28
Zinc Dan Vitamin A Gagal dalam Mengurangi Waktu Konversi Sputum pada Penderita Tb Paru yang mengalami gizi buruk Di Indonesia Trevino A Pakasi1 , 2 * , Elvina Karyadi1 , 8 , Ni Made D Suratih3 , Michael Salean4 , Nining Darmawidjaja5 , Hans Bor6 , Koos van der Velden6 , Wil MV Dolmans7 and Jos WM van der Meer7 *Corresponding author: Trevino A Pakasi [email protected] 1 South East Asia Minister of Education Organization Tropical Medicine (SEAMEO TROPMED) Regional Center for Community Nutrition, University of Indonesia, Jl. Salemba Raya no.6, Jakarta Pusat 10420, Indonesia 2 Department of Community Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia, Jl. Pegangsaan Timur no.16, Jakarta Pusat 10302, Indonesia 3 Department of General Medicine, WZ Johannes General Hospital Jl. Mohammad Hatta no.19, Kupang, Indonesia 4 Department of Radiology WZ Johannes General Hospital, Jl. Mohammad Hatta no.19, Kupang, Indonesia 5 Kefamenanu General Hospital, North Middle Timor District (TTU) Jl. Letjend Suprapto, Kefamenanu, Indonesia 6 Department of Primary and Community Care, Radboud University Nijmegen Medical Center, Nijmegen International Center for Health Systems Research and Education, Geert Grooteplein Noord 21, Nijmegen 6525 EZ, the Netherlands 7 Department of Internal Medicine, Radboud University Nijmegen Medical Center and Nijmegen Center for Infection, Inflammation and Immunity (N4I), Geert Grooteplein Zuid 8, Nijmegen 6525 GA, the Netherlands 8 Micronutrient Initiative, Gedung Wirausaha Lt. 2 Jl. HR. Rasuna Said Kav C5, Jakarta 12920, Indonesia For all author emails, please log on . Nutrition Journal 2010, 9:41 doi:10.1186/1475-2891-9-41 The electronic version of this article is the complete one and can be found online at:http://www.nutritionj.com/content/9/1/41 Receive d: 10 January 2010 1

Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

Zinc Dan Vitamin A Gagal dalam Mengurangi Waktu Konversi

Sputum pada Penderita Tb Paru yang mengalami gizi buruk Di

Indonesia

Trevino A Pakasi1,2*, Elvina Karyadi1,8, Ni Made D Suratih3, Michael Salean4, Nining

Darmawidjaja5, Hans Bor6, Koos van der Velden6, Wil MV Dolmans7 and Jos WM van der

Meer7

*Corresponding author: Trevino A Pakasi [email protected] East Asia Minister of Education Organization Tropical Medicine (SEAMEO TROPMED)

Regional Center for Community Nutrition, University of Indonesia, Jl. Salemba Raya no.6,

Jakarta Pusat 10420, Indonesia2Department of Community Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia, Jl.

Pegangsaan Timur no.16, Jakarta Pusat 10302, Indonesia3Department of General Medicine, WZ Johannes General Hospital Jl. Mohammad Hatta no.19,

Kupang, Indonesia4Department of Radiology WZ Johannes General Hospital, Jl. Mohammad Hatta no.19,

Kupang, Indonesia5Kefamenanu General Hospital, North Middle Timor District (TTU) Jl. Letjend Suprapto,

Kefamenanu, Indonesia6Department of Primary and Community Care, Radboud University Nijmegen Medical Center,

Nijmegen International Center for Health Systems Research and Education, Geert

Grooteplein Noord 21, Nijmegen 6525 EZ, the Netherlands7Department of Internal Medicine, Radboud University Nijmegen Medical Center and

Nijmegen Center for Infection, Inflammation and Immunity (N4I), Geert Grooteplein Zuid 8,

Nijmegen 6525 GA, the Netherlands8Micronutrient Initiative, Gedung Wirausaha Lt. 2 Jl. HR. Rasuna Said Kav C5, Jakarta 12920,

Indonesia

For all author emails, please log on.

Nutrition Journal 2010, 9:41 doi:10.1186/1475-2891-9-41

The electronic version of this article is the complete one and can be found online

at:http://www.nutritionj.com/content/9/1/41

Received:

10 January 2010

Accepted:

28 September 2010

Publishe 28 September

1

Page 2: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

d: 2010

© 2010 Pakasi et al; licensee BioMed Central Ltd. 

This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution

License (http://creativecommons.org/licenses/by/2.0), which permits unrestricted use,

distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.

Abstrak

Latar Belakang

Sebuah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kombinasi zinc dan vitamin A

mengurangi konversi waktu sputum pada pasien tuberkulosis paru (TB).

Tujuan

Kami mempelajari kemanjuran dari mikronutrien tunggal dalam memberikan

kontribusi lebih untuk waktu konversi sputum.

Metode

Dalam uji coba acak komunitas double-blind, BTA positif pada pasien TB paru

diberikan secara acak untuk menerima zinc, vitamin A, zinc + vitamin A atau plasebo

pada awal pengobatan TB. Pasien diminta untuk memberikan dahak mereka dalam

seminggu untuk mengetahui positif adanya bakteri. Status gizi, x-ray dada,

hemoglobin, protein C-reaktif (CRP), retinol dan tingkat zinc diperiksa sebelum,

setelah 2 dan 6 bulan pengobatan.a

Hasil

Awalnya, 300 pasien yang terdaftar, dan 255 menyelesaikan pengobatan.

Kebanyakan pasien mengalami kekurangan gizi (BMI rata-rata 16,5 ± 2,2 kg/m2).

Pasien dalam kelompok yang diberi Zinc + vitamin A menunjukkan waktu konversi

2

Page 3: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

dahak lebih cepat (rata-rata 1,9 minggu) dibandingkan dengan di kelompok lain,

namun perbedaan itu tidak signifikan. Juga, tidak ada manfaat yang bisa ditunjukkan

dari salah satu Suplementasi yang digunakan pada klinis, gizi, x-ray dada, atau

temuan laboratorium.

Kesimpulan

Penelitian ini dilakukan pada pasien TB malnutrisi berat, tidak terbukti bahwa

suplemen tunggal atau gabungan dari zinc dan vitamin A secara signifikan

mengurangi waktu konversi sputum atau memiliki manfaat yang signifikan lainnya.

Latar belakang

Adanya defisiensi mikronutrien pada pasien tuberkulosis (TB) telah menimbulkan

pertanyaan apakah suplementasi mikronutrien akan memberikan manfaat tambahan

untuk pasien pada awal pengobatan TB [1]. Pada uji klinis sebelumnya dari kelompok

kami menemukan bahwa suplemen kombinasi zinc dan vitamin A menghasilkan

konversi sputum lebih awal dibanding plasebo, yang dimulai sejak 2 minggu setelah

pemberian standar pengobatan anti-TB [2].

Vitamin A, seperti yang ditemukan sebagai retinol dalam plasma, merupakan salah

satu mikronutrien penting yang memiliki fungsi kekebalan tubuh yang spesifik [3].

Ditemukannya kekurangan vitamin A pada pasien TB paru sputum-positif

dibandingkan dengan subyek sehat telah terbukti [1,4]. dan terkait dengan pasien TB

paru dewasa[5].

Zinc merupakan mineral yang sangat penting untuk fungsi sel-sel dari sistem

kekebalan tubuh, [6] dan kekurangan ringan menekan fungsi kekebalan tubuh pada

manusia [7]. Zinc juga dikenal sebagai mineral penting untuk mobilisasi normal

vitamin A dari hati ke plasma [8].

3

Page 4: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

Seperti dalam program lain melawan TB, Program Tuberculosis Nasional di

Indonesia menyatakan bahwa hilangnya asam-BTA (AFB) dari dahak setelah

pengobatan adalah dasar dalam manajemen pasien TB paru. Kehadiran AFB dalam

dahak dapat dinilai dengan visualisasi langsung menggunakan mikroskop cahaya, dan

dapat dibuktkani oleh pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis dalam kultur dahak.

Konversi sediaan apus dahak pada status AFB-negatif hanya digunakan di Negara

dengan sumber daya terbatas [9] sementara di negara-negara berkembang

keberhasilan pengobatan diukur dengan konversi tidak ada pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis (MTB) dalam kultur dahak [10].

Efektivitas terapi anti-TB ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk beban

mikobakteri, yang mendasari status kekebalan, kepatuhan terhadap pengobatan, dan

kerentanan terhadap obat. Dalam menghadapi ancaman baru untuk memerangi

tuberkulosis, yaitu multidrug dan MTB resistensi obat secara luas, dan juga penyakit

imunosupresif (HIV, diabetes, kekurangan gizi), studi tentang mikronutrien sebagai

modulator dari sistem kekebalan tubuh sangat penting. Ini akan membuktikan

pentingnya suplementasi melawan TBC. Mengikuti temuan sebelumnya di Jakarta,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi tunggal atau

kombinasi zinc atau vitamin A, pada waktu konversi dahak dan status kesehatan

pasien yang baru didiagnosa TB paru. Penelitian ini dilakukan di provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT) yang dipilih dengan zincaja, karena relatif lebih miskin

daripada di Jakarta dengan prevalensi tinggi gizi buruk dan rentan kerawanan pangan

seperti yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2005.

Metode

Desain penelitian, waktu dan lokasi

4

Page 5: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

Desain penelitian ini adalah double-blind, uji coba komunitas secara acak. Sebelum

penelitian, pengacakan dilakukan dengan menggunakan program komputer, di mana

kode pengobatan diberikan kepada subjek. Setiap kabupaten memiliki tabel alokasi

acak yang terdiri 60 pasien ditambah pengacakan tambahan 50 pasien lain, untuk

mengantisipasi jika satu kabupaten memiliki pasien yang lebih dari kabupaten yang

lain.

Pasien diberi pengobatan standar untuk TB dan secara acak dibagi menjadi empat

kelompok suplementasi: zinc saja, vitamin A saja, zinc + vitamin A, dan plasebo.

Suplemen tersebut diminum setiap hari dan pasien diamati sampai 6 bulan.

Hasil utama dari penelitian ini adalah waktu konversi sputum. Hasil selanjutnya

adalah: status gizi (BMI, MUAC,% lemak tubuh), kelainan pada x-ray dada, dan hasil

pemeriksaan darah (CRP, plasma konsentrasi zinc dan vitamin A).

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia, yang

meliputi empat kabupaten di Timor dan Pulau Rote, yaitu Kota Kupang (ibukota

NTT), Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten

Rote -Ndao, dari Januari 2004 sampai Desember 2005.

Subjek dan ukuran sampel

Subjeknya adalah yang baru didiagnosis BTA positif (SS +) pasien TB berusia 15-55

tahun. Sebelum dan selama penelitian, semua perempuan hamil atau menyusui dan

subyek yang menderita penyakit kronis atau degeneratif, dikeluarkan. Semua pasien

yang memenuhi syarat diberi informasi mengenai studi termasuk masalah yang

mungkin terjadi, dan diminta untuk menandatangani informed consent atas partisipasi

mereka dalam studi. Ukuran sampel dihitung berdasarkan kemampuan untuk

menentukan perbedaan dengan α = 0,05 dan 1-β = 0,80 pada waktu konversi sputum,

status gizi (BMI) dan retinol dan zinc dalam konsentrasi plasma. Seperti konsentrasi

5

Page 6: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

plasma retinol adalah parameter yang membutuhkan ukuran sampel terbesar, ini

dihitung bahwa dengan ukuran sampel minimal 40 dalam setiap kelompok, perbedaan

antara-kelompok 0,12 umol / L di tingkat retinol plasma dapat dideteksi berdasarkan

pada studi sebelumnya . Perhitungan untuk tingkat drop-out 40%, masing-masing

kelompok dalam studi intervensi terdiri setidaknya 56 mata pelajaran.

suplemen Mikronutrien dan obat anti-TB

Suplemen dan plasebo disediakan oleh Kimia Farma Ltd, Indonesia, dalam bentuk

kapsul. Setiap kapsul mikronutrien mengandung 1.500 retinol setara (5000 IU)

vitamin A (seperti asetat retinil) dan / atau 15 mg zinc (sebagai sulfat zinc) dalam

matriks laktosa. Dosis zinc ditentukan berdasarkan rekomendasi harian yang

diperbolehkan untuk orang dewasa Indonesia. Berdasarkan penelitian sebelumnya di

Jakarta, dosis zinc adalah 15 mg dalam bentuk zinc sulfat [2]. Vitamin A diberikan

dalam kapsul dua kali dari RDA Indonesia, mengingat kemungkinan kekurangan dan

kebutuhan untuk mengatasi proses peradangan. Seperti yang ditemukan dalam studi

sebelumnya di Jakarta, 5000 IU vitamin A pada kombinasi dengan zinc, dianggap

memadai dan digunakan dalam penelitian ini [2]. Kapsul plasebo terdiri dari laktosa

saja. Semua kapsul sama dalam hal bentuk, warna dan ukuran. Obat TB standar

didasarkan pada pedoman WHO, yang terdiri dari 300 mg isoniazid, 450 mg

rifampisin, 1500 mg pirazinamid dan 750 mg etambutol setiap hari selama 2 bulan,

diikuti dengan 600 mg isoniazid dan 450 mg rifampisin tiga kali seminggu selama 4

bulan selanjutnya. Untuk memastikan kepatuhan terhadap pengobatan, setiap pasien

memiliki mitra-pengobatan seperti yang direkomendasikan oleh WHO dalam strategi

DOTS. Tugas mitra pengobatan adalah untuk mengamati kepatuhan pasien dan

melaporkan setiap kali terjadi masalah mengenai pengobatan TB. Mereka

memperoleh uang jika berhasil mempertahankan pengobatan seperti yang diberikan

oleh donor dari penelitian ini. Kepatuhan dari pasien diukur setiap bulan oleh laporan

6

Page 7: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

dari mitra pengobatan, kroscek ganda dengan blister obat TB, seperti untuk

suplementasi tersebut, kami menghitung kapsul yang tertunda untuk diambil setiap

bulan.

Pengumpulan data

Semua pasien menjalani pemeriksaan fisik, x-ray dada, penilaian gizi dan asupan

makanan seperti yang dijelaskan dalam penelitian lain [5], dan analisis darah sebelum

pengobatan dimulai, setelah fase intensif, dan pada akhir pengobatan, kecuali untuk

pemeriksaan dahak , yang dilakukan setiap minggu. Tes HIV tidak dilakukan karena

daerah tersebut masih dikenal sebagai daerah prevalensi rendah untuk infeksi HIV,

dan juga untuk HIV-TB co-infeksi [11].

waktu konversi Sputum

Selama 2 bulan pertama penelitian, para pasien diminta untuk datang ke klinik setiap

minggu untuk memberikan dahak mereka untuk pemeriksaan Pap AFB langsung.

Tiga spesimen dahak pagi diambil dari pasien dan diperiksa dengan mikroskop

langsung setelah pewarnaan Ziehl-Neelsen di setiap Pusat Kesehatan. Waktu dicatat

di tiga minggu pertama berturut-turut sediaan apus dahak 'berkualitas baik adalah

negatif. Dalam hal ini, tidak semua sampel dahak yang diberikan, atau dahak itu

bukan dari kualitas yang memadai, data dianggap hilang.

pemeriksaan x-ray dada

Rontgen dada dilakukan untuk diagnosis pada semua pasien dan dievaluasi dengan

menghitung luas lesi yang terlihat di kedua paru-paru. Pada pasien dengan rongga,

7

Page 8: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

total luas dinding rongga yang terlihat dihitung dari radius rongga yang terlihat (πr2)

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya [2].

Status gizi

Status gizi ditentukan berdasarkan pengukuran antropometri dan konsentrasi

mikronutrien dalam plasma. Pengukuran antropometri yakni: berat badan, tinggi

badan, indeks massa tubuh, ketebalan lipatan kulit dan persentase lemak tubuh.

Berat badan diukur dengan menggunakan model platform elektronik skala berat (770

alpha, Seca, Hamburg, Jerman) dengan 0,1 kg terdekat. Tinggi tercatat pada 0,1 cm

terdekat menggunakan microtoise. IMT dihitung sebagai berat badan dibagi dengan

kuadrat tinggi badan (kg/m2). lingkar lengan atas (MUAC) diukur menggunakan pita

pengukuran yang fleksibel. Ketebalan lipatan kulit diukur pada 4 lokasi: bisep, trisep,

sub-scapular, dan daerah supra-iliaka, dengan kaliper skinfold (produk kesehatan

Kreatif, Plymouth, Michigan, 48170), dicatat dalam 0,2 mm terdekat. Persentase

lemak tubuh total berdasarkan data skinfold, dan dihitung menggunakan persamaan

Durnin dan Wormesley [12].

Pemeriksaan Darah

Sampel darah diambil antara pukul 08.00 dan 10.00 pagi di pusat kesehatan setempat.

Sekitar 15 mL utuh darah puasa diambil dan dipisahkan menjadi 4 vacutainers

(Becton Dickinson, Rutherford, NJ) yang mengandung EDTA dan heparin.

konsentrasi Zinc dan vitamin A diukur dalam plasma. C-reactive protein (CRP)

diukur untuk menyesuaikan kekurangan mikronutrien dalam analisis statistik. Plasma

dipisahkan setelah sentrifugasi pada 750 × g selama 10 menit pada suhu kamar, dan

kemudian disimpan di minus 20 ° C sampai dianalisis untuk CRP, retinol, dan

konsentrasi zinc di Laboratorium SEAMEO-TROPMED, Jakarta. C-reactive protein

(CRP) diukur dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay

8

Page 9: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

(ELISA) dengan nilai normal <10 mg / L. konsentrasi Plasma retinol diukur dengan

kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC), nilai kurang dari 0,70 umol / L dianggap

sebagai indikasi defisiensi, dan nilai-nilai antara 0,70 umol / L dan 1,4 umol / L

menunjukkan defisiensi marjinal [13]. Plasma zinc dianalisis menggunakan

spektrometri serapan atom (SSA) dengan nilai> 10,7 umol / L dianggap normal.

Penentuan hemoglobin, WBC, dan ESR dilakukan pada hari yang sama di

laboratorium rumah sakit provinsi. Hemoglobin dan WBC dianalisis menggunakan

alat analisis otomatis (ABX Micros 60, Perancis). Titik pintas untuk hemoglobin

normal adalah> 120 g / L dan> 130 g / L untuk wanita dan pria masing-masing, dan

ESR dinilai menggunakan teknik Westengren dengan nilai normal <20 mm / jam.

Serum albumin diukur dengan menggunakan spektrofotometer (Microlab 300, Merck,

Jerman) dengan kisaran normal 35-52 g / L.

Analisis statistik

Sebuah tes dengan satu-sampel Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk mengetahui

apakah variabel terdistribusi secara normal. Data karakteristik subyek pada saat

pendaftaran untuk distribusi usia dan jenis kelamin, status gizi, konsentrasi darah, dan

hasil dari tanda-tanda radiologis yang dirangkum dan digunakan untuk menilai

perbandingan pasien secara acak diberikan bagi empat kelompok pengobatan. Cara

yang berbeda antara kelompok yang diuji untuk menggunakan ANOVA satu arah

secara signifikansi dengan terdistribusi normal, dan Kruskal-Wallis dengan

terdistribusi tidak-normal. perpanjangan analisis (ANCOVA) selanjutnya digunakan

untuk menentukan prediksi hasil. Proporsi yang berbeda dengan kelompok yang diuji

dengan menggunakan chi-squared tes. Dalam perubahan kelompok diuji dengan

menggunakan paired t-student test untuk data terdistribusi normal dan Wilcoxon

signed-rank untuk data tidak-terdistribusi normal. Sebuah nilai p kurang dari 0,05

dianggap signifikan. Niat untuk mengobati analisis diterapkan. Analisis statistik

9

Page 10: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer SPSS untuk versi PC

Windows 14.0 (SPSS Inc, Chicago, IL, USA) [14].

Pertimbangan etis

Penelitian ini berpegang pada Dewan Organisasi Internasional pedoman Ilmu

Kesehatan (CIOMS, 1991). Data dikumpulkan setelah subyek setuju untuk

berpartisipasi dalam penelitian dan memberikan persetujuan tertulis secara sukarela.

Proposal penelitian disetujui oleh Komite Etika Fakultas Kedokteran, Universitas

Indonesia.

Hasil

Sebanyak 300 pasien yang terdaftar dalam penelitian ini dan secara acak

dikelompokkan menjadi 4 kategori intervensi, yaitu suplementasi zinc (n = 76),

vitamin A (n = 72),kombinasi zinc + vitamin A (n = 66) dan plasebo ( n = 86).

Setelah dua bulan 274 pasien masih dalam penelitian dan dianalisis, sementara 255

pasien menyelesaikan penelitian setelah 6 bulan dan dianalisis. (Gambar 1). Dari

semua subyek, kami menerima laporan dari mitra-pengobatan bahwa 22 pasien (dari

total 255 pasien yang menyelesaikan pengobatan TB) tidak sesuai dengan prosedur

penelitian.

gambar 1. Profil percobaan. Termasuk alasan untuk pasien

yang keluar selama penelitian

Usia rata-rata pasien adalah 31,5 tahun dan 63% dari mereka adalah laki-laki

(Tabel 1). Sputum positif kelas 3 adalah yang paling lazim. Prevalensi rongga pada

X-ray dada hampir 40% untuk semua kelompok. Temuan ini menyarankan bahwa

10

Page 11: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

pasien memiliki TB yang parah. Tidak ada perbedaan karakteristik awal antara 4

kelompok pasien kecuali untuk proporsi pasien dengan rongga (Tabel 1).

Tabel 1. Perubahan pada BTA AFB dan radiograf setelah 2 dan 6 bulan

Dalam total 237 pasien diberikan semua sampel dahak yang diperlukan dan

berkualitas baik dan sisanya dianggap sebagai data yang hilang. Seperti terlihat pada

tabel 1, berarti waktu konversi dahak pada kelompok intervensi ZInc + vitamin A

adalah yang terpendek, dan bahwa dari kelompok intervensi seng adalah yang

terpanjang. kelompok Zinc+ vitamin A (n = 50) dan vitamin A (n = 56) menunjukkan

sedikit waktu untuk mencapai 85% dari konversi sputum, diikuti oleh kelompok

plasebo (n = 62). Kelompok suplementasi seng (n = 68) menunjukkan butuh waktu

yang sangat lama untuk mencapai 85% dari konversi sputum. Namun, tidak ada

perbedaan yang signifikan dari waktu konversi sputum yang diamati antara kelompok

(ANCOVA, p> 0,05). Faktor-faktor yang termasuk dalam analisis ini adalah tingkat

AFB, kepatuhan, dan perbedaan dari seng dan kadar retinol dari kadar terendah.

Setelah satu minggu, dahak BTA negatif dalam 58,5% dari kelompok pasien seng +

vitamin A, di 45,6% dari pasien dalam kelompok vitamin A dan kelompok plasebo,

sedangkan kelompok seng menunjukkan persentase terendah (35,3%). kelompok

Seng + vitamin A (n = 50) dan vitamin A (n = 56) menunjukkan sedikit waktu untuk

mencapai 85% dari konversi sputum, diikuti oleh kelompok plasebo (n = 62).

Kelompok suplementasi seng (n = 68) menunjukkan waktu yang sangat lama untuk

mencapai 85% dari konversi sputum. Setelah dua bulan tidak ada perbedaan

signifikan yang ditemukan antara kelompok (Gambar 2). Mempertimbangkan WHO

tingkat keberhasilan target konversi 85% menjadi negatif, kami mengamati bahwa

pasien dalam kelompok suplementasi seng + vitamin A mencapai target dalam waktu

4 minggu, mirip dengan kelompok vitamin A, diikuti oleh kelompok plasebo (5

minggu), dan seng kelompok (6,6 minggu).

11

Page 12: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

 Gambar 2. Kumulatif persentase waktu konversi sputum.

Seng + vitamin A (n = 50) dan vitamin A kelompok (n = 56)

menunjukkan sedikit waktu untuk mencapai 85% dari

konversi sputum, diikuti oleh kelompok plasebo (n = 62).

Berarti BMI untuk empat kelompok bervariasi 16,4-16,6 dan 16,5 untuk semua 300

pasien, menunjukkan gizi buruk (Tabel 2). Lima puluh persen dari pasien memiliki

BMI lebih rendah dari 16,5 kg/m2 ketika terdaftar dalam penelitian, sisanya adalah

malnutrisi sedang (33%) dan status gizi normal (17%). Nilai rata-rata MUAC dan

persentase lemak tubuh yang sangat rendah.

Tabel 2. Perubahan pengukuran antropometrik sebelumnya, pada dua dan enam bulan

pengobatan

Setelah 2 bulan pengobatan, ada perbaikan yang signifikan dari status zat gizi mikro

dalam kelompok dibandingkan dengan tingkat awal, terutama pada pasien yang diberi

vitamin A dan dikombinasikan suplementasi seng atau plasebo (Tabel 3). Proporsi

rongga di x-ray dada secara signifikan berbeda antara empat kelompok tetapi tidak

setelah 6 bulan pengobatan (Tabel 1). Perubahan proporsi antara kelompok Namun,

tidak signifikan. Pada akhir pengobatan, perubahan yang signifikan dari yang

terendah diamati untuk semua variabel kecuali untuk konsentrasi seng pada kelompok

yang mendapat vitamin A dan kelompok yang menerima seng + vitamin A, tetapi

tidak ada perbedaan antara kelompok yang diamati (Tabel 1).

Tabel 3. Perubahan parameter darah sebelumnya, pada dua dan enam bulan

pengobatan

Diskusi

12

Page 13: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

Dalam komunitas percobaan secara acak ini, suplementasi dengan seng dan vitamin

A, baik sendiri atau dikombinasikan, gagal untuk menunjukkan keunggulan atas

plasebo. Ini tak terduga, karena kami tidak bisa mengkonfirmasi hasil penelitian

sebelumnya di Jakarta, di mana vitamin A dan suplemen seng bermanfaat dalam hal

waktu konversi sputum [2]. Hasil yang mirip dengan kita berkaitan dengan

suplementasi seng diperoleh dalam studi di Tanzania [15], di mana suplemen tersebut

tidak menyebabkan pengurangan waktu dahak konversi dibandingkan dengan

suplementasi dengan baik multi-mikronutrien atau plasebo. Juga, suplemen seng tidak

meningkatkan respon kekebalan di antara pasien TB terinfeksi HIV dalam studi di

Singapura [16]. Para penulis selanjutnya menyimpulkan bahwa tanpa adanya

defisiensi zinc, suplementasi seng tambahan tidak memberi manfaat. Dan untuk yang

kami ketahui, data mengenai efek suplemen vitamin A dalam TB tidak meyakinkan

[17-19].

Bagaimana kita dapat menjelaskan perbedaan antara hasil studi Jakarta dan hasilnya

saat ini? Penjelasan pertama mungkin ditemukan dalam konsentrasi retinol dan

respon inflamasi pada awal. Dalam studi Jakarta, yang lebih tinggi berarti konsentrasi

retinol (0.8 ìmol / L dan 0,9 umol / L untuk dilengkapi dan kelompok plasebo,

masing-masing) ditemukan dibandingkan dalam penelitian ini (0,7 ìmol / L untuk

semua kelompok) [2]. dasar rata-rata konsentrasi CRP dalam studi Jakarta (53 mg / L

untuk kelompok mikronutrien dan 44,1 untuk kelompok plasebo) hampir dua kali

lebih tinggi dalam penelitian ini (rata-rata CRP untuk semua kelompok = 28,4 mg /

L). Tinggi konsentrasi CRP mencerminkan respon inflamasi kuat, yang dikenal untuk

menurunkan plasma retinol konsentrasi [20]. Dengan demikian, pasien dalam studi

Jakarta mungkin memiliki tingkat yang lebih rendah dari kekurangan vitamin A,

peradangan yang mengarah ke tingkat rendah retinol plasma. Ini mungkin berarti

bahwa dosis tinggi vitamin A akan diperlukan untuk pasien TB dari penelitian ini

untuk mencapai konsentrasi retinol yang diperlukan untuk efek klinis. Hal ini juga

dibuktikan dengan konsentrasi retinol pada 2 dan 6 bulan intervensi, yang tidak bisa

13

Page 14: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

meningkatkan tingkat retinol dalam plasma. Hal ini sejalan dengan penelitian di

Malawi yang menyimpulkan bahwa Suplementasi pada tingkat penyisihan harian

yang direkomendasikan (RDA) tidak memenuhi hasil utama mereka [21]. Berbeda

dengan ini, penelitian di Tanzania yang digunakan Suplementasi multimicronutrient

4-10 kali lebih tinggi dari RDA, kambuh TB berkurang antara HIV-positif dewasa

dengan TB, dan meningkatkan jumlah T-sel dari pasien HIV-negatif [22]. Berkenaan

dengan seng di sisi lain, tingkat pada awal sudah sedikit di atas kekurangan

memotong (10,7 ìmol / L). Hal ini dapat menjelaskan kurangnya kemanjuran diamati

untuk seng [2].

Penjelasan kedua dapat dihubungkan dengan perbedaan dalam radiografi dada dan

tingkatan sputum BTA positif, merupakan prediktor penting dari konversi sputum

[23]. Jumlah pasien dengan rongga dalam studi kami adalah sama (38%) dengan yang

di studi Jakarta (37,5% dari total pasien dalam kelompok kedua). Lebih penting

bagaimanapun, adalah bahwa dalam penelitian ini, proporsi pasien dengan rongga di

antara empat kelompok berbeda secara signifikan pada awal (Tabel 1), dengan

proporsi tertinggi rongga (51,5%) hadir pada pasien dari suplementasi vitamin A

kelompok. Ketidakseimbangan ini mungkin telah mengaburkan pengaruh

suplementasi vitamin A tetapi tidak akan menjelaskan kurangnya efek di seng +

kelompok vitamin A. Temuan dari penelitian di Spanyol menunjukkan hubungan

antara kehadiran rongga dan waktu konversi di hadapan HIV co-infeksi. Disimpulkan

bahwa rongga memperpanjang waktu konversi, dan keberadaan HIV menurunkan

prevalensi produksi rongga di paru-paru seperti yang ditangkap di dada x-ray.

Dengan demikian, tidak adanya (mungkin proporsi yang sangat kecil) dari HIV co-

infeksi dalam penelitian ini menyebabkan pembentukan rongga di paru-paru dan pada

akhirnya memperpanjang waktu konversi [24].

Tingkat keparahan TB pada pasien kami yang disaksikan oleh fakta bahwa 40%

memiliki sputum BTA positif kelas 3 sebelum perawatan sedangkan dalam studi

Jakarta 68% memiliki kelas 1 (untuk kedua ditambah dan kelompok plasebo) dan ini

14

Page 15: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

dapat diharapkan untuk mengarah pada lama waktu konversi sputum [23]. Ini

mungkin bahwa efek suplementasi tidak menjadi jelas dalam kasus yang parah

tersebut.

Penjelasan ketiga untuk perbedaan antara studi saat ini dan studi sebelumnya di

Jakarta berkaitan dengan ukuran sampel. Di Jakarta, ukuran sampel diperkirakan

"pada kemampuan untuk menentukan perbedaan cosentration retinol dalam plasma,

dengan alpha = 0,05 dan 1-beta = 0,95 dengan menggunakan uji satu-ekor untuk

konsentrasi hemoglobin dalam darah, dan retinol dan seng dalam plasma "[2].

Temuan dalam sidang Jakarta, dari pengaruh zinc + suplementasi vitamin A pada

waktu konversi sputum tak terduga karena tidak ada ukuran sampel diperkirakan

untuk hasil tertentu. Dalam penelitian ini, dirancang untuk konfirmasi dari hasil

sebelumnya, efek pada waktu sputum konversi tidak ditemukan. Dengan demikian,

kemungkinan itu nyata bahwa temuan pada studi pertama itu tidak sah, karena

underpowerment dari studi untuk mengukur perbedaan waktu konversi sputum.

Penjelasan lain mungkin berhubungan dengan pengamatan bahwa pasien dalam studi

saat ini lebih kurang gizi dibandingkan dengan pasien dalam studi Jakarta. Berarti

BMI kohort kami Kg/m2as 16,5 dibandingkan dengan 18,5 kg/m2 dalam studi

Jakarta [2]. Tidak ada studi populasi yang tersedia didasarkan pada kekurangan gizi

orang dewasa, namun sebuah penelitian terbaru menemukan 33% dari gizi terjadi di

kalangan tetangga dari pasien TB [25]. Seperti BMI yang rendah mungkin

mencerminkan dua proses. Satu akan protein energi malnutrisi (yang sangat

mempengaruhi pertahanan tuan rumah) dan wasting lain karena katabolisme

disebabkan oleh respon fase akut [26]. Seperti ditemukan dalam subjek kami, BMI

meningkat seiring dengan mengurangi peradangan. Ketika pasien mendapat sembuh,

seperti yang ditunjukkan di daerah lesi total paru-paru, mereka bertambah berat badan

lebih banyak dan juga mikronutrien lainnya, seperti zat besi, seng dan vitamin A.

(Tabel 1 dan 3) ini mungkin dapat menjelaskan bagaimana hemoglobin meningkat,

meskipun itu masih dalam batas yang dianggap normal.

15

Page 16: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

Tak satu pun dari asupan rendah atau wasting secara langsung dipengaruhi oleh

suplementasi mikronutrien dan karena itu mungkin tidak luar biasa bahwa kita gagal

untuk menunjukkan efek dalam penelitian ini. Selain kekurangan makronutrien, ada

juga kemungkinan bahwa tambahan mikronutrien kekurangan yang hadir dalam

populasi penelitian, yang tidak dapat dikoreksi dengan seng dan vitamin A.

Misalnya, vitamin D telah terlibat dalam pertahanan terhadap TB, tetapi kekurangan

vitamin D adalah masalah di seluruh dunia. Selain itu mungkin ada hubungan antara

kekurangan vitamin D dengan etnisitas. Dalam studi Jakarta, pasien terutama dari

Jawa, Sunda dan Sumatera, dengan minoritas lain, penelitian ini sebagian besar terdiri

dari pasien adat atas Timor dan pulau-pulau Rote [27]. Kami menemukan di wilayah

studi yang sama bahwa etnisitas dikaitkan dengan perkembangan TB dan tingkat

keparahan TB [28,29]. Sejalan dengan ini, sebuah penelitian terbaru menunjukkan

bahwa vitamin D polimorfisme reseptor genetik dikaitkan dengan waktu konversi

kultur sputum [30]. Juga itu menunjukkan bahwa vitamin D reseptor genotipe

independen memprediksi waktu BTA konversi saat terapi anti-TB [31]. Orang

mungkin berspekulasi bahwa latar belakang etnis juga memainkan peran dalam

respon terhadap suplementasi dengan mikronutrien.

Kami menyimpulkan bahwa kelompok pasien di sini, menderita TBC berat dengan

rongga dalam setidaknya sepertiga dari pasien, dan kelas sputum positif yang tinggi.

Para pasien kekurangan vitamin A sedangkan seng berada di batas tapi cukup untuk

mendukung sistem kekebalan tubuh dan mungkin lebih penting, juga sangat

kekurangan gizi. Itu juga penting untuk melihat bahwa suplementasi tidak bisa

mengangkat tingkat retinol dan seng plasma lebih tinggi dari batas tersebut. Terhadap

latar belakang ini kami tidak mampu mereplikasi hasil studi Jakarta yang

menunjukkan efek menguntungkan dari vitamin A dan seng di TB. Ini berarti bahwa

temuan sebelumnya di Jakarta tidak bisa disamaratakan. Untuk studi lebih lanjut,

ukuran sampel yang lebih besar akan diperlukan, dan dosis yang lebih tinggi dari

16

Page 17: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

seng dan vitamin A Suplementasi harus dipertimbangkan. Juga, pada pasien dengan

BMI sangat rendah, efek Suplementasi protein memerlukan penelitian lebih lanjut.

Daftar Singkatan

AAS: (atomic absorption spectrometry); AFB: (acid fast bacilli); ANOVA(Analysis

of variance); ANCOVA: (Analysis of covariance); BMI(body mass index); CIOMS:

(Council for International Organization of Medical Sciences); CRP(C reactive

protein); ELISA: (enzyme-linked immunosorbent assay); ESR: (erythrocyte

sedimentation rate); HIV(Human immunodeficiency virus); HPLV: (high

performance liquid chromatography); MUAC(mid upper-arm circumference); NTT:

(East Nusa Tenggara Province); RDA(Recommended daily allowance); SPSS:

(Statistical Package for Social Science); SS(sputum smear); TB: (tuberculosis); TTU:

(Northern Central Timor District); WBC: (white blood cell); WHO: (World Health

Organization)

Kepentingan Bersaing

Kami menyatakan bahwa tidak ada kepentingan bersaing, baik aspek keuangan

maupun aspek-aspek lainnya, dalam mengejar dan mempublikasikan penelitian.

Kontribusi Penulis

TAP memimpin pengumpulan data di lapangan, melakukan analisis dan penulisan

naskah. EK adalah peneliti utama yang merancang penelitian. NMDS, MS dan ND

memberikan kontribusi dalam manajemen pasien dan pemantauan. HB membantu

dalam analisis statistik. KvdV, WMVD, dan JvdM membantu dalam mengawasi

analisis, penilaian temuan, dan penulisan uji coba secara keseluruhan. Semua penulis

telah membaca dan menyetujui versi final dari naskah.

Informasi Penulis

17

Page 18: Seng Dan Vitamin a Gagal Untuk Mengurangi Waktu Konversi Sputum Penderita Gizi Buruk Penderita TB Paru Di Indonesia

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari yang sebelumnya diterbitkan di Am J Clin

Nutr 2002; 75:720-7 ketika EK mendapat promosi nya dari Radboud University

Nijmegen Medical Center, di bawah pengawasan JvdM. Penulis pertama adalah

seorang dokter calon di bawah supervisi dari JvdM, KvdV dan WMVD.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini dilakukan dengan dukungan keuangan dari Badan Pembangunan

Internasional Kanada (CIDA) melalui World Vision International Indonesia:

Makanan Terintegrasi untuk Hinder Proyek TB (yang WVI - Proyek FIGHT) di Nusa

Tenggara Timur (NTT). Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dinas

kesehatan provinsi dan kabupaten di NTT untuk kolaborasi dalam penelitian ini. Juga

terima kasih kepada Puskesmas dan empat rumah sakit kabupaten. Terakhir, kami

mengirim terima kasih kepada tim riset kami di staf Kupang, administrasi dan

laboratorium di SEAMEO TROPMED RCCN Universitas Indonesia.

18