Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
FAKTOR–FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU BEROBAT PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS BATUA DAN
PUSKESMAS TAMAMAUNG
KOTA MAKASSAR TAHUN 2010-2012
AMELDA LISU PARE
K11108323
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat
Untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
„
RINGKASAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
SKRIPSI, DESEMBER 2012
AMELDA LISU PARE
„‟FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU BEROBAT PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS BATUA DAN
PUSKESMAS TAMAMAUNG TAHUN 2010-2012‟‟
( xiii + 89Halaman +16Tabel + 5Lampiran)
Tuberkulosis Paru disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis masih menjadi masalah kesehatan serius yang dialami oleh beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Global Report WHO 2010 mencatat Indonesia merupakan negara penyumbang kasus TB Paru terbesar
kelima di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Perilaku berobat yang tidak teratur merupakan faktor penyebab kegagalan dalam mencapai kesembuhan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor yang berhubungan dengan perilaku berobat pasien TB Paru di Puskesmas Batua dan Puskesmas
Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-2012. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan “Case Control Study”. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 131 orang namun terjadi perubahan sampel yaitu menjadi 74 orang yang disebabkan beberapa
faktor. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Exhaustive Sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistic Odds Ratio (OR). Hasil ini menunjukkan pekerjaan (OR = 0.617, LL-UL = 0.221-1.720), penghasilan keluarga (OR = 2.702, LL-UL = 0.945-
7.728), riwayat pengobatan (OR = 1.704, LL-UL = 0.430-6.755) dan pelayanan kesehatan (OR= 0.593, LL-UL = 0.216-1.629) bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB paru. Pengawas Minum Obat (PMO) (OR= 3.636, LL-UL = 1.225–10.790), dukungan keluarga
(OR=3.039, LL-UL = 1.079-8.564), diskriminasi (OR=2.974, LL-UL =1.063-8.318) merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
Disarankan kepada kedua puskesmas bahwa perlunya petugas kesehatan aktif dalam upaya peningkatan keteraturan pengobatan pasien TB
Paru dengan melakukan kerjasama dengan keluarga penderita sebagai bentuk dukungan dan pengawasan terhadap pengobatan penderita. Ba gi Penderita TB Paru, diharapkan teratur berobat sehingga tidak terjadi kegagalan pengobatan yang berakibat timbulnya resistensi terhadap obat dan
sumber penularan aktif.
Daftar Pustaka : 40 ( 2002-2012)
Kata Kunci : Perilaku berobat, Pasien TB Paru, Puskesmas
SUMMARY
HASANUDDIN UNIVERSITY
FACULTY OF PUBLIC HEALTH
EPIDEMIOLOGY
THESIS, DECEMBER 2012
AMELDA LISU PARE “DETERMINE THE FACTORS RELATED TO THE BEHAVIOR OF PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS TREATED AT IN LOCAL
GOVERNMENT CLINIC OF BATUA AND TAMAMAUNG MAKASSAR CITY ON 2010-2012”
(xiii+83 Pages+16 Tables+ 5 Appendices)
Pulmonary tuberculosis is caused by the bacterium Mycobacterium tuberculosis remains a serious health problem experienced by several developing
countries including Indonesia. WHO Global Report 2010 noted contributor of Indonesia is the country's fifth largest pulmonary TB cases in the world after India,
China, South Africa and Nigeria. Treatment of irregular behavior were factors in the failure to achieve a cure.
This study aimed to determine the factors related to the behavior of pulmonary tuberculosis patients treated in Local Government Clinic of Batua and
Tamamaung Makassar City on 2010-2012. Type of research is observational analytic design "Case Control Study". The sample in this study either pulmonary TB
who have recovered or are still in treatment, the number of samples as many as 131 people, but the overall changes in the sample to 74 people due to several factors.
Sampling is done by using Exhaustive Sampling. Data analysis was performed using the statistical test Odds Ratio (OR). These results indicate the job (OR = 0.617,
LL-UL = 0.221-1.720), family income (OR = 2.702, LL-UL = 0.945-7.728), medical history (OR = 1.704, LL-UL = 0.430-6.755) and health services (OR = 0.593,
LL-UL = 0.216-1.629) is not a factor related to behavior treatment in patients with pulmonary TB. Supervisory Drink Drugs (PMO) (OR = 3.636, LL-UL = 1.225-
10.790), family support (OR = 3.039, LL-UL = 1.079-8.564), discrimination (OR = 2.974, LL-UL = 1.063-8.318) a factor related to behavior treatment in patients
with pulmonary TB.
It is recommended to both the need for health centers that are active in efforts to improve the regularity of the treatment of patients with pulmonary
tuberculosis patients collaborates with the family as a form of support and supervision of patient treatment. For patients with pulmonary TB, so expect regular
medication treatment failure resulting in the emergence of resistance to drugs and other active infection.
References: 40 (2002-2012)
Keywords: Behavior treatment, Pulmonary TB Patients
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas semua kebaikan, kesetiaan dan keadilanNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu perkenankan penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : Bapak Prof. Dr.
Ridwan A, SKM, M.Kes selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Ida Leida M. Thaha, SKM, MKM, MScPH selaku pembimbing II yang dengan tulus
ikhlas dan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan arahan kepada penulis mulai dari awal hingga selesainya
penulisan ini.
Melalui kesempatan ini pula, dengan rasa hormat dan penghargaan yang tulus, mengucapkan terima kasih tak terhingga penulis haturkan
kepada :
1. Bapak dr H. Muh Ikhsan, Ms, PKK selaku penasehat akademik.
2. Bapak Wahiduddin, SKM, M.Kes selaku Ketua Jurusan Epidemiologi Universitas Hasanuddin Makassar beserta staf bagian Epidemiologi
Unhas atas semua bantuan, kerjasama dan dukungan yang diberikan kepada penulis.
3. Ibu Rismayanti, SKM, MKM, Bapak Prof.Dr.dr.H.M. Syafar, MS, dan Bapak Syamsuar M, SKM, M.Kes, MScPH selaku tim penguji yang
telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan ini.
4. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, para wakil dekan serta seluruh staf administrasi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Hasanuddin khususnya Jurusan Epidemiologi yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama
mengikuti pendidikan.
5. Kepala Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar beserta seluruh staf yang telah memberikan izin khususnya Bapak Ram
dan Ibu Harniah atas bantuan selama peneliti melakukan penelitian.
6. Pdt. Yehuda Kambuno beserta keluarga dan seluruh sidang jemaat GPT Kristus Raja Makassar atas dukungan doa selama penulis menyusun
dan menyelesaikan penulisan.
7. Teman-teman seperjuangan yang sama-sama berjuang menyelesaikan skripsi : Irma, Ahmad dan Fadhalia. Semangat teman-teman!!!!
8. Teman-teman Romusa angkatan 2008 FKM UNHAS dan kakak-kakak senior, adik-adik dan teman-teman KKN-PK UNHAS angkatan 38
serta teman-teman LA’LATANGERS yang telah bekerja sama, saling memberikan motivasi, semangat dan bantuan kepada penulis selama
menempuh pendidikan dan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan dan
motivasi.
9. Teman-teman Kaum Muda Remaja GPT Kristus Raja Makassar atas dukungan, persahabatan, kekeluargaan serta canda tawa yang selalu
penulis rasakan.
10. Keluarga Unit Kegiatan Mahasiswa Renang UNHAS angkatan IX dan seluruh anggota UMKR-UNHAS yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu namanya. Terima kasih atas semua ilmu dan pengetahuan yang didapatkan, hangatnya suasana kekeluargaan serta keceriaan
yang sangat indah yang tak mungkin penulis lupakan.
Penulis secara khusus mempersembahkan penghargaan dan rasa hormat kepada papaku sayang Augustinus Bassy dan mama tercinta Meithy
Kondo Bassy atas semua doa, jasa dan pengorbanan yang terus mengalir diberikan sejak penulis dilahirkan ke dunia sampai sekarang yang
walaupun dengan berapa banyak ucapan terima kasih tidak mampu membalas semua doa, jasa dan pengorbanan tersebut. Kepada kakakku
tersayang Jansen Bassy dan adik-adik tercinta Christine Bulaan Bassy dan Daud Tana’ Bassy penulis ucapkan terima kasih atas segala dukungan
selama penulis menempuh kuliah.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu semua kritik dan saran
tetap penulis nantikan untuk memperbaiki penulisan selanjutnya. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Makassar, Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... ii
RINGKASAN ........................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... ix
DAFTAR TABEL...................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 8
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis ........................................................ 9
2. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan .............................. 9
3. Manfaat Bagi Peneliti ............................................... 9
4. Manfaat Bagi Masyarakat ........................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tuberkulosis
1. Patogenesis TB Paru ............................................... 10
2. Risiko Penularan ...................................................... 11
3. Klasifikasi & Tipe Tuberkulosis .............................. 11
4. Gejala TB Paru ......................................................... 13
5. Diagnosa TB Paru .................................................... 13
6. Pengobatan TB Paru ................................................ 14
7. Strategi DOTS .......................................................... 15
B. Tinjauan Umum Tentang Perilaku .................................. 17
C. Tinjauan Umum Tentang Karakteristik Pasien ................ 18
D. Tinjauan Umum Tentang PMO ........................................ 20
E. Tinjauan Umum Tentang Riwayat Pengobatan ............... 22
F. Tinjauan Umum Tentang Pelayanan Kesehatan ............. 24
G. Tinjauan Umum Tentang Sosial Budaya ......................... 26
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian
1. Variabel Independen ................................................ 31
2. Variabel Dependen .................................................. 35
B. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ...................... 38
C. Hipotesis Penelitian .......................................................... 43
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................. 44
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................... 44
C. Desain Penelitian ............................................................. 44
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi ................................................................... 46
2. Sampel ..................................................................... 46
E. Metode Pengambilan Sampel ........................................... 47
F. Cara Pengumpulan Data ................................................... 48
G. Pengolahan dan Analisis Data .......................................... 48
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................ 52
B. Pembahasan ..................................................................... 71
C. Keterbatasan Penelitian ................................................... 83
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................ 84
B. Saran .......................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 86
LAMPIRAN ........................................................................................ 90
DAFTAR SINGKATAN
AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome
ARTI : Annual Risk of Tuberkulosis Infection
ASEAN : Association of South East Asia Nations
BP4 : Balai Pengobatan dan Pemberantasan Penyakit Paru
BTA : Basil Tahan Asam
DOTS : Direct Observed Treatment Short-course
Gerdunas-TB : Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
HAM : Hak Asasi Manusia
HIV : Human Immunodeficiency Virus
IMT : Indeks Masa Tubuh
INH : Isoniazid
IR : Insidence Rate
MDR : Multi Drug Resisten
MDR-TB : Multi Drug Resisten Tuberculosis
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
OAT-KDT : OAT-Kombinasi Dosis Tetap
OR : Odds Ratio
PKM : Puskesmas
PMO : Pengawas Menelan Obat
PNS : Pegawai Negeri Sipil
SPS : Sewaktu-Pagi-Sewaktu
TB : Tuberkulosis
TNI : Tentara Nasional Indonesia
UPK : Unit Pelayanan Kesehatan
WHO : World Health Organization
Daftar Tabel
Tabel Halaman
1. Jumlah Sampel Per Puskesmas 46
2. Tabel kontingensi 2x2 50
3. Karakteristik Pasien TB Paru berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Pendidikan di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota
Makassar Tahun 2010-2012 53
4. Karakteristik Pasien TB Paru berdasarkan Pekerjaan dan Penghasilan Keluarga di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota
Makassar Tahun 2010-2012 54
5. Distribusi Skor Pasien TB Paru Berdasarkan PMO Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-2012 57
6. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Tugas PMO Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-2012 58
7. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Riwayat Pengobatan Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-
2012 59
8. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Efek Samping OAT Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-
2012 60
9. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Efek Samping OAT yang Dirasakan Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar
Tahun 2010-2012 60
10. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-
2012 61
11. Distribusi Skor Pasien TB Paru Berdasarkan Sikap Petugas Kesehatan Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar
Tahun 2010-2012 62
12. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Bentuk Dukungan Keluarga Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun
2010-2012 63
13. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Dukungan Keluarga Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-
2012 64
14. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Sikap Masyarakat Sekitar Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun
2010-2012 65
15. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Diskriminasi Di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-2012
66
16. Besar Risiko Variabel Independen Terhadap Variabel Dependen Di Wilayah Kerja Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota
Makassar Tahun 2010-2012 67
Daftar Gambar
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori Perilaku Berobat Pasien TB Paru 36
2. Kerangka Konsep Perilaku Berobat Pasien TB Paru 37
3. Desain penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berobat pasien TB Paru Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung
Tahun 2010-2012 45
4. Alur penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berobat pasien TB Paru Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung
Tahun 2010-2012 45
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Daftar riwayat hidup
Lampiran 2 Persuratan
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian, master tabel dan buku kode keterangan tabel
Lampiran 4 Crosstab analisis data penelitian
Lampiran 5 Foto kegiatan penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan suatu ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia yang perlu
mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak.
TB Paru memberi dampak secara ekonomis akibat dari sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal ini tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, 2011). Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Sehingga pada tahun 1993, WHO
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).
Tuberkulosis adalah menular dan menyebar melalui udara. Jika tidak diobati, setiap orang dengan TB aktif dapat menginfeksi rata-rata 10 sampai 15
orang per tahun. Lebih dari dua miliar orang, sama dengan sepertiga dari total penduduk dunia, terinfeksi basil TB, mikroba yang menyebabkan TB. Satu dari
setiap 10 orang-orang akan menjadi sakit dengan TB aktif dalam seumur hidupnya. Orang yang hidup dengan HIV berada pada risiko yang jauh lebih besar
(WHO, 2011).
Menurut data WHO tahun 2009 Insidence Rate (IR) TB Paru di beberapa negara ASEAN seperti Malaysia sebesar 62,7 per 100.000 pe nduduk, Filipina
sebesar 400,5 per 100.000 penduduk, Singapura sebesar 25,6 per 100.000 penduduk, Thailand sebesar 67,1 per 100.000 penduduk sedangkan Indonesia
sebesar 67,7 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukan bahwa pada tahun 1996 penyakit TB Paru tertinggi di Filipina (WHO, 2009).
Menurut Global Report TB, WHO tahun 2009 menemukan bahwa pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau
sekitar 565.614 kasus semua TB, insidensi kasus TB BTA positiff sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 se mua tipe TB, insidensi kasus TB Paru
BTA positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA positif. Sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250
orang per hari. Fakta ini didukung oleh kondisi lingkungan perumahan, sosial ekonomi masyarakat, serta kecenderungan peningkatan penderita HIV/AIDS di
Indonesia (Andi, dkk, 2009).
Global Report WHO 2010 mencatat Indonesia merupakan negara penyumbang kasus TB paru terbesar kelima di dunia setelah India, Cina, Afrika
Selatan, Nigeria, total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus, di mana 169.213 adalah kasus TB baru BTA positif, 108.616 adalah kasus TB BTA
negatif, 11.215 adalah kasus TB Extra Paru, 3.709 adalah kasus TB Kambuh, dan 1.978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh.
Kota Makassar yang berpenduduk sekitar 1,3 juta jiwa merupakan daerah yang memiliki jumlah penderita Tuberkulosis (TB) terbanyak di Sulawesi
Selatan yakni 1.532 orang dari sekitar 18.000 penderita yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Sulsel. Selain prevalensi TB cukup tinggi, angka kesembuhan
(cure rate) penderita TB di Makassar juga baru mencapai 90% pada periode 2007 sementara target nasional adalah 95%, namun lebih baik dibanding cure rate
2006 yang hanya 59% dengan 1.678 penderita. Pada tahun 2003 baru tercatat 809 orang dengan angka kesembuhan 96%, 2004 naik menjadi sebanyak 1.304
penderita dengan kesembuhan 97% dan 2005 naik lagi menjadi 1.655 penderita dengan cure rate 122%.
Penderita TB yang sudah diobati di Sulsel pada periode 2006 tercatat sebanyak 10.226 orang, sedang kasus baru yang ditemukan pada tahun yang
sama mencapai 8.463 orang. Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar merupakan lokasi yang dipilih oleh peneliti karena Puskesmas Batua
memiliki angka kesembuhan yang tinggi yakni mencapai 100% pada tahun 2010, dan 95% pada tahun 2011. Berdasarkan data Puskesmas Batua kasus TB Paru
pada tahun 2009 sebanyak 34 orang, tahun 2010 sebanyak 30 kasus, tahun 2011 sebanyak 28 kasus, dan tahun 2012 periode Januari – Juni sebanyak 17 orang
(Rekam Medik PKM Batua, 2012). Berdasarkan data Puskesmas Tamamaung kasus baru positif TB Paru pada tahun 2009 sebesar sebanyak 12 orang, tahun
2010 sebanyak 24, tahun 2011 sebanyak 21 kasus dan tahun 2012 periode Januari – Juli sebanyak 11 orang.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif dan penderita TB kebanyakan dari kelompok ekonomi rendah. Ekonomi yang
rendah berimbas pada status gizi dan sanitasi lingkungan yang buruk. Status gizi kurang lebih berpeluang untuk menderita penyakit TB paru dibandingkan
dengan status gizi cukup, hal ini bisa dijelaskan bahwa status gizi seseorang dapat berfungsi sebagai proteksi dan meningkatk an daya tahan tubuh. Status gizi
yang kurang memungkinkan seseorang akan rentan dengan berbagai macam penyakit termasuk TB paru (Arsunan, dkk, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh
Diah (2010) menunjukan bahwa status gizi (p=0,009, OR=6,192) yang buruk memiliki 6 kali lebih berpeluang untuk menderita TB Paru dibandingkan dengan
berstatus gizi yang baik.
Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-course) yang telah dicanangkan oleh WHO dalam manajemen pengobatan untuk menjamin pasien TB
menelan obat dan dilakukan pengawasan langsung dari seorang pengawas menelan obat (PMO) menunjukkan angka kesembuhan pasien menjadi >85%
(Depkes RI, 2008). Sebanyak 41 juta pasien TB telah berhasil diobati dalam program DOTS dan hingga 6 juta nyawa diselamatkan sejak tahun 1995. 5 juta lebih
banyak nyawa dapat diselamatkan antara sekarang-2015 dengan sepenuhnya dibiayai dan dilaksanakan Rencana Global untuk Stop TB 2011-2015 (WHO,
2011).
Namun masih terdapat pula tantangan dalam pengobatan TB di dunia dan Indonesia, antara lain riwayat pengobatan pasien TB yang berpindah tempat
berobat, kegagalan pengobatan, putus pengobatan, pengobatan yang tidak benar sehingga mengakibatkan terjadinya kemungkinan re sistensi primer kuman
TB terhadap obat anti Tuberkulosis atau Multi Drug Resistance (MDR) (WHO, 2010). Multidrug-resistant TB (MDR-TB) adalah bentuk TB yang tidak merespon
pengobatan standar menggunakan obat lini pertama. TB-MDR hadir di hampir semua negara yang disurvei oleh WHO dan mitra-mitranya.
Kesembuhan yang ingin dicapai diperlukan keteraturan berobat bagi setiap penderita. Panduan OAT jangka pendek dan peran Pengawas Minum Obat
(PMO) merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita. Walaupun panduan obat yang digunakan baik tetapi apabila penderita tidak berobat
dengan teratur maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan (Murtantingsih, dkk, 2010).
Pencegahan perlu segera dilakukan untuk menghentikan proses penyakit untuk tidak menjadi lebih parah dan menimbulkan komplikasi, salah satunya
dengan menciptakan keteraturan minum obat. Keteraturan berobat memiliki pengaruh untuk mencapai keberhasilan pengobatan. Penelitian telah dilakukan
diberbagai tempat menunjukkan bahwa kepatuhan atau keteraturan berobat berpengaruh terhadap kesembuhan penderita TB Paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Murtantiningsih, dkk (2010) menunjukkan bahwa 23 dari 25 penderita TB Paru (92%) sembuh karena teratur berobat
(0,005
penderita berobat (p=0,001, p
Penelitian yang dilakukan oleh Afnal (2007) menyimpulkan bahwa penderita TB paru yang merasa diskriminasi di masyarakat baik lebih banyak berhasil
sembuh (51,9%) dibandingkan tidak sembuh (46,3%). Sedangkan penderita yang merasa diskriminasi di masyarakat kurang, lebih banyak tidak sembuh dari TB
paru (53,7%). Penderita TB Paru mendapat tindakan diskriminasi tidak diajak bicara oleh tetangga karena takut penyakitnya menular.
Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berobat pasien tuberkulosis paru di
Wilayah Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar tahun 2010-2012.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam kegiatan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah ada hubungan antara pekerjaan dan penghasilan keluarga dengan perilaku berobat pasien TB Paru?
2. Apakah ada hubungan antara PMO dengan perilaku berobat pasien TB Paru?
3. Apakah ada hubungan antara riwayat pengobatan dengan perilaku berobat pasien TB Paru?
4. Apakah ada hubungan antara pelayanan kesehatan dengan perilaku berobat pasien TB Paru?
5. Apakah ada hubungan antara sosial budaya (dukungan keluarga dan diskriminasi) dengan perilaku berobat pasien TB Paru?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berobat pasien TB Paru di Puskesmas Batua dan
Puskesmas Tamamaung tahun 2010-2012.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara karakteristik pasien (pekerjaan dan penghasilan) dengan perilaku berobat pasien TB Paru.
b. Mengetahui hubungan antara PMO dengan perilaku berobat pasien TB Paru.
c. Mengetahui hubungan antara riwayat pengobatan dengan perilaku berobat pasien TB Paru.
d. Mengetahui hubungan antara pelayanan kesehatan (sikap petugas kesehatan) dengan perilaku berobat pasien TB Paru.
e. Mengetahui hubungan antara sosial budaya (dukungan keluarga dan diskriminasi) dengan perilaku berobat pasien TB Paru.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung dalam program pencegahan maupun
penanggulangan TB Paru.
2. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai sumber referensi bagi yang membutuhkan informasi dan yang ingin melanjutkan penelitian tentang tuberkulosis paru.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Sebagai penerapan ilmu yang telah diperoleh di masa perkuliahan dan sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk mencapai gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Hasanuddin.
4. Manfaat Bagi Masyarakat
Sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk menambah pengetahuan tentang tuberkulosis paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tuberkulosis
1. Patogenesis
Penularan tuberkulosis dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang terdapat dalam paru-paru penderita, pesebaran bakteri
tersebut diudara melalui dahak berupa droplet. Penderita TB-Paru yang mengandung banyak sekali bakteri dapat terlihat langsung dengan mikroskop pada
pemeriksaan dahaknya (penderita BTA positif) adalah sangat menular. Penderita TB Paru BTA positif mengeluarkan bakteri-bakteri ke udara dalam bentuk
droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung
bakteri tuberkulosis. Dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011).
Droplet yang mengandung bakteri ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika bakteri tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang
menghirupnya, maka bakteri mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang ke orang lain. Bakteri juga dapat menyebar
melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak,
ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
2. Risiko Penularan
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1 - 3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang
terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat
diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 100 (seratus) penderita (10%)
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 diantaranya adalah TB BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk (malnutrisi) dan atau HIV/AIDS. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan
tubuh seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pul a (Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, 2011).
3. Klasifikasi dan Tipe Pasien Tuberkulosis
a. Klasifikasi TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis (keadaan ini terutama ditujukan pada TB Paru). Berdasarkan hasil 3 kali pemeriksaan
dahak, radiologis atau kultur Mycobacterium tuberculosis.
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif :
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative. Foto toraks abnormal sesuai
dengan gambaran tuberkulosis.
b. Klasifikasi TB berdasarkan riwayat pengobatan (disebut sebagai tipe pasien):
1) Kasus Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeiksaan
BTA bisa positif atau negatif.
2) Kasus yang sebelumnya diobati
a) Kasus kambuh (Relaps) adalah tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
b) Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
c) Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
3) Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. Dan kasus lain adalah semua kasus
yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil
pengobatannya atau kembali diobati dengan BTA negative.
4. Gejala TB Paru
Gejala utama batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering dijumpai adalah dahak yang
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri pada bagian dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, malaise (rasa kurang
enak badan), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan serta demam meriang lebih dari sebulan.
5. Diagnosis TB Paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
6. Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011).
Jumlah penderita tuberculosis (TB) di Kabupaten Soppeng mengalami tren penurunan yang cukup drastis. Berdasarkan data, 2010 p enderita
penyakit mengalami penurunan menjadi 147 penderita. Padahal 2009 lalu, masih tercatat 252 penderita TB. Kasi Penanggulangan dan Pengendalian
Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Soppeng sejak lima tahun terakhir penderita penyakit terus mengalami penurunan. Pe nurunan itu terkait
dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap penyakit tersebut (Sudaryanto, 2011).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pen gobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi).
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping.
Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara:
1) Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping.
2) Menanyakan adanya gejala efek sampang pada waktu penderita mengambil OAT.
Efek samping ringan dari OAT seperti tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan, serta warna kemerahan pada air seni
(urine). Sedangkan Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan
penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011).
7. Strategi DOTS
Sejak tahun 1995 program Pemberantasan Tuberkulosis Paru , telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (directly observed treatment- shortcourse
chemotherapy) yang direkomendasi oleh WHO. kemudian berkembang seiring dengan pembentukan GERDUNAS–TB, maka Pemberantasan penyakit
Tuberkulosis Paru berubah menjadi Program Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost-effective. Dengan stategi DOTS,
manajemen penanggulangan TB di Indonesia ditekan pada tingkat kabupaten/kota (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011).
Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi
DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan. Prinsip dasar strategi DOTS adalah
pendekatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan jika penderita tidak datang
mengambil obat sesuai dengan yang diharapkan (Imelda, 2009).
Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO, terdiri atas 5 kompomen :
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas menelan obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.
B. Tinjauan Umum Tentang Perilaku
Status kesehatan merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor, baik faktor dari dalam diri manusia (internal) maupun dari l uar diri manusia
(eksternal). Faktor internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis individu. Sedangkan faktor eksternal antara lain sosial ekonomi, sosial budaya, lingkungan,
politik, pendidikan dan sebagainya. Menurut Teori Blum dalam Imelda (2009) secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik
individu, kelompok, maupun masyarakat, dikelompokan menjadi empat faktor, antara lain:
1) Lingkungan (lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya).
2) Perilaku.
3) Pelayanan kesehatan.
4) Keturunan (genetik).
Teori Blum menempatkan faktor perilaku pada urutan kedua yang mempengaruhi status kesehatan setelah faktor lingkungan. Perilaku merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada k arakteristik atau
faktor-faktor lain dari yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda.
Lawrance Green menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi ole h faktor pokok, yaitu
faktor perilaku (behavior causes) dan faktor lingkungan (nonbehavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu
:
a. Faktor-faktor predisposisi merupakan faktor internal yang ada pada diri individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang mempermudah individu
untuk berperilaku.
b. Faktor-faktor pendukung, yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.
c. Faktor-faktor pendorong merupakan faktor yang menguatkan perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, teman sebaya,
orang tua, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Perilaku sesorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan diri, dan sebagainya dari oarng atau
masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kese hatan juga akan
mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
C. Tinjauan Umum Tentang Karakteristik Pasien
1. Pekerjaan
Faktor lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk terpapar suatu penyakit. Lingkungan kerja yang buruk mendukung untuk terinfeksi TB
Paru antara lain supir, buruh, tukang becak dan lain-lain dibandingkan dengan orang yang bekerja di daerah perkantoran.
Penelitian oleh Meirtha (2009) ditemukan bahwa proporsi tertinggi penderita TB Paru Relaps terdapat pada wiraswasta sebesar 47,7% dan
proporsi terendah adalah PNS/TNI/POLRI sebesar 2,7 %. Hal ini dapat diasumsikan bahwa terinfeksi TB Paru bukan karena intensitas pekerjaan tetapi
juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal berupa kelembaban, keadaaan ventilasi rumah, pencahayaan alami yang masuk ke rumah dan
sebagainya.
Penelitian yang dilakukan oleh Arsunan, dkk (2004) menunjukkan bahwa jenis pekerjaan yang berisiko tinggi terpapar kuman TB adalah sopir,
buruh/tukang, pensiunan/purnawirawan, dan belum bekerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Putranto (2008) di Puskesmas Ciracas Jakarta Timur menunjukkan bahwa penderita TB Paru yang bekerja
(72,2%) lebih patuh berobat dibandingkan dengan yang tidak bekerja (27,8%).
2. Penghasilan keluarga
Pendapatan dapat menunjang untuk lebih sering terinfeksi TB jika memiliki kondisi ekonomi yang lemah. Kondisi ini akan mengarah kepada
permukiman lebih padat disertai dengan kondisi kerja yang buruk sehingga terjadi malnutrisi (gizi kurang yang dapat menurunkan daya tahan tubuh).
Soemirat (2000) dalam Murtantiningsih mengatakan bahwa status sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap status gizi, kebiasaan, kualitas
lingkungan, pengetahuan keberadaan sumberdaya materi sehingga efek agent terhadap status sosial ekonomi akan berbeda pula.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Erni,dkk (2005) menemukan bahwa pendapatan keluarga yang rendah cenderung tidak patuh sebanyak 17
orang, sedangkan pendapatan yang tinggi cenderung untuk patuh berobat (15 orang).
Penelitian yang dilakukan oleh Murtantiningsih dan Bambang Wahyono menemukan bahwa pendapatan berhubungan dengan kesembuhan
penderita TB Paru di Puskesmas Purwodadi Kabupaten Grobongan.
D. Tinjauan Umum Tentang Pengawas Menelan Obat (PMO)
Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal , dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
3) Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
b. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya sanitarian, juru imunisasi dll. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Tugas seorang
PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.
c. Tugas Seorang PMO
1) Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. Dan memastikan obat diminum dengan benar.
2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan penderita untuk pemeriksaan ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan diri ke unit
pelayanan kesehatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Afnal (2007) ditemukan bahwa penderita TB Paru yang mempunyai PMO yang aktif berperan dalam
pengawasan lebih banyak berhasil sembuh (74,1%) dibandingkan dengan tidak sembuh (22,2%).
E. Tinjauan Umum Tentang Riwayat Pengobatan
Tuberkulosis paru merupakan communicable disease dengan prevalensi yang cenderung tinggi di negara dengan kategori negara miskin (Poor
Country), di mana kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat meningkatkan risiko morbiditas, resistensi obat yang dapat
mengakibatkan kefatalan (mortalitas) (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2006).
Pemakaian obat anti tuberkulosis jangka pendek sesuai rekomendasi WHO, yaitu berdasarkan kategori dan klasifikasi penyakit, sangat penting.
Obat anti TB yang digunakan sesuai dengan program pemerintah guna mencegah kegagalan pengobatan.
Estimasi jumlah kasus MDR TB di dunia mencapai 440.000 pada tahun 2008 (WHO, 2010). Diperkirakan 440.000 baru kasus TB-MDR pada
tahun 2008 dengan tiga negara penghasil lebih dari 50% dari seluruh kasus secara global: Cina, India dan Federasi Rusia. Ekstensif resistan terhadap
obat TB terjadi ketika resistensi terhadap obat lini kedua berkembang. Hal ini sangat sulit diobati dan kasus telah dikonfirmasi di lebih dari 58 negara
(WHO, 2011). Untuk Indonesia sendiri berada pada urutan ke delapan kasus MDR TB dari 27 negara dengan kasus MDR TB terbanyak.
Menurut Aditama yang dikutip oleh Heny (2008), ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reistensi terhadap OAT yaitu :
1) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.
2) Penggunaan paduan yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang t inggi terhadap
obat yang digunakan.
3) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah
dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
4) Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat yang ditambahkan suatu panduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambahpanjangnya
daftar obat yang resisten saja.
5) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu biovaibilitas obat.
6) Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh Abdul (2007) menemukan lama pengobatan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru. Pada hasil analisis data
menyimpulkan bahwa penderita TB Paru yang dengan kategori singkat berobat 6 kali lebih berpeluang terhadap kepatuhan berobat dibandingkan dengan
penderita dengan kategori pengobatan yang relatif lama.
F. Tinjauan Umum Tentang Pelayanan Kesehatan
Empati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang
cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2006).
Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia yaitu pada PP No. 32 Tahun 2006 menyatakan bahwa tenaga kesehatan
sebagai pelaksana ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.
Dalam pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Sikap petugas kesehatan adalah sikap yang diberikan petugas kesehatan kepada penderita, baik itu pelayanan, penyuluhan maupun memberikan
dukungan atau motivasi kepada penderita untuk patuh dalam berobat. Sikap petugas kesehatan dalam melayani mempengaruhi pasien untuk aktif dalam
menjalani pengobatan. Penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2009) menemukan bahwa semakin baik sikap petugas kesehatan maka akan terjadi
peningkatan kepatuhan berobat penderita TB Paru Relaps sebanyak 100% pasien menyatakan sikap petugas kesehatan ramah, memperhatikan keluhan
responden dan memberikan keterangan yang jelas tentang cara memakan obat serta menanyakan ada tidaknya efek samping yang dide rita oleh pasien.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widagdo (2002) menyatakan bahwa ada hubungan antara pelayanan perawat puskesmas terhadap
kepatuhan dalam berobat penderita TB Paru
Penelitian yang dilakukan oleh Yulfrra (2011) menemukan bahwa persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan seperti puskesmas menurut
informan sudah positif. Perilaku petugas, cara pelayanan, obat-obatan yang tersedia dirasakan informan sudah relatif bagus. Namun, ada sedikit hambatan
untuk mencapai pelayanan kesehatan, dan jam pelayanan yang terbatas, seperti pada hari/libur puskesmas tutup. Di samping itu, sebagian masyarakat
beranggapan bahwa pengobatan yang dilakukan di puskesmas dan rumah sakit dilaksanakan secara berulang-ulang, penyembuhan relatif lebih lama serta
0bat mengandung zat kimia dengan efek samping jantung berdebar.
Sikap yang baik diberikan oleh petugas kesehatan memberi motivasi untuk menjalani pengobatan. Namun segi jadwal pengobatan di puskesmas
relatif terbatas, ditambah dengan pengobatan yang berulang-ulang, penyembuhan relatif membutuhkan waktu yang lama serta efek samping jantung
berdebar melatarbelakangi masyarakat untuk memilih pengobatan tradisional (Yulfrra, 2011).
G. Tinjauan Umum Tentang Sosial Budaya
Beberapa aspek sosial budaya yang melatarbelakangi pertimbangan masyarakat dalam upaya pencarian pengobatan dan dianggap berk aitan
dengan rendahnya cakupan penemuan TB Paru antara lain pendidikan/pengetahuan dan persepsi, kebiasaan/adat istiadat dan kepercayaan serta
diskriminasi sosial (Yulfrra, 2011).
a. Dukungan keluarga
Tingginya angka kegagalan pengobatan yang dialami oleh pasien TB Paru karena perilaku ketidakpatuhan berobat sehingga makin banyak
ditemukan penderita TB Paru dengan BTA yang telah resisten dengan pengobatan standar (Tahan, 2006).
Pengaruh dukungan keluarga terhadap keberhasilan pengobatan berbagai penyakit banyak ditel iti, antara lain : Evi (Universitas Syah Kuala,
2005) pada penderita depresi di Keutapang Dua Banda Aceh; Dieter (Jerman, 2007) pada pasien psikiatri menemukan adanya dukungan keluarga yang
menjalin hubungan yang harmonis dengan pasien psikiatri, menyatakan pasien diuntungkan lebih dari sekedar obat saja, dukungan keluarga juga
membantu pasien tetap baik dan patuh meminum obatnya. Basaria Hutabarat (2007) menemukan pengaruh dukungan keluarga pada penderita Kusta
di Kabupaten Asahan dan Prinda (Universitas Diponegoro Semarang, 2010) pada penderita Skizofrenia di RSJ Menur Surabaya.
Dukungan keluarga adalah keberatan, kesedihan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita,
pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb dalam Suparyanto (2002) mendefinisikan dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan,
perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondinya, dukungan keluarga tersebut diperoleh dari individu maupun
kelompok. Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan.
1. Tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan menurut Friedman yang dikutip oleh Suparyanto membagi 5 tugas, yai tu:
mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya, mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga,
mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga, memberikan
keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu muda,
Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada).
2. Bentuk dukungan keluarga menurut Friedman yang dikutip oleh Suparyanto, yaitu :
a) Dukungan Emosional (Emosional Support). Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta
membantu penguasaan terhadap emosi. Meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap anggota keluarga yang menderita
kusta (misalnya: umpan balik, penegasan) (Marlyn, 1998).
b) Dukungan Penghargaan (Apprasial Assistance). Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi
pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas anggota. (Marlyn, 1998).
c) Dukungan Materi (Tangibile Assistance). Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, mencakup bantuan langsung
seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan waktu mengalami stress.
b. Diskriminasi
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa ditemukan dalam hidup bermasyarakat. Diskriminasi disebabkan karena kecenderungan
manusia untuk membeda-bedakan manusia. Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan dasar. Dalam Pasal 1 butir 3 UU
No. 39/1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsun g ataupun tak
langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan asp ek kehidupan sosial
lainnya.
Diskriminasi secara harfiah berarti "perbedaan". Arti dari diskriminasi sosial dan hukum berangkat dari arti harfiah, dalam konteks itu,
diskriminasi berarti "perbedaan melanggar hukum antara orang atau kelompok". Diskriminasi adalah prinsip yang mengatakan bahwa semua orang
tidaklah sama. Diskriminasi dapat dilihat sebagai ekspresi intoleransi dan untuk perbuatan prasangka. Hal ini dapat menjadi diskriminasi pribadi atau di
sebuah organisasi.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara diskriminasi (dikucilkan oleh masyarakat). Diskriminasi
ini memiliki arti memperlakukan orang secara berbeda atau kelompok (biasanya minoritas) berdasarkan karakteristik yang berbeda seperti asal, ras,
asal negara, agama, keyakinan politik atau agama, kebiasaan sosial, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, cacat, usia, dll.Masyarakat masih
beranggapan bahwa TB Paru adalah penyakit turunan, memalukan dan dianggap tabu oleh masyarakat. Kondisi diskriminasi ini menyebabkan pasien
malu untuk memeriksakan kesehatan atau penyakitnya ke pelayanan kesehatan (Yulfrra, 2011).
Penelitian di Kabupatan 50 Kota Sumatera Barat oleh Yulfrra menemukan bahwa masyarakat berpendapat "Panyakik TB ko panyakik
katurunan, dianggap hino dan aib oleh masyarakat, sahinggo kalau ado anggota kaluarga yang kanai panyakik itu akan maraso malu, dan labiah
baiak barubek ka dukun kampuang sajo, supayo urang lain indak tahu, dan takuik dikatokan TB sarato pangobatannyo labiah capek" yang artinya
penyakit TB merupakan penyakit keturunan, dianggap hina dan dianggap aib oleh masyarakat, sehingga bila ada anggota keluarga yang terkena
penyakit TB, lebih baik berobat ke dukun kampung saja, supaya orang lain tidak tahu, dan takut dikatakan TB, serta pengobatannya lebih cepat.
Masyarakat juga beranggapan bahwa penyakit TB Paru atau batuk darah adalah karena perbuatan manusia atau setan. Hal ini didukung oleh
peryataan sebagian informan sebagai berikut: "Kalau ado tando-tando batuak darah, angok sasak, mako panduduak disiko langsuang mampunyai
anggapan bahwasanyo itu adolah panyakik nan diakibatkan oleh kiriman urang lain atau digaduah dek setan" artinya bila ada tanda-tanda seperti
batuk berdarah, nafas sesak, maka penduduk di sini langsung beranggapan bahwa penyakit tersebut adalah penyakit yang diakibatkan oleh perbuatan
manusia atau gangguan setan.
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian
Kesembuhan pasien Tuberkulosis Paru di pengaruhi oleh perilaku pasien yang teratur dalam menjalani pengobatan. Perilaku berob at pasien
Tuberkulosis Paru dipengaruhi beberapa faktor antara lain : karakteristik pasien (pekerjaan dan penghasilan keluarga), PMO, riwayat pengobatan, faktor
pelayanan kesehatan (petugas kesehatan) serta sosial budaya berupa dukungan keluarga dan diskriminasi di mana variabel tersebut dinyatakan sebagai
Variabel Independen, sedangkan perilaku berobat pasien TB Paru sebagai Variabel Dependen.
Uraian masing-masing variabel dalam hubungannya dengan perilaku berobat pasien TB Paru dapat dilihat sebagai berikut :
1. Variabel Independen untuk Analisis Hubungan
a. Karakteristik Pasien
1. Pekerjaan
Faktor lingkungan kerja mempengaruhi sesorang untuk terpapar suatu penyakit. Lingkungan kerja yang buruk mendukung untuk teri nfeksi
TB Paru antara lain supir, buruh, tukang becak dan lain-lain dibandingkan dengan orang yang bekerja di daerah perkantoran. Jenis pekerjaan
seseorang memberikan kontribusi terjangkit-tidaknya seseorang terhadap penyakit TB paru. Jenis pekerjaan berhubungan dengan tingkat
penghasilan seseorang sehingga pekerjaan sebagai wiraswastawan, karyawan atau PNS/TNI lebih dapat memenuhi kebutuhan intake zat-zat gizi
untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan bibit penyakit.
2. Penghasilan Keluarga
Status kesehatan dipengaruhi oleh status sosial ekonomi. Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat dapat berdampak pada s tatus
gizi yang buruk dan kebersihan lingkungan yang jelek yang akan menyebabkan ketahanan tubuh terhadap penyakit rendah. Sehingga kesehatan
yang baik diperoleh dari status gizi serta kualitas lingkungan yang baik pula. Pasien TB Paru banyak terserang adalah masyarakat dengan
penghasilan yang rendah (miskin) (Erni, 2009).
b. Adanya Pengawas Menelan Obat
Menurut Hadin dalam Murtantiningsih (2010) peranan PMO dalam pelaksanaan metode DOTS sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap
pasien terhadap keteraturan minum obat. Jika pengawasan keteraturan pengobatan dilaksanakan dengan baik, maka diharapkan keteraturan dan
kesembuhan akan lebih tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2009) menunjukkan bahwa sebayak 100% penderita memiliki PMO dan berada dalam k ategori sedang
yaitu sebesar 89% dikarenakan yang menjadi PMO adalah anggota keluarga.
c. Riwayat Pengobatan
Dalam masa pengobatan yang dilakukan oleh pasien TB Paru seringkali menimbulkan masalah baru antara lain sering berganti tempat berobat,
kegagalan pengobatan, putus pengobatan, pengobatan yang tidak benar sehingga mengakibatkan terjadinya kemungkinan resistensi primer kuman TB
terhadap OAT atau MDR.
Penelitian yang dilakukan oleh Bertin dan Musrichan (2009) menemukan proporsi keberhasilan pengobatan l ebih rendah dibandingkan
kegagalan pengobtan. Hal ini disebabkan karena resistensi obat yang dialami oleh pasien.
Penelitian Reviono dalam Bertin (2009) menyatakan bahwa adanya perbedaan dalam perbandingan hasil pengobatan antara pasien yang
resisten dan tidak resisten pada masing-masing obat. Dan angka kesembuhan kasus MDR-TB cukup rendah (35,71%) dibandingkan dengan kasus
resistensi non MDR (90,57%).
d. Faktor Pelayanan Kesehatan
Dimana sikap petugas kesehatan yang dimaksud adalah sikap dalam memberikan pelayanan tentang pengobatan maupun tanya jawab antara
petugas dengan penderita. Pelayanan kesehatan yang diberikan dapat meningkatkan tindakan pasien untuk mengikuti pengobatan yang teratur guna
mencapai kesembuhan yang diinginkan oleh pasien. Petugas kesehatan yang memberikan perhatian khusus serta memberikan informasi yang jelas
menyebabkan hubungan yang baik dengan setiap pasien TB Paru yang datang berobat ke puskesmas (Erni, 2005).
e. Sosial Budaya
1. Dukungan Keluarga
Adanya dukungan atau motivasi yang penuh dari keluarga dapat mempengaruhi perilaku minum obat pasien TB Paru secara teratur. Peran
keluarga yang baik merupakan motivasi atau dukungan yang ampuh dalam mendorong pasien untuk berobat teratur sesuai anjurannya
(Rifqatussa’adah, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Tahan (2006) ditemukan bahwa dukungan keluarga yang dilakukan anggota keluarga mendorong penderita
TB untuk berobat teratur dalam bentuk tidak menghindari penderita (77%), memberikan bantuan transport atau mengantar penderita (37%),
memberikan perhatian atas kemajuan pengobatan (49,3%).
2. Diskriminasi
Stigma adalah berbagai pandangan orang yang menilai diri kita negatif, hal yang kita lakukan negatif sampai pemikiran kita ne gatif. Di
mana stigma tersebut dapat menimbulkan diskriminasi yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang dalam menjalankan aktivitasnya.
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang
diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi adalah suatu perlakuan yang merugikan bagi seseorang, kelompok maupun masyarakat. Dengan
melihat hal tersebut maka peneliti merasa perlu untuk meneliti masalah diskriminasi dalam masyarakat dengan hubungannya penderita TB Paru
dalam menjalankan pengobatan TB Paru.
2. Variabel Dependen
Keberhasilan pengobatan yang dialami oleh pasien TB Paru melalui perilaku pasien dalam meminum obat yang tergantung pada faktor-faktor yang
telah disebutkan baik secara sendiri maupun secara bersama-sama. Bila faktor tersebut berada dalam kondisi menguntungkan (bersifat positif) maka
dengan sendirinya responden akan berperilaku positif demi tercapainya kesembuhan.
Diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan
suatu terapi jika tidak diikuti dengan keteraturan pasien dalam mengkonsumsi obatnya.
Keteraturan minum obat diartikan sebagai suatu bentuk pengobatan di mana penderita dalam tahap pengobatan secara teratur menelan obat
dalam suatu paket sesuai kategori yang ditetapkan. Penelitian oleh Bertin dan Musrichan (2009) menemukan keteraturan berobat berpengaruh kuat
terhadap hasil pengobatan (p=0,00; r=0,7). Sebanyak 21 pasien (46,7%) berobat secara teratur, persentase tersebut lebih rendah dibandingkan jumlah
pasien yang berobat tidak teratur (53,3%).
Hadin (2005) dalam Murtantiningsih (2011) menyatakan bahwa kesembuhan lebih dari sama dengan 85% karena disebabkan keteraturan
pengobatan yang kurang sehingga timbul resistensi obat dan pengobatan menjadi tidak tuntas.
Penelitian Notariana (2010) di Poliklinik Paru RSUD dr. Moewardi Surakarta menemukan bahwa penderita TB Paru yang teratur berobat 4,92 kali
lebih besar mengalami konversi dahak daripada penderita yang tidak teratur berobat dan secara statistik hubungan tersebut signifikan (OR=4,92 ,
p=0,004).
Karakteristik (Umur,
Jenis Kelamin,
Pendidikan, Pekerjaan,
dsb)
PROGRAM
DOTS
(PMO)
YANKES
1. Ketersediaan OAT 2. Petugas Kesehatan
3. Efek Samping OAT
PASIEN TB PARU
PERILAKU BEROBAT
PASIEN TB PARU
1. Lingkungan fisik 2. Sosial budaya
3. Sosial ekonomi (penghasilan
keluarga) 4. Dukungan Keluarga
Riwayat Pengobatan
SEMBUH
TERATUR TIDAK
TERATUR RESISTENSI
OAT
Gambar 1 Kerangka Teori Perilaku Berobat Pasien TB Paru
Sumber : Blum (1974), Lawrence Green (1991), Frieden T. Toman’s (2004), Hadin dan Golden (2005)
Berdasarkan konsep pemikiran yang telah diuraikan, disusunlah pola pikir variabel yang diteliti sebagai berikut :
Kerangka Konsep
Untuk menjelaskan variabel-variabel yang diteliti, maka dapat digambarkan pola pikir variabel sebagai berikut :
PERILAKU BEROBAT
PASIEN TB PARU
PUSKESMAS BATUA dan
PUSKESMAS
TAMAMAUNG
MATI
KARAKTERISTIK PASIEN
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan Keluarga
PMO
Gambar 2 : Kerangka Konsep Perilaku Berobat Pasien TB Paru
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Riwayat Pengobatan
FAKTOR SOSIAL BUDAYA
Diskriminasi
Dukungan Keluarga
FAKTOR YANKES
Sikap Petugas Kesehatan
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang terlibat yaitu :
1. Variabel Independen yaitu pekerjaan dan penghasilan keluarga, pengawas menelan obat (PMO), riwayat pengobatan, pelayanan kesehatan ( sikap
petugas kesehatan) dan sosial budaya (dukungan keluarga dan diskriminasi).
2. Variabel Dependen yaitu perilaku berobat pasien TB Paru.
B. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Pasien TB paru
Adalah penderita yang terinfeksi kuman TB yang datang dan mendapat penanganan oleh Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung pada tahun 2010-
2012 dan dinyatakan positif melalui pemeriksaan dahak sekurang-kurangnya dua kali dengan hasil positif secara mikroskopi di laboratorium.
2. Perilaku Berobat
Perilaku berobat adalah perilaku teratur atau tidaknya pasien dalam mengikuti proses pengobatan sesuai dengan kartu pedoman TB 03 (Puskesmas Batua)
dan kartu TB 01 (Puskesmas Tamamaung).
Kriteria objektif:
Teratur : Jika pasien tidak lupa untuk mengambil obat dan memeriksakan dahak sesuai jadwal dan atau tercatat dalam buku rekam medik
puskesmas.
Tidak Teratur : Jika jawaban pasien tidak memenuhi kriteria teratur.
3. Karakteristik Pasien
a. Pekerjaan
Kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari oleh pasien baik di dalam maupun di luar rumah yang menghasilkan pendapatan. Cara pengukuran variabel
pekerjaan menggunakan Skala Guttman. Jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0.
Kriteria objektif (Herryanto, 2004) :
Bekerja : Pasien memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk kebutuhannya dan keluarga.
Tidak bekerja : Pasien tidak memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk kebutuhannya dan keluarga.
b. Penghasilan Keluarga
Adalah jumlah pendapatan seluruh anggota keluarga untuk kebutuhan sehari-hari pasien dan keluarga.
Kriteria objektif (Murtantiningsih, 2011) :
Tinggi : Apabila pendapatan seluruh keluarga di atas nilai median (Rp1.600.000).
Rendah : Apabila pendapatan seluruh keluarga di bawah nilai median (Rp1.600.000).
4. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Adalah orang yang bertindak mengawasi pasien minum obat, memberikan penyuluhan serta dorongan serta mengingatkan untuk berobat atau
memeriksakan dahak pada waktu yang telah ditentukan. Cara pengukuran variabel PMO menggunakan Skala Guttman. Jawaban benar diberi skor 1 dan
jawaban salah diberi skor 0.
Kriteria objektif (Imelda, 2009):
Baik : Apabila dinyatakan ada pengawas dan melakukan tugas sebagai PMO yang mengikuti program pengobatan TB paru dengan baik.
Kurang : Apabila dinyatakan tidak ada dan atau ada pengawas, namun melakukan tugas sebagai PMO hanya sebagian sesuai dengan kriteria.
5. Riwayat Pengobatan
Adalah informasi dari pasien dan atau keluarga maupun PMO tentang pengobatan tuberkulosis yang didapatkan dari tempat lain sebelum pengobatan
terakhir yang didapat. Cara pengukuran variabel riwayat pengobatan menggunakan Skala Guttman. Jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi
skor 0.
Kriteria objektif (Heny, 2008):
Risiko Tinggi : Jika pasien selama menjalani pengobatan pernah berganti tempat berobat.
Risiko Rendah : Jika pasien selama menjalani pengobatan tidak pernah berganti tempat berobat.
6. Pelayanan Kesehatan
Penilaian dari pasien TB Paru terhadap tanggapan atau reaksi tenaga kesehatan selama pasien menjalani pengobatan. Cara pengukuran variabel pekerjaan
menggunakan Skala Likert dengan nilai tertinggi 4 dan terendah 1.
Kriteria objektif (Imelda, 2009):
Baik : Apabila pelayanan kesehatan yang diterima pasien menimbulkan penilaian yang baik dengan memperoleh skor ≥ nilai median (20.5).
Kurang : Apabila pelayanan kesehatan yang diterima pasien menimbulkan penilaian yang kurang dengan memperoleh skor < nilai median (20.5).
7. Sosial Budaya
a. Dukungan keluarga
Adalah adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya. (Suparyanto, 2012). Dukungan yang
diberikan oleh suami/istri/anak/orang tua/paman/bibi/keluarga satu rumah. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala Guttman. Jawaban benar
diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0.
Kriteria objektif :
Baik : Adanya dukungan dari anggota keluarga kepada pasien yang memperoleh skor ≥ nilai median atas pertanyaan.
Kurang : Adanya dukungan dari anggota keluarga kepada pasien yang memperoleh skor < nilai median atas pertanyaan.
b. Diskriminasi
Adalah sikap masyarakat di sekitar yang diterima oleh pasien terhadap keberadaan dan penyakit yang dideritanya. Skala pengukuran yang digunakan
adalah skala Guttman. Jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0.
Kriteria objektif (Afnal, 2007) :
Baik : Apabila tidak terdapat diskriminasi terhadap pasien TB Paru di lingkungan sekitar sehingga tidak menyebabkan pasien malu
berobat atau berpindah tempat berobat.
Kurang : Apabila jawaban tidak memenuhi kriteria baik.
C. Hipotesis Penelitian
1. Ho (Hipotesis Nol)
a. Pekerjaan dan penghasilan keluarga bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
b. PMO bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
c. Riwayat pengobatan bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
d. Pelayanan kesehatan (tenaga kesehatan) bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
e. Sosial budaya (dukungan keluarga serta diskriminasi) bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
2. Ha (Hipotesis Alternatif)
a. Pekerjaan dan penghasilan keluarga merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
b. PMO merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
c. Riwayat pengobatan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
d. Pelayanan kesehatan (tenaga kesehatan) merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
e. Sosial budaya (dukungan keluarga serta diskriminasi) merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan pendekatan Case Control Study dengan menelusuri adanya pengaruh variabel
independen (pekerjaan, penghasilan keluarga, pengawas menelan obat, riwayat pengobatan, petugas kesehatan, dukungan keluarga dan diskriminasi)
terhadap variabel dependen (perilaku berobat pasien TB Paru).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Sulawesi Selatan. Penelitian telah dilaksanakan dari tanggal
6 sampai 27 Oktober 2012.
C. Desain Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep teoritis dan kerangka konsep penelitian dan metode penelitian yang digunakan (Case Control Study) yang sudah
dilakukan, di mana variabel independen diduga sebagai faktor risiko yang mempengaruhi perilaku berobat pasien TB Paru (variabel dependen), maka dapat
disusun desain penelitian sebagai berikut :
Gambar 3: Desain penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berobat pasien TB Paru Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Tahun
2010-2012
Pasien TB paru Tahun 2010-2012
dengan jumlah 131 orang
den
REKAM
MEDIS
TB 01 &
03 TERATUR
TIDAK
TERATUR
WAWANCARA
RESPONDEN
WAWANCARA
RESPONDEN
KONTROL
KASUS
ADA
RESPONDEN
ADA
RESPONDEN
Kasus = Pasien tidak
teratur
dengan jumlah 12
orang
Kontrol = Pasien
teratur dengan
jumlah 119 orang
Jumlah yang bersedia
diwawancarai
sebanyak 10 orang,
saat turun lapangan
bertambah menjadi
22 orang karena
pengakuan dari
pasien
Tidak bersedia
diwawancarai sebanyak 67
orang dengan alasan
melakukan transmigrasi,
alamat yang tidak jelas dan
meninggal dunia
Jumlah yang
bersedia
diwawancarai
sebanyak 52
orang
Tidak bersedia
diwawancarai
sebanyak 2 orang
dengan alasan
pasien melakukan
transmigrasi
Gambar 4 : Alur penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berobat pasien TB Paru Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Tahun 2010-
2012
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Seluruh pasien TB Paru yang mendapat penanganan oleh pihak Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar Tahun 2010-2012
dan mengikuti program DOTS sebanyak 131 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dari catatan medik Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung yang terbagi dalam dua kelompok:
a. Kasus adalah pasien yang datang berobat di wilayah kerja Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Tahun 2010-2012 yang didiagnosis secara
klinis berdasarkan pemeriksaan BTA dan rontgen positif laboratorik menderita TB Paru saat pemeriksaan pertama, tidak teratur dalam menjalani masa
pengobatan dan sudah menjalani pengobatan minimal 4 bulan berdasarkan rekam medik PKM dan pengakuan pasien.
b. Kontrol adalah pasien yang datang berobat di wilayah kerja Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Tahun 2010-2012 yang didiagnosis secara
klinis berdasarkan pemeriksaan BTA dan rontgen positif laboratorik menderita TB Paru saat pemeriksaan pertama, teratur dalam menjalani masa
pengobatan dan sudah menjalani pengobatan minimal 4 bulan berdasarkan rekam medik PKM.
Tabel 1
Jumlah Sampel Per Puskesmas
Sampel PKM BATUA PKM TAMAMAUNG Jumlah
Kasus 12 10 22
Kontrol 35 17 52
Jumlah 47 27 74
Sumber : Data Primer Tahun 2012
E. Metode Pengambilan Sampel
Adapun langkah-langkah pengambilan sampel dengan cara adalah :
1. Melihat data target pasien TB Paru yang terdapat di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung untuk mengetahui jumlah seluruh populasi. Dari data
yang diperoleh dari Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung tahun 2010-2012 didapatkan jumlah populasi TB Paru yaitu sebanyak 131 orang.
2. Sampel diambil dengan metode ” Exhaustive Sampling” dengan kriteria inklusi sebagai berikut :
a. Untuk kelompok kasus, responden dipilih karena :
1) Didiagnosis secara klinis berdasarkan pemeriksaan BTA dan rontgen positif laboratorik menderita TB Paru berdasarkan rekam medik PKM,
2) Tidak teratur dalam menjalani masa pengobatan dan sudah menjalani pengobatan minimal 4 bulan berdasarkan rekam medik PKM dan
berdasarkan pengakuan pasien.
3) Mengikuti program DOTS dan bersedia ikut dalam penelitian.
b. Untuk kelompok kontrol, responden dipilih karena :
1) Didiagnosis secara klinis berdasarkan pemeriksaan BTA dan rontgen positif laboratorik menderita TB Paru berdasarkan rekam medik PKM,
2) Teratur dalam menjalani masa pengobatan dan sudah menjalani pengobatan minimal 4 bulan.
3) Mengikuti program DOTS dan bersedia ikut dalam penelitian.
F. Cara Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil wawacara langsung dengan menggunakan kuesioner terhadap pasien TB Paru yang terpilih sebagai sampel, baik
kasus maupun kontrol yang ditangani oleh Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung. Namun sebelum melakukan wawancara, terlebih dahulu
mengelompokkan alamat jelas yang diperoleh dari pihak puskesmas, kemudian turun lapangan untuk mencari pasien menurut alamat tersebut. Jika pasien
ditemukan dan bersedia untuk diwawancarai maka dilanjutkan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang telah di siapkan.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari catatan medik berupa nama dan alamat pasien yang terkumpul di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota
Makassar tahun 2010-2012.
G. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Data yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner kemudian diolah melalui beberapa tahapan dengan tujuan untuk memperoleh
data yang akurat, meliputi :
a. Editing kuesioner, yaitu mengecek seluruh kelengkapan pengisian kuesioner.
b. Entry data, yaitu memasukkan data dalam perangkat komputer dengan menggunakan tenaga yang sudah terlatih.
c. Cleaning data, yaitu mendapatkan data yang valid untuk dimasukkan dalam analisis.
d. Analisis data, yaitu menganalisis data dengan menggunakan program analisis data.
2 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan:
a. Analisis Univariat
Dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara mendeskripsikan karakteristik umum pasien dan tiap variabel yang digunakan dalam
penelitian yaitu pekerjaan, penghasilan keluarga, PMO, riwayat pengobatan, pelayanan (sikap petugas) kesehatan, dukungan keluarga dan diskriminasi
dengan melihat gambaran distribusi frekuensi serta persentase tunggal yang terkait dengan tujuan penelitian.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan terkait. Rancangan penelitian ini adalah Case Control Study, maka
dilakukan perhitungan Odds Ratio (OR) dengan mengetahui besarnya OR, dapat diestimasi besarnya risiko dari faktor yang diteliti terhadap
keteraturan berobat, maka digunakan analisis odds ratio melalui tabel 2 x 2.
Tabel 2
Tabel kontingensi 2 x 2
Faktor Risiko Kelompok Studi
Total Kasus Kontrol
+ a b a + b
- c d c + d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
Odds kelompok kasus = a/(a+c) : c/(a+c)= a/c
Odds kelompok kontrol = b/(b+d) : d/(b+d)=b/d
OR =𝑎 𝑥 𝑑
𝑏 𝑥 𝑐
Keterangan :
a = Jumlah kasus dengan risiko positif (+)
b = Jumlah kontrol dengan risiko positif (+)
c = Jumlah kasus dengan risiko negatif (-)
d = Jumlah kontrol dengan risiko negatif (-)
Interpretasi OR :
OR < 1 : Variabel independen sebagai faktor protektif
OR = 1 : Bukan faktor risiko
OR > 1 : Variabel independen merupakan faktor risiko terhadap variabel dependen.
Uji kemaknaan nilai OR, dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
a. Penentuan nilai Confidence Interval (CI) = 95%
b. Penentuan Lower Limit (LL) dan Upper Limit (UL)
c. Interpretasi kebermaknaan:
1. Jika nilai LL dan UL berada di bawah nilai 1 (satu) atau berada di atas nilai 1 (satu), maka nilai OR yang diperoleh mempunyai
pengaruh kebermaknaan.
2. Jika nilai LL dan UL mencakup nilai 1 (satu), maka OR yang diperoleh tidak mempunyai pengaruh kebermaknaan.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di Wilayah Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung Kota Makassar dari tanggal 6 Oktober sampai dengan 27 Oktober 2012.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara primer di mana peneliti melakukan wawancara langsung kepada para pasien dengan menggunakan
kuesioner terhadap kelompok kasus dan kontrol. Data yang terkumpul selanjutnya dilakukan screening data untuk memeriksa kebenaran informasi sesuai
dengan variabel yang diteliti. Pada penelitian ini diperoleh 74 pasien dengan perbandingan kasus dan kontrol 1 : 2 yang terdiri dari 22 pasien yang tidak teratur
berobat berdasarkan jadwal (12 pasien dari Puskesmas Batua dan 10 pasien dari Puskesmas Tamamaung). Sedangkan 52 pasien yang teratur berobat
berdasarkan jadwal (35 pasien dari Puskesmas Batua dan 17 pasien dari Puskesmas Tamamaung).
Data diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pasien dilokasi penelitian. Setelah pelaksanaan penelitian maka selanjutnya dilakukan tahapan
pengolahan data kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan bivariat yang disertai narasi sebagai berikut:
1. Distribusi Karakteristik Pasien
Karakteristik umum pasien dalam penelitian ini mencakup umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan keluarga dapat dilihat pada
tabel 3 dan tabel 4.
a. Karakteristik pasien TB Paru berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 3 :
Tabel 3
Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Pendidikan di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung
Kota Makassar Tahun 2010-2012
Umur, Jenis Kelamin
dan Pendidikan
Perilaku Berobat Total
Tidak Teratur Teratur
N % n % n %
Umur
16-25 tahun 7 31.8 17 32.7 24 32.4
26-35 tahun 3 13.6 12 23.1 15 20.3
36-45 tahun 4 18.1 6 11.5 10 13.6
46-55 tahun 6 27.2 9 17.3 15 20.3
≥56 tahun 2 9.1 8 25.3 10 13.5
Jumlah 22 100 52 100 74 100
Jenis Kelamin
Laki-Laki 13 59.1 29 55.8 42 56.8
Perempuan 9 40.9 23 44.2 32 43.2
Jumlah 22 100 52 100 74 100
Pendidikan
SD/sederajat 2 9.1 8 15.4 10 13.5
SLTP/sederajat 6 27.3 12 23.1 18 24.3
SLTA/sederajat 11 50 25 48.1 36 48.6
D1/D3 1 4.5 3 5.8 4 5.4
S1/S2/S3 2 9.1 4 7.7 6 8.1
Jumlah 22 100 52 100 74 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Tabel 3 menunjukkan bahwa pasien TB Paru dengan kelompok umur terbanyak dalam kelompok pasien yang tidak teratur berobat maupun teratur
berobat yakni pada umur 16-25 tahun masing-masing sebesar 31.8% dan 32.7%. Kemudian kelompok umur terendah yaitu 56 tahun ke atas sebesar 9.1%
di kelompok pasien yang teratur berobat dan kelompok umur 36-45 tahun sebesar 11.5% di kelompok pasien yang teratur berobat. Dari jumlah 74 pasien
yang diwawancarai lebih banyak laki-laki yaitu sebesar 56.8% dibandingkan perempuan yaitu 43.2%. Karakteristik pasien TB Paru berdasarkan pendidikan
menunjukkan bahwa pasien TB Paru dengan tingkat pendidikan terbanyak dalam kelompok pasien yang tidak teratur maupun teratur berobat yakni
SLTA/sederajat masing-masing sebesar 50% dan 48.1%. Dan paling sedikit yang memiliki jenjang pendidikan dalam kelompok pasien yang tidak teratur
maupun teratur berobat yakni D1/D3 sebesar 4.5% dan 5.8%.
b. Karakteristik pasien TB Paru berdasarkan pekerjaan dan penghasilan keluarga dapat dilihat pada tabel 4:
Tabel 4
Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Pekerjaan dan Penghasilan Keluarga di Puskesmas Batua dan Puskesmas Tamamaung
Kota Makassar Tahun 2010-2012
Pekerjaan dan
Penghasilan Keluarga
Perilaku Berobat Total
Tidak Teratur Teratur
n % n % n %
Jenis Pekerjaan
Buruh 4 18.2 6 11.5 10 13.5
PNS 1 4.5 1 1.9 2 2.7
TNI/POLRI 1 4.5 1 1.9 2 2.7
Wiraswasta 5 22.7 13 25 18 24.3
Tukang becak 0 0 1 1.9 1 1.4
Perawat/Dokter 0 0 1 1.9 1 1.4
IRT/Mahasiswa/Pensiunan/
Pengangguran 8 36.4 25 48.1 33 44.6
Dll 3 13.6 4 7.7 7 9.5
Jumlah 22 100 52 100 74 100
Pekerjaan
Tidak bekerja 8 36.4 25 48.1 33 44.6
Bekerja 14 63.6 27 51.9 41 55.4
Jumlah 22 100 52 100 74 100
Jumlah Penghasilan
Keluarga
Rp500.000-Rp1.500.000 14 63.6 22 42.3 36 48.6
Rp1.500.000-Rp2.500.000 4 18.2 19 36.5 23 31.1
Rp2.500.000-Rp3.500.000 2 9.1 4 7.7 6 8.1
>Rp3.500.000 2 9.1 7 13.5 9 12.2
Jumlah 22 100 52 100 74 100
Penghasilan keluarga
Rendah 15 68.2 23 44.2 38 51.4
Tinggi 7 31.8 29 55.8 36 48.6
Jumlah 22 100 52 100 74 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Pengelompokkan pekerjaan berdasarkan ada tidaknya pekerjaan yang dimiliki oleh pasien yang menghasilkan pendapatan untuk kebutuhan pasien
dan keluarga. Pekerjaan pasien dikategorikan bekerja apabila jawaban pekerjaan yang dimiliki oleh pasien berupa buruh, PNS, TNI/POLRI, wiraswasta,
tukang becak, perawat/dokter dan dll (supir) sedangkan tidak bekerja apabila jawaban di luar kriteria bekerja (IRT/Mahasiswa/Pensiunan/Pengangguran).
Tabel 4 menunjukkan bahwa pasien yang tidak teratur berobat memiliki jenis pekerjaan yang menghasilkan pendapatan lebih banyak sebagai
wiraswasta sebesar 22.7% dan terendah PNS dan TNI/POLRI masing-masing sebesar 4.5%. Sedangkan pasien yang teratur berobat memiliki jenis pekerjaan
yang menghasilkan pendapatan lebih banyak sebagai wiraswasta sebesar 25% dan terendah PNS, TNI/POLRI, tukang becak dan dokter/perawat masing-
masing sebesar 1.9%. Karakteristik pasien TB Paru berdasarkan pekerjaan menunjukkan bahwa dari 74 pasien, 44.6% tidak bekerja dan 55.4% memiliki
pekerjaan yang menghasilkan pendapatan.
Karakteristik pasien menurut penghasilan keluarga tidak jauh berbeda. Pasien lebih banyak yang memiliki penghasilan keluarga yang rendah
sebesar 51.4% dibandingkan dengan pasien TB Paru memiliki penghasilan tinggi hanya sebesar 48.6%.
Penghasilan keluarga adalah penghasilan seluruh anggota keluarga dalam sebulan. Tabel 4 menunjukkan bahwa pasien memiliki variasi
penghasilan keluarga. Pasien yang tidak teratur berobat lebih banyak yang memilik