sejarah pertanian

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pertania

Citation preview

Sejarah pertanian

Pada awal abad ke-20 didatangkan sapi penghasil susu Fries-Holland ke Jawa.Sejarah pertanian adalah bagian dari sejarah kebudayaan manusia. Pertanian muncul ketika suatu masyarakat mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Pertanian memaksa suatu kelompok orang untuk menetap dan dengan demikian mendorong kemunculan peradaban. Terjadi perubahan dalam sistem kepercayaan, pengembangan alat-alat pendukung kehidupan, dan juga kesenian akibat diadopsinya teknologi pertanian.Kawasan Hilal Subur di Asia Barat, serta Mesir dan India merupakan lokasi awal pembudidayaan tanaman untuk mendapatkan hasilnya. Sebelum aktivitas ini dimulai, manusia terbiasa mencari sumber makanan di alam liar. Pertanian berkembang secara independen di berbagai tempat di dunia, yaitu di China, Afrika, Papua, India, dan Amerika.[1]Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, pertanian telah membawa revolusi yang besar dalam kehidupan manusia sebelum revolusi industri. Bahkan dapat dikatakan, revolusi pertanian adalah revolusi kebudayaan pertama yang dialami manusia.Setiap bagian di dunia memiliki perkembangan penguasaan teknologi pertanian yang berbeda-beda, sehingga garis waktu perkembangan pertanian bervariasi di setiap tempat. Di beberapa bagian di Afrika dan Asia Tengah masih dijumpai masyarakat yang semi-nomaden (setengah pengembara), yang telah mampu melakukan kegiatan peternakan atau bercocok tanam, namun tetap berpindah-pindah demi menjaga pasokan pangan. Sementara itu, di Amerika Utara dan Eropa traktor-traktor besar yang ditangani oleh satu orang telah mampu mendukung penyediaan pangan ratusan orang.

Asal-mula pertanianBerakhirnya zaman es sekitar 11.000 tahun sebelum Masehi (SM) menjadikan bumi lebih hangat dan mengalami musim kering yang lebih panjang.[2] Kondisi ini menguntungkan bagi perkembangan tanaman semusim, yang dalam waktu relatif singkat memberikan hasil dan biji atau umbinya dapat disimpan. Ketersediaan biji-bijian dan polong-polongan dalam jumlah memadai memunculkan perkampungan untuk pertama kalinya, karena kegiatan perburuan dan peramuan tidak perlu dilakukan setiap saat.Berbagai teori dan hipotesis mengemuka mengenai bagaimana manusia berpindah dari budaya berburu ke budaya bercocok tanam.Hipotesis Oasis dikemukakan oleh Raphael Pumpelly di tahun 1908 dan dipopulerkan oleh Vere Gordon Childe yang merangkum hipotesis tersebut ke dalam buku Man Makes Himself.[3] Hipotesis ini menyatakan bahwa ketika iklim menjadi lebih kering, komunitas populasi manusia mengerucut ke oasis dan sumber air lainnya bersama dengan hewan lain. Domestikasi hewan berlangsung bersamaan dengan penanaman benih tanaman.Hipotesis Lereng Berbukit (Hilly Flanks) dikemukakan oleh Robert Braidwood pada tahun 1948 yang memperkirakan bahwa pertanian dimulai di lereng berbukit pegunungan Taurus dan Zagros, yang berkembang dari aktivitas pengumpulan biji-bijian di kawasan tersebut.[4]Hipotesis Perjamuan dikemukakan oleh Brian Hayden yang memperkirakan bahwa pertanian digerakkan oleh keinginan untuk berkuasa dan dibutuhkan sebuah perjamuan besar untuk menarik perhatian dan rasa hormat dari komunitas. Hal ini membutuhkan sejumlah besar makanan.[5]Teori Demografik diusulkan oleh Carl Sauer pada tahun 1952, yang diadaptasikan oleh Lewis Binford dan Kent Flannery. Mereka menjelaskan bahwa peningkatan populasi akan semakin mendekati kapasitas penyediaan oleh lingkungan sehingga akan membutuhkan makanan lebih banyak dari yang bisa dikumpulkan. Berbagai faktor sosial dan ekonomi juga mendorong keinginan untuk mendapatkan makanan lebih banyak.[6][7]Hipotesis Evolusioner oleh David Rindos mengusulkan bahwa pertanian merupakan adaptasi evolusi bersama antara tumbuhan dan manusia. Diawali dengan perlindungan terhadap spesies liar, manusia lalu menginovasikan praktek budi daya berdasarkan lokasi sehingga domestikasi terjadi.[8]

Perkembangan

Penggambaran pertian di zaman Mesir KunoBerdasarkan bukti-bukti peninggalan artefak, para ahli prasejarah saat ini bersepakat bahwa praktik pertanian pertama kali berawal di daerah "bulan sabit yang subur" di Mesopotamia sekitar 8000 SM. Pada waktu itu daerah ini masih lebih hijau daripada keadaan sekarang. Berdasarkan suatu kajian, 32 dari 56 spesies biji-bijian budidaya berasal dari daerah ini. Daerah ini juga menjadi satu dari pusat keanekaragaman tanaman budidaya (center of origin) menurut Nikolai Vavilov. Jenis-jenis tanaman yang pertama kali dibudidayakan di sini adalah gandum, jelai (barley), buncis (pea), kacang arab (chickpea), dan flax (Linum usitatissimum).Di daerah lain yang berjauhan lokasinya dikembangkan jenis tanaman lain sesuai keadaan topografi dan iklim. Di Tiongkok, padi (Oryza sativa) dan jewawut (dalam pengertian umum sebagai padanan millet) mulai didomestikasi sejak 7500 SM dan diikuti dengan kedelai, kacang hijau, dan kacang azuki. Padi (Oryza glaberrima) dan sorgum dikembangkan di daerah Sahel, Afrika 5000 SM. Tanaman lokal yang berbeda mungkin telah dibudidayakan juga secara tersendiri di Afrika Barat, Ethiopia, dan Papua. Tiga daerah yang terpisah di Amerika (yaitu Amerika Tengah, daerah Peru-Bolivia, dan hulu Amazon) secara terpisah mulai membudidayakan jagung, labu, kentang, dan bunga matahari.Kondisi tropika di Afrika dan Asia Tropik, termasuk Indonesia, cenderung mengembangkan masyarakat yang tetap mempertahankan perburuan dan peramuan karena relatif mudahnya memperoleh bahan pangan. Migrasi masyarakat Austronesia yang telah mengenal pertanian ke wilayah kepulauan Indonesia membawa serta teknologi budi daya padi sawah serta perladangan.Sejarah berdasarkan lokasi

Mesin pemanen bangsa Romawi yang ditarik oleh hewan

Mural pada Dinasti Han mural, menggambarkan aktivitas pembajakan di Shennong

Petani Inca menggunakan chaki taklla, sebuah alat pembajak tanahKerajaan RomawiPertanian pada zaman Romawi berkembang dengan berdasarkan praktek pertanian yang telah ditemukan oleh bangsa Sumeria yang ditransfer melalui runtunan kebudayaan. Pertanian bangsa Romawi memiliki fokus utama sebagai perdagangan dan ekspor. Bangsa Romawi meletakkan dasar sistem ekonomi yang menjadi pondasi Abad Pertengahan. Ukuran lahan usaha tani dapat dibagi menadi tiga kategori, yaitu lahan usaha tani ukuran kecil (berukuran 18-88 iugera), ukuran menengah (80-500 iugera), dan ukuran besar (disebut latifunda, berukuran lebih dari 500 iugera). Ukuran satu iugera sekitar 0.65 acre.[9]Bangsa romawi memiliki empat sistem manajemen pertanian, yaitu diatur langsung oleh pemilik lahan dan keluarganya; memanfaatkan budak pekerja dengan diawasi oleh pengawas budak; sistem bagi hasil (sharecropping) antara pemilik lahan dan penyewa lahan; dan disewakan.[9] Setiap provinsi memiliki spesialisasi tersendiri dan saling mensuplai hasil pertanian satu sama lain. Beberapa memproduksi serealia, lainnya memproduksi minuman anggur, dan yang lainnya memproduksi zaitun, tergantung jenis lahan yang terdapat diprovinsi tersebut.ChinaCatatan sejarah yang ada sejak tahun 481 SM hingga 220 M menggambarkan perkembangan pertanian di China yang mencakup sistem lumbung nasional dan praktek serikultur atau budi daya ulat sutra. Perdagangan dan pemanfaatan secara kuliner juga tercatat.[10]China telah mengembangkan mesin tumbuk bertenaga air pada abad ke 1 SM khusus digunakan untuk pertanian.[11] Pompa rantai telah ditemukan pada abad ke 1 M bertenaga air maupun hewan, yang menggerakan sistem roda mekanik.[12] Pompa ini terutama digunakan untuk mengairi saluran irigasi, namun juga bisa digunakan untuk menyediakan air bagi masyarakat.[13][14]IndusKapas dibudidayakan pertama kali pada milenium ke 5 SM di India.[15] Sedangkan gandum dan barley didomestikasikan sejak tahun 9000 SM. Domestikasi domba, kambing, dan sapi terjadi beberapa lama setelah itu.[16][17][18] Sekitar tahun 8000 SM- hingga 6000 SM, domestikasi gajah juga terjadi.[16] Praktek pertanian yang paling mencolok mencakup perontokan, penanaman dengan sistem baris, dan sistem lumbung.[18][19] Pada milenium ke 5 SM, peradaban pertanian menjadi umum di Kashmir.[18] Padi telah menjadi bahan baku makanan utama masyarakat India sejak tahun 8000 SM.[20][21] Perkembangan kebudayaan lainnya pada bidang pertanian lalu muncul dan mengembangkan budi daya padi di Asia Tenggara.Irigasi berkembang di peradaban lembah sungai Indus sekitar 4500 SM.[22] Ukuran peradaban dan kesejahteraan tumbuh sehingga membutuhkan perencanaan sipil seperti drainase dan selokan.[22] Bajak yang ditarik oleh hewan dimulai pada tahun 2500 SM di tempat tersebut.[23]Amerika TengahDi Amerika Tengah, teosinte liar didomestikasikan melalui seleksi sehingga memunculkan jagung, lebih dari 6000 tahun yang lalu. Jagung lalu tersebar di Amerika Utara dan menjadi tanaman pertanian utama masyarakat pribumi di sana hingga kehadiran bangsa penjelajah dari Eropa.[24] Tanaman pertanian utama lainnya meliputi labu, kacang-kacangan, dan kakao. Kalkun juga didomestikasikan pertama kali di Meksiko atau selatan Amerika Serikat.Di Amerika Tengah, bangsa Aztec merupakan masyarakat yang aktif bercocok tanam dan memiliki ekonomi berbasis pertanian. Lahan di sekitar danau Texcoco ketika itu merupakan lahan yang subur dan cukup untuk memproduksi pangan bagi kerajaan yang sedang berkembang. Bangsa Aztec juga mengembangkan irigasi, teras di lereng gunung, dan pemupukan. Chinampa merupakan salah satu temuan terbesar mereka, yang disebut juga dengan "kebun terapung".

Amerika SelatanDi sekitar kawasan Andes, Amerika Selatan, kentang menjadi tanaman domestikasi utama yang terjadi sejak 5000 tahun yang lalu. Sejumlah besar kacang-kacangan juga didomestikasikan. Llama, alpaca, dan guinea pig menjadi hewan yang didomestikasikan. Tumbuhan koka masih menjadi tanaman pertanian utama sampai sekarang.Peradaban Andes didominasi oleh masyarakat pertanian. Bangsa Inca telah memahami peran cuaca dan tanah bagi pertanian. Adaptasi teknologi pertanian telah digunakan secara terencana dan memungkinkan produksi berbagai jenis hasil pertanian di berbagai tempat seperti pinggir pantai, gunung, dan hutan.Amerika UtaraMasyarakat pribumi di kawasan timur Amerika Serikat telah membudidayakan berbagai jenis tanaman seperti bunga matahari, tembakau, berbagai jenis labu dan Chenopodium, juga tanaman yang tidak lagi dibudidayakan seperti marshelder dan jelai kecil.[25][26][27] Padi liar dan maple juga telah dibudidayakan. Strawberry dibudidayakan pertama kali di Amerika bagian timur laut.[28] Pecan dan anggur Concord, pernah dibudidayakan, namun sempat menghilang hingga kembali dibudidayakan pada abad ke 19.[29][30]Masyarakat pribumi di kawasan yang saat ini California dan Pasifik melakukan berbagai jenis usaha kebun hutan dan pertanian tongkat api (fire-stick farming) di kawasan padang rumput, hutan, dan rawa. Mereka mampu memanfaatkan ekologi api sehingga tidak menyebabkan kebakaran hutan dan mampu menunjang usaha pertanian berkelanjutan secara berpindah (permakultur alam liar").[31][32][33][34]AustraliaHingga dimulainya kolonisasi Inggris di Australia pada tahun 1788, masyarakat pribumi Australia dicirikan sebagai masyarakat pemburu dan pengumpul yang tidak melakukan aktivitas pertanian atau bentuk produksi pangan lainnya. Namun Rhys Jones mengemukakan di tahun 1969 bahwa masyarakat pribumi Australia mungkin melakukan pembakaran padang rumput dan hutan secara sistematis untuk mempertahankan tanaman tertentu dan menghilangkan tanaman yang tidak dibutuhkannya.[35] Di tahun 1970an dan 1980an, sebuah penelitian arkeologi yang dilakukan di Victoria menemukan bahwa pemeliharaan belut dan sistem penjebakan ikan telah ada sejak 5000 tahun yang lalu.[36]

Revolusi HijauRevolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960)[1].Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras[2]. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.Revolusi hijau di IndonesiaGerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.[3]Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting[4]: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.Dampak positif revolusi hijauProduksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada dan bisa mengekspor beras ke India.Permasalahan dan dampak negatif1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.2. Penurunan keanekaragaman hayati.3. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.4. Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten[5].

Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di Facebook dan Twitter[tutup]

IrigasiIrigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu per satu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram.Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno.Sejarah Irigasi di IndonesiaIrigasi Mesir Kuno dan Tradisional NusantaraSejak Mesir Kuno telah dikenal dengan memanfaatkan Sungai Nil. Di Indonesia, irigasi tradisional telah juga berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.Sistem Irigasi Zaman Hindia BelandaSistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dicetak untuk persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah jajahannya.Sistem irigasi yang dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier. Tetapi sumber air belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika Serikat. Air dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam sistem irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana para petani diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya.

Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa Barat dan Pengalaman TVA 1933 di Amerika SerikatTennessee Valley Authority (TVA) [3] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang pertama dibangun di dunia.[1] Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh dunia, sehingga TVA adalah salah satu model dalam membangun kembali ekonomi Amerika Serikat.Isu TVA adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir, pencegahan malaria, reboisasi, dan kontrol erosi, sehingga di kemudian hari, Proyek TVA menjadi salah satu model dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab itu, Proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip dengan TVA di AS tersebut.Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 miliar m3/tahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia.Jenis IrigasiIrigasi PermukaanIrigasi Permukaan adalah pengaliran air di atas permukaan dengan ketinggian air sekitar 10 - 15 cm di atas permukaan tanah. Irigasi permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian. Di sini dikenal saluran primer, sekunder, dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu.

Saluran primer sistim irigasi Bendung Bila, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan

Pintu air yang berfungsi membagi saluran primer menjadi tiga buah saluran sekunderIrigasi LokalSistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal.Irigasi dengan PenyemprotanPenyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.Irigasi Tradisional dengan EmberDi sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.Irigasi Pompa AirAir diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudian dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah.Irigasi Tanah Kering dengan TerasisasiDi Afrika yang kering dipakai sustem ini, terasisasi dipakai untuk distribusi air.Pengalaman Penerapan Jenis Irigasi KhususIrigasi Pasang-Surut di Sumatera, Kalimantan, dan PapuaDengan memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua dikenal apa yang dinamakan Irigasi Pasang-Surat (Tidal Irrigation). Teknologi yang diterapkan di sini adalah: pemanfaatan lahan pertanian di dataran rendah dan daerah rawa-rawa, di mana air diperoleh dari sungai pasang-surut di mana pada waktu pasang air dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu diperoleh 4 sampai 5 waktu pada air pasang. Teknologi ini telah dikenal sejak Abad XIX. Pada waktu itu, pendatang di Pulau Sumatera memanfaatkan rawa sebagai kebun kelapa. Di Indonesia terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha yang ada cocok untuk dikembangkan. Hal ini bisa dihubungkan dengan pengalaman Jepang di Wilayah Sungai Chikugo untuk wilayah Kyushu, di mana di sana dikenal dengan sistem irigasi Ao-Shunsui yang mirip.Irigasi Tanah Kering atau Irigasi TetesDi lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien. Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia.Ada beberapa sistem irigasi untuk tanah kering, yaitu: (1) irigasi tetes (drip irrigation), (2) irigasi curah (sprinkler irrigation), (3) irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan (4) irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation).Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes[2] merupakan salah satu alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai.Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen.Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.Pengalaman Sistem Irigasi Pertanian di Niigata JepangSistem irigasi pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di Niigata Prefecture. Di sini terlihat adanya manajemen persediaan air yang cukup pada pengelolaan pertaniannya. Sekitar 3 km dari tempat tersebut tedapat sungai besar yang debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikan ke tempat penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya. Pada setiap pemilik sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup secara manual. Dari pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan melalui permukaan sawah. Sedangkan untuk mengatur ketinggian air dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu pembuangan air secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien.Pengalaman Irigasi Perkebunan Kelapa SawitKetersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit. Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah.Manajemen irigasi perkebunan kelapa sawit, yaitu: membuat bak pembagi, pembangunan alat pengukur debit manual di jalur sungai, membuat jaringan irigasi di lapang untuk meningkatkan daerah layanan irigasi suplementer bagi tanaman kelapa sawit seluas kurang lebih 1 ha, percobaan lapang untuk mengkaji pengaruh irigasi suplementer (volume dan waktu pemberian) terhadap pertumbuhan vegetatif kelapa sawit dan dampak peningkatan aliran dasar (base flow) terhadap performa kelapa sawit pada musim kemarau, identifikasi lokasi pengembangan dan membuat untuk 4 buah Dam Parit dan upscalling pengembangan dam parit di daerah aliran sungai

DAMPAK IRIGASIDampak lingkungan dari irigasi adalah perubahan kuantitas dan kualitas tanah dan air akibat irigasi. Dampak juga terlihat di alam dan lingkungan sosial di hulu dan hilir sungai yang dijadikan sumber irigasi. Dampak lingkungan berakar dari perubahan kondisi hidrologi sejak instalasi dan pengoperasian irigasi.Irigasi sebagian besar mengambil air dari sungai dan mendistribusikannya ke area yang diirigasikan. Dampak langsung dari hal tersebut adalah berkurangnya debit hilir sungai dan peningkatan evaporasi. Penggenangan air permanen (waterlogging) juga dapat terjadi karena tinggi muka air tanah meningkat hingga menenggelamkan akar tanaman. Pada irigasi yang mengambil air dari air tanah, maka tinggi muka air tanah akan menurun. Pada sungai yang dibendung untuk ditinggikan permukaan airnya untuk irigasi, akan terjadi risiko relokasi pemukiman manusia yang tinggal dekat dengan sungai seperti yang terjadi pasca pembangunan bendungan Manantali di Mali. Dari semua dampak langsung tersebut, terdapak dampak tidak langsung yang mengikuti, seperti terjadinya kelangkaan air, subsiden tanah, intrusi air asin, dan salinisasi, tidak terkecuali dampak sosio-ekonominya.Proyek irigasi dapat menguntungkan secara finansial bagi perekonomian individu, wilayah, dan negara. Sekitar 16% dari seluruh kawasan pertanian yang ada di dunia telah teririgasikan. Hasil pertanian dari lahan yang teririgasikan itu mencakup 40% dari total hasil pertanian dunia.[1] Meski demikian, dampak negatif dari irigasi seringkali diabaikan meski signifikan.[2][3]Bendungan Kainji di Nigeria yang selesai dibangun pada tahun 1968 telah menyebabkan relokasi warga di sekitar sungai karena tinggi permukaan air sungai meningkat. Bendungan ini pada tahun 1999 menimbulkan masalah karena debit air yang berlebih memaksa pembukaan pintu limpasan. Lebih dari 60 desa dan sekitar 60% lahan pertanian terendam.[4][5]Pengaruh pada hilir sungaiIrigasi yang bersumber dari sungai dapat mengurangi debit air di hilir secara signifikan karena air diserap tanaman, lahan pertanian, dan menguap. Hal ini dapat menyebabkan: hilangnya lahan basah dan hutan di hilir sungai[6] berkurangnya air yang tersedia untuk kawasan industri dan pemukiman di hilir sungai terganggunya rute pengapalan, seperti yang telah terjadi di Sungai Gangga, India[6] terganggunya aktivitas penangkapan ikan, seperti yang telah terjadi di Sungai Indus, Pakistan[6] berkurangnya air yang mengalir ke laut yang dapat mempengaruhi ekosistem pantai dan intrusi air laut. Saat ini Sungai Nil, meski debitnya sangat tinggi, namun karena besarnya pengambilan air untuk irigasi, aliran sungai ini tidak mencapai ke laut di musim kemarau.[6] Contoh lainnya adalah yang terjadi pada Laut Aral di mana sungai diambil untuk irigasi sehingga Laut Aral mengering.Irigasi juga telah mengurangi kualitas air sungai karena air bilasan dari lahan pertanian dapat mengandung garam, pupuk, dan pestisida sehingga dapat terakumulasi di sungai. Air bilasan dari lahan pertanian dapat mengalami perkolasi dan mencmari air tanah.

Air menjadi langka bagi kaum nomaden penggembala di Balochistan akibat pembangunan irigasiSecara sosio-ekonomi, berkurangnya debit sungai di hilir dapat merugikan, bahkan merelokasi masyarakat yang menikmati hilir sungai. Kaum nomaden penggembala di Baluchistan, Pakistan mengalami kesulitan hidup karena sumber air yang biasa mereka gunakan untuk minum hewan ternak berkurang drastis.[7]Pengaruh terhadap tanah dan air tanahIrigasi dari sumber selain air tanah akan meningkatkan tinggi muka air tanah yang berada di bawah lahan pertanian dikarenakan perkolasi. Irigasi permukaan adalah metode dengan tingkat perkolasi tertinggi sehingga efisiensi irigasi berkurang. Metode irigasi tertentu dapat mencegah perkolasi berlebihan, misal dengan sprinkler dan irigasi tetes. Peningkatan tinggi muka air tanah dapat menyebabkan penggenangan air, menyebabkan akar tanaman terendam air. Munculnya genangan air yang stagnan dapat menjadi sarang berbagai jenis organisme vektor penyakit,[8] sedangkan efek samping akibat pengoperasian irigasi biasanya tidak disertakan dalam biaya pembangunan/pengoperasian irigasi.[3]Di India, dua juta hektar lahan telah tergenang dan tiga juta hektar lahan telah mengalami salinisasi.[9][10]Di lembah sungai Indus, Pakistan, dua juta hektar lahan telah tergenang[11] dan 3.1 juta hektar lahan mengalami salinisasi.[11] Reklamasi lahan dengan pipa drainase telah memakan biaya miliaran rupee, namun tujuan reklamasi baru belum terpenuhi.[12] Asian Development Bank menyatakan bahwa 38% lahan yang teririgasi kini tergenang dan 14% mengalami salinisasi.[13]Di delta sungai Nil di Mesir, fasilitas drainase dipasang di jutaan hektar lahan untuk mencegah penggenangan air.[14]Di Meksiko, 15% dari tiga juta hektar lahan yang teririgasi telah mengalami salinisasi dan 10% telah tergenang.[15]Salinisasi akibat irigasi juga telah terjadi di berbagai negara seperti Israel (30% area yang teririgasi), Australia (20%), China (15%), Irak (50%), dan Mesir (30%). Salinisasi terjadi akibat irigasi skala kecil maupun skala besar.[16]FAO memperkirakan bahwa 52 juta hektar lahan akan membutuhkan drainase bawah tanah untuk mengendalikan salinisasi dan penggenangan.[17]Dampak penggunaan air tanah

Subsiden tanah menyebabkan permukaan tanah turun sehingga rentan banjirKetika air tanah dipompakan melebihi tingkat pengembaliannya (replenishment), akan menyebabkan rongga yang terdapat di bawah tanah kosong sehingga rentan mengalami pemadatan dan akibat beban dari tanah yang berada di atasnya dan subsiden tanah terjadi.[18] Di Amerika Serikat, penurunan tinggi muka air tanah terjadi sedalam satu meter setiap penurunan 13 meter tinggi muka air tanah.[19] Di Houston, Texas, subsiden tanah sedalam 5 hingga 7 kaki terjadi dan menyebabkan banjir pada tahun 1989.