5
Sejarah kenapa Ibukota Indonesia di Jakarta, bukan di Kalimantan PADA mulanya adalah Batavia, sebuah kota yang dibangun Jan Pieterszoon Coen dan lalu jadi pusat administrasi dan perdagangan Hindia Belanda. Kota ini dibangun menurut pola kota Belanda dengan sejumlah kanal, jalan raya, dan gedung megah. Hasilnya: Batavia menjadi daya tarik sebagai kota modern, bahkan mendapat julukan “Ratu Timur”. Tapi Batavia bukanlah tempat yang layak sebagai pusat pemerintahan berdasarkan penelitian Hendrik Freek Tillema, seorang ahli kesehatan Belanda. Pada 1920, Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum pun mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Bandung. Malaise menghentikan rencana itu dan mengembalikan fungsi Batavia. Nama Batavia hapus dari peta sejarah pada bulan- bulan pertama pendaratan balatentara Jepang, berganti nama menjadi Jakarta sesuai keinginan kaum nasionalis. Bentuknya daerah khusus kota besar (Tokobetsu Shi). Di bawah Jepang, keanggunan, kebersihan, dan keteraturannya mulai tergerus. Jakarta kian tak terurus. Lalu datanglah kemerdekaan, dan Jakarta menjadi kota Proklamasi.

Sejarah Kenapa Ibukota Indonesia Di Jakarta

Embed Size (px)

DESCRIPTION

n

Citation preview

Page 1: Sejarah Kenapa Ibukota Indonesia Di Jakarta

Sejarah kenapa Ibukota Indonesia di Jakarta, bukan di Kalimantan

PADA mulanya adalah Batavia, sebuah kota yang dibangun Jan

Pieterszoon Coen dan lalu jadi pusat administrasi dan perdagangan Hindia

Belanda. Kota ini dibangun menurut pola kota Belanda dengan sejumlah kanal,

jalan raya, dan gedung megah. Hasilnya: Batavia menjadi daya tarik sebagai kota

modern, bahkan mendapat julukan “Ratu Timur”.

Tapi Batavia bukanlah tempat yang layak sebagai pusat pemerintahan

berdasarkan penelitian Hendrik Freek Tillema, seorang ahli kesehatan Belanda.

Pada 1920, Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum pun mulai

memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Bandung. Malaise

menghentikan rencana itu dan mengembalikan fungsi Batavia.

Nama Batavia hapus dari peta sejarah pada bulan-bulan pertama

pendaratan balatentara Jepang, berganti nama menjadi Jakarta sesuai keinginan

kaum nasionalis. Bentuknya daerah khusus kota besar (Tokobetsu Shi). Di bawah

Jepang, keanggunan, kebersihan, dan keteraturannya mulai tergerus. Jakarta kian

tak terurus.

Lalu datanglah kemerdekaan, dan Jakarta menjadi kota Proklamasi.

Sejak merdeka, pemerintah Republik belum menunjuk dan menetapkan secara

resmi ibukota negara. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang disahkan Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, tak menunjuk ibukota

atau kedudukan pemerintahan. Bab II UUD 1945 hanya menyebut Majelis

Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota

negara, tanpa menyebutkan nama tempat. Begitu pula UU No 7 tahun 1947

tentang Susunan dan Kedudukan Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang

menyebutkan “berkedudukan di ibukota Republik Indonesia dan di lain tempat

yang ditetapkan oleh presiden”. Jakarta sendiri kerap disebut Pemerintahan

Nasional Kota Jakarta.

Menetapkan ibukota negara mungkin bukan prioritas, karena perhatian

tersedot pada upaya mempertahankan kemerdekaan. Bahkan berkali-kali

pemimpin Republik harus memindahkan pusat pemerintahan.

Page 2: Sejarah Kenapa Ibukota Indonesia Di Jakarta

Pada 1946, ketika pasukan Belanda menguasai Jakarta, Sukarno mengumumkan

pemindahan kedudukan pemerintah ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda.

Yogyakarta, kota hijarah, resmi menjadi pusat pemerintahan pada 4 Januari 1946.

Perdana Menteri Sutan Sjahrir tetap tinggal di Jakarta dan berkantor di bekas

rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur.

Pusat pemerintahan kembali terancam ketika Belanda menggelar agresi

militer II. Belanda menduduki Yogyakarta serta menangkap presiden, wakil

presiden, dan sejumlah anggota kabinet. Dalam tempo seminggu, hampir semua

kota penting di tanah air juga jatuh ke tangan Belanda. Belanda mengumumkan

Republik sudah tak ada lagi.

Tapi Hatta mengirimkan dua kawat atas nama pemerintah. Kawat pertama

memberi kuasa kepada Menteri Keuangan Mr Sjarifuddin Prawiranegara di

Bukittinggi untuk membentuk suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

(PDRI). Selain itu, Hatta membuat surat untuk Duta Besar RI di India dr

Sudarsono serta staf kedutaan RI L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr A.A.

Maramis yang sedang berada di New Delhi agar berhubungan dengan pemerintah

darurat yang akan dibentuk.

Pusat pemerintahan pindah tempat. Tapi Bukittinggi kemudian juga

berkali-kali mendapat serangan Belanda, yang membuat para pemimpinnya

mengungsi dan masuk hutan. Dimulailah fase pemerintah yang berpindah-pindah,

dengan pemimpin sipil dan militer yang terpencar-pencar, dan masuk ke

pedalaman. Somewhere in the jungle, begitulah Mestika Zed menggambarkannya

dalam bukunya mengenai PDRI. Bahkan pemimpin sipil dan militer di Jawa dan

Sumatra tak tahu di mana PDRI berada.

Presiden Sukarno sempat pula berencana menjalankan exile government RI

di New Delhi. India adalah negara Asia paling dini dan terus-menerus mendukung

perjuangan Indonesia. Kontak dengan India sudah dilakukan beberapa hari

menjelang agresi militer II. Bahkan pada 17 Desember Nehru mengirimkan

pesawat terbang untuk menjemput Sukarno. Persiapan menyambut kedatangan

Sukarno sudah dilakukan. Rencana itu batal karena pesawat dicegat Belanda. Tapi

Kantor Perwakilan Indonesia di India, yang atas persetujuan Nehru dipindahkan

dari tempat sederhana ke tempat yang lebih layak di Constitution House, New

Page 3: Sejarah Kenapa Ibukota Indonesia Di Jakarta

Delhi, memainkan peranan penting dalam menyiarkan suara Indonesia di luar

negeri.

Aksi militer Belanda menuai kritik dunia internasional, yang memaksa

Belanda kembali ke meja perundingan. Pada Mei 1949, Indonesia dan Belanda

menyepakati Perjanjian Rum Royen, yang salah satu isinya mengembalikan

pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta

kembali ke Yogyakarta. Sjarifuddin Prawiranegara pun mengembalikan mandat

sebagai pemimpin pemerintahan darurat.

Sehari setelah pengakuan kedaulatan, sebagai hasil Konferensi Meja

Bundar pada 28 Desember 1949, Presiden Sukarno kembali ke Jakarta. Secara

otomatis fungsi Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Republik berakhir.

Untuk kali pertama, Konstitusi menunjuk ibukota negara. Dalam pasal 68

Konstitusi RIS disebutkan, “Pemerintah berkedudukan di ibukota Jakarta, kecuali

jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.”

Pada 17 Agustus 1950, setelah melalui perundingan antara para pemimpin

dari pemerintah RIS dan Republik Indonesia, Indonesia kembali menjadi negara

kesatuan Republik Indonesia. Sama seperti Konstitusi RIS, UUD Sementara tahun

1950 dalam pasal 46 menyebut: “pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika

dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain”.

Pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959

membuat kedudukan ibukota negara kembali kabur. Baru pada 1960-an Jakarta

mendapat status Daerah Khusus Ibukota melalui Penetapan Presiden No. 2 tahun

1961 dan kemudian UU No. 10 tahun 1964.

Note: *stabilo hijau inti jawaban