30
Page 1 of 30 BUNGA RAMPAI: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal Organisasinya BUNGA RAMPAI: SIKAP HAKIM TERHADAP KEABSAHAN ADVOKAT BERACARA DI PENGADILAN BERKAITAN DENGAN ASAL ORGANISASINYA Oleh: Nurhadi, S.HI. 1 A. PENDAHULUAN 1. Sejarah dan Peraturan Advokat Pada Masa Pra Kemerdekaan Profesi Advokat adalah profesi yang bebas (free profession; vrij beroep), yang tidak tunduk pada hirearkhi jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan dan hanya menerima perintah atau order atau kuasa dari klien berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis, yang tunduk pada Kode Etik Profesi Advokat, tidak tunduk pada kekuasaan publik, seperti Notaris yang merupakan jabatan publik, yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab publik. Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti profesi Advokat tidak dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi itu sendiri. Hal itu bisa karena faktor di luar dirinya yang begitu kuat, tetapi 1 Hakim pada Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon, Kab. Aceh Utara sejak Desember 2011 sampai sekarang. Sebelumnya Cakim pada Pengadilan Agama Tigaraksa Kab. Tangerang, Banten sejak Mei 2009 sampai November 2011, dan sebelumnya juga Advokat pada Kantor Hukum Muchzan Yara & Rekan, Muchyar Yara & Associates (2008), dan Jawulaa & Associates (2007).

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sikap hakim

Citation preview

Page 1: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 1 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

BUNGA RAMPAI:

SIKAP HAKIM TERHADAP KEABSAHAN ADVOKAT BERACARA DI

PENGADILAN BERKAITAN DENGAN ASAL ORGANISASINYA

Oleh: Nurhadi, S.HI.1

A. PENDAHULUAN

1. Sejarah dan Peraturan Advokat Pada Masa Pra Kemerdekaan

Profesi Advokat adalah profesi yang bebas (free profession; vrij

beroep), yang tidak tunduk pada hirearkhi jabatan dan tidak tunduk pada

perintah atasan dan hanya menerima perintah atau order atau kuasa dari

klien berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang tertulis ataupun tidak

tertulis, yang tunduk pada Kode Etik Profesi Advokat, tidak tunduk pada

kekuasaan publik, seperti Notaris yang merupakan jabatan publik, yang

mempunyai kewajiban dan tanggung jawab publik.

Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan

berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan,

selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di

luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan

pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin

berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki

kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa.

Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam

pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi

sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan

hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk

dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti

profesi Advokat tidak dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi itu

sendiri. Hal itu bisa karena faktor di luar dirinya yang begitu kuat, tetapi

1 Hakim pada Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon, Kab. Aceh Utara sejak Desember

2011 sampai sekarang. Sebelumnya Cakim pada Pengadilan Agama Tigaraksa Kab. Tangerang, Banten sejak Mei 2009 sampai November 2011, dan sebelumnya juga Advokat pada Kantor Hukum Muchzan Yara & Rekan, Muchyar Yara & Associates (2008), dan Jawulaa & Associates (2007).

Page 2: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 2 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

terkadang juga karena kurangnya penghayatan Advokat yang bersangkutan

terhadap esensi profesinya.2

Padahal profesi Advokat sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini

dikenal secara universal sekitar tahun 2000-an, ia sudah dijuluki sebagai

“officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Profesi Advokat

itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat

dan bukan kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut

menegakkan hak-hak asasi manusia.

Sejarah keadvokatan di Indonesia tumbuh dan berkembang tidak

sebagaimana yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah jajahan lainnya,

keadvokatan Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial Belanda.

Maka konsekuensi logis apabila model Advokat Indonesia dengan

sendirinya adalah seperti Advokat Belanda.

Besarnya pengaruh kolonial terhadap perkembangan profesi Advokat

terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan

tradisi hukum eropa kontinental (civil law). Misalnya bagi Inggris dan

Amerika dengan tradisi hukum common law memandang besarnya jumlah

Advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan, sedangkan bagi Perancis,

Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa Kontinental (civil law)

justru sebaliknya.

Di Hindia Belanda (Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an,

semua Advokat dan Notaris adalah orang Belanda. Hal ini pula yang

mempengaruhi mengapa perkembangan Advokat pasca kemerdekaan

Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S. Lev

berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah Advokat pribumi tergantung

kepada kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi

kolonialnya.

Pada saat Belanda merampas daerah pedalaman Jawa yang disusul

pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan pemerintahan tidak

langsung di Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan elite

2 Yunasril Yuzar, Standar Kompetensi Profesi Advokat Indonesia, di

http://www.advokatcirebon.com/detail_artikel.php?id_artikel=42

Page 3: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 3 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah

masih tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan

ini seperti perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.

Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas,

Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai

pada akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru

diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan

dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan

yang cocok. Dengan demikian rechtsstaat diperkenalkan di tanah jajahan,

meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial.

Pada permulaan abad kedua puluh pemerintah kolonial menganut

kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan dan

kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena pemerintah

kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun

kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.

Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis

peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang

Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama, residentiegerecht yang menjadi

wewenang residen Belanda; pengadilan banding, raad van justitie di ibukota

dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua, pengadilan pemerintah

untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan adat.

Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga

tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad.

Landraad inilah yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada

tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie

Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda, namun sejak 1920-

an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan

hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH

Page 4: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 4 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement

(HIR).3

Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk

bekerja sebagai Advokat, sehingga di Hindia Belanda (Indonesia) sampai

pengetahuan tahun 1920-an, semua Advokat dan Notaris adalah orang

Belanda tidak seorang pun dari golongan Indonesia Asli dan Cina yang

terjun ke profesi ini pada awal dibukanya pendidikan hukum bagi orang

Indonesia, kesempatan ini hanya terbuka bagi Kaum Priyayi Jawa oleh

karena pendidikan hukum dipandang sebagai persiapan untuk menjadi

pegawai pemerintah.

Selama pertengahan Abad kesembilan belas, pendidikan yang

tersedia adalah untuk jabatan pegawai, guru, dan perawat kesehatan. Pada

saat Pemerintah di Batavia mengumumkan akan didirikan sekolah hukum

bagi Orang Indonesia, para ahli hukum Belanda menentang gagasan itu

dengan alasan bahwa orang Bumi Putera tidak siap untuk memenuhi

tuntutan pendidikan dan pekerjaan hukum yang berat. Pemerintah

mengesampingkan keberatan tersebut dan pada tahun 1909 membuka

Rechtsschool di Batavia. Akan tetapi satu-satunya tujuan didirikannya

Rechtsschool adalah untuk menyediakan Panitera, Jaksa, dan Hakim.

Lulusannya tidak dapat menjadi Advokat atau Notaris. Pada tahun 1910-an

akhir, para lulusan dari Rechtsschool diberi kesempatan untuk meraih

gelar meester in de rechten di Belanda.

Pada tahun 1924 sebuah fakultas hukum didirikan di Batavia,

Rechtshogeschool. Dengan tersedianya pendidikan hukum ini, maka

kesempatan bagi orang Indonesia untuk menjadi Advokat semakin terbuka.

Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia

asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para Advokat

Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai Advokat. Diantara

empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden,

3 Khaerul H. Tanjung, Sejarah Hukum Advokat Indonesia, di

http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/sejarah-hukum-advokat-indonesia

Page 5: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 5 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

tidak kurang dari enam belas orang menjadi Advokat sepulang ke

Indonesia.4

Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan Advokat

Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun

kantor Advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang,

dan kantor Advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi Advokat Indonesia asli

memulai praktek adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena Advokat

Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.

Perkembangan sistem hukum pemerintahan kolonial telah

memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan Advokat pribumi

pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para Advokat

Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para Advokat

Indonesia terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.

Dapat dikemukan berbagai pengaturan profesi Advokat pada masa

pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai berikut:5

a. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57

tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in

Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur

tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar

sarjana hukum.

b. Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de

Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad

van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang

Advokat atau procureur.

c. Staatsblad Tahun 1848 Nomor 8 tentang Bepalingen Bedreffende Het

Kostuum Der Regterlijke Ambtenaren En Dat Der Advocaten, Procureur En

Deurwaarders, yaitu Peraturan Mengenai Pakaian Pegawai Kehakiman

Dan Para Advokat, Jaksa dan Juru Sita.

4 Beberapa nama lain diantaranya; Mr. Iskak Cokroadisuryo, Mr. RM. Sartono,

Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Ali Sastroamidjoyo, dan Mr. R. Sastro Mulyono. 5 Khaerul H. Tanjung, Ibid. dan Yunasril Yuzar, Ibid.

Page 6: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 6 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

d. Staatsblad Tahun 1922 Nomor 522 tentang Vertegenwoordiging Van Den

Lande In Rechten, yaitu tentang mengenai Mewakili Negara Dalam

Hukum.

e. Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang

Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab

I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan

orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum

permulaan pemeriksaan.

f. Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang

Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap

orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang

dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah

memberi bantuan.

g. Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en

vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden,

mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’

atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.

h. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement

(HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh

bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan

hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya,

maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan

Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang

dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.

i. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch

Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut

Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili

oleh orang lain.

Berbagai ketentuan hukum di atas mendasari profesi Advokat pada

masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan Advokat Belanda.

Page 7: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 7 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Akan tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari

perkembangan Advokat Indonesia pada masa selanjutnya.

2. Sejarah dan Peraturan Advokat Pada Masa Pasca Kemerdekaan

Perkembangan pengaturan profesi Advokat di Indonesia dilanjutkan

pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak

melakukan perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti

pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van

strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini

memuat pengaturan tentang kedudukan Advokat dan procureur dan orang-

orang yang memberikan bantuan hukum.

Pengaturan profesi Advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai

ketentuan perundang-undangan termasuk di dalamnya ketentuan pada

masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi Advokat sejak

proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini

ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah Advokat atau istilah lain

yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS

1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.6

Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak

mengatur secara khusus profesi Advokat sebagaimana profesi hukum

lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum.

Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran

menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum

(authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi

hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.

Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan

yang mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai

berikut:7

6 Terdapat ketentuan pada bagian V tentang Hak-hak Asasi Manusia UUDS 1950

Pasal 7 ayat 4: “setiap orang berhak mendapat bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu”.

7 Khaerul H. Tanjung, Ibid. dan Yunasril Yuzar, Ibid., lihat juga Afdal Dzikri, Pelaksanaan UURI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Makalah disampaikan pada pendidikan Calon Hakim Mahkamah Agung RI, tanggal 25 Mei 2010, Mega Mendung, Bogor.

Page 8: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 8 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan

Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil

dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau

penasehat hukum.

b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42

memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.

c. UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara

Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat

ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.

d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang

kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan

bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh

bantuan hukum.

e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan

UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum

adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum

yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.

f. UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan

69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk

mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum

berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.

g. UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui

keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada

tersangka atau terdakwa.

h. UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 73 (1).

i. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Pasal 1 (13).

j. UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 1 (30).

k. UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-undang tentang Kepailitan menjadi Undang-undang Pasal 5.

Page 9: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 9 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

l. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan

Menteri Kehakiman, dan sebagainya.

Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970, telah

mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi Advokat dalam UU tersendiri.

Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya

tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi

Advokat. Setelah 33 tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui

disahkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Sejak lahirnya UU Advokat, profesi Advokat mendapat pengakuan

sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam prakteknya.

Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen Advokat secara

sistematis sehingga diharapkan para Advokat nantinya dapat

melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium

nobile).

B. NOMENKLATUR DAN PENGERTIAN ADVOKAT

1. Istilah Pokrol Bambu, Advokat, Pengacara Praktek, Penasehat

Hukum, Konsultan Hukum dan Kuasa Hukum

Sebelum lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003 terdapat beberapa

nomenklatur Advokat, misalnya Pokrol Bambu, Pengacara Praktek,

Advokat, Konsultan Hukum/legal consultant, Penasehat Hukum dan Kuasa

Hukum.

Istilah Pokrol Bambu merupakan sebutan profesi hukum zaman

Belanda. Pokrol Bambu adalah julukan bagi siapa saja yang merasa

mampu, berani dan telah atau tengah menjalani memberikan jasa bantuan

hukum termasuk untuk bersidang di Pengadilan sekalipun bukan sarjana

hukum (tidak resmi) atau Pokrol bambu adalah seorang yang memberi

nasehat hukum tetapi belum memperoleh kwalifikasi atau pendidikan

hukum. Dahulu pokrol bambu menjadi aktor penting dalam pelayanan

hukum, karena masyarakat umum merasa berjarak dengan Advokat yang

berizin/resmi. Kemudian istilah Pokrol diatur dalam Peraturan Menteri

Kehakiman Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pokrol, yaitu Pasal 1 "yang

dimaksud pokrol dalam peraturan ini adalah mereka yang memberi

Page 10: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 10 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

bantuan hukum sebagai mata pencaharian tanpa pengangkatan oleh

Menteri Kehakiman, dan yang memenuhi syarat-syarat termaksud dalam

Pasal 3. Pasal 3, berbunyi "untuk melaksanakan pekerjaan pokrol harus

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Warga Negara Indonesia; 2. Lulus

ujian yang diadaikan oleh Kepala Pengadilan Negeri tentang hukum acara

perdata, hukum acara pidana, pokok pokok hukum perdata dan hukum

pidana; 3. Sudah mencapai umur 21 tahun dan belum mencapai umur 60

tahun; dan 4. Bukan pegawai Negari atau yang disamakan dengan pegawai

negeri".

Setelah era Pokrol Bambu muncul istilah Penasehat Hukum. Sesuai

maksud dari istilah Penasehat Hukum dalam Pasal 36 UU Nomor 14 tahun

1970, dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

Kehakiman tanggal 6 Juli 1987 Nomor KMA/005/SKB/VII/1987 dan Nomor

M.03-PR.08.05 tahun 1987 ini atas dasar ukuran pejabat mana yang

dasarnya telah mengeluarkan ijin untuk berpraktek hukum membedakan

mereka yang sehari-hari berprofesi sebagai Penasehat Hukum hanya dalam

dua golongan yaitu: a. Advokat yang telah diangkat oleh Menteri

Kehakiman dan atas dasar itu memperoleh ijin melakukan kegiatan

berpraktek hukum di manapun di seluruh wilayah Indonesia; b. Pengacara

Praktek yang diberi ijin oleh Ketua Pengadilan Tinggi untuk berpraktek

hukum di dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.

Baik Advokat mapun Pengacara Praktek tersebut masing-masing

memiliki tempat kedudukan yang sudah ditentukan dalam surat keputusan

pengangkatannya atau surat "ijin praktek" yang dikeluarkan oleh Ketua

Pengadilan Tinggi setempat. Semenjak mereka mengucapkan sumpah

profesinya di muka Ketua Pengadilan Tinggi setempat, nama mereka

terdaftar baik kepada Kepaniteraan Pengadilan Tinggi tersebut maupun

pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana tempat kedudukannya

(domisili hukum) ditentukan. Hanya penasehat hukum yang namanya

terdaftar pada suatu Pengadilan Tinggi/Negeri sajalah yang dapat

Page 11: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 11 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

dibenarkan beracara di muka Pengadilan sesuai dengan maksud surat

keputusan pengangkatannya atau "surat izin praktek" yang dipegangnya.8

Ada juga istilah Konsultan Hukum/legal consultant adalah

Advokat/pengacara yang memberikan jasa konsultasi hukum kepada

kliennya dan tidak identik dengan litigator (di Kepolisian, Kejaksaan dan

Pengadilan) melainkan memberikan jasa penanganan seputar aspek-aspek

legal umumnya dalam dunia korporasi/perusahaan. Kuasa Hukum, adalah

Advokat/pengacara yang menjalankan kuasa dari kliennya dan identik

dengan litigator. Setelah lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, semua profesi

yang berkaitan dengan pemberian jasa bantuan hukum tersebut disebut

Advokat (Pasal 1 angka 1).

2. Pengertian Advokat

Dalam praktek hukum di Indonesia, istilah-istilah (nomenklatur) di

atas mempunyai perbedaan pengertian yang cukup bermakna, walaupun

dalam bahasa Inggris semua istilah secara umum disebut sebagai lawyer

atau ahli hukum. Perbedaan pengertian di sini adalah antara peran yang

diberikan oleh lawyer yang memakai istilah Advokat, pengacara dan

penasehat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut trial lawyer atau

secara spesifik di Amerika dikenal dengan istilah attorney at law serta di

Inggris dikenal istilah barrister, dan peran yang diberikan oleh lawyer yang

menggunakan istilah konsultan hukum yang di Amerika dikenal dengan

istilah counselor at law atau di Inggris dikenal dengan istilah solicitor.9

Kata Advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare, yang

berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan

dalam bahasa Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by

argument, to support, indicate or recommend publicly.10

8 Pengacara Praktek diangkat oleh Pengadilan Tinggi dan wilayah kerjanya hanya

dalam yurisdiksi Pengadilan Tinggi tersebut. Advokat diangkat oleh Menteri Kehakiman dan wilayah kerjanya seluruh wilayah di Republik Indonesia.

9 Yudha Pandhu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, (Jakarta: PT. Abadi Jaya, 2001), h. 11.

10 Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Cita, Idealisme, dan Keprihatinan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h. 19

Page 12: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 12 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Sedangkan menurut UU No. 18 Tahun 2003 Pasal 1 angka 1

menerangkan bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa

hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi

persyaratan berdasarkan undan-undang ini.

Secara terminologis, terdapat beberapa pengertian Advokat yang

dapat didefinisikan oleh para ahli hukum, organisasi, peraturan dan

perundang-undangan yang pernah ada sejak masa kolonial hingga

sekarang.

Ada yang mengartikan bahwa Advokat adalah orang yang mewakili

kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang

diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di

pengadilan atau beracara di pengadilan.11

Ada juga diartikan Advokat sebagai Seorang penasehat hukum

adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau

berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.12

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Advokat

adalah profesi yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat atau

kliennya, baik secara litigasi maupun non litigasi dengan mendapatkan

atau tidak mendapatkan honorarium/fee.

C. SEJARAH ORGANISASI ADVOKAT INDONESIA

Berikut ini merupakan perkembangan Organisasi Advokat di

Indonesia:13

1. Pada Masa Pasca Kemerdekaan

11 Yudha Pandu, Ibid., h. 11 12 Lihat, Pasal 1 butir 13 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana. 13 Annida Ramasari, Organisasi Advokat di Indonesia, di

http://annida.harid.web.id/?p=350 dan lihat Binziad Kadafi, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, (Jakarta: PSHK, 2001), h. 361. Lihat Welin Kusuma, Peran, Fungsi dan Perkembangan Organisasi Advokat, di http://peradi-sby.blogspot.com http://welin-kusuma. wordpress.com/advokat/

Page 13: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 13 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Balie van Advocaten, yang anggotanya umumnya berkebangsaan

Eropa. Persatuan Pengacara Indonesia (Perpi, 1927) beranggotakan para

pokrol bambu.

2. Pada Masa Orde Lama

Tahun 1959-1960, “Balie” Jawa Tengah, Balai Advokat Jakarta,

Bandung, Medan dan Surabaya. Pada tanggal 14 Maret 1963, Persatuan

Advokat Indonesia (PAI) dalam Seminar Hukum Nasional merupakan

embrio Peradin.

Kepengurusan PAI dijabat oleh tin ad-hoc yang bertugas untuk:

a. Menyelenggarakan kongres nasional Advokat Indonesia.

b. Mempersiapkan nama organisasi, anggaran dasar, anggaran rumah

tangga dan kode etik.

c. Merencanakan program kerja dan pengurusan definitif.

Pada tanggal 30 Agustus 1964, dibentuk Persatuan Advokat

Indonesia (PERADIN) dalam Kongres I Musyawarah Advokat di Hotel Dana

Solo. Pada tanggal 3 Mei 1966, PERADIN ditunjuk sebagai pembela tokoh-

tokoh pelaku Gerakan 30 September (G 30 S PKI) dan sekaligus sebagai

satu-satunya wadah organisasi para Advokat di Indonesia.

3. Pada Masa Orde Baru

Pada Kongres 1977, PERADIN mengadopsi beberapa Resolusi, yakni:

a. Korps Advokat sebagai salah satu elemen penegak hukum turut

bertanggung jawab bersama dengan ahli hukum di bidang lainnya dan

dengan masyarakat secara umum bagi pembangunan Indonesia sebagai

negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945.

b. Indonesia sebagai negara hukum harus bertanggung jawab untuk

menjamin dan menghormati hak fundamental warga negara, baik dalam

aspek politik, maupun sosialnya, sehingga dapat tercipta masyarakat

adil makmur berdasarkan Pancasila bagi seluruh masyarakat Indonesia;

c. PERADIN harus meningkatkan perannya selaku organisasi perjuangan

sebagai komitmen esensialnya untuk mencapai kebenaran, keadilan dan

supremasi hukum.

Page 14: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 14 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Beberapa anggota PERADIN yang tidak setuju dengan Resolusi

PERADIN mendirikan Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HPHI).

Dukungan pemerintah secara diam-diam dicabut kembali ditandai

dengan berdirinya antar lain Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum

(LPPH-1979), Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum (PUSBADHI), Fosko

Advokat (Forum Studi dan Komunikasi Advokat) dan Bina Bantuan Hukum

(BBH).

Pada tahun 1980-an pemerintah mulai melaksanakan strategi

peleburan PERADIN dan Organisasi Advokat lainnya dalam IKADIN (Ikatan

Advokat Indonesia) sebagai wadah tunggal. Pada 10 November 1985

disepakati berdirinya IKADIN.

Pada tahun 1987, Pemerintah memberikan ijin pendirian Ikatan

Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) sebagai wadah bagi pengacara praktek.

Didirikan sebagai akibat dikotomi “Advokat” dan “pengacara praktek”.

Timbul juga organisasi Advokat yang berdasarkan pada praktek

kekhususan, seperti Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI-1988) dan

Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM-4 April 1989).

Tanggal 27 Juli 1990 sekitar dua ratusan anggota Ikadin dari kubu

Gani Djemat-Yan Apul, yang pada waktu itu mengikuti Musyawarah

Nasional Ikadin di Hotel Horison Ancol menyatakan keluar dari Ikadin dan

berikrar mendirikan organisasi Advokat yang bernama Asosiasi Advokat

Indonesia (AAI).

4. Masa Rekonsolidasi dan Reformasi

Pada tahun 1995, Pemerintah memfasilitasi dua seminar di Jakarta

untuk IKADIN, AAI, dan IPHI. Hasilnya adalah Kode Etik Bersama dan

pembentukan Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI). Belakangan,

IKADIN menarik diri dan memberlakukan kembali Kode Etik IKADIN untuk

para anggotanya.

Diawali dengan tiga kali pertemuan di bulan Januari 2002, pada 11

Februari 2002 dideklarasikan berdirinya Komite Kerja Advokat Indonesia

(KKAI) yang beranggotakan IKADIN, AAI, IPHI, AKHI, HKPM, Serikat

Page 15: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 15 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Pengacara Indonesia (SPI) dan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia

(HAPI).

Kegiatan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) adalah:

a. Panitia bersama dengan Mahkamah Agung menyelenggarakan Ujian

Pengacara Praktek tanggal 17 April 2002;

b. Membuat Kode Etik Advokat Indonesia pada 23 Mei 2002;

c. Mendesak diundangkannya Rancangan Undang-Undang tentang

Advokat.

Tanggal 18 Pebruari 2003 kelompok sarjana syariah mendirikan

Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI).

Setelah Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

diundangkan 5 April 2003 dibentuk KKAI versi kedua pada tanggal 16 Juni

2003 yang bertujuan sebagai pelaksanaan Pasal 32 ayat 3 dan memiliki

kegiatan melaksanakan verifikasi atas Advokat sebagai pelaksanaan Pasal

32 ayat 1 dan membentuk Organisasi Advokat (Pasal 32 ayat 4).

Pada tanggal 21 Desember 2004, Perhimpunan Advokat Indonesia

(PERADI) dibentuk sebagai pelaksanaan Undang-undang Advokat.

Pada bulan Mei 2007 pada Musyawarah Nasional Ikadin IV yang

berlangsung di Balikpapan, Kalimantan Timur, berujung pada terbentuknya

dua versi kepengurusan, yaitu versi Otto Hasibuan dan versi Teguh

Samudera. Keduanya saling mengklaim diri sebagai pengurus yang sah.14

Pada tanggal 30 Mei 2008 di Balai Sudirman, Jakarta, 4 (empat)

Organisasi Advokat terdiri dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) versi

Teguh Samudera, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan

Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah

Indonesia (APSI) mendeklarasikan Pendirian Kongres Advokat Indonesia

(KAI) sebagai wujud protes sebagian Advokat yang menilai Peradi tidak

14 Isa, Rujuk Antar Dua Kubu di Ikadin, Mungkinkah?, http://pmg.

hukumonline.com/berita/baca/hol16844/rujuk-antar-dua-kubu-di-ikadin-mungkinkah, dan lihat Afdal Dzikri, Kepengacaraan, Makalah disampaikan pada pendidikan Calon Hakim Agama Mahkamah Agung RI, tanggal 20 Oktober 2008, Mega Mendung, Bogor.

Page 16: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 16 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

dibentuk melalui mekanisme yang demokratis, akuntabel, dan

transparan.15

Kemudian sekitar tahun 2008, PERADIN bangkit kembali yang pada

tahun 1985 sudah dilebur ke IKADIN, dan sudah terpecah menjadi dua

versi Ropaun Rambe dan versi Frans Hendra Winarta.

Sampai saat ini sedikitnya terdapat 3 (tiga) organisasi Advokat yang

mengklaim sebagai organisasi wadah tunggal Advokat dengan argumentasi

hukum masing-masing, yaitu Peradi, KAI, dan Peradin.16

D. CARA PENGANGKATAN ADVOKAT

Pasca lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003, menurut Pasal 2, 3 dan 4

UU tersebut prosedur dan mekanisme cara pengangkatan Advokat melalui

tahapan-tahapan sebagai berikut:17

1. Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) versi PERADI dan

Diklat Khusus Profesi Advokat (DKPA) versi KAI;

2. Mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) versi PERADI dan Ujian Calon

Advokat (UCA) versi KAI;

3. Mengikuti magang di kantor Advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun

secara terus-menerus di kantor Advokat;

4. Pengangkatan dan Sumpah Advokat.

1. PKPA

PKPA dilaksanakan oleh organisasi Advokat. Yang dapat mengikuti

PKPA adalah sarjana yang berlatar belakang/lulusan (lihat penjelasan Pasal

2 ayat [1] UU No. 18 Tahun 2003): Fakultas Hukum; 2. Fakultas

Syari’ah; 3. Perguruan Tinggi Hukum Militer; dan 4. Perguruan Tinggi

Ilmu Kepolisian.

Persyaratan calon peserta PKPA:18

a. Menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi.

15 Welin Kusuma, Sejarah Kongres Advokat Indonesia (KAI), di http://dppkai.

blogspot.com/2009/09/sejarah-kongres-advokat-indonesia-kai.html 16 Lihat, surat Ketua MA Nomor 065/KMA/V/2009, tanggal 20 Mei 2009. 17 Diana Kusumasari, Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga

Pengangkatan, di http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3636, lihat juga http://www.peradi.or.id/ dan http://www.kongres-advokat-indonesia.org/

18 Lihat, Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Peradi No. 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat

Page 17: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 17 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

b. Menyerahkan 1 (satu) lembar fotokopi ijazah sarjana yang berlatar

belakang pendidikan tinggi hukum dan yang telah dilegalisir.

c. Menyerahkan 3 (tiga) lembar foto berwarna ukuran 4x6.

d. Membayar biaya yang telah ditetapkan untuk mengikuti PKPA, yang

dibuktikan dengan fotokopi bukti pembayaran.

e. Mematuhi tata tertib belajar.

f. Memenuhi ketentuan kehadiran sekurang-kurangnya 80% (delapan

puluh persen) dari seluruh sesi PKPA.

Apabila peserta telah mengikuti PKPA sesuai dengan ketentuan-

ketentuan di atas, maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat oleh

penyelenggara PKPA.

2. UPA

Setelah mengikuti PKPA, calon Advokat harus mengikuti UPA yang

dilaksanakan oleh organisasi Advokat. Dalam UPA yang dilaksanakan oleh

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ditentukan bahwa yang dapat

mengikuti UPA adalah pihak-pihak yang telah mengikuti PKPA yang

diselenggarakan perguruan tinggi atau institusi lain yang mendapat

persetujuan dari PERADI.

Persyaratan umum mengikuti UPA:

1. Warga Negara Indonesia;

2. Mengisi Formulir pendaftaran, dengan melampirkan:

a. Fotokopi KTP; b. Fotokopi Bukti Setor Bank biaya ujian Advokat;

c. Pas foto berwarna 3 X 4 = 4 lembar; d. Fotokopi Ijasah (S1)

berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum yang telah dilegalisir oleh

perguruan tinggi yang mengeluarkannya; e. Fotokopi Sertifikat

pendidikan khusus profesi Advokat.

Peserta yang lulus UPA akan menerima sertifikat lulus UPA dari

organisasi Advokat.

3. MAGANG

Untuk dapat diangkat menjadi Advokat, seorang calon Advokat

harus mengikuti magang di kantor Advokat sekurang-kurangnya 2 (dua)

Page 18: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 18 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

tahun secara terus-menerus di kantor Advokat. Magang tidak harus

dilakukan pada satu kantor Advokat, yang penting adalah magang tersebut

dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua)

tahun.19

Calon Advokat yang hendak menjalani magang wajib mengajukan

permohonan magang kepada Kantor Advokat yang memenuhi persyaratan

dengan syarat-syarat sebagai berikut:20

a. Warga negara Indonesia.

b. Bertempat tinggal di Indonesia.

c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.

d. Lulusan pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 Ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003;

e. Telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang

diselenggarakan oleh PERADI dan telah lulus Ujian Advokat.

Berikut adalah dokumen-dokumen yang harus diserahkan ke Peradi

dalam rangka memenuhi prasyarat magang calon Advokat:

a. Surat pernyataan Kantor Advokat.

b. Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang.

c. Fotokopi KTP calon Advokat magang.

d. Pas foto berwarna (berlatar belakang warna biru) dari calon Advokat

ukuran 2x3 dan 3x4 masing-masing sebanyak 3 (tiga) lembar.

e. Surat pernyataan tidak berstatus pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI

atau Kepolisian RI atau pejabat negara.

f. Fotokopi ijazah pendidikan tinggi hukum yang telah dilegalisir oleh

perguruan tinggi hukum yang mengeluarkannya.

g. Fotokopi sertifikat Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang

diselenggarakan oleh Peradi.

h. Fotokopi sertifikat kelulusan Ujian Profesi Advokat yang

diselenggarakan oleh Peradi.

19 Lihat, Pasal 3 ayat [1] huruf g UU No. 18 Tahun 2003 20 Lihat, Pasal 5 Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang

untuk Calon Advokat

Page 19: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 19 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

i. Fotokopi kartu tanda pengenal Advokat (KTPA) pimpinan kantor Advokat

dan Advokat pendamping.

j. Surat keterangan dari kantor Advokat.

k. Laporan penanganan perkara bagi calon Advokat yang telah bekerja dan

telah ikut membantu penanganan sedikitnya 3 (tiga) perkara pidana dan

6 (enam) perkara perdata dari Advokat pendamping.

l. Surat keterangan honorarium/slip gaji/bukti pemotongan PPh Pasal 21

atau kartu Jamsostek dari kantor Advokat atau surat keterangan

pengganti tidak mendapatkan gaji.

Peradi akan mengeluarkan Izin Sementara Praktek Advokat segera

setelah diterimanya Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang dari

Kantor Advokat.21 Laporan sebagaimana disebut di atas harus pula disertai

dengan pas foto berwarna Calon Advokat (lebih disukai yang berlatar

belakang biru) berukuran 2x3 sebanyak 3 lembar.

Berikut ini adalah hal-hal yang wajib dipenuhi calon Advokat

magang selama melaksanakan magang di kantor Advokat:

1. Selama masa magang (2 tahun), Calon Advokat harus membuat

sedikitnya 3 (tiga) laporan persidangan (Laporan Sidang) perkara pidana

yang bukan merupakan perkara sumir dan 6 (enam) Laporan Sidang

perkara perdata, dengan ketentuan;

a. Laporan-laporan Sidang tersebut adalah laporan atas setiap sidang

yang dimulai pada sidang pertama sampai dengan adanya putusan

atas masing-masing perkara dimaksud.

b. Perkara-perkara dimaksud tidak harus merupakan perkara-perkara

yang ditangani oleh Kantor Advokat tempat Calon Advokat

melakukan magang.

2. Selama masa magang, calon Advokat dapat diberikan pembimbingan,

pelatihan, dan kesempatan praktek di bidang lainnya kepada Calon

Advokat, antara lain:

21 Lihat, Pasal 7A Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan

Magang untuk Calon Advokat.

Page 20: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 20 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

a. Berpartisipasi dalam suatu pekerjaan kasus atau proyek, baik di

bidang litigasi maupun non-litigasi.

b. Melakukan riset hukum di dalam maupun di luar Kantor Advokat.

c. Menyusun konsep, laporan tentang pekerjaan yang dilakukannya

berupa memo, minuta, korespondensi e-mail, perjanjian-perjanjian,

dan dokumen hukum lainnya.

d. Menerjemahkan peraturan, memo, artikel dari bahasa Indonesia ke

bahasa asing ataupun sebaliknya; dan/atau

e. Menganalisa perjanjian atau kontrak.

Calon Advokat yang melaksanakan magang di kantor Advokat

memiliki hak-hak sebagai berikut:22

1. Berhak didampingi oleh Advokat pendamping selama masa magang di

kantor Advokat.

2. berhak tidak dimintai imbalan oleh kantor Advokat tempat melakukan

magang.

3. berhak diberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktek.

4. berhak menerima Izin Sementara Praktek Advokat dari Peradi sesuai

ketentuan.

5. berhak diikutsertakan di dalam surat kuasa, dengan syarat bahwa di

dalam surat kuasa tersebut, terdapat Advokat Pendamping.

6. di akhir masa magang, calon Advokat berhak mendapatkan Surat

Keterangan Magang dari kantor Advokat sebagai bukti bahwa Calon

Advokat tersebut sudah menjalani magang untuk memenuhi

persyaratan magang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1)

huruf g UU Advokat.

Calon Advokat yang melaksanakan magang dilarang melakukan hal-

hal di bawah ini:23

22 Lihat, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2006

tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat dan Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat

23 Lihat, Pasal 7B Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat

Page 21: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 21 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

1. Memberikan jasa hukum secara langsung kepada klien, tetapi semata-

mata mendampingi/membantu Advokat Pendamping dalam

memberikan jasa hukum.

2. Calon Advokat pemegang Izin Sementara tidak dapat menjalankan

praktek Advokat atas namanya sendiri.

4. PENGANGKATAN DAN SUMPAH ADVOKAT

Untuk dapat diangkat sebagai Advokat, calon Advokat harus telah

memenuhi tahapan-tahapan dan persyaratan sebagaimana diuraikan di

atas. Selain itu, ada syarat lain yakni telah berusia sekurang-kurangnya 25

(dua puluh lima) tahun.24

Setelah diangkat oleh organisasi Advokat, calon Advokat resmi

berstatus sebagai Advokat. Namun, Advokat yang baru diangkat oleh

organisasi Advokat belum dapat menjalankan profesinya sebelum melalui

tahapan atau persyaratan selanjutnya yaitu mengucapkan sumpah

Advokat.

Saat mengucapkan sumpah/janji Advokat di sidang terbuka

Pengadilan Tinggi, Advokat wajib mengenakan toga Advokat. Toga Advokat

adalah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.07.UM.01.06

Tahun 1983 Tanggal 16 Desember 1983.

Menurut Pasal 30 ayat (2) UU Advokat, setiap Advokat yang diangkat

berdasarkan UU Advokat wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.

Nama Advokat yang menjadi anggota Organisasi Advokat

dicantumkan dalam Buku Daftar Anggota. Di dalam Buku Daftar Anggota

dicantumkan pula nomor induk/keanggotaan Advokat pada Organisasi

Advokat.

Tanda keanggotaan pada Organisasi Advokat juga ditunjukkan

dengan kartu tanda pengenal Advokat (KTPA) yang mencantumkan nomor

induk/keanggotaan Advokat. Dalam menjalankan tugas profesinya sehari-

hari, kartu tanda pengenal Advokat harus selalu dibawa oleh Advokat

sebagai bagian dari identitas diri dan profesional Advokat.

24 Lihat, Pasal 3 ayat [1] huruf d UU 18 Tahun 2003

Page 22: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 22 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

E. SIKAP MAHKAMAH AGUNG (MA) DAN HAKIM-HAKIM DI BAWAHNYA

TERHADAP ADVOKAT BERKAITAN DENGAN ASAL ORGANISASINYA

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebelum lahirnya

UU Nomor 18 Tahun 2003, baik Advokat maupun pengacara praktek

disumpah sidang terbuka Pengadilan Tinggi, sebagaimana telah telah

ditentukan dalam surat MA tanggal 10 Juli 1987 Nomor

MA/KUMDIL/6983/VII/1987.

Setelah lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003, MA mengeluarkan surat

Nomor KMA/445/VI/2003, tanggal 25 Juni 2003, yang ditunjukkan kepada

Ketua Pengadilan Tinggi, yang pada intinya MA memberitahukan beberapa

petunjuk, sambil menunggu diterbitkannya peraturan-peraturan pelaksana

Undang-Undang tersebut:25

1. Terhitung sejak tanggal surat ini dikeluarkan, kepada Ketua-Ketua

Pengadilan Tinggi dilarang untuk melakukan pelantikan/pengambilan

sumpah terhadap Advokat/pengacara praktek yang baru.

2. Kartu tanda pengenal yang dimiliki oleh para Advokat/pengacara

praktek yang diterbitkan sebelum undang-undang Advokat tersebut,

dinyatakan tetap belaku sampai 6 bulan sejak surat ini dikeluarkan,

untuk selanjutnya akan diurus dan ditangani serta diterbitkan oleh

organisasi Advokat.

3. Kepada saudara-saudara Para Ketua Pengadilan Tinggi diingatkan

untuk mengisi daftar ulang (her registrasi) para pengacara dan Advokat

yang terdaftar di wilayahhukum saudara sebagaimana yang sudah

diperintahkan Mahkamah Agung sesuai dengan Surat Mahkamah

Agung Nomor MA/SEK/671/XI/2000 tanggal 23 November 2000.

4. Sambil menunggu peraturan pelaksana lebih lanjut sesuai dengan

Undang-Undang Advokat tersebut diatas, maka semua prosedur

pemindahan, mutasi Advokat dan lain-lain disesuaikan dengan maksud

penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Advokat tersebut yang pada

25 Lihat, Surat Ketua MA Nomor KMA/445/VI/2003, tanggal 25 Juni 2003

Page 23: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 23 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

pokonya perpindahan atau mutasi Advokat tersebut wajib

memberitahukan kepada:

- Pengadilan Negeri setempat.

- Organisasi Advokat ( dalam hal ini KKAI ), dan

- Pemerintah Daerah setempat.

Setelah terbitnya surat KMA tersebut, Pengadilan Tinggi tidak

melaksanakan penyumpahan calon Advokat.

Pada tanggal 11 Februari 2002 dideklarasikan berdirinya Komite

Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang beranggotakan IKADIN, AAI, IPHI,

AKHI, HKPM, Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dan Himpunan Advokat dan

Pengacara Indonesia (HAPI) minus APSI karena pada saat itu APSI belum

ada. Sejak tanggal tersebut KKAI-lah sebagai panitia bersama dengan

Mahkamah Agung menyelenggarakan Ujian Pengacara Praktek, membuat

Kode Etik Advokat Indonesia, dan mendesak diundangkannya Rancangan

Undang-Undang tentang Advokat.

Setelah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan pada

tanggal 5 April 2003 dibentuk KKAI versi kedua pada tanggal 16 Juni 2003

yang bertujuan sebagai pelaksanaan Pasal 32 ayat 3 sampai Peradi

dideklarasikan.

Pada tanggal 21 Desember 2004, Perhimpunan Advokat Indonesia

(PERADI) dideklarasikan oleh para Advokat Indonesia yang tergabung dalam

IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM dan APSI sebagai pelaksanaan

Undang-undang Advokat.26

Kemudian MA melakukan sosialisasi Kartu Tanda Pengenal Advokat

(KTPA) melalui suratnya Nomor 07/SEK/01/I/2007, tanggal 11 Januari

2007, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding, yang pada

intinya bahwa sehubungan dengan akan berakhirnya Kartu Tanda Pengenal

Advokat (KTPA) yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia

(KKAI) pada tanggal 31 Desember 2006, maka diberitahukan bahwa Dewan

26 Lihat, Akta Pernyataan Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI),

Nomor 30, tanggal 08 September 2005, dihadapan Buntario Tigris Darmawang, SE.,SH., MH., Notaris di Jakarta.

Page 24: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 24 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) akan

mengeluarkan pengganti dengan KTPA baru atas nama PERADI yang akan

digunakan oleh para Advokat yang berpraktek di pengadilan dari semua

lingkungan peradilan di seluruh Indonesia.27

Pada tanggal 29 Maret 2007, Ketua MA menerbitkan SEMA 01

Tahun 2007 tentang petunjuk pengambilan sumpah Advokat, sebagai

jababan atas surat PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) Nomor

059/Peradi-DPN/II/07 tanggal 27 Februari 2007 perihal Sumpah Advokat,

yang pada intinya Mahkamah Agung memandang perlu memberikan

petunjuk sebagai berikut:28

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat

mewajibkan Advokat, sebelum menjalankan profesinya, untuk

bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh

di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.

2. Pengambilan sumpah dilakukan oleh ketua atau, jika berhalangan, oleh

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dengan memakai toga dalam suatu

sidang yang terbuka untuk umum, tanpa dihadiri oleh Panitera.

3. Lafal sumpah atau janji adalah sebagaimana yang tertera dalam pasal 4

ayat (2) Undang-Undang No.18 Tahun 2003.

4. Salinan berita acara sumpah dikirimkan oleh Panitera Pengadilan Tinggi

yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan

HAM dan Organisasi Advokat.

PERADI sudah beberapa kali melantik dan mengajukan

penyumpahan calon Advokat kepada Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia

mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2008.

Pasca dideklarasikannya KAI pada tanggal 30 Mei 2008, kemudian

PERADIN bangkit kembali dan selanjutnya terjadi perseteruan antara KAI,

PERADI dan PERADIN yang mengklaim sebagai wadah tunggal, perseteruan

tersebut semakin meruncing.

27 Lihat, Surat Sekretaris MA Nomor 07/SEK/01/I/2007, tanggal 11 Januari

2007 28 Lihat, SEMA 01 Tahun 2007 tentang petunjuk pengambilan sumpah advokat,

tanggal 29 Maret 2007

Page 25: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 25 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Penyebabkan perseteruan PERADI, KAI dan PERADIN pasca

diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 adalah bahwa menurut Pasal 4

(1) “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut

agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka

Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”, Pasal 28 ayat (1)

disebutkan bahwa “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah

profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk

meningkatkan kualitas profesi Advokat”, kemudian Pasal 30 ayat (2)

menegaskan bahwa “Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-

Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat”.

Berdasarkan ketentuan tersebut seluruh Advokat yang sudah

diangkat sebelum maupun sesudah diundangkannya UU Advokat wajib

menjadi anggota Organisasi Advokat, yang mana organisasi Advokat

tersebut merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, dan Advokat

sebelum menjalankan profesinya, wajib bersumpah menurut agamanya

atau berjanji di sidang terbuka Pengadilan Tinggi.

Bahwa terhadap permasalahan sumpah Advokat tersebut dikaitkan

dengan ketentuan yang menyatakan semua Advokat yang diangkat setelah

berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 harus bersumpah menurut

agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka

Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya sebagaimana yang

diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003, terdapat

fakta bahwa usulan penyumpahan Advokat yang dimintakan ke Pengadilan

Tinggi tidak hanya berasal dari PERADI, melainkan juga dari KAI dan

PERADIN yang kesemuanya menyatakan diri sebagai organisasi Advokat

yang sah.

Melihat kondisi demikian, Mahkamah Agung mengeluarkan

petunjuk yang ditujukan kepada Para Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh

Indonesia pada Tanggal 01 Mei 2009 dengan Surat Ketua Mahkamah Agung

RI Nomor 052/KMA/V/2009 telah terdapat banyak pertanyaan dari para

Page 26: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 26 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Ketua Pengadilan Tinggi beberapa daerah, yang pada intinya

mempertanyakan bagaimana sikap para Ketua Pengadilan Tinggi

sehubungan dengan adanya permintaan penyumpahan Advokat, begitu

pula Mahkamah Agung Republik Indonesia banyak menerima surat dari

organisasi Advokat, baik dari PERADI, KAI maupun dari PERADIN,yang

kesemuanya menyatakan diri sebagai organisasi Advokat yang sah,

sedangkan yang lain tidak sah.29

Berkaitan dengan keadaan tersebut Mahkamah Agung RI melalui

Surat Ketua Mahkamag Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009, tanggal 01 Mei

2009 memerintahkan agar semua Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh

Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah Advokat baru

yang dimintakan penyumpahannya kepada Pengadilan Tinggi selama

penyelesaian masalah pembentukan organisasi Advokat sebagai wadah

tunggal para Advokat di Indonesia belum diselesaikan oleh para Advokat

karena akan melanggar ketentuan Pasal 28 UU Nomor 18 Tahun 2003

Tentang Advokat dan terhadap Advokat yang telah diambil sumpahnya di

sidang Pengadilan Tinggi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor

18 Tahun 2003 Tentang Advokat sebelum adanya Surat Ketua Mahkamah

Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009 tidak bisa

dihalangi untuk beracara di Pengadilan terlepas dari organisasi manapun

Advokat tersebut berasal.

Sebagai akibat dikeluarkannya Surat Ketua Mahkamah Agung RI

Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009 tersebut menyebabkan

Advokat yang diangkat setelah berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003

Tentang Advokat tidak dapat lagi dimintakan penyumpahannya di sidang

terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnnya terhitung sejak

tangal 01 Mei 2009 sehingga ketika beracara di sidang Pengadilan

seringkali menimbulkan permasalahan karena ditolak dengan alasan belum

disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili

29 Lihat, Surat Ketua MA Nomor 052/KMA/V/2009, tanggal 01 Mei 2009

Page 27: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 27 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

hukumnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU

Nomor 18 Tahun 2003.

Terkait dengan akibat hukum yang ditimbulkan oleh Surat Ketua

Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009

tersebut di atas, telah diajukan permohonan uji materiil terhadap

ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

kepada Mahkamah Konstitusi yang oleh Putusan MK Nomor 101/PUU-

VII/2009 sebagaimana diucapkan dalam Sidang Pleno MK pada Hari Rabu

Tanggal 30 Desember 2009 pada intinya menyatakan bahwa “ adalah

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat jika Pengadilan Tinggi atas

perintah UU wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum

menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi

Advokat yang pada saat diputuskan oleh MK secara de facto ada, dalam

jangka waktu 2 tahun sejak amar Putusan MK tersebut diucapkan.30

Bahwa lebih lanjut terhadap Surat Ketua Mahkamah Agung RI

Nomor 052/KMA/V/2009 Tangal 01 Mei 2009 telah dicabut dengan Surat

Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 089/KMA/VI/2010 Tanggal 25 Juni

2010 Perihal Penyumpahan Advokat yang di dalam surat tersebut

dinyatakan dikarenakan perseteruan yang nyata terkait dengan organisasi

Advokat yang sah adalah antara PERADI dan KAI yang keduaduanya

dihadapan Ketua Mahkamah Agung RI pada Tanggal 24 Juni 2010 telah

melakukan kesepakatan yang pada intinya Organisasi Advokat yang

disepakati dan merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat adalah

Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), yang mana dalam kesepakatan

tersebut tidak mengikutsertakan pihak PERADIN sebagai salah satu

organisasi Advokat yang juga pernah disebutkan dalam SK

052/KMA/V/2009.31

30 Lihat, Putusan MK Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 31 Lihat, Surat Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi MA,

tanggal 21 Februari 2011 kepada pengurus PERADIN. Lihat juga, Surat DPP-KAI Nomor 044/Eks/DPP-KAI/VIII/2010, tanggal 30 Agustus 2010, yang ditujukan kepada Ketua MA. Lihat juga, Surat Ketua MA Nomor 099/KMA/VII/2010, tanggal 21 Juli 2010, yang ditujukan kepada Presiden KAI.

Page 28: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 28 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

Dan sebagai konsekuensinya Mahkamah Agung juga di dalam surat

tersebut di atas menyampaikan kepada Para Ketua Pengadilan Tinggi di

seluruh Indonesia untuk mengambil sumpah para calon Advokat yang telah

memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut

harus diajukan oleh Pengurus PERADI sesuai dengan jiwa kesepakatan

Tanggal 24 Juni 2010 antara KAI dan PERADI di hadapan Ketua

Mahkamah Agung RI.

Bahwa antara amar Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 yang

diucapkan pada Tanggal 30 Desember 2009 dengan Surat Ketua

Mahkamah Agung RI Nomor 089/KMA/VI/2010 Tanggal 25 Juni 2010

Perihal Penyumpahan Advokat adalah saling bertentangan isinya, di satu

sisi amar Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 yang diucapkan pada

Tanggal 30 Desember 2009 menyatakan sampai dengan kurun waktu 2

tahun ke depan sejak Tanggal 30 Desember 2009 (yakni sampai dengan

tanggal 29 Desember 2011) Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah

atau janji Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan

dengan keanggotaan organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto

ada (diantaranya KAI, PERADI, dan PERADIN) sedangkan Surat Ketua

Mahkamah Agung RI Nomor 089/KMA/VI/2010 Tanggal 25 Juni 2010

Perihal Penyumpahan Advokat menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi dapat

mengambil sumpah para calon Advokat yang telah memenuhi syarat (harus

dimaknai calon Advokat adalah Advokat vide frase Pasal 4 ayat 1 UU Nomor

18 Tahun 2003 Tentang Advokat) dengan ketentuan bahwa usul

penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus Peradi.32

Berdasarkan hal tersebut terhadap permasalahan terkait tidak

disumpahnya Advokat karena terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung RI

Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010, oleh karena merujuk pada

Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 Pengadilan Tinggi wajib mengambil

sumpah yang diusulkan oleh organisasi Advokat tanpa mengaitkan dari

organisasi mana Advokat itu berasal, maka agar tidak terjadi polemik

32 Lihat, Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010

Page 29: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 29 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

berkepanjangan sebagai salah satu alternatif penyelesaian untuk sementara

waktu sampai adanya penyelesaian atas perselisihan organisasi Advokat

yang oleh MK diberi tenggang waktu dua (2) tahun, Advokat dapat beracara

di pengadilan bilamana sebagai berikut, yaitu:33

1. Advokat yang sudah disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang

berwenang tanpa melihat dari organisasi Advokat mana yang

bersangkutan berasal.

2. Advokat yang belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang

berwenang tapi dapat dibuktikan melalui suatu surat yang

bersangkutan sudah dimintakan usulan penyumpahannya oleh suatu

organisasi Advokat tapi ditolak penyumpahannya oleh Pengadilan

Tinggi.

3. Advokat yang belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang

berwenang tapi dapat dibuktikan melalui suatu surat yang

bersangkutan sudah dimintakan usulan penyumpahannya oleh suatu

organisasi Advokat tapi sejak surat usulan tersebut diajukan belum ada

jawaban atau kepastian mengenai penyumpahannya dari Pengadilan

Tinggi.

Dalam praktek di Pengadilan, Hakim harus menerima advokat

tersebut beracara di Pengadilan selama advokat tersebut termasuk dalam 3

(tiga) kategori tersebut. Apabila diperlukan Hakim dapat memerintahkan

Advokat tersebut memperlihatkan Berita Acara Sumpah yang dikeluarkan

oleh Pengadilan Tinggi, walaupun hal tersebut tidalah lazim untuk

meyakinkan bahwa Advokat tersebut adalah Advokat yang diperkenankan

beracara di Pengadilan.34

F. PENUTUP

Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu:

33 Keabsahan Advokat Beracara disidang Pengadilan, Rumusan hasil diskusi yang

dilaksanakan oleh Ketua, Wakil Ketua dan Hakim PTUN Palembang menyikapi perselisihan Organisasi Advokat, tanggal 19 Oktober 2010, Lihat, http://www.ptun.palembang.go.id/ upload_data/RAKOR.pdf

34 Lihat, Varia Advokat, Volume 11, Oktober 2009, h. 6-7, lihat juga, Pengacara Kasus Narkoba Ngamuk di Pengadilan, di http://news.okezone.com/read/2011 /10/20/340/518236/pengacara-kasus-narkoba-ngamuk-di-pengadilan

Page 30: Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya

Page 30 of 30

BUNGA RAMPAI:

Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara di Pengadilan berkaitan dengan Asal

Organisasinya

1. Advokat adalah profesi yang bebas dan mandiri, yang tidak tunduk pada

hierarki jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan dan hanya

menerima perintah atau order atau kuasa dari klien berdasarkan

perjanjian yang bebas, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis, yang

tunduk pada Kode Etik Profesi Advokat.

2. Urusan perselisihan antara organisasi Advokat adalah urusan internal

mereka dan harus diselesaikan sendiri, yang faktanya terdapat tiga

organisasi yang mengklaim sebagai organisasi satu-satunya yang sah,

yaitu Peradi, KAI dan Peradin.

3. Pengadilan harus mendorong para Advokat tersebut untuk bersatu,

karena tidak bersatunya mereka akan menyulitkan dirinya sendiri dan

juga Pengadilan. Pengadilan tidak dalam posisi untuk mengakui atau

tidak mengakui suatu organisasi.

4. Sikap Hakim terhadap keabsahan Advokat beracara di Pengadilan,

harus menerima Advokat tersebut selama Advokat tersebut termasuk

dalam 3 (tiga) kategori tersebut.