12
Depik, 3(2): 166-177 Agustus 2014 ISSN 2089-7790 166 Sebaran kandungan CO 2 terlarut di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna Distribution of dissolved CO 2 in the southern coastal waters of Natuna Islands August Daulat * , Mariska Astrid Kusumaningtyas, Rizki Anggoro Adi dan Widodo Setiyo Pranowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur * E-mail: [email protected] Abstract. Biogeochemical cycles in coastal ecosystem is influencing the water quality and it is further affect on productivity and sustainability of coastal waters. Carbondioxide is one of the important parameter in biogeochemical cycles in coastal waters, it is formed as DIC (Dissolved Inorganic Carbon) in water and TOC (Total Organic Carbon) in sediment. The purpose of this research was to determine the distribution concentration of dissolved CO2 in the southern coastal waters of Natuna Islands. Insitu measurement was conducted for some parameters of water qualities both physical (i.e. temperature and turbidity) and chemical (i.e. DO, pH and salinity) parameters. DIC was analyzed in LIPI laboratory using Giggenbach titration method, while TOC in sediment was analyzed in Proling Laboratory, Institut Pertanian Bogor. The water quality of the southern coastal waters of Natuna Islands generally in a good condition according to the Ministry of Environment Decree, Number 51, year 2004. The results showed that spacial distribution of DIC ranged from 1.9 to 2.3 mol/kg, while TOC content of the water was ranged from 0.25 g/kg to 1.19 g/kg. Sediment distributions were dominated by sandy, silty sand, sandy silt and coral reefs, therefore the sediment has potencial as organic carbon storage and indicates a good productivity. Keywords: Carbondioxide; Dissolved Inorganic Carbon; Total Organic Carbon; Natuna Islands Abstrak. Siklus biogeokimia yang terjadi pada ekosistem pesisir dapat mempengaruhi kualitas perairan dan berfungsi sebagai penunjang keberlanjutan dan kesuburan perairan. Karbondioksida adalah salah satu parameter penting dalam siklus biogeokimia di perairan pesisir baik berupa DIC (Dissolved Inorganic Carbon) di dalam air maupun berupa TOC (Total Organic Carbon) di dalam sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran kandungan CO2 terlarut di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna. Pengukuran insitu dilakukan terhadap beberapa parameter kualitas air baik fisika (temperatur dan kecerahan) maupun kimia (DO, pH dan salinitas). Metode titrasi Giggenbach digunakan untuk analisis DIC di laboratorium LIPI, sedangkan TOC dalam sedimen dianalisis di laboratorium Proling, IPB. Kualitias air di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna secara umum masih berada dalam kondisi baik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004. Hasil penelitian menunjukan sebaran spasial parameter kandungan CO2 dengan kandungan DIC berkisar antara 1,9-2,3 mol/kg, sedangkan kandungan TOC perairan berkisar antara 0,25-1,19 g/kg. Sebaran sedimen didominasi oleh pasir, pasir lanau, lanau pasiran dan terumbu karang yang berpotensi besar menyimpan karbon organik didalam sedimennya dan mengindikasikan kesuburan perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna tergolong baik. Kata kunci: Karbondioksida; Karbon Anorganik Terlarut; Total Karbon Organik; Kepulauan Natuna Pendahuluan Laut Natuna perbatasan dengan Laut China Selatan dan negara-negara di kawasan ASEAN antara lain; Vietnam, Kamboja, Singapura, Thailand dan Malaysia, sehingga sangat strategis sebagai salah satu jalur penting lintas pelayaran internasional. Laut Natuna juga merupakan tempat pertukaran massa air dari Lautan Indonesia dengan Laut China Selatan yang mempunyai interaksi erat dengan Monsun yang terjadi di Indonesia, sehingga perlu untuk diketahui secara mendalam mengenai karakteristik sumberdaya

Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

166

Sebaran kandungan CO2 terlarut di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna Distribution of dissolved CO2 in the southern coastal waters of Natuna Islands August Daulat*, Mariska Astrid Kusumaningtyas, Rizki Anggoro Adi dan Widodo Setiyo Pranowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur *E-mail: [email protected]

Abstract. Biogeochemical cycles in coastal ecosystem is influencing the water quality and it is further affect on productivity and sustainability of coastal waters. Carbondioxide is one of the important parameter in biogeochemical cycles in coastal waters, it is formed as DIC (Dissolved Inorganic Carbon) in water and TOC (Total Organic Carbon) in sediment. The purpose of this research was to determine the distribution concentration of dissolved CO2 in the southern coastal waters of Natuna Islands. Insitu measurement was conducted for some parameters of water qualities both physical (i.e. temperature and turbidity) and chemical (i.e. DO, pH and salinity) parameters. DIC was analyzed in LIPI laboratory using Giggenbach titration method, while TOC in sediment was analyzed in Proling Laboratory, Institut Pertanian Bogor. The water quality of the southern coastal waters of Natuna Islands generally in a good condition according to the Ministry of Environment Decree, Number 51, year 2004. The results showed that spacial distribution of DIC ranged from 1.9 to 2.3 mol/kg, while TOC content of the water was ranged from 0.25 g/kg to 1.19 g/kg. Sediment distributions were dominated by sandy, silty sand, sandy silt and coral reefs, therefore the sediment has potencial as organic carbon storage and indicates a good productivity. Keywords: Carbondioxide; Dissolved Inorganic Carbon; Total Organic Carbon; Natuna Islands Abstrak. Siklus biogeokimia yang terjadi pada ekosistem pesisir dapat mempengaruhi kualitas perairan dan berfungsi sebagai penunjang keberlanjutan dan kesuburan perairan. Karbondioksida adalah salah satu parameter penting dalam siklus biogeokimia di perairan pesisir baik berupa DIC (Dissolved Inorganic Carbon) di dalam air maupun berupa TOC (Total Organic Carbon) di dalam sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran kandungan CO2 terlarut di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna. Pengukuran insitu dilakukan terhadap beberapa parameter kualitas air baik fisika (temperatur dan kecerahan) maupun kimia (DO, pH dan salinitas). Metode titrasi Giggenbach digunakan untuk analisis DIC di laboratorium LIPI, sedangkan TOC dalam sedimen dianalisis di laboratorium Proling, IPB. Kualitias air di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna secara umum masih berada dalam kondisi baik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004. Hasil penelitian menunjukan sebaran spasial parameter kandungan CO2 dengan kandungan DIC berkisar antara 1,9-2,3 mol/kg, sedangkan kandungan TOC perairan berkisar antara 0,25-1,19 g/kg. Sebaran sedimen didominasi oleh pasir, pasir lanau, lanau pasiran dan terumbu karang yang berpotensi besar menyimpan karbon organik didalam sedimennya dan mengindikasikan kesuburan perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna tergolong baik. Kata kunci: Karbondioksida; Karbon Anorganik Terlarut; Total Karbon Organik; Kepulauan Natuna

Pendahuluan

Laut Natuna perbatasan dengan Laut China Selatan dan negara-negara di kawasan ASEAN antara lain; Vietnam, Kamboja, Singapura, Thailand dan Malaysia, sehingga sangat strategis sebagai salah satu jalur penting lintas pelayaran internasional. Laut Natuna juga merupakan tempat pertukaran massa air dari Lautan Indonesia dengan Laut China Selatan yang mempunyai interaksi erat dengan Monsun yang terjadi di Indonesia, sehingga perlu untuk diketahui secara mendalam mengenai karakteristik sumberdaya

Page 2: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

167

perairannya (Wyrtki, 1961). Salah satu karakteristik wilayah laut dan pesisir yang perlu diketahui sebagai dasar untuk pengembangan wilayah adalah kondisi lingkungannya (Dahuri et al., 1996).

Disamping itu wilayah perairan pesisir Natuna mempunyai potensi sumberdaya perairan yang sangat besar karena memiliki tiga ekosistem pesisir utama yang masih tergolong baik (Kusumaningtyas et al., 2014), ekosistem tersebut berfungsi sebagai penunjang keberlanjutan kesuburan suatu perairan berupa lamun, terumbu karang dan mangrove dengan memanfaatkan karbon organik dan karbon anorganik dalam metabolismenya. Unsur karbon juga merupakan salah satu sumber energi bagi organisme laut yang berperan penting dalam siklus rantai makanan terbawah diantaranya plankton dalam ekosistem perairan laut (Behrenfeld et al., 2005).

Sumber karbon utama di perairan pesisir berasal dari atmosfer,selain itu juga dapat berasal dari perubahan sedimen secara terus-menerus dan kandungan nutrisi berupa transport sumber energi dan materi karbonat ke perairan pesisir baik melalui aliran sungaimaupun interaksi dengan laut lepas (Milliman and Syvitski, 1992). Menurut data yang ada, konsentrasi CO2 atmosfer per Agustus 2013 sekitar 395,15 ppm dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sekitar 2,07 ppm tiap tahunnya selama beberapa dekade (www.co2now.org, 2013). Peningkatan konsentrasi CO2 atmosfer ini berimbas pada keseimbangan konsentrasi dan tekanan parsial CO2 permukaan laut (Takahashi et al., 2008), sehingga dapat mempengaruhi karbon anorganik dan organik lautan. Perairan laut Indonesia mencapai 17% dari total wilayah laut dunia, sehingga berperan penting dalam siklus karbon dan berpotensi menyerap CO2 karena mempunyai produktivitas primer tinggi (Nontji, 2008). Karbon anorganik terlarut (Dissolved Inorganic Carbon/DIC) merupakan parameter karbon yang juga berperan sebagai bufer pH alami suatu perairan (buffer karbonat), sedangkan Total Karbon Organik (Total Organic Carbon/TOC) menunjukan jumlah karbon terikat dalam senyawa organik baik berasal dari dekomposisi hewan ataupun tumbuhan. DIC dan TOC merupakan parameter karbon yang dapat dijadikan acuan besarnya senyawa organik karbon yang terikat dan dibutuhkan biota perairan sehingga dapat dijadikan indikator kesuburan perairan (Baum et al., 2007).

Sampai saat ini belum ada kajian di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna yang menitik beratkan pada kontribusi parameter CO2 sebagai indikator produktivitas perairan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran kandungan parameter CO2 berupa TOC dan DIC di pesisir selatan Kepulauan Natuna.

Bahan dan Metode

Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Penelitian Kajian Sumberdaya dan Lingkungan Pesisir Kawasan Natuna yang dilaksanakan pada tanggal 22 - 24 November 2012 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Natuna yang secara geografis terletak di belahan Utara

Indonesia antara 2º LU - 5º LU dan 104º BT - 110º BT. Lokasi penelitian tepat berada di wilayah bagian selatan Kepulauan Natuna yang merupakan Kawasan Konservasi Laut Daerah I (KKLD I), yang meliputi kawasan P. Sedanau, P. Tiga (P. Kumbik, P. Sebangmawang), P. Bunguran Besar dan Muara Binjai (Gambar 1). Kawasan ini dipilih karena diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan di wilayah tersebut (Pemkab Kabupaten Natuna, 2012).

Page 3: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

168

Gambar 1. Lokasi Pelaksanaan Kegiatan di Pesisir Pulau Bunguran Besar Natuna

(Sumber Data: GEBCO, 2008; Bakosurtanal , 2011)

Jenis data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder yang

berkaitan langsung maupun sebagai data penunjang penelitian. Data sekunder yang digunakan untuk beberapa parameter yaitu; suhu, salinitas dan klorofil yang didapatkan melalui kompilasi citra satelit Modis Aqua, Modis Terra dan Seawifs (Ocean Color) serta dengan menggunakan software Ocean Data View (Schlitzer, 2013). Data primer diperoleh dengan melakukan observasi lapangan berupa survei untuk memperoleh data karakteristik perairan dan struktur sedimen permukaan dasar di lokasi penelitian serta dengan menggunakan data dari kegiatan “Riset Karakteristik Sedimen Permukaan Dasar Pesisir Natuna untuk Mendukung Budidaya Laut“ (Rahayu et al., 2010). Pengambilan sampel

Penelitian sebaran kandungan parameter CO2 di pesisir selatan Kepulauan Natuna ini dilakukan pada 14 stasiun dari total 35 stasiun sebagai stasiun pengamatan untuk pengukuran insitu kualitas air. Pengambilan sampel air untuk analisa DIC dilakukan di 10 stasiun (Stasiun 1, 3, 5, 9, 13, 17, 19, 26, 30 dan 34), sedangkan pengambilan sampel sedimen untuk analisa TOC dilakukan di 9 stasiun (Stasiun 3, 5, 8, 13, 20, 27, 30, 32 dan 34). Terdapat 5 stasiun (Stasiun 3, 5, 13, 30 dan 34) yang dijadikan stasiun pengukuran bersama DIC dan TOC dengan mempertimbangkan kondisi perairan, kedalaman dan ekosistem perairan yang mengacu kepada stasiun yang telah ditetapkan dari penelitian lainnya (Gambar 1). Pengukuran DIC dan TOC insitu

Pengambilan sampel air untuk pengukuran parameter DIC dilakukan di 10 lokasi titik sampel yaitu di stasiun 1, 3, 5, 9, 13, 17, 19, 26, 30 dan 34 dengan mempertimbangkan kondisi perairan, kedalaman dan ekosistem perairan. Perlakuan sampel untuk parameter DIC dilakukan dengan pengambilan air permukaan sebanyak 250 ml menggunakan Botol Schott Duran yang kemudian diberikan 0.02 ml HgCl2 untuk menghentikan aktivitas biologi (Dickson et al., 2007). Analisa parameter DIC diukur menggunakan metode Titrasi (Giggenbach dan Goguel, 1989) di Laboratorium Produksi Primer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menggunakan alat Microtitrator. Sebagai koreksi terhadap metode maupun hasil analisis, dilakukan juga uji Certified Refference Material (CRM) dari Marine Physical Laboratory, University of California, San Diego. Nilai CRM DIC = 2021,65 ±. Sedangkan hasil pengukuran CRM di Laboratorium Produktivitas Primer = 2028,44 µmol/kg. Hasil analisis DIC dengan CRM ini dilakukan sebanyak 3 kali pengukuran di Laboratorium Produktivitas Primer yang mencapai tingkat ketelitian 99,65% dengan nilai standar deviasi ± 0,42 µmol/kg. Pengambilan sampel sedimen untuk pengukuran parameter TOC dilakukan di 9 titik sampling, yaitu di stasiun 3, 5, 8, 13, 20, 27, 30, 32 dan 34 dengan

Page 4: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

169

pertimbangan kondisi perairan, kedalaman, jenis substrat dan ekosistem perairan. Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan Sediment Grab yang kemudian dimasukan kedalam plastik segel untuk dianalisis TOC dengan menggunakan metode Spektrofotometri di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Data dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan data yang diperoleh dengan baku mutu kualitas air laut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Selain itu, dilakukan juga analisis kuantitatif dengan uji statistik korelasi untuk mengetahui hubungan antara DIC, TOC dengan parameter kualitas air lainnya. Perangkat lunak statistik yang digunakan adalah SPSS17. Pengukuran kualitas perairan

Kualitas perairan merupakan indikator penting dalam mengetahui tingkat kesuburan suatu perairan dan juga digunakan sebagai indikator pencemaran perairan. Pengukuran kualitas perairan dilakukan satu kali setiap stasiun dengan pengukuran parameter fisika dan kimia perairan tersebut yang meliputi; pengukuran kecerahan yang diukur menggunakan secchi disc; pengukuran suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO) yang diukur dengan menggunakan Hand-held Water Quality Multi Parameter (TOA-DKK) yang diturunkan di setiap stasiun pada kedalaman rata-rata 1 m (permukaan).

Hasil dan Pembahasan Karbon anorganik terlarut / dissolved Inorganic Carbon (DIC)

Konsentrasi DIC menggambarkan total konsentrasi CO2 di perairan pesisir Selatan Kepulauan Natuna yang berkisar antara 1,90-2,09 mol/kg. Konsentrasi DIC yang tinggi ditemukan pada sampel di Stasiun 3 (2,09±0,063 mol/kg) yang memiliki kedalaman perairan sekitar 21 meter dengan substrat pasir dan karang yang terletak di antara 2 pulau, sedangkan konsentrasi DIC terendah ditemukan pada sampel dari Stasiun 19 (1,90 ± 0,063 mol/kg) yang memiliki kedalaman perairan lebih kurang 11 meter dengan substrat berupa pasir berlumpur. Perbedaan signifikan antara konsentrasi tertinggi DIC dengan konsentrasi terendah DIC dikarenakan pengaruh perbedaan morfologi pesisir dan lokasi dari kedua stasiun yang memiliki substrat berbeda-beda serta tingkat interaksinya dengan aktivitas manusia (Adi dan Rustam, 2010). Selain itu perairan pesisir juga memiliki kandungan DIC yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam yang mendapat pengaruh lautan (Dickson et al., 2007) Tingginya konsentrasi DIC diduga disebabkan oleh pasokan karbon organik dan anorganik yang berasal dari daratan serta pengaruh dari sebaran terumbu karang disekitarnya yang ditengarai masih sangat luas (Manuputty et al., 2007), serta disebabkan karena daerah pesisir merupakan zona eufotik yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi sehingga ekosistem perairannya lebih produktif jika dibandingkan dengan daerah laut dalam (Maranon et al., 2005).

Gambar 2. Konsentrasi dan sebaran DIC perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna.

Hasil analisis DIC berdasarkan sebaran spasial menunjukan bahwa kondisi perairan pesisir Selatan

Kepulauan Natuna relatif homogen, hal ini terlihat dari standar deviasi yang kecil dari DIC 0,06. Hal ini

Page 5: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

170

diduga berhubungan dengan waktu pelaksanaan survey di bulan November yang merupakan musim penghujan (musim barat) dan dimana pada musim ini kondisi perairan berombak sehingga menyebabkan perairan tercampur secara homogen (Pemkab Natuna, 2014). Hasil pengukuran DIC di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna berkisar antara 1,9-2,1 mol/kg. Parameter DIC yang sering disebut asam karbonat atau ion bikarbonat dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan tekanan parsial CO2 sehingga dapat berperan sebagai buffer pH alami (buffer karbonat). Proses terserapnya CO2 ke dalam laut akan menimbulkan reaksi dengan ion karbonat (CO3

2-) sehingga membentuk ion bikarbonat (HCO3-), hal ini

akan berimbas pada konsentrasi ion hidrogen yang bersifat asam dan mempengaruhi perubahan konsentrasi pH (Royal Society, 2005). Koefisien korelasi yang dihasilkan antara parameter pH dengan DIC adalah 0,66 yang menunjukkan hubungan erat secara linear dan arah hubungan dua variabel tersebut, berupa hubungan korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah yang artinya perubahan yang terjadi pada satu variabel akan mempengaruhi besar variabel lainnya. Total karbon organik / total organic carbon (TOC)

Total karbon organik dalam sedimen adalah jumlah karbon terikat dalam senyawa organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk yang kemudian tenggelam ke dasar perairan dan bercampur dengan lumpur, parameter ini sering digunakan sebagai salah satu indikator kesuburan suatu perairan (Mackenzie et al., 2004). Konsentrasi TOCdi suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; pola arus perairan, batimetri perairan, substrat perairan, pengaruh anthropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan vegetasi lingkungan perairan (Duarte et al., 2005).

Gambar 3. Konsentrasi dan sebaran TOC perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan yang diformulasikan dengan hasil dari laboratorium,

maka dapat dijabarkan bahwa stasiun yang memiliki TOC tertinggi terdapat di stasiun 20 yaitu sebesar 1.190 µg/kg, tingginya TOC di stasiun tersebut diduga dipengaruhi oleh batimetri perairan yang dangkal (±9 m), selain itu juga dipengaruhi oleh lokasi stasiun pengukuran yang berada di bagian dalam persinggungan antara dua pulau sehingga mengakibatkan kurangnya pengaruh pola arus di daerah tersebut. Stasiun 20 juga memiliki daerah yang dekat dengan vegetasi lingkungan mangrove dan berpotensi terpengaruh limpahan karbon organik dari anthropogenik serta aktivitas manusia (masyarakat pesisir) di daerah tersebut. Musim penghujan yang terjadi bersamaan dengan kegiatan penelitian juga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya TOC suatu perairan. Tingginya curah hujan pada saat pengukuran dan pengambilan sampel dapat menurunkan suhu perairan secara signifikan yang berimbas pada meningkatnya tingkat kelarutan sehingga dapat melarutkan CO2 permukaan sampai ke dasar perairan dan menjadikannya sedimen. Stasiun yang memiliki TOC terendah terdapat di Stasiun 32 yaitu sebesar 250 (µg/kg). Rendahnya TOC di stasiun ini dipengaruhi oleh letak lokasi stasiun yang meskipun terdapat ditengah-tengah antara dua buah pulau tetapi masih berada di muara yang berhadapan langsung dengan perairan terbuka sehingga berpotensi mengalami percampuran akibat dari pola arus perairan. Lokasi stasiun 32 pun memiliki substrat dasar perairan berupa pasir berlumpur yang kurang memiliki kemampuan untuk mengendapkan senyawa organik bila dibandingkan

Page 6: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

171

dengan kemampuan stasiun bersubstrat lumpur dalam mengendapkan senyawa organik (Blackburn & Sorensen, 1988), serta terletak jauh dari pantai sehingga kurang mendapat pengaruh anthropogenik dari darat dan aktivitas manusia. Substrat sedimen permukaan dasar pesisir Kepulauan Natuna yang di dominasi oleh pasir, pasir lanauan, lanau, lanau pasiran dan juga karang menjadikan daerah tersebut subur dan kaya sumberdaya perikanan, (Rahayu et al., 2010) Kualitas air

Secara umum beberapa parameter kualitas air yang mengindikasikan kesuburan perairan masih berada dalam keadaan dan kondisi normal sesuai dengan standar baku mutu kualitas perairan yang ditetapkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup No. 51, 2004 (Tabel 1). .

Tabel 1. Tabel Pengukuran Kualitas Air Pesisir Kepulauan Natuna

Parameter Min Max Rata-rata Std.dev Baku mutu KLH no.

51 tahun 2004 Kondisi secara

umum

Kecerahan (m) 2 20,9 7,2 5,267 karang >5 ; lamun >3 Kondisi baik

pH 8,09 8,27 8,2 0,041 7 - 8,5 Kondisi baik

DO (mg/l) 6,34 7,96 7,38 0,443 >5 Kondisi baik

Suhu (°C) 29,2 30,6 29,8 0,320 karang & lamun: 28-30; mangrove: 28-32

Kondisi baik

Salinitas (‰) 27,9 30,4 29,7 0,753 karang & lamun: 33 - 34; mangrove: s/d 34

Baik bagi mangrove namun kurang baik

bagi karang & lamun

Kecerahan

Dari hasil pengukuran kecerahan di perairan selatan Kepulauan Natuna didapat nilai kecerahan terendah yaitu pada stasiun 21 dengan nilai kecerahan 2 m (kedalaman 7 m), sedangkan nilai kecerahan yang tertinggi yaitu pada stasiun 3 dimana secchi disc masih terlihat hingga dasar perairan kedalaman 20,9 m yang menandakan kecerahan air tinggi.

Gambar 4. Sebaran Tingkat Kecerahan perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna

Nilai kecerahan perairan dapat dipengaruhi oleh faktor biologi yang disebabkan oleh kandungan

mikroorganisme dan juga faktor fisik yang disebabkan oleh padatan tersuspensi dan terlarut dalam air tersebut dan kondisi cuaca, faktor lain yang juga berpengaruh seperti waktu pengukuran dan ketelitian pengukuran. Bila mengacu pada baku mutu kecerahan air laut untuk biota laut berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004, maka kecerahan perairan sekitar Pulau Tiga, Sedanau dapat dikategorikan masih memenuhi syarat kecerahan yang mendukung kehidupan biota laut. Parameter pH

Parameter pH merupakan satuan konsentrasi ion hidrogen dalam larutan, biasanya digunakan untuk menyatakan derajat keasaman atau kebasaan suatu larutan. Nilai pH sangat berperan dalam

Page 7: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

172

mengendalikan kondisi ekosistem perairan sehingga tinggi rendahnya pH dapat dipengaruhi oleh banyak-sedikitnya bahan organik yang dibawa melalui aliran sungai.

Gambar 5. Konsentrasi dan sebaran pH perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna

Hasil pengukuran pH air laut di perairan pesisir Kepulauan Natuna berkisar antara 8,09-8,24

(Gambar 5). Terdapat perbedaan nilai pH yang signifikan antara pH di stasiun 5 dan 9 yang memiliki pH tinggi sebesar 8,24 dengan pH di stasiun 17 yang memiliki pH lebih rendah sebesar 8,09. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari aliran sungai yang berada di sekitar perairan pada stasiun 17.Apabila mengacu kepada standar baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004, pH yang disyaratkan untuk menunjang kehidupan biota laut adalah 7-8,5 sehingga dapat katakan bahwa perairan di pesisir selatan Kepulauan Natuna masih berada dalam kondisi yang cukup baik bagi biota laut. Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk proses pernafasan dan metabolismenya. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) insitu pada saat penelitian yaitu berkisar antara 6,34 - 7,96 mg/l dengan rata-rata 7,38 mg/l sehingga kondisi tersebut masih dapat dikategorikan berada pada ambang batas normal.

Gambar 6. Konsentrasi dan sebaran DO perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna.

Meskipun demikian, berdasarkan baku mutu kualitas perairan yang dikeluarkan oleh Kementerian

Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kadar oksigen terlarut yang diperlukan untuk menunjang kehidupan biota laut adalah lebih dari 5 mg/l. Oleh karena itu kadar oksigen terlarut

Page 8: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

173

permukaan perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna pada saat penelitian masih tergolong baik. Kadar oksigen terlarut di permukaan umumnya lebih tinggi karena adanya proses difusi antara air dan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Salinitas

Sebaran salinitas perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai (Nontji, 1987). Pada perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Sebaran salinitas perairan pesisir dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti: keberadaan sungai, antropogenik dari aktivitas manusia serta

Gambar 7. Sebaran Salinitas perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna

Sebaran salinitas permukaan perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna yang ditunjukkan oleh

Gambar 7 menjelaskan bahwa perairan tersebut memiliki sebaran salinitas yang homogen yang berkisar antara 29-31ppt. Salinitas perairan yang terpengaruh langsung oleh aktifitas penduduk dan keberadaan sungai memiliki nilai sedikit lebih rendah daripada salinitas perairan yang berhubungan langsung dengan perairan terbuka. Hal ini dikarenakan oleh pengaruh antropogenik dari darat yang masuk dan bercampur dengan perairan pesisir sehingga mempengaruhi salinitas perairan tersebut.

Suhu Suhu hasil pengukuran insitu dilapangan menunjukan kisaran suhu pada stasiun pengamatan antara 29-31 ºC dijelaskan oleh Gambar 8. Terdapat perbedaan suhu yang cukup signifikan antara suhu tertinggi yang terdapat pada stasiun 19 sebesar 30,6 ºC dengan suhu terendah yang terdapat pada stasiun 30 sebesar 29,2 ºC, hal ini terjadi di karenakan pengaruh lokasi di stasiun 19 yang lebih dekat ke pesisirsehingga berpotensi membawa muatan baru (tambahan debit air) dan juga limbah dari aktivitas manusia, sedangkan pada stasiun 30 terletak agak jauh dari pesisir dan aktivitas manusia dan cenderung lebih dipengaruhi oleh lautan lepas. Rendahnya suhu perairan seperti yang terjadi di stasiun 17 (DO 6,34) dan 30 (DO 6,53) dapat mempengaruhi tingkat kelarutan perairan tersebut berupa meningkatnya tingkat kelarutan gas-gas yang dapat meningkatkan potensi penyerapan karbon serta kualitas perairan.

Page 9: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

174

Gambar 8. Sebaran Suhu perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna

Hubungan antara DIC, TOC dengan kualitas air perairan

Terdapat 5 titik lokasi pengamatan (stasiun 3, 5, 13, 30 dan 34) yang dijadikan lokasi pengukuran bersama DIC dan TOC dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik perairan baik fisika perairan, kimia perairan dan ekosistem perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna. Hal ini dilakukan untuk mengetahui hubungan (secara deskriptif 3 parameter dalam satu grafik) dan pengaruh antara DIC dan TOC perairan serta membandingkannya dengan nilai konsentrasi serta kandungan beberapa parameter kualitas air seperti: pH, DO, Salinitas dan Suhu. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan hubungan yang erat dan signifikan antara DIC dengan parameter kualitas perairan seperti: pH, DO, suhu dan salinitas dimana nilai korelasi parsial antara DIC dengan pH adalah 0,815, DIC dengan DO adalah 0,815, DIC dengan suhu 0,951 dan DIC dengan salinitas adalah 0,876. Nilai konsentrasi DIC dan parameter kualitas air dipengaruhi oleh situasi dan kondisi perairan baik berupa antropogenik maupun cuaca, hal ini dibuktikan dengan perubahan yang terjadi pada parameter kualitas air yang juga mempengaruhi nilai konsentrasi DIC. Berdasarkan Dikson and Goyet dalam Suratno dan Prayudha (2010) bahwa terdapat 3 parameter yang saling berhubungan dengan DIC yaitu: alkalinitas total (AT), fugasitas CO2 (fCO2) dan derajat keasaman (pH) yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Kenaikan suhu permukaan laut dapat menurunkan kelarutan CO2 perairan sehingga dapat menyebabkan penurunan nilai pH perairan. Selain DIC, kenaikan suhu pemukaan laut juga dapat mengurangi konsentrasi DO

Page 10: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

175

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 9. Hubungan DIC, TOC dengan parameter pH (a), DO (b), salinitas (c) dan temperatur (d)

Kandungan TOC sedimen pada 5 stasiun pengamatan berkisar antara 320 - 460 g/kg sedangkan

kandungan DIC berkisar antara 2.030 - 2.090 µmoll/kg dengan kisaran pH antara 8,13-8,24 serta kisaran temperatur 29,2 oC – 30,1 oC. Stasiun 30 memiliki TOC dan DIC terendah serta berada di daerah dengan nilai pH dan salinitas yang juga rendah, hal ini menunjukan bahwa keberadaan Stasiun 30 yang dangkal dan berada diantara pulau juga dipengaruhi oleh aliran arus dari laut yang berimbas pada menurunnya tingkat kelarutan pada titik tersebut memiliki hubungan satu sama lain. Nilai TOC juga terpengaruh oleh perubahan suhu yang dapat mengakibatkan kenaikan ataupun penurunan kemampuan perairan dalam melarutkan karbon baik organik maupun anorganik. Berbeda dengan DIC yang menunjukan hubungan yang kuat, hasil uji statistik pada TOC menunjukan adanya suatu hubungan yang lemah antara TOC dengan parameter kualitas perairan, dimana nilai korelasi parsial TOC dengan pH adalah 0,494, TOC dengan DO adalah 0,363, TOC dengan Suhu adalah 0,265 dan TOC dengan Salinitas adalah 0.064. Perbedaan kuat lemahnya hubungan antara DIC, TOC dengan parameter kualitas air ini ditengarai berdasarkan perbedaan kolom pengambilan sampel DIC yang di ukur di permukaan perairan sedangkan sampel TOC yang di ukur berassal dari sedimen dasar perairan sehingga hubungan antara DIC dengan parameter kualitas perairan lebih kuat dibandingkan dengan TOC.

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, sebaran spasial parameter kandungan CO2 dengan kandungan DIC

berkisar antara 1,9-2,3 mol/kg, sedangkan kandungan TOC perairan berkisar antara 0,25-1,19 g/kg. Nilai kandungan DIC dan TOC di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna dipengaruhi oleh jenis substrat

Page 11: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

176

sedimen yang didominasi oleh pasir, pasir lanauan, lanau pasiran dan terumbu karang, selain itu juga dipengaruhi oleh antropogenik pesisir, batimetri perairan serta pola sirkulasi arus disekitarnya. Mengacu standar baku mutu Kementerian Lingkungan Hidup 2004, kualitas perairan di pesisir selatan Kepulauan Natuna masih masuk dalam kategori baik, yang dapat mendukung ekosistem perairan seperti lamun, mangrove dan terumbu karang. Pemantauan dan pengukuran secara berkala pada masa yang akan datang baik secara musiman maupun tahunan sangat perlu dilakukan, dengan menambah parameter CO2 lain seperti pCO2 air dan atmosfer untuk mengkaji sistem fluks CO2 secara keseluruhan dan peranan perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna dalam melepas atau menyimpan CO2.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Chyntia Henny (Limnologi LIPI) yang telah membimbing dalam penulisan manuskrip artikel ini, serta seluruh anggota tim Survei Natuna (A.R.T.D. Kuswardani, D. D. Suryono, H.I. Ratnawati, S.L. Sagala, C.D. Puspita, R.A. Adi, J. Prihantono, B. Hasanudin dan R. Hasan) atas bantuan dan kerja sama selama pelaksanaan survei. Penyelenggaraan Survei dan analisis sampel ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian “Kajian Sumberdaya dan Lingkungan Pesisir Kawasan Natuna” yang didanai oleh APBN DIPA Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir (P3SDLP) TA. 2012, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penyusunan dan penerbitan (manuskrip) artikel ini didanai dengan APBN DIPA P3SDLP TA. 2013. Data diolah di Laboratorium Data Laut dan Pesisir P3SDLP.

Daftar Pustaka Adi, N. S., A. Rustam. 2010. Studi awal pengukuran sistem co2 di Teluk Banten. Prosiding Pertemuan

Ilmiah Tahunan VI ISOI 2009, Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia, Jakarta. Baum, A., T. Rixen, J. Samiaji . 2007. Relevance of peat draining rivers in central Sumatra for the riverine

input of dissolved organic carbon into theocean. Estuarine Coastal Shelf Science, 73: 563-570 Behrenfeld, M.J., E. Boss., D.A. Siegel, D.M. Shea. 2005. Carbon-based ocean productivity and

phytoplankton physiology from space. Global Biogeochemical Cycles, 19: 1-14. Blackburn, T.H., J. Sorensen. 1988. Nitrogen cycling in coastal marine environment. John Wiley and Sons

Inc. New York. Dahuri, R., J. Rais. S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan

secara terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. Dickson, A.G., C.L. Sabine, J.R. Christian (Eds). 2007. Guide to best practice for ocean co2 measurements.

PICES Special Publication 3, 191 pp. ISBN 1-897176-07-4. ISSN 1813-8519, British Columbia, Canada.

Duarte, C.M., J.J. Middelburg, N. Caraco. 2005. Major role of marine vegetation on the oceanic carbon cycle. Biogeosciences, 2:1-8GEBCO. 2008. General bathymetric chart of the ocean. 30 arc-second resolution. http://www.gebco.net. diakses 15 December 2013

Giggenbach, W.F., R.L. Goguel. 1989. Collection and analysis of geothermal and volcanic water and gas diskharges. Report No. CD 2401, 4th edition. Chemistry Division , Department of Scientific and Industrial Research. Peton, New Zealand.

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH). 2004. Baku mutu air laut untuk biota laut. Dalam: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.

Kusumaningtyas, M.A, R. Bramawanto, A. Daulat, W.S. Pranowo. 2014. Kualitas Perairan Natuna Pada Musim Transisi. Jurnal Depik, Volume 3 No 1: 10-20. ISSN 2089-7790

Mackenzie, F.T., A. Lerman, A.J. Anderson. 2004. Past and present of sediment and carbon biogeochemical cycling models, Biogeosciences, 1: 11–32

Manuputty, A., Suyarso, P. Swasti, A. Salatalohi, A. Budiyanto, J. Picasouw, R. Haryanto, Sumadiyo, Djuwariah, Yahmantoro. 2007. Studi Baseline ekologi Natuna. Coral Reef Information and Training Center, Coral Reef Rehabilitation and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, CRITC,-COREMAP II-LIPI, Jakarta.

Page 12: Sebaran kandungan CO terlarut di perairan pesisir selatan

Depik, 3(2): 166-177

Agustus 2014 ISSN 2089-7790

177

Maranon, E, P. Cermeno, V. Perez. 2005. Continuity in the photosynthetic production of dissolved Organic Carbon From Eutrophic to Oligotrophic Waters. Marine Ecology Progress Series, 299: 7-17.

Milliman, J. D., J. P. M. Syvitski. 1992. Geomorphic / tectonic control of sediment diskharge to the ocean: the importance of small mountainous rivers. Journal of Geology, 100, 525– 544.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. Nontji, A. 2008. Plankton laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Press, Jakarta. Rahayu, Y.P., R.A. Adi, D.G. Pryambodo, H. Triwibowo, C.D. Puspita. 2010. Riset karakteristik sedimen

permukaan dasar pesisir natuna untuk mendukung budidaya laut. Laporan Teknis, Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Royal Society. 2005. Ocean acidification due to increasing atmospheric carbon dioxide. Policy Document 12/05. The Royal Society,1-68., London

Schlitzer, R. 2013. Ocean data view Ver.4.5.3. http://odv.awi.de. Suratno, B. Prayudha. 2010. Distribusi temporal karbon anorganik di perairan Gugus Pulau Pari.

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 36(2): 165-180.

Takahashi, T., S.C. Sutherland, A. Kozyr. 2008. Global ocean surface water partial pressure of CO2 database: measurements performed during 1968-2007 (Version 2007). Carbon Dioxide Information Analysis Center (CDIAC), Oak Ridge National Laboratory (ORNL)-152, NDP-088., U. S. Department of Energy, Oak Ridge, Tennessee.

Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of South East Asian Water. Naga Report. Vol 2.Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California.

http://co2now.org/Current-CO2/CO2-Trend/acceleration-of-atmospheric-co2.html, diakses pada tanggal 20 December 2013

http://www.natunakab.go.id/sekilas-natuna.html. diakses pada tanggal 20 December 2013. http://www.bakosurtanal.go.id/peta-kelautan. diakses pada tanggal 15 November 2013