25
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING, FRAUD, DAN KORUPSI Disusun Oleh Kelompok 3 : Ahmad Badrus Salam (F1314005) Dony Pratomo (F1314033) Mochammad Riza Hari (F1314060) Yusuf Bastian Wija Martono (F1314094) S-1 JURUSAN AKUNTANSI NON-REGULER FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS 0 | Page

Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

RMK forensik bab 4

Citation preview

Page 1: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF

FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING, FRAUD, DAN

KORUPSI

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Ahmad Badrus Salam (F1314005)

Dony Pratomo (F1314033)

Mochammad Riza Hari (F1314060)

Yusuf Bastian Wija Martono (F1314094)

S-1 JURUSAN AKUNTANSI NON-REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015

0 | P a g e

Page 2: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING, FRAUD, DAN KORUPSI

I. FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING

Arens (2005:310) dalam buku yang berjudul “Auditing and Assurance Services: An

Integrated Approach” edisi ke-10 Bab 11 perihal Fraud Auditing, menyebutkan:

“Fraudulent financial reporting is an intentional misstatement or omission of amounts or

disclosure with the intent to deceive users. Most cases of fraudulent financial reporting

involve the intentional misstatement of amounts not disclosures. For example, worldcom

is reported to have capitalized as fixed asset, billions dollars that should have been

expensed. Omission of amounts are less common, but a company can overstate income by

omitting account payable and other liabilities. Although less frequent, several notable

cases of fraudulent financial reporting involved adequate disclosure. For example, a

central issue in the enron case was whether the company had adequately disclosed

obligations to affiliates known as specialm purpose entities.”

(Kecurangan pelaporan keuangan adalah sebuah salah saji yang disengaja atau kelalaian

atas jumlah atau pengungkapan dengan maksud untuk menipu para pengguna.

Kebanyakan kasus kecurangan pelaporan keuangan melibatkan salah saji yang disengaja

atas jumlah yang tidak diungkapkan. Sebagai contoh, Worldcom dilaporkan telah

mengkapitalisasi aset tetap, senilai milyaran dollar Amerika yang seharusnya dibebankan.

Kelalaian atas jumlah kurang begitu umum, akan tetapi sebuah perusahaan dapat melebih-

lebihkan penghasilan/ income dengan cara menghilangkan utang dan kewajiban-

kewajiban lainnya. Meskipun kurang begitu familiar, beberapa kasus penting atas

kecurangan pelaporan keuangan telah melibatkan pengungkapan yang memadai.

Misalnya, isu sentral dalam kasus Enron yakni apakah perusahaan telah mengungkapkan

secara memadai kewajiban untuk afiliasi yang dikenal sebagai entitas dengan tujuan

tertentu.)

Kecurangan pelaporan keuangan/ Fraudulent Financial Reporting dapat membawa

konsekuensi yang signifikan untuk organisasi dan para pihak yang berkepentingan, serta

kepercayaan public di pasar modal. Bahkan tidak jarang, Fraudulent Financial Reporting

mampu meningkatkan kekhawatiran tentang kredibilitas proses pelaporan keuangan di

suatu negara dan akan dipertanyakan peran manajamen, para auditor, para pembuat

kebijakan/ peraturan, dan para analis.

1 | P a g e

Page 3: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara manajemen

dengan auditor independen. Salah satu upaya untuk mencegah adanya kolusi tersbut,

maka perlu dilakukan rotasi auditor independen dalam melakukan audit suatu perusahaan.

Berdasarkan penelitian COSO (1999) yang berjudul “Fraudulent Financial Reporting :

1987 – 1997, An Analysis of U.S. Public Company”, bahwa dari hasil analisa perusahaan

yang listing di Securities Exchange Commission (SEC) selama periode Januari 1987 s.d.

Desember 1997 ( 11 tahun) dapat disimpulkan telah:

Teridentifikasi sejumlah 300 perusahaan yang terdapat fraudulent financial reporting

yang memiliki karakteristik yaitu memiliki permasalahan bidang keuangan (experiencing

financial distress), lax oversight dan terdapat fraud dengan jumlah uang yang besar

(Ongoing, large-dollar frauds). Contoh kasus Fraudulent Financial Reporting antara lain

Enron, Tyco, Adelphia dan WorldCom.

A. Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen

1. Statement Auditing Standar

Auditing Standards Board (ASB) di Amerika Serikat telah mengeluarkan 10

(sepuluh) standar auditing baru pada bulan April 1988, beberapa di antaranya

yang cukup penting antara lain:

a. SAS Nomor 53 tentang “The Auditor's Responsibility to Detect and Report Errors

and Irregularities," (Tanggung Jawab Auditor untuk Mendeteksi dan Melaporan

Kesalahan-kesalahan dan Ketidakberesan);

b. SAS Nomor 55 yang kemudian diperbaharui dengan diterbitkan SAS No. 78 pada

tahun 1997 tentang "Consideration of Internal Control in a Financial Statement

Audit," (Pertimbangan Pengendalian Internal dalam sebuah Audit Laporan

Keuangan)

c. SAS Nomor 61 tentang pengaturan komunikasi antara auditor dengan komite

audit perusahaan; dan

d. SAS Nomor 82 yang akhirnya diperbaharui melalui SAS No. 99 tentang

“Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit” (Pertimbangan

Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan).

2. Standar Profesional Akuntan Publik

Pada dasarnya tanggung jawab akuntan public dalam melaksanakan pekerjaannya

dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam, antara lain:

2 | P a g e

Page 4: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

a. Tanggung Jawab Moral (Moral Responsibility), yaitu tanggungjawab moral

untuk: (1) Memberikan informasi secara lengkap dan jujur mengenai auditee

kepada pihak yang berwenang dan (2) Mengambil keputusan yang obyektif,

bijaksana, sesuai dengan kemahiran professional.

b. Tanggung Jawab Profesional (Proffesional Resposibility), yaitu

tanggungjawab professional terhadap asosiasi profesi yang mewadahi.

c. Tanggung Jawab Hukum (Legal Responsibility), yaitu tanggungjawab di luar

batas standar profesinya atau tanggungjawab terkait dengan hukum yang

berlaku.

B. Penelitian COSO: Kasus-kasus Kecurangan Tahun 1998-2007

Merujuk pada penelitian yang terlah dilakukan oleh the Committee of Sponsoring

Organization of the Treadway Commission (COSO), fraud dalam pelaporan keuangan

oleh perusahaan-perusahaan public di Amerika Serikat telah memberikan konsekuensi

negative yang signifikan terhadap para investor dan eksekutif.

Penelitian COSO dilakukan oleh 4 (empat) orang profesor akuntansi: Mark S. Beasley

dari North Carolina State University, Joseph V. Carcello dari University of

Tennessee, Dana R. Hermanson dari Kennesaw State University, dan Terry L. Neal

dari University of Tennessee. Penelitian ini menelaah sebanyak 347 kasus dugaan

kecurangan pelaporan keuangan yang diselidiki oleh SEC. Penelitian ini memperbarui

penelitian COSO sejenis periode sebelumnya yang telah diterbitkan pada tahun 1999

(untuk kasus-kasus kecurangan pelaporan keuangan dekade 1987-1997).

Penelitian COSO dilakukan dengan cara menelaah tuduhan kecurangan yang

diselidiki oleh Securities and Exchange Commission (SEC) dalam kurun waktu

sepuluh tahun antara tahun 1998-2007. Dari penelitian tersebut COSO menemukan

fakta bahwa berita dugaan kecurangan telah mengakibatkan penurunan secara

abnormal harga saham rata-rata 16,7% hanya dalam dua hari setelah diumumkan.

Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kecurangan seringkali mengalami

kebangkrutan, delisting dari bursa efek, atau harus menjual aset, dan sembilan dari

sepuluh kasus tersebut menyebutkan CEO dan/ atau CFO perusahaan yang

bersangkutan diduga ikut terlibat dalam kecurangan.

Chairman COSO, David Landsittel, mengatakan bahwa analisis mendalam dalam

penelitian tersebut terkait tentang sifat, jangkauan, dan karakteristik dari kecurangan

pelaporan keuangan memberikan pemahaman yang sangat membantu tentang isu-isu

3 | P a g e

Page 5: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

baru dan berkelanjutan yang perlu segera ditangani, “Semua pihak yang terlibat dalam

proses pelaporan keuangan harus terus berfokus pada cara-cara untuk mencegah,

menghalangi, dan mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan,” kata Landsittel.

“COSO berencana untuk mensponsori penelitian lanjutan mengenai kecurangan

pelaporan keuangan, serta pengembangan lebih lanjut pedoman pengendalian internal,

untuk membantu pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelaporan keuangan.”

Hasil dari penelitian COSO menunjukkan bahwa:

1. Permasalahan kecurangan laporan keuangan masih ada dan perlu menjadi

perhatian terus-menerus. Besarnya kasus kecurangan individu dan ukuran

perusahaan-perusahaan yang melakukan kecurangan, keduanya telah mengalami

peningkatan secara nyata daripada laporan COSO tahun 1999;

2. SEC menyebutkan bahwa sepanjang tahun 1998-2007, sekitar hampir 90% CEO

dan/ atau CFO diduga terlibat dalam dugaan kasus kecurangan. Dalam kurun

waktu 2 (dua) tahun penyelesaian penyelidikan oleh SEC, sekitar 20% dari CEO

dan/ atau CFO tersebut berlanjut pada tahap dakwaan, serta 60% di antaranya

telah divonis bersalah;

3. Kecurangan pendapatan terus bermunculan sebagai jenis kecurangan paling

terkemuka tercatat mencapai lebih dari 60% dari kasus kecurangan yang diselidiki

oleh SEC;

4. Banyak karakteristik yang sering menjadi pengamatan umum dewan direktur dan

komite audit, seperti: ukuran, frekuensi rapat, komposisi, serta pengalaman, tidak

berbeda secara signifikan antara perusahaan yang terlibat kecurangan dengan yang

tidak. Upaya-upaya pengaturan tata kelola perusahaan terbaru tampaknya telah

mengurangi variasi dalam karakteristik terkait dewan direktur yang diamati;

5. Sebanyak 26% dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam dugaan kasus

kecurangan telah mengganti auditor selama periode yang diteliti dibandingkan

dengan hanya 12% dari perusahaan-perusahaan yang tidak terlibat; dan

6. Pada akhirnya, konsekuensi dari kecurangan adalah memperparah individu dan

perusahaan. Individu mungkin akan menghadapi sanksi denda sipil maupun

penuntuan perdata dan/ atau pidana. Seperti dijelaskan sebelumnya, perusahaan

yang terbukti melakukan kecurangan akan mengalami penurunan harga saham

abnormal yang signifikan, dan akan menghadapi kebangkrutan, desliting, serta

harus menjual aset material pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada

perusahaan yang tidak melakukan kecurangan.

4 | P a g e

Page 6: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

C. Pencegahan dan Pendeteksian Fraudulent Financial Reporting

Perusahaan harus mengambil langkah-langkah komprehensif untuk memproteksi

sistem informasinya. Metode yang paling efektif untuk memperoleh security system

yang mencukupi adalah terletak pada integritas (integrity) karyawan perusahaan.

Perusahaan dapat mengambil langkah untuk meningkatkan integritas karyawan dan

mengurangi kemungkinan karyawan melakukan fraud dengan memperhatikan:

1. Hiring and Firing Practices, yakni dalam hal perekrutan maupun pemberhentian

karyawan harus menerapkan kehati-hatian dan selektif.

2. Managing Disgruntled Employees, yaitu sebagian besar karyawan melakukan

fraud dengan alasan sebagai balasan atas kesalahan-kesalahan yang pernah

ditimpakan kepada mereka.

3. Employee Training, adanya rasa percaya bahwa keamanan merupakan

tanggungjawab bersama (manajemen maupun karyawan) akan membuat intensitas

tindakan fraud jauh lebih sedikit.

The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway

Commission) mengeluarkan 4 (empat) rekomendasi upaya untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, antara lain:

1. Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap

integritas proses pelaporan keuangan (financial reporting).

2. Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent

financial reporting.

3. Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan.

4. Mendesain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk

financial reporting.

II. FRAUD

A. Fraud Dalam Perundangan Kita

Fraud merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja memanfaatkan sesuatu

tidak pada tempatnya yang mengakibatkan kerugian dan untuk kepentingan diri

sendiri dan/ atau kelompok. Apabila ditinjau dari definisi tersebut, maka fraud itu

sendiri terdiri dari 3 (tiga) unsure yang harus terpenuhi, yaitu: (1) Perbuatan yang

dilakukan secara sadar dan disengaja; (2) Kecurangan; dan (3) Menimbulkan

keuntungan bagi diri sendiri dan/ atau kelompok dan kerugian bagi pihak lain.

5 | P a g e

Page 7: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

B. Fraud Dalam KUHP

Fraud memiliki jenis yang beragam. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) pengertian fraud (kecurangan) mencakup: (1) Pencurian – Pasal 362; (2)

Pemerasan dan Pengancaman – Pasal 368; (3) Penggelapan – Pasal 372; (4) Perbuatan

Curang – Pasal 378; (5) Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit – Pasal 396;

(6) menghancurkan atau merusakkan barang – Pasal 406; dan (7) Perbuatan lain pada

pasal 209, 210, 387, 415, 417-420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus diatur dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Ketentuan peraturan perundangan lain yang mengatur perbuatan yang termasuk

kategori fraud meliputi: Undang-undang Pencucian Uang (UU RI Nomor 8 Tahun

2010), Undang-undang Perlindungan Konsumen (UU RI Nomor 8 Tahun 1999),

Undang-undang ITE (UU RI Nomor 11 Tahun 2008), dsb.

C. Fraud Tree

Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), mencari atau

menemukan penyimpangan dalam suatu organisasi sangat sulit sebab penyimpangan

memiliki sifat dasar yang tertutup. Oleh karena itu, ACFE membuat suatu klasifikasi

mengenai kemungkinan kecurangan yang diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam

yang sering disebut dengan Fraud Tree:

1. Penyimpangan Aset/ Asset Missappropriation, yaitu penjarahan (baik pencurian

maupun penggunaan untuk kepentingan pribadi) atas dana-dana (kas maupun non-

kas) tanpa seijin perusahaan dan tidak masuk ke perusahaan baik secara fisik

maupun secara administrative. Asset Missappropriation dapat dikelompokkan

menjadi dua macam yaitu Cash Missappropriation dan Non-cash

Missappropriation, namun dalam prosesnya Asset Missappropriation dapat

dilakukan dalam 3 (tiga) bentuk meliputi: Skimming, Larceny, dan Fraudulent

Disbursement.

2. Pernyataan Palsu/ Fraudulent Statement, yaitu fraud yang berkenaan dengan

penyusunan dan penyajian laporan keuangan (lebih atau kurang saji) dan laporan

non-keuangan yang menyesatkan.

3. Korupsi/ Corruption (bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut pada Sub Bab III.

Korupsi). Dalam Fraud Tree, korupsi terdiri dari 4 (empat) macam, meliputi:

a. Benturan Kepentingan/ Conflict of Interest;

6 | P a g e

Page 8: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

b. Penyuapan/ Bribery;

c. Gratifikasi Ilegal/ Illegal Gratuities; dan

d. Pemerasan Ekonomi/ Economic Extortion.

Fraud Tree sangat membantu akuntan forensic dalam memetakan, mengenali, dan

mendiagnosis fraud yang terjadi dalam lingkungan kerja. Dengan memahami gejala-

gejala “penyakit” fraud (red flags) dan menguasai teknik-teknik audit investigative,

akuntan forensic dapat mendeteksi jenis fraud tersebut.

Perbedaan kondisi antar negara terutama dari segi iklim bisnis dan birokrasi,

menuntut auditor untuk mengembangkan fraud tree atas tindak pidana yang sedang

diperiksa dengan model dan metodenya sendiri.

D. Akuntansi Forensik dan Jenis Fraud

Dari tiga cabang Fraud Tree yaitu Corruption, Missappropriation Asset, dan

Fraudulent Statement, akuntan forensic hanya memusatkan perhatiannya pada cabang

Corruption dan Missappropriation. Hal ini disebabkan cabang Fraudulent Statement

telah menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan (General Audit atau

Opinion Audit), dengan dua pengecualian, yaitu:

1. Ketika regulator memiliki dugaan terdapat kekeliruan yang serius dalam laporan

hasil audit suatu kantor akuntan publik; dan/ atau

2. Ketika Fraudulent Statements dilakukan dengan pengolahan data secara

elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan komputer yang

dominan dalam penyiapan laporan.

E. Fraud Triangle

Hipotesis yang telah dikembangkan oleh Donald R. Cressey dalam penelitiannya yang

bertajuk “Fraud Examiner Frauds” (edisi 2006) telah mengenalkan kepada kita

tentang Fraud Triangle yang merupakan 3 (tiga) elemen yang muncul bersamaan dan

mendorong terjadinya kecurangan (bagian ini sudah pernah dibahas pada pertemuan

sebelumnya), antara lain:

1. Tekanan yang dirasakan (Pressure). Konsep yang penting di sini adalah Perseived

non-shareable financial need yakni tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa

kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi dengan orang lain. Dari

penelitian yang dilakukan oleh Cressey juga menemukan bahwa non-shareable

problems yang dihadapi oleh para pelaku fraud timbul dari situasi yang dapat

dibagi menjadi 6 (enam) kelompok:

7 | P a g e

Page 9: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

- Pelanggaran dianggap berasal dari kewajiban/ Violation of Ascribed

Obligation;

- Masalah yang timbul berasal dari kegagalan personal/ Problems resulting from

personal failure;

- Pembalikan Bisnis/ Business reversals;

- Keterpurukan dalam kesendirian/ Physical isolation;

- Upaya mendapatkan status/ Status gaining; dan

- Hubungan majikan-karyawan/ Employer-employee relations.

2. Peluang yang dimiliki (Perceived Opportunity). Cerssey berpendapat bahwa

terdapat dua komponen dari persepsi tentang peluang ini, yaitu: (a) Informasi

Umum/ General Information yakni pengetahuan bahwa kedudukan yang

mengandung kepercayaan dapat dilanggar tanpa konsekuensi; dan (b) Keahlian

teknis/ Technical Skill yakni keahlian atau keterampilan yang dimiliki oleh pelaku

fraud sehingga ia mendapatkan kedudukan yang dimaksud.

3. Rasionalisasi (Rationalization), yaitu mencari pembenaran sebelum melakukan

kejahatan dan bukan sesudahnya.

III.KORUPSI

Kasus korupsi di Indonesia selalu menjadi bahan pemberitaan yang hangat dan ramai di

berbagai media, bahkan tidak jarang menjadi bahan obrolan di warung kopi, mulai dari

kasus Bank Century, Wisma Atlet Hambalang, Simulator SIM, Impor Daging Sapi, Dana

Bansos, Dana Talangan Haji, hingga skandal kasus suap di tubuh FIFA. Ini berarti bahwa

korupsi telah terjadi tidak hanya di ranah politik namun juga telah menyentuh berbagai

sektor, seperti olahraga, perdagangan, perizinan, perbankan, dsb. Tidak jarang, dari

sekian banyak kasus yang terungkap telah menyeret orang-orang yang notabene berkerah

putih atau para mantan pejabat tinggi mulai dari mantan menteri, mantan gubernur,

mantan bupati, dll (ya.. boleh dibilang, fenomena para pejabat yang ditunggu untuk

diciduk lembaga anti-korupsi ke hotel rodeo setelah masa jabatannya berakhir). Karena

itu, korupsi lebih dikenal oleh khalayak umum dengan istilah “kejahatan kerah putih”.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kondisi korupsi di Indonesia sekarang?

Mengutip dari pernyataan salah satu Plt. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) Indriyanto Seno Adji:

“Bila Indonesia sudah bersih dan sama sekali sudah tidak ada korupsi, baik dengan

metode prosedural maupun substansial, maka memang tidak diperlukan KPK.”

8 | P a g e

Page 10: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

(http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150818141522-12-72878/pimpinan-kpk-jika-

indonesia-bebas-korupsi-baru-kpk-bubar/)

Kemudian, mengutip pada sebagian pidato dari mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang

Yudhoyono:

“Di tengah realitas betapa tidak mudahnya untuk memberantas korupsi di negeri ini,

karena terbukti kasus-kasus korupsi masih sering terjadi, yang harus kita lakukan justru

meningkatkan intensitas, ekstensitas, dan efektivitas upaya pemberantasan korupsi dan

bukan malah mengendorkannya.”

(http://nasional.kompas.com/read/2012/10/09/16035782/

Ini.Pidato.Lengkap.Presiden.soal.KPKPolri)

Pernyataan mantan anggota Komisi Hukum DPR RI Bambang Soesatyo di tengah seleksi

calon ketua KPK Tahun 2010:

“Ini mengingat arus serangan balik dari komunitas koruptor terus menguat dari hari ke

hari.”

(http://www.tribunnews.com/nasional/2010/08/02/bambang-pakar-anti-korupsi-cocok-

pimpin-kpk)

Baik pernyataan maupun pidato tersebut cukup mewakili setidaknya gambaran umum

bahwa tingkat korupsi di Indonesia sudah berada pada taraf yang sangat memprihatinkan.

Korupsi telah terjadi di segala lini, dari level individual sampai dengan level nasional,

dari level personal hingga pada tingkat berjamaah atau konspirasi. Hal tersebut didukung

dengan laporan yang telah dirilis oleh lembaga Transparency International yang

menyebutkan bahwa pada Tahun 2014 Indonesia berada di peringkat 107 dari 175 negara

di dunia untuk kategori negara yang bersih dari korupsi dengan nilai Corruption

Perceptions Index (CPI) sebesar 34 dari 100 (nilai 0 menunjukkan tingkat korupsi yang

tinggi/ negara paling korup dan nilai 100 menunjukkan tingkat korupsi yang terendah/

negara paling bersih dari korupsi).

Sedangkan dari survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Indeks

Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) di Indonesia dengan mengambil sampel sebanyak 10.000

rumah tangga di 170 kabupaten/ kota pada 33 provinsi menunjukkan adanya penurunan

IPAK dari angka 3,63 di tahun 2013 menjadi 3,61 di tahun 2014, yang berarti bahwa telah

terjadi penurunan sikap masyarakat terhadap budaya anti korupsi.

Ironisnya, akhir-akhir ini kita malah disuguhkan aksi adu jotos dan adu gengsi antar

lembaga anti-korupsi, masih ingat dengan kisah pilu “Cicak vs Buaya” atau drama

kolosal “Pelemahan KPK”?!

9 | P a g e

Page 11: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

Salah satu lembaga negara yang paling gencar dan agresif dalam upaya melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor publik adalah Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) yang didirikan pada tahun 2002 dengan berlandaskan pada Undang-

undang RI Nomor 30 Tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, masih ada lembaga anti-korupsi yang lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK RI), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP RI), Kepolisian RI,

Kejaksaan Agung, dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah lainnya.

Pada kesempatan kali ini, tim akan lebih focus pada pembahasan Korupsi sebagai salah

satu tindakan fraud.

A. PENGERTIAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

Pengertian korupsi secara global berbeda-beda, namun secara umum makna dari

korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan yang telah diberikan oleh

pihak lain untuk keuntungan pribadi dan/ atau orang lain.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Korupsi artinya: “penyelewengan atau

penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, dsb) untuk keuntungan pribadi

atau orang lain”.

Karyono (2013:2) menyebutkan bahwa korupsi merupakan perbuatan yang dapat

merugikan kepentingan umum/ public atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi

atau kelompok tertentu.

Tuanakota mendefinisikan korupsi berdasarkan pendekatan psikologis (2010: 224)

yaitu penyalahgunaan wewenang jabatan untuk keuntungan pribadi.

Di dalam peraturan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang RI

Nomor 20 Tahun 2001 pasal 2 menyebutkan bahwa Korupsi adalah tindakan orang

yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai

perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.

Apabila mengacu pada ACFE (Association of Certified Fraud Examiners), korupsi

terdiri dari 4 (empat) bagian pokok, yaitu: (1) Benturan Kepentingan/ Conflict of

Interest; (2) Penyuapan / Bribery; (3) Pemberian Ilegal/ Illegal Gratuities; dan (4)

Perluasan Ekonomi/ Economic Extortion.

Menurut Transparency International, korupsi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)

macam:

10 | P a g e

Page 12: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

1. Grand Corruption (Korupsi pada Kedudukan Tinggi), yang terdiri dari tindakan

yang dilakukan pada jajaran tingkat tinggi pemerintah yang mendistorsi kebijakan

atau fungsi sentral negara, memungkinkan para pejabat negara untuk memperoleh

keuntungan dengan cara mengorbankan kepentingan public. Misalnya, kasus dana

talangan haji Indonesia yang menyeret mantan menteri agama RI, kasus suap

daging impor sapi tahun 2013 yang menyeret mantan Menteri Pertanian RI, dan

kasus korupsi distribusi minyak goring tahun 2007 yang menyeret Mantan Ketua

PSSI.

2. Petty Corruption (Korupsi Skala Kecil), mengacu pada penyalahgunaan

kewenangan harian yang dipercayakan kepada pejabat public tingkat menengah

dan kecil dalam berinteraksi dengan masyarakat, yang sering mencoba untuk

mengakses barang primer (bahan-bahan pokok) dan jasa-jasa di tempat-tempat

seperti sekolah, kepolisan, rumah sakit, dan instansi lainnya. Misalnya: Untuk

mengurus urusan administrative (contoh: Akte kelahiran anak, e-KTP, SIM, Izin

Buka Usaha, dsb) akan dipermudah apabila ada uang tambahan atau istilahnya

uang pelicin untuk petugas pengurus.

3. Political Corruption (Korupsi Politik) adalah manipulasi kebijakan, institusi, dan

aturan prosedur dalam alokasi sumber daya dan pembiayaan oleh pengambil

keputusan politik, yang menyalahgunakan posisi mereka untuk mempertahankan

kekuasaan, status, dan kekayaan mereka. Misalnya: Kasus korupsi perihal suap

perkara hasil pemilihan kepala daerah Lebak, Banten Tahun 2013, yang

melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mantan Gubernur Banten, dan

mantan calon kepala daerah Lebak, Banten. Juga kasus dugaan suap dan

penerimaan gratifikasi terkait pembahasan APBN Perubahan Tahun 2013 yang

menyeret Mantan Ketua Komisi VII DPR RI.

Berdasarkan Gone Theory yang dikemukan oleh Jack Bologne, terdapat beberapa

faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain:

- Expossure (Tekanan);

- Opportunities (Peluang/ kesempatan);

- Greeds (Keserakahan); dan

- Needs (Kebutuhan).

Namun, masih terdapat faktor rasionalisasi (rationalization) yang juga menjadi faktor

penyebab fraud. Hal tersebut senada dengan John Cassidy dalam artikelnya yang

berjudul “Rational Irrationality”, yang mana menjelaskan krisis keuangan dengan

11 | P a g e

Page 13: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

teori permainan/ game theory dimana pada posisi ini korupsi dapat teraplikasikan

dengan sangat baik.

Sedangkan para peneliti korupsi telah mengelompokkan teori-teori yang akan

mencoba untuk menjelaskan sebab-sebab korupsi endemic di negara-negara

berkembang ke dalam 3 (tiga) macam: (1) Teori Utama Ekonomi; (2) Patrimonalisme;

dan (3) Teori Bangsa Kleptokratis. Kita dapat menemukan bukti-bukti yang

mendukung ketiga teori tersebut di Indonesia.

1. Teori Utama Ekonomi (Mainstream Economic Theory)

Para ekonom yang telah mengikuti perkembangan ekonomi Indonesia berpendapat

bahwa penyebab dari merajalelanya korupsi di Indonesia adalah pemerintah

Indonesia memainkan peran utama dalam menjalankan perekonomian negara.

Peraturan tentang pembatasan perdagangan, represi keuangan, dan lisensi

ekonomi sering menjadi penghambat yang signifikasn terhadap dunia bisnis di

Indonesia. Akan tetapi, bagi para pengusaha yang memiliki sumber daya untuk

untuk menghindari Undang-undang atau memiliki jaringan politik dengan partai

penguasa, akan mudah melenggang untuk melakukan perdagangan sekalipun

bisnis yang dijalankan adalah illegal menurut hukum. Ini terjadi sebelum dan

sesudah Indonesia meliberalisasi perekonomiannya.

2. Patrimonalisme (Patrimonalism)

Dukungan untuk teori ini dapat ditemukan dalam karya-karya oleh Anderson

(1972: 33-39) dan Liddle (1997: 87-88) yang menyatakan bahwa budaya Jawa,

yang mendominasi politik Indonesia adalah budaya patrimonial. Penguasa yang

memiliki klaim atas sumber daya negara, pada gilirannya akan mendistribusikan

sumber daya di antara keluarga, teman, bawahan, dan pendukung setianya. Orang

dari kalangan biasa hanya memiliki akses yang terbatas ke kekuasaan dan mereka

cenderung menerima apapun yang dilakukan oleh penguasa, meskipun hak-hak

mereka dilanggar (Robertson-Snape). Dalam sistem ini, praktek korupsi akan

dengan mudah merajalela. Hal tersebut sangat tampak dan terasa pada masa Orde

Baru, di bawah kepemimpinan mantan presiden RI Soeharto, dimana tidak ada

check and balance mekanisme untuk mengawasi kekuasaannya.

3. Teori Bangsa Kleptokratis (Kleptocratic State Theory)

Pada masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan mantan presiden RI, negara

Indonesia dianggap sebagai negara yang menerapkan teori kleptokratis. Hal

12 | P a g e

Page 14: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

tersebut dapat dibuktikan terutama saat anak-anaknya aktif ikut berpartisipasi

dalam kegiatan sewa-menyewa kekuasaan atas sumber daya ekonomi secara

paksa, dengan menciptakan monopoli dalam negeri dan mewajibkan kepada para

investor yang ingin memanfaatkan sumber daya ekonomi Indonesia untuk menjadi

mitra bisnis anak-anak tersebut. Teori kleptokratis tergambar dimana para pejabat

dapat membuat kebijakan ekonomi friendly-market sementara korupsi tetap

berjalan (McLeod 2000a; Schwarz 2000).

Kita dapat membuktikan bahwa semua teori korupsi di atas telah sesuai dengan

gambaran di negara Indonesia.

Kami sependapat dengan apa yang menjadi pernyataan dari Theodorus M. Tuanakota

pada Buku Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif Edisi 2 Bab 7 perihal Korupsi

bahwa korupsi bukan masalah budaya. Namun, korupsi merupakan masalah yang

berkenanaan dengan sistem perekonomian dan kelembagaan. Sistem perekonomian

dan kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau keuntungan korupsi cenderung

memiliki 4 (empat) cirri: (1) Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak

(substantial monopoly power) atas pengambilan keputusan; (2) Pejabat yang

bersangkutan mempunyai kelonggaran yang wewenang yang besar; (3) Mereka tidak

perlu mempertanggungjawabkan (tidak akuntabel terhadap) tindakan mereka; dan (4)

Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya (an

environment of low transparency).

B. KORUPSI DARI TINJAUAN SOSIOLOGIS DAN SOSIOLOGIS

ADITJONDRO

1. Korupsi dari Tinjauan Sosiologis

Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada Jurusan Kajian Melayu, Universitas

Nasional Singapura merupakan penulis perintis mengenai masalah korupsi di

kawasan tersebut. Dari kasus-kasus korupsi sekitar tahun 1970-1980-an yang

dilaporkan oleh Prof. Alatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) Tipologi

korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya merupakan penyakit

kekanak-kanakan alias mencuri terang-terangan; (b) Bahkan “pemain”-nya masih

yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti nama); dan (c) Gebrakan membawa

sukses sesaat.

2. Korupsi menurut tinjauan sosiologis Aditjondro

13 | P a g e

Page 15: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

George Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai sosiologi korupsi

di Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Dalam bukunya

“Korupsi Kepresidenan” mengajak pembacanya mengkaji bersama dan menjawab

pertanyaan: Mengapa tuntutan untuk mengadili Soeharto karena dosa-dosa

politiknya sampai sekarang belum terlaksana? Kalaupun Soeharto dianggap terlalu

tua dan lemah untuk diadili, mengapa semua rezim pasca-Soeharto tidak berusaha

melakukan repatriasi harta rakyat yang dijarah oleh Soeharto beserta keluarga dan

konco-konco-nya, dibarengi dengan penyitaan harta jarahan yang berada di depan

mata kepala kita di dalam negeri?

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan mengenai

korupsi kepresidenan, antara lain:

a. Bentuk oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa) yang

melanggengkan dan mewariskan korupsi kepada pemerintahan penerus;

b. Oligarki yang dipimpin oleh istri maupun suami dari presiden atau spouse-led

oligarchi; dan

c. Oligarki dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi kepentingan

mantan penguasa dengan segala cara “pemindahan kekayaan”.

Mengamati Pemilu Tahun 2009, George Aditjondro menganalisis rahasia di balik

kemenangan Partai Demokrat, yang suara pemilihnya naik tiga kali lipat dalam

suatu periode pemerintahan dari sekitar 7% menjadi sekitar 20%. Menurut

Aditjondro, penggalangan dana yang luarbiasa, serta besarnya pembelian suara

(vote buying) oleh para kadernya, memainkan peranan dalam melonjaknya angka

pemilu Partai Demokrat dan calon presidennya. Aditjondro mencatat resistensi

Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan

skandal Bank Century, dan keinginan petinggi-petinggi partai itu untuk menutupi

hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi

yang sudah disepakati oleh parlemen.

Aditjondro melihat kebutuhan akan dana kampanye yang semakin meningkat,

karena biaya “pencitraan” SBY melalui media dan meluasnya jangkauan

“kedermawanan” yayasan-yayasan yang berlindung di balik penguasa. Semuanya

menjadi pembuka jalan bagi korporasi-korporasi raksasa untuk mendapatkan

kemudahan dari pemerintah, seperti di masa Orde Baru.

14 | P a g e

Page 16: Rmk Chapter 4 Afai Kelompok 3

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP

C. COST KORUPSI

Apa yang dimaksud dengan Cost Korupsi?

Korupsi membawa dampak yang buruk kepada masyarakat dalam berbagai hal.

Dalam kasus terburuk menyangkut biaya hidup. Menurut Transparency International,

cost korupsi dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori utama, antara lain: politik,

ekonomi, social, dan lingkungan.

1. Dalam hal politik, korupsi menjadi kendala utama untuk demokrasi dan supremasi

hukum. Dalam sistem demokrasi, kantor dan lembaga kehilangan legitimasi

mereka ketika mereka sedang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

Tentunya, hal tersebut berbahaya dalam demokrasi yang sudah mapan, tetapi bisa

menjadi lebih buruk bagi negara yang sedang menerapkannya. Hal tersebut sangat

menantang untuk mengembangkan kepemimpinan politik yang akuntabel dalam

iklim yang korup.

2. Secara ekonomi, korupsi menjadi penyebab kebocoran sumber kekayaan negara.

Para politisi yang korup berinvestasi pada sumber daya yang vital pada proyek-

proyek yang akan mengisi pundi-pundi kantong mereka daripada mengutamakan

kepentingan masyarakat, serta akan memprioritaskan investasi mereka proyek-

proyek yang menyangkut kebutuhan hajat hidup orang banyak seperti bendungan,

pembangkit tenaga listrik, jaringan pipa dan kilang minyak, atau proyek

infrastruktur yang tidak begitu vital namun mendesak seperti sekolah, rumah sakit,

atau jalan. Korupsi juga menghambat perkembangan struktur pasar yang adil dan

mendistorsi persaingan, yang pada gilirannya akan menghalangi investasi.

3. Korupsi menggerus tatanan social masyarakat. Korupsi akan merusak

kepercayaan masyarakat dalam sistem politik, di dalam lembaga-lembaga maupun

kepemimpinan. Masyarakat yang tidak saling percaya dan bersikap apatis dapat

menjadi penghambat lain dalam upaya pemberantasan korupsi.

4. Degradasi lingkungan adalah konsekuensi lain dari sistem yang korup. Kurangnya

atau tidak adanya penegakan atas peraturan perundang-undangan lingkungan

berarti bahwa sumber daya alam yang berharga akan dieksploitasi secara

sembarangan dan seluruh sistem ekologi menjadi porak poranda. Dari

pertambangan, penebangan liar, dan perusahaan di dunia terus-menerus membayar

suap sebagai imbalan atas kerusakan yang tak terbatas.

15 | P a g e