Upload
pandeoka
View
468
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum
nasi. Sinus – sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan
diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus
sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis.1 Hidung dan sinus paranasalis
merupakan struktur berongga dalam kranium yang berhubungan satu sama lain.
Kedudukan dan hubungan kavum nasi dengan sinus paranasalis serta terhadap
organ di sekitarnya (orbita, gigi, fossa cranii media dll) sangat penting dalam
menjelaskan patofisiologi penyakit di bidang THT.2
Sinus yang dalam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens
sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik
untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus,
bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.2,
3,4,5
Sinusitis adalah penyakit yang banyak ditemukan di seluruh dunia.6
Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan
pemberian antibiotik.2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk
pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan
operatif sinusitis di Amerika Serikat.7 Sinusitis maksila paling sering ditemukan,
kemudian diikuti oleh sinusitis ethmoidalis, sinusitis frontalis dan sinusitis
sphenoidalis. Hal ini disebabkan sinus maksila merupakan sinus paranasalis
terbesar yang apabila mengalami infeksi akan lebih jelas menimbulkan gangguan.
Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), infeksi pada gigi
dapat menyebabkan sinusitis maksilaris. Letak ostium sinus lebih tinggi dari dasar
menyebabkan drainase sinus hanya tergantung pada gerakan silia, disamping itu
letak ostium yang berada di meatus nasi media, sekitar hiatus semilunaris yang
sempit juga menyebabkan ostium sering tersumbat. Berdasarkan fakta tersebut
diatas, sinusitis adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang
praktisi kesehatan.6 Oleh karena itu tema ini diangkat agar diagnosis, dan
penanganan sinusitis maksilaris bisa dimengerti dengan lebih baik.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sinus paranasalis adalah rongga udara berlapis mukosa pada tulang
kranium, yang berhubungan dengan rongga hidung dan meliputi sinus frontalis,
sinus etmoidalis, sinus maksilaris, dan sinus sfenoidalis. Sedangkan sinusitis
adalah kondisi inflamatorik yang melibatkan satu atau lebih dari keempat rongga
berpasangan yang mengelilingi kavum nasi (sinus paranasalis). Menurut anatomi
yang terkena, sinusitis dibagi atas sinusitis frontalis, sinusitis etmoidalis, sinusitis
maksilaris, dan sinusitis sfenoidalis. Jadi, sinusitis maksilaris adalah suatu kondisi
inflamatorik yang melibatkan sinus maksilaris.1,2
2.2. Embriologi dan Perkembangan Sinus Maksila
Pada bulan ketiga kehidupan embrio, sinus maksila terbentuk dimulai dari suatu
invaginasi mukosa meatus media ke arah lateral dan ke arah korpus maksila os
maksila.6
Perubahan-perubahan progresif pada dinding hidung lateral dengan
pembentukan sinus paranasal terjadi secara simultan dengan perkembangan
palatum. Pada hari ke 40 dari fetus sewaktu perkembangan rongga hidung, maka
lekukan horizontal (horizontal groove) nampak pada dinding lateral, yang
kemudian akan membentuk meatus medius dan inferior. Proliferasi mesenkim
maxilloturbinate menonjol ke dalam lumen dan kemudian menjadi konka inferior.
Konka yang lebih atas berkembang dari lipatan etmoid turbinate yang tampak
kemudian. Perkembangan sinus terjadi ketika lipatan konka terbentuk. Ini
merupakan proses lambat, yang berlanjut sampai terhentinya pertumbuhan tulang
pada awal kehidupan dewasa. Dari keempat sinus paranasal, hanya sinus maksila
dan etmoid yang ada waktu lahir. Sinus maksila tampak pertama kali seperti suatu
depresi ektodermal tepat diatas prosesus unsinatus pada konka inferior.6
Pada saat lahir rongga sinus maksila berbentuk tabung dengan ukuran 7 x
4 x 4 mm, ukuran posterior lebih panjang daripada anterior, sedangkan ukuran
tinggi dan lebar hampir sama panjang. Dengan kecepatan pertumbuhan setiap
2
tahunnya sebesar 2-3 mm ke arah vertikal dan ke arah posterior, maka pada usia 8
tahun rongga sinus maksila telah mencapai meatus inferior.6
Pada usia 10-12 tahun dasar sinus maksila telah mencapai tinggi yang
sama dengan dasar kavum nasi. Di atas umur 12 tahun pertumbuhan sinus maksila
ke arah inferior, berhubungan erat dengan erupsi gigi permanen, sehingga ruang
yang semula ditempati oleh tunas-tunas gigi permanen akan mengalami
pneumatisasi yang mengakibatkan volume sinus maksila bertambah besar ke arah
inferior. Pada umur 18-19 tahun erupsi gigi permanen telah lengkap dan
diperkirakan pertumbuhan sinus maksila telah selesai.6
2.3. Anatomi Sinus Maksila
Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatik berbentuk
piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan
puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan
sinus yang terbesar diantara sinus paranasal. Pengukuran sinus maksila dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada saat lahir
volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6-8 ml dan penuh dengan cairan,
sedangkan volume sinus maksila orang dewasa kira-kira 15 ml. Tidak ada
perbedaan kapasitas antara laki-laki dan perempuan. Ukuran kedua sinus maksila
kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi diantara sinus paranasal yang lain, sinus
maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri serta paling sedikit mengalami
variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga sinus maksila terutama
tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus.6
Gambar 1. Anatomi sinus maksilarisSinus mempunyai beberapa dinding, dinding anterior dibentuk oleh
3
permukaan maksila os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior
dibentuk oleh permukaan infratemporal maksila. Dinding medial dibentuk oleh
dinding lateral rongga hidung. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan
dinding inferior oleh prosesus alveolaris dan palatum.6
Dasar sinus maksila berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar
ke-2, gigi molar ke-1 dan ke-2, bahkan kadang-kadang gigi tumbuh ke dalam
rongga sinus dan hanya tertutup oleh mukosa. Proses supuratif yang terjadi sekitar
gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus
melalui fistel oroantral yang akan mengakibatkan sinusitis. Di dalam sinus kadang-
kadang ada sekat-sekat yang membentuk ruang-ruang di bagian posterior, sehingga
dapat menjadi sumber infeksi terus menerus.6
Sinus maksilaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris yang sempit. Simon berpendapat bahwa ostium sinus maksilaris
berupa satu saluran karena ia menemukan ukuran dari ujung medial sampai lateral
lebih panjang 3 mm dari panjang rata-rata 5,55 mm. Hal ini penting karena
berhubungan dengan patofisiologi terjadinya sinusitis maksilaris, dimana
drainasenya mengandalkan pergerakan silia pada dinding sinus.2
Gambar 2. Hiatus semilunaris dan ostium sinus maksilaris
4
A. alveolaris superior posterior
A. spenopalatina
A. infraorbitalis
A. maxillaris
A. carotis eksterna
A. carotis interna
A. palatina descendens
A. fascialis
Yang harus diingat dari anatomi sinus maksilaris dalam segi klinik adalah
yang pertama, akar gigi dan dasar dari sinus maksilaris hanya dipisahkan dengan
lamina tulang yang sangat tipis dan bahkan sama sekali tidak dipisahkan oleh
tulang. Kedua, sinusitis maksilaris dapat menimbulkan komplikasi orbita.
Terakhir, ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik .1,2
Gambar 3. Hubungan dasar sinus maksilaris dengan akar gigi
2.4. Vaskularisasi dan Persarafan
Mukosa sinus maksila mendapat aliran darah dari arteri karotis eksterna melalui
cabang-cabangnya, yaitu arteri maksilaris interna, arteri palatina desenden yang
merupakan cabang arteri maksilaris interna, arteri alveolaris superior posterior dan
anterior yang merupakan cabang arteri infra orbitalis dan arteri nasalis posterior
lateral yang merupakan cabang langsung arteri maksilaris interna.6
Darah dari sinus maksila dialirkan ke vena infraorbitalis, vena
supraorbitalis dan pleksus venosus lakrimalis. Selain itu berhubungan dengan
pleksus venosus pterigoideus dan vena sinus sphenoid. Aliran darah rata-rata pada
mukosa sinus maksila sebesar 125 ml/100 gr jaringan/ menit yang lebih besar dari
aliran darah pada organ otot, otak dan ginjal.6
Sistem pembuluh limfa pada sinus maksila menuju ke muara sinus sampai
ke meatus medius, kemudian menuju ke arah pleksus limfatikus di sekitar muara
tuba Eustachius, selanjutnya bermuara pada kelenjar limfa retrofaring lateral.6
5
V. supraorbitaV. temporalis superficialis
V. labialis superior
V. facialis
V. retromandibularis
V. jugularis interna
Pleksus pterygoideus
V. maxillaris
N. maksillaris
N. opthalmicus
N. alveolaris superior
N. infraorbitalis
N. alveolaris inferior
N. trigeminus
Ganglion trigeminale
N. lingualis
Gambar 4. Vaskularisasi arteri sinus maksilaris
Gambar 5. Vaskularisasi vena sinus maksilarisPersarafan sensorik sinus maksila oleh n. alveolaris superior yang
merupakan cabang kedua dari n.trigeminus. Persarafan simpatik berasal dari
pleksus nervosus karotikus melalui ganglion sfenopalatina dan berakhir pada
tunika propria sebagai jalinan serabut-serabut saraf yang banyak.6
6
Gambar 6. Persarafan sinus maksilaris
2.5. Fungsi Sinus Maksila.
Beberapa teori menyebutkan sinus paranasalis mempunyai fungsi sebagai berikut :
mengurangi berat cranium, resonansi udara dan mempengaruhi kualitas suara,
penahan suhu (termal insulator), pengatur kondisi udara (air conditioning),
mempengaruhi gaya berat pada saat mengunyah ke arah lateral sehingga tekanan
tidak langsung mengenai orbita, sebagai peredam perubahan tekanan udara seperti
pada saat bersin atau membuang ingus, membantu produksi mukus untuk
membersihkan partikel yang masuk bersama udara inspirasi ke dalam sinus.1
2.6. Klasifikasi
Berdasarkan konsensus pada Internasional Conference of Sinus Disease, sinusitis
maksilaris dibagi menjadi 2 yaitu:2, 3
1. Sinusitis maksilaris akut
Sinusitis maksilaris akut adalah infeksi sinus maksilaris yang berlangsung
selama 7 hari sampai 8 minggu, dengan episode serangan kurang dari 4 kali
dalam setahun dan setelah diberikan terapi optimal , mukosa sinus akan
kembali normal.
2. Sinusitis maksilaris kronis
Sinusitis maksilaris kronis adalah infeksi sinus yang berlangsung lebih dari
8 minggu sampai jangka waktu yang tidak terbatas, dengan episode
serangan lebih dari 4 kali dalam setahun dan walaupun diberikan terapi
yang optimal, mukosa tetap abnormal sehingga harus dibuang lewat
pembedahan.
7
2.7. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Dalam keadaan fisiologis, sinus dalam keadaan steril. Penyebab dari sinusitis
maksilaris bermacam-macam diantaranya:2,4
a. Virus, bakteri atau infeksi jamur dari saluran pernafasan.
b. Penularan dari infeksi sinus di dekatnya, seperti faringitis, tonsilitis atau
radang pada gigi geraham atas (odontogen).
c. Rhinitis alergi dan rhinitis kronik. Pada keadaan ini terjadi hipersekresi
cairan mukus yang dapat menyumbat osteum sinus dan menjadi media
bagi pertumbuhan kuman
d. Obstruksi mekanik seperti kelainan septum (spina septum, deviasi septum,
dislokasi septum), hipertropi konka media, benda asing dalam hidung,
polip dan tumor di rongga hidung akan menyebabkan salah satu atau
kedua rongga hidung menjadi lebih sempit
e. Trauma kapitis yang melibatkan sinus maksilaris.
f. Polusi udara.
Sinusitis maksilaris odontogen dapat disebabkan oleh:2,4
1. Granuloma pada akar gigi sebagai fokal infeksi yang menuju sinus
maksilaris.
2. Ekstrasi gigi yang menyebabkan akar gigi masuk ke dalam sinus.
3. Tindakan yang menyebabkan akar gigi masuk ke dalam sinus.
4. Adanya alat yang merusak lapisan epitel sinus.
5. Tindakan pada gigi impaksi M3, bicuspid atau yang masuk kedalam
sinus.
6. Fraktur prosesus maksilaris yang melibatkan beberapa gigi sehingga
sinus terbuka.
7. Adanya radicular cyst yang menyangkut kedalam sinus.
8. Adanya dry socket akibat pencabutan gigi, dimana socketnya tidak
terisi bekuan darah, sehingga mudah kemasukan sisa makanan yang
menyebabkan infeksi dan menjalar ke dalam sinus.
9. Abses akar gigi yang mengalami gangren.
8
2.8 Epidemiologi Sinusitis Maksilaris Dentogen
Dari berbagai penelitian mengenai sinusitis maksilaris dentogen, didapatkan
bahwa prevalensi sinusitis maksilaris paling banyak pada usia dewasa muda (20-
40 tahun) dan perempuan lebih banyak terkena dibandingkan laki-laki. Dari
berbagai penelitian, didapatkan sebagian besar keluhan penderita sinusitis
maksilaris adalah hidung berbau, diikuti dengan nyeri di daerah pipi atau hidung,
hidung tersumbat, dan hidung berair. Penyakit gigi seperti abses apikal atau
periodontal dapat menimbulkan gambaran bakteriologik yang didominasi oleh
gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk, sehingga timbul keluhan
hidung berbau.7
Sinusitis maksilaris dentogen dapat terjadi secara unilateral maupun
bilateral. Prevalensi sinusitis maksilaris unilateral lebih tinggi daripada bilateral.
Keterlibatan antrum unilateral (satu sisi) seringkali merupakan indikasi dari
keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi, maka organisme yang
bertanggung jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif, yang merupakan
organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram
positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.7
Penyakit gigi terbanyak yang menyebabkan sinusitis maksilaris dentogen
berdasarkan penelitian di departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik
Medan adalah abses apikal (71,43%), diikuti oleh periodontitis (34,29%),
ginggivitis (20%), fistula oroantral (8,57%), kista dentigerous (2,86%) dan
granuloma periapikal (2,86%).7
Lokasi gigi yang terbanyak menyebabkan sinusitis maksilaris dentogen
berdasarkan berbagai penelitian adalah gigi molar pertama, diikuti oleh premolar
kedua, dan premolar pertama. Akar gigi premolar kedua dan molar pertama
berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu
berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila sehingga dapat terjadi
penyebaran infeksi bakteri langsung dari akar gigi ke dalam sinus maksila.7
Dari hasil perhitungan resiko relatif yang dilakukan oleh Primartono dan
Suprihati (Semarang, 2003) disapatkan bahwa infeksi gigi premolar atas
mempunyai kemungkinan 12 kali lebih besar untuk terjadi sinusitis maksilaris
kronik dibandingkan dengan yang tanpa infeksi gigi.7
9
2.9. Patofisiologi
Sinus paranasalis mempunyai sistem pertahanan terhadap infeksi. Mekanisme
pertahanan tersebut didapat dengan adanya daya untuk menghancurkan kuman
oleh lisozim. Lisozim yang terdapat pada lapisan mukus bersifat destruktif
terhadap sebagian bakteri. Mekanisme pertahanan yang lain diperoleh dari daya
gerak silia. Sistem pertahanan sinus paranasalis dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu:2
1. Transport mukosilia
Kuman atau benda asing yang masuk ke dalam sinus akan diselubungi
oleh suatu lapisan yang disebut mucous blanket, kemudian gerakan silia
akan mengalirkan ke arah ostium dan akhirnya keluar. Apabila gerakan
silia mengalami gangguan maka drainase sinus akan terganggu sehingga
terjadi penimbunan mukus.
2. Ostium sinus.
Ostium merupakan titik paling lemah dari mekanisme pertahanan sinus
karena pada keadaan normal pun sinus sangat sempit sehingga ventilasi
sinus sering terganggu.
3. Pertukaran O2.
Pertukaran O2 sering terganggu pada pembentukan ostium. Kadar O2 dalam
sinus mempunyai hubungan dengan ukuran dan terbukanya ostium. Bila
ostiumnya tersumbat, kadar O2 akan berkurang sehingga aktivitas
mukosilia juga berkurang.
4. Peredaran darah dalam mukosa sinus.
Absorbsi oksigen terjadi secara perfusi dan jumlahnya tergantung dari
jumlah darah pada daerah tersebut. Adanya gangguan peredaran darah
dalam sinus akan menyebabkan gangguan absorbsi oksigen.
Komplek osteomeatal terdiri dari infundibulum ethmoid yang terdapat di
belakang prosesus uncinatus, resesus frontalis, bula ethmoid dan sel-sel ethmoid
anterior dengan ostiumnya dan osteum sinus maksila merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam patofisiologi sinusitis paranasalis. Struktur ini
mempunyai lebar hanya beberapa millimeter, sehingga merupakan celah yang
amat sempit dan ditutup oleh permukaan mukosa yang saling berhadapan dan
10
bahkan kadang-kadang saling menempel, seperti leher botol. Kondisi ini
memudahkan terjadinya gangguan fungsi tuba dan drainase sinus paranasalis.2
2.10. Gejala dan Tanda
1. Sinusitis maksilaris akut
Gejala sinusitis maksilaris akut meliputi gejala sistemik dan lokal. Gejala sistemik
berupa demam sampai menggigil, malaise, lesu serta nyeri kepala terutama pada
sisi yang sakit. Gejala lokal dapat berupa rasa nyeri tumpul dan menusuk di
daerah pipi atau di bawah kelopak mata yang bisa menyebar ke alveolus sehingga
sering dikelirukan sebagai sakit gigi. Nyeri alih lain bisa juga dirasakan di dahi
dan di depan telinga. Nyeri semakin berat jika kepala digerakkan secara
mendadak, misalnya sewaktu naik turun tangga. Sekret mukopurulen dapat keluar
dari hidung dan terkadang berbau busuk bahkan bercampur darah. Batuk serta
kurangnya sensitifitas dalam merasakan rasa dan bau.8
Pada pemeriksaan di dapatkan pembengkakan di daerah muka yaitu pipi
dan kelopak mata bawah. Pada palpasi dan perkusi di daerah tersebut akan terasa
nyeri. Dengan rhinoskopi anterior akan tampak mukosa konka hiperemis dan
edema serta tampak adanya sekret mukopurulen di meatus nasi media. Pada
rhinoskopi posterior tampak sekret mukopurulen di nasofaring( post nasal drip).
Dengan pemeriksaan transiluminasi akan tampak gambaran bulan sabit di bawah
rongga mata yang menjadi lebih suram/gelap dibandingkan dengan normal.1, 3, 5
2. Sinusitis Maksilaris Kronis
Gejala sinusitis maksilaris kronis umumnya sangat bervariasi. Gejala dapat
dirasakan berat sehingga menghalangi penderita untuk bekerja atau dapat ringan
tetapi berlangsung lama. Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala mirip dengan
gejala sinusitis akut, sedangkan di luar masa tersebut akan didapatkan gejala-
gejala sesuai dengan faktor predisposisinya, disertai gejala-gejala yang meliputi:1,5
a. Gejala pada hidung dan nasofaring antara lain obstruksi hidung akibat
hipertropi mukosa hidung dan konka, sekret hidung berupa pus atau
mukopus yang disertai bau busuk, post nasal drip dan epistaksis.
b. Gejala pada faring yaitu rasa tidak nyaman di tenggorokan.
11
c. Gejala pada telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena
tersumbatnya tuba eusthachius.
d. Rasa nyeri dan sakit kepala.
e. Gejala pada mata yaitu epifora dan konjungtivitis oleh karena penjalaran
infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f. Gejala saluran pernafasan berupa batuk dan terdapat komplikasi di paru
berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkiale, sehingga terjadi
penyakit sinobronkitis.
g. Gejala pada saluran pencernaan oleh karena mukopus yang tertelan.
2.11. Diagnosis
1. Anamnesis.
Dicurigai sinusitis akut apabila terjadi infeksi saluran nafas yang menetap dalam
7-10 hari, terutama jika infeksinya berat dan disertai demam tinggi, sekret purulen
dari hidung, atau edema periorbital. Batuk pada malam hari adalah gejala nomor 2
tersering atau tanda dari sinusitis yang diikuti oleh rhinitis purulen. Sakit kepala,
nyeri wajah atau edema tidak sering ditemukan.8
Gejala dari sinusitis kronik adalah tidak spesifik dan bervariasi. Bila ada
demam, suhu badan tidak begitu tinggi. Malaise, cepat lelah dan anoreksia
mungkin ada. Sekret dari hidung bervariasi dari tipis sampai tebal, dari serus
sampai purulen. Bau mulut dilaporkan lebih sering pada orangtua daripada anak.
Obstruksi hidung ditandai dengan bernafas melalui mulut dan adanya nyeri
tenggorok.8
Beberapa anak kecil dengan sinusitis maksilaris kronik, orang tuanya
mungkin menemukan secara kebetulan pada pagi hari, mata yang bengkak dan
tanpa rasa nyeri. Anak yang lebih besar mungkin mengeluh hilangnya
kemampuan perasa oleh karena hubungannya dengan obstruksi nasal dan
anosmia. Gejala pada malam hari mungkin juga termasuk mengorok dan batuk
oleh karena hubungannya dengan post nasal drip.8
2. Pemeriksaan fisik
Untuk melihat tanda-tanda klinis dapat dilakukan pemeriksaan antara lain:1,2
12
a. Inspeksi, yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada wajah.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-
merahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut.
b. Palpasi, nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya
sinusitis maksila.
c. Rhinoskopi anterior, tampak mukosa hidung hiperemis dan edema, terlihat
pus pada meatus nasi media.
d. Rhinoskopi posterior, tampak sekret kental di nasofaring (post nasal drip)
e. Transiluminasi. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit yang
terang di bawah mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna apabila salah satu sisi
sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan sisi yang normal.
3. Pemeriksaan mikrobiologik dan laboratorium.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Pada sinusitis akut, kemungkinan akan ditemukan
bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman
patogen, seperti Pneumococcus, Sterptococcus, Sthaphylococcus dan H.influenza
atau bahkan virus/jamur. Sedangkan pada sinusitis kronis biasanya ditemukan
infeksi campuran oleh berbagai macam mikroba seperti kuman aerob S.aureus,
S.viridans, H.influenza dan kuman anaerob Peptostreptokokus dan
Flusobakterium.8
Adanya kultur sinus adalah satu-satunya cara definitif untuk
mengkonfirmasi diagnosa dari sinusitis yang infeksius. Kultur bisa diperoleh dari
meatus nasi media dibawah tuntunan endoskopi atau melalui tehnik punksi.
Organisme spesifik dipertimbangkan patogen saat lebih dari 104 koloni terbentuk,
spesies-spesies ini timbul pada kultur atau saat hitung jenis PMN lebih dari 5000
ml.8
Pemeriksaan endoskopi pada sinus maksilaris disebut sinuskopi atau
antroskopi. Caranya adalah kanul dan trokar dimasukkan ke dalam antrum melalui
dinding lateral meatus nasi inferior dengan memakai anestesi lokal. Kemudian
trokar dicabut dan antroskop dimasukkan ke dalam sinus melalui kanul. Apabila
13
dalam sinus masih banyak terdapat cairan maka terlebih dahulu dilakukan irigasi.
Pada sinusitis maksilaris kronis dijumpai gambaran mukosa yang menebal, edema
atau polipoid dan pada bagian tertentu kemungkinan terjadi fibrosis serta dilapisi
oleh sekret berupa pus atau mukopus.8
Tujuan dilakukan punksi sinus maksilaris selain untuk membantu
menegakkan diagnosis juga bertujuan untuk memberikan terapi dengan
melakukan irigasi memakai cairan fisiologis.8
4. Pemeriksaan radiologi
Evaluasi radiologi berguna bila diagnosis sinusitis akut yang meragukan setelah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan radiologi sinus (posisi water’s,
Caldwell, lateral dan oblique) mempunyai nilai prediksi 72-96% dalam
mendiagnosa sinusitis akut. Posisi water’s sendiri mempunyai nilai prediksi yang
sama untuk mendiagnosa sinusitis maksilaris. Pada sinusitis maksilaris akut
ditemukan penebalan mukosa, air fluid level dan perselubungan sinus. Kelemahan
dari pemeriksaan radiologi adalah adanya variasi hasil pemeriksaan,
ketidakmampuan untuk membedakan polip atau tumor dan visualisasi yang buruk
dari sinus etmoid dan sinus sphenoid.1,2
Pemeriksaan radiologi pada individu dengan sinusitis kronik menunjukkan
respon osteoblastik yang mempengaruhi dinding sinus, penebalan
mukoperiosteum, perselubungan rongga sinus dan kadang menyempitnya rongga
sinus.. Akhir-akhir ini, CT scan banyak digunakan untuk evaluasi preoperative
dan MRI untuk membedakan penyebaran orbita dan intrakranial.1,2
Gambar 7. Roentgen posisi Water’s untuk menilai sinus maksillaris
14
Gambar 8. Sinus maxilaris pada pemeriksaan CT scan
5. Pemeriksaan gigi
Infeksi gigi berperanan pada 10% kasus sinusitis maksilaris, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan gigi rahang atas. Penyebab tersering adalah gigi premolar
dan molar 1 yang mengalami gangren pulpa, abses pada apeks gigi akibat cabut
gigi dan periodontis kronis.7
2.12. Diagnosis Banding.
Diagnosis banding dari sinusitis maksilaris akut adalah:8
1. Rhinitis alergi
2. Infeksi gigi geraham atas
3. Benda asing dalam rongga hidung
Dignosis banding dari sinusitis maksilaris kronik adalah:8
1. Karsinoma sinus maksila
2. Ozaena
3. Benda asing dalam rongga hidung.
2.13. Penatalaksanaan.
Terapi sinusitis maksilaris akut,umumnya terdiri dari:1,2,8
1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spectrum luas yang relative murah dan
aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa kepustakaan
juga bervariasi tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut, antibiotika
15
diberikan selama 5-7 hari sedangkan pada kasus kronik diberikan selama 2
minggu hingga bbas gejala selama 7 hari. Antibiotika yang dapat diberikan antara
lain:
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
3. Dekongestan
a. Sol efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol.Oksimetasolin HCL 0,05%(semprot hidung untuk dewasa.
c. Oksimetasolin HCL 0,025%(semprot hidung untuk anak-anak)
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60mg (dewasa)
4. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
5. Antihistamin
Antihistamin berguna untuk mengurangi obstruksi KOM pada pasien alergi
yang menderita sinusitis akut. Terapi antihistamin ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis
akut, karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang
mengentalkan dan mengumpulkan sekresi sinonasal.
6. Mukolitik
Secara teori, mukolitik memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan
memperbaiki drainase. Namun tidak biasa digunakan dalam praktek klinis
untuk mengobati sinusitis akut.
7. Tindakan operatif
Irigasi antrum segera dilakukan jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak
menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan terapi konservatif, atau telah
didapatkan adanya air fluid level dalam antrum. Tindakan ini dapat
dilakukan dengan menusukkan jarum melalui meatus nasi inferior, atau
16
melalui celah bukalis gusi menembus fosa insisiva. Kemudian dengan
mengalirkan larutan saline hangat ke dalam antrum maksilaris, akan
mendorong pus ke luar melalui ostium alami. Selain untuk memperbaiki
aliran mukosilier, tehnik irigasi ini dimaksudkan untuk memperoleh material
yang dapat digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas.
Sinusitis yang berulang atau persisten dan menimbulkan komplikasi
dapat dilakukan terapi pembedahan. Bila tidak ada komplikasi, pasien
dengan sinusitis akut jarang membutuhkan pembedahan. Bila pengobatan
konservatif gagal, dilakukan terapi radikal yaitu pembedahan Caldwel-luc,
yaitu dengan mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainase
sinus. Kegagalan respon terhadap terapi antibiotik, terutama pada sinusitis
kronik dan persisten adalah indikasi intuk intervensi bedah.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional
Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan tehnik penanganan terkini
dari sinusitis oleh karena pembedahan dengan metode Caldwel-luc sudah
jarang dipakai. Pembedahan ini dapat memperbaiki ventilasi sinus dan dapat
mengembalikan fungsi mukosilier.
Pendekatan terdahulu untuk membuat saluran nasoantral dalam sinus
maksilaris (untuk memfasilitasi gravitasi drainase) adalah tidak efektif,
karena pembersihan normal mukosilier adalah satu arah dan melawan
gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan normal mukosilier tidak akan
berubah walaupun telah dibuatkan saluran nasoantral. Konsultasi
pembedahan dipertimbangkan saat sinusitis kronik refrakter terhadap terapi
medis yang maksimal atau adanya komplikasi seperti bentukan mukopiokele
dengan kecurigaan penyebaran ke orbita atau intracranial.
2.14 Pencegahan.
Pasien dengan rhinitis alergi yang sudah menunjukkan gejala dan tanda dari
edema mukosa harus segera diobati karena edema mukos dapat menyebabkan
obstruksi sinus yang berperanan untuk terjadinya sinusitis sekunder. Bila adenoid
mengalami infeksi, meghilangkan itu berarti eliminasi sarang infeksi dan dapat
17
mengurangi infeksi sinus. Menjaga kebersihan gigi dan mulut adalah salah satu
upaya untuk mengurangi resiko terjadinya sinusitis maksilaris odontogen.1
2.15 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata setelah ditemukannya antibiotik.
Menurut David E. Schuller(1994), komplikasi sinusitis maksilaris jarang terjadi.
Komplikasi sinusitis dianggap tidak berbahaya kecuali osteomielitis dari maksila
superior. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut. Apabila antibiotika diindikasikan, harus
diteruskan sampai infeksi reda, yaitu tidak kurang dari 10 hari. Komplikasi yang
terjadi antara lain:2,8
1. Lokal.
a. Ostomielitis tulang maksila, dapat menyebabkan timbulnya
fistula oroantral.
b. Mukokel, yaitu berupa kista yang mengandung mukus terletak
di dalam sinus.
c. Piokel yaitu mukokel yang terinfeksi.
2. Orbita
Infeksi intra orbita seperti edema palpebra, selulitis orbital, abses
subperiosteal, abses orbita dan cavernous sinus trombosis.
3. Intrakranial
a. Meningitis akut.
b. Epidural
c. Subdural abses.
d. Abses otak
4. Sistemik
a. Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis,
nosokomial empyema. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
dengan kelainan paru disebut sinobronkitis.
b. Sepsis.
c. Empyema
18
2.16 Prognosis.
Pasien dengan sinusitis maksilaris akut, apabila diobati dengan antibiotika yang
tepat biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat, apabila tidak ada respon dalam
48 jam atau gejala makin memburuk, pasien dievaluasi kembali. Prognosis
tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan. Semakin
cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotik serta obat-obat
simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan
prognosis yang baik. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional akan mengembalikan
fungsi sinus dan gejala akan sembuh secara komplit atau moderat sekitar 80-90%
pada pasien dengan sinusitis kronis rekuren atau sinusitis kronis yang tidak
responsif terhadap terapi medikamentosa.1
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : DMK
Umur : 31 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Klungkung
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Hindu
Bangsa : Indonesia
Pemeriksaan : 3 Mei 2011
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Hidung kanan berbau
Perjalanan Penyakit:
Pasien mengeluh hidung kanannya dirasakan berbau sejak kurang lebih 1
tahun yang lalu. Pada awalnya pasien merasakan nyeri pada gigi kanan bagian
atas. Beberapa minggu setelah itu disertai pilek hilang timbul. Dikatakan
19
warna cairan hidung ketika pilek terkadang kuning dan terkadang kehijauan
yang kental disertai bau yang tidak enak. Beberapa bulan setelah itu pasien
merasa nyeri pada daerah pipi bagian kanan yang dirasakan hingga ke dahi
yang hilang timbul serta sering mengeluh rasa tidak enak badan.
Riwayat sakit mata sebelumnya disangkal. Riwayat pusing, mual dan
muntah pun disangkal.
Riwayat Pengobatan:
Riwayat pemeriksaan ke dokter gigi di sangkal oleh pasien. Riwayat
pengobatan untuk sakit giginya juga disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit terdahulu:
Riwayat menderita gejala bersin yang berulang bila terpapar agen tertentu dan
sekret yang encer, pilek lama, asthma, hipertensi, jantung, diabetes, disangkal.
Riwayat penyakit serupa dalam keluarga:
Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa dengan pasien.
Riwayat Sosial:
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status General
Status hemodinamik stabil
Status THT:
Telinga Kanan Kiri
Aurikula normal normal
Liang telinga lapang lapang
Membran tympani intak intak
Mastoid normal normal
Hidung Kanan Kiri
20
Hidung luar normal normal
Cavum nasi lapang lapang
Septum tidak ada deviasi
Discharge minimal negatif
Mukosa merah muda merah muda
Tumor negatif negatif
Konka dekongesti dekongesti
Choana normal normal
Regio sinus maksilaris nyeri tekan normal
Mulut dan Tenggorok
Karies positif (M1atas) negatif
Dispneu negatif
Stridor negatif
Cyanosis negatif
Suara normal
Mukosa merah muda
Tonsil T1/T1 tenang
Dinding belakang merah muda
Post nasal drip negatif
Gambar 9. Lokasi gigi pasien yang sakit
3.4. Pemeriksaan Penunjang (3 Mei 2011)
21
Gambar 10. Foto Water’s dengan kesan sinusitis maksilaris dextra
3.5. Resume
Pasien perempuan, 31 tahun, Hindu, Bali datang dengan keluhan hidung
kanan terasa bau sejak 1 tahun sebelum memeriksakan diri ke rumah sakit.
Pada awalnya pasien merasakan nyeri pada gigi bagian kanan. Beberapa
minggu setelah itu disertai pilek hilang timbul. Dikatakan warna cairan hidung
ketika pilek terkadang kuning dan terkadang kehijauan yang kental disertai
bau yang tidak enak. Beberapa bulan setelah itu pasien merasa nyeri pada
daerah pipi bagian kanan, dirasakan hingga ke dahi yang hilang timbul serta
sering mengeluh rasa tidak enak badan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status general
dalam batas normal. Status THT : telinga tenang, cavum nasi lapang,
discharge negatif, konka dekongesti. Pada pemeriksaan regio sinus maxila,
ditemukan nyeri tekan dextra. Pemeriksaan mulut dan tenggorok ditemukan
karies gigi molar pertama maxila dextra. Pemeriksaan Rontgen posisi Water’s
didapatkan kesan sinusitis maksilaris kanan.
3.6. Diagnosa Banding
Sinusitis maksilaris kronis dextra
Rhinitis alergi
22
3.7. Diagnosis
Sinusitis maksilaris kronis dextra
3.8. Penatalaksanaan
Irigasi sinus maksillaris
Konsul dokter gigi
3.9. Prognosis
Dubius ad bonam
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini, diagnosis sinusitis maksilaris kronik ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan keluhan hidung berbau sejak satu tahun yang lalu. Perjalanan
penyakitnya berawal dari nyeri pada gigi atas bagian kanan. Beberapa minggu
setelah nyeri, muncul gejala pilek yang hilang timbul. Dikatakan warna cairan
hidung ketika pilek terkadang kuning dan terkadang kehijauan yang kental disertai
bau yang tidak enak. Beberapa bulan setelah itu pasien merasa nyeri pada daerah
pipi bagian kanan yang dirasakan hingga ke dahi dan bersifat hilang timbul.
Pasien juga sering mengeluh rasa tidak enak badan. Hal ini sesuai dengan gejala
dari sinusitis maksilaris dimana terdapat gejala hidung berbau, pilek yang hilang
timbul, nyeri di area maksilaris, dan adanya nyeri alih ke dahi.8 Sinusitis
maksilaris ini bersifat kronis karena keluhan tersebut telah dialami pasien selama
satu tahun, dimana hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa
sinusitis dikatakan kronis jika telah berlangsung lebih dari 8 minggu2,3.
Dari riwayat penyakit terdahulu tidak didapatkan riwayat alergi terhadap
bahan-bahan tertentu, makanan, maupun obat. Riwayat sering pilek sejak kecil,
asma, gejala bersin yang berulang bila terpapar agen tertentu dan sekret yang
23
encer disangkal oleh pasien. Dari riwayat penyakit dalam keluarga seperti asma
atau alergi juga disangkal oleh pasien. Dengan demikian maka dari anamnesis
dapat disingkirkan diagnosis banding rhinitis alergi.
Dari pemeriksaan fisik status lokalis didapatkan karies pada gigi molar
pertama rahang atas kanan dan pada pemeriksaan penekanan regio sinus
didapatkan nyeri tekan pada sinus maksilaris kanan. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan dimana pada pemeriksaan fisik akan didapatkan nyeri tekan pada saat
palpasi atau perkusi regio maksila.1,2
Melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik, ditetapkan diagnosa klinik
sinusitis maksilaris kronik dextra dengan diagnosis banding rhinitis alergi.
Untuk menetapkan diagnosa kerja dilakukan pemeriksaan penunjang foto
roentgen posisi Water’s. Dari hasil roentgen didapatkan gambaran perselubungan
pada sinus maksilaris kanan dengan dinding yang masih baik. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan bahwa pada pasien dengan sinusitis maksilaris dapat
ditemukan gambaran perselubungan maupun air fluid level pada daerah sinus
maksilaris.1,2
Sinusitis maksilaris pada kasus ini kemungkinan akibat riwayat infeksi
pada gigi geraham atas molar 1 atau disebut sinusitis maksilaris dentogen karena
penderita mengeluh sakit pada gigi hilang timbul dan belum pernah
memeriksakan ke dokter gigi. Menurut kepustakaan, prevalensi sinusitis
maksilaris paling banyak pada usia dewasa muda (20-40 tahun) dan perempuan
lebih banyak terkena dibandingkan laki-laki. Dari berbagai penelitian, didapatkan
sebagian besar keluhan penderita sinusitis maksilaris dentogen adalah hidung
berbau, diikuti dengan nyeri di daerah pipi atau hidung, hidung tersumbat, dan
hidung berair. Hal ini sesuai dengan yang didapatkan pada pasien, dimana pasien
adalah perempuan berusia 31 tahun dan mengalami gejala-gejala seperti yang
disebutkan pada kepustakaan.7
Prevalensi sinusitis maksilaris unilateral lebih tinggi daripada bilateral.
Keterlibatan antrum unilateral (satu sisi) seringkali merupakan indikasi dari
keterlibatan gigi sebagai penyebab. Dari gejala yang didapatkan yaitu nyeri pada
pipi sebelah kanan saja, adanya riwayat nyeri gigi disebelah kanan, pada
pemeriksaan fisik ditemukan karies gigi molar pertama pada rahang atas, dan dari
24
hasil roentgen yang menggambarkan perselubungan di area maksilaris kanan,
menunjukkan bahwa pasien mengalami sinusitis maksilaris unilateral yang
semakin mengarahkan keterlibatan gigi sebagai penyebab.7
Kemudian beberapa minggu setelah itu disertai pilek hilang timbul.
Dikatakan warna cairan hidung ketika pilek terkadang kuning dan terkadang
kehijauan yang kental disertai bau yang tidak enak. Beberapa bulan berikutnya
pasien merasa nyeri pada daerah pipi bagian kanan, dirasakan hingga ke dahi yang
hilang timbul serta sering mengeluh rasa tidak enak badan. Sesuai dengan
kepustakaan, gejala ini sudah mengarah ke diagnosis sinusitis.8
Lokasi gigi yang dapat menyebabkan sinusitis maksilaris dentogen
berdasarkan berbagai penelitian adalah gigi premolar pertama, premolar kedua,
molar pertama, dan molar kedua. Akar gigi premolar kedua dan molar pertama
berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu
berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila sehingga dapat terjadi
penyebaran infeksi bakteri langsung dari akar gigi ke dalam sinus maksila.7 Hal
ini sesuai dengan yang ditemukan pada pasien, yaitu pada pemeriksaan fisik
ditemukan karies gigi pada molar pertama rahang atas.
Penanganan yang dilakukan untuk mengeluarkan sekret dari sinus adalah
dengan melakukan irigasi. Irigasi dilakukan dengan memasukkan trokar ke dalam
meatus nasi inferior untuk membuat lubang sebagai akses cairan pembilas. Cairan
di semprotkan ke dalam sinus dan keluar melalui ostium alami.1,2,8 Namun karena
alat irigasi sinus di RSUD Sanjiwani Gianyar rusak, maka pasien dirujuk ke
RSUP Sanglah.
Sebagai terapi definitif harus dicari faktor penyebabnya untuk kemudian di
tanggulangi sehingga memberikan prognosis yang baik. Pada pasien ini dicurigai
penyebabnya adalah karies gigi molar pertama kanan atas, sehingga sebagai terapi
definitif gigi tersebut harus dicabut setelah dilakukan irigasi sinus. Karena itu
pasien juga dikonsulkan ke dokter gigi untuk mendapatkan penanganan lebih
lanjut.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR,
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90
2. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik TL. Acute Sinusitis Medical Treatment.
August 8, 2005. Available from: http://www.emedicine.com. Accessed August
15, 2006
3. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract.
In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY:
McGraw Hill; 2005. p. 185-93
4. Bajracharya H, Hinthorn D. Sinusitis. January 16, 2003. Available from:
http://www.emedicine.com. Accessed August 15, 2006
5. Kennedy E. Chronic Sinusitis. November 28, 2005. Available from:
http://www.emedicine.com. Accessed August 15, 2006
6. Zalfina Cora. Korelasi Tes Kulit Cukit dengan Kejadian Sinusitis Maksila
Kronis di Bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2001.
26
7. Farhat.Peran Infeksi Gigi Rahang Atas Pada Kejadian Sinusitis Maksila di
RSUP H.Adam Malik Medan. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara
Volume 39 No.4, Hal 386-92.
8. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Supardi EA, Iskandar N, editor.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Ed 5.
Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2001. p.120-4
27