Upload
firda-ulfa-lusiana
View
66
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Zinc Dan Vitamin A Gagal dalam Mengurangi Waktu Konversi
Sputum pada Penderita Tb Paru yang mengalami gizi buruk Di
Indonesia
Trevino A Pakasi1,2*, Elvina Karyadi1,8, Ni Made D Suratih3, Michael Salean4, Nining
Darmawidjaja5, Hans Bor6, Koos van der Velden6, Wil MV Dolmans7 and Jos WM van der
Meer7
*Corresponding author: Trevino A Pakasi [email protected] East Asia Minister of Education Organization Tropical Medicine (SEAMEO TROPMED)
Regional Center for Community Nutrition, University of Indonesia, Jl. Salemba Raya no.6,
Jakarta Pusat 10420, Indonesia2Department of Community Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia, Jl.
Pegangsaan Timur no.16, Jakarta Pusat 10302, Indonesia3Department of General Medicine, WZ Johannes General Hospital Jl. Mohammad Hatta no.19,
Kupang, Indonesia4Department of Radiology WZ Johannes General Hospital, Jl. Mohammad Hatta no.19,
Kupang, Indonesia5Kefamenanu General Hospital, North Middle Timor District (TTU) Jl. Letjend Suprapto,
Kefamenanu, Indonesia6Department of Primary and Community Care, Radboud University Nijmegen Medical Center,
Nijmegen International Center for Health Systems Research and Education, Geert
Grooteplein Noord 21, Nijmegen 6525 EZ, the Netherlands7Department of Internal Medicine, Radboud University Nijmegen Medical Center and
Nijmegen Center for Infection, Inflammation and Immunity (N4I), Geert Grooteplein Zuid 8,
Nijmegen 6525 GA, the Netherlands8Micronutrient Initiative, Gedung Wirausaha Lt. 2 Jl. HR. Rasuna Said Kav C5, Jakarta 12920,
Indonesia
For all author emails, please log on.
Nutrition Journal 2010, 9:41 doi:10.1186/1475-2891-9-41
The electronic version of this article is the complete one and can be found online
at:http://www.nutritionj.com/content/9/1/41
Received:
10 January 2010
Accepted:
28 September 2010
Publishe 28 September
1
d: 2010
© 2010 Pakasi et al; licensee BioMed Central Ltd.
This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution
License (http://creativecommons.org/licenses/by/2.0), which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
Abstrak
Latar Belakang
Sebuah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kombinasi zinc dan vitamin A
mengurangi konversi waktu sputum pada pasien tuberkulosis paru (TB).
Tujuan
Kami mempelajari kemanjuran dari mikronutrien tunggal dalam memberikan
kontribusi lebih untuk waktu konversi sputum.
Metode
Dalam uji coba acak komunitas double-blind, BTA positif pada pasien TB paru
diberikan secara acak untuk menerima zinc, vitamin A, zinc + vitamin A atau plasebo
pada awal pengobatan TB. Pasien diminta untuk memberikan dahak mereka dalam
seminggu untuk mengetahui positif adanya bakteri. Status gizi, x-ray dada,
hemoglobin, protein C-reaktif (CRP), retinol dan tingkat zinc diperiksa sebelum,
setelah 2 dan 6 bulan pengobatan.a
Hasil
Awalnya, 300 pasien yang terdaftar, dan 255 menyelesaikan pengobatan.
Kebanyakan pasien mengalami kekurangan gizi (BMI rata-rata 16,5 ± 2,2 kg/m2).
Pasien dalam kelompok yang diberi Zinc + vitamin A menunjukkan waktu konversi
2
dahak lebih cepat (rata-rata 1,9 minggu) dibandingkan dengan di kelompok lain,
namun perbedaan itu tidak signifikan. Juga, tidak ada manfaat yang bisa ditunjukkan
dari salah satu Suplementasi yang digunakan pada klinis, gizi, x-ray dada, atau
temuan laboratorium.
Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan pada pasien TB malnutrisi berat, tidak terbukti bahwa
suplemen tunggal atau gabungan dari zinc dan vitamin A secara signifikan
mengurangi waktu konversi sputum atau memiliki manfaat yang signifikan lainnya.
Latar belakang
Adanya defisiensi mikronutrien pada pasien tuberkulosis (TB) telah menimbulkan
pertanyaan apakah suplementasi mikronutrien akan memberikan manfaat tambahan
untuk pasien pada awal pengobatan TB [1]. Pada uji klinis sebelumnya dari kelompok
kami menemukan bahwa suplemen kombinasi zinc dan vitamin A menghasilkan
konversi sputum lebih awal dibanding plasebo, yang dimulai sejak 2 minggu setelah
pemberian standar pengobatan anti-TB [2].
Vitamin A, seperti yang ditemukan sebagai retinol dalam plasma, merupakan salah
satu mikronutrien penting yang memiliki fungsi kekebalan tubuh yang spesifik [3].
Ditemukannya kekurangan vitamin A pada pasien TB paru sputum-positif
dibandingkan dengan subyek sehat telah terbukti [1,4]. dan terkait dengan pasien TB
paru dewasa[5].
Zinc merupakan mineral yang sangat penting untuk fungsi sel-sel dari sistem
kekebalan tubuh, [6] dan kekurangan ringan menekan fungsi kekebalan tubuh pada
manusia [7]. Zinc juga dikenal sebagai mineral penting untuk mobilisasi normal
vitamin A dari hati ke plasma [8].
3
Seperti dalam program lain melawan TB, Program Tuberculosis Nasional di
Indonesia menyatakan bahwa hilangnya asam-BTA (AFB) dari dahak setelah
pengobatan adalah dasar dalam manajemen pasien TB paru. Kehadiran AFB dalam
dahak dapat dinilai dengan visualisasi langsung menggunakan mikroskop cahaya, dan
dapat dibuktkani oleh pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis dalam kultur dahak.
Konversi sediaan apus dahak pada status AFB-negatif hanya digunakan di Negara
dengan sumber daya terbatas [9] sementara di negara-negara berkembang
keberhasilan pengobatan diukur dengan konversi tidak ada pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis (MTB) dalam kultur dahak [10].
Efektivitas terapi anti-TB ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk beban
mikobakteri, yang mendasari status kekebalan, kepatuhan terhadap pengobatan, dan
kerentanan terhadap obat. Dalam menghadapi ancaman baru untuk memerangi
tuberkulosis, yaitu multidrug dan MTB resistensi obat secara luas, dan juga penyakit
imunosupresif (HIV, diabetes, kekurangan gizi), studi tentang mikronutrien sebagai
modulator dari sistem kekebalan tubuh sangat penting. Ini akan membuktikan
pentingnya suplementasi melawan TBC. Mengikuti temuan sebelumnya di Jakarta,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi tunggal atau
kombinasi zinc atau vitamin A, pada waktu konversi dahak dan status kesehatan
pasien yang baru didiagnosa TB paru. Penelitian ini dilakukan di provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) yang dipilih dengan zincaja, karena relatif lebih miskin
daripada di Jakarta dengan prevalensi tinggi gizi buruk dan rentan kerawanan pangan
seperti yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2005.
Metode
Desain penelitian, waktu dan lokasi
4
Desain penelitian ini adalah double-blind, uji coba komunitas secara acak. Sebelum
penelitian, pengacakan dilakukan dengan menggunakan program komputer, di mana
kode pengobatan diberikan kepada subjek. Setiap kabupaten memiliki tabel alokasi
acak yang terdiri 60 pasien ditambah pengacakan tambahan 50 pasien lain, untuk
mengantisipasi jika satu kabupaten memiliki pasien yang lebih dari kabupaten yang
lain.
Pasien diberi pengobatan standar untuk TB dan secara acak dibagi menjadi empat
kelompok suplementasi: zinc saja, vitamin A saja, zinc + vitamin A, dan plasebo.
Suplemen tersebut diminum setiap hari dan pasien diamati sampai 6 bulan.
Hasil utama dari penelitian ini adalah waktu konversi sputum. Hasil selanjutnya
adalah: status gizi (BMI, MUAC,% lemak tubuh), kelainan pada x-ray dada, dan hasil
pemeriksaan darah (CRP, plasma konsentrasi zinc dan vitamin A).
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia, yang
meliputi empat kabupaten di Timor dan Pulau Rote, yaitu Kota Kupang (ibukota
NTT), Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten
Rote -Ndao, dari Januari 2004 sampai Desember 2005.
Subjek dan ukuran sampel
Subjeknya adalah yang baru didiagnosis BTA positif (SS +) pasien TB berusia 15-55
tahun. Sebelum dan selama penelitian, semua perempuan hamil atau menyusui dan
subyek yang menderita penyakit kronis atau degeneratif, dikeluarkan. Semua pasien
yang memenuhi syarat diberi informasi mengenai studi termasuk masalah yang
mungkin terjadi, dan diminta untuk menandatangani informed consent atas partisipasi
mereka dalam studi. Ukuran sampel dihitung berdasarkan kemampuan untuk
menentukan perbedaan dengan α = 0,05 dan 1-β = 0,80 pada waktu konversi sputum,
status gizi (BMI) dan retinol dan zinc dalam konsentrasi plasma. Seperti konsentrasi
5
plasma retinol adalah parameter yang membutuhkan ukuran sampel terbesar, ini
dihitung bahwa dengan ukuran sampel minimal 40 dalam setiap kelompok, perbedaan
antara-kelompok 0,12 umol / L di tingkat retinol plasma dapat dideteksi berdasarkan
pada studi sebelumnya . Perhitungan untuk tingkat drop-out 40%, masing-masing
kelompok dalam studi intervensi terdiri setidaknya 56 mata pelajaran.
suplemen Mikronutrien dan obat anti-TB
Suplemen dan plasebo disediakan oleh Kimia Farma Ltd, Indonesia, dalam bentuk
kapsul. Setiap kapsul mikronutrien mengandung 1.500 retinol setara (5000 IU)
vitamin A (seperti asetat retinil) dan / atau 15 mg zinc (sebagai sulfat zinc) dalam
matriks laktosa. Dosis zinc ditentukan berdasarkan rekomendasi harian yang
diperbolehkan untuk orang dewasa Indonesia. Berdasarkan penelitian sebelumnya di
Jakarta, dosis zinc adalah 15 mg dalam bentuk zinc sulfat [2]. Vitamin A diberikan
dalam kapsul dua kali dari RDA Indonesia, mengingat kemungkinan kekurangan dan
kebutuhan untuk mengatasi proses peradangan. Seperti yang ditemukan dalam studi
sebelumnya di Jakarta, 5000 IU vitamin A pada kombinasi dengan zinc, dianggap
memadai dan digunakan dalam penelitian ini [2]. Kapsul plasebo terdiri dari laktosa
saja. Semua kapsul sama dalam hal bentuk, warna dan ukuran. Obat TB standar
didasarkan pada pedoman WHO, yang terdiri dari 300 mg isoniazid, 450 mg
rifampisin, 1500 mg pirazinamid dan 750 mg etambutol setiap hari selama 2 bulan,
diikuti dengan 600 mg isoniazid dan 450 mg rifampisin tiga kali seminggu selama 4
bulan selanjutnya. Untuk memastikan kepatuhan terhadap pengobatan, setiap pasien
memiliki mitra-pengobatan seperti yang direkomendasikan oleh WHO dalam strategi
DOTS. Tugas mitra pengobatan adalah untuk mengamati kepatuhan pasien dan
melaporkan setiap kali terjadi masalah mengenai pengobatan TB. Mereka
memperoleh uang jika berhasil mempertahankan pengobatan seperti yang diberikan
oleh donor dari penelitian ini. Kepatuhan dari pasien diukur setiap bulan oleh laporan
6
dari mitra pengobatan, kroscek ganda dengan blister obat TB, seperti untuk
suplementasi tersebut, kami menghitung kapsul yang tertunda untuk diambil setiap
bulan.
Pengumpulan data
Semua pasien menjalani pemeriksaan fisik, x-ray dada, penilaian gizi dan asupan
makanan seperti yang dijelaskan dalam penelitian lain [5], dan analisis darah sebelum
pengobatan dimulai, setelah fase intensif, dan pada akhir pengobatan, kecuali untuk
pemeriksaan dahak , yang dilakukan setiap minggu. Tes HIV tidak dilakukan karena
daerah tersebut masih dikenal sebagai daerah prevalensi rendah untuk infeksi HIV,
dan juga untuk HIV-TB co-infeksi [11].
waktu konversi Sputum
Selama 2 bulan pertama penelitian, para pasien diminta untuk datang ke klinik setiap
minggu untuk memberikan dahak mereka untuk pemeriksaan Pap AFB langsung.
Tiga spesimen dahak pagi diambil dari pasien dan diperiksa dengan mikroskop
langsung setelah pewarnaan Ziehl-Neelsen di setiap Pusat Kesehatan. Waktu dicatat
di tiga minggu pertama berturut-turut sediaan apus dahak 'berkualitas baik adalah
negatif. Dalam hal ini, tidak semua sampel dahak yang diberikan, atau dahak itu
bukan dari kualitas yang memadai, data dianggap hilang.
pemeriksaan x-ray dada
Rontgen dada dilakukan untuk diagnosis pada semua pasien dan dievaluasi dengan
menghitung luas lesi yang terlihat di kedua paru-paru. Pada pasien dengan rongga,
7
total luas dinding rongga yang terlihat dihitung dari radius rongga yang terlihat (πr2)
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya [2].
Status gizi
Status gizi ditentukan berdasarkan pengukuran antropometri dan konsentrasi
mikronutrien dalam plasma. Pengukuran antropometri yakni: berat badan, tinggi
badan, indeks massa tubuh, ketebalan lipatan kulit dan persentase lemak tubuh.
Berat badan diukur dengan menggunakan model platform elektronik skala berat (770
alpha, Seca, Hamburg, Jerman) dengan 0,1 kg terdekat. Tinggi tercatat pada 0,1 cm
terdekat menggunakan microtoise. IMT dihitung sebagai berat badan dibagi dengan
kuadrat tinggi badan (kg/m2). lingkar lengan atas (MUAC) diukur menggunakan pita
pengukuran yang fleksibel. Ketebalan lipatan kulit diukur pada 4 lokasi: bisep, trisep,
sub-scapular, dan daerah supra-iliaka, dengan kaliper skinfold (produk kesehatan
Kreatif, Plymouth, Michigan, 48170), dicatat dalam 0,2 mm terdekat. Persentase
lemak tubuh total berdasarkan data skinfold, dan dihitung menggunakan persamaan
Durnin dan Wormesley [12].
Pemeriksaan Darah
Sampel darah diambil antara pukul 08.00 dan 10.00 pagi di pusat kesehatan setempat.
Sekitar 15 mL utuh darah puasa diambil dan dipisahkan menjadi 4 vacutainers
(Becton Dickinson, Rutherford, NJ) yang mengandung EDTA dan heparin.
konsentrasi Zinc dan vitamin A diukur dalam plasma. C-reactive protein (CRP)
diukur untuk menyesuaikan kekurangan mikronutrien dalam analisis statistik. Plasma
dipisahkan setelah sentrifugasi pada 750 × g selama 10 menit pada suhu kamar, dan
kemudian disimpan di minus 20 ° C sampai dianalisis untuk CRP, retinol, dan
konsentrasi zinc di Laboratorium SEAMEO-TROPMED, Jakarta. C-reactive protein
(CRP) diukur dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay
8
(ELISA) dengan nilai normal <10 mg / L. konsentrasi Plasma retinol diukur dengan
kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC), nilai kurang dari 0,70 umol / L dianggap
sebagai indikasi defisiensi, dan nilai-nilai antara 0,70 umol / L dan 1,4 umol / L
menunjukkan defisiensi marjinal [13]. Plasma zinc dianalisis menggunakan
spektrometri serapan atom (SSA) dengan nilai> 10,7 umol / L dianggap normal.
Penentuan hemoglobin, WBC, dan ESR dilakukan pada hari yang sama di
laboratorium rumah sakit provinsi. Hemoglobin dan WBC dianalisis menggunakan
alat analisis otomatis (ABX Micros 60, Perancis). Titik pintas untuk hemoglobin
normal adalah> 120 g / L dan> 130 g / L untuk wanita dan pria masing-masing, dan
ESR dinilai menggunakan teknik Westengren dengan nilai normal <20 mm / jam.
Serum albumin diukur dengan menggunakan spektrofotometer (Microlab 300, Merck,
Jerman) dengan kisaran normal 35-52 g / L.
Analisis statistik
Sebuah tes dengan satu-sampel Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk mengetahui
apakah variabel terdistribusi secara normal. Data karakteristik subyek pada saat
pendaftaran untuk distribusi usia dan jenis kelamin, status gizi, konsentrasi darah, dan
hasil dari tanda-tanda radiologis yang dirangkum dan digunakan untuk menilai
perbandingan pasien secara acak diberikan bagi empat kelompok pengobatan. Cara
yang berbeda antara kelompok yang diuji untuk menggunakan ANOVA satu arah
secara signifikansi dengan terdistribusi normal, dan Kruskal-Wallis dengan
terdistribusi tidak-normal. perpanjangan analisis (ANCOVA) selanjutnya digunakan
untuk menentukan prediksi hasil. Proporsi yang berbeda dengan kelompok yang diuji
dengan menggunakan chi-squared tes. Dalam perubahan kelompok diuji dengan
menggunakan paired t-student test untuk data terdistribusi normal dan Wilcoxon
signed-rank untuk data tidak-terdistribusi normal. Sebuah nilai p kurang dari 0,05
dianggap signifikan. Niat untuk mengobati analisis diterapkan. Analisis statistik
9
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer SPSS untuk versi PC
Windows 14.0 (SPSS Inc, Chicago, IL, USA) [14].
Pertimbangan etis
Penelitian ini berpegang pada Dewan Organisasi Internasional pedoman Ilmu
Kesehatan (CIOMS, 1991). Data dikumpulkan setelah subyek setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian dan memberikan persetujuan tertulis secara sukarela.
Proposal penelitian disetujui oleh Komite Etika Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia.
Hasil
Sebanyak 300 pasien yang terdaftar dalam penelitian ini dan secara acak
dikelompokkan menjadi 4 kategori intervensi, yaitu suplementasi zinc (n = 76),
vitamin A (n = 72),kombinasi zinc + vitamin A (n = 66) dan plasebo ( n = 86).
Setelah dua bulan 274 pasien masih dalam penelitian dan dianalisis, sementara 255
pasien menyelesaikan penelitian setelah 6 bulan dan dianalisis. (Gambar 1). Dari
semua subyek, kami menerima laporan dari mitra-pengobatan bahwa 22 pasien (dari
total 255 pasien yang menyelesaikan pengobatan TB) tidak sesuai dengan prosedur
penelitian.
gambar 1. Profil percobaan. Termasuk alasan untuk pasien
yang keluar selama penelitian
Usia rata-rata pasien adalah 31,5 tahun dan 63% dari mereka adalah laki-laki
(Tabel 1). Sputum positif kelas 3 adalah yang paling lazim. Prevalensi rongga pada
X-ray dada hampir 40% untuk semua kelompok. Temuan ini menyarankan bahwa
10
pasien memiliki TB yang parah. Tidak ada perbedaan karakteristik awal antara 4
kelompok pasien kecuali untuk proporsi pasien dengan rongga (Tabel 1).
Tabel 1. Perubahan pada BTA AFB dan radiograf setelah 2 dan 6 bulan
Dalam total 237 pasien diberikan semua sampel dahak yang diperlukan dan
berkualitas baik dan sisanya dianggap sebagai data yang hilang. Seperti terlihat pada
tabel 1, berarti waktu konversi dahak pada kelompok intervensi ZInc + vitamin A
adalah yang terpendek, dan bahwa dari kelompok intervensi seng adalah yang
terpanjang. kelompok Zinc+ vitamin A (n = 50) dan vitamin A (n = 56) menunjukkan
sedikit waktu untuk mencapai 85% dari konversi sputum, diikuti oleh kelompok
plasebo (n = 62). Kelompok suplementasi seng (n = 68) menunjukkan butuh waktu
yang sangat lama untuk mencapai 85% dari konversi sputum. Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan dari waktu konversi sputum yang diamati antara kelompok
(ANCOVA, p> 0,05). Faktor-faktor yang termasuk dalam analisis ini adalah tingkat
AFB, kepatuhan, dan perbedaan dari seng dan kadar retinol dari kadar terendah.
Setelah satu minggu, dahak BTA negatif dalam 58,5% dari kelompok pasien seng +
vitamin A, di 45,6% dari pasien dalam kelompok vitamin A dan kelompok plasebo,
sedangkan kelompok seng menunjukkan persentase terendah (35,3%). kelompok
Seng + vitamin A (n = 50) dan vitamin A (n = 56) menunjukkan sedikit waktu untuk
mencapai 85% dari konversi sputum, diikuti oleh kelompok plasebo (n = 62).
Kelompok suplementasi seng (n = 68) menunjukkan waktu yang sangat lama untuk
mencapai 85% dari konversi sputum. Setelah dua bulan tidak ada perbedaan
signifikan yang ditemukan antara kelompok (Gambar 2). Mempertimbangkan WHO
tingkat keberhasilan target konversi 85% menjadi negatif, kami mengamati bahwa
pasien dalam kelompok suplementasi seng + vitamin A mencapai target dalam waktu
4 minggu, mirip dengan kelompok vitamin A, diikuti oleh kelompok plasebo (5
minggu), dan seng kelompok (6,6 minggu).
11
Gambar 2. Kumulatif persentase waktu konversi sputum.
Seng + vitamin A (n = 50) dan vitamin A kelompok (n = 56)
menunjukkan sedikit waktu untuk mencapai 85% dari
konversi sputum, diikuti oleh kelompok plasebo (n = 62).
Berarti BMI untuk empat kelompok bervariasi 16,4-16,6 dan 16,5 untuk semua 300
pasien, menunjukkan gizi buruk (Tabel 2). Lima puluh persen dari pasien memiliki
BMI lebih rendah dari 16,5 kg/m2 ketika terdaftar dalam penelitian, sisanya adalah
malnutrisi sedang (33%) dan status gizi normal (17%). Nilai rata-rata MUAC dan
persentase lemak tubuh yang sangat rendah.
Tabel 2. Perubahan pengukuran antropometrik sebelumnya, pada dua dan enam bulan
pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan, ada perbaikan yang signifikan dari status zat gizi mikro
dalam kelompok dibandingkan dengan tingkat awal, terutama pada pasien yang diberi
vitamin A dan dikombinasikan suplementasi seng atau plasebo (Tabel 3). Proporsi
rongga di x-ray dada secara signifikan berbeda antara empat kelompok tetapi tidak
setelah 6 bulan pengobatan (Tabel 1). Perubahan proporsi antara kelompok Namun,
tidak signifikan. Pada akhir pengobatan, perubahan yang signifikan dari yang
terendah diamati untuk semua variabel kecuali untuk konsentrasi seng pada kelompok
yang mendapat vitamin A dan kelompok yang menerima seng + vitamin A, tetapi
tidak ada perbedaan antara kelompok yang diamati (Tabel 1).
Tabel 3. Perubahan parameter darah sebelumnya, pada dua dan enam bulan
pengobatan
Diskusi
12
Dalam komunitas percobaan secara acak ini, suplementasi dengan seng dan vitamin
A, baik sendiri atau dikombinasikan, gagal untuk menunjukkan keunggulan atas
plasebo. Ini tak terduga, karena kami tidak bisa mengkonfirmasi hasil penelitian
sebelumnya di Jakarta, di mana vitamin A dan suplemen seng bermanfaat dalam hal
waktu konversi sputum [2]. Hasil yang mirip dengan kita berkaitan dengan
suplementasi seng diperoleh dalam studi di Tanzania [15], di mana suplemen tersebut
tidak menyebabkan pengurangan waktu dahak konversi dibandingkan dengan
suplementasi dengan baik multi-mikronutrien atau plasebo. Juga, suplemen seng tidak
meningkatkan respon kekebalan di antara pasien TB terinfeksi HIV dalam studi di
Singapura [16]. Para penulis selanjutnya menyimpulkan bahwa tanpa adanya
defisiensi zinc, suplementasi seng tambahan tidak memberi manfaat. Dan untuk yang
kami ketahui, data mengenai efek suplemen vitamin A dalam TB tidak meyakinkan
[17-19].
Bagaimana kita dapat menjelaskan perbedaan antara hasil studi Jakarta dan hasilnya
saat ini? Penjelasan pertama mungkin ditemukan dalam konsentrasi retinol dan
respon inflamasi pada awal. Dalam studi Jakarta, yang lebih tinggi berarti konsentrasi
retinol (0.8 ìmol / L dan 0,9 umol / L untuk dilengkapi dan kelompok plasebo,
masing-masing) ditemukan dibandingkan dalam penelitian ini (0,7 ìmol / L untuk
semua kelompok) [2]. dasar rata-rata konsentrasi CRP dalam studi Jakarta (53 mg / L
untuk kelompok mikronutrien dan 44,1 untuk kelompok plasebo) hampir dua kali
lebih tinggi dalam penelitian ini (rata-rata CRP untuk semua kelompok = 28,4 mg /
L). Tinggi konsentrasi CRP mencerminkan respon inflamasi kuat, yang dikenal untuk
menurunkan plasma retinol konsentrasi [20]. Dengan demikian, pasien dalam studi
Jakarta mungkin memiliki tingkat yang lebih rendah dari kekurangan vitamin A,
peradangan yang mengarah ke tingkat rendah retinol plasma. Ini mungkin berarti
bahwa dosis tinggi vitamin A akan diperlukan untuk pasien TB dari penelitian ini
untuk mencapai konsentrasi retinol yang diperlukan untuk efek klinis. Hal ini juga
dibuktikan dengan konsentrasi retinol pada 2 dan 6 bulan intervensi, yang tidak bisa
13
meningkatkan tingkat retinol dalam plasma. Hal ini sejalan dengan penelitian di
Malawi yang menyimpulkan bahwa Suplementasi pada tingkat penyisihan harian
yang direkomendasikan (RDA) tidak memenuhi hasil utama mereka [21]. Berbeda
dengan ini, penelitian di Tanzania yang digunakan Suplementasi multimicronutrient
4-10 kali lebih tinggi dari RDA, kambuh TB berkurang antara HIV-positif dewasa
dengan TB, dan meningkatkan jumlah T-sel dari pasien HIV-negatif [22]. Berkenaan
dengan seng di sisi lain, tingkat pada awal sudah sedikit di atas kekurangan
memotong (10,7 ìmol / L). Hal ini dapat menjelaskan kurangnya kemanjuran diamati
untuk seng [2].
Penjelasan kedua dapat dihubungkan dengan perbedaan dalam radiografi dada dan
tingkatan sputum BTA positif, merupakan prediktor penting dari konversi sputum
[23]. Jumlah pasien dengan rongga dalam studi kami adalah sama (38%) dengan yang
di studi Jakarta (37,5% dari total pasien dalam kelompok kedua). Lebih penting
bagaimanapun, adalah bahwa dalam penelitian ini, proporsi pasien dengan rongga di
antara empat kelompok berbeda secara signifikan pada awal (Tabel 1), dengan
proporsi tertinggi rongga (51,5%) hadir pada pasien dari suplementasi vitamin A
kelompok. Ketidakseimbangan ini mungkin telah mengaburkan pengaruh
suplementasi vitamin A tetapi tidak akan menjelaskan kurangnya efek di seng +
kelompok vitamin A. Temuan dari penelitian di Spanyol menunjukkan hubungan
antara kehadiran rongga dan waktu konversi di hadapan HIV co-infeksi. Disimpulkan
bahwa rongga memperpanjang waktu konversi, dan keberadaan HIV menurunkan
prevalensi produksi rongga di paru-paru seperti yang ditangkap di dada x-ray.
Dengan demikian, tidak adanya (mungkin proporsi yang sangat kecil) dari HIV co-
infeksi dalam penelitian ini menyebabkan pembentukan rongga di paru-paru dan pada
akhirnya memperpanjang waktu konversi [24].
Tingkat keparahan TB pada pasien kami yang disaksikan oleh fakta bahwa 40%
memiliki sputum BTA positif kelas 3 sebelum perawatan sedangkan dalam studi
Jakarta 68% memiliki kelas 1 (untuk kedua ditambah dan kelompok plasebo) dan ini
14
dapat diharapkan untuk mengarah pada lama waktu konversi sputum [23]. Ini
mungkin bahwa efek suplementasi tidak menjadi jelas dalam kasus yang parah
tersebut.
Penjelasan ketiga untuk perbedaan antara studi saat ini dan studi sebelumnya di
Jakarta berkaitan dengan ukuran sampel. Di Jakarta, ukuran sampel diperkirakan
"pada kemampuan untuk menentukan perbedaan cosentration retinol dalam plasma,
dengan alpha = 0,05 dan 1-beta = 0,95 dengan menggunakan uji satu-ekor untuk
konsentrasi hemoglobin dalam darah, dan retinol dan seng dalam plasma "[2].
Temuan dalam sidang Jakarta, dari pengaruh zinc + suplementasi vitamin A pada
waktu konversi sputum tak terduga karena tidak ada ukuran sampel diperkirakan
untuk hasil tertentu. Dalam penelitian ini, dirancang untuk konfirmasi dari hasil
sebelumnya, efek pada waktu sputum konversi tidak ditemukan. Dengan demikian,
kemungkinan itu nyata bahwa temuan pada studi pertama itu tidak sah, karena
underpowerment dari studi untuk mengukur perbedaan waktu konversi sputum.
Penjelasan lain mungkin berhubungan dengan pengamatan bahwa pasien dalam studi
saat ini lebih kurang gizi dibandingkan dengan pasien dalam studi Jakarta. Berarti
BMI kohort kami Kg/m2as 16,5 dibandingkan dengan 18,5 kg/m2 dalam studi
Jakarta [2]. Tidak ada studi populasi yang tersedia didasarkan pada kekurangan gizi
orang dewasa, namun sebuah penelitian terbaru menemukan 33% dari gizi terjadi di
kalangan tetangga dari pasien TB [25]. Seperti BMI yang rendah mungkin
mencerminkan dua proses. Satu akan protein energi malnutrisi (yang sangat
mempengaruhi pertahanan tuan rumah) dan wasting lain karena katabolisme
disebabkan oleh respon fase akut [26]. Seperti ditemukan dalam subjek kami, BMI
meningkat seiring dengan mengurangi peradangan. Ketika pasien mendapat sembuh,
seperti yang ditunjukkan di daerah lesi total paru-paru, mereka bertambah berat badan
lebih banyak dan juga mikronutrien lainnya, seperti zat besi, seng dan vitamin A.
(Tabel 1 dan 3) ini mungkin dapat menjelaskan bagaimana hemoglobin meningkat,
meskipun itu masih dalam batas yang dianggap normal.
15
Tak satu pun dari asupan rendah atau wasting secara langsung dipengaruhi oleh
suplementasi mikronutrien dan karena itu mungkin tidak luar biasa bahwa kita gagal
untuk menunjukkan efek dalam penelitian ini. Selain kekurangan makronutrien, ada
juga kemungkinan bahwa tambahan mikronutrien kekurangan yang hadir dalam
populasi penelitian, yang tidak dapat dikoreksi dengan seng dan vitamin A.
Misalnya, vitamin D telah terlibat dalam pertahanan terhadap TB, tetapi kekurangan
vitamin D adalah masalah di seluruh dunia. Selain itu mungkin ada hubungan antara
kekurangan vitamin D dengan etnisitas. Dalam studi Jakarta, pasien terutama dari
Jawa, Sunda dan Sumatera, dengan minoritas lain, penelitian ini sebagian besar terdiri
dari pasien adat atas Timor dan pulau-pulau Rote [27]. Kami menemukan di wilayah
studi yang sama bahwa etnisitas dikaitkan dengan perkembangan TB dan tingkat
keparahan TB [28,29]. Sejalan dengan ini, sebuah penelitian terbaru menunjukkan
bahwa vitamin D polimorfisme reseptor genetik dikaitkan dengan waktu konversi
kultur sputum [30]. Juga itu menunjukkan bahwa vitamin D reseptor genotipe
independen memprediksi waktu BTA konversi saat terapi anti-TB [31]. Orang
mungkin berspekulasi bahwa latar belakang etnis juga memainkan peran dalam
respon terhadap suplementasi dengan mikronutrien.
Kami menyimpulkan bahwa kelompok pasien di sini, menderita TBC berat dengan
rongga dalam setidaknya sepertiga dari pasien, dan kelas sputum positif yang tinggi.
Para pasien kekurangan vitamin A sedangkan seng berada di batas tapi cukup untuk
mendukung sistem kekebalan tubuh dan mungkin lebih penting, juga sangat
kekurangan gizi. Itu juga penting untuk melihat bahwa suplementasi tidak bisa
mengangkat tingkat retinol dan seng plasma lebih tinggi dari batas tersebut. Terhadap
latar belakang ini kami tidak mampu mereplikasi hasil studi Jakarta yang
menunjukkan efek menguntungkan dari vitamin A dan seng di TB. Ini berarti bahwa
temuan sebelumnya di Jakarta tidak bisa disamaratakan. Untuk studi lebih lanjut,
ukuran sampel yang lebih besar akan diperlukan, dan dosis yang lebih tinggi dari
16
seng dan vitamin A Suplementasi harus dipertimbangkan. Juga, pada pasien dengan
BMI sangat rendah, efek Suplementasi protein memerlukan penelitian lebih lanjut.
Daftar Singkatan
AAS: (atomic absorption spectrometry); AFB: (acid fast bacilli); ANOVA(Analysis
of variance); ANCOVA: (Analysis of covariance); BMI(body mass index); CIOMS:
(Council for International Organization of Medical Sciences); CRP(C reactive
protein); ELISA: (enzyme-linked immunosorbent assay); ESR: (erythrocyte
sedimentation rate); HIV(Human immunodeficiency virus); HPLV: (high
performance liquid chromatography); MUAC(mid upper-arm circumference); NTT:
(East Nusa Tenggara Province); RDA(Recommended daily allowance); SPSS:
(Statistical Package for Social Science); SS(sputum smear); TB: (tuberculosis); TTU:
(Northern Central Timor District); WBC: (white blood cell); WHO: (World Health
Organization)
Kepentingan Bersaing
Kami menyatakan bahwa tidak ada kepentingan bersaing, baik aspek keuangan
maupun aspek-aspek lainnya, dalam mengejar dan mempublikasikan penelitian.
Kontribusi Penulis
TAP memimpin pengumpulan data di lapangan, melakukan analisis dan penulisan
naskah. EK adalah peneliti utama yang merancang penelitian. NMDS, MS dan ND
memberikan kontribusi dalam manajemen pasien dan pemantauan. HB membantu
dalam analisis statistik. KvdV, WMVD, dan JvdM membantu dalam mengawasi
analisis, penilaian temuan, dan penulisan uji coba secara keseluruhan. Semua penulis
telah membaca dan menyetujui versi final dari naskah.
Informasi Penulis
17
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari yang sebelumnya diterbitkan di Am J Clin
Nutr 2002; 75:720-7 ketika EK mendapat promosi nya dari Radboud University
Nijmegen Medical Center, di bawah pengawasan JvdM. Penulis pertama adalah
seorang dokter calon di bawah supervisi dari JvdM, KvdV dan WMVD.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini dilakukan dengan dukungan keuangan dari Badan Pembangunan
Internasional Kanada (CIDA) melalui World Vision International Indonesia:
Makanan Terintegrasi untuk Hinder Proyek TB (yang WVI - Proyek FIGHT) di Nusa
Tenggara Timur (NTT). Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dinas
kesehatan provinsi dan kabupaten di NTT untuk kolaborasi dalam penelitian ini. Juga
terima kasih kepada Puskesmas dan empat rumah sakit kabupaten. Terakhir, kami
mengirim terima kasih kepada tim riset kami di staf Kupang, administrasi dan
laboratorium di SEAMEO TROPMED RCCN Universitas Indonesia.
18