6
Sistem BCS (Biopharmaceutical Classification System) 1. Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System) BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011). Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007). 2. Tujuan dan Konsep BCS Tujuan dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) : 1. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi. 2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro. 3. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat. 3. Klasifikasi BCS

Sistem BCS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

menjelaskan tentang bcs

Citation preview

Sistem BCS (Biopharmaceutical Classification System)

1. Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System)

BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).

Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).

2. Tujuan dan Konsep BCS

Tujuan dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) :

1. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.

2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.

3. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.

3. Klasifikasi BCS

BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :

1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)

Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.

Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).

2. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)

Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.

Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati (Reddy dkk., 2011).

3. Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)

Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).

4. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)

Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).

4. Kelas yang Digunakan dalam BCS

Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah (Dash dkk., 2011) :

1. Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut dalam 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.

2. Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.

3. Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II dalam volume 900 ml larutan buffer.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biopharmaceutical Classification System (BCS)

Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :

1. Laju disolusi

Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).

2. Kelarutan

Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan pada 37 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh dkk., 2010).

3. Permeabilitas

Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.

Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Bethlehem. (2011). Biopharmaceutical Classification System and Formulation Development. Technical Brief 2011 Volume 9.

Sutriyo., Rachmat, Hasan., & Rosalina, Mita. (2007). Pengembangan Sediaan dengan Pelepasan Dimodifikasi Mengandung Furosemid sebagai Model zat aktif Menggunakan Sistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, 5(1), 1-8.

Reddy, Kumar., & Karunakar. (2011). Biopharmaceutics Classification System: A Regulatory Approach. Dissolution Technologies, 31-37.

Wagh P., Millind., & Patel, Jatis. (2010). Biopharmaceutical Classification System: Scientific Basis for Biowaiver Extensions. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical sciences, 2(1), 12-19.

Dash, Vikash., & Kesari, Asha. (2011). Role of Biopharmaceutical Classification System In Drug Development Program. Journal of Current Pharmaceutical, 5 (1), 28-31.

Eksipien

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Eksipien adalah bahan yang tidak aktif yang dibuat bersamaan dengan bahan aktif dari suatu obat-obatan yang bertujuan untuk meningkatkan volume (bulking up) bahan aktif tersebut. Eksipien disebut juga dengan pelarut (diluent) atau "pengisi" (filler). Dengan meningkatkan volume obat tanpa menambah dosis bahan aktifnya memungkinkan obat untuk dikonsumsi lebih mudah. Eksipien tertentu juga berfungsi untuk melarutkan bahan aktif obat yang sukar untuk dilarutkan sehingga mempermudah penyerapan di dalam tubuh.[1] Fungsi lainnya dari eksipien yaitu mempermudah penanganan obat (terutama jika bahan aktif sukar untuk mengalir atau bersifat lengket terhadap kemasan atau mesin pembuat obat), meningkatkan ketahanan terhadap perubahan temperatur lingkungan sehingga mencegah denaturasi, dan memperpanjang usia simpan. Jenis eksipien sangat tergantung dengan jenis bahan aktifnya dan cara obat dikonsumsi.

Jenis eksipien

Anti-adherent

Antiadherent digunakan untuk mengurangi adhesi antara dua bahan aktif yang berbeda, yang berbentuk bubuk atau granular, dan antara obat dengan kemasannya.

Disintegran

Disintegran membuat bahan aktif terlepas dari tablet dan pecah dengan mudah begitu tersentuh oleh cairan tubuh (misal air ludah atau enzim) dan melepaskan bahan aktifnya.

Lapisan pelindung

Lapisan pelindung (coating) tablet berfungsi melindungi bahan aktif yang ada di dalam tablet dari kelembaban udara luar dan mempengaruhi rasa dari tablet yang ditelan. Beberapa jenis lapisan pelindung seperti enteric coating berfungsi untuk mempertahankan bahan aktif obat hingga ia siap dilepaskan di bagian tubuh tertentu, misal di usus besar.

Pelumas

Pelumas, mirip dengan anti-adheren, mencegah bahan aktif menempel satu sama lain (kohesi) dan menempel ke alat medis maupun mesin pemroses. Fungsi spesifik pelumas yaitu untuk mengurangi gaya gesekan ketika obat diinjeksikan di mesin maupun di alat medis.

Pengawet

Pengawet digunakan untuk memperpanjang usia simpan obat.

Pengikat

Pengikat digunakan untuk menyatukan berbagai bahan aktif di dalam obat. Pengikat mempermudah pembuatan obat sehingga gaya yang diperlukan oleh suatu mesin untuk membentuk obat bisa berkurang (ekstruder, pengaduk, dan sebagainya). Pengikat dalam bentuk cair misalnya digunakan untuk menyatukan air dan alkohol.

Pengisi

Bahan pengisi untuk meningkatkan volume sehingga bahan aktif obat dapat ditakar dengan mudah sesuai dengan konsentrasinya. Pengisi juga menjadikan obat lebih praktis untuk dikonsumsi, terutama untuk obat yang memiliki bahan aktif yang sangat sedikit.

Penyerap

Penyerap digunakan untuk menyerap kelembaban dan air dari dalam obat maupun dari lingkungan dan mencegah kelembaban dan air menyentuh bahan aktif. Penyerapan bisa secara absorpsi maupun adsorpsi.

Perasa

Perasa memberikan rasa tertentu untuk menyembunyikan rasa yang tidak enak dari bahan aktif obat. Perasa dapat berupa bahan alami seperti ekstrak buah, maupun perasa buatan.[2]

Pewarna

Pewarna makanan digunakan untuk mengubah penampilan dari obat dan untuk identifikasi jenis obat.