Upload
mcool
View
1.621
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Peradilan Internasional
Citation preview
PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ); STUDI KASUS HAK INTERVENSI
Oleh. Sunan J. RustamCenter for Law Information
2003
Bab IPENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional
(MI) atau International Court of Justice (ICJ), telah
menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang
bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun
advisory1. Sebagai penerus dari PCIJ atau Permanent Court
International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI
telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary
means untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia,
“The International Court of Justice is often thought of as the primary means for the resolution of disputes between states”2
Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI
hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di
1List of Cases Brought Before the Court Since 1946, http://www.icj-cij.org/icjwww/idecisions.htm, diakses 10 Juli 2002
2 Martin Dixon, Textbook on International Law, London: Blackstone Press Limited, 1990, hal.256
dalamnya3. Special Agreement atau perjanjian khusus tentang
penundukan (consent to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus
terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara4.
Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan Negara
atau state sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya
berkenaan tentang jurisdiksi MI berpendapat,
“When considering the jurisdiction of the International Court of Justice in contentious cases, I take as my point of departure the conviction that the Court’s jurisdiction must rest upon the free will of sovereign state, clearly and categorically expressed, to grant the Court the competence to settle the dispute in question”5
Proses beracara di MI hanya dapat dilakukan dengan
adanya consent dari para pihak yang akan beracara. Consent
ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will dari
Negara yang terkait.
Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa MI menjunjung
tinggi kedaulatan sebuah Negara untuk tunduk atas dasar free
will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan Negara
ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan
MI. Keputusan yang dikeluarkan oleh MI hanya mempunyai
3 Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only States may be parties in cases before the Court”.
4 Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases are brought before the Court, as the case may be, either by the notification of the special agreement or by a written application…..”
5 Judge Oda: Nicaragua v. Honduras, Jurisdiction and Admissibility, 1988, ICJ Rep. 69, hal 109
kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan
terbatas pada kasus yang diajukan.6
Sekilas mekanisme MI sangatlah ideal melihat dari sisi
free will ketundukan negara sebagai pihak yang beracara dan
kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang bersengketa
(disputant states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika
hasil keputusan MI berdampak kepada negara lain sebagai
pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-disputant states).
Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan
dengan kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan
MI terhadap pihak ketiga yang tidak ikut beracara. Kedua,
posisi pihak ketiga yang akan terkena dampak keputusan
tersebut.
Melihat dari sisi ini, nampaknya asas konsensualisme
atau free will tidaklah berlaku mutlak dalam proses beracara
di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan pada saat
pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang
akan beracara.
Seperti layaknya pengadilan nasional atau domestic
court, MI juga mempunyai mekanisme keterlibatan untuk pihak
ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara. Salah satu
6 Statuta MI, Pasal 59 “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case”
mekanisme keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme
intervensi.
Berbeda dengan special agreement yang menggunakan asas
konsensualisme atas dasar free will ketika pertama kali
mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi lebih
terkesan memiliki unsur pemaksaan.
Unsur pemaksaan ini didasari dari keputusan MI yang
mempunyai dampak terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi
pihak yang beracara di MI. Walupun diatas kertas, Negara
ketiga ini mempunyai pilihan untuk terlibat ataupun tidak
terlibat dalam sebuah kasus yang diajukan di MI, akan tetapi
secara realita adalah mustahil atau impossible jika Negara
ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara
tersebut. Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam proses
beracara di MI hanya akan membawa kerugian bagi Negara
ketiga yang bersangkutan.
Keadaan free will yang pada awalnya menjadi dasar
ketundukan berubah menjadi indirect forced will atau
pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states
yang terkena dampak hasil putusan tersebut.
Pemaksaan secara tidak langsung ini dapat dilihat pada
kasus Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land,
Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary
1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman MI, tercatat hanya
enam kasus yang diintervensi oleh Negara ketiga.7 Dari
kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke MI diatas,
hanya dua kasus intervensi yang dikabulkan atau granted oleh
MI. Kasus intervensi pertama yang dikabulkan MI adalah kasus
Land, Island & Maritime Frontier 1990 dimana Negara
ketiganya adalah Negara Nikaragua. Sedangkan kasus
intervensi kedua yang dikabulkan adalah kasus Land &
Maritime Boundary 1999, dimana Negara Equatorial Guinea
menjadi Negara yang melakukan intervensi.
Berkenaan dengan hal ini, MI secara khusus telah
mengatur mekanisme bagi negara ketiga untuk melakukan hak
intervensi (right of intervention) atas sengketa yang sedang
diajukan8. MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi
atas dasar pasal 62 statuta MI dan intervensi atas dasar
pasal 63 Statuta MI.
7 Kasus-kasus tersebut adalah kasus Hoya de la Torre 1951, Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
8 Statuta MI, 1945, Pasal 62 (1), “Should a State consider that it has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”
Bab IIPROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL
1 Dasar Hukum Beracara
Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan
dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional.9 Adapun
kelima aturan tersebut adalah: Piagam PBB10 (1945), Statuta
MI (1945), Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970)
yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000, Panduan
Praktek atau Practice Directions I – IX dan Resolusi
tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau
Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the
Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19
Aturan Mahkamah (1970).
Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan
tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5
pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di dalam Statuta MI
sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara
terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan
BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal
(pasal 39 - 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara
di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68)
9 Basic Documents, Constitutive Instruments, http://www.icj-cij.org/icjwww/ibasicdocuments.htm, diakses 13 Juli 2002
10 PBB singkatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations (UN)
Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of
the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini
dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa
amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000.
Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1
Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-
rectroactive,
“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before that date”.11
Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek
(Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang
dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI.
Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat
pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam
beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari proses beracara di
MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari
Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial
Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10
ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada
11 Rules of the Court (1970), amandemen 2000, Bagian Pembukaan
tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi
yang sama tentang Internal Judicial Practice yang
dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.
2 Para Pihak yang Beracara
Untuk kasus yang bersifat contentious, Statuta MI
membatasi hanya Negara12 yang dapat beracara di MI.13 Ada
tiga kategori Negara atau state yang dapat beracara di MI
yaitu, kategori pertama adalah Negara Anggota PBB. Mengacu
kepada pasal 35(1) dari Statuta MI dan pasal 93 (1) dari
Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto terhadap
statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih
ada 189 negara telah yang menjadi anggota PBB.
Kategori Negara yang kedua adalah Negara Bukan Anggota
PBB akan tetapi party kepada Statuta MI. Selain itu Negara
yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat
juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang
diberikan oleh Dewan Keamanan PBB.14 Adapun persyaratan yang
12 Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara (Convention on Rights & Duties of States), 26 Desember 1933, Entry into Force 26 Desember 1934 Pasal 1, “The State as a person of International Law should possess the following qualifications (a) a permanent population, (b) a defined territory, (c) government and (d) capacity to enter into relations with the other states”
13 Statuta MI, 1945, Pasal 34, “Only States may be parties in cases before the Court”
14 Statuta MI, 1945, Pasal 35(2), Contohnya adalah Negara Swiss , General Assembly Resolution 91 (1) 11 December 1946; Lihat juga Resolusi Majelis Umum PBB No. 264 (III) tanggal 8 Oktober 1948 tentang Hak Partisipasi Negara Bukan Anggota PBB Untuk Memilih anggota MI (pasal 4(3) Statuta MI); Lihat juga Resolusi Majelis Umum PBB No.2520 (XXIV) tanggal 4 Desember 1969 tentang Hak Partisipasi bukan Negara anggota PBB untuk ikut meng-amandemen prosedur di MI
dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam
PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan
pengeluaran dari MI atas dasar pertimbangan Majelis Umum
PBB.15
Kategori yang terakhir adalah Negara yang bukan anggota
kepada Statuta MI.16 Untuk Negara-negara yang masuk dalam
kategori ini harus membuat deklarasi17 untuk tunduk kepada
segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),
“The International Court of Justice shall be open to a State which is not a party to the Statute of the International Court of Justice, upon the following condition, namely, that such State shall previously have deposited with the Registrar of the Court a declaration by which it accepts the jurisdiction of the Court, in accordance with the Charter of the United Nations and with the terms and subject to the conditions of the Statute and Rules of the Court, and undertakes to comply in good faith with the decision or decisions of the Court and to accept all the obligations of a Member of the United Nations under Article 94 of the Charter”18
15 GA Resolution No.91 tanggal 11 Desember 1946, “Acceptance of the provisions of the Statute of the International Court of Justice; Acceptance of all the obligations of a Member of the United Nations under Article 94 of the Charter; and An undertaking to contribute to the expenses of the Court such equitable amount as the General Assembly shall assess from time to time after consultation with the Swiss Government.”
16 Loc cit, Statuta MI, 1945, pasal 35 (2)17 Deklarasi yang dimaksud pernah diajukan oleh Albania (1947) dan Itali (1953). Selain itu
deklarasi umum juga untuk hal yang sama juga diajukan oleh Kamboja (1952), Seylon (1952), Negara Federal Jerman (1955, 1956, 1961, 1965 dan 1971), Finlandia (1953 dan 1954), Itali (1955), Jepang (1951), Laos (1952) dan Republik Vietnam (1952).
18 Security Council Resolution (Resolusi Dewan Keamanan) No. 9 tanggal 11 Oktober 1946, bagian 1
Salah satu landmark case atau kasus utama berkaitan
dengan status Negara untuk beracara di MI adalah kasus
tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
atas Kejahatan Pembunuhan.19 Kasus ini mengetengahkan
sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa yang
berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal
ini, sengketa antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia.
Pada keputusannya, MI menerima locus standi dari kedua pihak
dengan dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi
tersebut diatas.
3 Jurisdiksi MI
Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai
kemampuan atas dasar hukum internasional untuk menentukan
dan menegakkan sebuah aturan hukum.20 Hal ini juga berlaku
bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk
menyelesaikan sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk
sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara
sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi dari
19 Case Concerning the Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia Herzegovina v. Yugoslavia) (Serbia and Montenegro) (Indication of Provisional Measures, 1993, ICJ Rep. 325
20 Jurisdiksi adalah “The capacity under international law to prescribe or enforce a rule of law” (American Law Institute) , Restatement of the Law, Second (1965): Foreign Relations Law of the United States, hal. 20; lihat juga definisi lain, ‘La competence internationale de le pouvoir juridique confere ou reconnu par le droit international a un de connaitre d une affaire, de prendre une decision, de regler un different” (Dictionnare de la terminologie du droit international)l (Sirey, 1960); lihat juga Definisi dari Mann, “The Doctrine of Jurisdiction in International Law”, Recuil des cours, III (1964), hal. 9
MI.21 Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam
bentuk:
3.1 Perjanjian Khusus atau Special Agreement
Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada
umumnya menyerahkan perjanjian khusus22 yang berisikan
subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.23 Ada 14
kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus
antara para pihak untuk menerima jurisdiksi dari MI,
yaitu kasus Asylum (Kolombia/Peru); Minquiers and
Ecrehos (Perancis/Inggris); Sovereignty over Certain
Frontier Land (Belgia/Belanda); North Sea Continental
Shelf (Jerman/Denmark; Jerman/Belanda); Continental
Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya); Delimitation of
the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area
(Kanada/Amerika Serikat); Continental Shelf (Libya Arab
Jamahiriya/Malta); Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali);
21 Jika salah satu pihak menolak untuk menerima jurisdiksi MI, maka MI tidak akan meneruskan proses beracara, seperti pada kasus : Treatment in Hungary or Aircraft and Crew of United States of America (United States of America v. Hungary) (United States of America v. USSR); Aerial Incident of 10 March 1953 (United States of America v. Czechoslovakia); Antarctica (United Kingdom v. Argentina) (United Kingdom v. Chile); Aerial Incident of 7 October 1952 (United States of America v. USSR); Aerial Incident of 4 September 1954 (United States of America v. USSR); Aerial Incident of 7 November 1954 (United States of America v. USSR).
22 Statuta MI, 1945, Pasal 36 (1)
23 Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1) “…the subject of the dispute and the parties shall be indicated”, dan (Rules of the Court) selanjutnya Aturan Mahkamah, Pasal 39 “…indicate the precise subject of the dispute and identify the parties to it.”
Land, Island and Maritime Frontier Dispute (El
Salvador/Honduras); Territorial Dispute (Libya Arab
Jamahiriya/Chad); Gabcíkovo-Nagymaros Project
(Hongaria/Slovakia); Kasikili/Sedudu Island
(Botswana/Namibia); Sovereignty over Pulau Ligitan and
Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia); Corfu Channel
(Inggris v. Albania); Arbitral Award Made by the King of
Spain on 23 December 1906 (Honduras v. Nikaragua)24
3.2 Ketundukan dari Perjanjian Internasional
Dalam bentuk ini, jurisdiksi MI ditarik dari
perjanjian internasional yang memang mengharuskan
anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi MI jika
terjadi sengketa. Para pihak tinggal memakai dasar
ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang
mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI,
“The application shall specify as far as possible the legal grounds upon which the jurisdiction of the Court is said to be based; it shall also specify the precise nature of the claim, together with a succinct statement of the facts and grounds on which the claim is based”25
24 Jurisdiction, www.icj-cij.org, diakses 18 Agustus 2002
25 Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 38 (2)
Kurang lebih ada 300 perjanjian internasional yang
menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa.26 Pada umumnya
jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar
pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari
perjanjian internasional yang akan dimintakan kepada
MI.27
3.3 Deklarasi Ketundukan bagi negara Anggota Statuta MI
Pada bentuk ini, Negara yang menjadi anggota dari
Statuta MI yang kemudian beracara di MI dapat dalam
waktu yang tidak ditentukan untuk menyatakan
ketundukannya ke MI28, jadi tanpa membuat perjanjian
khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory ipso
facto.29 Kurang lebih ada 60 negara di dunia yang memakai
cara ini untuk menerima jurisdiksi dari MI. salah satu
contoh adalah :
“I have the honour, by direction of the Minister for Foreign Affairs, to declare on behalf of the Government of Japan, that in conformity with
26 http:// www.icj-cij.org, diakses 25 Oktober 2002
27 Sebagai contoh dapat dilihat pada Perjanjian Perdamaian, Indonesia – Jepang, Jakarta, 20 Januari 1958, Pasal 6
28 Pasal 36 (1), Statuta MI, 194529 Statuta MI, 1945, Pasal 36 (2-5), “The States parties to the present Statute may at any time
declare that they recognize as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation to any other State accepting the same obligation, the jurisdiction of the Court in all legal disputes concerning:(a) the interpretation of a treaty;(b) any question of international law;(c) the existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an international obligation;(d) the nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation.
paragraph 2 of Article 36 of the Statute of the International Court of Justice, Japan recognizes as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation to any other State accepting the same obligation and on condition of reciprocity, the jurisdiction of the International Court of Justice, over all disputes which arise on and after the date of the present declaration with regard to situations or facts subsequent to the same date and which are not settled by other means of peaceful settlement. This declaration does not apply to disputes which the parties thereto have agreed or shall agree to refer for final and binding decision to arbitration or judicial settlement. This declaration shall remain in force for a period of five years and thereafter until it may be terminated by a written notice”.30
3.4 Keputusan MI tentang Jurisdiksi MI
Jika terjadi sengketa mengenai jurisdiksi MI maka
sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan MI
sendiri.31 Para pihak dapat mengajukan preliminary
objections atau keberatan awal atas jurisdiksi MI.32 Ada
26 kasus dimana diajukan keberatan awal atas jurisdiksi
MI.33
30 Koto Matsudaira, Deklarasi negara Jepang untuk mengakui secara compulsory ipso facto jurisdiksi dari MI, 15 September 1958
31 Statuta MI, 1945,Pasal 36 (6)
32 Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 7933 Kasus Keberatan Awal atau Preliminary Objection, Corfu Channel (Inggris v. Albania); Rights
of Nationals of the United States of America in Morocco (Perancis v. Amerika Serikat); Ambatielos (Yunani v. Inggris); Anglo-Iranian Oil Co. (Inggrs v. Iran); Nottebohm (Liechtenstein v. Guatemala); Monetary Gold Removed from Rome in 1943 (Italia v. Perancis, Inggris dan Amerika Serikat); Certain Norwegian Loans (Perancis v. Norwegia); Right of Passage over Indian Territory (Portugal v. India); Interhandel (Swiss v. Amerika Serikat); Aerial Incident of 27 July 1955 (Israel v. Bulgaria) (Amerika Serikat v. Bulgaria); Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited (Belgia v. Spanyol); Compagnie du Port, des Quais et des Entrepôts de Beyrouth and Sociéte Radio-Orient (Perancis v. Libanon); Temple of Preah Vihear (Kamboja v. Thailand); South West Aftica (Ethiopia v. Afrika Selatan; Liberia v. Afrika Selatan); Northern Cameroons (Kameron v. Inggris); Barcelona Traction, Light and
3.5 Interpretasi Putusan
Jurisdiksi MI dilihat dari Statuta MI, Pasal 60,
dimana MI harus memberikan interpretasi jika diminta
oleh baik satu maupun kedua pihak yang beracara. Cara
permintaan interpretasi putusan tersebut dapat dalam
bentuk perjanjian khusus antara para pihak yang
bersengketa, ataupun aplikasi sendiri dari salah satu
pihak yang bersengketa.34 Contoh kasus interpretasi
putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylum
antara Kolombia melawan Peru dan juga negara Nigeria
dalam kasus Land and Maritime Boundary antara Nigeria
melawan Kamerun
3.6 Revisi Putusan
Power Company, Limited (New Application: 1962) (Belgia v. Spanyol); Elettronica Sicula S.p.A. (ELSI) (Amerika Serikat v. Italia); Aerial Incident of 3 July 1998 (Iran v. Amerika Serikat); Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v. Australia); Oil Platforms ( Iran v. Amerika Serikat); Questions of Interpretation and Application of the 1971 Montreal Convention arising out of the Aerial Incident at Lockerbie (Libya Arab Jamahiriya v. Inggirs) (Libya Arab Jamahiriya v. Amerika Serikat); Application of the Convention and the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Yugoslavia); Land and Maritime Boundary between Cameroon and Nigeria (Kamerun v. Nigeria). Questions of jurisdiction or admissibility have also been raised in the following 13 cases: Appeal Relating to the Jurisdiction of the ICAO Council (India v. Pakistan); Fisheries Jurisdiction (Inggris v. Islandia; Jerman v. Islandia); Nuclear Tests (Australia v. Perancis); Trial of Pakistani Prisoners of War (Pakistan v. India); Aegean Sea Continental Shelf (Yunani v. Turki); United States Diplomatic and Consular Staff in Tehran (Amerika Serikat v. Iran); Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nikaragua v. Amerika Serikat); Border and Transborder Armed Actions (Nikaragua v. Honduras); Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain (Qatar v Bahrain); East Timor (Portugal v. Australia); Fisheries Jurisdiction (Spanyol v. Kanada).
34 Aturan Mahkamah, 1978, pasal 98
Ketundukan pada jurisdiksi MI dengan cara ini
adalah melalui aplikasi dengan syarat bahwa ada fakta
baru (novum) yang belum diketahui MI dan para pihak
ketika keputusan itu dibuat dan bukan karena ada unsur
kesengajaan dari para pihak.35 Jangka waktu yang
diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak
keputusan dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan
adalah pada kasus Continental Shelf yang diajukan oleh
negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab Jamahiriya)
4 Urutan Beracara di MI
Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan
berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa
mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang
sifatnya contentious.
4.1 Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)
Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan
penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua
belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian
khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas
para pihak.36 Karena tidak ada pembagian sebelumnya
35 Statuta MI, 1945, pasal 61, lihat juga Aturan Mahkamah, 1978, pasal 99
36 Aturan Mahkamah, 1978, pasal 39(2), Lihat Panduan Praktek I
apakah negara A disebut sebagai Respondent atau
Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara
memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh
Indonesia/Malaysia.
Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain
proses awal beracara di MI, yaitu dengan penyerahan
aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang
menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang
menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik37, disebut
sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut
Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan
v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan
para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v.
Malaysia
Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya
ditandatangani oleh wakil atau agent38 yang dilampirkan
juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di
Hague dari negara yang bersangkutan.
Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya
register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika
ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka
37 Aturan Mahkamah, 1978, pasal 38 (1)
38 Statuta MI, 1945, Pasal 42 (1) “ the parties shall be represented by agents”
register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi
tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari
MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar
Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan
diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa39
(Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi
tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak,
akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang
mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang
memintanya.40 Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi
diterima oleh register adalah tanggal permulaan
dimulainya proses beracara di MI.
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau
aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang
selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan
39 Pilihan bahasa resmi atau official language yang dipakai dalam beracara di MI adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis. Keputusan atau judgment MI akan menggunakan bahasa yang dipilih oleh para pihak, jika para pihak memilih Bahasa Inggris maka judgment dari MI akan dalam bentuk Bahasa Inggris dan begitu juga sebaliknya dengan pilihan Bahasa Perancis. Apabila tidak terdapat suatu kesepakatan dalam penggunaan bahasa resmi yang dipakai, maka MI, selain memberikan keputusan dalam kedua bahasa resmi tersebut, juga akan menentukan bahasa yang menjadi padanan utama penafsiran (authoritative text) dari keputusan yang dikeluarkan. Dalam pemilihan bahasa resmi ini, para pihak juga dapat meminta MI untuk menggunakan bahasa lain selain kedua pilihan bahasa resmi diatas. Lihat Juga Statuta MI, 1945, Pasal 39, Lihat juga bahasa resmi yang digunakan dalam PBB yaitu Bahasa Cina, Bahasa Perancis, Bahasa Rusia, Bahasa Spanyol dan Bahasa Inggris, www.un.org, diakses 10 Juli 2002, Lihat Juga Statuta MI, 1945 Pasal 39 (2), Authoritative text sangatlah penting jika berkenaan dengan interpretasi dari sebuah teks, sesuai dengan Vienna Convention on the Law of Treaties, objective approach yaitu interpretasi dengan menggunakan arti yang sebenarnya atau ordinary meaning, pasal 31 (1), Lihat Panduan Praktek IV
40 Proceedings, www.icj-cij.org, diakses 20 Agustus 2002
tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan
(oral pleadings).41 Pada dasarnya, MI memberikan
kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan
utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis42
maupun presentasi pembelaan.43
4.2 Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)
Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak
ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal
perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan
Tanggapan Memorial (Counter Memorial).44 Jika ternyata
para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI
menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk
memberikan Jawaban (Reply).45
Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun
memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara
sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya.
41 Pasal 43, Statuta MI, 1945
42 Lihat Fisheries Juridiction Case (Inggris v. Islandia) ICJ, Rep 1973; lihat juga Rights of Passage over Indian Territory Case, ICJ Rep 1960
43 Lihat Corfu Channel Case (Inggris v. Albania) Icj Rep 1949; Lihat juga South West Africa Cases (Ehtiopia v. Afrika Selatan, Liberia v. Afrika Selatan) ICJ Rep 1966
44 Lihat kasus Frontier Dispute (Burkina Faso/Republik Mali) ICJ Rep 1985
45 Aturan Mahkamah, 1978 Pasal 45 dan 46(2), Lihat kasus Continental Shelf (Tunisi/Libya Arab Jamahiriya) ICJ Rep 1982
Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan
bahasa resmi yang nantinya akan dipakai.
Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan
fakta, hukum yang relevan dan submissions46 yang diminta,
sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen
pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di
dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan,
jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang
diminta.47 Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai
memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu
panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam
tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan
penjelasan yang relevan dari para pihak yang
bersengketa48
4.3 Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial
diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses
46 Terjemahan historis dari Bahasa Inggris “Submissions” atau “Conclusions” dalam bahasa Perancis adalah petitum atau hal yang dimintakan untuk diputuskan oleh hakim, “a concise statement of what precisely the party in question is asking the Court to adjudge and declare on the basis of the facts it has alleged and the legal grounds it has adduced, in respect not only of the original claim but also of any counter-claim. In principle they do not include any recital, however brief, of the aforesaid facts and arguments”, www.icj-cij.org , diakses 12 Agustus 2002
47 Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 49
48 Lihat kasus Rights of Nationals of the United States of America in Morocco, (Perancis v. Amerika), ICJ Rep 1952
presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan
tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan
pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat
terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak
tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI.49
Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk
memberikan presentasi pembelaan di depan MI. Jika para
pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi
dari MI,50 maka pihak tersebut harus memberitahukan
terlebih dahulu kepada register guna dipersiapkan
terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965.51
Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3
minggu, akan tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih
lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat
diperpanjang.52 Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978,
pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah
pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan
pertimbangan MI,
49 Pasal 46, Statuta MI, 1945
50 Lihat kasus Rights of Minorities in Upper Silesia dimana bahasa yang digunakan dalam presentasi pembelaan adalah bahasa Jerman; lihat juga kasus Barcelona Traction yang menggunakan bahasa Spanyol
51 http//www.icj-cij.org, diakses 13 Agustus 2002
52 Lihat kasus Barcelona Traction yang memakan 50 kali pertemuan atau sitting, South West Africa sebanyak 102 kali pertemuan dan Land, Island and Maritime Frontier Dispute sebanyak 50 kali pertemuan
“The oral statements made on behalf of each party shall be as succinct as possible within the limits of what is requisite for the adequate presentation of that party's contentions at the hearing. Accordingly, they shall be directed to the issues that still divide the parties, and shall not go over the whole ground covered by the pleadings, or merely repeat the facts and arguments these contain. The Court may at any time prior to or during the hearing indicate any points or issues to which it would like the parties specially to address themselves, or on which it considers that there has been sufficient argument."
4.4 Perihal Khusus
Selain dari proses normal beracara di MI, juga ada
perihal khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses
beracara tersebut. Perihal tersebut adalah Keberatan
Awal atau Preliminary Objection, Ketidakhadiran Salah
Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara
atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder
Proceedings dan Intervensi atau Intervention.
4.4.1 Keberatan Awal (Preliminary Objections)
Keberatan awal diajukan oleh pihak yang
dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang
diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI
dari proses pengambilan keputusan. Adapun alasan
yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan
Awal ini adalah bahwa MI tidak mempunyai
jurisdiksi,53 aplikasi yang diajukan tidak sempurna
dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI.
Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal
ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima
Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang
diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses
beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79
Aturan Mahkamah 1978.
4.4.2 Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance)
Non-Appearance biasanya dilakukan oleh pihak
respondent dengan dasar antara lain menolak
jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran pihak
respondent ini tidak menghentikan jalannya proses
beracara di MI.54 Proses normal beracara baik
tertulis maupun presentasi akan terus berjalan yang
kemudian diberikan keputusan MI.
4.4.3 Keputusan Sela/Sementara (Provisional Measures)
Jika pada suatu waktu dalam proses beracara
terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari
53 Lihat Kasus Nottebohm (Liechstein v. Guatemala) ICJ Rep 1955
54 Lihat kasus Nuclear Tests (Australia v. Perancis, Selandia Baru v. Perancis), ICJ Rep 1973 , lihat juga kasus United States Diplomatic and Consular Staff in Tehran (Amerika Serikat v. Iran) ICJ Rep 1980
applikasi yang diajukan, maka pihak applicant dapat
meminta MI untuk mengindikasikan usaha-usaha
perlindungan (interim measures of protection) atau
keputusan sela (provisional measures). MI dapat
meminta para pihak untuk tidak melakukan hal-hal
yang dapat membahayakan efektifitas keputusan MI
atas permintaan Keputusan Sela tersebut.55 Ketentuan
mengenai Keputusan Sementara ini diatur di dalam
Aturan Mahkamah pasal 73-78
4.4.4 Beracara Bersama (Joinder Proceedings)
Jika MI menemukan bahwa ada dua pihak atau
lebih dari proses beracara yang berbeda, akan
tetapi mempunyai argumen dan petitum yang sama atas
satu pihak lawan yang sama, maka MI dapat
memerintahkan adanya proses beracara bersama
(joinder proceedings).56 Para pihak tersebut hanya
55 Lihat kasus Anglo-Iranian Oil Co (Inggris v. Iran) ICJ Rep 1952, lihat juga kasus Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nikaragua v. Amerika Serikat) ICJ Rep 1984
56 Lihat kasus South West Africa, ICJ Rep 1966 dan North Sea Continental Shelf, ICJ Rep. 1969
bisa mempunyai satu hakim ad hoc57 dengan satu
pembelaan baik tertulis maupun presentasi yang
digabung untuk melawan satu pihak yang sama.
4.4.5 Intervensi (Intervention)
MI memberikan hak kepada Negara lain (non-
disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di
MI untuk melakukan intervensi atas sengketa yang
diajukan58. Hak ini dapat diajukan jika Negara
tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari
sisi hukum atau legal nature interest yang akan
terkena dengan adanya keputusan dari MI.59 Lebih
jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab
berikutnya.
4.5 Keputusan (Judgment)
Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap
telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai
kesepakatan sebelum proses beracara berakhir.60
57 Hakim ad hoc adalah hakim yang dipilih oleh para pihak jika para pihak tidak mempunyai wakil hakim tetap di MI. Lihat Statuta MI, 1946, Pasal 31
58 Statuta MI, 1945, Pasal 62 dan 63, Aturan Mahkamah, 1978 Pasal 81-86
59 Lihat kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute, (Merits) ICJ Rep 1980, Continental Shelf (Tunisia) (Merits)ICJ Rep 1984 dan Continental Shelf (Malta) (Merits)ICJ Rep 1981, lihat juga kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Filipina) (Merits) ICJ Rep 2001
60 Lihat kasus Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v. Australia), ICJ Rep 1992
Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah
sepakat untuk menarik diri dari proses beracara
yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap
selesai.61 Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut
dengan keputusan yang dibuat berdasarkan
pertimbangan dari proses beracara yang telah
dilakukan.
Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga
bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting
opinion, pendapat yang menyetujui tetapi berbeda
dalam hal tertentu atau separate opinions62 dan
pendapat yang menyetujui atau declarations.
61 Lihat kasus Maritime Delimitation between Guinea-Bissau and Senegal, 77 ILR 63662 Lihat kasus Continental Shelf (Tunisia v. Libya) ICJ Rep. 1982
Bab III
HAK INTERVENSI PADA MAHKAMAH INTERNASIONAL
1 Definisi Umum
Secara umum, tidak ada perbedaan definisi hak intervensi
dalam kerangka hukum nasional maupun hukum internasional.
Turunan atau derivasi kata intervensi dalam bahasa Inggris
yang relevan pada karya tulis ini adalah intervention atau
intervensi dalam bentuk kata benda dan intervene atau meng-
intervensi dalam bentuk kata kerja. Kedua kata turunan ini
mempunyai arti yang berbeda. Arti kata intervention lebih
menekankan pada sebuah prosedur, sedangkan kata intervene
lebih menekankan pada perbuatan untuk mendapatkan ijin dari
pengadilan untuk melakukan intervensi, intervensi adalah
sebuah cara yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk ikut
serta atas kepentingannya dalam sebuah proses beracara yang
sedang berlangsung,
“ Intervention is the procedure under which a third party may join an on-going lawsuit,
providing the facts and the law issues apply to the intervenor as much as to one of the existing contestants. The determination to allow intervention is made by a judge after a petition to intervene and a hearing on the issue. Intervention must take place fairly early in the lawsuit, shortly after a complaint and answer have been filed and not just before trial since that could prejudice one or both parties who have prepared for trial on the basis of the original litigants. Intervention is not to be confused with joinder, which involves requiring all parties who have similar claims to join in the same lawsuit to prevent needless repetitious trials based on the same facts and legal questions, called multiplicity of actions”63
“To intervene is to obtain the court's permission to enter into a lawsuit which has already started between other parties and to file a complaint stating the basis for a claim in the existing lawsuit. Such intervention will be allowed only if the party wanting to enter into the case has some right or interest in the suit and will not unduly prejudice the ability of the original parties to the lawsuit to conduct their case”64
Perbedaan mendasar yang menjadi karakter hak intervensi
dalam hukum internasional adalah ketundukan pihak yang
melakukan intervensi. Jika kita mengambil pandangan dari
sisi hukum nasional, intervensi dilakukan dengan dua cara
yaitu sukarela atau voluntary dan wajib atau oligatory. Hal
ini berbeda jika kita mengambil pandangan dari hukum
63 www.law.com dictionary, diakses 16 Agustus 2002
64 ibid
internasional berkenaan dengan intervensi, yaitu dilakukan
secara sukarela atau voluntary atas dasar konsesualisme65
Sekilas persamaan hak intervensi dalam kerangka hukum
nasional dan hukum internasional adalah bahwa hak intervensi
sama-sama didasarkan dari kebutuhan untuk menghindari
penuntutan ulang atau repetitive litigation.66 Jika ada
beberapa kasus membahas permasalahan yang sama, maka hampir
dapat dipastikan bahwa akan terjadi hasil yang bertentangan
atau contradictory. Hal ini hanya akan memberikan
ketidakjelasan hukum atau law obscurity dari hukum yang
berlaku. Hakim Oda melihat kepentingan intervensi dalam hal
penuntutan ulang ini dari segi economy of international
justice, menunjuk pada sisi kemudahan beracara.67
Sejarah intervensi dalam kerangka hukum internasional
dimulai pada tahun 1899 dan 1907 ketika perumusan konvensi
multilateral tentang Pacific Settlement of International
Disputes di Den Hag, Belanda.68 Kemudian pada tahun 1920,
jenis kedua dari intervensi terbentuk. Ketentuan bahwa
65 Lihat pembahasan Bab II tentang Jurisdiksi MI
66 Hakim Ad hoc Malaysia Weeramantry, Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep 2001, par. 17
67 Hakim Oda, Continental Shelf Case (Tunisia), 1981, Lihat juga Hakim Jessup, American Journal of International Law, 75, 1981, hal. 904
68 http//www.icj-cij.org, diakses 16 Agustus 2002
sebuah Negara dapat melakukan intervensi jika kepentingan
Negara tersebut terkena dampak dari sebuah putusan
mahkamah, termaktub di dalam pasal 62 Statuta PCIJ. Dari
titik ini hak intervensi kemudian berkembang seiring dengan
kasus-kasus yang diajukan. Perlu diingat bahwa MI menganut
system precedent, yaitu sistem yang memakai putusan-putusan
terdahulunya atau past decisions sebagai bahan pertimbangan
untuk keputusan yang akan diambil.69
Kasus intervensi yang pertama adalah kasus tentang
Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamihiriya
pada tanggal 14 April 1981. Di dalam kasus ini MI memutuskan
secara mutlak untuk menolak aplikasi intervensi Negara
Malta. Kasus yang kedua tentang intervensi adalah kasus
Continental Shelf antara Libya Arab Jamahiriya dengan Malta
pada tanggal 21 Maret 1985, dimana MI kembali menolak
aplikasi Negara Italia untuk melakukan intervensi. Keputusan
kasus ke 2 diambil secara voting dengan 11 melawan 5 suara,
berbeda dengan kasus yang pertama dimana secara mutlak
menolak aplikasi Negara Malta.
Hak intervensi dalam hukum internasional mengalami
perkembangan pada kasus ketiga, dimana aplikasi Negara
69 Hakim Jennings, “the slightest acquaintance with the jurisprudence of this Court shows that Article 59 does by no manner of means exclude the force of persuasive precedent”, Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), ICJ Rep. 1984, hal. 157
Nikaragua di dalam kasus Land, Island and Maritime Frontier
Dispute dikabulkan oleh MI. Keputusan yang dikeluarkan pada
tanggal 13 September 1990, diambil secara mutlak atau
unanimous. Keputusan sama yang mengabulkan intervensi oleh
Negara ketiga kembali dikeluarkan pada kasus Land and
Maritime Boundary antara Negara Kamerun dan Nigeria
tertanggal 21 Oktober 1999. Dalam kasus ini Negara
Equatorial Guinea mendapat ijin untuk melakukan intervensi
pada kasus diatas.
Kasus yang paling akhir berkenaan dengan intervensi
adalah kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, 2001
antara Negara Malaysia dan Indonesia. Di dalam kasus ini
Negara Filipina megajukan hak intervensinya berkenaan dengan
klaim Kalimantan Utara (North Borneo). MI, dengan voting 14
melawan 1 suara, menolak aplikasi Negara Filipina untuk
melakukan intervensi.
2 Hukum Internasional tentang Intervensi
Ada dua aliran berkenaan dengan intervensi dalam hukum
internasional, aliran yang mendukung dan yang menolak
intervensi.
2.1. Aliran yang mendukung intervensi.
Aliran ini mempunyai pendapat antara lain sebagai
berikut, pertama dari segi efektifitas. Intervensi akan
berguna dalam arti baik yang menghilangkan kasus-kasus
yang mempunyai objek sama maupun keputusan yang berbeda
dalam kasus yang sama.
Kedua dari segi kepentingan umum, yaitu tentang
waktu penyelesaian kasus untuk menghindari kemungkinan
kontorversi yang ada atau Interest rei publicae ut sit
finis litium.70 Kemudian jika melihat dari perkembangan
hukum internasional, Intervensi bukan hanya
menyelesaikan sengketa (Solving) akan tetapi juga
pencegahan sengketa (Prevention).
Lebih jauh, intervensi memberikan MI kesempatan
yang lebih banyak dalam rangka menarik negara-negara
untuk menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa.71
Selain itu, intervensi juga memberikan MI pertimbangan
hukum yang lebih objektif dengan masuknya pihak ketiga
ke dalam proses beracara yang tengah berlangsung.
2.2 Aliran yang menolak intervensi
70 Kasus Atlantis v. United States, 379, hal 824 yang dikutip Hakim Weeremantry dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001
71 “The right of intervention given by the Statute may prove to be a means of inducing governments, be they great or small, to come before the Court, thus showing their confidence in it and enlarging its opportunities to perform a service for the world”, John Basset Moore, The Organisation of the Permanent Court of International Justice (1922), 22 Columbia Law Review, hal. 497
Aliran ini mempunyai pendapat sebagai berikut,
pertama evolusi sejarah memperlihatkan bahwa hukum
internasional lebih memilih diam atau reticence
berkenaan dengan intervensi pihak ketiga di dalam sebuah
penyelesaian hukum.72
Kedua, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan
intervensi ketika hak intervensi tidak dibatasi, maka
kemungkinan negara ketiga untuk melakukan intervensi
akan lebih banyak.73 Kemudian pihak ketiga dapat
memanipulasi hak intervensi dengan cara mendapatkan
quasi-advisory opinion, tetapi tidak terikat untuk
melaksanakan kewajiban dari keputusan MI.74
Sebaliknya, jika dilihat dari sisi Negara yang
melakukan proses beracaranya, intervensi akan
menyebabkan Negara cenderung untuk tidak menggunakan MI
sebagai penyelesaian sengketa jika intervensi tidak
dibatasi. Dan yang terakhir, walaupun keputusan MI hanya
mengikat pihak yang bersengketa, akan tetapi pada
faktanya pihak ketiga dapat terkena dampak putusan MI
72 Shabtai Rosenne, Intervention in the International Court of Justice, 1993, hal. 190
73 V.S Mani, International Adjudication: procedural Aspects, 1980, hal.250
74 Anna Madakou, Intervention Before the International Court of Justice, 1988, hal. 83
2 Jenis Intervensi dan Dasar Hukum
MI membagi hak intervensi dalam dua ketegori yaitu, hak
intervensi sebuah Negara atas keputusan sebuah kasus MI dan
atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.
3.1 Intervensi atas keputusan sebuah kasus MI
Secara preseden, kasus pertama intervensi jenis ini
dilakukan dihadapan MI pada tahun 1981, kasus
Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab
Jamahiriya, dimana Negara malta sebagai pihak yang
melakukan intervensi. Jenis intervensi ini diatur di
dalam pasal 62 dari statuta MI, yaitu :
“Should a state consider that it has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”75
“It shall be for the Court to decide upon this request”76
Lebih jauh lagi, hak intervensi jenis ini diatur
dalam Aturan Mahkamah, 1978 di dalam pasal 81, 83, 84
dan 85. Mengacu dari pasal-pasal tersebut diatas,
pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal,
75 Statuta MI, 1945, Pasal 62 par. 1
76 ibid, par. 2
yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum atau
“interest of legal nature”, objek yang jelas dan pasti
atau “precise object” dan hubungan jurisdiksi atau
“jurisdictional link”.
3.1.1 Kepentingan yang mempunyai karakter hukum
Kelemahan atau plaucity dari elemen ini
adalah bahwa tidak ada definisi yang jelas, dalam
hukum internasional yang berkenaan dengan kata
“interest of legal nature”.77 Setiap Negara bebas
menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan
hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang
berlangsung di MI. Hakim ad hoc Weeramantry dalam
kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan
memberikan pernyataan yang sama berkaitan dengan
definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter
hukum. Akan tetapi, ada beberapa pedoman yang telah
berkembang di dalam hukum internasional tentang
intervensi, yaitu :
3.1.1.1 Kepentingan umum yang mungkin mendapatkan
dampak dari keputusan MI78
77 “un monster presque indfinissable”, W. Farag, L’intervention devant la Cour Permanente de Justice Internationale (Article 62 et 63 du Statut de la Cour), Paris, 1927
78 Hakim Ad Hoc Weeremantry, Separate Opinion, Sovereigny over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001
3.1.1.2 Kepentingan politik atau sosial79
3.1.1.3 Kepentingan tentang perkembangan umum
dari hukum atau “general development of
law”80
3.1.1.4 Kepentingan tentang penggunaan prinsip
dan aturan umum hukum internasional pada
kasus yang dimintakan intervensi81
3.1.1.5 Kepentingan tentang hukum yang dipakai MI
di dalam kasus lain82
3.1.2 Objek yang jelas dan pasti
Elemen ini lebih menekankan pada diskresi
dari MI atas pengajuan sebuah intervensi. Tidak
ada, baik aturan maupun preseden MI yang mengatur
lebih lanjut berkenaan dengan objek yang jelas dan
pasti dalam hak intervensi.
3.1.3 Hubungan Jurisdiksi
Ada dua hal yang cukup menarik mengenai
elemen ketiga dari hak intervensi ini. Pertama
berkenaan dengan persetujuan dari pihak yang
79 ibid, paragraph 30
80 lihat Hakim Oda, Dissenting Opinion, Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), ICJ Rep. 1984, hal 90-91
81 terjemahan bebas dari “an interest in the Court’s pronouncements in the case regarding the applicable general and rules of international law”, Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Application for Permission to Intervene, ICJ rep, 1981 hal. 17
82 D.W Greig, Third Party Rights and the ICJ, 32 Virginia Journal of International Law, hal 285-
299
bersengketa terhadap intervensi tersebut, dan kedua
tentang kekuatan mengikat dari putusan yang akan
dibuat MI kepada pihak yang mengajukan intervensi
tersebut.
3.1.3.1 Persetujuan dari pihak yang bersengketa
Ada perubahan mendasar dalam hukum
internasional mengenai persetujuan dalam hak
intervensi. Secara sejarah, persetujuan dari pihak
yang bersengketa kepada pihak yang akan melakukan
hak intervensi adalah obligatory,
“the voluntary intervention of a third party is admissible only with the consent of the parties that have concluded the compromise”83
Kemudian paradigma ini berubah seiring
dengan perkembangan hukum internasional. Pasal 62
dari Statuta MI tidak menyebutkan adanya keharusan
untuk mendapat persetujuan dari pihak yang
bersengketa guna melakukan sebuah hak intervensi.84
83 Draft Regulations for International Arbitral Procedures, Institut de droit International, 28 Agustus 1875, pasal 16; Lihat juga Hague Convention 1899 dan 1907
84 “Should a state consider that it has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”, Statuta Mahkamah, Pasal 62
Jika sebuah Negara beranggapan bahwa kepentingannya
akan terkena dampak dari sebuah keputusan MI, maka
Negara tersebut mempunyai hak untuk melakukan
intervensi.
3.1.3.2 Kekuatan mengikat putusan MI terhadap pihak
yang mengajukan intervensi
Tidak ada ketentuan yang menyebutkan adanya
keharusan untuk menjadi party dalam proses beracara
bagi pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pihak
ketiga dapat memilih untuk menjadi full party atau
tidak dalam pengajuan intervensinya. Konsekwensi
yang timbul akibat kondisi ini adalah bahwa sebuah
Negara yang melakukan intervensi tetapi tidak
consent untuk menjadi full party tidak terikat pada
keputusan MI yang dibuat.
“a state permitted to intervene under Article 62 of the statute, but which does not acquire the status of party to the case, is not bound by the judgment in the proceedings in which it has intervened”85
85 Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute (Merits) ICJ Rep 1992, hal 609
Keputusan MI hanya mengikat pada pihak yang
bersengketa dan pada kasus yang tersebut saja.86
Akan tetapi jika hakim Oda berpendapat bahwa pihak
ketiga tidak akan mendapat keadilan yang sama
dibanding dengan pihak yang bersengketa jika tidak
menjadi full party di dalam kasus yang sedang
diproses,
“the intervening state will thus been able to protect its own rights merely so far as the judgment declines to recognize as countervailing the rights of either of the original litigant states. On the other hand, to the extent that the Court gives judgment positively recognizing rights of either of the litigant states, the intervening state will certainly lose all present or future claims in conflict with those rights.”87
Menjadi full party atau tidak, nampaknya
bukan suatu hal yang berpengaruh positif kepada
pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena walaupun
pihak ketiga menyatakan tidak menjadi full party
pada kasus yang sedang diproses, pihak ketiga
86 “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case” Statuta MI, 1945, Pasal 59
87 Hakim Oda, Diessenting Opinion, Kasus Soverignty over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001, paragraf 119
tetap akan bound pada keputusan MI tersebut. Di
dalam preseden kasus yang berkenaan intervensi,
hakim Oda berpendapat bahwa,
“Nicaragua, as a non-party intervener, will certainly be bound by the judgment in so far as it relates to the legal situation of the maritime spaces of the Gulf”88
Belum ada konsensus para hakim MI tentang
urgensi adanya hubungan jurisdiksi dalam pengajuan
hak intervensi jenis ini yang akan membawa
pengaruh yang signifikan dalam penentuan apakah
sebuah hak intervensi dapat dikabulkan atau tidak.89
3.2 Intervensi atas konstruksi sebuah perjanjian
internasional
88 Hakim Oda, Dissenting Opinion, Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute, ICJ Rep. 1992 hal 620
89 Hakim Phillip C. Jessup, Editorial Comment, American Journal of International Law, 75 (1981) AJIL, 903; Lihat Pendapat Hakim Oda dan Schwebel yang berpendapat tidak diperlukannya hubungan jurisdiksi dalam kasus Continental Shelf, ICJ Rep. 1981, hal 22 dan Hakim Morozov yang berpendapat sebaliknya dalam kasus yang sama; Lihat juga Hakim Ad hoc Weeramantry yang berpendapat tidak diperlukannya hubungan jurisdiksi dalam melakukan intervensi dalam kasus Soverignty over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001, paragraf 29; Lihat juga kasus Land & Maritime Boundary between Cameroon and Nigeria (Equatorial Guinea’s Intervention), ICJ Rep 1999 dimana keputusannya tidak diperlukan hubungan jurisdiksi dalam melakukan intervensi
Kasus pertama mengenai intervensi jenis ini
terjadi di kasus S.S. Wimbledon.90 Pasal 63 dari Statuta
MI menyebutkan,
“Whenever the construction of a convention to which states other than those concerned in the case are parties is in question, the Registrar shall notify all such states forthwith”.91
“Every state so notified has the right to intervene in the proceedings; but if it uses this right, the construction given by the judgment will be equally binding upon it”.92
Ketentuan lain yang mengatur hak intervensi jenis
ini terdapat dalam Aturan Mahkamah, 1978, pasal 82, 83,
84, 86. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa hak intervensi atas dasar
konstruksi perjanjian internasional mempunyai elemen-
elemen yaitu, pertama hanya Negara yang menjadi party
dari konvensi yang dapat mengajukan hak intervensi jenis
ini, dan kedua keputusan MI yang diambil mengikat kepada
pihak yang melakukan intervensi seperti pada pihak yang
beracara di sengketa tersebut.
90 Kasus S.S. Wimbledon , PCIJ, Seri C No.3 dan Seri A/B, No.5
91 Statuta MI, Pasal 63, Paragraf 1
92 Ibid, Paragraf 2
Berbeda dengan jenis intervensi yang pertama,
intervensi atas dasar konstruksi perjanjian
internasional ini belum membawa perdebatan yang
substantial. Hal ini mungkin lebih disebabkan oleh
sedikitnya kasus yang berkenaan dengan jenis intervensi
ini.
Hubungan jurisdiksi tidak menjadi isu yang
signifikan karena ketentuan yang jelas bahwa hanya
Negara yang party dari perjanjian tersebut yang dapat
melakukan intervensi. Selain itu keputusan MI pada pihak
yang melakukan intervensi jenis ini, mengikat seperti
pada pihak yang beracara, jadi sifat dari intervensi ini
adalah obligatory setelah consent untuk melakukan
intervensi. Hal ini berbeda dengan jenis intervensi atas
dasar impact keputusan MI yang diberikan pilihan untuk
tunduk atau tidak sebagai party dalam kasus yang sedang
berjalan.
4 M ekanisme untuk Mengajukan Hak Intervensi
Untuk lebih memudahkan, pembahasan tentang mekanisme
mengajukan hak intervensi dibagi atas dua bagian sesuai
dengan jenis intervensi yang diatur di dalam pasal 62 dan 63
dari statuta MI. Baik jenis intervensi atas dasar sebuah
keputusan MI ataupun atas dasar konstruksi perjanjian
internasional, ketentuan pasal 38 dari Aturan Mahkamah
tentang permulaan beracara atau institution of Proceedings
harus diikuti
4.1 Intervensi atas dasar sebuah keputusan MI
4.1.1 Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan
hal-hal sebagai berikut, yaitu :
4.1.1.1 Nama wakil yang mengajukan aplikasi
4.1.1.2 Kepentingan yang mempunyai karakter
hukum
4.1.1.3 Objek yang jelas dan pasti
4.1.1.4 Dasar jurisdiksi atau hubungan
jurisdiksi yang diklaim antara pihak
yang mengintervensi dan pihak yang
bersengketa
4.1.1.5 Dokumen pendukung yang relevan93
4.1.2 Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan dalam
intervensi jenis ini adalah secepat mungkin atau
as soon as possible dan sebelum waktu pembelaan
93 Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81, paragraf 2 & 3
tertulis atau written proceedings ditutup.
Pengecualian untuk kondisi tertentu, exceptional
circumstances, aplikasi dapat diajukan pada tahap
yang berikutnya94
4.2 Intervensi atas dasar konstruksi Perjanjian Internasional
4.2.1 Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus
berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
4.2.1.1 Nama Wakil yang mengajukan aplikasi
4.2.1.2 Ketentuan yang menyebutkan bahwa
Negara yang melakukan intervensi
adalah party dari konvensi yang
menjadi objek sengketa
4.2.1.3 Identifikasi dari ketentuan konvensi
yang menjadi objek intervensi
4.2.1.4 Pernyataan atau pendapat tentang
objek intervensi
4.2.1.5 Dokumen pendukung yang relevan95
4.2.2 Waktu Pengajuan
94 ibid, Pasal 81, paragraf 1
95 ibid, Pasal 82, paragraf 1
Waktu pengajuan yang diperbolehkan pada dasarnya
sama dengan intervensi jenis pertama (pasal 62)
yaitu secepat mungkin dan sebelum tanggal
dimulainya pembelaan presentasi atau oral
presentation. Kondisi pengecualian seperti pada
intervensi jenis pertama juga berlaku pada jenis
intervensi ini96
Setelah diajukan, register akan mengatur pembagian
administratif dari aplikasi tersebut yang kemudian MI akan
menentukan tanggal dimana para pihak yang bersengketa akan
memberikan pendapat tertulis mereka atau written
observations. Jika terjadi keberatan atau objection dari
baik satu maupun pihak yang bersengketa atas intervensi yang
diajukan, maka MI akan mendengarkan seluruh pendapat dari
para pihak yang bersengketa dan pihak yang mengintervensi.97
Jika intervensi atas dasar keputusan MI dikabulkan atau
granted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan
salinan pembelaan para pihak yang bersengketa. Selain itu
pihak yang melakukan intervensi juga dapat memberikan
pernyataan tertulis, written statement, dalam waktu yang
ditentukan MI. Para pihak yang bersengketa berhak memberikan
96 ibid, Pasal 82, paragraf 2 & 3
97 ibid, Pasal 83 & 84
pendapat tertulis atas pernyataan tertulis dari pihak yang
melakukan intervensi, dengan jangka waktu yang ditentukan
oleh MI sebelum dimulainya waktu presentasi pembelaan. Pada
waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi
dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek
sengketa.98
Jika intervensi atas dasar konstruksi perjanjian
internasional diterima atau admitted, maka pihak yang
melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para
pihak yang bersengketa dan berhak memberikan pendapat
tertulisnya berkenaan dengan objek dari intervensi yang
bersangkutan dalam waktu yang ditentukan MI. Pada waktu
presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat
memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek intervensi.99
98 ibid, Pasal 85
99 ibid, Pasal 86
Bab IV
STUDI KASUS HAK INTERVENSI
1. Kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya), Intervensi Malta, 14 April 1981100
1.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini dimulai tanggal 1 Desember 1978 antara
Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya. Subjek yang diajukan
ke MI adalah mengenai perbatasan dasar benua atau
delimitation of continental shelf antar kedua Negara
tersebut. Pada tanggal 30 Januari 1981, Malta mengajukan
intervensi atas kasus tersebut dengan dasar pasal 62 dari
ketentuan Statuta MI. Keberatan atas intervensi ini
diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Setelah
melalui proses hearing, kemudian MI memutuskan untuk
menolak intervensi yang diajukan Malta secara mutlak atau
unanimous dengan Keputusan MI tertanggal 14 April 1981.
1.2. Analisa Kasus
Mengacu kepada ketentuan Aturan Mahkamah, 1978
pasal 81 paragraf 2 tentang intervensi, setiap Negara
ketiga yang bermaksud untuk mengajukan hak intervensi
100 Secara Umum sub bab ini dipetik dari kasus Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya) Malta Intervention, Merits, ICJ Rep. 1981
harus mencantumkan kepentingan hukum atau interest of
legal nature, objek yang jelas dan pasti atau precise
object of intervention dan dasar hubungan jurisdiksi atau
base for jurisdictional link. Setelah melihat aplikasi
intervensi Malta dan keberatan-keberatan yang diajukan
oleh kedua belah pihak yang bersengketa, MI sampai pada
satu kesimpulan jika salah satu keberatan yang diajukan
terbukti, maka MI tidak akan melanjutkan untuk
membuktikan keberatan-keberatan yang lain dan menolak
intervensi Malta.
Pada dasarnya Malta mengklaim mempunyai
kepentingan pada kemungkinan-kemungkinan atau possible
concern dari MI yang akan mengindentifikasi dan
mempelajari faktor-faktor geografis dan geomorfis dari
dasar benua yang disengketakan,
“Any findings of the Court that identified and assessed the geographical and geomorphological factors relevant to the delimitation of the Libya/Tunisia continental shelf and with any pronouncements made by the Court regarding, for example, the significance of special circumstances or the application of equitable principles in that delimitation”101
101 Kasus Continental Shelf , Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, Merit, ICJ Rep 1981, paragraf 28-35
Lebih jauh lagi, possible concern itu juga dapat
berupa keputusan-keputusan MI yang akan memberikan dampak
terhadap hak dan kepentingan hukum Malta jika Malta
bermaksud untuk membuat batas dasar benua terhadap salah
satu atau kedua pihak yang bersengketa. Selain itu Malta
juga membuat reservasi tertulis yang menyatakan bahwa
intervensi yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk
membuat klaim baru atas subjek yang disengketa-kan.
Melihat dari tanggal pengajuan, Malta tidak melewati
waktu pengajuan intervensi, yaitu sebelum berakhirnya
waktu pembelaan tertulis.102
Berdasarkan permintaan tersebut MI berpandangan
bahwa aplikasi yang diajukan Malta adalah sebuah
kesempatan untuk melawan keputusan MI dalam penggunaan
suatu kriteria tertentu atas kasus tersebut. Kemudian MI
memutuskan jika intervensi atas dasar ini dikabulkan,
maka akan terjadi ketidakpastian hukum dari para pihak
yang bersengketa, yaitu batasan atas kepentingan hukum
yang harus diajukan jika salah satu pihak ikut beracara
tanpa ada klaim yang dipertahankan atas subjek sengketa.
Selanjutnya MI berpendapat bahwa kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi atau future implications tidak dapat
dijadikan kepentingan dari sisi hukum untuk pengajuan
102 Aturan Mahkamah, 1978 Pasal 84, paragraf 1
sebuah intervensi. MI mengambil dasar pada putusan PCIJ
tahun 1922 yang menjadi pedoman MI yaitu untuk tidak
berusaha menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi,
“It should not attempt to resolve in the Rules of the Court the various questions which have been raised, but leave them to be decided as and when they occurred in practice and in the light of the circumstances of each particular case”103
Syarat kedua dan ketiga dari intervensi yaitu
precise object dan jurisdictional link, tidak dilanjutkan
dibahas oleh MI karena salah satu keberatan yang diajukan
kedua pihak yang bersengketa telah terbukti.
Keputusan MI yang menolak intervensi Malta adalah
cukup rasional, walaupun secara geografis letak Negara
Malta dapat terkena dampak seperti yang dimaksud dalam
pasal 62 statuta MI. Kepastian hukum tidak akan ada jika
ada sebuah Negara ketiga yang ikut beracara tanpa ada
klaim atau petitum atas subjek sengketa.104
Harus juga diingat bahwa kasus Intervensi Malta
ini adalah kasus pertama yang berkenaan dengan jenis
intervensi pasal 62 atau intervensi atas dasar keputusan
103 Kasus Continental Shelf, Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, Merit, ICJ Rep. 1981
104 Lihat Hakim Morozov, Declarations, Kasus Continental Shelf , Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, ICJ Rep. 1981
MI yang diajukan ke MI. Penerapan ketat yang dilakukan MI
atas pasal 62 pada kasus ini menggambarkan pandangan
hukum internasional yang masih cenderung menolak
kehadiran pihak ketiga untuk ikut beracara dalam sebuah
penyelesaian sengketa.105
2. Kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Intervensi Italia, 21 Maret 1984106
2.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus kedua berkenaan dengan intervensi masih
berkisar tentang batas kontinen, yang kali ini diajukan
oleh Libya Arab Jamahiriya dan Malta. Berdasarkan pada
perjanjian khusus kedua belah pihak, pemberitahuan
bersama atau joint notification disampaikan kepada
register MI pada tanggal 26 Juli 1982. Pada tanggal 24
Oktober Negara Italia mengajukan aplikasi intervensi
dengan dasar pasal 62 dari statuta MI. Proses hearing
yang mendengarkan pendapat dari para pihak dan pihak
ketiga dimulai tanggal 25 Januari 1984. Kemudian pada
tanggal 21 Maret 1984, MI mengeluarkan keputusan untuk
105 Lihat Hakim Oda, Separate Opinion, Kasus Continental Shelf, Tunisia/Libya Arab Jamahiriya, ICJ Rep. 1981.
106 Secara umum, sub bab ini dipetik dari kasus Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta), Italia Intervention, Merits, ICJ Rep. 1984
menolak aplikasi intervensi Italia dengan perbandingan
suara 11 melawan 5.
2.2. Analisa Kasus
Pengajuan intervensi yang dilakukan Italia
memenuhi persyaratan formal untuk sebuah intervensi.107
Dalam kasus ini, MI tidak memberikan pendapat tentang
syarat yang ketiga yaitu jurisdictional link. Hal ini
dilakukan atas dasar bahwa syarat pertama dan kedua telah
tidak terpenuhi dalam aplikasi intervensi dari Italia.
Selain itu, alasan MI menolak untuk memutuskan tentang
status jurisdictional link dari Italia adalah karena
mengadopsi preseden yang telah diambil pada kasus
sebelumnya, yaitu intervensi dari Malta pada tahun 1981.
2.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of a Legal Nature
Dari sisi ini, MI diminta untuk memberikan
perlindungan seperti yang termaktub dalam pasal 62
statuta MI dengan cara mencegah dampak yang mungkin
terjadi atas sebuah keputusan yang dikeluarkan. Italia
meminta MI untuk melindungi hak-haknya. Dari permintaan
yang relatif cukup umum ini membawa konsekwensi praktek
107 Lihat Kasus Continental Shelf, Libya Arab Jamahiriya/Malta, ICJ Rep. 1984
beracara MI untuk mengindentifikasi hak-hak dari
Italia. Untuk mengindentifikasikan hak-hak dari Italia,
maka MI juga harus mengindentifikasi hak-hak dari baik
Libya maupun Malta sebagai pihak yang bersengketa.
Berdasarkan permintaan ini, MI berpandangan bahwa
untuk menentukan hak-hak Italia dan hak-hak Negara yang
bersengketa, secara otomatis akan melibatkan hubungan
hukum dari ketiga Negara tersebut. MI tidak dapat
menilai hubungan hukum dari ketiga Negara tersebut
tanpa persetujuan yang Negara bersangkutan. Jika MI
mengabulkan intervensi Italia, berarti MI telah
melanggar azas konsensualisme yang menjadi dasar
beracara di MI.108
2.2.2. Objek yang pasti dan jelas atau Precise Object of Intervention
Selain akan membuat sengketa baru atau fresh
dispute jika intervensi Italia dikabulkan, objek
yang diajukan Italia juga tidak termasuk dalam
past decisions dari MI yang berkenaan dengan
intervensi. Kasus preseden MI tentang intervensi
hanya menunjuk pada perlindungan hak, bukan pada
108 Statuta MI, Pasal 40
identifikasi hak, seperti yang terjadi pada kasus
Italia,
“…, since the only cases of intervention afforded by that Article [62] would be those in which the intervener was only seeking the preservation of its rights, without attempting to have them recognized.”109
MI melihat objek intervensi dari Italia tidak
masuk dalam kategori precise object seperti dalam
pasal 81 Aturan Mahkamah. Tidak ada dalam baik
wording maupun preseden MI yang mengatakan bahwa
pasal 62 Statuta MI dimaksudkan sebagai cara
alternatif untuk mengajukan sengketa baru ke MI.
3. Kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute (El Savador/Honduras), Intervensi Nikaragua, 13 September 1990110
3.1. Posisi dan Keputusan Intervensi
Kasus ini diajukan kepada Register MI pada tanggal
11 Desember 1986, 2 tahun stelah kasus intervensi Italia
tahun 1984. Objek sengketa pada kasus ini adalah Teluk
Fonseca, yaitu batas daratan dan status hukum atas pulau
dan daerah maritim dari Negara Honduras dan El Savador.
109 Kasus Continental Shelf, Libya Arab Jamahiriya/Malta, Merit, ICJ Rep. 1984 paragraf 30
110 Secara Umum, sub bab ini dipetik dari kasus Land, Island & Maritime Frontier Dispute, Nicaragua Intervention, Merits, ICJ Rep. 1990
Pada tanggal 17 November 1990, Nikaragua mengajukan
aplikasi intervensi dengan dasar pasal 62 Statuta MI.
Keputusan MI atas intervensi Nikaragua secara mutlak
adalah mengabulkan intervensi Nikaragua pada tanggal 13
September 1990.
3.2. Analisa Kasus
Kasus intervensi Nikaragua ini adalah kasus
pertama dalam sejarah MI dimana sebuah Negara ketiga
dikabulkan untuk melakukan hak intervensinya. Di dalam
kasus ini juga mulai dapat disimpulkan bahwa MI tidak
mempersoalkan hubungan jurisdiksi dalam jenis intervensi
pasal 62 (intervensi atas Keputusan MI).111
3.2.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature
Untuk sebuah intervensi dapat dipertimbangkan,
pihak ketiga harus memperlihatkan adanya kepentingan
hukum yang akan terkena dampak keputusan dari sebuah
sengketa yang sedang diajukan. Beban pembuktian atau
burden of proof, menurut hemat MI, berada pada pihak
ketiga yang melakukan intervensi, bukan di MI.
Pembuktian yang dimaksud hanya untuk memperlihatkan
111 Kesamaan past decisions berkenaan dengan hubungan jurisdiksi, lihat kasus Continental Shelf Intervensi Malta, Continental Shelf Intervensi Italia dan Maritime Boundary Intervensi Nikaragua
secara meyakinkan bahwa kepentingan hukumnya mungkin
akan terkena dampak keputusan yang akan diambil MI,
bukan harus maupun yang akan terkena dampak. Disini
pembuktian hanya didasarkan pada kemungkinan yang
relatif lebih mudah untuk dibuktikan,
“In the Chamber’s opinion, it is clear, first, that it is for a state seeking to intervene to demonstrate convincingly what it asserts, and thus to bear the burden of proof, and second that it has only to show that its interest “may” be affected not that it will or must be affected”112
Di dalam kasus intervensi Nikaragua ini, MI
menentukan bahwa ada tiga klaim dimana Nikaragua harus
memperlihatkan kemungkinan terkena dampak keputusan MI,
yaitu Keadaan Hukum atau Legal Situations dari pulau-
pulau, Perairan Dalam dan Luar teluk Fonseca. Dari
ketiga klaim tersebut, Nikaragua hanya mampu untuk
memenuhi satu klaim, yaitu berkenaan tentang kondisi
hukum di perairan dalam teluk. Akan tetapi , walaupun
hanya satu klaim yang dapat dipenuhi, MI mengabulkan
intervensi dari Nikaragua ini.
112 Kasus Land Island Maritime Frontier Dispute (Merits) Intervensi Nikaragua, ICJ Rep. 1990, paragraf 61 – 63
Jika melihat secara sejarah, memang Teluk Fonseca
ini telah diputuskan oleh Central American Court of
Justice sebagai sebuah historic bay yang mempunyai
karakteristik sebuah laut tertutup atau closed sea.
Lebih jauh lagi diputuskan oleh institusi yang sama
bahwa teluk Fonseca itu dimiliki oleh tiga Negara
secara bersama atau co-ownership, yaitu Negara El
savador, Honduras dan Nikaragua. Sesuai dengan pasal 38
statuta, MI mengambil keputusan ini sebagai subsidiary
means dan dianggap sebagai sebuah keputusan yang
objektif.
3.2.2. Objek yang Jelas dan Pasti atau Precise Object of Intervention
Nikaragua mengajukan dua klaim untuk persyaratan
yang kedua ini, yaitu untuk melindungi hak-hak hukumnya
dan untuk memberikan informasi kepada MI berkenaan
dengan hak-hak hukum Nikaragua atas Teluk Fonseca,
“First, generally to protect the legal rights of the Republic of Nicaragua in the Gulf of Fonseca and the adjacent maritime areas by all legal means available, and second to intervene in the proceedings in order to inform the Court of the nature of the legal rights of Nicaragua which are in issue in the dispute. This form of intervention would have the conservative purpose of seeking to ensure that the determination of the Chamber did
not trench upon the legal rights and interests of the Republic of Nicaragua..”113
Atas pertimbangan MI, kedua klaim tersebut
diputuskan sebagai objek yang sesuai dengan persyaratan
intervensi yang kedua yaitu precise object of
intervention. Secara logika, memang objek yang diajukan
Nikaragua relatif lebih mudah dan tidak membuat sebuah
kasus baru atau fresh dispute seperti yang diajukan
oleh kasus-kasus intervensi yang terdahulu.
3.2.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link
Posisi MI tetap sama berkenaan dengan persyaratan
ketiga yaitu bahwa hubungan jurisdiksi bukan sesuatu
yang signifikan yang dapat mempengaruhi pertimbangan
sebuah hak intervensi. MI kembali menegaskan alur
logika atau logical links bahwa jika setiap Negara yang
akan melakukan intervensi harus mempunyai hubungan
jurisdiksi dengan Negara yang bersengketa, maka akan
terjadi pemaksaan ketundukan ke MI, atau dengan kata
lain bertentangan dengan asas konsesualisme yang
menjadi dasar proses beracara di MI.
113 ibid, paragraf 85-92
Dari seluruh reasoning MI yang berkenaan dengan
hubungan jurisdiksi dalam hak intervensi, maka dapat
diambil sebuah pedoman umum yang menggambarkan sistem
hukum yang dipakai MI, yaitu system common law yang
menekankan pada sumber persuasif keputusan-keputusan
sebelumnya. Pedoman itu terlihat dari indikasi bahwa
walaupun dalam aturan mahkamah, 1978 jelas tertulis
kata “shall” yang berarti suatu keharusan bagi Negara
ketiga untuk mempelihatkan hubungan jurisdiksi, tetapi
dari keputusan yang telah dibuatnya hubungan jurisdiksi
bukan merupakan suatu yang penting.114
4. Kasus Land & Maritime Boundary (Kamerun/Nigeria), Intervensi Equatorial Guinea, 21 Oktober 1999115
4.3. Posisi dan Keputusan Intervensi
Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah
Nigeria dan Kamerun yang meminta MI untuk memutuskan
batas daerah dan maritim Bakassi Peninsula. Kasus ini
dimulai tanggal 29 Maret 1994 dengan Aplikasi Kamerun
dimana Nigeria mengajukan keberatan awal atau preliminary
114 “The Application…. shall set out [c] any basis of jurisdiction which is claimed to exist as between the state applying to intervene and the parties to the case”, Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81 [c]
115 Secara umum, sub bab ini dipetik dari kasus Land & Maritime Boundary, Equatorial Guinea Intervention, Merit, ICJ Rep. 1999
objection. Setelah Nigeria memberikan consent ke MI, maka
kemudian MI mulai memeriksa kasus yang diajukan.
Lima tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juni
1999, Negara Equatorial Guinea mengajukan intervensi
dengan dasar pasal 62 yaitu intervensi atas keputusan MI.
Aplikasi hak intervensi Negara Equatorial Guine
dikabulkan secara mutlak oleh MI dengan putusannya
tanggal 21 Oktober 1999.
4.4. Analisa Kasus
Salah satu alasan yang cukup mendasar berkenaan
tentang kasus ini adalah bahwa secara tidak langsung
Negara ketiga diundang atau invited untuk melakukan hak
intervensi dengan putusan MI tentang keberatan awal dari
Nigeria,
“ The Court notes that the geographical location of the territories of the other states bordering the Gulf of Guinea…, demonstrates that it is evident that the prolongation of the maritime zones where the rights and interests of Cameroon and Nigeria will overlap those of other states.”116
Lebih jauh lagi, kedua Negara yang bersengketa
baik Kamerun maupun Nigeria tidak mengajukan keberatan
116 Kasus Land, Island and Maritime Boundary (Merits) ICJ Rep 1998, hal 324
atas aplikasi intervensi yang diajukan oleh Equatorial
Guinea.
Di sini Equatorial Guinea secara spesifik
menyatakan bahwa kepentingan hukumnya lebih terletak pada
batas maritim dari Bakassi Peninsula. Pada poin ini,
kembali kedua Negara yang bersengketa tidak mengajukan
keberatan atas hal tersebut,
“…which could allow the court to better informed on the general background of the case and to determine more completely the dispute submitted to it.”117
“Whether or not Equatorial Guinea’s application is accepted, it will in Nigeria’s view make no difference to the legal position of Nigeria to the present proceedings, or to the jurisdiction of the court. On that basis, Nigeria leaves it to the court to judge whether and to what extent it is appropriate or useful to grant Equatorial Guinea’s Application.”118
Pada kasus ini, tidak lagi dibahas tentang
convincing demonstration yang diperlukan untuk memenusi
syarat pertama ini, seperti pada kasus terdahulunya.
Dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa MI mengabulkan
aplikasi Equatorial Guinea in advance dengan undangan
117 ibid, paragraf 9
118 ibid, paragraf 10
tidak langsungnya kepada Negara ketiga untuk melakukan
intervensi.
Untuk persyaratan yang kedua, posisi MI menjadi
lebih permanen dengan menggunakan dasar kasus
terdahulunya berkenaan tentang precise object yaitu untuk
memberikan informasi agar MI dapat lebih memutus dengan
objektif atas kasus yang disengketakan. Hal yang sama
juga dapat dilihat dari signifikansi hubungan jurisdiksi
yang tidak menjadi keharusan untuk pihak ketiga dalam
melakukan hak intervensi.
5. Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi Filipina, 12 Oktober 2001119
5.3. Posisi dan Keputusan Intervensi
Indonesia dan Malaysia sebagai para pihak yang
bersengketa memulai beracara di MI pada tanggal 2
November 1998. Objek sengketa dalam kasus ini adalah
kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tanggal
13 Maret 2001, Negara Filipina mengajukan aplikasi untuk
melakukan intervensi atas dasar pasal 62. Sebelum
119 Secara Umum, sub bab ini dipetik dari kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, Phillipine Intervention, Merit, ICJ Rep. 2001
mengajukan aplikasi tersebut, Filipina meminta salinan
pembelaan dan dokumen terkait pada tanggal 22 Februari
2001 dengan dasar pasal 53 paragraf 1 Aturan Mahkamah.
Kemudian, permintaan tersebut ditolak MI. Penolakan
inilah yang nantinya menjadi salah satu argument dasar
dari pihak Filipina. MI menolak intervensi Filipina atas
kasus kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan dengan
keputusannya tanggal 23 Oktober 2001.
5.4. Analisa Kasus
Sebelum masuk ke pembahasan inti dari tiga
persyaratan utama dalam pengajuan hak intervensi, ada
baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang
diajukan oleh para pihak yang bersengketa atas intervensi
yang dilakukan. Keberatan yang dilakukan oleh para pihak
yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia terhadap
aplikasi intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi
Filipina terlambat diajukan120 dan dalam aplikasinya
Filipina tidak memasukan daftar dokumen pendukung.121
Dalam putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi
Filipina tidak melanggar ketentuan pasal 81 paragaf 1,
120 “An Application for permission to intervene under article 62 of the Statute, ……, shall be filled as soon as possible, and not later than the closure of the written proceedings. In exceptional circumstances, an application submitted at a later stage may however be admitted” ,Aturan Mahkamah, 1978, Pasal 81 paragraf 1
121 “The application shall contain a list of documents in support, which documents shall be attached”, Aturan Mahkamah 1978, Pasal 81 paragraf 3
karena dari para pihak sendiri belum memberikan
pernyataan yang tegas tentang akhir dari pembelaan
tertulis. MI melihat bahwa dari perjanjian khusus yang
ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan untuk
melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis.
Baru pada tanggal 28 Maret 2001 para pihak yang
bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak meneruskan
proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina
diajukan pada tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari
putaran ketiga pembelaan tertulis berakhir pada tanggal 2
Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak
akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang
harus ditentukan dan dinyatakan.122
Untuk klaim yang kedua yaitu tidak memasukan
daftar dokumen pendukung, MI juga memutuskan sama, yaitu
Filipina tidak melanggar pasal yang terkait, karena
maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa
hanya jika ada dokumen pendukung maka daftar dokumen
tersebut harus disertakan. Tidak ada kewajiban bagi
Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan
dokumen pendukung aplikasinya.
122 “the date of the closure of the written proceedings, within the meaning of Article 81 paragraph 1 of the rules of the court, would remain still to be finally determined”, ICJ Rep., 1990, hal. 98, paragraf 12
5.4.1. Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature
Berkenaan dengan kepentingan hukum ini, Filipina
mengajukan kepentingan hukumnya yaitu pada perjanjian-
perjanjian dan bukti-bukti lain yang berkaitan dengan
sengketa diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan
dua klaim untuk kepentingan hukumnya, yaitu
interpretasi kata decision atau keputusan yang termasuk
didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi
keputusan tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang
dapat mendasari suatu hak intervensi terjadi.
Untuk klaim yang pertama menggunakan dasar pasal
62 dengan referensi pasal 59 bahwa bukan saja hanya
keputusan atau decision dari MI, akan tetapi juga
analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada
kepentingan hukum Filipina. Dalam kaitannya dengan
klaim ini, MI setuju dengan klaim Filipina karena jika
mengambil textual interpretation dari redaksional kata
decision, maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu
naskah dalam Bahasa Perancis yang mempunyai arti lebih
luas termasuk pada analisa dari keputusan tersebut.
Melihat dari kesamaan pandangan MI dengan
Filipina, nampaknya akan membawa sedikit masalah untuk
kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI. Tidak
jelas mana yang lebih kuat sifat persuasive antara
keputusan dengan analisa yang melatarbelakangi
keputusan tersebut,
“…but, to interpret a decision as including “reasoning” might somehow stymie the Court in the performance of its judicial function in a particular case and place too onerous a burden on States by requiring them to be extra vigilant for fear of what the Court’s reasoning might be in particular case”.123
Analisa disini juga diartikan sebagai separate dan
dissenting opinion dari para hakim MI. Selain itu,
kemungkinan untuk intervensi akan semakin terbuka
dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar
atas dampak yang mungkin didapati atas suatu kasus.
Akan tetapi, jika melihat dari sisi pertimbangan
hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan
pertimbangan hukum jika unsur analisa mempunyai
kedudukan yang sama dengan keputusan.
Dalam proses keseluruhan beracara, Filipina tidak
dapat membuktikan kepentingan hukum yang akan terkena
dampak, baik dari unsur keputusan maupun unsur
analisanya.
123 Lihat Separate Opinion, Hakim Koroma, Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, ICJ Rep. 2001
Klaim yang kedua mengenai sifat kepentingan hukum
dari intervensi, MI melihat bahwa sifat kepentingan
hukum untuk melakukan intervensi harus mengacu langsung
kepada perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung
oleh mayoritas klaim dari Negara yang diperbolehkan
melakukan intervensi, kasus Nikaragua dan Equatorial
Guinea. Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina
gagal menunjukan kepentingan hukum yang mengacu
langsung kepada inti sengketa. Unsur convincing
demonstration kembali diambil sebagai dasar oleh MI
dalam memutus klaim ini.
5.4.2. Objek yang jelas dan pasti atau Precise
Object of Intervention
Filipina mengajukan tiga objek berkenaan dengan
aplikasi intervensinya, yaitu:
“First, to preserve and safeguard the historical and legal rights of the Government of the Republic of the Philippines arising from its claim to dominion and sovereignty over the territory of North Borneo, to the extent that these rights are affected, by a determination of the Court of the question of sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan; Second, to intervene in the proceedings in order to inform the Honourable Court of the nature and extent of the historical and legal rights of the Republic of the Philipines which may be affected by the Court’s decision; and third, to appreciate more fully the indispensable role of the Honourable
Court in comprehensive conflict prevention and not merely for the resolution of legal disputes.”124
Untuk objek yang pertama dan kedua, MI mengambil
formulasi yang sama dari keputusan terdahulunya tentang
intervensi, bahwa melindungi dan memberikan informasi
kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah
diperbolehkan.125 Sedangkan untuk objek yang ketiga,
karena dalam proses pembelaan presentasinya Filipina
tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya tersebut,
maka MI menolak objek ketiga tersebut.
5.4.3. Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link
Seperti yang telah diputuskan pada kasus
terdahulunya, tidak diperlukan adanya hubungan
jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan
catatan bahwa Negara yang mengajukan intervensi tidak
mempunyai maksud untuk ikut beracara di dalam MI. Pada
kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk tidak
menjadi pihak yang bersengketa.126 Hubungan Jurisdiksi
124 Aplikasi Intervensi Filipina dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan, ICJ rep. 2001
125 lihat kasus Continental Shelf, Judgment ICJ Rep. 1984, hal 11-12; Kasus Land Island and Maritime Frontier Boundary, Judgment, ICJ Rep. hal 108-109; dan Kasus Land Maritime Boundary, ICJ Rep., 1999, hal 1032
126 Kasus Land Island Frontier Maritime, ICJ Rep 1990, hal 135; Kasus Land and Maritime Boundary, ICJ Rep. 2001, hal 1034-1035
diperlukan hanya jika pihak yang melakukan intervensi
bermaksud untuk menjadi pihak yang bersengketa dan
maksud tersebut disetujui oleh para pihak yang sedang
bersengketa.127
127 Kasus Land Island Frontier Maritime, ICJ Rep 1990, hal 135