan lebih lanjut tentang kuesioner
HARS, akan dibahas pada Bab IV penelitian ini pada bagian instrumen
penelitian.
c. Post hemodialisis
Komplikasi hemodialisis bukan hanya sebelum dan saat menjalani
hemodialisis, namun efek samping atau komplikasi yang terjadi dapat
dialami pasien setelah menjalani terapi hemodialisis. Gangguan yang
dapat terjadi, seperti: kekurangan nutrisi akibat gangguan
gastrointestinal, seperti: mual dan muntah, anoreksia, dan pembatasan
diet (halus dan makanan tak berasa), konstipasi karena penurunan
masukan cairan, ketidakseimbangan elektrolit, dan perubahan pola diet
(Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2000).
Penelitian Luana,et.al (2012) menunjukkan hasil rerata kadar
hemoglobin di bawah normal dan masuk dalam kondisi anemia. Hal
ini disebabkan oleh proses eritropoesis yang terganggu pada penderita
27
PGK. Hal tersebut menjadi komplikasi dari hemodialisis. Selain itu,
gejala psikologis setelah hemodialisis, seperti: kecemasan sudah mulai
menurun dan berbeda jika dibandingkan sebelum tindakan
hemodialisis. Hargyowati (2016) membuktikan bahwa dari 44
responden setelah dilakukan hemodialisis, 22 responden (50%)
mengalami kecemasan sedang dan 22 (50%) mengalami kecemasan
ringan. Hal ini tergolong baik jika dibandingkan dengan kecemasan
sebelum hemodialisis yakni 36 responden (81,8%) mengalami
kecemasan sedang.
C. Kecemasan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
1. Defenisi Kecemasan
Kecemasan (ansietas) merupakan respons emosi individu terhadap
suatu keadaan secara subjektif yang dialami tanpa objek spesifik dan
penyebab yang jelas. Hal ini dihubungkan dengan perasaan tidak menentu,
merasa tidak aman, putus asa, dan mengurung diri (Stuart, 2013).
Kecemasan dapat menjadi masalah ketika individual tersebut tidak dapat
mencegah kecemasan yang dapat mengganggu kemampuan untuk
memenuhi keinginan mendasar (Suliswati, et.al, 2005; Townsend, 2012).
Kecemasan berbeda dengan rasa takut, karakteristik rasa takut yaitu
adanya objek/sumber yang spesifik yang dapat diidentifikasi dengan jelas.
Ketakutan disebabkan oleh hal-hal yang bersifat fisik dan psikologis yang
terbentuk dari proses kognitif yang mengancam seorang individu
(Suliswati, et.al, 2005).
28
2. Penyebab dan Faktor yang Memengaruhi Kecemasan
Seseorang dengan rasa cemas dapat disebabkan atau dipengaruhi oleh
berbagai hal. Kecemasan yang dirasakan oleh penderita penyakit ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis dapat disebabkan oleh gangguan
dalam kehidupannya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru,
masalah finansial, masalah dalam pekerjaan, masalah dalam hubungan
dengan keluarga baik istri maupun suami yang dapat berdampak pada
komplikasi penyakit misalnya impotensi, menurunnya gairah seksual
bahkan hilang, dan masalah lainnya. Selain itu, pasien hemodialisis dapat
pula merasa cemas akibat tekanan batin dalam rumah tangganya sendiri
(Smeltzer & G.Bare, 2001; Marsh, 2015).
Menurut Asmadi (2008) dan Stuart (2013) faktor yang ikut
memengaruhi pasien hemodialisis merasa cemas, seperti: ancaman
kehilangan harga diri, ancaman kehilangan status/peran diri, dan tidak
memperoleh pengakuan dari orang lain (Suliswati, et.al, 2005). Selain itu,
penelitian Luana,et.al. (2012) menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, dan
tingkat pendidikan menjadi faktor penyebab kecemasan pasien
hemodialisis. Pada pasien usia 40-60 tahun sangat mungkin bisa terjadi
tingkat kecemasan yang tinggi karena cenderung sudah tidak bekerja,
perasaan tidak berguna bagi keluarga, dan sebagian besar mempunyai anak
usia sekolah yang membutuhkan kebutuhan finansial yang cukup besar
Perempuan lebih cemas jika dibandingkan dengan laki-laki, dimana laki-laki
lebih memiliki sifat yang lebih aktif dan ekploratif sedangkan perempuan
memiliki sifatnya lebih sensitif (Jangkup & et.al, 2015).
29
Penelitian yang sama dilakukan oleh Marlina & Andika (2013) yang
berjudul “Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dengan
tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik selama menjalani terapi
hemodialisis”. Hasilnya, pengetahuan yang baik memungkinkan pasien
mengalami kecemasan yang tidak cukup berat. Begitupun dukungan
keluarga yang baik dapat membuat pasien tidak merasa cemas atau cemas
berkurang, serta pasien yang menjalani hemodialisis kurang dari 1 tahun
lebih cemas dibanding yang telah menjalani terapi hemodialisis lebih dari
1 tahun.
Faktor lain yang juga memengaruhi kecemasan pasien hemodialisis
yaitu pekerjaan. Pasien yang tidak bekerja pun merasa menjadi beban
tanggungan keluarga karena biaya pencucian darah (hemodialisis) yang
akan dilakukan secara rutin. Selain itu, pasien memiliki beban pekerjaan
yang besar untuk dislesaikan. Sementara jadwal hemodialisis dan waktu
yang dibutuhkan untuk hemodialisis dapat berlangsung lama. Ditambah
lagi dengan masalah pendapatan yang relatif kecil menambah beban pasien
(Jangkup & et.al, 2015).
3. Gejala-Gejala Kecemasan
Seseorang yang sedang mengalami kecemasan mampu
mengidentifikasi gejala yang sedang dirasakan. Cemas yang dirasakan
berbeda-beda setiap individu. Beberapa gejala umum kecemasan yang
dapat dirasakan pasien yang menjalani hemodialisis misalnya gejala fisik
dan gejala psikologis.
30
Tabel II.2 Gejala-Gejala Kecemasan
Gejala Fisik Gejala Psikologis
1. Mual (merasa sakit)
2. Ketegangan otot
3. Sakit kepala
4. Pusing
5. Seperti tertusuk jarum
6. Pernapasan cepat
7. Berkeringat dingin pada telapak tangan
8. Peningkatan tekanan darah
9. Palpitasi
10. Mudah lelah
1. Khawatir berlebihan, gugup,
gelisah
2. Tegang, cemas, takut
3. Rasa tidak aman
4. Lekas terkejut
5. Kehilangan rasa percaya diri
6. Ketidakmampuan untuk
merasakan rileks
7. Kehilangan konsentrasi/fokus
8. Susah tidur
Sumber: (Maramis, 2005; Lee, 2008; Barbara Kozier, et.al, 2010; Young, et.al, 2011;
Marsh, 2015)
Penelitian (Jangkup & et.al, 2015) menyatakan bahwa gejala
kecemasan yang dialami pasien yang menjalani hemodialisis hampir
dengan gejala kecemasan pada umumnya. Gejala fisik yang timbul seperti
peningkatan tekanan darah, palpitasi, dan pusing. Sementara gejala
psikologis yang dirasakan pasien, seperti: susah tidur, kehilangan
konsentrasi, tegang, gelisah dan takut terhadap kondisi penyakit yang
dialami.
4. Tingkat Kecemasan
Peplau (1963) menggambarkan empat tingkatan dari kecemasan, yaitu
kecemasan ringan, sedang, berat, dan panik menurut (Suliswati, et.al,
2005; Videbeck, 2008; Townsend, 2012):
a) Kecemasan ringan : Berhubungan dengan stres dalam merespon
kegiatan hidup sehari-hari dan masih jarang terdapat masalah yang
serius. Dalam kondisi ini dapat meningkatkan motivasi untuk belajar,
bekerja keras, dan memecahkan masalah secara efektif.
31
b) Kecemasan sedang : seseorang kurang mempedulikan kejadian yang
terjadi di lingkungan sekitarnya dan konsentrasi berkurang sehingga
masih membutuhkan bimbingan/arahan orang lain dalam
menyelesaikan sebuah masalah. Meningkatnya ketegangan otot dan
kurangnya istirahat merupakan bukti individu tersebut mengalami
kecemasan sedang.
c) Kecemasan berat : memiliki sudut pandang yang kurang baik dan
berkurangnya pusat konsentrasi. Perhatian terbatas dan susah untuk
menyelesaikan sesuatu bahkan pekerjaan yang mudah sekali pun.
Gejala kejiwaan (seperti sakit kepala, detak jantung meningkat, susah
tidur) dan gejala emosi (seperti gelisah, kebingungan, rasa takut)
merupakan sebuah bukti kecemasan berat. Sehingga, individu
membutuhkan banyak arahan dari orang lain untuk berfokus.
d) Panik: tidak dapat berkonsentrasi pada masalah yang terjadi di
lingkungan sekitarnya. Karena hilang kontrol, individu tidak mampu
melakukan apapun sekalipun dengan perintah. Kepanikan berhubungan
dengan perasaan takut dan penderita meyakini bahwa mereka sedang
sakit yang dapat membahayakan jiwa mereka atau takur akan menjadi
gila atau kehilangan kendali (APA, 2000). Kepanikan yang
berkepanjangan dapat berakibat kejiwaan, seperti: mengalami
halusinasi atau ilusi.
Penelitian yang dilakukan oleh Tokala, Kandou, & Dundu (2015)
yang berjudul “Hubungan Antara Lamanya Menjalani Hemodialisis
32
dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado” menunjukkan hasil bahwa dari 34
pasien, 16 orang (47,1%) tidak cemas, 11 orang (32,4%) mengalami cemas
ringan, 6 orang (17,6%) cemas sedang, dan 1 orang (2,95%) mengalami
cemas berat. Sedangkan pada penelitian Zhang & et.al (2014) pasien yang
menjalani hemodialisis merasakan kecemasan sebesar 43%.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Vasilopoulou & et.al (2016)
“The Impact of Anxiety and Depression on the Quality of Life of
Hemodialysis Patients” di Canada dengan hasil bahwa pasien hemodialisis
merasakan kecemasan berat sebanyak 47,8%. Sedangkan, penelitian
Jangkup & et.al, (2015) menunjukkan hasil bahwa terdapat tingkat
kecemasan 40 orang responden (100%), terdiri dari: tingkat kecemasan
ringan 8 orang responden (25,8%), tingkat kecemasan sedang 23 orang
responden (57,5%) dan tingkat kecemasan berat 9 orang responden
(22,5%). Hasil tersebut menunjukkan pasien yang menjalani hemodialisis
cenderung mengalami kecemasan dalam berbagai derajat.
5. Dampak Kecemasan
Kecemasan dapat berdampak pada kondisi fisik maupun psikologis
pasien yang menjalani hemodialisis menurut (Smeltzer & G.Bare, 2001;
Marsh, 2015), antara lain:
a) Dampak fisik
Kecemasan jangka pendek dapat memengaruhi kondisi fisik,
seperti: meningkatkan ketegangan otot yang dapat menyebabkan
33
ketidaknyamanan dan sakit kepala, meningkatnya frekuensi
pernapasan, dan tekanan darah meningkat. Sedangkan, kecemasan
jangka panjang dapat menimbulkan rasa takut disertai ketegangan otot
dan kurangnya waktu tidur yang dapat menyebabkan menurunnya
sistem imun dalam tubuh, dan meningkatnya tekanan darah yang dapat
menimbulkan gangguan pada jantung dan ginjal.
b) Dampak psikologis
Pasien yang menjalani hemodialisis cenderung merasa lebih
takut/khawatir, suka marah, tidak dapat rileks/konsentrasi, mudah
menangis, ketergantungan penuh, bahkan depresi. Dapat pula
memengaruhi jalan pikiran apabila khawatir hal buruk akan terjadi
yang membuat segala sesuatu terlihat negatif dan menjadi sangat
pesimis. Selain berdampak pada kondisi mental, kecemasan berat juga
dapat menurunkan kinerja seseorang dalam pekerjaan, gangguan tidur
yang dialami dapat mengurangi kemampuan berpikir untuk mengatasi
masalah, dan menurunnya kualitas hidup seseorang (Smeltzer &
G.Bare, 2001; Vasilopoulou & et.al, 2016).
6. Rentang respon kecemasan
Rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon
adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah
antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas
yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah
panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas
34
yang dihadapi sehingga mengalami ganguan fisik, perilaku maupun
kognitif. Seseorang yang dapat berespon adaptif terhadap kecemasannya
memiliki tingkat kecemasan ringan (Stuart, 2007). Semakin maladaptif
respon seseorang terhadap kecemasan maka semakin berat pula tingkat
kecemasan yang dialaminya, seperti gambar dibawah ini:
Gambar 2.1. Rentang respons kecemasan (Suliswati, et.al, 2005; Stuart, 2013)
7. Penatalaksanaan Kecemasan
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan
pada pasien hemodialisis salah satunya ialah terapi relaksasi napas dalam.
napas dalam. Relaksasi napas dalam sebagai cara mudah dan murah untuk
mengendalikan kecemasan, mengubah stress menjadi gairah hidup, dan
dapat mengendalikan emosi serta menunda kemarahan sebelum
memutuskan tindakan yang sesuai (Smeltzer & Bare, 2010; Hayat, 2014).
Terapi relaksasi napas dalam ini, memungkinkan mengembalikan
semangat hidup dan dan perasaan menjadi lebih tenang. Saat merasa
cemas, pernapasan menjadi tidak teratur, lebih pendek, dan tersengal-
sengal yang mengakibatkan pikiran dan perasaan pun ikut terganggu.
Asupan oksigen ke paru-paru tidak kuat sehingga mempengaruhi kadar
oksigen dalam darah. Akibatnya, sel-sel tubuh, termasuk sel-sel otak
Rentang Respons Kecemasan
Respon adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
35
menjadi kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen di sel-sel otak akan
mengacaukan aktivitas tubuh dan emosi. Dengan latihan relaksasi napas
dalam, pasokan oksigen dalam darah akan meningkat untuk memenuhi
kebutuhan sel-sel otak dan tubuh (Hayat, 2014).
Penelitian D'silva, H., & Muninarayanappa (2014) dengan judul
“Effectiveness Of Deep Breathing Exercise (DBE) On The Heart Rate
Variability, BP, Anxiety & Depression Of Patients With Coronary Artery
Disease” menunjukkan hasil bahwa relaksasi napas dalam efektif dalam
menurunkan kecemasan pada pasien penyakit arteri coroner. Hal tersebut
terbukti dari hasil penelitian dimana responden yang diberikan intervensi
relaksasi napas dalam mengalami penurunan kecemasan dari kecemasan
berat menjadi kecemasan ringan dan sedang. Dari 65 responden, 21
responden (52.5%) memiliki kecemasan ringan dan 17 responden (42.5%)
dengan kecemasan sedang, dan sisanya mengalami depresi depresi ringan
serta hipertensi baik pre hipertensi maupun yang termasuk dalam
hipertensi.
Penelitian yang sama dilakukan Sellakumar (2015) dengan judul
“Effect of slow-deep breathing exercise to reduce anxiety among
adolescent school students in a selected higher secondary school in
Coimbatore, India” menunjukkan hasil bahwa penggunaan relaksasi napas
dalam kepada remaja di sekolah efektif menurunkan kecemasan. Mengenai
pembahasan relaksasi napas dalam, akan dibahas pada sub bab berikut
beserta langkah-langkah prosedurnya.
36
D. Relaksasi Napas Dalam
1. Defenisi Relaksasi Napas Dalam
Relaksasi napas dalam merupakan suatu teknik relaksasi sederhana
dimana paru-paru dibiarkan menghirup oksigen sebanyak mungkin. Napas
dalam berbeda dengan hiperventilasi karena relaksasi napas dalam
merupakan gaya pernapasan yang pada dasarnya lambat, dalam, dan rileks
yang memungkinkan seseorang merasa lebih tenang (Townsend, 2012;
Widyastuti, 2003). Relaksasi napas dalam menjadi salah satu bentuk
asuhan keperawatan dimana perawat mengajarkan klien cara melakukan
relaksasi napas dalam dan lambat secara maksimal (Smeltzer & G.Bare,
2001).
2. Manfaat Relaksasi napas dalam
Relaksasi napas dalam telah diketahui dapat mengurangi kecemasan,
depresi, emosi, ketegangan otot, nyeri, dan kelelahan. Keunggulan dari
latihan ini yaitu dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun. Petunjuk untuk
melakukan latihan pernapasan yang baik yaitu dilakukan sekitar 5-15
menit selama 2-4 kali sehari atau kapanpun saat merasakan ketegangan
(Townsend, 2012; O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013).
Penelitian yang dilakukan D'silva, H., & Muninarayanappa (2014)
dengan judul “Effectiveness Of Deep Breathing Exercise (DBE) on The
Heart Rate Variability, BP, Anxiety & Depression of Patients With
Coronary Artery Disease”. Penelitian tersebut memiliki jumlah sampel
sebanyak 45 orang dan dibagi dalam 2 kelompok yakni kelompok
37
intervensi sebanyak 23 orang dan kelompok kontrol sebanyak 22 orang.
Intervensi latihan napas dalam dilakukan selama 2 minggu dimana
pemberian latihan napas dalam selama 2-3 hari. Selanjutnya, responden
diinstruksikan latihan secara mandiri selama 2 minggu. Latihan napas
dalam dilakukan 2 kali sehari selama 10 menit. Setelah 2 minggu berlalu,
responden akan difollow up untuk mengukur kecemasannya.
Relaksasi napas dalam didasarkan pada keyakinan, pikiran yang
rileks/tenang, posisi yang nyaman, dan konsentrasi (Asmadi, 2008).
Relaksasi napas dalam sampai saat ini masih menjadi metode relaksasi
termudah karena metode yang digunakan sangat mudah dipelajari, tidak
memerlukan peralatan khusus, dan dapat digunakan dimana saja dan kapan
saja (O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013). Selain itu, dapat dilakukan
secara normal tanpa perlu berpikir lama atau merasa ragu (Widyastuti,
2003). Sementara Smeltzer & G.Bare (2001) menyatakan bahwa relaksasi
napas dalam bertujuan untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara
pertukaran gas, mencegah atelektasis paru, meningkatkan efisiensi batuk,
mengurangi stress, serta menurunkan intensitas nyeri dan kecemasan.
3. Mekanisme kerja latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan
kecemasan
Beberapa gejala yang timbul akibat kecemasan dapat berupa gejala
fisik maupun psikologis. Dari beberapa gejala ini dapat mengakibatkan
peningkatan saraf simpatis. Respon dari peningkatan respon saraf simpatis,
diantaranya: peningkatan tekanan darah, mempercepat denyut jantung,
38
meningkatkan ketegangan otot, dan keringat berlebihan. Gejala ini
disebabkan oleh meningkatnya kerja otak akibat pikiran-pikiran yang
terlalu banyak dan tidak pasti sehingga menjadikan kerja otot-otot
pernapasan dikendalikan oleh otak tidak stabil yang kemudian
mengakibatkan napas terengah-engah sehingga penyerapan oksigen dari
luar tubuh dan pembentukan karbondioksida dalam tubuh menjadi tidak
maksimal (Smeltzer & G.Bare, 2001; Handoyo, 2002).
Hal ini juga menyebabkan otak dan darah kekurangan suplai oksigen
sehingga sistem metabolisme tubuh terganggu. Akibatnya, berbagai gejala
fisik maupun psikologis mulai beriringan muncul. Gejala fisik seperti:
mual (merasa sakit), ketegangan otot, mudah lelah, sakit kepala, pusing,
seperti tertusuk jarum, pernapasan cepat, berkeringat dingin pada telapak
tangan, peningkatan tekanan darah, dan palpitasi. Sementara itu, gejala
psikologis juga seperti: gelisah, khawatir, takut, tidak tenang, sulit
berkonsentrasi, susah tidur, dll. Hal ini tentunya membutuhkan alternatif
solusi yang efektif untuk mengatasi gejala yang dialami. Salah satu
alternatif dengan relaksasi napas dalam (Barbara Kozier, et.al, 2010;
Young, et.al, 2011).
Relaksasi napas dalam merupakan suatu usaha melakukan inspirasi
dan ekspirasi secara maksimal sehingga menstimulasi reseptor regang paru
secara perlahan. Hal tersebut berpengaruh terhadap peregangan
kardiopulonari dan memicu peningkatan refleks baroreseptor yang dapat
merangsang saraf parasimpatis dan menghambat saraf simpatis. Saraf
39
parasimpatis akan menurunkan dan menaikkan semua fungsi yang
dinaikkan dan diturunkan oleh saraf simpatis. Dari hal tersebut dapat
secara perlahan akan terjadi dilatasi pembuluh darah (arteri) dan
melancarkan peredaran darah yang memungkinkan terjadinya peningkatan
oksigen ke semua jaringan tubuh (Purwanto, 2006).
Peningkatan oksigen dalam tubuh memungkinkan aktivitas dalam
tubuh dapat berjalan dengan baik. Sehingga, dari relaksasi napas dalam
akan menstimulasi reseptor regang paru untuk menimbulkan rangsang atau
sinyal yang dapat dikirim ke otak untuk memberikan informasi mengenai
peningkatan aliran darah. Informasi tersebut mengakibatkan saraf
parasimpatis mengalami peningkatan aktivitas sementara saraf simpatis
mengalami penurunan aktivitas pada kemoreseptor. Akibatnya, terjadi
respon akut peningkatan tekanan darah yang akan menurunkan frekuensi
denyut jantung dan terjadi vasodilatasi sejumlah pembuluh darah (Rice,
2006).
Mekanisme informasi yang dikirim ke otak akan mengalami proses
yang masih panjang. Aksis Hypothalamus Pituitary Adrenal (HPA) yang
ada di otak merupakan pengatur sistem neuendokrin, metabolisme, serta
gangguan perilaku. HPA ini terdiri dari 3 komponen, yaitu: Corticotropin
Releasing Hormone (CRH), Adenocorticotropin Hormone (ACTH), dan
kortisol. CRH akan menstimulasi ACTH dan selanjutnya ACTH
menstimulasi kortes adrenal untuk menghasilkan kortisol yang dapat
mengatur keseimbangan sekresi CRH dan ACTH. HPA dan serotonergik
40
berkaitan erat dimana sistem limbik mengatur aktivitas tubuh, seperti:
bangun atau terjaga dari tidur, rasa lapar, emosi, dan pengaturan mood
(Purba, 2006).
Pembahasan tentang sistem limbik, di sinaps sistem limbik sendiri
terdapat neurotransmitter sebagai reseptor agen antiansietas alami tubuh
yaitu Gamma Amino Butyric Acid (GABA). GABA sendiri dapat
mengurangi eksitabilitas sel sehingga mengurangi frekuensi bangkitan
neuron. Selain tempat memproduksi GABA, di sinaps sistem limbik dan
lokus seruleus juga sebagai tempat produksi neurotransmitter norepinefrin
yang menstimulasi sel. GABA sendiri mengurangi ansietas sedangkan
norepinefrin meningkatkan ansietas. Selain norepinefrin, serotonin juga
sebagai neurotransmitter indolamin yang biasanya terlibat dalam psikosis,
dan gangguan mood. Salah satu tipe serotonin yakni 5-HT1a berperan
dalam terjadinya ansietas dan memengaruhi agresi dan mood. Serotonin
diyakini berperan dalam gangguan panik dan ansietas. Sedangkan
norepinefrin yang berlebihan dicurigai ada pada gangguan panik,
gangguan ansietas, dan gangguan stress (Videbeck, 2008).
Individu yang sedang mengalami kecemasan memiliki aktivitas tubuh
dimana saraf simpatis sementara bekerja. Sedangkan, saat seseorang
merasa rileks maka yang bekerja ialah saraf parasimpatis. Dengan
demikian, relaksasi napas dalam yang dilakukan dapat menekan rasa
cemas sehingga menimbulkan perasaan rileks dan tenang. Perasaan rileks
tersebut akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan CRH dan
41
CRH sendiri akan mengaktifkan anterior pituitary (adenohipofisis) untuk
mensekresi enkephalin dan endorphin yang berperan sebagai
neurotransmitter yang memengaruhi suasana hati menjadi rileks dan
tenang. Selain itu, gangguan yang terjadi pada GABA di sistem limbik
akan perlahan-lahan hilang sehingga norepinefrin dapat ditekan dan fungsi
GABA sendiri dapat kembali meningkat (Videbeck, 2008).
Di samping itu, di anterior pituitary terjadi penurunan sekresi ACTH
yang kemudian ACTH mengontrol korteks adrenal untuk mengendalikan
sekresi kortisol. Menurunnya kadar ACTH dan kortisol menyebabkan
terjadi penurunan kecemasan, stress, dan ketegangan. Sementara itu,
dengan penurunan saraf simpatis menjadikan pembuluh darah lebih elastis
dan sirkulasi atau aliran darah lancar sehingga tubuh menjadi hangat
pernapasan menjadi lebih lancar dan efektif, kerja jantung lebih ringan,
dan melancarkan sistem metabolisme. Sedangkan, secara emosi sebagai
respon relaksasi napas dalam dapat membantu mencapai ketenangan jiwa,
mengarahkan atau memfokuskan pikiran dan perasaan agar lebih tenang,
tidak memikirkan hal-hal yang tidak pasti agar kinerja otak dapat
berkurang. Sedangkan, dari peningkatan fungsi saraf parasimpatis dapat
mengendalikan fungsi denyut jantung sehingga tekanan darah menurun
dan timbul efek/sensasi yang menyenangkan dan lebih rileks (Handoyo,
2002).
42
Bagan 1. Mekanisme kerja latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan kecemasan
(Smeltzer & G.Bare, 2001; Handoyo, 2002; Purba, 2006; Purwanto, 2006; Rice, 2006; Videbeck,
2008; Barbara Kozier, et.al, 2010; Young, et.al, 2011)
43
4. Indikasi relaksasi napas dalam
Relaksasi napas dalam dapat diterapkan pada pasien yang menjalani
hospitalisasi dan sepakat diberikan relaksasi (Guidelines for Medical
Record, 2014). Relaksasi napas dalam dapat diberikan bagi pasien yang
mengalami gangguan paru-paru, seperti: chronic obstructive lung disease,
pneumonia, atelektasis, dan acute respiratory disease, penumpukan sekret
pada saluran pernapasan dan sulit dikeluarkan dan nyeri. Selain untuk
gangguan fisik, relaksasi napas dalam juga dapat digunakan untuk
mengatasi gejala psikologis yang muncul, seperti: kecemasan, stress,
ketegangan dan kegelisahan serta prosedur rileksasi (Rusli, Muthiah, &
Hasbiah, 2015).
5. Langkah-Langkah Relaksasi Napas Dalam
Adapun teknik relaksasi napas dalam yang dapat dilakukan dengan
langkah-langkah berikut menurut (Potter & Perry, 2005; Townsend, 2012;
O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013; Rusli, Muthiah, & Hasbiah, 2015;
Lewis, Heitkemper, & Harding, 2017):
a. Jelaskan kepada pasien mengenai tujuan napas dalam yakni untuk
mendapatkan suasana hati yang lebih tenang, rileks, damai dengan
frekuensi 2 kali sehari selama 2 minggu. Setiap latihan dilakukan 4
kali tarikan dan hembusan napas. Setiap sesi napas dalam dilakukan
sekitar 10 menit dan siapkan prosedur latihan relaksasi napas dalam
(lihat gambar II.1)
44
Gambar II.1
b. Tubuh dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan, misalnya:
duduk di kursi dengan sandaran atau berbaring di tempat tidur dengan
menggunakan bantal sebagai alas kepala (lihat gambar II.2)
Gambar II.2
c. Pastikan tulang belakang dalam keadaan lurus. Tungkai dan kaki tidak
menyilang dan seluruh badan rileks (termasuk lengan dan paha) (lihat
gambar II.3)
Gambar II.3
d. Ucapkan dalam hati bahwa dalam waktu 5 sampai 10 menit tubuh akan
kembali stabil, tenang, dan rileks (lihat gambar II.4)
45
Gambar II.4
e. Letakkan satu tangan pada abdomen (perut) dan tangan yang lain pada
dada. Lulut difleksikan (ditekuk) dan mata dipejamkan (lihat gambar
II.5)
Gambar II.5
f. Mulai menarik napas dalam dan lambat melalui hidung sehingga udara
masuk ke dalam paru-paru secara perlahan. Rasakan pergerakan
abdomen akan mengembang dan minimalisir pergerakan dada.
Inspirasi dapat dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4… sambil
mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam hati, seperti: “I
am/saya” (lihat gambar II.6)
Gambar II.6
g. Menghebuskan napas (ekspirasi) secara perlahan melalui mulut dengan
mengerutkan bibir seperti ingin bersiul (pursed lip breathing) tanpa
46
bersuara. Ekspirasi dapat dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4…
sambil mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam hati,
seperti: “rileks atau tenang”. Jangan melakukan ekspirasi kuat karena
dapat meningkatkan turbulensi di airway/jalan napas akibat
bronchospasme. Saat ekspirasi, rasakan abdomen mengempis/datar
sampai paru-paru tidak terisi dengan udara (lihat gambar II.7)
Gambar II.7
h. Ulangi prosedur (gambar II.6 dan II.7) dengan menarik napas lebih
dalam dan lebih lambat sebanyak 4 kali setiap sesi relaksasi napas
dalam. Fokus dan rasakan tubuh benar-benar rileks. “Bayangkan
sedang duduk di bawah air terjun atau shower dan air membasuh serta
menghilangkan perasaan tegang, gelisah, cemas, dan pikiran
mengganggu yang sedang dirasakan”
i. Untuk mengakhiri relaksasi napas dalam, secara perlahan-lahan
melakukan stretching atau peregangan otot tangan, kaki, lengan dan
seluruh tubuh (lihat gambar II.9) (catatan: stretching hanya dapat
dilakukan ketika pasien tidak menjalani hemodialisis)
47
Gambar II.9
j. Buka mata perlahan-lahan dan nikmati seperti matahari terbit pada
pagi hari dan mulai bernapas normal kembali. Duduk dengan tenang
beberapa saat (1-2 menit) kemudian melanjutkan aktivitas
Gambar II.10
Pernapasan dapat dilakukan 10 menit (3-4 kali) setiap 1 sesi untuk
menghindari hiperventilasi dengan frekuensinya 2-4 kali sehari. Saat pikiran
mulai kacau, dengan lembut atau tenang membawa pikiran kembali sadar dan
mulai melakukan relaksasi napas dalam dengan mengucapkan dalam hati
“saya rileks” atau “saya tenang”. Saat menguasai teknik ini, dapat berguna
untuk melepaskan ketegangan dan dilakukan secara mandiri tanpa didampingi
oleh tenaga kesehatan (O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013; Lewis,
Heitkemper, & Harding, 2017; Tusaie & Fitzpatrick, 2017).
48
E. Kerangka Teori
Kerangka teori berisi prinsip teori yang menggambarkan langkah dan arah
kerja serta membahas masalah dalam penelitian (Arifin, 2008). Adapun
kerangka teori pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Bagan 2. Kerangka teori
(Smeltzer & G.Bare, 2001; Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008; Setiati,et.al, 2014)
Dilatasi pembuluh darah dan
peningkatan O2 ke jaringan
Diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis, dll Penyakit ginjal kronik
Kadar ureum dan kreatinin meningkat menyebabkan uremia
Hemodialisis Transplantasi
ginjal
Intervensi
Komplikasi
Penurunan fungsi ginjal <15%
Dialisis peritoneal
Kram otot Pruritus Nyeri
dada
Psikologis Fisik
Dampak
Kecemasan
Perasaan
rileks/tenang
Respon dan fungsi GABA
kembali stabil sehingga kerja
norepinefrin ditekan
Peningkatan saraf
parasimpatis Relaksasi napas
dalam
Intervensi
Depresi Suka
marah Peningkatan
frekuensi
pernapasan
Ketegangan
otot
Peningkatan
tekanan
darah
Psikologis Fisik
Khawatir
r
Tubuh
melepaskan
enkephalin dan
endorphin
49
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dapat membantu peneliti menghubungkan hasil peneliti
dengan teori (Nursalam, 2011). Secara konsep, dalam penelitian ini dapat
diketahui pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor
kecemasan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin.
Variabel independen Variabel antara Variabel dependen
Variabel Perancu
Keterangan:
Variabel antara: tidak diteliti
Bagan 3. Kerangka konsep
Latihan
Relaksasi
Napas Dalam
Perubahan Skor
Kecemasan
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Lama menderita PGK
4. Lama menjalani hemodialisis
5. Penyakit penyerta
6. Tingkat pendidikan terakhir
7. Status pernikahan
Pasien
Penyakit
Ginjal Kronik
yang
Menjalani
Hemodialisis
Peningkatan endorfin
50
B. Hipotesis Penelitian
1. Skor kecemasan sebelum dan setelah diberikan latihan relaksasi napas
dalam berbeda secara signifikan dimana kelompok intervensi mengalami
penurunan skor kecemasan lebih besar dibanding kelompok kontrol
2. Latihan relaksasi napas dalam menurunkan skor kecemasan pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
51
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan bentuk
desain penelitian Quasi Experimental Design dengan rancangan Time Series
with Control Group Design. Penggunaan desain ini untuk melihat perbedaan
kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan setelah perlakuan
(Sugiyono, 2014). Pada penelitian ini, semua anggota populasi diberi pretest
dengan cara mengukur skor kecemasan menggunakan kuesioner Hamilton
Rating Scale for Anxiety (HARS) untuk mengetahui skor kecemasan awal.
Selanjutnya, kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa latihan relaksasi
napas dalam sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.
Perlakuan latihan relaksasi napas dalam dilakukan selama 2 minggu.
Pertemuan pertama dengan responden dilakukan pengukuran kecemasan (pre
test), pertemuan kedua hingga keempat dengan responden kelompok
intervensi sesuai jadwal hemodialisis diberikan perlakuan berupa latihan
relaksasi napas dalam sambil didampingi oleh peneliti. Setiap prosedur latihan
relaksasi ini diulangi sebanyak 4 kali setiap gerakan dan dilakukan 2 kali
sehari selama kurang lebih 10 menit. Latihan relaksasi napas dalam diberikan
sebelum menjalani hemodialisis dan berselang 2 jam dari intervensi pertama
(pasien sementara menjalani hemodialisis). Jadi, peneliti mendampingi
responden sebanyak 3 kali dalam melakukan latihan napas dalam. Dalam 1
minggu jadwal pasien menjalani hemodialisis rata-rata 2-3 kali. Sehingga, hari
52
dimana pasien tidak menjalani hemodialisis diberikan log book prosedur
latihan relaksasi napas dalam, lembar observasi kemampuan pasien melakukan
latihan relaksasi napas dalam, dan lembar kerja prosedur yang diisi responden
saat dan setelah melakukan latihan napas dalam.
Setelah pertemuan keempat, pada kedua kelompok dilakukan
pengukuran skor kecemasan untuk nilai post test 1. Setelah itu, responden
kelompok intervensi melakukan latihan relaksasi secara mandiri selama 1
minggu. Setelah 1 minggu intervensi mandiri, pada kedua kelompok kembali
dilakukan pengukuran skor kecemasan untuk nilai post test 2. Data skor
kecemasan yang telah diperoleh dibandingkan dan dianalisis.
Rumus:
Keterangan:
Q1 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok intervensi
sebelum diberikan relaksasi napas dalam (pre-test)
Q2 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok intervensi
setelah diberikan relaksasi napas dalam pada minggu I (post-test 1)
Q3 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok intervensi
setelah diberikan relaksasi napas dalam pada minggu II (post-test 2)
Q4 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok kontrol tanpa
perlakuan (pre-test)
Q5 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok kontrol tanpa
perlakuan (post-test 1)
Q6 : skor kecemasan pasien hemodialisis pada kelompok kontrol tanpa
perlakuan (post-test 2)
X : intervensi relaksasi napas dalam
Q X Q2 X Q3
Q4 Q5 Q6
53
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin. Pemilihan lokasi berdasarkan hasil studi awal yang diperoleh.
2. Waktu Penelitian
Pengambilan data primer pada penelitian ini dilaksanakan mulai 14
November hingga 1 Desember 2017. Pemberian intervensi berupa latihan
relaksasi napas dalam dilaksanakan sekitar 2 minggu (17 November-1
Desember 2017) yang disesuaikan dengan jadwal hemodialisis pasien.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang tercatat pada
rekam medik Rumah Sakit Universitas Hasanuddin tahun 2017 yang
menjalani hemodialisis dan mengalami kecemasan mulai dari cemas ringan
hingga cemas berat. Data terakhir bulan November sebanyak 40 pasien yang
menjalani hemodialisis.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling dan
simple random sampling. Total sampling dilakukan dengan cara mengambil
semua anggota populasi menjadi sampel. Sedangkan simple random sampling
merupakan suatu teknik pengambilan sampel secara acak. Pengambilan
sampel dapat dilakukan dengan undian dimana setiap anggota populasi diberi
nomor terlebih dahulu sesuai dengan jumlah anggota populasi. Teknik sampel
secara random ini memberi peluang yang sama kepada semua populasi untuk
dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2014).
54
Teknik pengambilan sampel yang pertama dilakukan yaitu total sampling
untuk melakukan skrining kecemasan dengan memberikan kuesioner
kecemasan Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS). Sehingga, dari hasil
skrining tersebut peneliti mengambil sampel yang mengalami cemas ringan
hingga cemas berat. Teknik pengambilan sampel yang kedua yaitu simple
random sampling yang dilakukan untuk membagi sampel ke dalam kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.
1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria inklusi
1) Pasien bersedia menjadi responden penelitian
2) Mengikuti penelitian hingga selesai
b. Kriteria Eksklusi:
1) Pasien dalam keadaan tidak sadar
2) Pasien meninggal dunia
3) Pasien mengalami kecemasan berat atau panik
2. Besar Sampel
Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah sampel yang
memenuhi kriteria inklusi, sedangkan sampel yang tergolong dalam
kriteria eksklusi tidak dijadikan sampel. Anggota populasi yang berjumlah
40 orang diberikan pre test untuk skrining kecemasan. Untuk menentukan
besar sampel apabila populasi kurang dari 100. Lebih baik diambil semua
sehingga penelitiannya penelitian populasi (Arikunto, 2010).
55
Dari jumlah populasi sebanyak 40 orang tersebut, digunakan total
sampling untuk melakukan screening kecemasan menggunakan kuesioner
HARS. Dari hasil screening, sampel yang mengalami kecemasan sebanyak
30 orang sementara 10 orang lainnya tidak mengalami kecemasan. Sampel
yang mengalami kecemasan tersebut kemudian diterapkan teknik simple
random sampling untuk menggolongkan sampel sebagai kelompok kontrol
dan kelompok intervensi. Pada teknik sampling ini, masing-masing sampel
diberikan nomor urut sesuai jumlah sampel. Peneliti mengambil nomor
ganjil untuk memenuhi kelompok kontrol sedangkan nomor genap untuk
memenuhi kelompok intervensi. Setiap nomor yang keluar dimasukkan
kembali agar setiap nomor yang dipilih memiliki peluang yang sama. Bila
nomor yang telah diambil keluar lagi, maka dianggap tidak sah dan
dikembalikan lagi.
56
D. Alur Penelitian
Adapun alur penelitian daripoluasi terjangkau, pengumpulan data hingga
kesimpulan yaitu sebagai berikut
Melakukan skrining sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi dengan teknik simple
random sampling (N=30) karena 10 diantaranya tidak mengalami kecemasan
Populasi dipilih secara total sampling dan pada pertemuan pertama dengan responden
dilakukan skrining skor kecemasan menggunakan kuesioner HARS (pre test)
Kelompok intervensi (n=15) Kelompok kontrol (n=15)
Informed consent Informed consent
Intervensi : latihan napas dalam di ruang HD untuk pertemuan ke-2, ke-3,
dan ke-4 sesuai jadwal HD responden (didampingi peneliti). Intervensi
dilakukan 2 kali yaitu sebelum HD dan berselang 2 jam dari intervensi
pertama (sementara menjalani HD). Setiap intervensi dilakukan 10 menit
Pada pertemuan ke-5 dengan responden, dilakukan
pengukuran skor kecemasan (post test 1)
Hari dimana tidak menjalani HD, responden diberikan log book
prosedur napas dalam untuk melakukan latihan napas dalam
secara mandiri di rumah (peneliti follow up lewat telpon)
Setelah 2 minggu, dilakukan pengukuran skor
kecemasan (post test 2)
Kesimpulan dan saran
Pengolahan data dan analia data
Hasil dan pembahasan
Latihan relaksasi napas dalam dilanjutkan oleh responden secara
mandiri selama 1 minggu. Latihan dilakukan 2 kali sehari selama 10
menit. Peneliti selalu melakukan follow up setiap hari
Setelah 2 minggu, dilakukan pengukuran
skor kecemasan (post test 2)
Pengukuran skor
kecemasan (post test
1) bersamaan dengan
kelompok intervensi
Menentukan besar populasi dari data sekunder (N= 40)
57
E. Variabel Penelitian
1. Identifikasi variabel
Variabel independen atau sering disebut variabel bebas merupakan
variabel yang dapat memengaruhi atau menjadi sebab perubahan pada
variabel dependen. Sedangkan, variabel dependen atau sering disebut
variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
dari adanya variabel independen.
Variabel independen pada kerangka penelitian ini adalah latihan
relaksasi napas dalam, sedangkan variabel dependen adalah skor
kecemasan.
2. Defenisi operasional dan kriteria objektif
Adapun definisi operasional pada penelitian ini adalah relaksasi napas
dalam sebagai variabel independen dan kecemasan sebagai variabel
dependen
a. Relaksasi napas dalam
Relaksasi napas dalam adalah suatu teknik relaksasi sederhana
yang didasarkan pada pernapasan lambat dan dalam, pikiran dan
perasaan yang rileks/tenang. Latihan relaksasi ini dilakukan selama 2
minggu dan prosedurnya diulangi sebanyak 4 kali setiap gerakan serta
dilakukan 2 kali sehari selama kurang lebih 10 menit
Hasilnya dilihat berdasarkan standar prosedur operasional (SOP)
dengan kriteria objektif sebagai berikut:
58
1) Sesuai jika melakukan 10 langkah relaksasi napas dalam
dengan benar
2) Tidak sesuai jika tidak melakukan 10 langkah relaksasi napas
dalam dengan benar
b. Skor kecemasan
Kecemasan adalah perasaan tidak tenang, gelisah, khawatir,
tegang, takut dan berbagai macam kondisi/gejala yang memberi
ketidaknyamanan yang dialami pasien yang menjalani hemodialisis.
Dari berbagai gejala tersebut telah memungkinkan untuk mengukur
keparahan kecemasan. Skor kecemasan dapat diukur menggunakan
kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS) melalui
pemberian skor mulai 0 hingga 4. Kriteria objektif sebagai berikut:
1. Cemas ringan jika nilai kurang dari 17
2. Cemas ringan sampai sedang jika nilai 18-24
2. Cemas sedang sampai berat jika nilai 25-30
3. Cemas sangat berat jika nilai lebih dari 30
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengukur
suatu fenomena yang diamati atau diteliti. Instrumen yang digunakan terlebih
dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya (Sugiyono, 2014). Penelitian ini
menggunakan 5 instrumen yang terdiri atas, lembar observasi kemampuan
responden dalam melakukan latihan relaksasi napas dalam, kuesioner
Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS), lembar data demografi responden,
59
lembar tabulasi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dan panduan pelaksanaan
prosedur relaksasi napas dalam.
1. Lembar observasi kemampuan responden dalam melakukan latihan
relaksasi napas dalam yang diisi oleh peneliti saat pemberian perlakuan.
Pada lembar observasi tersebut diberikan tanda ceklis (√) pada kolom (ya)
apabila prosedur dilaksanaakan atau ceklis (√) pada kolom (tidak) apabila
prosedur tidak dilakukan. Lembar observasi latihan relaksasi napas dalam
ada pada bagian lampiran (lampiran 3)
2. Mengukur skor kecemasan menggunakan skala kecemasan Hamilton
Rating Scale for Anxiety (HARS) (lampiran 4). Skala ini digunakan untuk
mengukur kecemasan yang terdiri dari 14 elemen/parameter. Setiap
elemen terdiri dari beberapa item sesuai dengan gejala pada elemen
tersebut. Kuesioner ini juga terdiri dari gejala psikologis dan somatik,
antara lain: rasa cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, intelektual,
perasaan depresi, gejala somatik (otot), gejala somatic (sensorik),
kardiovaskuler, pernapasan, gejala gastrointestinal, genitourinaria, gejala
otonom, dan perilaku yang diamati saat wawancara (Hamilton, M, 1959).
Setiap item dinilai pada skor numerik mulai dari 0 (tidak ada
gejala), 1 (gejala ringan/mengalami 1 gejala dari pilihan yang ada), 2
(gejala sedang/ mengalami separuh gejala dari pilihan yang ada), 3 (gejala
berat/ mengalami lebih dari separuh gejala dari pilihan yang ada), dan 4
(gejala sangat berat/mengalami semua gejala dari pilihan yang ada) dengan
60
total skor 0-56. Adapun penggolongan total skor sesuai dengan tingkat
keparahan seperti berikut: kurang dari 14 (tidak cemas), 14-20 (kecemasan
ringan), 21-27 (kecemasan sedang), 28-41 (kecemasan berat), dan 42-56
(kecemasan sangat berat/panik). Penggunaan kuesioner HARS ini dengan
cara memberi tanda ceklis (√) pada kolom sesuai dengan perasaan yang
dialami dan membutuhkan waktu pengisian sekitar 15-20 menit untuk
menyelesaikan wawancara dan penilaian (Hamilton, M, 1959).
Sebelum penggunaan kuesioner, dilakukan uji validitas dan
reliabilitas kuesioner tersebut. Sebuah kuesioner dinyatakan valid jika
tidak memiliki nilai Corrected Item-Total Correlation bertanda negatif dan
lebih besar dari 0,05 (>0,05). Uji validitas pada kuesioner HARS
menggunakan pendapat ahli (experts judgement) dan korelasi Pearson
Product Moment dengan bantuan SPSS pada kolom Corrected Item-Total
Correlation. Hasil uji validitas kuesioner HARS menunjukkan bahwa
seluruh item memiliki nilai positif dan lebih besar dari 0,05 dengan
rentang hasil perhitungan yaitu antara 0,208-0,589. Hasil tersebut
membuktikan bahwa kuesioner HARS telah valid dan dapat digunakan
dalam pengukuran kecemasan (Kautsar, Gustopo, & Achmadi, 2015).
Selain uji validitas, dibutuhkan uji reliabilitas sebagai ukuran
kestabilan dan konsistensi suatu kuesioner. Reliabilitas suatu kuesioner
dinayatakan baik jika memiliki nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari
0,60 (>0,60). Hasil uji reliabilitas kuesioner HARS menunjukkan bahwa
seluruh item pada kuesioner memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar
61
0,793. Hasil tersebut membuktikan bahwa kuesioner HARS telah reliabel
dan dapat digunakan dalam pengukuran kecemasan (Kautsar, Gustopo, &
Achmadi, 2015).
Tiap responden memilih satu dari 2 jawaban yang tersedia dengan
memberikan tanda ceklis (√) di kuesioner yang menggunakan skala Likert
yang mempunyai gradasi tidak ada gejala atau ada gejala yang dapat
berupa kata–kata dan diberikan skor seperti berikut:
a. Tidak ada gejala sama sekali diberi skor : 0
b. Ringan/satu gejala dari pilihan yang ada diberi skor : 1
c. Sedang/separuh gejala dari pilihan yang ada diberi skor : 2
d. Berat/lebih dari separuh gejala dari pilihan yang ada diberi skor : 3
e. Sangat berat/semua gejala ada diberi skor : 4
Jawaban responden berupa data ordinal yang diperiksa dan
digolongkan dalam rentang skor kecemasan berupa data interval dengan
kategori cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, dan cemas sangat
berat. Kemudian untuk menentukan skor kecemasan melalui kelas interval
sebagai berikut :
Nilai kurang dari 14 : tidak cemas
Nilai 14-20 : cemas ringan
Nilai 21-27 : cemas sedang
Nilai 28-41 : cemas berat
Nilai 42-56 : cemas sangat berat/panik
Pada penelitian ini, peneliti mengambil nilai kecemasan responden
sesuai total skor tanpa mengkategorikan ke dalam tingkat kecemasan.
Tujuan dari hal tersebut agar peneliti mengetahui perbedaan skor
62
kecemasan sebelum dan setelah perlakuan berupa latihan relaksasi napas
dalam.
3. Lembar data karakteristik responden, seperti: usia, jenis kelamin, lama
menderita penyakit ginjal kronik, lama menjalani hemodialisis, penyakit
penyerta, status pernikahan, tingkat pendidikan terakhir, dan pekerjaan
(Gerogianni & et.al, 2014; Jangkup & et.al, 2015). Mengenai pengukuran
karakteristik responden, peneliti membuat lembaran berisi pertanyaan
mengenai data karakteristik responden (lampiran 5)
4. Lembar kerja prosedur responden untuk diisi responden pada saat
melakukan latihan relaksasi napas dalam secara mandiri. Lembar kerja
tersebut diberikan tanda ceklis (√) apabila langkah prosedur telah
dilakukan (lampiran 8). Untuk membantu pasien dalam melakukan latihan
relaksasi secara mandiri, peneliti menyertakan buku panduan latihan
relaksasi napas dalam sebagai pegangan responden (lampiran 9)
G. Pengolahan dan Analisa Data
Pemilihan populasi yaitu semua pasien menjalani hemodialisis dan tercatat
pada rekam medik Rumah Sakit Universitas Hasanuddin.
Menerapkan total sampling untuk pengukuran kecemasan menggunakan
kuesioner HARS sebagai identifikasi/skrining skor kecemasan (pre test)
terhadap populasi selama 3 hari. Sampel yang terpilih ialah yang
mengalami kecemasan mulai dari cemas ringan hingga cemas berat.
Sampel kemudian diskrining lagi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi
menggunakan teknik simple random sampling dan dibagi menjadi 2
63
kelompok yaitu kelompok kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Setelah itu, peneliti memberikan informed consent pada responden.
Kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa latihan relaksasi napas
dalam, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan. Perlakuan
latihan relaksasi napas dalam dilakukan selama 2 minggu. Pertemuan
pertama dengan responden dilakukan pengukuran kecemasan (pre test),
pertemuan kedua hingga keempat dengan responden kelompok intervensi
sesuai jadwal hemodialisis akan diberikan perlakuan berupa latihan
relaksasi napas dalam sambil didampingi oleh peneliti. Setiap prosedur
latihan relaksasi ini diulangi sebanyak 4 kali setiap gerakan dan dilakukan
2 kali sehari selama kurang lebih 10 menit. Latihan relaksasi napas dalam
diberikan sebelum menjalani hemodialisis dan berselang 2 jam dari
intervensi pertama (pasien sementara menjalani hemodialisis). Jadi,
peneliti mendampingi responden sebanyak 3 kali dalam melakukan latihan
napas dalam.
Dalam 1 minggu jadwal pasien menjalani hemodialisis rata-rata 2-3 kali.
Sehingga, hari dimana pasien tidak menjalani hemodialisis diberikan log
book prosedur latihan relaksasi napas dalam, lembar observasi kemampuan
pasien melakukan latihan relaksasi napas dalam, dan lembar kerja
prosedur yang diisi responden saat dan setelah melakukan latihan napas
dalam.
Setelah pertemuan keempat, pada kedua kelompok dilakukan pengukuran
skor kecemasan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for
64
Anxiety (HARS) untuk nilai post test 1. Setelah itu, responden kelompok
intervensi melakukan latihan relaksasi secara mandiri selama 1 minggu.
Setelah 1 minggu intervensi mandiri, pada kedua kelompok kembali
dilakukan pengukuran skor kecemasan menggunakan kuesioner Hamilton
Rating Scale for Anxiety (HARS) untuk nilai post test 2.
Data yang diperoleh dari hasil pengukuran skor kecemasan sebelum
intervensi (pre test) dan setelah intervensi yaitu post test 1 dan post test 2
dikumpulkan sebagai bahan perbandingan dan dibahas bagaimana
perbedaan skor kecemasan sebelum dan sesudah pemberian latihan
relaksasi napas dalam serta hal-hal yang dapat memengaruhi skor
kecemasan.
Pembahasan tersebut disimpulkan bagaimana hasil perbandingan dari
kedua kelompok tersebut. Selanjutnya, data yang diperoleh diolah melalui
proses selection, editing, scoring, koding, tabulating, dan analisa data.
1. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah melalui tahap-tahap
menurut (Notoadmodjo, 2012) yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan data (Editing)
Langkah ini untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan dari data
yang telah terkumpul dari hasil wawancara atau kuesioner. Apabila ada
data atau informasi yang tidak lengkap dan tidak memungkinkan untuk
wawancara ulang maka kuesioner tersebut dikeluarkan (droup out).
65
b. Pemberian Kode (Coding)
Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka setiap hasil yang
telah diperoleh dapat diberi kode dengan karakter masing-masing.
Hasil skor kecemasan sebelum dan setelah intervensi di beri kode 1
untuk pre test dan kode 2 untuk post test.
c. Pengelompokan Data (Tabulating)
Membuat tabel yang telah diberikan kode sebagai kategori hasil
penelitian kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Pengelompokan data
ke dalam tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki, kemudian data
dianalisa secara statistik. Pada penelitian ini, tabel untuk data tabulasi
dibedakan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (lampiran
6 dan lampiran 7)
d. Memasukkan data (Data Entry)/Proses (Processing)
Hasil wawancara dari responden yang telah diberi kode (angka atau
huruf) dimasukkan ke dalam perangkat lunak/software komputer salah
satunya ialah SPSS. Proses memasukkan data ini membutuhkan
ketelitian jangan sampai terjadi kesalahan yang menyebabkan data
menjadi bias.
e. Pembersihan data (Cleaning)
Setelah data telah selesai dimasukkan, dilakukan proses
pengecekan data untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan
kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya kemudian
dilakukan koreksi. Pembersihan data dilakukan dengan mengetahui
66
data yang hilang (missing), mengetaui variasi data, dan konsistensi
data.
2. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang dilakukan untuk
menjelaskan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya
dalam analisa ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan
persentase dari tiap variabel. Untuk data numerik digunakan nilai mean
atau rata-rata, median dan standar deviasi (Notoadmodjo, 2012). Pada
penelitian ini menganalisis distribusi frekuensi reaponden berdasarkan
karakeristik responden, diantaranya: usia, jenis kelamin, lama
menderita penyakit ginjal kronik, lama menjalani hemodialisis,
penyakit penyerta, status pernikahan, tingkat pendidikan terakhir, dan
pekerjaan responden.
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dalam penelitian ini dimana data statistik sebaran
tidak normal menggunakan uji Mann whitney untuk membandingkan
hasil pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (data numerik
tidak berpasangan). Sedangkan, untuk membandingkan hasil pada 3
kategori dalam 1 kelompok (berpasangan) yaitu pre, post test 1, dan
post test 2 dengan data sebaran tidak normal menggunakan uji
Friedman.
67
H. Etika Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip etik yang
bertujuan untuk melindungi subjek penelitian sesuai dengan pedoman
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (2007) yang meliputi:
1. Respect for persons (Menghormati harkat dan martabat manusia)
Peneliti mempertimbangkan hak responden dalam memperoleh
suatu informasi berdasarkan tujuan peneliti. Selain itu, peneliti juga
memberikan kebebasan kepada responden untuk memberikan
informasi atau tidak. Dalam hal ini, peneliti mempersiapkan formulir
persetujuan responden (informed consent) mengenai manfaat
penelitian latihan relaksasi napas dalam terhadap perubahan skor
kecemasan. Dijelaskan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang
dapat ditimbulkan, manfaat, dan jaminan kerahasiaan identitas dan
informasi yang diberikan kepada responden.
2. Beneficence dan non maleficence (Prinsip etik berbuat baik)
Peneliti mempertimbangkan manfaat dan kerugian/risiko penelitian
yang akan dilakukan. Peneliti mengupayakan manfaat dari latihan
relaksasi napas dalam secara maksimal dan dapat diterapkan oleh
responden (beneficence). Peneliti berusaha meminimalkan dampak
yang merugikan dengan mencegah hal-hal yang dapat membahayakan
responden selama mengikuti latihan relaksasi napas dalam.
68
3. Justice (Prinsip keadilan)
Dalam penelitian ini, perlakuan latihan relaksasi napas dalam pada
kelompok intervensi diberikan pula pada kelompok kontrol.
Responden pada kelompok kontrol diberikan latihan relaksasi napas
dalam setelah pemberian perlakuan pada kelompok intervensi selesai
namun tidak diukur skor kecemasan responden setelah diberikan
latihan tersebut. Latihan relaksasi ini untuk mengatasi kecemasan yang
dialami agar responden dapat merasa senang dengan perlakuan yang
adil seperti pada kelompok intervensi.
69
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pengambilan data primer dalam penelitian ini dilaksanakan mulai tangal
14 November hinga 1 Desember 2017. Pelaksanaannya bertempat di ruang
Hemodialisa Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin (RSP
UNHAS). Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi Experimental
Design dengan rancangan Time Series with Control Group Design. Data
berupa skor kecemasan diperoleh dengan melakukan wawancara kepada
responden menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety
(HARS). Adapun responden dalam penelitian ini ialah pasien penyakit ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis di RSP UNHAS. Populasi sebanyak 40
responden dan digunakan teknik total sampling. Namun, pada screening
kecemasan terdapat 10 responden tidak mengalami kecemasan sehingga
jumlah sampel untuk penelitian sebanyak 30 responden.
Sebelum penelitian dimulai, peneliti terlebih dahulu menjelaskan lembar
penjelasan untuk responden. Apabila responden setuju, diberikan lembar
persetujuan setelah penjelasan (informed consent) untuk ditandatangani.
Responden yang bersedia mengikuti penelitian dibagi ke dalam 2 kelompok
yakni kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dari 30 responden yang
bersedia, 15 responden termasuk kelompok intervensi dan 15 responden
lainnya termasuk kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan latihan
70
relaksasi napas dalam sedangkan kelompok kontrol diberikan latihan napas
dalam setelah penelitian selesai.
Hasil penelitian yang telah didapatkan selanjutnya diolah dan dianalisa
secara univariat dan bivariat. Hasil pengolahan dan analisa data disajikan
dalam bentuk tabel yang meliputi distribusi karakteristik responden, skor
kecemasan sebelum intervensi dan setelah intervensi, serta perbandingan skor
kecemasan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Hasil penelitian
sebagai berikut:
a. Karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, lama menderita PGK, lama menjalani hemodialisis,
status pernikahan, dan penyakit penyerta.
Tabel 5. 1
Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Usia, Lama Menderita PGK, dan
Lama menjalani Hemodialisis di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Universitas
Hasanuddin (n=30)
Karakteristik
Intervensi
(n=15)
Kontrol
(n=15)
Mean±SD Min-maks Mean±SD Min-
maks
Usia (tahun) 42.40±13.032 22-64 45.07±10.787 23-67
Lama menderita PGK
(tahun) 2.67±1.291 1-5 1.67±0.816 1-3
Lama menjalani HD
(tahun) 2±1.069 1-4 1.60±0.737 1-3
Sumber : Data Primer (2017)
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa responden pada kelompok intervensi
memiliki rata-rata usia 42,40 tahun mulai dari usia 22-64 tahun, sementara
pada kelompok kontrol memiliki rata-rata usia 45,07 tahun mulai dari usia
23 tahun hingga 67 tahun. Lama menderita PGK pada kelompok intervensi
rata-rata 2,67 tahun mulai dari 1 tahun hingga 5 tahun, sementara pada
71
kelompok kontrol rata-rata 1,67 tahun mulai 1 tahun hingga 3 tahun. Lama
menjalani hemodialisis pada kelompok intervensi rata-rata 2 tahun mulai 1
tahun hingga 4 tahun sementara pada kelompok kontrol rata-rata 1,6 tahun
mulai dari 1 tahun hingga 3 tahun.
Tabel 5. 2
Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan, Pekerjaan, Status Pernikahan, dan Penyakit Penyerta di Ruang
Hemodialisa Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (n=30)
Karakteristik
Intervensi
(n=15)
Kontrol
(n=15)
n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 6 40 13 86.7
Perempuan 9 60 2 13.3
Tingkat Pendidikan
Menengah (SMP-SMA) 7 46.7 6 40
Tinggi (S1-S2) 8 53.3 9 60
Pekerjaan
Bekerja 11 73.3 8 53.3
Tidak bekerja 4 26.7 7 46.7
Status pernikahan
Menikah 14 93,3 14 93.3
Belum menikah 1 6,7 1 6.7
Penyakit penyerta
Hipertensi 8 53,3 3 20.0
Diabetes mellitus 3 20,0 6 40.0
Sindrom nefrotik 1 6,7 0 0
Asam urat 0 0 2 13.3
Hepatitis B 0 0 2 13.3
Tidak ada 3 20,0 2 13.3
Sumber : Data Primer (2017)
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, lebih dari
setengah responden pada kelompok berjenis kelamin perempuan yaitu 9
orang (60%) dan mayoritas kelompok kontrol berjenis kelamin laki-laki
yaitu 13 orang (86,7%). Pada kriteria tingkat pendidikan kelompok
intervensi dan kelompok kontrol sama-sama berpendidikan tinggi yaitu
72
sebanyak 8 orang (53,3%) pada kelompok intervensi dan pada kelompok
kontrol sebanyak 9 responden (60,0%).
Sebagian besar responden memiliki pekerjaan yaitu sebanyak 11 orang
(73,3%) pada kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol sebanyak 8
orang (53,3%). Sebagian besar responden sudah menikah yaitu masing-
masing sebanyak 14 orang (93,3%) pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Penyakit penyerta sebagian besar menderita hipertensi
pada kelompok kontrol yaitu sebanyak 8 orang (53,3%) dan pada
kelompok kontrol sebagian besar menderita diabetes mellitus dengan
jumlah 6 orang (40%).
b. Analisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis
sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok kontrol
dan kelompok intervensi
Tabel 5.3
Distribusi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis sebelum
diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin (n=30)
Skor Kecemasan
Kelompok Mean SD Min-Maks IK 95% P
Intervensi 35 7.407 23-46 30.90 0.30
Kontrol 29.53 5.514 21-40 26.48
Uji Independent sampel t-test
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa skor kecemasan pada kelompok
intervensi sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam mendapatkan
nilai mean sebesar 35 sedangkan pada kelompok kontrol mendapatkan
nilai mean sebesar 29,53.
73
c. Analisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis
setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi
Tabel 5.4
Distribusi skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis setelah diberikan
latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin (n=30)
Skor Kecemasan
Kelompok Mean SD Min-Maks IK 95% P
Intervensi 1.40 1.682 0-5 0.47 0.001
Kontrol 26.07 3.731 19-31 24
Uji Independent sampel t-test
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa skor kecemasan pada kelompok
intervensi setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam mendapatkan
nilai mean sebesar 1,40 sedangkan pada kelompok kontrol mendapatkan
nilai mean sebesar 26,07.
d. Analisis perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis
sebelum (pre), setelah 1 minggu (post 1), dan setelah 2 minggu (post 2)
diberikan intervensi latihan relaksasi napas dalam
Tabel 5.5
Hasil analisis perbedaan rerata skor kecemasan pada kelompok intervensi dan
kelompok ontrol sebelum (pre), setelah 1 minggu (post 1), dan setelah 2 minggu
(post 2) diberikan intervensi latihan relaksasi napas dalam (n=30)
Kelompok Mean SD Mean
SE
Min-
Maks Median P
Intervensi
Pre test 35 7.407 1.912 23-46 36
0.001* Post test 1 7.27 4.317 1.115 1-17 6
Post test 2 1.4 1.682 0.434 0-5 1
Kontrol
Pre test 29.53 5.514 1.424 21-40 30
0.019* Post test 1 26.07 4.621 1.193 17-31 29
Post test 2 26.07 3.731 0.963 19-31 27
*Uji Friedman
74
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa skor kecemasan setelah latihan
relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi terjadi perubahan dimana
terjadi penurunan skor kecemasan sebesar 33,6. Sebelum intervensi
didapatkan skor kecemasan sebesar 35 dan setelah intervensi skor
kecemasan menjadi 1,4. Hasil uji Friedman test nilai p 0,000<α=0,05
berarti terdapat perbedaan yang signifikan skor kecemasan setelah
diberikan intervensi latihan relaksasi napas dalam.
Kelompok kontrol juga mengalami penurunan skor kecemasan namun
penurunannya tidak sesignifikan seperti kelompok intervensi. Pada
kelompok kontrol terjadi penurunan skor kecemasan sebesar 3,46 dimana
sebelum dilakukan intervensi pada kelompok intervensi didapatkan skor
kecemasan sebesar 29,53 dan mengalami penurunan setelah 2 minggu
yaitu sebesar 26,07. Hasil uji Friedman test nilai p 0,019<α=0,05 berarti
terdapat pula perbedaan skor kecemasan pada kelompok kontrol meskipun
tidak diberikan latihan relaksasi napas dalam. Namun, dapat disimpulkan
dari hasil keseluruhan bahwa latihan relaksasi napas dalam lebih
berpengaruh terhadap penurunan skor kecemasan.
75
e. Perbedaan selisih skor kecemasan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam
Tabel 5.6
Hasil analisis perbedaan selisih skor kecemasan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada pasien yang
menjalani hemodialisis di RSP UNHAS (n=30)
Kelompok Selisih
mean SD
Selisih
median Min-Maks P
Intervensi 33.6 1.682 35 0-5 0.001*
Kontrol 3.46 3.731 3 19-31
*Uji Mann Whitney
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa hasil selisih median skor kecemasan
setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi
sebesar 35 (SD=1.682) sedangkan kelompok kontrol sebesar 3
(SD=3.731). Dari hasil pengolahan data dengan uji Mann Whitney
diperoleh nilai p=0.000<α=0.05. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh latihan relaksasi napas dalam
terhadap perubahan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
76
B. Pembahasan
1. Perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis
sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor kecemasan sebelum
diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi
mendapatkan nilai mean sebesar 35 (SD=7.407) dan min-maks yaitu 23-46
serta IK 95% 30.90 sedangkan pada kelompok kontrol mendapatkan nilai
mean sebesar 29,53 (SD=5.514) dan min-maks yaitu 21-40 serta IK 95%
26.4. Hasil tersebut menunjukkan responden baik kelompok kontrol
maupun kelompok intervensi memiliki skor kecemasan yang tinggi.
Menurut Asmadi (2008) dan Stuart (2013) faktor yang ikut
memengaruhi pasien hemodialisis merasa cemas, seperti: ancaman
kehilangan harga diri, ancaman kehilangan status/peran diri, dan tidak
memperoleh pengakuan dari orang lain. Dari segi fisik, seseorang yang
mengalami kecemasan cenderung mengakibatkan peningkatan saraf
simpatis yang berdampak pada perubahan hemodinamik, seperti:
peningkatan tekanan darah, mempercepat denyut jantung, meningkatkan
ketegangan otot, dan keringat berlebihan. Gejala ini disebabkan oleh
meningkatnya kerja otak akibat pikiran-pikiran yang terlalu banyak dan
tidak pasti sehingga menjadikan kerja otot-otot pernapasan dikendalikan
oleh otak yang tidak stabil dan kemudian mengakibatkan napas terengah-
engah sehingga penyerapan oksigen dari luar tubuh dan pembentukan
77
karbondioksida dalam tubuh menjadi tidak maksimal (Smeltzer & G.Bare,
2001; Handoyo, 2002).
Selain itu, hasil penelitian Luana,et.al. (2012) menunjukkan bahwa
peningkatan kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialisis
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan,
dan tingkat pendidikan. Mereka biasanya menghadapi masalah finansial
dan kesulitan mempertahan pekerjaan sehingga hal tersebut menyebabkan
perubahan gaya hidup mereka terhadap keluarga (Smeltzer & G.Bare,
2001). Penelitian Sarsito (2015) dengan judul “Pengaruh Guide Imagery
terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien Hemodialisa di RS PKU
Muhammadiyah Surakarta” menunjukkan hasil bahwa sebelum diberikan
intervensi guide imagery, pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 30
orang mayoritas cemas mulai dari cemas ringan hingga cemas berat.
Penelitian ini tidak memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Kecemasan sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam
dapat dikategorikan masih tinggi dengan dengan rata-rata berada pada
kecemasan sedang hingga kecemasan sangat berat/panik. Hasil pre test
(sebelum intervensi) yang diperoleh pada kelompok intervensi
menunjukkan bahwa terdapat 3 orang mengalami cemas sedang, 9 orang
mengalami cemas berat, dan 3 orang mengalami cemas sangat berat/panik.
Sedangkan, pada kelompok kontrol terdapat 6 orang mengalami cemas
sedang dan 9 orang mengalami cemas berat.
78
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti, kecemasan yang dialami
pasien yang menjalani hemodialisis disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor yang menjadi penyebab kecemasan, seperti: memikirkan pekerjaan,
keluarga, bahkan ada yang tidak mengenali gejala kecemasan yang
dirasakan. Dampak dari kecemasan yang dialami ialah menyebabkan
mereka mengalami gangguan tidur, susah berkonsentrasi, merasa
ketakutan, susah mengatur pola pernapasan, merasa gelisah serta tidak
dapat merilekskan tubuh.
2. Perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis
setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor kecemasan pada
kelompok intervensi setelah diberikan latihan relaksasi napas dalam
mendapatkan nilai (mean) dari 35 menjadi 1,40 setelah intervensi dengan
nilai min-maks yaitu 0-5. Sedangkan, pada kelompok kontrol
mendapatkan nilai mean sebesar 29.53 menjadi 26,07 dengan nilai min-
maks yaitu 19-31. Hasil penelitian ini memperlihatkan nilai p=0.000 atau
p<0.05 berarti ada pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap
perubahan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis di RSP
Universitas Hasanuddin. Data ini menunjukkan penurunan skor kecemasan
yang signifikan pada kelompok intervensi dibanding kelompok kontrol
yang hanya mengalami sedikit penurunan mean skor kecemasan. Namun
79
demikian, hasil yang diperoleh bahwa ternyata skor kecemasan menurun
lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki (lampiran 7).
Intervensi latihan relaksasi napas dalam ini mengacu pada teori yang
ada bahwa relaksasi napas dalam berpengaruh terhadap peregangan
kardiopulonari dan memicu peningkatan refleks baroreseptor yang dapat
merangsang saraf parasimpatis dan menghambat saraf simpatis. Saraf
parasimpatis menurunkan dan menaikkan semua fungsi yang dinaikkan
dan diturunkan oleh saraf simpatis, seperti: dilatasi pembuluh darah
(arteri), melancarkan peredaran darah, dan memungkinkan terjadinya
peningkatan oksigen ke semua jaringan tubuh (Purwanto, 2006). Sehingga,
dari relaksasi napas dalam menstimulasi reseptor saraf parasimpatis
mengalami peningkatan aktivitas sementara saraf simpatis mengalami
penurunan aktivitas pada kemoreseptor (Rice, 2006).
Penelitian lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu penelitian
Gea (2014) dengan judul “Pengaruh Relaksasi Nafas Dalam terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD Kota Bekasi”
menunjukkan hasil dari 30 responden yang mengalami kecemasan
sebelum diberikan latihan relaksasi napas dalam mengalami penurunan
setelah intervensi. Hasil analisa menunjukkan tingkat kecemasan terbesar
berada pada kecemasan sedang sebanyak 21 orang (70%) sedangkan,
setelah intervensi latihan relaksasi napas dalam tingkat kecemasan terbesar
berada pada kecemasan ringan sebanyak 21 orang (21 orang). Hasil uji
Paired T-test diperoleh nilai p=0.000 dimana p<0.05 yang berarti ada
80
pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap penurunan tingkat
kecemasan pasien pre operasi.
Hasil penelitian ini sendiri memperlihatkan hasil bahwa setelah
diberikan latihan relaksasi napas dalam selama 1 minggu, pasien
hemodialisis yang tergolong termasuk kelompok intervensi sudah mulai
merasa tenang, pola napas menjadi lebih efektif, dan gangguan tidur yang
dialami sudah mengalami penurunan. Mereka yang selama ini merasa
cemas, gelisah, memiliki suasana hati yang tidak tenang dapat merasakan
perubahan yang jauh lebih baik dan mengalami penurunan skor
kecemasan.
Hasil post test 1 kelompok intervensi pada minggu pertama setelah
diberikan latihan napas dalam sudah menunjukkan hasil yang signifikan.
Responden yang mengalami kecemasan sangat berat pun masih dapat
diberikan latihan relaksasi napas dalam. Mereka bahkan tidak menyadari
bahwa sedang merasakan kecemasan yang sangat berat. Namun demikian,
semua responden pada kelompok intervensi mengalami penurunan skor
kecemasan dari cemas sangat berat/panik menjadi cemas ringan bahkan
ada yang tidak cemas. Responden yang mengalami kecemasan ringan
sebanyak 2 orang dan tidak cemas sebanyak 13 orang. Penurunan skor
kecemasan terus berlanjut hingga post test 2 pada kelompok intervensi.
Hasil yang diperoleh menunjukkan semua responden pada kelompok
intervensi tidak mengalami kecemasan setelah diberikan latihan relaksasi
napas dalam selama 2 minggu.
81
Penurunan skor/tingkat kecemasan yang dialami responden pada
kelompok intervensi tersebut dikarenakan latihan relaksasi napas dalam
yang dilakukan secara rutin. Latihan relaksasi napas dalam dilakukan
setiap hari selama 2 minggu dengan frekuensi 2 kali sehari dan durasi
sekitar 10 menit setiap sesi latihan. Responden merasakan perubahan yang
besar dibanding keadaan sebelum melakukan latihan relaksasi napas
dalam. Latihan relaksasi napas dalam dilakukan dalam keadaan fokus,
konsentrasi, dan suasana tenang dapat membuat hati lebih damai, pikiran
dan perasaan lebih tenang, serta tubuh menjadi lebih rileks.
Tingkat kecemasan yang diperoleh pada kelompok intevensi berbeda
dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi. Pada kelompok
kontrol diperoleh hasil yang tidak menunjukkan penurunan skor
kecemasan secara signifikan. Kelompok kontrol masih memiliki rata-rata
tingkat kecemasan ringan hingga berat selama 2 minggu penelitian. Pada
post test 1 diperolah hasil 2 orang mengalami kecemasan ringan, 5 orang
mengalami kecemasan sedang, dan 8 orang mengalami kecemasan berat.
Sedangkan, hasil post test 2 diperoleh hasil 2 orang mengalami kecemasan
ringan, 7 orang mengalami kecemasan sedang, dan 6 orang mengalami
kecemasan berat. Hasil ini memperlihatkan kondisi kecemasan yang
dirasakan responden pada kelompok kontrol dengan faktor penyebab
seperti pada sebelum intervensi, misalnya: faktor pekerjaan, kondisi
ekonomi, dan faktor penyebab lainnya.
82
3. Perbedaan skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis
sebelum, setelah 1 minggu, dan setelah 2 minggu pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol setelah diberikan intervensi latihan
relaksasi napas dalam
Hasil penelitian pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
didapatkan adanya perbedaan hasil yang cukup signifikan. Kelompok
intervensi yang diberikan latihan relaksasi napas dalam selama 2 minggu
berturut-turut selama 2 kali sehari dengan durasi 5 menit memperlihatkan
mean skor kecemasan 1.4 di minggu kedua sebagai akhir pengukuran
kecemasan (post 2) dengan nilai p=0.000 sedangkan kelompok kontrol
memiliki skor kecemasan 26.07 pada minggu kedua (post 2) dengan nilai
p=0.019. Dari hasil penelitian terlihat jelas perbedaan mean kedua
kelompok pada setiap pengukuran kecemasan.
Kelompok intervensi menunjukkan mean sebelum intervensi (pre test)
yaitu 35 kemudian mengalami penurunan mean pada minggu 1 (post test
1) yakni 7.27 dan pada minggu kedua (post test 2) mean semakin
mengalami penurunan menjadi 1.4. Hal ini berbeda dengan kelompok
kontrol yang memiliki mean skor kecemasan pada pre test yaitu 29.53
menjadi 26.07 pada minggu pertama (post test 1) dan tetap pada minggu
kedua (post test 2). Kelompok intervensi mengalami penurunan skor
kecemasan sedangkan kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan
napas dalam hanya mengalami penurunan skor yang tidak signifikan
83
karena mengalami kondisi kecemasan yang tidak stabil atau kadang
meningkat dan kadang menurun.
Data tersebut diperoleh menggunakan uji Friedman dengan alasan
hasil uji normalitas data sebelumnya diperoleh data tidak berdistribusi
normal. Data numerik seperti pada penelitian ini dengan kategori lebih dari
2 dalam kelompok yang sama (berpasangan) yakni pre test, post test 1, dan
post test 2 menggunakan uji Friedman. Sedangkan data yang memiliki
distribusi normal pada kelompok yang sama menggunakan uji Repeated
ANOVA.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sari (2017) dengan judul
“Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan
Pasien Praoperatif” dengan jumlah sampel 12 orang. Rerata kecemasan
sebelum diberikan teknik relaksasi dan sesudah diberikannya teknik
relaksasi pada kelompok intervensi adalah sebesar 1.167 dengan standar
deviasi 0.408 dengan hasil uji statistik didapatkan nilai p value 0.001.
Sedangkan, rerata kecemasan pada kelompok kontrol sewaktu diobservasi
adalah sebesar 0,333 dengan standar deviasi 0,516 dengan hasil uji
statistik didapatkan nilai p value 0.175. Artinya ada perbedaan yang
signifikan antara cemas sebelum diberikan teknik relaksasi dengan
sesudah diberikan latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi
dan tidak signifikan antara cemas sebelum dan sesudah dilakukannya
observasi ulang pada kelompok kontol,
84
Latihan relaksasi napas dalam merupakan suatu gaya pernapasan yang
pada dasarnya lambat (menahan inspirasi secara maksimal), dalam, dan
rileks yang memungkinkan seseorang merasa lebih tenang (Townsend,
2012). Selain itu, teknik napas dalam dengan menghembuskan napas
secara perlahan, dengan melibatkan gerakan sadar abdomen bagian bawah
(daerah perut) untuk meningkatkan oksigenasi dalam darah, meningkatkan
ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasis paru,
meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi stres baik (National Safety
Council,2007).
Teori lain menurut Kushariyadi, Smeltzer & Bare (2007) bahwa
latihan relaksasi napas dalam dalam memiliki suatu kelebihan untuk
mengurangi kecemasan, stres baik fisik maupun emosional,
menghilangkan nyeri, dan insomnia. Relaksasi napas dalam cukup efektif
untuk memunculkan keadaan tenang dan rileks, dimana gelombang otak
mulai melambat dan pada akhirnya membuat seseorang dapat beristirahat
dengan tenang.
Hasil analisis peneliti sendiri sesuai penelitian yang dilakukan bahwa
skor kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis sebelum diberikan
intervensi memiliki perbedaan yang sangat signifikan jika dibandingkan
dengan hasil skor kecemasan setelah 1 minggu diberikan intervensi dan
setelah 2 minggu intervensi latihan relaksasi napas dalam pada kelompok
intervensi. Hal tersebut terlihat dari hasil wawancara menggunakan
kuesioner kecemasan yakni Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS).
85
relaksasi. Hasil skor kecemasan yang terjadi pada kelompok kontrol
berbeda dengan hasil skor kecemasan pada kelompok kontrol yang tidak
diberikan intervensi latihan relaksasi napas dalam. Skor kecemasan yang
diperoleh dari kedua kelompok ini atas dasar perbedaan diberikannya
intervensi dan tidak diberikan intervensi.
Adanya pengaruh latihan relaksasi napas dalam pada kelompok
intervensi menyebabkan penurunan skor kecemasan yang juga dapat
dilihat pada tingkat kecemasan yang telah dibahas pada poin sebelumnya.
Pasien yang menjalani hemodialisis mengungkapkan bahwa mereka sangat
puas setelah melakukan latihan relaksasi napas dalam. Hal ini dikarenakan
hal-hal yang membuat mereka cemas sebelumnya kini dapat dikurangi dan
mampu membawa diri lebih rileks. Namun demikian, responden yang
termasuk kelompok kontrol belum merasakan adanya penurunan skor
kecemasan karena mereka tidak melakukan latihan relaksasi napas dalam
seperti kelompok intervensi. Hasilnya pun tidak mengalami penurunan
skor kecemasan secara sgnifikan selama 2 minggu penelitian.
4. Perbedaan selisih skor kecemasan antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol setelah diberikan intervensi latihan relaksasi napas
dalam
Hasil penelitian pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
setelah latihan relaksasi napas dalam memiliki perbedaan yang cukup
signifikan. Hasil nilai skor kecemasan setelah intervensi latihan relaksasi
napas dalam antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol didapatkan
86
hasil nilai selisih mean skor kecemasan setelah intervensi latihan relaksasi
napas dalam pada kelompok intervensi sebesar 33.6 (SD=1.682), min-
maks 0-5. Hasil uji Mann Whitney diperoleh nilai p 0.000<α=0.05
sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan penurunan skor
terhadap pemberian intervensi latihan relaksasi napas dalam sedangkan
pada kelompok kontrol setelah intervensi hasil selisih mean skor
kecemasan sebesar 3.46 (SD=3.731) artinya terjadi penurunan skor
kecemasan namun tidak seperti kelompok intervensi yang mengalami
penurunan secara signifikan.
Beberapa responden khususnya pada kelompok kontrol memiliki
kondisi kecemasan yang tidak stabil karena banyak hal. Salah satunya
ialah cemas terhadap pekerjaan. Dari hasil wawancara peneliti terhadap
beberapa responden, mayoritas responden yaitu sebanyak 25 responden
memiliki pekerjaan sebelum menjalani hemodialisis namun karena kondisi
kesehatan yang tidak memungkinkan, mereka terpaksa berhenti dari
pekerjaan. Responden pada kelompok intervensi memiliki penurunan
kecemasan terhadap pekerjaan mereka namun responden pada kelompok
kontrol masih memilikikecemasan terhadap pekerjaan mereka.
Hasil penelitian Hidayat & Ekaputri (2015) melalui metode wawancara
menunjukkan responden yang tidak diberikan latihan relaksasi napas
dalam cenderung merasa cemas, gelisah, atau khawatir terhadap kondisi
yang dialami. Terlebih ketika mereka memikirkan setiap pekerjaan dan
kebutuhan finansial mereka sehari-hari. Selain kondisi ekonomi,
87
responden juga mengalami peningkatan kecemasan ketika terjadi masalah
pada kondisi medis/fisik mereka, seperti: sesak, gatal-gatal, dan kram otot
akibat dari hemodialisis yang dijalani.
Penelitian ini juga diperoleh hasil selisih yang signifikan antara
kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah diberikan intervensi
latihan relaksasi napas dalam pada kelompok intervensi. Hasil yang
diperoleh menunjukkan hasil bahwa latihan relaksasi napas dalam
memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penurunan skor kecemasan
pasien yang menjalani hemodialisis. Hal ini juga terlihat dari hasil
wawancara dengan responden setelah penelitian. Mereka yang tergolong
kelompok intervensi merasa lebih tenang, lebih rileks, mampu mengatur
pola pernapasan dengan baik, dan bahkan yang sebelumnya mengalami
gangguan tidur dapat kembali merasakan tidur yang berkualitas setelah
melakukan latihan relaksasi npaas dalam.
C. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini ialah responden yang menjalani hemodialisis
hanya 2-3 kali seminggu sehingga latihan relaksasi napas dalam pada
kelompok intervensi hanya dapat didampingi saat menjalani hemodialisis saja.
Waktu dimana responden tidak menjalani hemodialisis hanya di follow up
peneliti melalui telepon. Sehingga, peneliti tidak dapat memastikan langkah-
langkah latihan relaksasi napas dalam yang dilakukan responden sudah tepat
atau tidak.
88
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian mengenai pengaruh latihan relaksasi napas dalam terhadap
perubahan skor kecemasan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Skor kecemasan pada kedua kelompok hampir sama sebelum diberikan
latihan relaksasi napas dalam
2. Skor kecemasan pada kelompok intervensi lebih kecil setelah diberikan
latihan relaksasi napas dalam dibanding kelompok kontrol
3. Skor kecemasan sebelum dan setelah diberikan latihan relaksasi napas
dalam berbeda secara signifikan yaitu kelompok intervensi mengalami
penurunan kecemasan lebih besar dibanding kelompok kontrol
4. Latihan relaksasi napas dalam berpengaruh terhadap penurunan skor
kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis
B. Saran
1. Bagi instansi pelayanan kesehatan
Diharapkan latihan relaksasi napas dalam dapat dijadikan salah satu
standar operasional prosedur (SOP) dalam pemberian asuhan keperawatan
pasien yang menjalani hemodialisis khususnya bagi mereka yang
mengalami masalah psikologis.
89
2. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan dapat dipertimbangkan sebagai evidence based practice
bagi pelajar sehingga dijadikan sumber ilmu atau referensi baru demi
menambah wawasan dalam intervensi mandiri keperawatan.
3. Peneliti selanjutnya
Diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan meneliti
variabel yang belum diteliti, seperti: hubungan usia, lama menderita
penyakit ginjal kronik, lama menjalani hemodialisis, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, status penikahan, dan penyakit penyerta terhadap
kecemasan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
90
DAFTAR PUSTAKA
Aguirre, A. J., Basgoz, N., Bazari, H., Bhattacharya, R. P., Cohen, L. J.,
Crevensten, G. C., et al. (2011). Pocket Medicine. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
American Psycological Association. (2008). Anxiety Disorders: The Role of
Psychotherapy in Effective Treatment. Amerika.
Andri. (2013). Gangguan Psikiatrik pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik. CDK-
203, 40, 257-259.
Aprianto, D., Kristiyawati, S. P., & Ch.Purnomo, E. (2013, Mei). Efektifitas
Teknik Relaksasi Imajinasi Terbimbing dan Nafas Dalam terhadap
Penurunan Kecemasan pada Pasien Pre Operasi.
Arifin, Z. (2008). Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah (4 ed.). Jakarta: Grasindo.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi
Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Aziz, M., J.Witjaksono, & Rasjidi, I. (2008). Panduan Pelayanan Medik: Model
Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal .
Jakarta: EGC.
Bakta, I. M., & Suastika, I. K. (2014). Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta: EGC.
Baradero, M., Dayrit, M. W., & Siswadi, Y. (2008). Klien Gangguan Ginjal: Seri
Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Barbara Kozier, et.al. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik (7 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Baughman, D. C., & Hackley, J. C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku
Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC .
Brunner, & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., & et.al. (2013). Nursing Intervention Classification (6 ed.).
Yogyakarta: Moco Media.
91
Cahyaningsih, N. D. (2009). Hemodialisis (Cuci Darah): Panduan Praktis
Perawatan Gagal Ginjal. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien (3 ed.). Jakarta: EGC.
D'silva, F., H., V., & Muninarayanappa, N. (2014, March). Effectiveness Of Deep
Breathing Exercise (DBE) on The Heart Rate Variability, BP, Anxiety &
Depression of Patients With Coronary Artery Disease. Nitte University
Journal of Health Science, 4, 35-41.
Fresenius Medical Care. (2010). ESRD Patients in 2010 A Global Perspective.
Germany.
Fresenius Medical Care. (2012). ESRD Patients in 2012 A Global Perspective.
Germany.
Fresenius Medical Care. (2013). ESRD Patients in 2013 A Global Perspective.
Germany.
Gea, N. K. (2013). Pengaruh Relaksasi Napas Dalam terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD Kota Bekasi.
Gerogianni, S., & et.al. (2014). Concerns of Patients on Dialysis: A Research
Study. Health Science Journal, 8(4), 426-430.
Gloria M. Bulecheck,et.al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC) (6
ed.). Singapore: Mocomedia.
Guidelines for Medical Record. (2014). Deep Breathe and Cough. UTMB
Respiratory Care Services.
Hamilton, M. (1959). The Assessment of Anxiety States by Rating. British
Journal of Medical Psychology, 50-55.
Handoyo, A. (2002). Panduan Praktis Aplikasi Olah Napas . Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Hargyowati, Y. E. (2016). Tingkat Kecemasan Pasien yang dilakukan tindakan
hemodialisa di ruang hemodialisa RSUP Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
Hayat, A. (2014, Januari-Juni). Kecemasan dan Metode Pengendaliannya.
Khazanah, XII, 59-60.
92
Hidayat, A. Y., & Ekaputri, Y. S. (2015, November). Penerapan TekniK Napas
Dalam pada Pasien Diagnosis Keperawatan Ansietas dengan Diabetes
Melitus serta Tuberculosis Paru di Ruangan Umum RSMM Bogor. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 3, 91-93.
Indonesian Renal Registry. (2015). Annual Data of Report. Retrieved September
6, 2017, from Indonesian Renal Registry:
www.indonesianrenalregistry.org
INFODATIN. (2014). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI:
Mother's Day. Jakarta.
Irem Huzmeh,et.al. (2016). Effects of Physiotherapeutic Exercises on Quality of
Life ın Patients with Chronic Kidney Disease. Journal of Clinical
Nephrology and Research, 3, 1048.
Isselbacher, et.al. (2000). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam (13 ed.).
Jakarta: EGC.
Isselbacher, K. J., E.Braunwald, Wilson, J. D., Martin, J. B., Fauci, A. S., &
Kasper, D. L. (2013). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam (13
ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.
Jangkup, J. Y., & et.al. (2015, Januari-April). Tingkat Kecemasan pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang Menjalani Hemodialisis diI BLU
RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), 3, 600-604.
Kautsar, F., Gustopo, D., & Achmadi, F. (2015). Uji Validitas dan Reliabilitas
Hamilton Rating Scale for Anxiety terhadap Kecemasan dan Produktivitas
Pekerja Visual Inspection PT. Widatra Bhakti. Institut Teknologi Nasional
Malang, Malang.
Kemenkes RI. (2016). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Bakti Husada.
Lee, J. (2008, September). Coping with Anxiety and Panic Attacks:Some
Cognitive-Behavioural Self-Help Strategies. Retrieved September 8, 2017,
from https://www.ntu.ac.uk
Lewis, Heitkemper, B., & Harding. (2017). Medical Surgical Nursing:
Assessment and Management of Clinical Problems (10 ed.). Amerika
Serikat: Elsevier.
Maramis, W. F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (9 ed.). Surabaya:
Airlangga University Press.
93
Marlina, & Andika. (2013, Desember). Hubungan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kecemasan dengan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal
Ginjal Kronik Selama Menjalani Terapi Hemodialisis. Jurnal
Keperawatan dan Kebidanan, 1, 523-533.
Marsh, L. (2015). Anxiety and Panic Attacks. Retrieved September 9, 2017, from
mind anxiety panic web: mind.org.uk
NA, L., Panggabean, S., Lengkong, J. V., & Christine, I. (2012). Kecemasan pada
Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RS
Universitas Kristen Indonesia. M. Med Indones, 46, 151-155.
Notoadmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, Dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
O'Brien, P. G., Kennedy, W. Z., & Ballard, K. A. (2013). Psychiatric Mental
Health Nursing: An Introduction to Theory and Practice (2 ed.). Amerika
Serikat: Jonesand Bartlett Learning.
Pemerintah Kabupaten Bulukumba. (2016). Profil Daerah Kabupaten Bulukumba.
Retrieved Juli 30, 2017, from www.bulukumbakab.go.id
PERNEFRI. (2015). Konsensus Dialisis Perhimpunan Nefrologi Indonesia .
Jakarta.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik (4 ed.). Jakarta: EGC.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (6 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Profil Kesehatan Indonesia. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.
Purba, J. S. (2006). Peran Neuroendokrin pada Depresi (Vol. 19). Jakarta: Dexa
Media.
Purwanto, S. (2006). Relaksasi dzikir. Jurnal psikologi Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Raharjo, R. (2009). Kumpulan Kuliah Farmakologi (2 ed.). Jakarta: EGC.
94
Rahmah, A. (2016). Kecemasan Pasien dan Dukungan Keluarag pada Penderita
Kanker Serviks. Psikoborneo, 4, 819-828.
Rice, L. B. (2006). Relaxation Training & Its Role in Diabetes & Health.
Retrieved September 6, 2017, from Journal Online: http://myhealth.gov
Rickard, et.al. (2014). Breathing Techniques Associated with Improved Health
Outcomes. (V. H. e-Repository, Producer) Retrieved September 6, 2017,
from http://hdl.handle.net/10755/558648
RISKESDAS. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013.
Rosdiana, I., Yetty, K., & Sabri, L. (2014, July). Kecemasan dan Lamanya Waktu
Menjalani Hemodialisis Berhubungan dengan Kejadian Insomnia pada
Pasien Gagal Kronik. Jurnal Keperawatan Indonesia, 17, 39-37.
Rusli, H. M., Muthiah, S., & Hasbiah. (2015). Fisioterapi Respirasi. Makassar:
Departemen Fisioterapi Universitas Hasanuddin.
Sari, F. S. (2017, April). Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan Pasien Pra Operatif. Menara Ilmu, XI.
Sarsito. (2015). Pengaruh Guide Imagery terhadap Tingkat Kecemasan pada
Pasien Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Surakarta.
Sellakumar, G. K. (2015, May). Effect of Slow-Deep Breathing Exercise to
Reduce Anxiety Among Adolescent School Students in A Selected Higher
Secondary School in Coimbatore, India. Journal of Psychological and, 23,
54-72.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A., Simadibrata, M., Setiyahadi, B., & Syam, A.
(2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2010). Brunner & Suddarth's Texbook of Medical-
Surgical Nursing (12 ed., Vol. 1). American.
Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Stuart, G. (2007). Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
95
Stuart, G. W. (2013). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (10 ed.).
Amerika Serikat: Elseiver.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi
(Mixed Method). Yogyakarta: Alfabeta.
Suharyanto, T., & Madjid, A. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Medika.
Suliswati, et.al. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
EGC.
Tanyi, R., Werner, J. S., Recine, A. G., & Sperstad, R. (2006). Perceptions of
Incorporating Spiritually Into Their Care: A Phenomenological Study of
Female patients on Hemodialysis. Nephrology Nursing Journal, 532-540.
Tokala, B. F., Kandou, L. F., & Dundu, A. E. (2015, Januari-April). Hubungan
Antara Lamanya Menjalani Hemodialisis dengan Tingkat Kecemasan pada
Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic (eCl), 3, 402-406.
Townsend, M. C. (2012). Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care
in Evidence-Based Practice (7 ed.). America: Davis Plus.
Tusaie, K. R., & Fitzpatrick, J. J. (2017). Advanced Practice Psychiatric Nursing
(2 ed.). Amerika Serikat: Springer Publishing Company.
UNICEF Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.
Vasilopoulou, C., & et.al. (2016). The Impact of Anxiety and Depression on the
Quality of Life of Hemodialysis Patients. Global Journal of Health
Science, 8, 47-52.
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Wang, L. J., & Chen, C. K. (2012). The Psychological Impact of hemodialysis on
paients with crhonic renal failure. in: Polenakovic, M. (ed). Renal
Failure-The Facts. In Tech. Retrieved from
http://www.intechopen.com/books/renal-failure-the-facts/the-
psychological-impact-of-hemodialysis-on-patients-with-chronic-renal-
failure.
Wang, L.-J., & Chen, C.-K. (2012). The Psychological Impact of hemodialysis on
paients with crhonic renal failure. in: Polenakovic, M. (ed). Renal
Failure-The Facts. In Tech. Retrieved September 5, 2017, from
96
http://www.intechopen.com/books/renal-failure-the-facts/the-
psychological-impact-ofhemodialysis-on-patients-with-chronic-renal-
failure
Widyastuti, P. (2003). Manajemen Stres: National Safety Council. Jakarta: EGC.
Widyastuti, P., & Yulianti, D. (2003). Manajemen Stres. Jakarta: EGC.
Yenny, & Herwana, E. (2006, Oktober-Desember). Prevalensi penyakit kronis dan
kualitas hidup pada lanjut usia di Jakarta Selatan. 25.
Young, et.al. (2011, January). Coping with Panic. Retrieved September 9, 2017,
from Anxiety and Panic: http:www.cpft.nhs.uk/psychology
Zhang, M., & et.al. (2014, July). Relation Between Anxiety, Depression and
Physical Activity and Performance in Maintenance Hemodialysis Patients.
24, 6-9.
97
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Penjelasan untuk Responden
Assalamu’alaikum wr.wb, Saya Novita Nipa, NIM: C12114316 Mahasiswa
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
akan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Latihan Relaksasi Napas
Dalam terhadap Perubahan Skor Kecemasan Pasien Penyakit Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin”. Saya akan memberikan latihan relaksasi napas dalam pada
Bapak/Ibu yaitu dengan cara bernapas secara dalam, lambat dan rileks. Manfaat
dari relaksasi ini adalah untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan dan
membuat tubuh menjadi lebih rileks atau tenang.
Pada pertemuan pertama, Bapak/Ibu akan diberikan kuesioner kecemasan
untuk skrining kecemasan (pre test). Pertemuan kedua, saya akan memberikan
relaksasi sebanyak 2 kali yaitu pada saat sebelum menjalani hemodialisis dan 2
jam berselang dari sebelum menjalani hemodialisis (pasien sementara menjalani
hemodialisis). Setiap intervensi diberikan selama 10 menit. Latihan relaksasi
napas dalam akan diberikan selama 3 hari yaitu pertemuan ke-2, ke-3, dan ke-4
sesuai jadwal hemodialisis dan didampingi peneliti. Dihari responden tidak
menjalani hemodialisi,s diberikan buku panduan prosedur latihan relaksasi napas
dalam untuk dilakukan di rumah sambil di follow up oleh peneliti lewat telepon.
Pada pertemuan ke-5 Bapak/Ibu akan diukur skor kecemasannya (post test
I/hasil ukur I) kemudian responden melanjutkan relaksasi napas dalam secara
mandiri selama 1 minggu sambil di follow up oleh peneliti. Setelah 1 minggu
98
berlalu, peneliti akan kembali mengukur skor kecemasan (post test II/hasil II).
Pemilihan kelompok intervensi ditentukan oleh peneliti melalui metode undian
(acak). Bagi responden yang terpilih sebagai kelompok kontrol, pemberian
relaksasi napas dalam akan tetap dilakukan setelah proses penelitian selesai
namun tidak memengaruhi hasil penelitian demi menegakkan prinsip keadilan
dalam etik penelitian. Responden akan dinyatakan drop out apabila tidak
mengikuti tahapan penelitian yang telah dijelaskan.
Peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas dan jawaban Bapak/Ibu berikan
jika bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Saya sebagai peneliti sangat
berharap Bapak/Ibu dapat mengikuti penelitian ini tanpa paksaan apapun dan
memberikan jawaban dengan sejujur-jujurnya tanpa sesuai dengan pengetahuan
yang Bapak/Ibu miliki. dan apabila ada hal-hal yang ingin ditanyakan, saya
bersedia memberikan penjelasan kepada Bapak/Ibu.
Apabila Bapak/Ibu ingin mengundurkan diri selama proses penelitian ini
berlangsung jika ada hal-hal yang kurang berkenan, Bapak/Ibu dapat
mengungkapkan langsung atau menghubungi saya sebelum penelitian dimulai.
Jika Bapak/Ibu bersedia mengikuti penelitian ini, silakan menandatangani lembar
persetujuan responden. Apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas, dapat
menghubungi saya melalui nomor ini (085 343 623 507). Demikian penyampaian
dari saya, atas segala perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Makassar, 14 November 2017
Peneliti
(Novita Nipa)
99
Lampiran 2
Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Tanggal lahir/umr :
Jenis kelamin :
Alamat :
No.hp/tlp :
Benar telah menerima dan mengerti penjelasan peneliti tentang “Pengaruh
Latihan Relaksasi Napas Dalam terhadap Perubahan Skor Kecemasan
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit
Pendidikan Universitas Hasanuddin” termasuk tujuan dan manfaat penelitian.
Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, saya bersedia menjadi responden
penelitian tersebut. Dengan pernyataan ini, saya bersedia mengikti penelitian dan
memberikan jawaban sejujur-jujurnya tanpa paksaan pihak manapun
Makassar, 14 November 2017
Yang menyatakan persetujuan
( )
Saksi 1 :
Saksi 2 :
Penanggung Jawab : Peneliti
Nama : Novita Nipa
Alamat : Jalan Bontobila III No.5
No. Telepon : 085343623507
100
Lampiran 3
Lembar Observasi Kemampuan Responden dalam Melakukan
Latihan Relaksasi Napas Dalam
Kode responden :
Nomor HP/Tlp :
No Prosedur Ya Tidak
1. Tubuh dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan bagi
pasien, misalnya: duduk di kursi dengan sandaran atau
berbaring di tempat tidur dengan menggunakan bantal
sebagai alas kepala
2. Pastikan tulang belakang dalam keadaan lurus. Tungkai
dan kaki tidak menyilang dan seluruh badan rileks
(termasuk lengan dan paha)
3. Ucapkan dalam hati bahwa dalam waktu 5 sampai 10
menit tubuh akan kembali stabil, tenang, dan rileks
101
4. Letakkan satu tangan pada abdomen (perut) dan tangan
yang lain pada dada. Lulut difleksikan (ditekuk) dan mata
dipejamkan
5. Mulai menarik napas dalam dan lambat melalui hidung
sehingga udara masuk ke dalam paru-paru secara
perlahan. Rasakan pergerakan abdomen akan
mengembang dan minimalisir pergerakan dada. Inspirasi
dapat dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4… sambil
mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam
hati, seperti: “I am/saya”
6. Menghebuskan napas (ekspirasi) secara perlahan melalui
102
mulut dengan mengerutkan bibir seperti ingin bersiul
(pursed lip breathing) tanpa bersuara. Ekspirasi dapat
dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4… sambil
mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam
hati, seperti: “rileks atau tenang”. Jangan melakukan
ekspirasi kuat karena dapat meningkatkan turbulensi di
airway/ jalan napas akibat bronchospasme. Saat ekspirasi,
rasakan abdomen mengempis/datar sampai paru-paru
tidak terisi dengan udara
7. Ulangi prosedur (gambar 5 dan 6) dengan menarik napas
lebih dalam dan lebih lambat. Fokus dan rasakan tubuh
benar-benar rileks.“ Bayangkan sedang duduk di bawah
air terjun atau shower dan air membasuh serta
menghilangkan perasaan tegang, gelisah, cemas, dan
pikiran mengganggu yang sedang dirasakan”
8. Untuk mengakhiri relaksasi napas dalam, secara perlahan-
lahan melakukan stretching atau peregangan otot tangan,
kaki, lengan dan seluruh tubuh (catatan: stretching hanya
dapat dilakukan ketika pasien tidak menjalani
103
hemodialisis)
9. Buka mata perlahan-lahan dan nikmati seperti matahari
terbit pada pagi hari dan mulai bernapas normal kembali.
Duduk dengan tenang beberapa saat (1-2 menit) kemudian
melanjutkan aktivitas
104
Lampiran 4
Kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS)
Assalamualaikum Wr. Wb
Peneliti adalah Mahasiswa Program Sarjana Strata-1 (S1) Jurusan Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Peneliti
mengharapkan kesediaan Anda untuk bisa berpartisipasi dalam penelitian ini.
Silahkan Anda mengisi kuesioner ini dengan mengikuti petunjuk yang
diberikan dan Tidak Ada Jawaban Salah dalam kuesioner ini, selama Anda
mengisi jawaban sesuai dengan keadaan Anda selama 2 hari yang lalu sampai
saat ini. Data diri dan semua jawaban Anda akan diolah secara kelompok,
bukan perorangan juga diberlakukan secara Rahasia dan hanya untuk
kepentingan penelitian. Atas perhatian dan bantuannya peneliti ucapkan
terimakasih.
Makassar, 14 November 2017
Hormat Peneliti,
Novita Nipa
105
A. Penilaian Skor Kecemasan
PETUNJUK
Baca dan pahami baik-baik setiap pernyataan. Anda diminta untuk
mengemukakan apakah pertanyaan tersebut sesuai dengan kondisi/perasaan
yang anda alami sejak 2 hari yang lalu hingga saat ini diri. Setiap
kondisi/gejala yang dialami dapat dipilih dengan cara memberi tanda
checklist (√) dalam kolom jawaban yang tersedia.
Pilihan :
Ya : Mengalami gejala
Tidak : Tidak mengalami gejala
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak
1. Cemas
2. Firasat buruk
3. Takut akan pikiran sendiri
4. Mudah tersinggung
5. Merasa tegang
6. Lesu/lelah
7. Mudah terkejut
8. Mudah tersinggung
9. Gemetar
10. Perasaan gelisah
106
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak
11. Ketidakmampuan untuk rileks
12. Pada gelap
13. Pada orang asing
14. Ditinggal sendiri
15. Pada binatang besar
16. Pada keramaian lalu lintas
17. Pada kerumunan banyak orang
18. Sukar memulai tidur
19. Terbangun malam hari
20. Tidur tidak nyenyak
21. Bangun dengan lesu
22. Mimpi buruk dan menakutkan
23. Merasa diteror pada malam hari
24. Susah konsentrasi
25. Daya ingat buruk
26. Hilangnya minat
27. Berkurangnya kesenangan pada hobi
28. Depresi
29. Bangun terlalu pagi
30. Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
107
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak
31. Sakit dan nyeri otot
32. Kaku otot
33. Kedutan otot
34. Gigi gemerutuk
35. Sentakan myoclonic
36. Suara tidak stabil
37. Ketegangan otot
38. Tinitus (telinga berdenging)
39. Penglihatan kabur
40. Muka merah dan pucat
41. Merasa lemah
42. Perasaan ditusuk-tusuk
43. Takikardia (denyut nadi meningkat)
44. Berdebar-debar
45. Nyeri di dada
46. Denyut nadi mengeras
47. Perasaan lesu/lemas seperti mau pingsan
48. Detak jantung hilang sekejap
49. Rasa tertekan atau sempit di dada
50. Perasaan tersedak/tercekik
108
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak
51. Merasa napas pendek/sesak
52. Sering menarik napas panjang
53. Sulit menelan
54. Perut melilit
55. Perut terasa penuh atau kembung
56. Nyeri sebelum dan sesudah makan
57. Mual
58. Muntah
59. Perasaan terbakar di perut
60. Kehilangan berat badan
61. Buang air besar lembek
62. Sukar buang air besar (konstipasi)
63. Sering buang air kecil
64. Tidak dapat menahan kencing
65. Amenorea (menstruasi tidak teratur)
66. Menoragia (haid berlebihan)
67. Ejakulasi dini
68. Frigiditas (hilangnya dorongan seksual pada
wanita)
69. Hilangnya nafsu seksual
109
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak
70. Impotensi
71. Mulut kering
72. Muka merah
73. Pucat
74. Mudah berkeringat
75. Perasaan pusing
76. Kepala terasa tegang/berat/sakit
77. Merinding/bulu-bulu roma berdiri
78. Gelisah
79. Tidak tenang
80. Tangan gemetar
81. Kening mengerut
82. Ketegangan otot meningkat
83. Muka tegang
84. Muka merah
85. Napas pendek dan cepat
110
Kisi-Kisi Kuesioner HARS
Pilihan :
0 Tidak pernah : tidak ada gejala sama sekali
1 Ringan/jarang : satu gejala dari pilihan yang ada
2 Sedang/sering : separuh gejala dari pilihan yang ada
3 Berat/sering sekali : lebih dari separuh gejala dari pilihan yang ada
4 Sangat berat/selalu : semua gejala ada
1. Perasaan cemas
a. Cemas
b. Firasat buruk
c. Takut akan pikiran sendiri
d. Mudah tersinggung
2. Ketegangan
a. Merasa tegang
b. Lesu/lelah
c. Mudah terkejut
d. Mudah tersinggung
e. Gemetar
f. Perasaan gelisah
g. Ketidakmampuan untuk rileks
3. Ketakutan
a. Pada gelap
0 1 2 3 4
0 1
1 0
2
2
3
3
4
4
111
b. Pada orang asing
c. Ditinggal sendiri
d. Pada binatang besar
e. Pada keramaian lalu lintas
f. Pada kerumunan banyak orang
4. Gangguan tidur
a. Sukar memulai tidur
b. Terbangun malam hari
c. Tidur tidak nyenyak
d. Bangun dengan lesu
e. Mimpi buruk dan menakutkan
f. Merasa diteror pada malam hari
5. Gangguan kecerdasan
a. Susah konsentrasi
b. Daya ingat buruk
6. Perasaan depresi
a. Hilangnya minat
b. Berkurangnya kesenangan pada hobi
c. Depresi
d. Bangun terlalu pagi
e. Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7. Gejala somatik (otot)
a. Sakit dan nyeri otot
1
1
0
0
2
2
3
3 4
4
3 0 1 2 4
0 1 2 3 4
112
b. Kaku otot
c. Kedutan otot
d. Gigi gemerutuk
e. Sentakan myoclonic
f. Suara tidak stabil
g. Ketegangan otot
8. Gejala somatik (sensorik)
a. Tinitus (telinga berdenging)
b. Penglihatan kabur
c. Muka merah dan pucat
d. Merasa lemah
e. Perasaan ditusuk-tusuk
9. Gejala kardiovaskuler
a. Takikardia (denyut nadi meningkat)
b. Berdebar-debar
c. Nyeri di dada
d. Denyut nadi mengeras
e. Perasaan lesu/lemas seperti mau pingsan
f. Detak jantung hilang sekejap
10. Gejala pernapasan
a. Rasa tertekan atau sempit di dada
b. Perasaan tersedak/tercekik
c. Merasa napas pendek/sesak
4
2 4
4
3 2 1 0
0
0
1 3
3 2 1
113
d. Sering menarik napas panjang
11. Gejala gastrointestinal
a. Sulit menelan
b. Perut melilit
c. Perut terasa penuh atau kembung
d. Nyeri sebelum dan sesudah makan
e. Mual
f. Muntah
g. Perasaan terbakar di perut
h. Kehilangan berat badan
i. Buang air besar lembek
j. Sukar buang air besar (konstipasi)
12. Gejala urogenital
a. Sering buang air kecil
b. Tidak dapat menahan kencing
c. Amenorea (menstruasi tidak teratur)
d. Menoragia (haid berlebihan)
e. Ejakulasi dini
f. Frigiditas (hilangnya dorongan seksual pada wanita)
g. Hilangnya nafsu seksual
h. Impotensi
13. Gejala otonom
a. Mulut kering
4 0
0
1
1
2
2
3
3 4
0 1 2 3 4
114
b. Muka merah
c. Pucat
d. Mudah berkeringat
e. Perasaan pusing
f. Kepala terasa tegang/berat/sakit
g. Merinding/bulu-bulu roma berdiri
14. Perilaku yang diamati saat wawancara
a. Gelisah
b. Tidak tenang
c. Tangan gemetar
d. Kening mengerut
e. Ketegangan otot meningkat
f. Muka tegang
g. Muka merah
h. Napas pendek dan cepat
0 1 2 3 4
115
Lampiran 5
Lembar data karakteristik responden
1. Kode responden :
2. Nama :
3. Tanggal lahir/umur :
4. Jenis kelamin :
5. Pendidikan terakhir :
6. Pekerjaan :
7. Lama menderita PGK :
8. Lama menjalani hemodialisis :
9. Status pernikahan :
10. Penyakit penyerta :
11. Frekuensi hemodialisis :
116
Lampiran 6
Lembar Tabulasi Skor Kecemasan Pasien yang Menjalani Hemodialisis
pada Kelompok Intervensi
No. Kode
responden
Pre test Post test 1 Post Test 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
117
Lampiran 7
Lembar Tabulasi Skor Kecemasan Pasien yang Menjalani
Hemodialisis pada Kelompok Kontrol
No. Kode
responden
Pre test Post test 1 Post Test 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
118
Lampiran 8
Lembar Kerja Prosedur Latihan Relaksasi Napas Dalam
Kode Responden :
No. HP/Tlp :
No Hari/Tanggal Pukul Keterangan
1. Tenang Damai
Nyaman Rileks
2. Tenang Damai
Nyaman Rileks
3. Tenang Damai
Nyaman Rileks
4. Tenang Damai
Nyaman Rileks
5. Tenang Damai
Nyaman Rileks
6. Tenang Damai
Nyaman Rileks
7. Tenang Damai
Nyaman Rileks
8. Tenang Damai
Nyaman Rileks
9. Tenang Damai
Nyaman Rileks
10. Tenang Damai
Nyaman Rileks
119
Lampiran 9
BUKU PANDUAN
LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM
NOVITA NIPA
C12114316
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
120
LEMBAR DATA KARAKTERISTIK RESPONDEN
12. Nama responden :
13. Tanggal lahir/umur :
14. Jenis kelamin :
15. Pendidikan terakhir :
16. Pekerjaan :
17. Lama menderita PGK :
18. Lama menjalani HD :
19. Status pernikahan :
20. Penyakit penyerta :
21. Frekuensi hemodialisis :
Kode responden :
121
MODUL I
1. Pengertian Relaksasi Napas Dalam
Relaksasi napas dalam merupakan suatu teknik relaksasi sederhana
dimana paru-paru dibiarkan menghirup oksigen sebanyak mungkin. Napas
dalam merupakan gaya pernapasan yang pada dasarnya lambat, dalam, dan
rileks yang memungkinkan seseorang merasa lebih tenang (Townsend,
2012; Widyastuti, 2003). Relaksasi napas dalam menjadi salah satu bentuk
asuhan keperawatan dimana perawat mengajarkan klien cara melakukan
relaksasi napas dalam dan lambat secara maksimal (Smeltzer & G.Bare,
2001).
2. Manfaat Relaksasi napas dalam
Relaksasi napas dalam telah diketahui dapat mengurangi
kecemasan, depresi, emosi, ketegangan otot, nyeri, dan kelelahan.
Keunggulan dari latihan ini yaitu dapat dilakukan dimanapun dan
kapanpun. Petunjuk untuk melakukan latihan pernapasan yang baik yaitu
dilakukan sekitar 5-15 menit selama 2-4 kali sehari atau kapanpun saat
merasakan ketegangan (Townsend, 2012; O'Brien, Kennedy, & Ballard,
2013). Relaksasi napas dalam didasarkan pada keyakinan, pikiran yang
rileks/tenang, posisi yang nyaman, dan konsentrasi (Asmadi, 2008).
Relaksasi napas dalam sampai saat ini masih menjadi metode
relaksasi termudah karena metode yang digunakan sangat mudah
dipelajari, tidak memerlukan peralatan khusus, dan dapat digunakan
dimana saja dan kapan saja (O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2013). Selain
itu, dapat dilakukan secara normal tanpa perlu berpikir lama atau merasa
ragu (Widyastuti, 2003). Sementara Smeltzer & G.Bare (2001)
menyatakan bahwa relaksasi napas dalam bertujuan untuk melancarkan
peredaran darah, memperbaiki pola pernapasan, mengurangi stress serta
menurunkan intensitas nyeri dan kecemasan. Latihan ini dilakukan dengan
frekuensi 2 kali sehari selama 2 minggu. Setiap latihan dilakukan 4 kali
122
tarikan dan hembusan napas. Setiap sesi latihan relaksasi napas dalam
dilakukan sekitar 10 menit
3. Indikasi relaksasi napas dalam
Relaksasi napas dalam dapat diterapkan pada pasien yang
menjalani hospitalisasi dan sepakat diberikan relaksasi (Guidelines for
Medical Record, 2014). Relaksasi napas dalam dapat diberikan bagi pasien
yang mengalami nyeri dan gangguan pada saluran pernapasan, seperti:
penyakit pernapasan akut dan penumpukan sekret pada saluran pernapasan
yang sulit dikeluarkan. Selain untuk gangguan fisik, relaksasi napas dalam
juga dapat digunakan untuk mengatasi gejala psikologis yang muncul,
seperti: kecemasan, stress, ketegangan dan kegelisahan (Rusli, Muthiah, &
Hasbiah, 2015).
123
MODUL II
Langkah-Langkah Relaksasi Napas Dalam
1. Tubuh dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan bagi pasien, misalnya:
duduk di kursi dengan sandaran atau berbaring di tempat tidur dengan
menggunakan bantal sebagai alas kepala (lihat gambar 1)
Gambar 1
2. Pastikan tulang belakang dalam keadaan lurus. Tungkai dan kaki tidak
menyilang dan seluruh badan rileks (termasuk lengan dan paha) (lihat gambar
2)
Gambar 2
3. Ucapkan dalam hati bahwa dalam waktu 5 sampai 10 menit tubuh akan
kembali stabil, tenang, dan rileks (lihat gambar 3)
Gambar 3
4. Letakkan satu tangan pada abdomen (perut) dan tangan yang lain pada dada.
Lulut difleksikan (ditekuk) dan mata dipejamkan (lihat gambar II.4)
124
Gambar 4
5. Mulai menarik napas dalam dan lambat melalui hidung sehingga udara masuk
ke dalam paru-paru secara perlahan. Rasakan pergerakan abdomen akan
mengembang dan minimalisir pergerakan dada. Inspirasi dapat dilakukan
dalam hitungan 1…2…3…4… sambil mengucapkan kata atau ungkapan
pendek (frasa) dalam hati, seperti: “I am/saya” (lihat gambar 5)
Gambar 5
6. Menghebuskan napas (ekspirasi) secara perlahan melalui mulut dengan
mengerutkan bibir seperti ingin bersiul (pursed lip breathing) tanpa bersuara.
Ekspirasi dapat dilakukan dalam hitungan 1…2…3…4… sambil
mengucapkan kata atau ungkapan pendek (frasa) dalam hati, seperti: “rileks
atau tenang”. Jangan melakukan ekspirasi kuat karena dapat meningkatkan
turbulensi di airway/jalan napas akibat bronchospasme. Saat ekspirasi, rasakan
abdomen mengempis/datar sampai paru-paru tidak terisi dengan udara (lihat
gambar 6)
Gambar 6
125
7. Ulangi prosedur (gambar 5 dan 6) dengan menarik napas lebih dalam
dan lebih lambat. Fokus dan rasakan tubuh benar-benar rileks.“
Bayangkan sedang duduk di bawah air terjun atau shower dan air
membasuh serta menghilangkan perasaan tegang, gelisah, cemas, dan
pikiran mengganggu yang sedang dirasakan”
8. Untuk mengakhiri relaksasi napas dalam, secara perlahan-lahan
melakukan stretching atau peregangan otot tangan, kaki, lengan dan
seluruh tubuh (lihat gambar 7) (catatan: stretching hanya dapat
dilakukan ketika pasien tidak menjalani hemodialisis)
Gambar 7
9. Buka mata perlahan-lahan dan nikmati seperti matahari terbit pada pagi hari
dan mulai bernapas normal kembali. Duduk dengan tenang beberapa saat (1-2
menit) kemudian melanjutkan aktivitas (lihat gambar 8)
Gambar 8
126
MODUL III
Lembar Observasi Kemampuan Responden dalam Melakukan Latihan
Relaksasi Napas Dalam
Nama Responden :
Nomor HP/Tlp :
No Prosedur Ya Tidak
1. Tubuh dalam posisi yang nyaman dan menyenangkan bagi pasien,
misalnya: duduk di kursi dengan sandaran atau berbaring di tempat
tidur dengan menggunakan bantal sebagai alas kepala
2. Pastikan tulang belakang dalam keadaan lurus. Tungkai dan kaki
tidak menyilang, seluruh badan rileks (lengan,paha)
3. Ucapkan dalam hati bahwa akan menggunakan waktu 5 atau 10
menit ke depan untuk kembali stabil dan merilekskan tubuh
Kode responden :
127
4. Letakkan satu tangan pada abdomen (perut) dan yang lain pada
dada. Lulut difleksikan (ditekuk) dan mata dipejamkan
5. Mulai menarik napas dalam dan lambat melalui hidung sehingga
udara masuk ke dalam paru-paru secara perlahan. Rasakan
pergerakan abdomen akan mengembang dan minimalisir
pergerakan dada. Inspirasi dapat dilakukan dalam hitungan
1…2…3…4… sambil mengucapkan kata atau ungkapan pendek
(frasa) dalam hati, seperti: “I am/saya”
6. Menghebuskan napas (ekspirasi) secara perlahan melalui mulut
dengan mengerutkan bibir seperti ingin bersiul (pursed lip
breathing) tanpa bersuara. Ekspirasi dapat dilakukan dalam
hitungan 1…2…3…4… sambil mengucapkan kata atau ungkapan
pendek (frasa) dalam hati, seperti: “rileks atau tenang”. Jangan
melakukan ekspirasi kuat karena dapat meningkatkan turbulensi di
airway/ jalan napas akibat bronchospasme. Saat ekspirasi, rasakan
abdomen mengempis/datar sampai paru-paru tidak terisi dengan
udara
128
7. Lakukan relaksasi napas dalam lagi (ulangi seperti gambar 5 dan 6).
Fokus dan rasakan tubuh menjadi benar-benar rileks. Berpikir
sedang duduk di bawah air terjun atau shower, bayangkan air
membasuh dan menghilangkan perasaan tegang, gelisah, cemas,
dan pikiran mengganggu yang dirasakan
8. Untuk mengakhiri relaksasi napas dalam, mulai menghentikan
pengucapan kata “saya rileks” dan mulai secara perlahan-lahan
melakukan stretching atau peregangan otot tangan, kaki, lengan dan
seluruh tubuh (catatan: stretching hanya dapat dilakukan
ketika pasien tidak menjalani hemodialisis)
9. Buka mata perlahan-lahan dan nikmati seperti matahari terbit pada
pagi hari dan mulai bernapas normal kembali. Duduk dengan
tenang beberapa saat (1-2 menit) dan melanjutkan aktivitas
129
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi
Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Guidelines for Medical Record. (2014). Deep Breathe and Cough. UTMB
Respiratory Care Services.
O'Brien, P. G., Kennedy, W. Z., & Ballard, K. A. (2013). Psychiatric Mental
Health Nursing: An Introduction to Theory and Practice (2 ed.). Amerika
Serikat: Jonesand Bartlett Learning.
Rusli, H. M., Muthiah, S., & Hasbiah. (2015). Fisioterapi Respirasi. Makassar:
Departemen Fisioterapi Universitas Hasanuddin.
Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.
Townsend, M. C. (2012). Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care
in Evidence-Based Practice (7 ed.). America: Davis Plus.
Widyastuti, P., & Yulianti, D. (2003). Manajemen Stres. Jakarta: EGC.
130
Lampiran 10
MASTER TABEL
PENGARUH LATIHAN RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP PERUBAHAN SKOR KECEMASAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK
YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
NO KODE RESP. USIA JK PENDIDIKAN
TERAKHIR PEKERJAAN
LAMA
MENDERITA
PGK
LAMA
MENJALANI
HEMODIALISIS
STATUS
PERNIKAHAN
PENYAKIT
PENYERTA
1 HD-01-A 35 Thn L SMA Pengangguran 3 Thn 3 Thn Menikah Hipertensi
2 HD-02-D 26 Thn P SMA IRT 2 Bln 2 Bln Menikah Tidak ada
3 HD-03-M 48 Thn P SMA IRT 2 Thn 1 Thn Menikah DM
4 HD-04-Z 64 Thn P SMA IRT 1 Thn 6 Bln 1 Thn Menikah Hipertensi
5 HD-05-R 35 Thn P S1 IRT 4 Bln 4 Bln Menikah Sindrom Nefrotik
6 HD-06-M 42 Thn L S2 PNS 2 Thn 1 Thn 9 Bln Menikah Tidak ada
7 HD-07-ZP 22 Thn P S1 Pengangguran 3 Thn 3 Thn Belum menikah Hipertensi
8 HD-08-IP 32 Thn P S1 IRT 1 Thn 4 Bln 1 Thn 1 Bln Menikah Hipertensi
9 HD-09-I 25 Thn P SMA IRT 3 Thn 3 Thn Menikah Hipertensi
10 HD-010-AT 45 Thn L S1 PNS 3 Thn 3 Thn Menikah Hipertensi
11 HD-011-SA 51 Thn L S1 Pensiunan 5 Thn 1 Thn Menikah Hipertensi
12 HD-012-HR 62 Thn P SMP IRT 5 Thn 1 Thn Menikah Tidak ada
13 HD-013-MN 49 Thn L S1 Wiraswasta 1 Thn 1 Thn Menikah DM
131
NO KODE RESP. USIA JK PENDIDIKAN
TERAKHIR PEKERJAAN
LAMA
MENDERITA
PGK
LAMA
MENJALANI
HEMODIALISIS
STATUS
PERNIKAHAN
PENYAKIT
PENYERTA
14 HD-014-N 45 Thn P SMA IRT 3 Thn 11 Bln 3 Thn 11 Bln Menikah Hipertensi
15 HD-015-MI 55 Thn L S1 PNS 2 Thn 2 Thn Menikah DM
16 HD-016-K 48 Thn L S1 PNS 2 Thn 2 Thn Menikah Hipertensi
17 HD-017-MJ 55 Thn L SMP Wiraswasta 1 Thn 2 Bln 1 Thn 2 Bln Menikah Hipertensi
18 HD-018-HR 67 Thn P SMP IRT 6 Bln 6 Bln Menikah Hepatitis B
19 HD-019-MA 42 Thn L SMA Wiraswasta 1 Thn 1 Thn Menikah Tidak ada
20 HD-020-J 23 Thn L S1 Pengangguran 1 Thn 1 Thn Belum menikah Tidak ada
21 HD-021-S 52 Thn L SMP Pengangguran 2 Thn 6 Bln 2 Thn Menikah Asam Urat
22 HD-022-W 48 Thn L S1 PNS 2 Thn 2 Bln 2 Thn Menikah DM
23 HD-023-SA 39 Thn L S1 PNS 2 Thn 2 Thn Menikah Asam Urat
24 HD-024-R 57 Thn L SMP Pengangguran 3 Thn 3 Thn Menikah DM
25 HD-025-MA 47 Thn L S1 PNS 1 Thn 4 Bln 1 Thn Menikah DM
26 HD-026-A 39 Thn L SMA Wiraswasta 1 Thn 1 Thn Menikah Hepatitis B
27 HD-027-AR 37 Thn L S1 PNS 3 Thn 3 Thn Menikah Hipertensi
28 HD-028-F 49 Thn L S1 PNS 3 Thn 2 Thn Menikah DM
29 HD-029-AF 41 Thn L S1 PNS 1 Thn 5 Bln 1 Thn 5 Bln Menikah DM
30 HD-030-H 32 Thn P S1 PNS 1 Thn 1 Thn Menikah DM
132
Waktu Pengukuran
No Kode Resp. Klp
Pre test Post test 1 Post test 2
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
P
1
0
P
1
1
P
1
2
P
1
3
P
1
4
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
P
1
0
P
1
1
P
1
2
P
1
3
P
1
4
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
P
1
0
P
1
1
P
1
2
P
1
3
P
1
4
1 HD-01-A 1 1 2 0 2 4 3 1 2 1 1 2 0 3 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 HD-02-D 1 3 3 0 1 4 3 0 2 0 2 2 2 3 3 0 1 0 0 2 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0
3 HD-03-M 1 3 3 1 3 2 2 4 3 4 4 3 1 3 3 1 1 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 HD-04-Z 1 1 3 1 3 2 3 4 4 2 0 1 0 3 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 HD-05-R 1 3 3 1 2 0 3 3 3 4 4 2 2 4 4 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 HD-06-M 1 4 3 0 2 0 3 3 2 3 4 1 1 2 2 1 1 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 HD-07-ZP 1 3 3 2 3 4 3 3 3 4 4 2 2 4 4 3 2 1 1 4 3 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 HD-08-IP 1 4 3 1 2 0 2 4 4 4 4 2 2 3 4 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 HD-09-I 1 4 3 3 4 2 2 4 3 3 3 2 1 4 3 2 2 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
10 HD-010-AT 1 4 3 2 4 4 2 3 3 3 2 2 0 2 2 1 2 0 1 2 0 0 1 0 2 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 HD-011-SA 1 3 3 2 3 4 4 3 3 4 4 3 0 3 4 3 3 1 0 4 3 2 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0
12 HD-012-HR 1 4 4 2 4 2 3 4 3 3 4 1 1 3 4 2 2 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 HD-013-MN 1 3 3 2 3 4 3 4 4 3 4 2 0 3 3 2 0 0 1 0 0 0 1 1 0 2 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0
14 HD-014-N 1 0 2 1 3 4 3 3 3 1 3 1 0 3 2 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 HD-015-MI 1 0 2 0 2 2 3 1 3 2 0 2 2 2 4 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 HD-016-K 2 4 3 0 4 0 2 3 1 2 1 2 0 2 3 4 2 1 3 0 1 3 1 2 1 2 0 2 2 3 3 0 2 0 2 2 1 2 2 2 0 1 3
17 HD-017-MJ 2 3 3 2 3 2 3 3 3 4 2 1 2 3 3 3 2 2 2 2 2 3 2 3 2 1 1 2 2 2 2 2 3 2 3 2 3 3 1 1 2 3 2
18 HD-018-HR 2 4 3 2 2 4 3 3 4 4 4 0 0 3 4 3 2 1 1 2 3 2 3 4 3 0 0 3 3 3 3 1 1 2 2 2 3 3 2 1 0 2 2
19 HD-019-MA 2 4 3 0 3 2 2 3 2 3 2 2 2 2 2 3 2 0 3 2 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3 1 3 2 2 2 2 1 3 1 1 2 1
20 HD-020-J 2 2 2 0 2 2 1 2 2 0 1 1 0 2 0 2 1 0 1 0 2 1 1 1 2 0 0 1 1 3 2 0 2 2 1 3 1 1 1 1 0 1 1
133
Waktu Pengukuran
No Kode Resp. Klp
Pre test Post test 1 Post test 2
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
P
1
0
P
1
1
P
1
2
P
1
3
P
1
4
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
P
1
0
P
1
1
P
1
2
P
1
3
P
1
4
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
P
1
0
P
1
1
P
1
2
P
1
3
P
1
4
21 HD-021-S 2 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 2 1 2 3 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 3 1 2 2 2 1 2 1 2 1 1 0
22 HD-022-W 2 2 2 2 1 0 2 1 2 2 1 1 2 3 3 2 2 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 2 2 3 2 2 1 0 2 1 1 2 1 2 2 1 3
23 HD-023-SA 2 3 2 2 2 2 3 2 1 2 3 2 2 2 3 2 3 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 3 3 2 2 2 2 1 1 3 2 2 1 1 2
24 HD-024-R 2 3 2 1 3 0 2 1 2 3 2 2 2 2 2 1 3 2 2 2 3 2 1 2 2 3 2 2 3 3 1 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2
25 HD-025-MA 2 3 2 1 3 4 2 2 2 2 4 3 2 2 2 2 2 0 2 2 2 2 3 1 3 3 3 2 2 1 3 1 3 2 1 1 1 3 3 2 2 2 3
26 HD-026-A 2 2 3 1 3 2 3 3 3 2 3 2 3 2 3 3 1 2 3 4 1 1 2 1 2 3 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 2 2
27 HD-027-AR 2 2 2 1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 1 3 2 3 2 2 2 1 2 1 2 3 3 1 2 2 3 2 2 3 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2
28 HD-028-F 2 3 2 1 2 2 1 2 2 1 3 3 1 2 2 2 2 2 3 2 2 1 1 2 2 2 1 2 3 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3
29 HD-029-AF 2 3 2 1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 1 2 3 2 1 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 3
30 HD-030-H 2 2 2 2 3 2 2 1 1 1 1 2 1 2 3 3 3 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 3 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3
Keterangan :
` Kelompok :
1 = Intervensi
2 = Kontrol
P : Pertanyaan
134
Penilaian Skor Kecemasan
No Kode
Responden
Jenis
Kelamin
Kelompok Intervensi Penurunan
skor
kecemasan Pre test
Tingkat
Kecemasan
Post test
1
Tingkat
Kecemasan
Post test
2
Tingkat
Kecemasan
1 HD-01-A L 23 Sedang 9 Tidak Cemas 2 Tidak Cemas 21
2 HD-02-D P 30 Berat 4 Tidak Cemas 3 Tidak Cemas 27
3 HD-03-M P 39 Berat 5 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 39
4 HD-04-Z P 29 Berat 1 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 29
5 HD-05-R P 36 Berat 5 Tidak Cemas 1 Tidak Cemas 35
6 HD-06-M L 30 Berat 6 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 30
7 HD-07-ZP P 44 Sangat Berat 16 Ringan 0 Tidak Cemas 44
8 HD-08-IP P 39 Berat 6 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 39
9 HD-09-I P 41 Berat 9 Tidak Cemas 1 Tidak Cemas 40
10 HD-010-AT L 34 Berat 9 Tidak Cemas 3 Tidak Cemas 31
11 HD-011-SA L 46 Sangat Berat 17 Ringan 4 Tidak Cemas 42
12 HD-012-HR P 42 Sangat Berat 6 Tidak Cemas 2 Tidak Cemas 40
13 HD-013-MN L 41 Berat 7 Tidak Cemas 5 Tidak Cemas 36
14 HD-014-N P 26 Sedang 5 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 26
15 HD-015-MI L 25 Sedang 4 Tidak Cemas 0 Tidak Cemas 25
Keterangan :
Pre test Sedang : 3 orang
Berat : 9 orang
Sangat Berat : 3 orang
Post test 1 Ringan : 2 orang
Tidak Cemas : 13 orang
Post test 2 Tidak Cemas : 15 orang
135
No Kode
Responden
Jenis
Kelamin
Kelompok Kontrol
Penurunan
skor
kecemasan Pre test Tingkat
Kecemasan Post test 1
Tingkat
Kecema
san
Post test 2 Tingkat
Kecemasan
1 HD-016-K L 27 Sedang 24 Sedang 25 Sedang 2
2 HD-017-MJ L 37 Berat 29 Berat 31 Berat 6
3 HD-018-HR P 40 Berat 30 Berat 27 Sedang 13
4 HD-019-MA L 32 Berat 29 Berat 26 Sedang 6
5 HD-020-J L 21 Sedang 17 Ringan 19 Ringan 2
6 HD-021-S L 25 Sedang 17 Ringan 21 Sedang 4
7 HD-022-W L 21 Sedang 21 Sedang 20 Ringan 1
8 HD-023-SA L 31 Berat 25 Sedang 27 Sedang 4
9 HD-024-R L 27 Sedang 30 Berat 24 Sedang 3
10 HD-025-MA L 34 Berat 29 Berat 28 Berat 6
11 HD-026-A L 35 Berat 29 Berat 31 Berat 4
12 HD-027-AR L 30 Berat 31 Berat 30 Berat 0
13 HD-028-F L 28 Berat 29 Berat 28 Berat 0
14 HD-029-AF L 30 Berat 24 Sedang 26 Sedang 4
15 HD-030-H P 25 Sedang 27 Sedang 28 Berat -3
Keterangan :
Pre test Sedang : 6 orang
Berat : 9 orang
Post test 1 Ringan : 2 orang
Sedang : 5 orang
Berat : 8 orang
Post test 2 Ringan : 2 orang
Sedang : 7 orang
Berat : 6 orang
136
Lampiran 11 Diagram
Diagram 1.
Perbedaan skor kecemasan kelompok intervensi sebelum, setelah 1 minggu, dan setelah 2
minggu diberikan latihan relaksasi napas dalam pada pasien yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
137
Diagram 2.
Perbedaan skor kecemasan kelompok kontrol sebelum, setelah 1 minggu, dan setelah 2
minggu diberikan latihan relaksasi napas dalam pada pasien yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin
138
OUTPUT KELOMPOK INTERVENSI
[DataSet2] C:\Users\asus\Documents\Kelompok Intervensi .sav
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umur 15 22 64 42.40 13.032
Lama menderita PGK 15 1 5 2.67 1.291
Lama menjalani HD 15 1 4 2.00 1.069
Valid N (listwise) 15
Statistics
Jenis
Kelamin Pendidikan Pekerjaan
Status
pernikahan
Penyakit
penyerta
N Valid 15 15 15 15 15
Missing 0 0 0 0 0
Mean 1.60 1.53 1.27 1.07 2.33
Std. Error of Mean .131 .133 .118 .067 .513
Median 2.00 2.00 1.00 1.00 1.00
Std. Deviation .507 .516 .458 .258 1.988
Variance .257 .267 .210 .067 3.952
Skewness -.455 -.149 1.176 3.873 1.354
Std. Error of Skewness .580 .580 .580 .580 .580
Kurtosis -2.094 -2.308 -.734 15.000 .225
Std. Error of Kurtosis 1.121 1.121 1.121 1.121 1.121
Range 1 1 1 1 5
Minimum 1 1 1 1 1
Maximum 2 2 2 2 6
Sum 24 23 19 16 35
Percentiles 25 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
50 2.00 2.00 1.00 1.00 1.00
75 2.00 2.00 2.00 1.00 3.00
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-laki 6 40.0 40.0 40.0
Perempuan 9 60.0 60.0 100.0
Total 15 100.0 100.0
139
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Menengah (SMP-SMA) 7 46.7 46.7 46.7
Tinggi (S1-S2) 8 53.3 53.3 100.0
Total 15 100.0 100.0
Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Bekerja 11 73.3 73.3 73.3
Tidak bekerja 4 26.7 26.7 100.0
Total 15 100.0 100.0
Status pernikahan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Menikah 14 93.3 93.3 93.3
Belum menikah 1 6.7 6.7 100.0
Total 15 100.0 100.0
Penyakit penyerta
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Hipertensi 8 53.3 53.3 53.3
Diabetes melitus 3 20.0 20.0 73.3
Sindrom nefrotik 1 6.7 6.7 80.0
Tidak ada 3 20.0 20.0 100.0
Total 15 100.0 100.0
140
Friedman Test
Ranks
Mean Rank
Nilai_pretest 3.00
Nilai_posttest_1 2.00
Nilai_posttest_2 1.00
Test Statisticsa
N 15
Chi-Square 30.000
Df 2
Asymp. Sig. .000
Monte Carlo Sig. Sig. .000
99% Confidence Interval Lower Bound .000
Upper Bound .000
a. Friedman Test
Explore
Case Processing Summary
Kelompok
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Nilai_pretest Intervensi 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Nilai_posttest_1 Intervensi 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Nilai_posttest_2 Intervensi 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
Nilai_pretest Intervensi Mean 35.00 1.912
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 30.90
Upper Bound 39.10
5% Trimmed Mean 35.06
Median 36.00
Variance 54.857
Std. Deviation 7.407
Minimum 23
Maximum 46
Range 23
141
Interquartile Range 12
Skewness -.195 .580
Kurtosis
-1.339 1.121
Nilai_posttest_1 Intervensi Mean 7.27 1.115
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 4.88
Upper Bound 9.66
5% Trimmed Mean 7.07
Median 6.00
Variance 18.638
Std. Deviation 4.317
Minimum 1
Maximum 17
Range 16
Interquartile Range 4
Skewness 1.277 .580
Kurtosis 1.506 1.121
Nilai_posttest_2 Intervensi Mean 1.40 .434
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .47
Upper Bound 2.33
5% Trimmed Mean 1.28
Median 1.00
Variance 2.829
Std. Deviation 1.682
Minimum 0
Maximum 5
Range 5
Interquartile Range 3
Skewness .927 .580
Kurtosis -.281 1.121
142
OUTPUT KELOMPOK KONTROL
[DataSet3] C:\Users\asus\Documents\Kelompok Kontrol sav
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umur 15 23 67 45.07 10.787
Lama menderita PGK 15 1 3 1.67 .816
Lama menjalani HD 15 1 3 1.60 .737
Valid N (listwise) 15
Statistics
Jenis
Kelamin Pendidikan Pekerjaan
Status
pernikahan
Penyakit
penyerta
N Valid 15 15 15 15 15
Missing 0 0 0 0 0
Mean 1.13 1.60 1.47 1.07 3.00
Std. Error of Mean .091 .131 .133 .067 .468
Median 1.00 2.00 1.00 1.00 2.00
Mode 1 2 1 1 2
Std. Deviation .352 .507 .516 .258 1.813
Variance .124 .257 .267 .067 3.286
Skewness 2.405 -.455 .149 3.873 .581
Std. Error of Skewness .580 .580 .580 .580 .580
Kurtosis 4.349 -2.094 -2.308 15.000 -1.225
Std. Error of Kurtosis 1.121 1.121 1.121 1.121 1.121
Range 1 1 1 1 5
Minimum 1 1 1 1 1
Maximum 2 2 2 2 6
Sum 17 24 22 16 45
Percentiles 25 1.00 1.00 1.00 1.00 2.00
50 1.00 2.00 1.00 1.00 2.00
75 1.00 2.00 2.00 1.00 5.00
Frequency Table
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 13 86.7 86.7 86.7
Perempuan 2 13.3 13.3 100.0
Total 15 100.0 100.0
143
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Menengah (SMP-SMA) 6 40.0 40.0 40.0
Tinggi (S1-S2) 9 60.0 60.0 100.0
Total 15 100.0 100.0
Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Bekerja 8 53.3 53.3 53.3
Tidak bekerja 7 46.7 46.7 100.0
Total 15 100.0 100.0
Status pernikahan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Menikah 14 93.3 93.3 93.3
Belum menikah 1 6.7 6.7 100.0
Total 15 100.0 100.0
Penyakit penyerta
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Hipertensi 3 20.0 20.0 20.0
Diabetes melitus 6 40.0 40.0 60.0
Asam urat 2 13.3 13.3 73.3
Hepatitis B 2 13.3 13.3 86.7
Tidak ada 2 13.3 13.3 100.0
Total 15 100.0 100.0
144
Friedman Test
Ranks
Mean Rank
Nilai_pretest 2.57
Nilai_posttest_1 1.77
Nilai_posttest_2 1.67
Test Statisticsa
N 15
Chi-Square 7.684
Df 2
Asymp. Sig. .021
Monte Carlo Sig. Sig. .019
99% Confidence Interval Lower Bound .015
Upper Bound .022
a. Friedman Test
Explore
Case Processing Summary
Kelompok
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Nilai_pretest Kontrol 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Nilai_posttest_1 Kontrol 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Nilai_posttest_2 Kontrol 15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
Nilai_pretest Kontrol Mean 29.53 1.424
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 26.48
Upper Bound 32.59
5% Trimmed Mean 29.43
Median 30.00
Variance 30.410
Std. Deviation 5.514
Minimum 21
Maximum 40
Range 19
Interquartile Range 9
145
Skewness .181 .580
Kurtosis -.444
1.121
Nilai_posttest_1 Kontrol Mean 26.07 1.193
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 23.51
Upper Bound 28.63
5% Trimmed Mean 26.30
Median 29.00
Variance 21.352
Std. Deviation 4.621
Minimum 17
Maximum 31
Range 14
Interquartile Range 5
Skewness -1.062 .580
Kurtosis .004 1.121
Nilai_posttest_2 Kontrol Mean 26.07 .963
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 24.00
Upper Bound 28.13
5% Trimmed Mean 26.19
Median 27.00
Variance 13.924
Std. Deviation 3.731
Minimum 19
Maximum 31
Range 12
Interquartile Range 4
Skewness -.622 .580
Kurtosis -.372 1.121
146
OUTPUT GABUNGAN KELOMPOK INTERVENSI DAN KELOMPOK KONTROL
[DataSet3] C:\Users\asus\Documents\Kelompok Intervensi dan Kontrol sav
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Nilai_pretest Intervensi 15 35.00 7.407 1.912
Kontrol 15 29.53 5.514 1.424
Nilai_posttest_1 Intervensi 15 7.27 4.317 1.115
Kontrol 15 26.07 4.621 1.193
Nilai_posttest_2 Intervensi 15 1.40 1.682 .434
Kontrol 15 26.07 3.731 .963
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Nilai_pretest Equal variances assumed 2.964 .096 2.293 28 .030 5.467 2.384 .583 10.350
Equal variances not
assumed
2.293 25.873 .030 5.467 2.384 .565 10.369
Nilai_posttest_1 Equal variances assumed .428 .518 -11.514 28 .000 -18.800 1.633 -22.145 -15.455
Equal variances not
assumed
-11.514 27.872 .000 -18.800 1.633 -22.145 -15.455
Nilai_posttest_2 Equal variances assumed 5.397 .028 -23.341 28 .000 -24.667 1.057 -26.831 -22.502
147
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Nilai_pretest Equal variances assumed 2.964 .096 2.293 28 .030 5.467 2.384 .583 10.350
Equal variances not
assumed
2.293 25.873 .030 5.467 2.384 .565 10.369
Nilai_posttest_1 Equal variances assumed .428 .518 -11.514 28 .000 -18.800 1.633 -22.145 -15.455
Equal variances not
assumed
-11.514 27.872 .000 -18.800 1.633 -22.145 -15.455
Nilai_posttest_2 Equal variances assumed 5.397 .028 -23.341 28 .000 -24.667 1.057 -26.831 -22.502
Equal variances not
assumed
-23.341 19.463 .000 -24.667 1.057 -26.875 -22.458
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Nilai_pretest 30 32.27 6.992 21 46
Nilai_posttest_1 30 16.67 10.522 1 31
Nilai_posttest_2 30 13.73 12.862 0 31
Kelompok 30 1.50 .509 1 2
148
Mann-Whitney Test
Test Statisticsc
Nilai_pretest Nilai_posttest_1 Nilai_posttest_2
Mann-Whitney U 65.500 1.000 .000
Wilcoxon W 185.500 121.000 120.000
Z -1.954 -4.645 -4.701
Asymp. Sig. (2-tailed) .051 .000 .000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .050a .000a .000a
Monte Carlo Sig. (2-tailed) Sig. .052b .000b .000b
99% Confidence Interval Lower Bound .046 .000 .000
Upper Bound .058 .000 .000
Monte Carlo Sig. (1-tailed) 99% Confidence Interval Lower Bound .023 .000 .000
Upper Bound .031 .000 .000
Sig. .027b .000b .000b
a. Not corrected for ties.
b. Based on 10000 sampled tables with starting seed 2000000.
c. Grouping Variable: Kelompok
149
150
151
152