Sejarah pertumbuhan Dan perkembangan Hadits

Embed Size (px)

Citation preview

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS DARI ZAMAN RASULULLAH SAW HINGGA ABAD III

DISUSUN OLEH : LINDA AYU .S

BAB I Pendahuluan Hadits Nabi (Rasulullah) saw yang sampai kepada kita dalam bentuk penuturan maupun tulisan adalah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Jika al-Quran sejak zaman Nabi sampai terwujudnya pembukuan (mushaf) sebagaimana kita saksikan hari ini memerlukan waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 15 tahun, maka untuk hadits Nabi memerlukan waktu yang relatif panjang dan penuh variasi. Oleh karena itu mengetahui sejarah perkembangan yang dilalui, sejak masa Rasulullah saw masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin sampai masa pembukuan dan penyempurnaan sistematikanya menjadi sangat penting. Jika periwayatan dan penuturan al-Quran harus disampaikan dengan menjaga kepersisan dan ketepatan redaksinya (riwayat bi al-lafdzi), maka penuturan hadits Nabi boleh diriwayatkan bi al-mana (ditekankan pada kebenaran maknanya, bukan redaksinya). Oleh karena itu keragaman redaksi hadits tidak dapat dielakkan. Dalam konteks ini, pengetahuan tentang sejarah perkembangan dan pembukuan hadits Nabi akan membantu memahami usaha yang dilakukan Nabi saw bersama para sahabat dan para ulama dalam menjaga otentisitas hadits Nabi saw.

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW. Periode ini disebut Ashr Al-wahyi

wa

At-taqwin

(masa

turunnya

wahyu

dan

pembentukanmasyarakat islam). Pada periode inilah, hadits lahir berupa sabda (aqwal, afal, dan taqrir) Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Quran untuk menegakkan syariat islam dan membentuk masyarakat islam. Periode ini berlangsung cukup singkat sekitar 23 tahun mulai beliau diangkat menjadi Rasul sampaiwafat pada tahun 11 H; para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaansecara langsung misalnya saat Nabi memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadappernyataan para sahabat. Adapun penerimaan secara langsung adalah mendengar dari sahabat lain ataudari utusan-utusan, baik utusan yang dikirim Nabi ke daerahdaerah atau utusan daerah yang datangkepada Nabi.[1]Ada beberapa cara Rasul SAW. Menyampaikan hadis kepada para sahabat yang di sesuaikandengan kondisi mereka: 1. Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majelis al-ilmi. 2. Rasulullah menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabattersebut disampaikan kepada orang lain. 3. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada dan futuh makkah 4. Melaui perbuatan langsung yang di saksikan oleh para sahabatnya ( jalan musyahadah ), seperti yangberkaitan dengan praktik ibadah dan muamalah.[2]Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh ( dimansukh ) dengan hadis yangmember izin yang dating kemudian.Ketika Rasulullah wafat, al- Quran telah dihafal dengan sempurna oleh sahabat, selain itu ayat -ayat al- Quran talah lengkap di tulis, tapi belum dikumpulkan dalam bentuk sebuah mushaf, adapun hadis belum memiliki perhatian dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya al-Quran, penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak adaperintah Rasul, sebagaimana Beliau memerintahkan mereka untuk menulis al-Quran.*3+ Diantara sahabat-sahabat Rasulullah memiliki catatan hadis Rasul, di antaranya yaitu Abdullah bin Amrbin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang bernama

As-Sadiqah, sebagian sahabat ada yang keberatandengan beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda: Janganlahkamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Quran . Barangsiapa yang menulis darikuselain Al-Quran maka hapuslah (HR. Muslim)Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupunhanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairahdisebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyakdan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidatotersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah. Wahai Rasulullah. Engkau memerintahkan menulis kepadaku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.dalam riwayat lain disebutkan,menulis kamu kepada Abu Syah.Kemudian Nabi member izin menulis hadis secara umum, sebagaimana disebutkan dalam hadis yangdiriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash, Rsulullah bersabda:[4]Tulislah apa yang kamu dengar dariku, Demi Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya, tidak keluar darimulutku, selain kebenaran. Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan danpembukuan hadits adalah : a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al- Quran dan hadits Rasul bagi orang - orang yangbaru masuk Islam b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditelaah c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja[5] Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Rsulullah tidak menghalang usaha para sahabatmenulis hadis secara tidak resmi, mereka memahami hadis Rasul SAW. Diatas bahwa larangan Nabimenulis hadis adalah di tujukan kepada mereka yang khawatir mencampur adukkan hadis dengan al-Quran, sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadis dengan al- Quran, oleh karena itu, setelah al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkappula turunannya, maka tidak ada larangan menulis hadis.[6]Pada masa Nabi SAW. Sudah ada sahabat Nabi yang bisa baca tulis akan tetapi masih sangat sedikit, olehkarena itu Nabi menerangkan untuk menghafal, memahami, mematenkan, dan mengamalkna hadits pasa kehidupan sehari-hari. Diantara nama sahabat yang menulis hadits, antara lain:

1. Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Shahifah -nya disebut Ash-Shadiqah. NabiSAW.[8]Setelah daerah islam meluas yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand. Bahkan pada tahun93 H, meluas hingga spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerahtersebut, sehingga banyak sahabat yang menyebar ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untukmenanyakan haditskepada sahabat yang lain.[9] B. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat Periode ini disebut Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan mengeditkanriwayat). Nabi SAW. Wafat pada tahun 11 hijriah. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua duapegangan sebagai dasar bgi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan Hadits (As-Sunnah) yang harusdipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits tersebut secara terbatas. Penulisanhadispun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi, bahkan Umar melarang para sahabat untukmemperbanyak meriwayatkan hadits, dan menekankan agar sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluasakan Al-Quran. Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadits, yaitu: 1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari nabi SAW. Yang mereka hafal benarlafazh dari Nabi 2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal asli dari

C. Hadits Pada Masa Tabien

Mereka dengan setia mengikuti jejak langkah sahabat sebagai guru mereka. Walaupun Al-Quran berhasil dibukukan secara resmi pada masa sahabat, bukan berarti persoalan yang dihadapi para tabientidak begitu hebat. Pada masa tabien muncul persoalan baru baru yaitu masalah pergolakan politiksebagai akibat dari perpecahan kaum muslimin setelah perang shiffin yang berakhir denganterbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H.Pada masa al-Khalafa al-Rasyidin, para sahabat ahli hadits banyak yang menyebar ke berbagai daerahkekuasaan islam. Hal ini merupakan kesempatan bagi para tabien untuk memperoleh hadist darimereka. Apalagi setelah pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, kekuasaan islam membentang dariperbatasan Cina

(tahun 96) bagian timur ke Spanyol (tahun 93) bagian barat termasuk Afrika bagianutara, seperti Mesir, Tunis, Libia,Al-jazair dan Maroko. Sejalan dengan pesatnya perluasan kekuasaan

Islam, maka pengiriman atau penyebaran para sahabat ke berbagai daerah juga semakin tinggi. Secaraotomatis penyebaran hadits juga semakin meningkat.Mereka sangat tekun dan gigih dalam melaksanakan dan mengemban tugas sucinya dengan mendirikanmasjid sebagai pusat kegiatannya. Dari sana mereka menyebarkan ajarannya , mengajarkan Al-Quran dan hadits. Sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap tinggal bersama kaumnya di daerahdaerahtertentu. pengetahuan.[10] 2. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain 3. Anas Ibn Malik.[7] Yang pada akhirnya daerah/kota-kota tersebut menjadi pusat ilmu

D . Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya,penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselanggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah.Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H yakni pada masa pemerintahan KhalifahUmar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H. sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yangmenghimpun hadits dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidakmembukukan dan mengumpulakn dalam buku-buku hadits dari para perawinya, ada kemungkinanhadits-hadits tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian parapenghafanya kealam barzakh.Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, khalifah meminta kepada Gubernur Madinah,Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H), untuk membukukan hadits Rasul.[11] Disampingitu, Umar mengirimkan surat secara khusus kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, kemudian Sihab Az-Zuhri memulai melaksanakan perintah khalifah tersebut, dan AzZuhri itulahyang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.[12]Adapun sistematika penulisan kitab hadis mereka ialah dengan menghimpun hadis-hadis yang tergolongdalam satu munasabah, atau hadis-hadis yang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnyadihimpun dalam satu bab, kemudian di susun menjadi beberapa bab

sehingga menjadi satu kitab.Para ulama abad kedua membukukan hadits tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanyamembukukan hadits-hadits saja, tetapi fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya. Olehkarena iu, dalam kitab-kitab itu terdapat hadits--hadits Mauquf, dan hadits-hadits Maqthu. Kitab hadits seperti itu dan mudah kita dapatkan adalah Al -Muwaththa, susunan Imam Malik.Keadaan seperti ini menyebabkan sebagian ulama mempelajari keadaan rawi-rawi hadits dan dalammasa ini telah banyak rawi-rawi yang lemah. Pada periode ini muncul tokoh- tokoh Farh Watadil, diantaranya adalah Syuban Ibn Al - Hajjaj (160 H), Mamar, Hisyam Ad -Dastaway (154 H), Al- Auuzai (156H), Sufyan Ats-Tsauri (161 H), dan masih banyak tokoh lainnya .Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik, Yahya Ibn Said AlQaththan, Waki IbnAl-Jarrah, Sufyan Ats- tsauri, Ibnu Uyainah, Syuban Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman Ibn Mahdi, Al- Auzai, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy- Syafii. Abad ketiga Hijriah ketika pemerintahan di pegang oleh dinasti Bani Abbas, muncul periode seleksi hadis karena pada periode sebelumnya, yakni periode takwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqthu dari hadis marfu, begitu pula belum bias memisahkan beberapa hadis dhaif dari yang sahih.[13]Pada abad ini merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafalhadits, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah darisuatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Para ulama padamulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal berikut

1. Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa,dan lain-lain. 2. Memisahkan hadits-hadits yang sahih dari hadits yang dhaif yakni dengan men-tashihkanhadits.[14]Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh AlImam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama AlJamius Shahih.[15] Pembukuan hadissahih pada prinsipnya dimaksukan untuk menambah kedhabitan

hadis dan ketelitian disamping sebagaiwujud pengabdian terhadap sunah Rasul.[16]Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadits-haditsyang dianggap sahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu ImamMuslim.[17]Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dankualitas hadis nya ada yang shahih dan ada yang dhaif. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Diantara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279H), al- Nasai (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H)*18+Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, alTirmidzi, dan al- Nasai, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadisstandar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulamamenyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya AbuAbdullah bin Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H)[19]kitab-kitab itu kemudian dikenal dikalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas sebagai berikut: 1. Al-Jamiash Shahih susunan Al-Bukhari. 2. Al-Jamiash Shahih susunan Muslim. 3. As-Sunan susunan Abu Daud. 4. As-Sunan susunan At-Turmudzi. 5. As-Sunan susunan An-Nasai. 6. As-Sunan susunan Ibn Majah.[20]E. Perkembangan Hadits Abad IV hingga Tahun 656 H Periode abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdid wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al- fami. Setelah abad ketiga berlalu, bangkitlahpujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari Mutaakhirin. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddiman.

Di antara usaha-usaha ulam hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: 1. Mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. 2. Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam 3. Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab 4. Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitabkitab Athraf.*21+ Pada periode ini muncul usaha-usaha Istikhraj, umpamanya mengambil suatu hadits dari Al Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya denga sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim.Pada peiode ini muncul pula usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Musliim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau disahihkan olehBukhari dan Muslim. Kitab ini mereka namai Mustadrak. Di antaranya Al-Mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawy.[22]

BAB III PENUTUP kesimpulan Keberadaan hadits dimulai sejak keberadaan Nabi Muhammad SAW. Beliau meriwayatkan hadits kepadapara sahabatnya, sejak saat itulah sumber hukum kedua muncul, perkembangan hadits sejak zamanNabi ke Zaman sahabat ke zaman tabien dan seterusnya berkembang dengan pesat dan baik, banyakpara sahabat dan tabien yang berpindah tempat untuk

menemukan/mengetahui hadits Rasul yang telahtersebar.Pada zaman sahabat hadits belum dilakukan secara resmi karena mereka masih memfokuskan terhadappelafalan, penghafalan, dan pembukuan Al-Quran. Setelah pada masa tabien, hadits mulai dibukukansecara resmi dan perkembangan dalam penulisan hadits semakin baik. Meski pada saat itu pengumpulan hadits masih belum terdapat penyaringan antara hadits shahih, daif, mudu, dan sebagainya sampai pada abad kedua hijriah. Banyak para ulama yang mempelajari hadits dan membuatkitab hadits dan pada zaman ketiga hijriah mulailah ada penyaringan hadits yang pertma kali dilakukanoleh Imam Bukhari. Beliau menulis hadits shahih saja dalam bukunya Al-Janius Shahih dan disusulmuridnya Muslim serta para ulama yang lain.Pada abad keempat para ulama tetap terus berupaya menyusun dan mengumpulkan hadits yang belumdiriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan melakukan Istikhraj dan Istidrak

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW B. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat C. Hadits Pada Masa Tabien ... .. .. .. .. D. Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah BAB III PENUTUP KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

.DAFTAR PUSTAKA

[1] M. Agus solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka Setia.2009. hlm. 32 [2] Drs. Sohari Sahrani, M.M,M.H, Ulumul Hadits, (cet.1:Bogor, Ghalia Indonesia). 2010, hlm. 50-51 [3]Drs. H. Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis , Pustaka Setia, Bandung.1998. hlm. 29 [4] Prof. Dr. Muhammad Alwi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (terj), Drs Adnan Qohar Dari Judul Asli , Al-Manhalu Al-Latifu Fi Ushulin Al-hadisi Al-Syarifi, cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, Hlm. 15-16 [5] Hasan Sulaiman Abbas Alwi, (Terj.) Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I. Surabaya : MutiaraIlmu hlm. 16