SERTIFIKAT Diberikan Kepada sebagai Pembicara dalam kegiatan Viveka Semester Ganjil 2020/2021 dengan judul Wakil Ketua I STFT Jakarta Bidang Akademik Agusnus Seawidi, Th.D. Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D. “Melakukan Misi di Era Pandemi” yang diselenggarakan pada 25 November 2020 di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat 10320
SERTIIKT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/03/... · 2021. 3. 2. · LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI PEMBICARA DALAM PROGRAM KURSUS TEOLOGI BERSERTIFIKAT
dengan judul
Agustinus Setiawidi, Th.D.
Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D.
“Melakukan Misi di Era Pandemi”
yang diselenggarakan pada 25 November 2020 di Sekolah Tinggi
Filsafat Theologi Jakarta Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat
10320
“Teologi Bencana dan Hari-hari Terakhir”
T E M A
30 September 2020
Pdt. (Em.) Prof. E. Gerrit Singgih, Ph.D.
Pdt. Prof. Joas Adiprasetya, Th.D.
28 Oktober 2020
11 November 2020
Pdt. (Em.) Josef P. Widyatmadja, M.Th. “Diakonia untuk Berbagi
Harapan”
25 November 2020
“Melakukan Misi di Era Pandemi”
Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D.
“Makna Teologis Bencana Ular Tembaga bagi Umat Israel di Perjanjian
Lama”
Pdt. Agustinus Setiawidi, Th.D.
Dr. Fransisco Budi Hardiman
Pdt. Yonky Karman, Ph.D.
Pdt. Ester P. Widiasih, Ph.D. dan Dina E. Siahaan, M.A.
“Kehidupan setelah Kematian”
LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI PEMBICARA DALAM PROGRAM KURSUS TEOLOGI
BERSERTIFIKAT “VIVEKA”:
MISI DAN PANDEMI: HISTORIOGRAFI DAN SPIRITUALITAS MISI DI MASA
KRISIS Jakarta, 25 November 2020
1. Selaku dosen STFT Jakarta untuk Studi-studi Misi, saya diundang
untuk memamparkan kajian bertajuk “Misi dan Pandemi: Historiografi
dan Spiritualitas Misi di Masa Krisis” pada 25 November 2020.
2. Kegiatan ini berlangsung secara online (platform zoom) dan
diselenggarakan oleh Kantor Wakil Ketua 4 Bidang Relasi-relasi
Publik STFT Jakarta. Viveka adalah kegiatan belajar teologi bagi
publik pada level yang lebih tinggi. Kajian-kajian teologis
diberikan kepada peserta yang berjumlah sekitar 60 orang. Kegiatan
berlangsung selama 2 jam dan berjalan dengan baik yang ditandai
dengan tanggapan, pertanyaan, dan pendalaman materi dari
peserta.
3. Pertanyaan utama yang menjadi fokus dari presentasi saya adalah
“bagaimana gereja menjadi relevan di masa pandemi?” Saya
menggunakan dua kerangka teologis—historis dan spiritual—untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Yang historis diarahkan pada kajian
sejarah gereja sebagai gereja yang hidup dan berkembang di tengah
krisis, khususnya di tengah pandemi. Sejarah gereja ditelisik untuk
memperlihatkan cara gereja mengaktualisasikan jati diri misionalnya
sebagai pelaku perubahan. Kedua, yang spiritual diarahakn untuk
mengidentifikasi dimensi-dimensi spiritual dari respons gereja
terhadap krisis atau pandemi. Di sini penekanannya pada
spiritualitas misi yang dihidupi gereja dalam merespons pandemi
saat ini.
4. Terlampir undangan dan materi saya. Pada saat kegiatan, saya
menyampaikan dalam bentuk powerpoint, tetapi materi tertulis sudah
dibagikan lebih awal untuk peserta.
Jakarta, 25 Novembe 2020
Septemmy E. Lakawa, Th.D.
Historiografi dan Spiritualitas Misi di Masa Krisis Septemmy E.
Lakawa
Yang Historis dan Yang Spiritual
Tulisan ini terdiri dari dua bagian: yang historis dan yang
spiritual. Pertama, yang historis atau
historiografis berarti memaknakan sejarah gereja di tengah pandemi
sebagai narasi tentang
krisis yang secara mendasar menantang gereja untuk
mengaktualisasikan jatidiri misionalnya
sebagai pelaku perubahan. Kedua, yang spiritual berarti
mengidentifikasi dimensi-dimensi
spiritual dari respons gereja terhadap krisis atau pandemi.1 Yang
kedua ini bersifat analitis-
reflektif, mengidentifikasi respons gereja terhadap pandemi dengan
menggunakan framing
misiologis yaitu memperlihatkan dimensi-dimensi dari spiritualitas
misi yang dihidupi gereja
dalam merespons pandemi saat ini. Jadi, tulisan ini tidak menjawab
pertanyaan “bagaimana
melakukan misi di masa pandemi” agar kita tidak terjebak dalam
pemikiran tentang misi
sebagai strategi apalagi program gereja. Namun, saya menawarkan
prinsip-prinsip historis-
misiologis dan spiritual untuk menjawab pertanyaan: “bagaimana
gereja menjadi relevan di
masa pandemi?” Kitalah masing-masing yang akan menentukan
bentuk-bentuk yang relevan
dalam merespons pandemi sebagai cermin dari pemahaman diri misional
gereja dan komunitas
Kristen.
Jika misi dipahami sebagai misi Allah (missio Dei)—misi Allah
Trinitas yang menyatakan
diri-Nya melalui karya dan kehadiran-Nya di tengah-tengah
ciptaan-Nya untuk menghadirkan
hidup dengan segala kepenuhannya—maka gereja dipanggil, terhisab,
di dalam misi Allah. Ini
berarti, misi gereja (missio ecclesiae) adalah cermin dari
hakikatnya sebagai komunitas yang
berpartisipasi di dalam misi Allah, menjadi kawan sekerja Allah di
tengah-tengah konteks
1 Saya menggunakan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia Dengan
Jaringan (KBBI Daring) tentang
pandemi: “wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi
daerah geografi yang luas”; epidemi:
“penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah yang luas
dan menimbulkan banyak korban,
misalnya penyakit yang tidak secara tetap berjangkit di daerah itu;
wabah”; endemi: penyakit yang berjangkit di
suatu daerah atau pada suatu golongan masyarakat
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pandemi [dan entri
“epidemi.” “endemi].
hidupnya untuk mewujudkan pemerintahan Allah “di bumi seperti di
surga.” Misi adalah
“realitas dasariah dari hidup kita sebagai orang Kristen. Kita
adalah orang Kristen karena kita
telah dipanggil oleh Allah untuk berkarya bersama-Nya dalam
memenuhi tujuan-Nya bagi
kemanusiaan [bahkan seluruh ciptaan]. Hidup kita di dunia ini
adalah hidup dalam misi
[Allah]” (Kirk 2000, 31). Misi dalam pengertian inilah yang menjadi
lensa dalam memahami
bagaimana menjadi gereja yang misional dari tengah-tengah
kompleksitas pandemi Covid-19
yang melanda negeri bahkan dunia kita sampai saat ini.
Pandemi yang dialami oleh gereja saat ini dapat dilihat sebagai
penanda dari krisis yang
dialami oleh gereja dan masyarakat lokal maupun global. Dari
sejarah kita hendak memaknakan
yang spiritual yang sedang kita hidupi sehari-hari kita saat ini di
masa pandemi ketika banyak
orang kehilangan makna, mengalami disorientasi pada pandemi yang
sudah meresapi
keseharian kita. Di mana kita menemukan Allah dalam keseharian yang
bagi banyak orang
semakin kehilangan maknanya? Pandemi Covid-19 telah menjadi penanda
krisis yang
membutuhkan kesediaan gereja-gereja dan komunitas Kristen untuk
membangun spiritualitas
resiliens yang mengakar di dalam identitas misional gereja sebagai
komunitas penyaksi,
pemulih, dan komunitas yang menanti dan mengerjakan karya pemulihan
Allah.
Historiografi Gereja di Masa Pandemi: Sebuah Historiografi
(tentang) Krisis2
Membaca sejarah gereja tidak mungkin dilepaskan dari sejarah
tentang gereja yang hidup,
merespons, dan melewati masa krisis. Krisis berasal dari kata
Yunani κρσις yang dapat
diartikan sebagai ancaman, bahaya sekaligus juga titik balik ke
arah yang lebih baik atau lebih
buruk. Krisis mengindikasikan sebuah kesempatan sekaligus bahaya
yang membutuhkan
respons yang tepat jika diharapkan bahwa kehidupan pascakrisis
adalah kehidupan yang lebih
baik. Memahami pandemi sebagai krisis bukan hanya pada saat ini
tetapi juga dalam perjalanan
sejarah gereja berarti kita hendak memaknakan perjalanan panjang
gereja sebagai perjalanan
yang memasuki dan melewati krisis yang disebabkan oleh wabah
penyakit mematikan yang
bukan hanya menelan nyawa manusia tetapi juga mengubah lanskap
Kekristenan. Pandemi
telah turut membentuk cara gereja memahami dirinya, mengafirmasi
panggilannya, dan
2 Beberapa bagian dalam tulisan ini tentang sejarah gereja di masa
pandemi telah saya presentasikan
dalam dua kegiatan: Seminar Dies Natalis ke-86 Sekolah Tinggi
Bibelvrouw tentang “Pertumbuhan Kekristenan,
Perempuan, Trauma, dan Pemulihan Kristiani: Membaca Arah Misi
Gereja Pada Masa Pandemi,” 1 Agustus 2020
dan Sarasehan GKI Kayu Putih tentang “Misi Gereja yang Relevan
dalam Masa (Pasca) Pandemi,” 15 Agustus
2020.
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
3
merespons krisis sebagai cara untuk mewujudkan jati diri
misionalnya. Pandemi pun dapat
dikatakan sebagai konteks sosial yang dari dalamnya kekhasan dan
partikularitas iman kristiani
sebagai iman yang berorientasi pada transformasi sosial
terafirmasi.
Berbagai penelitian historis, arkeologis, sosiologis, dan teologis
telah membuktikan
bahwa sejarah pertumbuhan Kekristenan turut dipengaruhi oleh wabah
penyakit menular yang
meluas (endemi, epidemi, dan pandemi) dan oleh cara setiap
komunitas Kristen di konteks yang
berbeda-beda merespons kondisi tersebut. Wabah penyakit juga adalah
salah satu bagian
penting dalam studi misi (sejarah misi, sejarah misiologi, dan
teologi misi) walaupun kajian atas
pengaruh sosial dan teologis dari pandemi terhadap penyebarluasan
dan perkembangan
Kekristenan belum umum dilakukan khususnya di Indonesia. Akan
tetapi, kita bisa
mengasumsikan interkoneksi antara pandemi dengan teologi misi.
Misalnya, salah satu
penekanan dalam teori misi khususnya teori misi perempuan
(Protestan, Katolik, dan
Pentakostal) pada peralihan abad 19 ke abad 20—the Christian Home
dan Woman’s Work for
Woman—adalah kesehatan, selain pendidikan dan penginjilan, sebagai
salah satu faktor penting
dalam pembangunan komunitas Kristen baru melalui peran perempuan
lokal.3 Walaupun teori
dan strategi misi ini didominasi oleh pemikiran tentang peran
domestik perempuan dan
berbasis pada pemahaman tentang gender complimentary (perempuan
sebagai pelengkap atau
tambahan terhadap peran laki-laki) dan bukan gender equality
(perempuan dan lak-laki setara),
namun perhatian pada kesehatan mengindikasikan pemahaman tentang
dimensi sosial/publik
dari kesehatan; artinya bukan hanya kesehatan individu atau
keluarga tetapi juga kesehatan
komunitas bahkan masyarakat luas. Pada masa itu juga dicatat
kehadiran dokter dan tenaga
medis perempuan dan dibukanya sekolah-sekolah misi untuk mendidik
para perempuan lokal
menjadi dokter dan guru. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
perhatian pada kesehatan
masyarakat yang menjadi faktor penting dalam merespons krisis
kesehatan seperti pandemi saat
ini inheren dalam pemahaman diri gereja seperti yang diperlihatkan
dalam sejarah misi dan
sejarah gereja.
Rodney Stark, seorang sosiolog yang meneliti konteks sosial
Kekristenan perdana, dalam
bukunya, The Rise of Christianity, mengajukan pertanyaan utama,
“how the obscure, marginal
Jesus movement became the dominant religious force in the Western
world in a few centuries?”4
3 Untuk studi komprehensif tentang sejarah misi sebagai sejarah
sosial dengan pemeran utamanya
perempuan misionaris bisa dilihat dalam tulisan Dana L. Robert,
American Women in Mission: A Social History of
Their Thought and Practice (Macon, GA: Mercer University Press,
1997). 4 Pertanyaan ini adalah subjudul dari bukunya, The Rise of
Christianity. ( Harper San Francisco: Harper
Collins, 1997).
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
4
Menurutnya, salah satu ciri dari daya tahan dan kelanggengan
Kekristenan ditentukan oleh cara
komunitas Kristen perdana merespons wabah penyakit. Pertumbuhan
kekristenan bukan
terutama atau hanya disebabkan oleh perpindahan agama (religious
conversion) yang terjadi
secara masif karena mendengar pengajaran/doktrin gereja, melainkan
karena perilaku atau relasi
sosial komunitas Kristen perdana (Stark 1997, 16); Menurutnya,
menjadi orang Kristen pada
abad pertama adalah bentuk tindakan menyimpang (deviance) dari
tradisi religius yang umum
berlaku saat itu (17). Relasi antar-individu memengaruhi keputusan
seseorang menjadi Kristen
(18). Kini kita bisa bayangkan bahwa perilaku komunitas Kristen
perdana dalam menyikapi
wabah penyakit yang mematikan dengan memberi perhatian, menolong
para korban bahkan
dengan merisikokan diri mereka dapat dikatakan sebagai cara hidup
yang tidak biasa saat itu.
Perjalanan gereja kemudian masih ditandai dengan wabah penyakit
yang mematikan.
Misalnya, pada tahun 165, pemerintahan Kaisar Marcus Aurelius,
pandemi (Plague of Galen,
cacar yang dibawa dan dijangkitkan oleh tentara Romawi yang kembali
dari perang di Timur
Dekat) menguasai kerajaan Romawi. 100 tahun kemudian epidemi
menyebar lagi di wilayah
kekaisaran Romawi—5000 orang mati setiap hari (73, 76). Jadi,
perjalanan Kekristenan dunia
seringkali ditandai dengan wabah penyakit dan di dalam konteks
seperti itu Kekristenan
bertahan bahkan bertumbuh. Menurut Stark lagi, para bapa gereja
(Siprianus, Dionisius,
Eusebius, dan lainnya) meyakini bahwa jika tidak ada epidemi kecil
kemungkinan Kekristenan
bisa berkembang (74).
Pemahaman kristiani tentang harapan, khususnya di masa krisis,
berperan besar bagi
kemampuan gerakan ini berkembang di tengah-tengah epidemi (Stark
1997, 74). Nilai tentang
cinta dan amal baik diterjemahkan menjadi norma “pelayanan sosial”
dan “solidaritas
komunitas.” Orang Kristen dapat merespons dengan baik masa epidemi
dan akibatnya, tingkat
survival orang Kristen tinggi. Artinya, pada masa pasca-epidemi,
jumlah orang Kristen lebih
tinggi dari kelompok yang lain, walaupun tidak terjadi perpindahan
agama. Kuatnya daya ajek
ini kemudian dilihat sebagai “mujizat” dan mengundang rasa ingin
tahu dan keinginan orang
menjadi Kristen (74-5). Analisis Stark ini mengafirmasi teori
penyebarluasan Kekristenan bahwa
faktor pendorong penyebarluasan Kekristenan bukan semata-mata
penginjilan apalagi
proselitisme, melainkan faktor-faktor sosial lainnya, misalnya
pandemi, alasan politis, dan
sebagainya. Berarti perkembangan Kekristenan tidak selalu didukung
oleh faktor religius atau
teologis melainkan juga oleh faktor-faktor sosial.
Stark mengatakan bahwa sebenarnya pemahaman Kristiani adalah
tentang bagaimana
kita dapat bertahan hidup di tengah-tengah penderitaan (wabah
penyakit) (Stark 1997, 74). Jadi
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
5
harapan yang ada di dalam pengajaran Kristen tersebut menurutnya
telah menjadi basis atau
norma sehingga kekeristenan perdana saat itu dikenal dengan dua hal
yaitu pelayanan sosial
dan solidaritas antar komunitas. Diakonia sosial-transformatif
menandai atau lahir dari sikap
hidup dan respons komunitas Kristen perdana terhadap penyebarluasan
penyakit mematikan
pada saat itu. Jadi yang sifatnya internal menggereja ternyata juga
terlihat pada hidup
menggereja secara sosial.
Pada saat wabah penyakit terjadi, pemahaman kristiani tentang
harapan dan simpati
bahkan empati dan solidaritas pada orang-orang yang menderita
itulah yang sebenarnya
menjadikan Kekristenan bertumbuh. Kekristenan memberi basis yang
kuat bagi individu atau
komunitas dalam menghadapi krisis dan malapetaka (bd. hal. 77).
Gerakan revitalisasi
(menggali sumber kultur dan kekristenan) membangun daya juang
menghadapi krisis, bencana,
dan malapetaka terus lahir.
Stark membuktikan bahwa Kekristenan justru menjadi agama yang dapat
bertahan
bahkan berkembang di tengah krisis. Jadi, kita dimungkinkan
bertahan dalam menjalani masa
sulit atau pandemi saat ini karena sejarah membuktikan bahwa
Kekristenan bertahan salah
satunya karena krisis. Ada sesuatu yang inheren di dalam jatidiri
Kekristenan yang membuatnya
bertahan dalam masa krisis dan berkembang. Komunitas Kristen
perdana pada masa pandemi
melakukan karya sosial yang melawan kebiasaan banyak gerakan agama
pada saat itu di
kerajaan Romawi. Dionisius melihat tindakan itu sebagai tindakan
kemartiran karena orang
Kristen membaktikan bahkan merisikokan diri mereka untuk menolong
korban dari epidemi.
Karya ini juga didasarkan pada “golden rule” (bd Matius 7:12)
(82-83). Tertulianus menyatakan
perhatian dan pertolongan yang diberikan kepada orang sakit dan
miskinlah yang menjadi
penanda penting dari gereja di masa krisis (bd Mat 25:35-40) (lih.
85-88).
Diana Butler Bass, juga merujuk Stark, mengatakan:
During the second century’s great epidemic, the Plague of Galen
(165-180), in which hundreds of
thousands of people died in the streets, Christians proved their
spiritual mettle by tending to the
sick… Because they did not fear death, Christians stayed behind in
plague-ravaged cities while
others fled… Christians did it on the basis of Jesus’s Great
Command to love God and to love one’s
neighbor … Devotion and ethics intertwined.” (Bass 2010,
59-60).
Ketika wabah Galen terjadi, orang-orang Kristen tidak meninggalkan
orang-orang yang
sakit dan menderita. Menurut Bass pada masa pandemi, doa, ibadah,
ritual, etika, dan cara
hidup itu tidak mungkin dipisahkan. Memaknai sejarah gereja sebagai
narasi teologis dan sosial
gereja yang merespons krisis memperlihatkan beragam inovasi,
kreativitas, keberanian yang
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
6
dapat menginspirasi gereja-gereja di masa pandemi saat ini. Devosi
dan etika terjalin. Doa dan
karya terintegrasi, seperti semboyan Ordo Benediktin, Ora et
Labora.
Kekristenan pada Abad-abad Pertengahan juga mencerminkan pandemi
yang
menguasai dunia pada masa itu. Monica H. Green memaparkan data yang
sangat penting
tentang perubahan konteks sosial di belahan dunia Barat dan Timur
pada Abad-abad
pertengahan yang disebabkan oleh wabah penyakit, misalnya
“Justinianic Plague (± 541-750)
disebut sebagai pandemi pertama disusul Black Death yang disebut
pandemi kedua yang
menjadi fenomena semi-global” (Green 2014, 9). Wabah penyakit
mematikan itu disebut
pandemi (pan-demos, “semua orang”) karena ia menimpa semua orang
akibat perluasannya yang
luar biasa (9). Green juga memperlihatkan bahwa pandemi, khususnya
the Black Death, pada
masa itu telah menyebabkan jumlah kematian yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan
jumlah kematian karena wabah penyakit di abad-abad
selanjutnya.
Total (absolute) mortality would be higher from several
nineteenth-century cholera
outbreaks, the 1918–19 influenza pandemic, or the current HIV/AIDS
pandemic. But
when expressed as a percentage of the population, the mortality
caused by the Black
Death is the highest of any large-scale catastrophe known to
humankind, save for the
impact of smallpox and measles on indigenous peoples in
first-contact events of the early
modern period. The Black Death killed an estimated 40% to 60% of
all people in Europe,
the Middle East, and North Africa when it first struck there in the
mid-fourteenth
century. Its demographic effects are well known (particularly with
respect
to Western Europe), and there is a considerable body of historical
scholarship
on population losses and the economic and political changes that
ensued. (2014, 9).
Pemaparan Green memperlihatkan sebuah dimensi keterhubungan dunia
secara global
pada abad-abad tersebut yang disebabkan oleh pandemi kedua, Black
Death. Menurutnya, studi
terbaru atas pandemi pada Abad-abad Pertengahan memperlihatkan
pergeseran geografis
pandemi yang mencapai bukan hanya Eropa tetapi juga Asia, Afrika,
dan Timur Tengah (2014,
12). Pergeseran geografis ini mengindikasikan pergeseran demografis
pada lanskap dunia saat
itu. Fenomena ini mengingatkan kita akan fenomena globalisasi di
abad 21 ini yang turut
memengaruhi pergeseran demografis Kekristenan menjadi agama global,
agama dunia (world
Christianity). Artinya, indikator dari pergeseran demografis
(pertumbuhan jumlah orang Kristen
tidak lagi terkonsentrasi pada stereotip “laki-laki dan kulit
putih” melainkan “perempuan, kulit
berwarna, dan kelas sosial yang beragam”) dan geografis Kekristenan
global bukan hanya
terletak pada migrasi manusia melainkan pada pandemi (migrasi
virus) seperti yang tercermin
dalam paparan historiografis di atas. Tentu mesti ada penelitian
yang lebih mendalam untuk
membuktikan asumsi ini. Namun, melihat pengaruh pandemi pada
pertumbuhan dan perluasan
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
7
Kekristenan perdana dan abad-abad selanjutnya menegaskan bahwa
setiap studi tentang
perluasan Kekristenan, bahkan agama-agama pada umumnya, tidak dapat
lagi mengabaikan
dimensi ini.
Pada tahun 1918 terjadi pandemi influenza yang dikenal sebagai flu
Spanyol (walaupun
flu ini bukan berasal dari Spanyol). Pandemi ini juga melanda
Indonesia (Hindia Belanda) dan
menyebabkan sekitar 1,5 juta orang meninggal. Pandemi ini secara
global diklaim
menghilangkan satu generasi dan mengubah abad 20. Sejarah teologi
memperlihatkan bahwa
ternyata banyak respons terhadap pandemi yang menghasilkan
pemikiran-pemikiran teologis.
Jika kita mengaitkannya pada situasi saat ini, kemungkinan pandemi
virus corona 19 ini
menjadi penanda bahwa kita memang sedang berubah dan mesti berubah
pada abad 21 ini.
Salah satu perubahan ini mesti ditandai dalam relasi kita dengan
alam.
Pandemi sebagai krisis juga mempertajam wajah kemanusiaan kita
sebagai ciptaan yang
rapuh, saling bergantung, dan saling terhubung. Di tengah pandemi
Covid-19, kerapuhan itu
mewujud dalam berbagai dimensi—ketakutan, frustasi, disorientasi,
bahkan kematian. Akan
tetapi, kerapuhan itu juga membuat kita lebih peka, terbuka, dan
bersedia meminta pertolongan
dan mengubah cara pandang kita tentang kehidupan dan kematian.
Gereja-gereja telah
merespons dengan berbagai macam cara. Bagian terakhir dari tulisan
ini adalah sebuah refleksi
tentang relevansi menggereja secara misional pada masa pandemi
dengan menekankan dimensi
spiritual yang saya sebut spiritualitas resiliens.
Spiritualitas Resiliens: Spiritualitas Misi di Masa Pandemi
It is in “ordinary” time that the really important things happen:
our children grow up, our marriages and
relationships grow older, our sense of life changes, our vision
expands, our soul ripens . . . It‘s only what
we learn while we’re doing what seems to be basically routine that
really counts: how to endure, how to
produce, how to make life rich at its most mundane moments (53,
55).
Joan Chittister—Listen with the heart
How people come to identify their sources of strength that allow
them to maintain their humanity in the
midst of harrowing disaster or long term oppression, what practices
get them in touch with their resilient
power, and how resilience might be strengthened or enhanced [?]
(194)
Robert Schreiter—Reading biblical texts through the lens of
resilience
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
8
Resilience biasanya dimengerti sebagai daya adaptif, daya lenting,
kemampuan bertahan dan
merespons krisis, bahkan keluar dari krisis dengan kondisi yang
lebih baik. Meminjam definisi
spiritualitas dari Sandra Schneider sebagai “human search for
God”maka dalam tulisan ini saya
memahami spiritualitas resiliens sebagai pencarian dan pemaknaan
kristiani akan Allah yang
lahir dari pergulatan untuk menjalani, beradaptasi, dan
mentransformasi krisis.
Robert Schreiter menegaskan bahwa resiliensi bukan hasil melainkan
sebuah “proses
yang rumit” yang memperkuat sense of agency individu dan komunitas
(Schreiter 2016, 196, 197).
Menurutnya, kemampuan atau kapasitas ini bisa dipelajari, dilatih,
dan dibentuk terus-menerus.
Pertanyaan-pertanyaan penting baginya terkait resiliensi adalah
“bagaimana cara orang
mengidentifikasi sumber-sumber penguatan yang memungkinkan mereka
mempertahankan
kemanusiaan mereka di tengah-tengah bencana yang mengerikan atau
penindasan yang
berkepanjangan; praktik-praktik seperti apa yang mendekatkan mereka
dengan daya resiliensi
mereka; dan bagaimana caranya agar resiliensi itu dapat diperkuat
atau diperbesar?” (Schreiter
2016, 194). Pertanyaan-pertanyaan ini cocok untuk kita di masa
pandemi Covid-19 untuk
mengidentifikasi sumber-sumber dan praktik-praktif apa yang kita
miliki yang membuat kita
berdaya lenting dalam menjalani masa pandemi ini? Bagaimana agar
daya adaptif dan respons
kita terhadap pandemi ini bukan hanya dapat diperkuat tetapi mampu
menginspirasi komunitas
yang lebih luas agar kita dapat melewati pandemi ini dengan baik
dan menjalani masa pasca-
pandemi kelak dengan lebih baik lagi. Persisnya, apakah gereja yang
melakoni spiritualitas
resiliens akan menjadi gereja yang relevan pada masa pandemi
ini?
Tantangan terbesar bagi banyak orang di masa pandemi ini tampaknya
adalah ketika
pandemi itu kini dianggap ordinary. Pada awal Maret 2020 saat
pemerintah Republik Indonesia
menyatakan dengan resmi bahwa Covid-19 telah menimpa negeri kita,
perlahan-lahan kita
disadarkan bahwa Covid-19 adalah sesuatu yang “extra ordinary.”
Namun, panjangnya waktu
yang mesti kita jalani tanpa kepastian tentang kapan pandemi ini
akan berakhir justru disikapi
oleh banyak orang dengan menjadikan pandemi tersebut sebagai
sesuatu yang biasa, tak lagi
punya makna bahkan ketika pandemi itu nyata mengancam kehidupan.
Cara menghadapi
situasi ini diperlihatkan dengan sikap yang sembrono. Tafsir atas
ajaran agama pun kerap
dijadikan pembenaran atas sikap yang gegabah dan justru
membahayakan orang lain dan diri
sendiri. Kesehatan komunal tidak dilihat sebagai tanggung jawab
individu sebagai umat
beragama dan, akhirnya, terjadi diskoneksi antara hak individu
untuk hidup sehat dan bebas
dari penyakit yang menjangkit ini dan tanggung jawab publik dari
setiap warga negara untuk
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
9
mendorong terselenggaranya regulasi sosial yang berbasis pada etika
hidup bersama di dalam
polis yang sehat. Yang religius terputus dari yang sosial.
Bahayanya adalah ketika pandemi itu dianggap ordinary—bahwa yang
ordinary itu
berarti rutin, biasa-biasa saja, tanpa makna—maka empati sosial pun
akan hilang. Dari tengah
situasi seperti ini daya resiliensi bisa digali dari sumber-sumber
yang beragam—spiritual,
budaya, ekonomi, sosial, politik—dan secara sosial mewujud dalam
praktik-praktik yang
empatik terhadap sesama manusia melampaui batas-batas identitas.
Empati sosial seperti ini,
yang dinyatakan dalam bentuk diakonia, praktik hidup yang menerima
orang asing (hospitality),
diwujudkan oleh komunitas-komunitas Kristen dalam catatan sejarah.
Kemampuan berempati
ini, bahkan merisikokan diri sendiri, demi memastikan kehidupan
bagi mereka yang paling
menderita di tengah krisis seperti pandemi Covid-19 adalah salah
satu wajah dari spiritualitas
resiliens.
Joan Chittister menunjukkan bahwa ordinary adalah masa yang paling
panjang dalam
tahun liturgi gereja. Pengertian “ordinary” dari Chittister sebagai
masa yang panjang, sering
dianggap tak bermakna justru adalah masa yang paling penting karena
melaluinya kita belajar
tentang “how to endure, how to produce, how to make life rich at
its most mundane moments”
(2003, 55). Membangun daya tahan, menemukan makna dari tengah
realitas yang seakan sudah
kehilangan makna, dan menghasilkan orientasi baru tentang hidup
yang berharga bagi siapapun
dapat ditemukan jejaknya dalam tradisi spiritual Kristen yang
sangat kaya.
Kemartiran, Volunter, Hospitalitas
Dr. Sidrotun Naim pada sharingnya di kegiatan Virtual Community Day
STFT Jakarta, 7
Oktober 2020, memaparkan bahwa prinsip “turut menderita, semangat
sukarela, dan altruism”
di dalam Kekristenan dapat menjadi faktor-faktor penting dalam
respons komunitas Kristen dan
masyarakat Indonesia terhadap pandemi Covid-19. Kategorisasinya ini
mengingatkan saya akan
tiga faktor kehadiran misional gereja yang berakar dalam tradisi
kuno Kekristenan dan dicatat
dalam sejarah misi yaitu kemartiran, volunter, dan
hospitalitas.
Kemartiran (martyrdom) adalah salah satu tradisi tertua dalam
Kekristenan. Keyahudian
dan Islam juga memiliki tradisi ini walaupun dalam pengertian yang
berbeda. Kemartiran
berasal dari kata martyr (saksi). Melekat di dalam konsep ini
adalah pengertian tentang
pengorbanan (sacrifice) bahkan kesediaan untuk mati sebagai saksi
atas kebenaran iman Kristen
terhadap mereka yang membenci iman itu atau yang biasa disebut
odium fidei (kebencian
terhadap iman). Para martir seperti Perpetua, Felicitas, Polikarpus
adalah nama-nama yang
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
10
banyak dikenal sebagai model orang-orang yang mati karena iman
mereka. Sejarah dan tradisi
ini sangat kompleks dan telah mengalami pergeseran pemaknaan
khususnya di abad 20.
Pengertian tradisional tentang martir mencakup kesediaan mati
secara pasif, tak melawan di
hadapan ketidakadilan demi untuk membuktikan kebenaran iman. Selain
itu, sejarah dan
konsep kemartiran juga diidentifikasi sebagai sejarah yang berdarah
dan mengambil tempat di
ruang publik. Lekat dalam pengertian dan tradisi ini adalah
“kematian”—kesediaan untuk
mengorbankan, merisikokan diri bahkan sampai mati—demi kebenaran
yang diyakini.
Jika kita hendak mengaplikasikan inti dari kemartiran ini sebagai
nilai dalam merespons
pandemi Covid-19 maka dibutuhkan kehati-hatian. Yang perlu
ditekankankan bukanlah
kesediaan untuk mati—kematian sebagai tujuan—melainkan kesediaan
untuk mengambil risiko
demi kehidupan dan kematian dilihat sebagai risiko. Jon Sobrino
adalah salah seorang teolog
yang menggeser pemahaman ini: kemartiran bukan berarti mati demi
Kristus tetapi hidup
seperti Kristus. Kematian pun adalah risiko dari kehidupan seperti
itu tetapi bukan tujuan.
Kemartiran bukan tindakan bunuh diri apalagi merisikokan hidup
orang lain karena klaim
agama kita. Seorang saksi justru adalah orang yang berjuang,
memiliki daya tahan untuk
menyatakan keadilan dan keberpihakan kepada semua yang tertindas
demi lahirnya hidup yang
berkelimpahan bagi semua.
Kesediaan untuk berkorban dalam masa pandemi ini telah kita lihat
dalam komitmen
dan karya para tenaga medis, warga masyarakat, komunitas-komunitas
peduli, sukarelawan,
pemerintah dan berbagai pihak untuk memastikan penyelenggaraan cara
hidup sehat, aman,
dan bersih untuk semua orang, para sukarelawan untuk uji coba
vaksin, dan sebagainya.
Semangat sukarela itu yang dibutuhkan dari bangsa ini dan
Kekristenan dapat menjadi salah
satu sumber untuk menumbuhkan kembali semangat tersebut agar bangsa
kita dapat keluar dari
masa krisis akibat pandemi covid-19 dengan lebih baik. Narasi para
misionaris adalah rujukan
yang juga sahih untuk kita jadikan sumber resiliens gereja.
Kehidupan para misionaris yang
membaktikan hidup mereka secara penuh bersama komunitas yang
terpinggir di negeri-negeri
yang jauh dari tempat asal mereka dengan semangat sukarela dapat
menjadi contoh. Menjadi
gereja penyaksi adalah sebuah bentuk kehadiran yang relevan bagi
gereja-gereja dan orang
Kristen di masa pandemi ini untuk menyatakan kesediaan untuk
memberlakukan hidup seperti
Kristus yang membela kehidupan, khususnya bagi orang-orang dan
komunitas yang rapuh,
tertindas, dan terpinggir, melampaui tembok-tembok pembatas.
Salah satu tradisi kuno lainnya dalam kekristenan, seperti yang
ditunjukkan dalam
praktik hidup komunitas Kristen perdana adalah
hospitalitas—kesediaan untuk menerima
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
11
orang asing yang terpinggir. Tradisi ini juga berakar dalam
Keyahudian. Dalam masa pandemi
ini hospitalitas tersebut menjadi praktik yang riskan justru karena
Covid-19 tidak
memungkinkan ruang-ruang interaksi sosial seperti yang kita pahami.
Oleh karena itu,
semangat hospitalitas yang mentransformasi relasi kita dengan orang
asinglah yang mesti
diperkuat, yaitu dengan memastikan kita tidak meneruskan stigma
sosial terhadap mereka dan
keluarga yang terinfeksi Covid-19. Beberapa bulan terakhir telah
tumbuh kesadaran yang lebih
baik tentang perilaku sosial yang melawan stigmatisasi seperti ini.
Tentu saja tetap dibutuhkan
kesadaran bahwa hospitalitas secara virtual—menjadi sahabat,
memberi perhatian, dukungan
bagi mereka yang mengalami imbas secara langsung dari
Covid-19—adalah alternatif bagi rasa
keterasingan yang menguat dan meluas pada masa pandemi ini yang
dapat dikembangkan oleh
gereja-gereja dan komunitas Kristen.
Diakonia kini tidak dapat hanya dilihat semata sebagai karya
karitatif (amal). Justru
pada masa pandemi ini, diakonia menjadi penanda kehadiran gereja
yang relevan yang
mencerminkan orientasi gereja-gereja pada kesehatan dan perubahan
atau transformasi secara
holistik. Matius 25 menjadi basis moralitas dan kepedulian sosial
orang Kristen perdana dan
dalam perjalanan sejarah Kekristenan yang memperlihatkan dimensi
transformatif dari
diakonia. Hospitalitas yang menjadi prinsip yang melekat pada
diakonia mencerminkan
terintegrasinya pemahaman diri misional gereja dalam laku hidupnya
khususnya di masa krisis.
Integrasi ini adalah salah satu sumber resiliensi, daya ajek
Kekristenan yang menyebabkannya
bertahan bahkan bertumbuh di masa krisis.
Breathing, Journeying, Healing
Dalam disertasi saya, Risky Hospitality: Mission in the Aftermath
of Communal Violence in Indonesia
(Boston University, 2011), saya menawarkan lima metafora misi. Tiga
di antaranya adalah
breathing, journeying, healing. Misi ibaratnya adalah proses kita
bernafas (breathing) dan
menyadari bahwa nafas itu bersumber dari Allah sendiri. Nafas itu
memampukan kita menjalani
(journeying) masa yang sulit dan tak pasti ini dan mengorientasikan
hidup dan karya kita pada
proses pemulihan (healing).
Metafora tersebut kini menemukan makna barunya ketika saya baca
kembali di tengah
masa pandemi. Salah satu persoalan yang menguat pada masa pandemi
ini adalah kesehatan
mental (mental health) dan sakit mental (mental illness). Fenomena
ini terkait dengan trauma yang
lahir dari berlarutnya pandemi ini yang bagi banyak orang dijalani
sebagai pengalaman yang
mengancam kehidupan (life threatening) karena beragam bentuk
kekerasan, khususnya
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
12
kekerasan seksual dan bentuk lain di wilayah domestik, yang oleh
banyak pengamat dan
peneliti disebut sebagai “the other pandemic”. Terma ini juga tepat
dilekatkan pada makin
meluasnya kemiskinan akibat keterpurukan ekonomi yang dialami oleh
banyak keluarga dan
komunitas. Dalam konteks seperti ini, pemulihan menjadi orientasi
dari karya dan kehadiran
gereja dalam respons eklesial-sosialnya pada masa pandemi
ini.
Tradisi mistik, misalnya tradisi biara, pada Abad-abad Pertengahan
telah turut dibentuk
oleh para mistikus, termasuk banyak mistikus perempuan seperti
Hildegard von Bingen,
Catherina of Sienna, dan Julian of Norwich. Karya-karya mereka
mencerminkan bahwa mereka
juga pernah berhadapan dan merespons wabah penyakit pada masa hidup
mereka. Respons itu
dinyatakan dengan menekankan pentingnya dimensi pemulihan secara
holistik dalam tradisi
spiritual Kristen.
Gary B. Ferngren dalam bukunya, Medicine and Health Care in Early
Christianity
mengatakan bahwa kekristenan perdana juga mendekati persoalan
kesehatan manusia dengan
cara yang sangat holistik. Pemulihan holistik ini yang mesti
menjadi perhatian gereja-gereja
pada masa pandemi dan kelak pasca pandemi. Salah satunya adalah
dengan mengorientasikan
kembali pelayanan pastoral gereja sebagai bentuk dari pemulihan
holistik. Penggembalaan
biasanya digunakan atau disamakan dengan pelayanan pastoral. Ada
beberapa pengertian
pastoral antara lain: “Pastoral care is a person-centred, holistic
approach to care that
complements the care offered by other\helping disciplines while
paying particular attention to
spiritual care. The focus of pastoral care is upon the healing,
guiding, supporting, reconciling,
nurturing, liberating, and empowering of people in whatever
situation they find themselves.”5
Pengertian lainnya adalah “A holistic pastoral theology could lead
to empowerment and should
be a key concept in pastoral care with poor people and
societies.”6
Pelayanan pastoral dilakukan secara holistik karena yang dilayani
adalah manusia, dan
manusia tidak dapat didekati hanya pada satu sisi saja, melainkan
harus secara menyeluruh.
Oleh karena itu ketika fungsi pastoral salah satunya adalah
penggembalaan, maka orang yang
melakukan konseling pastoral adalah orang yang terlatih secara
teologis, psikologis dan lain
sebagainya.
5 Bruce Rumbold, La Trobe University School of Public Health
(https://www.convergeinternational.com.au/cvi/eap-critical-response/pastoral-care.
Accessed: August 14, 2020).
6https://www.researchgate.net/publication/307845702_A_holistic_approach_to_pastoral_care_and_pove
rty Accessed: August 14th, 2020).
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
13
Saat ini kesulitan banyak gereja adalah ketika jumlah orang yang
dapat melakukan
konseling terbatas, sementara kebutuhan umat untuk penggembalaan
justru meningkat. Maka,
bentuk-bentuk solusi lain yang dipikirkan mesti relevan. Ada
beberapa konsep yang hendak
saya perlihatkan. Pertama, “pastoral dari tengah krisis” adalah
pastoral yang dimaknai secara
baru akibat krisis yang dialami secara eksistensial telah
melahirkan respons yang secara khas
lahir dari tengah krisis, misalnya pastoral pasca-kekerasan
komunal. Gereja dalam masa
pandemi ditantang untuk meneliti dan menyelidiki kembali bagaimana
pandangan gereja
tentang manusia. Selama ini kita sebagai gereja hanya berfokus pada
pertanyaan tentang Tuhan,
tentang mengapa pandemi harus terjadi dan sebagainya. Namun kita
lupa bertanya apakah
dalam masa pandemi ini kita menemukan siapa kita sebenarnya, lalu
apa yang kita lakukan
terhadap jawaban kita atas pertanyaan tersebut.
Konsep kedua adalah walking through yaitu berjalan melewati,
merupakan konsep yang
perlu dipikirkan ketika dunia berada dalam masa (pasca) pandemi.
Pada masa krisis ini
dibutuhkan kreativitas baru dalam menerapkan konsep ini. Konsep ini
juga biasanya digunakan
dalam proses pemulihan trauma yang melibatkan berbagai
pendekatan—teologis, psikologis,
sosiologis, seni, spiritual, dan sebagainya.
Konsep ketiga adalah “pasca” (pandemi) yaitu sesudah. Dalam masa
pandemi ini juga
gereja perlu mengorientasikan karyanya ke masa “pasca pandemi,”
tentu bukan secara gegabah.
Orientasi baru ini dibutuhkan sebagai bentuk dari resiliens gereja
dalam menjalani masa
pandemi. Dalam bahasa Indonesia kata pasca berarti “sesudah.” Dalam
teks-teks bahasa Inggris
khususnya terkait tentang pemulihan trauma, setidaknya ada dua
konsep yang dapat digunakan
yaitu, aftermath yang berarti ”something that results or follows
from an event, esp one of a
disastrous or unfortunate.” Susan Brison dalam tulisannya
Aftermath: Violence and the Remaking of
a Self mendefinisikan aftermath sebagai “a new growth of grass
following one of more mowings”
(Brison 2002,ix), bahwa dalam peristiwa yang dasyat dan keras,
tetap ada yang hidup dan
perlahan-lahan bertumbuh. Yang kedua adalah “afterlife.” Shelly
Rambo dalam bukunya
Resurrecting Wounds mendefinisikan afterlife sebagai “the
ongoingness of forces of violence”
even after the end of the event (aftermath). Bahkan sesudah
peristiwa kekerasan berakhir, daya
mematikan dari kekerasan itu terus ada, maka dibutuhkan “bahasa
tentang hidup” yang
menunjuk bukan hanya pada kondisi bertahan hidup (survival) tetapi
lebih dari itu”. Bahasa ini
turut merengkuh dan membahasakan goncangan terhadap pengalaman
bahkan sejarah tanpa
terjatuh ke dalam keputusasaan” (Rambo 2017, 5). Dari tengah masa
pandemi ini, kita dapat
merefleksikan pertanyaan Andrew Sullivan: “do we go back to where
we were, or do we
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
14
somehow reinvent ourselves for a new future?”7 Pertanyaan seperti
ini krusial karena respons
terhadapnya dapat mencerminkan daya tahan dan daya juang
gereja-gereja dalam menjalani
masa pandemi ini.
Selama masa pandemi ini, saya menggunakan satu istilah yaitu
“deconstructing fear”
(OWN). Oprah Winfrey mengatakan bahwa krisis (pandemi, kekerasan,
trauma) “memperbesar
masalah yang sebenarnya sudah ada sebelum krisis tersebut terjadi.”
Semua yang kita kenal,
rutinitas yang akrab dengan kita direnggut. Dalam situasi pandemi
ini kita tahu bahwa kita
takut, akan tetapi kita mesti menyadari dari mana sumber ketakutan
kita tersebut, dan kita
semestinya tidak dikuasai oleh rasa takut tersebut. Pandemi
Covid-19 ini merenggut rutinitas
kita, apa yang sebelumnya kita terima sebagai “normal”. Situasi ini
pun membuat sesuatu yang
awalnya penting bagi kita menjadi tidak begitu penting. Contohnya
saja jika kita hidup
konsumtif selama ini, kini pandemi mengajarkan pada kita arti yang
lain dalam hidup kita. Kita
hanya menggunakan sesuatu yang relevan pada situasi saat ini saja.
Situasi pandemi ini
memaksa kita untuk menjalani “new normal” dengan menemukan makna
baru atas hidup kita
dan apa yang kita ketahui selama ini “knowing what to do with what
we find”. “New Normal”
berarti juga pemaknaan baru atas apa yang kita temukan dari hidup
kita dan bagaimana kita
menyikapinya.
Perjalanan kita pada masa pandemi ini, masa krisis ini, dapat kita
jadikan lensa untuk
membaca kisah perjalanan dua murid ke Emaus (Lukas 24: 13-35).
Membaca kisah perjalanan
dua murid ke Emaus menjadi penting untuk melihat pelayanan pastoral
holistik dari masa
krisis, karena kita tahu bahwa kisah ini adalah kisah pasca
kematian Kristus di Yerusalem dan
kedua murid melakukan perjalanan. Di dalam perjalanan dua murid
tersebut mereka bertemu
dengan Tuhan namun mereka tidak mengenal Tuhan. Hal ini tampaknya
disebabkan oleh
trauma sehingga mereka tidak mengenal Tuhan. Pengalaman akan
kematian Yesus menguatkan
rasa takut kedua murid itu sehingga mengganggu pemahaman mereka
tentang “orang asing,
tamu, dan pemilik rumah”. Inilah krisis yang dihadapi para murid
pasca-kematian Tuhan
Yesus. Semua yang mereka kenal direnggut dari mereka. Hospitalitas
yang menjadi penanda
dari kehidupan mereka sebagai murid tidak mampu mereka wujudkan
dalam situasi krisis
tersebut. Jika kita kaitkan dengan kehidupan kita saat ini, kita
seperti dua murid yang sedang
7(FEATURE JULY 21, 2020. Andrew Sullivan, A Plague Is an
Apocalypse. But It Can Bring a New
World. The meaning of this one is in our hands. New York Magazine,
July 20, 2020.
https://nymag.com/intelligencer/2020/07/coronavirus-pandemic-plagues-history.html
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
15
berjalan menuju ke Emaus. Kita mengalami disorientasi,
re-orientasi, dan orientasi baru atas
kehadiran Tuhan yang menolong kita di dalam masa adaptasi new
normal ini
Akhirnya, sebagai sebentuk spiritualitas misi, spiritualitas
resiliens ibarat seseorang yang
sedang menanti. Penantian yang membutuhkan daya tahan, daya hidup.
Seperti seorang yang
menjalani minggu-minggu Adven di masa pandemi ini. Saya mengakhiri
tulisan ini dengan
mengutip tulisan Chittister tentang makna menanti (waiting)
waiting is a both a social disease and a grace in our lives. The
trouble is that we have to choose
between them. The trouble is that we spend life waiting without
knowing how to wait. . . We can
wait empty or we can wait full. It all depends on what we do with
the time. Those who wait empty
get irritated or dissipated. Those who wait full get richer as the
time goes by . . . Advent enables
us to consider again what it is about the spiritual life that is
trying to be born in us again: a new
desire for God, the hope in God’s goodness, the signs of God around
us that we so often overlook,
the awareness of God in strange places. Without Advent, we run the
risk of missing
Christmas, too. (Chittister 2003, 113, 114).
Spiritualitas resiliens sebagai spiritualitas misi adalah laku
hidup komunitas Kristen dan
gereja yang menanti. Penantian ini bisa kita wujudkan, meminjam
istilah Donald Messer,
seorang teologi misi, dengan membangun conspiracy of goodness demi
hidup bagi semua, agar
setiap orang mengalami hidup dalam seluruh kepenuhannya.
Daftar Acuan
Bass, Diana Butler. 2010. A people’s history of Christianity: The
other side of the story. New York:
HarperCollins.
Brison, Susan. 2002. Aftermath: Violence and the remaking of a
self. Princeton, NY: Princeton
University Press.
Chittister, Joan. 2003. Listen with the heart: Sacred moments in
everyday life. Lanham, Chicago,
New York, Oxford: Sheed and Ward.
Ferngren, Gary B. 2009. Medicine and health care in early
Christianity. Baltimore: The Johns Hopkins
University Press.
Green, Monica H. 2014. “Editor ’s Introduction to Pandemic Disease
in the Medieval World:
Rethinking the Black Death.” In "TMG 1 (2014): Pandemic Disease in
the Medieval
World: Rethinking the Black Death, ed. Monica Green" (2014). The
Medieval Globe. Book 1.
Monica H. Green, Symes, Carol; Colet, Anna; Muntané i Santiveri,
Josep Xavier; Ruíz,
Jordi; Saula, Oriol; Subirà de Galdàcano, M.Eulàlia; Jáuregui,
Clara; DeWitte, Sharon N.;
Borsch, Stuart; Carmichael, Ann G.; Varlk, Nükhet; Crespo, Fabian;
Lawrenz, Matt
B.;Ziegler, Michelle; Hymes, Robert; Walker-Meikle, Kathleen; and
Müller, Wolfgang P.
Septemmy E. Lakawa, Misi di Masa Pandemi, VIVEKA ke-8 STFT Jakarta
16
Kirk, J. Andrew. 2000. What is mission?: Theological explorations.
Augsburg, Minneapolis: Fortress
Press.
Rambo, Shelly. 2018. Resurrecting wounds: Living in the afterlife
of trauma. Waco, TX.: Baylor
University Press.
Robert, Dana L. 1997. American women in mission: A social history
of their thought and practice.
Macon, GA: Mercer University Press.
Schreiter, Robert. 2016. “Reading biblical texts through the lens
of trauma.” Dalam Bible through
the lens of trauma disunting oleh Elizabeth Boase and Christopher
G. Frechette. Atlanta,
GA: SBL Press.
Misi dan Pandemi: Historiografi dan Spiritualitas Misi di Masa
Krisis
VIVEKA 8 STFT JAKARTA
• tulisan ini tidak menjawab pertanyaan “bagaimana melakukan misi
di masa pandemi” melainkan menjawab pertanyaan: “bagaimana gereja
menjadi relevan di masa pandemi?” (pendekatan historiografis dan
spiritual misional)
• missio Dei, missio ecclesiae
Pandemi Covid-19 telah menjadi penanda krisis yang membutuhkan
kesediaan gereja-gereja dan komunitas Kristen untuk membangun
spiritualitas resiliens yang mengakar di dalam identitas misional
gereja sebagai komunitas penyaksi, pemulih, dan komunitas yang
menanti dan mengerjakan karya pemulihan Allah.
Sebuah Historiografi Krisis
• “St. Sebastian interceding for the plague-stricken during an
outbreak in seventh-century Pavia, Italy. Photo: The Walter Art
Museum”
Pandemi dapat dikatakan sebagai konteks sosial yang dari dalamnya
kekhasan dan partikularitas iman kristiani sebagai iman yang
berorientasi pada transformasi sosial terafirmasi.
• salah satu ciri dari daya tahan dan kelanggengan Kekristenan
ditentukan oleh cara komunitas Kristen perdana merespons wabah
penyakit.
• Pertumbuhan kekristenan bukan terutama atau hanya disebabkan oleh
perpindahan agama (religious conversion) yang terjadi secara masif
karena mendengar pengajaran/doktrin gereja, melainkan karena
perilaku atau relasi sosial komunitas Kristen perdana (Stark 1997,
16)
“how the obscure, marginal Jesus movement became the dominant
religious force in the Western world in a few centuries?
(Stark)
Nilai tentang cinta dan amal baik diterjemahkan menjadi norma
“pelayanan sosial” dan “solidaritas komunitas.”
Orang Kristen dapat merespons dengan baik masa epidemi dan
akibatnya, tingkat survival orang Kristen tinggi. Pada masa
pasca-epidemi, jumlah orang Kristen lebih tinggi dari kelompok yang
lain, walaupun tidak terjadi perpindahan agama. Kuatnya daya ajek
ini kemudian dilihat sebagai “mujizat” dan mengundang rasa ingin
tahu dan keinginan orang menjadi Kristen (74-5).
faktor pendorong penyebarluasan Kekristenan bukan semata-mata
penginjilan apalagi proselitisme, melainkan faktor-faktor sosial
lainnya, misalnya pandemi, alasan politis, dan sebagainya. Berarti
perkembangan Kekristenan tidak selalu didukung oleh faktor religius
atau teologis melainkan juga oleh faktor-faktor sosial.
Kekristenan adalah agama yang dapat bertahan bahkan berkembang di
tengah krisis.
I. THE WAY (KEKRISTENAN PERDANA, 100-500)—KEKRISTENAN SEBAGAI CARA
HIDUP; DEVOSI: MENGASIHI ALLAH; ETIKA: MENGASIHI SESAMA
MANUSIA)
II. THE CATHEDRAL (KEKRISTENAN ABAD PERTENGAHAN, 500-1450—
KEKRISTENAN SEBAGAI ARSITEKTUR SPIRITUAL; DEVOSI: PEMULIHAN
SURGAWI; ETIKA: SIAPA SESAMAKU MANUSIA?
III. THE WORD (KEKRISTENAN REFORMASI, 1450-1650—KEKRISTENAN SEBAGAI
FIRMAN HIDUP; DEVOSI: MEMBERITAKAN IMAN; ETIKA: MEMBERLAKUKAN
IMAN)
IV. THE QUEST (KEKRISTENAN MODERN, 1650-1945—KEKRISTENAN SEBAGAI
PENCARIAN KEBENARAN; DEVOSI: PENCARIAN SANG TERANG; ETIKA;
PENCARIAN KERAJAAN ALLAH)
V. THE RIVER (KEKRISTENAN KONTEMPORER, 1945-SEKARANG; KEKRISTENAN
SEBAGAI NAVIGASI; DEVOSI: MASUK KE DALAM ALIRAN SUNGA; ETIKA:
HOSPITALITAS UNIVERSAL)
“During the second century’s great epidemic, the Plague of Galen
(165- 180), in which hundreds of thousands of people died in the
streets, Christians proved their spiritual mettle by tending to the
sick . . . Because they did not fear death, Christians stayed
behind in plague- ravaged cities while others fled . . . Christians
did it on the basis of Jesus’s Great Command to love God and to
love one’s neighbor . . . Devotion and ethics intertwined”
(59-60)
PANDEMI INFLUENZA 1918—YANG DIKENAL SEBAGAI FLU SPANYOL WALAUPUN
BUKAN BERASAL DARI SPANYOL—JUGA MENIMPA INDONESIA (HINDIA
BELANDA)—1,5 JUTA ORANG MENINGGAL. SECARA GLOBAL DIKLAIM BAHWA
PANDEMI INI MENGHILANGKAN SATU GENERASI DAN MENGUBAH ABAD 20.
https://www.researchgate.net/publication/235003003_Mortality
_from_the_influenza_pandemic_of_1918-
19_in_Indonesia#:~:text=The%20influenza%20pandemic%20of%20
1918%2D19%20was%20the%20single%20most,that%20pandemic%20
is%201.5%20million.
https://sains.kompas.com/read/2018/10/31/110000623/flu-1918-
membunuh-satu-generasi-dan-ubah-dunia-abad-ke- 20?page=all
Pandemi sebagai krisis juga mempertajam wajah kemanusiaan kita
sebagai ciptaan yang rapuh, saling bergantung, dan saling
terhubung. Di tengah pandemi Covid-19, kerapuhan itu mewujud dalam
berbagai dimensi— ketakutan, frustasi, disorientasi, bahkan
kematian. Akan tetapi, kerapuhan itu juga membuat kita lebih peka,
terbuka, dan bersedia meminta pertolongan dan mengubah cara pandang
kita tentang kehidupan dan kematian.
Spiritualitas Resiliens: Spiritualitas Misi di Masa Pandemi
• pencarian dan pemaknaan kristiani akan Allah yang lahir dari
pergulatan untuk menjalani, beradaptasi, dan mentransformasi
krisis.
• Bagaimana cara orang mengidentifikasi sumber-sumber penguatan
yang memungkinkan mereka mempertahankan kemanusiaan mereka di
tengah- tengah bencana yang mengerikan atau penindasan yang
berkepanjangan;
• Praktik-praktik seperti apa yang mendekatkan mereka dengan daya
resiliensi mereka; dan
• Bagaimana caranya agar resiliensi itu dapat diperkuat atau
diperbesar?” (Robert Schreiter)
Kemartiran, Volunter, Hospitalitas
Matius 25: 31-46 menjadi basis moralitas dan kepedulian sosial
orang Kristen perdana dan dalam perjalanan sejarah Kekristenan yang
memperlihatkan dimensi transformatif dari diakonia. Hospitalitas
yang menjadi prinsip yang melekat pada diakonia mencerminkan
terintegrasinya pemahaman diri misional gereja dalam laku hidupnya
khususnya di masa krisis. Integrasi ini adalah salah satu sumber
resiliensi, daya ajek Kekristenan yang menyebabkannya bertahan
bahkan bertumbuh di masa krisis.
Breathing, Journeying, Healing
Misi ibaratnya adalah proses kita bernafas (breathing) dan
menyadari bahwa nafas itu bersumber dari Allah sendiri. Nafas itu
memampukan kita menjalani (journeying) masa yang sulit dan tak
pasti ini dan mengorientasikan hidup dan karya kita pada proses
pemulihan (healing).
“Pastoral dari tengah Krisis”: Pastoral Care sebagai bagian dari
pemulihan holistik
• “Pastoral care is a person-centred, holistic approach to care
that complements the care offered by other\helping disciplines
while paying particular attention to spiritual care. The focus of
pastoral care is upon the healing, guiding, supporting,
reconciling, nurturing, liberating, and empowering of people in
whatever situation they find themselves.”
Diakonia Transformatif
Andrew Sullivan: “do we go back to where we were, or do we somehow
reinvent ourselves for a new future?”
• “deconstructing fear”
Spiritualitas resiliens: spiritualitas penantian
waiting is a both a social disease and a grace in our lives. The
trouble is that we have to choose between them. The trouble is that
we spend life waiting without knowing how to wait. . . We can wait
empty or we can wait full. It all depends on what we do with the
time. Those who wait empty get irritated or dissipated. Those who
wait full get richer as the time goes by . . . Advent enables us to
consider again what it is about the spiritual life that is trying
to be born in us again: a new desire for God, the hope in God’s
goodness, the signs of God around us that we so often overlook, the
awareness of God in strange places. Without Advent, we run the risk
of missing Christmas, too. (Chittister 2003, 113, 114).
conspiracy of goodness (Donald Messer)
VIVEKA 25 November 2020 - Sertifikat.pdf
BELAKANG-VIVEKA.pdf
VIVEKA 25 November 2020 - Makalah.pdf
VIVEKA 25 November 2020 - Presentasi.pdf