Upload
buithuy
View
240
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SENGKETA KEDUDUKAN TANAH HIBAH PRESPEKTIF FIQH DAN KUH
PERDATA (PUTUSAN NO. 132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
Ahmad Fazri
NIM: 1112043200016
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018
iv
ABSTRAK
Ahmad Fajri, NIM: 1112043200016, Sengketa Kedudukan Tanah Hibah
Prespektif Kuh Perdata Dan Fiqh (Putusan No. 132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB) (Studi
Perbandingan Antara Fiqh dan KUH Perdata), Program Studi Perbandingan Mazhab
Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syarî‟ah dan Hukum,
Universitas Islâm Negeri Syarif Hidâyatullâh Jakarta, 1438 H / 2017 M. xv + 75
halaman + 10 halaman lampiran.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan pemahaman kedudukan akta
tanah hibah menurut fiqh dan KUH Perdata banyak sekali perbedaan dan persamaan
antara keduanya contoh salah satunya pembagian hibah di fiqh di batasi hanya 1/3
harta Saja namun di KUH Perdata boleh di hibah semua harta kita.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui status akta tanah hibah menurut
KUH Perdata dan Fiqh bahwa menurut fiqh akta hibah disebut sah hanya melalui ijab
kobul dan dua orang saksi berbeda dengan KUH Perdata disebut sah setelah surat
akta tanah hibah itu terbit di PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif yang
menghasil data deskriptip dan tertulis dengan menggunakan jenis penelitian normatif
Yuridis yakni menganalisis tentang perbandingan Fiqh dengan KUH Perdata. Dalam
hal ini yaitu Fiqh dengan KUH Perdata yang dimana masyarakat Indonesia tidak
mengtahui bahwa akta tanah hibah itu ada kepastian hukumnya sehingga perlu
adanya perbandingan ini dengan melihat apakah ada persamaan atau perbedaan
antara Fiqh dan KUH Perdata serta penelitian ini kepustakaan (library research) yaitu
dengan mengambil referensi pustaka dan dokumenter yang relevan dengan masalah
ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dalam skripsi ini ialah bahwa
kedudukan akta tanah hibah ini mempunyai kepastian hukumnya karna dengan
adanya tanah yang kimiliki memiliki nilai yang sangat berfaedah untuk hidup
Akibatnya ada beberapa putusan hakim yang memutuskan perkara ini bahwa
menurut KUH Perdata lah yang bisa menguatkan status tanah dan Seharusnya dalam
hal ini pemerintah harus memberikan sikap dalam menjawab permasalahan ini
karena kasus akta tanah hibah yang sering kali menyebabkan perselisihan antara
masyarakat entah itu di dalam keluarga ataupun di mana saja.
Pembimbing : 1. Dewi Sukarti. MA
2. Drs. Hamid Farihi, M. Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1927-2017
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wataala atas segala rahmat, nikmat,
taufik, hidayah dan „inayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillâhi
Rabbil ‘âlamîn tiada henti. Sesungguhnya hanya dengan pertolongan-Nya lah
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat seiring salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan Nabi akhir zaman
Muhammad Sallâllâhu ‘Alaihi Wasallam, beserta para keluarga, sahabat dan
umamatnya. Amin.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari peneliti. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh peneliti
didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri
karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini. Peneliti
menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tersusun bukan semata-mata hasil usaha
sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi dari semua pihak. Oleh karena itu
penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan hukum
Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta
2. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan ibu Siti Hana, S. Ag, Lc., MA sebagai Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab
vi
3. Dewi Sukarti, M.A., dan Drs. Hamid Farihi, M. Ag dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan ilmunya hingga penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Terima kasih kepada pengadilan Negri bale bandung sehingga karya ilmiah
ini mempunyai kekuatan tersendiri.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan bagi peneliti sehingga karya ilmiah ini menjadi sebuah bacaan
tersendiri
6. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian karya tulisnya;
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhânahu Wata’âlâ memberikan balasan atas
bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini. dan juga, semoga apa yang telah kalian berikan menjadi berkah dan amal
kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 4 Januari 2018
AHMAD FAJRI
NIM: 1112043200016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah Batasan dan Rumusan Masalah .................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 8
D. Metode Penelitian ........................................................................................... 12
E. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual ............................................................................... 15
B. Teori .......................................................................................................... 16
1. Dasar Hukum Akta Hibah dalam Fiqh ................................................. 17
2. Syarat-Syarat Akta Hibah dalam Fiqh .................................................. 19
3. Rukun Akta Hibah dalam Fiqh ............................................................. 21
4. Pengertian Akta Hibah dalam KUH Perdata ........................................ 22
5. Dasar Hukum Akta Hibah dalam KUH Perdata ................................... 23
6. Syarat-Syarat Akta Hibah dalam KUH Perdata .................................... 26
7. Macam-Macam Akta hibah dalam KUH Perdata ................................. 29
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ........................................................ 22
BAB III ANALISIS KEDUDUKAN AKTA HIBAH DALAM PUTUSAN
NO.132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB MENURUT 4 MAZHAB
A. Deskripsi putusan .......................................................................... 34
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan No.132 /PDT /G/
2010 /PN.BB .................................................................................. 38
C. Putusan pengadilan Bandung dalam Putusan No.132 /PDT /G/
2010 /PN.BB .................................................................................. 44
D. Kedudukan Akta hibah dalam Putusan No. 132 /PDT /G/ 2010
/PN.BB menurut 4 mazhab ............................................................ 46
BAB IV KEDUKAN AKTA TANAH HIBAH DALAM PUTUSAN NO. 132
/PDT /G/ 2010 /PN.BB MENURUT FIQH DAN KUH PERDATA
A. Kedudukan Akta Hibah Menurut Fiqh ................................... 65
B. Kedudukan Akta Hibah Menurut KUH Perdata ..................... 70
C. Persamaan Dan Perbedaan Kedudukan Akta Hibah Antara
Fiqh Dan KUH Perdata .......................................................... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 84
B. Rekomendasi ...................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 86
LAMPIRAN ............................................................................................................. 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia itu sejak lahir terikat dengan tanah yakni sebagai tempat berlindung
dan umumnya tetap berkaitan dengan tanah sepanjang hidupnya, bahkan setelah
matipun berhubungan dengan tanah. Tanah adalah tempat pemukiman dari
sebagian besar umat masyarakat disamping sebagai sumberkehidupan bagi
mereka yang mencari nafkah, melalui usaha tani dan perkebunan dan pada
akhirnya tanah juga dijadikan tempat persemayaman terakhir bagi seseorang yang
meninggal dunia. Dalam Hukum Tanah, kata “tanah” dipakai dalam arti
yuridisyaitu permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang mempunyai batas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar. Tanah yang diberikan kepada masyarakat dan dipunyai
olehorang dengan hak-hak yang disediakan oleh hukum agraria adalah
untukdigunakan atau dimanfaatkan.1
Penguasaan harta benda terjadi dengan adanya suatu bentuk akad atau
perjanjian pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain, seperti
persetujuan timbal balik, yaitu persetujuan yang menimbulkan kewajiban pokok
kepada kedua belah pihak, seperti jual beli dan sewa menyewa. Adapun
persetujuan sepihak adalah persetujuan dimana hanya terdapat kewajiban pada
salah satu pihak saja misalnya hibah. Di dalam hukum Islam, hibah berarti akad
yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di
waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan apa pun. Dari segi sosial budaya,
hibah adalah hal yang terpuji dan pelakunya mendapat tempat yang terhormat
dalam strata sosial kemasyarakatan.2
Hibah yang mempunyai arti pemberian atau sedekah, yangmengandung
makna yaitu suatu persetujuan pemberian barangyang didasarkan atas rasa
1Sjafa‟at, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), h. 102.
2Amiur Dahlan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 64.
2
tanggungjawab sesamanya dandilaksanakan dengan penuh keihklasan tanpa
pamrih apapun.3
Kata hibah dalam bentuk mashdar dari kata wahaba digunakan dalam Al-
Qur’an beserta kata derivatnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya
memberi, dan jika subjeknya allah berati memberi karunia, atau menganugrahi.
Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemberian pemilikan sesuatu benda
melalui transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan
jelas ketika pemberi masih hidup. Dalam rumusan kompilasi, hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Hibah disebut juga hadiah atau pemberian.4 Dalam istilah syarak, hibah
berarti memberikan sesuatu kepada orang lain selagi hidup sebagai hak miliknya,
tanpa mengharapkan balasan semata-mata dari Allah, hal itu dinamakan sedekah.
Kalau memuliakannya dinamakan hadiah. Tiap-tiap sedekah dan hadiah boleh
dinamakan pemberian, tetapi tidak untuk sebaliknya, dalam hadits rasallah SAW
dinyatakan :
ر ة ش ائ ع ن ع ال اق ن ع اللهض :ك ت يالن ص ب س و ه ي ل ع للايل يو ة ي د ه ال ليب ق ييل بيي ث ي
بوداود(ا.)رواهالبخارئوي ل ع ا
Artinya:“Dari aisyah r.a ia berkata : pernah Nabi Saw menerima hadiah dan
di balasnya hadiah itu.” (H.R. Bukhori dan abu daud)
Agar pemberian itu nyata dan jelas, disyaratkan melafalkan ijab Kabul,
yaitu“Aku berikan barang ini kepadamu.” Akan tetapi ijab Kabul itu tidak
disyaratkan dalam soal hadiah, sebab hadiah boleh dilakukan secara kiriman saja.
Barang yang sah diberikan ialah barang yang sah pula dijual. Demikian pula,
terlarang memberi sesuatu bila terlarang pula menjualnya. Sebutir gandum dan
sebutir beras boleh diberikan, tetapi tidak boleh dijual karena tidak berharga.
3Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat System Transaksi Dalam Fiqh Islam,
(Jakarta: AMZAH, 2010), h. 435.
4IbnuMas’ud, Fiqih Mazhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2, (Bandung:Pusaka Setia, 2007),
h. 159.
3
Hadiah tidak boleh ditolak.5 Rasullah SAW belum pernah menolak pemberian
orang. Dalam sebuah hadits disebutkan:
د ب اع ن ث د ح ا ن ع ا ب ا ن ع ة ز ح ا ب ل ا ن ع ش ر ة ر ي ر حيب ن ع هيعن للاض الن ص ب س و ه ي ل ع للال ا تيي ع ودي:ل ال ق ل ل أاع ر كيو ا اع ر ا ي د ه ا و ل و تيجب ل اعر ل
ل ب ق ل .)رواهالبخاري(تي
Artinya :”Dari abu hurairah r.a., dari nabi SAW beliau bersabda “kalau aku
diundang untuk menyatap kaki kambing depan dan belakang maka akan dipenuhi
undangan, dan kalau aku dikasih hadiah kaki kambing maka aku akan
menerimanya.”
Uraian hibah secara terminologi ialah hibah itu suatu pemberian hak milik
secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti
walaupun dari orang yang lebih tinggi. Atau bisa dikatakan sebagai pemberian
hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan ini yang lebih utama dan
singkat.6 Hibah menurut syariat beratipemindahan kepemilikan terhadap sesuatu
dalam masih hiduh tanpa ada ganti rugi. Lafazh hibah mengandung beberapa
jenis, di antaranya yaitu hibah secara umum, membebaskan dari hutang, shadaqah,
athiyah, hibah imbalan, yang yang diantara hal-hal ini ada perbedaanya. Hibah
mempunyai faidah dan hukum, seperti untuk memupuk rasa saling tolong-
menolong, dan kasih sayang. Di dalam hadits disebutkan ( ىاتهادواتها ب )
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian saling mencintai.”
Jumhur Ulama mendefinisikanhibah sebagai akad yang mengakibatkan
pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup
kepada orang lain secaara sukarela. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dalam pasal 171 huruf g mendefinisikan hibah sebagai pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih
hidup untuk dimiliki.7
5Rahmat Syafi’i,fiqih muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 242.
6Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat System Transaksi Dalam Fiqh Islam,
(Jakarta: AMZAH, 2010), h. 435.
7Abdullah bin Abdurrahman ali bassam, syarah hadits pilihan bukhari-muslim, (Jakarta: PT
darul-falah, 2007), h. 704.
4
Di dalam syara, hibah berati akad yang pokok persoalan pemberian harta
milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.
Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan
tetapi tidak diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal ini disebut I’aarah
(pinjaman)8
Namun menurut ketentuanPasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(yang selanjutnya disingkatKUHPerdata) yang dimaksud dengan pengertian hibah
adalah Suatu persetujuandengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengantidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda
guna keperluan sipenerima hibah yang menerima penyerahan itu.9
Sebagai suatu perjanjian, hibah itu seketika mengikat dan tak dapatdicabut
kembali begitu saja menurut kehendak satu pihak. Jadi berlainan sekalisifatnya
dari suatu hibah wasiat atau pemberian dalam suatu testament, yang
barumemperoleh kekuatan mutlak, apabila orang yang memberikan benda
sudahmeninggal, dan sebelumnya ia selalu dapat menarik kembali.Menunjuk
kepada pengertian hibah yang Penulis sampaikan diatas makadiketahui bahwa di
Indonesia terdapat tiga sistem hukum yang mengatur tentanghibah, yaitu hukum
adat, hukum Islam dan hukum perdata barat (BW). Semuanyasama-sama diakui
oleh dan sah berlakunya serta boleh dianut oleh setiap WargaNegara Indonesia,
selama belum ada hukum nasional yang berlaku dan yangbersifat unifikasi
hukum.Ketiga sistem hukum tersebut bagi setiap anggota masyarakat
Indonesiamenyebabkan masyarakat di Indonesia boleh memilih salah satu dari
ketigahukum itu. Hukum yang dipilih dalam penulisan ini lebih kepadahukum
perdata.Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
1963,seseorang yang hendak mengadakan persetujuan hibah mempunyai
kebebasanuntuk membuatnya, misalnya dengan akta di bawah tangan.10
8 Sayyid sabig, fikih sunnah, jillid 14 (terjamah), (Jakarta:pena pundi aksara, 1997) h. 167.
9R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke-28 (Jakarta: PT
PradnyaParamitha,1996),h. 436. 10
R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Cetakan ke-14 (Jakarta: PT Pradnya
Paramitha,1994), h. 86.
5
Penghibahan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata BukuIII
Bab X dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693. Apa yang dapat
dihibahkanmenurut ketentuan Pasal 1667 KUHPer yang menyebutkan bahwa
hibah hanyadapat mengenai benda-benda yang sudah ada, sedangkan apabila
hibah itumeliputi benda-benda baru ada kemudian, maka sekedar mengenai itu,
hibahnya batal.
Hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak
adaimbalan apapun. Dengan kata lain pemberian dengan cuma-cuma dan
tidakbersyarat. Dalam hibah hak kepemilikan atas tanah dan bangunan, orang
yangmempunyai hak atas tanah dan bangunan menyerahkan hak kepemilikan
atastanah dan atau bangunannya untuk selama-lamanya kepada seseorang dan
sejakitu hak atas tanah dan bangunan tersebut telah berpindah kepada yang
menerimahibah tersebut, sama halnya dengan jual beli dan tukar
menukar.11
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Pemerintah
berupayamengatur kembali penguasaan tanah-tanah negara dimana tanah-tanah
Negara penguasaannya ada pada Menteri Dalam Negeri, kecuali jika penguasaan
atastanah negara dengan undang-undang atau peraturan lain ada pada
waktuberlakunya peraturan pemerintah tersebut telah diserahkan kepada
suatukementerian jawatan atau daerah swantantra.12
Bertitik tolak pada uraian di atas, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tehadap kedudukan setelah tanah hibah yang telah digadaikan apakah kedudukan
tersebut jatuh pada ahli waris semula atau kah kepada si penggadai. Dari hasil
penelitian tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “SENGKETA
KEDUDUKAN AKTA TANAH HIBAH PRESPEKTIF FIQH DAN KUH
PERDATA (PUTUSAN NO. 132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
11
Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, ( Surabaya : Alumni, 2005), h, 217.
12
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang
PokokAgraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan ke-12., (Jakarta: Djambatan, 2008), h. 134.
6
Pengelolaan akta tanah hibah dan pertanahan di Indonesia belum dapat
dilaksanakan dengan maksimal, sehingga sering menimbulkan gejolak sosial di
masyarakat.Masalah kedudukanakta tanah hibah oleh masyarakat tidak memiliki
kenyamanan sosial bagi masyarakat dan penghibahan tanah yang bersifat sah
secara hukum islam dan sah secara hukum positif sehingga masyarakat di dalam
kedudukan tersebut banyak kejanggalan yang dialami. Dalam kedudukan
terindikasi kemunculan gejolak saling memperebutkan yang tidak ada habisnya
dengan ini peneliti mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
a. Sebagian masyarakat tidak mengtahui kedudukan tanah hibah yang
yang sah menurut fiqh dan KUH Perdata.
b. Agar masyarakat mengetahui tanah hibah sampai mana kedudukan
tanah hibah yang sah menurut fiqh dan KUH Perdata.
c. Untuk memberitahu masyarakat akta hibah yang sah Di Indonesia .
d. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kedudukan akta hibah
yang menurut fiqh dan KUH Perdata.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, peneliti
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasanya lebih jelas dan
terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini peneniti hanya akan
membahas bagaimana Hukum akta tanah hibah menurut fiqh dan akta tanah hibah
menurut KUH Perdata dengan didasari putusan NO. 132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB
dan apa saja persamaan dan perbedaan antara akta hibah menurut fiqh dan akta
hibah menurut KUH Perdata.
3. Perumusan Masalah
Berangkat dari apa yang dikemukakan di atas, secara spesifik muncul
beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam skirpsi ini, sebagai berikut :
a. Bagaimana kedudukan akta hibah dalam putusan NO. 132 /PDT /G/ 2010
/PN.BB menurut fiqh ?
b. Bagaimana kedudukan akta hibah dalam putusan NO. 132 /PDT /G/ 2010
/PN.BB menurut KUH Perdata?
7
c. Apa saja persamaaan dan perbedaan dari keduanya ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui kedudukan akta hibah menurut fiqh.
b. Untuk mengetahui kedudukan akta tanah hibah menurut KUHPerdata.
c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara akta tanah hibah fiqh
dan KUH Perdata.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat akademis yaitu bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi
sumbangan ilmu pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum,
khususnya hukum akta dan hukum hibah.
b. Manfaat praktis yaitu hasil peneliatian ini diharapkan dapat memberikan
solusi yang tepat bagi pengambil kebijakan bila timbul masalah yang
berkaitan dengan akta hibahdan hibah tanah.
D. Metode Penelitian
Untuk terwujudnya suatu kerangka ilmiah yang terarah dan baik, maka tidak
terlepas dari perencanaan yang matang yaitu mengangkat metodologi yang
digunakan dalam penelitian ini,yaitu:
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan adalah dengan cara
membaca,mengkaji, dan menelaah buku-buku fiqh dan KUHPerdata yang
ada hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu tentang kedudukan
akta tanah hibah menurut fiqh dan KUHPerdata.
2. Sumber data
a. Bahan hukum primer, yaitu perlu di rujuk oleh peniliti hukum adalah
putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan isu hukum yang di
hadapi oleh peneliti, ialah Putusan no. 132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB,
kitab-kitab fiqh dan KUHPerdata.
8
b. Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai
bahan-bahan hukum primer, seperti skripsi, jurnal, buku-buku dan
tesis, dan hibah menurut fiqh dan KUHPerdata.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
dan selanjutnya.13
3. Teori Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library resech), maka
metode pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan
yaknibahan-bahan pustaka mengenai kedudukan tanah hibah dan putusan
no. 132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB.
4. Metode analisa data
Model analisis statistik dapat beragam, analisis dapat menggunakan
model analisis hermeneutik, analisis framing, dan analisis wacana. yaitu
data (dokumen, naskah, atau literatur lainnya) adalah produk dari
dialektika, dinamika sejarah. Yang peneliti pakai komparatif yaitu dengan
membandingkan pendapat fiqh dan KUHPerdata mengenai kedudukan
tanah milik hibah menurut fiqh dan KUHPerdata kemudian ditarik suatu
kesimpulan.
E. Sistematika Penulisan
Untuk dapat memberikan gambaran yang komprehensip, maka penyusunan
hasil penelitian perlu dilakukan secara runtut dan sistematis ke dalam lima bab
sebagai berikut :
BAB I: Membahas pendahuluan yang meliputi: mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah yang menjadi fokus penuntun dalam penelitian,
tujuan penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
13
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., M.H LL.M, Penelitian Hukum, catatan ke-12
(Surabaya. prenadamedia group) h.181.
9
BAB II: Membahas tinjauan pustaka diantaranya: Teori akta hibah yang
berisikan tentang akta hibah menurut fiqh, dan akta hibah dalam KUHPerdata
digambarkan secara luas dan primiktif.
BAB III: Mengenai kedudukan akta hibah putusan no. 132/pdt/g/2010/PN.BB
menurut fiqh 4 mazhab, yang berisikan diantara lain adalah kedudukan akta hibah
menurut imam hambali, kedudukan akta hibah menueurt imam syafi’I,
kedeudukan akta hibah menurut imam maliki, dan kedudukan akta hibah menurut
imam hanafi.
BAB IV: Membahas mengenai hasil penelitian persamaan dan perbedaan akta
hibah presfektif fiqh dan kuh perdata, sesuai yang dijelaskan pada bab pertama
pendahuluan, kemudian yang langsung dianalisis persamaan dan kedudukan akta
hibah presfektif fiqh dan kuh perdata, yaitu kedudukan sengketa tanah hibah
dalam putusan no. 132/pdt/g/2010/PN.BB menurut KUHPerdata, kedudukan akta
hibah menurut KUH Perdata.
BAB V: Penutup, berisi kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan yang
diajukan berdasarkan temuan di lapangan dan rekomendasi dari peneliti.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka dan Konseptual
Dengan mengetahui bahwa hukum fiqh dan KUHP (undang-undang
perdata)mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam menjawab persoalan-
persoalan hukum islam dan hukum perdata di Indonesia, dan ditambah hanya
orang-orang tertentu saja yang mengtahui permasalahan hibah entah permasalah
itu menyangkut akta hibah ataupun hibah yang sah dan bagaimana pandangan
menurut fiqh dan KUHPerdata dalam menyikapi hal ini. menjadi perhatian yang
sangat serius bagi penulis untuk meneliti tentang kedudukan terhadap tanah yang
digadaikan.
Kerangka berpikir akan digambarkan dalam diagram dibawah ini:
14
Akta Hibah
dalam
KUHPerdata
B. Teori Akta Hibah
1. Pengertian Akta Hibah Dalam Fiqh
Kata hibah merupakan rangkaian kata dalam bahasa arab yang berasal dari
kata wahaba-yahabu-hibatan berati memberi atau pemberian.1 Dalam Al-qur’an
terdapat kata-kata yang bermakna hibah seperti dalam firman Allah SWT :
1 Luwis Mahluf, al-munjid fi al-lughah (Beirut: dar al- masyriq, 1973), h. 920.
Kedudukan akta hibah
menurut imam hanafi
Kedukan Sengketa
Tanah Hibah Dalam
Putusan No. NO.132
/PDT /G/ 2010
/PN.BB Menurut
KUH Perdata
SENGKETA
KEDUDUKAN
TANAH HIBAH
PRESPEKTIF FIQH
DAN KUH PERDATA
(PUTUSAN NO. 132
/PDT /G/ 2010
/PN.BB)
Teori-Teori
Tentang Akta
Hibah
KEDUDUKAN
SENGKETA
AKTA HIBAH
PUTUSAN
NO.132 /PDT /G/
2010 /PN.BB
Akta Hibah Dalam
Fiqh
Kedudukan akta
hibah menurut
imam hambali
Persamaan Dan
Perbedaaan Kedudukan
akta hibah Menurut Fiqh
Dan KUH Perdata
Kesimpulan
Kedudukan akta
hibah menurut
imam syafi’i
Kedudukan akta
hibah menurut
imam maliki
15
ب ه ب ر ال ق ل دن ك ه ا ة ب ي ط ة ي ر ذدك ه ل )المعران(اء ع الدعدي س
Artinya : “ya tuhanku,. Berilah aku dari sisih engkau seorang anak yang
baik, sesungguhnya engkau maha mendengar do’a”. ( S. ali Imran :38).
Dalam penggunaanya hibah merupakan bentuk pemberian suka rela
kepada orang lain, baik pemberian itu berupa harta atau bukan. Dalam bidang
hukum fiqh hibah diartikan sebagai aqad yang pokok persoalannya adalah
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tatkala masih hidup tanpa
adanya imbalan. Dan disyara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad
yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain
diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan
hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya
hak kepemilikan maka harta tersebut disebut i’aarah (pinjaman).2
Hibah memliki fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa
memandang ras, agama, kulit dan lain-lain. Hibah ini dapat dijadikan sebagai
solusi dalam permasalahan warisan. Kenyataannya fungsi hibah yang sebenarnya
merupakan suatu pemupukan tali silaturahmi akan tetapi banyak menimbulkan
permasalahan-permasalahan dalam harta yang dihibahkan, sehingga fungsi dari
hibah yang sebenarnya tidak berjalan dengan sesuai.
Hibah dalam fiqh dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan
telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa
harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu
dokumen tertulis. Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang
terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam
tulisan.3
1. Dasar Hukum akta Hibah Dalam Fiqh
2 Sayid Sabiq, fiqh as-sunnah, (Beirut: dar al-Fikr, 1981), jilid 3, h. 388.
3 Mu Al-Adab Al-Mufrud, Beirut, (Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990), h. 180.
16
Dalam Al-quran, kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugrah
Allah kepada utusan-utusan-Nya, doa-doa yang dipajatkan oleh hamba-hamba-
Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat allah yang yang maha memberi
karunia. Untuk itu mencari dasar hukum tentang hibah seperti yang dimaksud
dalam kajian ini secara eksplisit, yang serperti dikatakan Al-qur’an yaitu :
Artinya : “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Yang jelas, Al-qur’an banyak sekali menggunakan istilah yang
konotasinya mengajurkan agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu untuk
mengeluarkan sebagian hartanya untuk keluarga dan untuk orang lain, Dari kata
nafkah, zakat, hibah, sadaqah, wakaf hingga wasiat. Kendati istilah-istilah tersebut
memiliki ciri-ciri khas yang berbeda,4 kesamannya adalah bahwa manusia
diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Maupun dasar hukum
dalam fiqh yang berbentuk hadits :
م ل س الداءدس و عناليبهريرةريضهللاعنهعنالنيبصيلهللاعليهوسملقال:ي ل اتد ن ر ق
ار ج ل ةدار ج ()رواهالبجارياة ش ن س ر ف و ل او ت
Artinya : dari abi hurairah r.a dari Nabi SAW beliau bersabda : hai kaum
muslimat jangan kalian menganggap remeh pemberian tetangga, walaupun hanya
berupa kaki kambing. (HR. bukhari).
4 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Bulan Bintang),
1984, h. 97.
17
Berdasarkan ayat dan hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan
Rasul-Nya mengajurkan umat islam untruk suka menolong sesama, melakukan
infaq, sedekah dan pemberian-pemberian lain termasuk hibah. Karena itu hibah
dapat meneguhkan rasa kecintaan diantara sesame manusia, oleh karena itu islam
mengatar dan memberikan keselamatan secara utuh dengan memiliki ajaran yang
sangat lengkap dalam segala aspek kehidupan.
2. Syarat-Syarat Akta Hibah Dalam Fiqh
Hibah terjadi dengan adanya pihak yang memberi, pihak yang menerima
hibah, dan barang yang dihibahkan. Masing-masing dari nilai semua memiliki
syarat-syarat sebagai berikut5:
a. Shighat hibah, ialah kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang
yang melakukan hibah. Karena hibah semacam akad, maka shigat
hibah terdiri atas ijab dan qabul. Ijab ialah kata-kata yang diucapkan
oleh penghibah, sedangkan qabul diucapkan oleh orang yang
menerima hibah. Malikiyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa
setiap hibah harus ada ijab dan qabulnya, tidak sah suatu hibah tanpa
ada kedua macam shigat hibah itu.
b. Pemberi hibah adalah pemilik sah barang yang dihibahkan yang pada
saat pemberian itu dilakukan berada dalam keadaan sehat, baik sehat
jasmani maupun rohani. Barang yang dapat dihibahkan ialah segala
sesuatu yang dapat dimiliki. Oleh sebab itu, hukum Islam mengatur
persyaratan bagi pemberi hibah yang diantaranya sebagai berikut:
1) Pemberi hibah harus sebagai pemilik barang yang dihibahkan.
2) Dia tidak berada dalam kondisi dibatasi kewenangannya lantaran suatu
sebab yang menjadikan kewenangnnya dibatasi.
3) Dia harus berusia balig, karena anak kecil belum layak untuk
melakukan akad hibah yang sudah ditentukan.6
5 Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Quran Dn
Sunnah,( pustaka imam Asy-Syafi’I, Jakarta, 2007), h, 60
18
Adapun serah terima dalam masalah hibah sama seperti serah terima dalam
perkara jual beli. Apapun yang dinamakan sebagai serah terima dalam pekara jual
beli, maka dinamakan pula sebagai serah terima dalam masalah hibah. Sedangkan
apa yang dinamakan sebagai serah terima jual beli, tidak pula dinamakan serah
terima dalam perkara hibah.
a) Benda yang dihibahkan tersebut mestilah milik yang sempurna dari pihak
penghibah. Ini berati bahwa hibah tidak sah bila sesuatu yang dihibahkan
itu bukan milik sempurna dari pihak penghibah.
b) Barang yang dihibahkan itu sudah ada dalam arti yang sesungguhnya
ketika transaksi hibah dilaksanakan. Tidak sah menghibahkan sesuatu
yang belum wujud.
c) Obyek yang dihibahkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki oleh
agama. Tidaklah dibenarkan menghibahkan sesuatu yang tidak boleh
dimiliki, seperti menghibahkan minuman yang membukkan.
d) Harta yang dihibahkan tersebut mestilah telah terpisah secara jelas dari
harta milik penghibah7.
3. Rukun Akta Hibah Dalam Fiqh
Hibah adalah salah satu bentuk pemberian yang diberikan oleh seseorang
kepada orang lain selama ia masih hidup tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Untuk menjadikan sahnya hibah, maka harus mempunyai rukun-rukun serta
syarat-syarat yang harus terpenuhi.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab
keduanya termasuk akad seperti halnya jual-beli. Selain itu, sebagian ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa qabul dari penerima hibah bukanlah rukun, dengan
demikian dicukupkan dengan adanya ijab dari pemberi. Hal hibah menurut bahasa
6 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wanihayat al-Muqtasid, (Lebanon: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah, 2007), h. 709.
7 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Juz 5.Terjemahan, (Jakarta: Cakarawala Publishing, 2009), h.
553.
19
adalah sekedar pemberian dan qabul hanyalah dampak dari adanya hibah, yakni
pemindahan hak milik.8
Menurut jumhur ulama, rukun hibah ada empat, yaitu:
a. Wahib (pemberi hibah)
Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya. Jumhur
ulama berpendapat, jika orang yang sakit memberikan hibah kemudian ia
meningal maka hibah yang dikeluarkan adalah sepertiga dari harta peninggalan
(tirkah).
b. Mauhub lah (penerima)
Penerima hibah adalah seluruh manusia.
c. Mauhub
Mauhub adalah barang yang dihibahkan
Fiqh berpandangan hibah dinyatakan sah dengan adanya ijab dan qabul
dengan ungkapan apapun yang bermakna penyerahan kepemilikan harta tanpa
imbalan. Yaitu pihak yang bermakna memberikan hibah mengucapkan; aku
hibahkan kepadamu, atau aku memberikan kepadamu, dan ungkapan
semacamnya. Dan pihak yang menerimanya mengucapkan; aku terima. Malik dan
Syafi‟I berpendapat bahwa dengan penerimaan maka hibah sudah dapat
dinyatakan sah.
Sebagian penganut mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup.
Inilah pendapat yang paling sahih. Penganut mazhab Hanabali mengatakan,
“hibah dinyatakan sah dengan adanya pemberian dan penerimaan yang
menunjukkan maksud hibah. Sebab, Rasulullah SAW memberi hadiah dan
menerima hadiah, demikian pula yang dilakukan para sahabat beliau (tanpa
ungkapan ijab dan qabul). Tidak ada riwayat mereka yang menyatakan bahwa
mereka menetapkan syarat ijab dan qabul serta syarat semacamnya.9
8 Abdullah bin Abdurrahman ali bassam, syarah hadits pilihan bukhari-muslim, (Jakarta,
PT darul-falah, 2007). h. 257.
20
Fuqaha sependapat bahwa setiap orang dapat memberikan hibah kepada
orang lain jika barang yang dihibahkan itu sah miliknya. Kemudian fuqaha
berselisih pendapat mengenai hal pemberi hibah itu dalam keadaan sakit, bodoh,
atau pailit. Mengenai orang yang sakit, jumhur fuqaha berpendapat bahwa ia
boleh menghibahkan sepertiga hartanya, karena dipersamakan dengan wasiat.
Sedangkan pembuktian dalam hal hibah, dijelaskan menurut sobhi
mahmasoni, yang bermaksud dengan membuktikan suatu perkara adalah
“mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang
meyakinkan”. Yang dimaksud meyakinkan ialah apa yang menjadi ketetapan atau
keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil itu.
A. Akta Hibah Dalam KUH Perdata
1. Pengertian Akta Hibah Dalam KUH Perdata
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain
yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya
dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga. Biasanya pemberian-
pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak keluaga dan ada juga yang
mempermasalahkan penghibahan tersebut oleh karna karena pada dasarnya
seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta
bendanya kepada siapapun.
Hibah di dalam KUHPerdata diatur dalam Buku Ketiga Bab Kesepuluh
yang dimulai dari pasal 1666 sampai dengan pasal 1693. Menurut pasal 1666
KUHPerdata, hibah dirumuskan sebagai berikut : “hibah adalah suatu perjanjian
dengan mana si penghibah, pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan
tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan
sipenerima hibah yang menerima penyerahan itu”. Pengertian hibah dalam
KUHPerdata tidak terlepas dari pengaruh suatu hukum, sebab konsepsi mengenai
hibah itu sendiri adalah perwujudan-perwujudan yang beranekaragam sifatnya.
9 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat System Transaksi Dalam Fiqh Islam,
(Jakarta: AMZAH, 2010), h. 45.
21
Hibah yang mempunyai arti pemberian yaitu suatu persetujuan pemberian barang
yang didasarkan rasa tanggung jawab antar sesame dan dilaksanakan dengan
penuh keikhlasan tanpa pamrih apapun.10
Penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan Perjanjian
Cuma-Cuma dalam bahasa Belanda “Omniet”. Maksudnya, hanya ada pada
adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu
memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan “di waktu hidupnya” si
Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-
pemberian yang lain yang dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru
akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat
diubah atau ditarik kembali olehnya.
Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek) dinamakan
legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibah ini
adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya tidak dapat ditarik kembali
secara sepihak oleh si penghibah. Dengan demikian Hibah menurut BW
(Burgerlijk Wetboek) ada 2 (dua) macam, yaitu: hibah dan hibah wasiat yang
ketentuan hibah wasiat sering berlaku pula dalam ketentuan penghibah.
2. Dasar Hukum Akta Hibah dalam KUHPerdata
Mengenai Dasar hukum hibah dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur
dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Adapun ketentuan tersebut adalah :
a. Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu
meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai
itu hibahnya adalah batal ”.
10
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke-28 (Jakarta: PT
Pradnya Paramitha,1996), h. 427.
22
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang sudah ada,
bersama suatu barang lain yang akan dikemudian hari, penghibahan mengenai
yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.
b. Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk
menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk dalam
penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai
batal”.
Janji yang diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau
memberikan kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut, tetap
ada padanya karena hanya seseorang pemilik yang dapat menjual atau
memberikan barangnya kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya
bertentangan dengan sifat dan hakekat penghibahan.
Sudah jelas, bahwa perjanjian seperti ini membuat penghibahan batal, yang
terjadi sebenarnya adalah hanya sesuatu pemberian nikmat hasil.
c. Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“Adalah diperbolehkan kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia
tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik
benda-benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak, atau bahwa ia dapat
memberikan nikmat hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang lain, dalam hal
mana harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku kedua
kitab undang-undang ini”.11
Bab kesepuluh dari Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
dimaksud itu adalah bab yang mengatur tentang Hak Pakai Hasil atau Nikmat
Hasil. Sekedar ketentuan-ketentuan itu telah dicabut, yaitu mengenai tanah,
dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), tetapi
ketentuan-ketentuan itu mengenai barang yang bergerak masih berlaku.
11
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta: Kencana),
cet. ke-1, 2006, h. 137.
23
Prosedur (proses) penghibaan harus melalui akta notaris yang asli disimpan
oleh notaris bersangkutan dengan pasal 1682, yaitu :
“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687 dapat, atas
ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya
disimpan oleh notaris itu.”12
Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari
penghibaan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh
penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik diberi kuasa pada orang lain. Pada
Pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan :
“Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat
yang begaimanapun, selain mulai hari penghibaan itu dengan kata-kata yang tegas
telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu
akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima
penghiban-penghiban yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau akan
diberikan kepadanya di kemudian hari. Jika penerimaan tersebut tidak, telah
dilakukan didalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam
suatu akta otentik terkemudian, yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian
itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan,
terhadap orang yang belakangan, terhadap orang yang belakangan di sebut ini,
hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.”13
3. Syarat–Syarat Hibah Dalam KUH Perdata
Demikian syarat-syarat hibah dalam KUHPerdata bisa dikatakan batal dalam
KUHPerdata ataupun bisa diminta pembatalannya sehingga tidak akan terjadi
hibah tersebut. Hibah yang terlanjur terproses dan penerima hibah adalah anak
yang belum dewasa maka dikatagorikan sebagai tidak cakap secara hukum
KUPerdata, dalam hal ini hibah tersebut seharusnya disebutkan siapa pihak yang
ditunjukan sebagai walinya sampai anak itu berusia dewasa atau telah menikah.
12
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (liberty
Yogyakarta : 2006), h, 436.
13 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 439
24
KUH Perdata menyebutkan secara tegas mengenai syarat-syarat hibah, dilihat
dari Pasal 1666 KUH Perdata maka dapat ditarik suatu ketentuan bahwa syarat-
syarat hibah dalam KUH Perdata diantaranya : penghibah, penerima hibah, dan
barang yang dihibahkan.
Dibawah ini akan diuraikan mengenai syarat-syarat hibah dalam
KUHPeredata yang telah disebutkan diatas.
a) Penghibah
Untuk menghibahkan seseorang harus sehat pikirannya, harus sudah dewasa.
Diadakan kekecualian dalam halnya seorang yang belum mencapai usia genap 21
tahun, menikah dan pada kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu
perjanjian perkawinan (Pasal 1677). Orang yang belum mencapai usia 21 tahun
itu diperkenankan membuat perjanjian perkawinan asal ia dibantu oleh orang
tuanya atau orang yang harus memberikan izin kepadanya untuk melangsungkan
perkawinan.
Tentang kecakapan untuk memberikan sesuatu sebagai hibah setiap orang
diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah, kecuali mereka
yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk itu, seperti anak-anak di
bawah umur, orang gila, atau orang yang berada di bawah pengampuan.
Penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk
menjual atau memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk
dalampenghibahan. Penghibahan yang semacam ini, sekedar mengenai barang
tersebut, dianggap sebagai batal (Pasal 1668). Janji yang diminta oleh si
penghibah bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan barangnya
kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut tetap ada padanya
karena hanya seorang pemilik dapat menjual atau memberikan barangnya kepada
orang lain, hal itu dengan sendirinya bertentangan dengan sifat dan hakikat
penghibahan.
b) Penerima Hibah
Untuk menerima suatu hibah, dibolehkan orang itu belum dewasa, tetapi ia
harus diwakili oleh orang tua atau wali. Undang-undang hanya memberikan
25
pembatasan dalam Pasal 1679, yaitu menetapkan bahwa orang yang menerima
hibah itu harus sudah ada (artinya: sudah dilahirkan) pada saat dilakukannya
penghibahan, dengan pula mengindahkan ketentuan Pasal 2 BW, yang berbunyi:
anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan manakala
kepentingan si anak itu menghendakinya.
Ada beberapa orang tertentu yang sama sekali dilarang menerima
penghibahan dari penghibah, yaitu:
1. Orang yang menjadi wali atau pengampun si penghibah.
2. Dokter yang merawat penghibah ketika sakit
3. Notaris yang membuat surat wasiat milik si penghibah.
c) Barang Hibah
Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang-barang yang sudah ada. Jika ia
meliputi barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekedar
mengenai itu hibahnya adalah batal (Pasal 1667). Berdasarkan ketentuan ini maka
jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan suatu barang
lain yang baru akan ada di kemudian hari, penghibahan yang mengenai barang
yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.
Namun demikian, padi yang belum menguning disawah seluas satu hektar dapat
dihibahkan. Karena padi itu merupakan barang yang ada dan merupakan sebagian
harta benda milik pemberi hibah.
Setiap bagian dari harta benda milik pemberi hibah dapat dihibahkan.
Sebaliknya berbuat sesuatu dengan cuma-cuma, seperti: mengetik naskah dengan
disediakan kertas dan mesin tik oleh penulis naskah tanpa diberi hadiah atau
imbalan, berbuat dan tidak berbuat itu tidak merupakan bagian dari harta benda.14
4. Macam-Macam Akta Hibah Menurut KUH Perdata
Dalam KUH Perdata ada beberapa akta hibah yang bisa menentukan hak
tanah hak milik tersebut di KUH perdata ada 3 akta hibah yaitu :
14
Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Mustofa al Baby Halaby wa Auladuh, Cairo, Mesir cetakan
ke -2 1960, h. 249.
26
a. Akta Otentik
Dalam kitab undang-undang hukum perdata pasal 1868 pengertian akta
otentik ialah suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukanm oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.15
Berdasarkan
pasal 1868 dapat disimpulkan akta otentik yakni :
1) Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (verleden) dalam bentuk
menurut hukum.
2) Bahwa akta tersebut dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT)
atau dihadapan pejabat umum.
3) Bahwa akta hibah dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT) atau
dihadapan pejabat umum untuk membuatnya di tempat akta tersebut
dibuat, jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang
membuatnya.
namun di dalam pasal 1869 KUH Perdata menjelaskan bahwa “suatu akta
yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau
karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta
otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagaii tulisan dibawah tangan
jika ia ditanda tangani oleh para pihak”. Yang dimaksud dalam pasal 1869 surat
yang dibuat dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang,
membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti
jika mana ada seorang menanyakannya misalnya panitra pengadilan juru sita dan
sebagainya.
b. Akta Di bawah Tangan
15
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (kencana, Jakarta:
2010), h, 475.
27
Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.16
Ada ketentuan khusus mengenai
akta di bawah tangan, yaitu akta dibawah tangan yang memuat hutang sepihak,
untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis
seluruhnya dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu keterangan
untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau banyaknya apa yang harus dipenuhi,
dengan huruf seleruhnya.
Keterangan ini lebih terkenal dengan “bon pour cent florins”. Bila tidak
demikian, maka akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai permulaan
bukti tertulis (Ps. 4 S 1867 No. 29, 1871 BW, 291 Rbg).
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1874 yang dalam ayat satu
mengatakan : “Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang
ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan
rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai
umum.”17
Menurut ketentuan pasal 1878 KUH Perdata terdapat kekhususan akta
dibawah tangan, yaitu akta harus seluruhnya ditulis tangan si penanda tangan
sendiri, dan setidak-tidanya, selain tanda tangan yang harus ditulis dengan
tanganya si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau
besarnya barang atau uang yang terhutang.apabila ketentuannya tidak dipenuhi,
maka akta tersebut hanya sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.
c. Surat Bukan Akta
Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di dalam HIR maupun
KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas. Walaupun surat-surat yang bukan akta
ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada asasnya tidak dimaksudkan
16
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya
Paramitha,1996). h. 265.
17 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Jakarta: Alumni, 1992), h.
45.
28
sebagai alat pembuktian di kemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang
demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian.
Yang dimaksudkan sebagai petunjuk ke arah pembuktian disini adalah bahwa
surat-surat itu dapat dipakai sebagai bukti tambahan ataupun dapat pula
dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya. Jadi dengan
demikian surat bukan akta untuk supaya dapat mempunyai kekuatan pembuktian,
sepenuhnya bergantung pada penilaian hakim sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1881 (2) KUH Perdata
Pasal 1881 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut :
“Register-register dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan
pembuktian untuk keuntungan si pembuatnya; adalah register-register dan surat-
surat itu merupakan pembuktian terhadap si pembuatnya”
1) di dalam segala hal di mana surat-surat itu menyebutkan dengan tegas
tentang suatu pembayaran yang telah diterima.
2) apabila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang
telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam
sesuatu alasan hak bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu
menyebutkan suatu perikatan.
Dari itu dapat peneliti simpulkan bahwa walaupun surat-surat yang bukan
akta merupakan alat pembuktian yang bebas nilai kekuatan buktinya sebagaimana
telah diuraikan diatas, tetapi ada juga surat-surat yang bukan akta yang
mempunyai kekuatan bukti yang lengkap, antara lain surat-surat yang ditentukan
dalam pasal 1881 KUH Perdata.
Akta hibah menurut KUH Perdata alat bukti tertulis atau surat tercantum
dalam pasal 138,165,167 HIR/Pasal 164, 285-305 R.bg dan pasal 1867-1894 BW
serta Pasal 138-147 RV. Pada asasnya di dalam persoalan perdata (hibah), alat
bukti yang terbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau
29
merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat bukti
lainnya.18
Dengan demikian, Alat bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama.
Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama
dibandingkan dengan alat bukti lainnya sedangkan dikatakan utama oleh karena
dalam hukum perdata (hibah) yang dicari adalah kebenaran formal. Maka alat
bukti surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat
pembuktian utama.
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Sebelum sudah ada penelitian yang juga melakukan penelitian skripsi ini
terkait masalah peranan PPAT dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, yakni :
Pertama, Skiripsi yang ditulis oleh arifatul khulwa, jurusan Al-Ahwalal Al-
Syahsiyah, Fakultas Syariah dengan judul “Studi Komparatif Terhadap Keabsahan
Akta Hibah Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” menjelaskan tentang
keabsahan akta hibah menurut hukum islam dan hukum positif temuan skripsi
beliau yaitu akta hibah menurut hukum islam dan positif dan ada juga penjelasan
tentang penangan keabsahan akta hibah menurut notaris dan PPAT.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Nuril Syafrida umami dengan judul ”kajian
yuridis pembatalan hibah oleh pemberi hibah menurut KUH Perdata” yang
menjelaskan tentang bagaimana mekanisme yuridis pembatalan hibah oleh
pemberi hibah menurut KUH Perdata.
Yang membedakan penulisan skripsi peneliti dengan skripsi lainnya adalah
permasalahan yang dihadapi oleh kedudukan akta hibah, setiap permasalahan
tentu saja memiliki problematika yang berbeda walaupun kasusnya sama,
contohnya seperti sampai dimana kedudukan akta hibah yang saya ingin teliti
menurut fiqh dan KUHPerdata namun akar permasalahannya bisa berbeda. Oleh
karena itu, hambatanya pun berbeda dan tentu saja permasalahan serta kebijakan
yang penghibahan pun berbeda. Hal ini juga pasti akan mempengaruhi
pendekatan dan jenis penelitiannya juga berbeda.
18
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata , h. 36.
28
BAB III
KEDUDUKAN AKTA HIBAH DALAM PUTUSAN NO. 132/PDT /G/2010
/PN.BB MENURUT EMPAT MAZHAB FIQH
A. Duduk Perkara
Putusan, penggugat telah mengajukan surat kuasa khusus ke Pengadilan
Negri Bale Bandung pada tanggal 13 September 2010, diwakili secara sah oleh
Cucu Bin Mad-Dapi dan telah memilih pula domisili hukum kuasanya L. Alfies
Sihombing, SH.MH, advokat dari “LAW FIRM ALFIES SIHOMBING &
PARTNES yang beralamat di jalan cicagra raya No. 61 buah-batu, Kota Bandung.
Dalam perkara ini penggugat yang bernama Cucu bin Mad-dapi berumur 93 tahun
bertempat tinggal di Kampung Andir RT. 04.RW. 04, Desa Ciburuy Kecamatan
Padalarang, Kabupaten Bandung.
Cucu bin Mad-Dapi adalah ahli waris dan yang mewakili para ahli waris,
keturunan dari bapak Djaya bin Murta (almarhum) dengan ibu Emi (almarhum)
yang berkaitan selaku pewaris yang sah dari tuan Karta Obong bin Mad Dasim
(almarhum).
Para Penggugat melawan para tergugat yang terdiri dari 5 orang tergugat.
Pertama, ibu Susan Sugiono pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di jalan raya
cibabat No. 421 RT. 01 RW. 11 Desa Cigugur, Cibabat Kota Cimahi. Kedua,
bapak H. Sadeli yang bertempat tinggal di Kampung Situ Tengah RT 01 RW
XIV Padalarang, Kabupaten Bandung Barat dan Jalan Lombok No. 24 RT. 06
RW 01, Kota Bandung. Ketiga, Dr. Soedigdo Pringgoprawiro yang beralamat di
Jalan Bukit Dago Utara I No. 15, Kota Bandung dan beralamat di Jalan Sukahaji
baru No. 58 Kota Bandung. Keempat Dr. Soekeni Soedigdo pekerjaan PNS
beralamat di jalan Bukit Dago Utara I No. 15, Kota Bandung, Kelima H. Apoen
Gapoer pekerjaan wiraswasta yang beralamat di jalan Kopo, Babakan Ciparay,
Kota Bandung.
Penggugat dengan surat gugatannya pada tanggal 14 September 2010 dan
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bale Bandung dengan nomor
29
register perkara; 132/Pdt.G/2010 pada tanggal 17 September 2010, telah
menggugat para Tergugat.
Bahwa, sumber hukum tanah di Indonesia yang lebih indentik dan di
kenal pada saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Maka status tanah dan
riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan kedudukan tanah
baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status tanah
atau riwayat tanah pada prinsipnya menjelaskan dan mencatat riwayat tanah girik
milik adat atau sejenisnya pada masa itu. Oleh karenanya tanah adat adalah tanah
yang dikuasai oleh masyarakat adat setempat yang dasar hak kepemilikannya atas
pengakuan, surat pernyataan, saksi-saksi, surat jual-beli, hibah, pertukaran, gadai,
yakni bedasarkan pada Peraturan Menteri Agrarian Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor: 3 tahun 1997, dan atas penguasaan sebidang tanah yang hidup
dalam masyrakat adat pada masa lampau dan masa kini adalah sah bedasarkan
ketentuan hukum Indonesia, walaupun ada yang tidak mempunyai bukti-bukti
kepemilikan secara otentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas
pengakuan (vide ketentuan pasal 60 ayat (3) PMA/KBPN No. 3 tahun 1997
tersebut). Juga menurut hukum adat atas pangakuan serta adanya saksi-saksi yang
menegaskan kepemilikan seseorang atas tanah adat sebagai hak milik yang
dikuasai seseorang dan sekelempok ahli waris adalah sah sebagai bukti.
Berkaitan dengan perkara yang sedang diproses di Pengadilan ini maka
sekitar tahun 1930 objek perkara telah ada dan sebelumnya sudah dikenal dengan
“Situ Tengah” atau danau tempat penampungan air serta tempat budidaya ikan
yang dimiliki oleh Haji Sanusi (almarhum), Semasa hidupnya ia mempunyai
seorang teman bernama Karta Obong (almarhum) dan masih mempunyai pertalian
kerabat, pada saat Pak Karta Obong itu sangat suka menolong orang-orang yang
sakit karena itu warga setempat menyebutnya sebagai “Tabib”.
Melihat keadaan ini Haji Sanusi berkeinginan menggankat harkat dan
martabat Karta Obong yang diminta oleh masyarakat setempat untuk dijadikan
Kepala Kelurahan Desa Padalarang, kemudian ia terpilih menjadi kepala Desa
30
Padalarang. Pada tahun 1950 (almarhum) Karta Obong mulai menjabat sebagai
Kepala Desa Padalarang. Akhirnya Haji Sanusi sesuai dengan sumpahnya
memberikan tanah kepada Karta Obong Tanah tersebut terletak di Padalarang,
yang dikenal saat ini dengan blok Situ Tengah Haji Sanusi membuat surat hibah
dalam bentuk tertulis disaksikan oleh para saksi-saksi pada tanggal 10 Juli 1950
Batas-batas sebidang tanah sebagai berikut :
Sebelah Timur : Tanah D. Tasik
Sebelah Utara : Jalan Provinsi
Sebelah Barat : D. Eigendom + H. Sanusi
Sebelah Selatan : Erpah Eigendom
Sekarang tanah kosong (objek perkara ) tersebut telah berubah batas-
batasnya, yaitu :
- Sebelah Utara : Jalan Raya Propinsi
- Sebelah Timur : POM BENSIN ( E. GERNING )
- Sebelah Barat : Tanah Ipin dan Susan Sugiono
- Sebelah Selatan : Selokan ( Irigasi Kecil )
Penyerahan tanah tersebut sudah terjadi dan hanya dicatat di kelurahan
tertanggal 27 Maret 1961 di Bandung penyerahan tanah tersebut dalam bentuk
surat hibah yang ditulis tangan di hadapan saksi-saksi. Oleh karenanya
berdasarkan ketentuan dan bukti surat yang telah dimiliki Karta Obong saat itu
maka kepemilikan tanah Situ Tengah telah beralih kepemilikan dari Haji Sanusi
ke bapak Karta Obong berdasarkan surat hibah yang dibuat di kelurahan.
Berdasarkan histori (asal usul) keberadaan objek perkara yang dimaksud di
atas adalah semula bekas hak milik Haji Sanusi Status. tanah tersebut adalah girik
31
yang dihibahkan kepada Karta Obong dan Penggugat ini adalah istri dari bapak
Karta Obong. Dengan meninggalnya Karta Obong jatuhlah hak tanah hibah
tersebut kepada ibu Emi sebagai penggugat selaku istri dari bapak Obong
kemudian tanah tersebut tidak dipergunakan oleh ibu Emi sendiri kemudian oleh
si penggugat I selaku anak angkat dari ibu Emi dan bapak Karta Obong
didaftarkan akta tanah hibah tersebut di notaris Naouzar yang membuat copie-
collatinne pada tanggal 27 Febuari 1973 lalu dipergunakanlah tanah tersebut.
Melihat kecelahan tanah tersebut didaftarkan oleh tergugat I dengan atas nama
tergugat I.
Selanjutnya tergugat I menggunakannya untuk bercocok tanam sehingga
menghasilkan ekonomi yang sangat besar, Kemudian tergugat II, tergugat III dan
tergugat IV yang mengurusi usaha tergugat I. Tergugat I mendaftarkan tanah
hibah tersebut tanpa memberitahu penggugat I maka secara dasar hukum tanah
hibah tersebut sah milik tergugat I.
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan No.132/PDT/G/2010 /PN.BB
petitum No. 1 dimana para Penggugat memohon kepada Majelis Hakim
untuk mengabulkan seluruh gugatan para Penggugat, berdasarkan fakta-fakta yang
terungkap di persidangan dan bukti Surat-surat dan keterangan saksi-saksi dari
Penggugat Majelis Hakim menimbang tidak ada alasan yang cukup secara hukum,
namun petitum point 2 Majelis Hakim memiliki cukup alasan untuk dapat
mengabulkan petitum kedua tersebut. Selanjutnya mengenai petitum point 3 dan
petitum point 4 adalah saling berkaitan yaitu masih tentang perbuatan perampasan
objek perkara sebidang tanah yang dilakukan oleh para Tergugat. Maka terhadap
petitium point No. 3 dan No. 4 cukup alasan untuk dikabulkan. Untuk itu para
Penggugat untuk itu para penggugat di perintahkan untuknya mengembalikan
obyek tanah tersebut kepada penggugat Oleh karena para Tergugat berada
32
dipihak yang kalah maka segala biaya yang timbul akibat perkara ini dibebankan
kepada para Tergugat Mengingat Pasal-pasal dan Undang-undang yang
bersangkutan.
Dalam putusan No.132/PDT/G/2010/PN.BB hakim mempertimbangkan
Ketentuan pasal 8 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Dan Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Yang
mana menyebutkan bahwa pemberi hak tanggungan adalah perseorangan atau
berbadan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Sehingga dengan
demikian maka pembebanan hak tanggungan Atas tanah obyek sengketa sebagai
jaminan pelunasan hutang Penggugat kepada Tergugat I harus dinyatakan batal
demi hukum karna telah merampas hak penggugat Dan akta pembebanan hak
tanggungan berikut sertifikat hak Tanggungannya karna didalam surat mempunyai
kejanggalan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum .
Bahwa yang menjadi persengketaan antara kedua belah pihak adalah
mengenai tanah hibah yang berbentuk tanah sawah total luasnya + 345 m.
Sepetak tanah sawah seluas +345 m yang terletak di Situ Tengah Padalarang,
Kabupaten Bandung Barat dengan batasannya sebagai berikut :
Sebelah Timur : Tanah D. Tasik
Sebelah Utara : Jalan provinsi
Sebelah Barat : D. Eigendom + H. Sanusi
Sebelah Selatan : Erpah Eigendom
sekarang tanah kosong (objek perkara ) Tersebut telah berubah batas-
batasnya, yaitu :
- Sebelah Utara : Jalan Raya Propinsi
- Sebelah Timur : POM BENSIN ( E. GERNING )
33
- Sebelah Barat : Tanah Ipin dan Susan Sugiono
- Sebelah Selatan : Selokan ( Irigasi Kecil )
Adalah milik sah Penggugat berdasarkan hibah 1961;
Menimbang, bahwa terhadap gugutan penggugat tersebut di atas, Para
Penggugat menolaknya dengan alasan:
Bahwa, benar objek perkara milik Penggugat yang mendapatkan hibah
dari H. Sanusi. Akan tetapi objek sengketa dirampas oleh Tergugat, karna telah
diam-diam mendaftarkan tanah hibah tersebut kepada notaris Naouzar. oleh
karena pokok sengketa dalam perkara adalah menyangkut masalah sebidang tanah
maka untuk mengetahui letak sengketanya adalah masalah kedudukan tanah hibah
yang dipegang oleh Penggugat dengan yang dipegang oleh tergugat, karna dari
kedua belah pihak mempunyai surat tanah hibah tersebut.
Bahwa yang menjadi pokok masalah atau sengketa yang harus dibuktikan
oleh kedua belah pihak yaitu tentang siapakah pemilik tanah objek sengketa yang
sah secara hukum. Oleh karena itu Majlis Hakim untuk menentukan sikap
mengenai pembuktian dari kedua belah dan masing surat yang dipegang oleh
kedua belah pihak yang bersengketa dan dalil-dalil manakah yang harus dianggap
terbukti, yaitu dengan cara menilai kualitas dari masing-masing alat bukti tersebut
yang di ajukan di persidangan. Untuk membuktikan dan menguatkan dalil-dalil
gugatannya penggugat di persidangan mengajukan bukti-bukti terlulis berupa
surat hibah yang dibuat di kelurahan Padalarang. Disamping itu selain bukti surat
hibah tersebut penggugat juga telah mangajukan 3 (tiga) orang saksi. Dan untuk
membuktikan dan menguatkan dalil-dalil sangkalannya Tergugat di persidangan
telah mengajukan bukti-bukti tertulis yaitu berupa surat hibah yang dibuat oleh
notaris Naouzar sebagai Akta Hibah No. 593/12/III/1981 yang otentik.
Demikian juga para Tergugat selain mengajukan bukti tertulis dan otentik
juga mengajukan 2 (dua) orang saksi. Selanjutnya Majelis akan
mempertimbangkan bukti-bukti tertulis (surat) yang diajukan oleh para Penggugat
34
di persidangan. Mengenai bukti Penggugat adalah berupa Surat akta hibah yang
dibuat di Kelurahan Padalarang pada tanggal 27 Maret 1961.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persersidangan setelah Majelis
Hakim memperhatikan bukti tersebut di atas, ternyata benar bahwa pada tanggal
27 Maret 1961 penggugat telah membuat akta hibah yang dibuat di kantor
Kelurahan Desa Padalarang Kecamatan Bandung Timur, untuk menyelesaikan
tanah yang dihibahkan oleh H. Sanusi kepada suaminya yaitu Karta Obong.
Disamping itu berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan tenyata
benar surat hibah tersebut dibuat tertulis dan sah. Selanjutnya Majelis akan
mempertimbangkan bukti tergugat yaitu berupa Surat Keterangan Hibah yang di
buat di kelurahan antara H. Sanusi dengan Karta Obong tertanggal 12 Februari
1972.
Dengan membuat surat hibah tersebut artinya tergugat mempunyai surah
hibah tersebut, Namun berbeda dengan penggugat karna karna surat hibah yang
dimiliki tergugat dibuat oleh notaris dengan ini akta hibah yang dipegang tergugat
adalah bukti yang mempunyai kepastian hukum. Di dalam surat keterangan hibah
yang dimiliki oleh tergugat diketahui oleh tergugat I, II, III, IV, V dan juga notaris
Naouzar, ditandatangani oleh yang menghibahkan yaitu H. Sanusi. Selanjutnya
Majelis akan mempertimbangkan bukti tergugat yaitu berupa Akta Hibah No.
593/12/III/1981.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan setelah
Mejelis Hakim memperhatikan bukti tergugat tersebut di atas ternyata pada hari
Sabtu tanggal 3 Maret 1972 telah datang menghadap kepada Drs. Yusri sebagai
Camat Padalarang pada saat itu untuk menggantikan nama penerima hibah yang
dahulu atas nama ibu Emi menjadi nama tergugat I. Sebelumnya sudah ada
peralihan tanpa sepengtahuan dari pemilik sah tanah tersebut sebelum tergugat
membuat akta hibah itu di notaris.
Setelah mejelis hakim memperhatikan bahwa tergugat II, III, IV, V telah
membantu tergugat I dalam proses pembuatan akta hibah yang dibuat notaris.
35
Kemudian majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat telah dapat
membuktikan objek sengketa berupa tanah seluas + 345 M2 (tiga ratus empat
puluh lima meter persegi) yang terletek di Desa Padalarang Kecamatan Bandung
Timur adalah milik sah Penggugat yang diperoleh dengan cara menerima Hibah
dari suaminya yaitu Karta Obong yang mendapat hibah dari H. Sanusi pada tahun
1971 dengan surat hibah yang dibuat di kelurahan pada tahun 1971, Namun
dilihat dari hukum di Indonesia penggugat belum mempunyai kepastian hukum
atas dasar bukti yang dikeluarkan oleh penggugat. Oleh karena telah terbukti
objek sengketa tersebut adalah sah milik para Penggugat dan telah terbukti pula
bahwa penguasaan objek sengketa para Tergugat melawan hukum karena sudah
merampas akta hibah yang dimiliki penggugat dan menggati nama pemilik yang
sah tanpa sepengtahuanya.
Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan petitum-petitum dari
dari Penggugat satu demi satu adalah sebagai berikut.
Terhadap petitum No. 1 dimana para Penggugat memohon kepada Majelis
Hakim untuk mengabulkan seluruh gugatan para Penggugat, berdasarkan fakta-
fakta yang terungkap di persidangan dan bukti Surat-surat dan keterangan saksi-
saksi dari Penggugat Majelis Hakim menimbang tidak ada alasan yang cukup
secara hukum, untuk dapat mengabulkan gugatan para Penggugat untuk
seluruhnya, karena tidak didukung oleh fakta hukum dan kepatian hukum yang
cukup, Maka terhadap Petitum Penggugat pada point 1 harus dinyatakan ditolak.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan
saksi, Penggugat, dan bukti dari Penggugat, yaitu Akta Hibah yang dibuat di
Keluarahan Padalarang Kecamatan Bandung Timur secara tertulis pada tanggal
27 Maret 1961 telah ternyata dimana pada tanggal 27 Maret 1961 H. Sanusi telah
menghibahkan objek perkara tanah seluas + 345 M2 (tiga ratus empat puluh lima
meter persegi) yang terletek di Desa Padalarang Kecamatan Bandung Timur,
kepada Penggugat sehingga tanah tersebut adalah milik sah Penggugat (karta
obong) yang diperoleh dengan cara menerima hibah dari H. Sanusi denga surat
36
hibah yang dibuat secara tertulis oleh kelurahan Padalarang Kecamatan Bandung
Timur, Maka dari itu terhadap petitum point 2 Majelis Hakim memiliki cukup
alasan untuk dapat mengabulkan petitum kedua tersebut. Selanjutnya mengenai
petitum point 3 dan petitium point 4 adalah saling berkaitan yaitu masih tentang
perbuatan perampasan objek perkara sebidang tanah yang dilakukan oleh para
Tergugat. Maka terhadap petitium point No. 3 dan No. 4 cukup alasan untuk
dikabulkan. Untuk itu para Penggugat untuk itu para penggugat diperintahkan
untuknya mengembalikan obyek tanah tersebut kepada penggugat Oleh karena
para Tergugat berada dipihak yang kalah maka segala biaya yang timbul akibat
perkara ini dibebankan kepada para Tergugat Mengingat Pasal-pasal dan Undang-
undang yang bersangkutan.
C. Amar Putusan Hakim Pengadilan Bandung No.132/PDT/G/2010 /PN.BB
Dalam putusan Pengadilan Negri Bandung No.132/PDT/G/2010/PN.BB,
menghasilkan beberapa point, yaitu:
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, karna dengan hasil yang
dipaparkan di duduk perkara bahwa perbuatan hukum Hibah pada tahun 1971
yang telah dilakukan oleh H. Sanusi kepada Penggugat yaitu Karta Obong berupa
tanah objek sengketa adalah sah namun tidak ada kepastian hukumnya karena
hanya dibuat di kelurahan secara tertulis.
Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah dari tanah objek sengketa
berdasarkan Hibah pada tahun 1971 yaitu tanah seluas + 345 M2 (tiga ratus empat
puluh lima meter persegi) yang terletak di Desa padalarang kecamatan bandung
timur dengan Batas-batas sebagai berikut :
Sebelah timur : Tanah D. tasik
Sebelah Utara : Jalan provinsi
Sebelah Barat : D. Eigendom + H. Sanusi
Sebelah Selatan : Erpah Eigendom
37
Dan saat keadaan sekarang tanah kosong (objek perkara ) Tersebut telah
berubah batas-batasnya, yaitu :
- Sebelah Utara : Jalan Raya Propins i
- Sebelah Timur : POM BENSIN ( E. GERNING )
- Sebelah Barat : Tanah Ipin dan Susan Sugiono
- Sebelah Selatan : Selokan ( Iriga si Keci l )
Menyatakan tindakan para Tergugat yang merampas tanah objek sengketa
dari para Penggugat dengan cara ancaman dan kekerasan adalah perbuatan
melawan hukum, Karna di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
diatur dengan jelas pada BAB XII tentang pemalsuan surat pada Pasal 263 yang
berbunyi “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak,perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Diancam
dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau
yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian”.Menghukum para Tergugat agar mengembalikan tanah sengketa kepada
para Tergugat secara langsung tanpa ikatan apapun dengan pihak lain.
Menolak gugatan penggugat untuk selebihnya yang menginginkan akta hibah
yang di pegang oleh Tergugat yang sudah jelas kepastian hukumnya
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawatan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Bale Bandung pada hari Selasa, Tanggal 14 September 2010 dan terdaftar
di Kepaniteraan dengan nomor register perkara ; 132 /Pd t .G/ 2010 tertanggal 17
September 2010,, putusan mana dibacakan pada hari Selasa, Tanggal 14
September 2010, oleh Hakim Ketua Majelis dalam persidangan yang terbuka
38
untuk umum dengan didampingi oleh Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri
Tersebut, dihadiri oleh kuasa Penggugat, dan Tergugat II, III tanpa dihadiri oleh
Tergugat I dan IV1
D. Kedudukan Akta hibah dalam Putusan No. 132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB
menurut 4 mazhab
Dalam hukum Islam, hibah memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda,
akan tetapi yang paling signifikan adalah penegertian umum tentang hibah. Hibah
adalah ungkapan tentang pengalihan hak kepemilikan atas sesuatu tanpa adanya
ganti atau imbalan sebagai pemberian dari seseorang kepada orang lain. Hibah
dilakukan juga bukan karena untuk mengharap pahala dari Allah. Pemberian yang
dilakukan karena mengharapkan pahala dari Allah dinamakan sedekah. Hibah
dianggap sebagai pengelolaan harta yang dapat menguatkan kekerabatan dan
dapat merekatkan kasih sayang diantara manusia. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan pendapat antara golongan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam.
Kata hibah dalam bentuk masdar berasal dari kata wahaba artinya memberi2,
jika subyeknya Allah berarti memberi karunia, atau menganugrahi (Q.S. Ali
Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53). Dalam pengertian istilah, hibah dapat
diartikan sebagai pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (Aqad) tanpa
mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih
hidup.3Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian yang
dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa
mengharapkan balasan apapun.4
1 Putusan Pengadilan Negri Bale Bandung No.132/PDT /G/2010 /PN.BB. h. 25.
2A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997), Cet. 14, h.
1584.
3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
Cet. III, h. 466.
4 Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve,
1996, h. 540.
39
Pengertian hibah secara umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu
hidup. Arti dari “memberikan milik” dalam pengertian di atas membedakan suatu
uluran tangan yang tiada memberikan milik, seperti pinjaman atau jamuan.
Selanjutnya arti dari “secara sadar” adalah membedakan pemberian milik secara
terpaksa, seperti milik yang dicapai melalui jual beli. Sewaktu hidup mengartikan
bahwa membedakannya dengan wasiat. Jadi orang yang dengan sadar
memberikan hartanya dengan tanpa imbalan yang dilakukan sewaktu hidup, maka
ia disebut mustahadiq (orang yang bershadaqoh), muhdi (orang yang memberikan
hadiah), dan muhib (orang yang memberikan hibah). Kesemuanya itu dilakukan
pada saat pemberi tersebut masih hidup.
Dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan pemberian harta milik
seseorang kepada orang lain dimasa dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila
seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi
tidak diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i‟aarah
(pinjaman).5
Terdapat juga beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para ulama
diantaranya :
Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah.
menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab
Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan
imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik
sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut
hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut
pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama mazhab
Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pemilikan harta dari
seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh
5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (Terjemah), Jakarta:Pena Pundi Aksara, 1997, Cet
9, h. 167.
40
melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun
tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan.6
Menurut Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy hibah ialah
mengalihkan hak milik kepada orang lain secara cuma-cuma tanpa adanya
bayaran.
Menurut As Shan’ani dalam kitab Subulussalam yang diterjemahkan oleh Abu
Bakar Muhammad mengatakan bahwa hibah adalah pemilikan harta dengan akad
tanpa mengharapkan pengganti tertentu pada masa hidup.7
Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, hibah adalah
memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya
dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
Menurut M. Ali Hasan hibah adalah pemberian atau hadiah suatu pemberian
yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa
mengharapkan balasan apa pun.8
Pada dasarnya pemberian itu haram untuk diminta kembali, baik hadiah,
sadaqah, hibah, maupun wasiat. Oleh karena itu para ulama mengharuskan
adanya ijab kabul antara si pemberi hibah dengan si penerima hibah dan juga
saksinya agar tidak terjadi kesalahpahaman antara satu sama lain dikemudian hari,
maka dari itu meminta barang yang sudah dihadiahkan dianggap sebagai
perbuatan yang sangat buruk.9 Dalam sebuah hadits, orang yang menarik kembali
pemberiannya, baik hibah maupun sedekah, diilustrasikan dengan anjing yang
mejilati muntahannya, sebagaimana dalam hadits berikut ini:
6 Abdul Al-Rahman Al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah,
Terjemahan : Muhammad Sayyid Sahiq Beirut: Dar al-Fikr,t.th, Juz 3, h. 289.
7 Abu Bakar Muhammad, Subulussalam (Terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas , 1995, h. 319.
8 M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003, h, 76.
9 Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam,
Bandung: Al Ma‟arif, 1985, h. 218.
41
لكب يلئ ث يعود ف كيئه. عن ابن عباس ريض هللا عهنام كال: كال النيب صىل هللا عليه وسمل العائد ف هبته ك
متفق عليه
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra dia berkata: Nabi Saw bersabda: “Orang yang
menarik kembali hibahnya seperti anjing yang muntah kemudian anjing tersebut
menjilati muntahannya”. (Muttafaq „Alaih)
Sebab dari hadits yang terdapat di atas hibah dianggap sah melalui ijab qabul,
hibah telah dinilai sempurna dengan adanya penerimaan dengan seizin pemberi
hibah atau pihak pemberi hibah telah menyerahkan barang yang diberikan kepada
penerima hibah, maka hibah yang demikian ini telah berlangsung.
Namun, selain sisi spiritual, yaitu dapat meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan seseorang serta memiliki nilai sosial yang mulia, di sisi lain hibah juga
dapat menumbuhkan rasa iri, bahkan ada pula yang menimbulkan perpecahan di
antara mereka yang menerima hibah, terutama dalam hibah terhadap keluarga atau
anak-anak. Artinya, hibah yang semula memiliki tujuan mulia sebagai sarana
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta kepedulian sosial dapat berubah
menjadi bencana dalam keluarga.
Menurut fiqh, akta hibah adalah ungkapan tentang pengalihan hak
kepemilikan atas sesuatu tanpa adanya ganti rugi atau imbalan sebagai suatu
pemberian dari seseorang kepada orang lain dan suatu akta hibah itu sendiri agar
suatu ketetapan hibah yang jelas agar nantinya tidak ada kesapahaman bebagai
pihak dimasa yang akan datang.
Hibah disertai ijab qabul agar akta hibah terbit. akta hibah menurut fiqh sangat
penting karena berfungsi membuat akta hibah berkekuatan hukum agar si pemberi
hibah dan si penerima juga jelas dengan adanya akta hibah. Pemberian yang
dilakukan karena mengharapkan pahala dari Allah dinamakan sedekah. Hibah
42
dianggap sebagai pengelolaan harta yang dapat menguatkan kekerabatan dan
dapat merekatkan kasih sayang di antara manusia.10
Ayat tersebut mengandung beberapa ketentuan-ketentuan pokok tentang
kenotariatan, antara lain:
Kalimat “hai orang-orang yang beriman” ( يا أيها الذين آمنىا) menegaskan
bahwa subyek hukum yang dibebani perintah di sini adalah orang-orang beriman.
Kalimat “maka catatkanlah” ( تبىه mengandung perintah yang sifatnya anjuran (فاك
kepada para pihak untuk mencatat/menulis perjanjian utang-piutang. Jika
10
Abd. Shomad. Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 356.
43
dikaitkan dengan kalimat setelahnya, yakni “ ل تب بي نكم كاتب بال عد mengandung ”ول يك
maksud bahwa hendaknya perjanjian dibuat secara tertulis di hadapan Notaris.
Kalimat “hendaklah dia menulis” ( تبول يك ) mengandung perintah yang sifatnya
anjuran bagi juru tulis ( كاتب), dalam hal ini adalah Notaris untuk menulis
perjanjian, dan isi perjanjian tersebut diwajibkan adil ( ل مخاطب/Mukhatab (بال عد
(subyek hukum yang dikenai perintah/larangan), yakni orang yang dibebani
hukum (disebut juga mukallaf) dalam ayat ini adalah orang-orang yang beriman.
Mukallaf terdiri dari manusia kodrati dan badan hukum (syirkah/persekutuan).
Jadi, ayat ini disamping memerintahkan manusia kodrati yang beriman, juga
memerintahkan badan hukum
Begitu juga Notaris tidak boleh menolak untuk membuatkan akta ( كاتة يؤب ول
يكتة أن ) kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk menolaknya.
Keharusan adanya wali atau pengampu ( تانعدل ونيه ) bagi orang yang tidak cakap
( ضعيفا أو سفيها ) melakukan perbuatan hukum. Kalimat “dan persaksikanlah dengan
dua orang laki-laki” ( جانكم مه شهيديه واستشهدوا ر ) mengandung ketentuan bahwa
dalam melaksanakan akad/transaksi dihadiri oleh 2 (dua) saksi laki-laki atau 1
(satu) saksi laki-laki dan 2 (dua) saksi perempuan وامزأتان رجم
Jika melihat ayat tersebut, maka dapat kita pahami bahwa ayat tersebut
berkaitan dengan transaksi hutang piutang. Pada saat itu, karena adanya
pembatasan peran dalam wilayah domestik, kaum perempuan tidak
berpengalaman dan terbiasa dengan urusan hutang piutang. Dengan demikian
wajar jika kemudian kaum perempuan dianggap lemah daya ingatnya untuk
menjadi saksi dalam masalah-masalah yang tidak biasa ditanganinya. Oleh karena
itu, disyaratkan kesaksian dua orang perempuan, sehingga jika satu di antara
keduanya lupa maka yang lain akan mengingatkannya ( إحداهما فتذكز إحداهما تضم أن
Berkaitan dengan perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, ada dua .(األخزى
teori besar yaitu, nature dan nurture. Teori pertama, nature, mengatakan bahwa
perbedaan peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis.
Anatomi biologi laki-laki dengan sederet perbedaannya dengan perempuan
menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini. Teori
44
kedua, nurture, mengatakan bahwa perbedaan peran sosial laki-laki dan
perempuan lebih ditentukan oleh faktor budaya. Menurut teori ini, pembagian
peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faktor
biologis, tetapi sesungguhnya dikonstruksikan oleh perempuan lainya.
Anjuran adanya saksi dalam perjanjian jual beli, serta penegasan bahwa
Notaris dan saksi bukan merupakan pihak dalam akad ( شهيد ول كاتة يضآر ول ). Hal
ini sejalan dengan Pasal 38 ayat (3) huruf c UUJN bahwa isi akta merupakan
kehendak atau keinginan para penghadap sendiri, bukan keinginan atau kehendak
Notaris, tapi Notaris hanya membingkainya/memformulasikannya dalam bentuk
akta Notaris sesuai UUJN. Dengan demikian Notaris tidak dapat digugat apabila
debitur wanprestasi, atau apabila para pihak mengatakan yang tidak sebenarnya,
sehingga menjadi berkata tidak benar di hadapan Notaris, karena Notaris bukan
merupakan pihak dalam akta. Lagi pula, wanprestasi atau perkataan yang tidak
benar tersebut disebabkan oleh kelalaian/kesalahan para pihak sendiri, bukan
karena kelalaian/kesalahan Notaris.
Di samping memuat aturan tentang ibadah, Al-Qur’an juga mengatur perihal
muamalah11
dalam bentuk akad. Berbeda dengan ibadah yang sifatnya tertutup,
sifat dari muamalah ini adalah terbuka untuk dikembangkan, sebagai perwujudan
dari asas “ تحزيمها عهى دنيم يدل أن إل اإلتاحة انمعامالت فى األصم ” (“Pada dasarnya,
semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”). Artinya segala akad dengan berbagai bentuk ragam dan
perkembangannya diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah atau sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya, seperti bunga yang
11
Muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang berkaitan dengan hak dan harta yang
muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain, atau antara seseorang dengan badan
hukum atau antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lainnya. Muamalah
merupakan bagian dari hukum perdata Islam. Dalam arti yang khusus, muamalah mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan sebagainya. (Arif Furqan, et al., Islam Untuk
Disiplin Ilmu Hukum, Departemen Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam, Jakarta, 2002, h. 19).
45
secara tegas dilarang. Ayat ini mengandung perintah yang sifatnya mewajibkan
bagi para pihak untuk melaksanakan isi akad/perjanjian yang sah. Suatu akad
dianggap sah apabila telah dipenuhi rukun dan syaratnya.
Menurut peneliti, bahwa ke-syariah-an akta tidak dilihat dari pencantuman
basmalah dan hamdalah, tetapi dilihat dari isi akta yang sesuai dengan syarat dan
rukun akad serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok syariah.
Menurut As-Syatibi, ada 5 (lima) prinsip pokok syariah yaitu, menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta (Abu Ishaq As-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushuli as-
Syariah, Juz II, Al-Haiah al-Mishriyyah al-Ammah lil Kitab, Kairo, 2006, h. 8).
Dengan demikian, tidak dibenarkan seseorang menyalahkan akta notaris syariah
yang tidak mencantumkan basmalah dan hamdalah (karena sifatnya
fakultatif/sunnah, bukan merupakan esensi dari sebuah akad), apalagi sampai
meng-kafir-kan notaris tersebut. Tetapi alangkah baiknya, untuk mencantumkan
basmalah pada awal akad, seperti akad yang ditulis Nabi Muhammad dalam
Piagam Madinah yang di awali dengan basmalah
Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks
pemberian anugerah Allah SWT kepada utusan-utusan-Nya, doa-doa yang
dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat
Allah Yang Maha Memberi Karunia. Namun ayat ini dapat digunakan sebagai
petunjuk dan anjuran secara umum, agar seseorang memberikan sebagian
rezekinya kepada orang lain. Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 262:12
Artinya : orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
12
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo persada,1995, h.
467.
46
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Para ulama sepakat, seseorang boleh menghibahkan seluruh hartanya kepada
orangh yang bukan ahli warisnya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang orang
yang memberi hibah lebih banyak kepada sebagian anaknya, atau ia
menghibahkan seluruh hartanya kepada sebagian anaknya, bukan sebagian yang
lain
Menurut para Ulama kota-kota besarnya hukumnya makruh. Jika sudah
terjadi, menurut mereka hukunya sah. Menurut ulama-ulama mazhab zahari,
memberi hibah lebih banyak kepada sebagian anak hukumnya tidah boleh, apalagi
seluruh harta pada seorang anak, bukan sebagian yang lain. Mayoritas ulama
berpedoman pada hadits Nu’man bin basyir yang telah disepakati kesahihannya
meskipun lapal beragam seperti dalam hadits sesungguhnya basyir ayahnya,
membawanya menemui rasullah shallallahu alaihi wa salam. Milikku “aku telah
memberikan seseorang budak melikku sepada anakku ini” beliau bertanya
“apakah semua anakku kamu beri seperti itu?” ia menjawab “tidak” beliau
bersabda “tarikla kembali budak itu
Imam Malik, bukhari, dan muslim sepakat atas lafal atau redaksi seperti itu.
Kata mereka, makna kalimat tariklah kembali budak itu menujjukan bahwa hibah
tersebut hukumnya batal.
Argumen yang digunakan oleh mayoritas ulama, bahwa berdasarkan
kesepakatan para ulama, seseorang yang dalam keadaan sehat boleh
menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain di luar anak-anaknya. Jika
hibah kepada orang lain seperti itu saja boleh, apalagi terhadap anak-anaknya
sendiri, mereka juga bedasarkan hadits masyhur yang diriwayatkan dari abu
bakar, seseungguhnya ia memberikan hibah kepada aisyah berupa hasil panen
sebanyak dua puluh wasaq dari harta hutan.
47
Bukti yang menujukan hal bahwa riwayat yang lain disebutkan rasullah
sahallallahu wa sallam bertanya kepada basyir. “bukankah kamu menginginkan
supaya mereka semua sama berbuat baik dan berlaku lembut kepadamu ? ia
menjawab tentu. Beliau bersabda maka persaksikan hal itu kepada orang
selainku”.13
Menurut imam malik, larangan menghibahkan seluruh harta kepada salah
seorang anak itu berkonotasi sebagai sesuatu yang wajib ditinggalkan.
Menurutnya, pengertian hadits tadi ialah terhadap seseorang menghibahkan
seluruh hartanya kepada anaknya tertentu. Jadi, pendapat dari masalah ini karena
ada pertentangan antara qiyas dengan kata larangan dalam hadits tadi. Sebab,
menurut sebagian besar ulama, bentuk kalimat larangan itu berkonotasi haram.
Sama seperti konsekuesi amar atau perintah ialah haram.
Yang jelas al-Qur’an dan hadits banyak sekali menggunakan istilah yang
konotasinya menganjurkan agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu
mengeluarkan sebagiannya kepada orang lain. Kendati istilah-istilah tersebut
memiliki ciri-ciri khas yang berbeda kesamaannya adalah bahwa manusia
diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya.
Akta hibah pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan akta
kewarisan, karena berdasarkan pelaksanaan sudah jauh berbeda. Akta Hibah
diberikan ketika si penghibah masih hidup agar si pemberi hibah bisa
mendatangani akta hibah sedangkan kewarisan dilakukan setelah adanya
kematian. Namun, dengan adanya permasalahan yang ada yaitu, ketika terdapat
seseorang yang menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain agar hartanya
bisa bermanfaat, karena si pemberi hibah takut hartanya kelak akan jatuh ke
tangan orang lain.
Namun, Berdasarkan pendapat Muhammad Ibnu Hasan, yang dikutip Sayyid
Sabiq dalam karangannya Fiqh as-Sunnah, bahwa seseorang boleh menghibahkan
13
Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Penerjemah Abdul Rasyad
Shiddiq (Jakarta : Akbar media) h. 543-544
48
hartanya kepada orang lain selain ahli waris, namun tidak sah jika ia
menghibahkan seluruh hartanya walaupun untuk kebaikan. Meskipun secara
kepemilikan itu adalah harta si penghibah, yang dia bisa bebas melakukan apa saja
dengan hartanya. Ketika ia menghibahkan seluruh hartanya, maka ia tak memiliki
lagi harta untuk dibagikan kepada ahli warisnya, dan bisa berakibat pula pada
perselisihan antara keluarga, maka di sini mafsadahnya lebih besar daripada
maslahatnya. Meskipun dalam masalah tadi si pemberi hibah berniat baik agar
kelak hartanya terkelola dengan baik.
Berkaitan dengan persoalan hibah yang tertera di atas, meberikan rumusan
pemberian hibah harus dilakukan secara ijab Kabul dan tertulis sebagai berikut :
“hibah adalah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian
balasan, namun harus dilakukan secara ijab kabul dan tertulis”14
.
Adapun pengertian akta hibah menurut para imam-imam mazhab yang di
himpun dalam kitab Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri.
Menurut Mazhab Hanafiyah, Hibah itu adalah memberikan kepemilikan suatu
benda pada seketikan tanpa menjajikan imbalan, pemberian itu dilakasanakan
pada saat si pemberi masih hidup, dan benda dimiliki yang akan diberikan itu
adalah sah milik si pemberi.15
Berdasarkan uraian di atas terkandung suatu pengertian bahwasanya
seseorang yang memiliki suatu benda dengan kepemilikan yang benar, ia
diperbolehkan dan dibenarkan memberikan benda itu berupa harta maupun benda
kepada orang lain tanpa digantungkan dengan imbalan yang diambil oleh si
pemilik dari orang yang telah diberi. Kata-kata ta’rif yang berbunyi “tanpa
menjajikan imbalan” adalah mengecualikan jual beli dan semisalnya yang
mejajikan adanya imbalan. Namun dalam kata-kata “seketika” dalam ta’rif hibah
adalah mengecualikan wasiat. Sebab wasiat adalah memberikan milik dengan
tanpa imbalan dimasa yang akan dating.
14
Asaf A. A. Fayzee. Pokok-pokok hukum islam II. Tintamas, Jakarta. 1961. h. 1
15
Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri,Beirut. 1987. h. 290.
49
Menurut Mazhab Maliki, Hibah adalah memberikan suatu zat materi tanpa
mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa
mengharap imbalan dari Allah. Dan imam maliki berpandangan bahwa hibah itu
sama dengan hadiah karna pemberian semata-mata meminta ridha Allah dan
mengharapkan pahala maka ini di namakan sedekah.16
Berdasarkan pengertian di atas seseorang yang mempunyai suatu benda
dengan pemilikan yang sah, ia diperbolehkan memberikan milik tersebut kepada
orang lain dengan tanpa imbalan yang diambil sebagai pernyataan rasa rela
kepada orang yang diberi sekaligus melepaskan harpan pahala akhirat. Kata-kata
“sesuatu zat” maksudnya mengeluarkan pemberian milik yang berupa
kemanfaatan seperti pinjaman, wakaf, dan sejenisnya dari muamalat yang
mensyaratka adanya imbalan. Perkataan “kepada orang yang diberi” adalah
mengeluarkan atau membedakan shadaqah dengan hibah, karna shadaqah adalah
memberikan milik dikarenakan allah SWT semata-mata atau memberikan milik
dengan tujuan mengharapkan keridhoan orang yang diberi dan keridhoan allah
sekaligus. Namun menurut suatu pendapat bahwa shadaqoh tidak memiliki
keabsahan dalam memberi dan bertujuan mengharapkan pahala dari Alah SWT
semata tanpa mengharapkan dari orang yang diberi.17
Menurut Imam Syafi’I, Hibah mengandung dua pengertian yaitu hibah
khusus adalah pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab
qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang tidak dimaksudkan
untuk menghormati atau memualiakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk
mendapakan pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang
diberikan. Sedangkan pengertian umumnya yaitu arti umum mencakup hadiah dan
sedekah, dan hibah mempunyai rukun-rukun18
16
Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri. h. 290 17
Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri. h. 291 18
Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri. h. 292
50
Sebelum hibah tersebut dilakukan harus diadakannya ijab qobul dalam ijab
qobul atau serah terima antara si penghibah dan si penerima hibah, Namun dalam
ijab qobul mempunyai syarat dan ketentuannya.
Menurut mazhab Hambali, Memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang
yang dibenrkan tasarrufinya atas suatu harta yang dapat diketahi atau,karena
susah untuk mengtahuinya, dan dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam
keadaan masih hidup dan tanpa imbalan.19
Kata-kata hibah yang berbunyi “pemberian milik yang dilakukan oleh dewasa
yang pandai” maksudnya apabila seseorang mempunyain harta, kemudian ia
memberikan kepada orang lain dengan syarat ia memang orang yang memberikan
dalam membelanjakan harta, maka perbuatan yang dilakukannya dibenarkan.
Perkataan “yang diketahui atau tidak diketahui namun sulit mengtahuinya”,
maksudnya bahwa harta yang diberikan itu seharusnya dapat diketahui. Jadi harta
yang tidak diketahui jumlahnya tidak boleh diberikan kecuali bila sulit
mengtahuinya seperti bercampunya gandun milik seseorang dengan milik orang
lain, maka sah untuk menghibahkan gandum tersebut kepada salah satu dari
mereka.
Dengan demikian dapat didimpulkan bahwa hibah merupakan suatu
pemberian yang bersifat suka rela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada
kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan
pada saat sipemberi masih hidup.
19
Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri. h. 292
51
Apabila hibah tersebut dilangsungkan oleh warganegara Indonesia yang
beragama islam, maka yang digunakan sebagai dasar hibah adalah KHI. Menurut
pasal 171 huruf g kompilasi hukum islam, akta hibah itu sendiri adalah suatu bukti
bahwasanya seseorang pernah menghibahkan sebidang tanahnya tanpa akta hibah
kepastian hukum tanah hibah tidak ada.
Para ulama telah sepakat bahwa akad serah terima (ijab qabul) itu sudah
dianggap sah dengan adanya pengucapan lafal perjanjian tersebut. Namun mereka
berbeda pendapat apakah perjanjian itu sah dengan sekedar adanya serah terima
barang. Yakni si pemberi hibah menyerahkan barang dengan si penerima hibah
menyerahkan sebagian hartanya tanpa adanya ucapan dari salah seorang di antara
mereka berdua. Kemudian si pemberi hibah menyerahkan sebagian hartanya dan
menyerahkan harta tanpa pamrih kepada si penerima hibah.
Ats-Tsauri, Imam Syafi’i, dan imam Abu Hanifah sepakat, penerimaan itu
termasuk syarat sahnya hibah. Kalau barang yang dihibahkan tidak bisa diterima
maka orang yang memberikan hibah tidak terikat. Menurut Imam Malik, hibah
sah dengan adanya penerimaan, dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk
menerima, sebagaimana yang berlaku dalam jual beli. Kalau si penerima hibah
lambat meminta orang yang memberi hibah segera menerimakan harta yang
dihibah sampai si pemberi hibah keburu mengalami pailit atau jatuh sakit maka
hibahnya batal.
Menurut Iman Malik, penerimaan hanya merupakan salah satu syarat
sempurnannya hibah, bukan syarat sahnya. Sebaliknya menurut Iman Syafi’i dan
Imam Abu Hanifah hal itu termasuk syarat sahnya hibah. Sementara menurut
52
Imam Ahmad dan Abu Tsaur, hibah sah karena adanya akad, dan penerimaan
sama sekali bukan merupakan syaratnya, baik syarat sempurna maupun syarat sah.
Pendapat ini didukung oleh ulama-ulama dari mazhab zhahiri. Tetapi menurut
salah satu pendapat yang dikutip dari Imam Ahmad, penerimaan adalah syarat
sahnya hibah terhadap barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasan ulama-
ulama yang tidak mensyaratkan penerimaan dalam hibah, karena hibah serupa
dengan jual beli.20
Dari hasil pendapat para imam mazhab dapat disimpulkan bahwa
kedudukan akta hibah tidak dijelaskan detailnya mereka hanya menjelaskan
sampai tahapan akad ijab kobul dan mereka sepakat dalam akta hibah
mengqiyaskan dengan jual beli.
Jadi menurut para mazhab Hanafiyah, Maliki, Hambali, dan Syafi’i tentang
putusan No. 132/PDT/G/2010/PN.BB menyimpulkan bahwa tanah sengketa yang
berada di bandung timur resmi milik Cucu Mad Dafi karna telah dihibahkan oleh
H.sanusi (Alm) kepada Karta Obong dengan bukti surat tertulis di tingkat
kelurahan pada tanggal10 juli 1950 walaupun tanpa akta notaris secara sah tanah
hibah itu milik Karta obong. Dengan itu sudah melengkapi syarat sahnya suatu
barang hibah yang dihibahkan oleh H.Sanusi kepada Karta Obong sah secara
hukum islam karna sudah ijab dan qobul antara mereka.
20
Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Penerjemah Abdul Rasyad
Shiddiq (Jakarta : Akbar media) h. 545-546.
54
BAB IV
PERBANDINGAN KEDUDUKAN AKTA HIBAH DALAM PUTUSAN NO.
132 /PDT /G/ 2010 /PN.BB MENURUT MAZHAB FIQH DAN KUH
PERDATA
A. Kedudukan Akta Hibah Menurut Mazhab Fiqh
Berdasarkan dari teori yang telah dibahas pada bab III, bahwa kedudukan
akta hibah menurut Mazhab Fiqh relatif sama, hanya ada beberapa perbedaannya
saja yang terdapat pada :
Yang maksudkan relatif sama dari segi pengertiannya saja yang berbunyi
hibah adalah hadiah yang diberikan kepada seseorang tanpa imbalan apapun yang
semata-mata mengharapkan ridha allah namun ada sedikit perbedaan dari segi
prosedur dan yang berhak menerima hibah jika pada imam hanifiyah hanya boleh
1/3 harta saja tidak boleh menghibahkan seluruh harta, pada imam malik, imam
hambali, imam syafi’I itu membolehkan menghibahkan seluruh harta. Dalam
imam maliki mengharuskan mengucapkan ijab qobul saat hibah itu di berikan si
penghibah terhadap si penerima hibah.
1. Pengertian Akta Hibah
Menurut mazhab Hanafi, Hibah itu adalah memberikan kepemilikan suatu
benda pada seketikan tanpa menjajikan imbalan, pemberian itu dilakasanakan
pada saat si pemberi masih hidup, dan benda dimiliki yang akan diberikan itu
adalah sah milik si pemberi.1
Menurut mazhab Maliki yaitu Hibah adalah memberikan suatu zat materi
tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya
tanpa mengharap imbalan dari Allah. Dan imam maliki berpandangan bahwa
hibah itu sama dengan hadiah karna pemberian semata-mata meminta ridha Allah
dan mengharapkan pahala maka ini di namakan sedekah.2
1 Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri,Beirut. 1987. h. 290.
55
Mazhab Syafi’i memberikan pengertian bahwa Hibah mengandung dua
pengertian yaitu hibah khusus adalah pemberian hanya sifatnya sunnah yang
dilakukan dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang
tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memualiakan seseorang dan tidak
dimaksudkan untuk mendapakan pahala dari Allah atau karena menutup
kebutuhan orang yang diberikan. Sedangkan pengertian umumnya yaitu arti
umum mencakup hadiah dan sedekah, dan hibah mempunyai rukun-rukun3.
Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama mazhab
Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya dua pengertian. Pertama,
sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan
orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik
harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan.4 Kedua,
memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufinya
atas suatu harta yang dapat diketahi atau,karena susah untuk mengtahuinya, dan
dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam keadaan masih hidup dan tanpa
imbalan.5
2. Rukun dan Syarat Hibah
Menurut Imam Madzah semuanya sepakat mengenai rukun tentang hibah
seperti yang dijelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid adalah sebagai berikut:
a. Orang yang menghibahkan (al-wahib)
1) Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan.
2 Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri. h. 290 3 Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri. h. 292
4 Abdul Al-Rahman Al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah,
Terjemahan : Muhammad Sayyid Sahiq Beirut: Dar al-Fikr,t.th, Juz 3, h. 289.
5 Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, karya Abdurrahman AL
Jaziri. h. 292.
56
2) Dalam keadaan sehat, apabila orang yang menghibahkan dalam
keadaan sakit, dinamakan wasiat dan dibatasi 1/3 saja dari bendanya
itu. Maksudnya, hibah yang lengkap dengan syarat-syaratnya,
menueurt sebagian ulama salaf dan beberapa orang ulama mazhab
zhahiri, hibah orang seperti itu dikeluarkan dari pokok hartanya jika
kemudian ia meninggal dunia. Dan semua ulama sepakat, jika
seseorang telah sembuh dari sakitnya, maka hibahnya sah.6
3) Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu.
b. Orang yang menerima hibah.
c. Benda yang dihibahkan (mauhub), harus milik si penghibah. Apabila milik
orang lain maka tidak sah hukumnya. Hendaklah berupa barang yang syah
dijual belikan, maka tidak syah menghibahkan barang yang tak diketahui,
sebagaimana bila dijualnya, dan keterangannya baru saja lewat, lain halnya
jika dihadiahkan atau dishadaqahkannya, maka menurut yang dianggap
dihahir oleh guru kita adalah syah. syah menghibahkan barang musya’
(masih menjadi satu dengan barang orang lain dalam suatu perserikatan)
sebagaiman menjualnya sekalipun belum diadakan pembegian, baik
dihibahkan kepada teman berserikat ataupun kepada orang lain. Terkadang
syah menghibahkan sesuatu yang tidak syah dijual, misalnya
menghibahkan dua biji gandum dan sebagainya yang tidak bernilai,
menghibahkan kulit yang najis atas dasar dipertentangkannya dalam ar-
raudlah, dan juga menghibahkan minyak terkena najis. Maka belumlah
menjadi tetap dengan aqadnya, tetapi dengan pengambilan barangnya
menurut qaul jadid Asy-syafi’I, sebagai berdasar suatu hadits rasullah saw
menghadiahkan 30 wadah minyak misik kepada Najasyiy, dan sebelum
barang itu sampai kepadanya terburu telah mati, maka Rasullah membagi
kembali minyak tersebut kepada para pemaisuri beliau, kemudian hibah
dan shadaqah diqiyaskan hukumnya dengan hibah. Hanya tetapnya hibah
didasarkan atas pengambilan barangnya, jika dalam hibah tersebut
6 Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Penerjemah Abdul Rasyad
Shiddiq (Jakarta : Akbar media) h. 542.
57
pengambilanya didapatkan dari penyerahan sang wahib, atau didapatkan
atas izin pengambilan dari sang wahib sendiri atau wakilnya serta izin
seperti itu diperlukan adanya. Demikianlah walaupun barang hibah itu
sendiri telah berada ditangan sang muttahib (penerima hibah).7
3. Ijab Qobul dalam Hibah
Para ulama telah sepakat bahwa akad serah terima (ijab qabul) itu sudah
dianggap sah dengan adanya pengucapan lafal perjanjian tersebut. Namun mereka
berbeda pendapat apakah perjanjian itu sah dengan sekedar adanya serah terima
barang. Yakni si pemberi hibah menyerahkan barang dengan si penerima hibah
menyerahkan sebagian hartanya tanpa adanya ucapan dari salah seorang di antara
mereka berdua. Kemudian si pemberi hibah menyerahkan sebagian hartanya dan
menyerahkan harta tanpa pamrih kepada si penerima hibah.
Ats-Tsauri, Imam Syafi’i, dan imam Abu Hanifah sepakat, penerimaan itu
termasuk syarat sahnya hibah. Kalau barang yang dihibahkan tidak bisa diterima
maka orang yang memberikan hibah tidak terikat. Menurut Imam Malik, hibah
sah dengan adanya penerimaan, dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk
menerima, sebagaimana yang berlaku dalam jual beli. Kalau si penerima hibah
lambat meminta orang yang memberi hibah segera menerimakan harta yang
dihibah sampai si pemberi hibah keburu mengalami pailit atau jatuh sakit maka
hibahnya batal.
Menurut Iman Malik, penerimaan hanya merupakan salah satu syarat
sempurnannya hibah, bukan syarat sahnya. Sebaliknya menurut Iman Syafi’i dan
Imam Abu Hanifah hal itu termasuk syarat sahnya hibah. Sementara menurut
Imam Ahmad dan Abu Tsaur, hibah sah karena adanya akad, dan penerimaan
sama sekali bukan merupakan syaratnya, baik syarat sempurna maupun syarat sah.
Pendapat ini didukung oleh ulama-ulama dari mazhab zhahiri. Tetapi menurut
salah satu pendapat yang dikutip dari Imam Ahmad, penerimaan adalah syarat
sahnya hibah terhadap barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasan ulama-
7 Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibari. Fathul Mu’in. Terjemah DRS. H.
Aliy As’ad. (Jakarta : menara kudus). h. 331-332
58
ulama yang tidak mensyaratkan penerimaan dalam hibah, karena hibah serupa
dengan jual beli.8
Dari hasil pendapat para imam mazhab dapat disimpulkan bahwa kedudukan
akta hibah tidak dijelaskan detailnya mereka hanya menjelaskan sampai tahapan
akad ijab kobul dan mereka sepakat dalam akta hibah mengqiyaskan dengan jual
beli.
B. Kedudukan Akta Hibah Menurut KUH Perdata
Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak
ada penggatian apa pun dan dilakukan secara suka rela, tanpa ada kontraprestasi
dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsukan pada saat si
pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda dengan wasiat, yang mana wasiat
diberikian sesudah si pewasiat meninggal dunia.9
Hibah juga di atur dalam pasal 1666 KUH Perdata yakni “Hibah adalah suatu
perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma
dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna
keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang
tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.”10
Sebelum lahirnya PP No. 24 Tahun 1997, bagi mereka yang tunduk kepada
KUH Perdata, surat hibah wasiat harus dalam bentuk tertulis dari notaris. Surat
hibah wasiat harus dibuat olah Notaris tidak memiliki kekuatan hukum. Mereka
yang tunduk pada hukum adat dapat membuatnya di bawah tangan, tetapi proses
di kantor pertanahan harus dibuat dengan akta PPAT.
Hibah dapat disimpulkan suatu persetujuan dalam mana suatu pihak
berdasarkan atas kemurahan hati, perjanjian dalam hidupnya memberikan hak
milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat
8 Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Penerjemah Abdul Rasyad
Shiddiq (Jakarta : Akbar media) h. 545-546.
9 Adrian sutedi, SH., M.H, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftaranya, Jakarta, Sinar
Grafika , 2013, h. 99.
10
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 436.
59
ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan ini.
Sedangkan akta hibah dalam hukum positif adalah akta yang dibuat oleh si
penghibah yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti hibah dan
untuk keperluan hibah dibuat.
Prosedur (Proses) penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan
oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu :
“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas
ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya
disimpan oleh notaris itu”
Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari
penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh
penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain.
Pada Pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan :
”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat
yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang
tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan
suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima
penghibahanpenghibahan yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau
akan diberikan kepadanya di kemudian hari”.
Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri,
maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta otentik terkemudian, yang
aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah
masih hidup, dalam hal mana penghibahan, terhadap orang yang belakangan
disebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan
kepadanya.”11
Guna mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan-bahan
mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu akan
dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti. Kita mengetahui
bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan dikenal tentang adanya pembuktian.
11
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.438-439.
60
Dalam hal ini ada beberapa alat dalam perkara perdata yang bisa digunakan
sebagai bukti, antara lain :
a. Bukti dengan surat
b. Bukti dengan saksi
c. Persangkaan-persangkaan
d. Sumpah
Alat bukti tertulis atau surat yang dibuat secara tertulis ialah segala sesuatu
yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk membuktikan bahwa
penghibaan sudah terjadi, atau untuk dipergunakan sebagai pembuktian akta hibah
yang sudah dilakukan. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan
dalam akta dan surat bukan akta, sedangkan pengertian akta adalah surat sebagai
alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar
suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
membuktikan.12
Kemudian akta masih dapat dibedakan lagi dalam akta otentik, akta di bawah
tangan dan surat bukan akta. Jadi dalam hukum pembuktian dikenal paling tidak
tiga jenis surat, yaitu:
a. Akta otentik
Akta otentik dalam kitab undang-undang diatur dalam KUH Perdata Pasal
1868 dan didalam Pasal 1868 juga di sebutkan perngertian akta otentik tersebut
ialah : “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”13
Berdasarkan Pasal 1868 dapat disimpulkan unsur akta otentik yakni:
1. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (verleden) dalam bentuk
menurut hukum.
2. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.
12
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2006, h. 149.
13
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,liberty, Cat-5,
jakarta, h. 475
61
3. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang
untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat, jadi akta itu harus
ditempat wewenang pejabat yang membuiatnya.
Namun dalam Pasal 1869 yang berbunyi: “Suatu akta yang karena tidak
berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat
dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditanda tangani oleh
para pihak”
b. Akta di bawah tangan
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat sendiri untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabatakan tetapi harus adanya saksi-
saksi yang harus menghadiri agar dilain waktu tidak menjadi masalah. Namun ada
ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta di bawah tangan
yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau
menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh
yang bertanda tangan alias yang bersangkut paut dalam menyerahkan suatu benda
tersebut, suatu keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau
banyaknya apa yang harus dipenuhi.
Dalam kitab undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1874 yang dalam
ayaty satu mengatakan:” Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-
akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat
urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang
pegawai umum.”
Menurut ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata terdapat kekhususan akta
dibawah tangan, yaitu akta harus seluruhnya ditulis tangan si penanda tangan
sendiri, atau setidaktidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan
tangannya si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau
besarnya barang atau uang yang terhutang. Apabila ketentuannya tidak dipenuhi,
maka akta tersebut hanya sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan14
14
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni, 1992, h.
46.
62
c. Surat bukan akta
Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di dalam HIR maupun
KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas. Walaupun surat-surat yang bukan akta
ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada asasnya surat bukan akta ini
sama tetapi berbeda dengan surat di bawah tangan yang dimaksudkan sengaja
dibuat sendiri untuk pembuktin namun tidak dimaksudkan sebagai alat
pembuktian di kemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang disebut dengan
akta di bawah tanah itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian.
Sedangkan akta hibah menurut hukum positif dalam hukum perdata alat bukti
tertulis atau surat tercantum dalam Pasal 138,165,167 HIR/Pasal 164, 285-305
R.bg dan Pasal 1867-1894 BW serta Pasal 138-147 RV. Pada asasnya di dalam
persoalan perdata (hibah), alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat
bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika
dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.
Dengan demikian, Alat bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama.
Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama
dibandingkan dengan alat bukti lainnya sedangkan dikatakan utama oleh karena
dalam hukum perdata (hibah) yang dicari adalah kebenaran formal. Maka alat
bukti surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat
pembuktian utama.15
Akta hibah mempunyai fungsi agar dilain waktu dari petugas atau pemerintah
yang menanyakan bahwa tanah tersebut mempunyai akta yang mempunyai
kekuatan hukum. Di dalam KUH Perdata, akta mempunyai beberapa fungsi
diantra lain adalah :
a) Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum
Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk
menyatakan adanya suatu perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya
atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dalam
hal ini diambilkan contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1681, 1682, 1683
(tentang cara menghibahkan), 1945 KUH Perdata (tentang sumpah di muka
15
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, h. 36.
63
hakim) untuk akta otentik; sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti halnya
dalam Pasal 1610 (tentang pemborongan kerja), Pasal 1767 (tentang peminjaman
uang dengan bunga), Pasal 1851 KUH Perdata (tentang perdamaian). Jadi, akta
disini maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.
b) Sebagai alat pembuktian
Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa dengan tidak
adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak
dapat terbukti adanya. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh dalam pasal 1681,
1682, 1683 (tentang cara menghibahkan). Jadi disini akta memang dibuat untuk
alat pembuktian di kemudian hari.16
Dari definisi yang telah diketengahkan dimuka jelas bahwa akta itu dibuat
sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya
suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi
hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. Seperti telah
disinggung di atas bahwa fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah
akta sebagai alat pembuktian.
Dari semua akta yang terpaparkan diatas masing-masing mempunyai
kekuatan dalam hal pembuktian akta namun, dari masing-masing akta tersebut
yang dipastikan mempunyai akta dengan kepastian hukum yang jelas adalah akta
otentik berikut dari masing-masing akta dalam hal kekuatan pembuktiannya.
a. Kekuatan pembuktian akta otentik
Di dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) dikemukakan
bahwa akta otentik itu sebagai alat pembuktian yang sempurna17
bagi kedua belah
pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang
apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik yang merupakan bukti yang
lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta
16
A Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Intermasa, 1978, h.
56.
17
kata “sempurna” menurut hemat penulis sebaiknya diganti dengan kata “lengkap”,
mengingat bahwa akta itu merupakan hasil karya manusia, tiada satu pun hasil karya manusia yang
sempurna kecuali hasil ciptaan Tuhan. Maka untuk selanjutnya dalam skripsi ini penulis gunakan
kata lengkap untuk kata sempurna menurut penulis-penulis yang bukunya penulis baca dalam
skripsi ini. Di kutip dari buku Teguh Samudera, h. 49.
64
tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar,
selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya.
b. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan
Menurut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, jika akta di bawah tangan tanda
tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta
tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang lengkap (seperti kekuatan
pembuktian dalam akta otentik) terhadap orang-orang yang menandatangani serta
para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. Tentang
pengakuan tanda tangan apabila dikemukakan di muka hakim, menurut Wirjono
Prodjodikoro pengakuan itu berbunyi: “ tanda tangan ini betul tanda tangan saya
dan isi tulisan adalah benar”
Namun, kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta otentik itu
sendiri yakni sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang (Pasal 1682,
1687, dan Pasal 1868 BW) sehingga hal ini merupakan akibat langsung yang
merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-
akta otentik sebagai alat pembuktian.18
Fungsi dari akta hibah adalah sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu
perbuatan hukum, sebagai alat pembuktian dan sebagai alat pembuktian satu-
satunya. Suatu akta hibah dapat memenuhi sekaligus lebih dari satu fungsi (seperti
dikatakan tadi semuanya ada tiga fungsi). Akta di bawah tangan atau akta
formalitatis causa (sebagai syarat pokok) mempunyai juga daya pembuktian, dan
akta hibah yang ditentukan sebagai satu-satunya alat bukti hibah tentu saja
mempunyai daya pembuktian.19
C. Persamaan Dan Perbedaan Kedudukan Akta Hibah Antara Fiqh Dan KUH
Perdata
18
Adrian sutedi, SH., M.H, Peralihan HaK atas Tanah dan Pendaftaranya, Jakarta, Sinar
Grafika , 2013, h. 100. 19
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut KUH Perdata Belanda, Nederland: PT
Intermasa, 1967, h. 54.
65
1. Persamaaan kedudukan akta hibah antara fiqh dan KUH Perdata
Dalam hal akta hibah berdasar pada dua hukum, yaitu Hukum Perdata dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau bisa juga Hukum Fiqh. Dalam Hukum
Perdata akta hibah terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari
kedua dasar tersebut terdapat hal-hal yang bertentangan maupun persamaan antara
kedua dasar tersebut terutama mengenai akta hibah.
Persamaan antara mazhab-mazhab fiqh dan KUH Perdata dalam akta hibah
terdapat dalam aspek pengertian, dasar hukum, syarat-syarat dan juga rukun
keduanya mempunyai pengertian, pengertian, dasar hukum, syarat-syarat dan
rukun yang sama yaitu mulai dari perngertian singkatnya adalah memberikan
sesuatu dengan suka rela tanpa adanya imbalan apapun, dalam dasar hukumnya
mempunyai dasar hukum yang kuat dan memikat dasar hukum singkatnya
keduanya adalah terdapat dalam KUH Perdata pada Pasal 1666-1693 namun,
menurut Kmpilasi Hukum Islam (KHI) dan hukum fiqh terdapat pada Pasal 210-
214.
Adapun persamaan secara yang lebih spesific rukun akta hibah menurut fiqh
dan KUH Perdata :
a. Dalam melaksanakan hibah baik menurut KUH Perdata maupun fiqh
tersebut harus ada bukti bahwasanya sudah di hibahkan oleh sipenghibah
dalam pembuatan akta hibah tersebut.
b. Dalam melaksanakan hibah harus dilakukan sebelum sipenghibah
meninggal dunia.
c. Dalam pembuatan akta hibah dalam KUH Perdata dan fiqh harus adanya
saksi-saksi
d. Dalam pelaksanaan hibah di KUH Perdata dan fiqh harus adanya ijab
qobul.
Hibah menurut ajaran islam dimaksudkan untuk menjalin kerja sama sosial
yang lebih baik dan untuk lebih mengakrabkan hubungan sewsama manusia.
Walaupun hibah merupakan suatu akad yang sifatnya untuk mempercepat
silatuhrahmi antara sesama manusia, namun sebagai suatu tindakan hukum hibah
66
tersebut mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi , baaik oleh yang
menghibahkan ataupun yang menerima hibah tersebut.20
Maksud hibah yang dilakukan oleh seseorang itu harus ada bukti akta hibah
secara tertulis ketika orang tersebut hendak melakukan hibah baik menurut KUH
Perdata maupun fiqh dalam fiqh harus ada ijab qobul namun KUH Perdata harus
ada mementerotinya yaiyu dari pihak notaris atau yang wajib melakukan hal
tersebut..
2. Perbedaan hibah antara mazhab fiqh dan KUH Perdata tentang
kedudukan akta hibah
Dasar hukum yang dipakai dalam melaksanakan akta hibah dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pada 1682-1683 yang membahas
tentang masalah akta hibah secara umum baik hibah mengenai tanah, harta pusaka
dan barang berharga yang lainya.
Bahwa seseorang boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain selain ahli
waris, namun tidak sah jika ia menghibahkan seluruh hartanya walaupun untuk
kebaikan. Meskipun secara kepemilikan itu adalah harta si penghibah, yang dia
bisa bebas melakukan apa saja dengan hartanya. Ketika ia menghibahkan seluruh
hartanya, maka ia tak memiliki lagi harta untuk dibagikan kepada ahli warisnya,
dan bisa berakibat pula pada perselisihan antara keluarga, namun di KUH Perdata
mebolehkan semua hartanya di hibahkan kepada siapa saja dan tidak memliki
batasan.
Prosedur dalam melaksanakan suatu akta hibah menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata orang yang hendak melakukan pembuatan akta hibah
bukan orang muslim saja, akan tetapi bisa orang non muslim menurut KUH
Perdata namun, dalam fiqh menjelaskan penghibahan hanya orang muslim saja
dan tidak diatur hibah yang non muslim.
Penghibahan dalam KUH Perdata tidak ada penjelasan mengenai hibah
maksimal 1/3 dari harta si Penghibah, akan tetapi hanyalah dapat mengenai
20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 6, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), h. 471.
67
barang-barang yang sudah ada. Jika ia meliputi barang-barang yang baru akan ada
dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal. Berdasarkan
ketentuuan ini maka jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama
dengan suatu barang lain yang baru akan ada di kemudian hari, penghibaan yang
mengenai barang yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua
adalah tidak sah. Namun demikian, padi yang belum menguning di sawah seluas
dan merupakan sebagian harta benda milik pemberi hibah.21
Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut bukan
menyangkut harta pusaka saja akan tetapi bisa menghibahkan berupa tanah dan
sebagainya. Kemudian hibah di dalam kitab undang-undang hukum perdata itu
masih ada unsur jual beli yang terdapat dalam pasal 1668. Dan di dalam kitab
undang-undang hukum perdata tidak dijelaskan tentang bentuk hibah secara detail
dan tidak diatur dalam undang-undang, juga tidak disebutkan pula pasal yang
membahas bentuk hibah itu sendiri.
Dalam akta hibah yang bikin berbeda menurut KUH Perdata dengan fiqh
adalah macam-macam akta hibah disebutkan secara rinci dalam KUH Perdata
akan tetapi tidak dijelaskan secara rinci menurut fiqh karna fiqh menjelaskan akta
hibah secara tertulis bisa dijadikan bukti bahwa hibah itu terjadi.
Di dalam KUH Perdata akta Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat
hukum bila pada hari penghibaan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan
diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik diberi kuasa pada
orang lain. Di atur dalam Pasal 1683 KUH Perdata.
Siapa yang berhak menerima hibah sangat berbeda antara fiqh dan KUH
Perdata menjelaskan bahwa yang berhak menerima hibah adalah orang sudah
umur dia atas 21 tahun namun di KUH Perdata yang tidak berhak menerima hibah
adalah Orang yang menjadi wali atau pengampun si penghibah, Dokter yang
merawat penghibah ketika sakit, dan Notaris yang membuat surat wasiat milik si
penghibah.
21
F.X.Sumarja, Hukum Pendaftaran Tanah, (Penerbit Unila Press, Bandar Lampung).
2010. h. 22.
68
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kedudukan akta hibah menurut fiqh sangat jelas pengaturannya atau
juga dasar hukum yang terjadi di kedudukan akta hibah dengan
landasannya yang baik yang termasuk di dalam Al-Quran, berdasarkan
pada hadis yang mengenai aturan kedudukan akta hibah dalam fiqh itu
sangat jelas, pada dasarnya kedudukan akta hibah dalam fiqh sangatlah
penting yang bisa disebut akta hibah bersifat mengikat, tergantung dari
si penerima hibah apakah bersedia menjadikan akta hibah mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat di Indonesia ini karna kedudukan akta
dalam fiqh belum sepenuhnya memiliki kekuatan hukum di Indonesia.
Seperti yang di katakana imam Syafi’I harus adanya ijab qobul saat
pemberian hibah itu berlangsung dan harus adanya saksi yang
menyaksikan hibah tersebut agar di lain hari ada pembuktian dan juga
mendaftarkan akta hibah tersebut.
2. Mengenai kedudukan akta hibah menurut KUH Perdata yang
pengertiannya sama dengan pengertian fiqh, namun yang berbeda
kedudukannya, dalam fiqh hibah bisa di tarik kembali dengan alasan
yang tertentu lain halnya menurut KUH Perdata dengan pembuktian
dan mempunyai surat otentik yang diterbitkan oleh PPAT dengan itu
prosedur dengan fiqh berbeda bisa saja dalam KUH Perdata tidak bisa
di tarik kembali jika mempunya surat yang diterbitkan oleh PPAT
yang biasa di sebut dengan surat otentiki
3. Persamaan dan perbedaan dalam akta hibah menurut fiqh dengan KUH
Perdata ini sangalah unik mempunyai banyak persamaan dibandingkan
perbedaannya dari segi persamaan yaitu soal perngertian dari akta
hibah menurut fiqh dan KUH Perdata dan juga dari segi dari dasar
hukumnya sangatlah jalan dari fiqh dan KUH Perdata.yang
membedakannya hanya kekuatan akta hibah saja dimana akta hibah
69
menurut fiqh tidak mempunyai kepastian hukum mengikat karna
proses dan prosedur fiqh hanya sebatas di kelurahan saja.
B. REKOMANDASI
1. Diharapkan melalui penelitian selanjutnya, dapat dihasilkan informasi
baru tentang kedudukan akta hibah yang sudah penulis teliti dan
alternatif solusi terkait peran fiqh dalam membuat akta hibah yang
berkekuatan hukunya pasti, sehingga seorang yang awam akan
kedudukan akta hibah bisa bertarung di pengadilan jika dikemudian
hari ada gugutan kedudukan akta hibah dengan proses dan prosedur
fiqh
2. Bagi seseorang yang mempunyai barang atau sebagainya yang di
dapatkan dari hibah harus segara mendaftarkan hibah tersebut,
terkecuali yang di hibahkanya barang yang tidak terlihat seperti buah
di pohon belum tahu kapan buah itu munculnya jika yang di hibahkan
seperti harta dan tanah itu harus danj wajib segera mendaftarkannya di
PPAT agar segara di proses surat pembutian agar di lain hari ada
pemekriksaan agar bisa menjaga tanah hibah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997), Cet. 14
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat System Transaksi Dalam Fiqh
Islam, Jakarta AMZAH, 2010.
Abdullah bin Abdurrahman ali bassam, syarah hadits pilihan bukhari-muslim,
Jakarta, PT darul-falah, 2007.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, cet. ke-1, 2006,
Abdurrahman Al-jaziry, Alfiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, karya Abdurrahman
AL Jaziri,Beirut. 1987
Abdul Aziz Bin Fathi As-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-
Quran Dan Sunnah, pustaka imam Asy-Syafi’I, Jakarta, 2007
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, Bandung, CV. Alfabeta, 2011
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Yogyakarta Gajah
mada University Press, 2010.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklofedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ictiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), Cet. III
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004.
A Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Intermasa,
1978
Asaf A. A. Fayzee. Pokok-pokok hukum islam II. Tintamas, Jakarta. 1961.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Jakarta, Djambatan, 2008.
F.X.Sumarja, Hukum Pendaftaran Tanah, (Penerbit Unila Press, Bandar
Lampung). 2010.
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wanihayat al-Muqtasid, Lebanon: Dar al-Kotob
al-Ilmiyah, 2007
Ibnu Mas’ud, Fiqih Mazhab Syafi’I, Bandung Pusaka Setia, 2007. Muhammad
Sholikhul Hadi, Pegadaian Syari'ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2000
Luwis Mahluf, al-munjid fi al-lughah Beirut: dar al- masyriq, 1973
Mu Al-Adab Al-Mufrud, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990
M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya
Paramitha,1996
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Beirut: dar al-Fikr, 1981, jilid 3
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang,
1984
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta: Alumni,
1992
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007,
Cet II.
Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam,
Bandung: Al Ma‟arif, 1985
Jurnal Ilmiah
Faizah Bafadhal, jurnal ilmu hukum, analisis tentang hibah dan korelasinya
dengan kewarisan dan pembetalan hibah menurut peraturan perundang-
undangan