S1-2013-282886-chapter1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dd

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Pakaian merupakan ekspresi tentang cara hidup. Pakaian dapat mencerminkan

    perbedaan status dan pandangan politik religius. Dengan demikian, cara kita memilih

    pakaian dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan, sebagai sarana untuk menunjukkan

    bahwa kita berasal dari kelompok tertentu yang berbagi sekumpulan ideal tertentu.

    Pandangan- pandangan yang berbeda tentang bagaimana seharusnya masyarakat

    diatur tersebar meluas pada beragam pendapat tentang bentuk pakaian yang benar

    (Henk,2005:58). Pandangan seorang antropolog tentang pakaian mengawali

    ketertarikan peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang pakaian sebagai bagian dari

    simbol kebudayaan masyarakat. Pakaian erat kaitannya dengan kebudayaan yang

    melekat pada suatu bangsa. Pakaian sebagai hasil dari budaya yang mencerminkan

    kepribadian masyarakat. Menurut perkembangannya kita dapat menemukan pakaian

    trasidional dan pakaian modern. Misalnya, pada masyarakat modern, pakaian

    tradisional hanya digunakan pada perayaan tertentu saja, seperti pada upacara

    pekawinan.

    Perkembangan mode berpakaian di Indonesia tidak lepas dari latar belakang

    sejarah bangsa Indonesia sebagai Negara jajahan. Warga pribumi kala itu berusaha

    untuk meniru mode berpakaian bangsa Eropa yang menjajah Indonesia. Oleh

    karenanya sedikit banyak mode berpakaian masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh

  • 2

    bangsa Eropa. Perkenalan warga pribumi dengan pakaian Eropa kemudian membawa

    mereka menjadi masyarakat yang peka terhadap perkembangan mode. Terlebih lagi

    di Era Globalisasi yang salah satunya ditandai dengan semakin mudahnya penyebaran

    mode berpakaian ke seluruh dunia. Kemajuan teknologi informasi yang menjadikan

    dunia seakan tanpa batas. Pakaian mampu membatasi masyarakat dalam kelompok-

    kelompok tertentu berdasarkan kriteria sosial, politik, dan budaya tertentu namun

    kemudian juga mampu mengaburkan segmentasi tersebut melalui mode pakaian yang

    menjelma sebagai selera bersama. Pengkolonian masyarakat berdasarkan selera

    bersama menjadi ide dari kapitalisme yang ditandai dengan produksi massa

    memunculkan yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai consumer culture atau

    masyarakat konsumsi.

    Gaya ( fashion) menjadi salah satu objek konsumsi penting dalam masyarakat

    modern. Simmel dalam salah satu karyanya juga membahas tentang gaya (fashion).

    Simmel berargumen bahwa gaya juga bersifat dialektis yang diartikan, keberhasilan

    dan persebaran gaya tertentu pada akhirnya akan berujung pada kegagalan. Yaitu

    perbedaan sesuatu menyebabkannya dipandang cocok; namun, ketika banyak orang

    yang menerimanya, gaya mulai tidak lagi berbeda dan dengan demikian kehilangan

    daya tarik (Ritzer:175). Menjadi berbeda dari orang lain dan sama dengan yang

    lainnya sebagai hal yang ingin dicapai dalam penciptaan gaya, misalnya gaya

    berpakaian. Para elit menjadi pusat gaya dan gaya tersebut tersebar kemudian ditiru

    oleh kelompok lain di luar mereka. Ketika semakin luas gaya itu tersebar dan tidak

    lagi dapat berfungsi sebagai pembeda atas kelompok mereka maka gaya tersebut akan

  • 3

    dengan cepat ditinggalkan dan kemudian menciptakan gaya yang baru sebagai upaya

    mereka untuk menjadi berbeda. Melalui televisi dan majalah fashion gaya disebarkan.

    Perubahan tren berpakaian selalu menjadi isu yang hangat untuk di perbincangkan.

    Setiap orang kemudian berangan untuk menjadi sama dengan model suatu

    majalah dengan membeli dan menggunakan baju, sepatu, atau tas yang sama dengan

    yang dia kenakan. Secara lebih luas seseorang ingin menciptakan identitas atas

    barang apa yang mereka konsumsi. Siklus tren fashion yang bergerak dengan cepat

    kemudian menjadi salah satu pilar dari masyarakat konsumsi. Masyarakat didorong

    untuk terus mengkonsumsi demi identitas sebagai masyarakat yang up to date akan

    fashion. Pakaian dibeli bukan lagi atas dasar kebutuhan akan fungsi pakaian tersebut

    tetapi lebih pada keinginan untuk mencapai posisi tertentu di dalam masyarakat.

    Konsumsi masyarakat yang berlebihan ini kemudian menimbulkan kesisa- siaan.

    Membeli sepatu misalnya dapat dilakukan setiap bulan walaupun sepatu yang lama

    masih dalam keadaan bagus. Baju yang ditumpuk di lemari sampai tak terhitung

    jumlahnya hingga memenuhi lemari penuh sesak. Ingin tampil gaya menjadi alasan

    konsumen untuk mengkonsumsi berlebihan.

    Pusat- pusat perbelanjaan menandai perkembangan Kota- Kota di Dunia.

    Pusat perbelanjaan tak pernah sepi dari pengunjung bahkan semakin hari justru

    semakin banyak pengunjung apalagi bila terpampang kata diskon, sudah pasti lebih

    banyak konsumen yang datang berebut barang dengan potongan harga. Bertebaran

    merek dalam maupun luar negeri yang dijajakan di sana, mulai dari harga yang

  • 4

    terjangkau sampai harga yang tak masuk akal. Merek luar negeri dilihat lebih

    berkualitas sehingga harganya pun sangat tinggi. Membeli tas dengan merek Hermes

    dengan harga puluhan juta dirasa tidak mungkin bagi kelas bawah namun bagi

    mereka kelas atas justru dianggap sebagai kebutuhan. Bagi kelas bawah yang ingin

    tampil gaya namun keterbatasan biaya dapat pula membeli barang- barang imitasi

    demi dapat terlihat sama. Mengkonsumsi lebih banyak menjadi ciri masyarakat

    konsumen. Ditengah masyarakat yang kranjingan terhadap barang- barang baru,

    pakaian tren terbaru, merek- merek dunia, terdapat segelintir anak muda yang

    memilih untuk mengkonsumsi pakaian bekas.

    Apa yang terpikir dalam benak kita saat mendengar kata pakaian bekas.

    Pikiran negatif pasti lebih mendominasi daripada pikiran positif tentang pakaian

    bekas. Tidak semua orang mau untuk menggunakan pakaian bekas bahkan jika diberi

    dengan cuma- cuma. Hal ini tentu ada sebabnya, pakaian bekas diidentikkan dengan

    pakaian yang tidak layak pakai, kotor, dan dibuang. Selain itu masyarakat terlanjur

    beranggapan bahwa hanya kelas bawah lah yang mengkonsumsi pakaian bekas

    karena keterbatasan ekonominya. Oleh karenanya masyarakat kemudian memberi

    label buruk pada pakaian bekas. Pelabelan buruk terhadap pakaian bekas ini tentunya

    berpengaruh terhadap pemakainya. Pakaian dilihat sebagai benda yang memediasi

    (mediating material), yaitu pakaian menjadi penanda identitas yang melekat pada diri

    seseorang. Misalnya pakaian yang berlabel merek terkenal, mengisyaratkan kepada

    kita bahwa orang yang memakai pakaian tersebut termasuk ke dalam kelas menengah

  • 5

    ke atas. Sama halnya dengan pakaian bekas, juga memiliki fungsi yang sama namun

    sebaliknya bukan citra yang baik justru pandangan negatif akan melekat pada orang

    yang diketahui menggunakan pakaian bekas.

    ,,,,,Ajining Raga Gumantung Ing Busana, pepatah jawa ini mengisyaratkan

    kepada kita bahwa kekuatan kita dipengaruhi oleh pakaian yang kita kenakan. Hal ini

    membuktikan pada kita arti pakaian bagi penghargaan orang lain terhadap diri kita.

    Oleh karenanya kemudian makna sebuah pakaian tidak lagi hanya dilihat dari fungsi

    pakaian bagi pelindung tubuh namun lebih kompleks dari pada itu. Latarbelakang

    seseorang dalam menentukan pakaian yang akan dia konsumsi untuk kemudian

    dikenakan bukan merupakan pilihan yang otonom atau bebas namun melibatkan

    banyak faktor, salah satunya yaitu fashion. Fashion atau gaya berpakaian terus

    berkembang dan mengalami siklus yang sangat cepat ditandai dengan perubahan tren

    berpakaian yang cepat pula di dalam masyarakat. Fashion menjadi ideologi yang

    memiliki kekuatan yang besar dalam mengkoloni masyarakat, mendorong mereka

    dengan senang hati mengkonsumsi benda- benda yang dianggap mampu

    menunjukkan identitas fashionable pada dirinya.

    Demi terlihat gaya apapun bisa dilakukan termasuk membeli pakaian bekas

    yang dilihat mampu mendukung dalam penciptaan gaya atas dirinya. Mangkonsumsi

    pakaian bekas bagi masyarakat pada umumnya dinilai tidak lumrah bahkan

    menyimpang. Citra pakaian bekas yang buruk menjadi salah satu alasan mengapa

    masyarakat menolak untuk mengkonsumsi pakaian bekas dan memandang sebelah

  • 6

    mata bagi mereka yang mengkonsumsinya. Meskipun kita tidak dapat memungkiri

    bahwa sebagian dari masyarakat kita mengkonsumsi pakaian bekas dengan

    bermacam- macam alasan. Alasan keterbatasan ekonomi bukan satu- satunya alasan

    karena berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dini Iriyanti mahasiswa

    sosiologi yang melihat konsumsi pakaian bekas di kalangan mahasiswa di Kota Bandung

    dapat disimpulkan bahwa kelas sosial bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi

    konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas. Diluar dugaan asumsi awal bahwa mahasiswa

    yang berasal dari latar belakang status ekonomi keluarga yang rendah yang lebih banyak

    mengkonsumsi pakaian bekas, tidak terbukti. Status sosial ekonomi keluarga ternyata bukan

    penghalang mahasiswa yang berasal dari latar belakang keluarga menengah keatas untuk

    mengkonsumsi pakaian bekas. Justru perilaku konsumtif mereka terhadap pakaian bekas

    terlihat lebih konsumtif. Artinya, baik mahasiswa berstatus ekonomi tinggi maupun

    berstatus sosial ekonomi rendah, dalam pemakaian pakaian bekas cenderung

    mempertimbangkan segi prestise yang ditimbulkan bila memakai barang tersebut

    selain segi fungsinya (Iriyanti, Dini, 2007: 89-90).

    Hal yang menarik perhatian peneliti adalah sekarang ini sedang ramai

    diperbincangkan oleh anak muda di Kota Yogyakarta tentang bazaar yang

    mengambil tema Garage Sale. Dari judulnya kita tentunya akan tau apa yang

    ditawarkan dalam bazaar tersebut, yaitu barang- barang second. Setelah melakukan

    pengamatan ternyata tidak semua barang second ditawarkan di Garage Sale, khusus

    barang- barang seperti pakaian, sepatu, dan tas bekas yang dijual di Garage Sale.

    Seiring dengan semakin tingginya intensitas penyelenggaraan event Garage Sale ini

  • 7

    maka kemudian Garage Sale menjadi salah satu tujuan belanja bagi anak muda di

    Kota Yogyakarta. Namun jauh sebelum Garage Sale menjadi populer, sekelompok

    anak muda penyuka pakaian bekas telah memiliki tempat yang rutin mereka kunjungi

    untuk membeli pakaian bekas, yaitu awul- awul. Awul- awul dapat ditemui acara-

    acara penggalangan dana untuk amal maupun untuk suatu acara, selain itu juga dijual

    di toko- toko pakaian impor bekas yang tersebar di Yogyakarta, dan setiap tahunnya

    di acara sekaten kita dapat menemukan stan yang khusus menjual awul- awul.

    Pakaian bekas dengan citranya yang buruk menyebabkan hanya sekelompok anak

    muda yang memilih untuk belanja di awul- awul sehingga kurang begitu populer.

    Namun sejak tahun 2012, Gargae sale mulai diminati oleh anak muda kota

    Yogyakarta. Garage Sale dikemas dalam bentuk bazaar. Hal ini menarik perhatian

    anak muda khususnya mahasiswi yang populasinya sangat besar di kota Yogyakarta.

    Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dilihat dari jumlah perguruan tinggi

    negeri maupun swasta yang terkonsentrasi di Kota Yogyakarta yang cukup banyak,

    misalnya Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas

    Islam Negeri, Universitas Islam Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

    Universitas Sanata Dharma, dan beberapa unversitas lainnya. Hal ini menjadikan

    Yogyakarta menjadi salah satu kota yang dijadikan sebagai tujuan belajar bagi

    pemuda dari seluruh penjuru nusantara. Dengan jumlah perguruan tinggi yang banyak

    ini maka diikuti dengan populasi mahasiswa yang ada di Yogkarta juga cukup besar.

    Mahasiswa menjadi satu fase yang lebih tinggi yang akan ditempuh seseorang setelah

    lulus dari Sekolah Menengah Ke Atas. Akan ditemui banyak perbedaan dari status

  • 8

    pelajar yang kemudian berubah menjadi mahasiswa. Salah satunya adanya dengan

    ditanggalkannya baju seragam yang sehari- hari dikenakan di sekolah menjadi baju

    bebas yang dikenakan di kampus. Menjadi mahasiswa bisa dikatakan lebih bebas

    dibanding saat menjadi pelajar. Waktu belajar tidak sebanyak saat sekolah, mata

    pelajaran juga mengikuti minat, dan lingkungan tentunya terlihat lebih heterogen

    dengan baju bebas yang dikenakan setiap harinya. Hal ini membawa konsekuensi

    bagi mahasiswa yaitu harus berpikir tentang baju yang akan dikenakan hari ini, esok,

    dan seterusnya. Pilihan akan baju ini tentunya melibatkan faktor- faktor seperti tren

    fashion. Oleh karenanya ketika menjadi mahasiswa kebutuhan akan pakaian akan

    meningkat dibandingkan dulu saat bersekolah. Kebutuhan yang semakin meningkat

    ini diikuit oleh konsumsi yang semakin meningkat. Penelitian ini selanjutnya akan

    membahas tentang pola kosumsi pakaian bekas di kalangan mahasiswi di Yogyakarta

    beserta faktor- faktor yang melatarbelakanginya untuk kemudian mengungkap

    persepsi mereka tentang pakaian bekas.

    B. RUMUSAN MASALAH

    1. Bagaimana pola konsumsi pakaian bekas di kalangan mahasiswi?

    2. Sejauh mana persepsi tentang pakaian bekas di kalangan mahasiswi?

    C. TUJUAN

    1. Untuk mengetahui pola konsumsi pakaian bekas di Kalangan Mahasiswi

  • 9

    2. Mengeidentifikasi faktor- faktor yang melatarbelakangi konsumsi terhadap

    pakaian bekas.

    3. Untuk mengetahui persepsi terhadap pakaian bekas melalui sudut pandang

    mahasiswi sebagai konsumen.

    D. MANFAAT

    1. Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa pada

    umumnya tentang tren mengkonsumsi pakaian bekas pada sekelompok

    mahasiswi di Yogyakarta.

    2. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber referensi bagi penelitian selanjutnya.

    E. Tinjauan pusataka

    Tinjauan pustaka dalam penelitian ini memuat beberapa hasil penelitian

    terdahulu yang berkaitan erat dengan tema penelitian yaitu penelitian dengan tema

    konsumsi terutama mahasiswa sebagai subyek penelitiannya. Terdapat empat hasil

    penelitian terdahulu yang dicantumkan dalam tinjauan pustaka ini. Pertama ,tentang

    penelitian yang berkaitan dengan perilaku konsumtif mahasiswa sebagai pengantar

    peneliti untuk mengetahui konsep mahasiswa fashionable di lingkungan kampus

    beserta faktor- faktor yang terciptanya konstrusi sebagai mahasiswa fashionable.

    Kedua, penelitian dengan judul mall dan perilaku konsumtif sebagai sumber

  • 10

    pengetahuan bagi peneliti dalam mengkaji tentang penciptaan ruang konsumsi baru.

    Ketiga, tentang Salon sebagai tren gaya hidup anak muda khususnya Mahasiswi

    untuk mengetahui identitas konsumsi mahasiswi. Terakhir, tentang konsumsi pakaian

    bekas di kalangan mahasiswa.

    Ketika kita mulai masuk ke jenjang pendidikan perguruang tinggi atau telah

    menyandang status sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi maka banyak

    hal yang akan berubah yang membedakan antara kondisi ketika kita sebagai pelajar.

    Salah satunya adalah seragam yang dulunya kita kenakan kemudian ditanggalkan dan

    digantikan dengan baju bebas. Terdapat perasaan senang ketikat tidak lagi harus

    menggunakan seragam ketika menuntut ilmu namun konsekuensi lain yang harus

    diterima adalah kita akan lebih banyak memikirkan tentang baju apa yang akan kita

    kenakan setiap harinya di kampus. Oleh karenanya yang membedakan antara pelajar

    dengan mahasiswa adalah dilihat dari konsumsi pakaian mereka yang cenderung akan

    meningkat mengikuti kebutuhan akan pakaian yang meningkat pula.

    Lingkungan kampus akan terlihat lebih heterogen dibanding dengan

    lingkungan sekolah yang cenderung homogen karena semua murid mengenakan

    seragam sekolah. Oleh karenanya permedaan akan semakin terlihat. Termasuk mulai

    dikenalnya istilah- istilah mahasiswa fashionable dan mahasiswa yang tidak

    fashionable. Deaan (2010) berpendapat bahwa mahasiswa yang fashionable ditandai

    dengan pakaiannya yang modis dan pakaian menjadi faktor utama yang menentukan

    mahasiswa tergolong fashionable atau tidak. Menurut Deean (2010) terdapat faktor

  • 11

    internal dan eksternal yang mempengaruhi gaya berpakiaan mahasiswa. Faktor

    internal yang berpengaruh misalnya selera dan apresiasi diri, sedangkan faktor

    eksternal yang juga ikut mempengaruhi yaitu, media massa dan pear group.

    Pilihan tempat berbelanja juga ikut berpengaruh terhadap citra pakaian yang

    kita kenakan. Mall menjadi ruang konsumsi baru bagi mahasiswa di Kota Yogyakarta

    dalam memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk kebutuhan mereka akan pakaian.

    Mall sebagai sumber referensi bagi mahasiswa dalam mengikuti tren berpakaian.

    Mall juga sebagai media penyebarluasan merek- merek dunia yang kemudian merek

    menjadi salah satu pertimbangan dalam mengkonsumsi. Mall erat dengan aktivitas

    waktu luang dan gaya hidup mahasiswa perkotaan. Menurut Anusapati (2004) dalam

    penelitiannya ditemukan bahwa persepsi informan penelitian tentang ShoppingMall

    adalah sebagai pusat perbelanjaan, sebagai ruang aktivitas waktu luang, dan sekaligus

    tempat refreshing. Hal ini menunjukkan bahwa tempat berbelanja menjadi salah satu

    pertimbangan bagi mahasiswa dalam mengkonsumsi.

    Diperoleh fakta bahwa tempat berbelanja turut berpengaruh terhadap

    mahasiswa untuk mengkonsusmi. Hal ini didukung pula oleh Dini (2007) dalam

    penelitiannya yang berjudul Perilaku konsumsi Pakaian Bekas di Kalangan

    Mahasiswa di Kota Bandung, disimpulkan bahwa Terdapat korelasi yang cukup kuat

    dan signifikansi antara pilihan tempat belanja (lokasi perbelanjaan) pakaian bekas

    dengan perilaku konsumsi mahasiswa terhadap pakaian bekas, disamping itu terdapat

    faktor- faktor lain yang juga berpengaruh. Pertama, Semakin tinggi motivasi

  • 12

    mengkonsumsi mahasiswa semakin tinggi pula perilaku konsumsinya menjadi

    konsumtif. Kedua, Semakin tinggi intensitas interaksi dengan teman yang juga

    mengkonsumsi pakaian bekas semakin konsumtif pula perilaku konsumsi mereka.

    Ketiga, Semakin lama mengkonsumsi pakaian bekas semakin konsumtiflah perilaku

    konsumsinya. Keempat, Status sosial ekonomi keluarga ternyata bukanlah

    penghalang mahasiswa yang berasal dari latar belakang keluarga menengah ke atas

    untuk mengkonsumsi pakaian bekas.

    Beberapa hasil penelitian di atas menjadi sumber bacaan bagi peneliti

    sekaligus untuk mengetahui bahwa penelitian ini belum pernahi dilakukan

    sebelumnya. Pakaian bekas yang dahulu dijual dalam setting toko kemudian sejak

    kemunculan Garage Sale maka mengalami komodifikasi dalam bentuk Bazaar. Hal

    ini kemudian menarik perhatian peneliti untuk menganalisis lebih jauh fenomena

    penjualan pakaian bekas di Garage Sale maupunn awul- awul. Mahasiswa masih

    menjadi subyek utama dalam penelitian ini. Faktor- faktor yang mendorong

    mahasiswi dalam mengkonsumsi pakaian bekas yang akan dianalisis di dalam

    penelitian ini.

    F. KERANGKA TEORI

    F1. Masyarakat Konsumen

    Penelitian ini menggunakan teori utama yaitu konsep tentang Masyarakat

    Konsumen. Perbedaan mendasar antara kapitalisme klasik dan kapitalisme modern

    adalah kapitalisme klasik menekankan perkembangan masyarakat pada basis

  • 13

    produksinya sedangkan dalam kapitalis basis konsumsi menjadi lebih penting

    dibanding basis produksi. Kita sekarang berada ada masa kapitalisme modern di

    mana masyarakat dunia digerakkan oleh basis konsumsinya. Kapitalisme jaya karena

    masyarakat terus menerus didorong untuk mengkonsumsi. Konsumsi yang berlebihan

    ini yang disebut oleh Baudrillard karena adanya kebutuhan palsu. Kita

    mengkonsumsi objek untuk memenuhi kebutuhan. Pilihan atas objek apa yang ingin

    kita konsumsi senyatanya tidak otonom tetapi dikendalikan oleh kode.

    Kita tidak membeli apa yang kita butuhkan tetapi membeli apa yang kode

    sampaikan pada kita apa yang seharusnya kita beli (George Ritzer, 2003:139). Lebih

    jauh Baudrillard mendefinisikan bahwa kita hidup dalam periode objek- objek.

    Objek- objek tidak tersebut tidak lagi memiliki makna karena

    kegunaan dan keperluannya; juga tidak lagi memiliki makna dari

    hubungan yang nyata antara masyarakat. Agaknya, makna kebanyakan

    objek berasal dari perbedaan hubungannya dengan, dan atau, objek

    lain. Kumpulan, atau jaringan, objek ini memilik makna dan logika

    sendiri. Objek adalah tanda (ia adalah nilai tanda [sign value] dari pada

    nilai guna atau nilai tukar [exchange value]) dan konsumsi tanda-

    tanda objek ini menggunakan bahasa yang kita pahami (George Ritzer,

    2003:139).

    Konsep tentang konsumsi obyek sebagai kode atau tanda ini lah yang

    berkembang dalam masyarakat modern ini. Misalnya konsumsi atas pakaian. Pakaian

    tidak saja dilihat dari keguanaannya sebagai penutup tubuh namun kita

    mengkonsumsi pakaian karena kode atau tanda yang melekat pada pakaian sebagai

  • 14

    objek konsumsi. Kode terdebut yang mengendalikan seseorang dalam melakukan

    pilihan untuk mengkonsumsi pakaian. Misalnya mengapa kita lebih memilih membeli

    celana skiniy atau celana pensil dibanding dengan celana cutbray. hal ini tidak lain

    karena kode yang melekat pada masing- masing model pakaian ini yang menjadi

    pedoman bagi kita dalam mengkonsumsi. Kodenya adalah tren. Celana skinny lebih

    tren dibanding celana cutbray yang dinilai ketinggalan jaman. Atau mengapa kita

    memperhatikan merek saat membeli pakaian serta mengapa kita membeli pakaian

    baru bukan pakaian bekas. Hal ini tidak lain karena kode berperan sentral dalam

    menggerakkan konsumsi.

    Menurut Kellner, 1994:4 (dalam George Ritzer, 2003:139) Komoditas dibeli

    sebagai gaya ekpresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan, dan sebagainya.

    Kode ini juga melekat pada pakaian bekas yang akhir- akhir ini banyak peminatnya.

    Pakaian bekas yang dijual dalam setting Garage Sale, meskipun dilihat sebagai

    pakaian yang bercitra negatif namun juga merupakan objek konsumsi. Keputusan

    orang untuk membeli pakaian bekas tentu di dasari oleh kode yang melekat pada

    pakaian tersebut sehingga orang tersebut tidak ragu untuk membeli. Kode tersebut

    misalnya merek atau tren pakaian tersebut yang memang dicari oleh sekelompok

    orang. Pakaian bekas kita pandang sebagai tanda pakaian yang secara struktural

    dipahami kelasnya lebih rendah dibanding dengan pakaian baru. Hal ini karena nilai

    dominan yang berkembang di masyarakat yang mengganggap bahwa membeli atau

    menggunakan pakaian bekas hanya untuk mereka dari kalangan ekonomi bawah.

    Anggapan ini yang sekaligus membentuk kode atau tanda pada objek konsumsi.

  • 15

    Identitas, secara sederhana, dapat dipahami sebagai sesuatu pernyataan

    tentang diri, yaitu siapa aku, berkait dengan ruang dan waktu sosial (Damsar,

    2009:128). Kelas sosial adalah identitas kita yang dibangun melalui apa yang melekat

    pada diri kita. Salah satunya gaya hidup, Chaney (1996:13- 14), menyitir pemikiran

    Giddens, berpendapat bahwa perkembangan gaya hidup dan pembangunan struktural

    modernitas saling terhubung melalui reflektifitas institusional : karena keterbukaan

    (openness) kehidupan masa kini, pluralisasi konteks tindakan dan aneka ragam

    otoritas , pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan

    aktivitas keseharian. Gidden juga berpendapat bahwa gaya hidup telah menjelma

    menjadi konsumerisme.

    Aktivitas konsumsi yang dianggap sebagai pilihan yang otonom diharapakan

    mampu membentuk pribadi yang berbeda dari yang lain, namun sesungguhnya apa

    yang kita konsumsi adalah apa yang banyak dikonsumsi orang sehingga menjadi

    bagian dari gaya hidup yang manawarkan identitas yang dicari. Melalui proses

    komodifikasi maka muncul hipperrealitas di mana dalam menjajakan model gaya

    hidup, subkultur biasanya menyerang milik pribadi kita yang paling rawan: citra diri

    (self- image) kita. Kita diombang- ambing oleh banyak janji psikologis mereka.

    Mereka menggelitik khayalan kita yang paling pribadi, mungkin dengan cara yang

    jauh lebih canggih dan halus dibandingan dengan indoktrinisasi rezim politik yang

    paling otoriter sekalipun (Chaney,1996:14). Fashion menjadi bagian dari gaya hidup.

    Pilihan akan fashion tertentu membawa kita pada proses mendefinisikan diri kita atau

    proses membangun citra pribadi melalui pakaian yang kita kenakan.

  • 16

    Pakaian sebagai penanda identitas adalah benar, karena kesan pertama yang

    ditangkap ketika kita berinteraksi adalah pakaian yang kita kenakan. Melalui pakaian

    orang lain mencoba memahami identitas seseorang. Oleh karenanya orang- orang

    ingin selau tampil fashionable dengan menggunakan pakaian yang sedang menjadi

    tren serta pakaian yang bermerek terkenal. Pakaian baru selalu menjadi incaran,

    namun pakaian bekas juga tidak jarang memiliki penggemarnya. Meskipun bekas

    namun pakaian tersebut memiliki nilai- nilai seperti fashion, merek, harga yang

    terjangkau. Hal ini yang menjadi beberapa pertimbangan bagi masyarakat yang

    memilih mengkonsumsi pakaian bekas. Berbagai cara kemudian ditempuh oleh

    banyak orang untuk membangun identitasnya di lingkungannya termasuk dengan

    mengikuti gaya hidup yang mereka anggap mampu menunjang pencapaian identitas

    tertentu.

    Pakaian bekas yang sekarang dijual di Garage Sale berbeda dari apa yang

    dibayangkan masyarakat tentang pakaian bekas. Pakaian bekas identik dengan

    pakaian lusuh, kumuh, dan dibuang, Namun pakaian bekas yang dijual- belikan di

    Garage Sale ini berbeda, kondisinya jauh lebih layak dan harganya pun cenderung

    lebih mahal. Jika orang akan merasa malu ketika diketahui datang ke suatu toko

    untuk membeli baju bekas namun sejak adanya Garage Sale di Kota Yogyakarta ini

    mereka justru secara terang- terangan dalam berbelanja baju bekas. Meskipun banyak

    mahasiswi yang tetap bertahan untuk mencari pakaian bekas di toko pakaian bekas

    lainnya dengan berbagai alasan. Meskipun begitu, awul- awul dengan kondisinya

    yang kurang menarik justru tidak kehilangan daya tariknya dari mahasiswi karena

  • 17

    berbagai alasan. Keduanya menjadi tempat pilihan bagi mahasiswi untuk membeli

    pakaian bekas.

    F2. Fashion sebagai Proses Imitasi

    Di dalam sosiologi kata imitasi mulai banyak dibahas dalam proses

    sosialisasi. Imitasi atau peniruan adalah suatu cara belajar yaitu dengan mengikuti

    contoh orang lain. Cara belajar ini sangat penting seperti kita dapat mengalami sehari-

    hari. Tetapi, seorang psikolog perancis, yaitu Tarde menjadikan imitasi semacam

    sihir- sihir yang dapat membuka masalah- masalah kemasyarakatan (Trade, 1890

    dikutip oleh Polak, Mayor, 1971:88). Namun pengertian secara umum imitasi bisa

    dikaitkan dengan banyak hal atau keseluruhan proses meniru pada seseorang akan

    suatu figure atau mode tertentu. Misalnya terdapat kecenderungan bahwa Elit dalam

    suatu masyarakat menjadi figure untuk ditiru oleh kelompok di bawahnya. Dalam hal

    berpakaian, elit berperan sebagai pencipta mode yang kemudian diikuti atau ditiru

    oleh masyarakat. Terdapat kecenderungan pada para elit yang akan segera

    meninggalkan mode berpakaian ketika telah banyak ditiru oleh masyarakat. Fungsi

    pembeda tidak dapat lagi dipenuhi karena telah ditiru oleh masyarakat umum

    sehingga untuk melanggengkan distingsi sebagai perwujudan kelas sosial maka elit

    akan segera mengganti mode.

    Gaya. Dalam salah satu esainya yang menarik dan dualistis, Simmel

    (1904/1971; Gronow, 1997;Nedelman, 1900;Ritzer, 2003) mengilustrasikan

    kontradiksi gaya ini dengan berbagai cara. Di satu sisi, gaya adalah bentuk relasi

  • 18

    sosial yang memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan keinginan kelompok.

    Gaya juga melibatkan proses historis: pada tahap awal, setiap orang menerima hal-

    hal yang cocok; tak ayal, individu melenceng darinya; dan akhirnya dalam proses

    penyimpangan ini, mungkin saja mereka mengadopsi pandangan yang sama tentang

    hal- hal yang terdapat dalam gaya tersebut Orang yang tidak mengikuti gaya

    memandang mereka yang mengikuti gaya tersebut sebagai peniru dan memandang

    diri mereka sebagai orang yang independen, namun Simmel berargumen bahwa orang

    yang tidak mengikuti gaya tersebut sekedar melakukan bentuk peniruan dalam bentuk

    sebaliknya. Gaya atau Fashion merupakan proses imitasi atau meniru. Ketertarikan

    mahasiswi atas tren fashion tertentu membawa mereka pada konsumsi pakaian bekas.

    Proses meniru itu juga berlangsung melalui interaksi dengan teman- teman sebaya di

    kampus maupun anggota keluarga yang telah lebih dulu mengkonsumsinya.

    Pengalaman yang unik pada masing- masing mahasiswi menurut kelas sosialnya

    menjadi fenomena yang menarik.

    G. METODE PENELITIAN

    1. Jenis Penelitian

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif. John

    W, Cresswell dalam (Patilima,2005:2-3), mendefinisikan pendekatan Kulalitatif

    sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah

    manusia, berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik yang dibentuk kata- kata,

  • 19

    melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar

    ilmiah. Penelitian ini menggunakan salah satu jenis metode dalam penelitian

    kualitatif yaitu metode penelitian deskriptif. Menurut Mayer dan Green wood (dalam

    Silalahi, 2009:27), penelitian deskriptif kualitatif semata- mata mengacu pada

    identifikasi sifat- sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia,

    benda, atau peristiwa. Dalam penelitian ini, peneliti sekaligus berperan sebagai

    instrumen utama dalam pengumpulan data baik data berupa hasil observasi,

    wawancara, dan dokumentasi. Pendekatan ini ditujukan agar peneliti dapat

    menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara

    tepat.

    2. Fokus Penelitian

    Penelitian ini memfokuskan pada alasan yang melatarbelakangi konsumsi

    mahasiswi terhadap pakaian bekas serta persepsi tentang pakaian bekas. Penelitian ini

    kemudian mendeskripsikan suatu perilaku konsumtif kelompok tertentu. Perilaku

    konsumtif kelompok tersebut adalah perilaku konsumsi pakaian bekas di kalangan

    mahasiswi di Yogyakarta. Mahasiswi memang menjadi sasaran utama pasar pakaian

    bekas. Terlebih lagi dengan semakin banyaknya pilihan tempat yang dapat dikunjungi

    oleh mahasiswi dalam mengkonsumsi pakaian bekas, yaitu awul- awul, garage sale,

    dan butik second.

  • 20

    3. Subyek Penelitian

    Penelitian ini ingin menggali makna dari konsumsi pakain bekas berdasarkan

    faktor- faktor yang melatar belakangi mahasiswi mengkonsumsi pakaian bekas

    sehingga dapat membentuk pola konsumsi. Oleh karenanya yang akan menjadi

    subyek utama dalam penelitian ini yaitu konsumen pakaian bekas yang membeli

    pakaian bekas yang di jual pusat- pusat penjualan pakaian bekas yang ada di

    Yogyakarta mulai dari awul- awul di sekaten, toko pakaian impor bekas, bazar

    garage sale, dan butik second. Konsumen tersebut dipersempit dengan hanya melihat

    konsumen yang berstatus sebagai mahasiswi. Kelas sosial mahasiswi tidak

    dipersempit lagi dikarenakan terdapat temuan dari penelitian sebelumnya bahwa

    kecenderungan konsumsi terhadap pakaian tidak dipengaruhi oleh status sosial

    mahasiswa karena terbukti bahwa mahasiswa dengan status ekonomi yang lebih

    tinggi justru mengkonsumsi pakaian bekas lebih banyak dibandingkan mahasiswa

    yang berstatus ekonomi lebih rendah. Merek pakaian bekas menjadi salah satu faktor

    mengapa status ekonomi tidak menjadi indikator dalam menentukan konsumsi

    mahasiswa terhadap pakaian bekas. Hal ini karena masing- masing mahasiswa

    dengan kelas sosial yang berbeda keduanya sama- sama mempetimbangkan prestise

    pakaian yang akan dikonsumsi, salah satunya terlihat dari merek.

    4. Lokasi penelitian

    Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena

    fenomena awul- awul dan Garage Sale yang sekarang populer terkonsentrasi di

    Yogyakarta. Disamping pusat penjualan pakiaan bekas yang juga banyak ditemukan

  • 21

    di Kota ini misalnya toko sandang murah dan awul- awul yang selalau ada disetiap

    acara sekaten. Terakhir yaitu kemunculan butik second sehingga menambah banyak

    pilihan bagi mahasiswi dalam mencari pakaian bekas yang sesuai dengan selera

    mereka masing- masing.

    5. Teknik pengumpulan data

    a. Observasi partisipasi

    Metode pengamatan atau observasi merupakan sebuah teknik pengumpulan

    data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal- hal yang

    berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda, waktu, peristiwa, tujuan,

    dan perasaan. Tetapi tidak semua perlu diamati oleh peneliti, hanya hal- hal yang

    terkait atau sangat relevan dengan data yang dibutuhkan (Patilima, Hamid, 2003:60).

    Observasi partisipasi merupakan salah satu jenis proses pengamatan yang lebih

    mendalam. Pengamatan terlibat dan pengamatan tidak terlibat dibedakan dari ada

    tidaknya interaksi antara peneliti dengan informan. Dalam pelaksanaannya,

    pengamatan terlibat, peneliti harus memupuk terlebih dahulu hubungan baik dan

    mendalam dengan informan. Sikap saling percaya tersebut dikenal dengan istilah

    rapport. Esensi dari pengamatan terlibat adalah untuk memperoleh data tentang:

    b. Apa yang mereka ketahui ?

    c. Apa yang mereka lakukan ?

    d. Benda- benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam?

  • 22

    Pengamatan dilakukan oleh peneliti dalam setiap acara garage sale. Pencatatan

    tanggal, hari, dan waktu penting untuk mengetahui perbedaan masing- masing waktu.

    Hal ini berguna untuk mengetahui kecenderungan waktu belanja yang dipilih oleh

    konsumen yang menandakan waktu luang mereka. Hal lain yang penting untuk

    diamati adalah dekorasi ruangan secara keseluruhan, dekorasi masing- masing stan,

    jumlah stan serta yang paling penting adalah proses transaksi jual beli baju bekas

    mulai dari memilih, proses tawar menawar sampai pada deal harga. Interaksi antara

    konsumen dengan penjual serta orang- orang disekitar mereka juga tidak luput dari

    pengamatan.

    Selain dalam setiap acara bazar garage sale, peneliti juga mengamati toko

    pakaian bekas impor, awul- awul sekaten, serta butik- butik second yang mulai

    bermunculan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data tentang karakteristik masing-

    masing tempat penjualan pakaian bekas sehingga dapat diketahui ciri khas yang

    membedakan sekaligus kesamaan antar mereka. Keberadaan tempat- tempat tersebut

    juga menjadi informasi tentang perkembangan bisnis pakaian bekas di Yogyakarta

    hingga sekarang.

    a. Studi kepustakaan

    Studi kepustakaan meliputi studi literature dari beberapa buku sebagai

    referensi dalam menentukan teori yang mendukung penelitian ini. Selain dari buku-

    buku, referensi juga diperoleh melalui internet, surat kabar, serta majalah.

    c. Wawancara Mendalam

  • 23

    Metode wawancara merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan data

    dan informasi. Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alasan, pertama, dengan

    wawancara, peneliti dapat menggali tidak saja apa yang tersembunyi jauh di dalam

    subjek yang diteliti, akan tetapi apa yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek

    penelitian. Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal- hal yang

    bersifat lintas waktu, yan berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga

    masa mendatang (Patilima,2003:65).

    Wawancara mendalam penting dalam suatu penelitian agar data yang

    diperoleh lebih lengkap. Karakteristik Wawncara mendalam yaitu, pelaksanaannya

    tidak hanya sekali dua kali, melainkan berulang- ulang dengan intensitas yang tinggi

    dan peneliti tidak hanya percaya dengan begitu saja pada apa yang dikatakan

    informan, melainkan perlu mengecek dalam kenyataanya melalui pengamatan. Itulah

    sebabnya cek dan recek dilakukan secara silih berganti dari hasil wawancara ke

    pengamatan di lapangan atau informan yang satu ke informan yang lain.

    Wawancara dalam penelitian ini memfokuskan pada konsumen pakaian bekas.

    Selain itu Teknik snowball digunakan dalam penelitian ini untuk memudahkan

    peneliti memperoleh informan melalui dari informan sebelumnya. Dalam memilih

    informan peneliti menggunakan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini terdapat tiga

    jenis informan yang dibendakan menurut perannya di dalam Garage Sale dan awul-

    awul, yaitu:

    1. Konsumen

  • 24

    Konsumen menjadi target utama dalam penelitian ini karena dengan

    mewawancarai konsumen maka peneliti diharapkan dapat menjawab rumusan

    permasalahan. Konsumen yang dijadikan informan memiliki kriteria yaitu:

    a. Berstatus sebagai mahasiswi di perguruan tinggi negeri maupun swasta di

    Yogyakarta

    b. Melakukan aktivitas konsumsi atas pakaian bekas baik melalui garage

    sale maupun awul- awul.

    Menentukan kriteria bagi informan dilakukan untuk efisisensi waktu dan

    tenaga sekaligus memudahkan peneliti dalam mengambil sampel yang sesuai

    dalam populasi yang besar. Mahasiswi menjadi informan utama dalam penelitian

    ini karena yang ingi dilihat dalam penelitian ini adalah konsumsi pakaian bekas

    dengan aktor utama yaitu konsumen, disamping itu terdapat pula informa

    pendukung yang berhubungan dengan obyek penelitian akan diwawancarai guna

    memenuhi data, antara lain sebagai berikut:

    a. Event Organizer

    Penyelenggara acara atau event organizer dijadikan informan untuk

    mengetahuin perkembangan Garage Sale di Kota Yogyakarta termasuk melihat

    bentuk baru dari konsep jual beli pakaian bekas di Yogyakarta.

    b. Pemilik toko pakaian impor

    Pemilik toko pakaian impor menjadi salah satu informan untuk

    mengetahui animo masyarakaat khususnya anak muda dalam mengkonsumsi

    pakaian bekas guna mendukung data.

  • 25

    c. Pemilik Stan

    Pemilik stan yang dijadikan infroman yaitu stan yang salah satu barang

    dagangannya adalah pakaian bekas. Pemilik stan penting untuk diwawancara

    untuk mengetahui karakteristik pakaian bekas yang dijual di acara Garage Sale

    kemudian dapat membedakan dengan Garage Sale lainnya. Untuk mengetahui

    sumber perolehan pakaian bekas.

    Instrumen yang dibutuhkan dalam proses pengamatan serta wawancara yaitu camera,

    perekam suara serta catatan lapangan.

    6. Metode analisis data

    Berdasarkan dari data yang telah diperoleh melalui metode pengamatan dan

    metode wawancara, maka selanjutnya semua data dan informasi yang diperoleh,

    dianalisis.

    1. Pengolahan data

    Setelah data diperoleh melalui pengamatan, wawancara, serta studi

    kepustakaan maka kemudian data diolah. Proses ini meliputi dua tahap yaitu

    kategorisasi serta reduksi data. Kategorisasi yaitu peneliti memilih serta

    memilah antara data yang berbeda kemudian menggabungkan data yang

    memiliki kesamaan. Menurut Miles dan Haberman (1994), reduksi data

    diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, serta penyederhanaan,

    pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-

    catatan tertulis di lapangan.

  • 26

    2. Penyajian data

    Data yang telah melalui proses kategorisasi dan reduksi kemudian

    disajikan (display data). Dalam penelitian kualitatif data berbentuk teks

    naratif. Penyajian data ini penting untuk mengetahui data yang telah

    terkumpul kemudian akan diketahui apakah data telah terpenuhi atau perlu

    dilakukan pencarian data kembali ke lapangan guna memenuhi data yang

    kurang.

    3. Interpretasi data

    Dalam penelitian Thick Description proses interpretasi data

    merupakan esensinya. Peneliti tidak hanya sekedar mendeskripsikan namun

    sekaligus melakukan interpretasi data. Data berupa kata- kata yang masih

    belum memilik makna kemudian dilakukan pemaknaan atau interpretasi hasil

    temuan di lapangan dianalisis menggunakan teori yang mendukung sehingga

    diperoleh pemaknaan atas apa yang terjadi di lapangan.

    4. Kesimpulan

    Penarikan kesimpulan adalah bagian terakhir dalam penelitian yaitu

    langkah peneliti untuk menangkap makna dari serangkaian data, yang

    dituangkan dalam bentuk kalimat.