20
Sensitivitas Dan Spesifisitas Skrining Dengan Tes IVA Oleh: Tevi Kristiantoni / 102010283 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat email: [email protected] Pendahuluan Dalam beberapa dekade, angka penderita kanker leher rahim di negara-negara maju mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun terakhir insidens kanker leher rahim turun sekitar 70%. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya program deteksi dini dan tatalaksana yang baik. 2 Sebaliknya, di negara-negara berkembang, angka penderita penyakit ini tidak mengalami penurunan, bahkan justru meningkat akibat populasi yang meningkat. 1,2 Banyak alasan yang menyebabkan masih tingginya angka penderita. Diantara alasan tersebut adalah belum adanya sistem pelayanan yang terorganisasi baik mulai dari deteksi dini sampai penanganan kanker leher rahim stadium lanjut. Selain itu terbatasnya sarana dan prasana termasuk tenaga ahli yang kompeten menangani penyakit ini secara merata menjadi tantangan tersendiri. 1 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada 1

Skrining IVA Makalah Tepi

  • Upload
    xoxothe

  • View
    666

  • Download
    7

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah

Citation preview

Sensitivitas Dan Spesifisitas Skrining Dengan Tes IVA

Oleh:

Tevi Kristiantoni / 102010283

Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat

email: [email protected]

Pendahuluan

Dalam beberapa dekade, angka penderita kanker leher rahim di negara-negara maju

mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun terakhir insidens

kanker leher rahim turun sekitar 70%. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya program

deteksi dini dan tatalaksana yang baik.2 Sebaliknya, di negara-negara berkembang, angka

penderita penyakit ini tidak mengalami penurunan, bahkan justru meningkat akibat populasi

yang meningkat.1,2 Banyak alasan yang menyebabkan masih tingginya angka penderita.

Diantara alasan tersebut adalah belum adanya sistem pelayanan yang terorganisasi baik mulai

dari deteksi dini sampai penanganan kanker leher rahim stadium lanjut. Selain itu

terbatasnya sarana dan prasana termasuk tenaga ahli yang kompeten menangani penyakit ini

secara merata menjadi tantangan tersendiri.1

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan leher rahim (serviks).

Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan

sel-sel epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal (membrana basalis).1

Etiologi

Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh satu atau lebih

virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi menyebabkan

kanker leher rahim yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease).

Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tigapuluhan,

walaupun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya. Infeksi virus HPV

1

yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16 dan 18. Dimana HPV tipe 16 dan 18

ditemukan pada sekitar 70% kasus. Infeksi HPV tipe ini dapat mengakibatkan perubahan sel-

sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/

LISDT) yang merupakan lesi prakanker. Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah

menyebabkan kanker (tipe non-onkogenik).1,3

Faktor risiko yang potensial menyebabkan terjadinya kanker leher rahim adalah.4

a. Melakukan hubungan seks pada usia muda

b. Sering berganti-ganti pasangan dan dan memiliki pasangan yang suka berganti-

ganti pasangan

c. Sering menderita infeksi di daerah kelamin terutama infeksi oleh virus HPV (

Human Papilloma Virus),

d. Melahirkan banyak anak

e. Kebiasaan merokok (risiko 2x lebih besar).

Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari

25 tahun.1

Perjalanan Alamiah Kanker Leher rahim

Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel skuamosa serviks.

Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk sel baru hasil transformasi dengan

partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal ini berlanjut maka terbentuklah lesi

prekanker dan lebih lanjut menjadi kanker. Sebagian besar kasus displasia sel servix sembuh

dengan sendirinya, sementara hanya sekitar 10% yang berubah menjadi displasia sedang dan

berat. 50% kasus displasia berat berubah menjadi karsinoma. Biasanya waktu yang

dibutuhkan suatu lesi displasia menjadi keganasan adalah 10-20 tahun.1

Kanker leher rahim invasif berawal dari lesi displasia sel-sel leher rahim yang kemudian

berkembang menjadi displasia tingkat lanjut, karsinoma in-situ dan akhirnya kanker invasif.

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa prekursor kanker adalah lesi displasia tingkat lanjut

(high-grade dysplasia) yang sebagian kecilnya akan berubah menjadi kanker invasif dalam

10-15 tahun, sementara displasia tingkat rendah (low-grade dysplasia) mengalami regresi

spontan.4

2

Gambar 1. Patofisiologi kanker cerviks.1

NIS : Neoplasma Intraepitel Serviks.

Skrining Kanker Serviks

Berbagai metode skrining kanker leher telah dikenal dan diaplikasikan, dimulai sejak tahun

1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu dikembangkan metode visual dengan

gineskopi, atau servikografi. Hingga penerapan metode yang dianggap murah yaitu dengan tes

IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat). Skrining DNA HPV juga ditujukan untuk

mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif, dan memprediksi seorang

perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks.5

Pengertian Penyaringan kasus atau Skrining

Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak menunjukkan gejala

dengan tujuan mengelompokkan mereka ke dalam kelompok yang mungkin menderita

penyakit tertentu. Skrining merupakan deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat

diagnostik. bila hasil skrining positif, akan diikuti uji diagnostik atau prosedur untuk

memastikan adanya penyakit. 2

Tujuan Skrining

Tujuan skrining adalah untuk mendapatkan keadaan penyakit dalam keadaan dini untuk

memperbaiki prognosis, karena pengobatan dilakukan sebelum penyakit mempunyai

manifestasi klinis. 3

3

Tujuan skrining secara lengkap :

Mendeteksi seseorang sedini mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh

pengobatan. 

Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakal dengan mendidik dan membiasakan

masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin. 

Mendapat keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinisi dan peneliti. 

Syarat-syarat Skrining

Jika ingin melakukan skrining terhadap suatu penyakit atau masalah, maka ada beberapa

syarat yang harus dipenuhi, diantara nya : 4

o Tes harus cukup sensitive dan spesifik

o Tes dapat diterima oleh masyarakat, aman, tidak berbahaya, cukup murah, dan

sederhana.

o Penyakit atau masalah yang akan diskrining merupakan masalah yang cukup serius,

plevalensi nya cukup tinggi, merupakan masalah kesehatan masyarakat.

o Kebijakan, intervensi atau pengobatan yang akan dilakukan setelah dilaksanakan

skrining harus jelas.

Jenis-jenis skrining

Ada beberapa macam skrining, dianatara nya :

Mass Screening

Penyaringan yang melibatkan populasi secara keseluruhan, atau screening secara

masal pada masyarakat tertentu. 2

Contoh: screening prakanker leher rahim dengan metode IVA pada 22.000 wanita

Selective Screening

Screening secara selektif berdasarkan kriteria tertentu.

Contoh pemeriksaan ca paru pada perokok.

Single Disease Screening : screening yang dilakukan untuk satu jenis penyakit .

Penyaringan Multiple / Multiphase Screening

4

Penyaringan yang dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik uji

penyaringan pada saat yang sama. 4

Contoh: skrining pada penyakit aids

Penyaringan yang ditargetkan

Penyaringan yang dilakukan pada kelompok yang terkena paparan yang spesifik.

Contoh : Screening pada pekerja pabrik yang terpapar dengan bahan Timbal.

Penyaringan Oportunistik

Penyaringan yang dilakukan hanya terbatas pada penderita - penderita yang

berkonsultasi kepada praktisi kesehatan. 4

Contoh: screening pada klien yang berkonsultasi kepada seorang dokter.

Kriteria evaluasi skrining

Suatu alat (test) skrining yang baik adalah yang mempunyai tingkat validitas dan reliabilitas

yang tinggi yaitu mendekati 100%. Selain kedua nilai tersebut, dalam memilih tes untuk

skrining dibutuhkan juga nilai prediktif (Predictive Values). Validitas adalah kemampuan dari

test penyaringan untuk memisahkan mereka yang benar sakit terhadap yang sehat. Validitas

merupakan petunjuk tentang kemampuan suatu alat ukur (test) dapat mengukur secara benar

dan tepat apa yang akan diukur. Validitas mempunyai 2 komponen, yaitu : 3

a. sensitivitas : kemampuan untuk menentukkan orang sakit.

b. spesifisitas : kemampuan untuk menentukan orang yang tidak sakit.

Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan dengan alat diagnostik di luar tes

penyaringan Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yakni bila

sensitivitas meningkat, maka spesivitas akan menurun dan begitu pula sebaliknya. Untuk

menentukan batas standar yang digunakan pada tes penyaringan, harus ditentukan tujuan

penyaringan apakah mengutamakan semua penderita terjaring termasuk yang tidak menderita,

ataukah mengarah pada mereka yang betul-betul sehat. 3

Sedangkan reliabilitas adalah kemampuan suatu tes memberikan hasil yang sama/konsisten

bila tes diterapkan lebih dari satu kali sasaran (objek) sama dan pada kondisi yang sama pula.

Kesalahan (bias) dalam reliabilitas dipengaruhi oleh variasi observer, yaitu bias intraobserver

dan bias interobserver. Bias intraobserver adalah bias yang terjadi karena satu observer

5

menginterpretasi berbeda terhadap satu hasil test dalam waktu yang berbeda. Sedangkan bias

interobserver terjadi akibat dua observer menginterpretasi satu hasil test yang berbeda.

Nilai prediktif adalah besarnya kemungkinan dengan menggunakan nilai sensitivitas dan

spesivitas serta prevalensi dengan proporsi penduduk yang menderita. Nilai prediktif dapat

positif artinya mereka dengan tes positif juga menderita penyakit, sedangkan nilai prediktif

negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata tidak menderita penyakit. Nilai

prediktif positif sangat dipengaruhi oleh besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat

dengan ketentuan, makin tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula nilai

prediktif positif dan sebaliknya. 3

Proses Penyaringan atau Skrining

Langkah-langkah yang ditempuh pada penyaringan secara garis besarnya dapat dibedakan

atas lima tahap, yakni :

a. Tahap menetapkan macam masalah kesehatan yang ingin diketahui.

Berbeda dengan survai khusus penyakit yang tidak perlu menentukan macam

masalah kesehatan yang akan dikumpulkan datanya, maka pada penyaringan

kasus, langkah pertama yang harus dilakukan ialah menetapkan macam masalah

kesehatan yang ingin diketahui.5

Agar pengumpulan data tentang masalah kesehatan tersebut tepat dan lengkap,

perlu dikumpulkan dahulu berbagai keterangan yang ada hubungannya dengan

masalah kesehatan tersebut. Keterangan-keterangan yang diperoleh harus

diseleksii dan setelah itu harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi jelas

kriteria penyakit yang akan dicari.

b. Tahap menetapkan cara pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam

penemuan masalah kesehatan.

Langkah selanjutnya yang ditempuh ialah menetapkan cara pengumpulan data

(jenis pemeriksaan = test) yang akan dipergunakan. Sebagaimana telah

dikemukan, baik atau tidaknya hasil penyaringan ini tergantung dari validitas cara

pengumpulan data yang dipilih. Cara pengumpulan data yang baik ialah yang

sensitivitas dan sensifisitasnya tinggi.5

c. Tahap menetapkan kelompok masyarakat yang akan dikumpulkan datanya.

Hal lainnya yang dilakukan pada penyaringan ialah menetapkan kelompok

masyarakat yang akan dikumpulkan datanya yakni yang menyangkut sumber data, 6

kriteria responden, jumlah sampel, dan cara pengambilan sampel, sebagaimana

yang dilakukan pada survai penyakit.

Apabila yang ingin diketahui adalah masalah kesehatan, berupa penyakit kanker

cerviks tentu kelompok masyarakat yang dipilih adalah kaum wanita. Sebaliknya

bila yang ingin diketahui penyakit kanker prostat, maka masyarakat yang dipilih

adalah kaum pria. Betapa pun berbedanya kelompok masyarakat yang dipilih

tersebut perlu diingat bahwa pada penyaringan, penemuan masalah kesehatan hari

dilakukan dari kelompok masyarakat yang sehat.5

d. Tahap melakukan penyaringan

Apabila kelompok masyarakat telah ditentukan, dilanjutkan dengan melakukan

penyaringan (screening) terhadap masalah kesehatan yang ingin dicari. Pekerjaan

yang dilakukan disini identik dengan melakukan pengumpulan data sebagaimana

pada survai penyakit.

Tidak sulit dipahami bahwa penyaringan (screening) tersebut dilakukan dengan

memanfaatkan kriteria masalah kesehatan serta cara pengumpulan data yang telah

ditetapkan sebelumnya. Hasil dari pekerjaan penyaringan ini ialah ditemukannya

kelompok masyarakat yang diduga menderita masalah kesehatan yang harus

dipisahkan dari kelompok masyarakat yang tidak mempunyai masalah kesehatan.5

e. Tahap mempertajam penyaringan

Terhadap kelompok masyarakat yang dicurigai menderita masalah kesehatan yang

sedang dicari, dilakukan penyaringan lagi, maksudnya ialah untuk mempertajam

hasil penyaringan, sehingga diperoleh kelompok masyarakat yang benar-benar

menderita masalah kesehatan yang ingin diketahui.5

f. Tahap penyusunan laporan dan tindak lanjut

Setelah dipastikan tidak ada jenis masalah kesehatan lain yang tercampur dalam

kelompok masyarakat yang disaring, pekerjaan selanjutnya ialah mengolah data

yang diperoleh untuk kemudian disusun laporan seperlunya.5

Patut disampaikan disini, bahwa kepada anggota masyarakat yang terbukti

menderita masalah kesehatan yang dicari, perlu ditindak lanjuti berupa pemberian

pengobatan untuk mengatasi masalah kesehatan yang diderita.

Hasil dari pekerjaan penyaringan adalah berupa data tentang masalah kesehatan

yang ingin diketahui. Selanjutnya dari hasil pengolahan data, dapat pula diketahui

7

nilai sensitivitas serta nilai spesifisitas dari jenis pemeriksaan yang dipergunakan,

disamping beberapa nilai lainnya seperti nilai :5

True positive yang menunjuk pada banyaknya kasus yang benar-benar

menderita penyakit dengan hasil tes positif pula.

False positive yang menunjukkan pada banyaknya kasus yang

sebenarnya tidak sakit tetapi test menunjukkan hasil yang positif.

True negatif menunjukkan pada banyaknya kasus yang tidak sakit

dengan hasil test yang negatif pula.

False negative yang menunjuk pada banyaknya kasus yang sebenarnya

menderita penyakit tetapi hasil test negatif.

Postif predictive value yang menunjukkan kemampuan suatu tes untuk

mengidentifikasikan orang yang benar-benar sakit dari hasil skrining

yang postif.

Negatif predicted value yang menunjukkan kemampuan suatu tes

mengidentifikasi orang yang benar-benar sehat dari hasil skrining

yang negatif.

Contoh :

Dari suatu penyaringan yang dilakukan untuk penyakit A dengan mempergunakan jenis

pemeriksaan B ditemukan hasil sebagai berikut (lihat tabel 1) :

Tabel 1. Hubungan penyakit dan hasil pemeriksaan.

PENYAKIT JUMLAH

POSITIF NEGATIF

HASIL

PEMERIKSAAN

POSITIF A B A + B

NEGATIF C D C + D

JUMLAH A + C B + D A+B+C+D

Dari tabel diatas dapat dihitung nilai-nilai yang dimaksud yakni : 5

Sensitivitas :

8

Spesifisitas :

True positive : A

False positive : % False positive :

True negative : D

False negative : % False negative :

Postif predictive value :

Negatif predictive value :

Aplikasi Kasus

Dari kasus yang didapat maka dapat dimasukkan ke dalam tabel (lihat tabel 2), Dan kemudian

dapat didapatkan nilai-nilainya, yaitu :

Tabel 2. Hubungan penyakit ca serviks dengan tes IVA postif.

Ca serviks JUMLAH

POSITIF NEGATIF

TES

IVA

POSITIF 6 24 30

NEGATIF 3 67 70

JUMLAH 9 91 100

Nilai-nilai dari kasus :

Sensitivitas : = 67%

9

Spesifisitas :

True positive : 6

False positive : (% FP = 0,26 = 26%)

True negative : 67

False negative : 3 (% FN 33%)

Postif predictive value : = 20%

Negatif predictive value :

Sasaran yang akan menjalani skrining

Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya

skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan

efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas. WHO mengindikasikan skrining

dilakukan pada kelompok berikut.1

Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani

tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau

lebih.

Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya

Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca

sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala

abnormal lainnya

Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya

Skrining test dalam upaya kesehatan masyarakat bertujuan untuk:

menurunkan angka kesakitan dan kematian.

Meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Menurunkan case fatality penyakit yang diskrining.

10

Meningkatkan presentase kasus yang terdeteksi secara dini.

Menurunkan komplikasi penyakit.

Mencegah dan atau mengurangi metastasis.

Dasar Pemeriksaan IVA

Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang pemeriksanya

(dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-

5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang.5

Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas

leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%. Pemberian asam

asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas

cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari

intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai

akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke

stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih,

disebut juga epitel putih (acetowhite).2,5

Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah

pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal

ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama

menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein

lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, main tinggi derajat kelainan jaringannya.

Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim

yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut.

Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan

didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih

(mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan

merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses keratosis.2,5

Teknik Pemeriksaan IVA dan Interpretasi

Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi

prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila

11

ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan

namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Perempuan yang sudah menopause tidak

direkomendasikan menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher

rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoserviks rahim dalam kanalis servikalis

sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.5

Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan spekulum

dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi leher rahimnya. Setiap

abnormalitas yang ditemukan, bila ada, dicatat. Kemudian leher rahim dioles dengan larutan

asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit. Setelah itu dilihat hasilnya.

Leher rahim yang normal akan tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif bila

ditemukan area, plak atau ulkus yang berwarna putih.48,60 Lesi prakanker ringan/jinak (NIS

1) menunjukkan lesi putih pucat yang bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar.

Lesi yang lebih parah (NIS 2-3 seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang

tegas, dimana salah satu tepinya selalu berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar

(SSK).5

Pelaksana IVA dan Pelatihan Tenaga Kesehatan

Pemeriksaam IVA dapat dilakukan oleh tenaga perawat yang sudah terlatih, oleh bidan, dokter

umum atau oleh dokter spesialis.4

Adapun pelatihannya, telah ada kesepakatan antara beberapa pihak yang berpengalaman dan

berkecimpung dalam kegiatan pelatihan deteksi dini dengan metode IVA ini, hingga

disepakati pelatihan IVA selama 5 (lima) hari. Dua hari untuk pembekalan teori dan juga 'dry

workshop', adapun tiga hari untuk pelatihan di klinik dan di lapangan bersifat 'wet workshop',

dalam artian latihan dengan memeriksa langsung pada klien. Sangat disarankan setelah

pelatihan tersebut tetap dilanjutkan dengan pendampingan atau supervisi, hingga dapat

dicapai suatu kemampuan yang dinilai kompeten jika personil yang bersangkutan telah

melakukan pemriksaan IVA pada 100 orang klien dan mendapatkan 3 (tiga) hasil

pemeriksaan yang positif dan benar.4

Syarat-syarat yang sebaiknya diperhatikan jika akan melakukan skrining antara lain: tes

harus cukup sensitif dan spesifik; tes dapat diterima oleh masyarakat (aman, murah,

12

sederhana); penyakit atau masalah yang akan diskrining merupakan masalah yang cukup

serius (prevalensinya cukup tinggi, merupakan masalah kesehatan masyarakat); kebijakan,

intervensi atau pengobatan yang akan dilakukan setelah dilaksanakan skrining harus jelas,

bila tidak hasil skrining sia-sia belaka.4

Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa skrining dengan metode IVA lebih mudah,

praktis dan lebih sederhana, mudah, nyaman, praktis dan murah. Pada tabel dibawah ini dapat

dilihat perbandingkan antara pap smear dan IVA dalam berbagai aspek pelayanan.1,2

Kesimpulan

1. Dalam penerapan di pelayanan primer yang lebih luas, metode IVA

direkomendasikan menjadi metode skrining alternatif pada kondisi yang tidak

memungkinkan dilakukan pemeriksaan yang berbasis sitologi selain test Pap.

2. Sasaran skrining IVA adalah perempuan usia 30-50 tahun. Pada usia diatas 50 tahun,

atau sudah menopause, dianjurkan untuk melakukan skrining yang berbasis sitologi.

Bila tes Pap tidak mungkin dilakukan, tetap dianjurkan melakukan pemeriksaan

inspekulo.

3. Pelaksana skrining IVA dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih.

4. Kasus dengan hasil IVA positif dirujuk untuk mendapat penatalaksanaan lebih lanjut.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Comprehensive cervical cancer control. A Guide to

Essential Practice. Geneva : WHO; 2006.

2. Sankaranarayanan R, Budukh AM, Rajkumar R, Effective Screening programmes for

cervical cancer in low- and middle-income developing countries. Bulletin of the World

Health Organization; 2001.h.954-62.

3. Petignat P, Roy M.. Diagnosis and management of cervical cancer. BMJ

2007.h.765-8.

4. Rasjidi I. Manual prakanker serviks. Jakarta : Sagung Seto; 2008.h.45-52.

5. Azwar A. Pengantar epidemiologi. Jakarta : Binarupa Aksara; 2001.h.61-4.

6. Sjamsuddin S. Terapi destruksi local pada neoplasia intraepitel serviks. Dalam :

Sjamsuddin S, Indarti J. Kolposkopi dan neoplasia intraepitel serviks. Edisi ke-2.

Jakarta: Perhimpunan Patologi Serviks dan Kolposkopi Indonesia; 2004.h.90-8.13

14