View
332
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sikap hakim
Citation preview
Page 1 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
BUNGA RAMPAI:
SIKAP HAKIM TERHADAP KEABSAHAN ADVOKAT BERACARA DI
PENGADILAN BERKAITAN DENGAN ASAL ORGANISASINYA
Oleh: Nurhadi, S.HI.1
A. PENDAHULUAN
1. Sejarah dan Peraturan Advokat Pada Masa Pra Kemerdekaan
Profesi Advokat adalah profesi yang bebas (free profession; vrij
beroep), yang tidak tunduk pada hirearkhi jabatan dan tidak tunduk pada
perintah atasan dan hanya menerima perintah atau order atau kuasa dari
klien berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang tertulis ataupun tidak
tertulis, yang tunduk pada Kode Etik Profesi Advokat, tidak tunduk pada
kekuasaan publik, seperti Notaris yang merupakan jabatan publik, yang
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab publik.
Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan,
selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di
luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan
pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin
berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki
kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa.
Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam
pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi
sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan
hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk
dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti
profesi Advokat tidak dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi itu
sendiri. Hal itu bisa karena faktor di luar dirinya yang begitu kuat, tetapi
1 Hakim pada Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon, Kab. Aceh Utara sejak Desember
2011 sampai sekarang. Sebelumnya Cakim pada Pengadilan Agama Tigaraksa Kab. Tangerang, Banten sejak Mei 2009 sampai November 2011, dan sebelumnya juga Advokat pada Kantor Hukum Muchzan Yara & Rekan, Muchyar Yara & Associates (2008), dan Jawulaa & Associates (2007).
Page 2 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
terkadang juga karena kurangnya penghayatan Advokat yang bersangkutan
terhadap esensi profesinya.2
Padahal profesi Advokat sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini
dikenal secara universal sekitar tahun 2000-an, ia sudah dijuluki sebagai
“officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Profesi Advokat
itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat
dan bukan kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut
menegakkan hak-hak asasi manusia.
Sejarah keadvokatan di Indonesia tumbuh dan berkembang tidak
sebagaimana yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah jajahan lainnya,
keadvokatan Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial Belanda.
Maka konsekuensi logis apabila model Advokat Indonesia dengan
sendirinya adalah seperti Advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial terhadap perkembangan profesi Advokat
terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan
tradisi hukum eropa kontinental (civil law). Misalnya bagi Inggris dan
Amerika dengan tradisi hukum common law memandang besarnya jumlah
Advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan, sedangkan bagi Perancis,
Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa Kontinental (civil law)
justru sebaliknya.
Di Hindia Belanda (Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an,
semua Advokat dan Notaris adalah orang Belanda. Hal ini pula yang
mempengaruhi mengapa perkembangan Advokat pasca kemerdekaan
Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S. Lev
berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah Advokat pribumi tergantung
kepada kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi
kolonialnya.
Pada saat Belanda merampas daerah pedalaman Jawa yang disusul
pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan pemerintahan tidak
langsung di Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan elite
2 Yunasril Yuzar, Standar Kompetensi Profesi Advokat Indonesia, di
http://www.advokatcirebon.com/detail_artikel.php?id_artikel=42
Page 3 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah
masih tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan
ini seperti perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas,
Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai
pada akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru
diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan
dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan
yang cocok. Dengan demikian rechtsstaat diperkenalkan di tanah jajahan,
meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial.
Pada permulaan abad kedua puluh pemerintah kolonial menganut
kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan dan
kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena pemerintah
kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun
kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis
peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang
Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama, residentiegerecht yang menjadi
wewenang residen Belanda; pengadilan banding, raad van justitie di ibukota
dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua, pengadilan pemerintah
untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan adat.
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga
tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad.
Landraad inilah yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada
tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie
Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda, namun sejak 1920-
an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan
hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH
Page 4 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement
(HIR).3
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk
bekerja sebagai Advokat, sehingga di Hindia Belanda (Indonesia) sampai
pengetahuan tahun 1920-an, semua Advokat dan Notaris adalah orang
Belanda tidak seorang pun dari golongan Indonesia Asli dan Cina yang
terjun ke profesi ini pada awal dibukanya pendidikan hukum bagi orang
Indonesia, kesempatan ini hanya terbuka bagi Kaum Priyayi Jawa oleh
karena pendidikan hukum dipandang sebagai persiapan untuk menjadi
pegawai pemerintah.
Selama pertengahan Abad kesembilan belas, pendidikan yang
tersedia adalah untuk jabatan pegawai, guru, dan perawat kesehatan. Pada
saat Pemerintah di Batavia mengumumkan akan didirikan sekolah hukum
bagi Orang Indonesia, para ahli hukum Belanda menentang gagasan itu
dengan alasan bahwa orang Bumi Putera tidak siap untuk memenuhi
tuntutan pendidikan dan pekerjaan hukum yang berat. Pemerintah
mengesampingkan keberatan tersebut dan pada tahun 1909 membuka
Rechtsschool di Batavia. Akan tetapi satu-satunya tujuan didirikannya
Rechtsschool adalah untuk menyediakan Panitera, Jaksa, dan Hakim.
Lulusannya tidak dapat menjadi Advokat atau Notaris. Pada tahun 1910-an
akhir, para lulusan dari Rechtsschool diberi kesempatan untuk meraih
gelar meester in de rechten di Belanda.
Pada tahun 1924 sebuah fakultas hukum didirikan di Batavia,
Rechtshogeschool. Dengan tersedianya pendidikan hukum ini, maka
kesempatan bagi orang Indonesia untuk menjadi Advokat semakin terbuka.
Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia
asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para Advokat
Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai Advokat. Diantara
empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden,
3 Khaerul H. Tanjung, Sejarah Hukum Advokat Indonesia, di
http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/sejarah-hukum-advokat-indonesia
Page 5 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
tidak kurang dari enam belas orang menjadi Advokat sepulang ke
Indonesia.4
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan Advokat
Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun
kantor Advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang,
dan kantor Advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi Advokat Indonesia asli
memulai praktek adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena Advokat
Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.
Perkembangan sistem hukum pemerintahan kolonial telah
memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan Advokat pribumi
pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para Advokat
Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para Advokat
Indonesia terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.
Dapat dikemukan berbagai pengaturan profesi Advokat pada masa
pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai berikut:5
a. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57
tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in
Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur
tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar
sarjana hukum.
b. Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de
Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad
van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang
Advokat atau procureur.
c. Staatsblad Tahun 1848 Nomor 8 tentang Bepalingen Bedreffende Het
Kostuum Der Regterlijke Ambtenaren En Dat Der Advocaten, Procureur En
Deurwaarders, yaitu Peraturan Mengenai Pakaian Pegawai Kehakiman
Dan Para Advokat, Jaksa dan Juru Sita.
4 Beberapa nama lain diantaranya; Mr. Iskak Cokroadisuryo, Mr. RM. Sartono,
Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Ali Sastroamidjoyo, dan Mr. R. Sastro Mulyono. 5 Khaerul H. Tanjung, Ibid. dan Yunasril Yuzar, Ibid.
Page 6 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
d. Staatsblad Tahun 1922 Nomor 522 tentang Vertegenwoordiging Van Den
Lande In Rechten, yaitu tentang mengenai Mewakili Negara Dalam
Hukum.
e. Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang
Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab
I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan
orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum
permulaan pemeriksaan.
f. Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang
Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap
orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang
dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah
memberi bantuan.
g. Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en
vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden,
mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’
atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
h. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement
(HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh
bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan
hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya,
maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan
Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang
dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
i. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch
Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut
Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili
oleh orang lain.
Berbagai ketentuan hukum di atas mendasari profesi Advokat pada
masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan Advokat Belanda.
Page 7 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Akan tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari
perkembangan Advokat Indonesia pada masa selanjutnya.
2. Sejarah dan Peraturan Advokat Pada Masa Pasca Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi Advokat di Indonesia dilanjutkan
pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak
melakukan perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti
pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van
strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini
memuat pengaturan tentang kedudukan Advokat dan procureur dan orang-
orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi Advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai
ketentuan perundang-undangan termasuk di dalamnya ketentuan pada
masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi Advokat sejak
proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini
ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah Advokat atau istilah lain
yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS
1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.6
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak
mengatur secara khusus profesi Advokat sebagaimana profesi hukum
lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum.
Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran
menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum
(authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi
hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan
yang mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai
berikut:7
6 Terdapat ketentuan pada bagian V tentang Hak-hak Asasi Manusia UUDS 1950
Pasal 7 ayat 4: “setiap orang berhak mendapat bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu”.
7 Khaerul H. Tanjung, Ibid. dan Yunasril Yuzar, Ibid., lihat juga Afdal Dzikri, Pelaksanaan UURI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Makalah disampaikan pada pendidikan Calon Hakim Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Mei 2010, Mega Mendung, Bogor.
Page 8 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan
Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil
dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau
penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42
memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c. UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara
Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat
ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan
bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum.
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan
UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum
adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum
yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f. UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan
69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum
berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g. UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui
keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada
tersangka atau terdakwa.
h. UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 73 (1).
i. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Pasal 1 (13).
j. UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 1 (30).
k. UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang tentang Kepailitan menjadi Undang-undang Pasal 5.
Page 9 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
l. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan
Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970, telah
mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi Advokat dalam UU tersendiri.
Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya
tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi
Advokat. Setelah 33 tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui
disahkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat, profesi Advokat mendapat pengakuan
sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam prakteknya.
Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen Advokat secara
sistematis sehingga diharapkan para Advokat nantinya dapat
melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium
nobile).
B. NOMENKLATUR DAN PENGERTIAN ADVOKAT
1. Istilah Pokrol Bambu, Advokat, Pengacara Praktek, Penasehat
Hukum, Konsultan Hukum dan Kuasa Hukum
Sebelum lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003 terdapat beberapa
nomenklatur Advokat, misalnya Pokrol Bambu, Pengacara Praktek,
Advokat, Konsultan Hukum/legal consultant, Penasehat Hukum dan Kuasa
Hukum.
Istilah Pokrol Bambu merupakan sebutan profesi hukum zaman
Belanda. Pokrol Bambu adalah julukan bagi siapa saja yang merasa
mampu, berani dan telah atau tengah menjalani memberikan jasa bantuan
hukum termasuk untuk bersidang di Pengadilan sekalipun bukan sarjana
hukum (tidak resmi) atau Pokrol bambu adalah seorang yang memberi
nasehat hukum tetapi belum memperoleh kwalifikasi atau pendidikan
hukum. Dahulu pokrol bambu menjadi aktor penting dalam pelayanan
hukum, karena masyarakat umum merasa berjarak dengan Advokat yang
berizin/resmi. Kemudian istilah Pokrol diatur dalam Peraturan Menteri
Kehakiman Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pokrol, yaitu Pasal 1 "yang
dimaksud pokrol dalam peraturan ini adalah mereka yang memberi
Page 10 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
bantuan hukum sebagai mata pencaharian tanpa pengangkatan oleh
Menteri Kehakiman, dan yang memenuhi syarat-syarat termaksud dalam
Pasal 3. Pasal 3, berbunyi "untuk melaksanakan pekerjaan pokrol harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Warga Negara Indonesia; 2. Lulus
ujian yang diadaikan oleh Kepala Pengadilan Negeri tentang hukum acara
perdata, hukum acara pidana, pokok pokok hukum perdata dan hukum
pidana; 3. Sudah mencapai umur 21 tahun dan belum mencapai umur 60
tahun; dan 4. Bukan pegawai Negari atau yang disamakan dengan pegawai
negeri".
Setelah era Pokrol Bambu muncul istilah Penasehat Hukum. Sesuai
maksud dari istilah Penasehat Hukum dalam Pasal 36 UU Nomor 14 tahun
1970, dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman tanggal 6 Juli 1987 Nomor KMA/005/SKB/VII/1987 dan Nomor
M.03-PR.08.05 tahun 1987 ini atas dasar ukuran pejabat mana yang
dasarnya telah mengeluarkan ijin untuk berpraktek hukum membedakan
mereka yang sehari-hari berprofesi sebagai Penasehat Hukum hanya dalam
dua golongan yaitu: a. Advokat yang telah diangkat oleh Menteri
Kehakiman dan atas dasar itu memperoleh ijin melakukan kegiatan
berpraktek hukum di manapun di seluruh wilayah Indonesia; b. Pengacara
Praktek yang diberi ijin oleh Ketua Pengadilan Tinggi untuk berpraktek
hukum di dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Baik Advokat mapun Pengacara Praktek tersebut masing-masing
memiliki tempat kedudukan yang sudah ditentukan dalam surat keputusan
pengangkatannya atau surat "ijin praktek" yang dikeluarkan oleh Ketua
Pengadilan Tinggi setempat. Semenjak mereka mengucapkan sumpah
profesinya di muka Ketua Pengadilan Tinggi setempat, nama mereka
terdaftar baik kepada Kepaniteraan Pengadilan Tinggi tersebut maupun
pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana tempat kedudukannya
(domisili hukum) ditentukan. Hanya penasehat hukum yang namanya
terdaftar pada suatu Pengadilan Tinggi/Negeri sajalah yang dapat
Page 11 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
dibenarkan beracara di muka Pengadilan sesuai dengan maksud surat
keputusan pengangkatannya atau "surat izin praktek" yang dipegangnya.8
Ada juga istilah Konsultan Hukum/legal consultant adalah
Advokat/pengacara yang memberikan jasa konsultasi hukum kepada
kliennya dan tidak identik dengan litigator (di Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan) melainkan memberikan jasa penanganan seputar aspek-aspek
legal umumnya dalam dunia korporasi/perusahaan. Kuasa Hukum, adalah
Advokat/pengacara yang menjalankan kuasa dari kliennya dan identik
dengan litigator. Setelah lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, semua profesi
yang berkaitan dengan pemberian jasa bantuan hukum tersebut disebut
Advokat (Pasal 1 angka 1).
2. Pengertian Advokat
Dalam praktek hukum di Indonesia, istilah-istilah (nomenklatur) di
atas mempunyai perbedaan pengertian yang cukup bermakna, walaupun
dalam bahasa Inggris semua istilah secara umum disebut sebagai lawyer
atau ahli hukum. Perbedaan pengertian di sini adalah antara peran yang
diberikan oleh lawyer yang memakai istilah Advokat, pengacara dan
penasehat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut trial lawyer atau
secara spesifik di Amerika dikenal dengan istilah attorney at law serta di
Inggris dikenal istilah barrister, dan peran yang diberikan oleh lawyer yang
menggunakan istilah konsultan hukum yang di Amerika dikenal dengan
istilah counselor at law atau di Inggris dikenal dengan istilah solicitor.9
Kata Advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare, yang
berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan
dalam bahasa Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by
argument, to support, indicate or recommend publicly.10
8 Pengacara Praktek diangkat oleh Pengadilan Tinggi dan wilayah kerjanya hanya
dalam yurisdiksi Pengadilan Tinggi tersebut. Advokat diangkat oleh Menteri Kehakiman dan wilayah kerjanya seluruh wilayah di Republik Indonesia.
9 Yudha Pandhu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, (Jakarta: PT. Abadi Jaya, 2001), h. 11.
10 Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Cita, Idealisme, dan Keprihatinan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h. 19
Page 12 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Sedangkan menurut UU No. 18 Tahun 2003 Pasal 1 angka 1
menerangkan bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan undan-undang ini.
Secara terminologis, terdapat beberapa pengertian Advokat yang
dapat didefinisikan oleh para ahli hukum, organisasi, peraturan dan
perundang-undangan yang pernah ada sejak masa kolonial hingga
sekarang.
Ada yang mengartikan bahwa Advokat adalah orang yang mewakili
kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang
diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di
pengadilan atau beracara di pengadilan.11
Ada juga diartikan Advokat sebagai Seorang penasehat hukum
adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.12
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Advokat
adalah profesi yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat atau
kliennya, baik secara litigasi maupun non litigasi dengan mendapatkan
atau tidak mendapatkan honorarium/fee.
C. SEJARAH ORGANISASI ADVOKAT INDONESIA
Berikut ini merupakan perkembangan Organisasi Advokat di
Indonesia:13
1. Pada Masa Pasca Kemerdekaan
11 Yudha Pandu, Ibid., h. 11 12 Lihat, Pasal 1 butir 13 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. 13 Annida Ramasari, Organisasi Advokat di Indonesia, di
http://annida.harid.web.id/?p=350 dan lihat Binziad Kadafi, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta: PSHK, 2001), h. 361. Lihat Welin Kusuma, Peran, Fungsi dan Perkembangan Organisasi Advokat, di http://peradi-sby.blogspot.com http://welin-kusuma. wordpress.com/advokat/
Page 13 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Balie van Advocaten, yang anggotanya umumnya berkebangsaan
Eropa. Persatuan Pengacara Indonesia (Perpi, 1927) beranggotakan para
pokrol bambu.
2. Pada Masa Orde Lama
Tahun 1959-1960, “Balie” Jawa Tengah, Balai Advokat Jakarta,
Bandung, Medan dan Surabaya. Pada tanggal 14 Maret 1963, Persatuan
Advokat Indonesia (PAI) dalam Seminar Hukum Nasional merupakan
embrio Peradin.
Kepengurusan PAI dijabat oleh tin ad-hoc yang bertugas untuk:
a. Menyelenggarakan kongres nasional Advokat Indonesia.
b. Mempersiapkan nama organisasi, anggaran dasar, anggaran rumah
tangga dan kode etik.
c. Merencanakan program kerja dan pengurusan definitif.
Pada tanggal 30 Agustus 1964, dibentuk Persatuan Advokat
Indonesia (PERADIN) dalam Kongres I Musyawarah Advokat di Hotel Dana
Solo. Pada tanggal 3 Mei 1966, PERADIN ditunjuk sebagai pembela tokoh-
tokoh pelaku Gerakan 30 September (G 30 S PKI) dan sekaligus sebagai
satu-satunya wadah organisasi para Advokat di Indonesia.
3. Pada Masa Orde Baru
Pada Kongres 1977, PERADIN mengadopsi beberapa Resolusi, yakni:
a. Korps Advokat sebagai salah satu elemen penegak hukum turut
bertanggung jawab bersama dengan ahli hukum di bidang lainnya dan
dengan masyarakat secara umum bagi pembangunan Indonesia sebagai
negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945.
b. Indonesia sebagai negara hukum harus bertanggung jawab untuk
menjamin dan menghormati hak fundamental warga negara, baik dalam
aspek politik, maupun sosialnya, sehingga dapat tercipta masyarakat
adil makmur berdasarkan Pancasila bagi seluruh masyarakat Indonesia;
c. PERADIN harus meningkatkan perannya selaku organisasi perjuangan
sebagai komitmen esensialnya untuk mencapai kebenaran, keadilan dan
supremasi hukum.
Page 14 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Beberapa anggota PERADIN yang tidak setuju dengan Resolusi
PERADIN mendirikan Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HPHI).
Dukungan pemerintah secara diam-diam dicabut kembali ditandai
dengan berdirinya antar lain Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum
(LPPH-1979), Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum (PUSBADHI), Fosko
Advokat (Forum Studi dan Komunikasi Advokat) dan Bina Bantuan Hukum
(BBH).
Pada tahun 1980-an pemerintah mulai melaksanakan strategi
peleburan PERADIN dan Organisasi Advokat lainnya dalam IKADIN (Ikatan
Advokat Indonesia) sebagai wadah tunggal. Pada 10 November 1985
disepakati berdirinya IKADIN.
Pada tahun 1987, Pemerintah memberikan ijin pendirian Ikatan
Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) sebagai wadah bagi pengacara praktek.
Didirikan sebagai akibat dikotomi “Advokat” dan “pengacara praktek”.
Timbul juga organisasi Advokat yang berdasarkan pada praktek
kekhususan, seperti Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI-1988) dan
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM-4 April 1989).
Tanggal 27 Juli 1990 sekitar dua ratusan anggota Ikadin dari kubu
Gani Djemat-Yan Apul, yang pada waktu itu mengikuti Musyawarah
Nasional Ikadin di Hotel Horison Ancol menyatakan keluar dari Ikadin dan
berikrar mendirikan organisasi Advokat yang bernama Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI).
4. Masa Rekonsolidasi dan Reformasi
Pada tahun 1995, Pemerintah memfasilitasi dua seminar di Jakarta
untuk IKADIN, AAI, dan IPHI. Hasilnya adalah Kode Etik Bersama dan
pembentukan Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI). Belakangan,
IKADIN menarik diri dan memberlakukan kembali Kode Etik IKADIN untuk
para anggotanya.
Diawali dengan tiga kali pertemuan di bulan Januari 2002, pada 11
Februari 2002 dideklarasikan berdirinya Komite Kerja Advokat Indonesia
(KKAI) yang beranggotakan IKADIN, AAI, IPHI, AKHI, HKPM, Serikat
Page 15 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Pengacara Indonesia (SPI) dan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia
(HAPI).
Kegiatan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) adalah:
a. Panitia bersama dengan Mahkamah Agung menyelenggarakan Ujian
Pengacara Praktek tanggal 17 April 2002;
b. Membuat Kode Etik Advokat Indonesia pada 23 Mei 2002;
c. Mendesak diundangkannya Rancangan Undang-Undang tentang
Advokat.
Tanggal 18 Pebruari 2003 kelompok sarjana syariah mendirikan
Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI).
Setelah Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
diundangkan 5 April 2003 dibentuk KKAI versi kedua pada tanggal 16 Juni
2003 yang bertujuan sebagai pelaksanaan Pasal 32 ayat 3 dan memiliki
kegiatan melaksanakan verifikasi atas Advokat sebagai pelaksanaan Pasal
32 ayat 1 dan membentuk Organisasi Advokat (Pasal 32 ayat 4).
Pada tanggal 21 Desember 2004, Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI) dibentuk sebagai pelaksanaan Undang-undang Advokat.
Pada bulan Mei 2007 pada Musyawarah Nasional Ikadin IV yang
berlangsung di Balikpapan, Kalimantan Timur, berujung pada terbentuknya
dua versi kepengurusan, yaitu versi Otto Hasibuan dan versi Teguh
Samudera. Keduanya saling mengklaim diri sebagai pengurus yang sah.14
Pada tanggal 30 Mei 2008 di Balai Sudirman, Jakarta, 4 (empat)
Organisasi Advokat terdiri dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) versi
Teguh Samudera, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan
Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah
Indonesia (APSI) mendeklarasikan Pendirian Kongres Advokat Indonesia
(KAI) sebagai wujud protes sebagian Advokat yang menilai Peradi tidak
14 Isa, Rujuk Antar Dua Kubu di Ikadin, Mungkinkah?, http://pmg.
hukumonline.com/berita/baca/hol16844/rujuk-antar-dua-kubu-di-ikadin-mungkinkah, dan lihat Afdal Dzikri, Kepengacaraan, Makalah disampaikan pada pendidikan Calon Hakim Agama Mahkamah Agung RI, tanggal 20 Oktober 2008, Mega Mendung, Bogor.
Page 16 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
dibentuk melalui mekanisme yang demokratis, akuntabel, dan
transparan.15
Kemudian sekitar tahun 2008, PERADIN bangkit kembali yang pada
tahun 1985 sudah dilebur ke IKADIN, dan sudah terpecah menjadi dua
versi Ropaun Rambe dan versi Frans Hendra Winarta.
Sampai saat ini sedikitnya terdapat 3 (tiga) organisasi Advokat yang
mengklaim sebagai organisasi wadah tunggal Advokat dengan argumentasi
hukum masing-masing, yaitu Peradi, KAI, dan Peradin.16
D. CARA PENGANGKATAN ADVOKAT
Pasca lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003, menurut Pasal 2, 3 dan 4
UU tersebut prosedur dan mekanisme cara pengangkatan Advokat melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut:17
1. Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) versi PERADI dan
Diklat Khusus Profesi Advokat (DKPA) versi KAI;
2. Mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) versi PERADI dan Ujian Calon
Advokat (UCA) versi KAI;
3. Mengikuti magang di kantor Advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
secara terus-menerus di kantor Advokat;
4. Pengangkatan dan Sumpah Advokat.
1. PKPA
PKPA dilaksanakan oleh organisasi Advokat. Yang dapat mengikuti
PKPA adalah sarjana yang berlatar belakang/lulusan (lihat penjelasan Pasal
2 ayat [1] UU No. 18 Tahun 2003): Fakultas Hukum; 2. Fakultas
Syari’ah; 3. Perguruan Tinggi Hukum Militer; dan 4. Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian.
Persyaratan calon peserta PKPA:18
a. Menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi.
15 Welin Kusuma, Sejarah Kongres Advokat Indonesia (KAI), di http://dppkai.
blogspot.com/2009/09/sejarah-kongres-advokat-indonesia-kai.html 16 Lihat, surat Ketua MA Nomor 065/KMA/V/2009, tanggal 20 Mei 2009. 17 Diana Kusumasari, Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga
Pengangkatan, di http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3636, lihat juga http://www.peradi.or.id/ dan http://www.kongres-advokat-indonesia.org/
18 Lihat, Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Peradi No. 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat
Page 17 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
b. Menyerahkan 1 (satu) lembar fotokopi ijazah sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum dan yang telah dilegalisir.
c. Menyerahkan 3 (tiga) lembar foto berwarna ukuran 4x6.
d. Membayar biaya yang telah ditetapkan untuk mengikuti PKPA, yang
dibuktikan dengan fotokopi bukti pembayaran.
e. Mematuhi tata tertib belajar.
f. Memenuhi ketentuan kehadiran sekurang-kurangnya 80% (delapan
puluh persen) dari seluruh sesi PKPA.
Apabila peserta telah mengikuti PKPA sesuai dengan ketentuan-
ketentuan di atas, maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat oleh
penyelenggara PKPA.
2. UPA
Setelah mengikuti PKPA, calon Advokat harus mengikuti UPA yang
dilaksanakan oleh organisasi Advokat. Dalam UPA yang dilaksanakan oleh
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ditentukan bahwa yang dapat
mengikuti UPA adalah pihak-pihak yang telah mengikuti PKPA yang
diselenggarakan perguruan tinggi atau institusi lain yang mendapat
persetujuan dari PERADI.
Persyaratan umum mengikuti UPA:
1. Warga Negara Indonesia;
2. Mengisi Formulir pendaftaran, dengan melampirkan:
a. Fotokopi KTP; b. Fotokopi Bukti Setor Bank biaya ujian Advokat;
c. Pas foto berwarna 3 X 4 = 4 lembar; d. Fotokopi Ijasah (S1)
berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum yang telah dilegalisir oleh
perguruan tinggi yang mengeluarkannya; e. Fotokopi Sertifikat
pendidikan khusus profesi Advokat.
Peserta yang lulus UPA akan menerima sertifikat lulus UPA dari
organisasi Advokat.
3. MAGANG
Untuk dapat diangkat menjadi Advokat, seorang calon Advokat
harus mengikuti magang di kantor Advokat sekurang-kurangnya 2 (dua)
Page 18 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
tahun secara terus-menerus di kantor Advokat. Magang tidak harus
dilakukan pada satu kantor Advokat, yang penting adalah magang tersebut
dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua)
tahun.19
Calon Advokat yang hendak menjalani magang wajib mengajukan
permohonan magang kepada Kantor Advokat yang memenuhi persyaratan
dengan syarat-syarat sebagai berikut:20
a. Warga negara Indonesia.
b. Bertempat tinggal di Indonesia.
c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.
d. Lulusan pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 Ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003;
e. Telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang
diselenggarakan oleh PERADI dan telah lulus Ujian Advokat.
Berikut adalah dokumen-dokumen yang harus diserahkan ke Peradi
dalam rangka memenuhi prasyarat magang calon Advokat:
a. Surat pernyataan Kantor Advokat.
b. Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang.
c. Fotokopi KTP calon Advokat magang.
d. Pas foto berwarna (berlatar belakang warna biru) dari calon Advokat
ukuran 2x3 dan 3x4 masing-masing sebanyak 3 (tiga) lembar.
e. Surat pernyataan tidak berstatus pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI
atau Kepolisian RI atau pejabat negara.
f. Fotokopi ijazah pendidikan tinggi hukum yang telah dilegalisir oleh
perguruan tinggi hukum yang mengeluarkannya.
g. Fotokopi sertifikat Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang
diselenggarakan oleh Peradi.
h. Fotokopi sertifikat kelulusan Ujian Profesi Advokat yang
diselenggarakan oleh Peradi.
19 Lihat, Pasal 3 ayat [1] huruf g UU No. 18 Tahun 2003 20 Lihat, Pasal 5 Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang
untuk Calon Advokat
Page 19 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
i. Fotokopi kartu tanda pengenal Advokat (KTPA) pimpinan kantor Advokat
dan Advokat pendamping.
j. Surat keterangan dari kantor Advokat.
k. Laporan penanganan perkara bagi calon Advokat yang telah bekerja dan
telah ikut membantu penanganan sedikitnya 3 (tiga) perkara pidana dan
6 (enam) perkara perdata dari Advokat pendamping.
l. Surat keterangan honorarium/slip gaji/bukti pemotongan PPh Pasal 21
atau kartu Jamsostek dari kantor Advokat atau surat keterangan
pengganti tidak mendapatkan gaji.
Peradi akan mengeluarkan Izin Sementara Praktek Advokat segera
setelah diterimanya Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang dari
Kantor Advokat.21 Laporan sebagaimana disebut di atas harus pula disertai
dengan pas foto berwarna Calon Advokat (lebih disukai yang berlatar
belakang biru) berukuran 2x3 sebanyak 3 lembar.
Berikut ini adalah hal-hal yang wajib dipenuhi calon Advokat
magang selama melaksanakan magang di kantor Advokat:
1. Selama masa magang (2 tahun), Calon Advokat harus membuat
sedikitnya 3 (tiga) laporan persidangan (Laporan Sidang) perkara pidana
yang bukan merupakan perkara sumir dan 6 (enam) Laporan Sidang
perkara perdata, dengan ketentuan;
a. Laporan-laporan Sidang tersebut adalah laporan atas setiap sidang
yang dimulai pada sidang pertama sampai dengan adanya putusan
atas masing-masing perkara dimaksud.
b. Perkara-perkara dimaksud tidak harus merupakan perkara-perkara
yang ditangani oleh Kantor Advokat tempat Calon Advokat
melakukan magang.
2. Selama masa magang, calon Advokat dapat diberikan pembimbingan,
pelatihan, dan kesempatan praktek di bidang lainnya kepada Calon
Advokat, antara lain:
21 Lihat, Pasal 7A Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Magang untuk Calon Advokat.
Page 20 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
a. Berpartisipasi dalam suatu pekerjaan kasus atau proyek, baik di
bidang litigasi maupun non-litigasi.
b. Melakukan riset hukum di dalam maupun di luar Kantor Advokat.
c. Menyusun konsep, laporan tentang pekerjaan yang dilakukannya
berupa memo, minuta, korespondensi e-mail, perjanjian-perjanjian,
dan dokumen hukum lainnya.
d. Menerjemahkan peraturan, memo, artikel dari bahasa Indonesia ke
bahasa asing ataupun sebaliknya; dan/atau
e. Menganalisa perjanjian atau kontrak.
Calon Advokat yang melaksanakan magang di kantor Advokat
memiliki hak-hak sebagai berikut:22
1. Berhak didampingi oleh Advokat pendamping selama masa magang di
kantor Advokat.
2. berhak tidak dimintai imbalan oleh kantor Advokat tempat melakukan
magang.
3. berhak diberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktek.
4. berhak menerima Izin Sementara Praktek Advokat dari Peradi sesuai
ketentuan.
5. berhak diikutsertakan di dalam surat kuasa, dengan syarat bahwa di
dalam surat kuasa tersebut, terdapat Advokat Pendamping.
6. di akhir masa magang, calon Advokat berhak mendapatkan Surat
Keterangan Magang dari kantor Advokat sebagai bukti bahwa Calon
Advokat tersebut sudah menjalani magang untuk memenuhi
persyaratan magang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf g UU Advokat.
Calon Advokat yang melaksanakan magang dilarang melakukan hal-
hal di bawah ini:23
22 Lihat, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat dan Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat
23 Lihat, Pasal 7B Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat
Page 21 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
1. Memberikan jasa hukum secara langsung kepada klien, tetapi semata-
mata mendampingi/membantu Advokat Pendamping dalam
memberikan jasa hukum.
2. Calon Advokat pemegang Izin Sementara tidak dapat menjalankan
praktek Advokat atas namanya sendiri.
4. PENGANGKATAN DAN SUMPAH ADVOKAT
Untuk dapat diangkat sebagai Advokat, calon Advokat harus telah
memenuhi tahapan-tahapan dan persyaratan sebagaimana diuraikan di
atas. Selain itu, ada syarat lain yakni telah berusia sekurang-kurangnya 25
(dua puluh lima) tahun.24
Setelah diangkat oleh organisasi Advokat, calon Advokat resmi
berstatus sebagai Advokat. Namun, Advokat yang baru diangkat oleh
organisasi Advokat belum dapat menjalankan profesinya sebelum melalui
tahapan atau persyaratan selanjutnya yaitu mengucapkan sumpah
Advokat.
Saat mengucapkan sumpah/janji Advokat di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi, Advokat wajib mengenakan toga Advokat. Toga Advokat
adalah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.07.UM.01.06
Tahun 1983 Tanggal 16 Desember 1983.
Menurut Pasal 30 ayat (2) UU Advokat, setiap Advokat yang diangkat
berdasarkan UU Advokat wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.
Nama Advokat yang menjadi anggota Organisasi Advokat
dicantumkan dalam Buku Daftar Anggota. Di dalam Buku Daftar Anggota
dicantumkan pula nomor induk/keanggotaan Advokat pada Organisasi
Advokat.
Tanda keanggotaan pada Organisasi Advokat juga ditunjukkan
dengan kartu tanda pengenal Advokat (KTPA) yang mencantumkan nomor
induk/keanggotaan Advokat. Dalam menjalankan tugas profesinya sehari-
hari, kartu tanda pengenal Advokat harus selalu dibawa oleh Advokat
sebagai bagian dari identitas diri dan profesional Advokat.
24 Lihat, Pasal 3 ayat [1] huruf d UU 18 Tahun 2003
Page 22 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
E. SIKAP MAHKAMAH AGUNG (MA) DAN HAKIM-HAKIM DI BAWAHNYA
TERHADAP ADVOKAT BERKAITAN DENGAN ASAL ORGANISASINYA
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebelum lahirnya
UU Nomor 18 Tahun 2003, baik Advokat maupun pengacara praktek
disumpah sidang terbuka Pengadilan Tinggi, sebagaimana telah telah
ditentukan dalam surat MA tanggal 10 Juli 1987 Nomor
MA/KUMDIL/6983/VII/1987.
Setelah lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003, MA mengeluarkan surat
Nomor KMA/445/VI/2003, tanggal 25 Juni 2003, yang ditunjukkan kepada
Ketua Pengadilan Tinggi, yang pada intinya MA memberitahukan beberapa
petunjuk, sambil menunggu diterbitkannya peraturan-peraturan pelaksana
Undang-Undang tersebut:25
1. Terhitung sejak tanggal surat ini dikeluarkan, kepada Ketua-Ketua
Pengadilan Tinggi dilarang untuk melakukan pelantikan/pengambilan
sumpah terhadap Advokat/pengacara praktek yang baru.
2. Kartu tanda pengenal yang dimiliki oleh para Advokat/pengacara
praktek yang diterbitkan sebelum undang-undang Advokat tersebut,
dinyatakan tetap belaku sampai 6 bulan sejak surat ini dikeluarkan,
untuk selanjutnya akan diurus dan ditangani serta diterbitkan oleh
organisasi Advokat.
3. Kepada saudara-saudara Para Ketua Pengadilan Tinggi diingatkan
untuk mengisi daftar ulang (her registrasi) para pengacara dan Advokat
yang terdaftar di wilayahhukum saudara sebagaimana yang sudah
diperintahkan Mahkamah Agung sesuai dengan Surat Mahkamah
Agung Nomor MA/SEK/671/XI/2000 tanggal 23 November 2000.
4. Sambil menunggu peraturan pelaksana lebih lanjut sesuai dengan
Undang-Undang Advokat tersebut diatas, maka semua prosedur
pemindahan, mutasi Advokat dan lain-lain disesuaikan dengan maksud
penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Advokat tersebut yang pada
25 Lihat, Surat Ketua MA Nomor KMA/445/VI/2003, tanggal 25 Juni 2003
Page 23 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
pokonya perpindahan atau mutasi Advokat tersebut wajib
memberitahukan kepada:
- Pengadilan Negeri setempat.
- Organisasi Advokat ( dalam hal ini KKAI ), dan
- Pemerintah Daerah setempat.
Setelah terbitnya surat KMA tersebut, Pengadilan Tinggi tidak
melaksanakan penyumpahan calon Advokat.
Pada tanggal 11 Februari 2002 dideklarasikan berdirinya Komite
Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang beranggotakan IKADIN, AAI, IPHI,
AKHI, HKPM, Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dan Himpunan Advokat dan
Pengacara Indonesia (HAPI) minus APSI karena pada saat itu APSI belum
ada. Sejak tanggal tersebut KKAI-lah sebagai panitia bersama dengan
Mahkamah Agung menyelenggarakan Ujian Pengacara Praktek, membuat
Kode Etik Advokat Indonesia, dan mendesak diundangkannya Rancangan
Undang-Undang tentang Advokat.
Setelah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan pada
tanggal 5 April 2003 dibentuk KKAI versi kedua pada tanggal 16 Juni 2003
yang bertujuan sebagai pelaksanaan Pasal 32 ayat 3 sampai Peradi
dideklarasikan.
Pada tanggal 21 Desember 2004, Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI) dideklarasikan oleh para Advokat Indonesia yang tergabung dalam
IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM dan APSI sebagai pelaksanaan
Undang-undang Advokat.26
Kemudian MA melakukan sosialisasi Kartu Tanda Pengenal Advokat
(KTPA) melalui suratnya Nomor 07/SEK/01/I/2007, tanggal 11 Januari
2007, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding, yang pada
intinya bahwa sehubungan dengan akan berakhirnya Kartu Tanda Pengenal
Advokat (KTPA) yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia
(KKAI) pada tanggal 31 Desember 2006, maka diberitahukan bahwa Dewan
26 Lihat, Akta Pernyataan Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI),
Nomor 30, tanggal 08 September 2005, dihadapan Buntario Tigris Darmawang, SE.,SH., MH., Notaris di Jakarta.
Page 24 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) akan
mengeluarkan pengganti dengan KTPA baru atas nama PERADI yang akan
digunakan oleh para Advokat yang berpraktek di pengadilan dari semua
lingkungan peradilan di seluruh Indonesia.27
Pada tanggal 29 Maret 2007, Ketua MA menerbitkan SEMA 01
Tahun 2007 tentang petunjuk pengambilan sumpah Advokat, sebagai
jababan atas surat PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) Nomor
059/Peradi-DPN/II/07 tanggal 27 Februari 2007 perihal Sumpah Advokat,
yang pada intinya Mahkamah Agung memandang perlu memberikan
petunjuk sebagai berikut:28
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat
mewajibkan Advokat, sebelum menjalankan profesinya, untuk
bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh
di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
2. Pengambilan sumpah dilakukan oleh ketua atau, jika berhalangan, oleh
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dengan memakai toga dalam suatu
sidang yang terbuka untuk umum, tanpa dihadiri oleh Panitera.
3. Lafal sumpah atau janji adalah sebagaimana yang tertera dalam pasal 4
ayat (2) Undang-Undang No.18 Tahun 2003.
4. Salinan berita acara sumpah dikirimkan oleh Panitera Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan
HAM dan Organisasi Advokat.
PERADI sudah beberapa kali melantik dan mengajukan
penyumpahan calon Advokat kepada Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia
mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2008.
Pasca dideklarasikannya KAI pada tanggal 30 Mei 2008, kemudian
PERADIN bangkit kembali dan selanjutnya terjadi perseteruan antara KAI,
PERADI dan PERADIN yang mengklaim sebagai wadah tunggal, perseteruan
tersebut semakin meruncing.
27 Lihat, Surat Sekretaris MA Nomor 07/SEK/01/I/2007, tanggal 11 Januari
2007 28 Lihat, SEMA 01 Tahun 2007 tentang petunjuk pengambilan sumpah advokat,
tanggal 29 Maret 2007
Page 25 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Penyebabkan perseteruan PERADI, KAI dan PERADIN pasca
diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 adalah bahwa menurut Pasal 4
(1) “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut
agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”, Pasal 28 ayat (1)
disebutkan bahwa “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah
profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk
meningkatkan kualitas profesi Advokat”, kemudian Pasal 30 ayat (2)
menegaskan bahwa “Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-
Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat”.
Berdasarkan ketentuan tersebut seluruh Advokat yang sudah
diangkat sebelum maupun sesudah diundangkannya UU Advokat wajib
menjadi anggota Organisasi Advokat, yang mana organisasi Advokat
tersebut merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, dan Advokat
sebelum menjalankan profesinya, wajib bersumpah menurut agamanya
atau berjanji di sidang terbuka Pengadilan Tinggi.
Bahwa terhadap permasalahan sumpah Advokat tersebut dikaitkan
dengan ketentuan yang menyatakan semua Advokat yang diangkat setelah
berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 harus bersumpah menurut
agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003, terdapat
fakta bahwa usulan penyumpahan Advokat yang dimintakan ke Pengadilan
Tinggi tidak hanya berasal dari PERADI, melainkan juga dari KAI dan
PERADIN yang kesemuanya menyatakan diri sebagai organisasi Advokat
yang sah.
Melihat kondisi demikian, Mahkamah Agung mengeluarkan
petunjuk yang ditujukan kepada Para Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh
Indonesia pada Tanggal 01 Mei 2009 dengan Surat Ketua Mahkamah Agung
RI Nomor 052/KMA/V/2009 telah terdapat banyak pertanyaan dari para
Page 26 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Ketua Pengadilan Tinggi beberapa daerah, yang pada intinya
mempertanyakan bagaimana sikap para Ketua Pengadilan Tinggi
sehubungan dengan adanya permintaan penyumpahan Advokat, begitu
pula Mahkamah Agung Republik Indonesia banyak menerima surat dari
organisasi Advokat, baik dari PERADI, KAI maupun dari PERADIN,yang
kesemuanya menyatakan diri sebagai organisasi Advokat yang sah,
sedangkan yang lain tidak sah.29
Berkaitan dengan keadaan tersebut Mahkamah Agung RI melalui
Surat Ketua Mahkamag Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009, tanggal 01 Mei
2009 memerintahkan agar semua Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh
Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah Advokat baru
yang dimintakan penyumpahannya kepada Pengadilan Tinggi selama
penyelesaian masalah pembentukan organisasi Advokat sebagai wadah
tunggal para Advokat di Indonesia belum diselesaikan oleh para Advokat
karena akan melanggar ketentuan Pasal 28 UU Nomor 18 Tahun 2003
Tentang Advokat dan terhadap Advokat yang telah diambil sumpahnya di
sidang Pengadilan Tinggi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor
18 Tahun 2003 Tentang Advokat sebelum adanya Surat Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009 tidak bisa
dihalangi untuk beracara di Pengadilan terlepas dari organisasi manapun
Advokat tersebut berasal.
Sebagai akibat dikeluarkannya Surat Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009 tersebut menyebabkan
Advokat yang diangkat setelah berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003
Tentang Advokat tidak dapat lagi dimintakan penyumpahannya di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnnya terhitung sejak
tangal 01 Mei 2009 sehingga ketika beracara di sidang Pengadilan
seringkali menimbulkan permasalahan karena ditolak dengan alasan belum
disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
29 Lihat, Surat Ketua MA Nomor 052/KMA/V/2009, tanggal 01 Mei 2009
Page 27 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
hukumnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU
Nomor 18 Tahun 2003.
Terkait dengan akibat hukum yang ditimbulkan oleh Surat Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009
tersebut di atas, telah diajukan permohonan uji materiil terhadap
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
kepada Mahkamah Konstitusi yang oleh Putusan MK Nomor 101/PUU-
VII/2009 sebagaimana diucapkan dalam Sidang Pleno MK pada Hari Rabu
Tanggal 30 Desember 2009 pada intinya menyatakan bahwa “ adalah
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat jika Pengadilan Tinggi atas
perintah UU wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum
menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi
Advokat yang pada saat diputuskan oleh MK secara de facto ada, dalam
jangka waktu 2 tahun sejak amar Putusan MK tersebut diucapkan.30
Bahwa lebih lanjut terhadap Surat Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor 052/KMA/V/2009 Tangal 01 Mei 2009 telah dicabut dengan Surat
Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 089/KMA/VI/2010 Tanggal 25 Juni
2010 Perihal Penyumpahan Advokat yang di dalam surat tersebut
dinyatakan dikarenakan perseteruan yang nyata terkait dengan organisasi
Advokat yang sah adalah antara PERADI dan KAI yang keduaduanya
dihadapan Ketua Mahkamah Agung RI pada Tanggal 24 Juni 2010 telah
melakukan kesepakatan yang pada intinya Organisasi Advokat yang
disepakati dan merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat adalah
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), yang mana dalam kesepakatan
tersebut tidak mengikutsertakan pihak PERADIN sebagai salah satu
organisasi Advokat yang juga pernah disebutkan dalam SK
052/KMA/V/2009.31
30 Lihat, Putusan MK Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 31 Lihat, Surat Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi MA,
tanggal 21 Februari 2011 kepada pengurus PERADIN. Lihat juga, Surat DPP-KAI Nomor 044/Eks/DPP-KAI/VIII/2010, tanggal 30 Agustus 2010, yang ditujukan kepada Ketua MA. Lihat juga, Surat Ketua MA Nomor 099/KMA/VII/2010, tanggal 21 Juli 2010, yang ditujukan kepada Presiden KAI.
Page 28 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
Dan sebagai konsekuensinya Mahkamah Agung juga di dalam surat
tersebut di atas menyampaikan kepada Para Ketua Pengadilan Tinggi di
seluruh Indonesia untuk mengambil sumpah para calon Advokat yang telah
memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut
harus diajukan oleh Pengurus PERADI sesuai dengan jiwa kesepakatan
Tanggal 24 Juni 2010 antara KAI dan PERADI di hadapan Ketua
Mahkamah Agung RI.
Bahwa antara amar Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 yang
diucapkan pada Tanggal 30 Desember 2009 dengan Surat Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor 089/KMA/VI/2010 Tanggal 25 Juni 2010
Perihal Penyumpahan Advokat adalah saling bertentangan isinya, di satu
sisi amar Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 yang diucapkan pada
Tanggal 30 Desember 2009 menyatakan sampai dengan kurun waktu 2
tahun ke depan sejak Tanggal 30 Desember 2009 (yakni sampai dengan
tanggal 29 Desember 2011) Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah
atau janji Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan
dengan keanggotaan organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto
ada (diantaranya KAI, PERADI, dan PERADIN) sedangkan Surat Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor 089/KMA/VI/2010 Tanggal 25 Juni 2010
Perihal Penyumpahan Advokat menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi dapat
mengambil sumpah para calon Advokat yang telah memenuhi syarat (harus
dimaknai calon Advokat adalah Advokat vide frase Pasal 4 ayat 1 UU Nomor
18 Tahun 2003 Tentang Advokat) dengan ketentuan bahwa usul
penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus Peradi.32
Berdasarkan hal tersebut terhadap permasalahan terkait tidak
disumpahnya Advokat karena terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010, oleh karena merujuk pada
Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 Pengadilan Tinggi wajib mengambil
sumpah yang diusulkan oleh organisasi Advokat tanpa mengaitkan dari
organisasi mana Advokat itu berasal, maka agar tidak terjadi polemik
32 Lihat, Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010
Page 29 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
berkepanjangan sebagai salah satu alternatif penyelesaian untuk sementara
waktu sampai adanya penyelesaian atas perselisihan organisasi Advokat
yang oleh MK diberi tenggang waktu dua (2) tahun, Advokat dapat beracara
di pengadilan bilamana sebagai berikut, yaitu:33
1. Advokat yang sudah disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang
berwenang tanpa melihat dari organisasi Advokat mana yang
bersangkutan berasal.
2. Advokat yang belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang
berwenang tapi dapat dibuktikan melalui suatu surat yang
bersangkutan sudah dimintakan usulan penyumpahannya oleh suatu
organisasi Advokat tapi ditolak penyumpahannya oleh Pengadilan
Tinggi.
3. Advokat yang belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang
berwenang tapi dapat dibuktikan melalui suatu surat yang
bersangkutan sudah dimintakan usulan penyumpahannya oleh suatu
organisasi Advokat tapi sejak surat usulan tersebut diajukan belum ada
jawaban atau kepastian mengenai penyumpahannya dari Pengadilan
Tinggi.
Dalam praktek di Pengadilan, Hakim harus menerima advokat
tersebut beracara di Pengadilan selama advokat tersebut termasuk dalam 3
(tiga) kategori tersebut. Apabila diperlukan Hakim dapat memerintahkan
Advokat tersebut memperlihatkan Berita Acara Sumpah yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Tinggi, walaupun hal tersebut tidalah lazim untuk
meyakinkan bahwa Advokat tersebut adalah Advokat yang diperkenankan
beracara di Pengadilan.34
F. PENUTUP
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu:
33 Keabsahan Advokat Beracara disidang Pengadilan, Rumusan hasil diskusi yang
dilaksanakan oleh Ketua, Wakil Ketua dan Hakim PTUN Palembang menyikapi perselisihan Organisasi Advokat, tanggal 19 Oktober 2010, Lihat, http://www.ptun.palembang.go.id/ upload_data/RAKOR.pdf
34 Lihat, Varia Advokat, Volume 11, Oktober 2009, h. 6-7, lihat juga, Pengacara Kasus Narkoba Ngamuk di Pengadilan, di http://news.okezone.com/read/2011 /10/20/340/518236/pengacara-kasus-narkoba-ngamuk-di-pengadilan
Page 30 of 30
BUNGA RAMPAI:
Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal
Organisasinya
1. Advokat adalah profesi yang bebas dan mandiri, yang tidak tunduk pada
hierarki jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan dan hanya
menerima perintah atau order atau kuasa dari klien berdasarkan
perjanjian yang bebas, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis, yang
tunduk pada Kode Etik Profesi Advokat.
2. Urusan perselisihan antara organisasi Advokat adalah urusan internal
mereka dan harus diselesaikan sendiri, yang faktanya terdapat tiga
organisasi yang mengklaim sebagai organisasi satu-satunya yang sah,
yaitu Peradi, KAI dan Peradin.
3. Pengadilan harus mendorong para Advokat tersebut untuk bersatu,
karena tidak bersatunya mereka akan menyulitkan dirinya sendiri dan
juga Pengadilan. Pengadilan tidak dalam posisi untuk mengakui atau
tidak mengakui suatu organisasi.
4. Sikap Hakim terhadap keabsahan Advokat beracara di Pengadilan,
harus menerima Advokat tersebut selama Advokat tersebut termasuk
dalam 3 (tiga) kategori tersebut.