22
SEJARAH KEBIJAKAN PANGAN DI INDONESIA: SUATU TINJAUAN 06.03 Leo Kusuma Pangan (food) dimaknai sebagai komoditi yang dikelola, diperdagangkan, dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok sehari-hari. Persoalan pangan sudah sejak lama dipikirkan di masa kemunculan kerajaan-kerajaan nusantara. Tidak sedikit sejarah mencatat, persoalan pangan menajdi penentu kelanggengan atau kejayaan suatu kekuasaan. Sampai hari ini, ketika terbit Indonesia di era reformasi pun demikian. Seorang ekonom, Sjahrir (1986) pernah berujuar, siapa yang menguasai pangan, maka dia yang akan mengusai orang (kekuasaan). Bagaimanakah perjalanan sejarah pangan di Indonesia? Masa Kerajaan-Kerajaan Kuno/Klasik Kehadiran kerajaan kuno di Nusantara ditandai dengan masuknya pengaruh dari luar, yaitu pengaruh dari Islam, Hindu, dan Budha. Merekalah yang pertama kali membangun sistem pemerintahan, sistem sosial, dan membangun kebudayaan baru. Mereka di antaranya seperti Kerajaan Yawa Dwipa (200 SM), Kerajaan Kutai Kertanegara (400 SM, tertua), kemudian disusul kemunculan Srivijaya dan Majapahit. Darimana pun mereka berasal, atau dari pengaruh agama manapun mereka dibesarkan, kekuatan pertanian (pangan) menjadi penentu kekuasaan.

Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kebijakan pangan

Citation preview

Page 1: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

SEJARAH KEBIJAKAN PANGAN DI INDONESIA: SUATU TINJAUAN

06.03 Leo Kusuma

Pangan (food) dimaknai sebagai komoditi yang dikelola, diperdagangkan, dan diperuntukkan

untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok sehari-hari. Persoalan pangan sudah sejak lama

dipikirkan di masa kemunculan kerajaan-kerajaan nusantara. Tidak sedikit sejarah mencatat,

persoalan pangan menajdi penentu kelanggengan atau kejayaan suatu kekuasaan. Sampai hari

ini, ketika terbit Indonesia di era reformasi pun demikian. Seorang ekonom, Sjahrir (1986)

pernah berujuar, siapa yang menguasai pangan, maka dia yang akan mengusai orang

(kekuasaan). Bagaimanakah perjalanan sejarah pangan di Indonesia?

Masa Kerajaan-Kerajaan Kuno/Klasik

Kehadiran kerajaan kuno di Nusantara ditandai dengan masuknya pengaruh dari luar, yaitu

pengaruh dari Islam, Hindu, dan Budha. Merekalah yang pertama kali membangun sistem

pemerintahan, sistem sosial, dan membangun kebudayaan baru. Mereka di antaranya seperti

Kerajaan Yawa Dwipa (200 SM), Kerajaan Kutai Kertanegara (400 SM, tertua), kemudian

disusul kemunculan Srivijaya dan Majapahit. Darimana pun mereka berasal, atau dari pengaruh

agama manapun mereka dibesarkan, kekuatan pertanian (pangan) menjadi penentu kekuasaan.

Mengingat pengaruh kebudayaan datang atau berasal dari luar, maka satu-satunya jalur

penghubungnya adalah laut. Seluruh pulau-pulau di wilayah Nusantara terhubung satu sama lain

melalui lautan. Itu sebabnya, kerajaan-kerajaan kuno di masa lalu memiliki orientasi untuk

menguasai lautan. Mereka yang tadinya memiliki pusat kekuasaan jauh di pedalaman pun pada

akhirnya harus menguasai wilayah pesisir. Tetapi mereka yang sebelumnya menguasai pesisir

pun akan masuk ke pedalaman untuk menguasai wilayah-wilayah strategis. Catatan sejarah

melalui bukti prasasti ataupun arisp-arsip kuno menyebutkan dua kata kunci yang berhubungan

dengan pangan, yaitu pertanian dan perikanan (maritim).

Page 2: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Mengapa kerajaan besar seperti Srivijaya maupun Majapahit harus melakukan ekspansi hingga

menguasai seluruh wilayah Nusantara? Rasanya mustahil apabila hanya untuk menguasai

wilayah tertentu tanpa harus menguasai laut yang menghubungkan wilayah pusat dan wilayah

otoritas di luar wilayah pusat. Laut bukan semata menjadi sarana penghubung, melainkan

menyimpan sejumlah besar sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ketersediaannya

cukup melimpah dan bisa diambil (dieksploitasi) kapan saja. Lain halnya jika hanya bergantung

dengan sumber protein hewani yang berasal dari ternak seperti sapi/lembu, ayam, kambing, dan

sebagainya yang mesti harus menunggu masa potong (dewasa).

Aktivitas tanaman pangan di masa itu lebih condong pada jenis tanaman untuk pemenuhan

kebutuhan karbohidratnya. Misalnya seperti padi dan jagung. Tetapi kedua jenis tanaman

tersebut tidak merata tersebar di seluruh wilayah, tergantung dari budaya tanaman pangan lokal

seperti di Kalimantan, Sulawesi, Ambon, dan Papua. Tanaman padi nampaknya lebih dominan

ditemukan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Di wilayah Maluku hinga Ternate tidak

banyak penemuan pertanian kuno yang menunjukkan ciri khas bekas penggunaan teknologi

tanaman padi. Di Ternate itu pun baru mulai ditanami beras setelah masuk ke era kemerdekaan.

Mengingat perdagangan tanaman pangan masih didominasi oleh jenis tanaman kebutuhan pokok,

maka jenis tanaman seperti rempah-rempah dan komoditi untuk bumbu-bumbu masakan relatif

belum terlalu dominan.

Di Kamboja, kejayaan Kerajaan Khmer mengalami kejatuhan yang masanya bersamaan dengan

kedatangan musim kemarau panjang. Kerajaan Khmer dan bangsa Khmer sangat bergantung

sekali dengan jenis tahaman padi, serta relatif sedikit memiliki pilihan untuk mencari sumber

makanan pengganti (tanaman substitusi). Tetapi kejadian di Khmer justru tidak banyak

ditemukan dalam catatan sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara. Keruntuhan kerajaan-kerajaan

besar di Nusantara bukan dipicu oleh faktor kendala alam yang berdampak pada tanaman

pangan, melainkan karena faktor perebutan kekuasaan (internal) ataupun serangan dari kerajaan

lain. Wilayah utama di Sumatera dan Jawa pun mengenal musim kemarau atau musim paceklik,

tetapi kondisi tersebut tidak sampai pada situasi yang menyebabkan terjadinya keguncangan

politik ataupun sosial.

Page 3: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Ada sejumlah kemungkinan mengenai pola tanam dan strategi pertanian di masa kerajaan-

kerajaan Nusantara. Mereka memiliki komoditi alternatif untuk bisa menggantikan komoditi

andalannya yang berasal dari tanaman beras. Bisa jadi, komoditi alternatif yang dimaksudkan

merujuk pada strategi diversifikasi pangan. Melalui penguasaan laut, mereka pun menguasai

hasil-hasil perikanan yang laut yang sudah diperjualbelikan hingga ke pelosok. Mereka diduga

sudah menguasai teknik-teknik pengawetan makanan secara alami sejak masa Kerajaan

Majapahit. Sekalipun demikian, hasil-hasil perikanan masih dominan hanya ditemukan di

wilayah yang tidak jauh dari pesisir. Itu sebabnya, pola penyebaran pemukiman lebih banyak

pula yang terkonsentrasi tidak jauh dari pesisir.

Pertanian Di Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara memberikan pengaruh yang cukup besar

terhadap peta komoditi tanaman pangan. Mereka bangsa Eropa rupanya lebih tertarik untuk

membeli komoditi berupa rempah-rempah yang harganya cukup tinggi di Eropa. Posisi

Nusantara (Indonesia) cukup strategis di mana para pedagang Eropa bisa bersaing dengan kongsi

dagang lainnya di India dan kawasan Asia bagian Tengah lainnya. Untuk tanaman rempah-

rempah tadi, bangsa Portugis lebih condong ke Kawasan Indonesia Bagian Timur seperti

Maluku, NTT, NTB. Keuntungan Indonesia bukan hanya posisinya yang dilintasi oleh garis

Khatulistiwa, melainkan sifat tanahnya yang memungkinkan bisa lebih banyak ditanami oleh

jenis tanaman lain.

Sejak masa VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda, pola kebijakan tanaman pangan lebih

banyak difokuskan pada jenis tanaman pangan utama seperti beras, jagung, dan beberapa jenis

tanaman perkebunan. Jenis-jenis tanaman yang lebih laku untuk diperdagangkan. Pemerintah

Hindia Belanda bahkan pernah menerapkan kebijakan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel oleh Van

den Bosch yang lebih memfokuskan pada jenis tanaman pertanian utama seperti padi.

Diversifikasi ditekan untuk lebih memfokuskan memperbesar kuantitas produksi tanaman padi.

Sekalipun akhirnya mendapatkan pertentangan dan dihapuskan, tetapi tetap tidak merubah pola

Page 4: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

diversifikasi. Rakyat pribumi tidak memiliki banyak pilihan untuk menanam lebih banyak jenis

tanaman lain, kecuali jenis tanaman yang laku untuk diperdagangkan.

Sumber: Wikipedia

Sektor perikanan laut pun sebenarnya telah dikelola melalui pembentukan departemen kelautan

yang bernama Bugerlijk Openbare Werken pada tahun 1911. Aktivitasnya belum terlihat

mendominasi dibandingkan dengan sub sektor pertanian lainnya. Hal ini dikarenakan selama fase

pembentukan lebih menitikberatkan untuk pengembangan landas kontinen pertama kalinya untuk

wilayah Hindia Belanda melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939. Badan

kelautan pun berubah nama menjadi Departemen Verkeer en Waterstaat pada 1931. Organisasi

inilah yang nantinya menjadi cikal bakal departemen yang mengurusi bidang perikanan laut

selama masa kemerdekaan. Memang tergolong masih baru, karena pemerintah Hindia Belanda

sendiri baru memikirkan betapa pentingnya peran perikanan laut sejak tahun 1911.

Secara keseluruhan, sejak masa VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda, pihak kolonial lebih

memfokuskan pada jenis tanaman pangan utama dan jenis tanaman industri. Diversifikasi

tanaman pangan sesungguhnya sudah mulai diterapkan sejak lama, tetapi ditekan (dibatasi) untuk

hanya ditanam jenis tanaman utama seperti padi dan jagung. Budidaya perikanan darat yang

sudah dikembangkan oleh sejumlah kerajaan-kerajaan Nusantara menjadi tidak berkembang.

Rakyat pribumi tidak diperkenankan memiliki empang sendiri, kecuali empang yang

komoditinya telah dipesankan oleh pemerintah kolonial.

Di masa pendudukan Jepang agaknya tidak banyak berbeda dengan masa pemerintah kolonial

sebelumnya. Jepang mengambil alih seluruh aset-aset pertanian, perkebunan, bahkan perikanan

Page 5: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

laut yang sebelumnya telah dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Jepang pun berorientasi pada jenis tanaman utama yang dalam jangka pendek

diperuntukkan untuk mendukung suplai makanan ke pasukan Jepang di Asia Pasifik. Kehadiran

Jepang yang cukup singkat itu pula lebih banyak diisi didominasi oleh aktivitas politik di dalam

negeri dan berkonsentrasi untuk menghadapi tekanan sekutu di Pasifik. Praktis tidak ada sesuatu

yang baru di bidang pertanian selama masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Masa Kemerdekaan

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung berkonsentrasi untuk

membangun sektor pertanian di segala bidang. Departemen yang mengurusi bidang perikanan

laut itu pun sudah ada sejak kabinet pertama dibentuk. Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat

yang dipimpin oleh Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan yang

mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Program swasembada beras sesungguhnya

pula sudah dicanangkan di era Soekarno, tepatnya selama periode 1952-1956. Program

swasembada beras dilaksanakan melalui Program Kesejahteraan Kasimo dengan didirikannya

Yayasan Bahan Makanan (BAMA) dan berganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM)

pada 1953-1956.

Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno. Program

swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program sentra padi yang diatur oleh

Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Soekarno memasukkan jagung sebagai

bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini

menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam dari petani yang biasanya memvariasikan antara

tanaman padi dan jagung. Institusi pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor

pertanian lebih banyak ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah digunakan oleh

pemerintahan Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor.

Page 6: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur yang lebih

baik, pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno menemui jauh lebih banyak kesulitan dan

tantangannya di dalam negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih

tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami

krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan

China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang

cukup tinggi. Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang

relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa

Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama.

Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.

Untuk pertama kalinya, pemerintahan republik membentuk badan penyangga pangan yang

disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada tanggal 14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog

adalah berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan

untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras

dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Pada prinsipnya, Bulog nantinya akan menjadi

lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga pasokan (supply) komoditi pangan dan

menjaga stabilitas harga tanaman pangan utama.

Masa Orde Baru

Setelah masuk ke era Orde Baru, pembangunan di sektor pertanian tetap menjadi prioritas

program kerja kabinet. Selama dua periode PELITA (Pembangunan Lima Tahun) dari tahun

1969-1979, kebijakan pembangunan lebih banyak dikonsentrasikan untuk memperkuat basis

sektor pertanian. Program revolusi hijau (green revolution) guna mendukung percepatan

pencapaian swasembada beras pada tahun 1974. Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan

tugas/peran baru, yaitu mempunyai tugas sebagai pengimpor gula dan gandum. Biaya besar

untuk mendukung program pertanian tersebut ditopang oleh ekspor migas yang mencapai puncak

harga tertinggi pada pada pertengahan dekade 1970an.

Page 7: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Soeharto punya ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras yang belum pernah

dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan mengadopsi program revolusi

hijau sejak tahun 1974. Sayangnya, program yang berbiaya mahal tersebut ternyata hanya

menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984, 1985, dan 1986 (berdasarkan laporan statistik

pertanian dari BPS). Sesudahnya, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras, bahkan menjadi

pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. Program revolusi hijau ini pun hanya

menguntungkan petani kaya atau pemilik lahan dengan luas lahan lebih dari 1 hektar.

Setelah beras, pemerintah berusaha untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri dan impor

dengan mendatangkan (impor) gandum. Bila semula diberikan kewenangan ke Bulog, maka

kewenangan untuk mengimpor gandum itu pun akhirnya diserahkan ke Bogasari (swasta).

Awalnya, pemerintah mencoba untuk membudidayakan jenis tanaman gandum, tetapi upaya ini

sulit terwujud, karena tanaman gandum memang kurang cocok untuk jenis tanah pertanian di

Indonesia.

Dalam rangka untuk mendukung program pertanian pangan, pemerintah di era Orde Baru

membuat cukup banyak pembangunan infrastruktur pendukung. Misalnya seperti pembangunan

irigasi, pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian

tanaman pangan. Sayangnya, keseluruhan saran dan prasarana pendukungnya masih difokuskan

pada jenis tanaman beras. Tanaman beras disosialisasikan di seluruh wilayah yang dianggap

cocok untuk ditanami jenis tanaman padi seperti di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku,

Ternate, NTT, NTB, bahkan sampai ke Papua. Program transmigrasi pun digerakkan seluas-

luasnya untuk mendukung perluasan lahan tanaman padi di luar Pulau Jawa. Tujuannya tidak

lain untuk mendorong peningkatan produksi beras di dalam negeri.

Sayangnya, Jawatan Perikanan yang semula menjadi departemen yang terpisah di era Soekarno

dihapuskan. Seluruh kebijakan di sektor perikanan laut dijadikan satu ke dalam gugus tugas

direktorat jenderal (dirjen) bersama dengan program perikanan darat. Dalam pelaksanaannya,

Page 8: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Dirjen Perikanan lebih banyak memfokuskan kebijakan dan pelaksanaannya di sektor perikanan

darat, ketimbang perikanan laut.

Impor komoditi pangan utama sesungguhnya sudah mulai marak dilaksanakan sejak era

Soekarno. Bedanya, kegiatan impor komoditi pangan di era Soekarno lebih banyak dikuasai oleh

negara melalui peran Bulog. Di masa Orba, untuk beberapa jenis komoditi diserahkan kepada

pihak swasta sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Beberapa jenis komoditi yang diserahkan

pengelolaan impornya ke swasta seperti gandum, daging sapi, kedelai, dan jeruk. Tetapi untuk

komoditi pangan utama masih dikuasai atau dimonopoli oleh Bulog. Impor gandum murah

besar-besaran sempat terjadi di awal dekade 1980an sebagai tindak lanjut bantuan pangan dari

Amerika. Sesudahnya, gandum masih terus didatangkan dari beberapa negara di mana paling

banyak didatangkan dari Australia. Sayangnya, kehadiran gandum tidak cukup banyak bisa

menyelesaikan masalah ketergantungan pangan bangsa Indonesia terhadap komoditi beras.

Di bidang sains, pemerintah membangun pusat studi di bidang pertanian yang melibatkan peran

serta dari perguruan tinggi. Pusat studi tersebut kemudian menghasilkan jenis varietas padi

unggulan lokal yang diberi kode IR (Indonesia Rice). Riset tersebut bertujuan untuk membangun

kemandirian penelitian di bidang tanaman pangan yang sebelumnya lebih banyak mengdopsi

dari luar. Misalnya dengan mengadopsi jenis IRRI (International Rice Research Institute) yang

dikembangkan di Filipina. Varietas lokal yang diberi kode IR64 itu pun berasal dari pusat riset

IRRI yang kemudian dikembangkan di dalam negeri dan diperkenalkan pada tahun 1985. Kode

IR sempat diganti oleh Presiden Soeharto menjadi PB. Tetapi kalangan peneliti pertanian masih

lebih suka dengan kode IR yang lebih dikenal oleh internasional.

Sayangnya, upaya untuk memabangun kemandirian di sektor pertanian justru berakhir menjadi

drama pergantian kekuasaan. Nyaris sama situasinya menjelang tahun 1965 di mana harga-harga

kebutuhan pokok melambung tinggi. Pada tahun 1994, pemerintah mengambil kebijakan yang

cukup kontroversial, yaitu menghapuskan subsidi pupuk dan bibit. Kebijakan tersebut terpaksa

harus diambil, karena semakin beratnya beban anggaran yang ditanggung di dalam APBN.

Page 9: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Petani pun mengalami kesulitan bercocok tanam mengingat biaya bercocok tanam yang semakin

sulit untuk ditutupi dengan hanya menanam padi. Penjaminan melalui Koperasi tidak lagi

memberikan harapan bagi petani untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan, terutama di kalangan

petani kecil yang luas lahannya kurang dari 1 hektar. Akibatnya, impor beras pun semakin

diperbanyak untuk mengamankan pasokan beras di dalam negeri. Nilai tukar mata uang Rupiah

yang semakin anjlok sejak tahun 1990 mengakibatkan tingkat volatilitas harga beras dan

sejumlah kebutuhan pokok menjadi semakin tinggi. Akibatnya, harga-harga kebutuhan pun terus

merangkak naik dan tidak terkendali. Angka inflasi selama tahun 1998 sudah mencapai di atas

angka 70%.

Pemerintahan Transisi

Gejolak harga pangan sejak tahun 1985 mulai mencapai puncaknya pada pertengahan tahun

1997. Stabilisasi harga ternyata harus ditebus cukup mahal dengan meminimalkan peran

pemerintah (intervensi), termasuk menanggalkan peran Bulog. Penandatanganan Letter of Intent

(LoI) pada tanggal 21 Oktober 1997 yang di dalamnya berisikan poin penting di bidang

kebijakan pertanian. Bulog harus meninggalkan praktik monopoli beras dan peran pengawasan

terhadap harga-harga produk pertanian ataupun kebutuhan pokok seperti beras, gula, cengkeh,

kedelai, dan lain-lain. Dalam hal ini, pemerintah tidak lagi diberikan wewenang untuk

melakukan kontrol (intervensi) langsung atas harga komodit-komoditi utama pangan.

Paska kejatuhan Soeharto di tahun 1998 akan menjadi penanda babak baru kebijakan di sektor

pertanian. Liberalisasi di sektor pertanian sudah mulai resmi diterapkan sejak tahun 1998. Harga-

harga kebutuhan pokok pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah hanya berperan

sebagai regulator atau mengatur tata kelolanya, tetapi tidak memiliki kewenangan lagi untuk

mempengaruhi secara langsung atas harga-harga kebutuhan pokok. Operasi pasar yang selama

ini dilakukan oleh pemerintah belum bisa disebut intervensi, karena dampaknya hanya bersifat

sementara. Melalui SK Memperindag No 439 Tentang Bea Masuk (Impor), peran Bulog yang

selama ini memonopoli impor beras sudah dihilangkan, sehingga pihak manapun sesuai dengan

ketentuan diperkenankan untuk mengimpor beras.

Page 10: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Era Pemerintahan Reformasi

Pemerintahan reformasi sesungguhnya baru dimulai setelah masa pemilu pertama yang

mengusung Abdurrahman Wahid sebagai presiden pertama pada pemilu langsung. Era

pemerintahan reformasi melanjutkan kembali sejumlah poin kesepakatan yang harus dipenuhi

oleh pemerintah Indonesia yang tertuang di dalam LoI dengan IMF. Melalui Undang-Undang No

23 Tahun 1999, dilakukan penghapusan fasilitas pemberikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia

(KLBI) yang selama ini melekat pada Bulog. KLBI merupakan fasilitas finansial yang diberikan

kepada Bulog untuk membeli kelebihan produksi beras yang dihasilkan oleh petani. Praktis

dengan begitu, Indonesia tidak lagi memiliki payung hukum yang jelas mengenai keberadaan

kelembagaan lumbung pangan nasional.

Antara tahun 1998 hingga 2000, merupakan tahun-tahun yang kelam bagi Bulog. Setelah hak

atas monopoli beras dicabut, Bulog pun tidak memiliki kekuatan untuk turut berperan menjadi

penyeimbang pasar perberasan nasional. Peran impor maupun distribusinya sudah diserahkan

kepada mekanisme pasar. Di saat-saat yang terakhir itu pula, Bulog tidak diberikan kewenangan

lagi untuk menyalurkan beras yang telah ditetapkan harganya kepada TNI dan Polri. Akibatnya,

Bulog tidak memiliki segmentasi pasar yang jelas, sehingga berimplikasi pada

ketidakefektifannya peran Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga gabah dan beras.

Angin segar nampaknya mulai ditiupkan setelah muncul sejumlah gejolak harga beras dan gabah

paska 1998. Peran Bulog mulai dihidupkan secara perlahan oleh Presiden Megawati melalui

Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2003. Pemerintah nampaknya sedikit berhati-hati menetapkan

status Bulog agar tidak melanggar ketentuan yang digariskan melalui LoI 1998. Melalui

peraturan pemerintah tersebut, untuk pertama Bulog ditempatkan sebagai lembaga logistik

dengan misi ganda, yaitu misi publik (Public Service Obligation) dan misi komersial atau misi

mencari keuntungan. Untuk misi PSO, Bulog diarahkan menjadi pemasok tunggal bagi program

beras miskin (raskin) yang diharapkan mampu mempengaruhi harga beras (stabilisasi). Melalui

peraturan pemerintah itu pula Bulog ditetapkan status kelembagaannya dari Lembaga Pemerintah

Page 11: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum yang berada di bawah naungan

Kementrian BUMN.

Masih di era Presiden Megawati, kebijakan harga dasar diganti dengan kebijakan harga

pembelian pemerintah (procurement price). Ketetapan tersebut dilaksanakan melalui Instruksi

Presiden (Inpres) No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan. Secara

konsepsional, harga pembelian pemerintah tidak sama dengan harga dasar (floor price). Konsep

harga pembelian berpedoman pada target kuantitas, yaitu pembelian sejumlah tertentu pada

harga tersebut. Pengaruh terhadap keseimbangan harga di pasar tidak menjadi prioritas. Konsep

tersebut tidak selalu berpihak pada kepentingan petani, bahkan secara konseptual pula tidak bisa

menjamin harga ideal yang dikehendaki oleh para petani. Pemerintah agaknya hanya mencoba

menggerakkan kembali peran Bulog agar lebih mampu untuk memfungsikan secara kelembagaan

untuk melakukan stabilisasi harga. Sekalipun demikian, stabilisasi harga tersebut seringkali

hanya bersifat sementara, serta tidak mampu menahan kerentanan terhadap gejolak harga yang

bersumber dari luar (impor beras). Kebijakan harga pembelian tersebut masih diterapkan di era

Presiden Yudhoyono.

Masuki era kepemimpinan Yudhoyono sebagai RI-1, liberalisasi semakin diperluas di sejumlah

komoditi. Pada prinsipnya, kebijakan tersebut hanya melanjutkan kembali poin-poin kesepakatan

yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan reformasi sebelumnya. Tetapi tanpa proteksi penuh

dari pemerintah, petani lokal akan sulit bertahan ketika menghadapi pasar bebas. Angka impor

komoditi pangan utama terus melonjak, bahkan untuk komoditi pangan lainnya selain tanaman

pangan utama. Paradigma kebijakan di sektor pertanian dari Presiden Yudhoyono masih

meneruskan paradigma usang yang masih bergantung pada komoditi beras, yaitu orientasi untuk

mencapai swasembada beras. Presiden Yudhoyono sempat pula memberikan kewenangan

monopoli impor beras kepada Bulog di akhir tahun 2007. Tetapi sayangnya, kewenangan

tersebut tidak banyak bisa membantu untuk mengatasi dinamika harga beras di dalam negeri

yang rawan dengan gejolak harga.

Page 12: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Presiden Yudhoyono nampaknya sudah berupaya untuk mewujudkan stabilisasi harga beras

melalui sejumlah kebijakan. Beberapa di antaranya belum pernah diterapkan oleh presiden-

presiden sebelumnya. Setelah dihentikan sejak tahun 1994, Presiden Yudhoyono memberikan

kembali subsidi bagi input-input penting, seperti pupuk, bibit, bunga kredit, dan penyuluhan.

Kebijakan subsidi sebelumnya hanya dikenakan untuk subsidi pupuk. Sayangnya, kebijakan

yang mungkin bisa disebut sebagai terobosan dalam kebijakan pertanian di Indonesia tidak

banyak membantu untuk melindungi petani. Biaya oportunitas untuk mengelola lahan pertanian

menjadi semakin mahal, akibat regulasi di bidang agraria yang kurang menguntungkan petani.

Sekalipun biaya input seperti pupuk dan bibit bisa ditekan, tetapi biaya-biaya input yang lebih

besar tidak dapat dibendung dengan hanya bertahan dengan mata pencaharian sebagai petani.

Akibatnya, jumlah petani dan sumber daya manusia di sektor pertanian di pedesaan terus

menyusut setiap tahunnya.

Program 'Revitalisasi Pertanian' yang dibawa oleh Presiden Yudhoyono sebenarnya berupaya

untuk mendongkrak produksi padi dengan melibatkan peran dari swasta. Program ini pun

terbuka bagi pemodal asing untuk mengambil bagian dalam mendirikan farm industry. Program

ini sudah berjalan dari sejak tahun 2007 yang pengembangannya difokuskan di Kawasan Timur

Indonesia (KTI). Sayangnya, program revitalisasi pertanian tersebut tidak banyak menyentuh

potensi besar dari keberagaman tanaman pangan melalui pemberdayaan tanaman pangan lokal.

Kerja sama yang dijalin bersama pusat penelitian pangan di Xinchua (China) pun hanya

membawa bibit-bibit beras yang diharapkan bisa cocok dibudidayakan di Indonesia. Pada

akhirnya, rencana swasembada beras di tahun 2014 nanti pun tidak akan mampu menyelesaikan

ketergantungan pangan utama bangsa Indonesia terhadap beras.

Wacana tentang keberagaman pangan ataupun diversifikasi tanaman pangan sesungguhnya telah

dihidupkan kembali di masa kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Indonesia merupakan satu-

satunya neagra di dunia yang memiliki potensi keberagaman tanaman pangan paling banyak.

Kebutuhan karbohidrat tidak hanya dapat dicukupi dengan tanaman beras, melainkan dapat

dipenuhi dari tanaman singkong, jagung, ketela, kentang, ubi jalar, sagu, ataupun sejenis umbi-

umbian. Diversifikasi pangan sesungguhnya pula telah diperkenalkan secara resmi sejak era

Page 13: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

Soekarno, kemudian terakhir dimunculkan pada tahun 1974. Andai saja, program diversifikasi

pangan yang diperkenalkan kembali pada tahun 2010 tersebut bisa dilaksanakan dengan serius,

maka Indonesia tidak perlu lagi harus mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk

mewujudkan program swasembada beras yang belum tentu akan tercapai setiap tahunnya.

Penutup

Pembangunan di sektor pertanian pada akhirnya akan mengkerucut pada satu tujuan untuk

membangun ketahanan pangan. Setiap negara memilikinya, bahkan di negara-negara yang sama

sekali tidak memiliki lahan pertanian itu pun memiliki pula lembaga yang khusus mengurusi

ketahanan pangan. Bukan semata mengurusi soal stabilitas harga ataupun stabilitas stok pangan

di dalam negeri, melainkan membangun sebuah perencanaan jangka pendek ataupun jangka

panjang dengan mengoptimalkan segenap sumber daya lahan dan potensi tanaman (lokal) di

suatu wilayah. Ketahanan pangan meliputi segala aspek (sub sektor) di sektor pertanian,

termasuk peternakan, perkebunan, maupun perikanan. Diversifikasi pangan adalah satu-satunya

faktor (keunggulan) yang akan menentukan keberhasilan dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Masalah utama dari kebijakan pangan terletak pada aspek perencanaan. Setelah memasuki era

Orde Baru, kebijakan pangan terjebak ke dalam upaya untuk mewujudkan swasembada beras.

Hampir seluruh wilayah, bahkan di Papua pun diberdayakan untuk hanya mengejar target

swasembada beras. Akibatnya, tingkat ketergantungan pangan terhadap tanaman beras menjadi

sangat sulit untuk dihilangkan. Di era Soekarno sebenarnya sudah memberikan landasan

pemikiran yang ideal dengan memperkenalkan swasembada di dua komoditi, yaitu beras dan

jagung. Masyarakat di Sulawesi misalnya lebih cocok dengan menanam tanaman jagung, selain

menanam beras. Di Maluku maupun Papua masih terbuka peluang untuk dibudidayakan tanaman

sagu yang bisa diorientasikan untuk keperluan promosi ekspor.

Sektor pertanian dan pangan sesungguhnya memiliki cakupan yang luas. Tidak semata

membicarakan tanaman (holtikultura) ataupun satu jenis tanaman, melainkan mencakup pula

Page 14: Sejarah Kebijakan Pangan Di Indonesia

pemenuhan lauk pauk, tanaman-tanaman untuk bahan baku bumbu masak, sayur mayur, dan

lain-lain. Sektor pertanian sesungguhnya tidak hanya membahas satu atau beberapa jenis

tanaman pangan tertentu, melainkan mengenai potensi tanaman lokal yang bisa dibudidayakan

untuk menjadi tanaman utama. Indonesia bukan hanya negara kepulauan terbesar di dunia,

melainkan negara dengan jumlah laut paling luas dan paling banyak. Sayang sakali, setelah

berakhirnya era Soekarno, sektor kelautan belum pula digarap dengan serius. Sekalipun era

reformasi telah meletakkan fundamental kebijakan di bidang kelautan, tetapi belum mampu

untuk mengoptimalkan sumber daya kelautan. Fakta yang tidak terbantahkan, data BPS 2012

menyebutkan kecenderungan jumlah nelayan yang semakin berkurang setiap tahunnya. Trend

atau kecenderungan yang serupa terjadi di sub sektor tanaman pangan.

Saya tidak akan mengkambing hitamkan liberalisasi yang menjadi sumber kekacauan kebijakan

pangan. Tidak ada negara manapun di dunia ini yang 100% menjalankan liberalisasi di seluruh

sektor perekonomiannya, terutama sektor pertanian. Campur tangan pemerintah masih menjadi

variabel pokok untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan. Saya pun tidak

memandang negatif terhadap kebijakan impor, karena aktivitas perdagangan internasional seperti

ekspor maupun impor dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui keberhasilan

kebijakan di sektor pertanian maupun pengelolaan ketahanan pangan.

Beberapa pandangan beranggapan apabila salah satu sumber kekisruhan kebijakan pangan

berasal dari LoI antara pemerintah Indonesia dan IMF pada tahun 1998. Mungkin memang benar

adanya, karena beberapa butir rekomendasi menyebutkan agar pemerintah Indonesia menarik

dari campur tangan langsung di sektor pertanian. Mekanisme pasar sesungguhnya bisa efektif

mendongkrak kesejahteraan untuk semua orang apabila tidak terjadi penyimpangan. Terkait

dengan gejolah harga bawang putih dan bawang merah beberapa minggu ini, pihak KPPU

(Komisi Pengawas Persaingan Usaha) masuk untuk melakukan investigasi. Hasilnya, pihak

KPPU mensinyalir kuat adanya praktik kartel dalam distribusi maupun tata niaga bawang putih

dan bawang merah. Inilah yang oleh sejumlah kalangan pengamat disebut 'permainan mafia'.

Praktik kartel dalam tata niaga pangan sesungguhnya sudah lama ada, bahkan di era

kepemimpinan Presiden Soekarno.