Upload
doanquynh
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR
ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN MENUNJANG KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Oleh:
Achmad Suryana
Adang Agustian Rangga Ditya Yofa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
2015
i
KATA PENGANTAR
Membesarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk dalam 10 tahun terakhir merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang menetapkan harga
pupuk yang dibeli petani tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah harga keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan dari
kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan seluruhnya dari produksi dalam negeri,atau swasembada, khususnya untuk komoditi padi, jagung, dan kedelai. Impor pangan menjadi “the last resort”, atau upaya terakhir yang
terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Sementara itu, walaupun pemerintah sudah banyak mengalokasikan anggaran untuk menyediakan
pupuk bersubsidi disertai dengan bebagai kebijakan terkait distribusi dan penyalurannya kepada petani agar dapat memenuhi prinsip enam tepat (jumlah, dosis, mutu, waktu, tempat, dan harga), namun isu kelangkaan pupuk dan harga
pupuk yang mahal di tingkat petani masih tetap ada di setiap awal musim tanam.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian melakukan Analisis Kebijakan (Anjak) Tinjauan Kritis Kebijakan Perpupukan Menunjang Ketahanan Pangan Nasional. Secara khusus kajian ini
bertujuan untuk: (1) Menghimpun data dan informasi tentang perkembangan kebijakan pemerintah terkait penyediaan dan penyaluran pupuk, yang meliputi peraturan menteri terkait topik ini, penganggaran subsidi pupuk, pengaturan dan
peran kelembagaan distribusi pupuk, dan upaya petani pangan dalam mendapatkan pupuk; (2) menganalisis kebijakan perpupukan untuk mendukung pencapaian
ketahanan pangan yang selama ini diterapkan untuk memperoleh lesson learned yang berharga bagi perumusan kebijakan selanjutnya; dan (3) Merumuskan
alternatif kebijakan perpupukan nasional yang dapat menjamin penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.Pendalaman Kajian dilakukan di Provinsi
Jawa Barat dan Lampung.
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada berbagai pihak
yang telah memberikan kontribusi dan dukungan/bantuan sehingga laporan akhir Anjak ini dapat diselesaikan. Secara khusus terima kasih disampaikan kepada aparat
pemerintah dan swasta/BUMN di pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten di Jawa Barat dan Lampung) terkait dengan peranan kebijakan dan implementasi perpupukan nasional. Dengan kekurangan dan kemampuan yang dimiliki para
peneliti untuk menyelesaikan kegiatan kajian ini, semoga hasil kajian yang disampaikan dalam laporan akhir ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Bogor, Desember 2015 Kepala Pusat
Dr. Handewi P. Saliem 19570604 198103 2 001
xi
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
1) Dalam usaha pertanian modern yang mengejar peningkatan produktivitas
secara terus menerus per satuan lahan, pupuk merupakan salah satu factor produksi penting dan esensial. Tanpa tambahan hara ke dalam tanah atau tanpa pemupukan, akan sangat sulit untuk memperoleh hasil per hektar yang
tinggi secara berkelanjutan. Itu pula salah satu ciri Revolusi Hijau yang memperkenalkan teknologi pupuk dan pemupukan kimiawi, serta
menyediakannya dengan harga murah atau disubsidi.
2) Pada beberapa tahun terakhir upaya peningkatan produktivitas tanaman
pangan melalui pemanfaatan pupuk kimiawi yang berlebihan banyak mendapatkan sorotan berbagai pihak, khususnya dari para ahli tanah, budidaya tanaman, dan lingkungan. Kritik lain muncul dari masyarakat terkait besarnya
anggaran belanja negara yang dialokasikan untuk subsidi pupuk.
3) Besarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk ini sebagai
konsekuensi kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pupuk yang dibeli petani tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah dari harga keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan
dari kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan pokok seluruhnya dari produksi dalam negeri. Impor pangan pokok menjadi “the last resort”, atau upaya terakhir yang terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Pendekatan ini disebut sebagai ketahanan pangan berbasis
kemandirian dan kedaulatan pangan.
4) Perhatian (concern) terhadap efektivitas kebijakan subsidi pupuk dari berbagai instansi pemerintah ternyata cukup tinggi. Beberapa hasil penelitian
menenggarai adanya ketidak efektifan dalam pelaksanaan kebijakan pemberian subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk jelas mempunyai dampak positif bagi
peningkatan produksi pangan, terutama padi/beras. Pencapaian ini memberikan sumbangan yang signifikan secara nasional pada pencapaian
ketahanan pangan, stabilitas ekonomi, dan ketahanan sebagai bangsa. Namun, kinerja negatif dari kebijakan ini juga teridentifikasi seperti pelaksanaan distribusi tidak efisien, pupuk sampai tidak tepat sasaran, dan terbangun
dualisme pasar yang dapat menciptakan moral hazzard.
5) Bebarapa pertanyaan terkait kebijakan perpupukan nasional akhir-akhir ini
semakin keras disuarakan oleh para ahli ekonomi dan ekonomi pertanian, dan menjadi wacana diskusi tingkat nasional, termasuk dari para pejabat tinggi pemerintah. Dalam konteks ini, adakah alternatif kebijakan penyediaan pupuk
bagi petani pangan yang lebih tepat sehingga pemanfaatan pupuk dalam sistem usahatani pangan menjadi lebih efisien, baik secara teknis maupun
ekonomis. Adakah kebijakan penyediaan pupuk kepada petani pangan yang lebih murah biayanya tetapi tetap dapat menjamin pencapaian ketahanan
pangan nasional berdasarkan prinsip kemandirian dan kedaulatan pangan? Untuk dapat menjawab pertanyaan kebijakan tersebut dengan baik, diperlukan informasi yang komprehensif tentang kebijakan ekonomi pupuk selama ini,
xii
yang mencakup rumusan kebijakan, sistem distribusi pupuk, volume dan biaya subsidi pupuk, dan praktek pemupukan oleh petani di lapangan. Hal itulah
yang mendorong perlunya dilakukan kegiatan Anjak ini.
6) Secara khusus Kajian ini bertujuan untuk: (1) Menghimpun data dan informasi
tentang perkembangan kebijakan pemerintah terkait penyediaan dan penyaluran pupuk, yang meliputi peraturan menteri terkait topik ini,
penganggaran subsidi pupuk, pengaturan dan peran kelembagaan distribusi pupuk, dan upaya petani pangan dalam mendapatkan pupuk; (2) menganalisis kebijakan perpupukan untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan yang
selama ini diterapkan untuk memperoleh lesson learned yang berharga bagi perumusan kebijakan selanjutnya; dan (3) Merumuskan alternatif kebijakan
perpupukan nasional yang dapat menjamin penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.
Hasil dan Pembahasan
Kebijakan Perencanaan Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi
7) Pemberian dosis pemupukan oleh petani mengalami perubahan selama rentang
waktu 15 tahun (2000-2014). Pada tahun 2000, sebagian besar petani menggunakan pupuk tunggal tanpa penggunaan pupuk majemuk, dengan penggunaan dosis pupuk urea yang sangat tinggi, melebihi dosis anjurannya.
Kondisi menjadi lebih baik pada tahun 2014, dimana petani sudah menggunakan pupuk majemuk NPK sehingga mengurangi dosis pupuk tunggal.
Perbaikan pemakaian pupuk ini juga berdampak positif pada efisiensi biaya pupuk pada usahatani padi. Dalam periode ini terjadi pengurangan proporsi
biaya pupuk terhadap total biaya usahatani padi dari 17,3% pada tahun 2000 menjadi 12,7% pada tahun 2014.
8) Usaha pertanian yang mendapat alokasi pupuk bersubsidi terdiri dari lima
subsektor yaitu subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan perikanan budidaya. Dari total luas lahan pertanian yang
mendapat alokasi pupuk bersubsidi, subsektor tanaman pangan dan perkebunan mendapatkan alokasi yang tertinggi. Proporsi luas lahan kedua
subsektor tersebut terhadap total luas lahan pertanian sekitar 91%. Besarnya proporsi luas lahan ini berdampak pada besarnya alokasi pupuk bersubsidi untuk kedua subsektor ini.
9) Dalam menyusun alokasi pupuk bersubsidi, data lapangan yang digunakan dalam proses penyusunan adalah Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK), sehingga penyusunan RDKK merupakan kewajiban yang harus dipenuhi kelompok tani calon penerima program pupuk bersubsidi (Permentan No 130 Tahun 2014 Bab 3 Pasal 8). Beberapa masalah yang sering timbul
dalam penyusunan RDKK diantaranya (1) penyusunan RDKK dan rekap RDKK di tingkat kabupaten/kota lebih lambat daripada penetapan alokasi pupuk
bersubsidi pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; (2) tenaga pendamping penyusunan RDKK masih kurang berhasil mempengaruhi
kelompok tani agar RDKK yang disusun berdasarkan anjuran pupuk bersubsidi;
xiii
(3) masih ada kekurang tepatan perhitungan kebutuhan pupuk berdasarkan frekuensi tanam dimana sawah dengan frekuensi tanam tiga kali dalam
setahun hanya dihitung kebutuhan pupuk untuk dua kali tanam.
10) Perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi yang ditetapkan dalam
Permentan pada lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,16% per tahun. Dari kelima jenis pupuk yang disubsidi, hanya jenis pupuk
urea yang mengalami penurunan jumlah alokasi dengan rata-rata penurunan sebesar 4,52% per tahun. Sementara itu produksi pupuk secara total yang diproduksi PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) secara umum dalam 5
tahun terakhir mengalami peningkatan 1,71% per tahun. Peningkatan produksi terjadi untuk jenis pupuk urea dan NPK, sedangkan jenis pupuk SP-36, ZA, dan
Organik mengalami perkembangan produksi yang menurun.
11) Pada tahun 2015 penyediaan pupuk bersubsidi sebesar 91,18% dialokasikan untuk provinsi-provinsi sentra produksi padi. Sebanyak 5.977.030 ton (62,62%)
untuk provinsi sentra produksi padi di Pulau Jawa, dan sebanyak 2.726.370 ton (28,56%) untuk provinsi sentra produksi padi di luar Pulau Jawa. Alokasi
penyediaan pupuk bersubsidi pada periode 2010-2014 selalu lebih rendah daripada usulan daerah berdasarkan rekapitulasi RDKK. Rata-rata alokasi
pupuk bersubsidi yang ditetapkan dalam Permentan hanya sekitar 65,25% dari usulan daerah tersebut. Sementara itu, tingkat realisasi penyerapan pupuk bersubsidi oleh petani rata-rata 88,64% per tahun.
Kebijakan Industri Pupuk dan Penganggaran Subsidi Pupuk
12) Sejarah PT PIHC, terbentang selama lebih dari lima dekade yang dapat terbagi menjadi dua fase utama. Fase pertama yang masih bernama PT Pupuk
Sriwidjaja adalah sebagai unit usaha yang berdiri sendiri dari kurun tahun 1959 hingga 1997. Fase kedua ditandai dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tanggal 7 Agustus 1997 yang menunjuk PT Pupuk Sriwidjaja
(Persero) sebagai induk perusahaan (Operating Holding). Adapun industri pupuk yang berada dibawah holding company, yaitu: (a) PT Petrokimia Gresik
(PKG), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, ZA, SP-36/18, Phonska, DAP, NPK, ZK dan industri kimia lainnya serta pupuk organik; (b) PT Pupuk
Kujang (PKC), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya; (c) PT Pupuk Kaltim (PKT), memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya; (d) PT
Pupuk Iskandar Muda (PIM), memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya; dan (e) PT Pupuk Sriwidjaja Palembang memproduksi
dan memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya serta pupuk organik.
13) Berbagai peraturan kebijakan dalam pengembangan industri pupuk nasional telah diterbitkan terkait dengan pengaturan distribusi dan pengawasan pupuk,
HET pupuk dan alokasi penggunaan pupuk. Salah satu kebijakan pengembangan industri pupuk nasional tercantum dalam Instruksi Presiden RI
(Inpres) No 2 Tahun 2010 tentang Revitalisasi Industri Pupuk nasional. Langkah-langkah revitalisasi industri pupuk serta peningkatan daya saing
industri pupuk, melalui usaha: (a) Meningkatkan produksi pupuk an-organik,
xiv
organik dan hayati; (b) Memperluas sebaran produksi pupuk; (c) Mengembangkan keragaman jenis pupuk; (d) Menggunakan teknologi yang
ramah lingkungan; (e) Melakukan penghematan bahan baku dan energi; dan (f) Memperluas akses pasar, untuk memenuhi utamanya kebutuhan dalam
negeri pada sector pertanian, kehutanan, perikanan dan industri. Terkait dengan langkah revitalisasi industri pupuk tersebut, Kementerian Perindustrian
mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.141/M-IND/PER/12/2010 tentang Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Industri Pupuk Majemuk. Dalam peraturan ini diatur mengenai rencana nasional mengenai sasaran, arah,
strategi dan kebijakan pengembangan industri pupuk majemuk/NPK dalam mendukung program ketahanan pangan.
14) Mengenai distribusi pupuk, saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Permendag ini telah mengatur cukup
rinci sistem distribusi pupuk mulai dari pengadaan dan penyaluran, tugas dan tanggungjawab para fihak dalam rantai distribusi pupuk sejak dari produsen
pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan petani/kelompok tani. Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan pelaporan.
15) Terkait dengan alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan penetapan harga eceran tertinggi (HET) telah dikeluarkan Permentan Nomor 130/ Permentan/ SR.130/11/2014 yang mengatur tentang Kebutuhan dan Harga
Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015. Pada peraturan ini dijelaskan bahwa alokasi pupuk bersubsidi
dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahun 2015. Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci menurut provinsi, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan. Selanjutnya, dirinci menurut kabupaten/kota
(ditetapkan dengan Peraturan Gubernur) dan menurut kecamatan (ditetapkan denganPeraturan Bupati/Walikota).
16) Untuk mengawasi pengadaan dan penyaluran pupuk yang memperoleh subsidi, pemerintah menetapkan pupuk bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan,
sehingga pengawasannya mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang dalam Pengawasan. Dalam Peraturan Presiden ini pupuk bersubsidi
adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program
pemerintah di sektor pertanian.
17) Dalam rentang waktu 2005-2014, alokasi anggaran belanja subsidi cukup berfluktuasi, dan secara nominal sampai dengan APBN-P 2014 mengalami
peningkatan dari Rp 2,53 Triliun (2005) menjadi Rp 18,04 Triliun atau meningkat rata-rata sebesar 13,27 %/tahun.
18) Bila dilihat rasio subsidi pupuk terhadap total APBN, maka kisaran rasionya antara 0,47% sampai 1,77%. Pada kurun waktu 2005-2014, rasio nilai subsidi
pupuk terhadap APBN paling rendah terjadi pada tahun 2006, dan tertinggi pada tahun 2010. Secara keseluruhan pada periode tersebut rasionya masih
xv
menunjukkan peningkatan sebesar 4,28 %/tahun. Dengan peningkatan angka rasio tersebut menunjukan bahwa pemerintah tetap menilai kebijakan
penyediaan pupuk dengan harga yang disubsidi merupakan bagian dari upaya pencapaian swasembada pangan.
Kebijakan Distribusi dan Perdagangan Pupuk
19) Sistem distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia selama ini diatur oleh Menteri Perdagangan. Pengaturan sistem distribusi pupuk dimaksudkan agar petani dapat memperoleh pupuk dengan azas enam tepat, yaitu : tempat, jenis,
waktu, jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana
penyaluran dan realisasi. Kebijakan tentang penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor pertanian di Indonesia saat ini telah diatur dengan Permendag No.15 tahun 2013. Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa PT PIHC mendapat
tugas dari pemerintah untuk pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. PT PIHC dapat menetapkan produsen sebagai
pelaksana pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dalam wilayah tanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di
provinsi/kabupaten/kota.
20) Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung berdasarkan dosis anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dikalikan luas usahatani para anggota kelompok tani .
RDKK yang disusun kelompok tani direkapitulasi secara berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat nasional. Melalui
Permentan ditetapkan kebutuhan pupuk Bersubsidi yang dirinci menurut jenis, jumlah, subsektor, provinsi, dan sebaran bulanan. Kebutuhan Pupuk juga
dirinci lebih lanjut menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis,
jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan bupati/walikota.
21) Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki sistem distribusi pupuk adalah sebagai berikut: (1) Harus dapat menjamin ketersediaan pupuk
di tingkat petani agar Program Peningkatan Ketahanan Pangan tidak terganggu; (2) Industri pupuk nasional harus tumbuh dengan baik dan menikmati keuntungan yang wajar sehingga secara berkesinambungan dapat
memasok kebutuhan pupuk dalam negeri; dan (3) Para distributor dan pengecer pupuk juga dapat menikmati keuntungan yang wajar dari tataniaga
ini. Pada penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor pertanian juga perlu diatur mekanisme distribusi untuk menjamin ketersediaannya yaitu: (1) Rayonisasi wilayah pemasaran, (2) Penjualan pupuk mulai di tingkat kabupaten, (3)
Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat.
22) Pada tahun 2014 penyediaan volume pupuk bersubsidi sebanyak 9.550.000
ton, dengan rincian: Urea sebanyak 4.100.000 ton, SP36 850.000 ton, ZA 1.050.000 ton, NPK 2.550.000 ton, dan Organik 1.000.000 ton. Adapun
realisasi penyalurannya sebanyak 8.994.847 ton atau 94,19% dari alokasi
xvi
penyediaan pupuk bersubsidi, dengan rincian: Urea sebanyak 4.057.187 ton, SP36 sebanyak 800.992 ton, ZA sebanyak 988.440 ton, NPK sebanyak
2.395.114 ton, dan Organik sebanyak 753.114 ton.
23) Volume penjualan pupuk urea dari produsen pupuk nasional berdasarkan
subsektornya menujukkan bahwa proporsi volume penjualan paling tinggi terjadi pada sektor pangan, meskipun kecenderungannya menurun dari tahun
2011 ke tahun 2014. Pada tahun 2011, volume penjualan pupuk urea dari PT PIHC sebesar 4.585 ribu ton (70,82%) kemudian menjadi 3.994 ribu ton (59,70%) pada tahun 2014. Dengan demikian bahwa penggunaan pupuk urea
untuk sector pangan masih menempati proporsi tertinggi dibandingkan dengan sector lainnya. Sebaliknya volume penjualan urea untuk tujuan ekspor
kecenderungannya meningkat dari 750 ribu ton (11,58%) pada tahun 2011 menjadi 1.108 ribu ton (16,56%) pada tahun 2014.
24) Untuk perdagangan pupuk secara komersial baik pupuk urea, NPK dan SP-36
terutama pada sektor perkebunan dan industri secara umum mengalami peningkatan signifikan. Harga pupuk di pasar non subsidi jauh lebih tinggi dan
perbedaannya semakin besar dibandingkan dengan harga subsidi. Sebagai contoh, harga jual pupuk urea pada tahun 2010 disektor perkebunan sebesar
Rp 2.630/kg dan di industri sebesar Rp 2.606/kg. Harga di kedua sektor tersebut terpaut sekitar Rp 1.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga urea subsidi yang hanya sebesar Rp 1.600/Kg. Selanjutnya pada tahun 2014,
harga jual pupuk urea di sektor perkebunan sebesar Rp 3.695/kg dan di industri sebesar Rp 3.664/kg. Harga dikedua sektor tersebut bahkan terpaut
sekitar Rp 2.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga urea subsidi yang hanya sebesar Rp 1.800/Kg.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
25) Dalam upaya pencapaian ketahanan pangan nasional berkelanjutan, pemberian
subsidi input (pupuk) untuk usahatani pangan pokok dinilai tetap penting. Melalui penggunaan pupuk secara enam tepat, dengan dosis hara berimbang,
serta penambahan bahan organik, akan meningkatkan produktivitas usahatani pangan. Komponen teknologi pemupukan yang dikombinasikan dengan
komponen teknologi lainnya dan rekayasan kelembagaan dapat mendorong peningkatan produktivitas yang tinggi, peningkatan produksi pangan, dan pencapaian ketahanan pangan.
26) Perbaikan penyusunan RDKK Pupuk Bersubsidi dan penyediaan pupuk bersubsidi sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi
salah satu kunci utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi yang selama ini selalu terjadi. Pada lokasi kajian di Jawa Barat dan Lampung, seringkali terdapat petani yang tidak tercantum pada RDKK, padahal
petani tersebut adalah petani pangan berskala kecil yang memerlukan pupuk bersubsidi. Disisi lain terdapat petani luas, yang memperoleh jatah pupuk
bersubsidi yang besar dengan cara memecah luas pengusahaan di bawah dua hektar dan di atas namakan petani lain. Selain itu, kelemahan distribusi dengan
mekanisme RDKK juga ditemukan bahwa kios yang ditunjuk dalam penjualan
xvii
pupuknya seringkali tidak mencatat atau menyesuaikan dengan nama yang tercantum. Kios adakalanya lebih mengutamakan bisnisnya, dimana pupuk
cepat terserap oleh petani.
27) Dari pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat terkait
(Jawa Barat dan Lampung), dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai berikut:
a. Tidak semua petani menjadi anggota kelompok tani, sehingga kebutuhan para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka
membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.
b. Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di dalam Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian komoditas
prioritas yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini menyebabkan petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk
persemaian ataupun untuk usahatani tanaman sela yang kebutuhan pupuknya tidak dimasukkan dalam RDKK karena petani tidak merencanakan
menanam tanaman tersebut satu tahun sebelumnya misalnya petani menanam tanaman tertentu biasanya tanaman semusim, karena melihat ada peluang pasar dalam jangka pendek.
c. Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti pemilik,
pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Karena tidak ada pengaturan tersebut,
akibatnya di lapangan ditemukan kasus penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang terdaftar dalam RDKK di poktannya hanya anggota poktan yang berstatus pemilik lahan.
d. Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan maksimal dua hektare, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur
lebih lanjut mengenai status kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa lahan lebih dari dua hektare yang dimiliki seorang petani dapat memperoleh
alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa penggarap, dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektare.
e. Sebagian RDKK yang disusun di tingkat poktan tidak akurat, baik secara
procedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari
kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus satu tahun.
f. Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.
Dengan membandingkan pola distribusi komoditas bersubsidi, yaitu bantuan beras (Raskin) dan pupuk, dapat dirumuskan beberapa alternatif untuk sistem
distribusi pupuk bersubsidi dalam upaya meningkatkan efisiensi penyalurannya. Dua isu yang dapat dipertimbangkan untuk menyempurnakan sistem distribusi pupuk bersubsidi berdasarkan lesson learned dari distribusi Raskin adalah: (1)
xviii
BUMN yang ditugaskan diberi mandat untuk bertanggungjawab penuh (tidak dibagi dengan penyalur lain) atas penyaluran barang pemerintah bersubsidi
dimaksud dari gudang miliknya sampai di tingkat desa, dan (2) Pemda diberi tanggungjawab untuk menyalurkan barang pemerintah bersubsidi dimaksud
dari desa ke sasaran penerima, petani atau rumahtangga.
28) Dari telaahan di atas terdapat beberapa alternatif atau pilihan cara pemberian
insentif berproduksi langsung kepada petani baik berupa subsidi input (pupuk) atau subsidi harga output kepada petani, yaitu:
a. Subsidi input dalam bentuk pupuk langsung diberikan ke petani sebelum
masa tanam, seperti mekanisme pembagian Raskin oleh BULOG. Jumlah pupuk yang diberikan ke petani berdasarkan luas lahan garapan, komoditas
yang diusahakan, dan dosis pemupukan untuk setiap komoditas yang diusahakan.
b. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani
sebelum masa tanam, seperti mekanisme bantuan langsung tunai (BLT). Jumlah uang subsidi yang diberikan kepada setiap petani sesuai dengan
luasan lahan usaha, jenis komoditas yang akan diusahakan, dosis pemupukan untuk setiap komoditas, dan besarnya subsidi per kg untuk
setiap jenis pupuk.
c. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani setelah petani membeli pupuk dan memiliki bukti pembelian pupuk dari kios
pengecer resmi. Jumlah subsidi uang yang diberikan maksimal sesuai dengan yang tercatat di RDKK.
d. Subsidi harga output langsung diberikan kepada petani, yaitu penambahan sejumlah nilai rupiah tertentu untuk setiap kg produk pangan yang
diproduksi petani, baik yang dijual ke pasar maupun yang disimpan untuk cadangan pangannya. Besarnya tambahan penerimaan petani dari hasil usahataninya bergantung pada besarnya total produksi pangan nasional
yang disubsidi dan besarnya anggaran subsidi pupuk yang disediakan.
Keempat alternatif di atas akan efektif dilaksanakan apabila didukung basis
atau pangkalan data yang akurat yang menyajikan data pada tingkat petani/rumahtangga tani, khusunya informasi tentang identitas petani (nama,
domisili), luas lahan garapan, dan rencana jenis tanaman yang diusahakan. Khusus untuk subsidi harga output tambahan data yang diperlukan adalah mengenai hasil panen/ produksi pangan dari setiap petani yang jumlahnya lebih
dari 5 juta rumah tangga, untuk setiap komoditas yang ditanam.
29) Kelebihan alternatif kesatu layak diterapkan, namun sistem distribusinya dari
produsen sampai ke petani harus diperbaiki agar pupuk sampai ke petani memenuhi kaidah 6 tepat. Alternatif kedua layak diterapkan karena sudah ada contoh sistem ini diterapkan untuk program lain yaitu penyaluran BLT, namun
ada kekhawatiran petani tidak memanfaatkan sebagian atau seluruh uang subsidi ini untuk dibelikan pupuk sehingga sasaran program tidak tercapai.
Alternatif ketiga layak diterapkan dan petani dipastikan membeli pupuk, namun kemampuan petani membeli pupuk pada harga pasar tidak sama sehingga
dapat saja ada petani yang tidak membeli pupuk atau membeli pupuk lebih
xix
kecil dari dosis yang seharusnya. Alternatif keempat tidak layak diterapkan karena tambahan penerimaan petani (dari subsidi output) lebih kecil dari
tambahan biaya usahatani padi (beli pupuk). Kelebihannya, dengan subsidi harga output dalam bentuk uang, maka subsidi dapat langsung diterima petani.
Sekali lagi, kesemua alternatif tersebut menghendaki prasyarat perlu (necessary condition) bahkan mutlak harus tersedia data yang akurat di
tingkat petani untuk beberapa variabel dapat di update setiap tahun. Semenara itu jumlah keluarga petani dan persil lahan usahatani jumlahnya sangat banyak.
xx
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
EXECUTIVE SUMMARY ......................................................................... ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................................... xi
DAFTAR ISI ......................................................................................... xx
DAFTAR TABEL .................................................................................... xxii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xxiv
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat Anjak ..................................................... 4
II. METODOLOGI .............................................................................. 6
2.1. Lokasi Penelitian ................................................................... 6 2.2. Sumber dan Jenis Data.......................................................... 6
2.3. Metode Analisis ..................................................................... 6
III. KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PUPUK PADA USAHATANI PANGAN ........................................................... 7
3.1. Dosis Pemupukan dan Proporsi Biaya Pupuk pada Usahatani Padi ..................................................................................... 7 3.2. Usaha Pertanian yang Mendapat Alokasi Pupuk Bersubsidi....... 9
3.3. Proses Penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok ..... 11 3.3.1. Kewajiban Penyusunan RDKK ...................................... 11
3.3.2. Jadwal Penyusunan RDKK ........................................... 12 3.3.3. Permasalahan Seputar Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi ................................................................... 13
3.4. Penyediaan Pupuk Bersubsidi ................................................. 15 3.4.1. Tingkat Nasional ......................................................... 15
3.4.2. Tingkat Provinsi .......................................................... 18 3.5. Kebutuhan, Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi Pupuk
Bersubsidi ............................................................................. 20 3.5.1. Kebutuhan, Usulan, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi ......... 20 3.5.2. Perkembangan Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi
Pupuk Bersubsidi ........................................................ 22 3.5.3. Alokasi dan Realisasi Pupuk Bersubsidi Menurut Provinsi 25
IV. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PUPUK DAN PENGANGGARAN
SUBSIDI PUPUK ........................................................................... 27 4.1. Sejarah Pengembangan Industri Pupuk Urea dan Lainnya ....... 27
xxi
4.1.1. Periode Fase Pertama.................................................. 27 4.1.2. Periode Fase Kedua ..................................................... 29
4.2. Keragaan Industri Pupuk Saat ini ........................................... 30 4.3. Berbagai Peraturan Kebijakan dalam Pengembangan Industri
Pupuk Nasional ..................................................................... 33 4.4. Analisis Biaya Produksi dan Komponen Pembentuk Biaya HPP
(Harga Pokok Produksi) ......................................................... 35 4.5. Besaran Subsidi Pupuk dan Rasionya Terhadap Anggaran Nasional ............................................................................... 40
V. DISTRIBUSI DAN PERDAGANGAN PUPUK ....................................... 42
5.1. Kebijakan Distribusi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi ............. 42 5.2. Kebijakan Ekspor-Impor Pupuk .............................................. 55 5.3. Posisi RDKK dalam Penyaluran Pupuk Terhadap Petani ............ 57
5.4. Perkembangan HPP Gabah, HET Pupuk Bersubsidi dan Harga Paritas Pupuk Internasional ................................................... 60
5.5. Mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Subsidi ......................... 62 5.6. Perdagangan Pupuk non Subsidi di Pasar Domestik ................. 63
VI. ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN NASIONAL .............................. 65
6.1. Perencanaan Kebutuhan Pupuk Bersubsidi .............................. 65
6.2. Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi ............................................. 68 6.3. Mekanisme penyaluran subsidi pupuk ..................................... 74
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 87
xxii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Produksi Padi, Dosis dan Biaya Pupuk pada Usahatani Padi, 2000 dan 2014 ............................................................................................ 8
2. Luas Lahan dan Alokasi Dosis Pupuk Bersubsidi Sub Sektor Pertanian,
2015 ............................................................................................ 10
3. Perkembangan Alokasi dan Produksi Pupuk Bersubsidi Tahun
2011-2014 ................................................................................... 16 4. Alokasi Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi Tahun 2011
dan 2014 ..................................................................................... 17
5. Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi Tahun 2015 ............ 19
6. Alokasi Penyediaan dan Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014 ............................... 26
7. Perkembangan Produksi Pupuk di Indonesia, 2010-2014 (Ton) ....... 31
8. Kapasitas Produksi Pupuk PT PIHC menurut Produsen dan Jenis Pupuk di Indonesia, 2014 (ton/tahun) ...................................................... 32
9. Volume Penjualan Pupuk Urea PT. PIHC Berdasarkan Sub Sektor di
Indonesia, 2011 dan 2014............................................................. 33
10. Alokasi Pupuk Non-Urea Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi di
Indonesia, 2011 dan 2014............................................................. 33
11. Biaya Pokok Produksi Pupuk Urea/Kg di Beberapa Pabrik Pupuk di
Indonesia, Tahun 2011 dan 2014 .................................................. 36
12. Biaya Pokok Produksi SP-36, ZA, dan NPK di PT. PIHC, 2011 dan 2014 37
13. Biaya Produksi (Harga Pokok produksi) Urea dan Proporsi Biaya Gas Bumi Pupuk Produk Anak Perusahaan PT. PIHC di Indonesia, 2011 dan 2014 ..................................................................................... 38
14. Biaya produksi Plus 10% Margin Keuntungan Pupuk Urea Produksi
Anak Perusahaan PT. PIHC dan Besaran Subsidi yang Ditanggung Pemerintah per Kg di Beberapa Pabrik Pupuk di Indonesia, 2011 dan
2014 ............................................................................................ 38
15. Volume dan Pendapatan dari Penjualan Pupuk PT. PIHC, 2007-2014 39
xxiii
16. Proporsi Pendapatan dari PSO terhadap Total Pendapatan PT. PIHC, 2010-2014 (Rp Triliun) .................................................................. 39
17. Perkembangan Subsidi Pupuk dan Subsidi Pangan di Indonesia,
2005-2015 ................................................................................... 41
18. Alokasi Pupuk Menurut Jenis Pupuk dan Per Sub Sektor di Indonesia, 2015 ............................................................................................ 50
19. Kapasitas dan Waktu Tempuh Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Gudang Lini II ke ke Gudang Lini III di Indonesia, 2015 ................. 54
20. Perkembangan Konsumsi, Ekspor dan Impor Urea serta ZA di Indonesia, 2005-2012 ................................................................... 56
21. Perkembangan HPP gabah, HET Pupuk dan rasionya di Indonesia,
2007-2015 ................................................................................... 61
22. Harga Jual di Pasar Komersial Pupuk Urea, NPK, dan SP-36 Produksi PT. PIHC berdasarkan Sub Sektor Ekonomi, Pasar di Indonesia, 2011-
2014 (Rp/Kg) ............................................................................... 64
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Perbandingan Kebutuhan Teknis, Usulan Daerah, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Sub Sektor Tahun 2015 ............................. 22
2. Kinerja Penyaluran Pupuk PSO di Indonesia, 2010-2014 ................. 24
3. Mekanisme Distribusi Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011.............. 43
4. Mekanisme Usulan, Alokasi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011 ........................................................................... 45
5. Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Lini-I Sampai Petani di Indonesia, 2011 ............................................................................................ 45
6. Sarana Distribusi Pupuk Di Indonesia, 2015 (PIHC, 2015) ............... 49
7. Alokasi dan Realisasi Penyaluran Pupuk Secara Total di Indonesia, 2014 ............................................................................................ 51
8. Perkembangan Rasio HPP Gabah terhadap HET Pupuk di Indonesia,
2008-2015 ................................................................................... 62
9. Skema Mekanisme Pengawasan Penyaluran Pupuk dan Pestisida di Indonesia, 2011 ........................................................................... 63
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam usaha pertanian modern yang mengejar peningkatan produktivitas
secara terus menerus per satuan lahan, pupuk merupakan salah satu factor produksi
yang sangat penting atau esensial.Tanpa tambahan hara ke dalam tanah atau tanpa
pemupukan, sangat sulit untuk memperoleh hasil per hektare yang tinggi secara
berkelanjutan.
Upaya peningkatan produksi pangan khususnya padi melalui penerapan
intensifikasi teknologi di Indonesia sudah dimulai lebih awal dari program Bimas.
Pada Desember 1949 Pemerintah menggabungkan Rencana Kasimo dan Rencana
Wisaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa, yang salah satu komponennya
mengembangkan usaha pertanian yang lebih sistematis. Salah satu komponen
teknologi yang diterapkan dalam intensifgikasi usaha pertanian adalah penambahan
hara kimiawi ke lahan usahatani padi, khususnya pupuk fosfat dan nitrogen (Hafsah
dan Sudaryanto, 2003).
Pada tahun 1958 Pemeritah mencanangkan program intensifikasi usahatani
dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan potensi
lahan, daya, dan dana yang tersedia. Program ini disebut Padi Sentra. Pada Prorgam
ini diperkenalkan teknologi Panca Usahatani, yang salah satunya adalah penyediaan
dan penggunaan pupuk yang cukup. Program inilah yang selanjutnya bergulir jadi
Program Bimas dan berbagai variannya. Program ini pula seringkali disebut Revolusi
Hijau (Green Revolution) karena berhasil meningkatkan produksi padi dengan
pertumbuhan yang cukup tingi, tidak saja di Indoenesia tetapi di berbagai negara
Asia. Pendekatan ini membawa hasil meningkatkan ketersediaan pangan secara
global. Di Indonesia Revolusi Hijau berhasil meningkatkan produktivitas dan produksi
padi meningkat pesat cukup cepat, dan puncaknya mencapai swasembada beras di
tahun 1984.
Beberapa tahun terakhir upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan
melalui pemanfaatan pupuk kimiawi mendapat sorotan berbagai fihak, khususnya
dari para ahli tanah, budidaya tanaman, dan lingkungan. Kritik utama terkait dengan
pemanfaatan pupuk dengan dosis berlebihan dan dilakukan secara terus-menerus.
2
Kritik lain muncul dari masyarakat terkait besarnya anggaran belanja negara yang
dialokasikan untuk subsidi pupuk. Misalnya, selama lima tahun terakhir anggaran
subsidi pupuk naik terus yang jumlahnya sudah berada di atas 15 trilyun rupiah
setiap tahun dan pada tahun 2015 dianggarkan sebesar 35,7 triliun rupiah, termasuk
untuk pendanaan kurang bayar subsidi pupuk kepada produsen pupuk untuk
beberapa tahun sebelumnya.
Besarnya dan terus meningkatnya anggaran subsidi pupuk ini sebagai
konsekuensi kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pupuk yang dibeli petani
tetap pada level murah, yang jauh lebih rendah dari harga pasar atau harga
keekonomiannya. Kebijakan pemerintah ini merupakan derivatif atau turunan dari
kebijakan yang menargetkan pemenuhan kebutuhan pangan seluruhnya dari
produksi dalam negeri. Impor pangan menjadi “the last resort”, atau upaya terakhir
yang terpaksa dilaksanakan apabila benar-benar sangat diperlukan. Pendekatan ini
disebut sebagai ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan
(Suryana, 2013).
Industri pupuk di Indonesia, khususnya pupuk Urea dikuasai Badan Usaha
Milik Negra (BUMN). Sejak tahun 2011 BUMN-BUMN produsen pupuk dihimpun
dalam suatu Holding Company (Perusahaan Induk) bernama PT Pupuk Indonesia
Holding Company (PIHC). BUMN ini melaporkan (angka sementara) produksi pupuk
pada tahun 2014 sebagai berikut: pupuk Urea sebanyak 6,74 juta ton, ZA sebanyak
816 ribu ton, NPK sebesar 2,72 juta ton, SP-36 sebesar 400 ribu ton, dan pupuk
organik mencapai 580 ribu ton. Dari jumlah tersebut sebagian besar dialokasikan
untu kebutuhan pupuk bersubsidi, yaitu sekitar 60% Urea dan lerbih dari 85% non-
Urea dengan jumlah sekitar 9,5 juta ton (Pupuk Indonesia Holding Company, 2015).
Walaupun Pemerintah sudah banyak mengalokasikan anggaran untuk
menyediakan pupuk bersubsidi disertai dengan bebagai kebijakan terkait distribusi
dan penyalurannya kepada petani agar dapat memenuhi prinsip enam tepat (jumlah,
dosis, mutu, waktu, tempat, dan harga), namun isu kelangkaan pupuk dan harga
pupuk yang mahal di tingkat petani masih tetap ada di setiap awal musim tanam.
Kejadian ini sudah berlangsung lama seperti dilaporkan dalam hasil Analisis
Kebijakan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2014 (Kariyasa,
Mardianto, dan Maulana, 2004; dan Susila, 2010).
3
Permasalahan ini muncul bukan hanya dari sebab yang sederhana, misalnya
karena ketidak-beresan sistem distribusi, tetapi terkait juga dengan keseimbangan
antara penyediaan pupuk bersubsidi dan permintaan pupuk dari petani pangan,
dampak kebijakan disparitas harga yang terlalu lebar, dan ketidak tepatan dosis
pemupukan oleh petani. Selain itu, besarnya moral hazard dari sebagian pelaku
usaha pupuk, penyusunan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang tidak
akurat dan lemahnya pengawasan pupuk di lapangan juga dapat memperbesar
permasalahan tersebut. Permasalahan perpupukan ini terus berlanjut dari tahun ke
tahun sampai sekarang, seperti yang selalu dilaporkan di media masa.
Perhatian (concern) terhadap efektivitas kebijakan subsidi pupuk dari
berbagai instansi pemerintah ternyata sangat tinggi, seperti tercermin dari berbagai
laporan kajian tiga instansi (Bappenas, 2011, Badan Kebijakan Fiskal, 2010; dan
Badan Pemeriksa Keuangan, 2008). Ketiga laporan tersebut menenggarai adanya
ketidak efektifan dalam pelaksanaan kebijakan pemberian subsidi pupuk. Kajian
semacam ini masih diperlukan, baik untuk up-dating informasi maupun untuk
menelaah aspek tertentu secara lebih fokus.
Kebijakan subsidi pupuk jelas mempunyai dampak positif bagi peningkatan
produksi pangan, terutama padi/beras. Pencapaian ini memberikan sumbangan yang
signifikan secara nasional pada pencapaian ketahanan pangan, stabilitas ekonomi,
dan ketahanan sebagai bangsa. Namun, penilaian negatif terhadap konsep dan
pelaksanaan kebijakan ini juga muncul, seperti pelaksanaan distribusi tidak efisien,
pupuk tidak sampai tidak sampai kepada sasaran yang tepat, dan terbangun
dualisme pasar (Susila, 2010) yang dapat menciptakan moral hazzard.
Besaran subsidi pupuk per kg dihitung dari harga pokok produksi (HPP) plus
margin keuntungan (10%) dikurangi harga pupuk yang dibayar petani. Karena harga
bahan baku (gas) meningkat terus dan ditetapkan dalam dolar Amerika Serikat
(USA), serta volume kebutuhan pupuk untuk pangan meningkat dari tahun ketahun,
maka jumlah anggaran subsidi pupuk terus meningkat pula.
Beberapa permasalahan yang perlu didalami dapat tercermin dari kalimat
pertanyaan bertikut: (1) Sampai kapan kebijakan pupuk seperti sekarang ini cocok
diterapkan dalam pembangunan pangan nasional?; (2) Adakah alternatif kebijakan
penyediaan pupuk bagi petani pangan yang lebih tepat sehingga pemanfaatan
4
pupuk dalam sistem usahatani pangan menjadi lebih efisien, baik secara teknis
maupun ekonomis?; dan (3) Adakah kebijakan penyediaan pupuk kepada petani
pangan yang lebih murah biayanya tetapi tetap dapat menjamin pencapaian
ketahanan pangan nasional berdasarkan prinsip kemandirian dan kedaulatan
pangan?
Pertanyaan yang menyoal kebijakan perpupukan di atasi semakin keras
disuarakan oleh para ahli ekonomi dan ekonomi pertanian, dan menjadi wacana
diskusi tingkat nasional, termasuk dari para pejabat tinggi pemerintah. Dalam
RAPBN 2016 yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo dalam Sidang Paripurna
DPR RI tanggal 14 Agustus 2015, tercantum anggaran subsidi pupuk sebesar 30,062
triliun rupiah. Namun yang menarik Presien Joko Widodo dalam twitter tanggal 15
Agustus 2015 menulis”subsidi pupuk dan benih banyak diselewengkan. Akan kita
ubah menjadi subsidi produk akhir harga beli pemerintah ke petani.”
Untuk dapat menjawab pertanyaan kebijakan tersebut dengan baik,
diperlukan informasi yang komprehensif tentang konsep dan implementasi kebijakan
perpupukan, khususnya mengenai: (1) perencanaan kebutuhan dan pemenuhan
kebutuhan pupuk bersubsidi, mulai dari tingkat petani sampai Pemerintah di pusat;
(2) arah pengembangan industri pupuk nasional termasuk kebijakan
pembiayaan/pengganggaran subsidi pupuk; dan (3) distribusi dan perdagangan
pupuk dalam negeri, termasuk penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai
di petani, serta upaya petani mendapatkan pupuk.
Tujuan dan Manfaat Anjak
Tujuan umum Anjak ini adalah menghimpun dan menganalisis data dan
informasi tentang kebijakan perpupukan nasioanal, khususnya dalam perencanaan,
pengembangan industri,dan distribusi serta perdagangan pupuk bagi petani pangan
dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional.
Secara khusus Anjak ini bertujuan:
1. Menganalisis kebijakan dan perencanaan kebutuhan dan pemenuhan
kebutuhan pupuk bersubsidi, mulai dari tingkat petani sampai pemerintah di
pusat.
5
2. Menganalisis kebijakan pengembangan industri pupuk nasional termasuk
kebijakan pembiayaan/pengganggaran subsidi pupuk.
3. Menganalisis kebijakan distribusi dan perdagangan pupuk dalam negeri,
termasuk penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai di petani,
serta upaya petani mendapatkan pupuk.
4. Merumuskan alternatif kebijakan perpupukan nasional yang dapat menjamin
penyediaan pupuk di tingkat petani secara efisien dari sisi teknis dan
ekonomis yang mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.
Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan untuk
lebih memahami permasalahan perpupukan secara komprehensif. Dengan
tersedianya data, informasi, dan hasil analisis tentang perpupukan diharapkan
penentu kebijakan dapat merumuskan kebijakan perpupukan yang lebih baik, yang
dapat meningkatkan produktivitas usahatani dan produksi pangan secara efisien.
Dampak yang diharapkan dari Anjak ini, apabila hasilnya dimanfaatkan
sebagai referensi dalam perumusan kebijakan, adalah tertatanya sistem distribusi
pupuk sampai ke petani dengan lebih efisien, terjadinya efisiensi dalam alokasi
anggaran dan belanja negara untuk subsidi pupuk, membaiknya penerapan
pemupukan pada usahatani pangan, meningkatnya produksi pangan secara efisien,
dan meningkatnya pencapaian ketahanan pangan nasional berbasis kemandirian dan
kedaulatan pangan.
6
II.METODOLOGI
2.1. Lokasi Penelitian
Lingkup pembahasan kajian ini bersifat nasional. Untuk pendalaman mengenai
dampak kebijakan perlu dilakukan verifikasi di lapangan, khususnya mengenai
sistem distribusi, persepsi petani/kelompok tani atas kebijakan perpupukan nasional,
dan realisasi pemanfaatan pupuk di lapangan oleh petani. Untuk itu dilakukan
pendalaman kegiatan Anjak di lokasi kajian Provinsi Jawa Barat dan Lampung.
2.2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data untuk lingkup nasional berupa data sekunder dikumpulkan dari
berbagai instansi pemerintah di Jakarta diantaranya Kementerian BUMN,
Perdagangan, Pertanian, BPS, serta ke BUMN pupuk. Data sekunder juga diperoleh
melalui penelusuran dokumen berupa jurnal/laporan/tesis/disertasi berbentuk hard
copy maupun elektronik. Selain pengumpulan data sekunder, juga dilakukan
pengumpulan data primer melalui wawancara dengan aparat pertanian tingkat
provinsi/kabupaten dan gapoktan/ petani padi sawah.
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi dokumen-dokumen terkait kebijakan
perpupukan dan informasi serta data mengenai sistem produksi dan pengadaan
pupuk bersubsidi, sistem distribusi atau penyaluran pupuk bersubsidi, serta pola
pemupukan yang dilaksanakan petani. Sementara itu, jenis data primer yang
dikumpulkan adalah pendapat pemangku kepentingan perpupukan di provinsi dan
kabupaten terpilih mengenai kebijakan perpupukan yang selama ini diberlakukan
dan respons petani atas penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi.
2.3. Metode Analisis
Anjak ini menggunakan metoda analisis kuantitatif dan deskriptif kualitatif.
Analisis kuantitatif dilakukan melalui penghitungan tingkat pertumbuhan/
peningkatan dari data series waktu dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel
analisis. Selain itu juga dilakukan analisis deskriptif kualitatif atas data yang disajikan
baik yang bersumber dari instansi maupun dari lokasi kajian. Dari keseluruhan
analisis diharapkan dapat dirumuskan alternatif kebijakan perpupukan yang
komprehensif serta lebih efisien mencapai sasaran kebijakan.
7
BAB III. KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PUPUK PADA USAHATANI PANGAN
Kebutuhan pangan semakin bertambah seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk. Peningkatan jumlah penduduk juga berdampak pada semakin
berkurangnya lahan pertanian akibat terkonversi menjadi pemukiman dan kawasan
industri. Di sisi lain lahan dan air merupakan faktor penting dalam produksi pangan
dan sering kali menjadi faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas, sehingga
peningkatan produktivitas harus ditopang dengan cara lain yaitu melalui
implementasi teknologi usahatani. Salah satu teknologi usahatani yang penting
adalah teknologi pemupukan.
Pupuk merupakan salah satu input dalam usahatani yang sangat penting.
Ketiadaan pupuk dalam usahatani bahkan dapat berakibat input yang lainnya
menjadi kurang optimal. Hadi (2007) menyatakan bahwa pupuk merupakan salah
satu input sangat esensial dalam proses produksi pertanian. Tanpa pupuk,
penggunaan input lainnya seperti benih unggul, air dan tenaga kerja hanya akan
memberikan manfaat marjinal sehingga produktivitas pertanian dan pendapatan
petani akan rendah.
Peran pupuk yang sangat besar dalam peningkatan produksi dan
produktivitas, mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran subsidi pupuk
setiap tahunnya. Selain itu pemerintah juga berharap melalui kebijakan subsidi
pupuk ini dapat meningkatkan adopsi tekonologi pemupukan dengan penerapan
pupuk berimbang spesifik lokasi (Darwis, 2013). Pertanyaannya, bagaimana
pemerintah merencanakan kebijakan alokasi pupuk bersubsidi, dan apakah
memenuhi kebutuhan pupuk yang diinginkan petani? Lebih jauh lagi bagaimana
petani merencanakan kebutuhan pupuknya, serta apakah penggunaannya sudah
sesuai dengan dosis anjuran atau hanya berdasarkan pengalaman?
3.1. Dosis Pemupukan dan Proporsi Biaya Pupuk Pada Usahatani Padi
Dosis pemupukan merupakan formulasi yang dilakukan petani dalam
memberikan tambahan berbagai hara pada lahan usahatani. Jenis, besaran, dan
cara penggunaan pupuk mencerminkan tingkat aplikasi teknologi dalam usahatani
8
(Sumaryanto, 2004). Pada usahatani padi, meskipun terdapat dosis pemupukan
anjuran, namun sebagian besar petani menetapkan dosis pemupukan atas dasar
pengalamannya melakukan usahatani (Susilowati, et. al, 2010). Berdasarkan hal
tersebut, sering kali dosis pemupukan yang digunakan petani sangat tinggi dan
cenderung berlebihan atau tidak menambah hara pada lahan usahataninya secara
seimbang.
Tabel 1. Produksi Padi, Dosis dan Biaya Pupuk pada Usahatani Padi, 2000 dan 2014
Uraian 2000 2014
Nilai Proporsi Nilai Proporsi
Produksi (Kg/Ha) 5.650 - 6.170 -
Dosis Pemupukan (Kg/Ha)
Urea 360,1 56,5 187,2 13,6
ZA 117,7 18,5 - -
TSP 63,8 10,0 - -
SP-36 39,5 6,2 163,1 11,9
KCl 35,7 5,6 107,3 7,8
NPK - - 169,6 12,3
Organik 20,2 3,2 593,8 43,2
Lainnya - - 154,2 11,2
Biaya Pupuk (.0000 Rp/Ha)
Urea 374,8 8,7 349,8 2,4
ZA 122,5 2,8 - -
TSP 102,2 2,4 - -
SP-36 63,2 1,5 371,8 2,5
KCl 68,5 1,6 225,3 1,5
NPK - - 377,5 2,5
Organik 12,8 0,3 316,5 2,1
Lainnya - - 251,1 1,7
Total Biaya Pupuk (.000 Rp/Ha) 744 1.892
Total Biaya Usahatani (.000 Rp/Ha) 4.335,3 14.804,2
% Biaya Pupuk/Usahatani 17,3 12,8
Sumber: Sumaryanto (2004) dan Badan Ketahanan Pangan (2015) Keterangan: Biaya terdiri dari Biaya Benih, Pupuk, Obat-obatan, Tenaga Kerja, Sewa Lahan,
Sewa Traktor, dan Biaya Lainnya namun tidak termasuk Biaya Bank
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa pupuk urea merupakan jenis pupuk
yang paling banyak digunakan dalam usahatani padi. Pada tahun 2000, penggunaan
pupuk N (yaitu Urea dan ZA) bahkan sudah berlebihan. Penggunaan pupuk yang
berlebihan ini akan mengakibatkan inefisiensi penggunaan input dan pada jangka
panjang akan mengakibatkan degradasi sumberdaya (Sumaryanto, 2004). Tingginya
9
penggunaan pupuk N juga disebabkan saat itu petani belum menggunakan pupuk
majemuk.
Lima belas tahun kemudian, pada tahun 2014 pemupukan yang diterapkan
petani sudah menggunakan pupuk majemuk sehingga penggunaan pupuk tunggal
berkurang. Namun begitu, jika dibandingkan dengan rekomendasi pupuk anjuran
yang dikeluarkan kementerian pertanian melalui Permentan No 40 tahun 2007
diketahui bahwa penggunaan pupuk tunggal juga masih berlebih. Pada lahan sawah
yang menggunakan pupuk mejemuk (NPK) sebesar 150 kg/ha maka penggunaan
urea sebesar 200 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan tanpa pupuk SP-36. Dengan demikian
pada tahun 2014, dosis pemupukan yang berlebihan adalah penggunaan pupuk SP-
36.
Proporsi pengeluaran petani untuk biaya pupuk pada tahun 2014 lebih kecil
dibandingkan pada tahun 2000. Pada tahun 2014 total proporsi biaya pupuk
terhadap total biaya usahatani sebesar 12,8%, berkurang sekitar 4,5% dibandingkan
tahun 2000 (17,3%). Pada tahun 2000 penggunaan pupuk urea sangat dominan
sehingga proporsi biaya urea terhadap biaya total sangat tinggi (8,7%) jika
dibandingkan jenis pupuk lain (0,3-2,8%). Sedangkan pada tahun 2014 penggunaan
pupuk lebih merata sehingga proporsi biaya pupuk terhadap total biaya berkisar
antara 1,5-2,5%.
Penggunaan pupuk yang lebih mendekati dosis anjuran berdampak pada
peningkatan produksi. Pada tahun 2014 terjadi peningkatan produksi padi sebesar
520 kg/ha atau sekitar 9,2% dibandingkan tahun 2000. Jika dosis anjuran
penggunaan pupuk diterapkan dengan baik berdasarkan Permentan 40 tahun 2007,
diperkirakan dapat meningkatkan produksi sebesar 2.500 kg/ha sampai 3.500 kg/ha.
3.2. Usaha Pertanian yang Mendapat Alokasi Pupuk Bersubsidi
Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi nasional mengacu kepada Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi
Pupuk Bersubsidi yang diterbitkan setiap tahun. Perkembangan lima tahun terakhir,
pupuk bersubsidi dialokasikan untuk lima subsektor pertanian dan perikanan. Kelima
subsektor tersebut adalah subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, dan perikanan budidaya.
10
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa subsektor tanaman pangan memiliki
luas lahan terbesar dalam alokasi pupuk bersubsidi. Proporsi luas lahan subsektor
tanaman pangan terhadap total luas lahan yang mendapat alokasi pupuk bersubsidi
sebesar 49,88%, jumlah ini sedikit lebih besar dibandingkan subsektor perkebunan
yaitu sebesar 41,58%. Dengan demikian, alokasi dan dosis pemupukan subsektor
tanaman pangan dan subsektor perkebunan juga merupakan yang tertinggi
dibandingkan subsektor lainnya.
Tabel 2. Luas Lahan dan Alokasi Dosis Pupuk Bersubsidi Subsektor Pertanian, 2015
Subsektor Luas Lahan Usaha (Ha)
Urea SP-36 ZA NPK Organik
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Alokasi (Ton)
Dosis (Kg/Ha)
Tanaman Pangan
20.140.000 3.071.382 153 567.317 28 713.097 35 1.857.441 92 721.512 36
Hortikultura 2.050.000 181.378 88 45.961 22 61.191 30 165.344 81 53.991 26
Perkebunan 16.790.000 677.705 40 197.985 12 264.473 16 509.338 30 134.097 8
Peternakan 380.000 76.789 202 12.888 34 11.239 30 17.877 47 90.400 238
Perikanan Budidaya
1.020.000 92.746 91 25.849 25 - - - - - -
JUMLAH 40.380.000 4.100.000 102 850.000 21 1.050.000 26 2.550.000 63 1.000.000 25
Sumber: Permentan No. 130 Tahun 2014 dan PT. PIHC (2015), diolah
Alokasi dosis pemupukan seperti disajikan pada Tabel 2, dihitung dari
pembagian antara alokasi pupuk bersubsidi dengan luas lahan usaha pertanian
menurut subsektor. Dosis pemupukan yang terbaik adalah dosis pemupukan yang
spesifik lokasi dan spesifik varietas. Kebutuhan dan efisiensi dosis pemupukan harus
mempertimbangkan tiga faktor yang sangat berkaitan yaitu: (a) ketersediaan hara
dalam tanah, termasuk pasokan melalui air irigasi dan sumber lainnya, (b)
kebutuhan hara tanaman, dan (c) target hasil yang ingin dicapai (Permentan No 40
Tahun 2007).
Anjuran dosis pemupukan berimbang yang spesifik lokasi untuk komoditas
padi sawah mengacu pada Permentan No. 40 Tahun 2007. Pada permentan tersebut
memuat rekomendasi pemupukan untuk 21 provinsi penghasil padi nasional utama
yang di rinci menurut kabupaten dan kecamatan. Gambaran berikut ini dijelaskan
rekomendasi dosis pemupukan di empat kabupaten/kota contoh, yaitu Kabupaten
Lampung Tengah, Kotamadya Metro, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Karawang.
Rekomendasi dosis pemupukan di Kabupaten Lampung Tengah adalah 250
Kg/Ha Urea, 67 Kg/Ha SP-36, dan 60 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk
11
organik. Namun jika menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/ha, maka dosis
pemupukan sebanyak 225 Kg/Ha Urea, 17 Kg/Ha SP-36, dan 40 Kg/Ha KCl.
Rekomendasi dosis pemupukan untuk Kotamadya Metro adalah 250 Kg/Ha Urea, 50
Kg/Ha SP-36, dan 100 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Jika
menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/Ha, rekomendasi dosis pemupukan
menjadi 225 Kg/Ha Urea dan 80 Kg/Ha KCl.
Sementara itu, di Kabupaten Cianjur dan Karawang dosis pemupukan untuk
urea lebih banyak dibandingkan Kabupaten Lampung Tengah dan Kotamadya Metro.
Rekomendasi dosis pemupukan di Kabupaten Cianjur adalah 300 Kg/Ha Urea, 74
Kg/Ha SP-36, dan 60 Kg/Ha KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Namun jika
menggunakan pupuk organik sebanyak 2 ton/ha, maka dosis pemupukan sebanyak
275 Kg/Ha Urea, 24 Kg/Ha SP-36, dan 40 Kg/Ha KCl. Rekomendasi dosis pemupukan
untuk Kabupaten Karawang adalah 300 Kg/Ha Urea, 72 Kg/Ha SP-36, dan 82 Kg/Ha
KCl jika tanpa menggunakan pupuk organik. Jika menggunakan pupuk organik
sebanyak 2 ton/Ha, rekomendasi dosis pemupukan menjadi 275 Kg/Ha Urea, 23
Kg/Ha SP-36, dan 62 Kg/Ha KCl.
Berdasarkan rekomendasi dosis pemupukan di empat kabupaten/kota contoh
penelitian, diketahui bahwa alokasi dosis pemupukan yang bersumber dari pupuk
bersubsidi seperti telah diuraikan pada Tabel 2, dinilai kurang untuk ke empat
kabupaten/kota tersebut, jika hanya menggunakan pupuk tunggal. Selain itu, alokasi
pupuk organik juga kurang, padahal penggunaan pupuk organik merupakan salah
satu solusi untuk mengatasi degradasi lahan pertanian akibat penerapan revolusi
hijau tahun 1960-an (Mayrowani, 2012). Dengan demikian, di empat kabupaten/kota
tersebut, petani harus menggunakan dan terbiasa menggunakan pupuk mejemuk
NPK sebagai kompensasi dari pupuk tunggal yang dialokasikan lebih rendah dari
dosis anjuran pemupukan berimbang.
3.3. Proses Penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK)
3.3.1. Kewajiban Penyusunan RDKK
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) harus disusun oleh kelompok
tani sebagai acuan dalam penerimaan pupuk bersubsidi. Selain itu penyusunan
12
RDKK oleh kelompok tani juga merupakan amanah dari Peraturan Menteri Pertanian
tentang alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Berdasrkan Permentan No 130 Tahun
2014 Bab 3 Pasal 8 dijelaskan bahwa dinas yang membidani pertanian
kabupaten/kota bersama kelembagaan penyuluhan tingkat kabupaten/kota wajib
melaksanakan pembinaan kepada petani, petambak dan/atau kelompoktani dalam
penyusunan RDKK sesuai luas areal usahatani dan/atau kemampuan penyerapan
pupuk bersubsidi di tingkat petani, petambak dan/atau kelompoktani di wilayahnya.
Berdasarkan Permentan tersebut juga dapat diketahui bahwa dasar dalam
penyusunan RDKK adalah luas areal usahatani dan/atau kemampuan penyerapan
pupuk bersubsidi di tingkat petani. Pasal ini mengakibatkan penyusunan RDKK
menjadi fleksibel, yaitu dasar penyusunan RDKK tidak dibatasi hanya pada luas areal
usahatani yang dimiliki tapi juga kemampuan petani dalam melakukan penyerapan
alokasi pupuk bersubsidi. Namun penyerapan alokasi pupuk bersubsidi oleh petani
tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan finansialnya. Lebih dari itu, hal utama
yang sering menentukan serapan pupuk bersubsidi adalah kebiasaan penggunaan
dalam pemupukan atau pemahaman petani tentang pemupukan.
Berdasarkan diskusi dengan aparat yang bertugas mendampingi kelompok
tani dalam penyusunan RDKK di Kabupaten Karawang diketahui bahwa serapan
pupuk bersubsidi jenis NPK di tingkat pengecer (lini IV) sering kali tidak sesuai
target. Menurutnya kondisi ini disebabkan karena petani biasa menggunakan pupuk
Urea dan petani memiliki persepsi bahwa pupuk NPK bukan merupakan substitusi
dari pupuk Urea. Akibatnya, pemberian pupuk NPK tidak selalu diikuti petani dengan
mengurangi penggunaan pupuk Urea. Kenyataannya petani tetap membeli lebih
banyak pupuk Urea (bahkan membeli pupuk non subsidi jika alokasi pupuk
bersubsidi dirasa kurang) dan membeli pupuk NPK dengan volume di bawah alokasi
yang sudah ditetapkan dalam RDKK.
3.3.2. Jadwal Penyusunan RDKK
Ketepatan dalam penyusunan RDKK menjadi titik awal keberhasilan
perencanaan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Tepat dalam hal ini harus
mencakup aspek jumlah yang mengacu kepada anjuran dosis pupuk berimbang dan
aspek ketepatan waktu dalam penyusunan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi.
13
Sebagaimana amanah dari Permentan No 130/2014 bahwa perhitungan kebutuhan
pupuk bersubsidi nasional mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh
kepala dinas provinsi, yang merupakan hasil rekapitulasi RDKK yang disampaikan
oleh dinas kabupaten/kota.
Berdasarkan Permentan No 130/2014 Bab 3 tentang Peruntukan dan
Kebutuhan Pupuk Bersubsidi diketahui tentang tahapan penetapan alokasi
kebutuhan pupuk bersubsidi. Penetapan alokasi pupuk bersubsidi dilakukan
berjenjang dimulai dengan penetapan peraturan tentang alokasi pupuk bersubsidi
nasional untuk tahun depan oleh Menteri Pertanian. Penetapan ini diterbitkan pada
akhir bulan November tahun berjalan. Di dalam Permentan tersebut diatur tentang
alokasi penyediaan pupuk bersubsidi untuk masing-masing provinsi. Selanjutnya
Gubernur di setiap provinsi menetapkan peraturan tentang alokasi kebutuhan pupuk
bersubsidi untuk masing-masing kabupaten/kota, yang dikeluarkan pada
pertengahan Desember tahun berjalan dan terakhir bupati/kota menetapkan
peraturan tentang alokasi pupuk bersubsidi untuk masing-masing kecamatan pada
akhir bulan Desember tahun berjalan.
Permasalahan perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi sering timbul akibat
tahapan penetapan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tidak didukung dengan
akurasi data kebutuhan yang bersumber dari tingkat kelompok tani. Seharusnya
RDKK yang disusun oleh kelompok tani dan direkapitulasi secara berjenjang dari
tingkat kabupaten/kota hingga nasional menjadi basis utama penyusunan alokasi
kebutuhan pupuk bersubsidi. Namun faktanya rekapitulasi RDKK di tingkat
kabupaten/kota selalu telat dan baru selesai pada bulan Januari tahun pelaksanaan.
Kondisi tersebut terjadi pada kasus Kabupaten Karawang sehingga mengakibatkan
terjadinya senjang jumlah alokasi pupuk bersubsidi antara yang ditetapkan oleh
Menteri Pertanian hingga bupati/walikota dengan RDKK yang direkap di tingkat
kabupaten/kota. Sering kali jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi yang direkap
ditingkat kabupaten/kota lebih besar daripada yang ditetapkan oleh bupati/walikota.
3.3.3. Permasalahan Seputar Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi
Beberapa faktor penting dalam perencanaan kebutuhan pupuk sangat
mempengaruhi kualitas RDKK yang disusun. Menurut Darwis dan Saptana (2010)
14
perencanaan kebutuhan pupuk dipengaruhi oleh harga pupuk, luas areal tanam, dan
dosis pemupukan. Pada pembahasan RDKK di level kelompok tani, yang sering
menjadi perbedaan pendapat antara anggota kelompok tani dengan tenaga
pendamping adalah terkait dosis pemupukan dimana petani sering kali berlebihan
dalam menetapkan dosis pemupukan dibandingkan dengan anjuran pupuk
berimbang. Berdasarkan diskusi dengan pimpinan Dinas Pertanian Kabupaten
Karawang dan Kota Metro diketahui bahwa kondisi ini akibat dari lemahnya tenaga
pendamping penyusun RDKK dalam memberikan arahan dan pendampingan kepada
petani tentang dosisi pemupukan berimbang. Selain itu, lemahnya petugas dinas
kabupaten/kota dalam memperhitungkan intensitas tanam juga memperburuk
kualitas perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi. Petugas sering kali
menyamaratakan kebutuhan pupuk bersubsidi untuk lahan sawah yang memiliki
intensitas tanam dua kali dalam setahun dengan yang memiliki intensitas tanam tiga
kali dalam setahun.
Lambatnya penetapan RDKK di tingkat petani yang mengakibatkan telatnya
rekapitulasi RDKK di tingkat kabupaten/kota, dosis pemupukan yang berlebihan yang
digunakan dalam penyusunan RDKK, dan lemahnya petugas pendamping dalam
memperhitungkan kebutuhan pupuk, mengakibatkan kekurangan pupuk di tingkat
pengecer. Kekurangan pupuk bersubsidi di tingkat pengecer direspon oleh pedagang
pengecer dengan meminta tambahan pupuk kepada distributor. Tambahan pupuk
diberikan oleh distributor dari jatah pupuk pada bulan-bulan mendatang. Situasi ini
jika terakumulasi pada beberapa bulan, ditambah dengan proses realokasi pupuk
antar kabupaten yang tidak sederhana, maka sangat berpotensi terjadinya
kelangkaan pupuk di akhir tahun.
Dengan permasalahan-permasalahan yang kompleks tersebut, solusi yang
bisa dilakukan adalah memperbaiki kualitas RDKK baik dalam hal jumlah yang
dibutuhkan maupun waktu penyusunan. Dinas kabupaten/kota perlu memperkuat
petugas pendamping kelompok tani dengan ilmu dan wawasan yang cukup
mengingat fakta yang ada terungkap dari diskusi di tingkat kabupaten bahwa
petugas yang ada sebagian besar bukan berasal dari latar pendidikan pertanian.
Diharapkan dengan ilmu dan wawasan yang cukup tertutama tentang aspek
15
budidaya dan usahatani diharapkan petugas lebih mampu dalam mengarahkan
petani dalam menentukan jumlah pupuk yang dibutuhkan.
Pada aspek waktu penyusunan, penetapan rekap RDKK di tingkat
kabupaten/kota perlu dipercepat agar RDKK bisa menjadi dasar dalam penentuan
alokasi pupuk bersubsidi. Sebagaimana kasus di Kota Metro, dimana penyusunan
RDKK untuk tahun anggaran 2016 sudah mulai disusun pada bulan Januari 2015.
Tergetnya pada tingkat kelompok tani RDKK sudah selesai disusun pada bulan
Januari 2015, lalu rekap di tingkat kecamatan maksimal bulan Maret 2015, dan
rekap di kabupaten maksimal bulan April 2015. Dengan demikian, ketika Keputusan
Gubernur terkait alokasi pupuk bersubsidi untuk setiap kabupaten/kota telah
ditetapkan, maka RDKK yang telah direkap di tingkat kabupaten/kota dapat menjadi
dasar dalam penetapan keputusan bupati/walikota untuk alokasi pupuk bersubsidi
per kecamatan.
3.4. Penyediaan Pupuk Bersubsidi
3.4.1. Tingkat Nasional
Pupuk merupakan barang yang mendapat pengawasan pada proses
pengadaan dan penyalurannya. Sebagai upaya pemerintah dalam peningkatan
produksi pangan, maka pupuk mendapatkan subsidi harga untuk kebutuhan
kelompok tani dan atau petani. Jenis pupuk yang mendapatkan subsidi harga
meliputi Urea, SP-36, ZA, NPK, dan pupuk Organik (Peraturan Menteri Perdagangan
No 15 Tahun 2013).
Perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi pada lima tahun terakhir
dapat dilihat pada Tabel 3. Total alokasi pupuk bersubsidi pada lima tahun terakhir
berfluktuasi dengan trend yang meningkat rata-rata sebesar 0,16% per tahun. Jenis
pupuk yang mengalami peningkatan alokasi signifikan adalah pupuk organik dengan
rata-rata peningkatan alokasi sebesar 10,61% per tahun. Sedangkan jenis pupuk
yang memiliki trend menurun adalah pupuk urea dengan penurunan rata-rata
sebesar 4,52% per tahun. Jenis pupuk lainnya seperti NPK, ZA, dan SP-36 juga
berfluktuasi dengan trend meningkat masing-masing sebesar 3,05%; 5,71%; dan
4,86%.
16
Tabel 3. Perkembangan Alokasi dan Produksi Pupuk Bersubsidi Tahun 2011-2014
Jenis Pupuk 2011 2012 2013 2014 20151) Rata-Rata
Pertumbuhan (%)
Alokasi (.000 Ton)2)
Urea 5.100 5.100 3.860 4.100 4.100 (4,52)
NPK 2.350 2.594 2.131 2.550 2.550 3,05
SP-36 750 1.000 805 850 850 4,86
ZA 850 1.000 1.075 1.050 1.050 5,71
Organik 704 835 739 1.000 1.000 10,61
Total 9.754 10.529 8.610 9.550 9.550 0,16
Produksi (.000 Ton)3)
Urea 6.474 6.907 6.698 6.690 7.118 2,49
NPK 2.125 2.894 2.528 2.810 2.894 9,42
SP-36 723 522 518 799 500 -2,94
ZA 963 812 827 1.011 790 -3,36
Organik 386 762 788 754 - -0,87
Total 10.671 11.897 11.359 12.064 11.302 1,71
Proporsi Produksi/Alokasi (%)
Urea 127 135 174 163 174
NPK 90 112 119 110 113
SP-36 96 52 64 94 59
ZA 113 81 77 96 75
Organik 55 91 107 75 -
Total 109 113 132 126 118 Sumber: 1) Rencana RKAP PT. PIHC 2) Permentan No. 22 Tahun 2011, 87 Tahun 2011, 123 Tahun 2013, 103 Tahun 2014, dan 130 Tahun 2014 3) Produksi PT. PIHC
Berdasarkan perkembangan alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tersebut
dapat diketahui arah kebijakan perpupukan yang dijalankan pemerintah. Paling tidak
terdapat dua hal penting yang dapat dijelaskan dari perkembangan tersebut.
Pertama, pemerintah menginginkan petani lebih banyak menggunakan pupuk
organik sebagai upaya untuk mengkonservasi lahan pertanian. Kedua, pemerintah
ingin mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk tunggal terutama pupuk
urea dan mengkompensasinya dengan pupuk majemuk NPK.
Berdasarkan Permendag No 15/2013 diketahui bahwa proses pengadaan dan
penyaluran pupuk bersubsidi ditugaskan kepada penyedia tunggal, dalam hal ini
adalah PT. Pupuk Indonesia (Persero) atau Pupuk Indonesia Holding Company
(PIHC). Perkembangan produksi pupuk PIHC dapat dilihat pada Tabel 3. Secara
umum perkembangan total produksi pupuk berfluktuasi selama lima tahun terakhir
17
dengan tren meningkat rata-rata sebesar 1,71% per tahun. Trend meningkat juga
ditunjukkan oleh perkembangan produksi pupuk urea, dan NPK yaitu masing-masing
sebesar 2,49% dan 9,42%. Trend perkembangan NPK yang meningkat tinggi
menggambarkan respon PIHC terhadap peningkatan alokasi kebutuhan NPK.
Berdasarkan Tabel 3 juga dapat diketahui bahwa proporsi produksi dan
alokasi untuk pupuk bersubsidi untuk beberapa jenis pupuk dibawah 100%, artinya
produksi pupuk masih lebih sedikit dibandingkan alokasi kebutuhan pupuk yang
diharapkan. Pupuk ZA merupakan jenis pupuk yang proporsinya terus menurun
setiap tahun. Sedangkan pupuk SP-36 dan pupuk organik proporsinya berfluktuasi
pada lima tahun terakhir. Perkembangan proporsi yang baik ditunjukkan jenis pupuk
urea dan NPK dimana terjadi peningkatan setiap tahunnya dengan tingkat proporsi
di atas 100%. Kedua pupuk urea dan NPK ini selain dialokasikan untuk kebutuhan
pupuk bersubsidi PIHC juga dipasarkan ke perusahaan perkebunan, industri, dan
ekspor.
Alokasi produksi pupuk untuk program pupuk bersubsidi dapat dilihat pada
Tabel 4. Pada tahun 2014, dengan total produksi sebesar 6.690 ribu ton pupuk urea,
pemerintah menetapkan kebutuhan untuk program pupuk bersubsidi sebesar 3.994
ribu ton (59,7%). Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan alokasi
kebutuhan pupuk bersubsidi berdasarkan RDKK yang disusun daerah. Kondisi yang
sama juga terjadi pada jenis pupuk lainnya dimana alokasi produksi pupuk untuk
pupuk bersubsidi yang ditetapkan Permentan lebih rendah dari kapasitas produksi
PIHC.
Tabel 4. Alokasi Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi Tahun 2011 dan 2014
Pupuk
2011 2014
Volume Produksi
(.000 Ton)
Alokasi PSO Volume Produksi
(.000 Ton)
Alokasi PSO
Volume (.000 Ton)
Proporsi (%)
Volume (.000 Ton)
Proporsi (%)
Urea 6.474 4.585 70,82 6.690 3.994 59,7
NPK 2.125 1.762 82,92 2.810 2.374 84,48
SP-36 723 721 99,72 799 796 99,62
ZA 963 943 97,92 1.011 972 96,14
Organik 386 375 97,15 754 754 100 Sumber: PT. PIHC
18
Jumlah alokasi produksi pupuk yang ditetapkan pemerintah untuk program
pupuk bersubsidi lebih kecil dari RDKK yang disusun daerah secara berjenjang juga
terjadi sejak lima tahun yang lalu. Pada tahun 2011, alokasi produksi untuk pupuk
urea hanya sebesar 4.585 ton dari total kebutuhan sebesar 5.100 ton. Kondisi yang
sama juga terjadi pada jenis pupuk NPK, SP-36, dan pupuk organik dimana alokasi
produksi pupuk untuk program pupuk bersubsidi hanya meliputi berturut-turut
sebesar 74,98%; 96,13%; dan 53,27% dari total alokasi kebutuhan pupuk
bersubsidi.
3.4.2. Tingkat Provinsi
Alokasi penyediaan pupuk bersubsidi ditetapkan berjenjang dari mulai tingkat
nasional sampai dengan kecamatan. Pada tingkat nasional, kebutuhan pupuk
bersubsidi ditetapkan setiap tahun melalui Peraturan Menteri Pertanian yang dirinci
menjadi kebutuhan per provinsi. Sedangkan pada tingkat provinsi, kebutuhan pupuk
bersubsidi ditetapkan dengan keputusan gubernur yang dirinci menjadi kebutuhan
per kabupaten/kota. Begitupun untuk pada tingkat kabupaten/kota dimana alokasi
kebutuhan pupuk bersubsidi per kecamatan ditetapkan dengan keputusan
bupati/walikota.
Pada tahun 2015 total alokasi penyediaan pupuk bersubsidi nasional sebesar
9.544.780 ton. Jumlah tersebut dirinci menjadi sebesar 4.098.000 ton untuk pupuk
urea, 849.670 ton pupuk SP-36, 1.049.610 ton pupuk ZA, 2.548.000 ton pupuk NPK,
dan 999.500 ton pupuk organik. Secara lebih rinci alokasi penyediaan pupuk
bersubsidi per Provinsi tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 5.
Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi terutama diperuntukkan bagi provinsi
sentra produksi padi. Sebagian besar sentra produksi padi berada provinsi-provinsi di
Pulau Jawa. Total alokasi pupuk bersubsidi untuk provinsi di Pulau Jawa (kecuali DKI
Jakarta) sebesar 5.977.030 ton atau sebesar 62,62% dari total alokasi kebutuhan
pupuk bersubsidi.
Di provinsi sentra produksi padi di luar Pulau Jawa, total alokasi kebutuhan
pupuk bersubsidi untuk Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat adalah sebesar 1.992.900 ton atau
sebesar 20,88% dari total alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Pada sentra produksi
19
padi urutan berikutnya, yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat,
Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat adalah sebesar 733.470 ton atau
sebesar 7,68% dari total alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi.
Tabel 5. Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2015
Provinsi Jenis Pupuk (Ton)
Total Urea SP-36 ZA NPK Organik
ACEH 71.000 21.000 11.000 50.000 21.400 174.400
SUMUT 164.000 48.050 52.000 135.000 35.000 434.050
SUMBAR 70.000 25.500 21.000 61.000 23.000 200.500
JAMBI 26.000 18.800 8.100 50.000 8.180 111.080
RIAU 37.000 14.000 12.000 53.000 10.000 126.000
BENGKULU 22.000 8.000 6.100 32.500 7.000 75.600
SUMSEL 161.700 40.000 9.000 114.550 21.200 346.450
BABEL 18.000 4.000 2.500 19.000 6.000 49.500
LAMPUNG 250.000 46.000 21.100 141.000 26.000 484.100
KEPRI 100 50 50 200 100 500
DKI 300 90 40 150 100 680
BANTEN 62.000 22.000 2.100 28.000 8.000 122.100
JABAR 583.200 150.000 71.000 331.600 59.000 1.194.800
DIY 40.000 4.350 9.320 25.000 14.500 93.170
JATENG 830.000 164.000 232.300 427.000 258.000 1.911.300
JATIM 1.052.460 163.000 471.200 599.000 370.000 2.655.660
BALI 45.000 2.500 8.500 23.300 25.000 104.300
KALBAR 35.500 14.000 5.500 74.900 23.000 152.900
KALTENG 18.000 5.000 2.200 27.300 4.000 56.500
KALSEL 40.870 7.500 2.500 43.000 7.500 101.370
KALTIM 21.000 5.500 3.500 28.200 2.000 60.200
SULUT 19.000 4.700 600 13.000 1.900 39.200
GORONTALO 18.000 1.500 900 18.300 1.500 40.200
SULTENG 30.000 4.000 11.000 29.700 3.800 78.500
SULTRA 26.800 7.830 4.700 17.000 6.500 62.830
SULSEL 248.400 40.000 52.400 118.000 34.000 492.800
SULBAR 27.000 2.500 7.100 16.700 1.500 54.800
NTB 145.000 17.000 17.000 45.000 11.500 235.500
NTT 24.000 5.000 2.960 11.000 5.000 47.960
MALUKU 3.500 500 480 4.000 1.000 9.480
PAPUA 6.300 2.700 700 8.000 2.500 20.200
MALUT 670 200 500 2.000 1.000 4.370
PAPBAR 1.200 400 260 1.600 320 3.780
TOTAL 4.098.000 849.670 1.049.610 2.548.000 999.500 9.544.780 Sumber: Permentan No 130 Tahun 2014 Keterangan: - Pulau Jawa: Seluruh Provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta - Luar Pulau Jawa 1: Sentra Produksi Padi yaitu Provinsi Sumut, Sumsel, Lampung, Sulsel, NTB - Luar Pulau Jawa 2: NAD, Sumbar, Bali, Kalsel, Kalbar
20
Total alokasi penyediaan pupuk bersubsidi untuk provinsi sentra produksi padi
adalah sebesar 8.703.400 ton atau sebesar 91,18%. Sisanya sebanyak 841.380 ton
atau sebesar 8,82% dari total kebutuhan pupuk bersubsid tersebar di 11 provinsi
lainnya. Mengacu kepada Nawa Cita yang di rencanakan Presiden Joko Widodo
dimana direncanakan 1 juta hektar lahan sawah baru pada rentang waktu 2015-
2019, maka perencanaan alokasi penyediaan pupuk bersubsidi juga harus
mempertimbangkan rencana perluasan tersebut. Pada tahun 2016 akan dilakukan
perluasan 200.000 hektar lahan sawah baru di wilayah Indonesia bagian timur
seperti di Kabupaten Kepulauan Aru dan Kabupaten Merauke (Biro Perencanaan
Kementan, 2015), karenanya alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2016 harus
memperhatikan wilayah-wilayah tersebut.
3.5. Kebutuhan, Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi Pupuk Bersubsidi
3.5.1. Kebutuhan, Usulan, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi
Pupuk bersubsidi diperuntukan bagi petani yang memiliki luasan lahan kurang
dari dua hektar. Secara nasional petani dengan kategori tersebut berjumlah 26,14
juta petani yang sebagian besar tergabung dalam kelompok tani. Jumlah kelompok
tani yang mengajukan RDKK dan berhak menerima pupuk bersubsidi adalah 318.396
kelompok. Meskipun petani dipersyaratkan untuk tergabung ke dalam kelompok,
fakta di lapangan masih ada petani yang tidak mau bergabung dengan kelompok
tani. Kasus di Kota Metro petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani juga
menginginkan untuk membeli pupuk bersubsidi ketika pupuk non subsidi sulit
didapat. Dengan demikian, bergabungnya petani dalam kelompok tani selain
menguntungkan petani dalam hal subsidi harga, juga lebih menjamin petani dalam
mendapatkan pupuk.
Petani dengan luasan lahan kurang dari dua hektar terbagi ke dalam lima
subsektor pertanian yang mendapat jatah alokasi pupuk bersubsidi. Kelima
subsektor tersebut adalah subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, dan perikanan budidaya. Semua jenis komoditas yang diusahakan
petani yang tergabung ke dalam lima subsektor tersebut berhak mendapatkan
pupuk bersubsidi dengan syarat petani yang bersangkutan tergabung ke dalam
kelompok dan mengajukan RDKK. Dengan demikian, kebutuhan potensial pupuk
21
bersubsidi dapat dihitung dengan mengetahui luasan lahan dari masing-masing
subsektor tersebut.
Total luas lahan petani subsektor tanaman pangan adalah 20,14 juta hektare,
artinya secara teknis kebutuhan pupuk bersubsidi dapat dihitung dari perkalian luas
tersebut dengan dosis pemupukan anjuran. Dengan demikian, kebutuhan teknis
pupuk bersubsidi untuk subsektor tanaman pangan sebanyak 18,27 juta ton.
Begitupun selanjutnya untuk menghitung kebutuhan teknis pupuk bersubsidi pada
subsektor lainnya. Subsektor hortikultura dengan total luas lahan 2,05 juta hektare
maka kebutuhan teknisnya adalah 5,87 juta ton, kebutuhan teknis subsektor
perkebunan dengan luasan 16,79 juta hektare sebanyak 14,97 juta ton, kebutuhan
teknis subsektor peternakan 0,06 juta ton dengan luas 0,38 juta hektare, dan
kebutuhan teknis subsektor perikanan budidaya sebanyak 2,01 juta ton dengan luas
1,02 juta hektare.
Secara umum kebutuhan teknis pupuk bersubsidi lebih tinggi daripada usulan
daerah, dan usulan daerah lebih tinggi daripada alokasi yang ditetapkan dalam
Permentan. Kebutuhan pupuk bersubsidi yang diusulkan daerah merupakan rekap
RDKK yang disusun berjenjang dari mulai tingkat kelompok tani hingga provinsi.
Proporsi total usulan daerah terhadap total kebutuhan teknis sebesar 32,01%,
sedangkan proporsi total alokasi Permentan terhadap total kebutuhan teknis sebesar
23,14%. Artinya RDKK yang menjadi patokan dalam perencanaan kebutuhan pupuk
masih kurang mempertimbangkan unsur teknis seperti kondisi kesuburan tanah dan
unsur hara tanah. Lebih dari itu alokasi Permentan masih jauh dari harapan untuk
dapat memenuhi usulan daerah apalagi kebutuhan teknis.
Proporsi usulan daerah terhadap kebutuhan teknis untuk empat subsektor
(kecuali subsektor peternakan) lebih rendah dari 50%, dan angkanya menjadi lebih
kecil lagi jika dibuat proporsi berdasarkan alokasi Permentan terhadap kebutuhan
teknis yaitu dibawah 40%. Sebaliknya proporsi usulan daerah terhadap kebutuhan
teknis untuk subsektor peternakan sekitar 250%, dan menjadi lebih besar ketika
dibuat proporsi alokasi permentan terhadap kebutuhan teknis yaitu 433%. Meskipun
alokasi Permentan pada subsektor peternakan sangat tinggi dibandingkan kebutuhan
teknisnya, namun jumlah yang dialokasikan untuk subsektor peternakan jauh lebih
sedikit dibandingkan subsektor lainnya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
22
alokasi pupuk bersubsidi belum sepenuhnya mempertimbangkan usulan daerah
apalagi kebutuhan teknisnya, dan nampaknya disusun hanya berdasarkan proporsi
luas areal saja.
Gambar 1. Perbandingan Kebutuhan Teknis, Usulan Daerah, dan Alokasi Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Subsektor Tahun 2015
Sumber: PT. PIHC (2015)
3.5.2. Perkembangan Usulan, Alokasi, Penyediaan dan Realisasi Pupuk
Bersubsidi
Keberhasilan program pupuk bersubsidi bergantung kepada tiga faktor
penting yang berkaitan, yaitu penyusunan RDKK, penyaluran/realisasi, dan
pengawasan. Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung sesuai dengan anjuran
pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan
yang diajukan oleh dinas pertanian provinsi ke pemerintah pusat, dalam hal ini
Kementerian Pertanian. Kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci menurut jenis, jumlah,
sub sektor, provinsi, dan sebaran bulanan. Kebutuhan pupuk juga dirinci lebih lanjut
menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, sub sektor, dan sebaran bulanan yang
ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya kebutuhan pupuk bersubsidi
SEKTOR YANG MEMPEROLEH ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI
Tanaman Pangan
Perikanan Budidaya
Peternakan Perkebunan Hortikultura
Luas 20,14 juta ha Kebutuhan Teknis:
18,27 jt ton Usulan Daerah:
9,05 jt ton Alokasi Permentan:
6,7 jt ton
Luas 1,02 juta ha Kebutuhan Teknis:
2,01 jt ton Usulan Daerah:
0,34 jt ton Alokasi Permentan:
0,18 jt ton
Luas 0,38 juta ha Kebutuhan Teknis:
0,06 jt ton Usulan Daerah:
0,15 jt ton Alokasi Permentan:
0,26 jt ton
Luas 16,79 juta ha Kebutuhan Teknis:
14,97 jt ton Usulan Daerah:
2,78 jt ton Alokasi Permentan:
1,7 jt ton
Luas 2,05 juta ha Kebutuhan Teknis:
5,87 jt ton Usulan Daerah:
0,86 jt ton Alokasi Permentan:
0,69 jt ton
TOTAL
Kebutuhan Teknis = 41,14 jt ton Usulan Daerah = 13,18 jt ton
Alokasi Permentan = 9,55 jt ton
318.396 Kelompok Tani
26,14 juta Petani
Memiliki Lahan
Maksimal 2 Ha
23
dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis, jumlah, sub sektor, dan sebaran
bulanan yang ditetapkan melalui peraturan bupati/walikota. Kebutuhan pupuk
bersubsidi mempertimbangkan rekapitulasis RDKK yang disusun oleh Kepala Dinas
Pertanian kabupaten/kota dan diketahui Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) kabupaten/kota setempat.
Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pupuk bersubsidi, maka gubernur
dan bupati/walikota dapat melakukan penyesuaian berdasarkan lokasi, jenis, jumlah
dan waktu kebutuhan pupuk yang menjadi prioritas di wilayah masing-masing. Dinas
pertanian kabupaten/kota bersama kelembagaan penyuluhan tingkat
kabupaten/kota wajib melaksanakan pembinaan kepada petani, petambak dan/atau
kelompok tani dalam penyusunan RDKK sesuai luas areal usahatani dan/atau
kemampuan penyerapan pupuk besubsidi di tingkat petani, petambak dan/atau
kelompoktani di wilayahnya.
Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai ke petani/petambak
dan/atau kelompok tani melalui penyalur di lini IV dilakukan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengadaan dan Penyaluran
Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor
pertanian oleh penyalur di lini IV ke petani/petambak dan/atau kelompok tani diatur
sebagai berikut: (1) Penyaluran pupuk bersubsidi oleh penyalur di lini iv ke
petani/petambak dan/atau kelompok tani dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Menteri Perdagangan tersebut dan dibuktikan dengan catatan dan/atau
nota pembelian kepada petani/petambak dan/atau kelompok tani; (2) Penyaluran
pupuk bersubsidi tersebut memperhatikan kebutuhan petani/petambak dan/atau
kelompok tani dan alokasi di masing-masing wilayah; (3) Untuk kelancaran
penyaluran pupuk bersubsidi di lini IV ke petani/petambak dan/atau kelompok tani,
maka dinas pertanian provinsi dan kabupaten/kota berkoordinasi dengan
kelembagaan penyuluhan tingkat provinsi dan kabupaten/kota guna melakukan
pendataan RDKK di wilayahnya, sebagai dasar pertimbangan dalam pengalokasian
pupuk bersubsidi; (4) Optimalisasi pemanfaatan pupuk bersubsidi di tingkat petani,
petambak dan/atau kelompok tani dilakukan melalui pendampingan penerapan
pemupukan berimbang spesifik lokasi oleh Penyuluh; (5) Pengawasan penyaluran
pupuk bersubsidi di lini IV ke petani/petambakdan/atau kelompok tani dilakukan
24
oleh petugas pengawas yang ditunjuk sebagai satu kesatuan dari Komisi
Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) di kabupaten/kota.
Membandingkan antara aspek realisasi dengan usulan dan alokasi penyediaan
dapat menunjukkan bagaimana kinerja program pupuk bersubsidi dalam memenuhi
kebutuhan pupuk petani. Secara umum perkembangan alokasi dan realisasi pupuk
bersubsidi selama lima tahun terakhir berfultuatif dengan trend meningkat rata-rata
sebesar 0,88% dan 4,78% per tahun. Sebaliknya perkembangan usulan daerah
berfluktuatif dengan trend menurun rata-rata sebesar 7,88% per tahun. Secara rinci
usulan, alokasi, dan realisasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kinerja Penyaluran Pupuk PSO di Indonesia, 2010-2014
Sumber: PT. PIHC (2015)
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa senjang atau perbedaan volume
terjadi bukan hanya antara usulan daerah dan alokasi yang ditetapkan dalam
permentan, namun juga terjadi antara alokasi dan realisasi. Proporsi realisasi
dengan alokasi pupuk bersubsidi dalam lima tahun terakhir rata-rata sebesar
88,64%. Kondisi terbaik terjadi pada tahun 2014 dimana proporsi realisasi terhadap
alokasi sebesar 93,05%, sedangkan kondisi terburuk terjadi pada tahun 2010, yaitu
proporsi realisasi terhadap alokasi sebesar 78,13. Sementara itu pada tahun 2013
realisasi penyaluran pupuk bersubsidi melebihi dari alokasi yang ditetapkan dalam
Permentan dengan proporsi 102,38%.
Pada umumnya produsen pupuk (PIHC) menyatakan pupuk tersedia sesuai
atau bahkan melebihi alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi, sehingga kurangnya
penyaluran ini disebabkan permintaan/penebusan pupuk bersubsidi oleh petani yang
25
lebih rendah. Hal ini dapat terjadi karena ketidak sesuaian antara penyediaan dan
kebutuhan berdasarkan lokasi, waktu, dan daya beli petani.
3.5.3. Alokasi dan Realisasi Pupuk Bersubsidi Menurut Provinsi
Realiasai penyaluran pupuk bersubsidi pada tahun 2014 secara rinci menurut
provinsi dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel tersebut diketahui bahwa
kinerja realisasi penyerapan pupuk bersubsidi cukup baik dimana sebagian besar
provinsi memiliki tingkat realisasi di atas 90%. Provinsi dengan tingkat realisasi
tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Timur, Gorontalo, dan Jawa Timur dimana
tingkat realisasinya masing-masing sebesar 99,31%, 99,23%, dan 98,21%;
sedangkan provinsi dengan tingkat realisasi yang rendah adalah Provinsi Kepulauan
Riau dan Papua Barat, dengan tingkat realisasi masing-masing sebesar 46,28% dan
65,63%. Selain itu, terdapat provinsi yang tingkat realisasinya melebihi alokasi yaitu
Provinsi Papua sebesar 100,42%.
Di provinsi sentra produksi padi di Pulau Jawa (semua provinsi kecuali DKI
Jakarta) rata-rata tingkat realisasi sebesar 92,36%. Di provinsi sentra produksi padi
di luar Pulau Jawa (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan,
Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Selatan) rata-rata tingkat realisasinya lebih rendah yaitu 88,05%. Sedangkan
realisasi pada provinsi non sentra produksi padi sebesar 86,85%. Berdasarkan
tingkat realisasi menurut provinsi di tahun 2014, maka kinerja realisasi pupuk
bersubsidi dianggap sudah cukup baik.
26
Tabel 6. Alokasi Penyediaan dan Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014
No Provinsi Alokasi (Ton) Realisasi (Ton) Realisasi/Alokasi (%)
1 NAD 167.000 144.136 86,31
2 Sumatera Utara 429.500 386.171 89,91
3 Sumatera Barat 190.000 163.796 86,21
4 Jambi 107.300 97.652 91,01
5 Riau 125.500 109.277 87,07
6 Bengkulu 74.000 66.716 90,16
7 Sumatera Selatan 343.070 280.088 81,64
8 Bangka Belitung 45.500 42.682 93,81
9 Lampung 473.000 439.929 93,01
10 Kepulauan Riau 430 199 46,28
11 DKI Jakarta 435 324 74,48
12 Banten 122.200 111.284 91,07
13 Jawa Barat 1.172.350 1.095.867 93,48
14 DIY 94.350 82.631 87,58
15 Jawa Tengah 1.914.640 1.751.189 91,46
16 Jawa Timur 2.675.110 2.627.312 98,21
17 Bali 102.450 85.232 83,19
18 Kalimantan Barat 164.500 149.664 90,98
19 Kalimantan Tengah 62.600 57.097 91,21
20 Kalimantan Selatan 98.600 78.826 79,95
21 Kalimantan Timur 57.500 57.102 99,31
22 Sulawesi Utara 40.300 35.643 88,44
23 Gorontalo 41.440 41.119 99,23
24 Sulawesi Tengah 81.200 75.093 92,48
25 Sulawesi Tenggara 52.500 50.421 96,04
26 Sulawesi Selatan 539.970 500.804 92,75
27 Sulawesi Barat 54.010 52.444 97,10
28 Nusa Tenggara Barat 222.640 214.958 96,55
29 Nusa Tenggara Timur 60.500 52.096 86,11
30 Maluku 8.840 6.943 78,54
31 Papua 19.000 19.079 100,42
32 Maluku Utara 4.200 3.608 85,90
33 Papua Barat 5.400 3.544 65,63
Total 9.550.035 8.882.926 93,01 Sumber: PT. PIHC (2015)
27
IV. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PUPUK DAN PENGANGGARAN SUBSIDI PUPUK
4.1. Sejarah Pengembangan Industri Pupuk Urea dan Lainnya
Sejarah PT Pupuk Indonesia (Persero) atau seringkali disebut PT Pupuk
Indonesia Holding Company disingkat PIHC, terbentang selama lebih dari lima
dekade yang dapat terbagi menjadi dua fase utama. Fase pertama yang masih
bernama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) adalah sebagai unit usaha yang berdiri sendiri
dari kurun tahun 1959 hingga 1997. Fase kedua ditandai dengan lahirnya Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 28 tanggal 7 Agustus 1997 yang menunjuk PT Pupuk
Sriwidjaja (Persero) sebagai induk perusahaan (Operating Holding).
4.1.1. Periode Fase Pertama
PT Pusri resmi didirikan berdasarkan Akta Notaris Nomor 177 tanggal 24
Desember 1959 dan diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia
Nomor 46 tanggal 7 Juni 1960. Perusahaan yang memiliki kantor pusat dan pusat
produksi berkedudukan di Palembang, Sumatera Selatan, merupakan produsen
pupuk urea pertama di Indonesia. PT Pusri telah mengalami dua kali perubahan
bentuk badan usaha. Perubahan pertama berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
20 tahun 1964 yang mengubah statusnya dari Perseroan Terbatas (PT) menjadi
Perusahaan Negara (PN). Perubahan kedua terjadi berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 tahun 1969 dan dengan Akte Notaris pada bulan Januari
1970, statusnya dikembalikan sebagai PT.
Pada periode fase pertama ini, PT Pusri merupakan pelopor produsen pupuk
urea di Indonesia yang memulai operasional usaha dengan tujuan utama untuk
melaksanakan dan menunjang kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang
ekonomi dan pembangunan nasional, khususnya di industri pupuk dan kimia lainnya.
Selain sebagai produsen pupuk nasional, Pusri juga mengemban tugas dalam
melaksanakan usaha perdagangan, pemberian jasa dan usaha lain yang berkaitan
dengan industri pupuk. Pusri bertanggung jawab dalam melaksanakan distribusi dan
pemasaran pupuk bersubsidi kepada petani sebagai bentuk pelaksanaan Public
Service Obligation (PSO) untuk mendukung program pangan nasional dengan
memprioritaskan produksi dan pendistribusian pupuk bagi petani di seluruh wilayah
28
Indonesia. Penjualan pupuk urea non subsidi sebagai pemenuhan kebutuhan pupuk
sektor perkebunan, industri maupun ekspor menjadi bagian kegiatan perusahaan
yang lainnya di luar tanggung jawab pelaksanaan Public Service Obligation (PSO).
Sebagai perusahaan yang bertanggung jawab atas kelangsungan industri
pupuk nasional, Pusri telah mengalami berbagai perubahan dalam manajemen dan
wewenang yang sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Sejarah panjang
mengenai dinamika perusahaan ini digambarkan dalam rincian perkembangannya
sebagai berikut:
1) Tanggal 14 Agustus 1961 merupakan tonggak penting sejarah berdirinya
Pusri, karena pada saat itu dimulai pembangunan pabrik pupuk pertama kali yang
dikenal dengan Pabrik Pusri I.
2) Pada Tahun 1963, Pabrik Pusri I mulai berproduksi dengan kapasitas
terpasang sebesar 100.000 ton urea dan 59.400 ton amoniak per tahun.
3) Tanggal 4 Juli 1964, Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh menekan tombol
tanda diresmikannya penyelesaian Pabrik Pusri I didampingi Direktur Utama Pusri Ir.
Salmon Mustafa.
4) Seiring dengan kebutuhan pupuk yang terus meningkat, maka selama
periode 1972-1977, perusahaan telah membangun tiga pabrik Urea lagi, yaitu Pusri
II, Pusri III, dan Pusri IV. Pabrik Pusri II memiliki kapasitas terpasang 380.000 ton
per tahun, dan pada tahun 1992 dilakukan optimalisasi pabrik menjadi 552.000 ton
per tahun. Pusri III yang dibangun pada 1976 dengan kapasitas terpasang sebesar
570.000 ton per tahun, dan pabrik urea Pusri IV dibangun pada tahun 1977 dengan
kapasitas terpasang yang sama.
5) Mulai tahun 1979, Pusri diberi tugas oleh pemerintah melaksanakan
distribusi dan pemasaran pupuk bersubsidi kepada petani sebagai bentuk
pelaksanaan PSO untuk mendukung program pangan nasional dengan
memprioritaskan produksi dan pendistribusian pupuk bagi petani di seluruh wilayah
Indonesia.
6) Pada Tahun 1993 dilakukan pembangunan Pabrik Pusri IB berkapasitas
570.000 ton per tahun, sebagai upaya peremajaan dan peningkatan kapasitas
produksi pabrik dan untuk menggantikan pabrik Pusri I yang dihentikan operasinya
karena usia dan tingkat efisiensi yang menurun.
29
4.1.2. Periode Fase Kedua
Tonggak perubahan besar dalam industri pupuk nasional dimulai pada tahun
1997, yaitu seiring dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tanggal 7
Agustus 1997 yang menunjuk PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) sebagai induk
perusahaan (Operating Holding). Adapun perkembangan pada fase kedua hingga
saat ini diuraikan sebagai berikut:
1) Pada tahun 1997, Pusri ditunjuk sebagai induk perusahaan yang
membawahi empat BUMN yang bergerak di bidang industri pupuk dan petrokimia,
yaitu PT Petrokimia Gresik (PKG), PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC), PT Pupuk
Kaltim (PKT) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) serta satu BUMN yang bergerak di
bidang engineering, procurement & construction (EPC), yaitu PT Rekayasa Industri.
Berdasarkan aspek permodalannya, PT Pusri juga mengalami perubahan seiring
perkembangan industri pupuk di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 tanggal 7 Agustus 1997 ditetapkan bahwa seluruh saham pemerintah
pada industri pupuk PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk
Kalimantan Timur Tbk., dan PT Petrokimia Gresik sebesar Rp. 1.829.290 juta
dialihkan kepemilikannya kepada PT Pusri.
2) Pada tahun 1998, anak perusahaan Pusri bertambah satu BUMN lagi, yaitu
PT Mega Eltra yang bergerak di bidang perdagangan.
3) Pada tahun 2010 dilakukan Pemisahan (spin off) dari Pusri (holding)
kepada PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (sebagai anak perusahaan) dan pengalihan
hak dan kewajiban PT Pusri (Persero) kepada PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (PSP)
sebagaimana tertuang dalam RUPS-LB tanggal 24 Desember 2010 yang berlaku
efektif 1 Januari 2011.
4) Tahun 2011 merupakan awal pelaksanaan restrukturisasi industri pupuk
nasional dengan menerapkan pola koordinasi strategis holding yang baru maka
diharapkan terjadi peningkatan sinergi, efisiensi dan produktivitas seluruh
perusahaan anggota holding, dibawah kendali induk PT Pusri (holding). Sejak
tanggal 18 April 2012, Menteri BUMN meresmikan PT Pupuk Indonesia Holding
Company (PIHC) sebagai nama induk perusahaan pupuk yang baru, menggantikan
nama PT Pusri (Persero).
30
5) PT PIHC merupakan produsen pupuk terbesar di Asia dengan total aset
pada tahun 2014 sebesar Rp. 75,9 triliun dan total kapasitas produksi pupuk
mencapai 12,6 juta ton per-tahun. Dalam mengemban tugas mendukung ketahanan
pangan nasional, PT PIHC dan 10 (sepuluh) anak perusahaannya merupakan
produsen pupuk terbesar di Asia yang terdiri dari pupuk urea, NPK, ZK, ZA, dan SP-
36 dengan yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Saat ini PT
Pupuk Indonesia memiliki fasilitas pendukung antara lain berupa pelabuhan dan
sarananya, kapal angkutan, pergudangan, unit pengantungan pupuk dan
perbengkelan yang memperlancar proses produksi dan distribusi pupuk. Kegiatan
operasional PIHC Group bergerak di bidang industri pupuk, petrokimia dan
agrokimia, steam (uap panas) dan listrik, pengangkutan dan distribusi, perdagangan
serta EPC (Engineering, Procurement and Construction).
6) Selain lima anak perusahaan di bidang pupuk dan dua anak perusahaan di
bidang enginnering dan perdagangan; pada tahun 2015 Pusri menambah tiga anak
perusahaan yang baru dibentuk, yaitu PT Pupuk Indonesia Logistik (PILog) bergerak
di bidang logistik, PT Pupuk Indonesia Energi (PIE) bergerak dalam bidang steam
dan listrik, dan PT Pupuk Indonesia Pangan (PIP) bergerak di bidang sistem
agribisnis pangan.
4.2. Keragaan Industri Pupuk Saat ini
Seperti telah diuraikan di atas bahwa industri pupuk yang berada di bawah
holding company, yaitu: (a) PT Petrokimia Gresik, memproduksi dan memasarkan
pupuk urea, ZA, SP-36/18, Phonska, DAP, NPK, ZK dan industri kimia lainnya serta
pupuk organik; (b) PT Pupuk Kujang, memproduksi dan memasarkan pupuk urea,
NPK, organik dan industri kimia lainnya; (c) PT Pupuk Kalimantan Timur,
memproduksi dan memasarkan pupuk urea, NPK, organik dan industri kimia lainnya;
(d) PT Pupuk Iskandar Muda, memproduksi dan memasarkan pupuk urea dan
industri kimia lainnya; dan (e) PT Pupuk Sriwidjaja Palembang memproduksi dan
memasarkan pupuk urea dan industri kimia lainnya serta pupuk organik.
Berdasarkan data PIHC (2015), selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2010-
2014) produksi pupuk meningkat sekitar 3,87 %/tahun, yaitu dari 10,31 juta ton
31
(2010) menjadi 12,06 juta ton (2014) (Tabel 7). Adapun jenis pupuk yang dihasilkan
mencakup pupuk: urea, SP36, ZA, NPK dan ZK, dan organik.
Tabel 7. Perkembangan Produksi Pupuk di Indonesia, 2010-2014 (Ton)
Tahun Produksi Pupuk (Ton)
2010 10.309.251
2011 10.582.349
2012 11.926.412
2013 11.439.125
2014 12.062.000
r (%/thn) 3,87 Sumber: PIHC (2015).
Bila dirunut lagi berdasarkan produsen pupuk, lokasi dan kapasitas
produksinya menunjukan bahwa satu produsen pupuk dapat memproduksi lebih dari
satu jenis pupuk dengan kapasitas produksi yang berbeda antar produsennya. Untuk
pupuk urea, pada tahun 2014 dihasilkan oleh produsen pupuk: PT. Petrokimia
Gresik, PT. Pupuk Kujang Cikampek, PT. Pupuk Kalimantan Timur, PT. Pupuk
Iskandar Muda, dan PT. Pupuk Sriwijaya Palembang dengan total kapasitas produksi
mencapai 7,98 juta ton. Untuk Pupuk SP36, ZA dan ZK pada tahun 2014 hanya
diproduksi oleh PT. Petrokimia Gresik dengan kapasitas produksinya masing-masing
sebesar 500 ribu ton, 650 ribu ton dan 10 ribu ton. Selanjutnya untuk pupuk NPK,
pada tahun yang sama dihasilkan oleh PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kujang
Cikampek, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur dengan total kapasitas produksinya
mencapai 4,07 juta ton (Tabel 8).
Sementara itu, bila dianalisis volume penjualan pupuk urea dari produsen
pupuk nasional berdasarkan subsektornya menujukkan bahwa proporsi volume
penjualan paling tinggi selalu berada pada sektor pangan, meskipun
kecenderungannya menurun dari tahun 2011 ke tahun 2014. Pada tahun 2011,
volume penjualan pupuk Urea dari PT PIHC sebesar 4.585 ribu ton (70,82%)
kemudian menjadi 3.994 ribu ton (59,70%) pada tahun 2014. Dengan demikian
penggunaan pupuk urea untuk sektor pangan masih menempati proporsi tertinggi
dibandingkan dengan sektor lainnya. Sebaliknya volume penjualan Urea untuk
32
tujuan ekspor kecenderungannya meningkat dari 750 ribu ton (11,58%) pada tahun
2011 menjadi 1.108 ribu ton (16,56%) pada tahun 2014 (Tabel 9).
Tabel 8. Kapasitas Produksi Pupuk PT PIHC menurut Produsen dan Jenis Pupuk di Indonesia, 2014 (ton/tahun)
Jenis
Pupuk Produsen Lokasi
Kapasitas Produksi
(Ton/Tahun)
Urea
PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 460.000
PT. Pupuk Kujang Cikampek, Jawa Barat 1.140.000
PT. Pupuk Kalimantan Timur Bontang, Kalimantan Timur 2.980.000
PT. Pupuk Iskandar Muda Lhokseumawe, NAD 1.140.000
PT. Pupuk Sriwijaya Palembang
Palembang, Sumatera Selatan 2.262.000
Total Kapasitas Urea 7.982.000
SP-36 PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 500.000
ZA PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 650.000
NPK
PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 2.620.000
PT. Pupuk Kujang Cikampek, Jawa Barat 100.000
PT. Pupuk Kalimantan Timur Bontang, Kalimantan Timur 200.000
Total Kapasitas NPK 4.070.000
ZK PT. Petrokimia Gresik Gresik, Jawa Timur 10.000
Total Kapasitas Produksi PT. PIHC 12.062.000
Sumber: PT. PIHC (2015)
Untuk alokasi pupuk non Urea bersubsidi yang diproduksi PT PIHC
menunjukkan bahwa volume pupuk majemuk NPK dan organik mengalami
peningkatan. Untuk pupuk NPK pada tahun 2011 dari total volume produksi 2.125
ribu ton dialokasikan untuk PSO pangan sebesar 1.762 ribu ton, kemudian pada
tahun 2014 total volume produksinya yang meningkat menjadi 2.810 ribu ton, dan
yang dialokasikan untuk PSO pangan sebesar 2.374 ribu ton. Selanjutnya untuk
pupuk organik pada tahun 2011 dari total volume produksi 386 ribu ton
dialokasikan untuk PSO pangan sebesar 375 ribu ton, kemudian pada tahun 2014
total volume produksinya yang meningkat hampir dua kali lipat menjadi 754 ribu
ton, dan seluruhnya dialokasikan untuk PSO pangan (Tabel 10).
33
Tabel 9. Volume Penjualan Pupuk Urea PT. PIHC Berdasarkan Subsektor di
Indonesia, 2011 dan 2014
Subsektor
2011 2014
Volume (000 Ton) Proporsi
(%)
Volume (000 Ton) Proporsi
(%)
Total 6.474 100,00 6.690 100.00
Pangan/PSO 4.585 70,82 3.994 59,70
Perkebunan 640 9,89 992 14,83
Industri 499 7,71 596 8,91
Ekspor 750 11,58 1.108 16,56 Sumber: PT. PIHC (2015).
Tabel 10. Alokasi Pupuk Non-Urea Produksi PT. PIHC untuk Pupuk Bersubsidi di
Indonesia, 2011 dan 2014
Pupuk
2011 2014
Volume
Produksi (000 Ton)
Alokasi PSO Volume
Produksi (000 Ton)
Alokasi PSO
Volume (000 Ton)
Proporsi (%)
Volume (000 Ton)
Proporsi (%)
NPK 2.125 1.762 82,92 2.810 2.374 84,48
SP-36 723 721 99,72 799 796 99,62
ZA 963 943 97,92 1.011 972 96,14
Organik 386 375 97,15 754 754 100,00 Sumber: PT. PIHC (2015).
4.3. Berbagai Peraturan Kebijakan dalam Pengembangan Industri Pupuk Nasional
Berbagai peraturan kebijakan dalam pengembangan industri pupuk nasional
yang dianalisis dalam konteks ini mencakup kebijakan dalam hal industri pupuk
nasional, distribusi dan pengawasan pupuk, HET pupuk dan alokasi penggunaan
pupuk. Terkait dengan peraturan kebijakan industri pupuk nasional, pemerintah
telah menerbitkan Instruksi Presiden RI (Inpres) No 2 Tahun 2010 tentang
Revitalisasi Industri Pupuk Nasional. Langkah-langkah revitalisasi industri pupuk
serta peningkatan daya saing industri pupuk, melalui usaha: (a) Meningkatkan
produksi pupuk an-organik, organik dan hayati; (b) Memperluas sebaran produksi
pupuk; (c) Mengembangkan keragaman jenis pupuk; (d) Menggunakan teknologi
yang ramah lingkungan; (e) Melakukan penghematan bahan baku dan energi; dan
(f) Memperluas akses pasar, untuk memenuhi utamanya kebutuhan dalam negeri
pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan industri.
34
Terkait dengan langkah revitalisasi industri pupuk tersebut, Kementerian
Perindustrian mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.141/M-
IND/PER/12/2010 tentang Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Industri
Pupuk Majemuk. Dalam Permenrin ini diatur rencana nasional mengenai sasaran,
arah, strategi dan kebijakan pengembangan industri pupuk majemuk/NPK dalam
mendukung program ketahanan pangan. Pupuk majemuk yang dimaksud
merupakan pupuk yang mengandung lebih dari satu jenis unsur hara makro dalam
hal ini mengandung unsur nitrogen, phospahate dan kalium.
Selanjutnya mengenai distribusi pupuk, saat ini mengacu pada Peraturan
Menteri Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan
Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Permendag ini mengatur cukup
rinci sistem distribusi pupuk bermula dari pengadaan dan penyaluran, tugas dan
tanggungjawab para pihak yang terkait dengan distribusi mulai dari produsen pupuk,
pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan petani/kelompok tani.
Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan pelaporan. Bila pengaturan
dalam Permendag tersebut dijalankan dengan seksama, semestinya pupuk dapat
sampai ke petani sesuai dengan prinsip enam tepat. Berdasarkan Permendag ini
definisi prinsip enam tepat adalah prinsip pengadaan dan penyaluran pupuk
bersubsidi yang meliputi tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu.
Namun demikian masih cukup sering dilaporkan terjadinya keterlambatan sampainya
pupuk di tempat petani ataupun harga yang dibeli petani lebih besar dari HET,
terutama pada puncak musim tanam, ataupun moral hazard berupa perembesan ke
sektor non pangan dan non subsidi.
Pada tahun 2014, terkait dengan alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor
pertanian dan HET juga telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor130/Permentan/SR.130/11/2014 yang mengatur tentang Kebutuhan dan
Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun
Anggaran 2015. Pada Permentan ini dijelaskan bahwa alokasi pupuk bersubsidi
dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan
mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh pemerintah daerah
provinsi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, serta alokasi anggaran subsidi
pupuk tahun 2015. Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci menurut
35
provinsi, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan. Selanjutnya, dirinci menurut
kabupaten/kota (ditetapkan dengan peraturan gubernur) dan menurut kecamatan
(ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota). Berdasarkan Permentan 130/2014,
kebijakan alokasi pupuk ditetapkan berdasarkan jenis pupuk yang digunakan dan
subsektor. Untuk subsektor tanaman pangan alokasi pupuk tahun 2015 adalah
sebagai berikut: (a) Urea: 3,07 juta ton, (b) SP36 567,32 ribu ton, (c) ZA: 713,10
juta ton, (d) NPK: 1,86 juta ton, dan (e) Pupuk Organik: 721,51 ribu ton. Dengan
demikian alokasi pupuk subsidi yang paling besar masih jenis pupuk Urea, kemudian
di susul oleh pupuk NPK, oraganik dan ZA.
Pupuk merupakan komoditi yang sangat penting dalam usaha mencapai
ketahanan pangan nasional dan pemerintah telah memberikan subsidi dalam rangka
pengadaan dan penyalurannya. Guna mengawasi pengadaan dan penyaluran pupuk
yang memperoleh subsidi, maka pemerintah menetapkan pupuk bersubsidi sebagai
barang dalam pengawasan, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang dalam
Pengawasan. Dalam Perpres ini yang dimaksudkan pupuk Bersubsidi adalah pupuk
yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk
kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor
pertanian. Dalam konteks ini, pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup pengadaan dan penyaluran, termasuk jenis, jumlah, mutu, wilayah
pemasaran dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi, serta waktu pengadaan dan
penyaluran.
4.4. Analisis Biaya Produksi dan Komponen Pembentuk Biaya HPP (Harga Pokok Produksi)
Berdasarkan data PT PIHC (2015), diketahui bahwa harga pokok produksi
(HPP) pupuk Urea tahun 2011 dan 2014 menunjukkan kecenderungan meningkat,
yaitu dari Rp 2.470/Kg menjadi Rp 3.601/kg. Besarnya nilai subsidi/kg Urea semakin
tinggi, karena HPP yang terus meningkat dan harga yang dibayar petani tidak
dinaikkan/naik sedikit. Pada tahun 2011, dengan harga beli petani Rp 1.600/kg,
subsidi Urea/kg sebesar Rp 870/Kg atau 35,2% dari HPP. Pada tahun 2014 subsidi
tersebut sebesar Rp 1.801/Kg atau 50% dari HPP.
36
Bila dianalisis lebih lanjut, biaya pokok Urea dari setiap pabrik yang
menghasilkan pada tahun 2011 tampak bahwa Urea yang dihasilkan oleh PT. Pupuk
Iskandar Muda (PIM) memiliki biaya yang paling tinggi yaitu Rp 3.636/Kg, dan biaya
terendah dihasilkan oleh PT Pusri Palembang yaitu sebesar Rp 1.618/Kg. Dengan
demikian kisaran persentase biaya pokok terhadap harga Urea subsidi antara 1,1%
sampai 56%. Pada tahun 2014, biaya pokok Urea dari setiap pabrik mengalami
peningkatan dan biaya pokok Urea yang dihasilkan oleh PT. PIM tetap memiliki biaya
yang paling tinggi yaitu Rp 5.990/Kg, sedangkan biaya terendah dihasilkan oleh PT
Pupuk Kujang yaitu sebesar Rp 2.842/Kg. Dengan demikian kisaran persentase biaya
pokok terhadap harga Urea subsidi antara 36,7% sampai 69,9%.
Tabel 11. Biaya Pokok Produksi Pupuk Urea/Kg di Beberapa Pabrik Pupuk di Indonesia,
Tahun 2011 dan 2014.
Pabrik 2011 2014
HPP (Rp/Kg)
% Subsidi terhadap HPP
HPP (Rp/Kg)
% Subsidi terhadap HPP
PT. PIHC (Rata-Rata) 2.470 35,2 3.601 50,0
PT. Pusri Palembang 1.618 1,1 2.905 38,0
PT. Petrokimia Gresik 2.607 38,6 3.314 45,7
PT. Pupuk Kujang 2.114 24,3 2.842 36,7
PT. Pupuk Kalimantan
Timur 2.375 32,6 2.952 39,0
PT. Iskandar Muda 3.636 56,0 5.990 69,9
Sumber: PT. PIHC (2015) Keterangan: Harga Subsidi 2011 = Rp 1.600/Kg; 2014 = Rp 1.800/Kg
Untuk pupuk lainnya yaitu SP36, rata-rata biaya pokok produksi dari kurun
2011-2014 juga meningkat yaitu dari Rp 2.856/Kg menjadi Rp 3.479/kg. Hal yang
sama untuk pupuk ZA juga meningkat dari Rp 1.679/kg (2011) menjadi Rp 2.217/Kg
(2014), dan untuk pupuk NPK (ponska dan kujang), meningkat dari Rp 6.673/kg
(2011) menjadi Rp 8.531/kg (2014). Bila dilihat persentase biaya pokok per jenis
pupuk terhadap harga subsidinya, maka terlihat bahwa harga pupuk NPK baik pada
tahun 2011 maupun tahun 2012 memiliki rata-rata persentase yang tinggi yaitu
sebesar 65,5% pada tahun 2011 dan 73% pada tahun 2014 (Tabel 12).
37
Tabel 12. Biaya Pokok Produksi SP-36, ZA, dan NPK di PT. PIHC, 2011 dan 2014
Jenis Pupuk 2011 2014
HPP
(Rp/Kg)
% Subsidi
terhadap HPP
HPP
(Rp/Kg)
% Subsidi
terhadap HPP
SP-36 2.856 30,0 3.479 42,5
ZA 1.679 16,6 2.217 36,9
NPK 6.673 65,5 8.531 73,0
- Ponska 3.521 34,7 4.102 43,9
- Kujang 3.152 27,0 4.429 48,1
Sumber: PT. PIHC(2015)
Keterangan: Harga Subsidi 2011 dan 2014 untuk SP-36 = Rp 2.000/Kg, ZA = Rp 1.400/Kg, dan NPK = Rp 2.300/Kg
Bila dianalisis berdasarkan komponen penyusun biaya pokok produksi Urea,
diketahui biaya gas bumi sebagai bahan baku memiliki persentase yang sangat besar
terhadap pembentukan biaya pokok produksi (Tabel 13). Proporsi biaya gas bumi
terhadap biaya pokok juga menunjukkan kenaikan dari tahun 2011-2014. Pada
tahun 2011, biaya gas bumi dalam pembentukan biaya pokok produksi tertinggi
terdapat pada pabrik PT. Petrokimia Gresik yaitu Rp 2.188/kg (83,93%). Namun
biaya gas bumi terendah terdapat pada pabrik urea PT. Pusri Palembang yaitu Rp
1.127/kg dengan proporsi terhadap biaya pokok produksi sebesar 69,65%,
sedangkan biaya produksi yang proporsinya terendah terhadap biaya pokok produksi
adalah pada Urea yang dihasilkan oleh PT. Pupuk Iskandar Muda yaitu sebesar
51,49%. Selanjutnya pada tahun 2014, biaya gas bumi dalam pembentukan biaya
pokok produksi tertinggi terdapat pada pabrik PT. Pupuk Iskandar Muda yaitu Rp
3.789/kg (63,26%), sedangkan biaya produksi yang proporsinya tertinggi terhadap
biaya pokok produksi adalah pada Urea yang dihasilkan oleh PT. Pusri Palembang
sebesar 83,51%.Untuk biaya gas bumi terendah terdapat pada pabrik urea PT.
Pupuk Kalimantan Timur yaitu Rp 1.865/kg (63,18%) (Tabel 13).
38
Tabel 13. Biaya Produksi (Harga Pokok produksi) Urea dan Proporsi Biaya Gas Bumi Pupuk Produk Anak Perusahaan PT. PIHC di Indonesia, 2011 dan 2014.
Pabrik Total Biaya (Rp/Kg)
Biaya Gas Bumi
(Rp/Kg) Proporsi (%)
2011 2014 2011 2014 2011 2014
PT. Pusri Palembang 1.618 2.905 1.127 2.426 69,65 83,51
PT. Petrokimia Gresik 2.607 3.314 2.188 2.649 83,93 79,93
PT. Pupuk Kujang 2.114 2.842 1.140 2.236 53,93 78,68
PT. Pupuk Kalimantan Timur 2.375 2.952 1.560 1.865 65,68 63,18
PT. Iskandar Muda 3.636 5.990 1.872 3.789 51,49 63,26 Sumber: PT. PIHC ((2015, diolah).
Biaya produksi seperti telah diuraikan di atas ditambah dengan besaran marjin
sekitar 10 persen disajikan pada Tabel 14. Adapun besaran subsidi pupuk (Rp/kg)
yang ditanggung pemerintah untuk pupuk Urea tampaknya bervariasi diantara
pabrik pupuk dilingkup Holding PT Pupuk Indonesia. Pada tahun 2011, subsidi pupuk
yang ditanggung pemerintah paling tinggi sebesar Rp 2.400/Kg (60%) atas Urea
yang dihasilkan dari pabrik PT PIM, dan terendah sebesar Rp 180/Kg (10,10%) atas
pupuk Urea yang dihasilkan oleh PT Pusri. Besaran subsidi pupuk tersebut
tergantung dari subsidi gas dari pemerintah bagi pabrik-pabrik penghasil pupuk.
Pada tahun 2014, subsidi pupuk yang ditanggung pemerintah paling tinggi sebesar
Rp 4.789/Kg (72,68%) atas Urea yang dihasilkan oleh PIM, dan terendah sebesar Rp
3.126/Kg (42,42%) atas pupuk Urea yang dihasilkan oleh PT Pupuk Kujang.
Tabel 14. Biaya produksi Plus 10% Margin Keuntungan Pupuk Urea Produksi Anak
Perusahaan PT. PIHC dan Besaran Subsidi yang Ditanggung Pemerintah per Kg
di Beberapa Pabrik Pupuk di Indonesia, 2011 dan 2014
Pabrik
Biaya Produksi +
Margin 10% P (Rp.)
Besaran Subsidi
Rp. % terhadap HPP
+ Marjin
2011 2014 2011 2014 2011 2014
PT. Pusri Palembang 1.780 3.196 180 1.396 10,10 43,67
PT. Petrokimia Gresik 2.868 3.645 1.268 1.845 44,21 50,62
PT. Pupuk Kujang 2.325 3.126 725 1.326 31,19 42,42
PT. Pupuk Kalimantan
Timur 2.613 3.247 1.013 1.447 38,76 44,57
PT. Iskandar Muda 4.000 6.589 2.400 4.789 60,00 72,68 Sumber: PT. PIHC (2015, diolah)
Lebih jauh, bila dianalisis atas volume dan pendapatan yang dihasilkan dari
penjualan pupuk seperti disajikan pada Tabel 15, maka dapat diketahui bahwa
39
volume penjualan pupuk dari PIHC terus meningkat dan pendapatan total dari
penjualan pupuk pun juga meningkat. Volume total penjualan pupuk tahun 2007
sebesar 8,9 juta ton dengan raihan pendapatan sebesar Rp 17,81 triliun kemudian
pada tahun 2010, volume total penjualan pupuk meningkat menjadi 10,05 juta ton
dengan pendapatan total yang diraih sebesar Rp 27,36 triliun, dan pada tahun 2014,
volume total penjualan pupuk meningkat menjadi 12,21 juta ton dengan pendapatan
total yang diraih meningkat pesat menjadi Rp 48,91 triliun. Pendapatan yang diraih
dari penjualan pupuk PT. Pupuk Indonesia bersumber dari penjualan melalui pasar
komersial (harga pasar) dan pasar subsidi (mekanisme subsidi). Bila dilihat rasio
pendapatan atas pasar subsidi terhadap pendapatan total, tampaknya mengalami
tren yang menurun dalam tiga tahun terakhir yaitu dari 2011-2014 dengan rasio
73,9% pada 2011 menjadi 73,64% pada 2014. Lebih lanjut rincian proporsi
pendapatan PT. pupuk Indonesia khususnya dari PSO terhadap total pendapatan
disajikan pada Tabel 16.
Tabel 15. Volume dan Pendapatan dari Penjualan Pupuk PT. PIHC, 2007-2014
Tahun Volume
Penjualan
(000 Ton)
Pendapatan Komersil
(Rp Miliar)
Pendapatan Subsidi
(Rp Miliar)
Pendapatan Total
(Rp Miliar)
Rasio Pendapatan Subsidi/ Total Pendapatan (%)
2007 8.922 5.382 12.429 17.811 69,78
2008 8.558 7.171 22.063 29.234 75,47
2009 9.967 6.041 23.242 29.283 79,37
2010 10.053 7.720 19.637 27.357 71,78
2011 10.825 8.950 25.343 34.293 73,90
2012 11.733 11.703 31.873 43.576 73,14
2013 12.013 12.302 33.779 46.081 73,30
2014 12.207 12.890 36.018 48.908 73,64
Sumber: PT. PIHC (2015)
Tabel 16. Proporsi Pendapatan dari PSO terhadap Total Pendapatan PT. PIHC, 2010-2014
(Rp Triliun)
Pendapatan 2010 2011 2012 2013 2014
Nilai % Nilai % Nilai % Nilai % Nilai %
PSO 19,64 60,10 25,34 62,15 31,87 62,17 33,78 59,98 36,01 55,73
Non PSO Pupuk 7,72 23,62 8,95 21,95 11,70 22,82 12,30 21,84 12,89 19,95
Non PSO Lainnya 5,32 16,28 6,48 15,89 7,69 15,00 10,24 18,18 15,72 24,33
Total 32,68 100 40,77 100 51,26 100 56,32 100 64,62 100
Sumber: PT. PIHC (2015)
40
4.5. Besaran Subsidi Pupuk dan Rasionya Terhadap Anggaran Nasional
Dalam rentang waktu 2005-2014, realisasi anggaran belanja subsidi cukup
berfluktuasi dan secara nominal mengalami peningkatan dari Rp 2,53 triliun (2005)
menjadi Rp 18,04 triliun (2014) atau meningkat rata-rata sebesar 13,27 %/tahun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (2014) alokasi anggaran belanja subsidi
tahun 2014 merupakan implementasi fungsi pelayanan umum, terutama
diperuntukkan bagi pembayaran berbagai jenis subsidi yang merupakan bagian dari
upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas perekonomian, sekaligus memberikan
perlindungan kepada masyarakat.
Berdasarkan berbagai kebijakan tersebut, maka alokasi anggaran subsidi
pemerintah secara keseluruhan dalam tahun 2014 direncanakan mencapai Rp 336,2
triliun. Jumlah tersebut menurun Rp 11,9 triliun bila dibandingkan dengan pagu
belanja subsidi yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2013 sebesar Rp 348,1 triliun.
Sebagian besar dari alokasi anggaran belanja subsidi dalam tahun 2014 tersebut
direncanakan disalurkan untuk subsidi energi (Rp 284,7 triliun), yaitu subsidi BBM,
BBN, LPG tabung 3 kg, dan LGV sebesar Rp 194,9triliun, dan subsidi listrik sebesar
Rp 89,8 triliun. Sementara itu, anggaran untuk subsidi nonenergi Rp 51,6 triliun,
yang meliputi: (1) subsidi pangan sebesar Rp 18,8 triliun; (2) subsidi pupuk sebesar
Rp 21,0 triliun; (3) subsidi benih sebesar Rp 1,6 triliun; (4) subsidi angkutan dan
informasi publik sebesar Rp 2,2 triliun; (5) subsidi bunga kredit program sebesar Rp
3,2 triliun; dan (6) subsidi pajak sebesar Rp 4,7 triliun
Selanjutnya pada tahun 2015 anggaran subsidi pupuk yang diusulkan pada
APBN-P tahun 2015 Rp 39 triliun, terdiri dari subsidi pupuk sebesar Rp 28,2 Triliun,
pelunasan kurang bayar TA 2012 sebesar Rp 3,6 Triliun (sudah dibayarkan per
Februari 2015) dan Pelunasan kurang bayar TA 2013 sebesar Rp 7,2 Triliun (sudah
dibayarkan 3,5 Triliun per Februari 2015) (Republika co.id, 2015).
41
Tabel 17. Perkembangan Subsidi Pupuk dan Subsidi Pangan di Indonesia, 2005-2015.
Tahun Subsidi Pupuk (Rp
Trilun)
Subsidi Pangan
(Rp Triliun)
APBN (Rp
Triliun)
Rasio subsidi
Pupuk terhadap APBN
2005 2,53 6,40 509,63 0,50
2006 3,17 5,30 667,13 0,48
2007 6,26 6,60 757,65 0,83
2008 15,18 12,10 985,73 1,54
2009 18,33 13,00 937,38 1,96
2010 18,41 15,20 1.042,12 1,77
2011 16,35 16,50 1.295,00 1,26
2012 13,96 19,10 1.491,41 0,94
2013 17,93 21,50 1.650,56 1,09
2014 18,04 18,80 1.876,87 0,96
r (%/thn) 13,27 13,65 12,91 4,28
Sumber: Indikator Ekonomi BPS (2005-2015).
Bila dilihat rasio subsidi pupuk terhadap total APBN, maka kisaran rasionya
antara 0,48-1,77. Pada kurun waktu 2005-2014, rasio nilai subsidi pupuk terhadap
APBN paling rendah terjadi pada tahun 2006, dan tertinggi pada tahun 2010. Secara
keseluruhan pada periode tersebut rasionya masih menunjukkan peningkatan
sebesar 4,28 %/tahun. Dengan peningkatan angka rasio tersebut menunjukan
bahwa perhatian pemerintah terhadap subsidi pupuk masih tinggi. Dalam konteks
manfaat dan upaya mempertahankan swasembada pangan nasional, maka
pemerintah diharapkan masih tetap mempertahankan kebijakan subsidi khususnya
subsidi non energi karena subsidi ini masih diperlukan terutama oleh masyarakat
tani kecil dengan tingkat pendapatan yang rendah dan juga memiliki daya beli
rendah. Kebijakan subsidi non-energi selain fokus pada subsidi pupuk, juga subsidi
pangan, pertanian (benih dan sarana pertanian lainnya) dan subsidi untuk
mengurangi beban masyarakat miskin, dan membantu usaha kelompok kecil dan
menengah.
42
V. DISTRIBUSI DAN PERDAGANGAN PUPUK
5.1. Kebijakan Distribusi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi
Sistem distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia selama ini diatur melalui
Keputusan Menteri Perdagangan, dengan sasaran agar petani dapat memperoleh
pupuk dengan enam azas tepat, yaitu : tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan
harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat
dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan realisasi.
Kebijakan tentang penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor pertanian di
Indonesia saat ini telah diatur oleh Permendag Nomor 15 tahun 2013. Pada
Permendag tersebut dijelaskan bahwa PIHC mendapat tugas dari pemerintah dalam
hal pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. PT PIHC
dapat menetapkan produsen sebagai pelaksana pengadaan dan penyaluran pupuk
bersubsidi dalam wilayah tanggung jawab pegadaan dan penyaluran pupuk
bersubsidi di provinsi/kabupaten/kota.
Produsen dapat menunjuk distributor sebagai pelaksana penyaluran pupuk
bersubsidi dengan wilayah tanggung jawab di tingkat provinsi/kabupaten/kota/
kecamatan/desa tertentu. Adapun persyaratan distributor adalah: (a) bergerak
dalam bidang usaha perdagangan umum, (b) memiliki kantor dan pengurus yang
aktif menjalankan usaha perdagangan di tempat kedudukannya, (c) memenuhi
syarat-syarat umum untuk melakukan kegiatan perdagangan, (d) memiliki dan/atau
menguasai sarana gudang dan alat transportasi yang menjamin kelancaran
penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah tanggung jawabnya, (e) mempunyai
jaringan distribusi yang dibuktikan dengan memiliki paling sedikit 2 pengecer di
setiap kecamatan dan/atau desa di wilayah tanggung jawabnya, (f) rekomendasi
dari dinas kabupaten/kota setempat yang membidangi perdagangan untuk
penunjukan distributor baru, dan (g) memiliki permodalan yang cukup sesuai
ketentuan yang disyaratkan oleh produsen.
43
Gambar 3. Mekanisme Distribusi Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011 Sumber: Direktorat Sarana Produksi Pertanian, 2011
Proses penyaluran pupuk bersubsidi diawali dengan usulan dari kelompok
tani. Kelompok tani membuat usulan kebutuhan pupuk para petani anggotanya yang
dituangkan dalam RDKK. Dokumen RDKK dari kelompok tani dikumpulkan kolektif ke
Cabang Dinas Pertanian Kecamatan setempat setelah dicermati bersama oleh
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Kepala Desa. Camat selaku kepala wilayah
kecamatan juga mencermati usulan kebutuhan pupuk dari para kelompok tani
seluruh kecamatan. RDKK tersebut juga dikirimkan kepada penyalur (kios) atau
gapoktan yang bertindak sebagai pengecer resmi (Lini-IV), dan selanjutnya
rekapitulasi usulan kebutuhan pupuk tersebut dikirimkan kepada distributor (Lini-
III). Rekapitulasi kebutuhan pupuk yang telah disusun per kecamatan dikirimkan
kepada dinas pertanian kabupaten/kota, dan selanjutnya secara berjenjang
diserahkan kepada dinas pertanian provinsi dan Kementerian Pertanian.
Sesuai dengan Permentan Nomor 130/Permentan/SR.130/11/2014 yang
mengatur tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi
44
untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015, dijelaskan bahwa alokasi pupuk
bersubsidi dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi
dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang diajukan oleh pemerintah
daerah provinsi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, serta alokasi anggaran
subsidi pupuk tahun 2015. Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci
menurut provinsi, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan. Selanjutnya, dirinci
menurut kabupaten/kota (ditetapkan dengan peraturan gubernur paling lambat pada
awal bulan Maret 2015) dan menurut kecamatan (ditetapkan dengan peraturan
bupati/walikota paling lambat akhir Maret 2015).
Adapun sistem penyaluran pupuk terdiri dari usulan, alokasi dan penyaluran
pupuk bersubsidi, yang secara lengkap dijelaskan di dalam Gambar 3. Tahap
selanjutnya adalah pendistribusian pupuk bersubsidi, dimana dari Gambar 4, dapat
diambil dan disederhanakan sebagaimana ditunjukkan di dalam Gambar 5. Pupuk
diproduksi oleh perusahaan di Lini-I, yaitu lokasi gudang pupuk di wilayah pabrik
dari masing-masing produsen atau di wilayah pelabuhan tujuan untuk pupuk impor.
Dari Lini-I, pupuk dikirim ke lokasi gudang produsen di wilayah ibukota provinsi dan
atau Unit Pengantongan Pupuk (UPP) atau di luar pelabuhan (Lini-II).
45
Gambar 4. Mekanisme Usulan, Alokasi dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Indonesia, 2011
Sumber: Direktorat Sarana Produksi, 2011
Gambar 5. Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Lini-I Sampai Petani di Indonesia, 2011 Sumber: Direktorat Sarana Produksi, 2011
Setelah pupuk dikemas di dalam kantong, kemudian dikirim ke lokasi gudang
produsen dan/atau distributor di wilayah kabupaten/kota yang ditunjuk atau
ditetapkan oleh produsen (Lini-III). Distributor adalah perusahaan perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau tidak, yang ditunjuk oleh
Perbub/perwali
46
produsen pupuk untuk melakukan pembelian, penyimpanan, penyaluran, dan
penjualan pupuk bersubsidi dalam partai besar diwilayah tanggungjawabnya. Dari
distributor, pupuk kemudian dijual kepada petani dan/atau kelompok tani melalui
pengecer resmi yang ditunjuk (Lini-IV). Pengecer resmi adalah perseorangan,
kelompok tani, dan badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau tidak,
yang berkedudukan di Kecamatan dan/atau desa yang ditunjuk oleh distributor
dengan kegiatan pokok melakukan penjualan pupuk bersubsidi di wilayah
tanggungjawabnya secara langsung kepada Petani dan/atau Kelompok Tani.
Untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan subsidi pupuk sesuai dengan
ketentuan yang ada, maka terdapat beberapa prinsip dan ketentuan dasar di dalam
pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang harus dipenuhi, yaitu sebagai
berikut: (1) Produsen pupuk wajib mengutamakan pengadaan pupuk bersubsidi
untuk pemenuhan kebutuhan sektor pertanian dalam negeri. Produsen wajib
melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah tanggung
jawabnya berdasarkan rencana kebutuhan dalam Permentan dan peraturan
pelaksanaannya dari gubernur/bupati/walikota; (2) Tanggungjawab dalam
pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dilaksanakan sesuai dengan
prinsip/azas enam tepat yaitu tepat dalam jenis, jumlah, tempat, waktu, mutu dan
harga.
Tanggungjawab tersebut dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tugas dan
kewajiban masing-masing, yaitu: (1) Produsen pupuk wajib melaksanakan
pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan peruntukannya dari Lini-
I sampai dengan Lini-III di wilayah tanggungjawabnya; (2) Distributor wajib
melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan peruntukannya dari Lini-
III sampai dengan Lini-IV diwilayah tanggung jawabnya; dan (3) Pengecer wajib
melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani dan/atau kelompok tani
di Lini-IV di wilayah tanggungjawabnya berdasarkan RDKK yang jumlahnya sesuai
dengan peraturan Gubernur dan Bupati/Walikota.
Terkait dengan harga pupuk bersubsidi, berlaku ketentuan bahwa: (1)
Produsen pupuk wajib menyalurkan pupuk bersubsidi kepada Distributor di Gudang
Lini-III dengan hargatebus yang memperhitungkan HET; (2) Distributor
menyalurkan pupuk kepada Pengecer (Lini-IV) dengan harga tebus yang
47
memperhitungkan HET dan melaksanakan pengangkutan sampai dengan gudang
Pengecer; dan (3) Pengecer wajib menyalurkan pupuk kepada petani/kelompok tani
di gudang Lini-IV berdasarkan RDKK dengan harga yang tidak melampaui HET.
Dalam melaksanakan pengangkutan pupuk bersubsidi, distributor wajib
menggunakan sarana angkutan yang terdaftar khusus sebagai angkutan pupuk
bersubsidi. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyelundupan dan
penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi. Terkait dengan stok pupuk minimal,
Produsen pupuk wajib menjamin persediaan minimal pupuk di Lini-III untuk
kebutuhan selama dua minggu ke depan sesuai dengan rencana kebutuhan yang
ditetapkan Menteri Pertanian. Kecuali untuk puncak musim tanam (November
sampai dengan Januari), persediaan minimal untuk kebutuhan tiga minggu ke
depan.
Distributor dan pengecer dilarang memperjual belikan pupuk bersubsidi di luar
peruntukannya dan/atau di luar wilayah tanggungjawabnya. Pihak lain selain
produsen, distributor dan pengecer resmi dilarang memperjualbelikan pupuk
bersubsidi dengan maksud dan tujuan apapun. Apabila terjadi peningkatan
kebutuhan pupuk bersubsidi di wilayah kabupaten/kota, produsen dapat menambah
alokasi kebutuhan sebesar maksimal 20% dari alokasi wilayah yang bersangkutan,
sepanjang tidak melebih alokasi kebutuhan pupuk secara nasional dari produsen
yang bersangkutan. Pelaksanaan alokasi kebutuhan tersebut dilaporkan kepada
Dirjen Tanaman Pangan, gubernur dan bupati/walikota setempat.
Apabila penyaluran pupuk bersubsidi oleh distributor dan/atau pengecer tidak
berjalan lancar, produsen wajib melakukan penyaluran langsung kepada petani
dan/atau kelompoktani di Lini-IV setelah berkoordinasi dengan bupati/walikota
setempat (cq. kepala dinas pertanian). Apabila pengecer tidak dapat melaksanakan
penyaluran pupuk bersubsidi, maka distributor (dengan berkoordinasi dengan kepala
dinas kabupaten/kota yang membidangi pertanian setempat) untuk jangka waktu
tertentu dapat melakukan penyaluran pupuk bersubsidi langsung kepada petani
dan/atau kelompok tani di wilayah tanggungjawabnya berdasarkan RDKK dengan
harga tidak melampaui HET.
Dalam rangka program khusus pertanian, produsen dapat menunjuk distributor
untukmelakukan penjualan langsung kepada petani dan/atau kelompok tani yang
48
mengikuti program tersebut. Selanjutnya, untuk tetap menjamin agar pupuk
bersubsidi tersedia bagi petani, maka apabila terjadi kekurangan alokasi kebutuhan
pupuk bersubsidi di wilayah provinsi dan kabupaten/kota, maka dapat dipenuhi
melalui realokasi antar wilayah, waktu dan subsektor sebagai berikut: (1) Realokasi
antar provinsi ditetapkan lebih lanjut oleh Kementerian Pertanian, realokasi antar
kabupaten/kota ditetapkan oleh gubernur, dan realokasi antar kecamatan ditetapkan
oleh bupati/walikota. Untuk memenuhi kebutuhan petani, realokasi tersebut dapat
dilaksanakan terlebih dahulu sebelum penetapan dari gubernur dan/atau
bupati/walikota berdasarkan rekomendasi dari dinas pertanian setempat; (2) Apabila
alokasi pupuk bersubsidi di suatu provinsi, kabupaten/kota, kecamatan pada bulan
berjalan tidak mencukupi, produsen dapat menyalurkan alokasi pupuk bersubsididi
wilayah bersangkutan dari sisa alokasi bulan-bulan sebelumnya dan/atau dari
alokasibulan berikutnya sepanjang tidak melampaui alokasi 1 (satu) tahun.
Dalam rangka efisiensi penyaluran pupuk bersubsidi, produsen pupuk selama
ini telah berupaya menekan biaya sampai ke tingkat petani melalui terobosan baru
untuk meningkatkan pelayanan kepada petani dalam pengadaan pupuk bersubsidi
yaitu pengembangan kios pupuk lengkap (KPL) di seluruh wilayah Indonesia.
Terhitung mulaidari 1 Desember 2010, semua kios resmi menjual pupuk lengkap dan
tidak ada lagi yang hanya menjual satu jenis pupuk saja, sehingga semua jenis
pupuk tersedia lengkap di tiap kios. PT PIHC sebagai holding company membentuk
KPL sebanyak 52.112 unit di seluruh wilayah Indonesia untuk mewujudkan sinergi
antar anak perusahaan sehingga dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan tertib
administrasi perusahaan. Dengan adanya KPL, petani cukup datang di satu kios
untuk memenuhi seluruh kebutuhan pupuknya sehingga biaya transportasi dan
waktu untuk mencari pupuk bisa dihemat. Selain mengupayakan adanya kemudahan
dan memotong jalur birokrasi penebusan pupuk, produsen pupuk juga memberikan
kemungkinan bagi distributor (Lini-III) untuk menebus pupuk kapan saja.
Dalam perkembangannya, berdasarkan data PT. PIHC (2015) bahwa jumlah
distributor pupuk yang ada di Indonesia saat ini berjumlah 2.350 distributor, dan
jumlah kios yang dapat melayani kebutuhan pupuk petani sebanyak 50.178 kios.
Berbagai sarana angkutan dan pergudangan juga sangat menunjang distribusi
pupuk mulai dari level pabrik hingga sampai ke level petani. Berdasarkan data PIHC
49
(2015) tersebut diketahui bahwa total kapasitas gudang pupuk nasional saat ini
mencapai 3.267.780 ton, dan dengan rician kapasitas gudang per Lininya sebagai
berikut: Total kapasitas gudang Lini I : 491.100 ton total kapasitas gudang Lini II :
428.400 ton, dan total kapasitas gudang Lini III : 2.348.280 ton. Berikut pada
Gambar 6. disajikan lengkap mengenai sarana distribusi pupuk di Indonesia.
Gambar 6. Sarana Distribusi Pupuk Di Indonesia, 2015 (PIHC, 2015)
50
Menurut Rachman (2009) bahwa kebijakan distribusi pupuk masih terdapat
kelemahan baik yang bersifat teknis, manajemen dan regulasi. Oleh karena itu,
perbaikan atas kelemahan yang ada diharapkan akan menjamin ketersedian pupuk
di tingkat pengguna/petani dengan waktu, dosis dan sesuai HET yang ditetapkan.
Berdasarkan Permentan No. 130/2014, diketahui alokasi pupuk dilakukan
berdasarkan jenis pupuk yang digunakan dan subsektor. Untuk subsektor tanaman
pangan alokasi pupuk tahun 2015 adalah sebagai berikut: (a) Urea: 3,07 juta ton,
(b) SP36 567,32 ribu ton, (c) ZA: 713,10 juta ton, (d) NPK: 1,86 juta ton, dan (e)
Pupuk Organik: 721,51 ribu ton. Dengan demikian alokasi pupuk subsidi yang paling
besar masih jenis pupuk Urea, kemudian di susul oleh pupuk NPK, oraganik dan ZA
(Tabel 18).
Tabel 18. Alokasi Pupuk Menurut Jenis Pupuk dan Per Subsektor di Indonesia, 2015.
Subsektor Jenis Pupuk (Ton)
Urea SP36 ZA NPK Organik
1. Tanaman Pangan 3.071.382 567.317 713.097 1.857.441 721.512
2. Hortikultura 181.378 45.961 61.191 165.344 53.991
3. Perkebunan 677.705 197.985 264.473 509.338 134.097
4. Peternakan 76.789 12.888 11.239 17.877 90.401
5. Perikanan Budidaya 92.746 25.849 -
Jumlah 4.100.000 850.000 1.050.000 2.550.000 1.000.001
Sumber: Permentan 130/2014.
Berdasarkan Permentan No 130/2014 diketahui besarnya alokasi volume pupuk
bersubsidi tahun 2015 sebanyak 9.550.000 ton, dengan rincian yaitu: (1) Urea
sebanyak 4.100.000 ton, (2) SP36 sebanyak 850.000 ton, (3) ZA sebanyak
1.050.000 ton, (4) NPK sebanyak 2.550.000 ton, dan (4) Organik sebanyak
1.000.000 ton. Adapun realisasi penyalurannya sebanyak 8.994.847 ton, dengan
rincian yaitu: (1) Urea sebanyak 4.057.187 ton, (2) SP36 sebanyak 800.992 ton, (3)
ZA sebanyak 988.440 ton, (4) NPK sebanyak 2.395.114 ton, dan (4) Organik
sebanyak 753.114 ton.
Selanjutnya alokasi di tingkat provinsi sesuai keputusan gubernur dan di
tingkat kabupaten/kota sesuai dengan keputusan bupati/walikota. Keputusan
gubernur yang telah terbit pada Semester I 2014 sejumlah 33 provinsi (100%) dan
51
keputusan bupati/walikota sejumlah 435 kabupaten/kota (89,5%) sesuai Permentan
No. 122/Permentan/SR.130/11/2013, dan Revisi Alokasi PSO terbit bulan Agustus
2014 melalui Permentan No. 103/2014. Selanjutnya keputusan gubernur yang telah
terbit pada Semester II 2014 sejumlah 31 (94%) dan keputusan bupati/walikota
sejumlah 164 (34%) sesuai Permentan No. 103/Permentan/SR.130/8/2014.
Pada lokasi kajian yaitu: (1) Provinsi Jawa Barat total alokasi pupuk sebanyak
1.172.350 ton dan realisasinya sebanyak 1.095.867 ton (93%), serta (2) Provinsi
Lampung total alokasi pupuk sebanyak 473.000 ton dan realisasinya sebanyak
439.929 ton (93%). Secara lengkap alokasi dan realisasi penyaluran pupuk secara
total di Indonesia disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Alokasi dan Realisasi Penyaluran Pupuk Secara Total di Indonesia, 2014
Sumber: PIHC, 2015
52
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun tataniaga pupuk
yang berkeadilan adalah sebagai berikut: (1) Harus dapat menjamin ketersediaan
pupuk di tingkat petani agar program peningkatan ketahanan pangan tidak
terganggu; (2) Industri pupuk nasional harus tumbuh dengan baik dan menikmati
keuntungan yang wajar sehingga secara berkesinambungan dapat memasok
kebutuhan pupuk dalam negeri; dan (3) Para distributor dan pengecer pupuk juga
dapat menikmati keuntungan yang wajar dari peran yang seimbang.
Sesuai ketentuan dalam tentang penyaluran/distribusi pupuk untuk sektor
pertanian yang mana saat ini telah diatur oleh Permendag No.15 tahun 2013, diatur
mekanisme distribusi untuk menjamin ketersediaannya seperti berikut:
1. Rayonisasi wilayah pemasaran
Bertujuan untuk meningkatkan efisiensi distribusi pupuk, juga untuk
pengamanan pengadaan pupuk. Atas dasar ini, pembagian wilayah dan tanggung
jawab adalah sebagai berikut: (i) PT. Pusri (Aceh, Sumbar, Sumut, Riau, Jambi,
Sumsel, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, sebagian Jabar, Jateng, DIY, sebagian
Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sultra, Sulteng, Sulsel,
Maluku dan Irja), (ii) PT. Pupuk Kujang Cikampek (Jabar), (iii) PT Petrokimia Gresik
(Jatim), (iv) PT. Pupuk Kaltim (Jatim, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulsel) dan (v) PT.
Pupuk Iskandar Muda (Aceh, Sumut dan Riau).
2. Penjualan pupuk mulai di tingkat kabupaten
Pemberlakuan penjualan pupuk mulai dari kabupaten. Selain dimaksudkan
untuk mendekatkan dengan konsumen, dengan adanya pengaturan ini, baik unit
niaga PT Pusri maupun distributor yang ditunjuk oleh produsen diharuskan menjual
pupuk Urea pada pengecer atau konsumen mulai di lini III. Khusus untuk PTPN dan
Perkebunan Besar Swasta, pengadaan pupuk dapat dilakukan langsung dari
produsen maupun unit niaga PT Pusri melalui mekanisme yang berlaku.
3. Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat
Dalam konteks ini ditetapkan dua pola yaitu pola umum & pola distribusi.
Dalam pola umum produsen pupuk Urea harus menjual melalui distributor
kabupaten. Unit niaga anak perusahaan PT PIHC dan distributor yang ditunjuk
produsen menyediakan pupuk sampai pada Lini III dan menjual melalui pengecer
yang terdiri dari koperasi swasta dan, Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Dalam
53
ketentuan rayonisasi distribusi, setiap produsen ditugaskan melakukan pemerataan
dan percepatan distribusi dan bertanggung jawab atas setiap daerah kewajibannya.
Kebutuhan Urea untuk subsektor tanaman pangan utamanya dijual oleh/melalui unit
niaga anak perusahaan PT PIHC. Kebutuhan Urea untuk subsektor tanaman pangan
di sekitar pabrik dan subsektor perkebunan dijual sendiri oleh masing-masing
produsen melalui distributornya. Produsen yang menjual Urea untuk sektor
pertanian mewajibkan distributornya menjual pupuk SP 36 dan ZA produksi PT
Petrokimia Gresik, sebagai upaya untuk mengaplikasikan pemupukan berimbang.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa sistem distribusi pupuk bersubsidi yang
berlaku saat ini mengacu pada Permendag No. 15/2013 dan sebagian dalam
Permentan No.82/2013 dan No. 130/2014. Permendag ini telah mengatur cukup
rinci sistem distribusi pupuk bermula dari pengadaan dan penyaluran (Bab II), tugas
dan tanggungjawab para fihak yang terkait dengan distribusi mulai dari produsen
pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan petani/kelompok tani.
Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan pelaporan. Bab IV laporan
ini membahas aspek distribusi pupuk bersubsidi secara seksama. Sementara itu
kedua Permentan tersebut di atas mengatur tentang HET dan penyaluran pupuk
bersubsidi dari lini IV sampai ke petani.
Bila pengaturan dalam Permendag dan Permentan tersebut dijalankan dengan
seksama, semestinya pupuk dapat dampai ke petani sesuai dengan prinsip enam
tepat. Berdasarkan Permendag ini definisi prinsip enam tepat adalah prinsip
pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang meliputi tepat jenis, jumlah,
harga, tempat, waktu, dan mutu. Namun demikian masih cukup sering dilaporkan
terjadinya keterlambatan sampainya pupuk di tempat petani ataupun harga yang
dibeli petani lebih besar dari HET, terutama pada puncak musim tanam, ataupun
moral hazard berupa perembesan ke sektor non pangan dan non subsidi. Kejadian
ini dapat disebabkan antara lain oleh: (1) persoalan teknis pada saat perencanaan,
yaitu penyediaan pupuk bersubsidi tingkat nasional yang dituangkan dalam
Permentan volumenya jauh lebih rendah dari kebutuhan yang diusulkan oleh
pemerintah daerah yang berasal dari rekapitulasi RDKK; (2) moral hazard pada
berbagai tingkatan rantai pasok pupuk bersubsidi, karena adanya niat tidak amanah
dan dirangsang oleh adanya spread (perbedaan harga) yang cukup besar (lebih dari
54
50%) antara harga pupuk bersubsidi dan harga pupuk non subsidi yang diperjual-
belikan di pasar; (3) fungsi pengawasan kurang berfungsi dengan baik, banyak
Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) propinsi dan kabupaten/kota yang tidak
berfungsi optimum karena kurangnya anggaran untuk melakukan aktivitas
pengawasan, selain itu tim adhock seperti ini yang anggotanya terdiri dari wakil
berbagai instansi seringkali tidak bekerja efektif; dan (4) persoalan teknis karena
cuaca buruk, prasarana distribusi rusak, lokasi lahan pertanian jaraknya jauh, dan
petani membeli dalam jumlah kurang dari satu karung pupuk.
Tabel 19. Kapasitas dan Waktu Tempuh Penyaluran Pupuk Bersubsidi dari Gudang Lini II ke
ke Gudang Lini III di Indonesia, 2015.
Nama Lini II /
DC
Kapasitas
(Ton) Provinsi yang dicover
Waktu tempuh ke
Gudang Lini III
Medan 94.000 Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau 3 - 48 Jam
Padang 40.000 Sumatera Barat, Jambi 3 - 12 Jam
Lampung 40.000 Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi 3 - 72 Jam
Cigading 40.000 Banten, Jawa Barat 3 - 24 Jam
Serang 10.000 Banten 3 - 12 Jam
Semarang 10.000 Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah 3 - 48 Jam
Cilacap 14.000 Jawa Tengah, DI Yogyakarta 3 - 12 Jam
Surabaya 100.000 Jawa Timur, Maluku, Papua, Papua Barat 3 - 72 Jam
Banyuwangi 43.500 Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
3 - 72 Jam
Makassar 150.000 Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara
3 - 72 Jam
Lembar, NTB 6.000 Nusa Tenggara Barat 3 - 12 Jam
Jumlah 547.500 Sumber: PT. PIHC (2015)
Berdasarkan data PIHC (2015) bahwa penyaluran pupuk dari Lini II (gudang
Pabrik Pupuk) ke Lini III (gudang di kabupaten) memerlukan waktu yang cukup
lama. Lamanya perjalanan pupuk dari Lini II ke Lini III tergantung kapasitas pupuk
yang disalurkan dan kondisi sarana-prasarana dalam penyaluran pupuk. Berdasarkan
Tabel 19, dari total 11 Gudang Pabrik Pupuk di Lini II dengan jumlah provinsi yang
dicover hingga gudang Lini III memerlukan waktu berkisar antara 3-12 jam s/d
hingga 3-72 jam. Beberapa Lini II seperti Lampung, Surabaya dan Makasar (dengan
provinsi yang masing-masing dicakupnya) dengan masing-masing kapasitas 40.000
55
ton, 100.000 ton dan 150.000 ton memerlukan waktu tempuh dengan rentang yang
cukup panjang antara 3-72 jam. Adapun untuk waktu penyaluran yang cukup cepat
terdapat pada Lini II Serang (mencakup Banten, dengan kapasitas 10.000 ton)
dengan waktu penyaluran hingga Lini III antara 3-12 jam dan Lini II Lembar NTB
(meliputi NTB, dengan kapasitas 6.000 ton) dengan waktu penyaluran hingga Lini III
juga antara 3-12 jam.
5.2. Kebijakan Ekspor-Impor Pupuk
Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang bernilai penting dalam
budidaya pertanian. Berbagai kebijakan dalam pendistribusian pupuk telah
dikeluarkan pemerintah selama ini. Kebijakan tersebut mempengaruhi kinerja
ekonomi pupuk yang meliputi produksi,ketersediaan, tingkat harga dan tingkat
penggunaan oleh petani. Kebijakan yang terkait dengan industri pupuk yaitu:
penghapusan perbedaan harga pupuk untuk subsektor tanaman pangan dan untuk
subsektor perkebunan, penghapusan subsidi pupuk secara bertahap setidak-tidaknya
dalam 3 tahun, menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi
distributor pendatang baru, membiarkan terjadinya kompetisi yang sehat antar
produsen pupuk, dan penghapusan kuota ekspor dan pengontrolan impor pupuk.
Sesuai Permendag 15/2013 pada pasal 6 disebutkan bahwa : (1) Apabila
pengadaan pupuk bersubsidi dari produsen dalam negeri tidak mencukupi, maka
dapat dilakukan impor, (2) Impor pupuk bersubsidi yang dimaksud pada ayat
sebelumnya hanya dilakukan oleh produsen importir, (3) Impor pupuk non subsidi
dilakukan oleh importir pupuk terdaftar, (4) Besarnya jumlah dan alokasi pupuk
impor serta penunjukan importir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri setelah mendapat
rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan.
Sementara untuk ekspor pupuk non subsidi telah diatur berdasarkan
Permendag 48/2012 yang khusus mengatur ekspor pupuk urea non subsidi. Adapun
alasan pengaturan adalah mengingat pupuk Urea bersubsidi termasuk barang yang
diawasi ekspornya, tidak boleh diekspor dan hanya diperuntukkan konsumsi di
dalam negeri yaitu : petani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat,
56
peternakan dan perikanan budidaya serta untuk hijauan makanan ternak, dan tidak
ada satu pihak pun yang diperbolehkan mengekspor pupuk Urea bersubsidi. Hal ini
sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) Permendag : 48/M-DAG/PER/7/2012
tentang Ketentuan Ekspor Pupuk Urea Non Subsidi. Dampak lain yang merugikan
petani dalam negeri adalah dapat mengakibatkan terjadinya kelangkaan pupuk di
dalam negeri.
Berdasarkan data FAO (2014) bahwa selain mengekspor Urea dan ZA,
Indonesia juga telah melakukan impor baik Urea maupun ZA. Ekspor Urea dan ZA
antar tahunnya berfluktuasi, namun trendnya selama kurun waktu 2005-2012
meningkat tajam masing-masing sebesar 14,78 dan 37,33 %/tahun. Pada tahun
2012, ekspor Urea paling tinggi dibanding tahun sebelumnya yakni mencapai 1,098
juta ton, dan untuk ZA ekspornya relatif hampir sama dengan tahun sebelumnya
yaitu sekitar 10,05 ribu ton. Sementara impornya, kecenderungannya juga
meningkat tajam sekitar 44,19 %/tahun untuk urea dan 17,52 %/tahun untuk ZA.
Tabel 20. Perkembangan Konsumsi, Ekspor dan Impor Urea serta ZA di Indonesia,
2005-2012.
Konsumsi (ton) Ekspor (ton) Impor (ton)
Tahun Urea ZA Urea ZA Urea ZA
2005 4.842.537 651.986 673.360 1.040 8.937 172.146
2006 4.851.876 684.101 42.146 1.304 1.110 279.413
2007 4.900.693 730.681 692.747 211 1.794 242.223
2008 5.133.220 773.668 190.935 2.122 9.989 438.633
2009 5.411.462 935.828 504.192 2.906 31.552 338.395
2010 5.131.287 731.044 889.264 - 39.072 268.451
2011 5.245.493 962.970 778.319 11.491 53.992 503.392
2012 5.119.133 1.049.898 1.098.418 10.049 145.872 820.346
r (%/thn) 1,14 6,34 14,78 37,33 44,19 17,52
Sumber: FAO.org (2014).
Bila dilihat dari aspek konsumsi pupuk, dapat diketahui bahwa konsumsi
pupuk Urea untuk pertanian secara umum diatas 5 juta ton per tahunnya sejak
tahun 2008. Adapun laju peningkatan konsumsi urea selama kurun waktu 2005-2012
sekitar 1,14 %/tahun. Sementara untuk konsumsi pupuk ZA kecenderungannya
dalam kurun waktu tersebut meningkat pesat sekitar 6,34 5%/tahun, yaitu dari
651,99 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 1,05 juta ton pada tahun 2012.
57
5.3. Posisi RDKK dalam Penyaluran Pupuk Terhadap Petani
Pada penyaluran pupuk, kegiatan perencanaan awal merupakan aktivitas
penting agar proses distribusi pupuk dapat sesuai target/tepat sasaran (petani) dan
tepat waktu. Proses tersebut yaitu dimulai dari penyusunan rencana di tingkat
kelompotani (Poktan) melalui penyusunan RDKK pupuk bersubsidi, lalu secara
berjenjang dihimpun dan dikonsolidasikan di tingkat gabungan kelompoktani
(Gapoktan) oleh penyuluh diketahui kepala desa di tingkat desa, mantri tani di
tingkat kecamatan, dinas lingkup pertanian terkait tingkat kabupaten di kabupaten/
kota, dinas lingkup pertanian tingkat provinsi, dan akhirnya disampaikan ke
Kemenerian Pertanian, dalam hal ini yang bertanggungjawab adalah Direktorat
Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) untuk tingkat nasional.
Selanjutnya hasil dari prores perencanaan yang berjenjang dan panjang ini,
yaitu berupa kebutuhan pupuk bersubsidi untuk masing-masing subsektor tanaman
pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan tambak serta menurut masing-
masing jenjang wilayah pemerintahan. Namun demikian, hasil dari proses
perencanaan tersebut ternyata hanya dimanfaatkan sebagai angka indikatif
kebutuhan pupuk bersubsidi. Jumlah dan alokasi pupuk ke subsektor dan provinsi
dan kabupaten/ kota ternyata lebih ditentukan oleh ketersediaan anggaran dan
besarnya subsidi pupuk per kg menurut jenis pupuk. Sebagai contoh untuk tahun
2015, kebutuhan pupuk berdasarkan usulan daerah yang dihimpun dari usulan
Poktan melalui RDKK pupuk bersubsidi sebesar 13,18 juta ton, namun pemerintah
hanya menyediakan pupuk bersubsidi sebesar 9,55 juta ton, yang berarti terdapat
potensi defisit sebesar 3,63 juta ton atau 27,54%.
Melalui pencermatan angka tersebut, segera dapat dipahami akan terjadi
permasalahan kelangkaan pupuk di lapangan seperti hampir setiap musim tanam
dikeluhkan petani, karena penyediaan pupuk bersubsidi jauh lebih rendah dari
kebutuhannya. Hal ini merupakan permasalahan pertama yang menjadi kelemahan
dalam perencanaan penyediaan pupuk bersubsidi ditinjau dari keseimbangan neraca
kebutuhan dan penyediaan pupuk bersubsidi.
Permasalahan lainnya adalah dalam hal perencanaan yaitu terdapatnya
kelemahan dalam penyusunan RDKK. Pedoman Penyusunan RDKK dalam
Permentan No. 82/2013 dan Permentan No. 130/Permentan/SR.130/11/2014 telah
58
dijabarkan dalam Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi yang
dikeluarkan Direktorat Pupuk dan Pestisida, Ditjen PSP Januari 2015 sudah cukup
rinci.
Pada Pedoman tersebut diatur hal-hal pokok, antara lain, RDKK pupuk
bersubsisi: (i) merupakan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi Poktan selama satu
tahun, (ii) diperuntukan bagi petani yang mengusahakan lahan dengan total luasan
maksimal dua hektare setiap musim tanam per keluarga, (iii) hanya diberikan
kepada petani yang tergabung dalam Poktan, (iv) untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan pupuk, harus disusun sesuai kebutuhan riil petani, dan (v) merupakan
hasil musyawarah dari Poktan. Hasil rekapitulasi digunakan sebagai: (a) dasar
usulan kebutuhan pupuk bersubsidi tingkpat nasional tahun berikutnya dan (b) alat
pesanan pupuk bersubsidi kepada penyalur/pengecer resmi.
Beradasarkan pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat
terkait di lokasi kajian Provinsi Jawa Barat dan Lampung, dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan dalam penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai
berikut:
1) Tidak semua petani menjadi anggota kelompk tani, sehingga kebutuhan
para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan
pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka
membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan
kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.
2) Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun
berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di dalam
Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian komoditas
yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini menyebabkan petani
kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk persemaian dan untuk
usahatani tanaman sela yang kebutuhan pupuknya tidak dimasukkan
dalam RDKK karena petani tidak merencanakan menanam tanaman
tersebut satu tahun sebelumnya (Misalnya petani tergerak menanam
karena melihat ada peluang pasar dalam jangka pendek).
3) Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk
bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti
59
pemilik, pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap
yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Dalam Permentan No.
82/2013 tidak ada pengaturan tentang ini, hanya disebutkan "diberikan
kepada petani dengan luas lahan maksimal...", dalam Permentan No.
130/2014 hanya dirumuskan "diperuntukan bagi petani yang
mengusahakan lahan maksimal....", dan dalam Juklak Penyusunan RDKK
2014 sama sekali tidak mencantumkan pengaturan mengenai hal ini.
Karena tidak ada pengaturan tersebut, akibatnya di lapangan ditemukan
kasus penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang
terdaftar dalam RDKK di Poktannya hanya anggota Poktan yang berstatus
pemilik lahan.
4) Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan
maksimal dua hektar, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur
lebih lanjut mengenai satus kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa
lahan lebih dari dua hektar yang dimiliki seorang petani dapat memperoleh
alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa penggarap,
dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektar.
5) Sebagian RDKK yang disusun di tingkat Poktan tidak akurat, baik secara
prosedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK
yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari
kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan
berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus
satu tahun.
6) Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi
dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.
Perbaikan menyusunan RDKK Pupuk Bersubsidi dan penyediaan pupuk
bersubsidi sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi salah
satu kunci utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi
yang selama ini selalu terjadi.
Pada lokasi kajian di Jawa Barat dan Lampung, seringkali terdapat petani yang
tidak tercantum pada RDKK. Padahal petani tersebut adalah petani pangan berskala
60
kecil yang memerlukan pupuk bersubsidi. Disisi lain terdapat petani petani luas, yang
memperoleh jatah pupuk bersubsidi yang besar. Karena untuk memperoleh pupuk
bersubsidi diluar yang namanya tidak tercantum pada RDKK tidak diperbolehkan,
maka adakalanya petani kecil harus berkongsi dengan petani lainnya untuk
memperoleh pupuk bersubsidi.
Selain itu, kelemahan distribusi dengan mekanisme RDKK juga ditemukan
bahwa kios yang ditunjuk dalam penjualan pupuknya seringkali tidak mencatat atau
menyesuaikan dengan nama yang tercantum. Kios adakalanya lebih mengutamakan
bisnisnya, dimana pupuk cepat terserap oleh petani. Sehingga peluang moral hazard
dapat memungkinkan terjadi.
5.4. Perkembangan HPP Gabah, HET Pupuk Bersubsidi dan Harga Paritas
Pupuk Internasional
Penetapan harga dasar gabah dapat dianalisis kaitannya dengan harga eceran
pupuk atau sebaliknya, yang mengacu pada tujuan untuk menjamin adanya
keuntungan yang layak dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan anggaran
belanja pemerintah untuk subsidi. Pergerakan harga gabah/beras yang terkendali
disertai kebijakan tarif impor beras merupakan bentuk keberpihakan pemerintah
terhadap petani domestik dari tekanan harga beras impor, serta kepedulian
pemerintah bagi sebagian besar masyarakat konsumen yang memiliki daya beli
sangat terbatas.
Demikian pula kebijakan distribusi beras bersubsidi bagi rakyat miskin (Raskin)
merupakan salah satu bentuk keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat
berpenghasilan rendah, termasuk petani berlahan sempit dan buruh tani. Kebijakan
stabilisasi harga melalui operasi pasar khusus (OPK) bila harga beras meningkat
tajam secara implisit menyebabkan akselerasi harganya relatif kurang setara dengan
pergerakan harga-harga input produksinya, seperti pupuk dan pestisida.
Bila dilihat perkembangan HPP gabah ternyata perkembangannya relatif
lambat, yaitu pada tahun 2007 seharga Rp 2.000/kg dan hampir sepuluh tahun
berikutnya naik menjadi Rp 3.700/Kg atau meningkat rata-rata sekitar 7,39
%/tahun. Peningkatan HPP yang rendah, tampaknya agar mengimbangi lambatnya
kenaikan HET pupuk bersubsidi yaitu untuk pupuk urea dari tahun 2007 seharga Rp
61
1.200/Kg menjadi Rp 1.800 (meningkat 5,92 %/tahun). Hal yang sama untuk
kenaikan HET pupuk TSP sebesar 5,14 %/tahun yaitu dari Rp 1.550/Kg pada tahun
2007 menjadi Rp 2.200/Kg pada tahun 2015, serta pada pupuk ZA kenaikan HETnya
sebesar 4,09 %/tahun yaitu dari Rp 1.050/Kg pada tahun 2007 menjadi Rp 1.400/Kg
pada tahun 2015.
Bila dipandang dari sisi rasio harga patokan pembelian pemerintah (HPP)
gabah terhadap HET pupuk bersubsidi, yaitu: (1) Rasio HPP gabah terhadap urea
masih sedikit meningkat (1,30 %/tahun) selama kurun waktu 2007-2015, (2) Pada
periode yang sama, rasio HPP gabah terhadap pupuk TSP/SP peningkatannya relatif
lebih tinggi dibandingkan terhadap rasio HPP gabah dengan HET urea, dan rasio HPP
gabah terhadap pupuk ZA peningkatannya relatif lebih tinggi dibandingkan terhadap
rasio HPP gabah dengan HET TSP/SP. Adapun Gambaran lengkap perkembangan
harga dan rasionya disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 8.
Tabel 21. Perkembangan HPP gabah, HET Pupuk dan rasionya di Indonesia, 2007-2015.
Tahun HPP gabah HET (Rp/Kg) Rasio
(Rp/kg) Urea TSP ZA HPP thd Urea
HPP thd TSP/SP
HPP thd ZA
2007 2.000 1.200 1.550 1.050 1,67 1,29 1,90
2008 2.200 1.200 1.550 1.050 1,83 1,42 2,10
2009 2.400 1.200 1.550 1.050 2,00 1,55 2,29
2010 2.640 1.600 2.000 1.400 1,65 1,32 1,89
2011 2.640 1.800 2.200 1.400 1,47 1,20 1,89
2012 3.300 1.800 2.200 1.400 1,83 1,50 2,36
2013 3.300 1.800 2.200 1.400 1,83 1,50 2,36
2014 3.300 1.800 2.200 1.400 1,83 1,50 2,36
2015 3.700 1.800 2.200 1.400 2,06 1,68 2,64
r(%/tahun) 7,39 5,92 5,14 4,09 1,30 2,19 3,30
Sumber: BPS (2015), dan Kementan (2015)
62
Gambar 8. Perkembangan Rasio HPP Gabah terhadap HET Pupuk di Indonesia, 2008-2015.
5.5. Mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Subsidi
Karena pupuk bersubsidi merupakan komoditas yang berada di dalam
pengawasan, maka pemerintah telah menyiapkan berbagai mekanisme pengawasan
untuk menekan penyimpangan, baik dari sisi penganggaran maupun pelaksanaan di
lapangan. Mekanisme pengawasan diperlihatkan pada Gambar 9. Pada sisi
pelaksanaan di lapangan, dalam rangka pengawasan distribusi pupuk, produsen
wajib melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap penyediaan dan
penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini-I sampai dengan Lini-IV sebagaimana diatur
dalam Permendag tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk
Sektor Pertanian.
Sementara itu, pengawasan terhadap penyaluran, penggunaan dan harga pupuk
bersubsidi dilakukan oleh KP3. Komisi pengawasan ini adalah wadah koordinasi
instansi lintas sektor yang dibentuk dengan Keputusan gubernur/bupati/walikota
untuk melakukan pengawasan terhadap penyaluran, penggunan dan harga pupuk
bersubsidi di wilayah provinsi/kabupaten/kota. KP3 kabupaten/kota dalam
melaksanakan tugasnya dibantu oleh penyuluh pertanian. Mekanisme penyampaian
laporan pengawasan, sebagaimana diatur dalam Permentan Nomor 06 Tahun 2011,
adalah sebagai berikut: (1) KP3 di kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
63
pemantauan dan pengawasan pupuk bersubsidi di wilayah kerjanya kepada
bupati/walikota; (2) Bupati/walikota menyampaikan laporan hasil pemantauan dan
pengawasan pupuk bersubsidi kepada gubernur; (3) KP3 di provinsi wajib
menyampaikan laporan hasil pemantauan dan pengawasan pupuk bersubsidi kepada
gubernur; dan (4) Gubernur menyampaikan laporan hasil pemantauan dan
pengawasan pupuk bersubsidi kepada Menteri Pertanian, melalui Direktur Jenderal
PSP.
Gambar 9. Skema Mekanisme Pengawasan Penyaluran Pupuk dan Pestisida di Indonesia, 2011. (Sumber: Direktorat Sarana Produksi, 2011)
5.6 Perdagangan Pupuk non Subsidi di Pasar Domestik
Lebih lanjut untuk perdagangan pasar pupuk komersial baik pupuk Urea, NPK
dan SP-36 terutama pada sektor perkebunan dan industri secara umum mengalami
64
peningkatan signifikan (Tabel 22). Pada pupuk urea, harga jual pupuk urea pada
tahun 2010 disektor perkebunan sebesar Rp 2.630/kg dan di industri sebesar Rp
2.606/kg. Harga dikedua sektor tersebut terpaut Rp 1.000/kg lebih tinggi
dibandingkan dengan harga urea subsidi yang hanya sebesar Rp 1.600/Kg.
Selanjutnya Pada tahun 2014, harga jual pupuk urea disektor perkebunan sebesar
Rp 3.695/kg dan di industri sebesar Rp 3.664/kg. Harga dikedua sektor tersebut
bahkan terpaut sekitar Rp 2.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga urea
subsidi yang hanya sebesar Rp 1.800/Kg.
Selanjutnya pada perdagangan komersial pupuk SP-36, dimana harga jual
pupuk SP-36 pada tahun 2010 disektor perkebunan sebesar Rp 3.186/kg dan di
industri sebesar Rp 3.136/kg. Harga dikedua sektor tersebut juga terpaut Rp
1.000/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga SP-36 subsidi yang hanya sebesar
Rp 2.000/Kg. Selanjutnya Pada tahun 2014, harga jual pupuk SP-36 disektor
perkebunan sebesar Rp 4.062/kg dan di industri sebesar Rp 3.818/kg. Harga
dikedua sektor tersebut bahkan terpaut sekitar Rp 2.000/kg lebih tinggi
dibandingkan dengan harga SP-36 subsidi yang mencapai Rp 2.800/Kg. Secara
lengkap untuk pupuk NPK dan gambaran rinciannya disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Harga Jual di Pasar Komersial Pupuk Urea, NPK, dan SP-36 Produksi PT. PIHC
berdasarkan Subsektor Ekonomi, Pasar di Indonesia 2011-2014 (Rp/Kg)
Jenis
Pupuk Uraian 2010 2011 2012 2013 2014
Rata-Rata
Pertumbuhan (%)
Urea
Harga Subsidi 1.600 1.600 1.800 1.800 1.800 3,13
PSO 1.186 1.341 1.486 1.482 1.465 5,62
Perkebunan 2.630 3.697 4.174 4.041 3.695 10,43
Industri 2.606 3.702 4.136 3.607 3.664 10,64
Ekspor 2.814 4.065 4.160 3.700 3.847 9,93
NPK
Harga Subsidi 2.300 2.300 2.300 2.300 2.300 -
PSO 1.787 1.935 1.923 1.889 1.902 1,65
Perkebunan 4.117 4.282 4.656 4.255 4.120 0,24
Industri - - - - - -
Ekspor 2.828 3.853 4.154 3.625 3.762 8,78
SP-36
Harga Subsidi 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 -
PSO 1.563 1.667 1.655 1.621 1.626 1,05
Perkebunan 3.186 4.539 4.000 1.806 4.062 25,16
Industri 3.136 3.549 3,800 2.093 3.818 -12,31
Ekspor - - - - - - Sumber: PT. PIHC (2015)
65
VI. ANALISIS KEBIJAKAN PERPUPUKAN NASIONAL
Pupuk dan pemupukan menupakan salah satu unsur penting dalam
pembangunan pertanian, khususnya yang berkaitan dengan upaya peningkatan
produksi pangan. Namun demikian, yang sering muncul ke permukaan dan menjadi
topik debat publik serta seringkali dikaitkan dengan isu politik adalah kebijakan
subsidi pupuk yang anggarannya meningkat dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2015
subsidi pupuk dianggarkan sebesar lebih dari Rp 36 triliun rupiah (termasuk untuk
membayar tunggakan tahun-tahun sebelumnya) dengan sasaran penyaluran volume
pupuk bersubsidi sebesar 9,55 juta ton. Isu sosial ekonomi lainnya yang juga
akhirnya menjadi isu politik adalah terkait dengan ‘kelangkaan pupuk pada puncak
musim tanam’ yang sering diwartakan media masa.
Selain kedua isu di atas, banyak permasalahan terkait pupuk dan pemupukan,
namun dalam Anjak ini hanya akan dibahas tiga hal terkait dengan isu yang
disebutkan di atas, yaitu: (1) perencanaan kebutuhan pupuk bersubdisi, (2) sistem
distribusi pupuk bersubsidi, dan (3) mekanisme penyaluran anggraran pembiayaan
subsidi pupuk.
6.1. Perencanaan Kebutuhan Pupuk Bersubsidi.
Seperti dibahas dalam Bab III, perencanaan kebutuhan pupuk diatur dalam
Peraruran Menteri Pertanian. Untuk saat ini (2015) pengaturan mengenai hal
tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
82/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani dan
Gabungan Kelompoktani (Permentan No. 82/2013), khususnya Lampiran II yang
mengatur tentang Pedoman Penyusunan Rencana Definitif Kelompktani dan
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompktani (RDK dan RDKK).
Proses perencanaan tersebut diatur dengan rinci mulai dari penyusunan di
tingkat kelompotani (Poktan) melalui penyusunan RDKK pupuk bersubsidi, lalu
secara berjenjang dihimpun dan dikonsolidasikan di tingkat gabungan kelompoktani
(Gapoktan) oleh penyuluh diketahui kepala desa di tingkat desa, mantri tani di
tingkat kecamatan, dinas lingkup pertanian terkait tingkat kabupaten di kabupaten/
kota, dinas lingkup pertanian tingkat provinsi di provinsi, dan akhirnya disampaikan
66
ke Kemenerian Pertanian, dalam hal ini yang bertanggungjawab adalah Direktorat
Jenderal PSP untuk tingkat nasional.
Hasil dari prores perencanaan yang berjenjang dan panjang ini dalam berupa
kebutuhan pupuk bersubsidi untuk masing-masing subsektor tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, dan perikanan tambak serta menurut masing-masing
jenjang wilayah pemerintahan. Namun demikian, hasil dari proses perencanaan
tersebut ternyata hanya dimanfaatkan sebagai angka indikatif kebutuhan pupuk
bersubsidi. Jumlah dan alokasi pupuk ke subsektor dan provinsi serta kabupaten/
kota ternyata lebih ditentukan oleh ketersediaan anggaran dan besarnya subsidi
pupuk per kg menurut jenis pupuk. Sebagai contoh untuk tahun 2015, kebutuhan
pupuk berdasarkan usulan daerah yang dihimpun dari usulan Poktan melalui RDKK
pupuk bersubsidi sebesar 13,18 juta ton, namun pemerintah hanya menyediakan
pupuk bersubsidi sebesar 9,55 juta ton, yang berarti terdapat potensi defisit sebesar
3,63 juta ton atau 27,54% (Gambar 2).
Dengan mempelajari angka ini saja, segera dapat dipahami bila terjadi
permasalahan kelangkaan pupuk di lapangan seperti hampir setiap musim tanam
dikeluhkan petani, karena penyediaan pupuk bersubsidi jauh lebih rendah dari
kebutuhannya. Hal ini merupakan permasalahan utama yang menjadi kelemahan
dalam perencanaan penyediaan pupuk bersubsidi ditinjau dari keseimbangan neraca
kebutuhan dan penyediaan pupuk bersubsidi.
Permasalahan kedua dalam aspek perencanaan adalah adanya kelemahan
dalam penyusunan RDKK. Pedoman Penyusunan RDKK dalam Permentan No.
82/2013 dan Permentan No. 130/Permentan/SR.130/11/2014 tentang Kebutuhan
dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun
Anggaran 2015 (Permentan No. 130/2014), telah dijabarkan dalam bentuk Petunjuk
Pelaksanaan Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi yang dikeluarkan Direktorat Pupuk
dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Januari 2015 sudah cukup
rinci.
Dalam Pedoman tersebut diatur hal-hal pokok, antara lain, RDKK pupuk
bersubsisi: (i) merupakan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi poktan selama satu
tahun, (ii) diperuntukan bagi petani yang mengusahakan lahan dengan total luasan
maksimal dua hektare setiap musim tanam per keluarga, (iii) hanya diberikan
67
kepada petani yang tergabung dalam poktan, (iv) untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan pupuk, harus disusun sesuai kebutuhan riil petani, dan (v) merupakan
hasil musyawarah dari poktan. Hasil rekapitulasi digunakan sebagai: (a) dasar
usulan kebutuhan pupuk bersubsidi tingkat nasional tahun berikutnya dan (b) alat
pesanan pupuk bersubsidi kepada penyalur/pengecer resmi.
Dari pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat terkait
(Jawa Barat dan Lampung), dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam
penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai berikut:
i. Tidak semua petani menjadi anggota kelompok tani, sehingga kebutuhan
para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan
pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka
membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan
kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.
ii. Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun
berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di
dalam Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian
komoditas prioritas yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini
menyebabkan petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk
persemaian ataupun untuk usahatani tanaman sela yang kebutuhan
pupuknya tidak dimasukkan dalam RDKK karena petani tidak
merencanakan menanam tanaman tersebut satu tahun sebelumnya
misalnya petani menanam tanaman tertentu biasanya tanaman semusim,
karena melihat ada peluang pasar dalam jangka pendek.
iii. Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk
bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti
pemilik, pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap
yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Dalam Permentan No.
82/2013 tidak ada pengaturan tentang ini, hanya disebutkan "diberikan
kepada petani dengan luas lahan maksimal...", dalam Permentan No.
130/2014 hanya dirumuskan "diperuntukan bagi petani yang
mengusahakan lahan maksimal....", dan dalam Juklak Penyusunan RDKK
2014 sama sekali tidak mencantumkan pengaturan mengenai hal ini.
68
Karena tidak ada pengaturan tersebut, akibatnya di lapangan ditemukan
kasus penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang
terdaftar dalam RDKK di poktannya hanya anggota poktan yang berstatus
pemilik lahan.
iv. Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan
maksimal dua hektare, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur
lebih lanjut mengenai status kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa
lahan lebih dari dua hektare yang dimiliki seorang petani dapat
memperoleh alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa
penggarap, dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektare.
v. Sebagian RDKK yang disusun di tingkat poktan tidak akurat, baik secara
procedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK
yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari
kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan
berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus
satu tahun.
vi. Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi
dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.
Perbaikan penyusunan RDKK pupuk bersubsidi dan penyediaan pupuk bersubsidi
sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi salah satu kunci
utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk bersubsidi yang
selama ini selalu terjadi.
6.2. Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi
Sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini mengacu pada
Peraturan Menteri Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan
Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian (Permendag No. 15/2013) dan
sebagian dalam Permentan No.82/2013 dan No. 130/2014. Permendag ini telah
mengatur cukup rinci sistem distribusi pupuk bermula dari pengadaan dan
penyaluran (Bab II), tugas dan tanggungjawab para pihak yang terkait dengan
distribusi mulai dari produsen pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer,
69
dan petani/kelompok tani. Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan
pelaporan. Bab IV laporan ini membahas aspek distribusi pupuk bersubsidi secara
seksama. Sementara itu kedua Permentan tersebut di atas mengatur tentang harga
eceran tertinggi (HET) dan penyaluran pupuk bersubsidi dari lini IV sampai ke
petani.
Bila pengaturan dalam Permendag dan Permentan tersebut dijalankan dengan
seksama, semestinya pupuk dapat dampai ke petani sesuai dengan prinsip enam
tepat. Berdasarkan Permendag ini definisi prinsip enam tepat adalah prinsip
pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang meliputi tepat jenis, jumlah,
harga, tempat, waktu, dan mutu. Namun demikian masih cukup sering dilaporkan
terjadinya keterlambatan sampainya pupuk di tempat petani ataupun harga yang
dibeli petani lebih besar dari HET, terutama pada puncak musim tanam, ataupun
moral hazard berupa perembesan ke sektor non pangan dan non subsidi. Kejadian
ini dapat disebabkan antara lain oleh:
a. persoalan teknis pada saat perencanaan, yaitu penyediaan pupuk bersubsidi
tingkat nasional yang dituangkan dalam Permentan volumenya jauh lebih
rendah dari kebutuhan yang diusulkan oleh pemerintah daerah yang berasal
dari rekapitulasi RDKK;
b. moral hazard pada berbagai tingkatan rantai pasok pupuk bersubsidi, karena
adanya niat tidak amanah dan dirangsang oleh adanya spread (perbedaan)
harga yang cukup besar (lebih dari 50%) antara harga pupuk bersubsidi dan
harga pupuk non subsidi yang diperjual-belikan di pasar;
c. fungsi pengawasan kurang berfungsi dengan baik, banyak Komisi Pengawas
Pupuk dan Pestisida (KP3) provinsi dan kabupaten/kota yang tidak berfungsi
optimum karena kurangnya anggaran untuk melakukan aktivitas pengawasan,
selain itu tim adhock seperti ini yang anggotanya terdiri dari berbagai instansi
seringkali tidak bekerja efektif; dan
d. persoalan teknis karena cuaca buruk, prasarana distribusi rusak, lokasi lahan
pertanian jaraknya jauh, dan petani membeli dalam jumlah kurang dari satu
karung pupuk.
70
Kebijakan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang diatur oleh dua
kementerian seperti tersebut di atas, diantaranya adalah
1. Penetapan volume penyediaan pupuk bersubsidi dan harga eceran tertinggi
(Diatur Menteri Pertanian).
Menteri Pertanian menetapkan pagu volume penyediaan dan harga eceran
tertinggi (HET) pupuk bersubsidi. Dalam Permentan No. 82/2013
penyediaan pupuk dirinci menurut jenis, jumlah, subsektor penerima subsidi
(tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan), provinsi dan
kabupaten/kota, dan sebaran bulanan. Harga pupuk bersubsidi per kg yang
dibayarkan petani di pengecer resmi: Pupuk NPK = Rp. 2.300, pupuk SP-36 =
Rp.2.300, pupuk Urea = Rp.1.800, pupuk ZA = Rp.1.400, dan pupuk organik
Rp.500.
2. Pengaturan usulan, alokasi distribusi pupuk (Diatur Menteri Pertanian dan Menteri
Perdagangan).
a. RDKK disusun oleh kelompoktani berdasarkan musyawarah dan direkapitulasi
secara berjenjang ke tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi dan sampai tingkat nasional di bawah koordinasi Direktorat Jenderal
PSP, Kementerian Pertanian.
b. Menteri Pertanian menetapkan alokasi pupuk bersubsidi menurut jenis pupuk,
subsektor, dan provinsi.
c. Menteri Perdagangan menugaskan PT PIHC melakasanakan pengadaan dan
penyaluran pupuk bersubsidi yang diperuntukan bagi kelompok tani dan/atau
petani.
d. Gubernur dan bupati/walikota menetapkan peraturan pelaksanaan penyaluran
pupuk bersubsidi untuk wilayah wewenangnya.
e. PIHC dan anak-anak perusahaannya (produsen pupuk) bertanggungjawab
atas pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang diperuntukan bagi
kelompoktani dan/atau petani secara nasional dan masing-masing wilayah
tanggungjawabnya dari Lini I sampai Lini IV.
71
f. Distributor bertanggungjawab atas penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah
tanggungjawabnya dari Lini III sampai Lini IV.
g. Pengecer bertanggungjawab atas kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi ke
kelompoktani/petani di lokasi kios pengecer berdasarkan RDKK.
Secara skematis proses usulan, alokasi, dan distribusi ini disajikan dalam Gambar 5.
3. Pemantauan dan Pengawasan (Diatur Menteri Perdagangan).
a. PIHC dan anak-anak perusahaannya (produsen pupuk) melakukan
pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk
bersubsidi di tingkat nasional dan wilayah tanggungjawabnya; [serta
melakukan pengawalan terhadap penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini IV ke
petani dan/atau Poktan (tambahan dari Menteri Pertanian)];
b. Tim Pengawas Pupuk Bersubsidi Tingkat Pusat melakukan pemantauan dan
pengawasan pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari
Lini I sampai Lini IV;
c. Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) provinsi ditetapkan oleh
Gubernur bertugas melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan
pengadaan, penyaluran dan penggunaan pupuk bersubsidi dari Lini I sampai
Lini IV di wilayah kerjanya;
d. KP3 kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota bertugas melakukan
pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penyaluran dan penggunaan [dan
harga (tambahan dari Menteri Pertanian)] pupuk bersubsidi di wilayah
kerjanya; [KP3 kabupaten/kota dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh
penyuluh (tambahan dari Menteri Pertanian)];
e. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dapat melakukan pengawasan
langsung atas pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di
wilayah kerjanya;
f. Kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota bidang perdagangan melakukan
pengawasan pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan ketersediaan di
wilayah kerjanya.
Secara skematis mekanisme pemantauan dan pengawasan disajikan dalam
Gambar 9.
72
Untuk perbandingan dan guna mengambil pelajaran dari sistem yang digunakan,
berikut ini disampaikan pengaturan pengadaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi
kelompok masyarakat berpendapatan rendah (Raskin). Kebijakan pengelolaan
Raskin dituangkan dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat No. 54 Tahun 2014 tentang Pedoman Umum Raskin Tahun 2015. Beberapa
butir penting dalam pengaturan tersebut antara lain:
1.Penetapan pagu penerima, jumlah beras, dan harga beli Raskin.
a. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menetapkan pagu
penerima Raskin nasional dan provinsi. Pada tahun 2015 kegiatan Raskin
nasional adalah: sasaran penerima sebanyak 15.530.896 rumah tangga
miskin dan rentan miskin, masing-masing keluarga mendapat 15 kg/ bulan
atau 180 kg/tahun, harga tebus raksin/kg Rp.1600 di titik distribusi.
b. Gubernur menetapkan pagu raskin kabupaten/kota. Pemerintah provinsi
dapat membuat kebijakan unuk menambah pagu raskin asalkan dengan
didanai APBD.
c. Bupati/walikota menetapkan pagu Raskin kecamatan dan desa/kelurahan.
Pemerintah kabupaten/kota dapat membuat kebijakan untuk menambah pagu
raskin dengan didanai APBD.
2.Tanggungjawab distribusi Raskin.
a. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bertanggungjawab atas
pelaksanaan Program Raskin Nasional dan membentuk Tim Koordinasi
Raskin Pusat.
b. Gubernur, bupati/walikota, dan camat bertanggungjawab atas
pelaksanaan program Raskin di wilayahnya dan membentuk Tim
Koordinasi Raskin provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan
c. Kepala desa/lurah bertanggungjawab atas pelaksanaan program Raskin di
wilayahnya dan membentuk Pelaksana Distribusi Raskin di wilayahnya.
d. Perum BULOG mempunyai tugas dan tanggungjawab melaksanakan
penyaluran Raskin sampai titik distribusi (TD). Pengertian TD adalah
73
fasilitas publik sebagai tempat penyerahan Raskin kepada Pelaksana
Distribusi Raskin (PDR) di desa/kelurahan.
e. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota bertanggungjawab atas
penyaluran raskin dari TD ke titik bagi (TB). Pengertian TB adalah fasilitas
publik di desa/kelurahan yang ditetapkan sebagai tempat penyerahan
Raskin dari PDR di desa kepada rumahtangga penerima.
3.Pengawasan.
Pengawasan pelaksanaan penyaluran Raskin dilaksanakan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembayaran (BPKP), Inspektorat K/L terkait dan
daerah.
Dibuat Unit Pengaduan di bawah koordinasi Tim Raskin Pusat yang
dikoordinasikan Menteri Dalam Negeri.
Kedua pengaturan atau mekanisme pendistribusian bantuan pemerintah kepada
masyarakat seperti diringkaskan di atas (pupuk bersubsidi dan beras bersubsidi),
dapat dibandingkan beberapa hal yang esensial sebagai berikut.
1. Jumlah pupuk bersubsidi dan Raskin tingkat nasional sama ditentukan oleh
pemerintah pusat, dalam hal ini menteri yang berwewenang di bidangnya.
2. PIHC betanggungjawab atas penyaluran pupuk bersubdisi dari Lini I (gudang
PIHC) sampai Lini II dan III (gudang distributor), dan distributor bersama
PIHC bertanggungjawab penuh atas penyaluran dari dari Lini III ke Lini IV
(kios di desa atau kecamatan); sementara itu penyaluran Raskin dari gudang
Bulog sampai Titik Distribusi (di desa) menjadi tanggungjawab penuh
BULOG..
3. Pengaturan penyaluran barang bersubsidi dari tingkat kecamatan dan/atau
desa ke target penerima (petani atau rakyat miskin) berbeda. PIHC ditugasi
juga melakukan pengawalan terhadap penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini
IV ke petani (penugasan dari Kementerian Pertanian), sementara BULOG
tidak dilibatkan secara langsung dalam penyaluran Raskin dari TD ke TB dan
selanjutnya ke keluarga sasaran penerima Raskin. Tanggungjawab tersebut
berada di Pemda, dalam hal ini kepala desa/lurah.
74
4. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sama-sama dilibatkan dalam
perencanaan alokasi kebutuhan pupuk dan Raskin. Namun demikian, untuk
kasus pupuk bersubsidi pemda hanya berperan dalam pengawasan melalui
KP3., sedangkan unutk penyaluran Raskin, pemda diberi tanggungjawab
besar, utamanya dalam penyampaian Raskin sampai sasaran keluarga
penerima. Kepala pemerintahan terbawah kepala desa/lurah membentuk Tim
Pelaksana Distribusi Raskin yang bertugas menyalurkan Raskin ke sasaran
penerima tersebut.
Berdasarkan pembandingan tersebut dapat dirumuskan beberapa alternatif
untuk sistem distribusi pupuk bersubsidi dalam upaya meningkatkan efisiensi
penyalurannya. Dua isu yang dapat dipertimbangkan untuk menyempurnakan sistem
distribusi pupuk bersubsidi berdasarkan lesson learned dari distribusi Raskin adalah:
(1) BUMN yang ditugaskan diberi mandat untuk bertanggungjawab penuh (tidak
dibagi dengan penyalur lain) atas penyaluran barang pemerintah bersubsidi
dimaksud dari gudang miliknya sampai di tingkat desa, dan (2) Pemda diberi
tanggungjawab untuk menyalurkan barang pemerintah bersubsidi dimaksud dari
desa ke sasaran penerima, petani atau rumahtangga.
6.3. Mekanisme penyaluran subsidi pupuk
Pemerintah menganggarkan subsidi bagi petani kecil (luas lahan sama atau
lebih kecil dari 2,0 hektare) agar dapat membeli pupuk untuk usahataninya dengan
harga yang terjangkau. Tujuan kebijakan ini adalah untuk memberikan insentif
berproduksi bagi petani dan meningkatkan kemampuan finansial petani membeli
sarana produksi yang esensial dengan jumlah yang cukup sesuai rekomenasi.
Pemupukan yang berimbang, tepat waktu, dan tepat dosis diyakini dapat
meningkatkan produksi tanaman/hektare sesuai dengan atau mendekati potensinya.
Mekanisme penetapan besarnya subsidi untuk pupuk setiap tahun dimulai
ketika Kementerian Pertanian menetapkan sasaran produksi, perkiraan rencana luas
tanam beberapa komoditas pangan penting, sasaran luas tanam dan hasil/ha
beberapa komoditas pangan tersebut; perkiraan harga pokok produksi (HPP) pupuk
bersubsidi yaitu Urea, NPK, SP-36, ZA, dan organik; dan harga eceran tertinggi
75
(HET) untuk masing-masing jenis pupuk bersubsidi. Dari ketiga variabel tersebut
dapat dihitung perkiraan besaran anggaran yang perlu dialokasikan untuk subdidi
pupuk.
Perkiraan kebutuhan anggaran subsidi untuk pupuk usulan Kementerian
Pertanian dibahas dalam rapat tingkat menteri dipimpin Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian yang dihadiri para menteri terkait (utamanya Menteri-Menteri
Pertanian, Keuangan, Perindustrian, Perdagangan, BUMN). Menteri Keuangan akan
mengkaji secara seksama angka usulan besaran subsidi ini. Setelah disepakati,
dengan atau tanpa perubahan dari angka usulan Kementerian Pertanian, besaran
angka kesepakatan tersebut menjadi rancangan anggaran pemerintah yang
selanjutnya akan dibahas, disesuaikan, dan disetujui dalam Rapat Kerja Komisi IV
(bidang pertanian) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Menteri Pertanian, di
Komisi VI DPR dan di Badan Anggaran DPR dengan menteri-menteri terkait. Setelah
menjadi bagian dari APBN, pelaksanaan pengelolaanya dilakukan oleh unit kerja di
Kementerian Pertanian, yaitu di Ditjen PSP . Besaran anggaran subsidi untuk pupuk
ini selalu meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan sasaran
produksi serta luas tanam, perubahan HPP dan HET, seperti telah disajikan dalam
Bab IV.
Subsidi pupuk dengan sasaran penerima petani kecil dimaksudkan terutama
untuk meningkatkan produksi pangan yang kebutuhannya setiap tahun terus
meningkat dalam rangka mencapai ketahanan pangan berkelanjutan. Sejak
diimplementasikannya kebijakan ini, pelaksanaan penyaluran subsidi pupuk tidak
langsung diberikan ke petani dalam bentuk uang, namun dalam bentuk ketersediaan
pupuk yang cukup di kios pengecer resmi di tingkat desa/kecamatan dengan harga
yang lebih rendah dari harga keekonomian ataupun harga pasar.
Anggaran subsidi pupuk disalurkan ke BUMN produsen pupuk yang ditunjuk
melaksanakan PSO, yaitu PIHC beserta anak-anak perusahaannya. Dalam satu tahun
dilakukan beberapa kali pembayaran kepada BUMN oleh pengelola APBN subsidi
pupuk di Ditjen PSP sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Jumlah yang dibayarkan
tiap term bergantung pada jumlah pupuk tersalur sampai kepada petani berdasarkan
laporan dan hasil verifikasi dikalikan dengan perkiraan besaran subsidi untuk setiap
kg pupuk. Perkiraan besaran subsidi pupuk/kg dihitung dari selisih perkiraan HPP
76
(diambil dari HPP audited Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dua tahun sebelumnya)
dikurangi HET.
Diawal tahun berikutnya, BPK mengaudit laporan dari PIHC atas jumlah
penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani dan besaran HPP untuk masing-masing
pupuk dari setiap anak perusahaan PIHC. Hasil audit BPK yang telah disepakati
BUMN pupuk akan menjadi acuan bagi pemerintah mengenai besarnya subsidi
pupuk yang harus dikeluarkan pada tahun pemeriksaan. Dari hasil audit ini akan
diperoleh gambaran situasi pembayaran dari pemerintah ke PIHC berupa kurang
bayar atau lebih bayar, tergantung dari besaran alokasi anggaran tahun tersebut
dan realisasinya bersadarkan audit BPK. Selama 10 tahun terakhir kejadian kurang
bayar lebih sering terjadi.
Diskusi publik yang sering muncul terkait pemberian subsidi pupuk kepada
petani melalui BUMN menyatakan kebijakan ini dinilai tidak tepat, antara lain karena
pupuk bersubsidi sebagian tidak sampai ke petani akibat moral hazard pada
beberapa simpul dalam proses distribusi. Hilal (2015) menginventarisasi berbagai
penyelewengan pupuk berdasarkan berita di media masa dan online terjadi pada
semester pertama 2015 di Rokan Hulu dan Idragiri Hilir, Riau; Bayuwangi dan
Jember Jawa Timur; Bengalon, Kalimantan Timur; dan Bantul, Yogyakarta. Menteri
Keuangan dan Ketua Komisi IV DPR-RI juga menyampaikan perhatiannya atas
permasalahan adanya ketidak-tepatan penerima atau pemanfaat subsidi pupuk ini.
(Jefriando, 2015 dan Republika co.id, 2015).
Berdasarkan kajian-kajian tersebut dan juga analisis Tim Anjak di lapangan,
pada umumnya ketidak-tepatan penerima pupuk bersubsidi terjadi dalam bentuk
seperti: (i) pupuk merembes ke sektor perkebunan besar (ini diakibatkan karena
diparitas harga subsidi dan harga pasar yang sangat besar), (ii) pupuk
diselundupkan ke luar negeri (pada kondisi harga di luar negeri lebih mahal), (iii)
pupuk ditimbun oleh seseorang atau badan usaha, (iv) RDKK pupuk bersubsidi tidak
akurat, termasuk adanya kelompok tani atau badan usaha fiktif, (v) pupuk tidak
tersedia cukup pada saat petani memerlukan, dan (vi) pupuk dimanfaatkan petani
tidak sesuai dosis.
Menghadapi kenyataan seperti ini, pemerintah saat ini sedang mengkaji
kemungkinan pemberian subsidi untuk pupuk langsung kepada petani. Rencana ini
77
ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo melalui twitter beliau tanggal 18 Agustus
2015: ”Subsidi pupuk dan benih banyak diselewengkan. Akan kita ubah menjadi
subsidi akhir harga beli ke petani.” Namun, pemerintah diingatkan oleh politisi dan
tokoh tani diantaranya Algozali (Siregar, 2015) dan Sastraatmaja (Maulana dan
Ardhia, 2015) untuk mempertimbangkan berbagai hal yang sensitif bagi kehidupan
petani sebelum memutuskan perubahan kebijakan subsidi pupuk ini.
Berdasarkan telaahan di atas terdapat beberapa alternatif atau pilihan cara
pemberian insentif berproduksi langsung kepada petani baik berupa subsidi input
(pupuk) atau subsidi harga output kepada petani, yaitu:
1. Subsidi input dalam bentuk pupuk langsung diberikan ke petani sebelum
masa tanam, seperti mekanisme pembagian Raskin oleh BULOG. Jumlah
pupuk yang diberikan ke petani berdasarkan luas lahan garapan, komoditas
yang diusahakan, dan dosis pemupukan untuk setiap komoditas yang
diusahakan.
2. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani
sebelum masa tanam, seperti mekanisme bantuan langsung tunai (BLT).
Jumlah uang subsidi yang diberikan kepada setiap petani sesuai dengan
luasan lahan usaha, jenis komoditas yang akan diusahakan, dosis pemupukan
untuk setiap komoditas, dan besarnya subsidi per kguntuk setiap jenis pupuk.
3. Subsidi harga input dalam benuk uang langsung diberikan kepada petani
yang memiliki bukti pembelian pupuk dari kios pengecer resmi. Jumlah
subsidi uang yang diberikan maksimal sesuai dengan yang tercatat di RDKK.
4. Subsidi harga output langsung diberikan kepada petani sesuai produksi padi
yang dihasilkan dari lahan usahatani, yaitu penambahan sejumlah nilai rupiah
tertentu untuk setiap kg produk pangan yang diproduksi petani, baik yang
dijual ke pasar maupun yang disimpan untuk cadangan pangannya. Besarnya
tambahan penerimaan petani dari hasil usahataninya bergantung pada
besarnya total produksi pangan nasional yang disubsidi dan besarnya
anggaran subsidi pupuk yag disediakan.
Untuk alternatif butir (4), berdasarkan kajian PSEKP (2015), dengan
menggunakan angka perencanaan 2015; bila seluruh anggaran subsidi pupuk untuk
78
tamanan pangan sebesar Rp. 20,51 milyar (72,6% dari total alokasi anggaran
subsidi pupuk) dibagikan kepada petani padi dan sasaran produksi 73,44 juta ton
gabah kering giling (GKG) tercapai, maka petani akan memperoleh tambahan
pendapatan untuk setiap kg GKG yang diproduksinya sebesar Rp.231,10. Lebih
lanjut kajian tersebut menyajikan hasil perhitungan manfaat yang diterima petani
dengan dilepaskannya harga pupuk ke mekanisme pasar dan subsidinya diberikan
langsung melalui output dalam bentuk gabah GKG. Ternyata petani harus
mengeluarkan biaya pupuk yang lebih besar (untuk usahatani padi musim hujan per
hektare, sebesar Rp. 1,33 juta) daripada penerimaan kompensasi uang senilai
output (Rp.1,05 juta). Gambaran ini given teknologi usahatani termasuk pemupukan
yang diterapkan petani tetap.
Keempat alternatif di atas akan efektif dilaksanakan apabila didukung basis
atau pangkalan data yang akurat yang menyajikan data pada tingkat
petani/rumahtangga tani, khusunya informasi tentang identitas petani (nama,
domisili), luas lahan garapan, dan rencana jenis tanaman yang diusahakan. Khusus
untuk subsidi harga output tambahan data yang diperlukan adalah mengenai hasil
panen/ produksi pangan dari setiap petani yang jumlahnya lebih dari 5 juta rumah
tangga, untuk setiap komoditas yang ditanam.
Kementerian Pertanian pada tahun 2010 pernah melakukan uji coba
pemberian subsidi pupuk langusung kepada petani. Salah satu kesimpulannya
adalah ditemukan bebagai permasalahan dan kendala yang harus dibenahi terlebih
dahulu sebelum subsidi langsung ini diterapkan (Hadi, dkk., 2011), sehingga
penerapannya secara masal belum dilakukan.
Kelebihan alternatif kesatu layak diterapkan, namun sistem distribusinya dari
produsen sampai ke petani harus diperbaiki agar pupuk sampai ke petani memenuhi
kaidah 6 tepat. Alternatif kedua layak diterapkan karena sudah ada contoh sistem ini
diterapkan untuk program lain yaitu penyaluran BLT, namun ada kekhawatiran
petani tidak memanfaatkan sebagian atau seluruh uang subsidi ini untuk dibelikan
pupuk sehingga sasaran program tidak tercapai. Alternatif ketiga layak diterapkan
dan petani dipastikan membeli pupuk, namun kemampuan petani membeli pupuk
pada harga pasar tidak sama sehingga dapat saja ada petani yang tidak membeli
pupuk atau membeli pupuk lebih kecil dari dosis yang seharusnya. Alternatif
79
keempat tidak layak diterapkan karena tambahan penerimaan petani (dari subsidi
output) lebih kecil dari tambahan biaya usahatani padi (beli pupuk). Kelebihannya,
dengan subsidi harga output dalam bentuk uang, maka subsidi dapat langsung
diterima petani.
Sekali lagi, kesemua alternatif tersebut menghendaki prasyarat perlu
(necessary condition) bahkan mutlak harus tersedia data yang akurat di tingkat
petani untuk beberapa variabel dapat di update setiap tahun. Semenara itu jumlah
keluarga petani dan persil lahan usahatani jumlahnya sangat banyak.
80
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1) Kebijakan subsidi pupuk jelas mempunyai dampak positif bagi peningkatan
produksi pangan, terutama padi/beras. Pencapaian ini memberikan sumbangan
yang signifikan secara nasional pada pencapaian ketahanan pangan, stabilitas
ekonomi, dan ketahanan sebagai bangsa. Namun, kinerja negatif dari kebijakan
ini juga teridentifikasi seperti pelaksanaan distribusi tidak efisien, penyaluran
pupuk tidak tepat sasaran, dan terbangun dualisme pasar yang dapat
menciptakan moral hazzard.
2) Berbagai peraturan kebijakan dalam pengembangan industri pupuk nasional
yang dianalisis dalam konteks ini mencakup kebijakan dalam hal industri pupuk
nasional, distribusi dan pengawasan pupuk, HET pupuk dan alokasi
penggunaan pupuk. Terkait dengan peraturan kebijakan industri pupuk
nasional, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden RI (Inpres) No 2
Tahun 2010 (2/2010) tentang Revitalisasi Industri Pupuk nasional. Langkah-
langkah revitalisasi industri pupuk serta peningkatan daya saing industri pupuk,
melalui usaha: (a) Meningkatkan produksi pupuk an-organik, organik dan
hayati; (b) Memperluas sebaran produksi pupuk; (c) Mengembangkan
keragaman jenis pupuk; (d) Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan;
(e) Melakukan penghematan bahan baku dan energi; dan (f) Memperluas akses
pasar, untuk memenuhi utamanya kebutuhan dalam negeri pada sektor
pertanian, kehutanan, perikanan dan industri.
3) Mengenai distribusi pupuk, saat ini mengacu pada Peraturan Menteri
Perdagangan No. 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran
Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Permendag ini telah mengatur cukup
rinci sistem distribusi pupuk bermula dari pengadaan dan penyaluran, tugas
dan tanggungjawab para fihak yang terkait dengan distribusi mulai dari
produsen pupuk, pemerintah, pelaku distribusi sampai pengecer, dan
petani/kelompok tani. Permendag ini juga mengatur tentang pengawasan dan
pelaporan.
4) Terkait dengan alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan HET juga
telah dikeluarkan Permentan Nomor 130/ Permentan/ SR.130/11/2014 yang
81
mengatur tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk
Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015. Pada peraturan ini
dijelaskan bahwa alokasi pupuk bersubsidi dihitung sesuai dengan anjuran
pemupukan berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan
kebutuhan yang diajukan oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, serta alokasi anggaran subsidi pupuk tahun 2015.
Alokasi pupuk bersubsidi secara nasional tersebut dirinci menurut provinsi,
jenis, jumlah, sub sektor, dan sebaranbulanan. Selanjutnya, dirinci menurut
kabupaten/kota (ditetapkan dengan peraturan gubernur) dan menurut
kecamatan (ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota).
5) Selama kurun waktu 2005-2014, realisasi anggaran belanja subsidi cukup
berfluktuasi, dengan tren meningkat dari Rp 2,53 Triliun (2005) menjadi Rp
18,04 Triliun atau meningkat rata-rata sebesar 13,27 %/tahun. Bila dilihat rasio
subsidi pupuk terhadap total APBN, maka kisaran rasionya antara 0,475-1,767.
Secara keseluruhan pada periode tersebut rasionya masih menunjukkan
peningkatan sebesar 4,282 %/tahun. Dengan peningkatan angka rasio tersebut
menunjukan bahwa perhatian pemerintah terhadap subsidi pupuk masih tinggi.
6) Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung sesuai dengan anjuran pemupukan
berimbang spesifik lokasi dengan mempertimbangkan usulan kebutuhan yang
diajukan oleh dinas pertanian provinsi ke pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian Pertanian. Kebutuhan Pupuk Bersubsidi dirinci menurut jenis,
jumlah, sub sektor, provinsi, dan sebaran bulanan. Kebutuhan Pupuk juga
dirinci lebih lanjut menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, sub sektor, dan
sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya
kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis,
jumlah, sub sektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan
bupati/walikota.
7) Proses penyaluran pupuk bersubsidi diawali dengan usulan dari kelompok tani.
Kelompok tani membuat usulan kebutuhan pupuk para petani anggotanya yang
dituangkan dalam RDKK (Rencana Kebutuhan Definitif Kelompok). RDKK
tersebut dari kelompok tani dikumpulkan kolektif ke cabang dinas pertanian
kecamatan setempat setelah dicermati bersama oleh penyuluh pertanian
82
lapangan (PPL) dan kepala desa. Camat selaku kepala wilayah kecamatan juga
mencermati usulan kebutuhan pupuk dari para kelompok tani seluruh
kecamatan. RDKK tersebut juga dikirimkan kepada penyalur (kios) atau
gapoktan yang bertindak sebagai pengecer resmi (Lini-IV), dan selanjutnya
rekapitulasi usulan kebutuhan pupuk tersebut dikirimkan kepada distributor
(Lini-III). Rekapitulasi kebutuhan pupuk yang telah disusun per kecamatan
dikirimkan kepada dinas pertanian kabupaten/kota, dan selanjutnya secara
berjenjang diserahkan kepada dinas pertanian provinsi dan Kementerian
Pertanian.
8) Dalam konteks manfaat dan upaya mempertahankan swasembada pangan
nasional, maka pemerintah diharapkan masih tetap mempertahankan kebijakan
subsidi pupuk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki
sistemdistribusi pupuk yang berkeadilan adalah sebagai berikut: (1) Harus
dapat menjamin ketersediaan pupuk di tingkat petani agar Program
Peningkatan Ketahanan Pangan tidak terganggu; (2) Industri pupuk nasional
harus tumbuh dengan baik dan menikmati keuntungan yang wajar sehingga
secara berkesinambungan dapat memasok kebutuhan pupuk dalam negeri; dan
(3) Para distributor dan pengecer pupuk juga dapat menikmati keuntungan
yang wajar dari tataniaga ini.
9) Perbaikan penyusunan RDKK pupuk bersubsidi dan penyediaan pupuk
bersubsidi sesuai dengan kebutuhan yang disusun berdasarkan RDKK menjadi
salah satu kunci utama dalam menghilangkan permasalahan kelangkaan pupuk
bersubsidi yang selama ini selalu terjadi. Pada lokasi kajian di Jawa Barat dan
Lampung, seringkali terdapat petani yang tidak tercantum pada RDKK. Padahal
petani tersebut adalah petani pangan berskala kecil yang memerlukan pupuk
bersubsidi. Disisi lain terdapat petani petani luas, yang memperoleh jatah
pupuk bersubsidi yang besar. Karena untuk memperoleh pupuk bersubsidi
diluar yang namanya tidak tercantum pada RDKK tidak diperbolehkan, maka
adakalanya petani kecil harus berkongsi dengan petani lainnya untuk
memperoleh pupuk bersubsidi. Selain itu, kelemahan distribusi dengan
mekanisme RDKK juga ditemukan bahwa kios yang ditunjuk dalam penjualan
pupuknya seringkali tidak mencatat atau menyesuaikan dengan nama yang
83
tercantum. Kios adakalanya lebih mengutamakan bisnisnya, dimana pupuk
cepat terserap oleh petani.
10) Dari pengamatan dan diskusi di lapangan bersama petani dan aparat terkait
(Jawa Barat dan Lampung), dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam
penyusunan RDKK pupuk bersubsidi ini, sebagai berikut:
a. Tidak semua petani menjadi anggota kelompok tani, sehingga kebutuhan
para petani segmen ini tidak masuk dalam proses perencanaan kebutuhan
pupuk yang tercantum dalam RDKK pupuk bersubsidi. Pada saat mereka
membutuhkan pupuk untuk usahataninya, kelompok petani ini akan
kesulitan mendapatkan/ membeli pupuk dari pengecer resmi.
b. Tidak semua tanaman yang diusahakan petani dalam siklus satu tahun
berjalan dimasukkan dalam RDKK pupuk bersubsidi, sementara itu di dalam
Juklak Penyusunan RDKK pupuk bersubsidi tidak ada rincian komoditas
prioritas yang dapat memperoleh pupuk bersubsidi. Kondisi ini
menyebabkan petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk
persemaian ataupun untuk usahatani tanaman sela yang kebutuhan
pupuknya tidak dimasukkan dalam RDKK karena petani tidak merencanakan
menanam tanaman tersebut satu tahun sebelumnya misalnya petani
menanam tanaman tertentu biasanya tanaman semusim, karena melihat
ada peluang pasar dalam jangka pendek.
c. Tidak ada pengaturan tentang petani yang berhak menerima pupuk
bersubsidi berdasarkan penguasaan dan/atau pengusahaan seperti pemilik,
pemilik penggarap, penggarap, penyewa, penyewa penggarap yang berhak
mendapatkan pupuk bersubsidi. Dalam Permentan No. 82/2013 dan No.
130/2014 tidak ada pengaturan tentang ini. Juklak Penyusunan RDKK 2014
sama sekali tidak mencantumkan pengaturan mengenai hal ini. Karena tidak
ada pengaturan tersebut, akibatnya di lapangan ditemukan kasus
penggarap/penyewa kesulitan memperoleh pupuk karena yang terdaftar
dalam RDKK di poktannya hanya anggota poktan yang berstatus pemilik
lahan.
d. Batasan pemberian pupuk bersubsidi kepada petani dengan luas lahan
maksimal dua hektare, di lapangan tidak operasional karena tidak diatur
84
lebih lanjut mengenai status kepemilikannya. Diperoleh informasi bahwa
lahan lebih dari dua hektare yang dimiliki seorang petani dapat memperoleh
alokasi pupuk bersubsidi karena diusahakan oleh beberapa penggarap,
dipecah-pecah lebih kecil dari dua hektare.
e. Sebagian RDKK yang disusun di tingkat poktan tidak akurat, baik secara
procedural ataupun akurasi data yang disajikan, akibatnya terdapat RDKK
yang volume kebutuhan pupuknya lebih kecil atau lebih besar dari
kebutuhan riil atau tidak semua kebutuhan pupuk petani direncanakan
berdasarkan/ sesuai dengan tanaman yang diusahakannya dalam siklus satu
tahun.
f. Ditemukan kasus RDKK tidak sepenuhnya diacu oleh pemilik Kios Resmi
dalam proses transaksi penjualan/ pembelian pupuk ke/oleh petani.
11) Dari pembandingan ini dapat dirumuskan beberapa alternatif untuk sistem
distribusi pupuk bersubsidi dalam upaya meningkatkan efisiensi penyalurannya.
Dua isu yang dapat dipertimbangkan untuk menyempurnakan sistem distribusi
pupuk bersubsidi berdasarkan lesson learned dari distribusi Raskin adalah: (1)
BUMN yang ditugaskan diberi mandat untuk bertanggungjawab penuh (tidak
dibagi dengan penyalur lain) atas penyaluran barang pemerintah bersubsidi
dimaksud dari gudang miliknya sampai di tingkat desa, dan (2) Pemda diberi
tanggungjawab untuk menyalurkan barang pemerintah bersubsidi dimaksud dari
desa ke sasaran penerima, petani atau rumahtangga.
12) Berdasarkan telaahan di atas terdapat beberapa alternatif atau pilihan cara
pemberian insentif berproduksi langsung kepada petani baik berupa subsidi
input (pupuk) atau subsidi harga output kepada petani, yaitu:
a. Subsidi input dalam bentuk pupuk langsung diberikan ke petani sebelum
masa tanam, seperti mekanisme pembagian Raskin oleh BULOG. Jumlah
pupuk yang diberikan ke petani berdasarkan luas lahan garapan, komoditas
yang diusahakan, dan dosis pemupukan untuk setiap komoditas yang
diusahakan.
b. Subsidi harga input dalam bentuk uang langsung diberikan kepada petani
sebelum masa tanam, seperti mekanisme bantuan langsung tunai (BLT).
Jumlah uang subsidi yang diberikan kepada setiap petani sesuai dengan
85
luasan lahan usaha, jenis komoditas yang akan diusahakan, dosis
pemupukan untuk setiap komoditas, dan besarnya subsidi per kguntuk
setiap jenis pupuk.
c. Subsidi harga input dalam benuk uang langsung diberikan kepada petani
yang memiliki bukti pembelian pupuk dari kios pengecer resmi. Jumlah
subsidi uang yang diberikan maksimal sesuai dengan yang tercatat di RDKK.
d. Subsidi harga output langsung diberikan kepada petani sesuai produksi padi
yang dihasilkan dari lahan usahatani, yaitu penambahan sejumlah nilai
rupiah tertentu untuk setiap kg produk pangan yang diproduksi petani, baik
yang dijual ke pasar maupun yang disimpan untuk cadangan pangannya.
Besarnya tambahan penerimaan petani dari hasil usahataninya bergantung
pada besarnya total produksi pangan nasional yang disubsidi dan besarnya
anggaran subsidi pupuk yag disediakan.
13) Keempat alternatif di atas akan efektif dilaksanakan apabila didukung basis
atau pangkalan data yang akurat yang menyajikan data pada tingkat
petani/rumahtangga tani, khusunya informasi tentang identitas petani (nama,
domisili), luas lahan garapan, dan rencana jenis tanaman yang diusahakan.
Khusus untuk subsidi harga output tambahan data yang diperlukan adalah
mengenai hasil panen/ produksi pangan dari setiap petani yang jumlahnya
lebih dari 5 juta rumah tangga, untuk setiap komoditas yang ditanam.
14) Kelebihan alternatif kesatu layak diterapkan, namun sistem distribusinya dari
produsen sampai ke petani harus diperbaiki agar pupuk sampai ke petani
memenuhi kaidah 6 tepat. Alternatif kedua layak diterapkan karena sudah ada
contoh sistem ini diterapkan untuk program lain yaitu penyaluran BLT, namun
ada kekhawatiran petani tidak memanfaatkan sebagian atau seluruh uang
subsidi ini untuk dibelikan pupuk sehingga sasaran program tidak tercapai.
Alternatif ketiga layak diterapkan dan petani dipastikan membeli pupuk, namun
kemampuan petani membeli pupuk pada harga pasar tidak sama sehingga
dapat saja ada petani yang tidak membeli pupuk atau membeli pupuk lebih
kecil dari dosis yang seharusnya. Alternatif keempat tidak layak diterapkan
karena tambahan penerimaan petani (dari subsidi output) lebih kecil dari
tambahan biaya usahatani padi (beli pupuk). Kelebihannya, dengan subsidi
86
harga output dalam bentuk uang, maka subsidi dapat langsung diterima petani.
Sekali lagi, kesemua alternatif tersebut menghendaki prasyarat perlu
(necessary condition) bahkan mutlak harus tersedia data yang akurat di
tingkat petani untuk beberapa variabel dapat di update setiap tahun. Semenara
itu jumlah keluarga petani dan persil lahan usahatani jumlahnya sangat banyak.
87
DAFTAR PUSTAKA
Badan Kebijakan Fiskal. 2010. Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan
Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung. Tim
Kajian Kebijakan Harga dan Subsidi Pangan dan Pertanian.
http://www.fiskal.depkeu.go.id/ 2010/adoku/PKAPBN. Diunduh 30 April
2015.
Badan Ketahanan Pangan. 2015. Kebijakan HPP Gabah dan Beras yang Lebih
Menguntungkan dan Melindungi Petani. Policy Brief. Badan Ketahanan
Pangan. Jakarta.
Bagian Analisa dan Pemeriksaan BPK dan Pengawasan DPD. 2013. Analisis atas Hasil
Audit BPK Subsidi Pupuk dan Benih: Bukan Masalah Administrasi tapi
Kelemahan dalam Kebijakan. Bekerja sama dengan tenaga konsultan
Hendri Saparini. http://www.dpr.go.id/dokumen/bpkdpd.Analisis. 30 April
2015.
Bappenas. 2011. Laporan Kajian Strategis Kebijakan Subsidi Pertanian yang Efektif,
Efisien, dan Brkeadialan. Jakarta.
BPS. 2005-2015. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Darwis, V dan Saptana. 2010. Rekonstruksi Kelembagaan dan Uji Teknologi
Pemupukan: Kebijakan Strategis Mengatasi Kelangkaan Pupuk. Analisis
Kebijakan Pertanian 8(2): 167-186
Darwis, V dan Supriyati. 2013. Subsidi Pupuk: Kebijakan, Pelaksanaan, dan
Optimalisasi Pemanfaatannya. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 11 (1):
45-60
Direktorat Sarana Produksi Pertanian. 2011. Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi. Dit.
Sarana Produksi Pertanian, Ditjen PSP. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Hadi, P.U., D.K. Swastika, F.B.M. Dabukke, N.K. Agustin, M. Siregar, D. Hidayat, dan
M. Maulana. 2007. Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di
Indonesia 2007 – 2012. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
88
Hadi, P.U. M. Rachmat, A.G\H. Susilowati, dan Supriyati, 2011. Peospek dan Kendala
Subsidi Pupuk Langsung ke Petani (Studi Kasus di kabupaten Karawang
tahun 2010. Sinar Tani, Edisi 5-11 Oktober 2011, No. 3425 Tahun XLI.
Hafsah, M.J. and T. Sudaryanto. 2003. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek
Pengemangannya. Dalam F. Kasryo, E. Pasandaran, dan A.M.Fagi (eds)
EKONOMI PADI DAN BERAS INDONESIA. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, departe,en Pertanian. Jakarta. Hlm.17-29.
Hilal, S. 2015. Solusi Efektivitas Subsidi Pupuk. http://rimbanusantara.com. 20 Mei
2015
Jefriando, M. 2015. Subsidi pupuk 30 T tak tepat sasaran, distribusi akan dirombak.
http://finance.detik.com. 28 Mei 2015.
Kariyasa, K., S. Mardianto, dan M, Maulana. 2004. Analisis Kelangkaan Pupuk dan
Usulan Tingkat Subsidi serta Perbaikan Sistem Pendistribusian Pupuk di
Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kementerian Keuangan. 2014. Dasar-Dasar Praktek penyusunan APBN di Indonesia
Edisi II. Ditjen Anggaran kementerian Keuangan, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No.
40/Permentan/OT.140/4/2007. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2014. Peraturan Menteri Pertanian No.
130/Permentan/OT.140/4/2007. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kepala Biro Perencanaan. 2015. Rekonfirmasi Kegiatan dan Anggaran Kementan TA
2016. Workshop Evaluasi Percepatan Serapan Anggaran 2015 serta
Rekonfirmasi Kegiatan dan Anggaran 2016. Kementerian Pertanian.
Bandung.
Maulana, A.G. dan H. Ardhia. 2015. Biar petani tak bergejolak, pencabutan subsidi
pupuk perlu bertahap. http://industri.bisnis.com. 16 Junni 2015.
Mayrowani, H. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. Forum Agro
Ekonomi Vol. 30 No. 2 Desember 2012. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian
89
PSEKP, 2015. Policy Brief Pengalihan sunsidi input ke subsidi output. Bogor. 9 hlm.
Tidak dipublikasikan.
PT. Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). 2014. Kinerja Konsolidasi PT Pupuk
Indonesia (Persero) Desember dan s.d. Desember 2014. Jakarta.
___________________________________.2015a. Data Produksi, Distribusi,
Perdagangan, Subsidi, Pendapatan dan Harga Pupuk di indonesia.
Jakarta.
___________________________________.2015b. Presentasi PT Pupuk Indonesia
(Persero) ke DPR. Jakarta, 19 Januari 2015. PT Pupuk Indonesia. Jakarta.
Rachman, B. 2009. Kebijakan Subsidi Pupuk: Tinjauan Terhadap Aspek Teknis,
manajemen dan Regulasi. Jurnal Analisis kebijakan Pertanian, Vol. 7 No.
2, Juni 2009: 131-146.
Republica.co.id. 2015. DPR ingatkan peperintah hati-hati ubah mekanisme subsidi
petani. http://www.republika.co.id. 3 Agustus 2015.
Republika co.id. 2015. Kementan Didesak Segera Tuntaskan Masalah Subsidi Pupuk.
23 April 2015. Di Unduh 5 Mei 2015.
Siregar, Z. 2015. Jokowi haru pertimbangkan dengan matang sebelum alihkan
subsudi benih dan pupuk. http://rmol.co. 19 Agustus 2015.
Sumaryanto. 2004. Usahatani dan Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi: Studi
Kasus di Persawahan DAS Brantas. Bunga Rampai pada Buku Ekonomi
Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Kementerian Pertanian. Jakarta
Suryana, A. 2013. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Disampaikan dalam Kuliah Umum Mahasiswa Sarjana dan Pasca Sarjana
Jurusan Agribisnis IPB.14 Desember 2013. Bogor.
Susila, W.R. 2010. Kebijakan Subsidi Pupuk: Ditinjau Kembali. Jurnal Litbang
Pertanian, No 29(2).
Susilowati, S.H, B. Hutabarat, M. Rachmat, A. Purwoto, Sugiarto, Supriyati, Supadi,
A.K. Zakaria, B. Winarso, H. Supriyadi, T.B. Purwantini, R. Elizabeth, D.
Hidayat, T. Nurasa, C. Muslim, M. Maulana, M. Iqbal, R. Aldilah. 2010.
90
Laporan Teknis Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan:
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dan Usahatani Padi. Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
www.fertilizer.org/statistics. 2015. Fertilizer Data. 5 September 2015.
www. FAO.org. 2014. Data Konsumsi, ekspor dan Impor Pupuk di Indonesia. FAO. 5
September 2015.