Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
HUBUNGAN POST POWER SYNDROME DENGAN TINGKATKECEMASAN LANSIA PADA MASA PENSIUN DI DESA
KLAGEN GAMBIRAN KECAMATANMAOSPATI KABUPATEN
MAGETAN
Oleh :
RIA OKTAVIANIM : 201302101
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN2017
2
SKRIPSI
HUBUNGAN POST POWER SYNDROME DENGAN TINGKATKECEMASAN LANSIA PADA MASA PENSIUN DI DESA
KLAGEN GAMBIRAN KECAMATANMAOSPATI KABUPATEN
MAGETAN
Diajukan untuk memenuhisalah satu persyaratan mencapai gelar
Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Oleh :
RIA OKTAVIANIM : 201302101
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
3
BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN2017
PERSETUJUAN
Laporan Karya Tulis Ilmiah/ Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing dantelah dinyatakan layak mengikuti Ujian Sidang
SKRIPSI
HUBUNGAN POST POWER SYNDROME DENGAN TINGKATKECEMASAN LANSIA PADA MASA PENSIUN DI
DESA KLAGEN GAMBIRAN KECAMATAN MAOSPATIKABUPATEN MAGETAN
MengetahuiKetua Program Studi SI Ilmu Keperawatan
Mega Arianti Putri, S.Kep.,Ns.,M.KepNIS. 20130092
Menyetujui,Pembimbing II
Drs. I Made Santu S.Kep.,Ns.,MMNIS. 20050002
Menyetujui,Pembimbing I
Priyoto S.Kep.,Ns.,M.KesNIS. 20150115
4
PENGESAHAN
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi dan dinyatakan telah
memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Pada Tanggal :
Dewan Penguji
1. Istikomah, S.Kep., Ns., M.Kes(Ketua Dewan Penguji)
:
…………………………
2. Priyoto, S.Kep., Ns., M.Kes(Dewan Penguji 1)
:
…………………………
3. Drs. I Made Santu., S.Kep.,Ns.,MM(Dewan Penguji 2)
:
…………………………
Mengesahkan,STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
Ketua
5
Zaenal Abidin, SKM.,M.Kes (Epid)NIS. 20160130
HALAMAN PERSEMBAHAN
Yang Utama dari segalanya…..
Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih
saying Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta
memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia serta kemudahan yang Engkau
berikan akhirnya SKRIPSI yang sudah saya susun ini terselesaikan tepat waktu.
Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan Rosulullah Muhammad SAW
Kusembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan
kusayangi :
Yang pertama untuk kedua orang tua sebagai tanda bhakti, hormat dan rasa
terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada
Bapak Taman dan Ibu Suyati terima kasih sudah memberikan kasih saying,
motivasim segala dukungan, selalu mendo’akan yang terbaik.
Terimakasih Bapak… Terimakasih Ibu… :*
Mempersembahkan untuk saudara-saudara tercinta Mbak Rochmiati, Mas Rio
Hermawan, serta saudara-saudaraku yang tiada henti menyemangatiku.
Bapak Priyoto.,S.Kep.,Ners.,M.Kes dan Bapak Drs. I Made
Santu.,S.Kep.,Ns.,MM yang bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
saya dalam penyusunan SKRIPSI ini serta Ibu Istikomah, S.Kep., Ns., M.Kes
selaku penguji. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada dosen Prodi S1
Keperawatan dan seluruh dosen STIKES BHM Madiun atas semua ilmu,
didikan, dan bimbingan yang telah diberikan
Untuk Fathan Mustafid yang tidak pernah berhenti memberi semangat, do’a,
dukungan, dan motivasi.
6
Mempersembahkan untuk para sahabat-sahabat yang telah banyak membantu
Reny, Jefry , Ika, Siela , Anissa’ush , Eka , Ari , Fandik, Listy, Nona, Shinta,
Neny, Ayu serta semua teman-teman khususnya keperawatan B’2013.
Terimakasih banyak semuanya
Untuk Kos TNC Andin, mbak Iin, Mbak Restu, mbak Ecik, Anisa
terimakasih atas nasehat, hiburan, dan semangat yang kalian berikan selama
kuliah.
“Don’t lose the faith, keep praying, keep trying”
Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala
upaya dan usaha yang disertai dengan do’a,
karena sesungguhnya nasib seseorang
manusia tidak akan berubah dengan
sendirinya tanpa berusaha
MOTTO
7
LEMBAR PERNYATAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Ria Oktavia
NIM : 201202101
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini hasil dari pekerjaan saya sendiri dan
didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan dalam memperoleh gelar
(ahli madya/ sarjana) di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan baik yang sudah maupun belum/
tidak dipublikasikan, sumbernya dijelaskan dalam tulisan dan daftar pustaka.
Madiun, Agustus 2017
Peneliti
Ria Oktavia201302101
8
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ria Oktavia
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Pacitan, 03 Oktober 1994
Agama : Islam
Alamat : RT01/RW01 Pager Arjowinangun Pacitan
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. Tahun 2000-2001 : TK Tunas Putra Arjowinangun Pacitan2. Tahun 2001-2007 : SDN Arjowinangun Pacitan3. Tahun 2008-2010 : SMPN 2 Pacitan4. Tahun 2011-2013 : SMKN 1 Pacitan5. Tahun 2013-Sekarang : STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun
Riwayat Pekerjaan : Belum Pernah Bekerja
9
ABSTRAK
HUBUNGAN POST POWER SYNDROME DENGAN TINGKATKECEMASAN LANSIA PADA MASA PENSIUN DI DESA KLAGENGAMBIRAN KECAMATAN MAOSPATI KABUPATEN MAGETAN
RIA OKTAVIA20130210
Masa pensiun merupakan masa seseorang berhenti dari aktifitas bekerjasecara formal yang disebabkan karena bertambahnya usia diikuti kemunduranfisik sehingga dibutuhkan penyesuaian diri terhadap masa pensiun. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui hubungan post power syndrome dengan tingkatkecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen Gambiran KecamatanMaospati Kabupaten Magetan
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelasi dengan pendekatan crosssectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang pensiun diDesa Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan sebanyak 118 lansia.Besar sampel sebanyak 92 lansia pensiun. Teknik sampling yang digunakanadalah simple random sampling menggunakan instrument kuisioner tertutup.
Diperoleh responden sebagian besar mengalami post power syndrome sedang(53,3%) dan sebagian besar mengalami kecemasan ringan (63,0%). Berdasarkanhasil analisa dengan menggunakan uji statistik Spearman Rank dengan programSPSS didapatkan p value 0,000 ≤ = 0,05 artinya Ha diterima, sehingga adahubungan antara post power syndrome dengan tingkat kecemasan lansiamenghadapi masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan MaospatiKabupaten Magetan. Hasil uji Spearman Rank diperoleh r hitung = 0,429 yaitutermasuk dalam keeratan hubungan kategori sedang.
Faktor yang mempengaruhi kecemasan yaitu pendidikan dimana pendidikantinggi akan memberikan respon rasional disbanding berpendidikan rendah. Hasilpenelitian ini menyimpulkan bahwa post power syndrome dengan tingkatkecemasan lansia menghadapi masa pensiun terdapat hubungan. Hasil penelitianini dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan bagi lansia tentang post powersyndrome yang dialami dan cara mengurangi kecemasan dalam pada masapensiun. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya.
Kata kunci : post power syndrome, kecemasan, lansia
10
ABSTRACT
POST POWER SYNDROME RELATIONSHIP WITH LEVEL OFELDERLY DISCUSSION DEALING WITH PENSION SERVICES IN
VILLAGES CLAGEN GAMBIRAN DISTRICT OF MAOSPATI DISTRICTMAGETAN
RIA OKTAVIA
20130210
The retirement period is the period when a person stops working formallybecause of the increase of age followed by the physical decline so that it isnecessary to adjust to retirement. This study aims to determined post powersyndrome relationship with level of elderly discussion dealing with pensionservices in villages Klagen Gambiran District of Maospati District Magetan
This research used correlation research type with cross sectional approach.The population in this research was all the elderly who retired in GambiranVillage, Maebuati Subdistrict, Magetan Regency as many as 118 elderly. A largesample of 92 elderly pensions. The sampling technique used simple randomsampling using closed questionnaire instrument.
Most respondents had moderate post power syndrome (53.3%) and most hadmild anxiety (63.0%). Based on the results of analysis by using Spearman Rankstatistical test with SPSS program obtained p value 0,000 = 0.05 means Haaccepted, so there is a relationship between post power syndrome with anxietylevel elderly face retirement in Klagen Village Gambiran District MaospatiMagetan District. The results of this research analyze with Spearman Rank test,obtained r arithmetic = 0.429 is included in the closeness of a moderate categoryrelationship.
Factors that affect anxiety is education where higher education will provide arational response than low education. The results of this study concluded thatpost power syndrome with anxiety level of elderly facing retirement relationship.The results of this study can be used as additional knowledge for the elderly aboutpost power syndrome experienced and how to reduce anxiety in the retirement.This research can be a reference for further researchers.
Keywords: post power syndrome, anxiety, elderly
11
DAFTAR ISI
Sampul Depan ..................................................................................................... iSampul Dalam..................................................................................................... iiLembar Persetujuan............................................................................................. iiiLembar Pengesahan .............................................................................................. ivMotto ........................................................................................................................vLembar Pernyataan ............................................................................................. viDaftar Riwayat Hidup ......................................................................................... viiAbstrak ................................................................................................................ viiiAbstract .............................................................................................................. ixDaftar Isi.............................................................................................................. xDaftar Istilah........................................................................................................ xiDaftar Gambar..................................................................................................... xiiDafrar Lampiran.................................................................................................. xiiiKata Pengantar .................................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 11.2 Rumusan Masalah................................................................................. 51.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 51.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA2.1 Post Power Syndrome ........................................................................... 7
2.1.1 Pengertian Post Power Syndrome ............................................. 72.1.2 Gejala-gejala Post Power Syndrome......................................... 92.1.3 Penyebab Post Power Syndrome............................................... 102.1.4 Faktor yang mempengaruhi post power syndrome ................... 112.1.5 Teori permasalahan ................................................................... 142.1.6 Strategi penatalaksanaan post power syndrome........................ 182.1.7 Cara penanganan pada penderita post power syndrome ........... 19
2.2 Kecemasan pada Lansia ........................................................................ 202.2.1 Definisi Cemas .......................................................................... 202.2.2 Tanda-tanda cemas.................................................................... 212.2.3 Faktor penyebab kecemasan ..................................................... 222.2.4 Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping terhadap
kecemasan lansia....................................................................... 262.2.5 Tingkat Kecemasan................................................................... 292.2.6 Skala Kecemasan ...................................................................... 302.2.7 Rentang Respon menurut Gail Stuart........................................ 36
2.3 Konsep Lansia....................................................................................... 372.3.1 Pengertian Lanjut usia............................................................... 372.3.2 Teori-teori lanjut usia................................................................ 382.3.3 Perubahan yang terjadi pada lanjut usia.................................... 442.3.4 Problema Lansia........................................................................ 46
12
2.4 Pensiun.................................................................................................. 552.4.1 Definisi pensiun ........................................................................ 552.4.2 Jenis-jenis pensiun .................................................................... 562.4.3 Fase penyesuaian diri saat pensiun ........................................... 562.4.4 Perubahan yang terjadi .............................................................. 57
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL3.1 Kerangka konseptual............................................................................. 603.2 Hipotesis ............................................................................................... 61
BAB 4 METODE PENELITIAN4.1 Desain penelitian................................................................................... 624.2 Populasi dan Sampel ............................................................................. 63
2.4.1 Populasi ..................................................................................... 632.4.2 Sampel ...................................................................................... 63
4.3 Teknik Sampling................................................................................... 654.4 Kerangka Kerja Penelitian .................................................................... 654.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional....................................... 67
2.5.1 Variabel Independent/ Variabel Bebas...................................... 672.5.2 Variabel Dependent/ Variabel Terikat ...................................... 672.5.3 Definisi Operasional.................................................................. 68
4.6 Instrumen Penelitian ............................................................................ 704.6.1... Uji Validitas .............................................................................. 734.6.2... Uji Reliabilitas .......................................................................... 74
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 744.7.1 Lokasi Penelitian....................................................................... 754.7.2 Waktu Penelitian ....................................................................... 73
4.8 Prosedur Pengumpulan Data................................................................. 744.8.1 Prosedur Pengumpulan Data..................................................... 754.8.2 Analisa Data.............................................................................. 76
4.9 Teknik Analisa Data ............................................................................. 784.9.1 Analisa Deskriptif ..................................................................... 784.9.2 Analisa Analitik ........................................................................ 79
4.10 Etika Penelitian................................................................................... 80BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran dan Lokasi Penelitian .......................................................... 815.2 Data umum............................................................................................ 825.3 Data khusus........................................................................................... 835.4 Pembahasan........................................................................................... 865.5 Keterbatasan Penelitian......................................................................... 93
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 956.2 Saran .................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKALampiran-lampiran
13
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kerangka konseptual penelitian hubungan post power syndrome
dengn tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan………………………………………………………….60
Tabel 4.1 Kerangka Kerja Hubungan Post Power Syndrome denganTingkat Kecemasan Lansia pada MasaPensiun…………………………………………………………... 74
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan usia lansia pensiun di DesaKlagen Gambiran Kecamatan Maospati KabupatenMagetan…………………………………………………………. 66
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin lansia pensiun diDesa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati KabupatenMagetan…………………………………………………………. 82
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan lansia pensiun diDesa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati KabupatenMagetan…………………………………………………………. 82
Tabel 5.4 Post power syndrome pada lansia pada masa pendiun di DesaKlagen Gambiran Kecamatan Maospati KabupatenMagetan…………………………………………………………. 83
Tabel 5.5 Analisis hubungan post power syndrome dengan tingkatkecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen GambiranKecamatan Maospati Kabupaten Magetan…………... 84
Tabel 5.6 Analisis hubungan post power syndrome dengan tingkatkecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen GambiranKecamatan Maospati Kabupaten Magetan…………... 85
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 2 Penjelasan Penelitian
Lampiran 3 Lembar Persetujuan Responden
Lampiran 4 Kisi-kisi Kuesioner
Lampiran 5 Kuisionner Penelitian
Lampiran 6 Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 7 Hasil Tabulasi
Lampiran 8 Data Umum Responden
Lampiran 9 Jadwal Kegiatan Penelitian
Lampiran 10 Foto Kegiatan Penelitian
15
DAFTAR ISTILAH
Syndrome : Sekumpulan gejala
Power syndrome : Kekuasaan
Near : dekat
Phase : Fase
Preretiment Phase : Fase pra pensiun
Retirement Phase : Fase pensiun
Honeymoon : Bulan madu
Economic : Ekonomi
Depriviation : Pemberhentian Jabatan
HARS : Hamilton aAnxiety Rating Scale
WHO : World Healt Organitation
Mild anxiety : Ansietas Ringan
Moderate anxiety : Ansietas Sedang
Agitas : Gugup
Middle age : Usia Pertengahan
Elderly : Lanjut Usia
16
Old : Tua
Very old : Sangat Tua
Aging : Menua
Somatic Mutatie Theory : Teori Genetic dan Mutasi
Auto Immunue Theory : Reaksi dari Kekebalan Tubuh
Korelai : Hubungan
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan uji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, karunia serta hidayahnya sehingga penulis dapat
menyesaikan penyuisunan proposal yang berjudul “ Hubungan Post Power
Syndrome dengan Tingkat Kecemasan Lansia pada Masa Pensiun Di Desa Klagen
Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan ”.
Adapun maksud penulisan proposal ini adalah untuk memenuhi persyaratan
dalam penyelesaian pendidikan sarjana keperawatan di Stikes Bhakti Husada
Mulia Madiun.
Penulis sadar bahwa proposal ini dapat terselesaikan berkat dorongan dan
bantuan dari pihak. Oleh karena itu, penulis dengan setulus hati mengucapkan
terima kasih sebesar- besarnya kepada:
1. Zaenal Abidin.,SKM.,M.Kes selaku Ketua STIKES Bhakti Husada Mulia
Madiun yang telah memberikan ijin, kesempatan dan pengarahan kepada
peneliti, sehingga proposal ini terselesaikan
17
2. Kepala Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Madiun yang
telah memberikan ijin untuk terlaksananya pengumpulan data hingga selesai.
3. Mega Arianti Putri.,S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku Ka Prodi SI Keperawatan
STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun
4. Priyoto.,S.Kep.,Ners.,M.Kes selaku pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, dorongan, motivasi, saran dengan sabar, tulus dan iklas kepada
peneliti dalam menyelesaikan proposal ini.
5. Drs. I Made Santu.,S.Kep.,Ns.,MM selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, dorongan, motivasi, saran dengan sabar, tulus dan
iklas kepada peneliti dalam menyelesaikan proposal ini.
6. Istikomah, S.Kep., Ns., M.Kes selaku ketua dewan penguji dalam skripsi ini.
7. Para Pensiunan di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
8. Orang Tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan
semangat serta doa yang tulus untuk saya menyelesaikan proposal ini.
9. Teman-teman program studi ilmu keperawatan STIKES Bhakti Husada Mulia
Madiun angkatan 2013 atas kerja sama dan motivasinya.
10. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkankan satu persatu atas
bantuan dalam menyelesaikan proposal ini.
Madiun, Agustus 2017
Penyusun
18
Ria Oktavia201302101
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masa pensiun adalah masa seseorang berhenti dari aktifitas bekerja secara
formal yang disebabkan karena bertambahnya usia diikuti kemunduran fisik
sehingga dibutuhkan penyesuaian diri terhadap masa pensiun. Pandangan
sebagian besar orang tentang pensiun menyebabkan individu menolak datangnya
masa pensiun, sikap penolakan tersebut ditandai dengan adanya perasaan stres,
cemas, depresi dan post power syndrome. Post power syndrome merupakan gejala
pasca kekuasaan dimana sebagian individu merasakan kehilangan status sosial,
jabatan, kekuasaan, penghasilan dan kehormatan (Indriana, 2012).
Post power syndrome terjadi bukanlah karena situasi pensiun atau
menganggur, melainkan bagaimana cara individu menghayati dan merasakan
keadaan baru tersebut. Apabila individu tidak bisa menerima kondisi baru itu,
19
maka akan merasa kecewa, pesimis yang akan menimbulkan konflik batin,
ketakutan, dan rasa rendah diri. Individu yang optimis memandang masa pensiun
bukanlah akhir dari segalanya, individu akan tetap berpikiran positif sehingga
aperasaan negatif tidak akan muncul akibatnya individu akan dapat menjalani
masa pensiun dengan tenang dan bahagia. Namun hal yang terjadi pada saat masa
pensiun itu tiba, banyak individu tidak mau berhenti dari pekerjaannya (Seminum,
2010).
7
Post power syndrome juga terjadi karena beberapa faktor antara lain
kurangnya penerimaan diri, penarikan diri secara sosial, masih menginginkan
jabatan, konsep diri yang negatif, regulasi emosi sehingga menimbulkan
gangguan fisik, sosial, dan spiritual. Pada lanjut usia saat memasuki waktu
pensiun serta menghambat aktifitas mereka dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Kecemasan pada lansia umumnya memiliki gejala-gajala yang dialami oleh
setiap orang, namun obyek yang menyebabkan kecemasan itu berbeda, lansia
sering mengalami kecemasan dengan masalah-masalah yang ringan. Kecemasan
akan muncul beberapa tahun menjelang masa pensiun tiba dan akhirnya
memuncak beberapa saat menjelang pensiun sampai tibanya masa pensiun (Setiati
dkk, 2006)
Badan Kesehatan Dunia WHO bahwa penduduk lansia di seluruh dunia pada
tahun 2015 9,8%, diperkirakan pada tahun 2020 mendatang mencapai angka
11,34% atau tercatat 28,8 juta orang. Jumlah populasi Lansia >60 tahun
diperkirakan hampir mencapai 600 juta orang dan diproyeksikan menjadi 2 milyar
pada tahun 2050. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa
Indonesia termasuk 5 besar Negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak
di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6% dari jumlah
penduduk sekitar 25% mengalami gejala post power syndrome.. Ketua yayasan
Gerontologi Abiyoso, Anton Aji Soehartono mengatakan bahwa jumlah lansia
Jawa Timur adalah 4,2 juta jiwa. Pada tahun 2009 di Magetan penduduknya
mencapai 158.864 jiwa. Di Desa Gambira Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan Jumlah populasi Lansia mencapai 531 lansia. Dari hasil penelitian
8
Setyaningsih dan Mu’in (2013) menunjukkan bahwa tingkat kecemasan lansia
menghadapi masa pensiun adalah 65,4% tidak mengalami kecemasan, 15,0%
mengalami kecemasan ringan, 1,5% mengalami kecemasan sedang, 65,4%
kecemasan berat dan tidak ada yang mengalami kecemasan sangat berat. Hasil
penelitian dari Nurvaini (2016) bahwa tingkat kecemasan lansia menghadapi
masa pensiun menunjukkan 81% tingkat kecemasan sedang, 87,5% tingkat
kecemasan sedang. Hasil penelitian dari Pedi (2016) menyatakan bahwa tingkat
kecemasan lansia kategori tinggi yaitu sebanyak 44,4% dan sebagian besar
mengalami kecemasan dalam kategori sedang sebanyak 37,8 %.
Penyebab post power syndrome ialah individu merasa terputus dari
lingkungan yang sebenarnya ingin dimiliki dan dikuasai terus-menerus. Hal ini
mengakibatkan individu merasa kecewa, sedih, sengsara, berkepanjangan, dan
seolah-olah dunianya merupakan jalan buntu yang tidak bisa ditembus lagi. Emosi
negative yang sangat kuat dari kecemasan hebat yang berkelanjutan langsung
menjadi reaksi somatisme yang mengenai sistem peredaran darah, jantung, dan
sistem saraf yang sifatnya serius dan bias menyebabkan kematian. Begitu
memasuki pensiun, individu tidak lagi memiliki jabatan, kekuasaan, dan pengaruh
yang cukup besar seperti di masa kerjanya sehingga menimbulkan gangguan
psikis yang berdampak negatif terhadap dirinya, seperti mendadak menjadi
sensitif dan pesimis hanya karena masa kejayaannya telah berlalu. Kondisi mental
dan tipe kepribadian juga menentukan mekanisme aktif seseorang dalam
menghadapi masa pensiunnya. Post power syndrome dengan kecemasan akan
berdampak terjadinya stres berat dan putus asa dimana individu terpaku dan
9
berhenti dalam beraktivitas atau berkarya. Individu merasakan kecemasan yang
mendalam, merasa hidupnya sia-sia, dan tidak berarti (Yunian, 2013).
Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu
penderita untuk mencegah terjadinya post power syndrome. Hal itu akan
mengembalikan kreatifitasnya dan produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu.
Berkomunikasi dengan baik tanpa melibatkan emosi dengan orang tua yang
mengalami post power syndrome, hal ini untuk meredakan emosinya. Kemudian
dengan memberikan kesibukan dengan cara memfasilitasi orang tua dengan
berbagai kesibukan yang disukainya karena dengan memiliki kesibukan maka
pikiran orang tua dapat teralihkan dan tidak lagi merasa stress (Abdul, 2016).
Setelah dilakukan study pendahuluan pada tanggal 8 Maret 2017 di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan peneliti melakukan
wawancara kepada 10 lansia yang sudah pensiun bagaimana perasaan mereka
setelah pensiun, 6 lansia menjawab merasa gelisah, cemas, sepi, tidak berguna,
dan kurang dihargai, sedangkan 4 lansia mengatakan tidak masalah dan
mempunyai kegiatan lain seperti merawat cucu dan berkebun. Lansia pensiunan
yang tidak memiliki aktivitas setelah pensiun.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian tentang hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan
lansia menghadapi masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati
Kabupaten Magetan.
10
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka maasalah yang dapat di rumuskan
sebagai berikut apakah ada Hubungan Post Power Syndrome dengan Tingkat
Kecemasan Lansia Pada Masa Pensiun Di Desa Klagen Gambiran Kecamatan
Maospati Kabupaten Magetan ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan
lansia pada masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati
Kabupaten Magetan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi post power syndrome pada lansia pada masa pensiun di
Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
3. Menganalisis hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan
lansia pada masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati
Kabupaten Magetan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Lansia
Sebagai tambahan pengetahuan bagi lansia tentang post power syndrome
yang dialami dan cara mengurangi kecemasan pada masa pensiun.
1.4.2 Bagi Keluarga Lansia
11
Menjadi informasi bagi keluarga dalam menghadapi dan mendukung
lansia pada masa pensiun.
1.4.3 Bagi Ilmu Keperawatan
Menjadi data dasar untuk pengembangan ilmu mengenai post power
syndrome dengan kecemasan lansia pada masa pensiun.
1.4.4 Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti sendiri dalam
pelaksanaan sebuah penelitian.
1.4.5 Bagi Penelitian Selanjutnya
Menjadi sumber informasi dan data pembanding untuk pengembangan
judul selanjutnya yang berhubungan dengan post power syndrome dengan
kecemasan lansia pada masa pensiun.
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Post Power Syndrome
2.1.1 Pengertian Post Power Syndrome
Post power syndrome merupakan keadaan yang menimbulkan gangguan
fisik, sosial, dan spiritual pada lanjut usia saat memasuki waktu pensiun sehingga
dapat menghambat aktivitas mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari
(Lestari dkk, 2008). Syndrome artinya kumpulan gejala, sedangkan power
syndrome adalah kekuasaan. Jika diatikan maka post power syndrome adalah
gejala-gejala paska kekuasaan yang muncul berupa gejala-gejala kejiwaan atau
emosi yang kurang stabil dan gejala itu biasanye bersifat negative (Setiati dkk,
2006).
Post power syndrome adalah reaksi somatik dalam bentuk sekumpulan
symptom penyakit, luka-luka, serta kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan
rohaniah yang bersifat progresif dan penyebabnya ialah pensiunan atau karena
sudah tidak mempunyai jabatan dan kekuasaan lagi. Individu yang mengalami
gangguan post power syndrome berpandangan bahwa pekerjaan dan bekerja
merupakan kebutuhan dasar dan merupakan bagian yang sangat penting dari
13
kehidupan manusia. Lingkungan kerja sebagai sentrum sosial, sedangkan bekerja
merupakan aktivitas sosial yang memberikan poenghargaan atau respek, status
sosial, dan prestise sosial kepada individu. Selain memberikan ganjaran material
dalam bentuk gaji, kekayaan, dan bermacam-macam fasilitas material, bekerja
60
juga member ganjaran sosial, yaitu kebanggaan dan minat besar terhadap
pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan, dan symbol kebesaran berupa intensif
yang kuat untuk mencintai suatu pekerjaan (Semium, 2010).
Post power syndrome adalah goncangan yang dialami oleh individu yang
dianggap sebagai individu yang tunakarya ketika pensiun (tidak dibutuhkan lagi
tenaga dan pikirannya). Akibatnya, individu mengalami problema serius, baik dari
sisi kejiwaan maupun dari sisi fisik. Terlebih pada individu memiliki ambisi yang
besar serta sangat menginginkan posisi yang tinggi dalam pekerjaannya. Individu
yang mengalami post power syndrome tidak bias beradaptasi pada masa
pensiunan sehingga merasakan kehilangan yang berarti dalam kehidupannya,
seperti perasaan kehilangan pangkat atau jabatan serta perasaan berarti pada
individu yang disertai dengan gejala kejiwaan kurang stabil (Tjahja, 1991).
Symptom-simtom penyakit ini disebabkan oleh banyaknya stress
(ketegangan, tekanan batin), rasa kecewa dan ketakutan yang mengganggu fungsi-
fungsi organic dan psikis, sehingga mengakibatkan macam penyakit, luka-luka
dan kerusakan yang progresif (terus berkembang atau meluas). Post power
syndrome tersebut banyak dialami oleh para pensiunan, mantan purnawirawan,
mantan karyawan dan mereka yang tidak mampu melakukan adaptasi yang sehat
terhadap tuntutan kondisi hidup baru (Achmad, 2013).
Menurut Setiati dkk. (2006) syndrome adalah kumpulan gejala sedangkan
power adalah kekuasaan, maka post power syndrome adalah gejala-gejala pasca
kekuasaan yang muncul berupa gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kirang
stabil dan biasanya gejala itu bersifat negative.
60
Berdasarkan berbagai definisi post power syndrome di atas maka dapat
disimpulkan bahwa post power syndrome adalah gejala-gejala pasca kekuasaan
yang muncul berupa gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil dan gejala itu
biasanya bersifat negative, yang menimbulkan reaksi somatic dalam bentuk
sekumpulan symptom penyakit ataupun luka dan kerusakan fiungsi tubuh baik itu
jasmani dan rohani yang disebabkan karena individu tersebut sudah tidak bekerja.
2.1.2 Gejala-gejala Post Power Syndrome
Menurut Kartono (2002) gejala post power syndrome dapat dibedakan
menjadi dua yaitu gejala fisik
1. Gejala Fisik
Gejala fisik yang sering muncul yaitu layu, sayu, lemas, tidak bergairah, dan
mudah sakit-sakitan
2. Gejala Psikis
Gejala psikis yang sering muncul adalah tidak pernah merasa puas, sering
merasa putus asa, apatis, depresi, serba salah, menarik diri, malu bertemu
dengan orang lain atau malah sebaliknya seperti cepat tersinggung, tidak
toleran, mudah marah, eksplosif, gelisah, agresif, dan suka menyerang
dengan kata-kata ataupun dengan benda-benda. Bahakan tidak jarang
menjadi beringas dan setengah sadar.
Senitiati dkk, (2006) membagi gejala-gejala post power syndrome menjadi
tiga tipe yaitu :
60
1. Gejala Fisik
Tampak tua dibandingkan pada waktu bekerja, rambutnya menjadi putih
semua, berkeriput, pemurung, badannya menjadi lemah, dan sakit-sakitan.
2. Gejala Psikis
Merasa cepat tersinggung, merasa tidak berharga, menarik diri dari
lingkingan pergaulan, ingin bersembunyi, dan lain sebagainya
3. Gejala Perilaku
Umumnya malu bertemu orang lain, suka melakukan kekerasan atau
menunjukkan kemarahan baik dirumah atau tempat lain.
Kondisi fisik dan psikis sedemikian ini jika tidak bisa dikendalikan oleh
individu sendiri, bahkan juga tidak bisa diperingan dengan bantuan medis dan
psikiatri, maka menjadi semakin gawat dan pasti akan memperpendek umur
penderitanya. Berdasarkan teori diatas mengenai gejala post power syndrome
yang disebutkan diatas, peneliti menggunakan gejala-gejala yang sesuai dengan
pelaksanaan penelitian yaitu gejala post power syndrome terdiri dari gejala fisik
dan gejala psikis.
2.1.3 Penyebab Post Power Syndrome
Menurut Kartono (dalam Yunian, 2013) penyebab post power syndrome
ialah
1. Individu merasa terputus dari lingkungan yang sebenarnya ingin dimiliki
dan dikuasai terus-menerus.
2. Individu merasa kecewa, sedih, sengsara, berkepanjangan, dan seolah-olah
dunianya merupakan jalan buntu yang tidak bias ditembus lagi.
60
3. Emosi negative yang sangat kuat dari kecemasan hebat yang berkelanjutan
langsung menjadi reaksi somatisme yang mengenai sistem peredaran darah,
jantung, dan sistem saraf yang sifatnya serius dan bias menyebabkan
kematian.
Begitu memasuki pensiun, individu tidak lagi memiliki jabatan, kekuasaan,
dan pengaruh yang cukup besar seperti di masa kerjanya sehingga menimbulkan
gangguan psikis yang berdampak negatif terhadap dirinya, seperti mendadak
menjadi sensitif dan pesimis hanya karena masa kejayaannya telah berlalu.
Kondisi mental dan tipe kepribadian juga menentukan mekanisme aktif seseorang
dalam menghadapi masa pensiunnya.
Individu usia 55-65 tahun fase generativitas dengan stagnasi dan fase
integritas diri dengan putus asa dalam tahap perkembangan hidup. Pada individu
yang mengalami post power syndrome, fase stagnasi dan putus asa lah yang
mendominasi perilakunya. Fase stagnasi adalah fase dimana individu terpaku dan
berhenti dalam beraktivitas atau berkarya, sementara pada fase putus asa, individu
merasakan kecemasan yang mendalam, merasa hidupnya sia-sia, tidak berarti
(Purwati, 2009).
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Post Power Syndrome
Menurut Rini (dalam Purwati, 2009) mengungkapkan beberapa faktor yang
mempengaruhi post power syndrome akibat pensin, meliputi :
1. Kepuasan kerja dan pekerjaan
Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena di samping
mendatangkan uang dan fasilitas, dapat juga memberikan nilai dan
60
kebanggaan pada diri sendiri (karena berprestasi ataupun kebebasan
menuangkan kreatifitas). Namun, bila ada seseorang mengalami masalah
saat pensiun, biasanya sudah memiliki kondisi mental yang tidak stabil,
konsep diri negative, dan kurang percaya diti, terutama berkaitan dengan
kompetensi dan keuangan/ penghasilan. Seseorang yang memiliki harga diri
rendah semasa produktifitasnya cenderung akan jadi overachiever semata-
mata membuktikan dirinya sehingga habis-habisan dalam bekerja dan
mengabaikan ssosialisasi dengan sesamanya pula. Pada saat pensiun,
mereka merasa kehilangan harga diri dan kesepian karena tidak memiliki
teman. Pada orang dengan kondisi kejiwaan yang stabil, konsep diri yang
positif, rasa percaya diri kuat, serta didukung oleh keuangan yang cukup,
maka orang tersebut akan lebih dapat menyesuaikan diri karena selama
bertahun-tahun ia telah bekerja, menabung, pengalaman, keahlian, serta
keuangan untuk menghadapi masa pensiun.
2. Usia
Banyak orang yang berasumsi bahwa jika sudah tua, maka fisik akan
semakin melemah, semakin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan
semakin tidak menarik, dan semakin banyak hambatan lain yang membuat
hidup semakin terbatas, serta menganggap bahwa pensiun merupakan
pertanda bahwa dirinya sudah tidak berguna dan tidak dibutuhkan lagi
karena usia tua dari produktivitas semakin menurun sehingga tidak
menguntungkan lagi bagi tempat mereka bekerja. Seringkali hal tersebut
menyebabkan ia menjadi over sensitive dan subjektif terhadap stimulus
60
yang ditangkap sehingga menyebabkan orang jadi sakit-sakitan saat pensiun
tiba. Salah satu cara mengataasi masalah persepsi negatif terhadap masa tua
adalah dengan mengatakan pada diri sendiri “act your age, but I don’t want
to act old”.
3. Kesehatan
Kesehatan mental dan fisik merupakan predisposisi keberhasilan
seseorang beradaptasi terhadap perubahan hidup yang disebabkan oleh
pensiun ditambah dengan persepsi orang tersebut terhadap penyakit atau
kondisi fisiknya. Jika ia menganggap hal yang dideritanya itu sebagai
hambatan besar dan pesimistik terhadap hidup, maka ia akan mengalami
masa pensiun dengan penuh kesukaran. Menurut hasil penelitian, pensiun
tidak menyebabkan cepat tua dan sakit-sakitan karena justru dapat
meningkatkan kesehatan sebab mereka semakin bisa mengatur waktu untuk
berolah tubuh.
4. Persepsi Seseorang tentang Bagaimana Ia akan beradaptasi dengan Masa
Pensiunnya.
Perencanaan yang dibuat sebelum pensiun (termasuk pola/ gaya hidup
yang dilakukan) akan memberikan kepuasan dan rasa percaya diri pada
individu yang bersangkutan. Namun, hal tersebit juga tidak terlepas dari
persepsinya tentang hidup dan tentang dirinya sendiri. Orang yang percaya
pada potensi diri sendiri dan kurang mempunyai kompetensi sosial yang
baik akan cenderung pesimis dalam menghadapi masa pensiunnya karena
60
merasa cemas dan ragu dalam menghadapi dan mengatasi perubahan hidup
dan membangun kehidupan yang baru.
5. Status Sosial Sebelum Pensiun
Jika sesama kerja ia mempunya status sosial tertentu sebagai hasil dari
prestasi dan kerja keras, maka akan cenderung memiliki kemampuan
adaptasi yang lebih baik. Namun, jika status sosial itu didapat bukan murni
dari hasil jerih payah prestasinya, maka orang itu justru cenderung
mengalami kesulitan saat menghadapi masa pensiun karena kebanggaan
dirinya lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel
pada dirinya selama ia masih bekerja.
2.1.5 Teori Permasalahan
Fase penyesuaian diri pada saat pensiun menurut Rini (dalam Purwanti,
2009) adalah:
1. Preretirement Phase (Fase Prapensiun)
Fase ini dibagi pada 2 bagian lagi, yaitu remote dan near. Pada remote
phase, masa pensiun masih dipandang sebagai suatu masa yang jauh.
Biasanya fase ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali mendapat
pekerjaan dan masa terakhir ketika orang tersebut mulai mendekati masa
pensiun. Sedangkan pada near phase, biasanya orang mulai sadar bahwa
mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal ini membutuhkan
penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa perusahaan yang mulai
memberikan program persiapan masa pensiun.
2. Retirement Phase (Fase Pensiun)
60
Masa pensiun ini sendiri terbagi dalam tahapan-tahapan berikut:
a. Honeymoon Phase
Periode ini biasanya terjadi tidak lama setelah orang memasuki masa
pensiun. Sesuai dengan istilah honeymoon (bulan madu), maka
perasaan yang muncul ketika memasuki fase ini adalah perasaan
gembira karena bebas dari pekerjaan dan rutinitas.
b. Disenchatment Phase
Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi dan merasa kosong.
Untuk beberapa orang, pada fase ini mereka merasa ada rasa kehilangan,
baik itu kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman
kerja, atau aturan tertentu.
c. Reorientation Phase
Reorientation phase yaitu fase dimana seseorang mulai
mengembangkan pandangan yang lebih realistis mengenai alternative
hidup. Mereka mulai mencari aktivitas baru.
d. Stability Phase
Fase dimana mereka mulai mengembangkan suatu set criteria mengenai
pemilihan aktivitas, dimana mereka dapat merasa hidup tentram dengan
pilihannya.
e. End of Retirement
Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti
seseorang, ketidak mampuan dalam mengurus diri sendiri, dan
60
keuangan yang mulai merosot. Peran saat seorang pensiunan digantikan
dengan peran orang sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat
bergantung.
Ketika lansia memasuki masa pensiun, mereka mengalami perubahan
psikososial, antara lain:
1. Nilai seseorang sering diukur oleh produktifitasnya dan identitas yang
dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan.
2. Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-
kehilangan, antara lain kehilangan financial (income berkurang),
kehilangan status (dulu mempunyai jabatan atau posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segala fasilitasnya), kehilangan teman atau kenalan atau
relasi, kehilangan pekerjaan kegiatan.
3. Beberapa kondisi actual dikalangan para pensiunan di Indonesia di sarikan
dari Kontjro (2002 dalam Dharmodjo, 1985) adalah:
a. Penurunan kondisi kesehatan ternyata tidak disebabkan secara
langsung oleh pensiunan, melainkan oleh problematika kesehatan
yang telah dialami sebelumnya.
b. Tidak jarang masa pensiun malahan dapat meningkatkan kesehatan,
misalnya saja akibat berkurangnya beban tekanan hidup yang harus
dihadapi.
c. Kalangan masyarakat mulai memandang masa pensiun sebagai masa
yang berkesan dan menarik.
60
d. Pada masa pensiun, kemungkinan untuk bersantai berkurang, karena
waktu yang ada cenderung tersita untuk mengerjakan pekerjaan rumah
tangga.
e. Kepuasan perkawinan tidak secara signifikandi pengaruhi oleh kondisi
pensiun.
f. Akan ada banyak waktu dan kesempatan bersama keluarga pasangan.
g. Penempatan kerumah jompo, meninggalnya pasangan, mengidap
penyakit serius, serta adanya cacat biasanya menyebabkan perubahan
gaya hidup yang derastis pada mereka yang pensiun.
h. Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality)
i. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan
sehingga lingkup gerak lebih sempit,
j. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic depriviation),
meningkatnya biaya hidup, bertambahnya biaya pengobatan.
k. Penyakit kronis dan ketidak mampuan.
l. Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian.
m. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
n. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-
teman dan keluarga.
o. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
60
2.1.6 Strategi Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada lansia yang mengalami post power syndrome dapat
dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan yang dilakukan oleh keluarga, diantaranya:
a. Pendekatan sosial yang diberikan oleh keluarga, yaitu member
perhatian dan respons yang baik dengan member kesempatan kepada
lansia untuk beraktifitas di masyarakat.
b. Pendekatan spiritual yang diberikan oleh keluarga, yaitu dengan
member perhatikan dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan lansia
untuk menjalankan ibadahnya.
2. Pendekatan yang dilakukan oleh perawat, di antaranya:
a. Perawat harus memberitahu keluarga akan pentingnya komunikasi
antara keluarga dan lansia, misalnya dengan member penyuluhan yang
lebih mendalam kepada keluarga yang memiliki lansia.
b. Perawat dapat memahami atau mengetahui dengan pasti perasaan lansia
pada situasi tertentu, misalnya jika dalam penyampaian pendapat
perhatikan juga situasi kondisi lansia, apakah lansia dapat menerima
pendapat tersebut atau tidak.
c. Perawat mendorong lansia untuk mengungkapkan perasaan dan
persepsi pribadinya, misalnya dengan cara mengajak lansia berdiskusi
lebih jelas dan sesuai dengan maksud tujuan kita, supaya tercipta rasa
saling percaya pada lansia untuk mengungkapkan perasaan pada
perawat. (Letari dkk,. 2008)
60
2.1.7 Cara Penanganan pada Penderita Post Power Syndrome
Cara penanganan pada lansia yang mengalami post power syndrome dapat
dilakukan dengan:
1. Cara Penanganan Eksternal
a. Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu
penderita. Bila penderita melihat bahwa orang-orang yang mencintainya
memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya, atau ketidak
mampuan dalam mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaan
dan lebih berpikir secara dingin. Hal itu akan mengembalikan
kreativitas dan produktivitasnya, meskipun tidak sehebat dulu. Akan
sangat berbeda hasilnya jika keluarga mengejek dan selalu
menyindirnya, menggerutu, bahkan mengolok-ngoloknya.
b. Di samping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga,
dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya
fase post power syndrome ini. Seseorang yang bisa menerima
kenyataan dan keberadaannya dengan baik akan lebih mampu melewati
fase ini disbanding dengan seseorang yang memiliki konflik emosi.
c. Bila seorang penderita post power syndrome dapat menemukan
aktualisasi diri yang baru, hal ini sangat menolong baginya. Misalnya
seseorang manajer terkena PHK, tetapi bisa beraktualisasi diri di bisnis
baru yang dirintisnya (agrobisnis misalnya), ia akan terhindar dari
resiko post power syndrome.
60
2. Cara Penanganan Internal
a. Sejak menerima jabatan, seseorang tetap menjaga jarak emosional yang
wajar antara diri dengan jabatan tersebut, artinya memang karis setinggi
mungkin tetap harus kita jangkau dan menjadi cita-cita demi kepuasan
batin, namun bila karier telah dicapai melalui kesempatan menduduki
jabatan tertinggi, tempatkanlah posisi tersebut dalam posisi wajar.
b. Cadangkanlah sisa energy psikis bagi alternative fokus lain. Dengan
demikian bila status formal dalam bentuk jabatan hilang, masih ada
focus lain bagi penyaluran energi psikis yang sehat.
c. Tanamkanlah dalam diri bahwa jabatan hanya bersifat sementara.
Memang dalam pelaksanaan jabatan diperlukan sikap serius dan
sungguh-sungguh, namun tetap sadarilah bahwa sifat sementara dalam
menjabat tetap berlaku. Tidak ada jabatan yang dapat diemban seluruh
hidup. Pasti akan tiba saatnya beristirahat dan menikmati masa istirahat
tersebut dengan cara yang sehat, baik mental maupun fisik.
2.2 Kecemasan Pada Lansia
2.2.1 Definisi Cemas
Kecemasan adalah reaksi yang normal terhadap stress dan ancaman bahaya.
Kecemasan merupakan reaksi emosional terhadap persepsi adanya bahaya, baik
yang nyata maupun yang belum tentu ada. Kecemasan dan ketakutan sering
digunakan dengan arti yang sama; tetapi, ketakutan biasanya merujuk adanya akan
adanya ancaman yang hanya berdasarkan hasil asumsi yang belum tentu benar.
Perasaan tidak berdaya dan tidak adekuat dapat terjadi, disertai rasa terasing dan
60
tidak aman. Intensitas perasaan ini dapat ringan atau cukup berat sampai
menyebabkan kepanikan, dan intensitasnya dapat meningkat atau menghilang
terganting pada kemampuan individu dan sumber-sumber pada suatu waktu
tertentu (Priyoto, 2015).
Kecemasan adalah suatu respon yang diberikan kepada seseorang terhadap
suatu obyek yang belum jelas sebabnya ditandai dengan perasaan takut akan
terjadi bahaya atau ancaman pada dirinya orang lain, atau lingkungan tempat
dimana ia berada (Dadang, 2001)
2.2.2 Tanda-tanda Cemas
Menurut Stuart dan Sundeen (2003), efek terhadap respon cemas dapat
diketahui dari hal-hal berikut:
1. Fisiologis
Mencul dalam keadaan mulut kering, tangan dan kaki dingin, diare,
sering kencing, nadi cepat, tensi meningkat, ketegangan otot, sukar bernapas,
berkeringat, pupil mata dilatasi, mulut kering, anoreksia, konstipasi, sakit
kepala, penglihatan kabur, mual, muntah, gangguan tidur.
2. Perilaku
Gelisah, tremor, mudah terkejut, bicara cepat, aktivitas dan gerakan
kurang terkoordinasi atau gerakan tidak menentu seperti gemetar, serta
perasaan tegang yang berlebihan.
60
3. Kognitif
Tidak mampu memusatkan perhatian atau konsentrasi, persepsi menyempit
atau kreaktivitas menurun, seringkali memikirkan tentang malapetaka atau
kejadian buruk yang akan terjadi.
Kecemasan merupakan suatu kondisi kejiwaan yang hamper selalu
dirasakan setiap orang. Hal ini sering muncul terutama ketika seseorang
menghadapi persoalan berat atau situasi yang menegangkan, sehingga
timbul kegelisahan.
2.2.3 Faktor Penyebab kecemasan
1. Faktor Internal
a. Pengalaman
Penyebab kecemasan, dapat berasal dari berbagai kejadian di dalam
kehidupan atau dapat terletak di dalam diri sendiri seseorang yang
memiliki pengalaman dalam menjalani suatu masalah yang sulit dalam
hidupnya maka dalam dirinya akan lebih mampu beradaptasi dengan
lingkungan yang tidak begitu sulit yang didapat dari pengalaman
sebelumnya.
b. Respon terhadap stimulus
Kemampuan seseorang menelaah rangsangan atau besarnya rangsangan
yang diterima akan mempengaruhi kecemasan yang timbul.
c. Usia
Pada usia yang lebih tua, seseorang akan memiliki cara pandang yang
lebih luas sehingga dalam menghadapi suatu masalah akan bercermin
60
pada pengalaman yang didapat sewaktu hidup atau dari orang lain.
Dengan semakin banyak pengetahuan dan teman, seseorang akan lebih
siap untuk menghdapi sesuatu.
d. Jenis kelamin atau gender
Berkaitan dengan kecemasan pada pria dan wanita, wanita lebih cemas
akan ketidakmampuannya disbanding dengan pria, pria lebih aktif,
eksploratif, sedangkan wanita lebih sensitif. Peneliatian lain
menunjukkan bahwa pria lebih rileks disbanding wanita.
2. Faktor Eksternal
a. Dukungan keluarga
Adanya dukungan keluarga akan menyebabkan seseorang lebih siap
dalam menghadapi permasalahan.
b. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan sekitar lansia dapat menyebabkan seseorang
menjadi lebih kuat dalam menghadapi permasalahan. Misalnya,
lingkungan yang tidak memberikan cerita negative tentang suatu
permasalahan. Misalnya, lingkungan yang tidak memberikan cerita
negative tentang suatu permasalahan menyebabkan seseorang lebih kuat
dalam menghadapi permasalahan (Priyoto, 2015).
Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar
tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang. Peristiwaperistiwa atau
situasi khusus dapat mempercepat munculnya serangan kecemasan. Menurut
60
Savitri Ramaiah (2003:11) ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi
kecemasan, diantaranya yaitu :
a. Lingkungan
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir individu
tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya
pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga,
sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa
tidak aman terhadap lingkungannya.
b. Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar
untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika
dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat
lama.
c. Sebab-sebab fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya
kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama
ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul,
dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.
Zakiah Daradjat (Kholil Lur Rochman, 2010) mengemukakan beberapa
penyebab dari kecemasan yaitu :
60
a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang mengancam
dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa takut, karena sumbernya
terlihat jelas didalam pikiran
b. Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. Kecemasan ini sering pula
menyertai gejala-gejala gangguan mental, yang kadang-kadang terlihat
dalam bentuk yang umum.
c. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.
Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak berhubungan
dengan apapun yang terkadang disertai dengan perasaan takut yang
mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya.
Kecemasan hadir karena adanya suatu emosi yang berlebihan. Selain itu,
keduanya mampu hadir karena lingkungan yang menyertainya, baik lingkungan
keluarga, sekolah, maupun penyebabnya. Musfir Az-Zahrani (2005:511)
menyebutkan faktor yang memepengaruhi adanya kecemasan yaitu:
a. Lingkingan Keluarga
Keadaan rumah dengan kondisi yang penuh dengan pertengkaran atau
penuh dengan kesalahpahaman serta adanya ketidakpedulian orangtua
terhadap anak-anaknya, dapat menyebabkan ketidaknyamanan serta
kecemasan pada anak saat berada didalam rumah.
b. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kecemasan individu. Jika individu tersebut berada pada lingkungan yang
60
tidak baik, dan individu tersebut menimbulkan suatu perilak yang buruk,
maka akan menimbulkan adanya berbagai penilaian buruk dimata
masyarakat. Sehingga dapat menyebabkan munculnya kecemasan.
2.2.4 Faktor yang mempengaruhi Mekanisme Koping terhadap Kecemasan
pada Lansia
1. Faktor Internal
Seseorang akan mengalami kecemasan, baik kecemasan ringan, sedang,
maupun berat. Untuk lanjut usia dalam pengalaman hidupnya tentu diwarnai
oleh masalah psikologi berupa kehilangan dan kecemasan. Adapun
mekanisme koping pada usia lanjut dipengaruhi factor-faktor usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, motivasi, dan kondisi fisik diuraikan berikut
ini.
a. Usia
Semakin bertambah usia seseorang, semakin siap pula dalam menerima
cobaan, hal ini didukung oleh teori aktivitas yang menyatakan bahwa
hubungan antara sistem sosial dengan individu bertambah stabil pada
usia individu bergerak dari usia pertengahan menuju usia tua. Teori ini
menekankan bahwa kestabilan ssistem kepribadian sebagai individu
bergerak kea rah usia.
b. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin juga merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada
bentuk adaptasi yang digunakan.
60
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan juga merupakan hal terpenting dalam menghadapi
masalah. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin
banyak pengalaman hidup yang dilaluinya. Dengan demikian, ia akan
lebih siap dalam menghadapi masalah yang terjadi. Umumnya, lansia
yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi masih dapat produktif,
mereka justru banyak memberikan konstribusinya sebagai pengisi
waktu luang dengan menulis buku-buku ilmiah maupun biografinya
sendiri.
d. Motivasi
Adanya motivasi akan sangat membantu individu dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah. Individu yang tidak mempunyai motivasi
untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah akan membentuk
koping yang destruktif. Jika tiap-tiap kebutuhan dapat dicapai, maka
individu termotivasi untuk mencari kebutuhan pada tahap yang lebih
tinggi, sehingga indivisu akan mempunyai kemampuan dalam
meremehkan masalah.
e. Kondisi fisik
Setelah orang memasuki masa lansia, umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple
pathology), misalnya tenaga berkurang, energy menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara
umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia
60
mengalami penurunan berlipat ganda. Hal ini semua dapat
menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologis maupun
sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain.
2. Faktor Eksternal
a. Dukungan sosial
Dukungan sosial bagi lansia sangat diperlukan selama lansia sendiri
masih mampu memahami makna dukungan sosial tersebut sebagai
penyokong atau penopang kehidupannya, sering kali ditemukan bahwa
tidak semua lansia mampu memahami adanya dukungan sosial dari
orang lain. Walaupun ia telah menerima dukungan sosial, tetapi ia
masih saja menunjukkan adanya ketidakpuasan yang ditampilkan
dengan cara menggerutu, kecewa, kesal, dan sebagainya.
b. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga menurut Kementrian Kesehatan RI adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa
orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah satu atap
dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga merupakan kesatuan
dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang
menciptakan peran-peran sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu,
putra dan putrid, saudara priya, dan saudara wanita (Priyoto, 2015)
60
2.2.5 Tingkat Kecemasan
Stuart dan Sundeen (2003) membagi kecemasan menjadi empat tingkatan,
yaitu:
1. Kecemasan Ringan
Pada tingkat ini, kecemasan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan persepsinya. Kecemasan pada tingkat ini dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitasnya.
2. Kecemasan Sedang
Pada tingkat ini, individu lebih memfokuskan hal penting dan
mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya.
3. Kecemasan Berat
Pada tingkat ini berhubungan dengan pengaruh ketakutan dari terror,
perincian terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan kondisi.
Individu tidak mampu untuk melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan.
4. Kecemasan Panik
Kondisi ini berhungan dengan terpengaruh, ketakutan dan keperincian
terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan kendali. Individu
tidak mampu untuk melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan panic
melibatkan disorganisasi, kepribadian yang ditandai dengan meningkatkan
kegiatan motorik. Menurunnya respon untuk berhubungan dengan orang
60
lain, distorsi persepsi dan kehilangan pikiran rasional. Tingkah laku panic
ini mendukung kehidupan individu.
2.2.6 Skala Kecemasan
2.2.6.1 Skala Kecemasan Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/ SRAS)
Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/ SRAS) adalah penilaian kecemasan
pada pasien dewasa yang dirancang oleh William WK Zung, dikembangkan
berdasarkan gejala kecemasan dalam DSM-II (Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders). Terdapat 20 pertanyaan, dimana setiap pertanyaan dinilai 1-
4 (1: tidak pernah, 2: kadang-kadang, 3: sebagian waktu, 4: hamper setiap waktu.
Terdapat lima belas pertanyaan ke arah peningkatan kecemasan dan lima
pertanyaan kea rang penurunan kecemasan (Zung Self-Rating Anxiety Scale
(SAS/ SRAS) dalam lan Mcdowell, 2006). Rentang penilaian 20-80, dengan
pengelompokan sebagai berikut:
Skor 20-44 : normal/ tidak cemas
Skor 45-59 : kecemasan ringan
Skor 60-74 : kecemasan sedang
Skor 75-80 : kecemasan berat
2.2.6.2 Halmiton Anxienty Rating Scale (HARS)
Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut
alat ukur kecemasan yang disebut Skala Tingkat Kecemasan Hamilton (Hamilton
Anxienty Rating Scale/HARS), HARS merupakan pengukuran kecemasan yang
didasarkan pada munculnya simtom pada individu yang mengalami kecemasan.
Menurut HARS terdapat 14 simtom yang tampak pada individu yang mengalami
60
kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi lima tingkatan skor antar 0 (tidak
ada) sampai 4 (berat).
HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh
Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan
terutama pada penelitian percobaan klinis (trial clinic). Skala HARS telah
dibuktikan memiliki validitas dan rehabilitas cukup tinggi untuk pengukuran
kecemasan pada penelitian percobaan klinis (trial clinic) yaitu 0,93 dan 0,79.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan menggunakan
HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable.
Menurut Skala Tingkst Kecemasan Hamilton (Hamilton Anxiety Rating
Scale/ HARS) yang dikutip Priyoto (2013), penilaian kecemasan terdiri atas 14
item.
1. Perasaan cemas, terdiri atas:
a. Firasat buruk
b. Takut akan pikiran sendiri
c. Mudah tersinggung
2. Ketegangan, terdiri atas:
a. Merasa tegang
b. Lesu
c. Tidak dapat istirahat dengan tenang
d. Mudah terkejut
e. Mudah menangis
f. Gemetar
60
g. Gelisah
3. Ketakutan, terdiri atas:
a. Pada gelap
b. Ditinggal sendiri
c. Pada orang asing
d. Pada binatang besar
e. Pada keramaian lalu lintas
f. Pada kerumunan orang banyak
4. Gangguan tidur, terdiri atas
a. Sukar memulai tidur
b. Tidak pulas
c. Terbangun malam hari
d. Bangun dengan lesu
e. Mimpi yang menakutkan
5. Gangguan kecerdasan, terdiri atas:
a. Daya ingat buruk
b. Sulit konsentrasi
c. Sering bingung
6. Perasaan depresi, terdiri atas:
a. Kehilangan minat
b. Sedih
c. Bangun dimalam hari
d. Daya ingat buruk
60
e. Sulit konsentrasi
f. Sering bingung
7. Gejala rematik pada otot-otot, terdiri atas:
a. Nyeri otot
b. Kaku
c. Kedutan otot
d. Gigi gemertak
e. Suara tidak stabil
8. Gejala sensorik, terdiri atas:
a. Telinga berdengung atau tinnitus
b. Penglihatan kabur
c. Muka merah dan pucat
d. Merasa lemah
e. Perasaan ditusuk-tusuk
9. Gejala kardiovaskuler, terdiri atas:
a. Denyut nadi cepat
b. Berdebar-debar
c. Nyeri dada
d. Denyut nadi mengeras
e. Rasa lemah seperti mau pingsan
f. Detak jantung hilang sekejap
10. Gejala pernapasan, terdiri atas:
a. Rasa tertekan di dada
60
b. Perasaan tercekik
c. Merasa napas pendek atau sesak
d. Sering menarik napas panjang
11. Gejala gastrointestinal, terdiri atas
a. Sulit menelan
b. Mual muntah
c. BB menurun
d. Konstipasi
e. Perut melilit
f. Gangguan pencernaan
g. Nyeri lambung
h. Rasa puas di perut
i. Perut terasa penuh
12. Gejala uro genitalia, terdiri atas:
a. Sering kencing
b. Tidak dapat menahan kencing
13. Gejala vegetative atau otonom, terdiri atas:
a. Mulut kering
b. Muka kering
c. Mudah berkeringat
d. Pusing atau sakit kepala
e. Bulu roma berdiri
60
14. Apakah klien terlihat:
a. Gelisah
b. Tidak tenang
c. Mengerutkan dahi muka tegang
d. Tonus atau ketegangan otot meningkat
e. Napas pendek dan lepas
f. Muka merah
Cara penilaian masing-masing item adalah sebagai berikut.
Skor : 0 = tidak ada gejala sama sekali
1 = terdapat satu dari gejala yang ada
2 = separuh dari gejala yang ada
3 = lebih dari separuh gejala yang da
4 = semua gejala yang ada
Sehingga skor minimal 0 dan skor maksimal 56 (14 x 4).
≤ 14 = tidak ada kecemasan
14-20 = kecemasan ringan
21-27 = kecemasan sedang
28-41 = kecemasan berat
42-56 = kecemasan berat sekali
Jadi peneliti menggunakan Skala HARS karena validitas dan rehabilitas
cukup tinggi, tingkat error rendah yaitu 0.97 yang menunjukkan skala HARS
valid dan reliable.
60
2.2.7 Reentang Respon Menurut Gail Stuart
Menurut Gail W. Stuart (2006), tingkat kecemasan/ ansietas dibagi menjadi
empat tingkatan kecemasan.
1. Ansietas ringan atau mild anxiety. Perasaan bahwa ada sesuatu yang berada
dan membutuhkan perhatian khusus, stimulasi sensori meningkat dan
membantu individu memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan
masalah, berpikir, perhatian untuk belajar, bertindak, dan melindungi
dirinya sendiri.
2. Ansietas sedang atau moderate anxiety. Merupakan perasaan yang
mengganggu bahwa ada sesuatu yang berdebar dan ada ancaman, individu
menjadi gugup atau agitasi.
3. Ansietas berat atau sevrtr anxiety. Ansietas berat dialami ketika individu
yakni, bahwa ada sesuatu yang berdebar dan ada ancaman, individu
memperlihatkan respon takut dan distress.
4. Panik atau panic. Ketika individu mencapai tingkat ansietas, panic berat,
semua pemikiran rasional berhenti dan individu tersebut mengalami respons
fight or freeze, yakni kebutuhan untuk pergi secepatnya, tetapi di tempat dan
beruang atau menjadi beku dan tidak dapat melakukan sesuatu.
Menurut Gail W. Stuart (2006), rentang respons kecemasan dapat di
gambarkan sebagai berikut.
60
Teori psikoanalitis, interpersonal, behavioral, dan biological, menelaskan
factor predisposisi dan presipitasi merupakan factor yang mempengaruhi
timbulnya kecemasan di mana ketidakmampuan integritas psikis seseorang dalam
menerima stressor dari luar sehingga seseorang akan menggunakan sebagai
mekanisme untuk menghadapi kecemasan, baik secara konstruktif maupun
destruktif dalam menghadapi kecemasan.
2.3 Konsep Lansia
2.3.1 Pengertian Lanjut Usia
Orhanisasi Kesehatan Dunia menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu usia
pertengahan (middle age) adalah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60-74
tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75—90 tahun, dan usia sangat tua (very old)
adalah 90 tahun. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik laki-
laki maupun perempuan, yang masih aktif beraktifitas dan bekerja ataupun mereka
yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga berhantung kepada
orang lain untuk menghidupi dirinya (Nugroho, 2008). Menjadi tua atau aging
adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan-lahan
Rentang Respon Kecemasan
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Gambar 2.2 Rentang Respons Kecemasan Menurut Gail (2006).
60
untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi
normalnya. Akibatnya, tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau
memperbaiki kerusakan tersebut (Cunningham, 2003).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk melakukan fungsinya dalam memenuhi
kebutuhan dalam hidup (Priyoto, 2015)
Jadi lanjut usia dapat kita artikan sebagai kelompok penduduk yang berusia
60 tahun ke atas proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau menggantikan dan mempertahankan fungsi
normalnya.
2.3.2 Teori-teori Lanjut Usia
Menurut Sheiera Saul (1974 dalam Siti Bandiyah, 2009), secara individual
tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda-beda. Masing-masing
lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda sehingga tidak ada satu factor pun
ditemukan untuk mencegah proses menua. Teori-teori itu dapat digolongkan
dalam dua kelompok, yaitu kelompok teori biologis dan teori kejiwaan sosial.
1. Teori Biologi
Teori biologi adalah ilmu alam yang mempelajari kehidupan dan
organism hidup, termasuk struktur, fungsi, pertumbuhan, evolusi,
persebaran, dan taksonominya. Ada beberapa macam teori biologis, di
antaranya sebagai berikut:
60
a. Teori Genetik dan Mutasi (Somatic Mutatie Theory)
Menurut Hayflick (1961 dalam Sri Surini Pudjiastuti, 2003), menua
telah terprogram secara genetic untuk spesies-spesies tertentu. Menua
terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang deprogram oleh
molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel
kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel).
b. Teori Interaksi Seluler
Menurut Berger (1994 dalam Noorkasiani, 2009), bahwa sel-sel yang
saling berinteraksi satu sama lain dan mempengaruhi keadaan tubuh
akan baik-baik saja selama sel-sel masih berfungsi dalam suatu harmoni.
Akan tetapi, bila tidak lagi demikian maka akan terjadi kegagalan
mekanisme feed back dimana lambat laun sel-sel akan mengalami
degenerasi.
c. Teori Replikasi DNA
Menurut Cunningham (2003) teori ini mengemukkan bahwa proses
penuaan merupakan akibat akumulasi bertahap kesalahan dalam masa
replikasi DNA sehingga terjadi kematian sel. Kerusakan DNA akan
menyebabkan pengurangan kemampuan replikasi ribosomal DNA
(rDNA) dan memengaruhi masa hidup sel. Sekitar 50% rDNA akan
menghilang dari sel jaringan pada usia kira-kira 70 tahun.
d. Teori Ikatan Silang
60
Menurut Year & Gilchrest (2007), proses penuaan merupakan akibat
dari terjadinya ikatan silang yang progresif antara protein-protein
intraselular dan intrasalular serabut kolagen. Ikatan silang meningkat
sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini mengakibatkan penurunan
elastisitas dan kelenturan kolagen di membra basis atau di substansi
dasar jaringan penyambung. Keadaan ini mengakibatkan kerusakan
fungsi organ.
e. Teori Radikal Bebas
Menurut Cunningham (2003), teori radikal bebas dewasa ini lebih
banyak di anut dan dipercaya sebagai mekanisme proses penuaan.
Radikal bebas adalah sekelompok elemen dalam tubuh yang
mempunyai electron yang tidak terpasang sehingga tidak stabil dan
reaktif hebat. Sebelum memiliki pasangan, radikal bebas akan teerus-
menerus menghantam sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya,
termasuk menyerang sel-sel tubuh yang normal. Teori ini
mengemukakan bahwa terbentuknya gugus radikal bebas (hydroxy,
superoxide,hydrogenperoxide dan sebagainya) adalah akibat terjadinya
otoksidasi dari molekul intraselular karena pengurus sinar UV. Radikal
bebas ini akan merusak enzim superoksida-dismutase (SOD) yang
berfungsi mempertahankan fungsi sel sehingga fungsi sel menurun dan
menjadi rusak. Proses penuaan pada kulit yang dipacu oleh sinar UV
(photoaging) merupakan salah satu bentuk implementasi dari teori ini.
60
f. Reaksi dari Kekebalan Sendiri (Auto Immunue Theory)
Menurut Goldteris & Brocklehurst (1989 dalam Siti BAndiyah, 2009)
di dalam proses metabolism tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh
ialah tambahan kelenjar timus yang ada pada usia dewasa berinvolusi
dan semenjak itu terjadilah kelainan autoimun.
2. Teori Kejiwaan Sosial
Teori kejiwaan sosial meneliti dampak atau pengaruh sosial terhadap
perilaku manusia. Teori ini melihat pada sikap, keyakinan, dan perilaku
lansia. Ada beberapa macam teori kejiwaan sosial, di antaranya sebagai
berikut
a. Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Menurut Maslow (1954 dalam Noorkasiani, 2009), menyatakan bahwa
para lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikuti banyak
dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada
cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara sistem
sosial dan individu tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
b. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Menurut Kuntjoro (2002), dasar kepribadian atau tingkah laku tidak
berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori di
atas. Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe kepribadian
yang dimilikinya.
60
c. Teory Pembebasan (Didengagement Theory)
Teori ini menerangkan putusnya pergaulan atau hubungan dengan
dengan masyarakat dan kemunduran individu lainnya. Cimming and
Henry (1961 dalam Siti Bandiyah, 2009), menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai
melepaskan di dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari
pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut
usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering
terjadi kehilangan ganda (triple loos) yaitu kehilangan peran (loss of
role), hambatan kontak sosial (restraction of contacts and relation
ships), dan berkurangnya komitmen (reduced commitment to social
mores and values)
d. Teori Subkultur
Menurut Rose (1962 dalam Noorkasiani, 1992), lansia merupakan
kelompok yang memiliki norma, harapan, rasa percaya, dan adat
kebiasaan tersendiri sehingga dapat digolongkan sebagai subkultur.
Akan tetapi mereka ini kuraang terintegrasi pada masyarakat luas dan
lebih banyak berinteraksi antar sesame. Di kalangan lansia, status lebih
ditekankan pada bagaimana tingkat kesehatan dan kemampuan
mobilitasnya, bukan pada hasil pekerjaan, pendidikan, ekonomi, yang
pernah di capainya. Kelompok-kelompok lansia seperti ini bila
terkoordinasi dengan baik dan dapat menyalurkan aspirasinya di mana
60
hubungan antar grub dapat meningkatkan proses penyesuaian pada
lansia.
e. Teori Strati Kasi Usia
Menurut Riley (1972 dalam Noorkasiani, 2009), teori ini menerangkan
adanya saling ketergantungan antara usia dengan struktur sosial yang
dapat dijelaskan sebagai berikut; organ-ogan tubuh dewasa bersama
masyarakat dalam bentuk kohor dalam artian sosial, biologis,
danpsikologis. Kohor muncul dan masing-masing kohor memiliki
pengalaman dan selera tersendiri. Suatu masyarakat dibagi ke dalam
beberapa strata sesuai dengan lapisan usia dan peran. Masyarakat
sendiri senantiasa berubah, begitu pula individu dan perannya dalam
masing-masing strata, terdapat saling keterkaitan antara penuaan
individu dengan perubahan sosial. Kesimpulannya adalah lansia dan
mayoritas masyarakat senantiasa saling mempengaruhi dan selalu
terjadi perubahan kohor maupun perubahan dalam masyarakat.
f. Teori Penyesuaian Individu demngan Lingkungan
Menurut Lawton (1982 dalam Noorkasiani, 2009), ada hubungan antara
kompetensi individu dengan lingkungannya. Kompetensi ini merupakan
cirri fungsional individu, antara lain kekuatan ego, keterampilan
motorik, kesehatan biologis, kapasitas kognitif, dan fungsi sensorik.
Adapun menimbulkan respon perilaku dari seseorang, bahwa untuk
tingkat kompetensi seseorang terdapat suatu tingkatan suasana atau
tekanan lingkungan tertentu yang menguntungkan baginya. Orang yang
60
berfungsi pada level kompetensi yang rendah hanya mampu bertahan
pada level tekanan lingkungan yang rendah, suatu korelasi yang sering
berlalu adalah semakin terganggu (cacat) seseorang, maka tekanan
lingkungan yang dirasakan akan semakin besar.
2.3.4 Perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia
Nugroho (2008) menyatakan adapun perubahan yang terjadi pada lansia
tersebut sebagai atas perubahan fisik yang meliputi perubahan pada sel, sisitem
persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan dan sistem musculoskeletal.
Perubahan yang terjadi pada sel adalah lebih sedikit jumlahnya, lebih besar
ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan
intraseluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, darah, dan hati, jumlah sel
otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel, otak menjadi atrofi,
beratnya berkurang 5-10%. Pada sistem persarafan terjadi berat otak menurun 10-
20% (setiap orang berkurang sel otaknya dalam setiap harinya), lambat dalam
respond an waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stress, mengecilnya saraf
panca indra, yaitu berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
mengecilnya saraf pencium dan perasa, lebih sensitife terhadap perubahan suhu
dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin dan kurang sensitive terhadap
sentuhan (Nugroho, 2008).
Pada sistem pendengaran terjadi gangguan pada pendengaran yaitu
hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap
bunyi suara atau nada-nada yang tinggi dan nada yang rendah, suara yang tidak
jelas, sulit dimengerti kata-kata yang diucapkan, membrane timpani menjadi
60
mengecil menyebabkan terjadinya kerapuhan pada membrane tersebut, terjadi
pengumpulan serumen dan mengeras karena meningkatnya keratin dan
pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan
jiwa/ stress (Nugroho, 2008).
Sedangkan pada sistem penglihatan terjadi pada pupil yaitu timbul kekakuan
dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih bebentuk bulat (bola), lensa
lebih suram (kekeruhan pada lensa) hingga menjadi katarak, menyebabkan
gangguan penglihatan, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya
daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, berkurang luas pandangannya dan
berkurangnya daya membedakan warna biru atau hijau pada skala ukur (Nugroho,
2008).
Pada sistem musculoskeletal terjadi tulang kehilangan density (cairan) dan
makin rapuh, kifosis, discus, intervertebralis menipis dan menjadi pendek dan
tendon mengerut serta mengalami sklerosis. (Nugroho, 2008)
Sementara perubahan mental yang terjadi pada lansia lebih disebabkan oleh
adanya perubahan fisik, organ perasa, kesehatan secara umum, tingkat pendidikan,
keturunan, lingkungan, memori jangka panjang dan jangka pendek, intelegency
dan kemampuan komunikasi verbal dan berkurangnya ketrampilan psikomotor
serta perubahan psikososial pada lansia (Nugroho, 2008).
Perubahan status gizi pada lansia lebih disebabkan pada perubahan
lingkungan maupun status kesehatan lansia. Perubahan tersebut semakin nyata
pada kurun usia 70-an. Factor lingkungan meliputi perubahan kondisi ekonomi
60
akibat pensiun, isolasi sosial karena hidup sendiri setelah pasangan meninggal
dunia dan rendahnya pemahaman gizi akan memperburuk keadan gizi lansia.
Factor kesehatan yang mempengaruhi status gizi adalah timbulnya penyakit
degenerative dan non degenerative yang berakibat pada perubahan dalam asupan
makanan dan perubahan penyerapan zat gizi (Darmojo, 2011)
2.3.5 Problema Lansia
Dengan meningkatnya usia harapan hidup masyarakat Indonesia saat ini
membuat penduduk yang tergolong lanjut usia (lansia) semakin meningkat. Ini
menimbulkan permasalahan tersendiri yang menyangkut aspek kesehatan dan
kesejahteraan para lanjut usia.
Aspek kesehatan pada lansia ditandai dengan adanya perubahan akibat
proses menua menjadi:
1. Sestem Panca Indra
Terdapat sebagai perubahan morfologik baik pada mata, telinga, hidung,
syaraf perasa di lidah dan kulit. Perubahan yang bersifat degenerative ini
bersifat anatomic fungsional, member manifestasi pada morfologi berbagai
organ panca-indra tersebut baik pada fungsi melihat, mendengar,
keseimbangan ataupun perasa dan perabaan. Pada keadaan yang ekstrim
bahkan bisa bersifat patologik, misalnya terjadinya ektropion/ entropion
ulkus kornea, glaucoma, dan katarak pada mata, sampai pada keadaan
konfusio akibat penglihatan yang terganggu. Pada telinga dapat terjadi tuli
konduktif, sindoma maniere (keseimbangan), (Darmojo, 2011).
60
2. Sistem Gastro-intestinal
Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan marfologik degenerative,
antara lain perubahan atrofik pada rahang, sehingga gigi lebih mudah
tanggal. Perubahan atrofik juga terjadi pada mukosa, kelenjar dan otot-otot
pencernaan. Berbagai perubahan morfologik akan menyebabkan perubahan
fungsional sampai perubahan patologik, diantaranya gangguan mengunyah
dan menelan, perubahan nafsu makan sampai pada berbagai penyakit,
diantaranya adalah:
a. Disfagia
b. Hiatus Hernia
Sering merupakan keadaan yang menyertai proses menua. Terdapat
laporan mengatakan pada usia diatas 70 tahun disapatkan pada 70%
penderita.
c. Perubahan sekresi lambung
Makin lanjut usia sering terjadi kegagalan sekresi asam, karena terjadi
atrofi sel mukosa lambung.
d. Ulkus peptikum
Terdapat perbedaan dengan usia muda, di mana kekerapan terjadinya
ulkus gaster besar yang asimtomatik dan benigna lebih sering,
walaupun asimtomatik bukannya merupakan hal yang tidak penting
sebagai penyebab kematian. Sepertiga kematian akibat ulkus lambung
terjadi pada usia lanjut. Gejala yang terdapat lebih umum, diantaranya
anemia. Berat badan turun dan rasa tak enak di perut atas (dyspepsia).
60
e. Divertikulosis
Merupakan fenomena yang berhubungan dengan lanjutannya usia.
Lokasi yang tersering adalah esophagus, duodenum dan yeyunum.
Kelainan ini penting oleh karena sering menyebabkan defisiensi B12,
terutama pada divertikula multiple.
f. Pancreatitis
Walaupun prevalensinya jarang, akan tetapi insiden meningkat dengan
bertambahnya umur. Hal ini diduga akibat penyakit iskemia vaskuler.
Keadaan ini juga sering terjadi pada hipotermia aksidental.
g. Sindrom malabsorbsi
Penting karena menyebabkan defisiensi berbagai zat (asam folat, B12,
zat besi, kalsium, vit D, dll). Keadaan ini dihubungkan dengan
terjadinya perubahan villi mukosa usus halus pada proses menua,
menjadi lebih pendek dan lebih lebar. Adanya syndrome ini dapat
diperiksa dengan berbagai tes, misalnya tes xylose, tes koleksi feses 3
hari dan tes biopsy usus halus.
h. Usus besar
Dari aspek fisiologik dan patologik dari organ ini, yang perlu
diperhatikan adalah kebiasaan buang air besar, keluhan konstipasi.
Sedangkan berbagai keadaan patologik antara lain adalah penyakit
megakulon, karsinoma, kolon dan recktum, colitis iskemik dan colitis
ulserativa.
60
3. Sistem Kardiovaskuler
Walaupun tanpa danya penyakit, pada usia lanjut jantung sudah
menunjukkan kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi sekuncup.
Terjadi pula penurunan yang signifikan dari cadangan jantung dan
kemampuan untuk meningkatkan kekuatan curah jantung, misalnya pada
keadaan latihan “exercise”. Bila gejala angina timbul pada usia lanjut, hal
ini sudah terjadi pada tingkat latihan yang rendah dan seringkali
menandakan penyakit koroner yang cukup berat. Golongan lanjut usia
sering kali kurang merasakan nyeri dibandingkan usia muda dan gejala
pertama infark miokard akut sering kali adalah gagal jantung, embolus,
hipotensi atau konfusio. Angka kematian akibat infark miokard akut
meningkat pada usia lanjut, dari sekitar 25% pada usia 70-an menjadi
sekitar 40% pada usia 90-an.
4. Sistem Respirasi
Sistem respirasi sudah rendah mencapai kematangan pertumbuhan
pada usia 20-25 tahun, setelah itu mulai mengalami penurunan fungsi.
Elastisitas paru menurun, kekuatan dinding dada meningkat, kekuatan otot
dada menurun. Semua ini berakibat menurunnya rasio ventilasi perfusi
dibagian paru yang tidak bebas dan pelebaran gradient alveolar arteri untuk
oksigen. Keadaan ini tidak boleh disalah artikan sebagai adanya penyakit
paru.
Disamping itu, terjadi penurunan gerak silia di dinding sistem
respirasi, penurunan reflek batuk dan reflek fisiologik lain, yang
60
menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi akut pada
saluran nafas bawah.
5. Sistem Endokrinologik
Metabolism karbohidrat
Pada sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar
gula puasa normal. Disamping factor diet, obesitas, dan kurangnya olahraga
serta penuaan menyebabkan terjadi penurunan toleransi glukosa. Oleh
karena itu banyak ahli mengusulkan bahwa diagnosis DM sebaiknya dibuat
kalau gula darah puasa ≥140 mg%. oleh sebab itu pula diagnosis DM
sebaiknya tidak dibuat berdasarkan tes toleransi glukosa (GTT). Pada usia
lanjut DM tipe II sering terjadi pada individu kurus.
Tiroid
Frekuensi hipertiroid tinggi pada usia lanjut (25% hipertiroid terjadi pada
lansia). Sekitar 75% mempunyai gejala/ tanda klasik, sebagian lagi
menunjukkan apa yag disebut ”apathic thyrotoxicosis”. Hipotiroid
merupakan penyakit yang terutama terjadi antara usia 50-70 tahun. Gejala
dan tandanya sering tidak mencolok sehingga sering tidak terdiagnosis.
Osteoporosis
Sering terdapat pada usia lanjut baik jenis primer atau sekunder. Terutama
terjadi pada wanita pasca menopause oleh karena penurunan mendadak
hormone esterogen. Pada usia lebih tua, kejadian pada pria juga meningkat,
karena faktor-faktor inaktivitas, asupan kalsium yang kurang, pembuatan
vitamin D melalui kulit yang menurun dan juga faktor hormonal.
60
6. Sistem Hematologik
Pola pertumbuhan SDP/SDM secara kualitatif tak berubah pada penuaan,
akan tetapi sumsum tulang secara nyata mengandung lebih sedikit sel
hemopoitik dengan respon terhadap stimuli buatan agak menurun. Respon
regenerative terhadap hilang darah atau terapi anemia pernisiosa agak
kurang disbanding waktu muda. Rentang hidup SDM tidak berubah akibat
proses menua, juga morfologi tidak menunjukkan perubahan penting.
Berbagai jenis anemia yang sering didapatkan pada usia lanjut antara lain
adalah:
a. Anemia defisiensi besi akibat hilang darah, malabsorbsi dan malnutrisi.
b. Snemia megaloblastik
c. Anemia pada/ akibat penyakit kronis
7. Sistem Persendian
Penyakit rematik merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
dasabilitas pada usia lanjut, disamping stroke dan penyakit kardiovaskuler.
Pada synovial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya permukaan sendi,
fibrilasi dan pembentukan celah dan lekukan di permukaan tulangn rawan.
Erosi tulang rawan hialin menyebabkan eburnasi tulang dan pembentukan
kista dirongga subkondral dan sumsum tulang. Semua perubahan ini serupa
dengan yang terdapat pada osteo-atritis. Keadaan tersebut belum bisa
disebut keadaan patologik, apabila terdapat stress tambahan misalnya
apabila terjadi trauma atau pada sendi penanggung beban. Diantara penyakit
sendi yang sering terdapat pada usia lanjut adalah osteo-atritis, rematoid
60
atritis, gout, dan pseudo-gout, atritis mono-artikuler senilis, dan rematika
polimialgia.
8. Sistem Urogenital dan Tekanan Darah
Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan, antara lain yang terjadi
penebalan kapsula Bouman dan gangguan permeabilitas terhadap solute
yang akan difiltrasi. Nefron secara keseluruhan mengalami penurunan
dalam jumlah (jumlah nefron pada akhir rentang hidup rata-rata tinggal
tersisa sekitar 50% disbanding usia 30 tahun) dan mulai terlibat atrofi.
Aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar 50% disbanding
usia muda. Akan tetapi fungsi guinjal secara keseluruhan dalam keadaan
istirahat tidak terlihat menurun. Barulah apabila terjadi stress fisik (latihan
berat, infeksi, gagal jantung, dll) ginjal tidak dapat mengatasi peningkatan
kebutuhan tersebut dan mudah terjadi gagal ginjal. Pada usia lanjut uga
tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal, oleh karena itu jumlah protein
tubuh dalam masa otot (yang merupakan contributor utama kadar kreatinin
darah) sudah menurun.
Secara umum pembuluh darah sedang sampai besar pada lanjut usia
sudah mengalami berbagai perubahan. Terjadi penebalan intimia (akibat
proses atelosklerosis) atau tunika media (akibat proses menua) yang pada
akhirnya menyebabkan kelenturan pembuluh darah tepi meningkat. Hal ini
akan menyebabkan peningkatan tekanan darah (terutama tekanan darah
sistolik) walaupun tekanan diastolic juga meningkat sebagai akibat banyak
faktoor lain termasuk genetic (teori “mozaik”)
60
9. Infeksi dan Imunologi
Diantara perubahan imunologik yang mencolok adalah bahwa pada usia
lanjut, timus sudah mengalami esorbsi. Walaupun demikian jumlah sel T
dan B tidak mengalami perubahan, walaupun secara kwantitatif terjadi
beberapa perubahan, antara lain tanggapan terhadap stimuli artificial. Juga
terjadi peningkatan pembentukan oto-antibodi, sehingga insiden penyekit
oto-imun meningkat. Peningkatan predisposisi pada infeksi tersebut penting
pada lansia, karena pada usia lanjut infeksi cenderung menjadi berat, bahkan
penyebab kematian, infeksi saluran nafas bawah (pneumonia dan
bronkopneumonia) serta infeksi saluran kemih merupakan infeksi penting
pada lanjut usia, yang bisa berlanjut lebih berat. Factor-faktor yang
memperberat infeksi tersebut antara lain adalah imobilisasi, instrumentasi
serta iatrogenic.
Aspek kesejah teraan lansia berdasarkan kelayakan hidup lansia dalam
lingkungan hidupnya. Dalam meningkatkan kesejahteraan lansia diperlukan
peningkatan program dan aksi nasional untuk mendorong partisipasi lansia
dalam masyarakat dan pembangunan termasuk pengambilan keputusan. Hal
lain yang perlu dilakukan adalah peningkatan upaya pembentuk sistem
keamanan dan perlindungan sosial bagi lansia melalui pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat, serta dunia usaha terhadap lansia melalui
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat serta dunia usaha terhadap
lansia melalui pengembangan dan pemberdayaan lembaga dan organisasi
60
sosial dan dunia usaha. Media atau pers juga mempunyai potensi besar
terhadap program peningkatan kesejahteraan dan perlakuan terhadap lansia.
2.4 Pensiun
2.4.1 Defini Pensiun
Pengertian pensiun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) adalah
tidak bekerja lagi karena telah selesai masa dinasnya. Kimmel (1989)
menambahkan, pensiun merupakan suatu isyarat sosial bahwa seseorang telah
memasuki fase lansia yang juga berarti berakhirnya masa kerja seseorang dan
mulainya periode waktu luang yang panjang tanpa aktivitas rutin.
Dapat disimpulkan pensiun merupakan suatu keadaan ketika seseorang
telah memasuki fase lansia dan telah berhenti dari suatu pekerjaan baik dari
pemerintahan maupun perusahaan swasta dimana individu tersebut memasuki
periode waktu luang yang panang tanpa aktivitas rutin.
2.4.2 Jenis-jenis Pensiun
Menurut WageIndikator.org (2014) dilihat dari penyebabnya, istilah
pensiun dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:
a. Pensiun Normal
Pensiun normal merupakan pensiun yang dilakukan karena karyawan/
pegawai sudah memasuki masa pensiun.
b. Pensiun Dini
Pensiun dini sering diistilahkan dengan pensiun dipercepat. Sebelum
memasuki usia pensiun, anda dapat mengajukan untuk pensiun dini.
60
Normalnya, pensiun dini dapat diajukan 10 tahun lebih awal dari usia
pensiun.
c. Pensiun karena Cacat
Pensiun karena cacat terjadi karena karyawan/ pegawai mengalami cacat
permanen. Cacat permanen ini menyebabkan karyawan/ pegawai
kehilangan anggot badannya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
sehari-harinya.
d. Pensiun karena Meninggal
Pensiun jenis ini disebabkan karena karyawan/ pegawai meninggal dunia.
2.4.3 Fase Penyesuaian Diri Saat Pensiun
Robert Atchly (2000) mengembangkan enam fase deskriptif pensiun yang
mempresentasikan proses transisi dari seseorang yang akan berhenti dari dunia
kerja secara permanen, yaitu:
1. Pre-Retirement Phase (fase sebelum pensiun)
fase sebelum memasuki masa pensiun yang melibatkan tahap pelepasan dari
tempat kerja dan tahap perencanaan dalam menyiapkan apa saja yang
dibutuhkan saan sudah memasuki masa pensiun.
2. Retirement Phase (fase pensiun)
Ketika seseorang pensiun, maka mereka tidak lagi berpartisipasi dalam
sebuah pekerjaan, berikut adalah tiga hal yang sering dialami oleh orang
yang sedang pensiun:
60
a. The Honeymoon
Tahapan ini ini ditandai dengan perasaan seperti sedang dalam keadaan
liburan tanpa batas, individu yang memasuki tahapan ini akan sangat
sibuk melakukan banyak kegiatan rekreasi yang jarang mereka lakukan
saat bekerja.
b. The immediate retirement routine
Orang-rang yang ketika masih bekerja memiliki kegiatan aktif di luar
pekerjaannya akan lebih mampu membangun rasa nyaman, namun
jadwal yang padat telah menanti setelah pensiun.
c. The rest and relaxation
Periode yang ditandai aktivitas yang sangat rendah dibandingkan
dengan the honeymoon. Individu yang memiliki kesibukan yang sangat
tinggi dan waktu yang sedikit untuk dirinya biasanya akan memilih
untuk melakukan sedikit aktivitas saat periode awal pensiunannya.
Aktivitas akan meningkat setelah beberapa tahun dari fase istirahat dan
relaksasi.
3. Disenchantment Phase (fase kekecewaan)
Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong. Untuk
beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik itu kehilangan
kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, dan aturan tertentu.
Peran serta orang terdekat khususnya keluarga sangat berkontribusi untuk
membantu melewati tahapan ini.
60
4. Reorientation Phase (fase reorientasi)
Pada fase dimana seseorang mulai mengembangkan pandangan yang lebih
realistic mengenai alternative hidup dan mereka akan mulai mencari
aktivitas baru. Dychtwald (2006) menyatakan bahwa tahapan ini
berlangsung sekitar 2-15 tahun sesudah pensiun. Pada tahap ini seseorang
akan mulai mengubah prioritasnya, aktivitas, hubungan, dan hidupnya. Para
pensiunan umumnya menyatakan bahwa tahap reorientasi ini merupakan
tahap yang penuh dengan tantangan.
5. Retirement Routine Phase
Masa pensiun yang nyaman dan bermanfaat adalah tujuan semua orang
yang pensiun. Beberapa individu biasanya mampu mendapatkannya segera
setelah mereka berhenti bekerja, sementara yang lain membutuhkan waktu
yang lebih lama mereka hanya berkuat dalam periode kekecewaan. Individu
yang telah memasuki fase ini biasanya akan bertahan selama bertahun-tahun.
6. Termination Of Retirement Phase
Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti
seseorang ketidakmampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan yang
sangat merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran orang
sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat berganting.
2.4.4 Perubahan yang Terjadi
Menurut Turner & Helms (1997) ada beberapa hal penyesuaian yang
dialami seseorang pada masa pensiunnya, yaitu:
60
1. Psychology Adjustment
Psychology adjustments meliputi berkurangnya harga diri. Bekerja
bukan hanya berkaitan dengan kebutuhan materi saja melainkan juga
merupakan kebutuhan psikologis seseorang. Secara psikologis, bekerja
menimbulkan rasa identitas, status, maupun fungsi sosial.
2. Financial Adjustment
Financial adjustment meliputi berkurangnya sumber penghasilan.
Penurunan penghasilan merupakan dampak paling nyata dari fenomena
pensiun. Sebagai kepala keluarga tentunya hal ini dapat menimbulkan stress,
terlebih jika kebutuhan tidak bisa ditekan dan malah mengalami
peningkatan.
3. Marital Adjustments
Marital adjustment meliputi ketidakharmonisan pasangan dan
kepergian pasangan. Waktu yang dihabiskan bersama pasangan ketika
sebelum dan sesudah pensiun jelas akan berbeda. Kuantitas bersama
pasangan akan lebih banyak dan akan memungkinkan untuk terjadinya
kesalah pahaman atau ketidakcocokan akan sering terjadi pada masa
pensiun.
4. Berkurang kontak sosial
Seseorang bisa mendapatkan penghargaan sosial ketika mereka meraih
kepuasan dari kontak sosialnya. Ketika memasuki masa pensiun, waktu
untuk bertemu dengan rekan seprofesi akan berkurang.
5. Hilangnya Kelompok Referensi yang bisa Mempengaruhi Self Image
60
Biasanya seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok organisasi
atau bisnis tertentu ketika dia masih aktif bekerja. Tetapi ketika dia pensiun,
secara langsung keanggotaan pada suatu kelompok akan hilang. Hal ini akan
mempengaruhi seseorang untuk kembali menilai dirinya lagi.
6. Hilangnya tugas yang Berarti
Hal ini dapat dikarenakan pekerjaan yang dikerjakan seseorang
mungkin sangat berarti bagi dirinya dan hal ini tidak bisa dikerjakan saat
seseorang itu mulai memasuki masa pensiun.
7. Hilangnya Rutinitas
Hampir separuh dari harinya dihabiskan untuk bekerja. Tidak semua
orang menikmati jam kerja yang panjang seperti ini, tapi tanpa disadari
kegiatan panjang selama ini memberikan sense of purpose (merasa memiliki
tujuan), memberikan rasa aman, dan pengertian bahwa ternyata kita berguna.
Ketika menghadapi masa pensiun, waktu ini hilang, sehingga mereka mulai
merasakan diri tidak produktif lagi.
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
60
3.1 KERANGKA KONSEPTUAL
Keterangan:
Gambar 3.1 Kerangka konseptual penelitian hubungan post power syndromedengn tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa KlagenGambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
Faktor penyebab Internal KecemasanLansia:
1. Pengalaman2. Respon terhadap stimulus3. Usia4. Jenis kelamin
Faktor penyebab Eksternal KecemasanLansia:
1. Dukungan keluarga2. Kondisi lingkungan
Tingkat Kecemasan lansia padamasa pensiun
• Tidak ada kecemasan
• Kecemasan ringan
• Kecemasan sedang
• Kecemasan berat
• Kecemasan berat sekali
Post Power Syndrome lansiapada masa pensiun
• Ringan
• Sedang
• Berat
Faktor yang mempengaruhi Post PowerSyndrom:
1. Kepuasan keraja dan pekerjaan2. Usia3. Kesehatan4. Persepsi seseorang tentang bagai
mana lansia akan beradaptasidengan masa pensiun
5. Status sosial sebelum pensiun
= Diteliti
= Berhubungan
= Tidak diteliti
= Pengaruh
62
Faktor yang mempengaruhi post power syndrome akibat pensiun, meliputi:
kepuasan kerja dan pekerjaan, usia, kesehatan, persepsi seseorang tentang
bagaimana lansia akan beradaptasi dengan masa pensiunnya, status sosial sebelum
pensiun yang menyebabkan Post Power Syndrome, sehingga dengan adanya
faktor-faktor dari penyebab post power syndrome tersebut menyebabkan
kecemasan. Faktor yang mempengaruhi kecemasan ada faktor internal antara lain:
pengalaman, respon terhadap stimulus, usia, jenis kelamin. Factor eksternal antara
lain: dukungan keluaga, kondisi lingkungan. Untuk mengetahui tingkatan
kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu: kecemasan ringan, kecemasan
sedang, kecemasan berat, kecemasan berat sekali.
3.2 HIPOTESIS
Ha : Ada hubungan antara Post Power Syndrome dengan Tingkat
Kecemasan Lansia Pada Masa Pensiun di Desa Klagen Gambiran
Kecematan Maospati Kabupaten Magetan.
62
BAB 4
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan cara yang akan dilakukan dalam proses
penelitian (Hidayat, 2012). Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian
secara rinci untuk menjawab tujuan dari penelitian berdasarkan masalah yang
sudah ditentukan antara lain desain penelitian, kerangka kerja, variable penelitian,
definisi operasional, sampling desain, pengumpulan data, etika penelitian.
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang
diharapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun penelitian pada seluruh
proses penelitian (Nursalam, 2016)
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelasi. Rancangan penelitian
ini dipilih karena peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan,
memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang ada. Penelitian ini bertujuan
untuk mengungkap hubungan korelatif antar variable (Nursalam, 2016). Dalam
pendekatan menggunakan metode cross sectional yaitu menekankan waktu
pengukuran/ observasi data dan variable independen dan dependen hanya satu saat
(Nursalam, 2016). Dalam hal ini akan melihat hubungan antara post power
syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen
Gambiran Kecamatan Maospati Kebupaten Magetan.
63
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek (misal manusia; klien) yang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2016). Berdasarkan
pengertian tersebut populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang
pensiun di Desa Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan sebanyak
118 lansia.
4.2.2 Sampel
Menurut (Notoatmodjo, 2012) sampel adalah bagian dari populasi yang
dianggap mewakili populasinya. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian
lansia yang pensiun di Desa Gambiran Klagen Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan.
Besar sampel penelitian ini dihitung menggunakan Rumus Slovin
(Sujarweni, 2014) adalah:
= 1 + ( )= 1181 + (118 (0,05) )= 1181 + (118 0,0025)= 1181 + 0,295= 1181,295= 91,11 = 92
Keterangan :
n : Besar sampel
N : Besar populasi
d : Tingkat signifikasi (0,05)
64
Jadi besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 92 lansia pensiun di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Madiun yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi antara lain:
1. Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau dan akan di teliti (Nursalam, 2013). Dalam
penelitian ini kriteria inklusi adalah :
a. Lansia mengalami pensiunan pegawai
b. Lansia pensiun yang bersedia menjadi responden
c. Lansia yang tidak memiliki gangguan komunikasi
d. Lansia yang tidak dalam kondisi sakit
2. Kriteria Eksklusi
a. Lansia yang tidak ada di tempat saat penelitian selama 2 hari berturut-
turut
b. Lansia yang memiliki gangguan kejiwaan
65
4.3 Teknik Sampling
Teknik sampling adalah proses menyeleksi porsi dan populasi untuk dapat
mewakili populasi. Cara pengambilan sample dari penelitian ini di ambil secara
Probability Sampling prinsip utamanya adalah bahwa setiap subjek dalam
populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel.
Penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling
yaitu teknik yang paling sederhana (simple). Sampel diambil secara acak, tanpa
memperhatikan tingkatan yang ada dalam populasi (Nursalam, 2016).
4.4 Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
penelitian yang berbentuk kerangka atau alur penelitian, mulai dari desain analisis
data (Hidayat, 2008).
Kerangka kerja dibuat untuk menjelaskan titik penelitian yang dilakukan oleh
peneliti yaitu Hubungan Post Power Syndrome dengan Tingkat Kecemasan
Lansia Pada Masa Pensiun Di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati
Kabupaten Magetan. Kerangka kerja dalam penelitian ini adalah
66
Menentukan PopulasiSemua lansia pensiun di Desa Klagen Gambiran
Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan sebayak118 lansia pensiun
Menentukan SampelSebagian lansia pensiun di Desa Klagen GambiranKecamatan Maospati Kabupaten Magetan sebayak
92 lansia
Teknik SamplingSimple Random Sampling
Jenis PenelitianNon Eksperimen Korelasi (Hubungan)
Pengumpulan DataKuesioner
Variable BebasPost Power Syndrome Lansia pada
Masa Pensiun
Variable TerikatTingkat Kecemasan Lansia pada
Masa Pensiun
Pengolahan DataEditing, coding, scoring, tabulating
Analisis DataSpearman Rank
Penarikan Kesimpulan
Pelaporan
Gambar 4.1 : Kerangka Kerja Hubungan Post Power Syndrome dengan TingkatKecemasan Lansia Pada Masa Pensiun
67
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.5.1 Variabel Independent/ Variabel Bebas
Variable Independent atau Variabel Bebas adalah variable yang
mempengaruhi atau nilainya menentukan variable lain. Suatu kegiatan stimulus
yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variable
dependen (Nursalam, 2016). Adapun variable independent dalam penelitian ini
adalah Post Power syndrome lansia pada masa pensiun.
4.5.2 Variabel Dependent/ Variabel Terikat
Variable Dependent/ Variable Terikat adalah variable yang dipengaruhi
nilainya oleh variable lain. Variabel respons akan muncul sebagai akibat dari
manipulasi variabel-variabel lain (Nursalam, 2016). Adapun variabel dependent
dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun.
4.5.3 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang mendefinisikan tersebut, sehingga memungkinkan peneliti
untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek
atau fenomena. Pada definisi operasional dirumuskan untuk kepentingan akurasi,
komunikasi, dan replikasi (Nursalam, 2016).
68
No Variabel DefinisiOperasional
Parameter Alat Ukur Skala Skor
1. Independent :Post Powersyndromelansia padamasa pensiundi Desa KlagenGambiranKecamatanMaospatiKabupaten
Gejala-gejalapasca kekuasaanyang munculberupa gejala-gejala kejiwaan/emosi yangkurang stabildan gejala-gejala tersebutbersifat negativeyang banyakdialami olehpara pensiunan
Disusun berdasarkanpengembangan dari aspek-aspek fisik serta psikis.Gejala fisik: layu, sayu,lemas, tidak bergairah,danmudah sakit-sakitan.Gejala psikis: tidak puas,putus asa, apatis, depresiserba salah, menarik diri,malu bertemu orang, cepattersinggung, tidak toleran,mudah marah, eksplosif,gelisah, agresif
Kuisioner Ordinal Skor untuk jawabanpernyataan favorable :Sangat Sesuai= 3Sesuai= 2Tidak sesuai= 1Sangat tidak sesuai= 0Skor untuk jawabanpernyataan unfaforable :Sangat sesuai= 0Sesuai= 1Tidak sesuai= 2Sangat tidak sesuai= 3Dengan kategori :Ringan = <24Sedang = 24-48Berat = >48
2. Dependent:TingkatKecemasanLansia padamasa Pensiundi Desa KlagenGambiranKecamatanMaospatiKabupaten
Responemosional yangtidak memilikiobjek spesifikyang dirasakanlansia
lansia mengalami perasaancemas, ketegangan,ketakutan, gangguankecerdasan, perasaandepresi, gejala somatic,gejala sensorik, gejalakardiovaskuler, gejalapernafasan, gejala saluranpencernaan makanan, gejalaurogenital, gejala
Kuisionerdenganmenggunakan HARS(HamiltonAnxietyRatingScale)
Ordinal 0= tidak ada gejalasama sekali1= terdapat satu darigejala yang ada2= separuh dari gejalayang ada3= lebih dari separuhgejala yang ada4= semua gejala yangada
69
vegetative/ otonom, perilakusewaktu wawancara
Ketegori:<14= tidak adakecemasan14-20= kecemasanringan21-27= kecemasansedang28-41= kecemasan berat42-56= kecemasan beratsekali
81
4.6 Instrumen Penelitian
Instrument penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmojo, 2010). Dalam instrument ini, peneliti
mengumpulkan data secara formal di subjek untuk menjawab pernyataan secara
tertulis. Jenis kuisioner yang digunakan adalah kuisioner tertutup yaitu yang
sudah disediakan jawabannya sehingga responden hanya tinggal membutuhkan
tanda check-list (√) pada kolom yang tersedia. Pada kuisioner post power
syndrome terdiri dari data umum lansia yang mengalami post power syndrome,
dan data khusus berupa kuisioner pernyataan tentang post power syndrome
dengan skala Likert. Kuisioner pada post power syndrome berisi 18 pernyataan
yang terdiri pernyataan favorable berjumlah 1 pernyataan, dan pernyataan
unfavorable berjumlah 17. Untuk menghitung pengukuran post power syndrome
dimana lansia menjawab Sangat Setuju (SS) diberi diberi skor “3”, Setuju (S)
diberi skor “2”, Tidak Setuju (TS) diberi skor “1”, dan Sangat Tidak Setuju (STS)
diberi skor “0”. Menghitung rentang minimum-maksimumnya adalah 18 x 0 = 0
sampai 18 x 3 = 54. Dengan demikian satuan standart deviasinya bermulai ϭ =
54/6= 9, dan mean teoritisnya adalah 54+0= 54, jadi µ=54/2 27. Kemudian
ditentukan 3 kategori dengan ketentuan sebagai berikut :
x < ( µ – ϭ)
(µ - ϭ) ≤ x < ( µ +ϭ)
(µ + ϭ) ≤ x
Atau
82
x < (27 – 9) : Ringan
(27 – 9) ≤ x < (27 + 9) : Sedang
(27 + 9) ≤ x : Berat
Keterangan :
µ : Mean teoritis
ϭ : Besar satuan standart devisiasi untuk kategori
x :nilai scoring (Azwar, 2012)
Nila minimum-maksimum = 24 x 0 = 0 (minimum)
24 x 3 = 72 (maksimum)
Standart devisiasi: ϭ = = 36
Ditentukan 3 kategori :
Ringan = x < (µ – ϭ)
= x < (36-2)
= x < 24
Sedang = (µ – ϭ) ≤ x < (µ + ϭ)
= (36 – 12) ≤ x < (36+12)
= 24 ≤ x < 48
Berat = (µ + ϭ) ≤ x
= (36+12) ≤ x
= 48 ≤ x
83
Setelah ditetapkan criteria seperti diatas maka responden mendapatkan skor :
Ringan = <24
Sedang = 24 – 48
Berat = > 48
Untuk mengukur tingkat kecemasan lansia menggunakan insstrumen Rating
Scale For Anxienty (HARS-A) sebanyak 14 pertanyaan dimana setiap pertanyaan
sudah dipersiapkan jawabannya yang mencangkup perasaan cemas,
ketergantungan, ketakutan,gangguan tidur, gangguan ketegangan, ketakutan,
gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala
sensorik, gejala kardiovaskuler, gejala pernafasan, gejala saluran pencernaan
makanan,gejala urogenital, gejala vegetative/ otonom, perilaku sewaktu
wawancara.
Cara menilai masing-masing item adalah sebagai berikut:
Skor: 0= tidak ada gejala sama sekali
1= terdapat satu dari gejala yang ada
2= separuh dari gejala yang ada
3= lebih dari separuh gejala yang ada
4= semua gejala yang ada
Sehingga skor minimal 0 dan skor maksimal 56 (14x4)
<14= tidak ada kecemasan
14-20= kecemasan ringan
21-27= kecemasan sedang
28-41= kecemasan berat
84
42-56= kecemasan berat sekali
4.6.1 Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan butir-butir dalam suatu
daftar pertanyaan dalam mendefinisikan suatu variabel. Daftar pertanyaan ini pada
umumnya mendukung suatu kelompok variabel tertentu.
Uji validitas sebaiknya dilakukan pada setiap butir pertanyaan di uji validitasnya.
Hasil r hitung kita bandingkan dengan r tabel dimana df=n-2 dengan sig 5%. Jika
r tabel < r hitung maka valid.
Dilaksanakan uji validitas terhadap kuisioner post power syndrome di Desa
Pandeyan Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan, pernyataan yang di uji
validitas sebanyak 18 pernyataan tentang post power syndrome. Setelah itu
kuisioner melalui tahap editing dan scoring kemudian di uji validitas dengan
menggunakan Product Momen Person dengan bantuan program SPSS versi 16.0
for windows. Adapun ≤ 0,05 maka item pernyataan dikatakan valid atau
didasarkan pada nilai r dimana pernyataan dinyatakan valid apabila r hitung > r
tabel pada taraf signifikan 5%, sehingga pernyataan dapat digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian. Berdasarkan uji coba terhadap 10 responden
lansia yang sudah pensiun di Desa Pandeyan Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan pada tanggal 30 juni 2017 di peroleh nilai corrected item-total
correlation paling besar sebesar 0,954 pada taraf kesalahan 5% dengan n = 10
diperoleh r tabel = 0,632.
85
4.6.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta
atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang
berlainan. Alat dan cara mengukur atau mengamati sama-sama memegang
peranan yang penting dalam waktu yang bersamaan (Nursalam, 2016). Instrument
yang sudah dipercaya, yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya
juga. Apabila datanya benar sesuai dengan kenyataannya, maka berapa kalipun
diambil tetap akan sama (Arikunto, 2010).
Setelah item pernyataan valid maka proses selanjutnya masuk pada uji
reliabilitas kuisioner tersebut dengan cara yang sama dengan komputerisasi
menggunakan Alpha Cronbach. Berdasarkan uji coba 10 lansia pensiun di Desa
Pandeyan Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan diperoleh nilai Alpha
Cronbach sebesar 0,769 sehingga dapat disimpulkan bahwa kuisioner tersebut
reliabel.
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.7.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati
Kabupaten Madiun.
4.7.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan Juli 2017
86
4.8 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek
dan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2016).
4.8.1 Prosedur Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian, prosedur yang ditetapkan adalah sebagai
berikut:
1. Mengurus surat pengantar dari kampus Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Bhakti Husada Mulia Madiun.
2. Memberikan surat ijin untuk melakukan penelitian ke Kepala Desa Klagen
Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
3. Membuat nama responden dikertas, kemudian djadikan satu dan diambil
secara acak. Lalu memberi penjelasan kepada calon responden tentang
tujuan penelitian dan apabila bersedia menjadi responden dipersilakan untuk
menandatangani inform concent.
4. Peneliti membagikan lembar kuisioner dan mempersilakan responden untuk
mengisi lembar kuisioner sesuai petunjuk. Dalam hal ini peneliti
menggunakan sistem door to door kepada responden dengan mendatangi
rumah responden satu per satu.
5. Setelah lembar kuisioner diisi oleh responden atau dibacakan oleh peneliti
kemudian dikumpulkan kembali pada peneliti dan di cek kelengkapannya,
jika belum lengkap maka saat itu juga diminta untuk melengkapi data,
pengolahn, dan analisa data.
87
4.8.2 Analisa Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data perlu diproses dan
dianalis secara sistematis supaya bisa terdeteksi. Data tersebut ditabulasi dan
dikelompokkan sesuai dengan variable yang diteliti.
Langkah-langkah analisa:
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan semua
kuisioner apakah setiap pertanyaan telah diisi sesuai petunjuk termasuk pula
kelengkapan lembaran instrument barangkali ada yang lepas atau sobek
(Hidayat, 2009).
2. Coding
Coding adalah kegiatan pemberian kode data yang numeric (angka)
terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori (Hidayat, 2009). Termasuk
dalam kegiatan pengkodean ini antara lain:
1) Memberikan kode terhadap identitas responden untuk menjaga
kerahasiaan identitas responden.
2) Memberikan kode pada kategori data sebagai berikut:
Data Demografi:
a) Jenis kelamin
Kode 1 = Laki-laki
Kode 2 = Perempuan
88
b) Usia
Kode 1 = 60-74 tahun
Kode 2 = 75-90 tahun
Kode 3 = >90 tahun
c) Pendidikan
Kode 1 = Tidak Tamat SD
Kode 2 = SD
Kode 3 = SMP
Kode 4 = SLTA
3. Scoring
Scoring yaitu menentukan skor untuk tiap item pernyataan dan tentukan
nilai rendah dan tertinggi (Setiadi, 2007)
Langkah-langkah penyekoran dilakukan dengan memberikan skor pada
masing-masing jawaban yang telah diisi oleh responden dengan rentang
skor 0 sampai 3 pada skala post power syndrome
Pernyataan favorable:
0 = Sangat Setuju
1 = Setuju
2 = Tidak Setuju
3 = Sangat Tidak Setuju
Pernyataan unfavorable:
3 = Sangat Setuju
2 = Setuju
89
1 = Tidak Setuju
0 = Sangat Tidak Setuju
Untuk scoring tingkat kecemasan yaitu:
<14= tidak ada kecemasan
14-20= kecemasan ringan
21-27= kecemasan sedang
28-41= kecemasan berat
42-56= kecemasan berat sekali
4. Tabulating
Tabulasi adalah kegiatan memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan
mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam
berbagai kategori (Nazir, 2011).
4.9 Teknik Analisa Data
Data yang terkumpul akan dianalisa secara deskriptif dan analitik. Data
dianalisis secara deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi, tabulasi silang,
kurva dan grafik.
4.9.1 Analisa Deskriptif
Analisa deskriptif adalah suatu prosedur pengolahan data dengan
menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam bentuk tabel dan
grafik (Nursalam, 2008).
90
4.9.2 Analisa Analitik
1. Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan masing-masing variabel yang diteliti. Tujuan
dari analisis univariat adalah menjelaskan karakteristik setiap variabel
penelitian (Notoatmodjo, 2010). Sifat data secara umum dibedakan atas dua
macam yaitu data kategori berupa skala ordinal dan nominal, data numeric
berupa skala rasio dan interval. Dalam penelitian ini dipakai perhitungan:
a. Distribusi frekuensi
Distribusi frekuensi dalam penelitian ini sebagai berikut:
karakteristik responden, jumlah responden berdasarkan jenis ke
lamin, pendidikan dalam bentuk distribusi dan presentase:
= 100%Keterangan :
P = Angka presentase
f = Frekuensi
n =Banyaknya Responden
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk menguji hubungan antara variabel
independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan uji korelasi
Spearman Rank. Pengujian dalam penelitian ini dilakukan menggunakan
komputerisasi SPSS 16.0 For Windows. Dari uji statistik ini akan diperoleh
kemungkinan hasil uji yaitu signifikasi atau bermakna dengan α = 0,05. Jika
91
nilai p value ≤ 0,05 maka terdapat korelasi yang bermakna antara variabel
yang di uji. Hipotesa diterima nilai p value ≤0,05 (Nursalam, 2008)
Dari hasil perhitungan dengan bantuan komputerisasi untuk
menginterprestasikan seberapa kuat hubungan antara variabel, menurut
pedoman untuk memberikan interprestasi koefisien korelasi sebagai berikut :
Tabel 4.2 Daftar Nilai Keeratan Hubungan Antara VariabelNilai Kategori
0,00 – 0,199 Sangat lemah0,20 – 0,399 Lemah0,40 – 0,599 Sedang0,06 – 0,799 Kuat0,80 – 1,00 Sangat kuat
Sumber : (Sugiyono, 2012).
4.10 Etika Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian khususnya jika yang menjadi subyek
penelitian adalah manusia, maka penelitian harus memahami hak dasar manusia.
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga penelitian
yang akan dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi kebebasan manusia
(Hidayat, 2012). Beberapa prinsip etika penelitian antara lain:
1. Prinsip Manfaat
Dengan berprinsip pada aspek manfaat, maka segala bentuk penelitian
yang dilakukan memiliki harapan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
manusia. Prinsip ini dapat ditegakkan dengan membebaskan, tidak
memberikan atau menimbulkan kekerasan pada manusia, tidak menjadikan
manusia untuk dieksploitasi. Penelitian yang dihasilkan dapat memberikan
manfaat dan mempertimbangkan antara aspek resiko dengan aspek manfaat,
92
bila penelitian yang dilakukan dapat mengalami dilemma dalam etik (Hidayat,
2012).
Mendeteksi gejala post power syndrome pada lansia, kita dapat
mengetahui apakah ada gejala post power syndrome pada lansia tersebut
sehingga dapat di manfaatkan untuk mencegah terjadinya kecemasan pada
lansia.
2. Prinsip Menghargai Hak Azasi Manusia (Recpect Human Diginity)
Manusia memiliki hak dan makhluk yang mulia yang harus dihormati,
karena manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan antara mau dan tidak
untuk diikutsertakan menjadi subyek penelitian (Hidayat, 2012).
Prinsip menghargai hak azasi manusia dalam penelitian ini adalah dalam
penelitian, tidak boleh memaksa calon responden untuk wajib menjadi subyek
penelitian. Peneliti memberi kebebasan kepada calon responden untuk
menyetujui atau tidak untuk menjadi responden.
3. Prinsip Keadilan (Right To Justice)
Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia dengan
menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak menjaga
privasi manusia, dan tidak berpihak dalam perlakuan terhadap manusia
(Hidayat, 2012).
Prinsip keadilan dalam penelitian ini adalah tidak membandingkan
responden satu dengan responden lain.
93
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan disajikan hasil dan pembahasan dari pengumpulan data
dengan menggunakan lembar kuisioner yang telah diisi oleh responden dan
pengukuran yang telah dilakukan pada responden mengenai hubungan post power
syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen
Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli 2017. Dengan jumlah responden
92 lansia pensiunan, sedangkan penyajian data dibagi menjadi dua yaitu data
umum dan data khusus. Data umum terdiri dari karakteristik responden di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan meliputi usia, jenis
kelamin, pendidikan. Sedangkan data khusus yang disajikan berdasarkan hasil
94
dari pengukuran variabel yaitu post power syndrome dengan tingkat kecemasan
lansia pada masa pensiun.
5.1 Gambaran dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Klagen Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan dengan fasilitas yang tersedia sebagai berikut: kantor desa, posyandu
lansia. Terdapat 19 RT dan 03 RW, unit pelayanan di Desa sangat mudah
dijangkau karena letak Desa berada di seberang jalan Raya Solo Maospati mudah
dijangkau oleh kendaraan umum maupun pribadi. Di Desa Klagen Gambiran
Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan jumlah Lansia yang tinggal mencapai
531 orang lansia yang terdiri dari 163 laki-laki dan 368 lansia perempuan.
Terdapat lansia yang mengalami pensiun berjumlah 118 lansia pensiunm terdiri
dari 58 laki-laki pensiun dan 34 wanita pensiun.
5.2 Data Umum
Data ini menyajikan karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin,
pendidikan:
5.2.1 Karakteristik responden lansia pensiun berdasarkan usia.
Dari hasil penelitian berdasarkan Usia dijelaskan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan usia lansia pensiun di Desa KlagenGambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan
No Usia Frekuensi Prosentase (%)1 60-74 tahun 66 71,72 75-90 tahun 25 27,23 >90 tahun 1 1,1
Total 92 100Sumber : Data umum responden penelitian di Desa Klagen Gambiran
Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan
95
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 92 responden paling banyak
di usia 60-74 tahun yang mengalami pensiun dengan jumlah 66 responden dengan
prosentase 71,7%.
5.2.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Dari hasil penelitian berdasarkan karakteristik jenis kelamin lansia pensiun
dijelaskan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin lansia pensiun di DesaKlagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan
No Jenis Kelamin Frekuensi (f) Prosentase (%)1 Laki – laki 58 63,02 Perempuan 34 37,0
Total 92 100Sumber : Data umum responden penelitian di Desa Klagen Gambiran
Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa dari 92 responden sebagian
besar jenis kelamin laki-laki dengan 58 lansia pensiun dengan prosentase 63,0%.
5.2.3 Karakteristik lansia pensiun berdasarkan pendidikan
Dari hasil penelitian berdasarkan karakteristik pendidikan lansia pensiun
dijelaskan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan lansia pensiun di DesaKlagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
No Pendidikan Frekuensi (f ) Prosentase (%)
1 SD 11 12,0
2 SMP 18 19,6
3 SLTA/SMA 63 68,5
Total 92 100
Sumber : Data umum responden penelitian di Desa Klagen GambiranKecamatan Maospati Kabupaten Magetan
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa dari 92 responden sebagian
besar pendidikan SLTA/SMA dengan 63 lansia yang pensiun dengan prosentase
96
68,5%. Dan sebagian kecil berpendidikan SD dengan 11 lansia pensiun dengan
prosentase 12,0%.
97
5.3 Data Khusus
5.3.1 Post Power Syndrom pada Lansia
Hasil analisis post power syndrome pada lansia pada masa pensiun di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.4 Post power syndrome pada lansia pada masa pensiun di Desa KlagenGambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan
No Kategori Frekuensi Prosentase (%)1 Post Power syndrome ringan 28 30,42 Post Power syndrome sedang 49 53,33 Post Power syndrome berat 15 16,3
Total 92 100Sumber : data primer penelitian 2017
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa tertinggi dalam kategori
sedang yaitu sebanyak 49 responden (53,3%), terendah dalam kategori berat yaitu
15 responden (16,3%), dan sebagian dalam kategori ringan yaitu 28 responden
(30,4%).
5.3.2 Kecemasan pada Lansia
Hasil analisis kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen
Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.5 Kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen GambiranKecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
No Kategori Frekuensi (f ) Prosentase (%)
1 Tidak ada kecemasan 14 15,2
2 Kecemasan ringan 58 63,0
3 Kecemasan sedang 4 4,3
4 Kecemasan berat 16 17,4
Total 92 100
Sumber : data primer penelitian 2017
98
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa tertinggi responden yang
mengalami kecemasan dalam kategori ringan yaitu sebanyak 58 responden
(63,0%), terendah dalam kategori dalam kategori kecemasan sedang yaitu 4
responden (4,3%), sedangkan sebagian dalam kategori kecemasan berat 16
responden (17,4%), dan tidak ada kecemasan 14 responden (15,2%)
5.3.3 Analisis hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan lansia
pada masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati
Kabupaten Magetan
Hasil analisis hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan
lansia pada masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati
Kabupaten Magetan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 5.6 Analisis hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasanlansia pada masa pensiun di Desa Klagen Gambiran KecamatanMaospati Kabupaten Magetan
Post PowerSyndrome
Tingkat KecemasanTotalTidak ada
kecemasanKecemasan
RinganKecemasan
SedangKecemasann
Beratf % f % f % f % N %
Ringan 6 21,4 19 67,9 1 3,6 2 7,1 28 30,4Sedang 7 14,3 38 77,6 3 6,1 1 2,0 49 53,3Berat 1 6,7 1 6.7 0 0 13 86,7 15 26,3Total 14 15,2 58 63,0 4 4,3 16 17,4 92 100
= 0,05 r = 0,429 p value= 0,000
Berdasarkan tabel 5.6 dapat bahwa hubungan post power syndrome dengan
tingkat kecemasan lansia menghadapi masa pensiun diketahui nilai tertinggi post
power syndrome pada kategori sedang yaitu 49 responden (53,3%) dengan tidak
ada kecemasan 7 responden (14,3%), kecemasan ringan yaitu 38 responden
(77,6%), kecemasan sedang 3 responden (6,1%), kecemasan berat 1 responden
99
(2,0%). Sedangkan nilai terendah post power syndrome pada kategori berat yaitu
15 responden (16,3%) dengan tidak ada kecemasan 1 responden (6,7%),
kecemasan ringan 1 responden (6,7), kecemasan sedang 0 responden (0%),
kecemasan berat 13 responden (86,7%).
Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan uji statistik Spearman Rank
dengan program SPSS versi 16.0 didapatkan p value 0,000 ≤ = 0,05 artinya Ha
diterima, sehingga ada hubungan antara post power syndrome dengan tingkat
kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan
Maospati Kabupaten Magetan. Hasil uji Spearman Rank bahwa r hitung = 0,429
yaitu positif, maka semakin tinggi post power syndrome maka semakin tinggi
tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun. Keeratan hubungan dapat dilihat
dari nilai r = 0,429 yang dikategorikan sedang (0,40-0,669) yang artinya keeratan
hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada masa
pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan
adalah sedang.
5.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan kuisioner dan pengukuran
terhadap responden pada bulan Juli 2017 dan setelah diolah maka akan membahas
mengenai hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada
masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan.
5.4.1 Post Power Syndrome Lansia Pada Masa Pensiun Di Desa Klagen
Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
100
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa post power syndrome
pada lansia di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan
tertinggi dalam kategori sedang yaitu sebanyak 49 responden (53,3%), terendah
dalam kategori berat yaitu 15 responden (16,3%), dan sebagian dalam kategori
ringan yaitu 28 responden (30,4%).
Post power syndrome merupakan keadaan yang menimbulkan gangguan
fisik, sosial, dan spiritual pada usia lanjut usia saat memasuki waktu pensiun
sehingga dapat menghambat aktivitas mereka dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Faktor yang mempengaruhi post power syndrome pada lansia yang
menghadapi masa pensiun antara lain jenis kelamin, usia, dan pendidikan.
Jenis kelamin adalah salah satu faktor yang mempengaruhi individu untuk
terkena mengalami post power syndrome. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan didapatkan sebagian besar adalah jenis kelamin laki-laki dengan 58
responden sedangkan jenis kelamin perempuan terdapat 34 responden. Hal ini
sesuai dengan teori Hema (2007), yang mengatakan bahwa antara pria dan wanita,
laki-laki lebih rentan terhadap post power syndrome karena pada wanita umumnya
lebih menghargai relasi dari pada prestise, prestise dan kekuasaan itu lebih
dihargai oleh laki-laki. Pernyataan Powel (2007), bahwa sejauh mana kesiapan
individu dalam membuat perencanaan sebelumnya akan membantunya
mengurangi stress akibat ketidaksiapan dirinya menghadapi pensiun. Berarti
sesuai dengan pendapat Hema dan Powel, 2007 bahwa jenis kelamin laki-laki
lebih rentan terhadap post power syndrome.
101
Dari segi usia sebagian besar penderita post power syndrome dalam
penelitian adalah usia antara 60-74 tahun dengan banyaknya 66 responden
(7,17%). Hal ini sesuai dengan Wardhani (2006), yang menyatakan bahwa post
power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lansia dan
pensiun dari pekerjaannya, hanya saja banyak orang berhasil melalui fase ini
dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Namun
pada kasus-kasus tertentu, individu tidak mampu menerima kenyataan yang ada,
ditambah dengan tuntutan hidup yang harus mendesak. Bila dirinya adalah satu-
satunya penopang hidup keluarga, resiko terjadinya post power syndrome yang
berat semakin besar. Hal ini berarti mendukung teori Wardhani bahwa semakin
besar post power syndrome dialami oleh lansia.
Untuk tingkat pendidikan seseorang menentukan kemudahan dalam
menerima setiap pembaharuan. Semakin tinggi pengdidikan seseorang maka
semakin tanggap beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan. (Darmojo
dan Hadi 2006 dalam Wahyuanesari, 2012). Dari hasil penelitian pendidikan
mayoritas SLTA/SMA dengan 63 responden. Hal ini sesuai dengan teori Darmojo
dan Hadi, 2006 dalam Wahyuanesari 2012 yang berpendapat semakin tinggi
tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula pengetahuan tentang post power
syndrome.
Sebagian orang dalam menghadapi masa pensiun memiliki pandangan
positif, namun ada sebagian yang mempersepsikan pensiun secara negatif, dengan
beranggapan bahwa pensiun merupakan akhir dari segalanya, individu akan
memiliki kondisi mental tidak stabil, rasa kurang percaya diri, berlebih-lebihan
102
dalam bekerja dengan anggapan bahwa individu yang pensiun tidak berguna lagi
serta merasa tidak dibutuhkan lagi karena usia sudah tua dan produktifitas
menurun.
Post power syndrome adalah reaksi somatik dalam bentuk sekumpulan
symptom penyakit, luka-luka, serta kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan
rohaniah yang bersifat progresif dan penyebabnya ialah pensiunan atau karena
sudah tidak mempunyai jabatan dan kekuasaan lagi. Apabila individu tidak bisa
menerima kondisi baru itu dan merasa kecewa dan pesimis maka akan timbul
konflik batin, ketakutan dan rasa rendah diri (Seminum, 2010). Hal ini
mengakibatkan deprasi dan post power syndrome (Indriana, 2012).
Jadi dalam hasil penelitian sebagian besar responden mengalami post power
syndrome sedang, hal ini mendukung teori milik Indriana, 2012 dan Seminum,
2010 yang menyatakan menghadapi masa pensiun dengan mempersepsikan
negatif yang berdampak pada ketakutan bahwa raasa rendah diri.
5.4.2 Tingkat Kecemasan Lansia Menghadapi Masa Pensiun Di Desa Klagen
Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan lansia
di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan tertinggi
responden yang mengalami kecemasan dalam kategori ringan yaitu sebanyak 58
responden (63,0%), terendah dalam kategori dalam kategori kecemasan sedang
yaitu 4 responden (4,3%), sedangkan sebagian dalam kategori kecemasan berat 16
responden (17,4%), dan tidak ada kecemasan 14 responden (15,2%)
103
Menurut Stuart dan Sundeen (2007), menyatakan bahwa seseorang yang
menderita kecemasan dalam kategori sedang memungkinkan seseorang tersebut
untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.
Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan
sesuatu yang lebih terarah. Responden kecemasan ini seperti sering nafas pendek
nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, gelisah, lapang
pandang menyempit, rangsang dari luar tidak mampu di terima, bicara banyak,
susah tidur, dan perasaan tidak enak.
Masa pensiun menuntut penyesuaian diri akan perubahan-perubahan yang
terjadi. Sejalan dengan perubahan-perubahan yang akan terjadi, pensiun dapat
menimbulkan kecemasan bagi mereka yang akan mengalami masa pensiun.
Perubahan kondisi ini pun dapat berupa perubahan tempat tinggal. Apabila
seorang pensiun memilih suatu tempat sebagai pilihan hari tua untuk
menghabiskan masa pensiun, tentu saja ada konsekuensi yang harus diterima
ketika pensiun, termasuk biaya hidup dan fasilitas kesehatan di wilayah setempat.
Perubahan pemasukan keuangan yang berawal dari gaji menjadi tunjangan
termasuk perubahan yang membawa dampak bagi para pensiunan. Perubahan-
perubahan itu dapat memberi dampak berupa kecemasan bagi seseorang individu.
Menurut Lestari (2015) tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam
memberikan respon terhadap sesuatu yang baik dari dalam maupun dari luar.
Orang yang akan mempunyai pendidikan yang tinggi akan memberikan respon
yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah atau
mereka yang tidak berpendidikan. Kecemasan adalah respon yang dapat dipelajari.
104
Dengan demikian pendidikan yang rendah menjadi faktor penunjang terjadinya
kecemasan.
Pendidikan dapat mempengaruhi kecemasan karena orang yang
mengalami post power syndrome merupakan situasi yang sulit bagi lansia yang
mengalami pensiun dan harus di hadapi bila tidak ingin mengalami kecemasan.
Pendidikan mempengaruhi pola pikir lansia yang mengalami pensiun sehingga
kurang berpikir kritis.
5.4.3 Hubungan Post Power Syndrome Dengan Tingkat Kecemasan Lansia Pada
Masa Pensiun Di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan.
Pada peneliti ini didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan post power
syndrome dengan tingkat kecemasan lansia menghadapi masa pensiun di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan diketahui nilai
tertinggi post power syndrome pada kategori sedang yaitu 49 responden (53,3%)
dengan tidak ada kecemasan 7 responden (14,3%), kecemasan ringan yaitu 38
responden (77,6%), kecemasan sedang 3 responden (6,1%), kecemasan berat 1
responden (2,0%). Sedangkan nilai terendah post power syndrome pada kategori
berat yaitu 15 responden (16,3%) dengan tidak ada kecemasan 1 responden
(6,7%), kecemasan ringan 1 responden (6,7), kecemasan sedang 0 responden (0%),
kecemasan berat 13 responden (86,7%).
Dari uji statistic menggunakan Spearman Rank nilai p=0,000 < α (0,05)
sehingga H0 ditolak dan Ha diterima berarti ada hubungan post power syndrome
105
dengan tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa Klagen Gambiran
Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan dengan nilai koefisien kontingensi
sebesar 0,429 yang diinteprestasikan bahwa kekuatan hubungan antar variabel
pada tingkat sedang.
Post power syndrome adalah gejala-gejala pasca kekuasaan yang muncul
berupa gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil dan gejala itu biasanya
bersifat negatif, yang menimbulkan reaksi somatic dalam bentuk sekumpulan
symptom penyakit ataupun luka dan kerusakan fiungsi tubuh baik itu jasmani dan
rohani yang disebabkan karena individu tersebut sudah tidak bekerja. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008), yang berjudul post power
syndrome pada pegawai negeri sipil yang mengalami masa pensiun. Diketahui
pada subjek yang pertama individu dalam menghayati masa tuanya diisi dengan
kegiatan yang bermanfaat dan berusaha menyibukkan dirinya sehingga dapat
mengurangi akibat yang ditimbulkan dari post power syndrom. Pada subjek kedua
individu hanya didalam rumah tidak diisi dengan berbagai kegiatan yang dapat
menyibukkan dirinya sehingga efek dari post power syndrome akan semakin
parah.
Masa pensiun dapat memberikan efek positif dan efek negatif bagi lansia.
Efek positif masa pensiun muncul karena lansia melakukan penyesuaian diri yang
baik, sehingga lansia mengalami tahap integrity atau wisdom(Santrock, 2008).
Efek negatif masa pensiun muncul karena penyesuaian diri yang buruk, sehingga
lansia mengalami despair/putus asa (Rosyid, 2007). Despair pada masa pensiun
dapat menambah distress dan kecemasan pada lansia. Solinge (2007) dalam
106
penelitiannya menambahkan bahwa ketika individu mengalami pensiun,
kesehatan lansia cenderung menurun akibat dari pensiun. Tanpa adanya stimulus
kondisi pensiun, kebanyakan lansia sendiri telah mengalami distress dan
kecemasan akan tugas perkembangannya. Pernyataan ini diperkuat anggapan
bahwa pekerjaan dianggap penting karena bisa mendatangkan kepuasan (uang,
status, dan harga diri), sehingga melepaskan pekerjaan yang telah dilakukan
sehari-hari akan menimbulkan kecemasan dan penyesuaian diri yang sulit pada
masa lansia (Agustina, 2008). Hal ini mengakibatkan perasaan-perasaan depresi
seperti isolasi sosial dan kecemasan menjadi efek utama dalam menghadapi
pensiun yang tidak ada persiapan pada masa muda (Papalia, 2008).
Penelitian sejalan dengan peneliitian yang di lakukan oleh Nofita (2011),
yang berjudul post power syndrome in retired manager women, diperoleh hasil
bahwa individu yang terkena post power syndrome akan malu dengan
lingkungannya karena kondisi sosial dan ekonominya sehingga cenderung
mengalami kecemasan setelah pensiun.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa post power syndrome yang
dialami oleh lansia merupakan faktor yang signifikan menyebabkan kecemasan.
Hal ini di dukung oleh senitiati dkk (2006) yaitu salah satu gejala perilaku yang
umumnya malu bertemu orang lain, bahwasannya peran serta lansia atau
pensiunan dalam kegiatan sosial ini dapat mencegah kemunduran fisik ataupun
psikis akibat dari post power syndrome, dengan bergabung dalam organisasi ini
para pensiunan tetap dapat menjalin interaksi sosial dengan orang lain yang pada
akhirnya berdampak pada peningkatan harga diri mereka. Melalui aktivitas, para
107
lansia yang sudah pensiun dapat berkumpul dan berkomunikasi dengan sesama.
Darmodjo dan Martono (2004) mengatakan kegiatan-kegiatan dan hobi beraneka
ragam memungkinkan lansia masih merasa bermanfaat bagi keluarga serta
masyarakat, dan pada akhirnya perasaan tersebut telah cukup dapat memberi
dorongan hidup bagi lansia sehingga tidak akan mengalami apa yang disebut
pension stress atau post power syndrome. Pada penelitian yang di lakukan oleh
Pedi Asareno Tiliano yang berjudul Hubungan Post Power Syndrome Dengan
Tingkat Kecemasan Lansia Menghadapi Masa Pensiun Di Desa Mapagan
Kelurahan Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang, dengan hasil
penelitian, sebagian besar responden mempunyai post power syndrome dalam
kategori berat yaitu sebanyak 20 responden (44,4 %) dan sebagian besar
responden mengalami kecemasan dalam kategori sedang yaitu sebanyak 17
responden (37,8 %). Dari hasil uji statistik menggunakan kendal tau diketahui ada
hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan pada lansia
menghadapi masa pensiun di Desa Mapagan Kelurahan Lerep Kecamatan
Ungaran Barat Kabupaten Semarangdengan nilaip value sebesar 0,001.
5.5 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini memiliki keterbatasan dalam proses pelaksanaannya.
Adapun keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kesulitan penelitian terkadang suasana hati responden tidak dalam suasana
baik (tidak mood)
2. Terdapat beberapa responden yang kurang kooperatif seperti tidak ada di
rumah selama dua hari, jadi mengganti responden yang lain.
108
3. Keterbatasan dalam pengumpulan data, peneliti tidak meneliti tentang
lamanya pensiun dan jabatan waktu masih kerja.
98
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul hubungan post power
syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Post power syndrome pada lansia di Desa Klagen Gambiran Kecamatan
Maospati Kabupaten Magetan tertinggi dalam kategori sedang yaitu
sebanyak 49 responden (53,3%), terendah dalam kategori berat yaitu 15
responden (16,3%), dan sebagian dalam kategori ringan yaitu 28
responden (30,4%).
2. Tingkat kecemasan lansia di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati
Kabupaten Magetan tertinggi responden yang mengalami kecemasan
dalam kategori ringan yaitu sebanyak 58 responden (63,0%), terendah
dalam kategori dalam kategori kecemasan sedang yaitu 4 responden
(4,3%), sedangkan sebagian dalam kategori kecemasan berat 16
responden (17,4%), dan tidak ada kecemasan 14 responden (15,2%)
3. Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan uji statistik Spearman
Rank dengan program SPSS versi 16.0 didapatkan p value 0,000 ≤ =
0,05 artinya Ha diterima, sehingga ada hubungan antara post power
syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa
99
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan. Hasil uji
Spearman Rank bahwa r hitung = 0,429 yaitu positif, maka semakin
tinggi post power syndrome maka semakin tinggi tingkat kecemasan
lansia pada masa pensiun. Keeratan hubungan dapat dilihat dari nilai r =
0,429 yang dikategorikan sedang (0,40-0,669) yang artinya keeratan
hubungan post power syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada
masa pensiun di Desa Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten
Magetan adalah sedang.
6.2 Saran
Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan, maka peneliti ingin
menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi Lansia
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan bagi
lansia tentang post power syndrome yang dialami dan cara mengurangi
kecemasan dalam menghadapi masa pensiun.
2. Bagi Keluarga Lansia
Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi keluarga dalam
menghadapi dan mendukung lansia pada masa pensiun.
3. Bagi Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk pengembangan ilmu
mengenai post power syndrome dengan kecemasan lansia pada masa
pensiun.
4. Bagi Peneliti
100
Hasil penelitian ini dapat menjadi data menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi peneliti sendiri dalam pelaksanaan sebuah penelitian.
5. Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya untuk
mengadakan penelitian dengan metode kuantitatif dengan melihat faktor-
faktor lain yang kemungkinan lebih mempengaruhi kecemasan pada
lansia, seperti: dukungan sosial, sosial ekonomi, faktor penyakit, dan
faktor lainnya.
101
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Fandy Y. 2013. Pengaruh Optimisme Menghadapi Masa PensiunTerhadap Post Power Syndrome Pada Anggota Badan Pembina PensiunanPegawai (BP3) Pelindo Semarang. (diakses 3 Maret 2017)
Arikunto. 2013. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta:Jakarta.
Azwar, Saifuddin. 2012.Penyusunan Skala Psikologi Edisi II.Yogyakarta: PustakaPelajar.
Dharmawan, Budhi P. 2011. Kecemasan Menghadapi Masa Pensiunan PadaPegawai Kementrian Agama Yang Istrinya Bekerja Dan Tidak Bekerja.(diakses 3 Maret 2017)
Handayani, Y. 2008. Post Power Syndrome sebagai Gangguan Mental padaMasa Pensiun. (Diakses 4 Maret 2017)
Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI
Hidayat. 2009. Metodologi Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisa Data.Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat. 2012. Metodologi Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisa Data.Jakarta: Salemba Medika.
Indriana, Yeniar. 2015. Harga Diri Kecenderungan Post Power Syndrome PadaPensiunan Pegawai Negeri Sipil Anggota PWRI Cabang Kota Cirebon.(diakses 3 Maret 2017)
Muhith, Abdul dan Sandu Siyoto. 2016. Pendidikan KeperawatanGerontik.Yogyakarta: ANDI.
102
Nur, Reza A. 2016. Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Tingkat KemandirianAktifitas Dasar Sehari-hari (ADS) Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia.Skripsi. Sarjana Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun.
Nurhayati, Istiqomah. 2015. Harga Diri Kecenderungan Post Power SyndromePada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Anggota PWRI Cabang KotaCirebon. (diakses 3 Maret 2017)
Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba: Medika:Jakarta.
Nursalam.2016. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba: Medika:Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Octhy, Nindy R. 2016. Hubungan Antara Keseimbangan Tubuh Dengan ResikoJatuh Di UPT PSLU Magetan.Skripsi.Sarjana Stikikes Bhakti Husada MuliaMadiun.
Potter, PA dan Perry, AG. 2008. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,Proses, dan Praktek. Edisi 4. Jakarta: EGC
Priyoto. 2014. NIC (Nursing Intervention Classification) Dalam KeperawatanGerontik.Ponorogo: Salemba Medika.
Purwati, Puji. 2009. Post Power Syndrome Pada Purnawirawan KepolisianNegara Republik Indonesia Ditinjau Dari Harga Diri. Skripsi. UniversitasKatolik Soegijapranata
Rozak, Hamdan A. 2013. Post Power Syndrome Pada Pensiunan Pegawai NegeriSipil (Studi Kasus Dua Pensiunan Guru MAN Pacitan. (diakses 3 Maret2017)
Seniaty, L, Yulianto, A, & Setiadi, B.N. 2009. Psikologi Eksperimen. Jakarta: PTIndeks
Stuart, GW dan Sundeen, SJ. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta:EGC
Tiliano, Pendi A. 2016. Hubingan Post Power Syndrome Dengan TingkatKecemasan Lansia Menghadapi Masa Pensiun Di Desa MapanganKelurahan Lerep Kecematan Unggaran Barat Kabupaten Semarang.
Sujarweni, W. 2014. SPSS untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
103
104
Lampiran 1
105
106
Lampiran 2
LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN
HUBUNGAN POST POWER SYNDROME DENGAN TINGKAT
KECEMASAN LANSIA PADA MASA PENSIUN DI DESA KLAGEN
GAMBIRAN KECAMATAN MAOSPATI KABUPATEN MAGETAN
Oleh :
RIA OKTAVIA
Penulis adalah mahasiswa sarjana keperawatan STIKES Bhakti Husada
Mulia Madiun, penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam
menyelesaikan sarjana keperawatan STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
Tujuan penulisan untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan post
power syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan”
. Informasi yang saudara berikan hanya akan digunakan untuk
pengembangan ilmu pendidikan dan tidak akan dipergunakan untuk maksud –
maksud lain.
Partisipasi anda dalam penulisan ini bersifat bebas, anda bebas untuk ikut
atau tidak tanpa adanya sanksi apapun. Jika anda bersedia menjadi responden
penelitian ini, silahkan anda menandatangani kolom yang tersedia.
Madiun, Mei 2017Peneliti
Ria Oktavia201302101
107
Lampiran 3
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
(Inform Concent)
Dengan Hormat,
Saya sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES
Bhakti Husada Mulia Madiun
Nama : Ria Oktavia
Nim : 201302101
Bermaksud untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan post
power syndrome dengan tingkat kecemasan lansia pada masa pensiun di Desa
Klagen Gambiran Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan”
Adapun informasi dan kesediaan saudara berikan akan dijamin
kerahasiaanya dan saya bertanggung jawab apabila informasi yang diberikan
merugikan saudara.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila saudara setuju ikut serta
dalam penelitian ini dimohon untuk menandatangani kolom yang telah disediakan.
Atas kesediaan dan kerjasamanya saya mengucapkan terima kasih.
Madiun, Juli 2017
Peneliti
Ria Oktavia
NIM. 201302081
Responden
108
Lampiran 4
KISI-KISI KUESIONER PENELITIAN
Tabel 1. Kisi-Kisi Kuesioner Post Power Syndrome
Variabel Indikator NomorPertanyaan
Favorable Unfavorable Jumlah
PostPowerSyndrome
Gejala Fisik:
Layu, sayu, lemastidak bergairah, danmudah sakit-sakitan.
1, 2, 3, 4, 5 1, 2, 3, 5 4 5
Gejala Psikis:
Tidak puas, putusasa, apatis, depresi,serba salah, menarikdiri, malu bertemudengan orang, cepattersinggung, tidaktooleran, mudahmarah, eksplosif,gelisah, agresif
6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 13, 14,15, 16, 17, 18
13 - 13
109
Lampiran 5
1. Kuisioner Post Power Syndrome
Kuisioner pada post power syndrome berisi 18 pernyataan yang terdiri
pernyataan favorable berjumlah 1 pernyataan, dan pernyataan unfavorable
berjumlah 17. Dengan perhitungan skor pernyataan favorable: SS=3, S= 2, TS= 1,
STS=0 dan pernyataan unfavorable SS=0, S= 1, TS= 2, STS=3
IDENTITAS
Nama :
Usia : L/P
Pendidikan :
No PERNYATAAN SS S TS STS
1. Semenjak pensiun saya merasamudah sekali mengantuk
2. Saya tidak memiliki semangat lagidalam menjalani aktivitas dankegiatan sehari-hari
3. Sekarang saya hanya ingin dudukberdiam saja tidak ingin melakukanaktivitas apapun
4 Saya merasa setelah pensiun staminasaya tetap terjaga
5 Setelah pensiun saya mudah sakit-sakitan
6 Saya tidak pernah merasa puasdengan pekerjaan yang telah sayacapai saat ini
7 Saya merasa tidak mampu lagimembahagiakan keluarga setelahsaya pensiun
110
8 Saya tidak peduli dengan keadaanatau nasib orang lain
9 Saya merasa tertekan dengankeadaan saya yang sudah pensiun
10 Saya merasa hal yang saya lakukansering salah
11 Semenjak pensiun saya tidak inginsudah tidak ingin terlibat dalamsuatu kegiatan organisasi ataupunkegiatan sosial lainnya
12 Saya menutup diri dari tetanggamaupun orang lain
13 Perkataan orang lain tentang dirisaya cenderung menyakiti perasaansaya
14 Setelah pensiun saya merasa sudahtidak perlu tahu masalah ataukeadaan dilingkungan sekitar saya
15 Saya mudah tersinggung ketikaorang lain membicarakan hal yangtidak saya sukai
16 Saya tidak dapat dengan mudahmemaafkan kesalahan orang
17 Saya merasa tidak senang ketika adaorang lain yang menyinggung saya
18 Saya tidak segan untuk melukaiorang lain apabila ada yang berusahauntuk mengganggu diri saya
SKOR TOTAL
Keterangan:Ringan = < 24Sedang = 24- 48Berat = >48
111
2. Kecemasan dengan menggunakan Hamilton Rating Scale For Anxiety(HARS)
1 Perasaan Cemas
Firasat buruk
Takut akan pikiran sendiri
Mudah tersinggung
2 Ketegangan
Merasa tegang
Lesu
Mudah terkejut
Tidak dapat beristirahat dengan nyenyak
Mudah mengangis
Gemetar
Gelisah
3 Ketakutan
Pada gelap
Ditinggal sendiri
Pada orang asing
Pada binatang besar
Pada keramaian lalu lintas
Pada kerumunan banyak orang
4 Gangguan tidur
Sukar memulai tidur
Terbangun malam hari
112
Tidak pulas
Mimpi buruk
Mimpi yang menakutkan
5 Gangguan kecerdasan
Daya ingat buruk
Sulit berkonsentrasi
Sering bingung
6 Perasaan depresi
Kehilangan minat
Sedih
Bangun dini hari
Berkurangnya kesukaan pada hobi
Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7 Gejala somatik (otot-otot)
Nyeri otot
Kaku
Kedutan otot
Gigi gemeretak
Suara tak stabil
8 Gejala sensorik
Telinga berdengung
Penglihatan kabur
Muka merah dan pucat
113
Merasa lemah
Perasaan ditusuk-tusuk
9 Gejala kardiovaskuler
Denyut nadi cepat
Berdebar-debar
Nyeri dada
Denyut nadi mengeras
Rasa lemah seperti mau pingsan
Detak jantung hilang sekejap
10 Gejala pernafasan
Rasa tertekan di dada
Perasaan tercekik
Merasa napas pendek/ sesak
Sering menarik napas panjang
11 Gejala gastrointestinal
Sulit menelan
Mual muntah
Berat badan menurun
Konstipasi/ sulit buang air besar
Perut melilit
Gangguan pencernaan
Nyeri lambung
Rasa panas di perut
114
Perut terasa penuh/ kembung
12 Gejala urogenetalia
Sering kencing
Tidak dapat menahan kencing
Amenor/ menstruasi yang tidak teratur
Frigiditas
13 Gejala vegetative/ otonom
Mulut kering
Muka kering
Mudah berkeringat
Pusing/ sakit kepala
Bulu roma berdiri
14 Perilaku saat wawancara
Gelisah
Tidak tenang
Mengerutkan dahi muka tegang
Tonus/ ketegangan otot meningkat
Napas pendek dan cepat
Muka merah
Jumlah Skor: …...........
Keterangan :<14 = tidak ada kecemasan14-20= kecemasan ringan21-27= kecemasan sedang28-41= kecemasan berat42-56= kecemasan berat sekali
115
Lampiran 6
Validitas dan Reliabilitas
Pertanyaan PerarsonCorrelation
Valid Tidak Valid
Pernyataan_1 0,898 Valid -Pernyataan_2 0,938 Valid -Pernyataan_3 0,943 Valid -Pernyataan_4 0,908 Valid -Pernyataan_5 0,808 Valid -Pernyataan_6 0,897 Valid -Pernyataan_7 0,821 Valid -Pernyataan_8 0,846 Valid -Pernyataan_9 0,923 Valid -Pernyataan_10 0,897 Valid -Pernyataan_11 0,848 Valid -Pernyataan_12 0,880 Valid -Pernyataan_13 0,761 Valid -Pernyataan_14 0,875 Valid -Pernyataan_15 0,679 Valid -Pernyataan_16 0,826 Valid -Pernyataan_17 0,938 Valid -Pernyataan_18 0,954 Valid -
116
Correlations
skor_total
item_1
Pearson Correlation .898**
Sig. (2-tailed) .000
N10
item_2 Pearson Correlation .938**
Sig. (2-tailed) .000
N 10
item_3 Pearson Correlation .943**
Sig. (2-tailed) .000
N 10
item_4 Pearson Correlation .908**
Sig. (2-tailed) .000
N 10
item_5 Pearson Correlation .808**
Sig. (2-tailed) .005
N 10
item_6 Pearson Correlation .897**
Sig. (2-tailed) .000
N 10
item_7 Pearson Correlation .821**
Sig. (2-tailed) .004
N 10
item_8 Pearson Correlation .846**
Sig. (2-tailed) .002
N 10
item_9 Pearson Correlation .923**
Sig. (2-tailed) .000
N 10
item_10 Pearson Correlation .897**
Sig. (2-tailed) .000
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.769 19
117
N 10
item_11 Pearson Correlation .848**
Sig. (2-tailed) .002
N 10
item_12 Pearson Correlation .880**
Sig. (2-tailed) .001
N 10
item_13 Pearson Correlation .761*
Sig. (2-tailed) .011
N 10
item_14 Pearson Correlation .875**
Sig. (2-tailed) .001
N 10
item_15 Pearson Correlation .679*
Sig. (2-tailed) .031
N 10
item_16 Pearson Correlation .826**
Sig. (2-tailed) .003
N 10
item_17 Pearson Correlation .938**
Sig. (2-tailed) .000
N 10
item_18 Pearson Correlation .954**
Sig. (2-tailed) .000
N 10
skor_total Pearson Correlation 1
Sig. (2-tailed)
N 10
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
118
Lampiran 7
HASIL TABULASIHUBUNGAN POST POWER SYNDROME DENGAN TINGKAT
KECEMASAN LANSIA MENGHADAPI MASA PENSIUN DI DESAKLAGEN GAMBIRAN KEC. MAOSPATI KAB. MAGETAN
No NamaJenis
KelaminUsia Pendidikan
TotalSkor
PPSTotalSkor Kecemasan
1 Tn. S Laki-laki 67 SLTA 23 PR 14 KR
2 Tn. H Laki-laki 73 SMP 20 PR 17 KR
3 Tn. H Laki-laki 75 SLTA 17 PR 18 KR
4 Tn. D Laki-laki 79 SLTA 28 PS 16 KR
5 Tn. S Laki-laki 68 SLTA 23 PR 16 KR
6 Ny. H Perempuan 63 SMP 27 PS 12 TK
7 Ny. K Perempuan 64 SLTA 29 PS 12 TK
8 Tn. S Laki-laki 68 SLTA 48 PB 28 KB
9 Tn. S Laki-laki 70 SLTA 22 PR 15 KR
10 Tn. W Laki-laki 82 SD 23 PR 15 KR
11 Ny. S Perempuan 85 SLTA 34 PS 15 KR
12 Tn. E Laki-laki 66 SLTA 49 PB 28 KB
13 Tn. S Perempuan 87 SMP 35 PR 15 KR
14 Tn. S Laki-laki 67 SLTA 49 PB 29 KB
15 Tn. S Laki-laki 87 SLTA 23 PR 17 KR
16 Tn.S Laki-laki 67 SMP 41 PR 15 KR
17 Tn. M Laki-laki 68 SLTA 26 PR 20 KR
18 Ny. P Perempuan 68 SLTA 48 PB 29 KB
19 Ny. M Perempuan 73 SLTA 43 PS 15 KR
20 Tn. L Laki-laki 74 SD 49 PB 28 KB
21 Ny. S Perempuan 80 SLTA 41 PS 16 KR
22 Tn. W Laki-laki 62 SLTA 34 PS 19 KR
23 Tn I Laki-laki 62 SMP 37 PS 15 KR
24 Tn. S Laki-laki 61 SLTA 42 PS 14 TK
25 Tn. S Laki-laki 65 SD 40 PS 17 KR
26 Tn. A Laki-laki 77 SLTA 40 PS 15 KR
27 Tn. S Laki-laki 64 SLTA 41 PS 15 KR
28 Ny. S Perempuan 61 SLTA 53 PB 28 KB
29 Tn. W Laki-laki 63 SLTA 16 PR 16 KR
30 Tn. S Laki-laki 68 SLTA 25 PS 21 KS
31 Tn. M Laki-laki 72 SMP 25 PS 18 KR
32 Ny. P Perempuan 75 SD 27 PS 21 KS
33 Ny. U Perempuan 61 SLTA 49 PB 28 KB
119
34 Tn. S Laki-laki 66 SLTA 27 PS 16 KR
35 Tn. S Laki-laki 67 SLTA 37 PS 14 KR
36 Tn. S Laki-laki 67 SLTA 31 PS 17 KR
37 Tn. S Laki-laki 77 SLTA 23 PR 14 KR
38 Tn. S Laki-laki 63 SD 53 PB 28 KB
39 Tn. T Laki-laki 73 SLTA 25 PS 17 KR
40 Tn. S Laki-laki 61 SMP 53 PB 17 KR
41 Ny. S Perempuan 70 SLTA 49 PR 13 TK
42 Ny. S Perempuan 80 SD 25 PS 13 TK
43 Ny. S Perempuan 83 SLTA 27 PS 20 KR
44 Ny. I Perempuan 85 SLTA 28 PS 17 KR
45 Ny. S Perempuan 61 SLTA 53 PB 28 KB
46 Ny. S Perempuan 64 SD 25 PS 15 KR
47 Ny. Y Perempuan 72 SMP 31 PS 28 KB
48 Ny. K Perempuan 60 SLTA 53 PR 12 TK
49 Tn. M Laki-laki 62 SD 49 PB 29 KB
50 Ny. S Perempuan 63 SLTA 25 PS 17 KR
51 Tn. G Laki-laki 63 SLTA 21 PR 13 TK
52 Ny. S Perempuan 72 SLTA 53 PR 13 TK
53 Ny. S Perempuan 61 SMP 25 PS 20 KR
54 Tn. S Laki-laki 61 SLTA 27 PS 17 KR
55 Tn. S Laki-laki 61 SLTA 28 PS 17 KR
56 Tn. P Laki-laki 74 SD 22 PR 15 KR
57 Tn. S Laki-laki 74 SLTA 25 PS 14 KR
58 Ny. N Perempuan 62 SLTA 23 PR 17 KR
59 Ny. S Perempuan 61 SMP 49 PB 29 KB
60 Tn. T Laki-laki 63 SD 49 PB 28 KB
61 Tn. S Laki-laki 60 SLTA 28 PS 16 KR
62 Tn. S Laki-laki 63 SLTA 23 PR 12 TK
63 Tn. S Laki-laki 64 SLTA 27 PS 12 TK
64 Tn. P Laki-laki 72 SLTA 29 PS 17 KR
65 Ny. S Perempuan 75 SMP 53 PB 29 KB
66 Tn. S Laki-laki 77 SLTA 22 PR 15 KR
67 Tn. S Laki-laki 61 SMP 29 PS 15 KR
68 Tn. S Laki-laki 61 SLTA 23 PR 14 KR
69 Ny. I Perempuan 63 SLTA 23 PR 16 KR
70 Ny. H Perempuan 75 SLTA 25 PS 21 KS
71 Ny. S Perempuan 87 SLTA 22 PR 18 TK
72 Ny. S Perempuan 85 SMP 22 PR 21 KS
73 Tn. S Laki-laki 65 SLTA 49 PB 28 KB
74 Tn. S Laki-laki 68 SLTA 27 PS 16 KR
120
75 Tn. S Laki-laki 68 SMP 43 PS 14 KR
76 Tn. H Laki-laki 92 SD 49 PB 29 KB
77 Ny. U Perempuan 64 SLTA 41 PS 14 KR
78 Tn. G Laki-laki 60 SLTA 34 PS 12 TK
79 Tn. K Laki-laki 84 SLTA 37 PS 17 KR
80 Ny. G Perempuan 64 SMP 42 PS 17 KR
81 Tn. S Laki-laki 74 SLTA 40 PS 17 KR
82 Tn. S Laki-laki 65 SLTA 40 PS 15 KR
83 Ny. D Perempuan 82 SD 41 PS 20 KR
84 Tn. R Laki-laki 70 SMP 53 PB 29 KB
85 Ny. K Perempuan 74 SLTA 49 PR 15 KR
86 Tn. S Laki-laki 74 SLTA 25 PS 17 KR
87 Ny. S Perempuan 77 SLTA 25 PS 16 KR
88 Ny. T Perempuan 80 SLTA 27 PS 19 KR
89 Ny. T Perempuan 64 SMP 21 PR 15 KR
90 Tn. A Laki-laki 77 SLTA 27 PS 14 KR
91 Tn. S Laki-laki 66 SLTA 36 PS 17 KR
92 Tn. M Laki-laki 76 SLTA 31 PS 15 TK
Keterangan:PPS : Post power syndromePR : Post power syndrome ringanPS : Post power syndrome sedangPB : Post power syndrome beratTK : Tidak ada KecemasanKR : Kecemsan RinganKS : Kecemsan SedangKB : Kecemsan Berat
Post Power SyndromeRingan = < 24Sedang = 24- 48Tinggi/Berat = >48
Tingkat Kecemasan<14 = tidak ada kecemasan14-20 = kecemasan ringan21-27 = kecemasan sedang28-41 = kecemasan berat42-56 = kecemasan berat sekali
121
Lampiran 8
Data Umum Responden
1. Karakteristik berdasarkan usia dengan distribusi frekuensi
Statistics
USIA
N Valid 92
Missing 0
Minimum 1
Maximum 3
USIA
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 60-74 66 71.7 71.7 71.7
75-90 25 27.2 27.2 98.9
>90 1 1.1 1.1 100.0
Total 92 100.0 100.0
2. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin dengan distribusi frekuensi
Statistics
JENIS KELAMIN
N Valid 92
Missing 0
Mean 1.37
Median 1.00
Mode 1
Std. Deviation .485
Minimum 1
Maximum 2
122
JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid LAKI-LAKI 58 63.0 63.0 63.0
PEREMPUAN 34 37.0 37.0 100.0
Total 92 100.0 100.0
3. Karakteristik berdasarkan pendidikan dengan distribusi frekuensi
Statistics
PENDIDIKAN RESPONDEN
N Valid 92
Missing 0
PENDIDIKAN RESPONDEN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid SD 11 12.0 12.0 12.0
SMP 18 19.6 19.6 31.5
SLTA 63 68.5 68.5 100.0
Total 92 100.0 100.0
123
Data Khusus
1. Hasil Analisis Post Power Syndrome
Statistics
POST_POWER_
SYNDROME
TINGKAT_KECE
MASAN
N Valid 92 92
Missing 0 0
Minimum 1 1
Maximum 3 4
POST_POWER_SYNDROME
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid POST POWER SYNDROME
RINGAN28 30.4 30.4 30.4
POST POWER SYNDROME
SEDANG49 53.3 53.3 83.7
POST POWER SYNDROME
BERAT15 16.3 16.3 100.0
Total 92 100.0 100.0
2. Hasil Analisis Tingkat Kecemasa
TINGKAT_KECEMASAN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TIDAK ADA KECEMASAN 14 15.2 15.2 15.2
KECEMASAN RINGAN 58 63.0 63.0 78.3
KECEMASAN SEDANG 4 4.3 4.3 82.6
KECEMASAN BERAT 16 17.4 17.4 100.0
Total 92 100.0 100.0
124
3. Hasil Analisis Hubungan Post Power Syndrome dengan Tingkat Kecemasan
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
POST_POWER_SYNDROM
E * TINGKAT_KECEMASAN92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
125
POST_POWER_SYNDROME * TINGKAT_KECEMASAN Crosstabulation
TINGKAT_KECEMASAN
Total
TIDAK ADA
KECEMASAN
KECEMASAN
RINGAN
KECEMASAN
SEDANG
KECEMASAN
BERAT
POST_POWER
_SYNDROME
POST POWER SYNDROME
RINGAN
Count 6 19 1 2 28
% within POST_POWER_SYNDROME 21.4% 67.9% 3.6% 7.1% 100.0%
% within TINGKAT_KECEMASAN 42.9% 32.8% 25.0% 12.5% 30.4%
% of Total 6.5% 20.7% 1.1% 2.2% 30.4%
POST POWER SYNDROME
SEDANG
Count 7 38 3 1 49
% within POST_POWER_SYNDROME 14.3% 77.6% 6.1% 2.0% 100.0%
% within TINGKAT_KECEMASAN 50.0% 65.5% 75.0% 6.2% 53.3%
% of Total 7.6% 41.3% 3.3% 1.1% 53.3%
POST POWER SYNDROME
BERAT
Count 1 1 0 13 15
% within POST_POWER_SYNDROME 6.7% 6.7% .0% 86.7% 100.0%
% within TINGKAT_KECEMASAN 7.1% 1.7% .0% 81.2% 16.3%
% of Total 1.1% 1.1% .0% 14.1% 16.3%
Total Count 14 58 4 16 92
% within POST_POWER_SYNDROME 15.2% 63.0% 4.3% 17.4% 100.0%
% within TINGKAT_KECEMASAN 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 15.2% 63.0% 4.3% 17.4% 100.0%
126
Symmetric Measures
Value Asymp. Std. Errora Approx. Tb Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R .518 .102 5.744 .000c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .429 .112 4.510 .000c
N of Valid Cases 92
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Correlations
POST_POWER
_SYNDROME
TINGKAT_KEC
EMASAN
Spearman's rho POST_POWER_SYNDROME Correlation Coefficient 1.000 .429**
Sig. (2-tailed) . .000
N 92 92
TINGKAT_KECEMASAN Correlation Coefficient .429** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 92 92
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
127
Lampiran 9
128
\
129
Lampiran 10
FOTO KEGIATAN PENELITIAN
130
i
Lampiran 9
JADWAL KEGIATAN
NoKegiatan
Bulan
Januari
2017
Februari
2017
Maret
2017
April
2017
Mei
2017
Juni
2017
Juli
2017
Agustus
2017
1.Pembuatan
dan Konsul
Judul
2. Penyusunan
Proposal
3. Bimbingan
Proposal
4. Ujian
Proposal
5. Revisi
Proposal
6. Pengambilan
Data
7.
Penyusunan
dan
Konsul
Skripsi
8. Ujian
Skripsi