Upload
juwita-febriana
View
54
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI
TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI
DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK
(Kasus: Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
Oleh:
MENDEZ FARDIAZ
A14202050
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
MENDEZ FARDIAZ. PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK: Kasus Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor (Di Bawah Bimbingan DWI SADONO).
Pada saat sekarang ini, walaupun pemerintah telah melaksanakan berbagai
upaya untuk menyarankan kepada para petani agar bertani secara organik namun
masih belum banyak petani yang mau menerapkannya. Oleh karena itu perlu
diadakan penelitian terhadap para petani yang sudah lebih dulu menerapkan
pertanian secara organik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon petani terhadap pertanian
organik dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan petani mau
berusahatani secara organik. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir
Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai
dengan bulan Juli 2007. Pengambilan sampel penelitian ditentukan dengan
metode acak sederhana sehingga mendapatkan sampel yang berjumlah 35 orang.
Penelitian ini merupakan jenis deskriptif korelasional dengan metode penelitian
survey. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif. Data primer
diperoleh dari responden melalui pengisian kuisioner dan hasil wawancara,
sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor UPTD Penyuluhan Pertanian
Wilayah Cibungbulang. Dalam hal pengolahan data, untuk data kuantitatif diuji
melalui Chi-Square dan korelasi rank Spearman yang dilakukan dengan
menggunakan program SPSS .
Petani di Desa Ciaruteun Ilir pada umumnya adalah orang tua yang berusia
40-47 tahun ke atas. Para pemuda di desa ini lebih suka bekerja di sektor informal
seperti buruh atau pengojek. Lahan yang digarap petani sangat sempit dengan
rata-rata setiap petani menggarap sawah sekitar 1.101 m2-1.400 m2 dan sebagian
besar berasal dari tanah warisan. Petani juga memiliki tingkat pendidikan yang
relatif rendah, yaitu tamatan sekolah dasar dengan total 85,70 persen dari seluruh
responden. Dari total 35 orang, sebanyak 26 orang pernah mengikuti pendidikan
non-formal berupa pelatihan pertanian organik. Pengalaman bertani secara
konvensional petani di Desa Ciaruteun Ilir lebih lama dibandingkan bertani secara
organik. Dari semua jenis media massa yang ditanyakan, rata-rata tidak lebih dari
12 petani yang sering menambah pengetahuan bertani organik melalui media
massa. Media Billboard sering dipakai petani karena sifatnya yang mudah
dimengerti dan dapat dibaca secara sekilas.
Petani memiliki respon yang baik terhadap kehadiran pertanian organik.
Petani menyatakan bahwa pertanian organik sebagai upaya memenuhi kebutuhan
pangan, dan mekanismenya dapat mengurangi pencemaran lingkungan sehingga
kesuburan tanah dapat terjaga. Selain itu, pengurangan penggunaan pestisida
dapat mengurangi pembunuhan terhadap predator-predator hama yang
menguntungkan petani. Secara ekonomis, petani menyatakan dengan bertani
organik ternyata lebih menguntungkan daripada bertani secara konvensional.
Petani juga menyatakan bahwa untuk bertani organik tidaklah rumit. Selain itu,
hasil pertanian organik pun sangat mudah untuk diamati. Setelah mengetahui
banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari bertani organik, beberapa petani
menyatakan menerima pertanian organik dan masih ada juga beberapa petani
menyatakan ragu-ragu untuk beralih dari pertanian konvensional ke pertanian
organik. Petani pun menyatakan akan mengembangkan pertanian organik dan
akan mencari informasi lebih lanjut mengenai pertanian organik baik melalui
media massa maupun PPL.
Hasil analisis korelasi antara variabel tingkat pengambilan keputusan
inovasi dengan variabel karakteristik sosial ekonomi, menunjukkan variabel usia
dan luas lahan memiliki hubungan yang sangat nyata. Faktor pengalaman bertani
organik juga berhubungan nyata dengan keputusan petani untuk melakukan
pertanian organik. Tingkat pendidikan petani ternyata tidak berhubungan nyata
dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi yang berarti keputusan petani
bertani organik tidak dipengaruhi tinggi rendahnya pendidikan mereka. Walaupun
berpendidikan rendah, namun mereka mau menerima inovasi bertani secara
organik.
Dari variabel komunikasi, ternyata semua variabelnya berhubungan nyata
dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi. Bahkan, interaksi dengan radio,
surat kabar, pamflet dan PPL memiliki hubungan yang sangat nyata. Hal ini
berarti semakin banyak petani berinteraksi dengan media massa dan PPL yang
membahas pertanian organik, semakin mendorong petani untuk ikut mencoba
pertanian organik.
Dari kelima indikator variabel karakteristik inovasi ternyata empat
indikator yang mempunyai hubungan yang nyata dengan tingkat pengambilan
keputusan inovasi yaitu apakah pertanian organik memberikan keuntungan relatif
terhadap petani, apakah teknik pertanian memungkinkan untuk dicoba serta
bagaimanakah tingkat kesulitan teknik pertanian organik jika dibandingkan
dengan teknik pertanian konvensional dan tingkat kemungkinan diamatinya hasil
pertanian organik, sedangkan indikator tingkat kesesuaian tidak berhubungan
nyata.
Setelah melihat hubungan antara variabel karakteristik sosial ekonomi,
perilaku komunikasi dan karakteristik inovasi dengan tingkat pengambilan
keputusan inovasi, ternyata variabel perilaku komunikasi memiliki korelasi lebih
besar daripada variabel lainnya terhadap tingkat pengambilan keputusan inovasi.
Hal ini berarti, interaksi petani dengan media massa dan PPL menjadi faktor kuat
yang menyebabkan petani mengambil keputusan untuk bertani organik.
Saran yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini diantaranya (1)
kelompok tani perlu membuat lokasi khusus untuk pembuatan pupuk organik
secara kelompok. (2) petani diberikan pelatihan untuk menggolongkan hasil
produksi yang baik dan yang kurang baik dan dilakukan pengepakan dan
pelabelan bagi produk yang kualitasnya baik dan (3) menjadikan media massa dan
PPL sebagai media bagi pemerintah untuk menginformasikan inovasi-inovasi di
bidang pertanian, khususnya pertanian organik.
PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI
TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI
DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK
(Kasus: Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
Oleh:
MENDEZ FARDIAZ
A14202050
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian
pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa penelitian yang ditulis oleh :
Nama : Mendez Fardiaz
No Pokok : A14202050
Judul : Pengaruh Karakteristik Petani terhadap Tingkat Pengambilan
Keputusan Inovasi dalam Usaha Sayuran Organik (Kasus: Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Dwi Sadono, MSi NIP.132 009 375
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian : 22 Agustus 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA PENELITIAN YANG
BERJUDUL PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP
TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA
SAYURAN ORGANIK BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN
MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA PENELITIAN INI BENAR-BENAR HASIL
KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN
YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN
KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM
NASKAH.
Bogor, Agustus 2008
Mendez Fardiaz A 14202050
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak kedua dari pasangan Prof.Dr.Ir.Dedi Fardiaz.MSc
dan Prof.Dr.Ir Srikandi Fardiaz (Alm) yang lahir pada tanggal 26 Desember 1982
di Jakarta. Pendidikan pertama ditempuh di Taman Kanak-Kanak Syntha, Bogor.
Selanjutnya pada tahun 1990 meneruskan sekolah di Sekolah Dasar Regina Pacis,
Bogor. Pada tahun 1998 penulis lulus dari SLTP Negeri 4, Bogor dan meneruskan
di SMU Negeri 3, Bogor yang kemudian lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2002 selanjutnya penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur SPMB pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat (KPM), Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, kekuatan serta jalan yang terbaik menurut-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan lancar. Penelitian
yang berjudul Pengaruh Karakteristik Petani terhadap Tingkat Pengambilan
Keputusan Inovasi dalam Usaha sayuran Organik
Penelitian ini memang bukan merupakan studi yang pertama kali
mengenai pengambilan keputusan di Institut Pertanian Bogor. Oleh karena itu
diharapkan dapat menjadi masukan atau referensi berguna dalam kajian mengenai
pengambilan keputusan terhadap usaha sayuran organik dengan lingkungan sosial
mereka. Semoga skripsi ini bermanfaat. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu penulis mengemukakan ucapan terima kasih kepada
pihak tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain :
1. Ir. Dwi Sadono, MSi selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar telah
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam proses
pembuatan penelitian dan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi atas kesediannya menjadi dosen penguji
utama dalam ujian skripsi dan memberikan saran-saran kepada penulis.
3. Martua Sihaloho, SP, MSi atas kesediannya sebagai penguji wakil
departemen.
4. Papah & Mamah atas segala doa dan dukungannya.
5. Petani di Desa Ciaruteun Ilir atas ketersediaannya menjadi responden
penelitian ini.
6. Istriku tercinta yang telah menemani di setiap langkah dan semua menjadi
lebih berarti.
7. Teman-teman setia Arif, Yudi, Edi Botak, Ipan Ale, Bayu dan Munir
terima kasih atas dukungan dan doanya.
8. Teman-teman band LIEBE, terima kasih atas segala dukungan serta
doanya juga.Keep on rock dude.
9. KPM 39, yang telah membuat waktu selama hampir 4 tahun terakhir
menjadi berkesan dan tidak terlupakan
10. Seluruh teman-teman 38, 39 dan 40 serta tim KKP atas kebersamaannya
selama ini
11. Tim dosen KPM IPB dan seluruh staf Sosek Pertanian, terima kasih telah
memberikan pengajaran yang terbaik dan telah membantu selama
perkuliahan sampai pada pelaksanaan seminar.
12. Mba Maria dan Mba Nisa nu pang geulisna, atas semua bantuan dan
dukungannya.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1 1.2 Perumusan masalah ................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 4 1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................. 4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ...................................................... 5
2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................... 5 2.1.1. Pertanian Organik ........................................................... 5 2.1.1.1. Pengertian Pertanian Organik ................................... 5 2.1.1.2. Tujuan Pertanian Organik ......................................... 7 2.1.1.3. Kegunaan Pertanian Organik .................................... 8 2.1.1.4. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pertanian Organik ...................................................................... 10 2.1.2. Penyuluhan Pertanian ..................................................... 11 2.1.3. Adopsi Inovasi ............................................................... 12 2.1.3.1. Pengertian Adopsi .................................................... 13 2.1.3.2. Atribut Inovasi ......................................................... 17
2.1.3.3. Interaksi Individual dan Kelompok dalam Adopsi Inovasi ...................................................................... 18 2.1.3.4. Sumber Informasi dalam Adopsi Inovasi ................. 19 2.1.3.5. Faktor Intern dari Adopter ....................................... 22 2.1.3.6. Proses Adopsi Inovasi di Masyarakat ...................... 23 2.1.3.7. Langkah-langkah Proses Pengambilan Keputusan Inovasi ...................................................................... 25 2.2. Penelitian Terdahulu ............................................................. 27 2.3. Kerangka Pemikiran .............................................................. 28 2.4. Hipotesis ................................................................................ 30 2.5. Definisi Operasional .............................................................. 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 33
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 33 3.2 Metodologi Penelitian dan Pengumpulan Data ..................... 33 3.3 Penentuan Sampel ................................................................. 34
3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................. 34
BAB IV GAMBARAN UMUM ................................................................ 36 4.1. Keadaan Wilayah .................................................................. 36 4.2. Potensi Sumber Daya Alam .................................................. 36 4.3. Potensi Sumber Daya Manusia ............................................. 37 4.4. Potensi Kelembagaan ............................................................ 39 4.5. Keadaan Pertanian Organik di Desa Ciaruteun Ilir ............... 40
BAB V KARAKTERISTIK DAN PETANI TERHADAP PERTANIAN ORGANIK .......................................................... 42
5.1. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani .................................... 42 5.1.1. Umur Petani .................................................................... 42 5.1.2. Luas Lahan ...................................................................... 42 5.1.3. Tingkat Pendidikan Formal ............................................. 43 5.1.4. Tingkat Pendidikan Non-Formal ..................................... 44 5.1.5. Pengalaman Bertani Konvensional ................................. 44 5.1.6. Pengalaman Bertani Organik .......................................... 45 5.2. Interaksi Petani dengan Media Massa ................................... 46 5.3. Karakteristik Inovasi ............................................................. 50 5.4. Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi .............................. 55
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI ...................................................................................... 62
6.1. Hubungan Antara Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi dengan Variabel Karakteristik Sosial Ekonomi ........ 62 6.2. Hubungan Antara Tingkat Pengambilan Keputusan
dengan Variabel Perilaku Komunikasi .................................. 64 6.3. Hubungan Antara Tingkat Pengambilan Keputusan
Inovasi dengan Variabel Karakteristik Inovasi ..................... 65 6.4. Hubungan Antara Tingkat Pengambilan Keputusan
dengan Variabel Karakteristik Sosial Ekonomi, Perilaku Komunikasi dan Karakteristik Inovasi .................................. 67
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 69 7.1. Kesimpulan ........................................................................... 69 7.2. Saran ...................................................................................... 70 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 71 LAMPIRAN ................................................................................................ 73
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 1. Luas Lahan Darat dan Lahan Sawah Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang ..................................................................... 37
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang ............................................... 38
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang .............................................. 39
Tabel 4. Data Kelompok Tani di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang ......................................................................................... 40
Tabel 5. Jumlah Petani di Desa Ciaruteun Ilir menurut Kelompok Umur ........... 42
Tabel 6. Jumlah Petani di Desa Ciaruteun Ilir menurut Luas Lahan Sawah yang Digarap ........................................................................................... 43
Tabel 7. Jumlah Petani di Desa Ciaruteun Ilir menurut Pendidikan Formal yang Ditamatkan ..................................................................................... 43
Tabel 8. Jumlah Petani di Desa Ciaruteun Ilir menurut Pendidikan Non-formal yang diikuti ......................................................................... 44
Tabel 9 Jumlah Petani di Desa Ciaruteun Ilir menurut Pengalaman Bertani Konvensional .............................................................................. 45
Tabel 10. Jumlah Petani di Desa Ciaruteun Ilir menurut Pengalaman Bertani Organik ....................................................................................... 45
Tabel 11. Tingkat Karakteristik Sosial Ekonomi Petani di Desa Ciaruteun Ilir ..... 46
Tabel 12. Frekuensi Pemanfaatan Media Massa oleh Petani di Desa Ciaruteun Ilir dalam Setahun Terakhir .................................................................... 47
Tabel 13. Tingkat Perilaku Komunikasi Petani dalam Pemanfaatan Media Massa untuk Pertanian Organik .......................................................................... 48
Tabel 14. Jumlah Media Massa yang Dimanfaatkan sebagai Sumber Informasi Petani untuk Memperoleh Pengetahuan Pertanian Organik ..................... 49
Tabel 15. Frekuensi Pertemuan Petani di Desa Ciaruteun Ilir dengan PPL ............. 49
Tabel 16. Penilaian Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Kesesuaian Bertani Organik dengan Lingkungan ..................................................................... 50
Tabel 17. Penilaian Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Bertani Organik Secara Ekonomis ....................................................................................... 51
Tabel 18. Penilaian Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Perbandingan Kerumitan Bertani Organik dengan Konvensional .................................. 52
Tabel 19. Pendapat Petani di Desa Ciaruteun Ilir mengenai Demplot untuk Bertani Organik ............................................................................... 53
Tabel 20. Penilaian Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Kemungkinan Diamatinya Hasil Bertani Organik ............................................................ 54
Tabel 21. Tingkat Karakteristik Inovasi ... 54
Tabel 22. Pengetahuan Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Bertani Organik Ramah Lingkungan dan Bernilai Ekonomis .............................. 55
Tabel 23. Sikap Petani di Desa Ciaruteun Ilir ketika Pertama Kali Mendengar Pertanian Organik ..................................................................................... 56
Tabel 24. Sikap Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Tata Cara Bertani Organik ...................................................................................................... 56
Tabel 25. Sikap Petani di Desa Ciaruteun Ilir untuk Beralih Menjadi Petani Organik .......................................................................................... 57
Tabel 26. Sikap Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Penggunaan Pupuk Hijau .............................................................................................. 58
Tabel 27. Sikap Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Penggunaan Pestisida Organik ..................................................................................... 59
Tabel 28. Sikap Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Pembuatan Demplot ......... 59
Tabel 29. Sikap Petani di Desa Ciaruteun Ilir terhadap Pengembangan Teknik Organik ........................................................................................ 60
Tabel 30. Sikap Petani di Desa Ciaruteun Ilir untuk Menambah Informasi Melalui Media Massa dan PPL ................................................................ 61
Tabel 31. Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi . 61
Tabel 32. Hasil Uji Statistik Variabel Karakteristik Sosial Ekonomi ....................... 63
Tabel 33. Hubungan antara Tingkat Pengambilan Keputusan dengan Variabel Perilaku Komunikasi ................................................................................. 65
Tabel 34. Hubungan antara Karakteristik Inovasi dengan Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi ..................................................................................... 67
Tabel 35. Hubungan antara Variabel-variabel terhadap Pengambilan Keputusan Inovasi ..................................................................................... 68
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengaruh Karakteristik Petani terhadap Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi pada Usaha Sayuran Organik ................................................................................................. 29
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Lampiran 1. Kuisioner .......................................................................................... 74
Lampiran 2. Definisi Operasional ......................................................................... 79
Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi Rank Spearmen .................................................. 83
Lampiran 4. Hasil Uji Korelasi Chi- Square ....................................................... 103
Lampiran 5. Peta Wilayah Kecamatan Cibungbulang ......................................... 105
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada awal permulaan tahun 1970-an, pemerintah Indonesia melaksanakan
suatu program pembangunan pertanian yang dikenal dengan sebutan revolusi
hijau. Masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan program BIMAS.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas pertanian khususnya sektor
pertanian pangan dengan menerapkan teknologi pertanian modern. Program
tersebut mampu merubah sikap petani dari anti teknologi menjadi mau
memanfaatkan teknologi pertanian modern, dan peranan agen penyuluhan
pertanian adalah untuk membentuk pendapat yang sehat dan membuat keputusan
yang baik dengan cara berkomunikasi dan memberikan informasi serta
menyebarkan inovasi yang mereka perlukan.
Menurut Soetrisno (2002), secara makro program revolusi hijau berhasil
karena mampu meningkatkan produktivitas sub-sektor pertanian pangan, Akan
tetapi secara mikro revolusi hijau menimbulkan permasalahan sendiri. Salah satu
masalah yang penting adalah terjadi uniformitas bibit tanaman di Indonesia. Hal
tersebut mengakibatkan sub-sektor pertanian pangan rentan terhadap barbagai
hama. Meskipun produktivitas sub-sektor pertanian pangan tinggi, tetapi tidak
memiliki ketahanan hidup yang lama. Revolusi hijau juga membuat petani
menjadi bodoh. Banyak pengetahuan lokal dilupakan oleh petani. Ketergantungan
pada teknologi industri pertanian membuat rentan terjadinya objek permainan
produk-produk seperti pupuk kimia.
2
Selain itu, juga digunakan pestisida sebagai salah satu cara untuk
mengendalikan hama yang bisa merugikan panen mereka. Sering kali cara yang
dilakukan tersebut justru membahayakan, dimana pupuk kimia yang digunakan
membuat kondisi tanah kurang subur, pestisida mengakibatkan pencemaran
lingkungan dan hilangnya predator alami yang justru berperan dalam menciptakan
keseimbangan ekosistem. Melihat kenyataan ini, perlu adanya sistem yang
menjamin terciptanya lingkungan yang sehat dan ramah yang salah satunya
melalui sistem organik.
Prospek ekonomis dari pertanian ini cukup baik seiring dengan
berubahnya pola konsumsi manusia, dimana manusia lebih memilih makanan
yang sehat meskipun dengan harga yang lebih mahal (Soetrisno, 2002). Lebih
lanjut, Prawoto (2002) menambahkan bahwa adanya perbaikam mutu kehidupan
dan gaya hidup sehat untuk kembali ke alam. Gerakan ini didasari bahwa apa
yang berasal dari alam adalah baik dan berguna, dan segalanya yang baik di alam
itu selalu berada dalam keseimbangan.
Menurut Organic Farming Research Foundation (OFRF), pertanian
organik adalah sistem manajemen produksi ekologis yang mendukung dan
memperkaya keanekaragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.
Terdapat delapan alasan pentingnya pertanian organik. Pertama, budidaya
pertanian secara konvensional yang menggunakan pestisida kimia atau sintesis
secara berlebihan akan menghasilkan residu bahan-bahan kimia yang bersifat
karsiogenik yang dapat memicu terbentuknya kanker. Kedua, hasil penelitian
tahun 1980-an menyimpulkan bahwa rata-rata anak-anak yang terkena bahan
beracun penyebab kanker, empat kali lebih banyak daripada orang dewasa yang
3
sebagian berasal dari jenis-jenis makanan anak-anak yang mereka makan. Ketiga,
dengan mengkonsumsi pangan organik dapat membantu dalam pemulihan
ekosistem alam yang telah rusak. Keempat, dengan menciptakan sistem budidaya
organik akan menciptakan pula kondisi lingkungan yang sehat dan
menguntungkan bagi kesehatan petani. Kelima, membantu dalam mendukung
petani-petani lokal yang masih berskala kecil. Keenam, mengkonsumsi pangan
organik sama dengan menghemat uang untuk anggaran kesehatan karena pangan
organik mampu menjaga kesehatan tubuh. Ketujuh, dari segi kualitas terasa lebih
manis, renyah dan wangi empuk serta awet. Kedelapan, pangan organik sebaiknya
harus bebas dari bahan-bahan hasil rekayasa genetik.
Pada saat sekarang ini, walaupun pemerintah telah melaksanakan berbagai
upaya untuk menyarankan kepada para petani agar bertani secara organik namun
masih belum banyak petani yang mau menerapkannya. Oleh karena itu perlu
diadakan penelitian terhadap para petani yang sudah lebih dulu menerapkan
pertanian secara organik. Tujuannya adalah mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan petani untuk bertani secara organik.
1.2 Perumusan Masalah
Pertanian organik memberikan dampak yang baik bagi kesejahteraan
kehidupan petani, karena harga dan kualitasnya yang bermutu tinggi. Oleh karena
itu kegiatan pertanian organik perlu diadopsi oleh petani untuk kaum petani.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi bahayanya pestisida bagi
kesehatan manusia, beragam informasi yang disampaikan mengenai seputar
bahaya pestisida dan berbagai bentuk kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas
pertanian disebarluaskan melalui kegiatan penyuluhan, organisasi, dan kelompok
4
tani, dan serta tidak ketinggalan yaitu media massa. Tetapi kebiasaan para petani
yang melakukan pertanian konvensional tersebut sulit untuk diubah dan
digantikan oleh informasi baru berdasarkan sistem pertanian baru tersebut, apalagi
teknik konvensional tersebut telah dibuktikan dapat menghasilkan produksi
petanian yang secara kuantitas relatif menguntungkan dan sampai saat ini masih
diterapkan secara dominan dalam pengelolaan usaha sayuran. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian
ini adalah : (1) Bagaimana respon petani terhadap pertanian organik, dan (2) Apa
faktor-faktor yang menyebabkan petani mau untuk berusahatani secara organik.
1.3 Tujuan Penelitian
Mengarah pada rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji respon petani terhadap
pertanian organik, dan (2) Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan petani
mau untuk berusahatani secara organik.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum
seputar adopsi inovasi pada pertanian organik khusunya sayuran oleh petani di
Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang kepada para pembaca. Disamping itu,
dengan diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi
inovasi pada pertanian organik, faktor-faktor tersebut dapat ditindaklanjuti untuk
memperluas skala adopsi inovasi di wilayah setempat. Dengan demikian
penelitian diharapkan dapat mendorong pengembangan adopsi inovasi tersebut
lebih lanjut ke skala yang lebih luas.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pertanian Organik
2.1.1.1 Pengertian Pertanian Organik
Pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang didisain dan
dikelola sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan produktivitas yang
berkelanjutan (Winarno dalam Wisnuwardhani, 2002). Pertanian organik menurut
Codex Alimentarius Commision (CAC) adalah suatu sistem manajemen pertanian
holistik (integral) yang mempromosikan dan menunjang kesehatan agroekosistem
(ekosistem pertanian), termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan
aktivitas biologis tanah. Definisi pertanian organik adalah sistem manajemen
produksi ekologis yang mendukung dan memperkaya keanekaragaman hayati,
siklus biologis, dan aktivitas tanah. Menurut standar nasional Indonesia ( SNI,
2002), pertanian organik merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang dapat
mendukung lingkungan. Sistem produksi organik didasarkan pada standar
produksi yang spesifik dan tepat, bertujuan pada pencapaian agroekosistem yang
optimal, dan berkelanjutan baik secara sosial, ekologi maupun ekonomi.
Pertanian yang mirip dengan kelangsungan hidup hutan disebut pertanian
organik, karena kesuburan tanaman berasal dari bahan organik secara alamiah.
Pengertian lain pertanian organik adalah sistem pertanian (dalam hal bercocok
tanam) yang tidak mempergunakan bahan kimia, tetapi menggunakan bahan
6
organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon
pertumbuhan, dan lain sebagainya (Pracaya, 2004).
Prinsip pertanian organik yaitu berteman akrab dengan lingkungan, tidak
mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Cara yang ditempuh agar tujuan
tersebut tercapai antara lain (Pracaya, 2004) :
1. Memupuk dengan kompos, pupuk kandang, guano.
2. Memupuk dengan pupuk hijau.
3. Memupuk dengan limbah yang berasal dari kandang ternak, pemotongan
hewan (RPH), septic tank.
4. Mempertahankan dan melestarikan habitat tanaman dengan pola tanam
polikultur.
Bahan kimia dalam pertanian konvensional, dipergunakan untuk
menyuburkan tanah dan memberantas hama dan penyakit. Dengan pertanian
organik, kedua macam kegiatan tersebut dapat diatasi. Selain menggunakan pupuk
kandang, tanaman yang termasuk famili leguminosae misalnya kacang-kacangan
mempunyai bintil akar yang dapat menambat nitrogen dari udara dan kemudian
mengubahnya menjadi nitrogen yang dapat diserap oleh tanaman.
Adapun pestisida yang digunakan untuk memberantas hama dan penyakit,
dapat diganti dengan pestisida organik. Beberapa tanaman yang dapat digunakan
sebagai pestisida organik yaitu nimba, tembakau, mengkudu, mahoni, papaya, dan
lain sebagainya. Pestisida organik ini mudah membuatnya, tidak mencemari
udara, tidak berbahaya, tidak meracuni konsumen karena cepat terurai, dan
tanamannya mudah diperoleh, serta dapat ditanam di kebun.
7
2.1.1.2 Tujuan Pertanian Organik
Menurut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture
Movement, 1997), tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan sistem
pertanian organik adalah :
1. Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah
yang cukup.
2. Melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang
mendukung semua bentuk kehidupan yang ada.
3. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usahatani dengan
mengaktifkan kehidupan jasad remik, flora dan fauna, tanah, tanaman serta
hewan.
4. Memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan.
5. Menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber terbaharui yang berasal dari
sistem usaha tani itu sendiri.
6. Memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik didalam maupun
di luar usahatani.
7. Menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan
perilakunya yang hakiki.
8. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin
dihasilkan oleh kegiatan pertanian.
9. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat
tanaman dan hewan.
10. Memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian
(terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi
8
manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan
kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat.
11. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usahatani terhadap
kondisi fisik dan sosial.
2.1.1.3 Kegunaan Pertanian Organik
Kegunaan budidaya organik pada dasarnya adalah meniadakan atau
membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya
kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata
dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan
keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara
makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik dan pupuk
hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling
mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus mengkonservasikan dan
menyehatkan unsur tanah serta menghindari kemungkinan terjadinya pencemaran
lingkungan (Sutanto, 2002).
Beberapa hal yang mencakup kegunaan budidaya organik dalam
meniadakan atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan kemungkinan
resiko terhadap lingkungan adalah (Sutanto, 2002) :
1. Menghemat penggunaan hara tanah, berarti memperpanjang umur produktif
tanah.
2. Melindungi tanah terhadap kerusakan karena erosi dan mencegah degradasi
tanah karena kerusakan struktur tanah (pemampatan tanah).
9
3. Meningkatkan penyediaan lengas tanah sehingga menghindarkan
kemungkinan resiko kekeringan dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan
hara yang berasal dari pupuk mineral, berarti meningkatkan kemangkusan
penggunaannya, dan sekaligus menghemat penggunaan pupuk buatan yang
harganya semakin mahal.
4. Menghindari terjadinya ketimpangan (unbalance) hara, bahkan dapat
memperbaiki neraca (balance) hara dalam tanah.
5. Melindungi pertanaman terhadap cekaman (stress) oleh unsur-unsur yang ada
dalam tanah (Fe, Al, Mn) atau yang masuk ke dalam tanah dari bahan-bahan
pencemar (jenis logam berat).
6. Tidak membahayakan kehidupan flora dan fauna tanah, bahkan dapat
menyehatkannya, berarti mempunyai daya memelihara ekosistem tanah.
7. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas sumberdaya air,
karena zat-zat kimia yang terkandung berkadar rendah dan berbentuk senyawa
yang tidak mudah larut.
8. Berharga murah karena pupuk organik terutama dihasilkan dari bahan-bahan
yang tersedia di dalam usahatani itu sendiri dan pupuk hayati hanya
diperlukan dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga dapat menekan biaya
produksi.
9. Merupakan teknologi berkemampuan ganda (sumber hara dan pembenah
tanah), sehingga cocok sekali untuk diterapkan pada tanah-tanah berpersoalan
ganda yang terdapat cukup luas terutama di luar Pulau Jawa
10
2.1.1.4 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pertanian Organik
Berkembangnya suatu sistem, dalam hal ini sistem budidaya, tentu
mempunyai kelebihan maupun kekurangan apabila dibandingkan dengan sistem
yang lain. Demikian pula sistem pertanian organik mempunyai kelebihan dan
kekurangan dibandingkan sistem pertanian non-organik (Pracaya, 2004).
Kelebihan dari digunakannya sistem pertanian organik antara lain :
a) Tidak menggunakan pupuk maupun pestisida kimia sehingga tidak
menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air, maupun
udara, serta produknya tidak mengandung racun.
b) Tanaman organik mempunyai rasa yang lebih manis dibandingkan tanaman
non-organik.
c) Produk tanaman organik lebih mahal.
Sistem pertanian organik juga mempunyai faktor kekurangan atau
kelemahan, yaitu sebagai berikut :
a) Kebutuhan tenaga kerja lebih banyak, terutama untuk pengendalian hama dan
penyakit. Umumnya, pengendalian hama dan penyakit masih dilakukan secara
manual. Apabila menggunakan pestisida alami, perlu dibuat sendiri karena
pestisida ini belum ada di pasaran.
b) Penampilan fisik tanaman organik kurang bagus (misalnya berukuran lebih
kecil dan daun berlubang-lubang) dibandingkan dengan tanaman yang
dipelihara secara non-organik.
11
2.1.2 Penyuluhan Pertanian
Istilah penyuluhan dikenal secara luas dan diterima oleh mereka yang
bekerja di dalam organisasi pemberi jasa penyuluhan, tetapi tidak demikian halnya
dengan masyarakat luas. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan produksi
pertanian, hal ini dicapai dengan usaha merangsang petani untuk memanfaatkan
teknologi modern dan ilmiah yang dikembangkan melalui suatu penelitian (Van
den Ban dan Hawkins, 1999).
Penyuluhan dapat didefinisikan secara sistematis sebagai proses yang
bertujuan:
1. Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan
melakukan perkirakan ke depan.
2. Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya
masalah dari analisis tersebut.
3. Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap
suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki petani.
4. Membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan
dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang
ditimbulkannya, sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif
tindakan.
5. Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut
pendapat mereka sudah optimal.
6. Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya.
12
7. Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan
mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.
2.1.3 Adopsi Inovasi
Pengertian inovasi menurut Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan
inovasi sebagai suatu praktek, ide, atau objek yang dirasakan sebagai sesuatu yang
baru oleh seseorang (individu). Lebih lanjut Lionberger dan Gwin dalam
Mardikanto (1988) menekankan bahwa inovasi tidak hanya dirasakan oleh
seseorang atau individu, tetapi juga menjadi sesuatu yang dinilai baru oleh
sekelompok masyarakat dalam lokalitas tertentu.
Sehubungan dengan hal tersebut, Mardikanto (1988) memaparkan bahwa
pengertian baru tersebut mengandung makna bukan sekedar baru diketahui dalam
artian pikiran (kognitif), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara
luas dalam artian sikap (attitude), dan juga baru baru dalam artian diputuskan
untuk dilaksanakan atau digunakan. Oleh karena itu, pengertian inovasi tidak
hanya terbatas pada pengertian benda atau hasil barang produksi, tetapi mencakup
ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi atau gerak-gerakan menuju pada
proses perubahan didalam kehidupan masyrakat. Dengan demikian, pengertian
tentang inovasi dapat diperluas menjadi sesuatu ide, perilaku, produk, informasi,
dan praktik-praktik baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan
atau dilaksanakan oleh sekelompok warga masyarakat dalam suatu lokalitas
tertentu untuk melakukan perubahan tertentu di bidang ekonomi, politik, dan
sosial budaya demi tercapainya perbaikan mutu hidup seluuh masyarakat
bersangkutan.
13
Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal
ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut
proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang
mempengaruhinya. Sehubungan dengan tahapan adopsi inovasi menurut
Wilkening dalam Rogers dan Shoemaker (1971), terdiri dari lima tahap yaitu (1)
kesadaran, seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi
mengenai hal-hal tersebut; (2) minat, seseorang mulai menaruh minat terhadap
inovasi dan mencari informasi lebih lanjut mengenai inovasi; (3) menilai,
sesorang mengadakan penilaian terhadap ide-ide baru dan menghubungkan
dengan situasi dirinya saat ini dan masa mendatang serta menentukan mencoba
atau tidak; (4) mencoba, seseorang menerapkan ide dalam skala kecil untuk
menentukan kegunaanya. Apakah sesuai dengan dirinya; (5) menerapkan,
seseorang menggunakan ide-ide secara tetap dalam skala luas.
2.1.3.1 Pengertian Adopsi
Adopsi dapat dikatakan suatu proses mental pada diri seseorang, pada saat
menerima atau mengetahui sesuatu yang baru bagi dirinya. Rogers dan Shoemaker
(1971) menyatakan bahwa proses adopsi merupakan proses mental yang terjadi
pada diri seseorang sejak pertama kali mengenal inovasi sampai memutuskan
untuk mengadopsi inovasi tersebut. Sehubungan dengan itu, Mardikanto (1988)
menyatakan bahwa adopsi diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik
berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada seseorang setelah
menerima inovasi yang disampaikan sumber informasi, baik media cetak maupun
interpersonal. Menurut Soekartawi seperti dikutip oleh Iskandar (1999) proses
14
adopsi merupakan proses pengambilan keputusan dimana dalam proses tersebut
dipengaruhi oleh faktor sikap mental untuk mengadopsi inovasi dan adanya
konfirmasi dari keputusan yang telah diambil.
Konsep adopsi inovasi tersebut banyak kekurangannya antara lain menurut
Hanafi seperti dikutip oleh Iskandar (1999), teori tersebut menyatakan bahwa
proses adopsi berakhir dengan keputusan mengadopsi, sedangkan kenyataanya
mungkin hasil akhirnya penolakan. Biasanya proses dilanjutkan dengan pencarian
untuk memperkuat atau memperkukuh keputusan yang telah dibuatnya. Mungkin
juga seseorang berubah dari menerima menjadi menolaknya dan sebaliknya.
Menurut Soekartawi seperti dikutip dari Iskandar (1999), tidak semua keputusan
melalui kelima tahapan yang dikemukakan dalam teori adopsi yang dijelaskan
sebelumnya, urutan pengambilan keputusan kadang-kadang terjadi tumpang tindih
pada berbagai tahapan yang ada.
Rogers dan Shoemaker (1971) menyempurnakan teori adopsi tersebut
menjadi teori pengambilan keputusan inovasi. Keputusan inovasi adalah proses
mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan
untuk menerima atau menolak kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi
merupakan suatu tipe pengambilan keputusan dimana seseorang harus memilih
alternatif baru setelah adanya inovasi .
Keputusan inovasi terdiri dari empat tahap, yaitu (1) tahap pengenalan,
dimana orang mengetahui adanya inovasi; (2) tahap persuasi, dimana orang
memebentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi tersebut; (3)
tahap keputusan, dimana seseorang harus memilih alternatif pilihan untuk
menerima atau menolak inovasi tersebut; (4) tahap konfirmasi, diaman orang
15
mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya (Rogers dan
Shoemaker, 1971) Rogers (1995) menambahkan suatu tahapan lagi yaitu tahap
implementasi, sehingga menjadi lima tahap, yaitu (1) tahap pengenalan, (2) tahap
persuasi, (3) tahap keputusan, (4) tahap implementasi, dan (5) tahap konfirmasi.
Tahapan Adopsi Inovasi menurut Soekartawi (2005) adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui untuk pertama kalinya (sadar dan menaruh minat)
Pada tahapan kesadaran, petani untuk pertama kalinya belajar tentang
sesuatu yang baru. Informasi yang dipunyai tentang teknologi baru yang akan di
adopsi itu masih bersifat umum. Petani mengetahui sedikit sekali bahkan
informasi yang diketahui tersebut kadang-kadang tidak ada kaitannya dengan
kualitas khusus yang diperlukan untuk melakukan adopsi. Misalnya, informasi
tersebut tidak berisikan bagaimana cara melakukan ide baru tersebut, bagaimana
tentang ide baru tersebut apakah menguntungkan atau tidak, dan sebagainya.
Sebaliknya pada tahapan menaruh minat, petani mulai mengembalikan informasi
yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk
melakukan adopsi inovasi. Petani mulai mempelajari secara lebih terperinci
tentang ide baru tersebut, bahkan tidak puas kalau hanya mengetahui saja tetapi
ingin berbuat yang lebih dari itu. Oleh karenanya pada tahapan ini petani mulai
mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, apakah itu dari media cetak atau
dari media elektronik. Bahkan sering dijumpai adanya upaya yang terus-menerus
untuk mencari informasi yang juga datangnya dari dari berbagai sumber informasi
yang lain seperti tetangga, teman atau para penyuluh pertanian.
2. Menerima ide baru tersebut setelah mereka mengevaluasi
16
Pada tahapan ini, seseorang yang telah mendapatkan informasi dan bukti
yang telah dikumpulkan pada tahapan sebelumnya dalam menentukan apakah ide
baru tersebut akan diadopsi atau tidak, maka diperlukan kegiatan yang disebut
evaluasi. Maksudnya tentu saja untuk mempertimbangkan lebih lanjut apakah
minat yang telah ditimbulkan tersebut perlu diteruskan atau tidak. Hal ini berarti
petani mulai menilai secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi
yang mereka miliki. Pekerjaan melakukan evaluasi memang tidak semudah seperti
yang digambarkan di sini. Di dalam kenyataan sehari-hari, pekerjaan evaluasi ini
berjalan dalam suatu dimensi waktu, mungkin dapat satu minggu atau bahkan
setahun atau mungkin lebih.
3. Menerima ide tersebut setelah mereka mencoba
Pada tahapan ini, petani atau individu dihadapkan dengan suatu problema
yang nyata. Ia harus secara nyata menuangkan buah pikirannya tentang minat dan
evaluasi tentang ide baru tersebut dalam suatu kenyataan yang sebenarnya.
Pemikiran itu harus dituangkan dalam praktek, sesuai dengan apa yang disebut
dengan tahapan mencoba dari ide baru tersebut. Hal ini berarti bahwa ia harus
belajar, apa yang disebut ide baru, bagaimana melakukannya, mengapa harus ia
lakukan, dengan siapa ia melakukan ide baru tersebut, apakah dilakukan sendiri
atau berkelompok dan dimana ia harus melakukan percobaan itu. Untuk itu
kadang-kadang diperlukan bantuan dari pihak lain yang lebih kompeten agar
upaya melakukan percobaan ide baru tersebut untuk skala kecil, adalah tetap
berhasil. Hal ini bermaksud untuk membuktikan keberhasilan eksperimen yang
mereka lakukan.
17
4. Adopsi dalam skala yang lebih luas
Pada tahapan ini, petani atau individu telah memutuskan bahwa ide baru
yang ia pelajari adalah cukup baik untuk diterapkan di lahannya dalam skala yang
lebih luas. Tahapan adopsi ini barangkali yang paling menentukan dalam proses
kelanjutan pengambilan keputusan lebih lanjut.
2.1.3.2 Atribut Inovasi
Atribut inovasi tidak harus diasumsikan seperti telah menjadi masa lalu,
bahwa semua inovasi adalah unit padanan tentang suatu analisa. Asumsi ini
adalah suatu penyederhanaan yang berlebihan. Karakteristik dari inovasi, seperti
yang dirasakan oleh individu, membantu menjelaskan ke arah yang berbeda
tentang adopsi (Rogers, 2003). Atribut dalam Inovasi yaitu (1) relative advantage,
(2) compatibility, (3) kompleksitas, (4) trialability, dan (5) observability.
1. Keuntungan Relatif (Relative Advantage) merupakan derajat tingkat bagi
suatu inovasi yang dirasa lebih baik daripada gagasan lain. Derajat tingkat dari
keuntungan yang relatif mungkin terukur dalam terminologi ekonomi, tetapi
faktor gengsi sosial, kenyamanan, dan kepuasan juga merupakan faktor yang
penting. Semakin besar keuntungan untuk adopter yang dirasakan dari suatu
inovasi, adopsi akan semakin cepat tingkatnya.
2. Kesesuaian (Compability) merupakan derajat tingkat bagi suatu inovasi yang
dirasa sebagai hal yang konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman
masa lalu, dan kebutuhan orang yang potensial. Suatu gagasan yang tidak
cocok atau bertentangan dengan norma-norma dan nilai-nilai suatu sistem
sosial tidak akan diadopsi dengan cepat sebagai suatu inovasi. Adopsi dari
18
suatu inovasi yang tidak cocok atau bertentangan sering memerlukan adopsi
yang terdahulu dari suatu sistem nilai yang baru, dimana suatu proses yang
secara relatif lebih lambat.
3. Kerumitan (Kompleksitas) merupakan derajat tingkat bagi suatu inovasi yang
dirasa sulit untuk dipahami dan digunakan. Inovasi ada beberapa yang siap
dipahami oleh kebanyakan anggota dari suatu sistem sosial, sedangkan yang
lain dapat lebih rumit dan diadopsi lebil lamban.
4. Kemungkinan dicoba (Trialability) merupakan derajat tingkat bagi suatu
inovasi yang mungkin dicoba dengan dibatasi suatu basis. Gagasan yang baru
dapat dicoba dengan memakai rencana angsuran akan secara umum diadopsi
dengan lebih cepat dibanding inovasi yang tidak dapat dibagi.
5. Kemungkinan diamati (Observabilitas) merupakan derajat tingkat bagi suatu
inovasi dimana hasil dari inovasi tersebut terlihat oleh orang lain. Semakin
mudah untuk individu melihat hasil dari suatu inovasi, maka semakin mungkin
bagi mereka untuk mengadopsi. Hal seperti itu merangsang diskusi panutan
dari suatu gagasan yang baru, contohnya seperti tetangga atau para teman dari
suatu orang yang sering meminta informasi evaluasi inovasi tentang itu.
2.1.3.3 Interaksi Individual dan Kelompok dalam Adopsi Inovasi
Karakteristik individu maupun kelompok kadang-kadang berbeda satu
sama lain dan itu biasanya bersifat lokal. Oleh karena itu kecepatan petani kecil
untuk melakukan adopsi inovasi tentu akan berbeda bila dibandingkan dengan
kecepatan mengadopsi yang dilakukan petani besar.
19
Karena adopsi inovasi adalah hasil dari kegiatan suatu komunikasi
pertanian dan karena komunikasi itu melibatkan interaksi sosial antara anggota
masyarakat, maka proses adopsi inovasi tidak terlepas dari pengaruh interaksi
antar individu, anggota masyarakat atau kelompok masyarakat, juga pengaruh dari
interaksi antar kelompok dalam suatu masyarakat. Karena interaksi sosial inilah
maka tiap tahapan adopsi inovasi selalu dipengaruhi oleh interaksi individual dan
kelompok.
2.1.3.4 Sumber Informasi dalam Adopsi Inovasi
Sumber informasi dapat berasal dari media masa, tetangga, teman, petugas
penyuluhan pertanian, pedagang, pejabat desa, atau dari informan lainnya.
Pada tahapan kesadaran, ketika petani mulai belajar tentang ide baru
atau inovasi baru, maka sumber informasi yang paling relevan adalah berasal dari
majalah-majalah pertanian (Soekartawi, 2005). Bagi petani yang termasuk
golongan baru belajar berinovasi (golongan pemula), maka pelayanan penyuluhan
pertanian terhadapnya adalah merupakan sumber informasi yang sangat penting.
Faktor-faktor pribadi yang berperan dalam adopsi inovasi pada tahapan
kesadaran antara lain adalah :
1. Hubungan antara calon adopter dengan sumber informasi di sekitarnya.
2. Hubungan antara calon adopter dengan anggota masyarakat di sekitarnya.
3. Tersedianya media komunikasi, seperti koran, televisi, radio, dan lain-lain.
4. Tingkat pendidikan calon adopter dan anggota keluarganya.
5. Adanya anggota masyarakat yang bersedia dalam menyampaikan
informasi.
6. Bahasa dan adat atau kebiasaan masyarakat setempat.
20
Pada tahapan menaruh minat, ketika petani memerlukan informasi
informasi yang terperinci tentang inovasi, maka kemudahan untuk berkomunikasi
dengan sumber informasi adalah semakin penting (Soekartawi, 2005). Dalam
tahapan ini, peranan media masa dan petani-petani lain menjadi penting, serta
peranan agen pertanian yang berupa kegiatan pelayanan penyuluhan pertanian.
Variabel lain yang mempengaruhi adopsi inovasi pada tahapan ini adalah :
1. Tingkat pendidikan calon adopter dan anggota keluarganya.
2. Tingkat kebutuhan akan informasi yang mereka perlukan.
3. Hubungan dengan sumber-sumber informasi.
4. Keaktifan dalam mencari informasi.
5. Adanya sumber-sumber informasi.
6. Dorongan masyarakat di sekelilingnya.
Selanjutnya pada tahapan evaluasi, petani akan melakukan kegiatan
penilaian apakah petani akan melaksanakan adopsi inovasi atau tidak (Soekartawi,
2005). Pada tahapan ini, peranan teman atau petani lain sangat penting untuk
membantu meyakinkan bahwa adopsi inovasi itu diperlukan atau tidak. Sumber
informasi yang lain seperti agen pertanian dalam memberikan pelayanan
penyuluhan juga sangat membantu untuk meyakinkan calon adopter tersebut.
Beberapa variabel penting yang mempengaruhi calon adopter pada tahapan ini
antara lain :
1. Pengertian apakah adopsi inovasi itu menguntungkan atau tidak.
2. Apakah tujuan ia melakukan adopsi inovasi.
3. Tersedianya penjelasan bahwa adopsi inovasi itu menguntungkan.
4. Pengalaman petani-petani lain di sekitar tempat tinggal calon adopter.
21
5. Macam usaha tani yang diusahakan dan tingkat komersialisasinya.
Pada tahapan mencoba, informasi mengenai adopsi inovasi lebih banyak
berasal dari teman atau tetangga calon adopter (Soekartawi, 2005). Calon adopter
sudah merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya merupakan keputusan yang
terbaik baginya untuk melakukan adopsi inovasi walaupun dalam skala kecil.
Variabel penting pada tahapan ini adalah :
1. Keterampilan yang spesifik tentang bidang apa dalam adopsi inovasi
tersebut.
2. Tingkat kepuasan pada adopsi inovasi yang dilakukan.
3. Keberanian menanggung resiko.
4. Bantuan penjelasan dalam melakukan adopsi inovasi.
5. Tersedianya sumber daya yang dimiliki.
6. Adanya variabel ekonomi khususnya harga yang memadai.
Pada tahapan adopsi, pelaksanaan yang lebih baik untuk
mendemonstrasikan adopsi inovasi yang telah dicoba (walaupun dalam skala
kecil), sangat penting (Soekartawi, 2005). Apabila pengalaman sendiri dan
pengalaman petani-petani lain ditunjang dengan tersedianya informasi melalui
media masa atau agen pertanian, maka lebih kuatlah keputusan yang diambil
adopter. Beberapa variabel yang mempengaruhi tahapan adopsi adalah :
1. Adanya kepuasan pada saat tahapan mencoba.
2. Adanya kepuasan dalam memperoleh kemampuan melaksanakan adopsi
inovasi.
3. Adanya minat dari adopter dan keluarganya dalam adopsi inovasi tersebut.
4. Adanya tujuan tertentu dari adopter dan anggota keluarganya.
22
2.1.3.5 Faktor Intern dari Adpoter
Cepat atau tidaknya proses adopsi inovasi juga tergantung dari faktor
intern dari adopter itu sendiri. Latar belakang sosial, ekonomi, budaya, atau
politik sangat berpengaruh dalam proses tersebut. Beberapa hal penting lain yang
mempengaruhi proses adopsi inovasi adalah (Soekartawi, 2005) :
Umur
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu,
sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi.
Pendidikan
Mereka yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi relatif lebih cepat
melaksanakan adopsi inovasi daripada mereka yang berpendidikan rendah.
Keberanian mengambil resiko Biasanya petani kecil berani mengambil resiko kalau adopsi inovasi itu
benar-benar telah mereka yakini.
Pola hubungan
Biasanya petani yang berada dalam pola hubungan kosmopolit, lebih cepat
melakukan adopsi inovasi daripada petani yang berada dalam pola
hubungan lokalitas.
Sikap terhadap perubahan
Kebanyakan petani kecil lamban dalam mengubah sikapnya terhadap
perubahan karena sumberdaya yang mereka miliki, khususnya sumberdaya
lahan terbatas.
Motivasi berkarya
23
Bagi petani-petani kecil menumbuhkan motivasi berkarya tidak mudah
karena keterbatasan sumberdaya lahan, pengetahuan, keterampilan, dan
sebagainya yang dimiliki oleh petani tersebut.
Fatalisme
Apabila adopsi inovasi menyebabkan resiko yang tinggi, maka jalannya
proses adopsi inovasi akan berjalan lebih lamban atau bahkan tidak terjadi
sama sekali.
Sistem kepercayaan tertentu
Makin tertutup sistem sosial dalam masyarakat terhadap sentuhan luar,
maka semakin sulit juga anggota masyarakatnya untuk melakukan adopsi
inovasi.
Karakteristik psikologi
Apabila karakter calon adopter sedemikian rupa sehingga mendukung
situasi yang memungkinkan adanya adopsi inovasi, maka proses adopsi
inovasi tersebut akan berjalan lebih cepat.
2.1.3.6 Proses Adopsi Inovasi di Masyarakat
Adopsi inovasi di dalam masyarakat pada prinsipnya adalah kumulatif dari
adopsi inovasi individual, sehingga tahapan-tahapan adopsi inovasi individual
juga berlaku bagi tahapan adopsi inovasi kelompok. Kejadian yang sering terjadi
dalam proses adopsi adalah sebagai berikut (Soekartawi, 2005):
a. Berjalan lambat saat awal.
b. Kemudian meningkat sampai pada tingkatan dimana nilainya hamper
setengah dari adopter potensial yang menerima adopsi inovasi.
24
c. Tingkatan proses adopsi inovasi terus meningkat hanya saja agak lambat.
d. Proses adopsi inovasi terus berjalan hanya lambat sekali dan bahkan
terjadi penurunan.
e. Perkembangan proses adopsi inovasi itu menurun sedemikian rupa
sehingga proses adopsi inovasi membentuk kurva normal.
Ada beberapa ciri umum yang banyak ditemui dalam kelompok
masyarakat adopter menurut Soekartawi (2005). Innovators yaitu anggota
kelompok ini biasanya mempunyai lahan usaha tani yang relatif luas dan
pendapatannya tinggi dibandingkan pendapatan rata-rata masyarakat sekitar
dimana mereka bertempat tinggal. Early adopters, mereka yang termasuk
golongan early adopters adalah mereka yang relatif berpandangan maju dan
mempunyai wawasan yang luas. Mereka tidak selalu skeptis terhadap perubahan-
perubahan baru yang berada di sekitarnya bahkan sebaliknya biasanya selalu
berpandangan positif terhadap adanya perubahan tersebut. Mereka sering
melakukan hubungan atau kontak dengan pihak lain khususnya dari pihak
golongan yang dikategorikan sebagai golongan pembaharu.
Early adopters mempunyai hubungan yang luas dengan sumber-sumber
asal informasi pertanian dan sering tidak lagi menunggu penemuan penelitian
yang dipublikasikan. Selain itu, early adopters juga mendapatkan informasi
dengan cara berhubungan langsung dengan perusahaan, dengan para agen
pertanian, melalui media cetak, radio, atau televisi. Late adopters, golongan ini
biasanya mempunyai lahan pertanian yang sempit dan golongan petani yang
termasuk late adopters adalah petani yang subsisten. Mereka melakukan adopsi
inovasi kalau dirasakan adopsi inovasi tersebut tidak mengandung resiko yang
25
tinggi. Hubungan dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi pertanian
sebagian besar terbatas.
Late Majority, golongan petani ini biasanya berpendapatan lebih dari
cukup bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata petani yang tinggal di
sekitarnya. Partisipasi kelompok sebagian besar terbatas pada organisasi lokal
dimana ciri organisasi seperti ini hanya cenderung menarik anggota-anggotanya
dari loyalitas terdekat saja. Golongan majority ini lebih mengandalkan sumber
informasi melalui media cetak seperti koran atau majalah dan juga dari media
elektronik seperti radio atau televisi. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian
besar mereka berpendidikan tinggi. Akibatnya mereka lebih menguasai informasi
yang bersifat umum tetapi terbatas untuk menguasai hal-hal yang bersifat teknis.
Dan yang terakhir adalah Laggards, golongan ini adalah mereka yang pada
umumnya bersifat tradisional sehingga enggan melakukan adopsi inovasi. Mereka
yang tergolong laggards sudah lanjut usia, status sosialnya rendah, dan usaha
taninya bersifat subsisten. Maka mereka umumnya petani kecil yang peluangnya
sedikit sekali sebagai opinion leader.
2.1.3.7 Langkah-langkah Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
Keputusan inovasi terdiri dari empat tahap, yaitu (1) tahap pengenalan,
dimana orang mengetahui adanya inovasi; (2) tahap persuasi, dimana orang
membentuk sikap berkenam atau tidak berkenan terhadap inovasi tersebut; (3)
tahap keputusan, dimana seseorang harus memilih alternatif pilihan untuk
menerima atau menolak inovasi tersebut; (4) tahap konfirmasi, dimana seseorang
mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya (Rogers dan
26
Shoemaker, 1971). Sementara itu Rogers (1995) menambahkan suatu tahapan lagi
yaitu tahap implementasi, sehingga proses pengambilan keputusan inovasi adalah
sebagai berikut (Rogers, 2003):
1) Pengetahuan
Terjadi ketika perorangan (atau unit lain dalam pengambilan
keputusan) ditunjukan ke suatu laba dan keberadaan inovasi merupakan
suatu pemahaman dari bagaimana hal tersebut berfungsi.
2) Persuasi
Terjadi ketika perorangan (atau unit lain dalam pengambilan
keputusan) membentuk suatu sikap yang baik atau yang kurang baik
terhadap inovasi.
3) Keputusan
Berlangsung ketika perorangan (atau unit lain dalam pengambilan
keputusan) terlibat dalam aktivitas yang mendorong kearah suatu pilihan
untuk mengadopsi atau menolak inovasi.
4) Implementasi
Terjadi ketika perorangan (atau unit dalam pengambilan
keputusan) menaruh suatu gagasan yang baru ke dalam penggunaan
inovasi tersebut
5) Konfirmasi
Berlangsung ketika perorangan mencari penguatan dari suatu
keputusan inovasi yang telah dibuat, tetapi dapat membalikkan keputusan
tersebut jika berlawanan dengan pesan tentang inovasi.
27
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang terkait dengan topik dari pengkajian masalah
khusus ini antara lain dilakukan oleh Indriana (2004) yang melakukan penelitan
penerapan teknik pertanian organik pada budidaya kentang. Tujuan dari
penelitiannya adalah menilik (1) tingkat penerapan teknik pertanian organik oleh
petani kentang di Kecamatan Pangalengan, (2) hubungan antara faktor-faktor
yang diteliti dengan tingkat penerapan teknik pertanian organik budidaya kentang
tersebut.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat penerapan organik dalam budidaya kentang oleh
petani di Kecamatan Pangalengan yakni karakteristik sosial ekonomi, perilaku
berkomunikasi, dan tingkat persepsi petani tentang ciri-ciri inovasi (teknik
pertanian organik). Adapun faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan
penerapan teknik pertanian organik budidaya kentang oleh petani di Kecamatan
Pangalengan yakni faktor karakteristik sosial ekonomi yang mencakup tingkat
pendidikan formal dan pengalaman berusahatani kentang dengan teknik
konvensional.
Faktor pendidikan dalam penelitian Pical (1997) juga menunjukkan
hubungan yang sangat nyata dengan adopsi inovasi. Faktor internal lainnya yang
berhubungan sangat nyata dengan adopsi inovasi adalah umur, pekerjaan,
frekuensi mendengar radio dan frekuensi menonton televisi, sedangkan faktor
eksternal yang berhubungan secara nyata dengan adopsi inovasi adalah pekerjaan
suami, kunjungan penyuluh, keterkaitan pada adat dan pengaruh tokoh
28
masyarakat. Inovasi yang diteliti dalam Pical (1997) adalah tentang teknologi
pengolahan ikan.
2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini beranjak dari dua asumsi penting yaitu pertanian sayuran
organik merupakan suatu inovasi serta petani setempat sudah dan masih
menerapkan kegiatan pertanian sayuran organik pada lahannya sebagai suatu
bentuk adopsi. Faktor kondisi sebelumnya diuraikan untuk kondisi yang
melatarbelakangi muncul dan berkembangnya penerapan teknik pertanian sayuran
secara organik di wilayah setempat. Kondisi sebelumnya mencakup dua hal, yaitu
teknik pertanian yang diterapkan sebelumnya dan masalah yang dirasakan.
Karakteristik unit pengambilan keputusan menjadi variabel yang
mempengaruhi adopsi inovasi (Rogers, 1995), (Soemantri, 1998), (Iskandar,
1999), dan (Indriana, 2004). Karakteristik unit pengambilan keputusan tersebut
meliputi karakteristik sosial ekonomi, variabel kepribadian dan perilaku
komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi pengalaman berusaha tani
secara konvensional dan pengalaman berusaha tani secara organik, pendidikan
formal serta pendidikan non-formal petani, umur petani dan luas lahan. Pada
variabel perilaku komunikasi yang akan diuji meliputi media massa, interaksi
dengan PPL. Untuk variabel karakteristik inovasi, hal-hal yang akan diuji adalah
tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, tingkat
kemungkinan dicoba dan tingkat kemungkinan diamati. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 1.
29
Pendidika
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengaruh Karakteristik Petani terhadap
Pengambilan Keputusan Inovasi pada Usaha Sayuran Organik
Ket:
: Berhubungan dengan
: Menjadi latar belakang
Karakteristik Inovasi a. Tingkat keuntungan relatif b. Tingkat kesesuaian c. Tingkat kerumitan d. Tingkat kemungkinan dicoba e. Tingkat kemungkinan diamati
Karakteristik Unit Pengambilan Keputusan 1. Karakteristik Sosial Ekonomi a. Umur petani b. Luas lahan
c. Pendidikan formal d. Pendidikan non-formal e. Pengalaman bertani
konvensional f. Pengalaman bertani organik 2. Perilaku Komunikasi
a. Media massa b. Interaksi dengan PPL
Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi
( Bertani sayuran secara organik)
Kondisi Sebelumnya: a. Teknik pertanian yang
diterapkan sebelumnya b. Masalah yang dirasakan
30
2.4 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, maka dapat
disusun hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
(a) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik unit pengambilan keputusan
dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi, yang dijabarkan dalam
hipotesis-hipotesis sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan nyata antara umur petani dengan tingkat pengambilan
keputusan inovasi.
2. Terdapat hubungan nyata antara luas lahan dengan tingkat pengambilan
keputusan inovasi.
3. Terdapat hubungan nyata antara pengalaman berusahatani konvensional
dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi.
4. Terdapat hubungan nyata antara pengalaman berusahatani organik dengan
tingkat pengambilan keputusan inovasi.
5. Terdapat hubungan nyata antara pendidkan formal dengan tingkat
pengambilan keputusan inovasi.
6. Terdapat hubungan nyata antara pendidikan non-formal dengan tingkat
pengambilan keputusan inovasi.
(b) Terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi dengan tingkat
pengambilan keputusan inovasi, yang dijabarkan dalam hipotesis-hipotesis
sebagai berikut:
7. Terdapat hubungan nyata antara tingkat penggunaan media massa dengan
tingkat pengambilan keputusan inovasi.
31
8. Terdapat hubungan nyata antara interaksi dengan PPL dengan tingkat
pengambilan keputusan inovasi.
(c) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik inovasi dengan tingkat
pengambilan keputusan inovasi, yang dijabarkan dalam hipotesis-hipotesis
sebagai berikut:
9. Terdapat hubungan nyata antara tingkat keuntungan relatif dengan tingkat
pengambilan keputusan inovasi.
10. Terdapat hubungan nyata antara tingkat kesesuaian dengan tingkat
pengambilan keputusan inovasi.
11.Terdapat hubungan nyata antara tingkat kerumitan dengan tingkat
pengambilan keputusan inovasi.
12. Terdapat hubungan nyata antara tingkat kemungkinan dicoba dengan
tingkat pengambilan keputusan inovasi.
13. Terdapat hubungan nyata antara tingkat kemungkinan diamati dengan
tingkat pengambilan keputusan.
2.5 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan atau pengertian dari peubah-
peubah dengan maksud untuk membatasi lingkup makna peubah agar lebih
mengarah pada objek pengamatan/penelitian sehingga dapat dilakukan
pengukuran (Singarimbun dan Effendi, 1989). Definisi operasional merupakan
suatu kegiatan untuk memberikan nilai/skor kepada suatu obyek berkaitan
dengan satuan variabel tertentu atau sebagai petunjuk tentang bagaimana suatu
32
variabel diukur. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini, diuraikan
berdasarkan variabel, dan indikator yang tampak pada Lampiran 2.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir. Pemilihan lokasi penelitian
ini dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa di Desa
Ciaruteun Ilir sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani,
dan di desa tersebut juga terdapat SLS (Sekolah Lapang Sayuran) yang bertujuan
membina petani untuk bertanam secara organik.
Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan
bulan Juli 2007. Sebelumnya dilakukan studi penjajagan lapang terlebih dahulu
terhadap lokasi penelitian. Pemilihan lokasi dan waktu penelitian ini juga
disesuaikan dengan kemampuan tenaga, biaya, dan waktu yang dimiliki oleh
peneliti.
3.2 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan untuk menggali data dan informasi di
lapangan adalah pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang kuat dan akurat. Data kuantitatif dikumpulkan dengan
metode survei, yaitu melalui pembagian kuisoner, sebagai instrumen utama
penelitian untuk mengumpulkan informasi tentang orang yang jumlahnya besar,
dengan cara mewawancarai sejumlah kecil dari populasi tersebut. Data kualitatif
34
sebagai pendukung penelitian untuk mengetahui gambaran umum serta lokasi
penelitian.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden melalui
pengisian kuisioner dan hasil wawancara. Kuisioner dan wawancara berisi
sejumlah pertanyaan dan pernyataan yang berkaitan dengan peran PPL dalam
penyebaran inovasi pertanian organik kepada petani (Lampiran 1). Data sekunder
adalah data yang diperoleh melalui dokumentasi dari PPL dan kantor desa
Ciaruteun Ilir. Hal ini guna memenuhi kebutuhan untuk informasi mengenai
gambaran umum lokasi penelitian. Selain itu data sekunder juga diperoleh melalui
data-data yang terkait dengan lokasi atau hasil di lapangan.
3.3 Penentuan Sampel
Unit analisis penelitian adalah individu sedangkan populasi penelitian
adalah petani di Desa Ciaruteun Ilir, yang terdiri dari: (1) petani yang pernah
mendapatkan penyuluhan tentang kegiatan pertanian sayuran organik, atau (2)
petani yang terdaftar menjadi bagian dari kelompok tani.
Metode pengambilan sampel penelitian ini adalah pengambilan sampel
acak sederhana. Metode ini merupakan pengambilan sebuah sampel sedemikian
rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi
mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel.
Metode pengambilan sampel dengan random sederhana ditempuh melalui cara
undian. Jumlah sampel keseluruhan yang diambil adalah sebanyak 35 orang.
Jumlah tersebut sudah dapat merepresentasikan keadaan petani di Desa Ciaruteun
35
Ilir pada umumnya dan merupakan ukuran yang dapat diterima serta memenuhi
syarat dari suatu metode penelitian (minimal 30 orang) jenis deskriptif
korelasional (Gay dalam Hasan, 2002).
3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari kuisioner merupakan data primer yang dianalisa
berdasarkan masing-masing subpokok bahasan. Subpokok kondisi sebelumnya
yang diduga mempengaruhi perubahan perilaku petani dalam menerima atau
menolak inovasi pertanian sayuran organik diuraikan secara kualitatif deskriptif
untuk memberi gambaran proses pengambilan keputusan, inovasi pada usaha
sayuran organik. Karakteristik petani dan karakteristik inovasi (variabel x) dalam
hubungannya, dengan tingkat pengambilan keputusan untuk menerima atau
menolak inovasi ( variabel y) dianalisis dengan menggunakan uji korelasi rank
Spearman dan Chi-Square. Pada uji korelasi rank spearmen, signitifikasi
hubungan dua variabel tampak dari nilai rs (koefisien korelasi) yang diperoleh
dari hasil perhitungan.
Bila N (sampel) 10, maka rs akan menyebar normal dengan standar
deviasi 1/N-1, sehingga hipotesis dibuktikan dengan menggunakan Z = rs-0
1/N-1
dimana hipotesis ditolak apabila Z hasil perhitungan lebih besar daripada nilai Z
pada tabel (Blalock, 1972). Adapun hipotesis nol dirumuskan secara umum
dengan pernyataan hubungan antara kedua variabel sama dengan nol.
Ho : Hubungan antara kedua variable sama dengan nol H1 : Terdapat hubungan antara kedua variabel Maka, Bila Z hitung > Z tabel tolak Ho
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Keadaan Wilayah
Desa Ciaruteun Ilir merupakan wilayah Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, terletak kurang lebih tujuh kilometer di
sebelah timur Ibukota Kecamatan Cibungbulang. Desa ini dapat diakses dengan
kendaraan roda dua dan roda empat baik angkutan umum maupun kendaraan
pribadi. Angkutan umum yang dimaksud adalah angkot jurusan Bubulak-Jasinga
atau Bubulak-Leuwiliang. Setelah sampai di Kecamatan Cibungbulang,
dilanjutkan dengan perjalanan menuju ke arah Desa Ciaruteun menggunakan ojeg.
Lokasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Adapun batas-batas wilayah Desa
Ciaruteun Ilir adalah sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rumpin
b. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cijujung
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Leuweung Kolot
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciampea
Desa Ciaruteun Ilir berada pada ketinggian berkisar 250 meter dari
permukaan laut (dpl), dengan kemiringan 10-20 persen dan tingkat kemasaman 5-
7 pH serta memiliki klasifikasi jenis tanah Latosol. Suhu berkisar 22C-28C
dengan curah hujan 2.000-3.000 milimeter per tahun dengan sembilan bulan basah
dan 2 bulan kering.
4.2 Potensi Sumberdaya Alam
Desa Ciaruteun Ilir mempunyai luas tanah 319 hektar yang terdiri dari lahan
sawah 156 hektar dan lahan darat 163 hektar. Lahan sawah yang dipergunakan
37
untuk budidaya padi sawah dan palawija 56 hektar dan budidaya tanaman
sayuran dataran rendah (sayuran daun) 100 hektar. Lahan darat digunakan untuk
budidaya tanaman sayuran daun 25 hektar, sisanya antara lain digunakan
sebagai lahan pekarangan dan tegalan. Rincian tentang penggunaan lahan
dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Lahan Darat dan Lahan Sawah Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan
Cibungbulang
Sumber : Profil Desa Ciaruteun Ilir tahun 2005
4.3 Potensi Sumberdaya Manusia
Berdasarkan data monografi desa, diperoleh data bahwa sampai dengan
bulan Januari 2006 jumlah penduduk Desa Ciaruteun Ilir tercatat 9.595 jiwa yang
terdiri dari laki-laki sebanyak 4.891 jiwa (51 persen) dan perempuan sebanyak
4.704 jiwa (49 persen). Umur laki-laki paling banyak berada pada kelompok 30-
59 tahun yaitu 19,6 persen. Umur perempuan lebih banyak pada kelompok umur
No Uraian Luas Lahan (Ha) Persen (%)
1 Lahan Darat :
a. Tegalan 37 11,6
b. Pekarangan 21 6,6
c. Kolam 8 2,5
d. Pekarangan 51 16,0
e. Hutan Rakyat 12 3,8
f. Lain-lain 34 10,7
2 Lahan Sawah :
a. Pengairan Teknis 156 48,9
JUMLAH 319 100,0
38
0-14 tahun yaitu 17,1 persen. Secara keseluruhan komposisi penduduk
berdasarkan umur dan jenis kelamin tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang
No Kelompok Umur (Tahun)
Laki-laki Perempuan Jumlah
Persen (%) Orang % Orang %
1 0-14 1.661 17,3 1.636 17,1 3.298 34,4
2 15-29 1.194 12,4 1.460 15,2 2.654 27,7
3 30-59 1.878 19,6 1.397 14,6 3.275 34,1
4 > 60 157 1,6 211 2,2 368 3,8
JUMLAH 4.891 51,0 4.704 49,0 9.595 100,0
Sumber : Monografi Desa Ciaruteun Ilir Tahun 2005
Tingkat pendidikan penduduk Desa Ciaruteun Ilir tergolong masih rendah,
karena 3.166 orang (33 persen) hanya lulusan SD dan kurang dari 10 persen yang
tamat SLTP ke atas. Disamping itu masih terdapat pula sekitar 5.659 orang (59
persen) belum sekolah. Masih rendahnya tingkat pendidikan di desa ini
diakibatkan orang tua mereka dahulu tidak memiliki cukup biaya untuk
menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka juga
beranggapan bahwa petani tidak perlu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
karena teknik-teknik bercocok tanam dapat dipelajari dari pengalaman orang tua.
Secara rinci penggolongan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat
pada Tabel 3.
39
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang
No Pendidikan Jumlah
Orang Persen (%) 1 Belum Sekolah 5.659 59,0 2 Tamat SD 3.166 33,0 3 SLTP 528 5,5 4 SLTA 219 2,3 5 D1, D2, D3 19 0,2 6 Sarjana 4 0,0
JUMLAH 9.595 100,0 Sumber : Monografi Desa Ciaruteun Ilir (2005)
4.4 Potensi Kelembagaan
Desa Ciaruteun Ilir terdapat beberapa kelembagaan yang diharapkan
mampu mendukung terhadap kegiatan pertanian. Kelembagaan yang ada tersebut
yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Program Kesejahteraan
Keluarga (PKK), P3 Mitra Cai, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan ada 4
kelompok tani. Secara rinci gambaran kelompok tani yang ada di Desa Ciaruteun
dapat dilihat pada Tabel 4.
Kegiatan kelembagaan tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing.
LPM berfungsi sebagai pelaksana proyek kegiatan pemberdayaan masyarakat baik
program swadaya desa maupun program pemerintah pusat yang tujuannya
meningkatkan kesejahteraan desa misalnya pembangunan infrastruktur dan proyek
pengentasan kemiskinan. PKK kegiatannya difokuskan kepada pelaksanaan
program kesejahteraan untuk keluarga seperti posyandu dan imunisasi. P3 Mitra
Cai, Gapoktan dan kelompok tani merupakan kelembagaan yang kegiatannya
berhubungan dengan aktivitas pertanian. kegiatan kelompok tani di Desa
40
Ciaruteun Ilir selain untuk mendengarkan penyuluhan dari penyuluh, juga gotong
royong di dalam pemberantasan hama sayuran, pembelian pupuk secara kolektif
untuk menghemat biaya, dan kegiatan makan bersama sebulan sekali untuk
meningkatkan kerukunan petani.
Tabel 4. Data Kelompok Tani di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang
No Nama kelompok Tani Jumlah
AnggotaTahun Berdiri
Kelas Kelompok P L M U
1 Tani Jaya 40 1996 - - - 2 Mekar Tani 30 1996 - - - 3 Tani Raharja 40 1996 - - - 4 Setia Tani 35 1998 - - -
Sumber : Rencana Kerja Penyuluh Pertanian Wilbin Dukuh Tahun 2005
Keterangan:
P = Pemula L = Lanjut M = Madya U = Utama
4.5 Keadaan Pertanian Organik di Desa Ciaruteun Ilir
Secara konseptual, pertanian organik dengan serangkaian visi dan misinya,
prinsip dan karakterisiknya, terdefinisi sebagai teknik budidaya komoditas pertanian
yang berkualitas, sehat berorientasi ekologis, serta menjanjikan terciptanya suatu
keberlanjutan dalam proses pembangunan pertanian.
Petani di Desa Ciaruteum memiliki luas lahan yang tergolong sempit yaitu
antara 800 m2 -1.700 m2. Mereka menanam komoditas sayuran seperti kubis,
kangkung, bayam, saucine, dan kol. Menurut pengalaman mereka, komoditas
sayuran ini cocok dengan kondisi iklim di desa ini. Dalam menanam komoditas
tersebut, petani dibagi ke dalam lima kelompok tanam. Setiap kelompok tanam
beranggotakan tujuh orang petani. Sebagai contoh, kelompok petani pertama
41
menanam kangkung pada pola tanam pertamanya, kelompok kedua menanam kubis,
kelompok ketiga menanam kol, kelompok keempat menanam bayam, dan kelompok
kelima menanam saucine. Selanjutnya, dalam pola tanam kedua dan seterusnya
sampai satu tahun, setiap kelompok pola tanam petani tersebut bergiliran menanam
komoditas yang berbeda. Salah satu tujuan pengiliran pola tanam ini adalah untuk
m