3
Sejarah Toraja Asal kata Toraja berawal dari bahasa Bugis Sidendreng yaitu “ to ri aja”, yang berarti “orang pegunungan” atau “orang hulu sungai”. Masyarakat Luwu menyebut Toraja sebagai “ to riajang” yang berarti “orang yang berdiam di sebelah barat”. Sementara itu menurut bahasa Makassar, Toraja juga bisa berarti “to = tau” dan “raja = maraya”, to atau tau”  berarti “orang”, sedangkan “raja atau maraya”  dapat berarti “utara atau besar”, maka Toraja dapat berarti “orang dari utara” atau “orang besar/bangsawan”. Penambahan kata Tana, yang berarti negeri tempat pemukiman suku Toraja, membuat wilayah Toraja kemudian lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja. Toraja pertama kali menjadi bagian dari Kerajaan Bugis sampai sebelum masa penjajahan oleh Belanda. Pada masa kolonialisasi di tahun 1926, daerah Tana Toraja ditetapkan sebagai Onder  Afdeeling Makale-Rantepao yang berada dibawah Self Bestuur Luwu, yaitu sebuah wilayah yang setingkat dengan kewedanaan. Tana Toraja kemudian berdiri sendiri sebagai swaraja pada tanggal 9 Oktober 1946 berdasarkan Besluit Lanschap Nomor 105, tertanggal 8 Oktober 1946. Kemudian pada tahun 1957, berdasarkan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1957, Swaraja Tana Toraja ditetapkan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja. Pada tahun 1999, seiring dengan otonomi daerah di Indonesia, Tana Toraja diubah statusnya menjadi Kabupaten Tana Toraja sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2008, bagian utara wilayah Kabupaten Tana Toraja ini dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara, dengan ibu kotanya Rantepao. Kabupaten Toraja Utara terdiri dari 21 kecamatan, 40 kelurahan dan 111 lembang (desa). Kabupaten induk yaitu Tana Toraja tetap beribukota di Makale. Toraja dikenal dengan lansekap budayanya ( cultural landscape ) yang unik. Diantara sekian banyak budaya Toraja salah satu yang paling khas yaitu adanya tradisi menguburkan jenazah leluhurnya pada tebing batu. Keunikan budaya Toraja menjadikan wilayah ini dinominasikan menjadi UNESCO World Heritage Sites pada tahun 1995 yang lalu. Nilai serta daya tarik budaya yang ada juga menjadikan Tana Toraja sebagai daerah tujuan wisata utama kedua setelah Pulau Bali, khususnya bagi wisatawan mancanegara. Letak Tana Toraja yang dikelilingi pegunungan membuat wilayah ini memiliki panorama alam yang sangat indah, yang merupakan perpaduan antara bebatuan karst dengan sawah dan bukit yang hijau. Selain itu adanya upacara pemakaman para leluhur, pekuburan di tebing batu, arsitektur dan kerajinan ukiran kayunya yang khas, serta penduduknya yang hingga kini masih memegang tradisi adat dengan kuat, merupakan sekilas gambaran mengenai keutuhan budaya Tana Toraja. Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan. Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja. Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi menjadi 5 (lima) daerah yang terdiri atas :

Sejarah Toraja

  • Upload
    tchalla

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sejarah Toraja

7/29/2019 Sejarah Toraja

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-toraja 1/3

Sejarah Toraja

Asal kata Toraja berawal dari bahasa Bugis Sidendreng yaitu “to ri aja”, yang berarti “orang

pegunungan” atau “orang hulu sungai”. Masyarakat Luwu menyebut Toraja sebagai “to riajang” yang

berarti “orang yang berdiam di sebelah barat”. Sementara itu menurut bahasa Makassar, Toraja jugabisa berarti “to = tau” dan “raja = maraya”, “to atau tau”   berarti “orang”, sedangkan “raja atau

maraya”  dapat berarti “utara atau besar”, maka Toraja dapat berarti “orang dari utara” atau “orang

besar/bangsawan”. Penambahan kata Tana, yang berarti negeri tempat pemukiman suku Toraja,

membuat wilayah Toraja kemudian lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja.

Toraja pertama kali menjadi bagian dari Kerajaan Bugis sampai sebelum masa penjajahan oleh

Belanda. Pada masa kolonialisasi di tahun 1926, daerah Tana Toraja ditetapkan sebagai Onder 

 Afdeeling Makale-Rantepao yang berada dibawah Self Bestuur Luwu, yaitu sebuah wilayah yang

setingkat dengan kewedanaan. Tana Toraja kemudian berdiri sendiri sebagai swaraja pada tanggal 9

Oktober 1946 berdasarkan Besluit Lanschap Nomor 105, tertanggal 8 Oktober 1946. Kemudian pada

tahun 1957, berdasarkan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1957, Swaraja Tana Toraja ditetapkan sebagai

Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja. Pada tahun 1999, seiring dengan otonomi daerah di

Indonesia, Tana Toraja diubah statusnya menjadi Kabupaten Tana Toraja sesuai dengan UU Nomor

22 Tahun 1999.

Berdasarkan UU No. 28 Tahun  2008, bagian utara wilayah Kabupaten Tana Toraja ini dimekarkan

menjadi Kabupaten Toraja Utara, dengan ibu kotanya Rantepao. Kabupaten Toraja Utara terdiri

dari 21 kecamatan, 40 kelurahan dan 111 lembang (desa). Kabupaten induk yaitu Tana Toraja tetap

beribukota di Makale.

Toraja dikenal dengan lansekap budayanya (cultural landscape) yang unik. Diantara sekian banyak

budaya Toraja salah satu yang paling khas yaitu adanya tradisi menguburkan jenazah leluhurnya pada

tebing batu. Keunikan budaya Toraja menjadikan wilayah ini dinominasikan menjadi UNESCO World 

Heritage Sites pada tahun 1995 yang lalu. Nilai serta daya tarik budaya yang ada juga menjadikan

Tana Toraja sebagai daerah tujuan wisata utama kedua setelah Pulau Bali, khususnya bagi wisatawan

mancanegara. Letak Tana Toraja yang dikelilingi pegunungan membuat wilayah ini memiliki

panorama alam yang sangat indah, yang merupakan perpaduan antara bebatuan karst dengan sawah

dan bukit yang hijau. Selain itu adanya upacara pemakaman para leluhur, pekuburan di tebing batu,

arsitektur dan kerajinan ukiran kayunya yang khas, serta penduduknya yang hingga kini masih

memegang tradisi adat dengan kuat, merupakan sekilas gambaran mengenai keutuhan budaya Tana

Toraja.

Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut

kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku Toraja berasal darikhayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.

Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke Sulawesi bagian

Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe dimana mereka mendirikan

perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis.

Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan

perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang

inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.

Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi

menjadi 5 (lima) daerah yang terdiri atas :

Page 2: Sejarah Toraja

7/29/2019 Sejarah Toraja

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-toraja 2/3

1.  Makale

2.  Sangala

3.  Rantepao

4.  Mengkendek 

5.  Toraja Barat

Daerah-daerah Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan

yang bernama PUANG. Daerah Rantepao dipimpin bangsawan yang bernama PARENGI, sedangkan

.daerah Toraja Barat dipimpin bangsawan bernama MA'DIKA.

Didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalarn masyarakat ada semacam perbedaan

yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan daerah yg dipimpin oleh

PARENGI dan MA'DIKA. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat

menjadi PUANG,. sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja

mencapai kedudukan PARENGI atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yangmenyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang

terjadi di Makale.

Kelembagaan masyarakat adat di kabupaten Tana Toraja dikenal dengan nama Saroan. Saroan adalah

suatu kumpulan orang-orang tertentu yang membentuk suatu organisasi yang terpola dan

terstruktur untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kumpulan orang tertentu artinya anggota saroan

adalah kerabat keluarga yang masih memiliki ikatan garis keturunan, punya adat kebiasaan yang

sama. Terpola dan terstruktur artinya saroan ini sudah terbentuk dari sejak nenek moyang dan

penentuan kedudukan/status anggotanya dari tertinggi sampai terendah ditentukan berdasarkan

musyawarah berdasarkan garis keturunan terhormat, tertua dan terpandai/terbijak serta didukung

oleh finansial yang cukup.

Pada umumnya kegiatan Saroan ini masih terfokus pada kegiatan ritual adat budaya masyarakat

seperti pesta adat, baik pesta adat sukacita (rambu tuka’) maupun pesta adat duka cita (rambu solo’).

Namun demikian kegiatan tolong-menolong dalam segala segi kehidupan masih kental akibat adanya

kebersamaan yang tercipta dalam setiap kegiatan ritual adat tersebut. Kegitan tolong-menolong ini

sering disebut Sisaro, artinya saling bergantian membantu dalam bekerja tanpa diberi upah.

Anggotanya punadalah semua dari kalangan di dalam Saroan tersebut. Setiap lembaga adat (saroan)

dipimpin oleh To Parenge’(Pemimpin Masyarakat) dan To Makaka (Pemimpin Adat). Penentuan To

Parenge’ dan To Makaka ini sudah ada sejak nenek moyang terdahulu dan akan terus diwariskan

kepada anak cucunya berdasarkan garis keturunan tertua.

Penentuan jumlah organisasi/lembaga adat (saroan) di Tana Toraja pada umumnya ditentukan

dengan dengan dua cara yaitu (1) di tiap dusun terdapat satu saroan. (2) ditentukan berdasarkan

kesepakatan beberapa rumpun keluarga untuk membentuk saroan. Masyarakat di Kecamatan

Tondon Nanggala dan Kecamatan Buntao’ rantebua menerapkan cara (1) sedangkan masyarakat di

Kecamatan Sa’dan Balusu menerapkan cara (2). Bila masyararakat menerapkan cara (1) maka setiap

kepala keluarga otomatis menjadi anggota salah satu saroan yang terdapat di dusun tempat

tinggalnya. Tetapi jika masyarakat menerapkan cara (2) maka seorang kepala keluarga

memungkinkan menjadi anggota beberapa saroan oleh karena masing-masing orang berhak

menentukan jumlah saroan yang dikehendaki.

Rata-rata jumlah saroan yang dimiliki oleh setiap responden di Kecamatan Sa’dan Balusu adalah 3

buah. Sedangkan interval rata-rata jumlah anggota setiap saroan sebanyak 40 –70 kepala keluarga.

Masing-masing saroan memiliki To Parenge’ sebanyak 10  – 20 orang. Urutan nomor To Parenge’

Page 3: Sejarah Toraja

7/29/2019 Sejarah Toraja

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-toraja 3/3