15
, March 8, 2010 Pengertian Negara Hukum Kali ini saya akan sedikit membedah pengertian negara hukum  Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis  maupun  berdasarkan hukum tidak tertulis. keabsahan negara memrintah ada yang mengatakan  bahwa karena negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri diatas semua golongan masyarakat, dan mengabdi kepada kepentingan umum. namun dalam  prakteknya tidak jarang sitilah-istilah " demi kepentingan umum", "  pembangunan untuk  seluruh masyarakat ", "negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya ", serta ungkapan ucapan lain yang sepadan selalu dikumandangkan dalam pernyataan-  pernyataan politik para petinggi negara, dapat saja dipakai sebagai pembenaran terhadap  penggunaan kekuasaan negara untuk memaksa seseorangatau sekelompok warga agar  bersedia mematuhi keinginan negara. Konsep negara hukum sangat terkait dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. dalam literatur lama pada dasarnya sistem hukum di dunia ini dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu sistem hukum kontinental dan sistem hukum anglo saxon, sehingga kedua sistem hukum itu seolah-olah membelah dunia kita ini menjadi dua kubu. sedangkan tulisan-tulisan yang akan datang kemudian mengatakan selain kedua sistem hukum diatas terdapat juga sistem hukum lain seperti sistem hukum islam, sistem hukum sosialis  dan lain-lain. pengelompokkan itu menurut  prof.  Bagir Manan lebih bercorak historis atau akademik. dalam kenyataannya akan dijumpai hal-hal sebagai berikut : 1. terdapat sistem-sistem hukum suatu negara! yang sekaligus mengandung ciri-ciri tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum anglo saxon atau gabungan antara tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum sosialis , ataupun gabungan antara hukum anglo saxon dan tradisi hukum sosialis . . terdapat sistem-sistem hukum yang tidak dapat digolongkan kedalam salah satu dari tiga kelompok diatas misalnya negara-negara yang mengidenti#ikasikan diri dengan tradisi hukum menurut ajaran islam the moslem legal tradition!.  philips m. hadjon hanya mengemukakan $ tiga! macam konsep negara hukum, yaitu% rechtsstaat, the rule o# law, dan negara hukum pancasila. dewasa ini menurut &. 'ahir ()hary dalam kepustakaan ditemukan lima macam konsep negara yaitu: 1. nomokrasi islam% adalah konsep negara hukum yang pada umumnya diterapkan di negara-negara islam. . rechtsstaat% adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara eropa kontinental, misalnya% belanda, perancis dan jerman. $. rule o# law% adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara anglo saxon, seperti% inggris dan amerika serikat *. social legality% adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara komunis. +. konsep negara hukum pancasila% adalah konsep negara hukum yang diterapkan di indonesia.  pada posting selanjutanya saya akan membahas tentang arti-arti dari beberapa konsep- konsep negara hukum menurut &. 'ahir ()hary. Dalam literatur hukum, ada empat sistem hukum dunia yg paling dominan:

Sistem Hukum Sosialis Dan Kapitalis 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sosial dan kaplital

Citation preview

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

, March 8, 2010

Pengertian Negara Hukum

Kali ini saya akan sedikit membedah pengertian negara hukumNegara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. keabsahan negara memrintah ada yang mengatakan bahwa karena negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri diatas semua golongan masyarakat, dan mengabdi kepada kepentingan umum. namun dalam prakteknya tidak jarang sitilah-istilah "demi kepentingan umum", "pembangunan untuk seluruh masyarakat", "negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya", serta ungkapan ucapan lain yang sepadan selalu dikumandangkan dalam pernyataan-pernyataan politik para petinggi negara, dapat saja dipakai sebagai pembenaran terhadap penggunaan kekuasaan negara untuk memaksa seseorangatau sekelompok warga agar bersedia mematuhi keinginan negara.

Konsep negara hukum sangat terkait dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. dalam literatur lama pada dasarnya sistem hukum di dunia ini dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu sistem hukum kontinental dan sistem hukum anglo saxon, sehingga kedua sistem hukum itu seolah-olah membelah dunia kita ini menjadi dua kubu. sedangkan tulisan-tulisan yang akan datang kemudian mengatakan selain kedua sistem hukum diatas terdapat juga sistem hukum lain seperti sistem hukum islam, sistem hukum sosialis dan lain-lain. pengelompokkan itu menurut prof. Bagir Manan lebih bercorak historis atau akademik. dalam kenyataannya akan dijumpai hal-hal sebagai berikut :1. terdapat sistem-sistem hukum (suatu negara) yang sekaligus mengandung ciri-ciri tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum anglo saxon atau gabungan antara tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum sosialis, ataupun gabungan antara hukum anglo saxon dan tradisi hukum sosialis.2. terdapat sistem-sistem hukum yang tidak dapat digolongkan kedalam salah satu dari tiga kelompok diatas misalnya negara-negara yang mengidentifikasikan diri dengan tradisi hukum menurut ajaran islam (the moslem legal tradition).philips m. hadjon hanya mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum, yaitu; rechtsstaat, the rule of law, dan negara hukum pancasila. dewasa ini menurut M. Tahir Azhary dalam kepustakaan ditemukan lima macam konsep negara yaitu:1. nomokrasi islam; adalah konsep negara hukum yang pada umumnya diterapkan di negara-negara islam.2. rechtsstaat; adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara eropa kontinental, misalnya; belanda, perancis dan jerman.3. rule of law; adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara anglo saxon, seperti; inggris dan amerika serikat4. social legality; adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara komunis.5. konsep negara hukum pancasila; adalah konsep negara hukum yang diterapkan di indonesia.

pada posting selanjutanya saya akan membahas tentang arti-arti dari beberapa konsep-konsep negara hukum menurut M. Tahir Azhary.

Dalam literatur hukum, ada empat sistem hukum dunia yg paling dominan:civil law, disebut juga sistem hukum Eropa-Kontinental, banyak diterapkan di negara2 Eropa daratan dan bekas jajahannya (seperti Indonesia yg menerapkan civil law yg dibawa Belanda)common law, disebut juga case law atau sistem hukum Anglo-Sakson, diterapkan di Inggris dan negara2 bekas jajahannyaIslamic law (hukum Islam)socialist law (hukum sosialis)Kedua istilah 'civil law' dan 'common law' dalam literatur hukum Indonesia tidak diterjemahkan karena memang sulit mencari padanan langsungnya.Namun demikian, menurut definisinya:common law = hukum yg dibuat berdasarkan adat/tradisi yg berlaku dalam masyarakat dan keputusan hakim. Pada mulanya, sistem hukum ini tidak tertulis.civil law = hukum yg dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yg dilakukan lembaga legislatif. Berbeda dg common law, civil law sejak awal pembuatannya sudah merupakan sistem hukum tertulis.Karena ciri khas dan kompleksitasnya istilah 'common law' dipertahankan dan tidak diterjemahkan.Kalau diterjemahkan 'hukum adat' bisa rancu dg 'hukum adat' (adat/customary law) yg diakui keberadaannya di Indonesia.Kalau diterjemahkan 'hukum tak tertulis', tidak sesuai lagi dg kenyataan sekarang bahwa 'common law' sudah menjadi hukum tertulis.Kalau diterjemahkan 'hukum kasus' (case law), makna asalnya jadi berkurang karena sebenarnya istilah 'case law' tsb hanyalah sebutan lain dari 'common law' dan tentu saja kurang populer daripada 'common law'.Dg semua pertimbangan tsb dan juga fakta bahwa literatur hukum Indonesia tetap mempertahankan istilah 'common law' tanpa diterjemahkan, saya mengusulkan istilah tsb tidak perlu diterjemahkan karena berpotensi mengurangi dan mengaburkan makna yg dimaksud.

Ref.:Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Globalisasi dan HukumPerbandinganDitulis oleh Tia di/pada Desember 14, 2008

Bab 7Globalisasi dan hukum perbandingan

1. Mr. Palomar Tokoh yang dibuat oleh Calvino tentang Mr. Palomar adalah orang yang mencari kunci untuk menguasai kompleksitas dunia dengan menguranginya (mereduksi) menjadi mekanisme yang paling sederhana. Konsep Mr. Palomar ini berusaha menyederhanakan segala sesuatu untuk dapat memahaminya.

Di era globalisasi, kita dipaksa untuk menitikberatkan perhatian pada keseluruhan dunia fenomena hukum. Di dunia yang semakin saling ketergantungan satu sama lain, hampir semua studi hukum menjadi kosmpolitan. Bagi studi hukum kosmopolitan, ada kebutuhan terhadap kebangkitan jurisprudens umum dan pemikiran ulang tentang hukum perbandingan dari perspektif global.

2. Hukum Perbandingan: Pandangan Pihak Luar Literatur sekunder tentang hukum perbandingan dapat diringkas dalam empat proposisi atau hipotesis. Pertama, literatur sekunder yang menunjukkan gejala-gejala disiplin marjinal baru yang berusaha untuk membuat dokumentasi resmi dalam hal penghormatan intelektual, manfaat praktis, dan relevansi. Kedua, dalam 20 tahun terakhir hukum perbandingan memiliki keragaman praktek untuk mencakup berbagai bidang hukum melampaui fokus tradisional pada hukum perdata, terutama kewajiban; tetapi membuat teori tentang subyek telah tidak sejalan dengan perkembangan-perkembangan ini. Ketiga, studi mikro-komparatif telah mendominasi hukum perbandingan yang melembaga; terutama dalam tradisi Anglo-Amerika. Dan keempat, hukum perbandingan dan teori hukum di era modern telah terpisah: beberapa ahli jurisprudens kanonik modern telah memberikan banyak perhatian pada hukum perbandingan dan masalah teoritisnya; sebaliknya, beberapa ahli hukum perbandingan utama telah banyak menggunakan jurisprudens modern.

Studi komparatif (perbandingan) harus menjadi pusat disiplin ilmu kosmopolitan di akhir abad 20; membangun gambaran hukum yang akurat dan koheren di dunia adalah tugas utama jurisprudens umum; perbandingan dan generalisasi dalam hukum dipenuhi dengan kesulitan teoritis dan, pada gilirannya, teori hukum perlu mengambil wawasan yang diberikan oleh hasil perbandingan yang terperinci. Singkatnya, hukum perbandingan dan teori hukum membutuhkan satu sama lain.

Tulisan sekunder standar tentang hukum perbandingan membedakan antara dua pendekatan utama: studi perbandingan makro yang ditunjukkan oleh pendekatan Sistem Besar (Grands Systemes) dari Rene David dan lainnya, dan studi perbandingan mikro yang biasanya digambarkan sebagai mendekati tipe ideal yang disebut Tradisi Negara dan Barat.

3. Perbandingan Makro: Perdebatan The Grands Systemes Pembagian kadang-kadang dilakukan dalam hukum perbandingan antara studi keluarga hukum dan perbandingan terperinci dari aspek-aspek doktrin hukum tertentu. Ini mencerminkan pembagian antara studi perbandingan makro dan mikro. Ini terkadang dianggap sebagai dua usaha yang berbeda, tetapi semua ahli hukum perbandingan tahu bahwa ada banyak tingkatan perbandingan yang saling berkaitan dan bahwa hampir semua pekerjaan harus dilakukan pada sejumlaah tingkatan yang tidak dapat dipisahkan. Perlu untuk membedakan antara dua bentuk tersebut karena dalam praktek mereka sering memiliki tujuan-tujuan yang berbeda dan disajikan kepada pihak yang berbeda.

Studi keluarga hukum kadang-kadang disamakan dengan pendekatan The Grands Systemes. Ini berkembang dalam dua konteks utama: kursus pengantar yang dirancang untuk memberikan mahasiswa hukum suatu tinjauan (atau peta) hukum di dunia dan Ensiklopedia Hukum Perbandingan Internasional. Jika tujuan utama disiplin ilmu hukum adalah untuk memajukan pengetahuan dan pemahaman tentang masalah pokoknya, maka pasti salah satu aspeknya harus merupakan aspirasi untuk membangun gambaran total yang akurat dan lengkap tentang hukum di dunia.

Tradisi The Grands Systemes secara umum tidak menangani hal ini. Salah satu alasannya adalah bahwa tradisi ini telah terjebak dalam perdebatan panjang tentang bagaimana mengelompokkan sistem hukum (tatanan) utama di dunia. Zweigert dan Kotz telah menolak upaya untuk menggunakan ras atau lokasi geografis atau hubungan produksi atau ideologi sebagai kriteria utama, membatasi ide pada gaya pemikiran hukum yang dominan tentang sistem hukum kehidupan modern. Mereka mengidentifikasi lima faktor sebagai sentral gaya keluarga hukum: (1) latarbelakang atau perkembangan sejarah, (2) keutamaannya dan karakteristik cara berpikir dalam masalah hukum, (3) terutama lembaga-lembaga hukum yang berbeda, (4) jenis-jenis sumber hukum yang diakui dan cara menanganinya, (5) ideologinya.

Berdasarkan kriteria-kriteria ini, Zweigert dan Kotz mengelompokkan sistem-sistem hukum menjadi delapan kelompok atau keluarga: keluarga Romanistik (Romawi), keluarga Nordik, keluarga Common law, keluarga sosialis, sistem Timur Jauh, sistem Islam, dan hukum Hindu.

Ini merupakan kategorisasi yang aneh. Skema Zweigert dan Kotz dianggap kurang memuaskan. Taksonomi yang memuaskan perlu memiliki tujuan yang didefinisikan dengan jelas; unit-unit perbandingan yang jelas; pembedaan yang tepat dan pasti; dan spesies yang tidak tumpang tindih yang menghabiskan genusnya. Di dalam keluarga hukum memperdebatkan kondisi-kondisi ini yang secara umum tidak dipenuhi.

Pertama, tujuan. Penggunaan yang paling umum adalah untuk memperkenalkan hukum secara umum atau sistem hukum tertentu bagi mahasiswa hukum pemula atau sebagai pengenalan dasar bagi hukum perbandingan atau bagi pembaca non-spesialis. Pemetaan pengenalan tersebut dapat berfungsi dalam memberikan konteks umum bagi studi-studi khusus. Untuk tujuan sederhana tersebut, tinjauan yang mentah mungkin sudah cukup; dapat berupa berbagai hal, dan nilai relatif dari taksonomi yang berbeda jarang membutuhkan perhatikan teoritis yang serius. Namun, untuk tujuan mengembangkan jurisprudens umum modern, pendekatan untuk membangun gambaran total hukum di dunia perlu lebih sistematik dan akurat.

Kedua, tingkat-tingkat perbandingan. Jika daftar calon untuk memetakan mencakup berbagai bentuk hukum non-negara dan sistem negara nasional dan sub-nasional, maka sulit untuk menemukan satu dasar tunggal untuk mengelompokkan mereka: hukum Skotlandia, hukum New York, hukum Islam, hukum Pasagarda, dan hukum Uni Eropa bukan merupakan spesies dari satu genus tunggal. Beberapa calon untuk dimasukan dalam peta hukum dunia yang komprehensif tidak melihat batas-batas negara: misalnya hukum Islam, lex mercatoria, hukuk kanon (norma), atau hukum Romawi, calon-calon lain seperti hukum Uni Eropa dan hukum Internasional Publik melampaui batasan negara tetapi sangat berhubungan dengan negara-negara berdaulat; seperti hukum Mississippi atau hukum Dinka atau Maori terbatas dalam batasan negara. Untuk menggambarkan tatanan hukum berkaitan dengan hubungan global, internasional, transnasional, regional atau lokal dan nasional, membutuhkan pembedaan tingkat-tingkat klasifikasi (pengelompokan). Masing-masing tingkat membutuhkan pembedaan/pembagian tersendiri. Taksonomi yang paling standar terbatas pada satu atau dua tingkat, biasanya hukum publik atau agama.

Ketiga, bahkan asumsi bahwa fokus ada pada hukum negara, tidak jelas apakah unit-unit perbandingan, apa yang dibandingkan, adalah sistem, tatanan, budaya atau tradisi. Kadang ini semua berjalan bersamaan sehingga pengelompokan tidak mengandung spesies dari satu genus tunggal. Dengan kata lain, tidak jelas keluarga hukum merupakan keluarga apa. Banyak ahli hukum perbandingan yang secara langsung maupun tidak langsung menganggap sistem hukum sebagai unit perbandingan. Namun istilah yang digunakan sangat membingungkan: hukum Jerman, hukum Islam dan hukum Afrika adalah sistem hukum dalam pengertian yang berbeda. Jika sistem hukum digunakan dalam arti yang tepat, misalnya sistem hukum negara dari semua anggota PBB atau tatanan hukum yang memenuhi beberapa kriteria jurisprudens bagi eksistensi sistem hukum, maka tidak mungkin untuk mengakomodir beberapa calon standar seperti hukum Islam, Hindu atau Afrika. Jika tradisi atau budaya disubstitusi, pengertiannya tidak jelas sehingga memunculkan penolakan untuk menggunakan mereka bagi sistem pengelompokan yang tepat dan bermanfaat.

Hukum Hindu dapat diinterpretasikan sebagai sistem konsep dan prinsip, tetapi bukan sebagai sistem hukum negara. Meski ada beberapa negara Islam, hukum Islam tidak terbatas pada negara tersebut. Hukum Islam dapat dilihat dari berbagai perspektif: misalnya, sistem norma, atau sebagai kumpulan ide, atau sebagai budaya yang mencakup praktek dan gaya serta ide interpretatif , atau sebagai tradisi yang mencakup perubahan atau perkembangan sepanjang waktu sehubungan dengan semua ini bahkan dalam sistem yang diputuskan oleh Tuhan. Jika melihat hukum Islam di Arab Saudi atau Sudan atau Malaysia atau Inggris, untuk memahaminya perlu melihat sejarah, lembaga, penduduk, dan praktek lokal, serta norma, konsep dan budaya.

Pertimbangan yang sama diterapkan pada hukum lembaga-lembaga keagamaan seperti huku Yahudi atau Budha, atau budaya tanpa negara atau tradisi seperti Hukum Gipsi. Istilah Hukum Afrika awalnya mengacu pada hukum adat atau tradisional masyarakat Afrika, jarang digunakan untuk mengacu pada sistem hukum nasional negara berdaulat modern di Afrika. Hukum sosialis atau sistem hukum sosialis merupakan kategori yang tidak mudah. Sistem hukum sosialis adalah sistem hukum negara yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu pada periode tertentu dari sejarah mereka di sini perbedaan dengan ideologi lain seperti demokratik sosial, liberal, atau sistem agama; dan ideologi yang secara langsung relevan dengan semua gaya pemikiran hukum.

Keempat, bagian perdebatan keluarga hukum telah terpusat pada pembedaan pengelompokan (klasifikasi). Ada banyak cara mengelompokan sistem hukum atau tatanan seperti halnya kota dan negara. Ras, bahasa, tahap pembangunan ekonomi, ideologi, sumber sejarah, konsep dan lembaga substantif, dan bahkan iklim di antara faktor tersebut.

Ide gaya pemikiran dapat diterapkan pada cara berpikir dalam kedua keluarga sistem hukum negara dan beberapa bentuk hukum non negara, seperti hukum Islam, Yahudi dan Gipsi. Tetapi ide gaya pemikiran dominan perlu didekati dengan frase reduksionis seperti pikiran hukum dan berpikir seperti pengacara. Beberapa profesi hukum sangat ditinggikan; bahwa sepanjang pengacara berpikir, mereka tidak hanya berpikir tentang persoalan hukum; dan bahwa dalam semua sistem hukum atau budaya atau tradisi apa yang merupakan cara berpikir valid, logis dan tepat dan interpretasi tentang persoalan hukum terus dipertentangkan. Merupakan hipotesis bahwa pola-pola pertentangan tentang berpikir hukum dan interpretasi terus berulang, dengan variasi lokal, lintas budaya misalnya perbedaan antara interpretasi sengaja dan faktual, berpikir gaya besar dan gaya formal, berpikir substantif dan otoritas, dan perbedaan yang diperdebatkan dalam common law dan filosofi hukum sipil.

Perbandingan mikro melengkapi perbandingan makro. Satu tugas bagi jurisprudens umum adalah membangun gambaran fenomena hukum di dunia sebagai keseluruhan.

4. Perbandingan Mikro: Tradisi Negara dan Barat Satu hal yang menarik fokus perhatian pada unit-unit yang lebih kecil adalah karena lebih mudah ditangani. Ini adalah apa yang dipikirkan Mr. Palmer.

Dari penjelasan ahli hukum perbandingan terkemuka, kita dapat membangun tipe ideal konsepsi Hukum Perbandingan utama dengan karakteristik berikut:

i. Masalah pokok utama adalah hukum positif dan sistem hukum resmi negara bangsa (sistem hukum publik).

ii. Fokus secara eksklusif pada masyarakat kapitalis Barat di Eropa dan Amerika Serikat, dengan pertimbangan yang kurang terhadap Timur (negara sosialis termasuk China), Selatan (negara miskin) dan negara kaya di Laut Pasifik (Jepang, macan Asia).

iii. Perhatian pada persamaan dan perbedaan antara common law dan civil law, seperti digambarkan oleh tradisi atau sistem orang tua, terutama Prancis dan Jerman untuk hukum sipil, Inggris dan Amerika Serikat untuk common law.

iv. Fokus hampir seluruhnya pada doktrin hukum.

v. Fokus dalam praktek terutama pada hukum privat, terutama hukum kewajiban, yang sering dianggap mewakili inti sistem atau tradisi hukum.

vi. Perhatian dengan deskripsi, analisis, dan penjelasan daripada evaluasi dan saran, kecuali bahwa salah satu penggunaan utama hukum perbandingan legislatif diklaim sebagai pelajaran untuk dipelajari dari solusi asing pada masalah yang sama klaim yang secara teoritis bermasalah.

Proposisi ini adalah tipe ideal untuk penjelasan sekunder yang paling eksplisit tentang sifat dan lingkup hukum perbandingan. Ini relevan untuk membuat sejumlah argumen sebagai berikut.

Pertama, antara 1945 dan 1980, asumsi ini sangat berpengaruh dalam hal konseptualisasi sub-disiplin dan pelembagaannya dalam jurnal, buku teks, kursus, proyek, dan semua cara berpikir di atas. Model Negara dan Barat terbatas dalam hal masing-masing unsurnya: hukum publik, negara Barat, dengan doktrin khususnya hukum privat, dan perbedaan antara sistem hukum sipil dan common law orang tua sebagai fokus utama. Banyak literatur sekunder tentang hukum perbandingan sebagai bidang ilmu memiliki fokus yang sempit, mengabaikan beberapa contoh praktek terbaik, dan merendahkan kekayaan, keragaman dan perbedaan studi hukum transnasional dan kosmopolitan.

Ahli hukum perbandingan kadang-kadang bersikukuh pada perbedaan antara hukum asing dan hukum perbandingan. Perbandingan mencakup berbagai kegiatan dan asing adalah persoalan relatif. Pada tingkat teoritis hampir semua deskripsi mencakup perbandingan. Kita menggunakan perbandingan dalam hidup sehari-hari menggunakan analogi, model, metafora, tipe ideal dan berbagai alat lainnya. Beberapa contoh karya terbaik ahli hukum perbandingan misalnya:

Studi paralel (studi Biclefeld Kreis tentang contoh dan interpretasi statuta);

Menjelaskan sistem sendiri dibandingkan dengan yang lain, seperti studi Llewellyn di Amerika.

Dan sebagainya.

Model Negara dan Barat sekarang sudah ketinggalan jaman, tetapi belum digantikan oleh teori yang koheren. Ini tidak menyarankan bahwa harus mengganti satu teori reduksionis dengan yang lain, tetapi bahwa isu utama berkaitan dengan lingkup, metode, pembandingan, perbandingan, dan hubungan dengan persoalan lain yang perlu ditangani.

Kritik terhadap model Negara dan Barat perlu dihargai dan dikembangkan. Pertama, ada alasan yang baik untuk menyempitkan fokus, terutama di tahap awal. Kedua, ada manfaat dan biaya dalam kualitas karya yang dilakukan dalam kerangka Negara dan Barat.

Model Negara dan Barat memiliki empat kelemahan utama: digambarkan secara sempit; telah terisolir dari bidang yang sama; ketinggalan jaman; dan teori di bawah standar. Apa yang kurang adalah pandangan koheren tentang usaha dan diskusi tentang isu-isu pembandingan, metode, tingkat, tujuan dan sebagainya. Singkatnya, pekerjaan jurisprudens tidak dilakukan secara memadai bagi studi hukum perbandingan atau kosmopolitan. Sehingga perlu pemikiran ulang yang radikal.

5. Pemikiran Ulang Hukum Perbandingan: Agenda Teoritis Salah satu implikasi globalisasi bagi disiplin ilmu hukum adalah bahwa ia memerlukan kebangkitan jurisprudens umum dan pemikiran ulang hukum perbandingan dari perspektif global sebagai unsur utama dalam studi hukum kosmopolitan. Pemikiran ulang hukum perbandingan mencakup semua tugas utama teori hukum termasuk sintesa, konstruksi dan penjelasan konsep, perkembangan penting prinsip-prinsip normatif umum, mengembangkan teori-teori tatanan menengah empiris dan normatif, dan teori kerja yang memberikan panduan bagi berbagai peserta, termasuk ahli hukum perbandingan, sejarah intelektual, dan kajian kritis tentang asumsi dan premis yang mendasari diskusi hukum.

Konstruksi dan penjelasan konsep merupakan perhatian tradisional jurisprudens analitik. Jurispruden analitik perlu memperluas fokusnya pada konsep-konsep kunci dalam sub-disiplin khusus yang berhubungan dengan hukum termasuk teori tata negara, hukum dan ekonomi, sosiologi hukum, dan studi sosio-hukum.

Tugas lain bagi jurisprudens analitik adalah membantu analisis terminologi dasar studi perbandingan. Ahli hukum perbandingan berpendapat bahwa hukum perbandingan adalah metode, bukan subyek, tetapi tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan metode tersebut.

ADA APA DENGAN SOSIALISME-RELIGIUS

KabarIndonesia - Sejarah memang milik penguasa. Poros yang memegang kekuasaan mempunyai kekuatan penuh untuk memaparkan atau mungkin mengaburkan fakta sejarah. Sejarah pahit bangsa Indonesia dengan warna merah Komunisme menjadi modal memasung pembelajaran dan pengingkaran tujuan didirikannya Negara Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemahaman publik tentang Sosialisme sama dengan Komunisme. Membaca Sosialisme akan mendapat atribut kiri dan sebagainya, dan sebaginya. Padahal secara intertekstual, Konsep Sosialisme juga akan kita temui dalam ayat-ayat Al Quran. Yang mana? Penafsiran siapa? Lalu, Kelompok Islam mana yang mempercayainya? Historia Sosialisme

Bibit kawite Sosialisme sebenarnya telah lama ada dalam sejarah peradaban dunia. Plato, oleh sebagian kalangan disebut-sebut sebagai Bapak Sosialisme. Secara logis, fenomena ini menggiring pada simpulan bahwa di dalam masyarakat Yunani juga ada kesenjangan sosial sehingga pemikir seperti Plato terbersit untuk menghilangkan kesenjangan tersebut. Meng Tze di Cina juga dapat disebut-sebut sebagai Bapak Sosialisme Cina karena dia mencetuskan gagasan pemerataan kesejahteraan pada masyarakat. Jauh sebelum mengenali apalagi memahamai gagasan mereka, jauh di lubuk hati, kita juga menghendaki "keadilan sosial" baik di bidang ekonomi, sosial-kemasyarakatan, serta jaminan hukum dan politik dari sistem negara.

Sosialisme lahir sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan pada akhir abad ke-18 di Eropa. Revolusi industri di Inggris telah memunculkan kelas baru dalam masyarakat, yaitu kaum borjuis yang menguasai sarana produksi karena penguasaan modal bertimbun di tangan mereka. Sosialisme berkembang sebagai reaksi terhadap kondisi buruk yang dialami masyarakat menengah ke bawah (kelas buruh) di bawah tekanan sistem kapitalisme liberal.

Sejumlah cendekiawan tampil menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan dan kelas masyarakat. Mereka menyuarakan distribusi keadilan dalam ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka adalah St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-1837), Robert Owen (1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Tokoh-tokoh ini melahirkan purwa-rupa dari Sosialisme, generasi berikutnya seperti Proudhon, Karl Marx, Frederick Engels, maupun Bakunin berangkat dari konsep pemikiran mereka. St. Simon dinobatkan sebagai The Godfather of Socialism karena dialah orang pertama yang menyerukan perlunya sarana-sarana produksi dimiliki sepenuhnya oleh negara. Gagasannyalah yang mendorong lahirnya sistem Kapitalisme Negara (state capitalism).

Menjelang akhir abad ke-19, Sosialisme berkembang menjadi aliran-aliran yang diferensial dan menyebar bagai virus ke seluruh Eropa. Fenomena ini dilatarbelakangi model-model pengorganisasian gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal dan revolusioner, selain tulisan-tulisan di media maupun kegiatan diskusi intelektual. Pierre J. Proudhon (1809-1865) adalah penganjur sosialisme generasi kedua di Perancis setelah generasi St. Simon dan Louis Blanc. Proudhon memiliki perbedaan pendapat dengan para pendahulunya yang cenderung menghapuskan hak-hak individual. Proudhon memperjuangkan dipertahankannya hak-hak individual secara terbatas. Proudhon menolak gagasan Totalitarian-Kolektivisme dari kaum sosialis radikal seperti Marx.

Menurut Marx, hak individual harus dihapuskan secara menyeluruh dan dikelola oleh negara. Pemikiran Marx ini berangkat dari Faham Dialektika Materialismenya. Perbedaan pandangan antara Prodhoun dan Marx inilah yang mengawali perpecahan di tubuh sosialis internasional, sosialisme pun terfragmentasi menjadi aliran-aliran seperti Sosialisme Demokrat, Komunisme ala Marx, Sosialisme Anarkis ala Bakunin, Marxisme-Leninisme, Sosialisme ala Kautsky, Sosialisme Kristen, dan lain-lain. Karl Marx banyak menginspirasi pemikir sosialisme. Konsep pemikirannya yang sederhana yaitu tidak ada ruang bagi hak-hak individual dalam pemilikan sarana produksi menjadi sumber inspirasi guna membangun sistem ekonomi, hukum, Negara, dan masyarakat yang sosialis.

Konsep Marx ini berangkat dari fakta bahwa kekayaan individual bukan sesuatu yang dapat mengangkat martabat individu. Karena prinsip ekonomi dalam Kapitalisme telah mendoktrinasikan penghalalan segala cara agar mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, meski harus memeras tenaga kerja dan menindas hak-hak kolektif masyarakat. Kekayaan individual, menurut Marx, justru membunuh martabat individu, karena didapatkan dengan jalan yang tidak bermoral seperti. korupsi, manipulasi, kolusi, penipuan, bahkan pelanggaran hukum. Marx menyadari bahwa kapitalisme bisa mematikan pranata hukum dan masyarakat. Dehumanisasi yang dilakukan oleh kaum borjuis dan kapitalisme mencapai mendorong Marx menulis buku-bukunya seperti Manifesto Komunis, Das Kapital dan lain-lain. Marx menyerukan agar kaum buruh bersatu di bawah bendera "Penghapusan Kelas".

Marx bak Malcolm X menyuarakan kepentingan umum dan meyakini bahwa kedudukan buruh hakekatnya jauh lebih mulia disbanding pemilik alat-alat produksi (kapitalis). Karena buruhlah yang memeras keringat memproduksi sesuatu yang dibutuhkan masyarakat. Bakunin (1814-1876), tokoh sosialis sahabat dengan Karl Marx dan sama-sama berguru kepada Proudhon. mengajarkan faham sosialisme yang radikal karena berasaskan pengacauan dan anarkisme. Dia menyerukan agar rakyat yang tertindas melakukan tindakan apa saja untuk membuat perubahan. Baginya setiap orang memiliki kebebasan untuk berbuat seperti itu. Manusia tidak perlu tunduk pada norma-norma sosial, dan undang-undang serta hukum positif yang berlaku dalam masyarakat. Gerakan anarkis terutama berkembang di Rusia pada abad ke-19. Dari faham ini tumbuh berbagai gerakan radikal dan atheis revolusioner yang menghalalkan segala cara. Novel-novel Dostoyevski seperti Notes from the Underground, Devil, Karamasov Brothers, dll. menjadi potret gerakan dan psikologi kaum anarkis dan sosialis revolusioner Rusia abad ke-19.

Ketika Indonesia terpuruk dalam kolonialisme Belanda, Sneevliet, seorang sosialis-komunis Belanda, membawa dan menyebarkan paham ini. Contoh hasil karyanya adalah perpecahan dalam Sarekat Islam (SI) yang telah eksis dan berakar di masyarakat. SI malih rupa menjadi SI Merah (sosialis) dan SI Putih. Orang-orang dalam SI Merah inilah yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sosialisme dalam Islam Konsep Keadilan Sosial ada dalam ajaran agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen klasik dan Islam. Kebijakan ekonomi yang tidak berbasis pemerataan dan keadilan sosial dikutuk dalam kitab suci agama-agama tersebut. Bung Hatta memaparkan dalam Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (1963), "Sekarang, bagaimana duduknya sosialisme Indonesia? Cita-cita sosialisme lahir dalam pangkuan pergerakan kebangsaan Indonesia.

Dalam pergerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan, dengan sendirinya orang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme perikemanusiaan yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua Barat.

Tuntutan sosial dan humanisme itu tertangkap pula oleh jiwa Islam, yang memang menghendaki pelaksanaan perintah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta Adil, supaya manusia hidup dalam sayang menyayangi dan dalam suasana persaudaraan dengan tolong-menolong. Bung Hatta menyatakan bahwa Islam anti-kapitalisme karena menghisap dan menindas, kapitalisme lebih jahat dari perbudakan dan feodalisme. Dunia ini milik Allah yang disediakan sebagai tempat manusia untuk sementara. Manusia hanya meminjam dunia, kepunyaan Allah, wajib bagi manusia memeliharanya dan mewariskan kepada generasi selanjutnya dalam keadaan yang lebih baik daripada yang diterimanya dari angkatan terdahulu. Surat Al-Takatsur dan Al-Humazah, mengutuk sikap ekonomi yang egois (kapitalisme). Nukilan Surat Al-Taubah ayat 34-35 digambarkan betapa Islam mengutuk ketidakadilan sosial-ekonomi yang terdapat dalam suatu masyarakat :

"Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan pertapa itu yang benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimbun emas dan perak dan tidak menggunakannya di jalan Allah, maka peringatkanlah mereka itu dengan adanya siksa yang pedih. Yaitu ketika harta itu dipanaskan dalam api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung dan punggung mereka. (lalu dikatakan kepada mereka) : "Inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan kamu sendiri di dunia, maka sekarang rasakanlah harta yang dulu kamu tumpuk itu.

Keadilan sosial dalam Islam match dengan Egalitarianisme yang menekankan kepada persamaan hak dan kewajiban. Tetapi Allah menciptakan umatnya dengan keberagaman kemampuan dan latar belakang geografis, maka berkembang pula keberagaman frekuensi dan tingkat penghasilan. Seorang petani dan PNS mendapatkan penghasilan berkala (per bulan atau per masa panen), sedangkan wiraswasta di bidang kuliner frekuensi penghasilan mereka adalah per hari. Namun, perspektif yang digunakan dalam mengukur keberagaman tersebut tidak hanya berlandaskan konsep materialisme; yakni jumlah. Kesuksesan panen seorang petani sama halnya dengan kesuksesan seorang guru bidang studi UNAS yang muridnya 100% lulus.

Ketika hasil panen itu memuaskan maka penghasilan petani juga akan mengalami kenaikan. Sedangkan, ketika hasil kelulusan tersebut memuaskan, fee yang diterima Sang Guru adalah tetap. Islam menolak mentah-mentah konsep "sama rata sama rasa" produk Komunisme karena menghapuskan hak-hak individual dalam masyarakat. Islam mengakui kepemilikan perorangan tetapi ada batasan agar tidak menimbulkan kesenjangan. Rezki yang diterima harus dibelanjakan di jalan Allah, seperti untuk membantu sesama yang memerlukan, bukan untuk memperkaya diri pribadi dengan menghalalkan segala cara termasuk penipuan, perampasan, dan bentuk-bentuk usaha yang minor kemaslahatan umat. Atheisme dalam Faham Sosialisme Modern memang pantas mati. Tetapi keadilan sosial harus kita amin-i.

Muhammad Iqbal dan Muhammad Husein Heikal adalah contoh cendekiawan muslim yang sejalan dengan konsep keadilan sosial dalam Sosialisme. Pemikiran mereka kemudian dikenal sebagai Sosialisme-Religius. Di Indonesia, tokoh-tokoh seperti H.O.S. Cokroaminoto, K. H. Agus Salim, Bung Hatta, M. Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Nurcholis Madjid, Mubyarto dan lain-lain. K. H. Agus Salim (1920), tokoh SI ini mengatakan bahwa gagasan tentang sosialisme tercakup dalam ajaran agama Islam. Syafrudin Prawiranegara (1955) mengatakan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Masyumi pun menerima tjap sebagai partai Islam Sosialis, karena tokoh-tokohnya mengemukakan gagasan bahwa bahwa Sosialisme telah terdapat dalam ajaran Islam. ***********

Oleh : Anjrah Lelono Broto, S.Pd, Penulis dan Litbang LBTI (Lembaga Baca Tulis Indonesia)

18th, 2007 by kopi_susu

Filsafat

KAPITALISME: SEKILAS SEJARAH

*) AG. Eka Wenats WuryantaPengantarTak seorang pun manusia di dunia ini lepas dari kecenderungan untuk menjadi kapitalis. Juga tak ada satu pun perusahaan yang bisa bebas nilai dengan tendensi kapitalisasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa apa saja yang dimakan, ditonton, dinikmati, diminum, ditiduri atau dipakai adalah produk-produk kapitalisme. Hasil teknologi yang mengagumkan, proses industrialisasi yang begitu dramatis, penjelajahan dunia baru, penyebaran agama dan budaya tidak bisa melepaskan diri dari usaha dan hasil rekayasa sosial yang diolah oleh pelaku-pelaku kapitalisme.Bisakah kita mendefinisikan diri sebagai seorang yang anti kapitalisme? Mampukah sekarang kita yang hidup dalam dunia pasar ini bisa merumuskan diri sebagai seorang yang a-kapitalis? Kalau ada orang yang bisa menjawab dengan arogan bahwa dia adalah anti kapitalisme atau a-kapitalis maka dapat dipastikan orang itu adalah mania Robinson Crusoe atau seorang manusia langka yang a-historis, tidak realistis dan tidak tahu diri. Tenaga dan kekuataan kapitalisme begitu mengakar dan tertanam dalam seluruh kehidupan manusia. Tak sejengkal dan seinci tubuh manusia yang bisa terhindar dari jamahan kapitalisme. Mengapa kapitalisme sebagai ideologi dan praktek hidup bisa sedemikian mengakar? Itulah pertanyaan yang seharusnya dan relevan diajukan.DefinisiKapitalisme secara etimologis berasal dari kata caput, yang artinya kepala, kehidupan dan kesejahteraan. Makna modal dalam kapital seharusnya diinterpretasikan sebagai titik kesejahteraan. Dengan makna kesejahteraan, definisi kapital mulai dikembangkan dengan arti akumulasi keuntungan yang diperoleh dalam setiap transaksi ekonomi. Oleh sebab itu, interpretasi awal dari kapitalisme adalah proses pengusahaan kesejahteraan untuk bisa memenuhi kebutuhan. Dalam definisi ini, sebetulnya kapitalisme mempunyai definisi yang konstruktif-manusiawi. Pasti setiap orang mempunyai keinginan dasar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam hidup sehari-hari.Masalahnya dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam era revolusi industri, kapitalisme didefinisikan sebagai paham yang mau melihat serta memahami proses pengambilan dan pengumpulan modal balik (tentu saja yang sudah dikumpulkan secara akumulatif) yang diperoleh dari setiap transaksi komoditas ekonomi. Pada saat itu pula, kapitalisme tidak hanya dilihat sebagai ideologi teoritis tapi berkembang menjadi paham yang mempengaruhi perilaku ekonomi manusia.Kapitalisme PurbaKapitalisme purba adalah tahapan awal pembentukan kapitalisme yang ditemukan dalam bibit-bibit pemikiran masyarakat feodal yang berkembang di Babilonia, Mesir, Yunani dan Kekaisaran Roma. Para ahli ilmu sosial menamai tahapan kapitalisme purba ini dengan sebutan commercial capitalism. Kapitalisme komersial berkembang ketika pada jaman itu perdagangan lintas suku dan kekaisaran sudah berkembang dan membutuhkan sistem hukum ekonomi untuk menjamin fairness perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan.Bahkan Max Weber pernah menyatakan bahwa akar kapitalisme berawal dari sistem Codex Iuris Romae sebagai aturan main ekonomi yang kurang lebih universal dipakai oleh kaum pedagang di Eropa, Asia Barat serta Asia Timur Jauh dan Afrika Utara. Aturan main ekonomi ini sebetulnya dimanfaatkan untuk memapankan sistem pertanian feodal. Dari aturan ini pula muncul istilah borjuis yang mengelompokkan sistem feodalisme yang disempurnakan dengan sistem hukum ekonomi itu. Kelompok borjuis dipakai untuk menyebut golongan tuan tanah - bangsawan dan kaum rohaniwan yang biasa mendiami biara yang luas dan besar.Perkembangan selanjutnya adalah perkembangan kapitalisme yang dikenal sebagai tata cara dan kode etik yang dipakai oleh kaum merkantilis. Kaum pedagang yang banyak berkumpul di bilangan pelabuhan Genoa, Venice dan Pisa. Kaum merkantilis memakai kapitalisme sebagai tahap lanjutan sistem sosial ekonomi yang dibentuk. Tatanan ekonomi dan politik yang berkembang memerlukan hukum dan etika yang disusun dengan relatif mapan. Hal ini disebabkan terjadi perkembangan kompetisi dalam sistem pasar, keuangan, tata cara barter serta perdagangan yang dianut oleh para merkantilis abad pertengahan. Para merkantilis mulai membuka wacana baru tentang pasar. Ketika mereka berbicara tentang pasar dan perdagangan, mau tidak mau mereka mulai bicara tentang barang dagang (komoditas) dan nilai lebih yang nantikan akan banyak disebut sebagai the surplus value (nilai lebih). Dari akar penyebutan inilah, wacana tentang keuntungan dan profit menjadi bagian integral dalam kapitalisme sampai abad pertengahan.Kapitalisme IndustriPandangan merkantilis dan perkembangan pasar berikut sistem keuangan telah mengubah cara ekonomi feodal yang semata-mata bisa dimonopoli oleh para tuan tanah, bangsawan dan kaum rohaniawan. Ekonomi mulai bergerak menjadi bagian dari perjuangan kelas menengah dan mulai menampakkan pengaruh pentingnya. Ditambah lagi, rasionalisasi filosofis abad modern yang dimulai dengan era renaissance dan humanisme mulai menjalari bidang ekonomi juga. Setidaknya penulis akan menyebut tiga tokoh atau ikon ilmuwan filsafat sosial yang cukup memberikan pengaruh yang dramatis terhadap perkembangan kapitalisme industri modern. Mereka adalah Thomas Hobbes dengan pandangan egoisme etisnya, yang pada intinya meletakkan sisi ajaran bahwa setiap orang secara alamiah pasti akan mencari pemenuhan kebutuhan dirinya. Yang lain adalah John Locke. Dia menekankan sisi liberalisme etis, di mana salah satu adagiumnya berbunyi bahwa manusia harus dihargai hak kepemilikan personalnya. Tokoh lainnya adalah Adam Smith dan David Ricardo yang mencoba menukikkan pandangan dua tokoh sebelumnya dengan filsafat laissez faire dalam prinsip pasar dan ekonomi. Pandangan klasik Adam Smith menganjurkan permainan bebas pasar yang memiliki aturannya sendiri. Persaingan, pekerjaan dari invisible hands akan menaikkan harga kepada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja dan modal beralih dari perusahaan yang kurang menguntungkan kepada yang lebih menguntungkan. Laissez faire adalah ungkapan penyifat. Pandangan ini menekankan bahwa sistem pasar bebas diberlakukan sistem kebebasan kepentingan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah.Kapitalisme di tiga tokoh itu (Hobbes, Locke dan Adam Smith) mendapatkan legitimasi rasionalnya. Akselarasi perkembangan kapitalisme rasional ini memicu analisa dan praktek ekonomi selanjutnya. Akselarasi kapitalisme semakin terpicu dengan timbulnya revolusi industri. Kapitalisme mendapatkan piranti kerasnya dalam pencapaian tujuan utamanya, yaitu akumulasi kapital (modal). Industrialisasi di Inggris dan Perancis mendorong adalah industri-industri raksasa. Perkembangan raksasa industri mekanis modern ini memicu kolonialisme dan imperialisme ekonomi. Tidak mengherankan apabila dalam konteks ini terjadi exploitation lhomme par lhomme. Situasi penindasan yang ada menimbulkan reaksi alamiah dari orang-orang yang kebetulan mempunyai kepedulian sosial kolektif yang mengalami trade-off dalam era industri. Salah satu orang itu adalah Karl Marx. Dia mereaksi adalah sistem yang tidak beres dalam kapitalisme yang cenderung menafikkan individu dalam konteks sosial.Meski sosialisme sudah menjadi budaya tanding tetap saja kapitalisme maju dan semakin mapan dalam percaturan kehidupan manusia. Max Weber menganalisa bahwa kemapanan kapitalisme selain didukung dengan faktor sekular juga mendapatkan legitimasi religiusnya. Weber beranggapan bahwa ada kaitan antara bangkitnya kapitalisme dengan Protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk sekular dari penekanan Protestanisme pada individualisme dan keharusan mengusahakan keselamatannya sendiri. Nilai-nilai religi Kristiani terutama Aliran Calvinisme memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam perkembangan kapitalisme lanjut.Kapitalisme LanjutKapitalisme lanjut merupakan fase lanjutan dari kapitalisme industri. Kapitalisme industri memicu agregasi akumulasi modal bersama yang dikumpulkan melalui pembaruan perusahaan nasional dan multinasional. Dalam fase ini, kapitalisme bukan semata lagi hanya mengakumulasi modal tapi lebih dari itu, yaitu investasi. Dalam arti ini, kapitalisme tidak hanya bermakna konsumsi dan produksi belaka, tapi menabung dan menanam modal sehingga mendapatkan keuntungan berlipat dari sebuah usaha adalah usaha yang terus ditumbuhkan. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya didasarkan pada soal faktor produksi tapi juga faktor jasa dan kestabilan sistem sosial masyarakat. Oleh sebab itu, kapitalisme lanjut dengan refleksi sosialnya terus mengembangkan bagaimana mereka tetap berkembang mendapatkan keuntungan tapi tetap menyediakan lahan pendapatan yang cukup bagi para konsumen sebagai sekaligus faktor utama pasarnya.Kapitalisme tahap ini mencapai puncak aktualisasinya melalui proses kewirausahaan ekonomi yang mencoba mengkombinasikan kembali peran pasar bebas dalam bidang ekonomi dengan intervensi negara dalam bidang politik.Faktor modernisasi dalam wacana kapitalisme lanjut ini tidak terjebak pada dikotomi kapitalis sebagai pemilik modal dan buruh sebagai faktor produksi melainkan berlanjut pada wacana bagaimana akhirnya pekerja dihadapkan pada masalah kepemilikan bersama (share holder) dalam sebuah proses kapitalisasi yang tetap saja memberikan ruang pada keuntungan dan proses akumulasi investasi.Debat pembangunan kapitalisme dalam konteks sistem dunia (E. Wallerstein) juga menambah kompleksitas proses kapitalisme sebagai raksasa ekonomi yang tak terelakkan. Debat lanjutan kapitalisme dalam konteks globalisme tidak cenderung menempatkan pada kekuatan sosialisme dan kapitalisme belaka melainkan relasi interdependen antar pelaku ekonomi yang justru meluas. Bahkan Anthony Giddens pernah menyatakan bahwa dinamika kapitalisme sebagai resultante yang saling terhubung dan tersinergi dalam kapitalisme itu sendiri, industrialisasi, pengawasan dan kekuatan militer.Kapitalisme yang dijiwai oleh semangat mencari untung menjadi sumber dinamisme luar biasa, dan ketika bergandengan dengan industrialisme menghasilkan tahap global sekarang ini. Dunia yang kita huni sekarang juga dalam pengawasan yang terus-menerus, mulai di tempat kerja dan merambat pada masyarakat. Negara meniru pabrik. Gugus institusi ini masih ditambah dengan munculnya kekuatan militer sebagai penjamin stabilitas ekonomi sebagai syarat mutlak pasar yang bebas dan tenang. Kapitalisme lanjut semakin matang dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin merangsek kekuatan-kekuatan konvensional pasar tradisional yang ada.Refleksi KritisTerlihat dalam sekilas sejarah ini, kapitalisme sebagai sebuah ideologi dan praktek sosial telah teruji dengan berbagai tantangan dan ujian. Masalahnya adalah ramalan Karl Marx tentang kontradiksi dalam kapitalisme tidak pernah terbukti secara empiris. Tapi justru kapitalisme menampakkan diri sebagai ide yang semakin berkembang, cepat belajar, kritis dengan dirinya sendiri, lentur dan fleksibel. Apa sebabnya?Pertanyaan itu hanya bisa diajukan pada setiap manusia. Karena kembali pada awal, manusia diciptakan untuk memenuhi kesejahteraannya. Dan presis, kapitalisme dalam arti tertentu mampu belajar, mau memperbaiki mekanisme sosial dan krisis legitimasi sosialnya. Seperti Jurgen Habermas katakan, yaitu ketika kita mau belajar kapitalisme sesungguhnya kita belajar dari manusia itu sendiri. Dan ungkapan ini semakin mengokohkan kekaguman Karl Marx terhadap kapitalisme._________________________Bahan Pustaka

1. Bell, Daniel, The Cultural Contradictions of Capitalism, Basic Books:New York, 19762. Braudel, Fernand, Capitalism and Civilization, Harper & Row:New York, 19843. Faulkner, Harold, The Decline of Laissez Faire, Holmes:New York, 19784. Fried, Morton, The Evolution of Political Society, Random House:New York, 19705. Heilbroner, Robert, Marxism: For and Against, WW. Norton:New York, 19806. Wallerstein, Emanuell, Historical Capitalism, Verso:London, 1983_____________________________Penulis adalah Direksi Institut Studi Sosial Demokrasidan Staff Pengajar Univ. Atmajaya Jakarta

COM, Semarang - Sistem hukum modern yang dibangun pada abad 19 dan terus dikembangkan hingga sekarang sesungguhnya dirancang untuk melanggengkan sistem ekonomi kapitalisme.Guru Besar Hukum Internasional Undip Semarang Prof FX Adji Samekto dalam pidato pengukuhan guru besar di Semarang, Sabtu mengatakan, perspektif studi hukum kritis menunjukkan, saintifikasi hukum modern yang dibangun pada abad 19 memang untuk melayani tatan sosial yang bercorak kapitalistik.

Sistem kapitalistik ini mewujud dalam mekanisme pasar yang kompetitif melalui kebebasan yang dijamin oleh sistem demokrasi. "Jadi, sistem hukum modern memang (dirancang) untuk melanggengkan kapitalisme," katanya.

Kapitalisme merupakan sistem sosial yang bersumber dari kepentingan akumulasi modal dan keuntungan dan untuk meraih semua ini dilakukan eksploitasi sumber daya manusia, teknologi, dan alam.

Oleh karena itu, menurut dia, eksploitasi sumber daya manusia dan alam pun tidak akan bisa dibatasi dalam konteks kepentingan maksimalisasi keuntungan.

Masalah lingkungan hidup, kemiskinan, pelanggaran ketertiban umum sebagai ekses unjuk rasa, hingga demonstrasi, menurut dia, bukan sekadar persoalan domestik, melainkan soal pilihan ideologi liberalisme global yang kian membelenggu negara.

Menyikapi ketidakadilan yang berlaku dalam hukum internasional, katanya, kajian hukum internasional di era globalisasi tidak boleh sekadar kontemplasi pasif, tetapi harus emansipatoris untuk membangkitkan kesadaran baru dalam melihat realitas sebenarnya yang merugikan negara miskin dan sedang berkembang.

Hukum internasional sebagai bagian dari sistem hukum modern telah dikonstruksi sebagai ketentuan yang bersifat netral, tidak berpihak, bersifat impersonal atau tidak subjektif.

Akan tetapi, menurut Adji, dalam implementasinya menunjukkan hal yang sebaliknya, bahkan sejak ketentuan hukum internasional dibuat, aturan ini memang berpotensi tidak netral dan memihak pada kepentingan tertentu yang lebih dominan (negara maju dan kaya).

"Hal ini terjadi karena logika-logika dan struktur hukum internasional muncul dari adanya power relationships dalam masyarakat internasional," kata profesor berusia 45 itu.

Hasil kajian atas beberapa praktik kebijakan globalisasi di sejumlah negara Dunia Ketiga, terutama di Afrika, menunjukkan bahwa globalisasi malah menjerumuskan mereka ke dalam ketidakberdayaan.

"Oleh karena itu perlu digugat, bagaimanakah sesungguhnya peran hukum internasional di era globalisasi, apakah mampu menciptakan keadilan dalam hubungan antarbangsa atau malah sebaliknya," katanya.

Selain Adji Samekto, dalam waktu bersamaan dikukuhkan pula Prof Sumarsono (Fakultas Peternakan), dan Prof Singgih Tri S (Sejarah). [*/L1]

Dapatkan berita populer pilihan Anda gratis setiap pagi disini atau akses mobile langsung http://M.inilah.com via ponsel dan Blackberry !

Pakar Hukum: UU Ekonomi RI Lebih Mengacu Sistem Kapitalis

Solo (ANTARA News) - Sebagian besar undang-undang (UU) ekonomi di Indonesia perlu ditata ulang karena lebih mengacu pada sistem ekonomi kapitalis.

"Banyak UU Indonesia yang mengabdi kepada kepentingan kapitalis dan justru bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945," kata Pakar Hukum Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Adi Sulistiyono, di Solo, Kamis.

Padahal, menurut dia, sistem ekonomi memiliki hubungan yang saling terkait dengan sistem hukum.

Sistem ekonomi Indonesia yang dalam praktiknya lebih mengacu pada sistem kapitalis menyebabkan hukum ekonominya kurang berpihak kepada rakyat kecil, seperti petani.

"Sistem kapitalis lebih cenderung berpihak pada kepentingan-kepentingan negara maupun perusahaan transnasional," kata doktor bidang Ilmu Hukum lulusan Undip Semarang itu.

Menurut dia, saat ini sudah sangat mendesak agar Indonesia segera mempertegas sistem ekonominya yang berdasarkan pada pasal 33 UUD 1945, sehingga acuan dalam menyusun perundang-undangannya menjadi lebih jelas.

Ia mengatakan, UU ekonomi ini dibuat berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dan basis filosofinya sebagai penjabaran dari sistem ekonomi Indonesia.

Selain itu, kata dia, hingga kini belum ada satu presiden pun di Indonesia yang menjadikan pembangunan hukum sebagai prioritas utama untuk menopang pembangunan ekonomi.

Menurut dia, yang terjadi hingga saat ini ialah pembangunan dibiarkan mengalir tanpa orientasi yang jelas.

"Dengan ketegasan ini diharapkan pembangunan hukum ekonomi dapat menghasilkan peraturan yang lebih mengutamakan asas kekeluargaan untuk kemakmuran rakyat," katanya.(*)

COPYRIGHT 2007 ANTARA

PubDate: 15/11/07 16:07