Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
SKRIPSI
HUBUNGAN KESEHATAN MENTAL KEBIASAAN MEROKOK
DAN AKTIFITAS SEDENTARI DENGAN KOMPONEN
SINDROM METABOLIK PADA PASIEN RAWAT
JALAN DI RSP UNHAS DAN RS IBNU SINA
MAKASSAR TAHUN 2013
ASFA INDRAWATY OHORELLA
K21111 602
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
2
RINGKASAN
UNIVERSITAS HASANUDDUN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT ILMU GIZI
ASFA INDRAWATY OHORELLA “HUBUNGAN KESEHATAN MENTAL KEBIASAAN MEROKOK DANAKTIFITAS SEDENTARI TERHADAP KOMPONEN SINDROM METABOLIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RSP UNHAS DAN RS IBNU SINA MAKASSAR 2013” ( xi + 122 halaman +19 Tabel +9 lampiran)
Sindrom metabolik adalah kumpulan gejala,yang secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner hipertensi dan diabetes.Sebanyak 70% penduduk Indonesia adalah perokok aktif dan dilihat dari sisi Rumah Tangga (RT) 57% memiliki anggota RT yang merokok. Secara nasional propinsi sulawesi selatan berdasarkan data Riskesdas 2010,prevalensi perokok usia ≥15 tahun,dengan umur pertama kali merokok atau mengunyah tembakau menduduki peringkat ke 8 (21,7%) sesudah kepulauan Bangka Belitung. Gaya hidup kurang aktif merupakan penyebab utama penyakit kronis, seperti diabetes, obesitas, juga penyakit perlemakan hati.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesehatan mental,Kebiasaan merokok,dan gaya hidup sedentari terhadap komponen sindrom metabolik pada Pasien rawat jalan di RSP Universitas Hasanuddin dan rumah sakit Ibnu Sina makassar tahun 2013.Jenis Penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan desain cross-sectional. Populasi pada penelitian ini adalah rata-rata perbulan pasien rawat jalan di“Poliklinik interna tahun 2012.Sampel dalam penelitian ini adalah pasien baru dan pasien lama yang berobat jalan di poliklinik interna sebanyak 118 pasien yang di peroleh secara accidental sampling dengan uji statistik yang di gunakan adalah chi square.
Sindrom metabolik yang di peroleh dari hasil penelitian sebanyak 86 orang.Hasil análisis menunjukan bahwa nilai p<0,05 yang berarti bahwa ada hubungan kesehatan mental dan aktifitas sedentarial dengan komponen sindrom metabolik.dan tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan sindrom metabolik. Daftar bacaan :43 (2005-2013) Kata kunci : Sindrom metabolik,kesehatan mental,aktfitas sedentari,pasien rawat jalan.
iv
3
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Rabbi ( Rabbul
jalaluhu) yang dengan matan-nya kita melihat,dengan telinganya kita
mendengar,dengan firmannya kita berbicara,dan dengan ruh-nya kita di
hidupkan,kecintaan kita kepadanya akan senantiasa mendekatkan kita kepadanya
(dalam sifatnya) dan karenanya-lah jualah yang memberikan kesehatan dan
kesempatan sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi dengan
judul “Hubungan Kesehatan mental kebiasaan merokok dan Aktifitas sedentary
terhadap komponen sindrom metabolik pada pasien rawat jalan di RSP UN-HAS
dan RS Ibnu Sina Makassar”. Salawat dan salam juga tak lupa penulis sampaikan
kepada sang tauladan agung (Rasulullah Muhammaad SAW).
Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah melewati perjalanan penjang
dalam penyusunannya yang tentunya tidak terlepas dari bantuan moril dan materil
orang lain. Karena itu sepatutnya penulis dengan segala kerendahan dan
keikhlasan menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Dra.Nurhaedar jafar,Apt,M.Kes selaku pembimbing I dan ibu
dr.Devintha virani selaku pembimbing II dan pembimbing akademik yang
telah banyak memberikan bantuan,bimbingan dan masukan dalam
penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Dr. Saifuddin Sirajuddin,MS.Bapak Dr.drg.Andi Zulkifli
A.M.Kes,Bapak Abdul Salam.SKM,M.Kes selaku penguji yang telah
memberikan kritik,saran dan arahan kepada penulis.
v
4
3. Ibu Dra.Nurhaedar jafar.Apt M.Kes selaku ketua jurusan Gizi beserta
seluruh dosen dan staf pegawai atas segala bantuan dan perhatian yang
telah di berikan.
4. Bapak Prof.Dr.dr.H.M.Alimin Maidin,MPH selaku dekan Fakultas
kesehatan masyarakat,staf pengajar dan seluruh karyawan atas segala
informasi dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama mengikuti
perkuliahan.
5. Kepala Dinas kesehatan propinsi Maluku Tengah yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada jurusan Ilmu Gizi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.
6. Direktur RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina yang telah memberikan izin
penelitian kepada penulis.
7. Ayahanda (Almarhum) Karman ohorella dan Ummi tercinta Hj.Werda
Bassalamah yang telah dengan penuh kasih sayang memberikan dorongan
moril dan materil.
8. Suami tercinta dan Anakku tersayang Isti dan Inda yang selalu sabar dan
tidak rewel walaupun sering di tinggal,Terima kasih anakku dan maafkan
ibu yang telah merenggut hakmu.
9. Teman-teman tubel angkatan 2011 serta adik regular angkatan 2009 yang
setiap saat memberi semangat,motifasi,dan bantuannya dalam
menyelesaikan hasil penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan,oleh sebab itu penulis memohon maaf dan dengan senang hati
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.
vi
5
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima
kasih setulus-tulusnya serta penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu mulai pada
saat pendidikan sampai selesainya penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan pengemabangan ilmu pengetahuan, Amin
Makassar, Mei 2013 Wassalam
Penulis
vii
6
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI ................................................... iii
RINGKASAN...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL............................................................................................. viiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 11
D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 13
A. Tinjauan Umum Tentang Sindrom Metabolik .................................. 13
viii
7
B. Tinjauan Umum Tentang Kesehatan Mental ..................................... 43
C. Tinjauan Umum Tentang Stres ......................................................... 48
D. Tinjauan Umum Tentang Gaya hidup Sedentari ............................... 54
E. Perilaku Merokok ............................................................................ 58
F. Kerangka Teori ................................................................................ 62
G. Kerangka Konsep ............................................................................ 66
H. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ....................................... 68
I. Hipotesis Penelitian ......................................................................... 73
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 74
A. Jenis Penelitian ................................................................................ 74
B. Lokasi Penelitian.............................................................................. 74
C. Populasi dan Sampel ........................................................................ 74
D. Instrumen Penelitian ........................................................................ 7
E. Alur Penelitian ................................................................................. 76
F. Pengumpulan Data ........................................................................... 76
G. Pengolahan dan Penyajian Data........................................................ 76
H. Analisis Data ................................................................................... 77
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil…………………………………………………………………….. 78
B. Pembahasan …………………………………………………………….102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……………………………………………………… ……121
B. Saran……………………………………………………………………122
ix
8
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman Tabel 1 Kriteria Diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World HealtOrganization) dan NCEP – ATP III (The National Cholesterol Education Program-Adult Treatmen III)…………………………… …………………16 Tabel 2 Kriteria Sindrom metabolik NCEP ATP III 2001 dengan modifikasi………………………………………… 18
Tabel 3 Klasifikasi Asia Pacifik (2000) untukOverweghtpada orang Dewasa berdasarkan
BMI……………………………………………………… 22 Tabel 4 Aktifitas sedentary yang berhubungan dengan Sindrom Metabolik…………………………………….... 72 Tabel 5 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Karakteristik pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013…………………………………… 86 Tabel 6 Distribusi Penderita Sindrom Metabolik pada pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013… ………………………………… 87 Tabel 7 Distribusi Kejadian Sindrom Metabolik Menurut Status Gizi (IMT dan LP) pasien rawat jalan RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013……………………… 87 Tabel 8 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Hasil Pemeriksaan profil lipid pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013…………… …………… 88
Tabel 9 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Hasil Pemeriksaan glukosa darah puasa Dan tekanan darah pasien rawat jalan RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013… ………………………………… 89 Tabel 10 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Kondisi
Kesehatan Mental pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013…… ……………… 90
Tabel 11 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Kebiasaan Merokok
x
9
pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013……………………………………90
Tabel 12 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Aktivitas Sedentari pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013 ………………………………… 91 Tabel 13 Hubungan Kesehatan Mental, kebiasaan Merokok, dan Aktivitas Sedentari dengan kadarHDL pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar… ………… 92 Tabel 14 Hubungan Kesehatan Mental, kebiasaan Merokok , dan Aktivitas Sedentari dengan kadar LDL pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013…………………………………………… 93 Tabel 15Hubungan Kesehatan Mental, kebiasaan Merokok, dan Aktivitas Sedentari dengan kadar Trigliserida pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013…………………………………94 Tabel 16 Hubungan Kesehatan Mental, kebiasaan Merokok, dan Aktivitas Sedentari dengan kadar Glukosa Darah Puasa (GDP) pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013…………………… 96 Tabel 17 Hubungan Kesehatan Mental, kebiasaan Merokok, dan
Aktivitas Sedentari dengan Tekanan Darah Sistolik pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS
Ibnu Sina Makassar Tahun 201………………………96 Tabel 18Hubungan Kesehatan Mental, Kebiasaan Merokok, dan Aktivitas dengan Tekanan Darah Diastolik pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013……………………………… 97 Tabel 19 Hubungan Kesehatan Mental, Kebiasaan Merokok, dan Aktivitas Sedentari dengan Lingkar Pinggang (Obes Sentral) pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013…………………………………… ……98 Tabel 20Hubungan Kesehatan Mental, Kebiasaan Merokok, dan Aktivitas Sedentari dengan Sindrom Metabolik (SM) pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013…………………………99
xi
10
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman
Gamabar 1. Etiologi Patofisiologi Resistensi Insulin dan Sindrom
Metabolik 39
Gambar 2. Teori HL Blum 63
Gambar 3. Kerangka Teori 65
Gambar 4. Model Hubungan Antar Variabel 67
xii
11
DAFTAR LAMPIRAN
1. Inform konsen penelitian
2. Kuesioner
3. Master tabel penelitian
4. Hasil Analisis Data
5. Surat izin penelitian dari Dekan FKM Unhas
6. Surat Izin Penelitian dari Gubernur Sulsel cq.Balitbangda Sulsel
7. Surat Izin Penelitian Direktur RSP Unhas Makassar
8. Surat Izin Penelitian Direktur RS Ibnu Sina Makassar
9. Surat Keterangan telah melakukan penelitian dari Direktur RSP Unhas
Makassar
10. Surat Keterangan telah melakukan penelitian dari Direktur RS Ibnu Sina
Makassar
11. Riwayat Hidup
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan gaya hidup pada masyarakat perkotaan di negara
berkembang seperti indonesia membawa perubahan pada tatanan demografis
penduduk termasuk pola aktifitas dan dan pola konsumsi pangan yang
berakibat pada gangguan keseimbangan asupan zat gizi makro dan mikro
pada penduduk. Salah satu jenis penyakit yang memiliki kecenderungan
meningkat adalah sindrom metabolik. (Gatot,S.,2007 dalam Harlina 2009).
Sindrom metabolik atau Sindrom X merupakan kumpulan dari faktor-
faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular yang di temukan pada
seorang individu. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi dislipidemia,
hipertensi,gangguan toleransi glukosa dan obesitas abdominal/sentral.
(Gatot,S.,dalam Harlina 2009).
Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks
yang diakibatkan oleh peningkatan obesitas (Wijaya, 2004). Perdebatan
tentang definisi ini terjadi seiring dengan hasil penelitian yang terus
berkembang, namun seluruh kelompok studi tersebut setuju bahwa obesitas,
resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen utama
SM (Khan et al., 2005). Meskipun SM memiliki berbagai definisi yang
berbeda, pada akhirnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenali sedini
mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam
beberapa komplikasi (Grundy, 2004,dalam Jafar N,2011)
2
Ford,et.al (2002) menemukan di Amerika Serikat bahwa prevalensi
sindrom metabolik sebesar 22%,sedangkan prevalensi sindrom metabolik
pada masyarakat portugis sebesar 27% pada wanita dan 19% pada pria
(Santos,et al,2004). Hasil yang hampir sama di temukan pula di masyarakat
korea pada penelitian yang di lakukan oleh Oh JY et al (2004),yaitu
prevalensi sindrom metabolik sebesar 29% pada pria dan 17 % pada
wanita,sedangkan pada penelitian yang juga di lakukan di korea oleh Lee,et al
(2004) menemukan prevalensi sindrom metabolik sebesar13%.
Survei kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1995
memperlihatkan bahwa prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) adalah
sebesar 1,8% dan hipertensi sebesar 8,2%. Di tahun 2001,Prevalensi PJK
meningkat menjadi 4.3% dan hipertensi bertambah menjadi 28%
(Depkes,2003;khan et al.,2005). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 di
Indonesia menunjukan peningkatan prevalensi penyakit jantung
7,2%,hipertensi 31,7%,sedangkan Diabetes mellitus (DM) 5,7%,Sedentarial
48,2%,obesitas 19,1%,dan obesitas 18,8%. Menurut tipe daerah tampak lebih
tinggi di daerah perkotaan (23,6%) di bandingkan daerah pedesaan (15,7%).
Prevalensi SM dapat di pastikan cenderung meningkat oleh karena
meningkatnya obesitas maupun obesitas sentral.
The National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel
III (NCEP-ATP III) melaporkan bahwa sindrom metabolik merupakan
indikasi untuk di lakukan intervensi terhadap gaya hidup yang ketat,meliputi
diet,latihan fisik dan intervensi farmakologik. Demikian pula peningkatan
3
aktifitas fisik dan pengurangan asupan kalori akan memperbaiki abnormalitas
sindrom metabolik.
Penelitian yang di lakukan oleh Adam J. pada tahun 2002,di kota
Makassar,di peroleh hasil bahwa prevalensi sindrom metabolik sebesar 19%,
Sedangkan penelitian yang di lakukan di Rumah Sakit Jaury Makassar tahun
2006 di temukan prevalensi sindrom metabolik sebesar 33,4% dengan total
penderita sebanyak 407 orang. Kelompok usia dengan persentase tertinggi
menderita sindrom metabolik dikota Makassar adalah 46-55 tahun yakni
sebesar 35,9%. Meskipun demikian usia < 35 tahun jumlah penderita juga
banyak yakni sebanyak 182 orang (35,7%) yang terdiri dari 83 pria dan 99
wanita. Angka ini membuktikan bahwa fenomena sindrom metabolik sudah
meningkat dan dapat menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat.
Prevalensi sindrom metabolik seiring dengan meningkatnya populasi
penderita Diabetes melitus (DM),bahkan lebih tinggi dengan kenaikan
prevalensi Hipertensi dan Obesitas.
Hipertensi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan peningkatan
angka kesakitan dan angka kematian (Basha,2006).Menurut Gunawan (2001),
hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang cukup
banyak mengganggu kesehatan masyarakat dan pada umumnya terjadi pada
manusia yang sudah berusia setengah umur (usia lebih dari 40 tahun).
Kejadian hipertensi di Amerika sebanyak 15% golongan kulit putih
dewasa dan 25% - 30% kulit hitam dewasa penderita hipertensi dan di
4
perkirakan 1 dari 4 orang dewasa menderita hipertensi,dan strok merupakan
masalah utama dan urutan ketiga penyebab kematian akibat hipertensi. Oleh
sebab itu ,Amerika telah mengharuskan penduduk usia > 20 tahun untuk
memeriksakan tekanan darahnya minimal 1 kali dalam 2 tahun (CDC,2002).
WHO mengungkapkan lebih lebih dari 1 milyar orang dewasa di
seluruh dunia kelebihan berat badan dan 300 juta di antaranya menderita
obesitas. Sejak tahun 1998 beberapa penelitian yang di lakukan di berbagai
kota seperti Padang, Bandung, Semarang, Manado,dan Yogyakarta
menunjukkan prevalensi obesitas mencapai 5 – 20%.
Di Indonesia Obesitas menjadi masalah kesehatan,pernah di lakukan
survei Nasional tentang IMT orang dewasa pada tahun 1996/1997,di laporkan
bahwa angka kejadian berat badan lebih (IMT>25) pada laki-laki sebesar
14,9%,sedangkan perempuan sebesar 24,0%. Sesuai dengan hasil survei
kesehatan nasional dan rumah tangga tahun 1980-2001 di indonesia tentang
kematian akibat penyakit tidak menular,di perkirakan meningkat dari 15,41%
pada tahun1980 menjadi 48,53% pada tahun 2001.(Djanggan Sargowo,2011).
Salah satu faktor terbesar yang mengakibatkan sindrom metabolik itu
adalah cacat di metabolisme glukosa,penolakan terhadap insulin
(mengakibatkan pengeluaran insulin berlebihan untuk mengregulasikan gula
darah). Ini merupakan penyebab terjadinya diabetes mellitus. Penyakit
Diabetes Mellitus tergolong penyakit degeneratif artinya penyakit yang
menunjukkan peningkatan insiden sesuai usia seseorang. Berdasarkan
penelitian epidemiologi di peroleh informasi bahwa penderita dalam usia
5
lanjut akan meningkat. Di Indonesia beberapa penelitian populasi mendapat
prevalensi diabetes mellitus merupakan penyakit middle-age.
Menurut WHO angka kejadian kasus Diabetes Mellitus di indonesia
saat ini terus meningkat hingga mencapai 8,4 juta jiwa. berarti 1 dari 40
penduduk menderita Diabetes Mellitus dan di prediksi jumlahnya akan
melebihi 21 juta jiwa pada tahun 2025 mendatang serta lebih banyak terjadi
rentang usia muda atau masa produktif.(Linggar Lestari, 2010).
Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak terhadap perubahan
gaya hidup (aktifitas rendah, pola makan tinggi energi dan rendah serat).Pola
makan sebagai penyebab utama obesitas. Manusia modern cenderung sibuk
dengan berbagai aktifitas kehidupannya hingga tak sempat lagi
mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi. Makanan instan menjadi
pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang terpapar dengan kehidupan
modern. Makanan tersebut tidak mengandung komposisi zat gizi sebagaimana
yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant sangat
miskin serat. Padahal, serat berfungsi untuk memperlambat pencernaan,
mengenyangkan perut dan memperlambat rasa lapar (Hadju, 2003).Diet
tinggi serat telah mendapat perhatian besar dalam beberapa tahun terakhir
disebabkan karena hubungannya dengan peningkatan insiden beberapa
gangguan metabolik seperti hipertensi, diabetes, obesitas, penyakit jantung
dan kanker usus. Biasanya intake energi setiap hari mengandung 30% lemak,
akan tetapi tidak boleh lebih dari 10% dari kalori ini bersumber dari lemak
6
jenuh (hewani). Energi selebihnya seharusnya didapatkan dari lemak
polyunsaturated atau monounsaturated (Adam, 2006).
Data Susenas 2004 menunjukkan penduduk umur 15 tahun ke atas
85% kurang beraktivitas fisik dan hanya 6% penduduk yang cukup
beraktivitas fisik. Penduduk wanita yang kurang beraktivitas fisik 87%, lebih
tinggi daripada penduduk laki-laki. Sedangkan penduduk di perkotaan yang
kurang beraktifitas fisik adalah sebanyak 83%, lebih tinggi dari pada
penduduk di pedesaan (BPS, 2005). Hasil Riskesdas tahun 2007
menunjukkan prevalensi kurang aktifitas fisik sebesar 48,2% dan terdapat
kecenderungan prevalensi kurang aktifitas fisik semakin tinggi dengan
meningkatnya status ekonomi.
Hasil penelitian gaya hidup dan sindrom metabolik pada status
ekonomi rendah dan tinggi di daerah perkotaan indonesia dengan analisis data
Riskesdas 2007 oleh Jafar N, bahwa pada laki-laki dengan tingkat pendidikan
rendah,status ekonomi tinggi,dan sering mengkonsumsi makanan berlemak
akan meningkatkan kejadian Sindrom metabolik. Selain itu penelitian tentang
kesehatan mental menunjukan bahwa pada status ekonomi rendah
menunjukan pada peningkatan gangguan kesehatan mental emosional akan
meningkatkan kejadian sindrom metabolik.,sebaliknya pada status ekonomi
tinggi penurunanan gangguan kesehatan mental emosional akan
meningkatkan kejadian Sindrom Metabolik.
Berdasarkan laporan NCHS tahun 2005 prevalensi merokok (18 tahun
keatas) adalah 46.600.000 (25.900.000 laki-laki dan 20.700.000 wanita). WHO
7
melaporkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari lima negara yang terbanyak
perokoknya di dunia. Prevalensi perilaku merokok di kalangan orang dewasa
juga semakin meningkat (tahun 1995 sebesar 26,9% dan tahun 2004 sebesar
35%). Sebanyak 70% penduduk Indonesia adalah perokok aktif dan dilihat dari
sisi Rumah Tangga (RT) 57% memiliki anggota RT yang merokok, dan hampir
semuanya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota RT lainnya. Bahkan
yang lebih memprihatinkan adalah masyarakat mulai merokok sejak usia 8 tahun.
Secara nasional propinsi sulawesi selatan berdasarkan data Riskesdas
2010,prevalensi perokok usia ≥ 15 tahun,dengan umur pertama kali merokok
atau mengunyah tembakau menduduki peringkat ke 8 ( 21,7 %) sesudah
kepulauan Bangka belitung
DM tipe II meningkat seiring perubahan gaya hidup masyarakat
disertai aktifitas fisik rendah dan peningkatan konsumsi makanan tinggi
energi,tinggi lemak,dan rendah serat. Hasil studi yang di lakukan di berbagai
negara menunjukan bahwa DM lebih banyak di temukan pada mereka yang
memiliki aktiftas rendah. Suyono (1994) juga menegaskan bahwa gaya hidup
sedentari adalah kondisi yang mengarah pada obesitas. dan pengaruhnya
sangat jelas terhadap perkembangan DM tipe 2.
Faktor psikologi dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena
adanya emosional yang tidak stabil (unstabil emotional). Hal tersebut
menyebabkan individu cenderung untuk melakukan pelarian diri (self
mechanism defence). Bentuk pelarian diri bisa berupa mengonsumsi makanan
yang mengandung kalori dan kolesterol tinggi dalam jumlah yang berlebihan
(Dariyo, 2004).
8
Kejadian sindrom metabolik tidak lepas dari pengaruh lingkungan.
Faktor lingkungan yang di maksud terkait dengan kondisi kesehatan mental
khususnya tingkat stres yang di alami penderita Sindrom metabolik. Stres
yang di alami penderita sindrom metabolik mengakibatkan berbagai
gangguan, antara lain seperti gangguan fisiologis,psikologis,dan prilaku.
Kondisi stres bisa berlanjut menjadi gangguan mental dan
prilaku,tetapi bisa pula tidak karena tergantung pada kuat lemahnya status
mental atau kepribadian seseorang,namun bisa di perkirakan terjadinya
peningkatan gangguan mental di masa krisis dan perubahan ini.
Data hasil riskesdas 2007 menunjukan bahwa prevalensi nasional
gangguan mental emosional pada penduduk yang berumur ≥ 15 tahun
sebanyak 11,6%,prevalensi tertinggi terdapat di provinsi jawa barat ( 20%)
dan terendah di kepulauan Riau (5,1%). Secara umum stres di pahami
sebagai kondisi yang mengancam,menekan dan tidak menyenangkan
individu. Kondisi yang di sebabkan oleh transaksi antara individu dengan
hubungan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-
tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber yang akan
mempengaruhi sistem biologis,psikologis,dan sosial dari seseorang.
Gangguan kesehatan terlalu lama duduk juga diungkapkan oleh
seorang ahli endokrinologi dari Mayo Clinic, James A Levine, MD, PhD. Dia
mengatakan, orang dewasa yang duduk lebih dari empat jam sehari di depan
televisi, berisiko 80% lebih tinggi mengalami kematian akibat penyakit
kardiovaskular. Tentu saja, tak terbatas pada aktivitas menonton televisi, tapi
9
juga duduk di belakang kemudi, bermain game komputer, dan aktivitas duduk
lainnya.
Berbagai penelitian secara konsisten menunjukan, terlalu lama duduk
adalah kebisaan yang tidak sehat,bahkan orang yang tidak gemuk atau bahkan
mereka yang rajin berolahraga,” kata Mark Hamilton, salah satu peneliti yang
sejak lama meneliti gaya hidup sedentari, atau kekurangan aktivitas.Dalam
jurnal Achives of Internal Medicine edisi 26 Maret 2011, para peneliti dari
Australia juga menyampaikan ancaman serius dari gaya hidup kurang aktif
atau sedentari. Mereka menganalisis data lebih dari 222.000 orang berusia 45
tahun atau lebih tua. Hasil kajian mengindikasikan, risiko kematian seseorang
cenderung melonjak ketika menghabiskan waktunya dengan duduk 11 jam
setiap harinya. Risiko ini lebih tinggi 15% dibanding mereka yang duduk
kurang dari 4 jam per hari.
Hasil penelitian yang di lakukan oleh Ni Komang Wiardani di Denpasar
Bali tahun 2009 tentang Hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian DM
Tipe 2 di peroleh hasil yang sama dengan penelitian Brownson (1999), bahwa
DM Tipe 2 secara konsisten lebih rendah pada populasi dengan aktifitas fisik
tinggi di banding gaya hidup sedentary.
Penelitian terbaru yang di lakukan oleh, Thyfault dan timnya
menemukan bahwa mereka yang gaya hidupnya berubah dari level aktivitas
tinggi (lebih dari 10.000 langkah setiap hari) menjadi tidak aktif (kurang dari
5.000 langkah per hari) berisiko lebih tinggi mengidap diabetes tipe 2.
Menurut Thyfault, aktivitas yang menuntut seseorang jarang duduk seperti
10
tak terlihat pengaruhnya terhadap seseorang. Tetapi, dalam jangka panjang
hal itu dapat mencegah kenaikan berat badan.
Dalam sebuah artikel terbaru yang dipublikasikan Journal of Applied
Physiology, para peneliti berpendapat, gaya hidup kurang aktif merupakan
penyebab utama penyakit kronis, seperti diabetes, obesitas, juga penyakit
perlemakan hati. Berolahraga secara teratur pun mungkin belum cukup bagi
mereka yang banyak duduk untuk menekan risiko penyakit ini.
Modernisasi dan kemajuan teknologi disegala bidang kehidupan,
membuat terlena, dimanjakan akan kemudahan-kemudahan fasilitas yang ada,
namun disisi lain juga mempunyai suatu konsekuensi seperti gaya hidup
sedentarial (sedentary living) yang ditandai banyak duduk dan kurangnya
aktivitas fisik. Kebanyakan pegawai kantoran yang mengalaminya, hampir
sekitar 8-10 jam perhari atau bahkan lebih, duduk di ruangan, akivitas serba
monoton didepan komputer, meeting dan diskusi di ruang rapat. Sebuah fakta
mengejutkan, berdasarkan penelitian, sekitar 28% penyebab kematian adalah
penyakit kronis modern yang dilatar belakangi gaya hidup sedentary.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
“Adakah hubungan antara kesehatan mental,Kebiasaan merokok,
dan gaya hidup sedentari dengan komponen sindrom metabolik pada
pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan Rumah sakit Ibnu Sina makassar
Tahun 2013.
11
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara kesehatan mental,Kebiasaan
merokok,dan gaya hidup sedentari dengan komponen sindrom metabolik
pada Pasien rawat jalan di RSP Universitas Hasanuddin dan rumah sakit
Ibnu Sina makassar tahun 2013.
2.Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik sindrom metabolik pada pasien
rawat jalan di RSP UNHAS dan Rumah Sakit Ibnu sina Makassar.
b. Untuk mengetahui hubungan antara kesehatan mental dengan
komponen Sindrom metabolik pada pasien rawat jalan di RSP
UNHAS dan Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar.
c. Untuk mengetahui hubungan Kebiasaan merokok dengan
Komponen sindrom metabolik Pada pasien Rawat jalan di RSP
UNHAS dan Rumah sakit Ibnu Sina Makassar.
d. Untuk mengetahui hubungan gaya hidup sedentarial dengan
komponen sindrom metabolik pada pasien rawat jalan di RSP UN
HAS dan Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar.
12
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat ilmu pengetahuan
Penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan masyarakat dan menjadi salah satu bacaan yang
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan di harapkan mendorong
pengembangan penelitian tentang penyakit Sindrom metabolik.
2. Manfaat Praktisi
Sebagai pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti dalam
memperluas wawasan, pengetahuan, dan pengalaman serta dapat
menerapkan ilmu yamg di peroleh selama pendidikan.
3.Manfaat institusi.
Sebagai bahan masukan atau sumber informasi bagi kedua rumah
sakit tersebut dan dinas kesehatan dalam rangka menentukan kebijakan
untuk pencegahan dan penanganan kejadian sindrom metabolik.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Sindrom Metabolik
1. Defenisi
Sindrom Metabolik (SM) adalah merupakan kelainan metabolik
kompleks yang di akibatkan oleh peningkatan obesitas (Wijaya,2004).
Perdebatan tentang defenisi ini seiring dengan hasil penelitian yang terus
berkembang,namun seluruh kelompok studi tersebut setuju bahwa
obesitas,resistensiinsulin,dislipidemia dan hipertensi,merupakan komponen
utama SM (khan et.,al 2005). Meskipun SM memiliki berbagai defenisi yang
berbeda,pada akhirnya memiliki satu tujuan yang sama yaitu mengenali
sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke
dalam beberapa kompilkasi (Grundy,2004 dalam Jafar N,2011)
Sindrom metabolik adalah sekumpulan faktor risiko terhadap penyakit
jantung,diabetes dan strok termasuk obesitas di bagian perut,tekanan darah
tinggi,kolesterol HDL dalam kadar yang sedikit,tingkat trigliserida yang
tinggi dan kadar gula darah yang meningkat.Gangguan klinis yang sering
ditemukan bersama adalah gangguan seperti resistensi insulin,
hiperinsulinemia, obesitas dan peningkatan risiko kejadian diabetes dan
penyakit jantung koroner.
Menurut National Cholesterol Education (NCEP), sindrom metabolik
adalah suatu kondisi yang paling tidak di temukan secara bersama yakni
14
Glukosa plasma > 110 mg/dl, Obesitas sentral dengan lingkar perut > 102
cm, serum trigliserida >150 mg/dl, serum HDL Colesterol < 40
mg/dl,tekanan darah >130/85 mm/HG atau dalam pengobatan hipertensi.
Sedangkan menurut WHO Sindrom metabolik adalah suatu
kondisihiperinsulinemia or plasam glukosa ≥ 110 mg/dl,Obesitas
sentral,Rasio pinggal panggul >0.90 atau IMT ≥ 30,Lingkar perut ≥ 94
cm,Dislipidemia (serum trigliserida ≥ 150 mg/dl),Hipertensi (tekanan darah
140/90 mmHg atau dalam pengobatan hipertensi.
Gangguan tersebut sering juga di sertai dengan masalah intoleransi
glukosa,partikel LDL yang kecil,peningkatan kadar trigliserida,dan
rendahnya kadar kolesterol HDL. Bilamana dilihat permasalahan pada
tingkat yang lebih rendah,maka gangguan tersebut sering di kaitkan dengan
permasalahan seperti disfungsi endotel, peningkatan asymetric dimethyl
arginin (ADMA), suatu penghambat dari endothelial nitric oxide (NO)
synthase(eNOS),peningkatan plasminogen activator inhibitor-I(PAI-
I),fibrinogen,C-reactive protein (CRP),asam urat,aktifitas simpatis, serta
retensi Na ginjal. Atas dasar temuan pada ilmu dasar,maupun klinis,maka di
utarakan hipotesis “Common Soil”3 (Skema Hipotesis Common Soil),yang
mengungkapkan bahwa “gangguan inflamasi – anti inflamasi” adalah
merupakan jawaban dari keterkaitan patobiologi di antara komponen dalam
yang menyusun Sindrom metabolik.
Salah satu faktor terbesar yang mengakibatkan sindrom metabolik itu
adalah cacat di metabolisme glukosa, penolakan terhadap insulin
15
(mengakibatkan pengeluaran insulin berlebihan untuk meregulasikan gula
darah). Ini adalah kondisi di mana jumlah insulin tidak mencukupi untuk
memproduksi reaksi insulin yang normal dari lemak,otot maupun sel-sel
hati. Penolakan terhadap insulin di sel-sel lemak menurunkan efek dari
insulin yang mengakibatkan peningkatan hidrolisis trigliserida tersimpan.
Peningkatan mobilisasi lemak tersimpan mengakibatkan asam lemak bebas
di plasma darah. Penolakan terhadap insulin di sel-sel otot akan menurunkan
pengambilan glukosa,sedangkan penolakan terhadap insulin di sel –sel hati
menurunkan penyimpanan glikogen,membuatnya tidak bersedia untuk di
lepas ke darah waktu insulin darah plasma sedang jatuh (waktu kadar
glukosa darah rendah). Keduanya pun mengakibatkan kadar gula darah
untuk meningkat. Kadar plasma insulin sering menuntun ke sindron
metabolik dan diabetes tipe 2 termasuk komplikasinya.
2.Kriteria Sindrom Metabolik
Hingga saat ini ada 3 defenisi SindromMetabolik yang telah di
ajukan,yaitu defenisi World Healt Organization (WHO),NCEP ATP-III dan
Internasional Diabetes federation (IDF). Ketiga defenisi tersebut memiliki
komponen utama yang sama dengan penentuan kriteriayang berbeda. Pada
tahun 1988,Alberti dan Zimmet atas nama WHO menyampaikan defenisi
Sindrom Metabolik dengan komponennya antara lain :(1) gangguan
pengaturan glukosa atau diabetes.(2) resistensi insulin (3) hipertensi (4)
dislipidemia dengan trigliserida plasma>150mg/dl dan/atau kolesterol high
density lipoprotein (HDL-C)<35 mg/dl untuk pria;<39 mg/dl untuk
16
wanita;(5) Obesitas sentral (laki-laki):waist to hip ratio > 0,90:wanita: waist
to hip ratio> 0,85 dan /atau indeks massa tubuh (IMT) > 30kg/m2.dan (6)
mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion Rate > 20 µg/min atau rasio
albumin/kreatinin >30 mg/g. SM dapat terjadi apabila salah satu dari kriteria
pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir terdapat pada individu
tersebut.(Sartika 2006).
Kriteria yang sering di gunakan untuk menilai pasien
SindromMetabolik adalah NCEP-ATP III,yaitu seseorang memenuhi 3 dari
5 kriteria yang di sepakati antara lain:Lingkar perut pria >102 cm atau
wanita .>88 cm:hipergliseridemia (Kadar serum trigliserida >150
mg/dl),Tekanan darah 130/85 mmHg:dan kadar glukosa darah puasa >110
mg/dl.(Sartika,2006). Belum ada kesepakatan kriteria sindrom metabolik
secara internasional.
Tabel I Kriteria Diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health
Organization) dan NCEP – ATP III (The National Cholesterol Education Program-Adult Treatmen Panel III)
Komponen Kriteria diagnosis WHO: Resistensi insulin plus:
Kriteria diagnosis ATP III: 3 Komponen di bawah ini.
Obesitas abdominal/sentral
Waist to hip ratio: Laki2: > 0.90 Wanita; > 0,85 ,atau IMB >30 Kg/m2.
Lingkar pinggang: Laki-laki: >102 cm (40 inchi) Wanita: >88 cm (35 inchi)
Hiperglitriseridemia L:150 mg/dlP: 1.7 mmol/L
L: 150 mg/dl P:1.7mmol/L
HDL Cholesterol L: <35mg/dl (< 0.9mmol/L) P: < 39 mg/dl (< 1.0mmol/L)
L: < 40 mg/dl (<1.036mmol/L) P: < 50 mg /dl (< 1.295mmol/L)
17
Lanjutan Tabel I Kriteria Diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health
Organization) dan NCEP – ATP III (The National Cholesterol Education Program-Adult Treatmen Panel III)
Komponen Kriteria diagnosis WHO: Resistensi insulin plus:
Kriteria diagnosis ATP III: 3 Komponen di bawah ini.
Hipertensi TD = 140/90 mmHg atau riwayat terapi anti hipertensi
TD = 130/85mmHg atau riwayat terapi anti hipertensi
Kadar glukoasa darah tinggi
Toleransi glukosa terganggu,glukosa puasa terganggu,resistensi insulin atau DM
110 mg/dl atau 6.1mmol/L
Mikroalbuminuri Ratio albumin urin dan kreatinin 30 mg/g atau laju ekskresi albumin 20 mcg/menit
Kriteria diagnosis NCEP – ATP III menggunakan parameter yang
lebih muda untuk di periksa dan di terapkan oleh para klinisi sehingga
dapat dengan mudah mendeteksi sindrom metabolik. Yang menjadi masalah
dalam penerapan kriteria diagnosis NCEP ATP III adalah perbedaan nilai
“normal” lingkar pinggang antara berbagaijenis etnis. Oleh karena itu pada
tahun 2000 WHO mengusulkanlingkar pinggang untuk orang asia ≥ 90 cm
pada pria dan wanita ≥80 cm sebagai batasan obesitas sentral.
18
Tabel 2
.Kriteria Sindrom metabolik NCEP ATP III 2001 dengan modifikasi
(Makassar 2002).
Faktor Risiko Batasan
Obesitas abdominal
(obesitas sentral = lingkar pinggang)
Pria
Wanita
≥90 cm
≥80 cm
Hipertrigliserida ≥150 mg/dl
Kolesterol HDL
Pria
Wanita
< 40 mg/dl
< 50 mg/dl
Tekanan Darah ≥ 130/≥ 85 mmHg
Glukosa plasma puasa ≥ 110 mg/dl
Diagnosis sindrom metabolik di tegakkan bila di dapatkan sama
dengan atau lebih dari 3 faktor resiko di atas. (Ardiansjah& John,2006).
Kumpulan gejala pada sindrom metabolik menurut IDF (International
Diabetes Federation) tahun 2005 yaitu obesitas (LP Wanita > 80 cm,Pria >
90 cm) di tambah 2 dari 4 faktor berikut ini:
1. Trigliserida ≥150 mg/dl
2. Kolesterol HDL< 40 mg/dl (pria), < 50 mg/dl ( wanita)
3. Hipertensi
Tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg
Tekanan darah diastolik ≥ 85 mmHg.
4. Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dl (Gatut,2007)
19
Kriteria yang di ajukan oleh NCEP –ATP III lebih banyak di
gunakan,karena antara lain lebih memudahkan seorang klinisi untuk
mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik
di tegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria.
Diagnosis baru sindrom metabolik sesuai dengan kriteria sindrom
metabolik sebagai berikut:Peningkatan kadar trigliserida (> 150
mg/dl),penurunan kadar kolesterol HDL( < 40 mg/dl pada pria dan pada
wanita < 50 mg/dl),peningkatan tekanan darah ( > 130/85 mm/Hg)dan
peningkatan glukosa darah puasa ( > 100 mg/dl), tanpa mengikut sertakan
kriteria obesitas jika kriteria lainnya telah ada,sebab terdapat individu yang
tidak obes,tetapi memiliki resistensi insulin dan faktor resiko
metabolik,terutama pada individu yang memiliki kedua orang tua yang
diabetes atau keluarga inti maupun tingkat kedua yang diabetes.
3. Komponen Sindroma Metabolik
Ada banyak faktor risiko yang dapat dimasukkan sebagai
komponen sindroma metabolik. Walaupun demikian, hanya resistensi
insulin (dengan atau tanpa intoleransi glukosa), obesitas sentral,
dislipidemiaaterogenik (kadar trigliserida yang tinggi, kadar HDL yang
rendah), hipertensi dan mikroalbuminuria yang termasuk dalam kriteria
sindroma metabolik baik kriteria WHO maupun NCEP ATP III.
3.1. Obesitas
Kelebihan berat badan (Overweight) dan kegemukan
(obesity) merupakan dua istilah yang sering digunakan untuk
20
menyatakan adanya kelebihan berat badan, istilah ini sering
dikacaukan dan dianggap sama, padahal orang yang kegemukan
jelas menderita kelebihan berat badan, tapi kelebihan berat badan
belum tentu kegemukan.
Komponen utama dari sindrom metabolik adalah
obesitas.Obesitas adalah suatu kelainan atau penyakit yang ditandai
dengan penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan akibat
ketidakseimbangan penggunaan dan asupan energy. Obesitas dapat
ditentukan dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT), yaitu
berat badan (kilogram) dibagi tinggi badan (meter2). Berdasarkan
IMT orang dewasa diklasifikasikan sebagai kurus, normal, berat
badan lebih dan obes.PemeriksaanIMT tidak dapat membedakan
berat badan oleh karena otot tatau lemak, dan distribusi jaringan
lemak. Oleh karena pada orang Asia morbiditas dan mortalitas
mulai meningkat pada IMT dan ukuran lingkar pinggang yang
lebih kecil dari pada orang Eropa, pada tahun 2000 WHO
mengusulkan klasifikasi berdasarkan berat badan yang lebih kecil
untuk orang Asia dewasa yaitu disebut obes bila IMT ≥ 25 kg/m2,
lebih kecil dari klasifikasi yang resmi digunakan yaitu ≥ 30 kg/m2.
Secara klinis obesitas dapat dikenali dengan adanya tanda dan
gejala khas, antara lain wajah membulat, pipi tembem, dagu
rangkap, relatif pendek, dada yang menggembung dengan
payudara membesar mengandung jaringan lemak, perut buncit dan
21
dinding perut berlipat-lipat, kedua pangkal paha bagian dalam
saling menempel menyebabkan laserasi dan ulserasi yang dapat
menimbulkan bau yang kurang sedap. Pada anak laki-laki penis
nampak kecil karena terkubur dalam jaringan lemak supra-pubik
(Crawford et al, 2005).
Banyak penelitian telah membuktikan obesitas, khususnya
obesitas sentral, umumnya disertai dengan resistensi
insulin.Sebagai contoh, penelitian Lim dkk di Singapura
melaporkan resistensi insulin ditemukan pada 80 % dari seluruh
populasi obes yang diteliti.Berbeda dengan penderita diabetes
mellitus tipe 2, resistensi insulin pada penderita obes terutama
diakibatkan oleh kelebihan asupan kalori. Dengan pemeriksaan
euglicemyc-hyperinsulinemic clamp, kepekaan jaringan terhadap
kerja insulin berkurang sekitar 30-40% bila seseorang kelebihan
berat badan 35-40% dari berat idealnya.
3.1.1 Indeks Massa Tubuh (IMT)
Rasio berat badan per tinggi badan mengindikasikan hubungan
berat badan dengan tinggi badan yang di gunakan untuk menilai
overweight dan obesitas pada populasi orang dewasa.IMT juga
diistilahkan dengan indeks Quetelet,dihitung sebagai berat badan
(kg)/tinggi badan (m2). (Gibson,2005). IMT tidak menverminkan
distribusi timbunan lemak di dalam tubuh. Klasifikasi IMT dapat
dilihat pada table berikut:
22
Tabel 3. Klasifikasi Asia Pacifik (2000) untuk Overweghtpada orang
dewasaberdasarkan BMI
Klasifikasi BMI(kg/m2) Risiko Morbiditas
Underweght < 18,50 Rendah
Normal 18,50-22,99 Normal
BB Lebih ≥ 23,00
Praobes/Beresiko 23.00-24.99 Meningkat
Obes I 25.00-29.99 Sedang
Obes II ≥ 30.00 Berat
3.1.2. Waist-to-Hip-Ratio (WHR)
Distribusi lemak tubuh dapat di tentukan berdasarkan rasio
lingkar pinggang dan pinggul ( RLPP) atau waist to hip ratio yang
diperkenalkan pada tahun 1980-an di mana terdapat hubungan antara
lokasi lemak sentral dengan risiko kejadian penyakit
jantung,diabetes dan penyakit kronik lain yang di asosiasikan dengan
obesitas Resiko penyakit meningkat pada WHR> 0,9 pada laki-laki
dan > 0,8 pada wanita.(Gibson,2005 dalam Jafar N,2011)
3.1.3. Lingkar perut (LP)
Timbunan lemak perut dapat di ukur berdasarkan lingkar
perut. Sebagai patokan,criteria diagnostic IDF tahun 2005
menetapkan lingkar perut berukuran ≥ 90 cm merupakan tanda
bahaya bagi pria Asia,sedangkan untuk wanita Asia risiko tersebut
23
meningkat bila bilalinkar perut berukuran ≥ 80 cm (Simposia,2006
dalam Jafar N,2011)
Hasil penelitian Wei Shen et al (2006) menunjukan bahwa
pengukuran lingkar pinggang berhubungan dengan komponen-
komponen SM .LP merupakan indicator yang lebih baik di banding
dengan pengukuran persentasi lemak tubuh.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa keadaan obesitas
sentral menyebabkan perubahan metabolisme lipid yaitu
meningkatnya trigliserida ,menurunnyaHDL-C dan meningkatnya
jumlah partikel LDL yang kecil dan padat (Carr,2004). Obesitas juga
meningktkan tekanan darah,kolesteroltotal,dan merupakan
predisposisi terjadinya DM tipe 2.(Adiatmaja,2004 dalam Jafar
N,2011).
3.2. Intoleransi Glukosa dan Diabetes
Menurut klasifikasi diabetes mellitus WHO yang termasuk
intoleransi glukosa adalah gula darah puasa terganggu (GPT) dan
toleransi glukosa terganggu (TGT), yaitu suatu keadaan antara
normal dan diabetes mellitus.Isoma dkk mendapatkan bukti bahwa
kadar insulin puasa dapat meningkat pada keadaan toleransi glukosa
normal (TGN), GPT atau TGT dan diabetes. Dengan kata lain,
penelitian ini membuktikan pada keadaan resistensi insulin, kadar
glukosa darah dapat tetap normal, intoleransi glukosa atau diabetes.
24
Menurut Groop, hiperglikemia atau diabetes mellitus terjadi
bila sudah terjadi kegagalan sel-β pankreas dan kadar insulin plasma
berkurang sekitar 50 % dari sebelumnnya sehingga mampu
mengatasi kenaikan kadar glukosa darah. Pada keadaan toleransi
glukosa normal, insulin disekresikan sesuai dengan kadar glukosa
darah. Pada intoleransi glukosa, kadar insulin plasma puasa yang
tinggi menggambarkan adanya resistensi insulin. Pada keadaan
demikian sekresi insulin meningkat sesuai dengan meningkatnya
kadar glukosa darah dan masih mampu mengatasi peningkatan
glukosa darah sehingga tidak terjadi hiperglikemia. Pada keadaan
toleransi glukosa terganggu, sekresi insulin sama dengan semula atau
sudah berkurang sekitar 70 % dari semula dan kepekaan jaringan
terhadap kerja insulin (resistensi insulin) menjadi berkurang sekitar
50 %. (Merentek, 2006)
Sesuai klasifikasi diabetes mellitus WHO, yang disebut normal
bila kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl, GPT bila kadar
glukosa puasa antara 110-125 mg/dl, sedangkan TGT adalah kadar
glukosa darah sesudah pembebanan glukosa 75 gram antar 140-199
mg/dl. Disebut diabetes bila kadar gula darah puasa ≥ 126 m/dl, atau
bila kadar glukosa darah sesudah pembebanan glukosa 75 gram ≥
200 mg/dl.(Merentek, 2006).
25
3.3 Resistensi Insulin
Resistensi insulin merupakan suatu keadaan di mana tubuh
tidak dapat menggunakan insulin secara baik. Bila di lakukan
pemeriksaan darah,dapat di temukan kadar gula darah yang lebih
tinggi dari normal tetapi belum sampai menjadi diabetes. Karena
keadaan ini di sebut sebagai pra-diabetes (Semiardji,2007 dalam
Jafar N, 2001)
Resistensi insulin adalah kondisi di mana sensitivitas insulin
menurun. Sensitivitas insulin adalah kemampuan dari hormon
insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan menekan produksi
glukosa hepatik dan menstimulasi pemanfaatan glukosa di dalam
otot skelet dan jaringan adipose (Adnyana, 2002).
Resistensi insulin adalah keadaan dimana terjadi gangguan
respons metabolik terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar
glukosa plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak
dari pada ‘normal’ untuk mempertahankan keadaan normoglikemia
(euglikemia). Konsep resistensi insulin meliputi semua gangguan
efek biologis kerja insulin, termasuk pada metabolisme lipid, fungsi
endotel vascular dan proses mitogenesis. Kemampuan insulin untuk
meningkatkan penggunaan glukosa bervariasi secara individual, pada
sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi
resistensi insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita
26
dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap
normal sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain
sudah terjadi gangguan respons metabolic (Merentek, 2006).
Insulin berperan penting pada berbagai proses biologis dalam
tubuh terutama menyangkut metabolisme karbohidrat. Hormon ini
berfungsi dalam proses utilisasi glukosa pada hamper seluruh
jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak dan hepar. Regulasi
glukosa tidak hanya ditentukan oleh metabolisme glukosa di jaringan
perifer, tetapi juga di jaringan hepar.Untuk mendapatkan
metabolisme glukosa normal diperlukan mekanisme sekresi insulin
disertai aksi insulin yang berlangsung normal (Manaf, 2006).
Seperti dikemukakan, jaringan hepar ikut berperan dalam
mengatur homeostasis glukosa tubuh.Peninggiankadar glukosa darah
puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa endogen
yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di
jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin berperan melalui efek inhibisi
hormone tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen
secara berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin
rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari
hepar (Manaf, 2006).
Adanya resistensi insulin dapat ditentukan dengan beberapa
macam cara, misalnya homeostasis model assessment (HOMA) dan
27
hyperinsulinemic-euglicemyc clamp. Normalnya sekresi insulin
dipengaruhi oleh kadar glukosa dalam sirkulasi. Berdasarkan
hubungan ini Turner dkk mengembangkan suatu analisis matematis
berupa indeks kadar insulin dan glukosa plasma puasa yang disebut
HOMA. Hyperinsulinemik-euglicemyk clamp adalah pemeriksaan
baku emas, sayangnya pemeriksaan ini tidak dapat digunakan secara
rutin karena prosedurnya rumit, invasive dan menghabiskan banyak
waktu (Merentek, 2006).
Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar
glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa
darah puasa 80-40 mg% kadar insulin puasa meningkat tajam, akan
tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg% maka kadar
insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi. Pada tahap ini
mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun.
Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek
penekanan insulin terhadap produksi glukosa hati khususnya
glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati
mulai meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa
(Merentek, 2006).
WHO mengusulkan resistensi insulin yang ditentukan dengan
carahyperinsulinemic-euglicemyc clamp sebagai komponen kriteria
sindroma metabolik, hal ini menjadi hambatan untuk penerapan
kriteria WHO di klinik. Kriteria NCEP menggunakan glukosa darah
28
puasa terganggu yaitu bila kadar gula darah puasa ≥ 110 mg/dl,
untukmengindikasikan adanya resistensi insulin dan intoleransi
glukosa
3.4 Dislipidemia
Yang termasuk disiplidemiaaterogenik dalam kriteria
sindrom metabolik WHO dan NCEP ATP III adalah kadar
trigliserida yang tinggi dan kadar kolesterol HDL yang rendah. Pada
keadaan resistensi insulin, terjadi lipolisis jaringan lemak berlebihan
karena insulin tidak mampu menekan kerja enzim lipoprotrein lipase
dengan akibat kadar asam lemak bebas meningkat. Asam lemak
bebas dalam sirkulasi langsung didistribusikan ke hati melalui
system portal. Di hati asam lemak bebas akan disintesis menjadi
trigliserida yang merupakan bahan baku pembentukan kolesterol
very low-densitylipoprotein (VLDL). Meningkatnya distribusi asam
lemak bebas ke hati smenyebabkan VLDL yang disekresi
mengandung lebih banyak trigliserida dan disebut
VLDLbesar.Dalam sirkulasi trigliserida VLDL besar dipertukarkan
dengan kolesterol ester dari kolesterol LDL dan HDL, menghasilkan
partikel kolesterol LDL dan HDL dengan kandungan trigliserida
yang lebih kaya tetapi miskin kolesterol ester.Partikel kolesterol
LDL kaya trigliserida miskin kolesterol ester ini dikenal sebagai
kolesterol LDL kecil padat (small dense LDL) yang sangat
aterogenik. Sedangkan kolesterol HDL kaya trigliserida miskin
29
kolesterol ester menjadi lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal dan
berakibat kadarHDL plasma menjadi rendah.
Baik kriteria WHO maupun NCEP ATP III kadar trigliserida
puasa yang tinggi adalah bila ≥ 150 mg/dl, sedangkan untuk batasan
kadar kolesterol HDL yang rendah criteria WHO berbeda dengan
kriteria NCEP ATP III. Menurut kriteria WHO adalah ≤ 35 mg/dl
pada pria dan ≤ 39 mg/dl pada wanita, sedangkan kriteria NCEP
ATP III menggunakan batasan ≤ 40 mg/dl untuk pria dan ≤ 50 mg/dl
untuk wanita.
3.5 Hipertensi
Beberapa penelitian prospektif telah membuktikan adanya
korelasi antara resistensi insulin, hiperinsulinemia dan peningkatan
tekanan darah.Modan dkk, menemukan sebagian penderita hipertensi
esensial mempunyai kadar insulin plasma yang meningkat. Di
Singapura Lim dkk mendapatkan kadar insulin puasa dan tekanan
darah yang lebih tinggi pada subyek obes resistensi insulin daripada
yang obes non-resistensi insulin. Hipertensi lebih banyak ditemukan
pada penderita diabetes tipe 2 dibandingkan populasi pada
umumnya, sebaliknya diabetes dan resistensi insulin banyak
ditemukan pada penderita hipertensi.Hal ini menggambarkan eratnya
hubungan hipertensi dengan resistensi insulin, walaupun
mekanismenya belum jelas. Ada beberapa mekanisme yang diduga
berperan dalam terjadinya hipertensi pada resistensi insulin, yaitu:
30
a). peningkatan reabsorbsi natrium dan air oleh ginjal; b).
hiperinsulinemia meningkatkan aktivitas system syaraf simpatis,
mengakibatkan vasokonstriksi, curah jantung meningkat, dan
gangguan homeostasis garam dan volume cairan; c). peningkatan
aktivitas pompa natrium mengakibatkan respons vasokontriksi
meningkat; dan d). merangsang efek insulin sebagai hormone
pertumbuhan pada otot polos pembuluh darah dan jantung yang
berakibat lumen pembuluh darah menyempit dan hipertrofi jantung.
Disebut hipertensi atau tekanan darah yang meningkat menurut
kriteria sindroma metabolik WHO adalah ≥ 160/90 mmHg,
sedangkan kriteria NCEP ATP III menggunakan batasan tekanan
darah yang lebih rendah yaitu ≥ 130/ ≥ 85 mmHg.
4. Epidemiologi Sindrom Metabolik
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas di Negara-negara maju,40% dari kasus kematian
disebabkan oleh penyakit ini. The International Diabetes Federation
meyakinkan bahwa SM merupakan pemicu munculnya tandem pandemic
global antara DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler.Secara global
insiden SM meningkat dengan cepat.Data epidemiologi menunjukan
bahwa prevalensi SM di dunia adalah 20-25% (Fattah,2000).
Di Indonesia,prevalensi Sindrom Metabolik terus meningkat
seiring dengan perubahan pola dan taraf hidup.Dari himpunan studi
Obesitas Indonesia (HISOBI) Menunjukkan prevalensi SM sebesar
31
13,13%. Penelitian di Makassar yang melibatkan 330 orang pria berusia
antara 30-65 tahun dan menggunakan kriteria NCEP ATP III dengan
ukuran lingkar pinggang yang di sesuaikan untuk orang Asia (menurut
klasifikasi usulan WHO untuk orang dewasa,yaitu ≥ 80 cm untuk
wanita).di temukan prevalensi sebesar33,9% di temukan prevalensi
33,9%. Prevalensi lebih tinggi yaitu sebesar 62,0%.ditemukan pada
subyek dengan obesitas sentral .(Ardiansyah dan Adam,2006;Ford,2002
dalam Jafar N 2011).
5. Faktor Risiko
Ada berbagai macam faktor risiko SM, antara lain adalah gaya
hidup (pola makan, konsumsi alkohol, merokok, dan aktivitas fisik),
sosial ekonomi dan genetik serta stres.
1. Gaya hidup
Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama SM tak
lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti life sedentarian, dan pola
konsumsi yang tidak seimbang.Aktivitas adalah prediktor peristiwa
CVD dan mortalitas terkait. Banyak komponen dari sindrom metabolik
berhubungan dengan gaya hidup,termasuk jaringan adiposa meningkat
(terutama pusat), mengurangi kolesterol HDL,dan trigliserid
kecenderungan meningkat,tekanan darah dan glukosa dalam genetik
rentan.Dibandingkan dengan orang yang menonton TV atau
menggunakan komputer selama lebih kurang satu jam setiap
hari.mereka yang melakukan perilaku ini selama lebih dari empat jam
32
sehari memiliki risiko meningkat dua kali lipat dari sindrom
metabolik,dan di anggap sebagai faktor risiko untuk Sindrom
metabolik.
Merebaknya restoran fast food turut menyumbang peningkatan
berbagai penyakit.Fast food jarang menyajikan makanan berserat.Menu
yang tersaji cenderung banyak mengandung garam, lemak dan
kolesterol. Konsumsi lemak Indonesia meningkat (10,4% dari total
konsumsi energi pertahun dan 18,7% tahun 1990)(Badan pusat
statistik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh
penduduk (99%) umur 15 tahun ke atas kurang mengkonsumsi sayur
dan buah. Lebih banyak penduduk kurang beraktivitas (84,9%)
dibanding yang tidak beraktivitas (9,1%) (Susenas 2004).
Konsumsi tinggi serat menjadi perhatian saat ini, dihubungkan
dengan penurunan insiden beberapa kelainan metabolik seperti
hipertensi, diabetes, obesitas dan juga penyakit jantung dan kanker
kolon (Pitsavos, 2006).Konsumsi gula dengan pemanis yang rendah
energi atau karbohidrat kompleks direkomendasikan dalam mengurangi
intake energi dan menurunkan berat badan (Vermunt et al, 2003).
Tubuh membutuhkan serat. Dalam saluran pencernaan, serat larut
mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian
dikeluarkan bersama tinja .dengan demikian makin tinggi konsumsi
serat larut (tidak dicerna, namun dikeluarkan bersama feses), akan
semakin banyak asam empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh.
33
Dalam hal ini serat membantu mengurangi kadar kolesterol dalam
darah. Serat larut air menurunkan kadar kolesterol darah hingga 5%
atau lebih. Serat larut yang terdapat dalam buah-buahan, sayuran, biji-
bijian (gandum), dan kacang-kacangan. Pektin (serat larut air dari buah)
dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (suyono, 2001).
Suatu studi epidemiologi mengevaluasi hubungan antara aktivitas
fisik dan prevalensi sindrom metabolik yaitu ATTICA Study. Hasilnya
menunjukkan bahwa aktivitas fisik waktu senggang ringan hingga
sedang (mengeluarkan < 7 kcal/min ) dihubungkan dengan prevalensi
SM pada 3042 laki-laki dan wanita dari populasi umumnya. The Center
for Diseases Control and Prevention and America College of Sport
Medicine merekomendasikan aktivitas fisik dengan intensitas sedang
sedikitnya 30 menit. Kadar aktivitas ini dapat ditoleransi oleh dewasa
muda maupun yang tua .
Aktivitas fisik juga memberikan efek yang menguntungkan
terhadap tekanan darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa
exercise pada level moderate dapat menurunkan tekanan darah secara
signifikan pada pasien dengan hipertensi esensial ringan hingga sedang.
Aktivitas fisik memberikan efek yang signifikan terhadap kadar lipid
darah. The Pawtucket Hearth Study grup melaporkan bahwa aktivitas
fisik berhubungan signifikan dengan peningkatan kadar HDL kolesterol
(Pitsavos,2006,dalam Jafar N,2011).
34
Dalam hubungannya dengan tekanan darah, penelitian yang
dilakukan oleh Paffenbarger di Amerika Serikat terhadap kelompok
mahasiswa menemukan bahwa insiden hipertensi 20 hingga 40% lebih
rendah pada mereka yang melakukan aktivitas olahraga sedikitnya 5
jam per minggu daripada mereka yang kurang aktif (Hayens et
al.,2003).
Gaya hidup merokok juga berpengaruh terhadap meningkatnya
penyakit kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research
Program Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang merokok
20 batang atau lebih perhari mengalami penurunan HDL sekitar 11%
untuk laki-laki dan 14 % untuk perempuan, dibandingkan dengan
mereka yang tidak merokok (Soeharto, 2004).Resiko kejadian penyakit
kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar pada orang yang
merokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok, dan juga 3
kali lebih besar pada orang yang merokok kretek (Kusmana, 2007).
2. Genetik.
Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 – 70%. Pada
beberapa orang faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan
pada orang lain faktorlingkungan merupakan penentu utama, namun
tanpa asupan berlebihan obesitas tidak timbul, jadi peranan lingkungan
memfasilitasi ekspresi berbagai gen obesitas (Garrow, 1988). Hasil
penelitian Mayers menunjukkan bahwa kemungkinan seorang anak
obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar
35
80% jika kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya
tidak obesitas(Siregar, 2006).
3. Sosial ekonomi
Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat,
jumlah penderita kegemukan (overweight) dan obesitas cenderung
meningkat. Di Indonesia, masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi
lebih ini mulai muncul pada awal tahun 1990-an. Peningkatan
pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu,
terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan
pola aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita
kegemukan dan obesitas (Almatsie,2004).
4. Stres.
Stres berkepanjangan bisa menjadi penyebab sindrom metabolik
dengan mengganggu keseimbangan hormon dari sumbu hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA-axis), Sebuah disfungsional HPA-axis
menyebabkan tingkat cortisol tinggi beredar yang menyebabkan
meningkatkan kadar glukosa dan insulin. Tingkat kortisol tinggi juga
bisa menyebabkan hilangnya curah otot,penumpukan lemak visceral.
Hal-hal yang dapat meningkatkan risiko terkena Sindrom
X(Sindrom metabolik),yaitu:
a. Usia.
Prevalensi metabolik akan meningkat dengan bertambahnya usia,
yaitumempengaruhi kurang dari 10 % pada usia 20-an dan 40% pada
36
usia 60-an. Biasanya mulai terjadi pada usia dewasa pertengahan
(sekitar 35-40 tahun).
b. Ras.
Orang Asia termasuk Indonesia memiliki risiko besar untuk terkena
sindrom mertabolik di bandingkan ras lainnya.
c. Obesitas .
Indeks Massa Tubuh atauIMT ( ukuran persentase lemak tubuh
berdasarkan tinggi dan berat badan) lebih besar dari 25,meningkatkan
risiko sindrom metabolik. Bentuk perut buncit yang berbentuk apel juga
lebih berbahaya di bandingkan bentuk pear. Penelitian menunjukkan
bahwa sindrom metabolik terjadi pada tiga dari lima orang yang
tergolong kegemukan dengan perut buncit.Penilaian derajat obesitas
secara umum berdasarkan indeks massa tubuh (IMT). Terdapat
hubungan yang erat antara IMT dengan lemak tubuh. Randle pada
tahun 1963 mengemukakan bahwa asam lemak berkompetisi dengan
glukosa dalam hal metabolisme penyiapan sumber energi.
d. Riwayat Diabetes
Sudah lama di ketahui bahwa diabetes merupakan penyakit
keturunan. Artinya bila orang tuanya menderita diabetes,anak-anaknya
kemungkinan akan menderita diabetes juga.Hal itu memang benar
,tetapi faktor keturunan saja tidak cukup,di perlukan faktor yang lain
misalnya infeksi virus (pada DM tipe-1)kegemukan.pola makan yang
salah,proses menua,stress dan lain-lain. Insulin adalah hormon anabolik
37
dengan berbagai efek metabolik yang kuat. Bila mana reseptor insulin
terphosporilasi segera setelah terjadi ikatan dengan insulin ,maka signal
interaksi tersebut akan di lanjutkan melalui dua jalur yang berbeda.
Jalur pertama akan terjadi ikatan dengan protein IRS (insulin reseptor
substrat) yaitu IRS –I,dan jalur kedua berikatan dengan Shc(
Srchormology and collagen like protein). Aktifasi kedua komponen
tersebut berikatan dengan protein signal downstream yang sesuai
dengan kebutuhanfisiologis tubuh.
Penyebab sindrom metabolik karena gaya hidup zaman sekarang
yang kurang aktifitas (sedentary lifestyle),pola makan burukdengan
konsumsi junk food yang tinggi kalori (lemak dan karbohidrat),dan
kurang gerak. Masalah lainnya seperti proses penuaan
(aging),gangguan hormonal,menurunnya produksi hormon
pertumbuhan dan diabetes turunan (insulin resistence)yangmerupakan
faktor genetik. Risiko meningkat seiring dengan konsumsi makanan
pola barat (junk food,soft drink,fried chicken dan humburger),makanan
yang berpengawet,makanan bertepung,dan di goreng dengan mimyak
banyak.
Komplikasi utamanya adalah penyakit jantung koroner,strok,dan
diabetes tipe 2. Penyakit yang berhubungan adalah pelemak hati(non
alcoholiksteatohepatitis),sindrom polikista ovarium (polycistic
ovariumsyndrom),haemochromatosis (kelebihan zat besi sehingga Hb
38
tidak peka lagi karena terikat oleh glukosa yang berlebihan),dan kulit
bercak hitam (acanthosis nigrican).
5. Patofisiologi
Sindrom metabolik tidak muncul secara tiba-tiba,tapi melalui proses
panjang dan perlahan,bahkan dapat mencapai waktu 20 tahun. Ini
merupakan hasil akhir dari pola makan modern yang tidak sehat yang
banyak mengandung gula dan lemak. Saat makanan di cerna,kadar gula
darah akan meningkat, dan tubuh akan merespon dengan meningkatkan
produksi insulin (hormon yang di hasilkan oleh kelenjar pankreas yang
membantu mengatur keseimbangan gula darah).
Konsumsi makanan tinggi gula akan memaksa pankreas untuk
mengeluarkan insulin lebih banyak untuk menurunkan kelebihan gula
darah yang sudah terlalu tinggi dan jumlah insulinyang di poduksi
Sudah tidak mampu mengatasinya maka akan terjadi kondisi yang di
sebut resistensi insulin. Pankreas yang sudah kelelahan,lamakelamaan
tidak sanggup lagi memprtahanan produksi insulin. Hal ini berakibat
pada meningkatnya gula darah yang dapatmenyebabkan penyakit
diabetes tipe 2.
Gangguan fungsi insulin juga akan menyebabkan gangguan
metabolisme lemak,yang di tandai dengan meningkatnya kadar
beberapa zat turunan lemak,seperti kolesterol dan trigliserida. Hal ini
terjadi karena kemampuan enzim pemecah lemak yang kerjanya di
pengaruhi oleh insulin. Itulah sebabnya,komplikasi dari diabetes
39
munculsebagai penyakit jantung koroner,penyumbatan pembuluh darah,
strok, gagal ginjal,gangguan penglihatan dan lainnya.
Akibat adanya sindrom metabolik maka kesehatan penderitanya
akan terganggu. Gangguan yang sering di alami adalah gangguan tidur,
gangguan pencernaan. Tidur yang cukup dan teratur setiap hari memang
resep paling mujarabdalam menjaga kesehatan. Dengan tidur
cukup,tubuh dapat memulihkan diri dari rasa capek. Organ-organ tubuh
pun menjadi rileks dan beristirahat sehingga menetralkan kerusakan
yang terjadi akibat kegiatan sehari-hari. Akibat kekurangan tidur, tubuh
akan terganggu keseimbangannya,termasuk fungsi metabolisme.
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti etiologidari
resisternsi insulin . Tidak semua individu obesitas mempunyai sindrom
metabolik.dan tidak semua sindrom metabolik dengan obesitas.Titik
sentral dari Resistensi insulin atau SM adalah obesitas sentral dan ini
menunjukan banyak lemak Visceral. Keadaan hiperglikemia juga dapat
,menimbulkan terjadinya kesehatan mental emosional.
40
Gambar1 .Etiologipatofisiologi resistensi insulin dan sindroma
metabolik(Mahan,2003,dalam Jafar N,2007).
`
6. Pencegahan
Apabila seseorang memiliki satu ataudua tanda-tanda sindrom
metabolik,maka perlu di lakukan perubahan gaya hidup.di antaranya untuk
menurunkan risiko terkenapenyakit jantung , diabetes dan strok.
a. Konsumsi makanan sehat.
Perbanyak makan buah dan sayuran,dan makanan tinggi serat
seperti oats yang dapat menurunkan kadar gula darah. Pilih snack rendah
karbohidrat seperti kacang tanah dan almond. Juga dapat memasukkan
yogurt sebagai pilihan,terutama yang terbuat dari kedelai ,karena
menurut studi terbaru,yogurt terbukti dapat mengatur enzim yang
mempengaruhi kadar gula darah. Pilih daging tanpa lemak atau daging
putih seperti ayam dan ikan. Hindari makanan yang di proses atau di
Pengaruh lingkungan
Defisiensi zat-zat gizi
Intake kalori yang berlebihan
Aktivitas fisik rendah
Pengaruh genetik Resistensi Insulin
Hyperinsulinemia
Peningkatan
asam urat
Peningkatan
kolesterol
LDL
Peningkatan Trygliserida
Penurunan
kolesterol
HDL
Peningkatan
lipogenesis
Peningkatan
tekanan darah
Intoleransi
glukosa
Aterosklerosis Gout Dabetes Obesitas Hipertensi
41
goreng. kurangi garam dan ganti dengan rempah seperti bawang putih
dan peterseli.
b. Kurangi berat badan
Penurunan berat badan sebanyak 5-10 persen akan menurunkan kadar
insulin,tekanan darah dan risiko diabetes.
c. Olah raga
Kurangnya aktifitas olah raga ,berpengaruh pada kemampuan tubuh
dalam mengontrol kadar gula darah.Dokter menganjurkan untuk
melakukan olah raga seperti jalan cepat selama 30-60 menit setiap hari.
d. Jadwalkan pemeriksaan kesehatan.
Cek tekanan darah ,kolesterol dan gula darah. Jika kadarnya melebihi
batas,lakukan perubahan gaya hidup untuk mencegah agar tidak
bertambah parah.
e. Berhenti merokok.
Merokok dapat meningkatkan resistensi insulin dan memperburuk
kondisi kesehatan yang berhubungan dengan sindrom
metabolik.konsultasikan ke dokter jika butuh bantuan untuk
menghilangkan kebiasaan merokok.
f. Kurangi stress.
Stress dapat meningkatkan tekanan darah pada kadar gula darah. Hal ini
dapat terjadi karena adanya hormon yang dapat mempengaruhi stress
dan kadar gula darah. Pada saat stress,tubuh akan mengeluarkan
kortisol dan adrenalin,yaitu hormon yang memacu hati untuk mengubah
42
simpanan energi menjadi glukosa dan mengeluarkannya ke dalam
darah. Modifikasi gaya hidup melalui penurunana berat badan ,olah
raga teratur,berhenti merokok,dan mengurangi makanan berlemak.
Dengan mengurangi 10 % dari kelebihan berat badan secara otomatis
dapat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki gangguan
resistensi insulin. Sebagian orang mampu menurukan tekana darah dan
hiperglikemianya hanya dengan merubah gaya hidup .Namun,sebagian
besar orang memerlukan bantuan obat-obatan untuk menurunan
trigliserida dan meningkatakan HDL.
Karena semua masalah ini saling terkaitmaka penanganan pada
satu unsur dari sindrom ini dapat memperbaiki unsur yang lain.
Contohnya,melalui olah raga yang teratur,akan membantu menurunkan
berat badan,mengurangi gula darah serta memperbaiki kondisi
hiperglikemia dan resistensi insulin. Kombinasi antara makanan yang
sehat dengan olah raga yang teratur dapat mengobati kondisi sindrom
metabolik sehingga mencegah risiko penyakit jantung,strok,diabetes
dan masalah medis lainnya.
Asam-asam lemak yang di lepaskan dalam jaringan adipose yang
mengalami perluasan. Pada hati asam lemak bebas ini memicu
peningkatan produksi glukosa,trigliserida dan sekresi VLDL (VeryLow
Density Lipoprotein). kelainan yang terkait dengan lemak/lipoprotein
mencakup penurunan kolesterol HDL.dan peningkatan LDL. Asam
asam lemak babas juga menurunkan sensitivitas insulin pada jaringan
43
otot.dengan menghambat uptake glukosa yang di mediasi oleh insulin.
Akibatnya mencakup penurunan perubahan glukosa menjadi glukogen
dan peningkatan akumulasi lipid dalam bentuk trigliserida .
Peningkatan glukosa darah,dan peningkatan beberapa asam
lemak,meningkatkan sekresi insulin di pancreas,yang menyebabkan
hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia kemungkinana menyebabkan
peningkatan reabsorpsi sodium dan meningkatkan aktifitas sistimsaraf
simpatik dan dapat berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah
dan sebuah kemungkinan akibat dari peningkatan kadar dari sirkulasi
asam lemak bebas. (Robert&Scoot,2006 dalam Harlina 2009).
B. Tinjauan Tentang Kesehatan Mental
1. Pengertian
Istilah Kesehatan mental di ambil dari konsep mental hygiene, kata
mental berasal bahasa yunani yang berarti kejiwaan. Kata mental memiliki
persamaan makna dengan kata psyhe yang berasal dari bahasa latin yang
berarti psikis atau jiwa,jadi dapat di ambil kesimpulan bahwa mental
hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Menurut Dr.Jalaluddin dalam bukunya” psikologi agama ”bahwa
kesehatan mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada
dalam keadaan tenang,aman, dan tentram,dan upaya untuk menemukan
ketenangan batin dapat di lakukan antara lain melalui penyesuaian diri
secara resignasi (Penyerahan diri sepenuhnya kepada tuhan).
44
Menurut paham ilmu kedokteran,kesehatan mental merupakan suatu
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,intelektual dan emosional
yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan
keadaan orang lain.
Zakiah Drajat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah
terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri individu dengan dirinya sendiri
dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan
untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.
dan untuk kesehatan mental di defenisikan sebagaiterhindarnya orang dari
gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa
(Psichose) Definisi inibanyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa)
yang memandangmanusia dari sudut sehat atau sakitnya.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya adalah terwujudnya
keharmonisan dalam fungsi jiwa serta tercapainya kemampuan untuk
menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan kebahagiaan dan
kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat,
bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang
dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya. Golongan yang
kurang sehat mentalnya Golongan yang kurang sehat adalah orang yang
merasa terganggu ketentraman hatinya. Adanya abnormalitas mental ini
biasanya disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam menghadapi
45
kenyataan hidup, sehingga muncul konflik mental pada dirinya . Gejala-
gejala umum yang kurang sehat mentalnya, yakni dapat dilihat dalam
beberapa segi ,antara lain: PerasaanOrang yang kurang sehat mentalnya
akan selalu merasa gelisah karena kurang mampu menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapinya.PikiranOrang yang kurang sehat mentalnya akan
mempengaruhi pikirannya, sehingga ia merasa kurang mampu melanjutkan
sesutu yang telah direncanakan sebelumnya, seperti tidak dapat
berkonsentrasi dalam melakukan sesuatu pekerjan, pemalas, pelupa, apatis
dan sebgainya.KelakuanPada umumnya orang yang kurang sehat mentalnya
akan tampak pada kelakuan-kelakuannya yang tidak baik, seperti keras
kepala, suka berdusta, mencuri, menyeleweng, menyiksa orang lain, dan
segala yang bersifat negatif. Dari penjelasan tersebut di atas, maka dalam
hal ini tentunya pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan kepribadian
secara keseluruhan. Pembinaan mental secara efektif dilakukan dengan
memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan
gangguan mental baik neurosis maupun psikologis (penyesuaian diri
terhadap lingkungan sosial) ( Mujib & Mudjakir,2003 dalam Harlina 2009).
Mental yang sehat tidak akan muda terganggu oleh stresor (Penyebab
terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan
diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiridan
lingkungannya. (NotoSoedirdjo,1980 dalam Harlina 2009) menyatakan
bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kesehatan mental adalah memiliki
46
kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan –tekanan yang datang dari
linkungannya, Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Suspectibility)
keberadaan seseorang terhadap stresor berbeda-beda karena faktor
genetik,proses belajar dan budaya yang ada di lingkungannya,juga intensitas
stresor yang di terima oleh seseorang dengan orang lain yang berbeda.
2. Gejala
Stres dalam intensitas tertentu malah baik dan positif,membuat kita
berkembang. Tetapi bila berlebihan akan buruk dampaknya pada kesehatan
mental ataupun fisik. Kondisi ini terjadi bila:
a. Merasa cemas dan khawatir berlebihan dalam menghadapi masalah
b. Ada perubahan nyata dalam pola tidur atau pola makan (berlebih atau
kurang)
c. Mudah tersinggung atau marah oleh sebab sepele
d. Sulit konsentrasi atau sulit membuat keputusan
Ciri-ciri kesehatan mental di kelompokan ke dalam enam
kategori,yaitu:
1. Memiliki sikap batin (Attitude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2. Aktualisasi diri
3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi psikis yang ada
4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri
5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada
6. Mampu menyelaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.
47
3. Penanganan
Kita cenderung beranggapan bahwa kesehatan mental adalah sesuatu
yang berkaitan dengan kondisi di mana kita tidak bisa mengontrol diri atau
penanda kelemahan kepribadian. Persepsi tersebut tidak benar. kita dapat
melakukan sesuatu untuk membetulkan anggapan tersebut dan melindungi
kesehatan kita.
Tetap aktif: Olah raga teratur dan menjaga kebersihan serta
penampilan diri dapat membantu seseorang untuk mempunyai perasaan
positif.Melibatkan diri dalam kegiatan kelompok:ikut dalam kegiatan atau
klub, bertemu teman atau handai taulan secara teratur dalam suasana
menyenangkan dan suportif,mempunyai sahabat tempat saling bercerita ikut
kursus-kursus , atau mempelajari sesuatu yang baru.
Ada beberapa cara yang di gunakan dalam penanganan kesehatan
mental:
a. Relaks: Terlalu banyak kegiatan malah akan membuat kita merasa
tertekan. Luangkan waktu untuk bersantai dan beristirahat. Penting juga
untuk bisa tidur malam dengan baik yang akan membantu meredakan
stres. Tidur yang baik dan teratur merupakan penyegaran pikiran. Tak
lupa lakukan hobi yang bisa membuat kita merasa nyaman serta rileks.
b. Menghindari alkohol dan narkoba: karena akan memperburuk kondisi
seseorang.
c. Makan secara sehat dan teratur akan membantu seseorang merasa lebih
baik dan memberi lebih banyak energi.
48
d. Mendekatkan diri kepada Tuhan: dapat merasa ada sesuatu kekuatan
yang akan menolong dan harapan untuk menjadi lebih baik serta
mendapatkan ketenangan.
e. Kenali gejala kesehatan mental yang terganggu: Mempunyai kesehatan
mental yang baik berarti mampu menghadapi tekanan hidup sehari-hari.
bila merasa tidak mampu mengatasi,atau malah mengatasinya dengan
alkohol atau narkoba ,hal ini di sebabkan mungkin kita mempunyai
masalah yang memerlukan bantuan orang lain.
f. Mencari bantuan: Bila sakit hendaklah berkonsultasi ke dokter. Begitu
pula dengan kesehatan mental. janganlah merasa malu atau ragu untuk
mencari pemecahan masalah kesehatan mental kepada ahlinya
(Psikiater,psikolog klinis).
Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan
mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan
sehari-hari,kesehatan mental seseorang dapat di tandai dengan kemampuan
orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya ,mampu
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal
mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT,serta dengan
mengembangkan seluruh aspek kecerdasan,baik kesehatan spiritual,emosi
maupun kecerdasan intelektual.
Dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses
penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan,orang yang tidak
mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal dalam menjalani
49
kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama,masyarakat,saling
membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi,hal ini sesuai dengan
konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai mahluk sosial.
C. Tinjauan Umum tentang Stres
Ditinjau dari asal katanya menurut kamus umum” stres”menurut bahasa
Inggris Kuno disebut strese yang artinya “hardship”distres sedangkan
menurut bahasa prancis kuno di sebut estrese yang artinya‘narrownes”dan
menurut bahasa latin kuno di sebut Strictia yang artinya “Tight”.narrow.
Menurut Hans Selye,Seorang ahli endokrinologisekaligus pendiri
Fisiologis stres berbangsa kanada Pada tahun 1936 tentang general
adaptasion syndrom (GAS) bahwa ketiga organisme berhadapan dengan
stres, dia akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan .
Namunpada tahun 1950-an Hans Selye mulia mendefinisikan stres dalam
pengertian psikologis atau emosional bahwa stres adalah beban atau
ketegangan yang di timpakan kepada individu yang mungkin mengubah
individu tersebut untuk merespon atau bereaksi secara normal. Stres juga
merupakan suatu ketegangan atau mental yang dapat menyebabkan
ketegangan..
1. Sumber-sumber Sres
Setiap orang dapat terkena stres namun lama serta intensitas stres antara
satu orang dengan yang lain berbeda-beda,yamg menentukan besar kecilnya
keadaan akibat stres adalah daya tahan seseorang terhadap strses bukan
tingkat stres (Aronaga,1998).
50
Sumber stres dapat berubah-ubah sejalan dengan perkembangan manusia
tetapi kondisi stres juga dapat terjadi setiapsaat sepanjang kehidupan. Pada
dasarnya berasal dari dua faktor yaitu faktor internal beberapa keadaan
fisiologis individu dan faktor-faktor eksternal berasal dari keluarga dan
lingkungan.
Sumber stres yang bersifat internal umumnya berasaldari kesakitan
dimana tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan
umur individu (Smet,1994).Stres juga muncul dalam diri individu melalui
penilaian dari kekuatan internasional yang melawan bila individu tersebut
mengalami konflik. Sumber stres dalam keluarga dapat berasal dari interaksi
di antara para anggota keluarga seperti perselisihan masalah
keuangan,tujuan yang berbeda-beda dan sebagainya.
Sumber stres dalam lingkungan terutama yang berasal dari lingkungan yang
bersifat stresful sepert suhu,tekanan,perubahan lingkungan kerja dalam
kecelakaan kerja.(Smet),1994)
Stres timbul karena adanya stresor. Stresor adalah sumber atau
pembangkit stres, stresor ini dapat di masukan sebagai unsur dari luar atau
sebagai unsur dalam individu dan oleh individu teresbut stresor di
persepsikan sebagai tanda ancaman atau kebutuhan . Keadaan eksistensi
yang menyenangkan sekalipun dapat terjadi stresor apabila melebihi batas
intensitas tertentu dan sumber stres dapat berubah ubah sejalan dengan
perkembangan manusia tetapi juga dapat terjadi di setiap saat sepanjang
kehidupan.
51
2. Gejala Stres
Menurut Sarafino (1997) bahwa gejala stres di temukan dalam segala
segi baik fisik,emosi,intelektual maupun interpersonal. Gejala stres berbeda-
beda pada setiap orang karena stres sifatnya sangat subyektif dan merupakan
pengalaman pribadi,namun setidak-tidaknya dapat di temukan gejala-gejala
tertentu yang menunjukan bahwa seseorang mengalami stres seperti:
a. Gejala fisikal dapat di lihat pada orang yang terkena stres antara lain
adalah sakit kepala,pusing,pening,,susah tidur,bangun terlalu
awal,sakit punggung,susah buang air besar,sembelit, Tekanan darah
naik s,tegang,seleramakan berubah, lelah atau kehilangan daya
energi,gangguan pernafasan,migrain dan ketegangan otot.
b. Gejala emosional antara lain sedih,depresi,mudah menangis, mudah
marah, gelisah,cemas,bermusuhan dengan orang lain,meredam
perasaan,kebosanan,lemah mental,kehilangan spontanitas dan
kreatifitas,serta kehilangan semangat hidup.
c. Gejala Intelektual antara lain sulit berkonsentrasi,sulit membuat
keputusan,mudah lupa,pikiran kacau,daya ingat melemah, melamun
secara berlebihan,kehilanghan rasa humor yang sehat,produktifitas
atau prestasi menurun,dan dalam bekerja banyak melakukan
kesalahan.
d. Gejala hubungan antara personal yaitu kehilangan kepercayaan
kepada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain,mudah
membatalkan janji,suka mencari kesalahan orang lain,terlalu
52
membentengi atau mempertahankan diri,meningkatnya penggunaan
psikotropika dan minuman keras,meningkatnya agresitivitas dan
kriminalitas,dan usaha bunuh diri.
3. Efek Fisik Stres
Taylor & Shelley (1995) mengungkapkan tentang
GeneralAdaptationSyndom (GAS) yang menjelaskan bahwa ketika
organisme berhadapan dengan sumber stres,dia akan mendorong dirinya
untuk melakukan tindakan.
Schultz,(2000) menguraikan dampak stres:
a. Deviasi fisiologis (Sistim otot terganggu antara lain tegang , gemetar ,
sakit;gangguan organ dalam antara lain;Jantung,perut nafas,buang air
berlebihan;sakit kepala;sakit kulit antara lain; eksim,alergi dan lai-
lain.
b. Deviasi psikologi (gangguan fungsi kognitif antara lain berfikir,
konsentrasi,ingatan,mental image dan gangguan emosi).
c. Deviasi perilaku (Tidak mau makan/makan berlebihan ,tidak bisa
tidur,minum berlebihan,merokok berlebihan,obat-obatan atau
narkoba).
Respon stres dalam konteks psikologi merupakan reaksi
komplek yang di gabungkan dengan perasaan terancam. Jika kita
merasa terancam saat itu tubuh berusaha untuk mempertahankan
hidup, ini di lakukan tanpa peduli apakah ancaman tersebut benar-
benar nyata atau fantasi. jika ini terus terjadi,tubuh akan terus
53
menerus dalam keadaan stres sehingga membahayakan tubuh,dan
dalam keadaan tertentu tubuh tak sanggup lagi menerima ancaman
terjadi stres yang hebat,sehingga menyebabkan tensi darah menjadi
tinggi.
Untuk memahami hubungan antara stres dan penyakit,kita perlu
mengetahui bahwa beberapa faktor harus bergabung untuk dapat
menyebabkan atau memperburuk penyakit. Faktor-faktor tersebut
tidak terbatas pada sikap yang memperbesar stres dan efeknya pada
sistim saraf,sistim hormon,dan sistim imun.
4. Hubungan Stres Dengan Sindrom metabolik.
Stres kronik dapat meningkatkan produksi hormon tertentu yang
mencakup hormon kortisol,neurotransmiter seperti epineprin dan
norepinephrine. Beberapa hormon stres merupakan anti nonflamasi.
Disamping itu hormon stres dapat meningkatkan glukosa darah dan
kadar insulin,menurunkan produksi dan aktifitas hormon
tiroid,meningkatkan berat badan,merusak keseimbangan imun dan
menyebabkan ketidak seimbangan hormon seksual. Terdapat hubungan
antara sisitm saraf,endokrin,sistim imun, ketika terjadi stres kronik,terjadi
ketidak seimbangan pada sistim neurondecrine-imun.
Peningkatan kadar kortisol yang terjadi karena stres menyebabkan
pengaruh terhadaps zat kimia tubuh. Dengan peningkatan kortisol,gula
darah dan insulin juga meningkat pada saat bersamaan. Kadar serotonin
menurun yang menyebabkan perasaan gelisa,tegang dan depresi umumya
54
pada orang yang obesitas. Karena terjadi penurunana serotonin maka pola
tidur ikut berubah. Dengan kurang tidur menurunkan pula produksi
hormon pertumbuhan di otakyang pada gilirannya menyebabkan
penurunan proses perbaikan yang seharusnya di lakukan tubuh pada
malam hari.
Perubahan tidur dan kadar serotonin menyebabkan ketergantungan
secara kronis terhadap makanan yang biasanya tinggi karbohidrat dan
gula (seperti coklat,kriping,dan kue kering yang asin). Semakin banyak
makanan yang di konsumsi semakin sedikit kalori yang di bakar dan
menyebabkan kurangnya pengkontrolan gula darah, yang menyebabkan
akumulasi lemak pada bagian perut. Kumpulan lemak ini pada gilirannya
memproduksi berbagai hormon di antaranya menyebabkan
peningkataninflamasi, peningktan berat badan dan masalah pengaturan
gula darah
( Lavalle,2005).
D.Tinjauan tentang Gaya hidup Sedentary
1. Defenisi Gaya hidup Sedentary
Gaya hidup sedentari adalah Pola hidup atau kebiasaan-kebiasaan
dalam kehidupan seseorang yang tidak banyak melakukan aktifitas fisik
atau tidak banyak melakukan gerakan,yang meliputi kegiatan seperti
tidur,duduk,berbaring,main komputer dan nonton TV.( Pate RR,2008)
Istilah pola hidup atau aktifitas sedentari semakin populer ketika
dikaitkan dengan masalah kesehatan. Perubahan gaya hidup “sedentari”
55
merupakan gaya hidup di mana gerak fisik yang di lakukan minimal
sedang beban kerja mental maksimal.. Keadaan ini besar pengaruhnya
terhadap tingkat kesehatan termasuk kesehatan gizi seseorang dan
selajutnya berakibat sebagai penyebab dari berbagai penyakit. Hal ini
disebabkan karena pola hidup sedentari dianggap sebagai faktor resiko
terhadap berbagai masalah kesehatan populer seperti penyakit jantung dan
stroke.Faktor resiko adalah hal-hal yang dapat meningkatkan
kemungkinan seseorang menderita suatu penyakit.Pola hidup sedentari
juga merupakan faktor resiko terhadap berbagai masalah kelainan
metabolisme; seperti: kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, diabetes,
resistensi insulin, obesitas, dsb.(Anonim,2011).
Gaya hidup tidak banyak bergerak (sedentary,low physical activity)
di tambah dengan pola makan buruk yang tinggi lemak dan karbohidrat
(fast food)yang tidak di imbangi serat (sayuran dan buah) dalam jumlah
yang cukup, membuat menumpuknya lemak dengan gejala kelebihan berat
badan (obesitas),terutama di bagian perut (buncit) selain itu,gangguan
metabolisme lemak menyebabkan kolesterol” jahat”(low density
lipoprotein/LDL) dan trigliserida meningkat dan sebaliknya kolesterol
“baik”(high density lipoprotein/ HDL)justru menurun,jika hal itu terjadi
dalam jangka panjang di lapisan pembuluh darah secara bertahap sejak
usia muda,akan terjadi tumpukan lemak yang semakin banyak dan
membuat darah sulit mengalir sehingga menyebabkan tekanan tinggi pada
pembuluh darah dan jantung (kardiovaskuler)(Alam,2007).
56
2. Etiologi
Sebagian besar orang-orang dulu atau yang kini menjadi orang-orang
tua memiliki gaya hidup tradisional yang di lakukannya dari dulu hingga
sekarang. Karena gaya hidup seperti itulah banyak di antara mereka
terlihat tidak gemuk atau kurus sama sekali. Berdasarkan penelitian Brown
(1991),tidak adanya kasus obes pada populasi tipe pemburu,pengumpul
karena pada masa itu keluaran energi sangat tinggi dan ketersediaan
makanan masih jarang,tidak seperti sekarang,namun seiring dengan
perjalanan waktu,di sebagian besar populasi terutama di negara maju telah
terjadi “modernisasi” besar-besaran dan memberikan dampak awal pada
lingkungan dan pada gaya hidup dalam 50-60 tahun terakhir.Aspek-aspek
tersebut adalah (WHO,2000):
a. Transportasi - terjadi peningkatan pemilikan kendaraan bermotor
secara dramatis, hal ini berarti bahwa semakin banyak orang yang
memiliki kendaraan pribadi,meski bepergian dengan jarak dekat
lebih memilih untuk menggunakan kendaraan tersebut di bandingkan
bersepeda atau jalan kaki.
b. Di rumah – Saat ini banyak peralatan rumah tangga yang sangat
memudahkan pekerjaan rumah tangga. Misalnya alat memasak
rumah tangga, membuat proses memasak lebih hemat waktu dan
tenaga. Begitu pula dengan alat membersihkan rumah, tidak lagi
menggunakan sapu atau lap untuk membersihkan debu dan kotoran,
tetapi vacuum cleaner membuat rumah bersih lebih cepat dan
57
mudah. Jika dulu orang menyuci pakaian dengan menyikat atau
menggosok,memeras pakaian kini dipermudah dengan bantuan
mesin cuci otomatis,mulai dari cuci hingga mengeringkan pakaian.
c. Tempat umum – penyediaaan fasilitas umum yang membuat orang
lebih sedikit gerak, misalnya tersedianya lift,escalataor di berbagai
sarana umum. Bahkan membuka pintu pun saat ini sudah otomatis.
Semuanya di desain untuk mempermudah manusia sehingga efektif
waktu akan tetapi membuat banyak energi yang tersimpan.
d. Gaya hidup sedentari atau Pola hidup sedentari meliputi kebiasaan
menonton televisi,bermain video games,menggunakan media
komunikasi telepon genggam seperti mengirim pesan dan menelpon
termasuk perilaku sedentari. Gaya hidup sedentari juga di kaitkan
dengan kebiasaan mengemil,karena cenderung orang-orang yang
memiliki waktu nonton televisi lebih lama akan di sertai dengan
mengonsumsi makanan ringan yang mengandung energi dan lemak.
3. Beberapa efek dari gaya hidup sedentarial adalah memunculkan peningkatan risiko penyakit seperti: a. Peningkatan risiko penyakit jantung kurangnya pasokan oksigen
karena aktifitas fisik yang kurang,dapat meningkatkan risiko jantung
sebesar 52 % pada wanita..
b. Peningkatan risiko diabetes: aktifitas olah raga,berpengaruh pada
kemampuan tubuh dalam mengontrol kadar gula.
c. Peningkatan risiko kanker: penurunan aktivitas dapat meningkatkan
risiko berkembangnya jenis kanker payudara,usus besar, dan jenis –
58
jenis tumor ganas. Kematian akibat kanker 45 % pada laki-laki dan 28
% pada wanita.
d. Peningkatan risiko osteoporosis: kurang aktif berkepanjangan
,menyebabkan tulang kehilangan kekuatan untuk mendukung struktur
tubuh.
4. Cara Meninggalkan Gaya hidup sedentari
Satu-satunya cara untuk meninggalkan pola sedentary adalah
dengan aktif bergerak. Berolahraga adalah salah satu cara terbaik untuk
mendapatkan manfaat kesehatan dari aktifitas fisik. Lakukanlah bentuk
olahraga yang anda sukai dan sesuaikan dengan waktu yang anda miliki.
Menemukan hal-hal yang positif dan menyenangkan dari aktivitas fisik
seperti berjalan kaki, main bola, senam pagi, mengerjakan pekerjaan
rumah tangga, berkebun, dsb mungkin dapat meringankan langkah anda
untuk memulai melakukan aktivitas fisik.Penyakit yang disebabkan terlalu
banyak duduk (setting disease) saat ini merupakan ‘tren’ bagi mereka
yang memiliki gaya hidup sedentari.
E. TINJAUAN TENTANG MEROKOK
1. Pengertian merokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga
20 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang
berisi daun-daun tembakau yang telah di cacah. Rokok di bakar pada salah
satu ujungnya dan di biarkan membara agar asapnya dapat di hirup lewat
mulut pada ujung lainnya (Elizabeth,2010).
59
Menurut Sitepoe (1997) dalam Amira Besse (2011),merokok adalah
membakar tembakau yang kemudian di hisap asapnya,baik menggunakan
rokok maupun menggunakan pipa. Sedangkan menurut Amstrong (1990)
mengatakan bahwa perilaku merokok adalah menghisap asap tembakau yang
di bakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar.
Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala metabolik yang juga
merupakan salah satu faktor risiko yang manifestasi akhirnya adalah penyakit
kardiovaskuler. Hal ini di sebabkan oleh pengaruh gaya hidup dan lingkungan
di samping faktor genetik.jenis kelamin, umur, hiperkolesterol, diabetes
mellitus, dan obesitas. Salah satunya gaya hidup adalah merokok.
Merokok adalah menghisap tembakau yang dibakar kedalam
tubuh dan kemudian menghembuskannya kembali keluar, sehingga dapat
menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitar
(Mangoenprasodjo, 2005 dalam Andi B ,2010).
Merokok diketahui dapat menurunkan jumlah kolesterol HDL,
meningkatkan kadar LDL serta merangsang hormon katekolamin yang
bersifat memacu jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan
kesempatan beristirahat dan tekanan darah semakin tinggi, yang berakibat
timbulnya hipertensi yang merupakan faktor risiko sindrom metabolik.
Yang terpenting dalam rokok adalah jumlah batang rokok yang di
konsumsi, bukan lamanya seseorang merokok. Orang yang merokok > 20
batang sehari dapat mempengaruhi atau memperkuat dua faktor resiko
pertama (hipertensi dan hiperkolesterolemia).
60
2. Jenis-jenis rokok
Rokok dibedakan menjadi 4 kategori di antanya sebagai
berikut:
1. Rokok berdasarkan bahan pembungkus.
a. Klobot: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun jagung.
b. Kawung: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun aren.
c. Sigaret: rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas
d. Cerutu: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun tembakau.
2. Rokok berdasarkan bahan baku atau isi.
a. Rokok Putih: rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun
tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma
tertentu.
b. Rokok Kretek: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun
tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek
rasa dan aroma tertentu.
c. Rokok Klembak: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun
tembakau, cengkeh, dan menyan yang diberi saus untuk
mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
3. Rokok berdasarkan proses pembuatannya.
a. Sigaret Kretek Tangan (SKT): rokok yang proses pembuatannya
dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan
atau alat bantu sederhana.
61
b. Sigaret Kretek Mesin (SKM): rokok yang proses pembuatannya
menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam
mesin pembuat rokok. Keluaran yang dihasilkan mesin pembuat rokok
berupa rokok batangan. Saat ini mesin pembuat rokok telah mampu
menghasilkan keluaran sekitar enam ribu sampai delapan ribu batang
rokok per menit.
4. Rokok berdasarkan penggunaan filter.
a. Rokok Filter (RF): rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.
b. Rokok Non Filter (RNF): rokok yang pada bagian pangkalnya tidak
terdapat gabus.s
3. Jumlah rokok yang dihisap
Jumlah rokok yang dihisap dalam satuan batang, bungkus, pak per
hari. Jenis rokok dapat dibagi atas 3 kelompok yaitu :
a). Perokok ringan
Dikatakan perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang
Per hari.
b). Perokok sedang
Dikatakan perokok sedang jika menghisap 10- 20 batang per hari.
c). Perokok berat
Dikatakan perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang.
4. Lama menghisap rokok
Menurut Bustan (2007) semakin awal seseorang merokok semakin
sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga mempunyai sifat dose-response
62
effect,artinya semakin muda usia seseorang merokok,akan semakin besar
pengaruhnya. Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan
sistolik 10 - 25 mmHg dan menambah detak jantung 5-20 kali per hari per
menit (Mangku Sitepoe,1997).Dampak rokok akan terasa setelah 10-20
tahun pasca di gunakan. Walaupun di butuhkan waktu 10-20 tahun,tetapi
merokok terbukti dapat mengakibatkan 80% kanker paru dan 50%
terjadinya serangan jantung,impotensi dan gangguan kesuburan (Irfan
Mujiono,2006).
F. Kerangka Teori
Kerangka teori yang digunakan untuk menjelaskan determinan Sindrom
metabolik melalui pendekatan multidisplin meliputi teori Blum, Marmot,
Livernman serta Wildman.Blum membagi determinan penyakit dalam empat
kelompok besar, yaitu faktor genetik, lingkungan, perilaku danfasilitas
pelayanan kesehatan.Wildman menjelaskan mengenai keterkaitan lingkar perut
dengan penyakit jantung, hipertensi, dan sindrom metabolik.Livernman
menjelaskan mengenai faktor langsung yang mempegaruhi obesitas adalah
asupan energi yang berlebih.Berbagai teori ini akan dimodifikasi menjadi
kerangka teori penelitian
1. Teori Blum
Blum (1974) mengidentifikasi empat faktor utama yang berpengaruh
terhadap status kesehatan, yaitu keturunan, lingkungan, pelayanan
kesehatan dan perilaku.keturunan termasuk dalam faktor utama, karena
sifat genetik diturunkan oleh orang tua kepada keturunannya, dan sebagian
63
bertanggung jawab terhadap kapasitas fisik dan mental keturunannya.
lingkungan terdiri dari dari lingkungan fisik dan sosial, dimana lingkungan
fisik dapat menjadi kekuatan yang buruk dan merusak kesehatan manusia.
Di negara - negara yang sedang berkembang yang paling
menentukan derajat kesehatan adalah faktor lingkungan diikuti kemudian
berturut - turut oleh faktor gaya hidup, faktor genetik dan terakhir oleh
faktor pelayanan kesehatan. Menurut Blum semakin maju dan kaya suatu
masyarakat maka faktor yang menentukan tingginya derajat kesehatan
bergeser dari faktor lingkungan menjadi faktor gaya hidup. Hal ini terbukti
di negara - negara maju dimana lingkungan hidup sudah tertata, gaya
hidup merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi kesehatan
masyarakat.
2. Review Marmot et al
Menurut Marmot et al obesitas dan kelebihan berat badan
berhubungan dengan kesenjangan sosial dalam segi faktor individu, faktor
Hereditas
Status
Kesehatan
Lingkungan : fisik/kimia
Biologis, Sosial Budaya
Pelayanan Kesehatan
Gaya Hidup, Perilaku, Kebiasaan, Sikap
Gambar 2. Teori HL Blum
64
sosial, faktor lingkungan, aktifitas fisik yang rendah dan makanan yang
tidak sehat yang dapat menyebabkan overweight dan obesitas serta
peningkatan resiko kesehatan yang berhubungan dengan Diabetes Type II
dan penyakit jantung atau stroke. Faktor individual meliputi pengetahuan,
kebiasaan (merokok dan konsumsi alkohol) , perilaku, dan kondisi
psikologis juga memberikan tekanan kepada individu yang dapat
menyebabkan individu tersebut mengalami gejala stres.
65
a. Kerangka Teori
kerangkate
s
Pelayanan Kesehatan
Faktor Sosial
Immutables Faktor
Jenis Kelamin
Genetik
Umur
Riwayat Keluarga
Gen Khusus
Etnis
Aktifitas Fisik
Sindrom metabolik
Pra hipertensi Pra DM Dislipidemia Hyperlipidemia Obesitas
DM PJK STROK
Ketidakseimbangan Energi
Asupan Makanan & Minuman
Sumber Daya Manusia
Alat Kesehatan
Biaya
Faktor Lingkungan
Tekanan Kerja
Ketersediaan Akses
Tempat Tinggal
Budaya Setempat
Teknologi Transportasi
Pedesaan Perkotaan
Status Sosial Ekonomi
pekerjaan
Tingkat Pendidikan
Faktor Individual
Pengetahuan
Gaya Hidup
Kesehatan mental
Merokok Alkohol
Resiko Kematian
Sumber : Blum (1974), Livernman (2005), Wildman (2005), Marmot (2010), dimodifikasi oleh peneliti. Gambar 3. Kerangka Teori
66
G. Kerangka Konsep
1. Dasar pemikiran variabel yang di teliti
Berdasarkan Teori Hendrik L. Blum bahwa faktor perilaku manusia
merupakan faktor determinan yang paling besar di tanggulangi,di
susuldengan faktor lingkungan.Hal ini disebabkan karena faktor
perilaku yang lebih dominan dibandingkan dengan faktor lingkungan
karena lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi oleh
perilaku masyarakat.Aspek lingkungan dianggap faktor yang memiliki
pengaruh yang paling besar terhadap derajat kesehatan.Secara spesifik
aspek lingkungan yang berhubungan dengan kesehatan yaitu
lingkungan fisik, biologis dan lingkungan sosial.
Tingginya prevalensi sindrom metabolik di sebabkan oleh faktor
gaya hidup dan lingkungan. Gaya hidup yang cenderung memilih
makanan cepat saji menyebabkan timbulnya penyakit sindrom
metabolik seperti diabetes mellitus,obesitas,dan hipertensi. Diabetes
Mellitus adalah penyakit yang timbul oleh karena terjadi kerusakan
sel-sel alpha dan beta dari pulau-pulau langerhans sehingga produk
insulin tidak mampu untuk mengatur kadar yang beredar dalam darah.
Hipertensi merupakan masalah kronis yang tergolong penting di
seluruh dunia dan memerlukan penanggulangan yang cepat dan
tepat,mengingatprevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat
serta tingkat keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen
dan kematian mendadak. Hipertensi yang tidak di temukan dan tidak
67
dirawat akan mengakibatkan penyakit kardiovaskuler seperti
strok,PJK,dan gangguan fungsi ginjal. Akibat menderita Sindrom
metabolik,maka penderita kadang mengalami gangguan mental seperti
stres.
2. Model Hubungan Antar Variabel
Berdasarkan konsep pemikiran yang ada,maka dapat di gambarkan suatu
model hubungan antara variabel yang di teliti sebagai berikut.
Lingkungan Sosial
Pendidikan Pekerjaan
Lingkungan Biologi
Umur Jenis Kelamin
Lingkungan Fisik
Kesehatan Mental
Perilaku
Kebiasaan Merokok AktifitasSedentari
Genetik
Sindrom Metabolik
Obesitas Sentral (LP)
Peningkatan
Trigliserida
Penurunan HDL
Peningkatan Tekanan
Darah
Peningkatan Gula
Darah Puasa (GDP)
Pelayanan Kesehatan
Konsumsi Makanan
68
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
= Variabel Dependen
= Variabel independen
H. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif.
1. Sindrom Metabolik
Definisi Operasional:
Sindrom metabolik adalah kumpulan gejala yang secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner,
diabetes melitus,Hipertensi,dan Obesitas.
Seorang responden dikatakan mengalami sindrom metabolik bila ada
gejala yaitu lingkar pinggang di atas nilai normal,kadar trigliserida tinggi
serta tingginya kadar glukosa darah puasa (GDP).
Kriteria objektif:
a. Sindrom Metabolik
Menderita : Jika responden di katakan mengalami 3 dari 5 gejala yang
ada :
1. Obes sentral: untuk laki-laki ≥ 90 cm wanita ≥ 80 cm.
2. Trigliserida : Jika nilainya ≥ 150 mg/dl
3. HDL :untuk laki-laki< 40 mg/dl ,perempuan <50
mg/dl
69
4. Tekanan darah: Sistolik ≥ 130 mm/Hg,dan diastolik ≥ 85
mm/Hg
5. GDP: ≥ 110 mg/ dl.
Tidak Menderita:Jika responden tidak memiliki minimal 3 dari 5 gejala
yang ada.
b. Lingkar Pinggang
Obesitas sentral : Jika responden memiliki lingkar pinggang
untuk laki-laki ≥90 cm dan wanita ≥80 cm.
Tidak Obesitas sentral : Jika responden memiliki lingkar pinggang
untuk laki-laki < 90 cm dan wanita < 80 cm.
c. Trigliserida
Tinggi : Jika responden memiliki kadar trigliserida ≥150 mg/dl
Normal : Jika responden memiliki kadar trigliserida < 150 mg/dl
HDL (High Density Lipoprotein)
Rendah : Jika responden memiliki kadar kolesterol HDL untuk laki-
laki < 40 mg/dl dan wanita < 50 mg/dl
Normal : Jika responden memiliki kadar kolesterol HDL untuk laki-
laki > 40 mg/dl, dan wanita > 50 mg/dl.
d. Tekanan Darah
Tinggi : jika responden memiliki tekanan darah sistolik ≥ 130
mm/Hg dan diastolik ≥ 85 mmHg.
70
Normal : Jika responden memiliki tekanan darah sistolik < 130 atau
diastolik < 85 mmHg
e. GDP (Glikosa Darah Puasa)
Tinggi : Jika responden memiliki glukosa darah puasa ≥ 110 mg/dl
Normal : Jika responden memiliki glikosa darah ≤ 110 mg/dl.
2. Gangguan Kesehatan Mental
Gangguan kesehatan Mental adalah suatu keadaan yang
mengindikasikan seseorang mengalami suatu perubahan emosional yang
secara terus-menerus dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan
tubuh.
Kriteria Objektif :
Menurut Riskesdas 20013.
a. Mengalami gangguan mental : Jika responden menjawab ya ≥ nilai
median dari semua jawaban responden.
b. Tidak mengalami gangguan mental : Jika responden menjawab ya <
nilai median dari semua jawaban responden.
3. Kebiasaan merokok
Defenisi operasional:
Yang di maksud dengan Kebiasaan merokok dalam penelitian ini adalah
kebiasaan merokok minimal 1 batang perhari. (Sitepoe,1997).
Jenis rokok yang di hisap adalah bentuk sediaan atau kebiasaan rokok
yang di hisap oleh responden.Data diperoleh melalui wawancara dengan
kuesioner.
71
Skala Nominal
Untuk kepentingan analisis skala dikategorikan menjadi:
a. Filter : bila responden menghisap jenis rokok filter yaitu rokok pada
bagian pangkalnya terdapat gabus/penyaring.
b. Non Filter : bila responden menghisap jenis rokok non filter yaitu
rokok pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus/penyaring.
Lama menghisap rokok adalah waktu pertama kali merokok sampai
dengan sekarang.
Skala: Ordinal
Lama : apabila responden menghisap rokok ≥ 10 tahun
Baru/Pemula : apabila responden menghisap < 10 tahun
Jumlah rokok yang dihisap adalah banyaknya rokok yang di hisap
responden perhari.
Skala Nominal
a. Perokok berat : Bila responden menghisap rokok > 20 batang / hari.
b. Perokok sedang: Bila Responden menghisap rokok 10-20 batang
perhari
c. Perokok ringan : Bila responden menghisap rokok < 10 batang/hari
4. Aktifitas Sedentari
Defenisi operasional :
Aktifitas Sedentari adalah pola hidup atau kebiasaan-kebiasaan dalam
kehidupan seseorang yang tidak banyak melakukan aktifitas fisik dan tidak
banyak melakukan gerakan ( Prentice dan Jebb,dalamWidayanti 2009).
72
Kriteria Objektif:
Kriteria Penilaian aktifitas sedentary menurut Dogra et al, (2012) :
Jam/minggu = Jam 7 Hari
Jika Jumlah aktifitas sedentary responden > 4 jam/hari,maka responden
tersebut memiliki gaya hidup sedentary.
Jika Jumlahaktifitas sedentaryresonden ≤ 4 jam/hari, maka responden
tersebut tidak memiliki gaya hidup sedentari.
Berikut adalah jenis aktifitas sedentary yang berhubungan dengan Sindrom
metabolik yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Sebagai
berikut.(AndiBankoski et al, 2010).
Tabel 4. Aktifitas sedentary yang berhubungan dengan Sindrom Metabolik
No Aktifitas METS
1 Nonton TV/Video sambil duduk/baring 1.2
2 Main computer/HP, untuk bersenang-senang
(game,face book)
1.5
3 Duduk santai sambil ngobrol, mengerjakan hobi
( menyulam,menulis,menelpon bernyanyi)
1.0
4 Memakai computer untuk mengerjakan tugas
(input,olahdata,print data atau mengetik dengan mesin
tik).
1.5
5 Bepergian menggunakan kendaraan ( mobil ) 1.2
6 Duduk di mesjid/tempat ibadah lainnya menunggu waktu
sholat/duduk dengar khutbah.
1.0
7 Baring sambil membaca Koran ,majalah,komik. 1.2
8 Istirahat / tidur siang 0.9
73
I. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesisi Nol (H0)
a. Tidak ada hubungan antara kesehatan mental dengan komponen
sindrom metabolik pada pasien rawat jalan di RSP Universitas
Hasanuddin dan Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar.
b. Tidak ada hubungan antara Kebiasaan merokokdengan Komponen
sindrom metabolik pada pasien rawat jalan di RSP Universitas
Hasanuddin dan Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar.
c. Tidak ada hubungan antara Gaya hidup sedentari dengan komponen
sindrom metabolik pada pasien rawat jalan di RSP Universitas
Hasanuddin dan Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar.
2. HipotesisAlternatif (Ha)
a. Ada hubungan antara kesehatan mental dengan sindrom metabolik pada
Pasien rawat jalan di RSPUniversitas Hasanuddin dan Rumah Sakit
Ibnu Sina Makassar.
b. Ada hubungan antara Kebiasaan merokok dengan komponen sindrom
metabolik pada pasien rawat jalan di RSP Universitas Hasanuddin dan
Rumah Sakit Ibnu Sina makassar.
c. Ada hubungan antara aktifitas fisik Sedentarial dengan komponen
Sindrom Metabolik Pada pasien rawat jalan di RSP Hasanuddin dan
Rumah Sakit Ibnu Makassar.
74
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan
desain cross-sectional dimana dalam hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
hubungan antara kesehatan mental, kebiasaan merokok,dengan gaya hidup
sedentarial dengan komponen sindrom metabolik pada pasien rawat jalan di
Poli Endokrin.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik RSP Universitas Hasanuddin
dan rumah sakit Ibnu Sinama kassar pada bulan Maret – April 2013 dengan
alasan karena kedua rumah sakit ini mendapat kunjungan Pasien Sindrom
metabolik yang banyak di poli endokrin.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah rata-rata perbulan pasien rawat
jalan di “Poliklinik Endokrin” RSP Universitas Hasanuddin dan rumah
sakit Ibnu Sina Makassar tahun 2012 sebanyak 118 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini yaitu di ambil berdasarkan rata-rata
perbulan pasien rawat jalan yang berkunjung di “Poliklinik Endokrin”
RSP Universitas Hasanuddin dan rumah sakit Ibnu Sina Makassar
sebanyak 118 orang.
75
3. Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yaitu dengan metode accidental sampling,
mereka yang terpilih sebagai responden adalah mereka yang datang pada
saat penelitian berlangsung, sesuai kriteria yaitu:
a. Lengkap dengan pemeriksaan laboratorium: Gula darah puasa,
kolesterol HDL dan Trigliserida dan tekanan darah
b. Bersedia untuk di wawancarai.
D. Instrumen Penelitian.
Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Kuesioner
2. Pita pengukur Lingkar Pinggang dengan ketelitian 0,1 cm
3. Microtoice, dan timbangan.
4. Program komputer (Program SPSS)
5. Buku rekan medik untuk mendapatkan data laboratorium
6. Alat tulis menulis.
76
E. Alur Penelitian
F. Pengumpulan Data
1. Data Primer.
Data primer adalah data yang dikumpulkan dalam proses penelitian
melalui pengukuran fisik dan wawancara dengan para responden yang
menjadi objek penelitian dengan menggunakan kuesioner.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pencatatan di
rumah sakit yang termuat atau terdapat dalam buku rekam medik
Pengolahan Data
Pelaporan
Lembar Kuesioner
Pasien Baru
Data Rekam Medik Pasien SM
PoliInterna
Pasien Lama
77
penderita gejala kelainan metabolik berupa hasil pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan klinis.
G. Pengolahan dan Penyajian data.
Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS. Kemudian data
tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan disertai
penjelasan.
H. Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
penelitian dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi sehingga
menghasilkan distribusi dan persentase dari setiap variabel penelitian.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel
dependen dan independen dalam bentuk tabulasi silang (crosstab) dengan
menggunakan program SPSS dengan uji statistik Chi-square dengan
rumus :
22X
Kriteria, keputusan pengujian hipotesis terdapat hubungan yang
bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen jika 2
hit. >2tab atau nilai p < (0,05) (Stang, 2006).
78
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian ini di laksanakan di Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Hasanuddin dan Rumah sakit Ibnu Sina Makassar yang berlansung selama
satu bulan yakni terhitung mulai tanggal 28 maret sampai 30 April. Seperti
yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya bahwa pengumpulan data pada
penelitian ini di lakukan secara primer dan sekunder, di mana data primer di
peroleh melalui wawancara dengan pasien dengan cara menanyakan
pertanyaan kuesioner penelitian dan pengukuran. Pengukuran yang di
lakukan adalah Lingkar pinggang,berat badan dan tinggi badan untuk
memperoleh data antropometri.Sedangkan data sekunder diperoleh dari
rekam medik responden. Pada penelitian ini di peroleh 118 responden
penyakit sindrom metabolik.
Data yang di peroleh kemudian diolah dengan menggunakan rumus yang
telah di tentukan dan disajikan dalam bentuk tabel frekwensi dan crosstab
(tabulasi silang). Adapun hasil penelitian diuraikan sebagai berikut.
1. Gambaran umum Rumah Sakit Pendidikan UNHAS
Rumah sakit Pendidikan Unhas dibangun oleh Direktorat Jenderal
Perguruan Tinggi (Dikti) yang ke-4 di Indonesia setelah UI, UGM, dan Undi
penelitian.Rumah sakitpendidikan (RSP) adalah merupakan sarana pendidikan
dalam melakukan penelitian dan pelayanan jasa kepada masyarakat sebagai
79
aplikasi dalam Tri Darma perguruan tinggi.RSP Unhas diutamakan sebagai
sarana Pendidikan, Penelitian, hingga Pengabdian pada masyarakat.Prinsipnya
rumah sakit ini tidak lepas dari visi, misi perguruan tinggi, dimanapendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat juga harus tercermin
disana.Tipe B mengarah tipe A.
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian pada pendirian RS Universitas
Hasanuddin Makassar, yaitu:
1. Yang pertama adalah menjadikan RS sebagai tempat pendidikan bagi
dokter, dokter spesialis, konsultan dan tenaga kesehatan lainnya.
2. Kedua RS bertujuan menghasilkan penelitian yang mempunyai
keunggulan-keunggulan yang bisa berdampak ekonomi.
3. Dan yang ketiga yaitu RSP menjadi salah satu rumah sakit yang
memanfaatkan teknologi kedokteran sebagai pusat teknologi informasi
yang merupakan tulang punggung dari segala aktifitas yang dijalankan
dalam rumah sakit tersebut. Sehingga dengan RSPbertaraf Internasional
(world class hospital) kita tidak lagi keluar negeri, tetapi orang luar yang
masuk ke dalam dengan harapan RS tersebut ramah lingkungan dan hemat
energi.
Secara struktural RSP dibawah asuhan Unhas, berbeda dengan RS Wahidin
yang secara struktur dibawahi langsung oleh Departemen Kesehatan (Depkes)
dan dipimpin oleh seorang Direktur.
80
Visi
Menjadi pelopor terpercaya dalam memadukan pendidikan, penelitian dan
pemeliharaan kesehatan yang bertaraf internasional.
Misi
1. Menciptakan tenaga professional yang berstandar internasional dalam
pendidikan, penelitian dan pemeliharaan internasional.
Maksud dari tenaga professional adalah tenaga yang mempunyai
pengetahuan teoritis ekstensif dan memiliki keterampilan yang
berdasar pada pengetahuan tersebut dan menerapkannya dalam
praktek, yang dibuktikan dengan memiliki sertifikasi dan lisensi
yang khusus untuk bidang profesi tersebut.
Maksud dari pemeliharaan kesehatan adalah suatu proses yang
berhubungan dengan pencegahan, perawatan dan manajemen
penyakit dan juga promosi kesehatan meliputi kemakmuran fisik,
mental dan spiritual melalui pelayanan yang ditawarkan oleh
profesional kedokteran.
2. Menciptakan lingkungan akademik yang optimal untuk mendukung
pendidikan, penelitian dan pemeliharaan kesehatan.
Maksud dari lingkungan akademik yang optimal adalah terciptanya
suanakultur keilmuan dan kecendiakawanan (akademik) yang
sinergis diantara seluruh komponen yang ada, yaitu; mahasiswa,
dosen, maupun komponen lain yang terkait.
81
3. Mempelopori inovasi pemeliharaan kesehatan melalui penelitian yang
unggul dan perbaikan mutu pelayanan berkesinambungan.
Maksud dari mempelopori inovasi adalah sebagai pelopor dalam hal
proses hasil pengembangan dan atau pemanfaatan /mobilisasi
pengetahuan dan keterampilan (termasuk keterampilan teknologi)
dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk
barang/jasa). Inovasi juga diartikan sebagai suatu penciptaan sistem
yang baru yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan
4. Memberikan pemeliharaan kesehatan secara terpadu dengan
pendidikan, penelitian yang berstandar internasional tanpa melupakan
fungsi sosial.
Maksud dari pemeliharaan kesehatan adalah sebagai pemberian
pelayanan preventif, kuratif, rehabilitatif dan wellness yang meliputi
fisik, mental dan spiritual pasien.
Maksud dari fungsi sosial adalah memberikan keringanan atau
pembebasan pelayanan bagi masyarakat kurang mampu dan
pelayanan gawat darurat 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka,
tetapi mengutamakan kesehatan.
5. Mengembangkan jejaring dengan rumah sakit lain baik regional
maupun internesional.
Maksud dari jejaring dengan rumah sakit adalah bahwa jalinan
kerjasama secara mutualisme dengan rumah sakit lain dalam
mendukung pelaksanaan operasional RS.
82
Motto
Motto Hasanuddin University Hospital adalah “Tulus Melayani”. Tulus
melayaniberarti semua pihak yang bekerja dalam lingkup RS dituntut
untuk memberikan pelayanan tanpa mengharapkan imbalan jasa dari
pasien, tidak diskriminasi dan menempatkan pasien sebagai raja
1. Poliklinik Interna
Bagian penyakit dalam RSP UNHAS di ketuaioleh seorang dokter ahli
penyakit dalam di mana dalam memberikan pelayanan bagi pasien rawat
jalan di bantu oleh satu orang tenaga perawat yang merangkap sebagai
tenaga administrasi . Program kerja pada poliklinikinterna meliputi
pelayanan rutin pasien rawat jalan penyakit dalam pada hari senin sampai
hari sabtu.
2. Gambaran Umum Rumah Sakit Ibnu Sina
Rumah Sakit ”Ibnu Sina” UMI merupakan Rumah Sakit Umum
Swasta, dahulu bernama Rumah Sakit ”45” yang didirikan pada Tahun
1988 berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan No. 6783 / DK-I / SK / TV.1/ X / 88, tanggal 05 Oktober 1988.
Pada hari Senin 16 Juni 2003 telah dilakukan penyerahan kepemilikan
berdasarkan Akta jual beli No. 751 / PNK / JB / VII / 2003 dari Yayasan
Andi Sose kepada Yayasan Wakaf UMI, yang ditanda tangani oleh Ketua
Yayasan Andi Sose yaitu Bapak Dr.Hc. Andi Sose dan Ketua Yayasan
Wakaf UMI Bapak Almarhum Prof. Dr. H. Abdurahman A.
Basalamah,SE.MSi. Berdasarkan hak atas kepemilikan baru ini, maka
83
nama Rumah Sakit ”45” oleh Yayasan Wakaf UMI diubah menjadi
Rumah Sakit ”Ibnu Sina” YW-UMI.
Rumah Sakit “Ibnu Sina” YW- UMI dibangun diatas tanah 18.008
M2 dengan luas bangunan 12.025 M2, beralamat jalan Letnan Jenderal
Urip Sumoharjo Km5 No.264 Makassar. Berdasarkan surat permohonan
dari Yayasan Wakaf UMI kepada Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan, menerbitkan surat izin uji coba penyelenggaraan operasional
Rumah Sakit ”Ibnu Sina” YW-UMI pada tanggal, 23 September 2003,
No.6703A/DK-VI/PTS-TK/2/!X/2003, dan pada hari Senin, tanggal, 17
Mei 2004 Rumah Sakit ”Ibnu Sina”YW-UMI diresmikan oleh Gubernur
Sulawesi Selatan Bapak H.M. Amin Syam, serta Rumah Sakit ”Ibnu Sina”
UMI memperoleh Surat Izin penyelenggaraan Rumah Sakit dari
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. YM. 02.04.3.5.4187, tanggal,
26 September 2005.
Sebagaimana diketahui bahwa Universitas Muslim Indonesia(UMI)
sejak tahun 1991 telah memiliki Fakultas Kedokteran dan telah
menghasilkan Dokter umum, maka keberadaan Rumah Sakit ”Ibnu Sina”
YW-UMI akan lebih menambah dan melengkapi sarana /fasilitas
pendidikan kedokteran, terutama pendidikan klinik bagi calon dokter
umum dan calon dokter ahli. Dengan demikian diharapkan bahwa luaran
dokter Fakultas Kedokteran UMI pada masa mendatang akan lebih
meningkatkan kualitas, keterampilan, dan akhlaq mulia serta memiliki
84
integritas pengabdian yang tinggi bagi ummat Islam dan Masyarakat pada
umumnya.
3. Motto, Visi dan Misi
Motto : ” Melayani anda merupakan Ibadah dan Pengabdian Kami”
Visi : ” Menjadi rumah sakit pendidikan dengan pelayanan yang
Islami, Unggul danterkemuka di Indonesia (To be a teaching hospital
with Islamic, excellent and distinction medical services in Indonesia).”
M i s i :
1. Melaksanakan dan mengembangkan pelayanan kesehatan unggul yang
menjunjung tinggi moral dan etika ( Misi pelayanan kesehatan ).
2. Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan kedokteran dan
professional kesehatan lainnya ( Misi Pendidikan ).
3.Melangsungkan Pelayanan dakwah dan bimbingan spiritual kepada
penderita dan pengelola rumah sakit (Misi dakwah ).
4. Meningkatkan kesejahteraan pegawai ( Misi kesejahteraan ).
Poliklinik Interna
Bagian penyakit dalam di RS Ibnu Sina di ketuaioleh seorang dokter
ahli penyakit dalam di mana dalam memberikan pelayanan bagi pasien rawat
jalan di bantu oleh satu orang tenaga perawat yang merangkap sebagai tenaga
administrasi . Program kerja pada poliklinikinterna meliputi pelayanan rutin
pasien rawat jalan penyakit dalam pada hari senin sampai hari sabtu.
85
4. Analisis Univariat
Adapun hasilpengolahan dan analisis data variabel penelitian ini
disajikan dalam bentuk tabel serta dijelaskan dalam bentuk narasi sebagai
berikut :
a. Karakteristik Responden
Karakteristik responden merupakan ciri khas yang melekat pada diri
responden meliputi jenis kelamin, kelompok umur,pendidikan,dan .Distribusi
responden.
Dari penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret - Mei 2013
(meliputi pengambilan dan pengolahan data) pada sejumlah pasien rawat
jalan di ”poliklinik endokrin” RS Pendidikan Universitas Hasanuddin
Makassar, maka diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 5 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Karakteristik PasienRawatJalan di RSP
Universitas Hasanuddindan RS IbnuSina Makassar Tahun 2013
Karakteristik
SindromMetabolik
n (118)
Total
%
(100)
Ya Tidak
n(86) %(72,9) n(32) %(27,1)
KelompokUmur (Thn) < 40 40 – 49 50 – 59 60 – 69 ≥ 70
3 15 26 33 9
75,0 65,2 74,3 71,7 90,0
1 8 9 13 1
25,0 34,8 25,7 28,3 3,1
4 23 35 46 10
3,3 19,5 29,7 39,0 8,5
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
41 45
73,2 72,6
15 17
26,7 27,4
56 62
47,5 52,5
Jenis Pekerjaan PNS Pegawai swasta
23 5
71,9 71,4
9 2
28,1 28,6
32 7
27,2 5,9
86
Pedagang IRT Petani Pensiunan Penjahit
4 32 2 20 0
44,4 74,4 66,7 87,0 0,0
5 11 1 3 1
55,6 25,6 33,3 3,0 100
9 43 3
23 1
7,6 36,5 2,54 19,5 0,84
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD SD SMP/sederajat SMA/sederajat Perguruan tinggi
0 13 10 21 42
0,0
76,5 66,7 61,8 82,4
1 4 5 3 9
100,0 23,5 33,3 38,2 17,6
1
17 12 34 51
0,9
14,4 12,7 28,8 43,2
Sumber: Data Primer, 2013
Tabel 5 menunjukan bahwa dari 118 responden berdasarkan kelompok
umur terbanyak yang menderita Sindrom Metabolik adalah umur ≥ 70 tahun
sebesar 90%,dan paling sedikit adalah yang berumur ≤ 40 tahun. Penderita
sindrom metabolik lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar
73,2%, sedangkan untuk jenis pekerjaan yang mengalami sindrom metabolik
sebagian besar adalahpensiunan (87,0%).Untuk tingkat pendidikan, sebagian
besar responden yang menderita sindrom metabolik berlatar pendidikan
perguruan tinggi (82,4%).
b. Gambaran Status Gizi
Tabel 6 Distribusi Kejadian Sindrom Metabolik Menurut Status Gizi (IMT Dan Lingkar Pinggang) pasien rawat jalan di RSP Universitas Hasanuddindan RS Ibnu Sina
Makassar Tahun 2013
Status Gizi Sindrom Metabolik
n (118) Total
% (100)
Ya Tidak n (86) % (72,9) n (32) % (27,1)
IMT Underweight Normal Overweight Obesitas
1
50 24 11
50,0 66,6 85,7 84,6
1
25 4 2
50,0 33,3 14,2 15,3
2 75 28 13
1,7
63,6 23,7 11,0
87
Lingkar Pinggang Obes sentral Normal
69 17
79,3 54,8
18 14
20,6 45,1
87 31
73,2 26,8
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan tebel 6 terlihat bahwa berdasarkan perhitungan Indeks Massa
Tubuh (IMT), penderita sindrom metabolik sebagian besar berstatus gizi
overweight sebesar 85,7%, sedangkan berdasarkan pengukuran lingkar pinggang,
ditemukan sebesar 79,3% penderita sindrom metabolik mengalami obesitassentral,
sedangkan pada responden yang tidak menderita sindrom metabolik, hanya 20,6%
yang mengalami obesitas sentral.
c. Gambaran Pemeriksaan Profil Lipid
Tabel7 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Hasil Pemeriksaan Profil Lipid (HDL, LDL, Trigliserida) Pasien Rawat Jalan di RSP Universitas Hasanuddindan RS
Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa untuk responden dengan
sindrom metabolik ditemukan yang memiliki kadar High Density Lipoprotein
Hasil Pemeriksaan Profil Lipid
Sindrom Metabolik
n (118) Total
% (100)
Ya Tidak n (86) %(72,9) n (32) %(27,1)
HDL Rendah Normal
43 43
86,0 63,2
7 25
14
36,7
50 68
42,4 57,6
LDL Tinggi Normal
74 12
80,4 46,1
18 14
19,5 53,8
92 26
78,0 22,0
Trigliserida Tinggi Normal
50 36
81,9 63,1
11 21
18,0 36,8
61 57
51,7 48,3
88
(HDL) rendah sebesar 86%, kadar Low Density Lipoprotein (LDL) tinggi sebesar
80,4%, dan kadar trigliserida tinggi sebesar 81,9 %.
d. Gambaran Pemeriksaan Glukosa Darah Puasa dan Tekanan Darah
Tabel 8 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Hasil Pemeriksaan glukosa darah puasa
dan tekanan darah pasien rawat jalan di RSP Universitas Hasanuddindan RS IbnuSina Makassar Tahun 2013
Sumber : Data Primer, 2013
Dari tabel 8 di atas terlihat bahwa responden dengan sindrom metabolik
sebagian besar memiliki kadar glukosa darah puasa yang tinggi sebesar 76,6% dan
yang tidak mengalami SM dengan nilai GDP tertinggi adalah 23,4%,responden
yang mengalami SM dengan tekanan darah sistolik yang tinggi sebesar 76,9%
dan yang tidak mengalami SM dengan tekanan sistolik tinggi Dari tabel 8 di atas
terlihat bahwa responden dengan sindrom metabolik sebagian besar memiliki
kadar glukosa darah puasa yang tinggi sebesar 76,6% dan yang tidak mengalami
Hasil Pemeriksaan
Sindrom Metabolik n
(118)
Total%
(100)
Ya Tidak n (86) %(72,9) n (32) % (27,1)
Glukosa Darah Puasa Tinggi Normal
59 27
76,6 65,9
18 14
23,4 34,1
77 41
65,3 34,7
Tekanan Darah Sistolik Tinggi Normal
70 16
76,9 59,3
21 11
23,1 40,7
91 27
77,1 22,9
Tekanan Darah Diastolik Tinggi Normal
51 35
76,1 68,6
16 16
23,9 31,4
67 51
56,8 43,2
Hipertensi Ya Tidak
82 4
75,9 40,0
26 6
24,1 60,0
108 10
91,5 8,5
89
SM dengan nilai GDP tertinggi adalah 23,4%,responden yang mengalami SM
dengan tekanan darah sistolik yang tinggi sebesar 76,9% dan yang tidak
mengalami SM dengan tekanan sistolik tinggi sebanyak 23,1% dan untuk tekanan
darah diastolik tinggi bagi penderita SM sebesar 76,1% dan yang tidak menderita
SM dengan tekanan diastolik tinggi adalah 23,9%, sehingga dapat dilihat bahwa
75,9% responden hipertensi menderita SM, dan 24,1% responden hipertensi yang
tidak menderita SM.
e. Gambaran Kesehatan Mental Emosional
Tabel 9 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Kondisi Kesehatan Mental
pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Sumber : Data Primer terolah, 2013 =Uji Chi-Square Berdasarkan hasil pada tabel di atas,diperoleh dengan melalui
perhitungan nilai median dengan cara statistik yaitu dari jawaban responden
diurutkan berdasarkan nilai yang terkecil ke yang terbesar.
Tabel 9 memperlihatkan bahwa sebagian besar dari penderita
sindrom metabolik memiliki gangguan kesehatan mental sebanyak 64 orang
(83,1%), Sedangkan responden yang tidak menderita gangguan mentalyaitu
sebanyak 22 orang (53,6%).
Kondisi Kesehatan Mental
Sindrom Metabolik
n Total
% Ya Tidak
n % n %
Gangguan Kesehatan Mental
Terganggu
Tidak Terganggu
64
22
83,1
53,6
13
19
16,9
46,3
77
41
100
100
Total 86 72,9 32 27,1 118 100,0
90
f. Gambaran Kebiasaan Merokok
Tabel 10 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Kebiasaan Merokok pasien
rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Sumber : Data Primer terolah, 2013 = Uji Chi Square
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 118 responden
terdapat 91,7% perokok lama yang > 20 tahun yang menderita
sindrom metabolik,Sedangkan berdasarkan jumlah batang rokok yang
dihisap yang merupakan perokok berat yang mengalami Sindrom
metabolik sebanyak 83,3%,perokok sedang 71,4%,dan perokok ringan
sebanyak 100%. Dan umtuk Jenis rokok yang dihisap,Perokok dengan
jenis rokok filter,diantaranya yang mengalami sindrom metabolik
adalah 92,3%.
Kebiasaan Merokok
Sindrom Metabolik
n % Ya Tidak n % n %
Lama merokok
Lama (> =10thn)
Baru/Pemula(< 10 thn)
Jumlah Rokok yang di
hisap
>20 batang
10-20 batang
<10
Jenis Rokok yang di hisap
Rokok Filter
Non Filter
Tidak merokok sama
sekali
11
2
5
5
1
12
1
76
91,7
100,0
83,3
71,4
100
92,3
100,0
73,1
1
0
1
2
0
1
0
28
8,3
0
16,7
26,6
0
7,7
0
26,9
12
2
6
7
1
13
1
104
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Total 86 72,9 32 27,1 118 100,0
91
g. Gambaran Perilaku Sedentari
Tabel 12 Distribusi Sindrom Metabolik Menurut Aktivitas Sedentaripasien rawat
jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Variabel Sindrom Metabolik
n % Ya Tidak n % n %
Aktivitas sedentari
Sedentari
Tidak sedentari
40
46
46,5
53,5
3
29
9,4
90,6
43
75
36,4
63,6
Total 86 72,9 32 27,1 118 100,0
Sumber : Data Primer terolah, 2013 =Uji Chi Square
Tabel di atas memperlihatkan bahwa hampir separuh
penderita sindrom metabolik memiliki gaya hidup sedentari yaitu
sebesar 46,5%. Sedangkan yang tidak menderita sindrom metabolik
ditemukan hanya 9,4% yang memiliki gaya hidup sedentari.
4. Analisis Bivariat
Tabel berikut merupakan hasil tabulasi silang antara variabel-
variabel yang diteliti kemudian dilakukan analisis hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen.
92
Tabel 12 Hubungan Kesehatan Mental, dan Aktivitas Sedentari dengan kadar HDL pasien
rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Sumber:Data Primer Terolah,2013 = Uji Chi- Square
Tabel 12 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan kesehatan
mental, dan aktivitas sedentari yang memiliki kadar HDL rendah masing-masing
45,5%, dan 46,5%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menujukkan bahwa tidak ada
hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental aktivitas sedentary
dengan kadar HDL.
Tabel 13 Hubungan Kesehatan Mental, dan Aktivitas Sedentari dengan kadar LDL pasien
rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Sumber : Data Primer Terolah, 2013 * = Uji Chi-Square
Variabel
Kadar HDL
n % pvalue* Rendah Normal n % n %
Kesehatan Mental Terganggu Tidak terganggu
35 15
45,5 36,6
42 26
54,5 63,4
77 41
0,6 0,3
0,353
Aktivitas Sedentari Sedentari Tidak sedentari
20 30
46,5 40,0
23 45
53,5 60,0
43 75
36,5 63,5
0,491
Variabel
Kadar LDL
n % pvalue* Tinggi Normal n % n %
Kesehatan Mental Terganggu Tidak terganggu
64 28
83,1 68,3
13 13
16,9 31,7
77 41
65,2 34,8
0,064
Aktivtas Sedentari Sedentari Tidak sedentari
38 54
88,4 72,0
5
21
11,6 28,0
43 75
36,4 63,6
0,039
Total 92 78,0 26 22,0 118 100,0
93
Tabel 13 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan
kesehatan mental, dan aktivitas sedentari yang memiliki kadar LDL tinggi
masing-masing 83,1%, dan 88,4%. Namun demikian, responden yang
tidak mengalami gangguan mental, dan aktivitas yang tidak sedentari juga
ditemukan cukup tinggi yang memiliki kadar LDL tinggi yaitu masing-
masing 68,3%, dan 72,0%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental dengan
kadar LDL. Tetapi, ada hubungan (p<0,05) yang signifikan antara aktivitas
sedentari dengan kadar LDL.
Tabel 14 Hubungan Kesehatan Mental, dan Aktivitas Sedentari dengan kadar Trigliserida
pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Sumber : Data Primer Terolah, 2013 * = Uji Chi-Square
Tabel 14 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan kesehatan
mental, kebiasaan merokok, dan aktivitas sedentari yang memiliki kadar
Trigliserida tinggi masing-masing 57,1%, dan 55,8%.
Variabel
Kadar Trigliserida
n % pvalue* Tinggi Normal n % n %
Kesehatan Mental Terganggu Tidak terganggu
44 17
57,1 41,5
33 24
42,9 58,5
77 41
65,3 34,7
0,105
Aktivtas Sedentari Sedentari Tidak sedentari
24 37
55,8 49,3
19 38
44,2 50,7
43 75
36,4 63,6
0,498
94
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental,, dan aktivitas
sedentari.
Tabel 15 Hubungan Kesehatan Mental, dan Aktivitas Sedentari dengan kadar Glukosa
Darah Puasa (GDP) pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
* Sumber: Data primer Terolah,2013 *= Uji Chi-Square
Tabel 15 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan
kesehatan mental, dan aktivitas sedentari yang memiliki kadar Glukosa
Darah Puasa (GDP) tinggi masing-masing 61,0%, 33,3% dan 62,6%.
Namun demikian, responden yang tidak mengalami gangguan mental, dan
aktivitas yang tidak sedentary ditemukan lebih banyak yang memiliki GDP
tinggi masing-masing 73,2%, 66,7%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental, perilaku
merokok, dan aktivitas sedentari dengan kadar Glukosa Darah Puasa.
Variabel
Kadar GDP
n % pvalue* Tinggi Normal n. % n %
Kesehatan Mental
Terganggu
Tidak terganggu
47
30
61,0
73,2
30
11
39,0
26,8
77
41
65,2
34,8
0,188
Aktivtas Sedentari
Sedentari
Tidak sedentari
27
50
62,6
66,7
16
25
37,2
33,3
43
75
36,4
63,6
0,670
95
Tabel 16 Hubungan Kesehatan Mental, dan Aktivitas Sedentari dengan
Tekanan Darah Sistolik pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
* Sumber: Data primer Terolah,2013 *= Uji Chi-Square
Tabel 16 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan
kesehatan mental, kebiasaan merokok, dan aktivitas sedentari yang
memiliki tekanan darah sistolik tinggi masing-masing 81,8%, dan 69,8%.
Hasil yang mirip ditemukan pula untuk responden yang tidak mengalami
gangguan mental, tidak merokok dan aktivitas yang tidak sedentary,
dimana tekanan darah sistolik tinggi masing-masing 68,3%, 81,3%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental, kebiasaan
merokok, dan aktivitas sedentari dengan tekanan darah sistolik.
Variabel
TD Sistolik
n % pvalue* Tinggi Normal n % n %
Kesehatan Mental
Terganggu
Tidak terganggu
63
28
81,8
68,3
14
13
18,2
31,7
68
50
57,6
42,4
0,096
Aktivtas Sedentari
Sedentari
Tidak sedentari
30
61
69,8
81,3
13
14
30,2
18,7
43
75
36,4
63,6
0,150
96
Tabel 17 Hubungan Kesehatan Mental, Kebiasaan Merokok, dan Aktivitas
Sedentari dengan Tekanan Darah Diastolik pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Sumber : Data Primer Terolah, 2013 * = Uji Chi-Square
Tabel 17 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan
kesehatan mental, dan aktivitas sedentari yang memiliki tekanan darah
diastolik tinggi masing-masing 58,4%, dan 58,1%. Hasil yang mirip
ditemukan pula untuk responden yang tidak mengalami gangguan mental,
dan aktivitas yang tidak sedentary dimana ditemukan pula lebih banyak
yang memiliki tekanan darah diastolik tinggi masing-masing 53,7%,
57,7%, dan 56,0%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental, dan aktivitas
sedentari dengan tekanan darah diastolik.
Variabel
TD Diastolik
n % pvalue* Tinggi Normal n % n %
Kesehatan Mental
Terganggu
Tidak terganggu
45
22
58,4
53,7
32
19
41,6
46,3
68
50
57,6
42,4
0,617
Aktivtas Sedentari
Sedentari
Tidak sedentari
25
42
58,1
56,0
18
33
41,9
44,0
43
75
36,4
63,6
0,821
97
Tabel 18 Hubungan Kesehatan Mental, dan Aktivitas Sedentari dengan Lingkar Pinggang (Obesitas Sentral) pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar
Tahun 2013
Sumber: Data Primer terolah 2013 Uji Chi-Square
Tabel 18 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan
kesehatan mental, kebiasaan merokok, dan aktivitas sedentari yang
obesitas,sentral adalah 76,6%, dan 90,7. Angka ini jauh lebih tinggi di
badingkan dengan responden yang tidak memiliki aktivitas tidak sedentary
dimana yang obesitas sentral masing-masing 68,3%, dan 64,0%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental dan kebiasaan
merokok dengan obesitas sentral. Dan ada hubungan yang signifikan antara
aktivitas sedentary dengan obesitas sentral.
h. Hubungan kebiasaan merokok dengan komponen Sindrom Metabolik
Dari hasil penelitian yang di lakukan terhadap kebiasaan merokok di
peroleh dari 118 responden yang memiliki kebiasaan merokok sebanyak 14
orang, dan yang tidak merokok adalah 104 orang. Berdasarkan jenis dan lama
Variabel
Obesitas Sentral
n % pvalue* Ya Tidak n % n %
Kesehatan Mental Terganggu Tidak terganggu
59 28
76,6 68,3
18 13
23,4 31,7
68 50
57,6 42,4
0,328
Aktivtas Sedentari Sedentari Tidak sedentari
39 48
90,7 64,0
4
27
9,3
36,0
43 75
36,4 63,6
0,002
Total 87 73,7 31 26,3 118 100,0
98
merokok Yang mengalami SM keduanya memperoleh nilai yang sama yakni
sebanyak 92,9% (13 orang) sedangkan yang tidak mengalami SM adalah
7,1%(1orang). Sedangkan untuk Jumlah merokok yamg mengalami SM adalah
76,6%(11 orang) dan yang tidak mengalami SM adalah 21,4% (3 orang). Dari
hasil uji statistic Chi-square (α=0,05)menunjukan bahwa tidak ada hubungan
(p-0,05) yang signifikan antara Jenis merokok, lama Merokok dan Jumlah
Merokok dengan komponen SM HDL,LDL,Trigliserida,Tekanana darah sistol
dan diastol juga Lingkar pinggang.
Tabel 19 Hubungan Kesehatan Mental, Kebiasaan merokok dan Aktivitas Sedentari dengan
Sindrom Metabolik (SM) pasien rawat jalan di RSP UNHAS dan RS Ibnu Sina Makassar Tahun 2013
Sumber Data primer Terolah * = Uji Chi-Square
Variabel
Sindrom Metabolik
n % pvalue* Ya Tidak n % n %
Kesehatan Mental Terganggu Tidak terganggu Kebiasaan Merokok Perokok Lama Perokok baru Jumlah rokok >20 batang 10-20 batang <10 batang Jenis rokok yang dihisap Rokok filter Non filter
64 22
11 2
5 5 1
12 1
83,1 53,7
84,6 15,4
83,3 71,4
100,0
92,3 7,7
13 19
1 0
1 2 0
1 0
16,9 46,3
100 0
16,7 28,6
0
7,7 0
77 41
12 2 6 7 1
13 1
57,6 42,4
85,7 14,3
42,9 43,7 9,1
92.2 7.1
0,001
0,857
0,109
0,929
Aktivtas Sedentari Sedentari Tidak sedentari
40 46
93,0 61,3
3
29
7,0
38,7
43 75
36,4 63,6
0,000
99
Tabel 19 menunjukkan bahwa responden dengan gangguan kesehatan
mental, kebiasaan merokok dan aktivitas sedentari yang mengalami
sindrom metabolik cukup tinggi masing-masing 83,1%, dan 93,0%.
Sedangkan untuk penderita yang tidak mengalami sindrom metabolik
dengan kesehatan mental dan aktivitas tidak sedentari adalah masing-
masing 53,7%, dan 61,3%..
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa ada
hubungan (p<0,05) yang signifikan antara kesehatan mental dan aktivitas
sedentary dengan Sindrom Metabolik. Dan tidak ada hubungan yang
signifikan antara Kebiasaan merokok dengan sindrom metabolik.
B. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dengan
menggunakan kuesioner penelitian dan data sekunder dengan pengukuran
Antropometri yang dilakukan terhadap 118Orang yang bersedia untuk
menjadi responden. Setelah dilakukan pengolahan dan analisis data, maka
dibahas sebagai berikut :
1. Karakteristik Umum Responden
Berdasarkan data distribusi kelompok umur, responden yang
menderita Sindrom Metabolik sebagian besar berada pada kelompok umur
≥ 70 tahun yakni 90%,dan paling sedikit adalah umur ≤ 40 tahun. Hal ini
dapat terjadi karena umur merupakan faktor risiko Sindrom metabolik
yang tidak dapat diubah. Peningkatan umur akan meningkatkan
100
kandungan lemak tubuh total, terutama distribusi lemak pusat (Chang et
al, 2000).
Tingginya prevalensi yang ditemukan pada kelompok umur ≥ 70
tahun yakni sebesar 90%. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Jafar N (2011), yang menemukan bahwa prevalensi
Sindrom metabolik meningkat seiring dengan pertambahan umur yang
sertai dengan kurangnya aktifitas fisik.. Dimana dalam penelitian ini dapat
kita lihat bahwa responden yang menderita sindrom metabolik yang
berada dalam kelompok umur > 50 tahun. Tampak terjadi peningkatan
jumlah kejadian sindroma metabolik dengan peningkatan umur.
Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 86 orang (72,9%) dari
responden ternyata menderita sindroma metabolik, dan 32 orang (27,1%)
tidak mengalami sindrom metabolik. Frekuensi ini sebagian besar terjadi
pada perempuan dengan jumlah 45 dari 62 orang perempuan (52,5%),
sedangkan pada laki-laki ditemukan 41 orang dari 56 orang laki-laki
(47,5%).Prevalensi SM di korea selatan meningkat seiring dengan
bertambahnya umur,pada perempuan meningkat pesat pada usia > 50
tahun yang disebabkan oleh monopouse (Park,et,al,2004) dalam(Jafar N,
2011).
Kejadian sindrom metabolik umumnya terjadi pada tingkat
pendidikan rendah dan jenis pekerjaan mengurus rumah tangga. Banyak
ibu rumah tangga yang menderita sindrom metabolik disebabkan sebagian
ibu rumah tangga sering mengkonsumsi makanan berlemak dan jarang
101
melakukan aktivitas fisik sehingga terjadi penimbunan lemak. Lama
kelamaan akan terjadi aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah
yang merupakan awal dari kejadian hipertensi, penyakit jantung koroner
dan strok.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh
jafar N, dimana di temukan persentase tertinggi yang mengalami sindrom
metabolik adalah jenis kelamin perempuan (78,6%). Selain itu,dengan
melihat jenis pekerjaan perempuan lebih banyak yang tidak bekerja
sehingga kurang melakukan aktifitas fisik.Hal ini sejalan dengan penelitian
yang di lakukan oleh Jafar N pada Sindrom metabolik di Indonesia bahwa
SM Prevalensinya di temukan lebih banyak pada perempuan dibanding
laki-laki.
Data tersebut dapat di hubungkan dengansalah satufaktor yang
menonjol adalahadanya perbedaan tingkat aktivitas fisik.Dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, wanita adalah salah satu kelompok yang sangat
rentan terhadap gangguan penyakit. Sebagai insan yang banyak melakukan
aktivitas fisik dan mental secara bersamaan, wanita juga pada umumnya
mengabaikan stamina dan daya tahan tubuh maksimalnya sehingga
menyebabkan mereka untuk rentan terhadap serangan penyakit
degeneratif.
Berdasarkan distribusijenis pekerjaan, yang lebih banyak
mengalami sindrom metabolik adalah Ibu rumah tangga. Hal ini dapat
disebabkan oleh perubahan pada struktur sosial yang berhubungan dengan
102
peningkatan penyakit degeneratif. Hubungan ini terletak pada peningkatan
proporsi populasi pekerjaan dalam bidang pelayanan, perkantoran, dan
profesi lain yang kurang aktivitas fisik jika dibandingkan dengan
pekerjaan manual yang membutuhkan banyak aktivitasfisik pada
masyarakat tradisional (WHO 2000).
Untuk tingkat pendidikan sebagian besar responden yang menderita
Sindrom Metabolik berlatar belakang perguruan tinggi (82,4%). Tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor penting terhadap sikap dan
pengetahuan seseorang yang secara lansung dapat berdampak terhadap
status kesehatannya.Dengan tingkat pendidikan tinggi di harapakan dapat
meningkatkan pengetahuan akan kesehantannya.Akan tetapi kebanyakan
responden tidak menerapkan pengetahuan yang mereka miliki kedalam
kehidupan mereka. Misalnya dengan adanya gaya hidup modern seperti
sedentarial, kurang berolah raga,suka mengkonsumsi makanan tinggi
lemak Sehingga dapat berdampak terhadap penyakit degeneratif.
2. Status gizi IMT dan Lingkar Pinggang terhadap Komponen Sindrom
Metabolik
Dari hasil penelitian di temukan bahwa berdasarkan perhitungan
Indeks Massa Tubuh (IMT),pada responden yang menderita Sindrom
metabolik sebagian besar overweight sebesar 85,7%, sedangkan
berdasarkan pengukuran lingkar pinggang, ditemukan sebesar 79,3%
penderita sindrom metabolik mengalami obesitassentral, sedangkan pada
103
responden yang tidak menderita sindrom metabolik, hanya 20,6% yang
mengalami obesitas sentral.
Pada penelitian ini di temukan Rata-rata lingkar pinggang
responden pria dengan ukuran terbesar 120 cm dan terkecil 74 cm.
Sedangkan pada wanita, rata-rata lingkar pinggang yang ditemukan yaitu
ukuran terkecil yaitu 70 cm dan terbesar 106 cm.
Von-Eyben et al.(2003)menemukan bahwa jaringan lemak intra-
abdominal berhubungan linier dengan enam faktor risiko metabolik seperti
tekanan darah sistol, tekanan darah diastol, glukosa darah, kolesterol HDL,
trigliserida serum, dan plasminogen activator inhibitor plasma 1 (PAI-1)
plasma.
Hasil penelitian oleh Zhu, et.al.,2002 menemukan ukuran lingkar
pinggang dapat memprediksi faktor resiko penyakit jantung, dan
mempunyai hubungan signifikan dengan kadar trigliserida. Penelitian lain
di Makassar oleh Suhuyanly, 2003 menemukan lingkar pinggang
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kadar trigliserida.
Budhiarta, dkk. 2005 di Bali menyimpulkan kadar trigliserida dan lingkar
pinggang merupakan prediktor terbaik untuk mengetahui sindrom
metabolik.
3. Diagnosis sindrom metabolik
Diagnosis adanya sindrom metabolik di lakukan dengan criteria NCEP
ATP III tahun 2001.komponen tersebut adalah :Peningkatan kadar
trigliserida (> 150 mg/dl),penurunan kadar kolesterol HDL( < 40 mg/dl pada
104
pria dan pada wanita < 50 mg/dl),peningkatan tekanan darah ( > 130/85
mm/Hg)dan peningkatan glukosa darah puasa ( > 100 mg/dl).
Dari hasil pemeriksaan profil lipid pada penelitian ini menunjukan
bahwa dari 118 responden pasien dengan sindrom metabolik yang memiliki
kadar HDL rendah adalah sebanyak 43 orang (86%), LDL tertinggi
sebanyak 74 orang (80,4),dan Trigliserida tinggi sebanyak 50 orang
(81,9%).Untuk pemeriksaan GDP menunjukan bahwa hasil pemeriksaan
responden tentang GDP tertinggi yang mengalami sindrom metabolik adalah
59 orang (76,6),dan yang tidak mengalami sindrom metabolik adalah
sebanyak 18 orang (23,4%).
Untuk pemeriksaan tekanan darah sistolik tinggi yang mengalami
sindrom metabolik adalah 70 orang (76,9%) dan yang tidak mengalami
sindrom metabolik adalah 21 orang (23,1%). Sedangkan untuk pemeriksaan
diastolik tinggi adalah adalah 51 orang (76,1%).Rata-rata tekanan darah
sistolik responden dalam yang terendah pada penelitian ini adalah
110,sampai 160 ,dan diastolik 60-100 mmHg. Dari hasil penelitian bahwa
nilai yang di peroleh untuk Persentase responden yang mempunyai tekanan
darah sistolik tinggi sama nilainya dengan nilai diastolik yakni 76,9% dan
76,1%.
C. Hubungan Antara Variabel Penelitian
a. Hubungan kesehatan mental, kebiasaan merokok, dan aktifitas sedentary dengan komponen sindrom metabolik
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-
square terhadap hubungan kesehatan Mental, dan Aktifitas Sedentari
105
terhadap kadar HDL diperoleh nilai masing-masing p value0.353, 0,491.
Nilai ini lebih besar dari nilai (0,05) sehingga Ha ditolak, maka tidak
terdapat hubungan Yang signifikan antara kesehatan mental dan aktifitas
sedentary.dan untuk kebiasaan merokok diperoleh nilai p value0,004 yang
artinya ada hubungan signifikan antara kebiasaan merokok dengan kadar
HDL. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa factor penyebab
rendahnya kadar kolesterol HDL di antaranya adalah kebiasaan merokok,
jenis kelamin, obesitas,aktifitas fisik dan konsumsi serat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan gangguan
kesehatan mental, merokok, dan aktivitas sedentari yang memiliki kadar
LDL tinggi masing-masing 83,1%, 78,6% dan 88,4%. Namun demikian,
responden yang tidak mengalami gangguan mental, tidak merokok dan
aktivitas yang tidak sedentari juga ditemukan cukup tinggi yang memiliki
kadar LDL tinggi yaitu masing-masing 68,3%, 77,9%, dan 72,0%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental dan
perilaku merokok dengan kadar LDL. Dan ada hubungan ( p< 0,05) yang
signifikan antara Aktifitas sedentary dengan kadar LDL.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium trigliserida pada
penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan gangguan kesehatan
mental, merokok, dan aktivitas sedentari yang memiliki kadar Trigliserida
tinggi masing-masing 57,1%, 50,0% dan 55,8%.
106
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental, perilaku
merokok, dan aktivitas sedentary.
Berdasarkan hasil pemeriksaan GDP menunjukkan bahwa
responden dengan gangguan kesehatan mental, merokok, dan aktivitas
sedentari yang memiliki kadar Glukosa Darah Puasa (GDP) tinggi masing-
masing 61,0%, 64,3% dan 62,6%. Namun demikian, responden yang tidak
mengalami gangguan mental, tidak merokok dan aktivitas yang tidak
sedentary ditemukan lebih banyak yang memiliki GDP tinggi masing-
masing 73,2%, 65,4%, 66,7%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) di peroleh bahwa nilai p
Value yakni masing masing 0,188, 0,935,dan 0,670 yang berarti bahwa
nilai ini lebih besar dari nilai (0,05) sehingga Ha ditolak, maka dapat di
katakan bahwa tidak ada hubungan antara kesehatan mental, kebiasaan
merokok dan aktifitas sedentary dengan kadar Gula darah puasa.
Hasil penelitian terhadap pemeriksaan tekanan darah sistolik
menunjukkan bahwa responden dengan gangguan kesehatan mental,
merokok, dan aktivitas sedentari yang memiliki tekanan darah sistolik
tinggi masing-masing 81,8%, 71,4% dan 69,8%. Hasil yang mirip
ditemukan pula untuk responden yang tidak mengalami gangguan mental,
tidak merokok dan aktivitas yang tidak sedentary dimana ditemukan pula
lebih banyak yang memiliki tekanan darah sistolik tinggi masing-masing
68,3%, 77,9%, 81,3%.
107
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) di peroleh bahwa nilai p
Value yakni masing masing 0,096, 0,735 dan 0,150 yang berarti bahwa
nilai ini lebih besar dari nilai (0,05) sehingga Ha ditolak, maka dapat di
katakan bahwa tidak ada hubungan antara kesehatan mental, kebiasaan
merokok dan aktifitas sedentary dengan tekanan darah sistolik.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pemeriksaan darah diastolik
menunjukkan bahwa responden dengan gangguan kesehatan mental,
merokok, dan aktivitas sedentari yang memiliki tekanan darah diastolik
tinggi masing-masing 58,4%, 50,0% dan 58,1%. Hasil yang mirip
ditemukan pula untuk responden yang tidak mengalami gangguan mental,
tidak merokok dan aktivitas yang tidak sedentary dimana ditemukan pula
lebih banyak yang memiliki tekanan darah diastolik tinggi masing-masing
53,7%, 57,7%, dan 56,0%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) di peroleh bahwa nilai p
Value yakni masing-masing 0,617, 0,0,585 dan 0,821 yang berarti bahwa
nilai ini lebih besar dari nilai (0,05) sehingga Ha ditolak, maka dapat di
katakan bahwa tidak ada hubungan antara kesehatan mental, kebiasaan
merokok dan aktifitas sedentary dengan tekanan darah distolik.
Hasil penelitian yang di lakukan terhadap pengukuran obesitas
sentral menunjukkan bahwa responden dengan gangguan kesehatan
mental, merokok, dan aktivitas sedentari yang obes sentral masing-masing
76,6%, 85,7% dan 90,7%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan
responden yang tidak mengalami gangguan mental, tidak merokok, dan
108
tidak memiliki aktivitas tidak sedentary dimana yang obes sentral masing-
masing 68,3%, 72,1%, dan 64,0%.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental tidak
merokok dan tidak memiliki aktifitas sedentary.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan (p>0,05) yang signifikan antara kesehatan mental dan
perilaku merokok dengan obes sentral. Dan ada hubungan yang signifikan
antara aktivitas sedentary dengan obes sentral.
b. Kesehatan Mental
Hasil penelitian diperoleh bahwa berdasarkan kriteria Riskesdas
menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang mengalami gangguan
mental, 74,4% mengalami sindrom metabolik, sedangkan yang tidak
mengalami gangguan mental yang mengalami sindrom metabolik juga
yaitu 25,6%. Dari analisis yang menggunakan chi square diperoleh hasil
bahwa terdapat hubungan antara keadaan kesehatan mental berdasarkan
riskesdas dengan kejadian sindrom metabolik.
Hasil uji statistic chi-square (α=0,05) menunjukkan bahwa ada
hubungan (p<0,05) yang signifikan antara kesehatan mental dan Aktifitas
sedentari dengan Sindrom Metabolik.
Banyak gejala yang berhubungan dengan kesehatan mental akibat
dari adanya sindrom metabolik sehingga menimbulkan rasa
cemas,gelisah,khawatir,dan ketakutan, mudah lelah,juga sulit tidur pada
109
responden. Gangguan kesehatan mental ini juga timbul akibat faktor umur
dari respondenMenurut Olivia (2004),waktu istirahat yang normal adalah
sekitar 8 jam perhari. Sedangkan menurut Sari I (2005),rata-rata orang
dewasa memerlukan waktu tidur sekitar 7-8 jam sehari. Gangguan pola
tidur ini dapat diakibatkan oleh meningkatnya hormon stres dalam tubuh
yang kemudian akan mengganggu jalannya metabolisme sehingga
detoksifikasi (proses penetralan racun dalam tubuh) tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Hal ini dapat mengakibatkan produk sampingan
metabolisme yang dapat mengakibatkan gelisah pada saat tidur. Pola tidur
merupakan suatu kebiasaan yang terbentuk dari suatu proses namun pola
tidur seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor kelelahan dan faktor
psikologis. Setelah bekerja keras seharian, umumnya seseorang akan lebih
mudah dan cepat merasa ngantuk dan tertidur. Sebaliknya, seseorang yang
mengalami kelainan psikologis, seperti banyak pikir, sering merasa
khawatir menyebabkan gangguan pada dirinya sehingga kesulitan untuk
tidur. Hasil penelitiaan menunjukkan bahwa bahwa seseorang yang tidur
dibawah 6 jam sehari atau kurang tidur akan berdampak pada stamina
tubuhnya, yaitu tubuh menjadi lesu, kurang konsentrasi dan lain-lain.
c. Kebiasaan merokok
Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala metabolik yang
juga merupakan salah satu faktor risiko yang manifestasi akhirnya adalah
penyakit kardiovaskuler. Hal ini disebabkan oleh pengaruh gaya hidup dan
lingkungan disamping faktor genetik, jenis kelamin, umur, hiperkolesterol,
110
diabetes mellitus, dan obesitas. Salah satunya komponen gaya hidup adalah
merokok. Merokok diketahui dapat menurunkan jumlah kolesterol HDL,
meningkatkan kadarLDL serta merangsang hormon katekolamin yang
bersifat memacu jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan
kesempatan beristirahat dan tekanan darah semakin tinggi, yang berakibat
timbulnya hipertensi yang merupakan faktor risiko sindrom metabolik.
Penilaian risiko terhadap kebiasaan merokok berdasarkan frekwensi
merokok, jumlah batang yang dihisapperhari,lama merokok dan jenis rokok
yang dihisap per hari. Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan uji
chi-squaredidapatkan nilai p valuemasing-masing 0,857,0,109,0,929. Nilai
ini lebih besar dari nilai (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan komponen
Sindrom metabolik.
Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang
dihisap,bukan lamanya waktu seseorang telah merokok (Soeharto,2007).
Orang yang merokok >20 batang perhari dapat mempengaruhi atau
memperkuat efek dua factor (hipertensi dan hiperkolesterol) (Anwar
2004,dalamJafar N,2011). Penelitian yang dilakukan oleh Wardoyo (1999)
yang mengatakan bahwa rokok sangat berpengaruh terhadap hipertensi
dimana pengaruhnya bukan hanya karena merokok tetapi sangat dipengaruhi
oleh lamanya dan jumlah rokok, karena semakin lama merokok dan
banyaknya rokok yang dihisap /dikonsumsi, maka tekanan darah meningkat
dalam waktu yang lama pula,dan bahkan cenderung untuk menetap. Zat
111
yang dapat menyebabkan tekanan darah meningkat adalah nikotin,
merangsang saraf simpatis dan diikuti oleh pelepasan epinefrin sehingga
denyut nadi cardiac output, resistensi vascular akan meningkat, dan tekanan
darahpun meningkat.(Jallo,2006).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
tidak pernah merokok. Hal ini dapat terjadi karena berdasarkan distribusi
data menurut jenis kelamin, responden yang paling banyak menderita
Sindrom metabolik adalah mereka yang berjenis kelamin perempuan.
Dimana dalam penelitian ini diketahui bahwa seluruh responden dengan
jenis kelamin perempuan tidak ada satupun yang pernah merokok.Selain
karakteristik jenis kelamin berdasarkan tingkat pendidikan responden pada
penelitian adalah sebagian besar sarjana. (34.9%). Sehingga secara
langsung tingkat pengetahuan responden dapat berdampak terhadap Prilaku
kebiasaan merokok.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dari 118 responden
terdapat 84,6% perokok lama yang > 20 tahun yang menderita sindrom
metabolik,Sedangkan berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap yang
merupakan perokok berat yang mengalami Sindrom metabolik sebanyak
83,3%,perokok sedang 71,4%,dan perokok ringan sebanyak 100%. Dan
umtuk Jenis rokok yang dihisap,Perokok dengan jenis rokok
filter,diantaranya yang mengalami sindrom metabolik adalah 92,3%.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugyanti (2009) menunjukkan hal
yang serupa dimana tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok
112
dengankejadian obesitassentral pada ketiga provinsi (DKI Jakarta, Sulawesi
Utara dan Gorontalo) yang menjadi lokasi penelitiannya. Hal tersebut
diduga karena kelemahan studicross-sectional yang mengambil exposure
dan outcome dalam waktu yangbersamaan sehingga dalam penelitiannya
tidak dapat dijelaskan mekanisme hubungan merokokdengan kejadian
obesitas sentral.
Disamping itu, dalam penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa 60%
responden jenis kelamin laki-laki yang berstatus mantan perokok menderita
obesitas sentral. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Koh-
Banerjee et al (2003) dimana ia menemukan bahwa mantan perokok
berhubungan dengan peningkatan 1,98 cm lingkar perut . Hal serupa juga
ditemukan oleh Chiolero et al (2008) yaitu berat badan mantan perokok
lebih besar daripada perokok atau bukan perokok. Hal ini disebabkan oleh
efek ganda merokok yaitu merokok meningkatkan pengeluaran energi dan
menurunkan nafsu makan, dan kedua efek tersebut akan hilang pada mantan
perokok . Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa seseorang yang
menghentikan kebiasaan merokoknya kelihatan meningkat berat badannya.
Hal ini diduga karena peningkatan asupan energi dan penurunan
pengeluaran energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak,
dan metabolisme jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein).
Studi eksperimental yang baru juga menunjukkan bahwa merokok
dapat merusak kerja insulin secara akut, pada subjek baik yang sehat
maupun Non-insulin Dependen Diabetes Melltus (NIDDM) (Targher,1999).
113
Merokok secara langsung meningkatkan resistensi insulin. Respon insulin
pada pembebanan glukosa oral lebih banyak pada perokok dibanding yang
tidak merokok. Pada laki-laki sehat, merokok kronis dihubungkan dengan
peningkatan konsentrasi plasma insulin. Pada laki-laki yang tidak obes
,sensitivitas insulin meningkat delapan minggu setelah berhenti merokok,
meskipun berat badan meningkat. Perokok memiliki cirri khas sindrom
resistensi insulin termasuk diantaranya kolesterol HDL yang rendah,VLDL,
serum triasilgliserol dan gula darah puasapun meningkat.
Tidak semua studi melaporkan hubungan positif antara merokok dan
gangguan metabolik glukosa. Studi prospektif terhadap dewasa muda yang
diikuti 4-6 tahun menunjukan bahwa peningkatan konsumsi tembakau
dihubungkan dengan penurunan tekanan darah, kolesterol HDL,berat badan
dan WHR serta peningkatan rasio kolesterol total terhadap HDL dan
rendahnya risiko Sindrom metabolik.Trend yang bertentangan ditemukan
dengan penurunan tembakau (Bernards et al,2005,dalam Jafar N 2011).
Penumpukan lemak visceralyang merupakan pemicu obesitas sentral
dipengaruhi oleh konsentrasi kortisol. Sedangkan perokok memiliki
konsentrasi kortisol plasma yang lebih tinggi daripada orang yang tidak
merokok. Tingginya konsentrasi kortisol adalah konsekuensi aktivitas
sympathetic nervous system yang diinduksi oleh merokok. Pada perempuan
massa lemak visceral meningkat ketika konsentrasi estrogen menurun dan
konsentrasi testosteron meningkat. Rendahnya estrogen, kelebihan
androgen, dan peningkatan testosteron pada perempuan berhubungan
114
dengan akumulasi lemak visceral. Sedangkan pada laki-laki lemak visceral
meningkat dengan penurunan testosteron. Sementara testosteron pada laki-
laki menurun dengan merokok (Sugiyanti, 2009).
D. Aktifitas Sedentari
Hasil Uji Chi Square (α=0,05) menunjukan bahwa pada penelitian
ini terdapat hubungan (p<0.05) yang signifikan antara aktifitas sedentary
dengan komponen Sindrom. Hal ini dapat terjadi karena berdasarkan
distribusi data menurut jenis kelamin, responden yang paling banyak
menderita Sindrom metabolik adalah mereka yang berjenis kelamin
perempuan,dan profesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Berdasarkan hasil
pertanyaan pada kuesioner sedentary di peroleh jumlah waktu luang tertinggi
rata-rata dalam seminggu yang di lakukan oleh responden adalah sebanyak 9-
10 jam, dari pertanyaan nonton TV, dan waktu luang yang terkecil dalam
sehari adalah 1 jam.
Menurut dr Fisher Iwan SpRM RS Awal Bross Batam,Kehidupan
modern membuat orang jadi malas bergerak. Mereka menghabiskan waktu
dengan menonton TV atau bekerja di belakang meja delapan hingga Sembilan
jam sehari. Sampai akhirnya mereka baru tersadar setelah didiagnosa
menderita penyakit mematikan. Menurutnya "Yang paling penting, aktivitas
dilakukan secara rutin dan teratur. Cukup luangkan waktu selama 15 hingga
30 menit sehari, dengan frekuensi tiga hingga lima kali seminggu. Dengan
waktu selama itu saja kondisi badan sudah akan lebih baik.
115
Berdasarkan penelitian University of Hong Kong and the
Department of Health, gaya hidup tidak aktif atau biasa disebut sedentari
merupakan penyebab kematian, penyebab penyakit dan disability terbesar.
Bahkan melebihi kematian akibat merokok.Fisik yang tidak aktif juga
menyebabkan gangguan kardiovaskuler atau jantung dan pembuluh darah
dua kali lebih besar dibanding orang yang aktif bergerak.Bahkan
peluangnya lebih besar dibandingkan penderita diabetes tipe II, maupun
kegemukan.Tak hanya itu, gaya hidup ini bisa meningkatkan resiko
terjadinya kanker usus besar, payudara, tekanan darah tinggi, penyakit
saluran nafas, gangguan lemak darah, kelemahan otot, osteoporosis,
depresi dan kecemasan.Untuk menghilangkan gaya hidup sedentari
sebenarnya bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Selain membutuhkan
waktu yang tidak lama, aktivitas yang dilakukan pun bukan aktifitas
khusus. Sebab, aktifitas harian lebih muda dapat di lakukan sendiri.
Salah satu kesimpulan sebuah riset para ahli dari The King's
College London Bahwa Jika ingin tetap awetmuda,salah satu kuncinya
adalah gaya hidup aktif. Hidup sedentary atau lebih banyak duduk akan
membuat kita lebih cepat tua.Riset yang dipublikasikan dalam Archives of
Internal Medicine ini merupakan hasil pemantauan perkembangan para
pasangan kembar yang selama beberapa tahun.
Hasil riset menunjukkan bahwa orang kembar yang secara fisik
aktif selama waktu luang tampak lebih muda secara biologis ketimbang
saudaranya yang bergaya hidup sedentari atau lebih banyak duduk. Para
116
peneliti juga menemukan bahwa bagian kunci dari DNA yang disebut
telomermemendek lebih cepat pada orang yang kurang aktif . Inilah yang
diperkirakan para peneliti menjadi salah satu penanda proses penuaan yang
cepat pada sel-sel.
Gaya hidup aktif sejak lama dihubungkan dengan randahnya risiko
mengidap penyakit kardiovascular, diabetes tipe 2 dan kanker. Namun
begitu, riset terbaru ini mengindikasikan bahwa gaya hidup sedentari tidak
hanya akan membuat orang rentan terhadap penyakit, namun juga
mempercepat proses penuaan.
117
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini mengenai Hubungan Kesehatan
Mental,Kebiasaan Merokok,dan Aktifitas Sedentari dengan Komponen
Sindrom Metabolik terhadap Pasien Rawat Jalan di RSP UH dan RS Ibnu
Sina Makassarmaka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan karakteristik responden ,Sebagian besar kelompok umur yang
mengalami sindrom metabolik dan yang tidak mengalami sindrom adalah
yang berumur ≥ 70 tahun. Berdasarkan jenis kelamin,yang mengalami
sindrom metabolik adalah jenis kelamin perempuan. Sedangkan
berdasarkan tingkat pendidikan adalah Perguruan tinggi.,dan Berdasarkan
jenis pekerjaan yang mengalami Sindrom metabolik yaitu profesi sebagai
IRT.
2. Tidak ada hubungan antara komponen Sindrom Metabolik HDL, LDL,
Trigliserida, GDP, ekanan darah sistol dan diastol dengan kesehatan
mental,kebiasaan merokok dan aktifitas sedentari, pada pasien rawat jalan
di RSP UH dan RS Ibnu Sina Makassar.
3. Tidak ada hubungan antara komponen SM Lingkar pinggang dengan
kesehatan mental,kebiasaan merokok,dan aktifitas sedentari terhadap
pasien rawat jalan di RSP UH dan RS Ibnu Sina Makassar
118
4. Ada hubungan antara kesehatan mental dan Aktifitas sedentary dengan
komponen sindrom metabolik,dan tidak ada hubungan antara kebiasaan
merokok dan aktifitas sedentari dengan komponen SM.
B. Saran
1. Perlu di lakukan suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai pengaruh
kesehatan mental terhadap kejadian sindrom metabolik. Danuntuk
penelitian selanjutnya tentang kesehatan mental dengan sindrom metabolik
di anjurkan untuk menggunakan pedoman riskesdas sebagai acuan karena
telah terjamin validitas datanya..
2. Adanya penelitian lanjutan dengan variabel analisis yang lebih kompleks
terkait dengan komponen sindrom metabolik..
3. Bagi masyarakat,khusunya Ibu Rumah Tangga agar mengurangi waktu
menonton televisi (TV) yang menghabiskan waktu dengan duduk lebih
dari 4 sampai 6 jam,karena dapat mengakibatkan penimbunan lemak dan
kolesterol yang bisa memicu terjadinya obesitas dan serangan jantung
yang dapat mengakibatkan kematian yang Sepadan dengan dampak yang
diakibatkan dengan kebiasaan merokok.